KATA PENGANTAR
Dalam rangka kegiatan penyelenggaraan Pendidikan Marine Science Tahun 1990/1991 dengan kode kegiatan 01.05.4 maka telah disusun Diktat Kuliah.untuk materi kuliah Akustik Kelautan dengan Judul Akustik.Kelautan Yang ditulis oleh Dr. Ir,. I Nyoman Arnaya dosen Fakultas Perikanan IPB. Ini merupakan satu Diktat Kuliah dari keseluruhan 9 Diktat Kuliah dan 1 Pedoman Praktikum yang dibuat untuk secara spesifik menunJang kurukulum semester ganjil dan genap -tahun, kuliah 1991/1992 dari Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan IPB. Kami harap realisasi kegiatan ini membantu peningkatan kelancaran pelaksanaan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan IPB
Bogor,
Maret 1991
DAFTAR ISI
1.
PENDAHULUAN 1.1 Definisi 1.2 Sejarah Perkembangan 1.3 Keunggulan Metode Akustik 1.4 Ruang Lingkup Penggunaan
2.
TARGET STRENGTH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 2.1 Target Strength 2.2 Ukuran Ikan 2.3 Gelombang Renang 2.4 Tingkah Laku/Orientasi 2.5 Acoustic Impedante 2.6 Ensonifying Frequency/Panjang Gelombang Suara 2.7 Beam Pattern 2.8 Spesies/Jenis Ikan 2.9 Kecepatan Renang 2.10 Multiple Scattering/Shadowing Effect
3.
PENGUKURAN TARGET STRENGTH 3.1
3.2
Kondisi Terkontrol 3 1 1 Tethered-Method 3.1.2 Cage Method Kondisi "In Situ” 3.2.1 Metode Tidak Langsung 3.2.2 Metode Langsung (1) Dual-beam method (2) Split-beam method (3) Quasi-ideal-beam method 3.2.3 Kombinasi Metode Akustik dan Metode Lain
4.
PENDUGAAN STOK IKAN DENGAN METODE AKUSTIK 4.1 Echo Countin 4.2 Echo Integration 4.2.1 Single Beam System 4.2.2 Dual -Beam Sys em 4 2 3 Split-Beam System 4:2:4 Quasi-ideal-beam System 4.2.5 Frequency-Diversity System
5.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 01.
Model sistem linier dari echo sounder
Gambar 02.
Hubungan antara target strength dam panjang ikan
Gambar 03.
Perbedaan kecenderungan umum dari target strength “bladder fish” dan “bladderless fish”
Gambar 04.
"Directional pattern" dari ikan dengan (tilt angle) yahg berbeda untuk panjang ikan dan frekuensi tertentu
Gambar 05.
Pengaruh orientasi (tilt angle) terhadap dorsal' aspek target Strength dari kan a. "Bladder fish" b. "Bladderless fish
Gambar 06.
Pegaruh acoustic Impedance (PC) terhadap target strenth "bladderless fish"
Gambar 07.
Hubungan antara frekuensi dam target strength untuk ikan dengan panjang yang sama
Gambar 08.
Hubungan antara beam pattern dan target strength
Gambar 09.
Hydrophone dalam pengukuran target strength dengan "tethered method”
Gambar 10.
Penggunaan "standard target" dalam pengukuran target strength dengan "tethered method''.
Gambar 11.
Experimental set-up dari pengukuran target strength dengan "cage method”
Gambar 12.
Penampang melintang dari “acoustic beam pattern”, untuk penghitungan target strength dengan metode Craig-Forbes.
Gambar 13.
"Beam pattern" dari dual-beam transducer.
Gambar 14.
Bentuk dari split-beam transducer dan “full-beam” transducer
Gambar 15.
Bentuk dari quasi-ideal beam
Gambar 16.
Block diagram dari cara penghitungan in situ target strength dengan "quasiideal-beam method
Gambar 17.
Kriteria untuk penentuan echo target tunggal pada echo counter
Gambar 18.
Block diagram dari sistem echo counter dan echo integrator secara umum
Gambar 19.
Block diagram dari “cimbined dual-beam/echo Integrator system”
Gambar 20.
Block diagram dari sistem perolehan dan pemrosesan data pada split-beam acoustic system
Gambar 21.
Block diagram dari "combined split-beam/echo integration acoustic system''
Gambar 22.
Block diagram dari penghitungan SV pada, "Quasi ideal beam acoustic system"
Gambar 23.
Block diagram dari “Frequency-Diversity System” dalam penghitungan SV
1. PENDAHULUAN
Definisi Akustik Kelautan yang dalam bahasa Inggrisnya disebut “Marine Acoustics”, adalah teori tentang Gelombang suara/akustik dan perambatannya di air laut. Dengan demikian, dalam Akustik Kelautan ini proses pembentukan gelombang suara sifat-sifat perambatannya, serta proses-proses selanjutnya hanya dibatasi pada, medium air laut, bukan air secara keseluruhan seperti halnya pada Akustik Bawah Air (Underwater Acoustics)
Sejarah Perkembangan Walaupun pengukuran kecepatan suara telah dilakukan sejak tahun 1927 oleh, ahli Fisika Swiss dan ahli Matematika Perancis, tetapi secara komersial Akustik Kelautan mulai dikembangkan oleh Inggris pada Perang Dunia II Pada permulaan Perang Dunia II tersebut, diketemukanlah ASDlC (Anti Submarine Detection Investigating Committee), suatu instrumen akustik yang digunakan untuk mendeteksi kapal selam (submarine) (Urick, 1983). Untuk tujuan-tujuan
damai,
khususnya
dalam
eksplorasi
dam
eksploitasi
sumberdaya hayati laut, baru dilakukan setelah Perang Dunia III. Secara garis besar sampai dekade (dasawarsa 80-an), kiranya dapat kita catat beberapa kemajuan penting yang telah dicapai oleh para ahli Akustik Kelautan seperti tertera berikut ini.
(1)
Dekade 1945 - 1955 Pada periode ini, pengalaman pendeteksian ikan yang diperoleh sebelumya
(khususnya oleh ahli Norwegia yang bernama Sund, 1935) mulai dimanfaatkan untuk membantu pemenuhan permintaan akan pangan dan protein. Kemudian pada tahun 1950, seorang ahli Norwegia juga (Devold) berhasil mendeteksi dan melokalisir gerombalan ikan Atlanto scandian herring yang sedang Mencari ikan. Selanjutnya pada musim dingin 19501951, Devold berhasil juga mendeteksi gerombolan ikan herring dewasa yang akan melakukan pemijahan. Setelah alat pendeteksian akustik menjadi alat baku (standard),
bukan saja untuk kapal-kapal peneliti perikanan tetapi juga untuk armada penangkapan, ikan (fishing fleets, terutama oleh negara-negara Scandinavia dan Uni Soviet.
(2)
Dekade 1955 - 1965 Pada permulaan periode ini berkat pengembangan daerah penangkapan ikan
misalnya dengan ditemukannya sistem-upwelling di dunia, maka produksi ikan sangat meningkat. Oleh Perserik.atan Bangsa bangsa PBB dimulailah dibuat proyek, pengembangan di Somalia, kemudian dengan cepat disusul oleh negara-negara penangkap ikan yang memiliki penangkapan ikan jarak jauh (long-distance fleets) seperti Jepang dan Uni Soviet. Ekspansi tersebut pads prinsipnya adalah berkat peningkatan penggunaan instrumen pendeteksian ikan baik horizontal (sonar) maupun vertical (echo sounder). Beberapa negara maju secara berlomba-lomba membuat instrumen kelautan tersebut, yakni Norwegia, Inggris Perancis, Amerika, Jerman, Jepang dan Uni Soviet. Kuantifikasi dari pendugaan stok ikan dilakukan dengan melihat echogram, sehingga hanya bisa menentukan saat-saat yang tepat untuk mengoperasikan alat penangkapan ikan.
(3)
Dekade 1965 - 1975 Pada permulaah periode ini, produksi ikan dunia mulai merosot sehingga
penangkapan
ikan
harus
dilakukan
dengan
hati-hati
dengan
memperhitungkan
kemelimpahan stoknya. Dengan demikian, maka mulailah dikembangkan metode akustik untuk “stock assessment” dalam rangka manajemen stok ikan yang bersangkutan. Dalam periode ini mulai dikembangkan "pulse counter'' oleh Inggris untuk menghitung jumlah individu target (ikan). Selanjutnya oleh Norwegia diketemukan "Analog Echo Integrator" untuk menghitung total biomass dari suatu perairan, yang disursvai yang kemudian dikenal dengan nama SIMRAD QM-Echo Integrator. Ternyata kemudian analog echo integrator ini relatif mahal untuk diproduksi. secara komersial dan sangat sulit untuk dikalibrasi yakni untuk mengkonversi nilai integrasi echo menjadi estimasi biomass. Dengan adanya berbagai kesulitan tersebut, Amerika (University of Washington di Seattle) mulai meneliti dan mengembangkan “digital echo integrator”. Terobosan ini
dimungkinkan karena diketemukan alat pemrosesan sinyal (echo signal processor) yang baru dan berkat bantuan teknologi komputerisasi, khususnya minicomputer. Selanjutnya untuk pengukuran in situ target strength, oleh ahli fisika & matematika Amerika (Ehrenberg) diketemukanlah “dual-beam acoustic system” yang kemudian disusul dengan dikembangkannya “towed-underwater vehicle” yang selanjutnya menjadi keunggulan komparatif dari produksi Amerika. (4)
Dekade 1975 - 1985 Walaupun ide “split-beam system” pertama kali ditemukan di Amerika, tetapi untuk
penerapan teknologinya dikembangkan oleh Norwegia yakni dengan diproduksinya “SIMRAD split-beam acoustic system”. Sistem ini yang merupakan keunggulan teknologi yang dimiliki Norwegia sebenarnya merupakan pengembangan dari “SIMRAD QD-Echo Integrator” (digital echo integrator) yang memiliki kelemahan dalam mendapatkan nilai “in situ target strength”. Jadi jelaslah bahwa kalau di Norwegia pengembangan “scientific echo sounder” dipusatkan pada “split-beam acoustic system”, maka di Amerika pengembangan di fokuskan pada “dual-beam acoustic system” yang secara “real time” dapat menghitung nilai target strength (TS), volume backscattering strength (SV), dan kemudian biomass atau jumlah ikan. Jepang-pun tidak tinggal diam dalam rangka inovasi teknologi canggih di bidang akustik kelautan ini yakni dengan diketemukannya "frequency-diversity acoustic system” dan quasi-ideal-beam acoustic system". Sistem yang pertama dikembangkan oleh Japan Radio Company (JRC), sedangkan sistem yang kedua dikembangkan oleh FURUNO dan akhir-akhir ini secara teknologi Memiliki kedudukan yang sejajar dengan "dual-beam acoustic system" America dam "split-beam acoustic system'' Norwegia. 1.3
Keunggulan Metode Akustik. Dibandingkan dengan metode lain, khususnya dalam eksplorasi sumberdaya hayati
laut atau pendugaan stok ikan Metode akustik memiliki beberapa Keunggulan komparatif, yakni : (1) berkecepatan tinggi (great speed), sehingga sering disebut "quick assessment method";
(2) estimasi stok Ikan secara langsung (direct estimation) karena tidak tergantung dari statistik perikanan atau percobaan tagging dam s ecara langsung dilakukan terhadap target dari survai; (3) memungkinkan memperoleh dam memroses data secara "real-time", sehingga sangat membantu para pengambil keputusan/penentu kebijaksanaan dalam mempercepat pengambilan keputusan/ kebijaksanaan; (4) akurasi dan ketepatan (accuracy and precision) (5) tidak
berbahaya/morusak
karena
frequensi
suara
digunakan
tidak
akan
membahayakan baik si pemakai alat maupun target/obyek survai dan dilakukan dengan jarak jauh (remote sensing); (6) bisa digunakan jika dengan metode lain tidak bisa/mungkin dilakukan.
1.4
Ruang Lingkup Secara garis besar, penggunaan dari Motode akustik ini adalah sebagai berikut : (1) Pada survai sumberdaya hayati laut - untuk menduga spesies ikan, - untuk menduga ukuran dari ikan, - untuk menduga kemelimpahan (stok) ikan, plankton dan sebagainya. (2) Pada budidaya perairan - untuk penentuan jumlah atau biomass ikan di dalam "Penned fish", - untuk pengukuran ukuran dari individu penned fish", - untuk memantau kesehatan dan aktivitas ikan dengan "telemetering tags". (3) Pada studi tingkah laku ikan dan organisme laut lainnya : - pergerakan ikan (migrasi vertikal dan horizontal), - tingkah laku/orientasi (tilt angle), - reaksi penghindaran dari kapal/alat penangkapan ikan (avoidance reactions), - respon terhadap stimuli. (4) Pada penangkapan ikan - penampilan alat penangkapan ikan, - selektivitas alat penangkapan ikan
(5) Lain-lain, misalnya mempeiajari perambatan suara di air laut, sifat-sifat akustik dari air laut dan target/obyek di air laut, pendeteksian sumber suara dan komunikasi di air laut.
2.
TARGET STRENGTH MEMPENGARUHINYA
2.1
Target Strength
DAN
FAKTOR-FAKTOR
YANG
Dalam pendugaan stok Ikan dengan metode akustik dan juga mendisain echo sounder/sonar, faktor terpenting yang harus diketahui adalah target strength. Target strength adalah kekuatan dari suatu target untuk menentukan suara. Tergantung dari domain yang digunakan, target strength didefinisikan menjadi dua, yakni “intensity target strength” dan “energy target strength”. Secara sederhana kedua definisi tersebut dapat diformulasikan sebagai. berikut (Johannesson and Mitson, 1983) : (1) Intensity target strength (TSi)
relected intensity1 m from the target incident intensity which strikes the target
TSi 10 log 10 log
Ir …………………………………………………………………(1) Ii
(2) Energy target strength (TSe)
TSe 10 log 10 log
relected energy 1 m from the target incident energy which strikes the target Er ……..…………………………………………………………(2) Ei
dimana dalam hal ini intensitas dan energy (E) didefinisikan sebagai berikut :
P 2 (rec) I …………………………………………………………………...(3) PC
E I (t) dt ……………………………………………………………………(4) 0
Serta P(rec) adalah "pressure" yang diterima oleh "receiver" dari echo sounder yang secara matematis dapat didefinisikan sebagai :
P (rec) s G b 2 σ
dimana : s
adalah bentuk gelombang dari sinyal echo,
G adalah cumulative gain, b2 adalah transmit &. receive beam pattern σ
adalah scattering crosssection
Untuk lebih jelasnya, pada Gambar 1 diberikan block diagram dari sistem echo sounder yang pada prinsipnya memberikan alasan kenapa sampai kepada dua definisi target strength yang berbeda. Dari gambar tersebut, definisi intensity target strength dan energy target strength, masing-masing akan menjadi :
TSi
= 10 1og {[P (bsc)]2 / [P(inc)]2) ………………………………….…………….(6)
TSe
= 10 1og ( [SFH] dw / [SH]2 dw)……………………………….……….(7) 2
0
0
Dimana : P(bsc) = backscattered signal, P(inc) = incident signal, S(w)
= the frequency transfer fuction of the transmitter,
F(w)
= the frequency transfer fuction of the target,
H(w) = the frequency transfer fuction of the receiver.
Dalam prakteknya, semua parameter di atas sulit untuk diukur, dengan demikian untuk pengukuran target strength ikan di laboratorium pada umumnya, digunakan target acuan (reference target) yang nilai target strengthnya telah diketahui/ diukur sebelumnya. Dalam hal ini, rumus perhitungan target strength akan menjadi (Arnaya et al,1988).
V 2 (max) TSr (i) …………………………………………….(8) TSi 10 log 2 V r (max) t2 t2 TSe 10 log v 2 (t) dt / v 2 r (t) dt TSr (e) ………………………………(9) t1 t1
dimana : v2 (max)
= the peak squared echo envelope voltage of target,
v2r (max)
= the peak squared echo envelope reference of target,
TSr (i)
= intensity target strength of reference target,
t2
t2
t1
t1
v 2 (t) dt
= the echo energy of target,
v 2 r (t) dt
= the echo energy of reference target,
TSr (e)
= energy target strength of reference target.
Gambar 1. Model sistem linier dari echo sounder
Perlu diketahui bahwa bola (sphere) adalah suatu target yang paling ideal karena “scattering cross-section (σ) nya akan = π a2. Kemudian karena target strength, TS = 10 log (σ/4π), maka target strength teoritis dapat dihitung dengan rumus yang sangat sederhana (hanya untuk “time-domain” saja karena untuk “frequqncy-domain” harus dilakukan koreksi terhadap “resonance frequency”, dan sebagainya) : TSr = 10 log (a2 / 4) …………………………………………………………...(10) dimana : a adalah jari-jari dari lingkaran bola.
Khusus untuk mendapatkan nilai in situ target strength akan dirumuskan tersendiri pada sub-bab 3.2 sewaktu menjelaskan metode pengukuran in situ target strength. Yang diingat lagi perlu juga bahwa dalam kenyataannya di lapangan, pengukuran “energy target strength” sangat sulit, dengan demikian untuk tingkat teknologi sekarang ini masih digunakan “intensity target strength”.
2.2
Ukuran Ikan Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai target strength adalah
ukuran ikan. Untuk spesies ikan yang sama, pada.umumnya makin besar ukuran ikan maka makin besar nilai target strength-nya. Hal ini terutama berlaku untuk “geometric region” dari grafik hubungan antara ukuran target dan target strength (untuk region yang lain yakni Rayleign region, resmance region dam transition region kecenderungan hubungan linier tersebut tidak berlaku).
Secara akustik ukuran panjang ikan (L) berhubungan linier dengan scattering cross section (σ) Menurut persamaan σ = a L2, yang dengan demikian hubungan antara target strength (TS) dam L menjadi sebagai berikut :
TS
20 1og L + A ..…………………………………………………………(11)
dimana A adalah nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength) dimana tergantung dari species ikan. Khusus untuk ikan-ikan yang mempunyai gelembung renang (bladder f ish) hubungan linier tersebut sudah banyak diteliti dan telah teruji kebenarannya (Foote, 1987), akan tetapi untuk ikan-ikan yang tidak mempunyai gelembung renang (bladderless f ish) masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam kenyataannya, nilai 20 log L dalam persamaan (11) di atas juga bervariasi karena sangat tergantung dari spesies, ikan dan faktor-faktor instrumen yang digunakan. Sebagai contoh dari hubungan tersebut adalah seperti tertera pada Gambar 2 (untuk horse mackerel) (Johannesson and Losse, 1973).
Kekomplekan hubungan antara TS dam L tergantung juga dari faktor-faktor lain (yang akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini) karena sulit untuk mengisolasi hanya satu faktor mengingat ada keterpengaruhan antara kesemua faktor-faktor tersebut.
2.3
Gelembung Renang Sacara akustik ikan dan organisme laut lainnya dapat digolongkan menjadi dua
kelompok besar, yakni : physostomes (gelembung renang terbuka) bladder fish "fish" physoclists (gelembung renang tertutup) bladderless fish
(tidak mempunyai gelembung renang)
Gambar 2. Hubungan antara target strengthdan panjang ikan
lkan-ikan yang mempunyai gelembung renang (bladder fish) pada umumnya tidak memiliki.target strength maksimum tepat pada dorsal-aspectnya karena gelembung renang tersebut.membentuk sudut terhadap garis sumbu memanjang ikan (garis horizontal) sebesar 2.2 - 100 atau rata-rata 5.60. Sedangkan untuk ikan-ikan yang tidak memiliki gelembung renang, nilai maksimum dari TS pada umumnya tepat pada dorsal-aspectnya, kecuali untuk ikan yang bentuk tubuhnya tidak streamline. Berdasarkan penelitian dam kemudian simulasi yang telah dilaksanakan (Furusawa, 1988 dan Arnaya at al,1990 b), nilai TS “bladder fish” adalah ± 10 dB lebih besar dibandingkan dengan bladderless fish” khususnya untuk “geometric region”. Bladderless fish tidak mempunyai Resonance region, sedangkan bladder fish memiliki resonance region yang nilainya tergantung dari kedalaman renang ikan yang bersangkutan. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dari perbedaan kedua jenis ikan tersebut lihat Gambar 3.
2.4
Tingkah laku/ Orientasi Tingkah laku ikan berpengaruh terhadap orientasinya relative terhadap transducer.
Orientasi ikan ini sebenarnya meliputi pitching (tilting), rolling dan yawing. Pengaruh dari yawing tidak menentukan karena pada umumnya bentuk transducer adalah bulat sdan dilihat dari transducer posisi ikan tidak menimbulkan perubahan sudut. Pengaruh rolling tergantung dari posisi ikan. Untuk bladder fish biasanya tidah berpengaruh nyata karena sebagian besar (lebih besar dari 90%) energi yang dipantulkan oleh tubuhnya berasal dari gelembung renang. Untuk bladderles fish, pengaruh rolling cukup besar mengingat energy yang dipantulkan sangat tergantung dari bentuk dan komponen tubuh dan bukan gelembung renang. Untuk lebih memudahkan dalam mencari pola hubungan antara tingkah laku/ orientasi ikan dan target strengthnya, biasanya pengaruh yawing dan rolling tersebut diabaikan sehingga pitching atau tilting yang harus diperhitungkan. Secara umum, jika orientasi ikan dengan kepala ke bawah (downwardorientationb), maka sudut kemiringan tubuh (tilt angle)nya disebut negatif, sebaliknya kalau kepalanya ke atas (repward-orientation), maka tilt-anglenya disebut positif. Perlu ditambahkan disini bahwa yang dimaksud dengan “tilt angle” adalah sudut yang dibentuk
oleh garis horisontal dari garis/ sumbu memanjang ikan yang menghubungkan ujung mulut dan pertengahan sirip ekor.
Gambar 3. Perbedaan kecenderungan umum dari target strength “bladder fish” dan “bladderless fish” Untuk memberikan gambaran bagaimana pengaruh tilt angle (θ) tersebut terhadap nilai target strengthnya, pada Gambar 4 diberikan contoh mekanisme perubahan target strength dengan perubahan tilt angle (θ) yang lebih kecil dari 5 0. Jelas terlihat dari gambar tersebut bahwa energy yang dipantulkan oleh ikan sangat tergantung dari frequensi dari suara yang dipancarkan oleh transducer, karena untuk masing-masing frequensi memiliki karakteristik polar diagram yang berbeda. Makin tinggi frequensi, biasanya “main-lobe”nya makin ramping, sebaliknya makin rendah frequensi, main-lobe-nya makin lebar (broad) sehingga lebih sensitif terhadap perubahan tilt angle. Mengingat tilt angle sangat berpengaruh terhadap TS, maka untuk mencari hubungan matematis antara keduanya harus dicari fungsi distribusi dari tilt angle (tilt angle probability distribution function). Fungsi ini yang umum dikenal sebagai PDF biasanya
berbentuk normal (Gaussian) dengan nilai tengah (mean) tertentu dan simpangan baku (standard deviation) tertentu pula. Untuk memudahkannya biasanya digunakan simbol N (θ, sd θ), atau cukup disebut f (θ) saja. Fungsi ini sangat penting karena digunakan untuk mendapatkan nilai rata-rata dari target strength yang akan dijelaskan pada Bab 3.
Gambar 4. “Directional pattern” dari ikan dengan “tilt angle” yang berbeda untuk panjang ikan dan frequensi tertentu
Untuk memberikan gambaran hubungan antara fungsi tilt angle dan nilai rata-rata target strength (dalam hal ini digunakan “normalized” target strength, A), berikut ini adalah contoh untuk bladder fish (Gambar 5a) dan “bladderless fish” (Gambar 5b). Dari gambar 5 tersebut jelas terlihat bahwa dengan PDF dai tilt angle yang berbeda, maka kecenderungan perubahan nilai rata-rata TS juga berubah secara teratur juga. Di sini hanya diberikan untuk selang panjang ikan yang kecil saja karena kesulitan dalam simulasi
(Furusawa, 1988), khusus untuk melihat perbedaan antara nilai maksimum TS dan rata-rata menurut PDF tilt angle (0,10) dan (-5,15) dapat dilihat juga pada Gambar 3 di atas.
2.5
Acoustic Impedance Kalau dalam duinia pelistrikan dikenal istilah tekanan (resistance), maka dalam
dunia akustik dikenal istilah acoustic impedance (PC), dimana C adalah kecepatan suara dalam medium dan P adalah densitas medium yang bersangkutan. Untuk air laut, C = 1500 m/s dan P = 1.025 g/cm3, sedangkan untuk tubuh ikan kedua nilai tersebut sangat tergantung dari jenis ikan dan komponen-komponen pembentuknya. Dengan demikian, untuk bladder fish nilai PC tidak berpengaruh terhadap TS, tetapi untuk “bladderless fish” sangat besar pengaruhnya karena perubahan P atau C yang kecil saja akan menimbulkan perubahan yang cukup besar pada nilai TS (lihat Gambar 6). Jadi jika melakukan pengukuran target strength dari bladderless fish”, maka maka faktor acoustic impedance ini harus diperhitungkan benar agar ketelitian pengukuran bisa ditingkatkan. Untuk memudahkannya, jika melakukan pengukuran TS ikan air laut, maka haruslah dilakukan di laut, sebaliknya untuk ikan-ikan air tawar dilakukan di air tawar juga. Sudah tentu kalu melakukan pengukuran TS dalam “in-situ condition” hal ini tidak perlu diperhitungkan karena sudah pada kondisi yang sebenarnya dan ikanpun dalam keadaan berenang bebas.
Gambar 5. Pengaruh orientasi (tilt angle) terhadap dorsal aspect target strength dari ikan. a. bladder fish b. bladderless fish
Gambar 6. Pengaruh acoustic impedance (PC) terhadap target strength “bladderless fish”
2.6
Ensonifying Frequency/ panjang Gelombang Suara Ensonifying Frequency (frekuensi suara yang digunakan) atau panjang gelombang
suara sangat berpengaruh terhadap target strength ikan yang bersangkutan. Pada umumnya untuk “bladder fish”, makin tinggi frequensi (f) atau makin pendek panjang gelombang suara (λ) (ingat λ = c/f), maka ada kecenderungan nilai TS makin rendah. Hal ini selain disebabkan oleh semakin sempitnya “directional pattern” dari energy suara yang dipantulkan untuk frequensi tinggi (lihat Gambar 4) sehingga yang kembali ke permukaan transducer lebih terbatas, juga karena untuk frequensi tinggi faktor absorpsi suara oleh air laut semakin besar. Dengan demikian, dalam survai atau penelitian dengan metode akustik, penentuan frequensi atau panjang gelombang suara haruslah hati-hati. Dalam hal ini harus diusahakan sedemikian rupa sehingga rasio dan panjang ikan terhadap panjuang gelomabang (L/ λ) diatas 10 atau “acoustic scattering” dari ikan yang bersangkutan berada pada “geometric region”. Dengan kata lain, Jika metode akustik digunakan untuk meneliti ikan-ikan besar,
digunakan frequensi rendah (misalnya 38 kHz), sebaliknya untuk zooplankton harus digunakan frequensi tinggi (bisa sampai1 MHz). Berdasarkan penelitian Lytle and Maxwell (1983), secara umum hubungan antara L/λ dan target strength adalah seperti tertera pada Gambar 7. Raylegn region adalah untuk ikan yang terlalu kecil dibandingkan dengan λ (L << λ), Resonance region adalah untuk L/ λ antara 1 dan 10, dan Geometric region adalah untuk L >> λ. Seperti telah disebutkan di atas, hanya bladder fish yang memiliki “Resonance region” karena suara yang mengenai tubuh ikan bervariasi dan mengakibatkan absorbsi dan pemancaran kembali energi sehingga nilai TS-nya lebih besar dibandingkan dengan nilai jika diprediksi dengan pendekatan Rayleign. Untuk itu faktor kedalaman renang dari ikan harus diperhitungkan juga karena menimbulkan perbedaan pada “resonance region” tersebut dan konsekuensinya pada nilai target strength.
Gambar 7. Hubungan antara frequensi dan target strength untuk ikan dengan panjang yang sama
2.7
Beam Pattern Beam Pattern tergantung dari luas permukaan transducer dan frequensi yang
digunakan. Makin kecil luas permukaan transducer, maka makin besar sudut beam dari transducer tersebut (untuk frekuensi tertentu), sebaliknya makin besar luas permukaan transducer, maka Makin kecil sudut beam yang dihasilkan. Mengingat perubahan dari beam pattern, khususnya sudut beam tersebut, maka terhadap target strength juga menimbulkan pengaruh
tertentu
tergantung
dari
besar
kecilnya sudut beam tersebut. Adapun bentuk umum dari hubungan antara sudut beam dan perubahan nilai target strength adalah seperti tertera pada Gambar 8. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa makin besar sudut beam, maka makin besar perubahan nilai TS yang ditimbulkannya. Dengan demikian, untuk menghindari perubahan TS yang besar, hendaknya digunakan beam yang relatif sempit yakni lebih kecil dari 10 0. Sudah tentu untuk menghasilkan beam dengan lebar yang sekecil mungkin akan menemui kesulitan, lebih-lebih untuk frekuensi rendah, karena luas permukaan transducer harus sebesar mungkin. Secara teknis sulit dilakukan karena menjadi tidak efisien dan transducernya menjadi besar dan berat.
2.8
Spesies/Jenis Ikan Seperti telah disebutkan pada sub-bab 2.3 di atas, secara akustik ikan-ikan hanya
dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni bladder fish dan bladderless fish. Contoh dari bladder fish yang termasuk physoclists (gelembung renang tertutup) adalah cod, walley pollock, Pacific, whiting, saithe, dan sebagainya; sedangkan yang termasuk physostomes (gelembung renang terbuka) adalah herring, apart dan sebagainya. Selanjutnya yang termasuk bladderless fish adalah Atlantic mackerel, jenis-jenis tuna/ cakalang, I squid dan seterusnya. Dengan melihat rumus umum hubungan antara target strength dan panjang ikan yakni TS 20 log L + A seperti tertera pada rumus (11) di atas, maka secara implisit dan eksplisit pengaruh dari spesies terkandung dalam nilai A (normalized target strehoth). Jadi dengan mengetahui nilai A tersebut sebenarnya secara kasar dapat membedakan psysoclists spesies ikan. Pada umummya untuk PS biasanya nilai A sekitar 67.5 dB, sedangkan untuk physostomes sekitar 71.9 dB dan untuk bladderless fish sekitar dB (Foote, 1987) dan Arnaya, 1990b). Sudah tentu untuk mengetahui species ikan yang sebenarnya, selain
memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi echogram, juga perlu verifikasi dengan alat penangkapan ikan, underwater camera/ video camera dan sebagainya.
Gambar 8. Hubungan antara beam pattern dan terget strength.
2.9
Kecepatan Renang Seperti telah umum diketahui bahwa dengan pergerakan renang dari ikan maka akan
menimbulkah perubahan bentuk tubuh dari ikan yang bersangkutan. Perubahan bentuk (lateral deformation) ini akan menimbulkan perubahan pada echo yang dihasilkannya dan konsekuensinya pada nilai target strength.
Untuk “bladder fish”, perubahan bentuk tubuh ikan akan mengakibatkan perubahan bentuk yang kecil saja dari gelembung renang. Dengan demikian, berdasarkan penelitian kecepatan renang bladder fish tidak akan menimbulkan pengaruh yang nyata dari target strength. Untuk “bladderless fish”, berdasarkan penelitian Arnaya et al (1990a), kecepatan renang sangat berpengaruh terhadap nilai target strength. Hal ini terutama berlaku untuk squid dimana menggunakan mekanisme renang berupa "Jet-propulsion". Jelas sekali bahwa dengan kecepatan renang yang berbeda, tilt angle dari squid yang bersangkutan juga berubah, yang dengan demikian target strengthnya juga berubah. Untuk “bladderless fish” lainnya seperti Atlantic mackerel, kecepatan renang juga sangat ”body tilt angle” karena untuk mempengaruhi membuat keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada sistem hidrodinamikanya (gravityn force, drag, thrust, lift dan sebagainya).
2.10
Multiple Scattering/Shadowing Effect "Multiple scattering" adalah phenomena yang belum pasti kebenarannya dalam
marine acoustics. Banyak ahli yang menyangsikan kebenarannya, misalnya Foote (1982) yang menyatakan bahwa multiple scattering baru akan terjadi jika densitas ikan lebih besar dari 32.300 ikan/m3 yang dalam kenyataannya tidak mungkin ada. Dengan demikian, yang mungkin terjadi adalah “shadowing effect” dari target yang berada di lapisan atas terhadap target (ikan) yang ada dibawahnya. Untuk pengukuran target strength dimana syaratnya target harus menyebar secara individual bukan bergerombol karena nantinya sulit untuk mengisolasi target tunggal, maka kekhawatiran akan kedua effek (multiple scattering dan shadowing) mungkin sudah tidak beralasan lagi. Akan tetapi untuk penelitian volume backscattering strength (SV) mungkin hanya pengaruh pembayangan (shadowing effect) saja yang perlu diperhitungkan dan akan diuraikan lebih rinci pada sub-bab 3.1.2 berikut ini.
3.
PENGUKURAN TARGET STRENGTH Pengukuran target strength bisa dilakukan dengan cara terkontrol dimana ikan yang
menjadi target penelitian dalam kondisi terkontrol (controlled conditions), dan in situ conditions dimana ikan-ikan dengan bebas berenang pada kondisi yang sebenarnya. Sebelum teknologi elektronika secanggih seperti sekarang ini, metode terkontrol banyak
digunakan karena memang tidak ada pilihan dan terbukti mampu mengungkap sifat-sifat akustik dari ikan seperti yang telah dijelaskan di dalam Bab 2 di atas. Sampai sekarangpun metode terkontrol ini masih bisa dilakukan asalkan asumsi-asumsi yang digunakan mendekati keadaan yang sebenarnya di lapangan. Selanjutnya metode "in situ" baru akhir-akhir ini banyak digunakan, khususnya metode pengukuran langsung, yakni dengan ditemukannya teknologi canggih di bidang transducer seperti dual-beam, split-beam, quasi-ideal-beam dan multi-beam system lainnya. Sudah tentu metode in situ ini baru bisa digunakan jika tersedia peralatan canggih tersebut serta mampu untuk mengoperasikannya. Untuk memberikan gambaran yang lengkap dari kedua metode tersebut serta keunggulan dan kelemahan masing-masing maka berikut ini akan dijelaskan satu demi satu dari kesemuanya itu, walaupun pada akhirnya hanya metode in situ (secara langsung)-lah yang memiliki keunggulan komparatif dan di masa mendatang akan mendominasi dunia Akustik Kelautan khususnya dalam eksplorasi sumberdaya hayati laut. Kondisi terkontrol tergantung dari kondisi target yang menjadi obyek penelitian serta jenis/ tipe peralatan yang digunakan make pengukuran TS dengan kondisi terkontrol ini dibagi menjadi dua metode yakni “tethered method” dan “cage Method”.
3.1.1
Tethered Method Pada pengukuran TS ikan dengan metode ini, ikan-ikan yang menjadi obyek
penelitian adalah ikan yang telah mati atau ikan yang dibius (dianaestesi) sehingga ikan tersebut tidak bisa bergerak. Dengan demikian, orientasi (tilt angle) ikan dapat diatur sesuai dengan kepentingan penelitian (dorsal aspect, side aspect, dan seterusnya) dan berdasarkan perbedaan orientasi tersebut, ukuran ikan, spesies ikan, jenis ensonifying frequency, dan sebagainya, maka dapatlah dicari hubungannya dengan target strength yang diukur. Pengukuran target strength ikan dengan metode ini telah sejak lama dimulai tetapi secara besar-besaran dilaksanakan oleh Nakken and Olsen (1977) dan kemudian oleh Miyanohana et al (1987). Kalau pada metode Nakken dart Olsen menggunakan standard/ reference target untuk mendapatkan nilai target strength, maka pada Metode Miyanohana et al digunakan hydrophone. Walaupun ada perbedaan cara pengukurannya, secara prinsip tidak jauh berbeda karena masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Pada
prinsipnya untuk pengukuran dengan “tethered Method” ini harus ada echosounder (transmitter receiver), “fish suspension and rotating tilting mechanism, oscilloscope/FFT analyzer, data aequisition and processing apparatus, transducer dan hydrophone/ standard ball. Contoh dari sistem yang menggunakan hydrophone adalah seperti tertera pada Gambar 9 dan untuk yang menggunakan standard target adalah seperti tertera pada Gambar 10. Mengingat cara pengukuran dengan penggunaan hydrophone lebih mahal dan sulit dibandingkan dengan cara pengukuran dengan menggunakan standard target, Maka berikut ini akan diberikan cara yang kedua, saja seperti halnya pada cara hydrophone, untuk setiap posisi, ikan (misalnya dorsal aspect dengan sudut kemiringan (tilt angle tertentu) harus dilakukan “perekaman” dan pemrosesan data. Dengan demikian, untuk tilt angle θ akan diperoleh nilai TS (θ) : TS (θ) = 20 log (V(θ) / Vr) + TSr………………………………………………(12)
Dimana : V(e)
= voltage sinyal echo dari ikan dengan tilt angle θ,
Vr
= voltase sinyal echo dari standard/ reference target,
TSr
= target strength dari standard target.
Untuk ukuran ikan tertentu dari species tertentu pula, akan diukur satu set target strength mulai dari tilt angle minus 450 sampai dengan + 450 (dengan interval satu derajat). Satu bergerak untuk, pengukuran target strength dengan “cage method” ini harus digunakan ikan hidup. Kemudian, kalau pada “tethered method” pengukuran seekor demi seekor, maka untuk “cage method” ini dilakukan pengukuran mulai dari densitas ikan yang paling rendah sampai ke densitas yang paling tinggi dalam kurungan (cage). Menurut hipotesis bahwa dalam akustik kelautan berlaku sistem lincar, maka echo yang berasal dari gerombolan ikan adalah jumlah dari echo tiap individu ikan. Kemudian jika proses penerimaan echo adalah linier dan tidak adanya “extinction”, maka “equivalent received pressure field” Prec adalah (Foote, 1982) :
n
Prec
=
P i 1
rec
, i …………………………….………………………………..(14)
Selanjutnya jika densitas, tinggi gerombolan dan “extinction cross section” rata-rata (σe) dari ikan, yang bersangkutan cukup besar sehingga “extinction” menjadi nyata, maka persamaan (14) harus digeneralisasi menjadi (Foote, 1983).
n
= exp (2.ρ.ρ.σe.Δ . Prec , i ……….….………………………………..(15)
Prec
i 1
dimana : ρ
= densitas ikan,
Δz
= ketebalan dari lapisan distribusi ikan,
Prec, i = komponen dari “received pressure” ikan ke i tanpa extinction = Si
(G b 2 σ) i lihat persamaan (3) di atas.
Kemudian, intensitas sesaat, I, tergantung dari acoustic impedance (ρC) dari air laut dan menurut persamaan
I
Prec …………………………………………………………………………(16) ρC
dan energy dari echo yang diterima adalah integral (waktu) dari intensitas sesaat I :
1 2 E I (t)dt Prec (t)dt ……………………………………………………(17) ρC 0 0 dimana integral tersebut dalam prakteknya diambil dalam selang “duration” dari “received echo signal”. Perlu kiranya dicatat bahwa energi echo E adalah sama apakah untuk timedomain atau frequency-domain dan tidak tergantung dari “system phase resonance”. Akan tetapi E tergantung dari bentuk pulsa dan orientasi dari ikan di dalam beam suara.
Dalam hal tidak adanya noise, maka energi rata-rata adalah hasil perataan dari sejumlah besar (lebih besar dari 500 energi echo) yang berasal dari ensonifikasi terhadap agregasi ikan :
<E>
= Kρf <σ> ……………………………………………….…………….(18)
dimana : K Ρf <σ>
= parameter dari sistem alat yang ditentukan berdasarkan teknik kalibrasi baku, = densitas rata-rata dari ikan yang dideteksi per ping, = G.b 2 . .dF / G.b 2 .dF ……………………………………………(19)
dimana : dF adalah elemen kemungkinan yang berkaitan dengan posisi ikan di dalam beam suara, distribusi orientasinya, panjang, dan banyak lagi kemungkinan variabel sifat-sifat ikan di dalam agregasi misalnya spesies kondisinya pada saat diamati, tingkah laku dan sebagainya. Dalam bentuk logaritme, persamaan (18) dapat disederhanakan menjadi : <SV> = 10 log ρf +
……………………………………………………(20) Inilah persamaan pokok untuk mengestimasi, densitas ikan ρf dengan metode echo integration. Pada penelitian yang sebenarnya, pengukuran (SV) dapat dilakukan dengan memasukkan jumlah tertentu ikan ke dalam kurungan (cage) mulai dari densitas terendah sampai densitas tertinggi. Untuk masing-masing densitas tersebut, dapat dihitung “volume backscattering rata-rata” (SV) menurut persamaaan berikut ini : <SV> = 10 log {(<Ecs> - <Ec>) / <Er>} + - 10 log N + 10 log ρf (21)
dimana : <Ecs> = rata-rata energi echo dari ikan dan cage, <Ec> = rata-rata energi echo dari cage kosong,
<Er> = rata-rata energi echo dari “reference target”, = rata-rata target strength dari “reference target”, N
= jumlah ikan di dalam cage
ρf
= densitas ikan di dalam cage (fish/m3)
Akhirnya dengan regresi linier diperoleh hubungan antara <SV> dan ρf menurut persamaan : <SV> = a.log ρf + B ………………………………………………………….(22) dimana kalau nilai a mendekati atau sama dengan 10, maka nilai B akan sama dengan menurut persamaan (20) di atas. Demikian prinsip dan prosedur pengukuran target strength dengan “cage-method” dimana sebenarnya yang dicari adalah hubungan linier antara <SV> dan . Contoh dari cara pengukuran adalah seperti tertera pada Gambar 11 (Arnaya, et al, 1988a, 1988b).
3.2
Kondisi In Situ Dengan adanya beberapa kelemahan dari pengukuran target strength ikan dalam
kondisi terkontrol, misalnya ketidakpastian dari asumsi tingkah laku ikan untuk menyatakan bahwa ikan yang bersangkutan dalam keadaan berenang bebas, maka sebagai alternatifnya dikembangkan pengukuran dalam kondisi in situ. Sebelum sampai kepada penjelasan dari masing-masing metode, maka ada baiknya kembali ke prinsip pokok dari persamaan akustik aktif yang nantinya akan jelas kelihatan kenapa dikelompokkan menjadi metode tidak langsung dan metode langsung dalam pengukuran target strength tersebut.
Gambar 9. Penggunaan hydrophone dalam pengukuran target strength dengan “tethered method”
Gambar 9. Penggunaan hydrophone dalam pengukuran target strength dengan “tethered method”
Gambar 11. “experimental set-up” dari pengukuran target strength dengan “cage method”
Intensitas dari akustik echo yang dipantulkan oleh ikan tunggal dinyatakan dengan (Ehsenberg, 1993) : I k(10 2αα /R 4 ).b 2 ( , ) bs …………………………………………………..(23)
k (10-2αR / R4) b2 (θ,Ø) σbs
= faktor skala dimana dapat ditentukan selama kalibrasi alat, = faktor peredaman/ pengurangan intensitas suara karena penyerapan dan “spreading”. = fungsi "beam Pattern'' dua arah dari sistem akustik, = acoustic backscattering cross section dari ikan yang terletak pada koordinat sudut (θ,Ø).
Untuk mendapatkan statistik backscattering cross section atau target strength dari “received echo” yang diperoleh dari target-target tunggal, maka pengaruh dari faktor skala k, faktor peredaman suara karena pengaruh absorpsi dan jarak 10 -2αR/ R4, dan fungsi “beam pattern” b2 (θ,Ø) harus dicleminir dari intensitas echo tersebut. Dari ketiga faktor tersebut di atas, yang paling sulit untuk dieleminir adalah b 2 (θ,Ø) karena tergantung dari posisi sudut target/ ikan yang menyebar secara random di dalam beam yang bersangkutan. Sebaliknya faktor k dan (10-2αR / R4) relatif lebih mudah dieleminir yakni dengan melakukan kalibrasi yang akurat pada time varied gain (TVG) dari “receiver” dan “source level” (SL) serta gain dari keseluruhan sistem. Sejumlah prosedur untuk mengeleminir faktor beam pattern telah diketemukan. Teknik-teknik tersebut pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni secara tidak langsung mengekstrak pengaruh beam pattern dari suatu koleksi echo, dan secara langsung mengeleminir/memindah beam pattern dari masing-masing echo tunggal.
3.2.1
Metode Tidak langsung Ide penggunaan metode tidak langsung ini adalah karena dapat diimplementasikan
dengan single transducer yang sama dengan sistem echo sounder yang digunakan untuk pendugaan stok ikan. Sejumlah, pendekatan yang berbeda telah dikemukakan untuk pendugaan/ pengukuran, target strength secara tidak langsung dari suatu koleksi echo-echo tunggal. Kesemuanya itu mengandalkan asumsi bahwa target menyebar secara uniform (merata) di dalam volume yang diiluminasi suara. Dengan asumsi tersebut serta directivity
function dari transducer, adalah memungkinkan untuk menghitung/menentukan sifat-sifat statistik yang diperlukan dari beam pattern pada persamaan (23) di atas. Ada dua pendekatan yang berbeda untuk memperoleh variable backscattering cross section σbs. Dalam pendekatan pertama, statistik dari σbs diasumsikan sebagai “unknown”, dan pendugaan “probability density function” (PDF) dari σbs dilakukan. Craig and Forbeslah (1969) yang pertama kali menggunakan pendekatan ini yang disebut juga “nonparametric method”. Dalam teknik mereka, intensitas echo diekspresikan dalam dB dengan: E = T + D ……………………………………………………………………….(24)
dimana :
E
= 10 log I,
T
= 10 log k. σbs,
D
= 10 log b2 (θ,Ø).
Mereka menggunakan geometri dari acoustic beam untuk menentukan hubungan antara penyebaran E, T dan D (Lihat Gambar 12). Jika dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis, maka hubungan antara PDF dari E, T dan D adalah sebagai berikut :
PE (e) =
P
T
(x).Pd (x e)dx ……………………………………………………(25)
Persamaan integral ini dapat disederhanakan menjadi suatu set persamaanpersamaan linier dimana sama/ setara dengan formula Craig-Forbes jika diasumsikan bahwa PE(e), PT(t) dan PD(d) dapat dihitung dari “beam pattern directivity function” secara merata/ uniform. Hasil akhir kemudian dapat dipecahkan dengan persamaan linier. Dalam pendekatan kedua yang diajukan oleh Ehrenberg (1972) dan kemudian didukung oleh Robinson (1978), dikembangkan suatu metode dimana dengan menggunakan persamaan integral berhubungan dengan backscattering cross section dan bs intensitas echo (bukan dalam bentuk log). Persamaan tersebut dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan polinomial untuk berbagai PDF. Pendekatan ini juga disebut
“Parametric method” yang sebenarnya dengan ketelitian hasil yang tidak jauh berbeda dengan “non-parametric method”).
Gambar 12. Penampang melintang dari “acoustic beam pattern” untuk penghitungan target strength dengan metode Craig-Forbes Mengingat bahwa, kesemua metode/ pendekatan untuk pengukuran target strength secara tidak langsung tersebut sangat tergantung dari kesalahan numerik dan statistik, maka ketelitiannyapun sebenarnya sangat diragukan oleh para ahli akustik. Dengan demikian mereka mencari jalan ke luar yakni dengan menemukan metode langsung dalam pengukuran in situ target strength.
3.2.2
Metode Langsung Kalau pada metode tidak langsung digunakan metode statistik (“software”) untuk
mengeleminir pengaruh beam pattern, maka dalam, metode langsung ini untuk mengeleminir pengaruh beam pattern tersebut digunakan “hardware” yang dengan diketemukannya sistem beam tertentu yang berbeda dengan sistem beam tunggal (single beam). Beberapa diantaranya yang pada akhir-akhir ini berkompetisi dalam kecanggihan dan perebutan pasar dunia adalah dual-beam method, split-beam method dan quasi-idealbeam method.
(1)
Dual-beam method Ide pengukuran in situ target strength ikan dengan menggunakan metode “dual-
beam” ini dicetuskan oleh Ehrenberg (1974). Pada, transducer dengan beam ganda ini, acoustic signal dipancarkan oleh narrow beam dan diterima oleh narrow-beam dan widebeam secara bersamaan. Seperti terlihat pada Gambar 13, faktor “beam pattern” untuk wide-beam mendekati konstan pada “main-lobe” dari “narrow-beam” dan “wide-beam” adalah sama untuk suatu target pada sumbu utama beam (on-axis). Dengan demikian dan ditambah dengan asumsi bahwa karakteristik TVG adalah ideal, maka intensitas echo pada “narrow-beam” dan “wide-beam” untuk suatu target pada koordinat sudut θ dan Ø adalah sebagai berikut :
In
= k.b2 (θ,Ø).σbs ………………………………………………………..(26)
Iw
= k.b (θ,Ø).σbs …………………………….…………………………..(27)
dimana : k
= suatu konstanta,
b (θ,Ø) adalah faktor “beam-pattern” untuk narrow-beam transducer. Σbs
= backscattering cross section dari ikan.
Gambar 13. “Beam pattern dari dual-beam transducer Selanjutnya faktor “beam-pattern” dapat diperoleh dengan mengambil rasio dari kedua intensitas echo tersebut yakni :
In k .b 2 ( , ).bs b ( , ) ………………………………………………...…(28) Iw k .b ( , ).bs
Dengan demikian, σbs dapat dihitung dengan mengeleminir pengaruh “beam pattern” dan konstanta k dari In atau Iw :
σbs
Iw Iw (Iw)2 ……………………………………………(29) k.b( , ) k.(In,Iw) k.In
Jadi jelaslah bahwa “dual-beam method” dapat mengukur nilai σbs atau TS dari ikan tunggal menurut prinsip tersebut di atas yang dalam aplikasinya terdiri atas “dualbeam transducer” itu sendiri, echosounder dengan dua channel “receiver”, “dual-beam
processor”, microcomputer dan program computer (software) target strength (Ehrenberg, 1984). Dual-beam processor mengisolasi dan merekam data echo ikan tunggal yang diterima dari elemen-elemen marrow dan wide beam-transducer. Kemudian program komputer akan memproses data tersebut untuk menghitung nilai σbs atau TS dan penyebarannya menurut kedalaman dan sebagainya. Informasi yang diperoleh dengan metode ini bukan hanya akan meningkatkan akurasi dari survai pendugaan stok ikan secara akustik, tetapi sekaligus memberikan informasi yang sangat berharga tentang ukuran ikan di dalam populasi
(2)
Split beam method Walaupun banyak sekali keunggulan yang dimiliki oleh dual-beam method, tetapi
terhadap, noise mempunyai banyak kelemahan. Untuk itulah dikembangkan metode baru yang diketemukan oleh Ehrenberg (1981) juga tetapi kemudian dikembangkan di Norwegia (Foote, et.al, 1984). Metode ini menggunakan “receiving transducer” yang displit menjadi empat kuadran (lihat Gambar 14). Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan “full-beam” yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pamancaran secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima oleh masing-masing kuadran secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran kemudian digabung lagi untuk membentuk suatu “fullbeam” dan dua set split beam (Gambar 15). Target tunggal diisolasi dengan menggunakan output dari fullbeam sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua set, split beam. Pada prinsipnya, posisi/ lokasi sudut (θ1, θ2) dari masing-masing target tunggal dalam bidang tegak lurus ditentukan dengan mengukur beda fase (phase difference) Δθe dari sinyal yang diterima dari kedua belahan transducer. Hubungan antara lokasi sudut θ L dan beda fase listrik Δθe tersebut adalah sebagai berikut :
θL
C. e = sin-1 0 .d
……………………………………………………….(30)
dimana : C
= kecepatan perambatan suara di air laut,
ω0
= angular frequency = 2πf (f = acoustic frequency),
d
= jarak antara pusat/ sumbu akustik dari kedua belahan transducer.
Dalam kenyataannya, lokasi sudut θL akan sangat kecil sehingga θ L =
c.Δ e . ω 0 .d
Dengan demikian, maka koordinat sudut (θ,Ø), dari posisi target dapat dihitung dari :
sin 2 θ1 sin 2 θ 2 …………………………..…………………..(31)
θ
= sin-1
Ø
= tan-1 (sin θ1 / sin θ2)
Untuk sudut-sudut yang dekat acoustic-axis, maka persamaan (31) akan mejadi :
θ1 θ 2 ………………….……………………..…………………..(32)
θ
=
Ø
= tan-1 (θ1 / θ2)
Dengan didapatnya nilai sudut θ dan Ø, maka faktor beam pattern b (θ,Ø) untuk suatu target tunggal pada lokasi sudut θ,Ø dapat dihitung sehingga kemudian nilai σbs dapat diestimasi berdasarkan persamaan (23) di atas. Dibandingkan
dengan
dual-beam
method
split
method
ini
lebih
sulit
diimplementasikan karena memerlukan hardware dan software yang lebih rumit untuk mengukur beda fase antara sinyal-sinyal yang diterima pada kedua bagian/ belahan beam. Rincian Iebih lanjut dari kedua metode ini akan diberikan pada Bab 4 sewaktu membahas pendugaan stok ikan.
Gambar 14. Bentuk dari split-beam transducer dan “fill-beam” transducer
Gambar 15. Prinsip dari split-beam echosounder
(3)
Quasi-ideal-beam method Kalau pada metode dual-beam dam split-beam menggunakan sistem multi-beam
untuk pengukuran in situ target strength, maka pada quasi-ideal-beam ini tetap menggunakan beam tunggal hanya berkat kecanggihan teknologi elektronika dan teknologi transducer akhirnya dihasilkan suatu beam yang mendekati ideal. Beam ini dikatakan ideal karena memiliki mainlobe dengan puncak yang datar (flat) dan side-lobenya berada pada level lebih kecil dari -30 dB. Adapun contoh dari quasi-ideal beam adalah seperti tertera pada Gambar 15. Seperti terlihat pada gambar tersebut (untuk frequensi 200 kHz), puncak dari mainlabe adalah datar dimana hampir seluruhnya pada sudut beam. Dengan demikian, untuk ikan dengan ukuran yang sama, dimanapun posisinya di dalam beam akan menghasilkan intensitas echo yang sama. Jadi berbeda dengan sistem beam lainnya, untuk quasi ideal-beam ini tidak perlu mengeleminir beam pattern b (θ,Ø) supaya bisa menghitung target strength. Inilah suatu keunggulan komparatif yang dimilikinya. Untuk bisa menghasilkan “quasi ideal-beam transducers”, perlu penguasaan tentang teori pembentukan beam yang karena memerlukan penjelasan khusus dan lengkap, maka tidak menjadi ruang lingkup dari diktat kuliah ini. Bagi yang ingin membaca Iebih jauh tentang “beam forming theory” ini bisa baca Urick (1983) atau Clay and Medwin (1977). Adapun prinsip dari cara penghitungan in situ target strength dengan metode ini adalah seperti tertera pada Gambar 16 (Sasakura, et.al). Seperti halnya pada dual-beam atau split-beam disinipun selain diperlukan hardware berupa “data analyzer”, diperlukan juga software khusus yang sebenarnya sulit dipisahkan dari sistem perhitungan secara keseluruhan mengingat data akhir yang diperoleh adalah “real-time”.
Gambar 15. Bentuk dari quqsi ideal-beam
3.2.3
Kombinasi Metode Akustik dan Metode Lain Yang dimaksud dengan kombinasi di sini adalah nilai back scattering cross section
(SV) yang diperoleh dari survai akustik dengan menggunakan sistem single-beam echo sounder/echo integrator dibagi dengan densitas ikan ρf yang diperoleh dari echogram (ikanikan tunggal), camera bawah air, alat penangkapan ikan (khususnya trawl) sehingga berdasarkan persamaan (SV) = log ρf + (TS), maka nilai rata-rata dari target strength () dengan mudah didapat. Cara ini adalah yang ketelitiannya paling rendah karena sulit untuk melakukan kalibrasi dari gabungan metode yang digunakan dan sumber kesalahan (baik alat maupun pengamatan oleh mata manusia) sulit dihindarkan. Dengan demikian, untuk tingkat teknologi yang sudah semakin canggih seperti sekarang ini, metode ini sudah hampir ditinggalkan. Akan tetapi jika alat canggih tidak ada dan dituntut untuk mendapatkan nilai in situ target strength walaupun ketelitiannya rendah, maka mungkin juga masih bisa digunakan.
Gambar 16. Block diagram dari cara penghitungan in situ target strength dengan “quasiideal-beam method”.
4.
PENDUGAAN STOK IKAN DENGAN METODE AKUSTIK Echo counting dan echo integration adalah dua metode pokok untuk mendapatkan
nilai kuantitatif dari pendugaan stok/ kemelimpahan ikan dengan metode akustik jika densitas ikan pada volume yang disampling adalah rendah, maka echo dari ikan-ikan tunggal dapat dengan mudah dipisahkan dan kemudian dapat dihitung satu demi satu. Akan tetapi pada densitas ikan yang tinggi atau ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan, dimana echo dari target ganda menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan, maka total biomass atau jumlah ikan seluruhnya dapat diukur/ diduga dengan echo integrator. Echo integrator ini seperti telah sedikit disinggung di bagian muka berfungsi untuk mengubah energi total dari echo ikan menjadi densitas ikan dalam fish/m 3 atau kg/m3. Biasanya untuk survai kelautan satuan bisa juga dalam bentuk “number per unit area” (NPUA) sebagai ganti dari “number per unit volume”.
4.1
Echo Counting Seperti telah disebutkan di atas, jika target-target ikan adalah menyebar secara
merata atau terpisah satu sama lain sehingga hanya sebagian kecil/tidak ada echo yang overlap, maka memungkinkan untuk mengidentifikasi dan menghitung echo dari ikan tunggal yang bersangkutan. Penghitungan ini akan memberikan suatu pendugaan dari densitas ikan di dalam beam suara. Sebagai tambahan, dengan mengukur amplitudo echo, maka akan diperoleh juga informasi yang sangat berharga tentang distribusi dari ukuran ikan. Persyaratan utama dari berfungsinya “echo country system” ini adalah “single fish echoes” (echo ikan tunggal). Seandainya echo yang didapat berasal dari “multiple target”, maka sudah tentu alat ini tidak akan bisa berfungsi. Ada beberapa kriteria untuk menentukan apakah echo yang bersangkutan berasal dari target tunggal atau target majemuk, diantaranya “amplitude criteria”, dan “Pulse duration criteria” yang penggunaannya harus bersama-sama. Dalam menggunakan kriteria pertama (amplitudo), maka harus ditentukan dulu amplitudo minimum yang biasanya sedikit di atas “noise threshold”. Dengan demikian, maka “single fish echo” diterima jika amplitudonya lebih besar dari amplitudo minimum, noise ditolak dengan amplitudo yang lebih kecil dari amplitudo minimum, dan khusus
untuk “multiple fish echo” karena amplitudonya lebih besar dari amplitudo minimum, maka harus dimasukkan lagi ke kriteria yang kedua (pulse duration). Pada kriteria yang kedua ini terlebih dahulu harus ditentukan lebar pulsa minimum dan maksimum pada dua tingkatan amplitudo yakni “half-amplitudo pulse width” dan “eighth-amplitudo pulse width” atau lebar pulsa pada amplitudo –6 dB dan -18 dB. Jadi kalau multiple target sudah pasti.akan ditolak jika lebar pulsanya baik pada tingkat setengah amplitudo maupun pada tingkat 1/8 amplitudo lebih besar dari kriteria lebar pulsa maksimum pada masing-masing tingkat tersebut. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 17 yang secara sistematis digunakan untuk penilaian “single fish echo” tersebut. Sebenarnya kriteria ini bisa juga digunakan untuk penentuan “single target echo” baik pada dual-beam system maupun sistem lainnya. Secara sederhana, block diagram dari sistem echo counting ini adalah seperti tertera pada Gambar 18. Sebagai perbandingan diterakan juga block diagram yang umum dari echo integrator. Pada gambar tersebut belum dimasukkan. kriteria tersebut di atas, dimana biasanya berada antara “linear/ envelope detector” dan “pulse counter” yakni berupa “range gate” dan “threshold device”. Dalam prakteknya, echo counting tidak efektif digunakan karena pada umumnya sulit untuk mendapatkan penyebaran ikan yang merata dan densitasnyapun rendah (karena ikan biasanya bergerombol). Dengan demikian, echo integratorlah yang lebih efektif dan lebih
banyak
dikembangkan
di
seluruh
dunia
lebih-lebih telah
secara
resmi
direkomendasikan oleh FAO.
4.2
Echo Integration Pada permulaan diketemukan dan dikembangkannya echo integrator ini hanya
“analog echo integrator” yang berhasil diterapkan dan itupun dengan “single beam system”. Kemudian dengan semakin majunya teknologi, maka analog echo integrator ditinggalkan dan lahirlah “digital echo integrator”. Walaupun telah menggunakan sistem digital tetapi karena belum bisa mengukur in situ target strength secara langsung dan time” (karena masih menggunakan sistem beam tunggal) maka ketelitian/ akurasi dan ketepatan pendugaan stok ikan menjadi tidak begitu tinggi. Selanjutnya dengan ditemukannya teknologi canggih dalam pengukuran in situ target strength seperti digital echo yang telah
dijelaskan pada Bab 3, digital echo integrator untuk pendugaan stok ikan menjadi sangat andal dan berkembang dengan pesat penggunaannya di seluruh dunia.
Gambar 17. Kriteria untuk penentuan echo target tunggal pada echo counter
Gambar 18. Block diagram dari sistem echo counter dan echo integrator secara umum
4.2.1
Single beam system Echo integrator dengan “single beam acoustic system” ini semula banyak
memberikan harapan, akan tetapi kemudian banyak menimbulkan permasalahan karena hasil pendugaan stok ikan yang diperolehnya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Echo integrator tipe ini mula-mula dikembangkan di Norwegia, kemudian di Amerika Serikat, Perancis, dan Jepang. Akhir-akhir ini dengan berbagai modifikasi dari echo integrator generasi sebelumnya. Kaijo Denki (Jepang) mengembangkan digital echo integrator dengan sistem yang mereka sebut “quasi dual-beam
system” (Furusawa et al, 1990), yakni dengan
memanfaatkan dua beam dari dua transducer dengan frequensi yang berbeda (25 dan 100 kHz). Akan tetapi setelah dikaji lebih lanjut dan kembali kepada prinsip-prinsip dasar dari dual-beam system, maka sebenarnya echo integrator tersebut masih tetap mengaplikasikan sistem beam tunggal. Selanjutnya walaupun telah dilengkapi dengan monitor khusus yang bisa diatur sedemikian rupa sehingga nilai target strength berdasarkan perbedaan warna (dengan ketelitian 1,5 dB), maka tetap tidak bisa menghasilkan nilai in situ target strength yang sebenarnya dan dengan akurasi yang tinggi.
Dengan demikian, kiranya single-beam system ini tidak akan mampu bersaing di masa depan, yang dengan demikian pilihan akan tetap jatuh pada sistem beam yang lebih canggih.
4.2.2
Dual-beam system Dengan mengkombinasikan dual-beam system untuk mendapatkan in situ target
strength dan digital echo integrator seperti tertera pada Gambar 19, maka dual-beam acoustic system ini mempunyai suatu keunggulan dalam sistem perolehan dan pemrosesah data (Burczynski
and Johnson, 1986).
Seperti terlihat pada Gambar tersebut, dengan transducer yang menggunakan dualbeam yang dioperasikan dengan towed-body (V-fin), maka melalui echo sounder akan diperoleh echo signal yang kemudian disalurkan ke masing-masing TVG. Echo signal dari wide beam yang melalui TVG 40 log R + 2αR hanya digunakan untuk mengukur in situ target strength melalui dual-beam processor. Sedangkan echo signal yang berasal dari narrow beam dipecah menjadi dua, yang satu masuk ke TVG = 40 log R + 2αR untuk diproses bersama echo signal dari wide-beam di dual-beam processor, sedangkan yang satu lagi untuk ke TVG = 20 log R + 2αR untuk diproses lebih lanjut di echo integrator. Demikianlah seterusnya, dari dual-beam processor akan dihasilkan nilai rata-rata in situ target strength sedangkan dari echo integrator dihasilkan nilai rata-rata SV. Kemudian dengan micro computer dapat dilakukan
penghitungan
lebih
lanjut
sampai
mendapatkan densitas ikan dan kemudian stok/kemelimpahan ikan. Demikianlah secara ringkas prinsip dari dual-beam acoustic system yang hingga saat ini memiliki keunggulan komparatif pada portabilits yang tinggi karena transducer dioperasikan dengan towed body dan sudah tentu jika noise tidak telalu besar maka ketelitiannya tinggi.
Gambar 19. Blok diagram dari “combine dual-beam/ echo integrator system”
4.2.3
Split-beam system Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari digital echo integrator
yang digunakan pada split-beam acoustic system ini dengan “dual-beam acoustic system”. Perbedaannya hanya pada perolehan dan pemrosesan data target strength. Secara umum sistem perolehan dan pemrosesan data dengan sistem ini adalah seperti tertera pada Gambar 20. Sehubungan dengan prinsip kerja dari sistem ini adalah mencari beda fase dari echo signal yang diterima oleh dua belahan transducer (sebutlah yang satu adalah port-starboard phase pulse, dan yang satu lagi fore-aft phase pulse), maka selain dapat mengukur in situ target strength secara akurat juga dapat mengukur posisi sudut dari masing-masing target yang terletak di dalam beam (Foote, 1988). Untuk sistem perolehan dan pengolahan data yang real time, maka ada baiknya diberikan penyederhanaan dari sistem yang ada hanya untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana real-time system tersebut bekerja (lihat Gambar 21 diatas). 4.2.4
Quasi ideal-beam system Dengan ditemukannya “quasi-ideal-beam” seperti yang telah dijelaskan pada Bab-3,
maka kalibrasi akustik dan pengukuran in situ target strength yang akurat menjadi kenyataan. Echo integrator dengan sistem ini seperti pada sistem lainnya, memiliki dua processor yang terpisah yang memungkinkan nilai SV dan TS untuk frekuensi ganda dan secara simultan menghitung SV dan TS untuk frekuensi tinggal tertentu (lihat Gambar 22). Dalam perhitungan dengan “SV mode”, SV dan data lain seperti SS (Surface scattering strength per unit area), S (ratio of the area of the fish echo recorded within each integration layer), N (density of fish) dan BSV (backscattering strength of a single fish per unit volume = TS) dapat juga dihitung dan diprint-out secara bersamaan. Selanjutnya pada penghitungan dengan “TS mode”, perhitungan dari nilai rata-rata TS pada masing-masing layer, TS max (maksimum TS), M (total fish density) dan N (densitas ikan) dapat dihitung dan diprint-out seperti haInya “SV-mode”. Sebagai tambahan,, disediakan juga “TS distribution mode” yang memperlihatkan histogram dari distribusi TS atau panjang dari ikan-ikan yang diteliti/ disurvai.
Gambar 20. Block diagram dai system perolehan dan pemrosesan data pada split-beam acoustic system
Gambar 21. Block diagram dari “combined split-beam/ echo integration acoustic system
Gambar 22. Block diagram dari perhitungan SV pada “Quasi-ideal-beam acoustic system”
4.2.5
Frequency-Diversity System Satu lagi sistem yang akhir-akhir ini dikembangkan oleh Japan Radio Company
(Jepang) adalah “frequency-diversity device”, yakni suatu teknik baru dalam sistem pendugaan stok ikan secara akustik dengan menggunakan beberapa frequency yang berbeda, misalnya 45, 50 dan 55 kHz. Prinsip dasar dari sistem ini adalah untuk mengurangi komponen “interference” dari echo signal yang diterima dari target yang sebenarnya tergantung dari jenisnya memiliki “frequency response” tertentu. Oleh karenanya, keunggulan dari sistem ini adalah menggunakan frequency domain, dimana jika digunakan tiga frequensi atau tiga gelombang suara yang berbeda tetapi agak berdekatan, maka komponen “interference” dari “instantaneons power” akan menjadi -6 dB lebih rendah dibandingkan dengan jika hanya menggunakan frekuensi tunggal. Dalam prakteknya, untuk menghindarkan pengaruh,interferensi antar gelombang suara, maka dilakukan perata-rataan dari anggaplah tiga gelombang suara tersebut dalam menghasilkan echo signal. Block diagram dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 23. Sistem ini telah berhasil diterapkan terutama pada “marine ranching system” yang menggunakan telemetri untuk mentransfer informasi/ data yang diperoleh dari marine ranch yang bersangkutan ke stasiun di darat.
Gambar 23. Block diagram dari “frecuency-diversity system” dalam perhitungan SV
5.
PENUTUP Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing sistem akustik
yang telah diuraikan di atas, maka di masa depan prospek pengembangan akustik kelautan khususnya untuk eksplorasi sumberdaya hayati laut sudah tidak bisa diragukan lagi. Seiring dengan perkembangan teknologi juga, di masa depan hendaknya diusahakan untuk mempertemukan kecanggihan yang dimiliki oleh masing-masing sistem tersebut sehingga memungkinkan terbentuknya sistem tunggal yang sebenarnya adalah multisystem. Anggaplah dual-beam system bisa dipadukan dengan split-beam system, idealbeam system dam frequency-diversity system, sehingga dengan hanya satu instrumen akustik saja bisa melakukan apa saja.. Hal ini memang masih merupakan impian, tetapi penulis yakin kelak akan menjadi kenyataan. Kemudian karena organisme laut tersebut beraneka ragam jenis/ spesies dan ukurannya, maka di masa depan juga hendaknya diciptakan suatu instrumen akustik kelautan yang mampu digunakan untuk semua target, mulai dari plankton sampai ke ikanikan tuna yang besar. Sudah tentu multiple-frequency system ini secara teknologis akan sangat mahal tetapi ditinjau dari kegunaannya yang bisa multi-purpose, maka hendaknya sejak dini dikaji betul-betul untuk pengembangannya nanti. Kemudian, karena ada kesulitan untuk mengidentifikasi spesies “ikan” tanpa alat bantu tertentu (alat penangkapan ikan), maka di masa mendatang perlu juga pengembangan Remottely-Operated Vehicle (ROV) yang dilengkapi dengan underwater video camera dan transducer “canggih” sehingga identifikasi spesies bisa dilakukan secara simultan dengan pengukuran target strength (TS), volume backscattering, strength (SV), behaviour/ orientasi (tilt angle distribution) dan sebagainya. Selanjutnya karena kapal peneliti menghasilkan noise yang cukup besar sehingga berpengaruh terhadap hasil penelitian akustik kelautan ini dan juga mengakibatkan “avoidance
reaction”
dipertimbangkan.
dari
ikan, maka
pengadaan “silent-ship”
mungkin perlu
DAFTAR PUSTAKA
Arnaya, I.N., N. Sano and K. Iida, 1988. Studies on acoustic target strength of squid. I. Intensity and energy target strengthgs. Bull. Fac. Fish. Hokkaido Univ., 39(3) : 187 - 200. Arnaya, I.N., N. Sano and K. Iida, 1989a. Studies on acoustic target strength of squid. III. Measurement of the mean target strength of small live squid. Bull. Fac. Fish . Hokkaido Univ., 40 (2) : 100 - 115. Arnaya, I.N., N. Sano and K. Iida, 1989b. Studies on acoustic target strength of squid. IV. Measurement of the mean target strength of relatively large-sized live squid. Bull. Fac.Fish. Hokkaido Univ., 40 (3) : 168 - 181. Arnaya, I.N., N. Sano, 1990. Studies on acoustic target strength of squid. V. Effect of swimming on target strength of squid. Bull. Fac. Fish. Hokkaido Univ., 41 (1) 18 31. Arnaya, I.N., N. Sano, 1990b. Studies on acoustic target strength of squid. VI. Simulation of target strength by prolate spheroidal model. Bull. Fac. Fish. Hokkaido Univ., 41 (1) 32 - 42. Burczyaski, J.J. and R.L. Johnson, 1986. Applications of dual-beam acoustic survey techniques to limnetic population of juvenile sockeye salmon (Oncorhynchus nerka). Can. J. Fish. Auat. Sci., 43 : 1776 - 1778. Clay, C.S. and H. Medwin, 1977. Acoustical oceanography : principles and applications. John Wiley & Sons, Inc., 544.pp. Craig, R.E. and S.T. Foobes, 1969. Design of a sonar for fish counting. Fisk Dr.Skr.Sec. HavUnders., 15 : 210 – 219. Ehrenberg, J.E. 1972. A method for extracting the fish target strength distribution from acoustic echoes. Proc. 1972 IEEE Conf. Eng. Ocean. Environ. Vol. 1 : 61 - 64. Ehrenberg J.E. 1974. Two application for dual-beam transducer in hydroacoustic fish assessment system. Proc.1974 IEEE Conf. Eng. Ocean Environ., VoI. 1 : 152-155. Ehrenberg, J.E. 1981. Analysis of split-beam backscattering cross section estimation and single echo isolation. Applied physic laboratory, University of Washington, Seattle, WA. APL-UW 8108. Ehrenberg, J.E. 1983. A review of in situ target strength estimation techniques. FAO. Fish. Rep., 300 : 85 - 90.
Ehrenberg, J.E. 1984. The Biosomics dual beam target strength measurement system. FAO Fish. Circ., 778 : 71 - 78. Foote, K.G., 1982. On multiple scattering in fisheries acoustics. Intern. Counc. Explor. Sea, CM 1982/B, 6pp. Foote, K.G., 1982. Energy in acoustic echoes from fish aggregation. Fish.Res., 1 (1981/19 82) : 129 - 140. Foote, K.G., 1983. Linearity of fishies acoustics, with addition theorems.J.Acoust. Soc. Am., 73 (6) l932 - 194O. Foote, K.G., F.H. Kristensen and H. Solli, 1984. Trial of a new, split-beam echosounder. Intern. Counc. Expl. Sea, CM.1984/B : 21, 15 pp. Foote, K.G., 1988. Fish target strengths for use in echo integrator surveys. J. Acoust. Soc. Am., 82 (3) : 981 - 987. Foote, K.G., 1988. Scheme for displaying fish position data in real time derived with a split-beam echo sounders. J. Cons. int. Explor. Ner, 45 : 93 - 96. Furusawa, M., 1988. Prolate spheroidal models for predicting general trends of fish target strength. J. Acoonst. Soc. Jpn (E), 9, 13 - 24. Johannesson, K.A and G.F. Losse, 1977. Some results of observed abundance estimations obtained in several UNDP/FAO Resource survey Projects. Rapp. P. ver. Reun. Cons. int. Explor. Mer., 170 : 296-318. Johannesson, K.A. and R.B. Mitson, 1983. Fisheries acoustics : a practical manual for aquaticbiomass estimation. FA Fish. Tech. Pap., 240. 249 pp. Lytle, D.W. and D.R. Maxwell, 1983. Hydoacoustic assessment in high density fish schools. FAO Fish. Rep., 300, 157 - 171. Robinson, B.J. 1982. An in situ technique to determine fish target strength, with results for blue whiting (Micromesistius poutassou). Cons. int. Explor. Mer., 40 : 153 – 160. Sasakura, T., K. Minohara, J. Kagawa, 1987. Scientific sounder using quasi-ideal beam transducer. Intern. Symp. Fish. Acoust., June 22 - 26, 1987, Seattle, Washington. 40 pp. Urick, R.J. 1983. Principles of underwater sound. Third edition. McGraw-Hill Book Company, 423 pp.