DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ii DAFTAR TABEL ................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 1.1. Pengertian Banjir ........................................................................................................ 1 1.2 Penyebab dan Jenis Banjir .......................................................................................... 2 1.2 . Sejarah ...................................................................................................................... 3 BAB II HAZARD ASSESSMENT BENCANA BANJIR ........................................................... 8 2.1. Analisis Hazard Assessment Bencana Banjir ............................................................. 8 2.1.1. Temporal Assesment ........................................................................................... 8 2.1.2. Spasial Assessment ........................................................................................... 13 2.1.3. Compiled Flood Hazard Assesment ................................................................... 15 3.2. Studi Kasus Hazard Assessment .............................................................................. 15 GAMBAR 6 PENGOLAHAN DATA DEM BANDUNG MENJADI PETA DAS DAN SISTEM DENDRIT SUNGAINYA ...................................................................................................... 17 BAB III MITIGASI BENCANA BANJIR ................................................................................ 25 3.1. Pengertian dan Kategori Mitigasi Bencana Banjir ..................................................... 25 3.1.1.Mitigasi Banjir Struktural...................................................................................... 25 3.1.2. Mitigasi Banjir Non struktural .............................................................................. 27 3.2. Mitigasi Bencana Banjir Berdasarkan Permendagri No.33 tahun 2006 tentang Pedoman Mitigasi Bencana ............................................................................................. 29 3.2.1. Kebijakan Terkait Mitigasi Bencana.................................................................... 29 3.2.2. Strategi Dalam Menjalankan Kebijakan .............................................................. 30 3.2.3. Manajemen Mitigasi Bencana ............................................................................ 31 3.2.4. Langkah-Langkah Yang Dilakukan Dalam Mitigasi Bencana Banjir .................... 39 3.3. Mitigasi Bencana Banjir Berdasarkan Deputi Bidang Sarana Prasarana, Direktorat Irigasi Dan Pengairan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional .............................. 40 3.3.1. Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (off-stream structural measures) .................................................................................................................................... 41 3.3.2. Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek (short term flood emergency management) ............................................................................................ 42 BAB IV PENUTUP .............................................................................................................. 44 4.1. Kesimpulan............................................................................................................... 44 4.2. Rekomendasi ........................................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 46 i
DAFTAR GAMBAR GAMBAR 1 JUMLAH KEJADIAN BANJIR DI INDONESIA BERDASARKAN PROPINSI SAMPAI TAHUN 2011 .......................................................................................................... 6 GAMBAR 2 PETA KEJADIAN BENCANA BANJIR DI INDONESIA TAHUN 1979-2009 ...... 7 GAMBAR 3 PEDIOGRAM .................................................................................................. 12 GAMBAR 4 PENGOLAHAN DATA DEM BANDUNG MENJADI PETA KONTUR KETINGGIAN ......................................................................... Error! Bookmark not defined. GAMBAR 5 PENGOLAHAN DATA DEM BANDUNG MENJADI PETA KONTUR KETINGGIAN ...................................................................................................................... 16 GAMBAR 6 PENGOLAHAN DATA DEM BANDUNG MENJADI PETA DAS DAN SISTEM DENDRIT SUNGAINYA ...................................................................................................... 17 GAMBAR 7 DIAGRAM KOMPOSISI JENIS TANAH ........................................................... 18 GAMBAR 8 PETA DISTRIBUSI JENIS TANAH BANDUNG ............................................... 19 GAMBAR 9 PETA LANDUSE BANDUNG DARI WRF 24 KATEGORI USGS .................... 21 GAMBAR 10 COMPOSITE CURAH HUJAN RATA-RATA BULANAN BANDUNG UNTUK ANALISIS POLA HUJAN DARI DATA 1990-1999 ............................................................... 22 GAMBAR 11 DATA TIMESERIES CURAH HUJAN MAKSIMUM BULANAN BANDUNG UNTUK ANALISIS MAGNITUDO CURAH HUJAN DARI DATA 1990-1999 ........................ 23
ii
DAFTAR TABEL TABEL 1 JUMLAH KEJADIAN BANJIR DI INDONESIA BESERTA DAMPAKNYA TAHUN 2000-2011............................................................................................................................. 4 TABEL 2 JUMLAH KEJADIAN BANJIR DI INDONESIA BERASARKAN PROPINSI ............ 5
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pengertian Banjir Banjir merupakan sebuah kejadian alami yang terjadi secara berulang di sebuah sungai atau aliran. Peristiwa ini adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Hal ini disebabkan karena terjadinya hujan terus menerus melebihi kapasitas daya serap tanah dan kapasitas aliran air di sungai, dan daerah pesisir. Air tersebut akan menggenangi dari sekitarnya atau mengalir ke daerah yang lebih rendah lalu menggenang di dataran yang rendah. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP), banjir adalah di mana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai maupun karena penggundulan hutan di sepanjang sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa. Kemudian, menurut Draft Pedoman Analisis Risiko Banjir – BNBP, banjir adalah aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di sisi sungai. Gelombang banjir berjalan ke arah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan kenaikan muka air di muara akibat badai. Banjir biasanya digambarkan dengan frekuensi statistikal kejadian banjir, misalnya banjir 5 tahunan, 100 tahunan dan sebagainya. Banjir 5 tahunan menggambarkan banjir tersebut kemungkinan berulang dalam waktu 5 tahun dengan besar yang relatif sama. Namun gambaran ini hanya sebuah prediksi yang kemungkinannya hanya 1%. Hal tersebut tidak menggambarkan bahwa banjir hanya terjadi 5 tahun sekali. Frekuensi statistikal ini dapat menjadi ukuran seberapa besar resiko yang terjadi ketika banjir terjadi. Sebuah lahan dikatakan rawan banjir diukur dengan menggunakan parameter sebagai berikut. a. Luas genangan (km2,hektar) b. Kedalaman atau ketinggian air banjir ( meter ) c. Kecepatan aliran (meter/detik, km/jam) d. Material yang dihanyutkan aliran banjir (batu, bongkahan, pohon, dan benda keras lainnya) e. Tingkat kepekatan air atau tebal endapan lumpur (meter, centimeter) f.
Lamanya waktu genangan (jam, hari, bulan)
1
1.2. Penyebab dan Jenis Banjir Menurut BAKORNAS PB ada dua pengertian mengenai bajir. (1) aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahanrendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi, mengalir danmelimpas muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air; (2) gelombang banjir berjalankearah hilir sistem sungai yang berinteraksi dengan kenaikan muka air dimuara akibat badai. Menurut Draft Pedoman Analisa Risiko Banjir yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, bencana banjir bisa dikategorikan berdasarkan penyebab terjadinya yaitu; banjir akibat hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase buatan manusia, akibat meningktanya muka air sungai sebagai akibat pasang laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai dan akibat kegagalan bangunan air buatan manusia seperti bendungan, bendung berpintu yang lebar, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir. Sedikit berbeda dengan Draft Pedoman Analisa Risiko Banjir, dalam Pedoman Pengendalian Pemanfaatan Ruan di Kawasan Rawan Bencana Banjir yang dikeluarkan Direktorat Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, bencana banjir dikategorikan menjadi 4 berdasarkan penyebabnya, yaitu
1. Banjir yang disebabkan oleh hujan yang lama, dengan intensitas rendah (hujan siklonik atau frontal) selama beberapa hari. Dengan kapasitas penyimpanan air yang dimiliki oleh masing-masing Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang akhirnya terlampaui, maka air hujan yang terjadi akan menjadi limpasan yang selanjutnya akan mengalir secara cepat ke sungai-sungai terdekat, dan meluap menggenangi areal dataran rendah di kiri-kanan sungai. Jenis banjir ini termasuk yang paling sering terjadi di Indonesia. 2. Banjir karena salju yang mengalir, terjadi karena mengalirnya tumpukan salju dan kenaikan suhu udara yang cepat di atas lapisan salju. Aliran salju ini akan mengalir dengan cepat bila disertai dengan hujan. Jenis banjir ini hanya terjadi di daerah yang bersalju. 3. Banjir Bandang (flash flood), disebabkan oleh tipe hujan konvensional dengan intensitas yang tinggi dan terjadi pada tempat-tempat dengan topografi yang curam di bagian hulu sungai. Aliran air banjir dengan kecepatan tinggi akan memiliki daya rusak yang besar, dan akan lebih berbahaya bila disertai dengan longsoran, yang dapat mempertinggi daya rusak terhadap yang dilaluinya.
2
4. Banjir yang disebabkan oleh pasang surut atau air balik (back water) pada muara sungai atau pada pertemuan dua sungai. Kondisi ini akan menimbulkan dampak besar, bila secara bersamaan terjadi hujan besar di daerah hulu sungai yang mengakibatkan meluapnya air sungai di bagian hilirnya, serta disertai badai yang terjadi di lautan atau pantai. Selanjutnya di dalam Pedoman Pemanfaatan Ruang di Kawasan Rawan Bencana Banjir tersebut dijelaskan faktor-faktor terjadinya banjir, yaitu faktor kondisi alam, faktor peristiwa alam dan aktivitas manusia. Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah kondisi alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai, (misalnya meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya ambang atau pembendungan alami pada ruas sungai), serta pemanasan global yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya degradasi lahan, sehingga menambah luasan areal dataran rendah. Faktor peristiwa alam yang menyebabkan banjir diantaranya adalah sebagai berikut. a. Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan; b. Air laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai; c. Air/arus balik (back water) dari sungai utama; d. Penurunan muka tanah (land subsidance); e. Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin. Selain itu, aktivitas manusia juga menjadi salah satu penyebab banjir. Aktivitas manusia yang menjadi penyebab banjir adalah pembudidayaan daerha dataran banjir, peruntukan tata ruang di dataran banjir yang tidak sesuai, belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir, permukiman di bantaran sungai, sistem drainase yang tidak memadai,
terbatasnya tindakanmitigasi banjir, kurangnya kesadaran masyarakat di
sepanjang alur sungai, penggundulan huta di darah hulu, terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendli banjir serta, elevasi bangunan tidak memperhatikan peil banjir
1.3. Sejarah Banjir Banjir yang terjadi di negara yang memiliki dua musim biasanya terjadi secara periodik. Kota-kota yang sudah menjadi langganan banjir biasanya akan mengalami bencana tersebut pada bulan Januari hingga Februari. Hal ini disebabkan oleh karakteristik curah hujan yang tinggi selama Desember hingga Maret. Frekuensi
kejadian bencana banjir
belakangan ini semakin sering. Berikut adalah data sejarah mengenai peristiwa banjir yang terjadi di Indonesia beserta dampaknya dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011.
3
TABEL 1 JUMLAH KEJADIAN BANJIR DI INDONESIA BESERTA DAMPAKNYA TAHUN 2000-2011 Tahun
Jumlah Kejadian
Meninggal
Lukaluka
Mengungsi
Hilang
Rumah rusak berat
Rumah rusak ringan
Kerusakan lahan Ha
Kerusakan jalan Mts
Fasilitas pendidikan
Fasilitas kesehatan
2000
18
2
0
0
0
455
1368
1701
0,02
11
0
2001
47
165
80893
427486
73
21773
0
9241,73
152
179
73
2002
159
318
4246
207652
165
52329
0
56596
72
399
182
2003
285
92
12
179807
8
4276
23737
298253,41
340,64
433
15
2004
248
68
257
114947
0
1084
21411
234241,53
187,02
167
8
2005
328
95
19306
184725
4
3196
12763,71
0
5528,34
517
65
2006
304
137
18591
926778
9
8332
33636
0
296
1093
170
2007
490
126
63592
465747
36
7009
45490
90064,01
12814,15
792
128
2008
377
201
383
117753
108
6782
11965
81680
604
529
12
2009
992
445
2593
19284
163
0
0
8963
0
948
265
2010
980
445
2588
19283
163
0
0
71530
794
948
265
2011
12
0
5
1
0
0
0
0
0
0
0
TOTAL 4240 Sumber : bnpb.go.id
2094
192466
2663463
729
105236
150370,71
852270,68
20788,17
6016
1183
4
Berikut ini adalah data mengenai jumlah kejadian bencana banjir di Indonesia menurut propinsi sampai dengan tahun 2011. TABEL 2 JUMLAH KEJADIAN BANJIR DI INDONESIA BERASARKAN PROPINSI PROPINSI
JUMLAH KEJADIAN
BALI
27
BANGKA-BELITUNG
6
BANTEN
77
BENGKULU
21
DI YOGYAKARTA
21
DKI JAKARTA
75
GORONTALO
39
JAMBI
96
JAWA BARAT
410
JAWA TENGAH
494
JAWA TIMUR
428
KALIMANTAN BARAT
76
KALIMANTAN SELATAN
168
KALIMANTAN TENGAH
68
KALIMANTAN TIMUR
94
KEPULAUAN RIAU
1
LAMPUNG
98
MALUKU
6
MALUKU UTARA
9
NUSA TENGGARA BARAT
55
NUSA TENGGARA TIMUR
114
PAPUA
11
PAPUA BARAT
1
PEMERINTAH ACEH
155
RIAU
66
SULAWESI BARAT
24
SULAWESI SELATAN
194
SULAWESI TENGAH
79
SULAWESI TENGGARA
128
SULAWESI UTARA
23
SUMATERA BARAT
116
SUMATERA SELATAN
84
SUMATERA UTARA Sumber: bnpb.go.id
186
5
GAMBAR 1 JUMLAH KEJADIAN BANJIR DI INDONESIA BERDASARKAN PROPINSI SAMPAI TAHUN 2011
600 500 400 300 JUMLAH KEJADIAN BANJIR
200 100 0
Sumber: bnpb.go.id
Berdasarkan data di atas, Jawa Barat merupakan propinsi di Indonesia yang mengalami kejadian bencana banjir paling banyak setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bencana banjir yang terjadi di Jawa Barat
samapi tahun 2011
tercatat mencapai angka 410 kejadian. Berikut ini peta kejadian bencana banjir di Indonesia dari tahun 1979 sampai dengan 2009. Bencana banjir dengan jumlah lebih dari 150 kejadian dialami oleh sebagian besar daerah yang ebrada di Pulau Jawa.
6
GAMBAR 2 PETA KEJADIAN BENCANA BANJIR DI INDONESIA TAHUN 1979-2009
Sumber : bnpb.go.id
7
BAB II HAZARD ASSESSMENT BENCANA BANJIR Pada bab ini akan dijelaskan tentang metoda analisis hazard (bahaya) bencana banjir. Analisis bahaya ini diperlukan untuk melihat daerah-daerah yang beresiko timbul genangan. Analisis resiko ini dibagi menjadi analisis yaitu, temporal dan spasial.
2.1. Analisis Hazard Assessment Bencana Banjir Analisis Hazard Assessment Bencana Banjir dilakukan dengan menggabungkan analisis temporal dan analisis spasial. Analisis temporal adalah analisa bahaya banjir menurut waktu hujan. Menggunakan analisa temporal ini kita dapat melihat tingkat kebahayaan bencana banjir suatu daerah berdasarkan skala waktu. Skala waktu yang
dimaksud adalah bulan-bulan
dimana curah hujan dapat
menyebabkan genangan di daerah tersebut. Analisis spasial adalah analisa banjir menurut kajian tempat. Analisa spasial dapat digunakan untuk melihat tingkat kebahayaan banjir menurut lokasi. Setiap lokasi memiliki tingkat kebahayaan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, akan tetapi pada makalah ini kami akan mengkaji kebahayaan bencana banjir secara spasial menggunakan topografi dan tata guna lahan. Berikut ini adalah penjelasan langkah-langkah
dalam
temporal
assessment,
spasial
assessment
dan
bagaimana cara menggabungkan kedua hasil analisis tersebut menjadi Flood Hazard Assessment.
2.1.1. Temporal Assesment Temporal Assesment (Penilaian Temporal) adalah analisa tingkat kebahayaan banjir menurut skala waktu. Parameter penilaian yang sangat berhubungan dengan analisa temporal ini adalah curah hujan. Menggunakan analisa curah hujan kita dapat menentukan waktu-waktu yang
secara historis telah
menyebabkan bencana banjir. Analisa Hidrometeorologi Untuk melihat curah hujan secara temporal maka kita perlu melakukan analisa hidrometeorologi. Analisa hidrometeorologi adalah analisa data air di atmosfer dan interaksinya dengan permukaan tanah. Analisa curah hujan yang dilakukan untuk melihat tingkat kebahayaan banjir adalah kuantitas hujan, kondisi ekstrim
8
hujan dan frekuensi hujan. Kuantitas sendiri menganalisis hujan berdasarkan jumlah hujan rata-ratanya di waktu-waktu tertentu. Kondisi ekstrim hujan menganalisa kejadian curah hujan tertinggi yang pernah terjadi di area tersebut. Untuk melihat perulangan curah hujan kita menggunakan analisa frekuensi hujan. Berikut akan dibahas secara lebih jelas dan lengkap mengenai masingmasing analisis.
a. Kuantitas Hujan Kuantitas hujan secara langsung dapat diartikan sebagai seberapa banyak air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Dalam lingkup kajian kebahayaan bencana banjir, kita tidak bisa sembarangan menganalisis kuantitas hujan walaupun terlihat sederhana. Analisa kuantitas hujan harus memiliki tujuan yang jelas tentang hasil akhir (output) dari analisis tersebut.
Data untuk melakukan analisa kuantitas hujan yang baik dibutuhkan data minimum 30 tahun sesuai dengan batas iklim menurut WMO (World Meteorological Organization). Karena kelangkaan data yang sulit ditemukan di Indonesia maka eneliti mengurangi rentang waktu tersebut menjadi 10 tahun terakhir. Walaupun hal ini tidak dapat menjelaskan pola hujan yang terjadi namun dapat cukup menggambarkan kondisi hujan saat ini.
Analisis kuantitas hujan dalam makalah ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu menghitung curah hujan rata-rata bulanan dan menghitung intensitas curah hujan. Hasil yang diharapkan dari curah hujan rata-rata bulanan adalah penentuan bulan-bulan yang secara statistik memiliki curah hujan yang tinggi. keluaran yang diharapkan dari perhitungan intensitas curah hujan adalah bulan atau hari dimana intensitas hujan tinggi.
Curah hujan bulanan rata-rata dapat dihitung dengan merata-ratakan curah hujan bulanan untuk bulan yang lama sepanjang data yang kita miliki. Misalkan kita memiliki data 10 tahun dan ingin menghitung curah hujan bulanan rata-rata bulan januari maka kita merata-ratakan curah hujan bulanan bulan januari dari
9
tahun pertama hingga terakhir. Curah hujan bulanan dapat dihitung dengan menjumlahkan curah hujan harian selama satu bulan. Metode ini sering disebut metode Composite.
Setelah melakukan metode Composite kita akan mendapatkan curah hujan ratarata bulanan dari bulan januari hingga Desember selama 30 tahun. Dengan memiliki data itu kita dapat menentukan dari Januari hingga Desember bulan manakah yang memiliki curah hujan bulanan selama data 30 tahun. Penentuan itulah yang menjadi dasar analisa temporal berdasarkan curah hujan rata-rata bulanan.
Intensitas hujan sendiri adalah curah hujan dibagi waktu hujan. Untuk melakukan perhitungan intensitas sangat dibutuhkan data pengamatan curah hujan per 3 jam. Perhitungan intensitas dilakukan seara harian maka kita akan mendapatkan intensitas curah hujan harian setiap tahunnya selama 30 tahun. Setelah menghitung intensitas hujan maka kita dapat melakukan rata-rata intensitas hujan bulanan dengan merata-ratakan intensitas curah hujan untuk setiap hari hujan pada hari tersebut. Maka kita akan mendapatkan bulan-bulan dengan intensitas hujan terbesar.
Perbedaan antara curah hujan rata-rata bulanan dan rata-rata intensitascurah hujan bulanan adalah pada tujuan analisanya. Curah hujan rata-rata bulanan hanya menunjukan bulan manakah yang memiliki curah hujan rata-rata bulanan paling besar atau dengan kata lahin hanya memberikan gambaran kuantitas hujan secara umum. Sedangkan intensitas hujan melihat kecepatan dari hujan itu sendiri dalam artian bahwa semakin tinggi intensitas hujan maka semakin cepat pula transport air dari atmosfer menuju permukaan. Hal ini akan sangat berpengaruh ketika kita berbicara tentang kapasitas tanah dan infiltrasi lebh lanjutnya. b. Kondisi Ekstrim Hujan Kondisi ekstrim hujan ditunjukan dengan curah hujan maksimum bulanan. Kondisi ekstrim dibutuhkan untuk melihat anomali bulanan yang terjadi pada daerah kajian. Suatu daerah yang memiliki selisih antara curah hujan maksimum dengan curah hujan bulanannya dapat dikatakan bahwa daerah tersebut
10
memiliki anomali yang tinggi. anomali yang tinggi dimaksudkan bahwa curah hujan maksimum jauh lebih tinggi daripada curah hujan rata-rata. Dalam kajian kebahayaan bencana banjir, nilai anomali sangat berguna untuk menilai anomali dari curah hujan pada bulan itu. Jika anomali curah hujan cukup tinggi pada bulan itu maka pada saat itu bahaya akan sangat tinggi karena meningkatnya curah hujan dapat terjadi secara drastis.
c. Frekuensi Hujan Frekuensi hujan adalah pola keberulangan suatu kejadian hujan dengan kuantitas tertentu. Tujuan menghitung pola keterulangan ini adalah untuk memprediksikan kapankah kejadian curah hujan tinggi akan terulang kembali. Metode menghitung pola keterulangan ini adalah dengan menggunakan Fast Fourier Transform(FFT). Metode FFT digunakan untuk mengubah data curah hujan yang memiliki domain waktu menjadi domain frekuensi. Hasil dari perhitungan FFT tersebut akan digambarkan dalam periodogram (gambar ....) . pada gambar dapat dilihat bahwa sumbu X menyatakan frekuensi dan sumbu Y menyatakan magnitudo dari curah hujan.
11
GAMBAR 3 PEDIOGRAM
Sumber : ...
Jika kita lihat pada sumbu X maka dapat kita lihat semakin besar frekuensinya semakin kecil nilai magnitudonya. Jika frekuensi makin kecil artinya peridoe perulangannya akan semakin besar dalam artian kejadian tersebut akan terjadi lagi pada waktu yang lama. Sedangkan jika peridoenya besar, artinya periode ulang kejadian tersebut sangat kecil dalam arti polanya bisa hanya mingguan atau bahkan harian. Hal ini dijelaskan dengan persamaan frekuensi-periode
Dimana T adalah Periode dan f adalah frekuensi. Jika kita tinjau kembali gambar diatas maka nilai magnitudo yang besar terjadi pada frekuensi yang kecil, artinya curah hujan yang sangat tinggi tidak akan terulang untuk jangka waktu yang pendek. Sedangkan untuk curah hujan yang kecil, peridoe berulangnya akan sangat besar sehingga kemungkinan terjadi kembali dalam waktu dekat sangat besar.
12
Analisa frekuensi ini sangat berguna ketika kita ingin membahas kebahayaan bencana banjir dimulai dari kondisi saat ini, karena penilaian kebahayaan akan berevolusi mengikuti periode perulangan curah hujan hasil perhitungan FFT.
2.1.2. Spasial Assessment Spatial Assesment (Penilaian Spasial) adalah analisa tingkat kebahayaan banjir secara spasial atau keruangan. Parameter penilaian yang sangat berhubungan dengan
analisa
spasial
ini
adalah
Keadaan
media
penerima
yaitu
tanah/permukaan. Dengan kata lain hampir semua yang berhubungan dengan aliran air di permukaan akan berkontribusi pada analisa spasial kebahayaan banjir. Beberapa unsur utama yang sering digunakan oleh para peneliti adalah tata guna lahan yang akan berpengaruh pada laju infiltrasi dan topografi daerah penerima hujan yang akan menjadi faktor utama penentuan lokasi rawan genangan. Analisis Tata Guna Lahan Tata guna lahan (Land Use) dalam flood hazard assesment merupakan salah satu parameter yang sangat krusial. Hal ini disebabkan karena tutupan lahan memiliki kemampuan infiltrasi yang berbeda-beda. ketika hujan terjadi maka kondisi tutupan tanah akan menentukan perilaku dari tetes hujan tersebut. Infiltrasi adalah proses masuknya air kedalam tanah. ketika tetes hujan jatuh ke permukaan, tetes hujan tersebut dapat langsung terserap oleh tanah ataupun menjadi genangan, semua tergantung infiltrasinya. Laju infiltrasi di pengaruhi oleh karakteristik tanah yang didalamnya terdapat beberapa parameter, yaitu kemudahan masuk, kapasitas penyimpnanan, dan laju transmisi di dalam tanah. texture tanah dan intensitas curah hujan bermain sangat kuat dalam mengendalikan laju infiltrasi. Jika laju infiltrasi tinggi maka air akan cepat masuk kedalam tanah. jika air cepat masuk kedalam tanah maka resiko terjadinya genangan akan berkurang. Jenis tutupan lahan yang memiliki laju infiltrasi tinggi contohnya adalah tanah berpasir, karena jarak antar partikelnya sangat besar sehingga air mudah masuk diantara celah2. Jika laju infiltrasi rendah maka air akan lambat masuk kedalam tanah. jika laju infiltrasi rendah maka resiko terjadi genangan akan sangat besar. Jenis tutupan
13
lahan yang memiliki laju infiltrasi rendah adalah aspal dan struktur beton. Jika tutupan lahan di suatu daerah di dominasi oleh struktur beton maka infiltrasi akan sangat minim dan sangat beresiko terjadinya genangan. Analisis Topografi Aliran fluida selalu mengalir dari tempat yang memiliki ketinggian lebih besar ke tempat yang ketinggiannya lebih rendah. Secara topografi kita dapat dengan mudah menilai tingkat kebahayaan bencana banjirnya dengan melihat daerahdaerah dataran rendah. Daerah dataran rendah akan menjadi pusak konvergensi aliran yang akan meningkatkan resiko munculnya genangan. Dataran rendah yang dikelilingi oleh dataran tinggi adalah yang paling beresiko timbul genangan. Hal ini disebabkan karena ketika terjadi hujan di area tersebut maka air yang berasal dari tdataran lebih tinggi akan mengalir menuju dataran rendah dan terakumulasi di daerah dataran rendah tersebut. Jika aliran keluar dari dataran rendah tersebut lebih kecil dibandingkan dengaan aliran yang masuk ke dataran rendah tersebut dari dataran tinggi. maka akan terjadi genangan air. Daerah bantaran sungai (floodplain) juga merupakan daerah yang rawan terkena bencana banjir. Daerah bantaran sungai adalah daerah di sekitar sungai yang dulunya merupakan bagian dari sungai juga. GAMBAR 4 FLOODPLAIN DAN UPLANDS
14
Pada daerah floodplain resiko terjadinya bencana banir sangatlah tinggi. hal ini disebabkan karena ketika terjadi kenaikan debit air sungai daerah inilah yang akan langsung menerima dampaknya. Ketika terjadi curah hujan tinggi di daerah hulu maka debit sungai akan meningkat. Jika debit aliran melebihi kapasitas sungai maka air sungai akan meluap dan menggenangi daerah-daerah floodplain. Alasan lain mengapa daerah floodplain memiliki tingkat kebahayaan banjir yang tinggi adalah elevasinya. Secara umum elevasi floodplain akan lebih rendah dari daerah sekitarnya, sehingga jika terjadi hujan di daerah tersebut maka air hujan yang turun di daerahsekitar floodplain akan mengalir ke arah flood plain sehingga dapat meningkatkan resiko banjir di daerah floodplain.
2.1.3. Compiled Flood Hazard Assesment Setelah diuraikan mengenai metode-metode analisisnya maka kita dapat menyimpulkan seluruh analisis tersebut menjadi sebuah Hazard assesment yang berdimensi spasial dan temporal. Analisa temporal sendiri digunakan untuk menentukan waktu-waktu yang rawan terjadi bencana banjir, sedangkan analisa spasial digunakan untuk menentukan tempat-tempat yang jika terjadi hujan lebih rentan terhadap bencana banjir.
Setelah mengabungkan analisa temporal dan analisa spasial maka kita dapat memberikan penilaian kebahayaan bencana banjir secara lengkap. Kita dapat menentukan daerah mana yang secara topografi dan karakteristik permukaan beresiko terjadi bencana banjir. Akan tetapi pada tempat-tempat tersebut tidak akan terjadi bencana banjir ketika hujan yang memicu bencana banjir tidak turun. Waktu dan jumlah hujan yang turun di nilai dengan menggunakan analisa curah hujan temporal. Setelah kita mengetahui bulan-bulan mana saja yang curah hujannya memicu bencana banjir maka kita dapat menyimpulkan di daerah tertentu dan pada bulan-bulan tertentu daerah tersebut akan sangan rentan terhadap bencana banjir
3.2. Studi Kasus Hazard Assessment Bandung memiliki potensi bahaya banjir yang sangat besar terkait dengan hujan. Ada lima elemen yang menyebabkan banjir, yaitu sebagai berikut. 1. Topografi
15
Secara fisis, air akan mengalir dari elevasi yang lebih tinggi ke elevasi yang lebih rendah. Di pegunungan, air yang jatuh pada suatu permukaan yang miring akan cenderung terus berpindah mengikuti permukaan hingga mencapai tempat yang terendah yang dapat dicapainya. Tempat terendah tersebut akan mengumpulkan air yang dapat ditampungnya semaksimal mungkin. Genangan air yang terbentuk ini, dalam kuantitas yang besar, dapat menjadi banjir dan berpotensi membahayakan.
Bandung terletak pada tengah-tengah cekungan yang dibentuk oleh pegunungan di sekelilingnya. Akibat dari kondisi ini, ketika terjadi hujan, air hujan yang turun pada cekungan itu akan mengalir menuju satu tempat di tengah cekungan. Dengan kata lain, secara topografis, wilayah tengah Bandung mendapat bahaya terkonsentrasi akibat akumulasi aliran air. Morfologi dari Bandung sendiri membuat air hujan yang turun mengalir ke area tengah-tengahnya.
GAMBAR 5 PENGOLAHAN DATA DEM BANDUNG MENJADI PETA KONTUR KETINGGIAN
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Hal ini dapat dibuktikan dengan pengolahan data DEM (Digital Elevation Model) hasil penginderaan jarak jauh. Data ini berupa citra pemindaian ketinggian permukaan
yang
nilai
ketinggiannya
direpresentasikan
dengan
tingkat
keterangan (brightness). Dengan menggunakan data DEM sebagai input ArcMap (perangkat lunak pengolah data geospasial sub-sistem ArcGIS), dihasilkan peta kontur ketinggian. Dari peta kontur ketinggian tersebut dapat dianalisis bahwa Bandung dikelilingi oleh sejumlah gunung, termasuk Burangrang dan Tangkuban Parahu. Karena batas geografis ini, Bandung seakan-akan berbentuk seperti cekungan
mangkuk.
Akibatnya,
16
topografi
cekungan
Bandung
mengkonsentrasikan air hujan yang turun di sana menuju satu titik di tengahtengahnya.
2. Floodplain atau Dataran banjir Terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan area pengumpul air hujan adalah DAS (Daerah Aliran Sungai). Daerah aliran sungai merupakan satuan wilayah yang mengumpulkan air hujan atau presipitasi lalu melimpaskannya dalam bentuk sistem sungai. Sistem sungai bermula dari aliran kecil hulu yang berada di daerah tinggi atau pegunungan dan berakhir di ujung hilir besar. Batas area DAS umumnya adalah titik-titik tertinggi yang mengelilingi suatu tempat di tengahnya. Dalam studi kasus Bandung ini, DAS mengumpulkan air dari gunung Tangkuban Parahu, Burangrang, dll terlebih dahulu sebelum mengalirkannya ke sungai Citarum. Area paling berpotensi bahaya dalam sebuah DAS adalah floodplain atau dataran banjir. Floodplain adalah dataran daerah tepi sungai dewasa yang kering saat debit sungai normal. Dataran tepi ini akan terisi luapan air sungai saat debit air sungai melebihi normal, terutama saat keadaan banjir. Untuk menentukan floodplain, diperlukan peta DAS beserta sistem sungainya.
GAMBAR 6 PENGOLAHAN DATA DEM BANDUNG MENJADI PETA DAS DAN SISTEM DENDRIT SUNGAINYA
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Pengolahan data untuk mendapatkan area DAS menggunakan input DEM yang sama. Dengan menggunakan ArcMap, didapatkan geometri DAS beserta dendrit sungainya. Setelah itu dilakukan analisis terkait jumlah air hujan yang terkumpul
17
pada DAS tersebut dan analisis floodplain. Dalam siklus hidrologi, DAS berfungsi sebagai luasan wilayah pengumpul hujan yang turun. Jadi, jumlah air hujan yang mengalir melalui sungai Citarum dapat mencapai setara hujan yang turun pada luas DAS Citarum. Dengan mengalikan luas geometrik DAS dengan intensitas hujan, akan didapat debit sungai Citarum yang berpotensi banjir pada waktuwaktu tertentu. Kondisi floodplain sekitar sungai pengumpul juga perlu diperhatikan karena efek dari banjir akan pertama kali terjadi di floodplain. 3.
Soil Type (Jenis Tanah)
Saat hujan turun dan mencapai permukaan, air tidak langsung menjadi limpasan permukaan tetapi masuk ke sela-sela tanah tempat jatuhnya. Sebagian jenis tanah memiliki rongga antar partikelnya yang dapat diisi udara atau air. Saat rongga tanah tersebut sudah terisi penuh dengan air, tanah tidak dapat menampung air lagi. Ini mengakibatkan air yang masih di atas permukaan sepenuhnya menjadi air limpasan dan bergabung dengan air sungai. Dengan begitu, pengetahuan terkait jenis tanah sangat diperlukan untuk mengestimasi kemampuan dan kapasitas penyerapan air.
GAMBAR 7 DIAGRAM KOMPOSISI JENIS TANAH
Sumber :
18
Secara umum jenis tanah terdiri atas tiga komponen. Berdasarkan urutan kemampuan penyerapan airnya dari yang terbesar,
yaitu pasir, serpih, dan
lempung. Tanah pada suatu tempat dapat terdiri atas salah satu, kedua, atau ketiga komponen tersebut. Hasilnya, kemampuan penyerapan air bervariasi bergantung persentase dari ketiga komponen itu. GAMBAR 8 PETA DISTRIBUSI JENIS TANAH BANDUNG
Sumber : Hasil Analisis, 2011
Berdasarkan peta geologi permukaan di atas, didapat bahwa ada tiga jenis tanah di Bandung, yaitu lempung (clay) yang meliputi selatan Bandung, lempung berpasir (sandy loam)yang dominan di utara Bandung, dan tanah liat berpasir (sandy clay) di beberapa bagian utara Bandung juga. Berdasarkan analisis terhadap sifat konduktivitas hidroliknya, maka dapat disimpulkan bahwa Bandung sebelah selatan memiliki potensi banjir yang jauh lebih tinggi daripada Bandung sebelah utara. 4. Landuse (Tata Guna Lahan)
Selain jenis tanah, tata guna lahan secara langsung mempengaruhi kemampuan penyerapan air juga. Tutupan lahan menjadi satu lapis aspek sendiri untuk penyerapan air. Jenis tutupan lahan tertentu ada yang dapat meningkatkan kemampuan penyerapan air dan ada yang dapat menghalangi sepenuhnya penyerapan air. Tutupan lahan berupa tumbuhan pertanian, hutan dsb akan
19
meningkatkan kapasitas penyerapan air. Ini karena akar-akar sendiri menyerap air yang masuk ke tanah. Akibatnya, tanah akan masih memiliki rongga untuk diisi air. Adapun tutupan lahan yang berupa lapisan semen, beton, dsb menghalangi air untuk mencapai tanah, sehingga air yang jatuh akan langsung tergenang atau mengalir sebagai limpasan permukaan. Peta landuse didapat dari layer landuse sistem prediksi cuaca numerik WRF (Weather Research and Forecast systems) dengan 24 kategori berdasarkan USGS (United States Geological Survey) tahun 2005. Dari peta ini, dapat dilihat bahwa secara umum cekungan Bandung terdiri dari padang rumput dan sawah irigasi. Pada bagian tengah cekungan terdapat mosaik hutan dan perkebunan. Di dalam area lebih kecil lagi di tengah-tengahnya, terdapat area kompleks pergedungan dan jalanan yang merupakan bagian kota Bandung. Dari sini sangat jelas bahwa pada bagian kota akan berpotensi banjir dan airnya akan tergenang lebih lama dibandingkan dengan area perkebunan sekelilingnya. Meskipun dikelilingi perkebunan dan hutan, area kota akan tetap berpotensi bahaya banjir sangat tinggi selama sistem drainasenya tidak dapat mengalirkan genangan air
20
GAMBAR 9 PETA LANDUSE BANDUNG DARI WRF 24 KATEGORI USGS
21
5. Presipitasi Presipitasi atau hujan merupakan faktor utama penyebab banjir yang paling umum terjadi. Hujan yang mengakibatkan banjir adalah produk dari pola hujan yang turun dengan curah ekstrim tinggi dalam interval waktu yang singkat. Pola presipitasi merupakan distribusi spasial dan temporal jumlah curah hujan yang turun. Secara temporal, pola curah hujan Indonesia merupakan gabungan antara tiga pola utama curah hujan, yaitu pola lokal, monsunal, dan ekuatorial. Untuk pulau jawa, pola yang dominan adalah pola monsunal. Untuk daerah bandung dalam hal kajian ini, pola hujan yang terjadi dengan menggunakan data 10 tahun menunjukan bahwa bandung dipengaruhi oleh 2 pola curah hujan yaitu monsunal dan ekuatorial. Hal ini dapat di tunjukan oleh gambar 6. GAMBAR 10 COMPOSITE CURAH HUJAN RATA-RATA BULANAN BANDUNG UNTUK ANALISIS POLA HUJAN DARI DATA 1990-1999
Sumber : Hasil Analisis, 2011 Pada gambar 6 dapat dilihat bahwa terdapat 3 puncak hujan. Pola curah hujan monsunal ditandai oleh puncak pada bulan Maret dan November dan pola curah
22
hujan ekuatorial ditandai oleh puncaknya pada bulan Juli. Dari profil ini didapat bahwa terdapat kecenderungan untuk hujan ekstrim pada bulan Maret, Juli, dan November. Ini adalah bulan-bulan yang perlu diwaspadai karena terdapat potensi banjir tertinggi sepanjang tahun. GAMBAR 11 DATA TIMESERIES CURAH HUJAN MAKSIMUM BULANAN BANDUNG UNTUK ANALISIS MAGNITUDO CURAH HUJAN DARI DATA 1990-1999
Gambar 7 mendeskripsikan fluktuasi curah hujan maksimum bulanan selama 10 tahun di Bandung. Didapat bahwa dalam 10 tahun terdapat dua kali kejadian curah hujan maksimum 103 mm. Data ini disajikan untuk menunjukkan magnitudo hujan yang dapat terjadi selama interva waktu tersebut. Ini dapat menjadi indikator kuantitatif sederhana untuk memprediksi kekuatan hujan yang mungkin akan terjadi di waktu berikutnya. Jadi, Bandung memiliki potensi bahaya banjir yang sangat besar secara spasial dan temporal. Dari topografi, sistem DAS, jenis tanah, dan tata guna lahan didapat potensi bahaya banjir yang berlipat. Ini karena potensi bahaya akibat variabel alaminya teramplifikasi oleh tata guna lahan yang kurang baik. Oleh
23
karena itu dibutuhkan kebijakan yang dapat mereduksi hazard banjir yang ada di cekungan Bandung ini.
24
BAB III MITIGASI BENCANA BANJIR 3.1. Pengertian dan Kategori Mitigasi Bencana Banjir Mitigasi banjir dimaksudkan untuk memperkecil dampak negatif dari bencana banjir, antara lain korban jiwa, kerusakan harta benda, kerusakan lingkungan, dan terganggunya kegiatan sosial ekonomi. Pada dasarnya, mitigasi terdiri dari struktural dan non structural. Berikut adalah penjelasan tentang mitigasi struktural.
3.1.1. Mitigasi Banjir Struktural Mitigasi
struktural
maksudnya
adalah
mitigasi
yang
dilakukan
secara
pembangunan fisik dan secara langsung. Berikut adalah mitigasi struktural bencana banjir. 1. Pengaturan debit banjir Pengaturan debit
banjir
dilakukan melalui kegiatan pembangunan dan
pengaturan bendungan dan waduk banjir, tanggul banjir, palung sungai, pembagi atau pelimpah banjir, daerah retensi banjir, dan sistem polder. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu mengenai upaya pembangunan pengaturan debit banjir. Bendungan Banjir Sebuah bendungan berfungsi sebagai penangkap air dan menyimpannya di musim hujan waktu air sungai mengalir dalam jumlah besar dan yang melebihi kebutuhan baik untuk keperluan irigasi, air minum, industri atau yang lainnya. Bendungan ini dapat menahan air sungai di bagian hulu. Tanggul Tanggul adalah bendungan yang terletak di sisi kiri atau kanan bendungan utama dan ditempat yang dari bendungan utama yang tingginya maksimum 5 meter dengan panjang mercu maksimum 5 kali tingginya. Sistem Polder Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan,
25
serta pompa dan / pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan. Tujuan dari pengembangan sistem Polder ini adalah untuk memberikan model pengendalian banjir perkotaan yang terpadu. Sistem Polder tersebut diadaptasi dari Negara Belanda dan Singapura. Palung Sungai Palung Sungai adalah cekungan yang terbentuk oleh aliran air secara alamiah atau buatan manusia untuk mengalirkan air dan sedimen. Daerah Retensi Daerah Retensi adalah lahan yang ditetapkan untuk menampung air banjir untuk sementara waktu. Pembagi atau pelimpah Banjir (Spillway) Spillway atau katup atau saluran pelimpah ini membantu mencegah banjir sehingga ketinggian air tidak melebihi batas yang ditetapkan yang bisa menghancurkan sebuah bendungan. Hal ini biasanya dilakukan pada saat terjadi banjir. Pada saat normal, digunakanlah pintu air dam untuk mengeluarkan air secara teratur untuk digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, suplai air dan sebagainya. Spillway terletak di atas reservoir (waduk penampungan air). Bendungan juga mungkin memiliki pintu air dengan katup atau pintu yang dapat dioperasikan untuk melepaskan arus banjir. Ada dua jenis spillways: terkendali dan tidak terkendali. Spillway yang terkendali memiliki struktur mekanik atau gerbang untuk mengatur laju aliran air. Desain ini memungkinkan untuk memungkinkan mengatur ketinggian bendungan yang akan digunakan untuk penyimpanan air sepanjang tahun, dan saat banjir bisa dikeluarkan dengan membuka satu atau lebih spillways. Spillway yang tidak terkendali, tidak memiliki pintu, ketika air naik di atas bibir atau puncak katup yang itu mulai dikeluarkan dari reservoir. Laju debit dikendalikan hanya dengan kedalaman air dalam reservoir. Semua volume penyimpanan dalam reservoir di atas puncak Spillway hanya dapat digunakan
26
untuk penyimpanan sementara air banjir, dan tidak dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan air bersih karena biasanya kosong. Spillway atau katup ini membantu mencegah banjir sehingga ketinggian air tidak melebihi batas yang ditetapkan yang bisa menghancurkan sebuah bendungan. Hal ini biasanya dilakukan pada saat terjadi banjir. Pada saat normal, digunakanlah pintu air dam untuk mengeluarkan air secara teratur untuk digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, suplai air dan sebagainya. Spillway terletak di atas reservoir (waduk penampungan air). Bendungan juga mungkin memiliki pintu air dengan katup atau pintu yang dapat dioperasikan untuk melepaskan arus banjir. 2. Meresapkan air hujan sebanyak mungkin ke dalam tanah dengan sumur resapan atau rorak dan menyediakan daerah terbuka hijau. 3. Mengalirkan air secepatnya ke muara atau ke laut dengan menjaga kapasitas wadah air.
3.1.2. Mitigasi Banjir Non struktural Mitigasi Non-Struktural dilakukan tidak secara fisik, misalnya dengan kebijakankebijakan tertentu. Berikut adalah mitigasi non struktural bencana banjir. 1. Pengendalian tata ruang Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan penggunaan ruang sesuai kemampuannya dengan mepertimbangkan permasalahan banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai. 2. Pengaturan daerah rawan banjir Pengaturan daerah rawan banjir dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut. a. Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain management). b. Penataan daerah lingkungan sungai, seperti: penetapan garis sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai, dan penertiban bangunan di sepanjang aliran sungai.
27
3. Peningkatan peran masyarakat Peran masyarakat dalam mitigasi bencana banjir non struktural sangat penting karena masyarakat merupakan orang yang merasakan dampak banjir itu sendiri. Peningkatan peran masyarakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. a.
Pembentukan forum peduli banjir sebagai wadah bagi masyarakat
untuk berperan dalam pengendalian banjir. b.
Bersama dengan Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
menyusun dan menyosialisasikan program pengendalian banjir. c.
Menaati peraturan tentang pelestarian sumber daya air, antara
lain tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang berwenang
4. Pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat Pengaturan-pengaturan
tertentu
berpengaruh
seberapa
terhadap
yang besar
dikeluarkan dampak
pemerintah
kepada
akan
masyarakat.
Pengaturan-pengaturan tersebut antara lain, a.
Penyediaan informasi
b.
Penyediaan pendidikan (misal: pendidikan tidak membuang sampah ke sungai)
c.
Penyesuaian pajak; dan
d.
Asuransi banjir.
5. Pengelolaan daerah tangkapan air Daerah tangkapan air merupakan daerah yang harus dikelola dengan baik agar dapat menampung air hujan dan tidak menyebabkan banjir. a. Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan, kawasan budidaya, dan kawasan lindung); b. Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak; c. Konservasi tanah dan air, baik melalui metoda vegetatif, kimia, maupun mekanis;
Perlindungan/konservasi kawasan–kawasan lindung.
Penyediaan dana
28
Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola sendiri oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir;
Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang rawan banjir; dan
Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
3.2. Mitigasi Bencana Banjir Berdasarkan Permendagri No.33 tahun 2006 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Permendagri No.33 tahun 2006 adalah pedoman mitigasi bencana secara keseluruhan. Di dalamnya terdapat kebijakan-kebijakan yang perlu diambil, strategi dalam pelaksanaan kebijakan, manajemen mitigasi bencana dan langkah-langkah dalam mitigasi bencana. Dalam sub bab ini akan dijelaskan tentang keempat hal diatas dengan fokus terhadap bencana banjir
Menurut Permendagri No.33 tahun 2006 tentang Pedoman Mitigasi Bencana, Banjir baik yang berupa genangan atau banjir bandang bersifat merusak. Aliran arus air yang tidak terlalu dalam tetapi cepat dan bergolak (turbulent) dapat menghanyutkan manusia dan binatang. Aliran air yang membawa material tanah yang halus akan mampu menyeret material berupa batuan yang lebih berat sehingga daya rusaknya akan semakin tinggi. Banjir air pekat ini akan mampu merusakan fondasi bangunan yang dilewatinya terutama fondasi jembatan sehingga menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan tersebut, bahkan mampu merobohkan bangunan dan menghanyut-kannya. Pada saat air banjir telah surut, material yang terbawa banjir akan diendapkan ditempat tersebut yang mengakibatkan kerusakan pada tanaman, perumahan serta timbulnya wabah penyakit.
3.2.1. Kebijakan Terkait Mitigasi Bencana Dalam tindakan mitigasi bencana, berbagai kebijakan perlu ditempuh. Kebijakan dalam mitigasi bencana antara lain: a. Dalam setiap upaya mitigasi bencana perlu membangun persepsi yang sama bagi semua pihak baik jajaran aparat pemerintah maupun segenap unsure
29
masyarakat yang ketentuan langkahnya diatur dalam pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan prosedur tetap yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan sesuai dengan bidang tugas unit masing-masing. b. Pelaksanaan mitigasi bencana dilaksanakan secara terpadu terkoordinir yang melibatkan seluruh potensi pemerintah dan masyarakat. c. Upaya preventif harus diutamakan agar kerusakan dan korban jiwa dapat diminirnalkan. d. Penggalangan kekuatan melalui kerjasama dengan semua pihak, melalui pemberdayaan masyarakat serta kampanye.
3.2.2. Strategi Dalam Menjalankan Kebijakan Untuk melaksanakan kebijakan dikembangkan beberapa strategi sebagai berikut: a. Pemetaan. Langkah pertama dalam strategi mitigasi ialah melakukan pemetaan daerah rawan bencana. Pada saat ini berbagai sektor telah mengembangkan peta rawan bencana. Peta rawan bencana tersebut sangat berguna bagi pengambil keputusan terutarna dalam antisipasi kejadian bencana alam
Meskipun demikian sampai saat ini penggunaan peta ini belum dioptimalkan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah : 1). Belum seluruh wilayah di Indonesia telah dipetakan 2). Peta yang dihasilkan belum tersosialisasi dengan baik 3). Peta bencana belum terintegrasi 4). Peta bencana yang dibuat memakai peta dasar yang berbeda beda sehingga menyulitkan dalam proses integrasinya.
b. Pemantauan. Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan penyelamatan. Pemantauan di daerah vital dan strategic secara jasa dan ekonomi dilakukan di beberapa kawasan rawan bencana.
c. Penyebaran informasi Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cars: memberikan poster dan leaflet kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan Propinsi seluruh Indonesia yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan
30
bencana. Memberikan informasi ke media cetak dan etektronik tentang kebencanaan adalah salah satu cara penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas.
d. Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan tentang segala aspek kebencanaan kepada SATKOR-LAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat bertujuan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan Pernenntah Daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu ditakukan dan dihindarkan di daerah rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
e. Pelatihan/Pendidikan Pelatihan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebrh ditekankan pada alur informasi dan petugas lapangan, pejabat teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk.
f. Peringatan Dini Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan basil pengamatan secara kontinyu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktuwaktu terjadi bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan basil pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis dapat berupa antana lain pengalihan jalurjalan (sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan lainnya.
3.2.3. Manajemen Mitigasi Bencana Manajemen mitigasi bencana yang dilakukan dalam mendukung strategi-strategi dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan adalah sebagai berikut.
31
1. Penguatan Institusi Penanganan Bencana Untuk memperkuat institusi maka perlu dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: a. Memperbaiki dan mensosialisasikan Prosedur Tetap (Protap) SATKORLAK PB dan SATLAK PB yang memuat tugas dari tanggungjawab Instansi-instansi yang terkait dalam manajemen bencana, termasuk mekanisme koordinasi. b. Meningkatkan kerjasama antara Instansi-instansi yang terkait dalam manajemen bencana. c. Meningkatkan kemampuan SATKORLAK PB dan SATLAK PB dalam hal sistem, peralatan dan surnber daya manusia. d. Mengembangkan sistem informasi sebagai usaha untuk meningkatkan kesiapan SATKORLAK PB dan SATLAK PB serta masyarakat dalam menghadapi bencana.
Tindakan yang diperlukan antara lain : 1). Menyusun strategi sistem informasi, yang mencakup: a) Tugas dan tanggungjawab antara pemakai dan personil pusat, pengendali sistem informasi. b) Audit internal untuk memeriksa sistem pengendalian dan rnengevaluasi efektivitas sistem. 2). Mengembangkan sistem penyebaran informasi kepada Instansi-instansi dan pihak lain yang terkait dengan mitigasi bencana. 3). Menyiapkan database kajian termasuk diantaranya mikro zonasi resiko bencana.
2. Meningkatkan Kemampuan Tanggap Darurat a. Menyiapkan rencana penanganan keadaan darurat yang mendalam dan terpadu, rencana tersebut berisi : 1). Tugas dan tanggungjawab setiap organisasi atau pihak yang terlibat secara internal dan eksternal. 2). Organisasi tim tanggap darurat bencana. 3). Mekanisme pencarian dan penyelamatan korban (SAR). 4). Inventarisasi peralatan dan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.
32
b.
Meningkatkan
koordinasi
pertolongan
dalam
keadaan
darurat
dan
kernampuan komunikasi antar Instansi dengan mengembangkan Ruang Pusat Pengendalian Operasional (RUPUSDALOP) SATKORLAK PB dan SATLAK PB.
c. Meningkatkan kemampuan tanggap darurat personil PUSDALOP melalui: 1). Pelatihan untuk melaksanakan rencana tanggap darurat, melalui simulasi dan secara tanggap darurat, melalui simulasi dan secara berkala mengadakan latihan penanganan keadaan darurat berdasarkan perkiraan kerusakan dan gangguan/kekacauan dan menggunakan pengalaman tersebut
untuk
mengindentifikasi
kekuatan
dan
kelemahan
serta
memperbaiki tanggap darurat dan rencana pengurangan kerusakan. 2). Pelatihan pencarian dan penyelamatan, P3K, dapur umum dan SAR bagi anggota masyarakat, pegawai instansi, perusahaan dan seterusnya. d. Meningkatkan fasilitas tanda peringatan darurat dengan cars pernasangan alarm dan sistem pemberitahuan kepada masyarakat. e. Meningkatkan rasa tanggungjawab pada pengguna fasilitas rumah sakit. f. Meningkatkan dan mengorganisasikan transpor-tasi darurat, rencana operasi dan rute. g. Mengkoordinasikan Pusat Pelayanan Kesehatan yang berlokasi di daerah rawan. h. Meningkatkan ketrampilan personil disetiap tingkat unit pelayanan darurat. 3. Meningkatkan Kepedulian Dan Kesiapan Masyarakat pada MasalahMasalah yang Berhubungan dengan Resiko Bencana dengan cara sebagai berikut.
a. Mengembangkan materi kampanye pendidikan untuk masyarakat tentang kepedulian terhadap bencana Program yang akan dikembangkan mencakup langkah antisipasi dan penanganan meliputi bagaimana mempersiapkan diri bila bencana terjadi. bagaimana menghadapi bencana. bagaimana pemulihan setelah terjadi bencana Materi pendidikan harus mudah dimengerti dan dapat diterima masyarakat. b. Menyebarluaskan informasi bencana secara singkat dan jelas melalui media cetak, media elektonik, poster dan lain-lain.
33
c. Memberikan informasi kepada masyarakat secara rutin melalui organisasi kemasyarakatan yang ada. d. Melaksanakan kampanye pendidikan tentang bencana pada masyarakat melalui lokakarya dan seminar. e. Memberikan saran teknis/rekomendasi kepada pemilik gedung tentang bagaimana menghadapi resiko bencana. f.
Mendorong
tumbuhnya
partisipasi
aktif
masyarakat
(pemberdayaan
masyarakat) dalam mitigasi bencana termasuk di dalarnnya partisipasi penuh masyarakat, organisasi non pemerintah dan organisasi kemasyarakatan. 4. Meningkatkan Keamanan Terhadap Bencana Pada Sistem Infrastruktur Dan Utilitas dengan cara sebagai berikut. a. Identifikasi daerah-daerah/bagian-bagian yang paling rawan dimana prioritas ditekankan pada peningkatan kemampuan/keamanan bagian tersebut terhadap bencana. b. Menyusun program jangka pendek dan jangka panjang yang diprioritaskan pada peningkatan kemampuan dan kekuatan sistem dalam menghadapi resiko bencana. c. Melakukan penilaian kerentanan terhadap bencana secara lebih terperinci pada insfrastruktur dan jaringan utilitas. Meliputi sektor-sektor : 1). Pengadaan Air Minum. 2). Listrik 3). Telekomunikasi. 4). Jalan dan jembatan. 5). Menara pengontrol lalu lintas udara (ATC), fasilitas bandara, dan landasan. 6). Kereta Api. 7). Sistem Drainase. 8). Saluran Pembuangan Air Kotor dan Limbah. 9). Depot Minyak Bumi 10). Meningkatkan keamanan fasilitas-fasilitas penting yang diperlukan pada tanggap darurat. d. Meningkatkan kesiapan instansi-instansi utilitas dalam menghadapi resiko bencana seperti meningkatkan kemampuan instansi-instansi tersebut dalam menghadapi bencana.
34
5. Meningkatkan Keamanan Terhadap Bencana Pada Bangunan Strategis Dan Penting a. Mengidentifikasi semua bangunan-bangunan strategis dan periling untuk tanggap darurat dan menilai tingkat kemanan bangunan yang meliputi: 1). Kantor Polisi. 2) Kantor Pemadam Kebakaran. 3) Rupusdalops (Posko). 4) Rumah Sakit dan Puskesmas. 5) Kantor-kantor pemerintah yang penting seperti kantor Gubernur dan Kantor Walikota/Bupati. b. Meningkatkan keamanan bangunan-bangunan strategis/penting terhadap bencana agar dapat memberikan pelayanan darurat tanpa mengalarni gangguan selama bencana. c Memberikan rekomendasi teknis/nasehat untuk mengantisipasi resiko bencana kepada pengelola dan pengguna gedung. d. Tindakan juga termasuk studi Instansi bangunan penting/berbahaya seperti BATAN (Reaktor Nuklir), Industri Kimia dan seterusnya. e. Melakukan Inspeksi Rutin pada fasilitas pemadam kebakaran. f. Meningkatkan kinerja bangunan kesehatan dan kualitas rumah sakit terhadap bencana. 6. Meningkatkan Keamanan Terhadap Bencana Daerah Perumahan Dan Fasilitas Umum a. Mengidentifikasi dan menilai kerentanan bangunan di sekitar perumahan dan fasilitas umum. b. Meningkatkan keamanan terhadap bencana pada fasilitas umum seperti : 1). Pusat Perbelanjaan. 2). Pasar Tradisional 3). Pertokoan. 4). Stasiun Kereta Api. 5). Terminal Bis. 6). Tempat Rekreasi (Buatan dan Alami di Pegunungan).
35
7. Meningkatkan Keamanan Terhadap Bencana Pada Bangunan Industri Dan Kawasan Industri a. Mengidentifikasi dan rnelakukan penilaian terhadap kerentanan kawasan industry dan bangunan-bangunannya terhadap bencana, khususnya industri yang memperkerjakan pekerja dalam jumlah yang besar dan industri yang akan membahayakan !ingkungan serta berpotensi tinggi terhadap limbah dan polusi (B3). b. Meningkatkan keamanan kawasan industri dan bangunan yang rawan terhadap bencana. c. Mernberikan rekomendasi teknis tentang bagaimana mengahadapi resiko bencana dan bencana susulan seperti : kebakaran, tanah longsor, kontaminasi limbah dan banjir, kepada pengelola industri maupun kawasan industri. d. Memberikan pelatihan tentang bagaimana menanggulangi dan mengamankan situasi darurat, yang disebabkan oleh bencana seperti aliran listrik, pencemaran gas beracun dan kimia dan seterusnya.
8. Meningkatkan Keamanan Terhadap Bencana Pada Bangunan Sekolah Dan Anak-Anak Sekolah a. Mengadakan program keamanan gedung sekolah terhadap resiko bencana melalui aktivitas : 1). Identifikasi sekolah-sekolah yang rawan terhadap rencana dan menilai kerentanan sekolah tersebut. 2). Memberikan rekomendasi teknis untuk perbaikan struktur bangunan sekolah. 3). Memberikan rekomendasi teknis mengenai tata-letak sekolah dan lingkungan, seperti perlunya lapangan terbuka dekat sekolah. 4).
Mengembangkan
standar
struktur
bangunan
sekolah
dan
peraturanperaturan arsitektur sekolah. 5). Mengembangkan program-program untuk perbaikan atau relokasi gedung sekolah yang sangat rawan. b Mengembangkan program kampanye pendidikan mengenai resiko bencana pada anak-anak sekolah. Program ini dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran dan kesiapan anak-anak sekolah menghadapi bencana melalui aktivitas-aktivitas sebagai berikut :
36
1). membuat materi kampanye pendidikan mengenai bencana untuk anakanak sekolah. 2). Meningkatkan kepedulian Dinas Pendidikan dan Instansi terkait lainnya untuk memasukkan konsep-konsep resiko bencana dan latihan menghadapi bencana dalam muatan Iokal kurikulum sekolah dasar dan menengah. 3). Melakukan latihan menghadapi bencana yang meliputi : briefing, diskusi, latihan simulasi dan lomba poster/mengarang tentang bagaimana persiapan menghadapi bencana, bagaimana tanggapan terhadap bencana (termasuk aftershock) dan bagaimana pemulihan setelah bencana. Kelompok sasaran dalam program ini adalah :
Anak-anak Sekolah.
Guru-guru dan Pengurus Sekolah.
Organisasi kepemudaan seperti Pramuka dan Palang Merah Remaja.
4). Perbaikan bangunan sekolah, memperbaiki tata letak sekolah untuk evakuasi darurat, bila bencana terjadi. 5). Membentuk unit, Palang Merah di setiap sekolah sebagai upaya kampanye pendidikan di sekolah.
9. Memperhatikan Keamanan Terhadap Bencana Dan Kaidahkaidah Bangunan Tahan Gempa Dan Tsunami Serta Banjir Dalam Proses Pembuatan Konstruksi Baru. a. Merancang peraturan yang berkaitan dengan mitigasi bencana yang termasuk di dalamnya pengawasan terhadap desain bangunan tahan gempa dan lain-lain. b Meningkatkan pengetahuan dan pengertian tentang prinsip-prinsip gempa, tsunami, kebakaran dan banjir bagi profesi tertentu 1). Kontraktor gedung 2). Konsultan teknik sipil dan arsitek. 3). Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab terhadap pembangunan fasilitas umum. 4).
Pihak-pihak
yang
bertanggungjawab
terhadap
pelaksanaan
peraturanperaturan gempa. c. Memberikan alternatif untuk membangun konstruksi tahan gempa. d. Memberikan petunjuk teknis/praktis untuk bangunan sederhana yang tahan gempa, rumah sangat sederhana, bangunan sederhana lainnya.
37
e Menekankan peraturan-peraturan melalui sistem perijinan dalam mendirikan bangunan. f. Meningkatkan sistem pengawasan terhadap bangunan. 10. Meningkatkan Pengetahuan Para Ahli Mengenai Fenomena Bencana, Kerentanan Terhadap Bencana Dan Teknik-Teknik Mitigasi dengan cara : a. Mendukung pengembangan penelitian. 1). Bangunan-bangunan yang rawan gempa dan tsunami serta struktur lainnya. 2). Identifikasi bencana susulan seperti : banjir, kebakaran, pencemaran air minum dan lain-lain. 3). Perbaikan bangunan dan struktur yang rawan. b. Mengadakan program pelatihan untuk para profesional mengenai Penilaian kerentanan dan desain perkuatan (retrofit) serta teknik-teknik mitigasi lainnya. c. Memberikan informasi rnelalui diskusi rutin di Kecamatan atau Dinas-dinas lainnya. d. Menyebarkan informasi mengenai bencana dan rencana tindakan dalam bentuk sederhana. 11. Memasukan Prosedur Kajian Resiko Bencana Ke Dalam Perencanan Tata Ruang/Tata Guna Lahan dengan cara sebagai berikut. a Meningkatkan zonasi yang sudah ada tentang tata ruang/tata guna lahan yang didasarkan pada kajian resiko. b. Menyediakan lapangan terbuka untuk zona perantara (Butter Zona), evaluasi dan akses darurat. c. Memberikan rekomendasi tentang perlakukan khusus daerah rawan dan berbahaya. d. Memberikan rekomendasi tentang penanganan khusus dalam kajian resiko untuk daerah dengan bangunan. e. Mendidik secara rutin dan melakukan studi banding tentang mitigasi bencana. f. Melakukan studi di daerah tertentu untuk memahami mekanisme bencana susulan seperti banjir, pencemaran air minum dan seterusnya. g. Menyiapkan database pada studi bencana termasuk sarana dan prasarana Early Warning System (EWS).
38
12. Meningkatkan Kemampuan Pemulihan Masyarakat Dalam Jangka Panjang Setelah Terjadi Bencana dengan cara berikut. a. Mempersiapkan rencana pemulihan kota yang meliputi : 1). Pemulihan korban bencana; 2). Pemulihan gedung-gedung strategis (rumah sakit, kantor polisi, kantor pemadam kebakaran, Telkom, PLN, dsb). 3). Pemulihan jaringan utilitas. b. Rencana tersebut perlu diakomodasikan ke dalam keputusankeputusan darurat sewaktu terjadi bencana. c. Merencanakan perumahan dan sekolah sementara. d. Mengembangkan rencana pendanaan masyarakat untuk program rekontruksi jangka panjang. e. Pemberdayaan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan. dan Dinas Agama dalam melakukan pemulihan mental dan spritual korban bencana. f. Merencanakan pendanaan yang transparan dan manajemen distribusi bantuan. g. Memasukan dalam pertimbangan basil dari studi resiko bencana ke dalam studi darnpak lingkungan proyek baru (AMDAL).
3.2.4. Langkah-Langkah Yang Dilakukan Dalam Mitigasi Bencana Banjir Mitigasi bencana banjir adalah upaya pengurangan bencana banjir dengan kata lain, pencegahan bencana banjir. Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana banjir antara lain: a. Pengawasan penggunaan lahan dan perencanaan lokasi untuk menempatkan fasilitas vital yang rentan terhadap banjir pada daerah yang aman. b. Penyesuaian desain bangunan di daerah banjir harus tahan terhadap banjir dan dibuat bertingkat. c. Pembangunan infrastruktur harus kedap air. d. Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai, tembok laut sepanjang pantai yang rawan badai atau tsunami akan sangat membantu untuk mengurangi bencana banjir. e. Pengaturan kecepatan aliran air permukaan dan daerah hulu sangat membantu mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengatur kecepatan air masuk kedalam sistem pengaliran
39
diantaranya adalah dengan pembangunan bendungan/ waduk, reboisasi dan pembangunan sistem peresapan. f. Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran terbuka maupun dengan pipa atau terowongan dapat membantu mengurangi resiko banjir. g. Pembuatan tembok penahan dan tembok pemecah ombak untuk mengurangi energi ombak jika terjadi badai atau tsunami untuk daerah pantai. h. Memperhatikan karakteristik geografi pantai dan bangunan pemecah gelombang untuk daerah teluk. i. Pembersihan sedimen. j. Pembangunan pembuatan saluran drainase. k. Peningkatan kewaspadaan di daerah dataran banjir. l. Desain bangunan rumah tahan banjir (material tahan air, fondasi kuat). m. Pelatihan pertanian yang sesuai dengan kondisi daerah banjir. n. Meningkatkan kewaspadaan terhadap penggundulan hutan. o.
Pelatihan
tentang
kewaspadaan
banjir
seperti
cara
penyimpanan/
pergudangan perbekalan, tempat istirahat/tidur di tempat yang aman (daerah yang tinggi). p. Persiapan evakuasi bencana banjir seperti perahu dan alat-alat penyelamatan lainnya.
3.3. Mitigasi Bencana Banjir Berdasarkan Deputi Bidang Sarana Prasarana, Direktorat Irigasi Dan Pengairan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Mengikuti pengelompokkan kegiatan yang diperkenalkan Bank Dunia, maka dalam penanggulangan banjir ditemukan tiga jenis kebijakan/kegiatan yaitu: (1) indirect benefits, direct social cost; (2) large number of beneficiaries and few social cost; (3) targeted assistance. Kegiatan berciri indirect benefits, direct social cost dikenali pada kelompok kegiatan struktural di luar badan air (off-stream structural
measures)
yang
meliputi
kegiatan-kegiatan
peningkatan
dan
pembangunan sistem drainase, pembangunan parasarana retensi air (retention facilities), pembangunan sistem serapan air, pembangunan sistem polder, dan penanganan masalah erosi dan kemiringan tebing. Kegiatan berciri large number of beneficiaries and few social cost terdapat pada kelompok kegiatan non-
40
struktural jangka panjang (long term flood prevention nonstructural measures) yang mencakup kegiatan-kegiatan pengaturan dataran banjir (floodplain), pengendalian penggunaan lahan di luar dataran banjir, kebijakan penyediaan ruang terbuka (open space reservastion), kebijakan sarana dan pelayanan umum, pedoman pengelolaan air permukaan, serta pendidikan dan informasi kepada masyarakat. Kegiatan berciri targeted assistance ditemukan pada kelompok kegiatan manajemen darurat banjir jangka pendek (short term flood emergency management) khususnya pada kegiatan-kegiatan pre-flood preparation, yang terdiri dari kegiatan pemetaan wilayah terkena banjir, penyimpanan bahan penahan banjir, antara lain karung pasir dan bronjong kawat, identifikasi lokasi dan pengaturan pemanfaatan peralatan yang diperlukan, pemeriksaan dan perawatan peralatan dan bangunan pengendali banjir, dan penentuan dan pengaturan lokasi dan barak-barak pengungsian.
3.3.1. Kelompok Kegiatan Struktural di Luar Badan Air (off-stream structural measures) Pada kelompok kegiatan ini, di tahap penyusunan konsep, sudah tersedia kebijakan nasional dan kebijakan daerah yang bersifat umum. Kebijakan ini dapat dijadikan acuan menyusun konsep pembangunan fisik di luar badan air, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah. Pada implementasinya di lapangan, teridentifikasi cukup banyak kegiatankegiatan kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat, dalam mengidentifikasi masalah drainase, hingga penyusunan konsep partisipasi masyarakat dalam skema
pembiayaan
pembangunan/konstruksi,
pemeliharaan tidak
saluran
teridentifikasi
drainase.
Pada
kebijakan/perundangan
tahap yang
berlaku spesifik, walaupun pada dasarnya masih dapat digunakan kebijakan umum yang sudah ada. Dalam implementasinya, tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan konstruksi dan umumnya dilaksanakan penyedia jasa konstruksi. Meskipun dalam kebijakan dan peraturan perundangan tidak ditemukan dasar yang jelas, namun partisipasi masyarakat ditemukan dalam pembiayaan tahap operasionalisasi prasarana. Pada tahap monitoring dan evaluasi, hanya teridentifikasi peran pemerintah daerah yang memonitor dan
41
mengevaluasi prasarana off-stream structural measure; sedangkan partisipasi masyarakat secara langsung tidak ditemukan. Temuan-temuan tersebut menegaskan masih lemahnya dukungan aspek legal untuk mengakomodasi dan merekognisi peranserta masyarakat dalam kelompok kegiatan offstream structural measure yang berciri indirect benefits, direct social cost. Dengan ciri kegiatan yang biaya sosialnya dapat dirasakan langsung, seharusnya diperlukan upaya mengakomodasi dan merekognisi kepentingan pihak-pihak yang mungkin dirugikan (yang terkena adverse impact), misalnya masyarakat yang terkena penggusuran, karena pembangunan inftastruktur pengendali banjir. Pengaturan ini sangat penting untuk meminimalisasi dampak negatif (adverse impact) yang dapat mempengaruhi kelancaran proses penanggulangan banjir. Selain itu, prosedur keterlibatan masyarakat harus lebih spesifik dikembangkan. Isu penting dalam hal ini adalah skema pembiayaan, maupun sistem ganti rugi melalui subsidi yang harus diatur secara jelas dan adil. Tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini, dalam kondisi ideal adalah collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) terutama untuk tahapan konsep dan implementasi; sedang untuk tahapan kontruksi mencapai skala ke 3 dari skala 0-6 atau pada tataran concensus building and agreement.
3.3.2. Kelompok Kegiatan Manajemen Darurat Banjir Jangka Pendek (short term flood emergency management) Dalam kelompok kegiatan penanganan darurat banjir, terutama pada kegiatan persiapan menghadapi banjir (pre-flood prevention), di tahap penyusunan konsep terdapat cukup banyak aspek legal yang bisa dijadikan acuan, namun belum banyak yang secara spesifik mengakomodasi partisipasi masyarakat. Seperti pada tahap penyusunan konsep, dalam tahap pengembangan juga sudah terdapat peraturan daerah yang mengatur pengembangan peta daerah rawan banjir dan penetapan daerah alternatif pengungsian korban bencana dan pengadaan sarana perhubungan di daerah yang terkena bencana. Namun pada tahapan ini, di lapangan tidak teridentifikasi partisipasi masyarakat dan segala persiapan untuk menghadapi banjir dilakukan instansi pemerintah. Pada tahap implementasi persiapan menghadapi banjir, partisipasi masyarakat tidak teridentifikasi secara spesifik. Sedang instansi pemerintah atau institusi pengelola sungai melakukan hampir semua kegiatan.8 Pada tahap terakhir dalam kelompok kegiatan ini, tidak teridentifikasi kegiatan monitoring dan
42
evaluasi persiapan menghadapi banjir yang melibatkan masyarakat secara langsung. Dengan ciri kegiatan yang beneficiaries-nya sudah teridentifikasi secara jelas, maka masyarakat yang secara langsung terkena bencana banjir harus mendapatkan perhatian utama. Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi, sehingga kelompok masyarakat ini mempunyai akses terhadap kegiatan yang memungkinkan mereka menghindari bencana, atau paling tidak mengurangi kerugian (materi) akibat bencana banjir. Di samping itu, perlu disusun kebijakan yang memprioritaskan peningkatan kapasitas sumber daya manusia kelompok masyarakat tersebut, sehingga dalam perencanaan kegiatan penanggulangan bencana banjir, kelompok ini dapat menyumbangkan pemikiran mereka lebih mendalam. Dari hasil analisis, tingkat partisipasi maksimum pada jenis kegiatan ini dalam kondisi ideal adalah collaboration (skala ke 4 dari skala 0-6) untuk tahapan konsep sampai dengan implementasi; sedangkan untuk tahapan evaluasi pada skala ke 6 pada skala 0-6 atau pada tataran empowerment and partnership.
43
BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Banjir merupakan peristiwa yang terjadi secara alami pada wilayah yang mengalami musim hujan serta dipicu oleh faktor-faktor alami maupun aktivitas manusia. Dalam merencanakan sebuah langkah pencegahan banyaknya korban, perencana harus terlebih dahulu mengetahui hasil dari flood hazard assessment, untuk mengetahui daerah mana yang perlu mendapatkan proteksi lebih tinggi. Flood hazard assessment merupakan hasil dari penggabungan antara temporal assessment dan spasial assessment. Temporal Assessment adalah analisa bahaya banjir menurut waktu hujan. Menggunakan analisa temporal ini kita dapat melihat tingkat kebahayaan bencana banjir suatu daerah berdasarkan skala waktu. Skala waktu yang dimaksud adalah bulan-bulan dimana curah hujan dapat menyebabkan genangan di daerah tersebut. Analisis spasial adalah analisa banjir menurut kajian tempat. Analisa spasial dapat digunakan untuk melihat tingkat kebahayaan banjir menurut lokasi. Setiap lokasi memiliki tingkat kebahayaan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, akan tetapi pada makalah ini kami akan mengkaji kebahayaan bencana banjir secara spasial menggunakan topografi dan tata guna lahan. Banjir dapat berdampak buruk yang mengganggu aktivitas manusia, seperti merusak lingkungan, merusak rumah-rumah penduduk, hingga tak jarang menelan korban jiwa. Oleh karena itulah perlu dilakukan suatu upaya untuk memperkecil dampak negatif dari banjir. Upaya itu disebut dengan mitigasi. Mitigasi itu sendiri dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu mitigasi struktural yang dilakukan secara fisik dan langsung, serta mitigasi non struktural yang dilakukan melalui kebijakankebijakan dari pemerintah.
4.2. Rekomendasi Indonesia merupakan negara yang berada pada zona iklim tropis sehingga mengalami musim hujan dan rawan terjadi banjir. Dan pada kenyataannya tiap tahun masih sering terjadi bencana banjir di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang justru merupakan pusat aktivitas dan
44
pertumbuhan wilayah di Indonesia. Banyak aktivitas masyarakat yang dapat terganggu akibat banjir, terutama aktivitas yang membutuhkan mobilisasi atau moda transportasi. Oleh karena itu perlu ada kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat dalam pencegahan banjir tersebut. Pemerintah dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara pencegahan banjir dan pemerintah juga harus membuat kebijakan yang tepat dan selaras dengan keinginan masyarakat. Selain itu pemerintah juga perlu turun tangan langsung dalam memperbaiki infrastruktur-infrastruktur yang rusak akibat banjir dan dalam pelaksanaannya melibatkan masyarakat. Sebaliknya masyarakat pun perlu memupuk kesadaran sejak dini untuk mewaspadai banjir dan mengurangi aktivitas-aktivitas yang beresiko menyebabkan banjir.
45
DAFTAR PUSTAKA http://piba.tdmrc.org/content/pedoman-penanggulangan-banjir http://bpdas-ctw.simrlps.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129:pedomanteknis-manajemen-banjir&catid=43:peh&Itemid=74 http://www.pusair-pu.go.id/index.php/hasil-litbang/203-sistem-polder-teknologipengendali-banjir-perkotaan http://www.oas.org/DSD/publications/Unit/oea66e/ch08.htm#TopOfPage Alkema, Dinand. 2005. Flood Hazard and Risk Assesment. Makerere University, Uganda Anonim. 2010. Modul Praktikum Analisis Data Meteorologi II.Institut Teknologi Bandung ,Bandung Anonim. 2010. Model Praktikum Hidrometeorologi.Institut Teknologi Bandung, Bandung
46