Daftar Isi Daftar Isi.............................................................................................................................................................. Dari Redaksi ........................................................................................................................................................ Kontak Pembaca.................................................................................................................................................. Susunan Redaksi.................................................................................................................................................. Pengembangan Ekspor Produk Hasil Hutan Bukan Kayu Berbasis Tanaman Hutan ......................................... D. Martono & Djeni Hendra HHBK Minyak Lemak, Potensi yang Perlu Dikembangkan............................................................................... Ari Widiyanto & M. Siarudin Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry .............................................................. Ari Widiyanto Mengenal Tumbuhan KRATOM (Mitragyna speciosa Korth.) .......................................................................... Freddy J. Hutapea Pengawetan Kayu dalam Mengatasi Deforestasi ................................................................................................ M. Iqbal Pengukuran Warna Kayu dengan Sistem Cielab ................................................................................................. Krisdianto Standar Kayu Lapis Indonesia............................................................................................................................. Paribotro Sutigno Apakah SNI Perlu Banyak? (Kasus Sektor Kehutanan) ..................................................................................... Paribotro Sutigno Uji Penetrasi Boron secara Sederhana................................................................................................................. Didik Ahmad Sudika
ii 1 1 1 2 7 18 22 24 28 32 34 36
Redaksi FORPRO menerima tulisan, artikel disertai foto yang relevan. Tulisan merupakan artikel, hasil penelitian, opini, ulasan, peristiwa/ pengalaman terkait bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan. Tulisan maksimal 8 halaman, ukuran kertas A4, jenis font Arial 12, berikut gambar dan foto dengan kualitas fixel tinggi, disertai soft file. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa merubah substansinya. Tulisan/artikel dikirim ke alamat Redaksi FORPRO, atau melalui e-mail:
[email protected]
Cover depan: Buah Nyamplung (Calophyllum inophyllum) ii
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Kontak PEMBACA
Dari Redaksi Pembaca yang budiman, Keanekaragaman jenis sumberdaya hutan selain kayu pada hutan tropis Indonesia sangat banyak jenisnya yang dapat dijadikan sebagai komoditi untuk bahan industri maupun dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Komoditas tersebut seperti getah, akar, umbut, kulit, daun dan fauna yang lazim disebut hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam rangka peningkatan nilai tambah industri HHBK sangat diperlukan inovasi dan sentuhan teknologi sehingga menjadikan komoditas HHBK tersebut nilai dan manfaatnya menjadi lebih meningkat dan menjadi sumber devisa bagi negara. PUSTEKOLAH sebagai lembaga riset senantiasa mencari inovasi dan solusi untuk peningkatan nilai HHBK tersebut melalui berbagai kegiatan percobaan penelitian dan pengkajian. Beberapa informasi IPTEK tentang HHBK dikemas dalam bentuk naskah/artikel dan kami sampaikan ke hadapan pembaca seperti apa yang tertuang pada FORPRO terbitan edisi Vol 2, No 1 tahun 2013. Kali ini menyajikan beberapa artikel yaitu: 1. Pengembangan Ekspor HHBK; 2. HHBK Minyak lemak, Potensi yang perlu dikembangkan; 3. Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan dalam Sistim Agroforestry; dan 4. Mengenal Tumbuhan Kratom. Selain itu kami sisipkan pula beberapa artikel tentang; Pengawetan kayu, SNI, Pengukuran warna kayu dan uji penetrasi Boron secara sederhana. Pemuatan naskah/artikel pada edisi terbitan kali ini semoga dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi bagi pembaca yang akan dan sedang melakukan kegiatan yang serupa, sehingga mendapatkan hasil sesuai yang di-harapkan, ataupun sebagai tambahan informasi yang berharga bagi pembaca secara umum. Pada tahun 2013 ini tidak terasa setahun sudah usia majalah FORPRO ini lahir dan hadir dihadapan pembaca. Menginjak pada usia tahun kedua ini Redaksi FORPRO berusaha untuk tetap menyajikan IPTEK tentang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, dan mempertahankan apa yang sudah baik serta memperbaiki segala yang masih kurang berdasarkan saran dan masukan pembaca. Masukan dan saran pembaca terhadap terbitan edisi kali ini sangat diharapkan guna perbaikan dan kesempurnaan terbitan Majalah FORPO edisi berikutnya. Selamat membaca.
Bogor, Juni 2013 Redaksi Forpro
Yth.: Redaksi Majalah FORPRO FORPRO, sebagai majalah kehutanan semi ilmiah/populer yang penerbitannya baru menginjak 1 tahun, kehadirannya diharapkan dapat “dinikmati” oleh masyarakat pembaca dari semua kalangan. Berikut saran yang saya coba sampaikan demi kemajuan majalah FORPRO. Setiap tampilan untuk cover depan, FORPRO sebaiknya memiliki warna dasar (back ground) tertentu yang khas sehingga dapat mencirikan kehadirannya. Foto cover sebaiknya cukup mensiratkan satu tema yang menggambarkan sajian artikel utama dan tidak menampilkan banyak foto. Dalam cover depan tidak juga perlu menampilkan semua judul maupun ulasan singkat artikel/tajuk, karena hal ini bisa dilihat pada daftar isi. Singkatnya, cover depan dapat dibuat semenarik mungkin dengan tampilan yang khas, sederhana (sedikit foto/gambar) dengan menampilkan informasi artikel utama yang sedang hangat, menarik dan mudah untuk dibaca. Penempatan artikel/tajuk utama memerlukan kesepakatan dan penilaian oleh dewan redaksi. Isi, substansi tajuk utama hanya satu saja dan merupakan “issue” utama bahasan dalam setiap kali terbitan, selebihnya bisa berupa artikel-artikel dan rubrik-rubrik seperti pedoman/petunjuk ringan yang terkait dengan informasi pengelolaan hasil hutan. Agar pembaca tetap tertarik dan setia menunggu, Forpro dapat melakukan dengan cara membuka rubrik tanya jawab seputar informasi pengolahan hasil hutan, dan sebagai penghargaan atas kontribusinya terhadap keberlangsungan FORPRO, sebaiknya penulis tetap mendapatkan reward atas karyatulisnya. Demikian... semoga segenap pengurus tetap enerjik dan bersemangat sehingga FORPRO bertambah informatif, menarik, mudah dan layak dibaca oleh semua kalangan. Bogor, Juni 2013 Salam, ANDIANTO, S. Hut, M.Si ---------------------------------------------------------------------------------------DARI REDAKSI; Yth. Pak Andianto, Terima kasih pak Andianto atas segala kritikan dan sarannya yang membangun, tentu akan kami coba dan dipertimbangkan demi peningkatan kualitas terbitan majalah Forpro yang lebih baik dan enak dibaca oleh semua kalangan. Untuk pemberian reward kepada penulis tentunya wajar-wajar saja, selama tersedia anggaran dan Redaksi akan memberikan sesuai haknya. Akan tetapi ke depan jika tidak tersedia lagi anggaran penulisan mohon tetap untuk tidak mengurangi semangat menulis dan mengirimkan naskah ke Redaksi Forpro, sebagai upaya kita untuk berkontribusi dalam penyebarluasan IPTEK sebagai wujud “ilmu amaliah dan beramal ilmiah” dan turut serta membangkitkan industri kehutanan kita yang lebih kompetitif. Amin Salam, Redaksi Forpro
Susunan Redaksi Pelindung Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Dewan Redaksi Ketua : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Narasumber : 1. Prof. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc 2. Prof. Ir. Dulsalam, MM 3. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si 4. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si Editor 1. Dr. Ir. Putera Parthama, M.Sc 2. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Drs. M. Muslich, M.Sc Dra. Jasni, M.Si Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc Dra. Gusmailina, M.Si Sujarwo Sujatmoko, S.Hut, M.Sc Setyani Budhi Lestari. Ah.T
Sekretariat Redaksi Ketua : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian Anggota : 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut T, M.Sc. 2. Drs. Juli Jajuli 3. Deden Nurhayadi, S.Hut. 4. Sophia Pujiastuti
iii
Tajuk Utama
PENGEMBANGAN EKSPOR PRODUK
HASIL HUTAN BUKAN KAYU BERBASIS
TANAMAN HUTAN I. PENDAHULUAN Hutan adalah suatu ekosistem tumbuhan dan hewan yang tumbuh dan hidup berkembang pada suatu lahan, dimana flora dan fauna yang berada di tempat itu saling berinteraksi secara alami tanpa ada unsur campur tangan manusia, sehingga membentuk suatu kestabilan formasi, biodiversitasnya dan produktivitasnya. Pada setiap tahapan waktu secara alami sering mengalami perubahan yang selalu berkembang dalam keseimbangan, pada setiap tahapan ini sering disebut sere (Odum, 1964). Setiap sere akan selalu berkembang mencapai puncaknya yang stabil dalam perkembangan suksesinya. Pemanfaatan tanaman, bagian tanaman, hewan atau satwa pengisi formasi hutan oleh manusia sebagai penyangga kebutuhan natura dan kehidupan, maka setiap waktu itu pula mengalami d i n a m i k a p e r u b a h a n fo r m a s i m e n u j u s u a t u kesetimbangan ekologisnya. Jika frekuensi perubahan itu dalam waktu singkat sudah tinggi akan terjadi penurunan formasi dan nilai biodiversitasnya, tentu akan terjadi perubahan yang sangat drastis, bukan lagi di sebut sebagai ekosistem hutan. Oleh karenanya dalam pengelolaan hutan yang terkait dalam pemanfaatannya, pemerintah menetapkan suatu kebijakan pengaturan pemanfaatannya terutama dalam hal pemungutan material dari dalam hutan, diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Minyak atsiri, resin, minyak lemak, getah getahan, madu, kulit-kulit kayu, serta rempah merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada awal kehidupan manusia juga berasal dari hutan, dalam perkembangannya untuk memudahkan pemungutan dan meningkatkan produktivitas karena memberikan nilai komersial, oleh masyarakat dibudidayakan yang semula dalam skala kecil di pekarangan, kebun dan meluas menjadi suatu areal pertanaman perkebunan yang luas. Minyak atsiri, madu, resin, rotan dan bambu merupakan salah satu unggulan sebagai hasil hutan bukan kayu. Potensi hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat besar sekali baik volume maupun ragam jenisnya. Secara umum hasil hutan bukan kayu dikelompokkan menjadi 8 2
DOMINICUS MARTONO & DJENI HENDRA Pustekolah-Bogor
(delapan) kelompok komoditas sesuai Permenhut No. 35/2007 yaitu : 1. Kelompok Resin 2. Kelompok Minyak Atsiri 3. Kelompok Minyak Lemak, Pati dan Buahbuahan 4. Kelompok Tanin, Bahan Pewarna dan Getah 5. Kelompok Tumbuhan Obat dan Tanaman Hias 6. Kelompok Palma dan bambu (rotan, bambu dan lainnya) 7. Kelompok Alkaloid 8. Kelompok Lainnya. Peranan hasil hutan bukan kayu dalam pengelolaan hutan secara lestari sangat besar terutama dalam upaya pembangunan masyarakat sekitar hutan dan konservasi sumberdaya alam secara bersamaan. Arnold dan Ruiz Perez (1998) menyatakan bahwa : a. Hasil hutan bukan kayu akan lebih banyak memberi manfaat dan keuntungan bagi masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan, karena hutan mampu menyediakan berbagai keperluan kehidupan seperti sumber makanan, obat-obatan, bahan sandang dan perkakas rumah tangga. Di samping itu akan mendorong partisipasi masyarakat untuk menjaga kelestariannya. b. Dalam pemanenan hasil hutan bukan kayu relatif lebih kecil dampaknya bila dibandingkan dengan kegiatan pembalakan kayu (logging). Berawal dari pengertian dan pandangan ini berbagai pihak memberi perhatian dan melakukan berbagai kegiatan pengembangan maupun juga penelitian yang bertujuan untuk pengembangan dan pemanfaatannya untuk pengusahaan hasil hutan kayu. Kenyataannya hasil yang diperoleh atau direkomendasikan, jika dilakukan secara meluas sering terjadi kontradiktif yang justru menimbulkan dampak yang merugikan, bahkan menurunkan kualitas hutannya sendiri. Hal tersebut terjadi karena setiap kegiatan yang dilakukan dengan metodologi yang beragam (Ruiz Perez and Byron, 1999). Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Kegiatan-kegiatan pengusahaan hasil hutan bukan kayu dan pengembangannya secara umum memiliki keterbatasan karena tanpa memperhitungkan karakteristik biofisik lokasi kegiatan serta faktor-faktor yang sangat mungkin mempengaruhi dalam mencapai keberhasilan pengusahaan hasil hutan bukan kayu tersebut (Godoy et al., 1993). Dengan keterbatasan sifat hasil hutan kayu tersebut di atas, saran, kesimpulan ataupun rekomendasi dari hasil suatu penelitian umumnya bersifat spesifik pada lokasi dan keadaan di tempat penelitian itu dilakukan dan sering berbeda jika di aplikasikan secara meluas. Pengembangan pengusahaan hasil hutan bukan kayu, sebenarnya masalah pelestarian masih belum sepenuhnya dipahami. Jika pengusahaan dilakukan terus secara kontinyu, belum tentu memberi nilai tambah dan manfaat bagi masyarakat di tempat itu (Martono, 2010). Untuk itu masih diperlukan suatu pendekatan lagi yang dipadukan dengan suatu kegiatan secara holistik menyeluruh segala aspek perlu dikaji yang lebih mendalam. II. KONDISI PENGUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SAAT INI Permasalahan dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu diantaranya yaitu : 1. Regulasi dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu masih terbatas, belum dapat menjangkau untuk setiap komoditas yang akan diatur dalam regulasinya karena keterbatasan sumber informasi penyebaran, potensi, dan teknologi tepat guna dalam pemanfaatannya. 2. Informasi potensi dan kelayakan usaha belum memadai, belum cukup data pendukung untuk regulasi. Jaringan pasar komersial untuk menyerap hasil produksi belum tersedia dan pelaku usaha masih tidak jelas selalu berubah.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
3. Belum optimalnya peran kelembagaan untuk mendorong pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. 4. Dukungan teknologi pengolahan, teknik budidaya dan rantai pemasaran hasil hutan bukan kayu belum memadai serta keterbatasan sumber daya manusia yang mengelolanya. 5. Standarisasi produk masih belum memadai, teknologi pada setiap komoditas bervariasi sehingga peningkatan kualitas untuk setiap komoditas perlakuannya berbeda yang menyulitkan tenaga pembinaan lapangan pada industri primernya. 6. Dalam meningkatkan pengembangan usaha komoditas hasil hutan bukan kayu akses permodalan yang sulit, tingkat teknologi pengolahan di lokasi yang terpencil sering kesulitan mendapatkan sarana penunjang dalam penerapan teknologinya, untuk membantu akses pemasaran dan pembinaan pada daerah yang menyebar luas dan terpisah pisah karena kondisi geografis sulit dilakukan. Berbagai tipologi pengusahaan hasil hutan bukan kayu selalu berbeda sehingga penerapan regulasi, pembinaan, akses bantuan kelembagaan sering terkendala masalah geografis dukungan sarana tranportasi yang masih sangat minim menyebabkan tersendatnya untuk mengembagkan. Unggulan komoditas hasil hutan bukan kayu dari suatu daerah belum tentu akan berhasil jika diterapkan pengusahaan untuk daerah lain, hal ini sangat terkait masalah dukungan berbagai faktor yang juga mempengaruhi selain sumber daya manusianya sendiri. Demikian juga sarana transportasi untuk aktifitas produksi dan pemasarannya. Pada setiap komoditas hasil hutan bukan kayu sistem produksinya mempunyai karakter yang berbeda diantara jenis hasil hutan bukan kayu (misal masoi, kulit kulilawan, pakanangi, damar mata kucing, nilam, kenanga, madu) sehingga penetapan regulasi serta pembinaannya juga tidak sama, hal ini sering masyarakat melihatnya bahwa aturannya tidak jelas atau berubah-ubah yang menyebabkan lambatnya pengembangan. Pada komoditas pertanaman yang menghasilkan resin, minyak atsiri, rempahrempah, minyak lemak keadaannya juga sama, pengaturan penerapan perizinan pemungutan terutama yang berasal dari hutan perlu dikaji untuk setiap daerah (Martono, 2010). Kondisi sosial ekonomi suatu daerah yang terkait dengan budaya adat setempat dalam penerapan untuk pengusahaan hasil hutan bukan kayu, regulasi dan pembinaannya tidak dapat disamakan secara merata sama (general), hal tersebut sering menimbulkan kasus yang hubungan antar masyarakat menjadi tidak sinergis. Kondisi ini dalam penetapan kebijakan harus perlu dikaji untuk mendapatkan solusi yang lebih baik, sebagai contoh pengusahaan pemungutan damar mata kucing di daerah Krui Lampung tidak sama dalam penerapan di Sumatera Utara atau Kalimantan Barat, karena di Krui kelembagaan antar pemangku kegiatan sudah tertata dan rantai 3
pemasaran stabil. Keadaan tersebut pada beberapa aspek secara umum untuk setiap komoditas hasil hutan bukan kayu mempunyai karakteristik yang berbeda, menjadikan hambatan dalam pengembangan. Nilai tambah dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu masih rendah karena masyarakat hanya memungut atau memproduksi masih bersifat bahan mentah, belum mengalami pengolahan lanjutan yang dapat langsung diperlukan konsumen akhir. Hal ini terlihat seolah-olah tidak memberi kontribusi masyarakat yang mengusahakan untuk meningkatkan pendapatan. III. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU
pemasaran hasil hutan baukan kayu yang belum diolah ke pasar dalam negeri sebagai bahan baku untuk komoditi yang bersifat komersial. d. Peraturan Pemerintah No 59 / 1998 : bahwa pengenaan tarif untuk hasil hutan bukan kayu dimasukkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan, sedangkan besarnya patokan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) diatur pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag No. 08/ M-DAG/PER/2/2007).
Dalam pengusahaan hasil hutan bukan kayu telah diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, secara tertulis bahwa pengusahaannya jelas dalam pengaturan pemungutan, baik pada berbagai kondisi dan tipe hutan sumber penghasil hasil hutan baukan kayu yaitu tertuang pada : 1. Pasal 26 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang berasal dari dalam kawasan hutan lindung, langkah dan pengaturan pemanfaatan yang dijinkan. 2. Pasal 27 : berisi tata aturan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan ataupun dalam koperasi. 3. Pasal 28 ayat 2 : berisi tata aturan dalam perijinan usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat juga dilakukan pada kawasan hutan produksi selain pemanfaatan kayunya.
Dalam pelaksanaan agar efektif pelayanannya, maka kepada Pemerintah Daerah diberi kewenangan mengatur, membina dan mengembangkannya. Dalam ijin usaha yang dimaksud pada Permenhut No 35/2008 (P.35/Menhut-II/2008) pengertian ijin usaha industri primer hasil hutan bukan kayu, adalah ijin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu, menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang ijin oleh pejabat yang berwenang. Atas dasar tenaga kerja yang terlibat dalam usaha ini dikelompokkan atas dasar skala usaha yaitu : Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala kecil jika tenaga kerja kurang dari 50 orang. Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala menengah jika tenaga kerja 50 s/d 100 orang Skala industri primer hasil hutan bukan kayu skala besar jika tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Dari aturan-aturan tersebut dalam pelaksanaan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 6 Tahun 2007 yang secara rinci menyebutkan : a. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 26 yaitu pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung,. Sedangkan pada pasal 43 pengaturan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam produksi dan pasal 44 pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada kawasan hutan tanaman yang dikelola. b. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 117 - 120 : berisi mengatur pengendalian dan pemasaran hasil hutan melalui penataan hasil hutan secara umum. Untuk penetapan jenis serta pengukuran volume ataupun berat dan jumlah dilakukan oleh petugas yang berwenang yaitu aparat kehutanan setempat yang ditunjuk dan diserahi kewenangan setelah mendapat sertifikasi sebagai penguji. Pengeluaran dokumen yang menerangkan dalam Surat Keterangan tentang Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) untuk mengiringi dalam dokumen pengangkutan material fisik atas dasar kesesuaian dari hasil pengukuran dan pengujian aparat yang ditunjuk. c. Peraturan Pemerintah No 6 /2007 pada pasal 121 : berisi mengatur, membina dan mengembangkan
Dalam pelaksanaan berusaha setiap pemegang ijin harus mempunyai Tanda Daftar Industri (TDI) yang penerbitannya di lakukan oleh pihak Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota), mekanismenya diserahkan pengaturan pihak pemerintah daerah setempat. Upaya pemberian ijin usaha sebagai pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, dalam pemberdayaan dan mensejahterakan, tumbuhkan kesadaran menyangkut untuk pemeliharaan kawasan hutan yang berada disekitar tempat tinggal. Selain itu, meningkatkan devisa dan terciptanya lapangan kerja, pemanfaatan hasil hutan kayu dilakukan secara optimal didukung kemajuannya agar pengembangan daerah juga sejalan dengan perkembangan usaha di tingkat pusat. Dalam kaitan pengembangan usaha hasil hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, tentunya perlu kejelasan pertelaan jenis-jenis tanaman hutan sebagai penghasil produk tersebut, agar dicapai kesepakatan bagi aparat di daerah dalam pemberian ijin usaha. Adapun jenis-jenis tanaman penghasil minyak atsiri disajikan pada tabel 1. Pada hakekatnya, pemanfaatan produk hasil hutan bukan kayu lain, misalnya kulit gemor untuk obat nyamuk,
4
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Tabel 1. Kelompok Tanaman Penghasil Minyak Atsiri (berdasar Permenhut 35) No
Nama Indonesia
Nama Latin
Produk
1.
Akar wangi
Andropogon aciculatus
Minyak akar wangi
2.
Cantigi
Gaulsharia fragantisisima
Minyak gandapura
3.
Cendana
Santalum album
Minyak cendana
4.
Cendana semut
Exocarpus latifolia
Minyak cendana
5.
Ekaliptus
Eucalyptus spp
Minyak ekaliptus
6
Gaharu
Aquilaria spp ; Gyrinops spp ; Gonystilus
Minyak gaharu
spp; Enkleia spp ; Actoxylon spp; Wkstromia spp 7
Kamper
Cinnamomum camphora
Minyak kamper
8.
Kayu manis
Cinnamomum burmanii ; C zeylanicum
Minyak kayu manis
9.
Kayu putih
Melaleuca cayuputi
Minyak kayu putih
10.
Kembang mas
Asclepias curassava
Minyak kembang mas
11.
Kenanga
Cananga odoratum
Minyak kenanga
12.
Keruing
Dipterocarpus sp
Minyak keruing
13.
Kilemo
Litsea cubeba
Minyak kilemo
14.
Lawang
Cinnamomum cullilawan
Minyak lawang
15.
Masohi
Cryptocarya masoi
Minyak masohi
16.
Pakanangi
Cinnamomum
Minyak pangi
17.
Sintok
Cinnamomum sintok
Minyak sintok
18.
Trawas, krangean
Litsea odorifera
Minyak trawas
19.
Tusam
Pinus merkusii
Terpentin
20.
Ylang-ylang
Cananga latifolia
Minyak ylang-ylang
getah penambal lambung perahu kayu, minyak lemak, minyak atsiri yang berasal dari tanaman hutan masih banyak lagi namun belum tergali dan teridentifikasi serta diperdagangkan secara luas, sehingga dalam pengembangan minyak atsiri selama ini terbatas dari usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat adat ataupun oleh masyarakat sekitar hutan, demikian juga madu serta minyak kayu putih, minyak lemak kemiri, minyak krangean lokal daerah. Sehingga pihak aparatur pemerintah hanya memfasilitasi serta mengarahkan untuk pengaturan kelestarian sumber daya alam agar tetap lestari. Sedangkan yang bersifat eksploratif masih dikembangkan, namun sejauh ini hanya terbatas pada kegiatan penelitian, belum dapat dilepas sebagai komoditas perdagangan bebas. Demikian juga potensi dan keragaman jenis masih banyak belum tergali secara optimal, karena keterbatasan sumber daya manusia yang menekuni bidang hasil hutan bukan kayu, hanya sedikit dan tersebar di beberapa daerah di propinsi. Sehingga jalinan komunikasi untuk saling berinteraksi dan
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
tukar informasi terkendala, untuk saling memajukan kegiatan pengembangan di bidang hasil hutan bukan kayu. IV. PENETAPAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN Untuk mengembangkan hasil hutan bukan kayu mengingat jenis komoditas sangat banyak mencapai ± 565 komoditas berdasar Permenhut P.35 /Menhut-II/2007, maka ditetapkan fokus pada jenis unggulan setiap daerah, penetapan jenis unggulan ini tentu didasari pertimbangan dan sumber informasi mengenai potensi, peluang untuk pengembangan serta pelaku usaha pada komoditas tersebut. Penetapan indikator ini didasarkan atas indikator dan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 21/Menhut-II/2009 yaitu berupa : 1. Aspek yang dinilai mencakup kriteria : ekonomi, kondisi biofisik dan lingkungan, kelembagaan, sosial dan teknologi yang tercurah dalam pengusahaannya, setiap kriteria diberi pembobotan, pembobotan meliputi : 5
2. Kriteria ekonomi diberi pembobotan cukup tinggi yaitu 35 %, mencakup nilai perdagangan ekspor, nilai perdagangan lokal, telah tersedia pasar internasional, sehingga berbagai kebijakan yang mendukungnya akan berdampak pada pemasukan devisa tinggi, maupun peningkatan perekonomian yang mencakup wilayah serta tenaga kerja dan pelaku usaha tersebar luas. 3. Pembobotan kriteria biofisik dan lingkungan sebesar 15%, meliputi jika komoditas ini diusahakan jaminan kelestarian biofisik terjaga dan lingkungan yang ada tetap mendukung jika nilai pembobotan ini rendah maka pemulihan ekosistemnya masih dapat teratasi. Terbaik jika masyarakat telah menbudidayakan diluar areal kawasan hutan. 4. Kriteria kelembagaan sebesar 20%, pembobotannya meliputi apakah alur tataniaga dan pelaku usahanya tetap, teridentifikasi secara jelas, sebagai bentuk badan usaha yang tetap sehingga dalam pembinaan ke pelaku usaha dapat berjalan lancar dan baik. 5. Pembobotan kriteria sosial 15%, mencakup bagaimana peranannya dalam tata kehidupan masyarakat memberi pengaruh terhadap lapangan pekerjaan, tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat serta tidak bertentangan dengan adat setempat . 6. Pembobotan kriteria teknologi 15%, mencakup nilai kegiatan untuk mengusahakan komoditas tersebut, teknologi yang tercurah dalam proses pengolahannya masih dapat terjangkau bagi pelaku usaha, baik kemampuan sumberdaya manusia maupun modal yang digunakan secara keseluruhan tidak lebih dari nilai 15%, artinya tidak mempengaruhi proses secara keseluruhan. 7. Atas dasar nilai-nilai pembobotan tersebut untuk setiap komoditas, diberikan nilai skoring, sehingga dapat ditetapkan jenis komoditas unggulan pada setiap provinsi, kabupaten / kota dan lokasi. Dalam pengembangannya sesuatu jenis komoditas dapat menjadi sentra jika unggulan ini memberikan manfaat dan peningkatan kemajuan perekonomian pada lokasi daerah penghasil hasil hutan kayu unggulan. Untuk pengembangan hasil hutan bukan kayu unggulan, dibentuk klaster-klaster agar pengembangan sarana dan infra struktur dan pembinaan lebih mudah dan terpantau terus. Pembentukan klaster ini oleh Kementerian Kehutanan telah ditetapkan sedikitnya memerlukan waktu 5 (lima ) tahun, dengan pengertian pada tahap I (3 tahun pertama) persiapan infra struktur, tahap II (tahun ke 4) tahapan produksi masal sesuatu komoditas di tempat tersebut dan tahap III (tahun ke 5) kegiatan pengembangan produksi dan inovasi-inovasi kemajuan produksi. Pembentukan klaster ini akan terbentuk sentra produksi, sehingga dapat dikembangkan one village one products (OVOP), misal sentra madu lebah di Sumbawa, sentra rotan di Katingan dan sentra bambu di Bangli serta sentra gaharu di Bangka Belitung. Dalam kaitan inilah peningkatan produksi dan kualitas dapat terfokus pada sentra tersebut. 6
V. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNTUK EKSPOR Pengembangan pertanaman yang menghasilkan minyak atsiri, resin, kulit kayu, getah maupun produk lainnya yang berasal dari tanaman hutan, tidak terlepas dengan program penetapan unggulan yaitu terkait dengan kriteria, agar segala program dapat saling terkait dan mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia, kelembagaan yang terkait dengan penerapan teknologi dan kelancaran berproduksi. Hal tersebut perlu didukung permodalan, sehingga nilai ekonomi yang telah ditetapkan dapat memberikan hasil dan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat ditempat penghasil. Akhirnya akan mampu berdaya saing, baik tingkat nasional maupun internasional (Martono, 2010). Selain itu, juga tidak terlepas keseimbangan dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu agar tetap lestari dan tetap memberikan nilai tambah. Peningkatkan diversifikasi produk lanjutan agar tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah saja. Namun sudah menjadi bahan antara atau dapat dipakai oleh konsumen, sehingga perlu memacu pengembangan variasi produk dari jenis unggulan. Kestabilan harga pasar agar lestari perlu menyeimbangkan pasokan dan kebutuhan. Mengingat selama ini produk hasil hutan bukan kayu yang berbasis tanaman hutan, jika pemungutan berlebih akan menurunkan harga jual. Pemikiran selama ini, secara umum ketersediaan di lapangan, orang beranggapan tinggal memungut, maka pihak aparat pemerintah setempatlah yang mengatur ijin pemungutan, peredaran dan pemasarannya. Dengan demikian, pemungutan akan terkendali, diikuti peningkatan dan fasilitasi budidaya, sehingga dibentuklah program pelatihan teknik budidaya, pelatihan pengolahan bahan baku yang lebih efisien dan tetap sesuai standar produk yang telah ditetapkan dalam Standard Nasional Indonesia (SNI), misal standar gaharu, standar gondorukem (terpentin), standar minyak kayu putih, standar madu, standar minyak gandapura dan lainnya. Pengembangan hasil hutan bukan kayu yang bebasis tanaman hutan, telah ditetapkan sesuai pengembangan kehutanan secara umum, yaitu landasan hukumnya mengikuti Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007, mengatur legalitas perhutanan sosial dalam kawasan hutan negara sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui Hutan Kemasyarakatn (HKm), Hutan Desa (HD) dan pola Kemitraan. Adapun kegiatan yang berkaitan dengan Hutan Kemasyarakatn mengikuti Peraturan Menteri Kehutanan No P.37/Menhut -II/2007 serta Peraturan Menteri Kehutanan pada Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009 dan Permenhut No. P 13/ Menhut-II/2010 yaitu dapat dilakukan pada kawasan hutan dan diluar kawasan, baik pada kawasan hutan produksi mapun kawasan yang dicadangkan sebagai zona penyangga.Pada kawasan taman nasional maupun pada kawasan hutan lindung, pemanfaatan untuk mengusahakan lahan yang diatur oleh pihak pemerintah daerah dengan tetap sesuai program dari pusat, yaitu tetap Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
DAFTAR PUSTAKA Arnold, J.E. and M, Ruiz Perez. 1998. The role of Non Timber Forest Products in conservation and development pp. 17-41 in Income from the forest Wolenberg, E. and A. Ingles (eds) CIFOR/IUCN Bogor Indonesia. Badan Pusat Statistik, 2004. Perkembangan ekspor minyak atsiri Indonesia 1999-2003. Jakarta. Bina Produksi Kehutanan, 2009. Kebijakan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Seminar Sosialisasi Pengusahaan Hasil Hutan Kayu. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran. Swiss Bell Hotel, Palu Juni 2009. Departemen Pertanian, 1999. Statistik Perkebunan Indonesia 1998-2000, Jakarta. menjaga fungsi, tidak berubah dari fungsi sebelumnya, dan ttap memperhatikan keterkaitan dengan masyarakat sekitar hutan tersebut. Sebagai pelaku usaha dapat membentuk koperasi maupun kelompok atau gabungan dari beberapa kelompok tani, yang mengusahakan diantara pertanaman pohon hutan (dapat berupa tumpang sari) asalkan pada areal tersebut belum terbebani izin pemanfaatan lain atau izin pengelolaan lain. Selain itu dapat dikembangkan sebagai Hutan Desa yaitu pada kawasan hutan yang kondisinya rusak tetapi dapat dimanfaatkan untuk pertanaman usaha budidaya tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu, justru bagi kelompok inilah yang diberi bantuan permodalan berupa kredit ringan dengan pengembalian berjangka sesuai lama pengusahaan. Hingga saat ini pihak pemerintah (Kementerian Kehutanan) telah mentargetkan sebesar 400.000 hektar namun baru terealisasi, setelah di evaluasi dan diverifikasi tahun 2010 seluas 203.573,18 Ha, pada 17 Provinsi, 46 kabupaten. Hingga tahun 2010 perluasan tanaman hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan telah ditetapkan berdasar SK Menhut seluas 31.879,36 ha meliputi 88 unit pada 11 kabupaten (Ditjen RLPS, 2010). Hal tersebut pada hakekatnya sebagai upaya pelaksanaan program komitmen RI di tingkat internasional, yaitu penurunan emisi sebesar 26% dan pihak Kementerian Kehutanan sebesar 14%, dalam bentuk pembangunan hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, hingga tahun 2014 target 2,5 juta hektar (Renstra Kementerian Kehutanan). Untuk pembangunan kegiatan ini telah ditetapkan dalam peraturan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, yaitu Perdirjen RLPS P.01/2010. Untuk mendukung program ini telah ditetapkan juga kebun bibit rakyat 50 ribu hektar dengan target tahun 2010 sebanyak 8.000 desa untuk dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Diharapkan dengan strategi tersebut pengembangan pertanaman penghasil hasil hutan bukan kayu berbasis tanaman hutan juga memacu pengembangan kehutanan secara umum dalam pengurangan emisi nasional.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Godoy, R. R.Lubowski and A.Markandya. 1993. A Method for the economic valuation of Non Timber Forest products. Econ.Bot.47 (3)220-233. Gunther, E. 1952. The Essential Oils, Vol. IV, Van Nastrand co, Inc. New York. Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48 .tentang Pembentukan Hutan Desa. Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 35. tentang penetapan jenis-jenis hasil hutan bukan kayu yang dapat diusahakan. Lembaran Negara, 2007. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. tentang Legalitas Pehutanan Sosial dalam Kawasan Hutan Negara. Lembaran Negara, 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. 37 tentang Pembentukan Hutan Kemasyarakatan. Martono,D. 2010. Pengembangan Industri Minyak Atsiri Berbasis Tanaman Hutan. Prosiding Konferensi Nasional Atsiri. Dewan Atsiri Indonesia, 21-24 Oktober 2010, Bandung. Odum, E.P. 1971.Fundamental of Ecology, 3'd Ed.W.B.Saunders Company San Fransisco pp. 128-137, 145-195. Rohadi, D. B. Belcher, M, Ruis Perez dan R, Achdiawan. 1999. Studi perbandingan kasus-kasus pengusahaan hasil hutan bukan kayu di Indonesia. Seminar Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kerja sama Luar Negeri. Badan Litbang kehutanan dan Perkebunan, Jakarta, 24-25 Nopember 1999.
7
Tajuk Utama
HHBK Minyak Lemak,
Potensi Yang Perlu DIKEMBANGKAN Oleh: Ary Widiyanto dan Mohamad Siarudin Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis Email:
[email protected]
D
engan makin terbatasnya jumlah dan izin eksploitasi kayu, maka produk-produk non kayu terus coba dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Dalam perkembangannya, beberapa produkproduk non kayu, atau lebih dikenal sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termyata memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Diantaranya adalah gaharu, damar, rotan, tengkawang, kemiri, kluwek (picung) dan nyamplung. Keluanya Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) telah menjadi payung dalam kegiatan penelitian dan pengembangan HHBK di Indonesia. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan tersebut, HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Salah satu HHBK yang potensial untuk dikembangkan berdasarkan Kepmenhut tersebut adalah HHBK minyak lemak. Secara keseluruahn ada 19 produk hasil hutan hutan yang menghasil minyak lemak dalam Kepmenhut tersebut dengan berbagai fungsinya. Secara garis besar, pemanfaatan minyak lemak tersebut terbagi menjadi lima kategori utama, yaitu sebagai bahan makanan, obat, energi, kosmetik dan material lainnya. Berdasarkan bagian tumbuhan yang diambil, terdiri dari tiga bagian utama, yaitu biji, buah dan daun. Berikut adalah 19 jenis HHBK penghasil minyak lemak beserta kegunaannya. 1. BALAM ( Palaquium walsurifolium ), Famili: Sapotaceae Balam adalah jenis tumbuhan langka asli Indonesia yang tersebar di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan Timur. Jenis ini dikenal dengan banyak nama, yaitu Balam, Suntai, Balam Putih, dan Balam Suntai. Tumbuhan ini di Pulau Kalimantan dikenal sebagai Beitis, Margetahan, Nyato, Nyatoh, Nyatoh Jangkar. Nama Nyatoh juga digunakan untuk menyebut jenis ini di Malaysia. Balam adalah salah satu jenis langka yang dilindungi sejak tahun 1972 (berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 54/Kpts/Um/2/1972). Jenis yang 8
memiliki kayu bernilai ekonomi tinggi ini belum dibudidayakan oleh masyarakat, dan tidak termasuk dalam jenis yang dikembangkan melalui hutan tanaman. Biji balam mengandung minyak lemak 30-45 % tergantung dari teknik pengolahannya. Lemak dari biji balam memiliki rasa pahit sehingga tidak digunakan untuk makanan. Masyarakat tradisional di Bengkalis memanfaatkan lemak ini sebagai bahan bakar obor. Pemanfaatan lain dari jenis balam adalah sebagai bahan baku kayu pertukangan. Kayu balam termasuk jenis komersil yang memiliki kualitas yang baik dengan kelas awet IV dan kelas kuat II.
BALAM
2. BINTARO (Cerbera manghas). Famili: Apocynaceae Bintaro tersebar secara alami di daerah tropis Indo Pasifik, mulai dari Seychelles hingga Polinesia Perancis. Jenis ini memiliki beberapa nama ilmiah lain selain Cerbera manghas, yaitu Cerbera venenifera, Tanghinia venenifera, dan Odollamia manghas (L.) Raf. Sylva Telluriana. Di Indonesia, bintaro tersebar di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Jenis ini juga dikenal dengan berbagai nama daerah antara lain Kanyeri Putih (Bali), Bilutasi (Timor), Wabo (Ambon), Goro-goro guwae (Ternate), Madangkapo (Minangkabau), Bintan (Melayu), Lambuto (Makasar) dan Goro-goro (Manado). Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
BINTARO
Biji bintaro mengandung minyak dengan kadar yang cukup tinggi yaitu mencapai 54,33%. Kandungan minyak tersebut merupakan potensi yang cukup baik untuk dikembangan sebagai bahan biodiesel. Setiap 1 kg minyak Bintaro dapat dihasilkan dari 2,9 kg biji bintaro yang didapat dari 36,4 kg buah bintaro tua. Selain itu, cangkang pada buah bintaro juga dapat dikembangkan sebagai briket arang. Cangkang pada buah bintaro yang dapat dimanfaatkan sebagai briket arang ini dapat berasal dari buah muda maupun tua. Setelah cangkang di jemur, kemudian dikarbonisasi serta ditumbuk agar menjadi serbuk. Serbuk arang ini dikompaksi untuk menjadi briket dengan menambahkan perekat. Buah bintaro tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan karena mangandung racun. Nama cerberra pada nama latin jenis ini berkaitan dengan kandungan cerberin pada daun, bunga dan buahnya, yaitu suatu glikosida yang merupakan racun yang mempengaruhi kinerja jantung dan bahkan menyebabkan kematian. Oleh karenanya buah bintaro sering digunakan secara tradisional sebagai bahan racun untuk berburu. Pemanfaatan buah bintaro disarankan untuk dilakukan pada buah tua untuk mengurangi efek racun dari getahnya. Pohon bintaro yang sudah dewasa dapat menghasilkan 300 kg buah setiap tahun. Berat biji bintaro sekitar 79,7 gram dari setiap kilogram buah bintaro tua. Sejauh ini pemanfaatan buah bintaro masih dalam pengembangan dan belum diketahui potensi produksi buah bintaro di Indonesia. 3. BUAH MERAH (Pandanus conoideus), Famili: Pandanaceae Buah merah dikenal sebagai tanaman yang banyak tersebar di Papua dan Papua Nugini. Persebarannya di Papua meliputi daerah Baliem Wamena, Talikora, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Jayapura, Sorong dan Manokwari. Tanaman ini di Wamena dikenal dengan nama Sauk Eken atau Kuansu dan di Lembah Baliem disebut Tawi. Buah merah saat ini telah dikembangkan di beberapa
BUAH MERAH
KEMIRI
wilayah di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatera. Bagian daging biji buah merah dapat menghasilkan minyak lemak hingga 51% per berat kering kernel. Pada 3 jenis buah merah yang unggul, yaitu Mbarugum, Maler dan Magari, ekstrak minyak yang dihasilkan cukup tinggi dengan rata-rata 120 ml/kg buah atau rendemen minyak 15%. Berdasarkan produktifitasnya, ketiga jenis buah merah unggul ini dapat memproduksi 5-10 butir buah per rumpun, dengan ukuran buah cukup besar yaitu diameter 10-15 cm dan panjang 60-110 cm. Buah merah dapat memproduksi buah mulai 3-5 tahun dengan umur buah sampai panen 3-4 bulan. Ekstrak buah merah dapat dimanfaatkan sebagai obat, makanan suplemen dan bahan material. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli kesehatan dan gizi menunjukkan bahwa ekstrak buah merah mengandung antioksidan dan senyawa lain penangkal terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Minyak buah merah terbukti secara medis dapat mengobati beberapa penyakit seperti kanker, HIV, malaria, kolesterol dan diabetes. Selain itu minyak buah merah juga dapat dimanfaatkan sebagai penyedap masakan yang bernilai gizi tinggi (mengandung beta-karoten), serta dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang tidak mengandung logam berat dan mikoroorganisme yang berbahaya. Ekstraksi minyak pada buah merah dapat dilakukan dengan teknik sederhana, yaitu dengan menumbuk biji atau menggunakan alat tekan. Sebelumnya biji buah merah dipisahkan dari empulurnya. Bagian daging biji buah merah inilah yang mengandung minyak. Daging biji buah merah setelah ditumbuk diberi air secukupnya kemudian disaring dan dimasak. Selama proses pemasakan, dilakukan pengadukan dan penambahan air. Minyak akan terbentuk setelah air mendidih, selanjutnya dilakukan penyaringan 3-4 kali hingga didapatkan minyak yang bersih. 4. CROTON (Croton argyratus), Famili: Euphorbiaceae Croton merupakan salah satu tanaman yang dikenal di wilayah bagian barat Indonesia. Di pulau Jawa, jenis ini umumnya ditemukan di daerah pegunungan rendah. Croton juga dikenal dengan beberapa nama daerah seperti “Jarakan” (Banjarmasin), “Kayu Bulan” (Palembang), “Ki Jahe”, “Calik Angin” (Sunda), “Prakosa”, “Tapen”, “Walik Angin” (Jawa), dan “Pas-kapasan” (Madura).
KENARI
KETAPANG
KELOR
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
9
Masyarakat Banten pada jaman dulu menggunakan biji croton untuk minyak lampu. Kayu croton memiliki kualitas yang rendah, tetapi masyarakat kadang menggunakan untuk kontruksi ringan pada bangunan rumah. 5. KELOR (Moringa oleifera), Famili: Moringaceae Kelor merupakan tanaman yang disebut berhabitat asli di bagian barat Himalaya. Tanaman ini banyak dibudidayakan di daerah-daerah panas di seluruh dunia. Di Indonesia, tanaman ini banyak dijumpai di Aceh, Kalimantan, Ujung Pandang dan Kupang. Pohon kelor mulai berbuah pada umur 1 tahun setalh penanaman. Pohon yang berumur 3 tahun dapat menghasilkan 400-600 polong setiap tahunnya. Pohon dewasa dapat menghasilkan 1600 polong per tahun. Sementara itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar minyak yang dihasilkan biji kelor mencapai lebih dari 35 %. Minyak lemak kelor memiliki potensi sebagai bahan bakar nabati. Rendemen minyak kelor berkisar antara 21,38% sampai dengan 35,83%. Analisis pada minyak biji kelor ini menunjukkan berat jenis sebesar 0,89-0,91 gr/ml, kandungan asam lemak bebas (%FFA) 2,07-4,78%, nilai angka penyabunan 8,56-107,54 mgKOH/g, bilangan asam 0,040-0,095 mgKOH/g, dan viskositas 29,36-54,99 cst. Manfaat lain dari biji kelor adalah sebagai bahan penjernih air. Biji kelor yang ditumbuk menjadi serbuk dapat dimanfaatkan untuk koagulan alami dalam pengolahan air bersih. Biji kelor dengan dosis 6 biji/Liter dapat menurunkan kekeruhan hingga 90,46 % dan menurunkan jumlah bakteri Coliform hingga 87,65%. Sementara itu bagian akar, batang, buah dan daun dikenal memiliki gizi tinggi dan menjadi sumber pangan alternatif. Daun kelor adalah salah satu bagian tanaman yang biasa dikonsumsi masyarakat sebagai lalapan. Setiap 100 gram daun kelor mengandung 3390 SI vitamin A (2 kali lebih tinggi dari kandungan vitamin A pada bayam, dan 30 kali lebih tinggi dari buncis). Daun kelor juga mengandung kalsium 440mg/100g dan fosfor 70mg/100g. 6. KEMIRI (Aleurites moluccana), Famili: Euphorbiaceae Kemiri merupakan tanaman yang secara alami tersebar di Asia Tenggara, Polinesia, Asia Selatan dan Brazil. Di Indonesia tanaman ini tersebar hamper di seluruh daerah mulai Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku, Nusa tenggara Timur, dan Papua. Nama Kemiri dikenal untuk
MAKADAMIA
menyebut tanaman ini oleh masyarakat suku Jawa dan Melayu, yang kemudian sebutan ini lebih banyak digunakan secara nasional. Namun demikian, tanaman ini memiliki beberapa nama lokal seperti Kameri (Bali), Anoi (Papua), Keminting (Kalimantan), Engas (Ambon), Sakete (Ternate), Hagi (Buru), Kereh (Aceh), Hambiri (Batak), Kemling (Lampung), Buah Koreh (Minangkabau) dan Sapiri (Makasar). Inti biji kemiri mengandung minyak dengan kadar mencapai 60%. Setiap pohon kemiri dapat memproduksi 30-80 kg biji kemiri. Minyak biji kemiri ini dikenal sebagai candlenut oil dalam perdagangan internasional. Minyak kemiri dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan kayu, bahan cat dan pernis, pelapis kertas, dan bahan sabun. Selain potensi minyak lemak, pohon kemiri yang memiliki umur produktif mencapai 25-40 tahun ini mempunyai beragam kegunaan pada hampir semua bagian pohonnya. Kayunya yang cukup ringan, berserat halus dan berwarna putih dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, bahan baku pembuatan plywood, peti kemas, korek api dan pulp. Daunnya digunakan oleh masyarakat di Sumatera untuk obat sakit kepala dan gonnorhea. Masyarakat Ambon dan Jawa menggunakan korteknya (bagian tumbuhan yang terletak antara kulit luar dengan silinder pusat) sebagai obat anti tumor, diare, sariawan dan desentri. Buah kemiri dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai bumbu masak yang memiliki kandungan gizi dan minyak yang tinggi. Daging biji, daun dan akar kemiri mengandung saponin, flavonida dan polifenol. 7. KENARI (Canarium odoratum), Famili: Burseraceae Kenari merupakan tanaman buah tropis yang tumbuh di wilayah Asia Tenggara terutama Indonesia, Malaysia dan Philipina. Di Indonesia, pohon kenari banyak terdapat di Maluku, juga di beberapa daerah lain seperti Kangean, Bawean, Flores, Timor, Wetar, Tanimbar, Sulawesi. Kenari terdapat juga di beberapa kota seperti Bogor, Medan dan Mataram yang ditanam sebagai pohon peneduh di pinggir jalan. Satu pohon kenari dewasa dapat menghasilkan 50 kg biji per tahun. Biji kenari pada umumnya mengandung 6070% minyak, tergantung pada varietas, tempat tumbuh dan pemeliharaan yang dilakukan. Keping biji (kotiledon) kenari sekitar 4,1 - 16,66% dari berat buah utuh. Kotiledon tersebut selain mengandung 60-70% lemak, juga mengandung sekitar 8 % karbohidrat dan 11,5-13,9%
NYAMPLUNG PICUNG DAUN BIJI
10
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
SAGA POHON
LENA
NYATOH
protein. Pohon kenari mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang memiliki berat jenis 0,55 dan termasuk dalam kelas kekuatan III dan kelas keawetan IV dapat digunakan untuk papan, bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai dan papan dinding. Kulit batangnya mengeluarkan getah/resin seperti damar jika diiris. Getah berwarna putih pada awalnya, kemudian seperti lilin yang berwarna kuning pucat dan bertekstur lunak. Minyak resin beraroma wangi dan dapat dimanfaatkan untuk industri parfum atau pewangi sabun meskipun hingga saat ini belum dilakukan dalam skala luas. Minyak resin juga dapat dimanfaatkan untuk pembersih rambut, bahan pembuatan dupa, serta obat gosok untuk mengobati gatal-gatal. Pemanfaatan getah/gum kenari yang lebih dikenal adalah untuk bahan plaster farmasi daan salep serta memberikan sifat mantap dalam vanish. Manfaat lain yang cukup potensial dari jenis kenari adalah pada bagian biji. Biji kenari mengandung asam alpha-linolenic (ALA) yang merupakan salah satu tipe asam lemak omega 3. Kandungan ALA dalam kenari lebih tinggi dibanding sumber yang lainnya seperti kedelai, biji rami, ikan laut dan beberapa sayuran hijau. Selain itu, biji kenari juga mengandung zat anti peradangan (polifenol) yang lebih tinggi daripada anggur merah, serta kaya protein dbandingkan protein yang dikandung daging ayam. Mengkonsumsi biji kenari diyakini dapat mencegah kanker prostat, memperlambat dan menghentikan pertumbuhan tumor, meningkatkan kinerja arteri, mengurangi kolesterol buruk, meningkatkan pertumbuhan otot dan imunitas tubuh, serta mengoptimalkan fungsi sel-sel otak. 8. K E TA PA N G ( Te r m i n a l i a c a t a p p a ) , Fa m i l i : Combretaceae Ketapang dikenal sebagai tumbuhan asli Asia Tenggara termasuk Indonesia, namun tanaman ini telah dikembangkan di Australia Utara, Polinesia, Pakistan, India, Afrika Timur dan Barat, Madagaskar dan dataran rendah Amerika Selatan dan Tengah. Di Indonesia, tanaman ini tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia kecuali di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan yang jarang ditemukan di alam. Beberapa nama lokal tanaman ini yang dikenal antara lain Hatapang (Batak), Katafa (Nias), Katapieng (Minangkabau), Lahapang (Simeulue), Ketapas (Timor), Atapan (Bugis), Talisei, Tarisei, Salrise (Sulawesi Utara), Tiliso, Tiliho, Ngusu (Maluku Utara), Sarisa, Sirisa, Sirisal, Sarisalo (Maluku), Lisa (Rote), dan Kalis, Kris (Papua). Biji ketapang dapat mengandung minyak dan dapat dimakan. Biji ketapang memiliki rasa yang mirip dengan biji almond dan berpotensi untuk mengganti biji almond untuk bahan makanan kue. Biji ketapang mengandung minyak sekitar 50% dari bobot biji kering. Minyak dari biji ketapang berwarna kuning, mengandung asam-asam lemak seperti palmitat (55,5%), asam oleat (23,3%), asam linoleat, asam stearat, asam miristat, serta berbagai macam asam amino.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Bagian lain dari pohon ketapang juga memiliki manfaat yang beragam. Kayunya keras dan ulet, ringan sampai sedang dengan berat jenis berkisar antara 0,47-0,68 dan sering dimanfaatkan sebagai bahan lantai atau vinir. Di Indonesia, kayu ketapang digunakan oleh masyarakat pesisir sebagai bahan pembuatan perahu. Kulit batang dan daun ketapang dapat dimanfaatkan sebagai penyamak kulit dan pewarna alami. Daunnya dapat digunakan sebagai obat rematik. Kulit batang dan daun mengandung tannin yang dapat dimanfaatkan sebagai astrigen pada disentri dan sariawan, sebagai diuretic dan kardiotonik dan juga sebagai obat luar pada erupsi kulit. 9. KETIAU (Ganua motleyana), Famili: Sapotaceae Ketiau tumbuh secara alami di Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia jenis ini disebut Nyatoh Katiau, sedang di Indonesia disebut Ketiau. Di Indonesia, setidaknya ketiau telah dikenal keberadaannya di bagian Barat Nusantara, terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Biji ketiau dengan berat rata-rata 0,34 g terdiri dari 68% inti dan mengandung minyak 51,3%. Minyak ketiau ini memiliki aroma yang kuat dan memiliki rasa seperti mentega dan telah lama dimanfaatkan masyarakat Banjarmasin sebagai bahan makanan. Ketiau yang berasal dari Banjarmasin telah dikenal produk getahnya dalam perdagangan Internasional sejak tahun 1910. Getah ketiau yang berasal dari Banjarmasin dilaporkan mengandung 16,27% gutta, 75,43% damar dan 8,3% air. Pohon ketiau setinggi 20 m dengan diameter batang 55 cm dapat menghasilkan getah sekitar 2 kg, yang diambil pada bagian kulitnya. Di Hutan-hutan pedalaman Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, getah ini dikenal dengan istilah “getah nyatu”, yang merupakan bahan baku berbagai kerajinan. Kayu ketiau berwarna coklat kekuningan atau kemerahan, dengan serat kasar tapi mudah dikerjakan. Masyarakat biasanya memanfaatkan kayu ketiau sebagai bahan bangunan yang terlindung di bawah atap. 10. LENA (Sasanum orientale), Famili: Pedaliaceae Lena tumbuh di daerah tropis seluruh dunia dan daerah lain seperti Lautan Tengah, negara-negara bagian Amerika Serikat sebelah selatan dan di Mansyuria. Di Indonesia, jenis ini telah diperdagangkan sejak lama di daerah Jawa, Madura, dan Sulawesi Selatan. Tanaman ini lebih dikenal sebagai tanaman Wijen dalam perdagangan. Tanaman lena dikenal sebagai penghasil biji wijen yang dapat dipanen setelah kira-kira berumur 5 bulan. Produksi biji wijen dilaporkan beragam dengan rata-rata sekitar 7 2 pikul per bahu (1 bahu = 7000 m ). Pengembangan varietas unggul jenis wijen terus dilakukan untuk meningkatkan produktifitasnya. Sebagai gambaran, salah satu varietas unggul wijen (Sumberrejo I) memiliki potensi produksi 11,6 ton/ha dengan kadar minyak 56,10% dan didapat pada umur panen 90-110 hari. Biji wijen dari tanaman lena paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Jenis ini dikenal 11
sebagai sumber minyak nabati dengan kandungan minyak 35-63%, protein 20%, 7 jenis asam amino, lemak jenuh 14%, lemak tak jenuh 85,8%, fosfor, kalium, kalsium, natrium, besi, vitamin B dan E, antioksidan dan alanin atau lignin. Biji wijen ini dipercaya dapat memulihkan stamina badan yang lemah setelah sakit. Selain itu masyarakat juga memanfaatkan rebusan biji wijen untuk mengobati sakit batuk. Sementara itu bagian daun dapat dimanfaatkan untuk obat sakit kepala dan demam dengan cara digiling dan ditempelkan pada dahi. Minyak yang dihasilkan dari biji wijen dapat dimanfaatkan untuk minyak salada, minyak goreng, dan minyak rambut (setelah dicampur dengan minyak aromatic), minyak lampu dan bahan pembuatan sabun. Minyak wijen juga dapat dimanfaatkan untuk obat gosok untuk menyembuhkan encok. Selain itu, minyak wijen dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri plastik, margarin, sabun, kosmetik dan pestisida. 11. MAKADAMIA (Macadamia sp.), Famili: Proteaceae Makadamia (Macadamia sp.) berasal dari Australia, Kaledonia Baru dan Indonesia. Di Australia ditemukan lima spesies yaitu M. hejana, M. whalani, M. ternifolia, M. tetraphylla dan M. pracalta, tiga spesies berasal dari kaledonia baru (M. rousellii, M. vinilardii dan M. francii) serta satu spesies dari Indonesia, yaitu M. hildebrandii. Di Indonesia, makadamia banya terdapat di daerah Sulawesi Tengah danSumatera Utara, dan dikenal sebagai “buah tahan api”. Di Sulawesi, makadamia dikenal dengan banyak nama yaitu perande, tinapu, kayu balomatoa, dan kanjole. Dalam keadaan baik, pohon dewasa dapat menghasilkan 136,36 kg biji/tahun dan dalam keadaan kurang,, misalnya akibat cuaca berangin sehingga banyak bunga yang rusak hanya dapat menghasilkan antara 22,73 90,91 kg biji/tahun. Minyak makadamia merupakan bahan makanan yang banyak digunakan dalam industri makanan karena memiliki nilai gizi yang baik dengan kadar protein tinggi. Berkat rasanya yang manis, lembut dan berlemak, makadamia biasa dimanfaatkan sebagai campuran sajian penutup (dessert). Minyak makadamia juga digunakan secara langsung dengan cara memercikkannya di atas hidangan ikan atau sayuran. Kacang makadamia mempunyai kandungan lemak sehat 70% dan protein 8%. Kacang makadamia mengandung pati, kalsium, zat besi, fosfor, magenesium, dan tiamin. Minyak makadamia sering digunakan sebagai penunjang terapi alami pemulihan kacanduan alkohol, pemulihan gangguan hati/liver, mengatasi gangguan anemia dan membersihkan saluran pembuluh nadi jantung. Hasil studi menunjukan, mengonsumsi sekitar 40 gr kacang makadamia (setara 305 kalori), dapat menurunkan kolesterol jahat (LDL) hingga 9% dalam waktu 5 minggu. 12. MIMBA (Azadirachta indica), Famili: Meliaceae Mimba (Azadirachta indica) tumbuh alami di berbagai daerah di Indonesia dan telah dibudidayakan, khususnya di 12
MIMBA
Jawa dan Bali. Mimba memiliki nama, yaitu: mimba (jawa), membha, mempheuh (madura), mimba, intharan (bali). Di Inggris dan Belanda, mimba dikenal dengan nama Margosier, margosa tree. Pada pembuahan pertama, tanaman menghasilkan 9 kg buah/pohon, kemudian tahun-tahun berikutnya meningkat menjadi 30 - 50 kg buah/pohon. Dari 30 kg buah mimba, dapat diperoleh 6 kg minyak mimba dan 24 kg bahan kering, atau rendemen minyak sebesar 20%. Di India, dari sekitar 14 miliar pohon mimba dapat dihasilkan 3.000 ton minyak mimba dan 330.000 ton bahan kering per tahun. Minyak dari biji mimba bisa digunakan sebagai obat penyakit kulit. Jumlah minyak dari biji mimba diperkirakan separuh dari berat bijinya. Minyak yang dihasilkan berupa cairan yang tidak mengering berwarna kuning tua, berbau kurang enak seperti bawang putih dan berasa pahit dan di eropa dikenal sebagai minyak margosa. Minyak ini jika didiamkan agak lama akan terpisah sedikit lemak padat. Kegunaan minyak ekstrak dari biji mimba adalah sebagai obat luar untuk mengobati penyakit kulit, juga sebagai salah satu bahan baku pembuatan sabun kesehatan, karena minyak ini mengandung kadar belerang sebesar 0,4%. Meskipun demikian jarang digunakan dalam industri sabun karena proses ekstraksinya yang cukup lama, disamping bau yang ditimbulkan tidak enak sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan polusi udara. Pohon mimba mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang keras diolah menjadi komponen bahan bangunan dan perabot rumah tangga. Rebusan kulit batangnya menjadii obat demam. Getah dari kulit mimba, yang berbentuk gumpalan-gumpalan bening berwarna coklat muda berfungsi sebagai obat penyakit lambung dan banyak digunakan sebagai perekat. Daunnya sangat pahit tapi bisa digunakan sebagai makan ternak. Selain itu rebusan daun mimba ini dapat digunakan sebagai pembangkit selera makan dan obat malaria dan jika dimasak bersama beras dapat diolah menjadi bubur yang menyehatkan Ekstrak daun mimba biasa digunakan sebagai campuran pestisida alami untuk mengawetkan kayu. 13. NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum), Famili: Guttiferaceae Pohon nyamplung tumbuh di Asia Tenggara, India, Afrika, Australia Utara, Quessland Utara dan negara lainnya. Di Indonesia pohon nyamplung tumbuh alami di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera, Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pohon ini Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
memiliki banyak nama daerah, yaitu: bintangur (Sumatera), nyamplung, soulatri (Jawa), bentangur (Kalimantan), bintula (Sulawesi), pataule, bitaur (Maluku), bentango, samplong (NTT). Biji Nyamplung segar mengandung minyak sekitar 40 55%, sedang pada biji kering kandungan minyaknya 70 73%. Bahan aktif yang terkandung pada biji adalah Inophylum A-E, Calophylloide dan Asid calophynic. Kandungan lain dalam jumlah kecil antara lain, 7beksahidro-1, 6 dimetil-4 (1-metilletil) naftalin, cubebene, selinene, calerene, farnesene, scadinene, bourbonene, zingiberene, copaene, murelene, sesquiphellandrene, octadecanal, heksadecane, farmesol. Berat jenis 0,941 0,945; angka iodium 82 - 98; angka penyabunan 192 - 202, titik leleh 8°C. Komposisi asam lemak (%-b) : oleat 48 - 53, linoleat 15 - 24, palmitat 5 - 18, stearat 6 - 12. Minyak nyamplung berwarna hijau gelap atau kuning kebiru-biruan. Minyak Nyamplung dinamakan juga minyak tamanu (Tahiti), minyak undi (India), minyak domba (Afrika). Minyak nyamplung mentah mengandung komponen yang aktif mempercepat kesembuhan luka atau pertumbuhan kulit (cicatrization) dan obat kurap. Selain itu, minyak sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alami atau biodiesel. Pemanfaatan lain dari pohon nyamplung adalah kayunya yang termasuk kayu komersial yang dapat digunakan untuk perkapalan, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan kontruksi ringan. 14. NYATOH (Palaquium javense), Famili: Sapotaceae Nyatoh (Palaquium javense) merupakan tanaman yang tumbuh di banyak tempat di Indonesia. Nyatoh ditanam oleh masyarakat di berbagai daerah, khususnya Jawa, Kalimantan dan Bali. Pohon ini memiliki nama, yaitu; kawang, nyatu (jawa), nyatoh (madura), klesi (bali). Minyak nyatoh bisa digunakan untuk berbagai keperluan seperti memasak dan bahan bakar lampu minyak untuk penerangan. Pohon nyatoh mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang cukup keras banyak
SUNTAI POHON
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
digunakan sebagai bahan pembuat gamelan dan perkakas rumah tangga yang cukup bagus. Bijinya bisa menghasilkan minyak yang dapat diperoleh dengan cara memasak/merebus bijinya. 15. PICUNG (Pangium edule), Famili: Flacourtiaceae Picung (Pangium edule) adalah tanaman buah yang tumbuh di banyak negara tropis khususnya Malaysia dan Indonesia. Nama lain picung adalah kepayang (Indonesia) dan pangi (Malaysia). Di Indonesia, picung ditanam oleh masyarakat di berbagai daerah mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Nama daerah untuk tanaman ini adalah: pangi, hapesong (Sumut), pucung (Jakarta), kapayang, kapeunceung, kapecong, simaung (Sumbar), kayu tuba buah (Lampung), pacung, picung (Jabar), pakem, pucung (Jatim/Jateng), pakem (Madura), pangi (Bali), kalowa (NTB/Sulsel). Pohon ini baru berbuah setelah berumur 15 tahun dan jatuh pada awal musim hujan dengan jumlah rata-rata diatas 300 buah/pohon. Biji picung dapat mengeluarkan minyak, dengan cara direbus dalam air selama 2-3 jam kemudian dikupas dan dibuang noda-noda hitam yang ada di bagian inti biji. Kemudian initi biji yang sudah bersih direndam dalam air selam 24 jam. Setelah jemur inti biji sampai mengeluarkan minyak jika dipijit. Jika kondisi sudah seperi ini maka minyak bisa diekstrak dengan cara dikempa/tekan. Minyak dari biji picung mengandung asam sianida dengan dosis tinggi, yang dapat berfungsi sebagai antiseptik, pemusnah hama dan pencegah parasit yang baik. Minyak biji picung bisa dipakai sebagai pengganti minyak kelapa. Minyak ini juga bisa dipakai untuk berbagai penggunaan, seperti menggoreng, memasak, penerangan pada lampu minyak, pengobatan beberapa penyakit, khususnya encok dan penyakit kulit. Penyimpanan yang baik pada botol tang tertutup rapat akan memperpanjang keawetan minyak dan mencegak minyak berbau tengik, seperti pada minyak kelapa. Pohon picung juga mempunyai beragam kegunaan. Kayunya yang kurang awet, sehingga hanya digunakan untuk keperluan yang tidak memerlukan keawetan seperti pembuatan korek api. Kulit kayu dan daun pohon picung juga bisa dipakai sebagai racun/tuba ikan yang dipakai dengan cara meremas dan menaburkannya. Daunnya juga bisa dipakai sebagai pestisida nabati yang cukup efektif dan tidak meninggalkan bau atau rasa apapun setelah dilakukan perlakuan. Pada luka, untuk mencegah infeksi dari organisme-organisme dan bakteri maka ekstrak daun ini bisa dibalurkan, baik untuk manusia maupun binatang. Daunnya juga berfungsi sebagai pengawet. Di beberapa daerah digunakan untuk mengawetkan daging, dengan cara membungkus daging dengan daun ini. Biji picung bisa digunakan sebagai bahan pengawet ikan. Caranya, cincang biji picung sampai halus dan dijemur selama 2-3 hari, kemudian ikan yang akan diawetkan dibersihkan bagian perutnya dan rongga perutnya diisi dengan cincangan biji picung tadi. Hal ini berguna 13
terutama jika ikan tersebut akan dikirim/dijual ke tempat lain yang cukup jauh. Caranya, ikan yang akan diangkut ditata didalam keranjang dengan urutan selapis ikan, selapis cincangan biji picung dan seterusnya. 16. SAGA POHON (Adenanthera povinina), Famili: Leguminosae Saga pohon (Adenanthera povinina) adalah tanaman yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, di India dan beberapa negara koloni Perancis. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemui pantai utara pulau Jawa. Di Indonesia, saga pohon dikenal dengan nama Saga utan (Bangka), Ki toke laut (Sunda), Segawe sabrang (Jawa), Ghak saghakan (Madura), Sagha nal (Kangean) dan Bibilaka (Alor). Di India saga pohon dikenal dengan nama Koraalboom, Bois de corail, Condori commun, Koral lenbaum, Bead tree dan Coral pea tree. Minyak biji Saga pohon mengandung lemak yang cukup tinggi, yaitu sebesar 35%. Minyak yang dihasilkan bisa digunakan sebagai bahan makanan, yaitu untuk memasak dan menggoreng. Selain itu. biji saga pohon memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai pembersih/pemurni dan mematri emas, yaitu dengan cara menghancurkannya sampai didapat tepung (aci), kemudian dicampur dengan bahan patri. Selain itu juga bisa digunakan sebagai bahan makanan, yaitu dengan cara mengambil daging bijinya. Kemudian daging bijinya dipanggang dan ditumbuk dan langsung dapat dimakan sebagai lauk. Banyak yang mengatakan bahwa rasa daging biji saga pohon seperti kedelai. Kayunya banyak digunakan sebagai bahan bangunan dan perkakas rumah tangga. Kulitnya (baik yang masih segar maupun sudah kering) bisa digunakan untuk membersihkan rambut dan mencuci pakaian. Ini dikarenakan kulit kayu Saga pohon mengandung saponin, zat kimia yang banyak digunakan sebagai pembersih meskipun tidak terlalu banyak buih/busa.
Minyak dari pohon ini banyak digunakan dalam kegiatan memasak sebagai pengganti minyak kelapa. Pohon seminai mempunyai beragam kegunaan, diantaranya kayunya banyak digunakan sebagai perabotan rumah. 18. SUNTAI (Palaquium burckii), Famili: Sapotaceae Suntai (Palaquium burckii) merupakan tanaman yang hanya dijumpai Indonesia, khususnya daerah sumatra timur yang meliputi daerang Bengkalis dan pulau Karimun (Riau). Salah satu kegunaan utama dari tanaman ini adalah bijinya yang menghasilkan minyak. Biji diperoleh dengan dua cara, yaitu dikupas seperti biasa dengan menggunakan pisau dan cara kedua adalah dengan menumbuknya. Selanjutnya buah dikeringkan dengan cara dijemur. Untuk mendapatkan minyak, biji dibakar di atas api dan selanjutnya digiling. Tepung atau hasil gilingan yang diperoleh kemudian disaring, jika ada yang masih kasar maka digiling kembali. Selanjutnya setelah halus tepung ini direbus dan ditungkan kedalam plat/cetakan besi dan diberi tekanan (pressing) samapai keluar cairan lemak. Minyak lemak ini kemudian ditampung dalam cetakan/ wadah kayu dan siap untuk digunakan atau dijual. Minyak dari biji ini bisa digunakan sebagai bahan memasak, sebagai pengganti minyak kelapa. Kayunya yang keras dan padat banyak digunakan sebagai bahan pembuat perahu. Buahnya bisa dimakan dan bisa menjadi sumber persediaan pangan khususnya di masa lalu.
17. SEMINAI (Madhuca utilis) , Famili: Sapotaceae Seminai (Madhuca utilis) merupakan tanaman yang tumbuh di banyak negara Asia Tenggara khususnya Malaysia dan Indonesia yaitu di Sumatra Timur meliputi Kampar-kiri, pelawan dan Tapungs (Siak).
SUNTAI SEMINAI DAUN BIJI
14
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
19. TENGKAWANG (Shorea seminis; S. pinanga; S.sp) Famili: Dipterocarpaceae Tengkawang (Shorea spp) merupakan tanaman khas Indonesia dan tersebar diseluruh wilayah Kalimantan serta di beberapa wilayah Sumatera seperti Palembang (Sumatera Selatan) dan Minangkabau (Sumatera Barat). Nama lain tanaman ini yang sering digunakan adalah Melebekan (Palembang), maranti beras, maranti jawi (Minangkabau), tengkawang majau, t.salungsung, t.sungkasuwu (Kalbar), kalang tanggui, kalapis danum, kalepek danum, kekawang, majau, mengkabang, tengkawang asu, t.pasir, t.tanggui (Kalsel), kenuar, lampong meranti, menkabang, mesap (Kaltim). Pohon tengkawang yang baru berbuah akan menghasilkan 50 - 100 kg biji tengkawang kering. Hasil rata-rata pohon tengkawang pada panen raya berkisar antara 250 800 kg biji tengkawang kering. Pohon tengkawang pada tahun-tahun diluar panen raya hanya menghasilkan sekitar 50 - 100 kg biji. Minyak tengkawang diperoleh dari biji tengkawang yang telah dijemur atau disalai hingga kering, yang kemudian ditumbuk dan dikempa. Secara tradisional, minyak tengkawang ini dimanfaatkan untuk memasak, sebagai penyedap makanan dan untuk ramuan obatobatan. Dalam dunia industri, minyak tengkawang digunakan sebagai bahan pengganti lemak coklat, bahan
TENGKAWANG DAUN
Sumber gambar: balam bintaro buah merah croton kelor kemiri kenari ketapang ketiau
: : : : : : : : :
kabarmingguan.blogspot.com fobi.web.id indonesiaprofile-s.blogspot.com www.flickr.com www.zimbio.com heart-waterlily.blogspot.com organicfarm.net fbaugm.wordpress.com www.asianplant.net
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
farmasi dan kosmetika. Pada masa lalu tengkawang juga dipakai dalam pembuatan lilin, sabun, margarin, pelumas dan sebagainya. Minyak tengkawang juga dikenal sebagai green butter. Minyak tengkawang juga cocok digunakan pada industri margarine, coklat, sabun, lipstik dan obat-obatan; karena memiliki keistimewaan, yaitu titik lelehnya yang tinggi berkisar antara 34 - 39°C. Selain untuk pangan, prospek yang baik dari minyak tengkawang yang dikenal dengan nama vegetable thallow atau illip nut, dapat dipakai sebagai minyak pelumas mesin, pembuatan sabun, peti kemas, bahan baku pembuatan lilin, stearine, dan palmitat. Nilai gizi yang tinggi serta sifat titik cairnya yang juga tinggi bukan saja cocok sebagai pengganti minyak cokelat, tetapi juga sebagai penambah campuran minyak coklat agar mutunya menjadi lebih baik dan tahan disimpan pada suhu panas . Ekstrak lemak tengkawang memberi nilai tambah yang sangat tinggi yaitu mencapai 200%. Setiap tahun harga minyak tengkawang selalu meningkat, pada tahun 1994 bernilai US$ 1,85 per kg dan pada tahun 1998 bernilai US$ 2,87 per kg. Sejak tahun 1996 tidak tercatat ekspor biji tengkawang, kemungkinan besar terserap habis untuk memproduksi lemak tengkawang. Pemanfaatan lemak tengkawang saat ini sebagian besar hanya dalam industri coklat, yang ditujukan untuk meningkatkan titik leleh lemak coklat terutama lemak coklat yang berasal dari Amerika Latin. Minyak tengkawang dalam industri makanan dikenal dengan nama cacao butter substitute, yang digunakan sebagai pengganti minyak coklat. Pada industri farmasi dan kosmetika dikenal dengan nama oleum shorea yang dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan. Kayu shorea termasuk jenis kayu keras dan cukup kuat, sehingga sering digunakan sebagai bahan bangunan, perabot rumah tangga vinir dan bahan baku lantai kayu. Damar yang dihasilkan dari getah shorea dapat digunakan sebagai bahan campuran pembuatan obat dan kosmetik. Buah tengkawang dikenal enak. Jenis meranti penghasil Tengkawang merupakan pohon khas Kalimantan penghasil kayu pertukangan, juga buahnya bernilai komersil tinggi yang digunakan sebagai bahan baku nabati pengganti minyak coklat, bahan lipstik, minyak makan dan juga dapat digunakan bahan obat-obatan.
lena macadamia mimba nyamplung nyatoh picung saga seminai suntai suntai tengkawang
: : : : : : : : : : :
vegetablegardendjp.blogspot.com www.macadamia.net.au/ blogsumberinformasigratis.blogspot.com/ kebumen.aribicara.com/ www.flickr.com/ floranegeriku.blogspot.com/ matoa.org/ www.kcpremierroofing.com/ fr.wikipedia.org http://eol.org http://massurono.com/
15
Lampiran 1. Tabel Jenis HHBK Minyak Lemak Beserta Kegunaannya
Pemanfaatan minyak
Bagian yang mengandung minyak
Perkiraam rendemen
Material
Biji
30% - 45 %
Minyak berpotensi sebagai biodiesel (biji/buah), Penghijauan kota; racun berburu (buah); obat menghambat sel kanker, malaria dan penurun gula darah(buah)
Energi
Biji dan Buah
54,33 %
Obat
Buah
0,094 % (94,2 mg lipid/100 gram buah)
CROTON (Croton argyratus)
Lampu penerang
Energi
Biji
15 %
5
KELOR (Moringa oleifera)
pembersih air (biji); biodiesel (biji); makanan (daun)
Energi
Biji dan Daun
35,83 %
6
KEMIRI (Aleurites mollucana)
Obat , Makanan, Kosmetik, Energi, Material
Biji
15-20 %
7
KENARI (Canarium odoratum)
minyak dan rempah/bumbu (biji); campuran bahan cat (biji); bahan penyubur rambut (biji); penyembuh diare (biji); obat kanker dan ISPA/pernafasan pada anak (biji); obat disentri dan diare (kulit batang); penurun gula darah (kulit batang); sakit gigi (getah daun); biodiesel (biji) penghijauan kota; bahan kerajinan/sovenir (buah); mengandung omega 3 dan ALA (alfa linolenik) yang dapat memperbaiki profil kolesterol (biji); mencegah dan memperlambat pertumbuhan tumor dan kanker (biji); pewangi sabun (gum/getah kulit batang); bahan plaster dan salep (gum);
Obat , Makanan, Kosmetik, Material
Biji
65 - 70 % (dari kernal/inti buah/biji)
8
KETAPANG (Terminalia catappa)
Obat , Makanan, Kosmetik, Energi, Material
Biji
50% dari berat kering biji
9
KETIAU (Ganua motleyana)
pohon peneduh; pengganti biji almon dalam kue-kue (biji); bahan penyamak kulit (pegagan dan daun); bahan tinta dan pewarna hitam (pegagan dan daun); menyembuhkan lepra, kudis dan penyakit kulit yang lain (daun); menyembuhkan rematik pada sendi (daun) astringen pada disentri dan sariawan, juga sebagai diuretik, kardiotonik dan dipakai sebagai obat luar pada erupsi kulit (tanin pada pegagan dan daun) Penghasil getah “nyatu” yang dipakai untuk kerajinan
Material
Biji
51,3 % dari berat biji
Pemanfaatan (non-kayu) yang sudah dikenal
No
Jenis
1
BALAM (Palaquium walsurifolium)
Minyak lemak dipakai untuk obor, Penghasil buah,
2
BINTARO (Cerbera manghas)
3
BUAH MERAH (Pandanus conoideus)
4
16
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Lampiran 1. Lanjutan
No
Jenis
11
MAKADAMIA (Macadamia sp.)
12
MIMBA (Azadirachta indica) NYAMPLUNG (Callophyllum inophyllum)
Obat penyakit kulit dan lambung, penambah nafsu makan, campuran pestisida alami, campuran lem Obat penyakit kulit dan bahan biodiesel
NYATOH (Palaquium javense) PICUNG (Pangium edule)
Memasak dan bahan bakar untuk penerangan
15
Obat, Makanan, Kosmetik, Energi, Material
Biji
Tidak ada data
Makanan, Kosmetik, Energi, Material
Biji
Tidak ada data
Obat, Material
Biji
20 %
Obat, Energi
Biji
biji segar mengandung 4055% sedangkan biji kering 70-73%
Energi
Biji
Tidak ada data
Obat, Material
Biji
Tidak ada data
Makanan. Kosmetik
Biji
Tidak ada data
penghasil biji/minyak wijen; minyak goreng, minyak rambut, minyak lampu, bahan sabun (minyak biji); makanan (biji); obat batuk (biji); obat sakit kepala (daun) Penghasil buah, bahan makanan, penghijauan kota
LENA (Sasanum orientale)
14
Perkiraam rendemen
Pemanfaatan minyak
10
13
Bagian yang mengandung minyak
Pemanfaatan (non-kayu) yang sudah dikenal
Antiseptik, pemusnah hama dan pencegah parasit, memasak, pengawet makanan, kulit dan daun bisa sebagai racun untuk menangkap ikan, bahan penerangan, obat penyakit kulit dan encok Memasak, bahan makanan (buah), pembersih baju, pembersih rambut, bahan campuran mematri
16
SAGA POHON (Adenanthera povinina)
17
SEMINAI (Madhuca utilis)
Memasak
Makanan
Biji
Tidak ada data
18
SUNTAI (Palaquium burekii)
Memasak
Makanan
Biji
Tidak ada data
19
TENGKAWANG (Shorea seminis; S. pinanga; S. macrophylla; S. splendid)
Makanan, minyak coklat, memasak, bahan pembuat lipstik, obat-obatan, lilin, sabun, margarin, pelumas mesin, margarin
Obat, Makanan, Kosmetik, Material
Biji
Tidak ada data
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
17
Tajuk Utama
Beberapa Catatan Mengenai Hasil Hutan
dalam Sistem
Agroforestry Ary Widiyanto Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl Raya Ciamis-Banjar Km 4, PO BOX 5 Ciamis Email: ary301080_yahoo.co.id
DEFINISI AGROFORESTRY
AGROFORESTRY DI INDONESIA
Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan tanaman hutan (perennial) yang dikombinasikan dengan pertanian atau disebut juga sistem wanatani. Sebenarnya banyak definisi mengenai agroforestry, yang satu sama lain tidak berbeda secara substansi. Banyak definisi dari agroforestry yang sering digunakan dalam dunia pengetahuan. ICRAF mendefinisikan agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan yang berasaskan kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, melalui kombinasi produksi (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler (1978) dalam Rauf (2004). Masih dalam Rauf (2004), Lundgren dan Raintree mendifinisikan agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan & teknologi, di mana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis palm, bambu, dan sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi di antara berbagai komponen yang bersangkutan. Mac Dicken dan Vergara (1990) dalam Padmowijoto (2006) mendifinisikan agroforestry sebagai manajemen lahan berkelanjutan yang meningkatkan produksi total dengan kombinasi tanaman pangan, pohon (holtikultura/tegakan hutan) dan atau ternak secara simultan sesuai budaya lokal.
Di Indonesia, agroforestry dilakukan di berbagai wilayah tanah air dengan berbagai istilah lokal. Di Jawa dikenal istilah mratani yang diartikan sebagai bercocok tanam sambil berternak dan berkebun, bisa berupa holtikultura atau tegakan hutan di halaman rumah dan atau pekarangan (Sumitro, 2001). Di propinsi Maluku dikenal istilah Dusung yang menurut Kaya (2003) dalam Salampessy (2010) adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu bentang lahan milik dengan mengkombinasikan komoditas pertanian, kehutanan dan peternakan. Pada awalnya status dusung adalah sebagai kebun warisan keluarga secara turun menurun, pengelolaannya terbatas pada kebutuhan subsisten tapi sejalan perkembangan jaman maka keberadaan dusung berubah menjadi alat produksi yang bernilai ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Di Sumatera (propinsi Lampung), dikenal istilah Repong yang dapat didefinisikan sebagai sebidang lahan kering yang ditanami berbagai tanaman produktif, umumnya tanaman tahunan (perennial crops) seperti damar, jengkol, durian, petai, tangkil, manggis dan aneka-ragam tumbuhan liar yang dibiarkan hidup, dan disebut repong damar karena pohon damar yang paling men-dominasi dalam setiap bidang lahan (Lubis, 1997 dalam Bintoro, 2010). Sementara itu di Sumatera Utara terdapat suatu sistem agroforestry yang disebut Reba Juma. Secara harfiah reba juma berarti rumah ladang, atau ladang masyarakat yang mudah dijangkau dari rumah pemiliknya (Affandi, 2010). Masih menurut Affandi (2010), tanaman pada reba juma
18
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
didominasi oleh tanaman berkayu dan lain-lain seperti duku, durian, rambutan, manggis dan bambu, yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian/perkebunan seperti coklat, pisang, nenas, kunyit, jagung dan lain-lain. Sistem agroforestry ini dipraktekkan di atas tanah milik yang pada awalnya merupakan tanah adat, di mana pembagian dan penguasaan lahannya dilaksanakan berdasarkan sistem kekerabatan adat setempat. Di Kalimantan Barat juga ditemukan sistem agroforestry tradisional yang disebut Tembawang, yang dibentuk ketika petani akan melakukan perladangan berpindah untuk mencari lokasi lain yang lebih subur. Pada lahan yang ditinggalkan, mereka menanaminya dengan berbagai tanaman buahbuahan yang akan menjadi kebun (Roslinda, 2010). Masyarakat desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo, Jambi secara tidak langsung telah melakukan konservasi keanekaragaman ekosistem melalui kegiatan agroforesty. Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun (hutan sekunder muda), belukar (hutan sekunder tua) di desa tersebut diolah dan dimanfaatkan melalui pembuatan agroforestry campuran, sedangkan hutan hanya dimanfaatkan hasil hutan non kayunya saja. Pengembangan agroforestry tumbuhan obat di daerah penyangga Taman Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur telah memberikan kontribusi pendapatan sebesar 23% dari hasil pendapatannya, dan frekuensi petani masuk hutan menurun 48%. Di samping itu terjadi peningkatan
Penanaman
Pemeliharaan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, baik konservasi tumbuhan secara eks-situ maupun in-situ. Dari segi ekologi, program agroforestry telah mengubah semak belukar dan lahan kritis menjadi hutan tanaman yang didominasi Parkia roxburghii, Pythecelobium saman, Pangium edule, dan Aleurites moluccana. (Bismark dan R. Sawitri, 2006). HASIL HUTAN DALAM SISTEM AGROFORESTRY Perkembangan hasil hutan dalam dunia kehutanan Indonesia telah lama mengalami perubahan paradigma. Jika sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1990-an hasil hutan selalu dikonotasikan dengan kayu, maka sejak dekade 1990-an tersebut telah terbentuk paradigma baru mengenai hasil hutan. Hutan tidak hanya dipandang sebagai pengasil kayu, tetapi hutan juga dianggap sangat penting dalam menjaga tata air suatu kawasan, sebagai sumber oksigen dan juga penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK), dengan nilai ekonomis yang diperkirakan tidak lebih kecil dibanding kayu. Dalam suatu sistem agroforestry, pengolahan hasil hutan merupakan bagian yang terintegrasi dalam sistem agoforeresty secara keseluruhan. Sistem agroforestry akan menghasilkan dua kategori hasil, yaitu hasil hutan, yang terdiri dari kayu dan non kayu serta hasil pertanian. Untuk lebih jelasnya, posisi pengolahan hasil hutan dalam sistem agroforestry bisa dijelaskan dalam Gambar 1.
Pemanenan Hasil Aspek Sosial
Pengolahan Hasil
Pemasaran
Aspek Lingkungan
Gambar 1. Satu Siklus Produksi Hasil Hutan dalam Sistem Agroforestry
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
19
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pengolahan hasil (baik hasil hutan maupun pertanian) merupakan bagian penting dalam sistem agroforestry secara keseluruhan. Bagian ini sangat menentukan terhadap nilai produk agroforestry yng akan dijual/dipasarkan. Pengolahan hasil yang bisa memberikan nilai tambah terhadap produk secara otomatis akan meningkatkan nilai jual produk tersebut. Untuk itu diperlukan input teknologi yang tepat, sistem pengolahan yang lebih baik dan efisien serta diversifikasi produk sehingga terjadi optimalisasi pemanfaatan produk hasil hutan. Dalam konteks kehutanan, fokus utama pengolahan hasil dalam agroforestry adalah hasil hutan kayu dan bukan kayu, yang berasal dari tanaman kayu. Untuk kayu, jenis yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah jenis Sengon (Paraserianthes falcataria atau Falcataria molluccana). Meskipun demikian, belakangan juga ditanam jenis lain, yang dianggap memiliki prospek pasar yang baik oleh masyarakat, seperti Jabon (Anthocephalus cadamba Miq), Manglid (Manglietia glauca) dan Gmelina (Gmelina arborea). Umumnya pertimbangan masyarakat adalah tanaman dari jenis cepat tumbuh (fast growing species). Untuk sengon dan gmelina, penelitian mengenai sifat fisis-mekanis kedua jenis kayu tersebut sudah cukup banyak dilakukan. Jabon juga sudah cukup banyak, meskipun tidak sebanyak sengon dan gmelina. Dengan demikian, salah satu peluang yang cukup terbuka untuk digali adalah mengenai kualitas kayu manglid. Kayu manglid, meskipun siklus produksinya tidak secepat sengon dan jabon, tetapi cukup banyak dibudidayakan masyarakat karena harga jualnya yang lebih tinggi dari jabon dan sengon. Peluang terbesar dalam penelitian hasil hutan dalam sistem agroforestry adalah pada hasil hutan bukan kayu (HHBK). Praktek agroforestry yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah sistem agroforestry tradisional, yang pada lahan mereka, ditanami lebih dari satu jenis kombinasi tanaman pada beberapa strata. Dari sinilah muncul banyak tanaman penghasil HHBK yang masih berpeluang untuk dikembangkan dan diteliti, baik sifat-sifat dasarnya maupun teknologi untuk meningkatkan nilai tambahnya. 20
Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P.35 / Menhut-II/2007, maka HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Selanjutnya dalam Permenhut tersebut juga disebut-kan jenis-jenis HHBK yang menjadi “urusan” Kementerian Kehutanan, yang terbagi menjadi dua kelompok besar HHBK yaitu jenis tumbuhan dan tanaman serta jenis hewan. Untuk jenis tumbuhan, terbagi menjadi beberapa sub kelompok, yaitu: 1. Kelompok resin 2. Kelompok minyak atsiri 3. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan 4. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah 5. Kelompok tumbuhan obat dan tanaman hias 6. Kelompok palma dan bambu 7. Alkaloid 8. Kelompok lainnya Dari delapan kelompok di atas, banyak di antaranya yang sebenarnya sudah digunakan oleh masyarakat dalam praktek agroforestry, dan perlu dikembangkan lagi. Misalnya dari kelompok resin, terdapat damar yang telah dimanfaatkan cukup lama, misalnya oleh masyarakat Lampung dan dikenal dengan sistem “repong damar”. Demikian pula dengan jenis lain seperti agathis, gaharu, kapur, kemenyan, kesambi, tusam dan rotan. Jenis HHBK dari kelompok lain yang potensial untuk dikembangkan dalam sistem agroforestry di antaranya dari kelompok atsiri meliputi akar wangi, minyak gaharu, kamper, lawang, kayu manis dan kayu putih. Untuk tanaman kayu putih, Pabrik Pengolahan Minyak Kayu Putih (PMKP) Jatimunggul, yang masuk dalam wilayah administratif KPH Indramayu telah menanamnya ditumpangsarikan dengan padi yang ditanam oleh masyarakat. Untuk kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan terdapat di antaranya nyamplung, lena (wijen), kelor, macadamia, kemiri dan picung. Picung atau lebih dikenal sebagai keluwek juga sudah banyak ditanam oleh Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
masyarakat, khususnya di Jawa bersama jenis tanaman lain, seperti tanaman kayu dan buah-buahan. Penghasil karbohidrat (pati), juga terdiri dari jenis-jenis yang sudah banyak ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat seperti aren, sagu, suweg, iles-iles, jamur dan gadung. Demikian pula dengan buah-buahan, karena ada 36 jenis buahbuahan yang masuk kategori HHBK dan perlu dikembangkan, khususnya pengolahan paska panennya. Dari kelompok tannin, bahan pewarna dan getah terdapat beberapa jenis yang cukup potensial seperti akasia, gambir, kesambi, ketapang, pinang, rizhopora, angsana, jati, jernang, mahoni, kesumba, secang dan suren. Juga beberapa penghasil getah seperti jelutung, balam, pulai dan karet hutan. Beberapa tumbuhan atau tanaman obat yang potensial dikembangkan pada sistem agroforestry wanafarma antara lain jenis akar-akaran, brotowali, duwet, jarak, jati belanda, kayu putih, kayu manis, kepuh, kemiri, mimba dan sebagainya. Kelompok palma dan bambu terdiri dari semua jenis rotan dan bambu. Sedangkan untuk alkaloid dan kelompok lainnya meliputi kina serta ganitri. Dari gambaran di atas terlihat bahwa banyak jenis HHBK yang telah dikembangkan oleh masyarakat maupun tumbuh di alam, yang berpotensi dikembangkan dalam sistem agoforestry berbasis pangan (wanatani), berbasis obat-obatan (wanafarma) maupun agroforestry campuran. PENUTUP Sebagai sebuah sistem, agroforestry tersusun atas proses-proses yang satu dengan yang lain sangat berkaitan. Pengolahan hasil dalam sistem agroforestry merupakan bagian penting yang sangat menentukan nilai produk agroforestry yang akan dijual/dipasarkan. Penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan kayu dalam sistem agroforestry lebih berpotensi untuk dikembangkan, karena jumlahnya yang relatif banyak serta belum banyak dari HHBK tersebut yang telah diteliti secara mendalam. Selain itu, siklus pemanenan HHBK yang lebih cepat dibandingkan kayu akan lebiih menarik bagi masyarakat untuk mengembangkannya, karena lebih menarik secara ekonomi.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
REFERENSI Affandi, O. 2010. Reba Juma : Kelestarian Praktek Agroforestri Lokal pada Masyarakat Karo, Propinsi Sumatera Utara. Prosiding Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 123-136. Bintoro. 2010. Repong Damar Prototipe Hutan Rakyat Yang Ideal. Prosiding Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 87-98. Bismark, M dan R. Sawitri. 2006. Pengembangan dan Pengeloaan Daerah Penyang ga Kawasan Konservasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasilhasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Padmowijoto, S. 2006. Integrasi Legume dengan Tanaman Pangan dan Ternak Kambing dalam Mratani Sistem. Prospect Tahun 2 Nomor 2, Pebruari 2006. Hal 1-4. Peraturan Menteri Kehutanan No P.35 / Menhut-II/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Rauf, A. 2004. Agroforestri dan Mitigasi Perubahan Lingkungan. Maklah Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB. Roslinda. 2010. Strategi Pengelolaan Tembawang Oleh Masyarakat. Prosiding Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 159-166. Salampessy, M.L. 2010. Performansi Dusung Sebagai Salah Satu Sistem Agroforestri Tradisional (Studi Kasus pada Desa Urinesibf dan Desa Amahusu Kota Ambon Propinsi Maluku). Prosiding Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 5160. Soemitro, P.W. 2001. Peranan Hijauan - Legume dan Ternak dalam Pertanian Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan UGM.
21
Tajuk Utama
MengenalTumbuhan
KRATOM (Mitragyna speciosa Korth.)
Freddy Jontara Hutapea Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki hutan yang sangat luas dengan keragaman jenis yang sangat tinggi, diantaranya 27.500 jenis tumbuhan berbunga. Dari seluruh jenis tumbuhan berbunga di dunia, 10% didominasi oleh hutan tropis basah. Keanekaragaman jenis yang sangat tinggi ini menyebabkan masih banyak jenis-jenis yang belum dimanfaatkan secara optimal akibat kurangnya informasi mengenai penyebaran jenis, manfaat, dan potensi jenis tumbuhan tersebut (Suhartrislakhdi, 2007 dalam Nugroho, 2010). Kratom (Mitragyna speciosa) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang terdapat dalam wilayah hutan Indonesia. Kratom merupakan tanaman potensial yang dapat ditingkatkan nilai kegunaannya, karena sejak dahulu kratom sudah dimanfaatkan secara tradisional. Daun kratom telah lama dimanfaatkan sebagai obat herba untuk melancarkan peredaran darah, mengobati diabetes, dan menurunkan kadar gula dalam darah (Anonim, 2009). Selain bermanfaat, kratom memiliki dampak negatif yaitu apabila dikonsumsi terlalu banyak sehingga menimbulkan efek ketagihan akibat kandungan mitragynin yang terdapat pada tanaman tersebut (Wikipedia, 2011a). Tulisan ini bertujuan untuk mengenalkan kratom sebagai salah satu jenis potensial dikembangkan, sehingga dapat menjadi informasi dasar bagi penelitian selanjutnya.
II. DESKRIPSI KRATOM (M. speciosa) Kratom (M. speciosa) merupakan tumbuhan asli yang tumbuh di Asia Tenggara. Tumbuhan ini didokumentasikan pertama kali oleh ahli botani Belanda Pieter Khortals. Kratom memiliki hubungan kedekatan botani dengan Corynanthe, Cinchona, dan Uncaria (KratomSeller.com, 2011). Murple (2006) mengemukakan bahwa kratom (M. speciosa) merupakan tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara. Tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea dan Thailand khususnya di bagian tengah dan selatan, dan jarang terdapat di bagian utara. Kratom dan Mitragyna Asia lainnya tumbuh di hutan hujan (rain forest), lahan basah, tanah yang kaya humus, pada area dengan intensitas sinar matahari medium dan terlindungi dari angin kencang, sementara Mitragyna Afrika biasanya ditemukan di rawa-rawa (Kratom Devotee, 2009). Di Thailand, kratom dikenal dengan nama kakuam, ithang, atau Thom, sedangkan di Amerika Serikat dikenal dengan nama kratom (Anonim, 2009). Kratom juga dikenal sebagai ketum, dan biak (Prmob, 2012a). Masyarakat Dabra (Mamberamo) Papua mengenal kratom sebagai bika. Klasifikasi botani kratom (M. speciosa) adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Buah dan daun kratom (foto: The Iamshaman shop dan Oflchen) 22
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Divisi : Magniliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Gentianales Famili : Rubiaceae Genus : Mitragyna Species: M. Speciosa (Kratom Devotee, 2009). Kratom merupakan tumbuhan yang memiliki tinggi mencapai 50 kaki (± 15 m) dengan cabang menyebar lebih dari 15 kaki (± 4,5 m), memiliki batang yang lurus dan bercabang, dengan bunga kuning dan dalam kelompok berbentuk bulat (ball-shaped clusters). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang selalu hijau. Daun kratom berwarna hijau gelap mengkilap, halus, berbentuk bulat telur melancip (ovate-acuminate) dan berlawanan dalam pola pertumbuhan. Daun kratom dapat tumbuh dengan panjang melebihi 7 inchi (± 18 cm) dan lebar 4 inchi (± 10 cm). Daun terlepas dan digantikan secara konstan, namun ada beberapa kuasi musim (quasi-seasonal) dimana daunnya rontok karena kondisi lingkungan. Selama musim kering setiap tahun daun yang gugur lebih banyak dan daun yang baru akan tumbuh lebih banyak pada musim hujan. Bila tanaman ini tumbuh di luar habitat aslinya, maka musim gugur daun akan terjadi saat suhu dingin 0 sekitar 4 C (Murple, 2006). III. POTENSI PEMANFAATAN KRATOM A. Komponen Kimia Lebih dari 25 jenis alkaloid telah diisolasi dari kratom dimana salah satunya adalah mitraginin. Mitraginin merupakan alkaloid paling dominan yang ditemukan dalam tumbuhan ini. Mitraginin diisolasi pertama kali dari daun kratom oleh David Hooper pada tahun 1907, dan diisolasi kembali oleh E. Field pada tahun 1921 dan memberi nama alkaloid. Mitraginin (9-methoxy-corynantheidine) memiliki rumus molekul C23H30N204 dengan berat molekul 398,49, 0 berwarna putih, bubuk, dengan titik leleh 102-106 C, dan 0 titik didih 230-240 C. Larut dalam alkohol, chloroform, dan asam asetat. Apabila dikonsumsi dalam dosis kecil, mitraginin akan menjadi seperti stimulan, sementara jika dikonsumsi dalam dosis besar, akan menjadi seperti opium (Wikipedia, 2011).
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
B. Pemanfaatan Kratom Tumbuhan ini sudah lama digunakan karena memiliki beberapa manfaat untuk kesehatan, diantaranya: mengatasi kecanduan narkoba, mengatasi diare, meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan tekanan darah, meningkatkan energi, mengatasi nyeri otot, mengatasi depresi, stimulan seksual, dan mengontrol kadar gula darah (Shvoong.com, 2012). Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan ini adalah daunnya. Biasanya masyarakat memanfaatkan daunnya dengan cara mengunyah langsung, atau diseduh dalam air panas atau dengan kopi. Daun tumbuhan ini bisa juga dibuat menjadi rokok (Prmob, 2012b). Bila digunakan dalam kadar yang sesuai, maka akan memberikan manfaat dan efek yang baik bagi kesehatan, sebaliknya bila digunakan secara berlebihan, akan berdampak negatif. IV. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Herba Penawar Diabetes Paling Mujarab Daun Ketum. http://ubatdiabetes.blogspot.com/ 2009/05/herba-penawar-diabetes-paling-mujarab. html. Diakses Tanggal 27 Juni 2011. Kratom Devotee. 2009. Mitragyna speciosa Kratom Botany. http://www.kratom.net/content.php?38Mitragyna-speciosa-kratom-botany. Diakses Tanggal 5 Juli 2011. KratomSeller.com. 2011. Kratom (Mitragyna speciosa). http://kratomseller.com/kratom-mitragyna-speciosa. html. Diakses Tanggal 12 Agustus 2011. Murple. 2006. Kratom. http://www.murple.net/ yachay/ index.php/kratom. Diakses Tanggal 12 Agustus 2011. Nugroho, A. Y. 2010. Tinjauan Keragaman Genetik dan Implikasi Konservasi Pulai (Alstonia scholaris (L). R. B). Mitra Hutan Tanaman 5(2): 51-55. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Prmob. 2012a. Kratom Daun, Mitragyna speciosa. http://id.prmob.net/thailand/malaysia/indonesia115760.html. Diakses Tanggal 30 Januari 2013. ......... 2012b. Apakah Kratom?. http://id.prmob.net/ thailand/kratom/rubiaceae-560420.html. Diakses Tanggal 7 Januari 2012. Shvoong.com, 2012. Manfaat Kesehatan dari Bubuk Kratom. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/ comparative medicine/2334602-manfaat-kesehatandari-bubuk-kratom/. Diakses Tanggal 7 Januari 2013. Wikipedia. 2011a. Pokok Ketum. http://ms.wikipedia.org/ wiki/pokok_ketum. Diakses Tanggal 27 Juni 2011. ........... 2011b. Mitragynin. (http://en.wikipedia.org/ wiki/Mitragynine). Diakses tanggal 30 Juni 2011.
23
Tajuk Utama
PENGAWETAN KAYU DALAM MENGATASI DEFORESTASI Mohamad Iqbal Pustekolah - Bogor Jl. Gunung Batu No. 5. Telp./Fax: 8633413, 8633378
A. Perkembangan Pemukiman di Indonesia Perkembangan pemukiman di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya komplek perumahan di perkotaan terutama kota-kota yang padat penduduk. Menurut data BPS, jumlah rumah di Indonesia mencapai angka 49,3 juta unit, dan jumlah ini akan semakin bertambah setiap tahunnya (Anonim, 2012). Hal ini terasa wajar mengingat jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,64 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49% per tahun. Semakin bertambahnya penduduk, maka semakin banyak pula kebutuhan akan sumberdaya hutan, khususnya kayu. Kayu merupakan bahan yang masih diandalkan dalam proses pembangunan rumah sebagai tempat bermukim. Namun permintaan kayu yang semakin meningkat tidak diikuti dengan ketersediaannya. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire yang memiliki luas kawasan hutan sebesar 131,279 juta ha (Kementerian Kehutanan, 2012), akan tetapi saat ini kawasan hutan Indonesia mengalami kerusakan yang cukup serius. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan periode 2009/2010, laju kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia sebesar 832.126,9 ha/tahun (Kementerian Kehutanan, 2012). Tingginya deforestasi di Indonesia berakibat pada penurunan pasokan kayu terutama untuk jenis-jenis kayu komersil produksi hutan alam belum bisa digantikan oleh kayu produksi hutan tanaman. Kurangnya produksi kayu dari hutan tanaman mengakibatkan pasokan kayu beralih dari jenis komersil ke jenis non komersil atau jenis kayu kurang dikenal (Lesser known species) dari hutan alam atau hutan sekunder atau kayu yang ditanam oleh rakyat. Keterbatasan pasokan kayu akan berdampak pada harga kayu semakin mahal karena permintaan kayu semakin tinggi, seiring dengan kebutuhan bangunan perumahan dan mebel. Menurut Barly dan Subarudi (2010), ada beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh industri kayu dalam mengefisiensikan penggunaan bahan bakunya, salah satunya dengan mengawetkan produk kayu sehingga lebih 24
tahan lama dalam pemakaian. Pengawetan kayu sangat diperlukan, dan diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah, swasta, maupun masyarakat terkait kelestarian hutan serta efisiensi dalam penggunaan kayu kedepan. B. Peran Kayu dan Permasalahannya Sebagian besar masyarakat sudah mengetahui bahwa kayu merupakan hasil hutan yang memiliki peran penting dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Selain mudah diperoleh, keunggulan lain kayu adalah mudah dalam pengerjaannya dan relatif murah bila dibandingkan dengan beton dan baja. Kayu dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan konstruksi bangunan perumahan, industri, mebel, dan bahan bakar. Meski saat ini telah banyak bahan sintetik yang dapat mensubstitusi kayu, namun minat masyarakat untuk menggunakan produk-produk olahan kayu tetap tinggi. Meningkatnya penggunaan kayu sebagai bahan bangunan dan mebel pada saat ini maupun di masa yang akan datang, maka perlu diimbangi dengan peningkatan umur pakai (service life) kayu yang memadai. Menurut Barly (2012), Indonesia memiliki keawetan tinggi dalam kelas awet I dan II yang relatif sedikit, yaitu sekitar 600 dari 4000 jenis kayu yang dapat mencapai diameter 40 cm, sedangkan sisanya memiliki tingkat keawetan rendah. Kayu dengan tingkat keawetan rendah rentan terhadap serangan organisme perusak kayu yang menyebabkan keropos atau lapuk dan berdampak terhadap ketahanan suatu bangunan sehingga usia pakainya pendek. Apabila ini terjadi, maka dapat meningkatkan laju konsumsi kayu, sehingga dapat mempercepat laju penebangan hutan pada satuan waktu tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya suatu langkah strategis untuk memperpanjang umur pakai kayu, antara lain dengan perlakuan pengawetan agar dalam pemanfaatan sumberdaya hutan berupa kayu tersebut dapat lebih hemat dan efisien. C. Pengawetan Kayu? Pengawetan kayu merupakan suatu cara untuk meningkatkan umur pakai (service life) kayu dengan memasukkan bahan kimia yang cocok ke dalam kayu agar Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
terhindar dari serangan organisme perusak. Berbicara mengenai pengawetan maka tidak terlepas dari penggunaan bahan kimia pengawet di dalamnya. Suatu bahan kimia dikatakan baik apabila beracun bagi organisme perusak kayu, mudah masuk ke dalam kayu, tidak mudah tercuci atau menguap, tidak mudah terbakar, tidak berbau, tidak mahal, dan lain sebagainya (Nuryawan, 2008). Menurut Dumanauw (1990) klasifikasi bahan kimia pengawet yang dipakai di Indonesia, digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu bahan pengawet larut air, bahan pengawet larut minyak, dan bahan pengawet berupa minyak. Adapun beberapa contoh bahan kimia yang dianggap mampu mengawetkan kayu, antara lain MBT 100 g/l (2-4%), MBT 109,9 g/l (1-3%), MBT 48 g/l (2-4%), Azakonazol 200 g/l (1-2%); Sipermetrin 50 g/l (0,25%), Deltametrin 25 g/l (0,125%), Permetrin 200 g/l (0,25%), CKB (Tembaga-Khrom-Boron) dengan merk dagang Diffusol CB 100 PA, dan lain sebagainya (Komisi Pestisida, 2003). Sejauh ini pemerintah sangat mendukung adanya teknologi pengawetan kayu. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya beberapa standar tentang pengawetan kayu, diantaranya: Standar Kehutanan Indonesia No. SKI-c-m001:1987 yang kemudian diubah menjadi SNI 03-5010.11999 tentang “Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung ”, SNI-03-3233-1998 tentang “ Tata Cara Pengawetan Kayu Bangunan Rumah dan Gedung”, SKBI 4.3.53.1988 tentang “Spesifikasi Kayu Awet untuk Perumahan dan Gedung”, serta SNI 01-7205-2006 tentang “Cara Uji Bahan Pengawet pada Kayu dan Produk Kayu”. Dengan adanya standar ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menekan tingkat deforestasi di Indonesia, sehingga tujuan dari konservasi sumberdaya hutan akan terpenuhi. Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan kayu bangunan dan mebel terutama terhadap kayu yang diawetkan menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan bangunan dan mebel yang terjamin keamanannya dan dapat bertahan lama. Namun kelangkaan kayu untuk bangunan dan mebel di pasaran seringkali dimanfaatkan oleh pengembang untuk menggantikannya dengan kayu yang tidak memenuhi standar, baik dimensi maupun mutu kekuatan. Kayu yang digunakan pengembang perumahan dan mebel, baik jenis, ukuran dimensi, maupun kekuatan dan mutunya tidak dapat memenuhi kriteria seperti yang dijanjikan kepada konsumen. Hal tersebut menyebabkan kerugian di pihak konsumen, baik terhadap umur pakai bangunan dan mebel maupun keamanan penghuninya. Oleh karena itu, perlu adanya suatu upaya untuk memenuhi keinginan masyarakat yang begitu besar terhadap kualitas bangunan perumahan, pemukiman, dan permebelan.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
Gambar 1. Rumah contoh yang belum direnovasi di Perumahan Yasmin, Bogor
Pengawetan kayu dianggap menjadi solusi untuk menjawab keinginan dari masyarakat, karena berperan dalam meningkatkan kualitas kayu suatu bangunan dan mebel serta memperpanjang umur pakainya. Menurut Batubara (2006), pengawetan kayu bangunan ditinjau dari kepentingan makro, memiliki peranan penting dalam perlindungan terhadap aset nasional berupa perumahan dan peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan yang semakin menurun. Sedangkan bila ditinjau dari pihak masyarakat pemakai bangunan, pengawetan kayu bangunan dapat meningkatkan kualitas suatu bangunan dalam jangka panjang.
25
D. Pengawetan Kayu untuk Konservasi Sumberdaya Hutan Purwanto (2007) dalam Barly dan Subarudi (2010) menyatakan jika 10% diasumsikan sebagai persentase tebangan hutan untuk mengganti konstruksi karena pelapukan, maka untuk realisasi pasokan kayu per tahun 3 3 sebesar 36,36 juta m akan menghasilkan 3,636 juta m kayu rusak karena lapuk. Apabila harga kayu dolok rata3 rata Rp 500.000/m , maka akan menimbulkan kerugian sebesar Rp 1,816 Triliun per tahun atau setara 363.600 ha 3 hutan dengan potensi 100 m /ha. Hal ini akan berbeda apabila kayu tersebut diawetkan dimana kayu dapat bertahan hingga 15 tahun, misalnya kebutuhan kayu untuk 3 membangun rumah sederhana sebesar 18 juta m /tahun untuk 5,9 juta unit rumah (Anonim, 2007), dengan asumsi kayu tidak awet sebesar 80% dari seluruh kayu bahan 3 perumahan, maka setiap tahun terdapat 14,4 juta m kayu tidak awet untuk perumahan. Pasokan kayu yang dibutuhkan pada saat 15 tahun pertama untuk membangun dan mengganti rumah yang 3 lapuk (tidak diawetkan) sebesar 432 juta m , sedangkan pasokan kayu yang diawetkan untuk membangun saja 3 hanya sebesar 216 juta m . Hal ini menunjukkan, dalam jangka waktu 15 tahun pertama kayu yang diawetkan 3 dapat menghemat sebesar 14,4 juta m /tahun. Jumlah 3 tersebut sama dengan 28,8 juta m kayu bulat yang bila dikonversi setara dengan 192.000 ha dengan asumsi 3 potensi kayu per hektar 150 m . Dari hasil ini dapat diketahui bahwa dengan pengawetan kayu perumahan, dapat mengkonservasi hutan alam kurang lebih 192.000 ha setiap tahunnya. Hal ini tentu saja membawa angin segar bagi pemerintah dalam upaya menekan laju deforestasi yang saat ini mencapai 832.126,9 ha/tahun (Kementerian Kehutanan, 2012). Gambar 2. Contoh kusen yang terserang rayap DAFTAR PUSTAKA Pengawetan yang dilakukan dengan baik terhadap jenis kayu yang kurang atau tidak awet dapat meningkatkan umur pakai kayu tersebut 5 sampai 10 kali lipat (Martawijaya dan Barly, 2010). Sebagai contoh kayu sengon (Paraserianthes falcataria) yang telah diawetkan pada bangunan rumah yang dibuat tahun 1963 oleh Pusat Litbang Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor hingga saat ini masih utuh (berumur 50 tahun), padahal jika tidak diawetkan diperkirakan hanya akan berumur sekitar 5 tahun saja karena kelas awet sengon termasuk rendah, yaitu kelas awet IV/V (Basri, dkk. 2012).
26
Anonim. 2012. Sebelum seabad Indonesia merdeka, seluruh rakyat punya rumah. http://www.properti. kompas.com/read/2012/02/16/15511697/Sebelum. Seabad. Indonesia. Merdeka. Seluruh. Rakyat. Punya. Rumah, [Diakses pada tanggal 4 April 2013]. Anonim, 2006. ASTM Standards on wood, wood preservatives and related materials. D 3507. American Society for Testing Materials, Philadelphia. Barly. 2012. Pengawetan kayu : belum membudaya meski manfaatnya nyata. Majalah Forpro, Vol. 1 No. 1 : 3-5. ISBN: 2301-8682.
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Barly dan Subarudi. 2010. Kajian industri dan kebijakan pengawetan kayu: sebagai upaya mengurangi tekanan terhadap hutan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol.7 No.1 : 63-80.
Martawijaya, A dan Barly. 2010. Pedoman Pengawetan Kayu untuk Mengatasi Jamur dan Rayap pada Bangunan Rumah dan Gedung. IPB Press. ISBN: 978979-493-288-9.
Basri, E., N. Hadjib, Abdurachman, Jasni, dan M. Iqbal. 2012. Efisiensi pemanfaatan kayu untuk perumahan sederhana melalui penerapan teknologi tepat guna. Laporan Akhir Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa Kementerian Riset dan Teknologi. [Tidak dipublikasikan].
Nuryawan, A. 2008. Pengawetan Kayu. e-USU Repository @ 2008. Universitas Sumatera Utara. [Diakses pada tanggal 1 April 2013].
Batubara, R. 2006. Teknologi pengawetan kayu perumahan dan gedung dalam upaya pelestarian hutan. e-USU Repository @ 2006. Universitas Sumatera Utara. [Diakses pada tanggal 1 April 2013]. BPS. 2010. Penduduk Indonesia menurut provinsi. http://www/bps.go.id/tabsub/view.php?kat=1&tabel =1&daftar=1&idsubyek=12¬ab=1, [Diakses pada tanggal 1 April 2013]. Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. ISBN: 979-413-313-2. Kementerian Kehutanan, 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta. ISBN: 979-606-073-6.
Purwanto, B.E. 2007. Alokasi bahan baku kayu untuk keperluan domestik. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan. Bogor, 25 Oktober 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor : hal. 7-15. SKBI 4.3.53. 1988. Spesifikasi kayu awet untuk perumahan dan gedung. BSN, Jakarta. SKI.C-m-001. 1987. Pengawetan kayu untuk perumahan dan gedung. BSN, Jakarta. SNI 01-7205. 2006. Cara uji bahan pengawet pada kayu dan produk kayu. BSN, Jakarta. SNI 03-5010.1.1999. Pengawetan kayu untuk bangunan perumahan. BSN, Jakarta. SNI 03.3233. 1998. Tata cara pengawetan kayu bangunan rumah dan gedung. BSN, Jakarta.
Komisi Pestisida. 2003. Pestisida Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Jendral Pupuk dan Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
27
artikel
Pengukuran Warna Kayu Dengan Dengan
Sistem Cielab Krisdianto Pustekolah - Bogor
A. Pendahuluan Penentuan warna merupakan suatu hal yang tidak mudah karena melibatkan persepsi psikologis manusia terhadap stimulasi gelombang cahaya yang diterima oleh indera penglihatan. Spektrum gelombang cahaya yang berasal dari pantulan suatu obyek benda memberikan persepsi warna benda kepada otak manusia. Kepekaan retina mata menerima gelombang cahaya menentukan persepsi warna suatu benda (Tilley, 1999). Pada dasarnya terdapat tiga komponen yang menentukan persepsi manusia terhadap warna benda, yaitu sumber cahaya seperti sinar matahari dan lampu, kemampuan benda memantulkan cahaya dan mata manusia yang menerima gelombang cahaya dan meneruskan ke otak untuk membuat persepsi warna. Hubungan ketiga komponen tersebut disebut sistem triplet dan digunakan dalam alat pengukur warna secara digital (Boardman et al., 1992). Penentuan warna kayu alami juga bervariasi menurut persepsi mata yang melihatnya. Warna kayu alami sangat diperlukan dalam membantu proses identifikasi jenis kayu, karena setiap jenis kayu memiliki warna kayu alami yang spesifik (Broadman et al., 1992). Warna kayu yang spesifik juga dikenal sebagai sebutan dagang suatu jenis kayu, seperti kayu 'hitam' merupakan sebutan untuk jenis kayu eboni yang sudah lama dikenal dalam perdagangan dunia sebagai kayu tropis yang berwarna hitam dan berasal dari Sulawesi. Sebutan 'eboni' telah dikenal oleh dunia mengarah pada kehitaman warna kayu yang digunakan untuk memberikan penanda warna hitam pada produk lain seperti warna cat mobil 'dark ebony'. Selain warna hitam, variasi warna kayu lain juga telah menjadi sebutan yang telah dikenal untuk produk tertentu, seperti kayu mahoni yang berwarna kemerahan. Kayu mahoni yang sudah dikenal memiliki warna merah memiliki nama dagang 'red mahagony' dengan persepsi warna kayu kemerahan. Warna kayu mahoni ini telah dikenal juga dalam pemberian istilah warna terhadap produk lain, seperti untuk warna cat tembok 'red mahagony ' memiliki persepsi warna cat tembok kemerahan seperti warna kayu mahoni. Selain warna 28
merah dan hitam, beberapa kayu telah dikenal secara luas memiliki karakteristik warna khas coklat kekuningan seperti pinus, sungkai dan pulai (Krisdianto, 2007). Untuk keperluan identifikasi kayu, Jugo Illic (1990) telah mengelompokkan warna kayu dalam 10 warna sebagai indikator warna utama, yaitu warna jerami (straw), kuning kecoklatan (yellow brown), coklat (brown), oranye kecoklatan ( orange brown ), merah muda kecoklatan (pinkish brown), merah kecoklatan (redbrown), coklat gelap (chocolate-brown), hijau kecoklatan (green-brown), warna lembayung (mauve-tint) dan kuning cerah (bright yellow). Standar identifikasi yang digunakan dalam identifikasi kayu saat ini juga menyertakan deskripsi warna kayu seperti telah dikelompokkan oleh Jugo Illic dengan beberapa tambahan seperti warna zaitun, abu-abu dan abu-abu kehijauan. Namun demikian, deskripsi warna alami kayu tersebut kurang informatif dan masih berdasarkan persepsi warna kayu yang ditetapkan oleh manusia berdasar persepsinya terhadap stimulasi panjang gelombang cahaya yang diterima oleh retina. B. Alat Pengukur Warna Digital Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa alat pengukur warna memiliki konsep triplet yaitu sumber cahaya buatan yang telah distandarisasi, benda yang memantulkan warna dengan bidang yang telah ditentukan dan otak manusia yang digantikan oleh sensor digital yang menilai suatu warna. Adopsi sistem triplet ini bertujuan agar pengukuran warna sedekat mungkin dengan persepsi manusia. Beberapa alat untuk pengukuran warna benda solid adalah Microflash-200, Colourimeter CR-300, CR-400 dan CR-410 dan beberapa pengembangan alat spectrofotometer. Alat pengukur warna tersebut disyaratkan mengacu pada salah satu model pengukuran warna, stabil, akurat, fleksibel (mobilitas tinggi) dan mudah dilakukan. Salah satu contoh alat pengukur Minolta CR-300 ditampilkan dalam Gambar 1. Sejak tahun 1960, beberapa pustaka telah mendiskusikan tentang kuantifikasi warna benda agar mudah dideskripsikan (Bourgois et al., 1991; Nishino et al.,
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
B
C
Keterangan :
A A. B. C.
Minolta CR-300 chromameter data prosessor Pengukur warna dengan bidang ukur 8 mm Keramik putih sebagai kalibrasi
Gambar 1. Minolta CR-300 chromameter 1998). Pada tahun 1976, komisi pengukuran warna internasional (CIE, Commission International de l' Eclairage) mengumumkan standar pengukuran warna CIELAB atau CIEL*a*b* untuk benda yang tidak memancarkan cahaya (non-self-luminous) seperti tekstil, cat dan produk dari plastik. Sejak saat itu, sistem pengukuran warna CIELAB telah terbukti mampu membantu standarifikasi pengukuran warna dalam industri, terutama membantu pembuatan nota kesepakatan atau kespahaman antara penjual dan pembeli tekstil, yaitu pencantuman nilai warna berdasarkan nilai L*, a* dan b* dan toleransi yang diperbolehkan (McLaren, 1976; Agoston, 1979). Sistem pengukuran CIELAB juga telah dilakukan untuk produk kayu, seperti kuantifikasi warna alami kayu pinus dan ekaliptus (Krisdianto, 2007), pengukuran warna alami komponen kayu (Nishino et al., 1998), menentukan serangan jamur pelapuk (Katuščák dan Katuščákoá, 1987) dan perhitungan perubahan warna akibat perlakuan panas (Burgois et al., 1991). Dalam sistem pengukuran CIELAB, nilai warna disajikan dalam tiga titik koordinat yaitu L*, a* dan b*. Koordinat pertama L* merupakan kecerahan (lightness) yang berskala dari '0' sampai '100'. Nilai kecerahan 'nol' berarti benda hitam mutlak, sedangkan kecerahan '100' berarti refleksi kecerahan putih sempurna. Nilai a* adalah nilai kemerahan (redness) yang berskala positif 120 (+120) dan
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
negatif 120 (-120). Nilai positif 120 (+120) adalah nilai merah sempurna dan negatif 120 (-120) adalah warna hijau sempurna. Nilai b* adalah nilai koordinat kekuningan (yellowness) yang berskala positif 120 (+120) untuk kuning sempurna dan negatif 120 (-120) untuk biru sempurna (McLaren, 1976). Perbedaan warna suatu benda dapat dinilai berdasarkan tiga hal, yaitu perbedaan warna (ΔE*), sudut warna (hue angle, h°ab) dan kroma (C* ab). Perbedaan warna (ΔE*) merupakan rerata perbedaan jarak dari nilai L*, a* dan b* dalam tiga titik koordinat, sedangkan perbedaan sudut warna adalah perbedaan sudut warna dalam atlas warna yang berbentuk bundar. Perbedaan kroma adalah perbedaan tinggi rendahnya kroma berdasarkan perhitungan Hunter (1987). Perhitungan perbedaan warna yang paling sering dan mudah digunakan adalah perbedaan warna (Δ E* ) (Rumus Perhitungan 1). Perbedaan warna akan tampak oleh mata manusia pada umumnya jika nilai ΔE* lebih dari 1,5 (Horváth dan HalászFekete, 2005). Rumus perhitungan 1.
Dimana ΔL*, Δa* dan Δb* adalah perbedaan nilai awal (i) L*, a* dan b* dengan nilai akhirnya (f). Nilai ΔE* adalah nilai total perbedaan warnanya.
29
C. Warna Alami Kayu Warna alami kayu adalah warna yang dimiliki oleh suatu jenis kayu tanpa mendapatkan perlakuan tertentu. Karakteristik warna kayu disebabkan oleh kandungan zat ekstraktif dalam kayu yang bervariasi dari 1% sampai 20% untuk kayu-kayu tropis. Zat ekstraktif yang memberikan warna kayu bervariasi dari tanin, flavonoid, stilbena, polifenol, fenol dan antosianin (Achmadi, 1990; Uprichard, 1993; Sjostrom, 1993). Variasi kandungan zat ekstraktif tersebut dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan pohon penghasil kayu, sehingga kondisi geografis yang berhubungan dengan kondisi dan jenis tanah mempengaruhi perbedaan warna satu jenis kayu. Kayu jati yang tumbuh di daerah pegunungan berkapur misalnya memiliki kayu yang berwarna coklat lebih tajam dari kayu jati yang tumbuh di tanah tidak berkapur dan tidak jauh dari sumber air. Dalam satu pohon, warna alami kayu bervariasi bergantung posisinya dalam pohon. Kayu dari bagian gubal umumnya lebih pucat warnanya dari bagian teras yang berwarna lebih kuat. Selain itu dalam satu lingkaran pertumbuhan, warna kayu awal yang berada di awal lingkaran pertumbuhan berbeda dengan kayu akhir yang berada di bagian akhir lingkaran pertumbuhan. Perbedaan warna dalam suatu pohon juga disebabkan karena struktur anatomi kayu yang membentuk corak kayu yang khas, seperti bidang perbedaan warna penampang tangensial yang berbeda dengan penampang radialnya yang bercorak garis jari-jari kayu. Untuk keperluan identifikasi kayu, penentuan warna kayu umumnya dilakukan dari penampang tangensial potongan kayu terasnya. Sebagai bahan berlignoselulosa, warna alami kayu berubah sesuai dengan perubahan kadar air dan perlakuan yang dialaminya. Kayu segar dengan kadar air sekitar 100%, memiliki warna coklat umumnya yang lebih kuat daripada kayu yang sudah dikeringkan dengan kadar air dibawah 30%. Hal ini disebabkan perubahan suhu dan kelembaban menyebabkan air menguap dari dalam kayu disertai perubahan kandungan ekstraktif yang berperan dalam warna kayu. Selain itu, terjadi proses oksidasi permukaan kayu yang menyebabkan permukaan kayu terbuka
30
menjadi lebih pucat (Tsoumis, 1991). Penurunan kadar air tidak hanya menjadikan layu lebih pucat, namun pada beberapa jenis kayu menjadikan warna coklatnya lebih kuat, seperti kayu merbau. Hal ini disebabkan pada proses pengeringan alaminya zat warna ikut terbawa keluar dan mengendap di permukaan kayu. Perubahan warna kayu yang nyata adalah akibat pencuacaan (weathering), dimana kayu menjadi lebih pucat akibat radiasi ultraviolet dari sinar matahari dan pencucian oleh air hujan yang diikuti dengan perubahan suhu dan kelembaban. D. Pengukuran Warna Kayu Seperti telah disebutkan sebelumnya untuk identifikasi kayu, warna kayu sebaiknya di ukur pada bagian terasnya. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada papan yang sudah diserut halus pada penampang tangensialnya untuk menghindari corak bergaris karena adanya parenkima jarijari dari bagian radialnya. Untuk menghindari bias pengukuran pada suatu papan, pengukuran warna sebaiknya dilakukan pada kondisi kayu kering alami atau sudah dalam kondisi EMC (Equilibrium Moisture Content) atau seimbang dengan kondisi atmosfer di sekelililngnya. Pengukuran warna kayu dilakukan sebanyak mungkin (+ 30 pengukuran) agar diperoleh rerata yang cukup mewakili nilai warna kayu alaminya. Contoh hasil pengukuran beberapa warna kayu pinus dan eucalyptus dengan Microflash - 200 disajikan dalam Tabel 1. E. Penutup Penentuan warna kayu adalah bagian penentuan warna berdasarkan persepsi otak manusia berdasarkan gelombang cahaya yang diterima oleh retina. Persepsi suatu warna kayu dapat dikuantifikasi dalam nilai berdasarkan sistem pengukuran warna CIELAB. Variasi karakteristik kayu dalam suatu pohon menghasilkan kesepakatan pengukuran warna kayu yang direkomendasikan, yaitu pengukuran dari bagian kayu teras, pada permukaan tangensial dan dilakukan pada kayu yang telah kering udara. Pengukuran dilakukan sebanyak mungkin agar nilai warna seluruh permukaan kayu terwakili.
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Tabel 1. Hasil pengukuran warna kayu pinus dan eucalyptus dengan Microflash - 200 Nilai warna No. Jenis kayu L* a* 1. Pinus palustris 56,464 25,660 2. Pinus resinosa 71,984 20,068 3. Pinus halepensis 72,464 19,168 4. Pinus canariensis 76,248 18,282 5. Pinus radiata 71,064 19,356 6. Pinus sylvestris 72,094 20,306 7. Pinus strobes 77.802 17,554 8. Pinus echinata 69,172 21,242 9. Pinus taeda 69,310 21,388 10. Pinus pinnaster 71,112 19,328 11. Eucalyptus muelleriana 53,643 13,969 12. Eucalyptus grandis 61,642 22,496 13. Eucalyptus microcorys 61,902 13,594 14. Eucalyptus propinqua 45,374 23,918 15. Eucalyptus dives 50,462 18,362 16. Eucalyptus obliqua 55,096 17,152 17. Eucalyptus maculata 53,600 19,220 18. Eucalyptus viminalis 65,098 19,038 19. Eucalyptus gummifera 37,360 22,506 20. Eucalyptus crebra 39,798 20,862
Daftar Pustaka Achmadi, S.S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agoston A. 1979. Color Theory and Its Application in Art and Design. Heidelberg. P.286. Boardman B.E., Senft, G.P. McCabe dan Ladisch, C.M. 1992. Colorimetric analysis in grading black walnut veneer. Wood and Fiber Science 24:99-107. Bourgois J., Janin G dan Guyonner, R. 1991. The colour measurement afast method to study and to optimize the chemical transformations undergone thermically treated wood. Holzforschung 45(5):377-382. Horváth H.Z. dan Halász-Fekete M. 2005. Instrumental colour measurement of Paprika grist in Annals of the Faculty of Engineering. Faculty of Engineering Hunedora. Pp. 101-107. Illic, J. 1990. The CSIRO Macro key for hardwood Identification. Division of Forestry and Forest Products, CSIRO, Melbourne, Australia. P. 125. Katuščák S. dan Katuščákoá G. 1987. Means of objective identification of Spruce wood decay. Holzforschung 41(5):315-320.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
b* 41,810 43,380 43,108 45,022 42,736 45,554 38,370 46,502 45,670 41,720 27,275 31,436 29,836 30,000 27,736 32,342 33,444 30,334 23,350 24,996
Krisdianto, 2007. Colour differences of pine and eucalyptus . Journal of Forestry Research 4(2):83-91. McLaren, J. 1976. The development of the CIE 1976 (L*a*b*) uniform colour-space and colour difference formula. Journal of the Society of Dryers and Colourists 92(9):338-341. Nishino Y. Janin G. Chanson, B. Detienne, P. Grill, J. dan Thibaut B. 1998. Colourimetry of wood specimen from French Guiana. Journal of Wood Science 44(1):3-8. Sjostrom, E. 1993. Kimia Kayu Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi 2 (terjemahan) Gadjah Mada Univ. Press. UGM, Yogyakarta. Tilley, R. 1999. Colour and the optical properties of materials. An exploration of relationship between light, the optical properties of material and colour. Cardiff University, John Willey and Son Ltd. London. P.342. Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, Properties and Utilization. Van Nostrand Reinhold, New York. Uprichard, J.M. 1993. Wood extractives. Dalam Walker, J.C.F. Primary Wood Processing: principle and Practice. Chapman and Hall, London.
31
artikel
STANDAR KAYU LAPIS I N D O N E S I A Paribotro Sutigno
Pada tahun 1968 mulai ada pabrik yang membuat kayu lapis berukuran 2,44 m x 1,22 m sehingga disebut panel. Kayu lapis yang dibuat berupa tripleks yang digunakan untuk bahan peti teh, bahan bangunan dan bahan mebel. Sebelum tahun 1968 yang dibuat adalah tripleks berukuran panjang kurang dari satu meter dan lebar kurang dari setengah meter yang digunakan untuk peti teh dan barang kerajinan. Pada tahun 1970-an berdiri beberapa pabrik kayu lapis yang membuat tripleks dan multipleks berukuran 2,44 m x 1,22 m serta mulai ada yang diekspor, sehingga mendorong pemerintah untuk membuat standar kayu lapis. Pada tahun 1981 mulai dibuat standar kayu lapis. Berdasarkan lembaga pemerintah yang membuatnya, disebut Standar Kehutanan Indonesia (SKI), Standar Industri Indonesia (SII) dan Standar Perdagangan (SP). Materinya sama, yaitu berasal dari Standar Amerika. Pada standar ini ada 2 macam mutu perekatan yaitu tipe I (eksterior) dan tipe II (interior) serta 4 macam mutu lapisan muka, yaitu A, B, C dan D. Pada pengujian mutu perekatan, selain nilai geser tarik, diperhatikan juga kerusakan kayu. Pada Standar Amerika ada dua macam mutu perekatan yaitu tipe I dan tipe II serta ada 4 macam mutu lapisan muka yaitu BB, CC, OVL (Overlay) dan UTY (Utility). Standar bersifat sukarela sehingga pasar yang menentukan standar yang digunakan oleh produsen untuk ekspor ke negara tertentu. Standar Inggris dipakai untuk ekspor kayu lapis ke Eropa yang mempunyai 4 macam mutu perekatan, yaitu Interior (INT), Moisture Resistance (MR), Boil Resistance (BR) yang kemudian berubah menjadi Cyclic Boil Resistance (CBR) dan Weather and Boil Proof (WBP). Bila dibandingkan dengan Standar Amerika, MR setara dengan tipe II dan WBP setara dengan tipe I. Mutu perekatan ditentukan oleh nilai geser tarik dan kerusakan kayu. Mutu lapisan muka tidak mengacu ke Standar Inggris (3 macam) tetapi ke Standar Amerika (4 macam) dengan istilah BB, CC, OVL dan UTY. Pada tahun 1980-an ekspor kayu lapis ke Jepang meningkat dan standar yang dipakai adalah Standar Jepang. Pada standar ini dikenal 4 macam mutu perekatan, yaitu tipe III, tipe II, tipe I dan tipe khusus. Dibandingkan dengan Standar Inggris, tipe III lebih rendah dari INT karena tipe III diuji dalam keadaan kering sedangkan INT diuji setelah direndam dalam air dingin. Tipe II setara dengan MR, tipe I setara dengan CBR dan tipe khusus setara dengan WBP. Mutu perekatan ditentukan oleh nilai geser 32
tarik, nisbah tebal lapisan inti dengan lapisan muka (tebal rata-rata lapisan muka+lapisan belakang) dan jenis kayu atau kelompok jenis kayu. Mutu lapisan muka tidak mengacu ke Standar Jepang (3 macam), tetapi ke Standar Amerika (4 macam) dengan istilah BB, CC, OVL, UTY. Berdasarkan pengalaman melaksanakan Standar Jepang dengan volume kayu lapis yang besar maka standar kayu lapis Indonesia yang semula hanya mengenal 2 macam mutu perekatan pada tahun 1992 diubah menjadi 4 macam yaitu tipe eksterior I yang setara dengan tipe khusus, tipe eksterior II yang setara dengan tipe I, tipe interior I yang setara dengan tipe II dan tipe interior II yang setara dengan tipe III. Cara pengujian dan persyaratan mutu perekatannya mengikuti Standar Jepang, yaitu 7 2 kg/cm setelah diperhitungkan dengan nisbah tebal lapisan inti dengan lapisan muka. Tipe interior II diuji dalam keadaan kering sehingga sesuai dengan industri kecil. Mutu lapisan muka 4 macam, yaitu A, B. C dan D mengikuti Standar Amerika disesuaikan dengan keadaan di Indonesia (modifikasi), sedangkan mutu lapisan belakang hanya satu macam berupa persyaratan minimal. Pembentukan Dewan Standardisasi Nasional (DSN) pada tahun 1989 disusul dengan penyusunan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) 1992 dan peresmian SNI (Standar Nasional Indonesia) sehingga tidak ada lagi standar sektoral yang dikeluarkan oleh suatu kementerian. Sebagai contoh dalam hal kayu lapis dikenal ada SNI Kayu lapis penggunaan umum dengan 4 macam mutu perekatan dan 4 macam mutu lapisan luar seperti dikemukakan di atas. Selain itu ada SNI Kayu lapis struktural dan SNI Kayu lapis indah jati. Pada tahun 1997 DSN berubah menjadi Badan Standardisasi Nasional (BSN) disusul dengan penyusunan SSN 2001 sebagai penyempurnaan SSN 1992. Panitia Teknis (PT) dibentuk di setiap lembaga teknis misal kementerian untuk menyusun Rancangan SNI, yang ketentuannya tercantum dalam SSN 1992 dan SSN 2001. Pada tahun 2005 BSN mengadakan penyeragaman pembentukan PT berdasarkan International Classification for Standards (ICS) lengkap dengan contoh Standar ISO terkait. Sebagai contoh ICS 79 Teknologi kayu meliputi antara lain kayu bundar, kayu gergajian, kayu Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
lapis, papan partikel dan papan serat. Berdasarkan ICS ini dibentuk PT 79 Hasil Hutan Kayu. Dalam perdagangan sudah lama dikenal penyeragaman semacam itu, yang dikenal dengan HS. Penyusunan standar dapat dilakukan berdasarkan (1) adopsi standar negara lain atau standar internasional atau (2) berdasarkan penelitian. Dalam hal adopsi dapat dilakukan secara identik atau modifikasi. Penyusunan standar kayu lapis sebelum dan setelah SNI seperti telah dikemukakan di atas dilakukan berdasarkan adopsi modifikasi dari standar negara lain, yang berarti ada penyesuaian dengan keadaan di Indonesia. Format standar disesuaikan dengan format yang dipakai di Indonesia, isi standar disesuaikan dengan pengalaman industri di Indonesia dalam membuat dan memasarkan produk. BSN menerapkan adopsi identik (IDT) Standar ISO secara bertahap, minimal format SNI maksimal format dan isi SNI. Mengenai isi berarti menerjemahkan Standar ISO. Bila tidak dapat dilakukan adopsi identik, dilakukan adopsi modifikasi (MOD), yaitu ada bagian yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Dalam hal kayu lapis kebanyakan dilakukan adopsi identik meliputi format dan isi. 1 SNI ISO 2074:2008 Kayu lapis - Istilah dan definisi (ISO 2074:2007, IDT) 2 SNI ISO 1096:2010 Kayu lapis - Klasifikasi (ISO 1096:1999, IDT) 3 SNI ISO 2426-1:2008 Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 1: Umum (ISO 2426-1:2000, IDT) 4 SNI ISO 2426-2:2008 Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan permukaan - Bagian 2 : Kayu daun lebar (ISO 2426-2:2000, IDT) 5 SNI ISO 2426-3:2008 Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan - Bagian 3 : Kayu daun jarum (ISO 2426-3:2000, IDT) 6 SNI ISO 12466-1:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan Bagian - 1 : Cara uji (ISO 12466-1:2007, IDT) 7 SNI ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan Bagian - 2 : Persyaratan (ISO 12466-2:2007, IDT) 8 SNI 7630:2011 Kayu lapis - Toleransi ukuran (ISO 1954:1999, MOD) Selain itu karena kayu lapis termasuk panel kayu perlu dilihat pula SNI ISO 9426:2008 Panel kayu - Penentuan dimensi panel (ISO 9426:2003, IDT), SNI ISO 16979:2008 Panel kayu - Penentuan kadar air (ISO 16979:2003, IDT). Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: 1 Selama ini kita mengenal standar kayu lapis merupakan satu kesatuan (tidak dipecah menjadi beberapa standar), seperti pada SNI 01 - 5008.2 - 2000 kayu lapis penggunaan umum, pada Standar Amerika (IHPA) dan Standar Inggris (BS).
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
2 Mutu perekatan dibagi menjadi 3 kelas, yaitu untuk penggunaan dalam keadaan kering, untuk penggunaan dalam keadaan lembab dan untuk penggunaan dalam keadaan eksterior. Walau untuk penggunaan dalam keadaan kering tetapi pengujiannya dilakukan setelah peredaman 24 jam dalam air dingin. Hal ini berarti lebih tinggi dari SNI Kayu lapis penggunaan umum untuk tipe interior II yang pengujiannya dilakukan dalam keadaan kering. Kelas untuk penggunaan dalam keadaan lembab setara dengan tipe eksterior II dan kelas untuk penggunaan dalam keadaan eksterior setara dengan type eksterior I pada SNI Kayu lapis penggunaaan umum. 3 Persyaratan mutu perekatan ditetapkan berdasarkan nilai geser tarik dengan memperhatikan kerusakan kayu. 4 Penampilan permukaan dibagi menjadi 5 kelas, yaitu E, I, II, III dan IV berdasarkan cacat (ciri) alami dan berdasarkan cacat teknis (proses pembuatan). Pada kelas E penampilan permukaan tanpa cacat, baik cacat alami maupun cacat teknis. Penampilan permukaan tersebut dibedakan antara kayu daun lebar dan kayu daun jarum. Berhubung SNI ISO Kayu lapis tidak merupakan satu kesatuan, perlu dibuat rangkuman sehingga merupakan satu kesatuan dan lebih mudah dipahami. Rangkuman ini ada 3 macam, yaitu berupa buku berjudul Pengujian Kayu Lapis, berupa brosur berjudul Mengenal Kayu Lapis dan berupa abstrak berjudul Standar Kayu Lapis. Buku berukuran kuarto, sedangkan brosur dan abstrak berukuran setengah kuarto. Isi buku lebih lengkap daripada isi brosur sehingga dapat digunakan dalam pelatihan Penguji Kayu Lapis dan dapat digunakan sebagai petunjuk teknis oleh pihak yang melakukan pengujian kayu lapis. Isi brosur lebih sederhana, meliputi pengertian, macam, sifat, kegunaan dan mutu kayu lapis sehingga dapat digunakan untuk promosi kayu lapis dan SNI nya, pelatihan penyuluh, rujukan bagi karyawan lembaga yang ditugasi melakukan pengadaan barang, pelatihan karyawan perusahaan yang membuat dan menjual kayu lapis, untuk produsen dalam membuat selebaran promosi kayu lapis yang dibuatnya disertai data hasil uji mutunya serta sebagai penyeimbang dari selebaran yang dibuat oleh produsen. Selama ini pihak produsen sudah biasa membuat selebaran untuk promosi produknya yang seharusnya diimbangi oleh pemerintah dengan membuat selebaran atau brosur untuk promosi produk dan SNI nya. Isi abstrak lebih ringkas daripada isi selebaran dan dipakai untuk keperluan kartu pustaka, website, dan buku abstrak. Hal ini sesuai dengan program pemasyarakatan SNI dan program penggunaan produk Indonesia.
33
OPINI
Apakah
SNI Perlu Banyak?
(Kasus Sektor Kehutanan) Paribotro Sutigno
S
emua pihak mengakui bahwa standar merupakan hal yang penting, baik standar formal maupun standar informal. Mengingat hal ini wajar ada semboyan “Standar bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya tanpa standar bukan berarti apa-apa”. Walaupun demikian ada yang berpendapat standar nasional perlu banyak, tetapi ada yang berpendapat standar nasional tidak perlu banyak. Standar yang dikeluarkan oleh suatu negara termasuk standar formal seperti Standar Nasional Indonesia (SNI). Jumlah SNI pada saat ini sekitar 7.000-an, sehingga Indonesia merupakan negara ASEAN yang mempunyai standar terbanyak. Berdasarkan katalog SNI Bidang Kehutanan sampai dengan tahun 2012 ada 134 SNI yang dibagi menjadi 3 kelompok sesuai dengan Panitia Teknis (PT), yaitu: (1) Panitia Teknis 79-01, Hasil hutan kayu. Ada 3 kelompok, yaitu Kayu bundar 10 SNI, Produk kayu olahan 66 SNI, Pendukung 16 SNI. Jumlah 92 SNI. (2) Panitia Teknis 65-01, Pengelolaan hutan. Ada 4 kelompok, yaitu Pengelolaan hutan 8 SNI, Pembenihan 13 SNI, Bibit 8 SNI, Bibit 8 SNI, Pendukung 8 SNI. Jumlah 37 SNI . (3) Panitia Teknis 65-02, Hasil hutan bukan kayu. Tidak dibagi menjadi kelompok, 13 SNI. Panitia Teknis 79-01. Hasil hutan kayu. SNI mengenai kayu bundar termasuk sedikit karena hanya dibedakan ke dalam kayu bundar jati, kayu bundar rimba, kayu bundar daun lebar, kayu bundar daun jarum. Semula SNI kayu bundar rimba dibedakan menjadi sortimen Kayu Bundar Besar (KBB) dan Kayu Bundar Sedang (KBS). Selain itu ada SNI Kayu bundar sungkai, merbau, perupuk, Gmelina dan Acacia mangium, eboni, kuku, sengon dan jabon, mahoni, rasamala, sonokeling dan sonokembang serta seratus jenis kayu bundar rimba yang semuanya termasuk kayu daun lebar. Dalam hal kayu daun jarum semula ada SNI Kayu bundar tusam, agatis. Kalau tidak ada program penyederhanaan jumlah standar, mungkin akan ada SNI mengenai kayu bundar kayu daun jarum yang lain, seperti Podocarpus , Dacrydium, Araucaria. SNI mengenai produk kayu olahan termasuk banyak (61 buah) karena meliputi beberapa macam kelompok produk dan kelompok pendukung. Sebagai contoh kelompok produk adalah kayu gergajian, kayu bentukan,
34
kayu lapis dan lantai kayu. Contoh kelompok pendukung adalah cara uji emisi formaldehida, pengemasan dan penandaan. SNI kayu lapis termasuk papan blok ada beberapa macam seperti kayu lapis penggunaan umum, kayu lapis struktural, kayu lapis alas peti kemas, kayu lapis bermuka film, kayu lapis indah jati, kayu lapis indah dan papan blok indah. Mulai tahun 2008 ada program penyusunan SNI berdasarkan adopsi identik dari Standar ISO. Format standar ini tidak terpadu seperti yang selama ini dikenal (satu produk meliputi semua aspek) tetapi satu produk dipecah menjadi beberapa bagian atau beberapa standar. Sebagai contoh SNI ISO 2074:2008. Kayu lapis - Istilah dan definisi, SNI ISO 1096: 2010 Kayu lapis - Klasifikasi, SNI ISO 12466-1:2010 Kayu lapis - Mutu perekatan - Bagian 1: Cara uji dan SNI ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - Mutu Perekatan Bagian 2: Persyaratan. Panitia Teknis 65-01. Pengelolaan hutan SNI mengenai pengelolaan hutan (nama kelompok) meliputi pengelolaan dan pengusahaan hutan. SNI mengenai perbenihan meliputi penanganan dan uji benih. Dalam hal uji benih ada yang berhubungan dengan jenis pohon seperti jati dan cendana. SNI mengenai pendukung meliputi sumber benih, persemaian, inokulasi dan pengumpulan buah tanaman kehutanan. Panitia Teknis 65-02. Hasil hutan bukan kayu SNI mengenai produk ini berhubungan dengan macam hasil hutan bukan kayu, seperti getah tusam, gondorukem, terpentin, damar, kopal, biji tengkawang, gambir, minyak kayu putih dan madu. Ada produk yang merupakan bahan baku seperti getah tusam, damar dan kopal serta ada yang merupakan hasil olahan seperti godorukem, terpentin dan minyak kayu putih. Pembahasan Setiap kebijakan ada positif dan ada negatifnya, demikian juga kebijakan SNI banyak atau SNI sedikit. Aspek positif SNI banyak adalah cakupan luas sedangkan aspek negatifnya adalah memerlukan biaya yang besar, seperti biaya penyusunan dan pemeliharaannya (antara lain kaji ulang). Aspek positif SNI sedikit adalah biayanya tidak banyak sedangkan aspek negatifnya adalah cakupannya tidak banyak.
Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Contoh kebijakan SNI sedikit adalah program penyederhanaan jumlah SNI seperti dalam hal SNI mengenai kayu bundar yang telah dikemukakan di atas. SNI kayu bundar daun lebar dan SNI kayu bundar daun jarum. Contoh lain adalah pada hasil kaji ulang SNI tahun 2012 ada penyederhanaan jumlah SNI mengenai benih dan bibit dari 8 menjadi 5 buah serta tidak lagi menyebut jenis pohon. Bila sudah diputuskan akan menganut kebijakan SNI sedikit, beberapa program yang dapat dibuat antara lain: (1) SNI disusun untuk hal yang penting saja seperti menyangkut penggunaan yang luas dan merupakan “payung standar” sehingga dapat dijabarkan menjadi beberapa peraturan teknis. Ruang lingkup tiap PT dilengkapi dengan SNI yang sudah ada dan belum ada sehingga diketahui SNI yang perlu dibuat dan prioritasnya serta kemungkinan penjabarannya menjadi peraturan teknis (seperti spesifikasi teknis yang dikenal di kalangan industri). Ada pabrik mebel yang sepakat dengan pemasok kayu untuk membuat spesifikasi teknis kayu bundar mindi. Contoh SNI 012025-1996 Kayu lapis indah dan papan blok indah dapat dijadikan payung standar bagi semua macam kayu lapis indah dan papan blok indah (kalau perlu setelah direvisi) dari berbagi jenis kayu indah seperti jati, mahoni dan sonokeling. “Standar” produk ini yang berbeda karena jenis kayunya cukup dibuat berupa peraturan teknis. (2) Penggabungan beberapa SNI yang sudah ada seperti contoh pada SNI mengenai kayu bundar tersebut di atas. SNI mengenai papan sambung dan bilah sambung dapat dibuat untuk menggabungkan SNI 01-6020-1999 Mutu dan cara uji papan sambung dekoratif, SNI 016243-2000 Papan sambung dan bilah sambung untuk kusen daun jendela dan daun pintu, SNI 01-6243-22000 Papan sambung dan bilah sambung untuk meja. (3) Perluasan SNI yang ada melalui revisi seperti SNI 015508-3-2000 Venir sayat jati menjadi Venir sayat yang dapat menjadi “payung standar” bagi peraturan teknis venir sayat dari berbagai jenis kayu. Hal serupa berlaku juga bagi SNI mengenai venir kupas yang merupakan “payung standar” bagi peraturan teknis venir kupas dan berbagai jenis kayu. Penyusunan peraturan teknis akan lebih cepat dan lebih murah daripada penyusunan SNI. (4) Tidak semua Standar ISO harus diadopsi (identik atau modifikasi). Contoh: Standar ISO mengenai kayupenentuan kekuatan maksimum pada lentur statis (kemudian menjadi SNI No 3133:2010). Bila standar ISO itu tidak diadopsi, tidak akan mempengaruhi perdagangan kayu. Lembaga penelitian sebagai pengguna standar semacam itu mengetahui standar yang dipakai seperti ASTM. Sebagaimana dikemukakan di atas ruang lingkup tiap PT perlu dilengkapi dengan SNI yang sudah ada dan yang akan dibuat serta prioritasnya. Hal ini berarti membuat
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
rincian ruang lingkup utama dari standardisasi sektor kehutanan. Dengan demikian dapat diketahui berapa banyak SNI sektor kehutanan yang akan dibuat dan dalam jangka waktu berapa lama akan selesai. Standar kompetensi kerja merupakan suatu macam standar. Ada info bahwa di Australia sebelum menyusun standar ini dibuat ruang lingkupnya dulu secara rinci dan penyusunannya selesai dalam 10 tahun. Sesuai dengan kebijakan SNI sedikit, maka tidak semua “standar” menjadi SNI, tetapi sebagian berupa peraturan teknis yang berinduk pada “payung standar” SNI. Hal itu berarti tidak semua produk standar harus berupa SNI, seperti juga tidak semua produk hukum harus berupa undang-undang. Pelaksanaan kebijakan SNI sedikit berarti menghemat biaya, menghemat waktu dan menghemat tenaga. Hal ini berarti tersedia biaya, waktu dan tenaga untuk kegiatan standardisasi lain yang bermanfaat seperti pembuatan brosur dan selebaran dalam rangka pemasyarakatan SNI. Manfaat brosur dan selebaran bagi masyarakat antara lain mengenal SNI, mengenal produk sehingga tidak salah pilih dan tidak salah pakai, misal produk berupa kayu lapis. Brosur dan selebaran itu dibagikan kepada produsen dan konsumen disertai penjelasan dan dikaitkan dengan kegiatan lain, seperti pameran, pelatihan, pendidikan dan penyuluhan. Pengertian konsumen dalam arti yang luas, termasuk antara lain pedagang dan lembaga pemerintah (agar dalam pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah sesuai dengan SNI). Pembuatan brosur dan selebaran sudah biasa dilakukan oleh produsen dalam rangka promosiproduknya (barang dan jasa). Beberapa produsen mencantumkan data hasil pengujian barang disertai standar yang digunakan. Dengan demikian brosur dan selebaran yang dibuat pemerintah dalam rangka pemasyarakatan SNI merupakan pembanding atau penyeimbang dari yang dibuat produsen. Contoh sederhana dari selebaran adalah mengenai macam dan ukuran kayu gergajian yang merupakan bagian dari SNI mengenai kayu gergajian. Selebaran ini merupakan awal dari seri selebaran mengenai kayu gergajian dengan judul tetap yaitu “Kayu gergajian”, sub judul “Macam dan ukuran”. Pada seri kedua, sub judul berubah tergantung pada aspek yang dibahas, sedangkan judul tetap.Bila hal ini berhasil kemudian diterapkan pada yang lain, misal “Kayu lapis” (judul), “Macam dan ukuran” (sub judul). Penutup Standar merupakan hal yang penting karena bermanfaat dalam berbagai macam kegiatan. Dalam hal standar nasional ada dua pendapat, yaitu standar nasional perlu banyak dan standar nasional tidak perlu banyak. SNI merupakan contoh dari standar nasional. Bila dianut kebijakan SNI sedikit maka perlu diikuti dengan membuat peraturan teknis sebagai turunan dari SNI. Hal ini berarti SNI sebagai “payung standar”.
35
ARTIKEL
UJI PENETRASI BORON
SEDERHANA Didik Ahmad Sudika A. PENDAHULUAN Keberhasilan proses pengawetan kayu ditentukan oleh dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu retensi dan penetrasi. Retensi adalah sejumlah bahan pengawet kering yang masuk atau diserap selama dalam proses pengawetan ke dalam kayu yang dinyatakan dalam satuan kg/m³. Sedangkan penetrasi adalah kedalaman penembusan bahan pengawet ke dalam kayu yang dinyatakan dalam satuan milimeter (mm) atau prosentase (%) terhadap luasan pada bidang permukaan kayu yang telah diawetkan. Pengamatan penetrasi boron dilakukan setelah kayu selesai diawetkan. Kegiatan pengujian penetrasi dapat dilakukan oleh produsen (pengusaha pengawetan) maupun konsumen sebagai pemakai jasa pengawetan. Banyak unsur garam yang dikandung bahan pengawet, salah satu kandungan garam di antaranya boron. Apabila pengawetan kayu memakai unsur boron untuk mengetahui adanya boron di dalam kayu, dilakukan pengujian/pengetesan dengan mengggunakan pereaksi campuran ekstrak kurkuma, alkohol asam klorida pekat dan asam salisilat. Bahan untuk pembuatan pereaksi boron tersebut saat ini harganya relatif mahal dan sukar didapat, sehingga banyak dikeluhkan oleh produsen pengawetan kayu dan pemakai kayu yang diawetkan. Untuk mengatasi hal tersebut di atas dapat dipakai dengan cara dan bahan lain yang sederhana dan harganya relatif murah dan mudah didapat yaitu dengan serbuk kunyit, spirtus bening dan air keras sebagai pengganti ekstrak kurkuma, alkohol dan asam klorida pekat. Dalam tulisan ini diuraikan cara membuat peraksi boron dan perkiraan biaya pembuatannya dibandingkan dengan pereaksi yang biasa digunakan. B. BAHAN DAN ALAT PEMBUATAN PEREAKSI 1. Bahan = Serbuk kunyit = Spirtus bening = Air keras (nama dagang untuk asam klorida) = Asam salisilat
36
2. Peralatan = Timbangan = Gelas pengukur larutan = Pengaduk = Corong plastik = Handsprayer, tempat menyimpan larutan 3. Larutan pereaksi terdiri dari dua macam, yaitu pereaksi A dan Pereaksi B a. Cara pembuatan pereaksi A 500 mL: = Timbang 50 gram serbuk kunyit = Tambahkan spirtus bening hingga 500 mL = Aduk dan diamkan beberapa saat hingga serbuk kunyit mengendap = Tuangkan larutan ke dalam handsprayer yang telah diberi label b. Cara pembuatan peraksi B 500 mL: = Takar 400 mL spirtus bening = Tambahkan 100 mL air keras, lalu diaduk = Tambahkan asam salisilat sambil terus diaduk, sehingga tidak melarut lagi (diperkirakan 65 gram asam salisilat) = Tuangkan larutan ke dalam handsprayer yang telah diberi label C. PENGUJIAN PENETRASI BORON Pereaksi A hasil rekayasa bahan, semprotkan pada salah satu bidang potong contoh uji penetrasi dan diamkan beberapa detik, kemudian semprotkan pereaksi B. Biarkan beberapa menit, sampai timbul warna merah untuk contoh uji yang mengandung boron. Bagian yang tidak m e n ga n d u n g b o ro n b e r wa r n a ku n i n g . U nt u k mempercepat timbulnya warna merah, dapat juga potongan contoh uji penetrasi yang telah disemprot kedua pereaksi, dijemur. Hasil uji penetrasi dengan penampakan warna merah hasil spotes pereaksi rekayasa dibanding hasil uji penetrasi dari pereaksi dari toko tidak ada perbedaan penampakan warna. D. BIAYA PEMBUATAN PEREAKSI Perbandingan biaya bahan untuk pembuatan 500 mL pereaksi yang biasa digunakan dengan memakai bahan dari kimia murni dibanding dengan pemakaian peraksi hasil pembuatan dari bahan secara sederhana tercantum pada Tabel 1. Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013 = FORPro
Foto 1. Potongan melintang contoh kayu
Foto 2. Setelah disemprot dengan pereaksi A
Foto 3. Warna merah adalah Penetrasi setelah disemprot dengan pereaksi A dan B
Tabel 1. Perbandingan biaya pembuatan 500 ml pereaksi uji boron Pereaksi yang biasa digunakan di laboratorium Bahan
Pereaksi secara sederhana
Harga (Rp) *
Bahan
Pereaksi A - 5 gr ekstrak kurkuma (pa) - 500 ml alkohol 96 % (teknis)
482.720** 26.000
Pereaksi B - 100 ml asam khlorida pekat - 400 ml alkohol 96 % - 65 gr asam salisilat
32.720 20.800 45.903
Jumlah
608. 143
BAHAN BACAAN Anonim, 1994.,Standard methods for determining of preservatives And fire retardants. American-wood Preservers Association. Wodstock.
- 50 gr serbuk kunyit - 500 ml spirtus bening
- 100 ml airkeras - 400 ml spirtus bening - 65 gr asam salisilat teknis
Harga (Rp)* 2.000 5 000
2.000 ** 4.000 9.750 22.750
Marianto, A. 1996.,Studi penetrasi dan retensi berbagai bahan pengawet pada kayu perumahan. Skripsi Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Pakuan Bogor (tidak diterbitkan).
Barly dan Sasa Abdurrohim, 1996, Petunjuk teknis pengawetan kayu untuk bangunan hunian dan bukan hunian. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
FORPro = Vol. 2, No. 1 Edisi Juni 2013
37