k, dan sebaiknya para penghuni mulai memperhatikannya. Akan tetapi hal ini dianggap sepele, dan mereka hanya menghalaunya dengan menggunakan alat-alat pertanian, dan membuanngnya jauh di luar desa. Pada saat yang bersamaan orangorang penghuni Desa Ujung sedang gandrung terhadap suatu pengolahan hasil panen menjadi makanan, yang diperoleh dari luar desa. Dengan cara ini hasil panen dapat diolah menjadi bahan baku makanan yang dapat disimpan lama. Oleh karena saking gandrungnya, terjadi pengolahan secara besar-besaran yang berakibat meningkatnya kotoran yang mencemari sungai. Akan tetapi hal itu tidak diperhatikan. Orang lebih memperhatikan hasil bahan olahan yang diperoleh. Variasi apa yang dihasilkan, dan bagaiman ketahanannya dalam penyimpanan. Sedikit demi sedikit, akan tetapi pasti, Hamparan Hijau mulai berkembang. Menutupi air dan tanah lembab di sekitar desa. Karena adanya kesibukan baru, para penghuni desa jarang jauh keluar desa, sehingga tidak lagi memantau perkembangan Hamparan Hijau, ditambah juga dengan lokasi lahan-lahan pertanian yang terpusat di tengah desa, membuat mereka kurang alasan untuk jauh keluar dari desa. Alam mungki sedang marah atau ingin memberi peringatan kepada mereka, dengan didahuluinya oleh hujan deras dan angin, sehingga Hamparan Hijau yang berada di sungai atau kobakan jauh dari desa Ujung, dapat terbang bersama air dan angin, dan menggenangi semua lahan-lahan pertanian yang ada. Akibatnya sudah tentu fatal. Tanaman-tanaman tidak dapat dengan mudah dipanen. Harus dicuci bersih sebelum dimasak. Dan air untuk mencuci pun kebanyakan sudah tercemar. Akhirnya dengan terpaksa mereka makan makanan yang di dalamnya terkandung sarisari dari Hamparan Hijau. Hasilnya sudah pasti bisa diduga, para penghuni Desa Ujung keracunan. Keracunan yang menjangkiti hampir seluruh daerah tersebut membuat seakan-akan Desa Ujung telah sampai pada saat akhirnya. Tinggal menunggu waktu untuk binasa, tanpa ada orang tahu akan adanya desa itu. Terlebih desa tersebut memang jauh dari mana-mana. Tapi memang kehendak Yang Maha Kuasa tiada yang bisa menduga, pada saat kritis seperti itu datanglah seorang petapa yang menilik dari pakaiannya bukanlah orang yang berasal dari daerah di sekiling Desa Ujung, mungkin pula bukan berasala dari pulau yang sama. Orang tersebut kebetulah adalah ahli pengobatan, dan mengenali dengan betul akibat keracunan yang ditimbulkan oleh Hamparan Hijau. Akan tetapi selama hidupnya ia belum pernah melihat begitu luasnya Hamparan Hijau menyerang, sampai hampir membinasan satu desa. Dengan bebekal pengetahuan yang dimilikinya, orang itu mengobati penduduk desa, sembari juga ia mempelajari alasan mengapa Hamparan Hijau sampai bisa tumbuh meluas seperti itu. Akhirnya sampailah ia pada kesimpulan bahwa kondisi lingkungan dari Desa Ujung yang dekat dengan rimba dan gunung itu memang kondusif untuk perkembangan Hamparan Hijau. Sedikit saja ada tambahan nutrisi di air dan tanah lembab, Hamparan Hijau dapat berkembang dengan pesat secara gilagilaan. Setelah seluruh penduduk Desa Ujung sehat kembali sang penolong tersebut, yang minta dirinya dipanggil Petapa Lain Pulau, mengajak penduduk desa untuk mengubah desanya agar lebih sehat dan baik. Juga memberitahu perihal kelakuan Hamparan Hijau yang lebih ganas karena didukung oleh kondisi geografis setempat. Dengan tuntunan Petapa Lain Pulau, mulailah penduduk membagi desa dalam daerah-daerah tertentu seperti yang saat ini. Dan Hamparan Hijau yang berada di dalam desa dimusnakan, sedangkan yang berada di luar desa dibuang ke dalam Rimba Hijau, dengan mengalihkan sedikit aliran sungai, dapat dirancang sedemikian rupa sehingga jika terdapat Hamparan Hijau, suatu pintu air dapat dibuka, sehingga akan mengalir masuk ke dalam Rimba Hijau. Dan sampah-sampah yang tadinya mencemari di sekitar desa, dialihkan ke dalam hutan. Petapa Lain Pulau telah mengamati bahwa di dalam Rimba Hijau terdapat pula komunitas Hamparan Hijau yang tak kalah padatnya dibandingkan di sekitar desa, saat terjadi peristiwa tersebut. Akan tetapi tidak tampak dari luar. Dengan demikian pembuangan kotoran dari desa ke hutan, tidak akan merusak keseimbangan alam di sana. Untuk memperingati hal tersebut nama Desa Ujung diganti menjadi Desa Luar Rimba Hijau, yang mengisyaratkan bahwa para penghuni desa hanya diperbolehkan di luar Rimba dan Gunung Hijau. Dan Petapa Lain Pulau berpesan bahwa ia akan berdiam di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Apabila ada musibah yang terjadi di Desa Luar Rimba Hijau, ia dengan senang hati akan menolongnya. Begitu pesannya. Sejak saat itu rimba dan gunung menjadi terlarang, dan juga menjadi lebih hijau dari sebelumnya, karena ditambah dengan kabut hijau yang kadang-kadang nampak membuat
daerah tersebut menjadi lebih disegani untuk dimasuki. Ki Baja menarik napas panjang setelah bercerita. Terlihat bahwa ia meskipun menikmati dalam melantunkan kembali kisah tersebut, telah terbuang banyak tenaganya. Tenaga kasar yang umumnya bertahan saat bertani, tidak sesuai untuk digunakan saat mengungkapkan suatu cerita. Asap yang sedari tadi mendengarkan dengan tekun, melihat bahwa Ki Baja seperti ingin ditanya. Hal ini terlihat jelas dari wajahnya yang minta tanggapan. Dan dalam waktu ini kebetulan Asap memang memiliki pertanyaan. Sebelum telah diceritakan bahwa ia dan rombongannya telah bertemu dengan Ki Tapa, dan hal ini diceritakan pula oleh Ki Tampar dan Ki Gisang, bahwa Ki Tapa adalah penghuni Rimba dan Gunung Hijau. Akan tetapi dari kisah Ki Baja, penguni Rimba dan Gunung Hijau adalah Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu mengajukan pertanyaanlah Asap mengenai hal tersebut. "Untuk itu ada baiknya, nak Asap bertanya langsung kepada Ki Tapa," jawab Ki Baja, "sejauh yang saya tahu Ki Tampar dan Ki Gisang pun pernah bertanya hal yang sama. Akan tetapi Ki Tapa mengaku tidak mengenal atau pernah bertemu dengan Petapa Lain Pulau." \medskip Asap pun mencatat itu dalam hatinya. Bila ia ada kesempatan untuk bertemu dengan Ki Tapa lagi, akan dicoba untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Yang dalam mana ia tidak tahu bahwa akan ada suatu peristiwa yang akan mengubah jalan hidupnya berkaitan dengan kisah di balik hubungan antara Ki Tapa dan Petapa Lain Pulau ini. Bagian 4 -- Persaudaraan Ketiga Petapa Orang yang belum melihat dan merasakan sendiri kejam dan brutalnya perang sudah tentu tidak akan dapat menikmati kesehari-harian yang amat 'biasa' dan 'tenang'. Kadang berita ketidakadilan di seberang lautan memicu orang untuk ikut campur, dengan semangat menggebu-gebu berpendapat, bahwa salah satu pihak adalah salah dan yang lain adalah benar. Bila ia dapat turut serta dalam konflik tersebut, sudah dipastikan akan dilakukannya. Ia akan bertempur untuk membela kebenaran. Berperang. Membunuh demi kemanusiaan. Ironis bukan, bahwa kedamaian yang dicitacitakan haruslah diperoleh dengan pertumpahan darah, dengan melayangnya nyawa, membumbungnya jerit tangis kesedihan orang-orang. Baik keluarga yang ditinggalkan maupun para korban yang ditindas oleh para prajurit. Sudah bukan rahasia lagi bahwa selalu terdapat korban dari luar lingkup para pelaku perang. Orang-orang sipil. Orang-orang yang 'sah' untuk ditindas dalam keadaan darurat, dirampas haknya, diperkosa kebebasannya, ditindas kemauannya, semua untuk kepentingan penguasa. Kelompok yang memanggungkan konflik pertentangan berdarah, demi kemanusiaan dan kedamaian. Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam perang, yang pada awalnya memang terjun ke dalam perang karena dorongan rasa keadilannya, rasa kebangsaanya, akan tetapi tetap disertai dengan rasa kemanusiaannya dan tidak terlarut dalam kekejaman dan kenikmatan menyaksikan pembantaian sesamanya, umumnya memperoleh hikmah yang dapat membuatnya benar-benar mensyukuri makna dari kedamaian dan kehidupan yang 'biasa-biasa' serta tenang. Mereka-mereka ini akan berupaya dengan segala tenaga, bakat dan pikirannya untuk selalu mencegah terjadinya konflik, mencegah terjadinya perang kembali. Akan tetapi umumnya orang-orang seperti ini tidak suka menonjolkan diri. Mereka lebih suka membantu menyelesaikan permasalahan dan kemudian menghilang, tidak mengharapkan imbalan dari hasil jasanya itu. Kedamaian dan senyum yang mengembang dari orang-orang yang ditolongnya, sudah merupakan anugrah yang melimpah, cukup untuk dikenang dan disyukuri oleh orang-orang seperti ini. Adalah Petapa Lain Pulau yang merupakan murid dari murid dari murid, entah keturunan keberapa, dari seorang ahli bela diri ternama Kang Sang Peng (Zhang Sanfeng), yang berasal dari Tanah Daratan Tengah yang awalnya merupakan seorang petapa pula, akan tetapi setelah ia meninggalkan perguruannya untuk hidup sebagai orang biasa, ia melihat banyak hal yang merupakan kontradiksi dengan yang diajarkan oleh perguruannya dalam berbagai filsafat yang menjelimet. Banyak kenyataan-kenyataan yang membuatnya terkejut, bahwa orang sedikian mudah tergoda oleh harta dan tahta. Pembesar menindas rakyat, pejabat menindas bawahan, dan sebagainya. Dan hal yang paling menyedihkannya adalah terlibatnya ia dalam konflik untuk melawan adik seperguruannya sendiri, yang menghambakan diri menjadi tentara untuk menindas rakyat. Telah berulang kali ia bertemu dengan adik seperguruannya dan membujuk agar ia meninggalkan kedudukannya sebagai tentara, yang saat itu
telah menduduki pangkat jendral yang mengepalai ribuan tentara, akan tetapi adik seperguruannya selalu menolak. Bahkan di kali terakhir, adiknya mengajaknya untuk bersekutu dengan tentara dengan janji-janji pangkat dan kemehawan. Kang Sang Peng habis kesalabarannya dan sempat berujar bahwa mulai saat itu ia akan menentang sang adik seperguruan dengan cara kekerasan, sampai sang adik seperguruan menyadari kekeliruannya. Boro-boro menurut, karena ditegur dengan keras, sang adik seperguruan malah menantangnya dengan keras, sambil mengatakan bahwa Kang Sang Peng sebaiknya bersembunyi, karena mulai saat itu ia akan memasang harga kepala sang kakak seperguruan sebagai orang yang dicari oleh negara. Perseteruan antara dua saudara itu menjadi bumbu yang semakin meperumit peperangan. Dan Kang Sang Peng dalam rangka melawan adiknya tersebut, terpaksa bergabung dengan kaum pemberontak dan ikut bergerilya untuk menyerang pasukan pemerintah. Setelah beberapa kali bertempur Kang Sang Peng menyadari bahwa ilmunya tidaklah cukup kuat untuk melawan adik seperguruannya itu. Sang adik telah belajar banyak dari berbagai guru pandai dalam kemiliteran sehingga kemampuannya berkembang dengan pesat. Dalam keadaan luka parah dan depresi, dengan masih ditemani oleh beberapa temannya, kaum pemberontak, yang setia kepadanya, Kang Sang Peng menemukan bahwa yang penting dalam pertempuran antara dua orang bukanlah hanya banyaknya jurus atau kekuatan luar yang penting. Kesadaran tentang apa yang dilakukan dan ketengangan dalam mengambil keputusan untuk menyerang atau mengelak itu pun penting. Selain dari pada itu, untuk pertempuran dalam jangka waktu yang lama, diperlukan siasat sedapat mungkin tidak banyak menghabiskan tenaga, jika bisa manfaatkan tenaga lawan untuk menyerang dirinya sendiri. Seperti gerak melingkar, membelokkan tenaga lawan, agar ia terpukul oleh tenaganya sendiri. Dengan dasar pengetahuannya dalam bela diri Seni Bertempur (Wu Shu), ia menciptakan ilmu yang dikenal sebagai Pukulan Tanpa Tanding (Taijiquan) yang pada dasarnya lebih melatih kekuatan internal ketimbang eksternal. Dengan ilmu baru ini Kang Sang Peng dapat mengalahkan adiknya untuk kemudian memusnahkan ilmu silatnya dan mengirimkannya kembali adiknya kembali ke perguruan untuk dihukum bertapa Menghitung Hari Menghadap Dinding selama sisa hidupnya. Selanjutnya karena perbedaan padangan dan juga pencerahan yang diperolahnya, membuat Kang Sang Peng kembali meninggalkan perguruannya untuk membuka kelompoknya sendiri yaitu Perguruan Gu Dang (Wudang), yang dalam mengembangkan bela dirinya lebih menitikberatkan pengembangan bagian dalam tubuh ketimbang luarnya. Gerakan-gerakan yang diajarkan akan berguna untuk membangun sirkulasi hawa dalam tubuh. Pada penggunaannya dalam pertempuran, untuk murid yang telah ahli, aliran hawa itu akan dengan sendirinya mengalir menuruti pikiran. Oleh karena itu walaupun gerakan-gerakan yang dilatih tidak terlihat berguna, akan tetapi perasaan bagaimana hawa digerakkan itulah yang penting. Setelah tahu cara hawa digerakkan dalam tubuh, dari pusat di bawah pusar menuju suatu bagian tubuh, gerakan yang dimaksud sudah tidak diperlukan. Hanya pikiran yang dibutuhkan. Akan tetapi sebelum menjadi ahli gerakan-gerakan tersebut merupakan sarana untuk membantu melakukan visualisasi. Jika Petapa Lain Pulau adalah murid dari Perguruan Gu Dang, maka lain halnya dengan Petapa Seberang, yang berasal dari Negeri Matahari Muncul. Sang Guru Tua (O Sensei) adalah seorang ahli bela diri yang mengalami pencerahan yang salah satunya juga akibat adanya perang. Morehe Uwesiba (Morihei Ueshiba) yang dulunya juga telah merupakan seorang ahli bela diri, memperoleh tiga kali pencerahan yang membawanya pada penciptaan ilmu barunya Jalan Selaras dengan Alam Semesta (Aikido). Pencerahan pertama yang diperoleh sang Guru Tua Morehe Uwesiba terjadi saat ia melawan seorang seorang jago pedang kondang yang menyerangnya dengan ganas, akan tetapi berhasil dikalahkannya dengan tangan kosong dan juga tidak melukai sang penyerang. Setelah itu Guru Tua Morehe Uwesiba pergi ke taman dan tiba-tiba tanah bergetar, uap keemasan bergelombang muncul dari dalam tanah dan menyelimuti dirinya. Sang Guru Tua merasakan dirinya berubah menjadi wujud keemasan, dan terlihat bahwa tubunya menjadi seringan bulu. Pada saat itu ia menyadari sifat alami dari penciptaan: Jalan Pendekar adalah untuk mewujudkan Cinta Suci, suatu jiwa yang merangkul dan menghidupi semua hal. Pencerahan berikutnya diperoleh Guru Tua Morehe Uwesiba 180 pergantian bulan berikutnya, saat masih dini hari dan baru sebentar lewat tengah malam. sang Guru Tua sedang melakukan ritual pembersihan, secara tiba-tiba ia tidak ingat sama sekali semua jurus-jurus yang pernah dipelajarinya. Semua jurus dan kembangan yang diturunkan oleh gurunya, terlihat oleh Morehe Uwesiba sebagai sesuatu yang
sama sekali baru. Mulai saat itu ia memandang bela diri sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupan, ilmu pengetahuan, pengobatan dan kebaikan, dan bukan lagi alat untuk melembar dan menangkap orang seperti sebelumnya dipelajari. Dua puluh empat pergantian bulan berikutnya, saat mana hampir semua kerajaankerajaan dari segala penjuru saling berperang, Guru Tua Morehe Uwesiba kembali mendapatkan pencerahan mengenai Roh Perdamaian Agung. Dalam pencerahannya ini, ia memahami bahwa pengertian mengenai Jalan Pendekar telah disalahartikan sebagai alat untuk membunuh dan menghancurkan pihak lain. Mereka-mereka yang mencari persaingan telah membuat kesalahan besar. Menyerang, melukai dan menghancurkan adalah kesalahan terburuk yang dilakukan oleh orang-orang. Jalan sebenarnya dari Jalan Pendekar adalah mencegah pembantaian, dinamakan - Seni Kedamaian, kekuatan dari cinta kasih. Petapa Seberang yang saat itu masih kecil, berjodoh untuk belajar pada keturunan keberapa dari Guru Tua, dan menjadi murid dari suatu perguruan untuk mempelajari ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang dilengkapi dengan filsafat Seni Kedamaian. Bakatnya yang baik dan sifat dasar hatinya yang penyayang membuatnya dapat belajar ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta lebih cepat dari orangorang seusianya. Dengan 'rasa' ketimbang dengan pikiran, Petapa Seberang menyelami gerakan-gerakan ilmu Jalan Selaras dengan Alam Semesta, yang berupa berdiam tetapi tidak kaku, mengalah tetapi tidak kalah, dan juga yang dilengkapi dengan kuncian-kunciand dari Kuncian Satu sampai Kuncian Enam, dari arah putar kanan dan putar kiri, dari gerakan berdiri dan gerakan berlutut, semuanya dicernanya dengan baik. Guru yang mengajarnya sampai geleng-geleng kepala melihat kemampuan Petapa Seberang mencerna ilmu yang diajarkannya. Akan tetapi walaupun demikian, Petapa seberang memiliki satu kelemahan, yaitu menghafal nama jurus-jurus dan filsafat dari gerakan yang diajarkan. Ia hanya bisa mempraktekkannya apabila diserang, akan tetapi tidak apabila disuruh menyebutkan. Ini merupakan suatu keunikan tersendiri dari Petapa Seberang, sampai ia dijuluki Petapa Seberang Si Pelupa Jurus. Lain halnya kisah Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang, lain pula cerita dari Petapa Gunung Es yang berasal dari suatu tempat jauh di ketinggian, yang dikenal sebagai Atap Langit. Ia belajar ilmu beladiri yang awalnya dikembangkan orang di sana sudah lebih dari puluhan ribu pergantian bulan yang lalu, di mana ilmu tersebut pada awalnya diciptakan untuk bertahan hidup pada lingkungan Atap Langit yang dingin dan berudara tipis. Menurut ujar-ujar para tetua ilmu tersebut, berdasarkan pada tujuh buah unsur filosofis, yaitu: keberanian, tantangan, kepemimpinan, pengorbanan, kebersamaan, kedamaian dan ilmu pengetahuan. Sejalan dengan berlalunya waktu, ilmu tersebut pernah hilang dari Atap Langit, sampai seorang dari Negeri Matahari Terbit, yaitu Tagasi menemukan buku yang masih terbuat dari kulit yang berisikan tanda-tanda simbolis dan bukan tulisan. Untuk itu Master Tagasi memerlukan waktu sampai empat ratus bulan berganti untuk memahami kitab tersebut dan belum sepenuhnya. Sebagaimana unsur filosofis dari ilmu Takeda, terdapat pula tujuh macam elemen murni dari kekuatan alami dalam tubuh manusia. Kitab tersebut kemudian disebut sebagai Kitab Tujuh Rahasia. Menurut kitab itu ketujuh unsur rahasia tersebut mengandung tenaga yang maha dasyat dan kekuatan insting sejati dari seorang manusia. Akan tetapi dengan mulai dikenalnya berbagai senjata mematikan yang sering digunakan dalam perang, ilmu murni yang menyatakan kedasyatan fungsi tubuh manusia, perlahan mulai hilang ditelan waktu. Master Tagasi, yang saat itu belum menjadi seorang pendekar kondang, tetap dengan tekun mencoba mencari orang-orang lama yang masih memahami ilmu tersebut, yang dikemudian hari diberi nama Takeda ini. Usahanya tidak sia-sia, perjalanannya dari Negeri Matahari Muncul, menyeberangai Pegunungan Tinggi Tiada Habis sampai ke Kaki Langit, membuahkan banyak pertemuan dengan banyak petapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri. Dari mereka ini Tagasi menimba banyak ilmu yang merupakan penjelasan dan pecahan-pecahan dari ilmu yang diajarkan kitab tersebut. Perjalan Master Tagasi membuahkan banyak pengikut dan murid, yang salah satu di antaranya adalah Petapa Gunung Es ini. Awalnya Petapa Gunung Es telah mempelajari ilmu Seamm-Jasani atau dikenal pula sebagai Alayavijnana, yang berarti Ilmu Muda Selamanya, yang membuat orang saat berlatihnya menjadi semakin sehat, awet muda dan tidak cepat pikun dan juga dapat digunakan untuk mencegah depresi, penyakit serta untuk pencapaian kedamaian di dalam, kesabaran dan ketenangan. Saat ia bertemu dengan Master Tagasi, Petapa Gunung Es merasa ilmunya telah mumpuni, akan tetapi saat
berdialog dan saling bertukar ilmu, ia merasa belum apa-apa. Dan Master Tagasi dengan rendah hati menjawab, bahwa ia juga sedang mencari jawaban dari ilmu yang tertulis dalam Kitab Tujuh Rahasia tersebut. Akhirnya Petapa Gunung Es pun mengangkat Master Tagasi sebagai gurunya, dan bersama-sama mereka, juga dengan pengikut lainnya, yang saat itu telah berjumlah lima orang, mencari keterangan lebih lanjut mengenai ilmi itu dari petapa-petapa yang berdiam di sekitar Kaki Langit. Pada suatu masa yang tercatat dari sejarah Master Tagashi dan tiga puluh orang master lainnya bertandang ke Kawasasan Gunung Lautan Awan di Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, di sana ia mencapai dua tahap terakhir dari tahapan kesempurnaan dari ilmu Takeda seperti tertulis dalam kitab tersebut, yaitu Penglihatan Dalam dan Pemahaman Dalam, yang diperolehnya melalui suatu pencerahan saat melihat bagian dari kawah yang menyerupai simbol dalam kitab tersebut. Pencerahan ini membentuk dasar dari keyakinannya bahwa Tujuh Rahasia dapat dicapai melalui metoda Pertahanan Diri. Terdapat tujuh tahapan untuk mencapai kesempurnaan dari ilmu ini, yaitu Cara Bernafas, Pengendalian Otot, Gerakan Tubuh, Pemusatan Pikiran, Pergerakan Hawa, Penglihatan Dalam dan Pemahaman Dalam. Nama ilmu ini sendiri, Kateda, merupakan simbol yang diambil dari halaman terakhir dari kitab ini, Tujuh Rahasia. Pada suatu masa Master Tagasi tutup usia dan diperabukan di kawah Gunung Lautan Awan bersama dengan kitab asli dari Kitab Tujuh Rahasia tersebut, yang merupakan permintaan terkhirnya. Para penerusnya dapat mempelajari ilmu Takeda dari kitab-kitab salinan yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Petapa Gunung Es sebagai salah satu orang yang hadir saat upacara perabuan Master Tagasi benar-benar merasa kehilangan. Karena selain ia benar-benar seorang guru yang selalu mengedepankan kedamaian dan kemanusiaan, ia juga merupakan seperti ayah bagi para murid-muridnya. Keakraban dalam perguruan tersebut benar-benar membuat semua seperti berada dalam keluarga besar. Terdapat banyak kesamaan antara Petapa Gunung Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang, walaupun mereka belajar dari guru atau master yang berlainan akan tetapi masing-masing guru tersebut memperoleh pemahaman bahwa kedamaian dan ketenangan harus dijaga, dan tugas utama dari seorang pendekar bukanlah berperang, tapi menjadi kedamaian. Perang adalah pilihan terakhir yang harus diambil. Dan karena kesamaan itulah ketiga petapa tersebut secara kebetulah bertemu di Pulau Gunung Api yang terletak di Laut Antara Dua Pulau, di mana mereka pada awalnya memilih pulau tersebut karena letaknya yang aneh dan alamnya yang keras. Mereka berpikiran sama untuk memperdalam ilmunya dengan memanfaatkan kedasyatan alam di sana. Pertemuan ini menimbulkan keakraban di antara ketiganya sehingga mereka pun saling mengangkat saudara, sehingga sampai muncul keingingan untuk membentuk suatu perguruan baru dengan menggabungkan ilmu-ilmu mereka tersebut. *** "Kakang Gunung Es," tanya Petapa Lain Pulau, mereka telah menetap urutan kakak dan adik angkat mulai dari Petapa Pulau Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang berdasarkan urutan usia saja, "jika menurut Kitab Tujuh Rahasia dari Master Tagasi tersebut, sudah sampai tahap berapa kakang ini?" Petapa Gunung Es tidak langsung menjawab, melainkan merenung dulu sebentar, laju ujarnya, "aku sedang dalam Pemusatan Pikiran, dan sedikit awal Pergerakan Hawa. Akan tetapi banyak hal yang belum aku mengerti di sini." "Misalnya," imbuh Petapa Seberang. "bahwa dalam kitab tersebut dikatakan hawa dikendalikan pikiran, tapi pada bagian sebelumnya, dikatakan pusatkan pikiran untuk jangan berpikir," jawabnya dengan serius, "ini membuatku jadi bingung dan kadang-kadang lupa dengan ujarujar yang tertuliskan." "Ini mirip seperti yang dialami Guru Tua Morehe Uwesiba, yang tiba-tiba lupa apa yang dipelajarinya," sahut Petapa Seberang menambahkan. "Bukan adik Seberang," jawab Petapa Gunung Es, "sama sekali lain. Kalau Guru Tua lupa karena ia sudah mencapai Pemahaman Dalam, sedangkan aku baru sampai tahan Pergerakan Hawa dan Pemusatan Pikiran." "Kalau aku lupa, karena memang tidak mengerti kenapa harus ada penjelasan jurusjurus itu," lanjut Petapa Seberang dengan tersenyum malu. Kedua saudaranya tersebut juga sama-sama tersenyum. Mereka menyadari akan 'kelebihan' dari adik angkat mereka ini, suatu 'kelupaan' yang dilengkapi dengan pemahaman gerakan yang mendarah daging.
Ketiga orang itu pun berdiskusi kembali saling mengemukakan pikirannya masingmasing. Sambil kadang salah seorang, berdasarkan pemahaman lainnya, mempraktekkan ilmunya kembali dengan pemahaman hasil diskusi tersebut. Kadang diperoleh penyelesaian kadang pun tidak. Sampai lama dan berminggu-minggu mereka berlatih, berdiskusi dan bertapa. Dan waktu pun berlalu tanpa terasa di Pulau Gunung Api di Laut Antara Dua Pulau tersebut. Mereka tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu mereka yang sama, yang mengisyaratkan adanya penegakkan kedamaian dalam implentasi ilmunya, membuat mereka saling melengkapi pemahaman masing-masing sehingga menghasilkan ilmu-ilmu baru yang kelak akan mengguncangkan dunia persilatan, baik di Negeri Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, di Negeri Matahari Muncul maupun di Kaki Langit sendiri. Dan sang angin pun bertiup menjauh, melihat ketiga orang yang sedang gandrung dan tekun pada pemahaman ilmu sebenarnya dari Jalan Pendekar. Sang angin pun tersenyum, sambil perlahan mendoakan agar pemahaman mereka dan ilmu-ilmu yang tercipta dari mereka dapat membawa kedamaian pada manusia dan alam sekelilingnya. *** "Saudara Asap," panggil Ki Tampar saat Asap melintas di depan rumahnya. "Oh, maaf Ki Tampar," jawab Asap dengan sopan, "saya tidak melihat Ki ada di rumah." "Tak apa-apa, saya memang sedang mengaso, tapi mendengar suara saudara dan nak Rintah, membuat saya keluar dan ingin menyapa," jelasnya sambil tersenyaum. "Maafkan atas kerasnya suaruku Ki," jawab Rintah, seorang anak muda yang telah akrab dengan Asap sejak rombongan Pinggiran sungai merah bermukin di Desa Luar Rimba Hijau. "Tidak.., tidak..," jawab Ki Tampar sambil menggoyang-goyangkan tangannya, "aku tidak terganggu. Aku malah tertarik dengan pembicaraan kalian itu. Mengenai hubungan antara Ki Tapa dan Petapa Lain Pulau." Rintah dan Asap terlihat malu, karena mereka menyadari bahwa ucapan mereka mengenai seseorang yang dituakan di desa itu, tidak seharusnya sampai terdengar oleh orang lain. Ki Tampar yang memahami keingintahaun dua orang berdarah muda itu hanya tersenyum, lalu lanjutnya, "tidak apa-apa bila kalian berdiskusi mengenai hal tersebut, tapi janganlah sampai mengarang-ngaran cerita atau menduga-duga. Sebaiknya kalian tanyakan sendiri pada Ki Tapa bila ada kesempatan." Kedua anak muda tersebut mengangguk-anggukan kepalana. "Kebetulan Ki Tapa ingin bertemu dengan enkau, Asap. Beson malam," memberitahun Ki Tampar. "Eh, ada keperluan apa Ki?" tanya Asap ingin tahu, "bukankah biasanya Ki Tampar berdua dengan Ki Gisang yang berhubungan dengan Ki Tapa?" "Benar, biasanya begitu. Juga dalam hari-hari semenjak rombonganmu datang. Akan tetapi mungkin ada hal yang ingin diutarakan Ki Tapa atau ditanyakannya kepadamu," jawab Ki Tampar penuh rahasia. "E.., maaf Ki Tampar," tanya Rintah malu-malu, "apakah saya boleh ikut?" "Boleh.., boleh..," jawab Ki Tampar, "Ki Tapa mengatakan sebaiknya beberapa anak muda ikut bersama Asap. Ada hal yang ingin disampaikan." "Wah, benar-benar menarik dan mengangkan ini. Jarang-jarang kami-kami bisa ikut bertemu Ki Tapa," sahut Rintah dengan antusias. "Kabarkan ini pada kawula muda yang tertarik, agar mereka besok malam, setelah matahari terbenam dapat bersiapa-siap," sahut Ki Tampar, "Kita berangkat setelah bulan muncul setengah tinggi langit." Kedua anak muda itu mengiyakan dan kemudian mereka berlalu untuk memberi kabar yang tidak biasa itu kepada kawula muda di Desa Luar Rimba Hijau. Suatu pertemuan yang aneh dan tidak biasa. Menyebabkan banyak tanda tanya baik di benak Rintah maupun Asap, apalagi bagi anak-anak muda yang lainnya. Bagian 5 -- Pengangkatan Murid Di alun-alun Desa Luar Rimba Hijau berkumpulah sekitar dua puluh empat orang muda-muda. Sebagian besar terdiri dari laki-laki dan hanya ada tiga orang perempuan. Di depan mereka semua berdiri seakan menunggu suatu tanda, Ki Gisang dan Ki Tampar. Tak jauh dari sana berdiri Ki Surya dan beberapa petinggi desa yang sedang memperhatikan kegiatan yang akan dilakukan oleh para orang muda tersebut. Sebagian penduduk yang berada di sana mulai menyalakan obornya, karena matahari telah perlahan hilang dari pandangan, sedangkan bulan belum muncul. Beberapa
kawula muda yang ada ikut membantu memancangkan tongkat-tongkat obor di sekeliling alun-alun sehingga suasana menjadi lebih terang dan nyaman. Ini merupakan hari yang telah ditunggu lama oleh para orang muda di Desa Luar Rimba Hijau. Hari ini Ki Tapa, sebagai seorang penguhi Rimba dan Gunung Hijau yang hanya diketahui penduduk desa, berkenan untuk bertemu dengan beberapa kawula muda yang ditentukannya melalui Ki Gisang dan Ki Tampar. Pertanyaanpertanyaan dan komentar-komentar sudah tentu terucap di antara mereka, dan bahkan juga di antara para kawula tua. Apa gerangan yang dikehendaki oleh Ki Tapa dari para pemudi dan pemuda desa ini. Dan yang membuat peristiwa ini semakin menarik adalah bungkamnya baik Ki Gisang maupun Ki Tampar perihal ada apa di balik ini semua. Sudah tentu beberapa tetua desa seperti halnya Ki Surya mengetahui, akan tetapi pura-pura tidak tahu dan melemparkannya pada kedua orang tersebut. Dulu sekali waktu Hamparan Hijau menyerang Desa Ujung, sebelum menjadi Desa Luar Rimba Hijau, pernah Petapa Lain Pulau mengatakan niatnya untuk mendidik pemudi dan pemuda pilihan dari Desa Ujung sebagai pewaris ilmunya, sehingga mereka dapat menjaga desanya dari marabahaya, baik dari manusia atau alam, dengan membaca tanda-tandanya. Akan tetapi sayangnya setelah membantu penduduk mengatasi Hamparan Hijau, Petapa Lain Pula lebih banyak berdiam di dalam Rimba dan Gunung Hijau dan tidak mengingat kembali niatannya itu. Sampai suatu saat tidak lagi terdengar perihal Petapa Lain Pulau melainkan munculnya Ki Tapa yang menolong penduduk desa apabila ada permasalahan. Hilangnya Petapa Lain Pulau yang digantikan oleh Ki Tapa ini walaupun menjadi pertanyaan bagi sebaian besar penduduk Desa Luar Rimba Hijau, akan tetapi tidak diajukan oleh siapa pun. Bahkan Ki Gisang dan Ki Tampar tidak mengerti. Mereka berdua, sebagai penghubung, percaya begitu saja karena Ki Tapa berkomunikasi melalui portal dengan tanda-tanda yang sama seperti diwariskan oleh leluhur mereka saat berhubungan dengan Petapa Lain Pulau. Oleh karena itu peristiwa ini mungkin akan menjawab pertanyaan mengenai pergantian penghuni Rimba dan Gunung Hijau yang berhubungan dengan penduduk desa, sudah tentu membuat sebagian penduduk tertarik untuk mengamatinya. "Jaka," panggil Ki Gisang perlahan kepada pemuda Desa Luar Rimba Hijau yang ditugaskan untuk mengatur pemudi dan pemuda yang akan ikut untuk menemui Ki Tapa malam ini, "sudah semua datang, kawula muda yang diminta Ki Tapa?" "Belum, Ki Gisang," jawab Jaka dengan hormat, "masih ada dua orang lagi. Rantih dan Misbaya." "Coba kau susul mereka ke rumahnya! Bisa-bisa mereka lupa, dan kita tidak dapat menanti sepanjang malam di sini," usul Ki Gisang. "Tak perlu," tiba-tiba Ki Tampar yang berada di sampingnya menyahut, "lihat di ujung lapangan sebelah barat. Itu mereka datang!" Dan benar, di ujung lapangan dalam arah yang ditunjukkan oleh Ki Tampar, tampak Rantih dan Misbaya berlari-lari sambil membawa segumpalan kain, yang merupakan perlengkapan mereka untuk menghadap Ki Tapa. Setelah kedua orang itu tiba, mulailah para pemudi dan pemuda itu duduk membentuk lingkaran, dengan Ki Gisang dan Ki Tampar berada di tengah dan para tetua desa berikut Ki Surya di luar lingkaran. Para penduduk desa lainnya yang juga tertarik untuk datang berdiri setombak dua tombak agak jauh dari lingkaran tersebut. Ki Tampar membuka pembicaraan, "kawula muda Desa Luar Rimba Hijau. Saat ini adalah saat yang kita, sebagai penghuni Desa Luar Rimba Hijau, sejak lama ditunggu-tunggu. Atas permintaan Ki Tapa, sebagai salah seorang penghuni Rimba dan Gunung Hijau, dan persetujuan para tetua desa, kalian ini akan menghadap Ki Tapa untuk menggenapi apa yang pernah dijanjikan oleh salah seorang dari mereka di masa lalu." Ki Tampar berhenti sebentar untuk mengabil nafas, kemudian lanjutnya, "kalian akan dilatih dan kelak dipilih sebagai pewaris dari Perguruan Rimba dan Gunung Hijau, yang bertugas salah satunya menjaga desa kita ini." Suasana menjadi hening di mana setiap orang berusaha mencerna apa yang sedang disampaikan oleh Ki Tampar. "Hanya itulah yang dapat saya sampaikan, selengkapnya kelak akan diberikan penjelasan oleh Ki Tapa di dalam rimba," kata Ki Tampar. "Adapun," sambung Ki Gisang, "Ki Surya mewakili para tetua Desa Luar Rimba Hijau akan menyampaikan beberapa pesan berkaitan dengan kegiatan ini. Ki Surya kami persilakan."
Ki Surya diikuti oleh beberap tetua desa berjalan menuju ke dalam lingkaran, saat mereka masuk, menyibaklah para pemudi dan pemudi di kiri dan kanan rombongan itu, membuatkan jalan masuk bagi mereka. Setelah para tetua berada dalam lingkaran, menutuplah lagi mereka yang tadi menyibak, sehingga membentuk kembali lingkaran yang utuh. Ki Surya tetap berdiri dan memandang berputar, sedangkan para tetua lainnya duduk di tengah-tengah lingkaran menghadap ke arah luar, sehingga punggung mereka saling bersentuhan. Belum seucap kata pun diluncurkan oleh Ki Surya, melainkan ia malah berjalan berkeliling, dan masih saja menatap satu persatu dua puluh empat orang muda itu, dua puluh tiga orang kawula muda desanya dan satu orang anggotan rombongan dari Desa Pinggiran Sungai Merah, Asap. Setelah puas mengingat-ingat satu persatu wajah para kawula muda tersebut, Ki Surya pun berdiri kembali di tengah-tengah lingkaran. Lalu ucapnya, "Para kawula muda desa sekalian, saya mewakili para tua-tua desa ini hanya berpesan agar kalian benar-benar belajar dengan baik saat di dalam rimba. Perihal apakah akan menjadi pewaris atau tidak bukan pokok permasalahannya, melainkan berlatih dan belajar untuk mengenal alam ini lebih dekat. Itu yang penting." Kemudian petuah-petuah dan nasihat-nasihat masih pula diberikan oleh Ki Surya dan juga oleh beberapa tetua lainnya, yang diharapkan dapat diingat-ingat dan dipatuhi oleh para kawula muda selama berada dalam rimba. Mereka yang mendengarkannya termasuk warga desa di luar lingkaran tersebut mencerna dan mengingat-ingatnya sambil mengangguk-angguk. Setelah setiap tetua desa selesai memberikan nasihat dan petuahnya, mereka pun berdiri dan kembali berjalan ke luar dari lingkarang. Dan seperti tadi orang yang berada dalam jalan mereka pun memberi jalan dengan menyibakkan lingkaran untuk kemudian menutupnya kembali. Tinggal Ki Gisang dan Ki Tampar di tengah lingkaran. Lingkaran yang terdiri dari dua puluh empat orang kawula muda. Dua puluh satu pemuda dan tiga orang perempuan. Kawula muda pilihan yang akan bertemu dengan Ki Tapa untuk dilatih agar dapat dipilih untuk mewarisi ilmu-ilmu Perguruan Rimba dan Gunung Hijau. "Sebelum kita berangkat," ucap Ki Tampar memecahkan keheningan, "ada yang akan ditanyakan kembali?" "Ada Ki," jawab Paras Tampan, seorang pemuda berbadan tegap dan gagah yang saat itu memakai pakaian dengan warna dominan abu-abu muda. "Utarakan nak Paras Tampan," kata Ki Tampar, "lebih baik sekarang sebelum kita masuk ke dalam rimba." "Berapa lama latihan ini berlangsung sampai kita dipilih untuk menjadi ahli waris? Apakah sesekali kita boleh ke luar rimba?" tanya Paras Tampan beruntun. "Lamanya latihan dan apa kalian boleh keluar dari rimba selama latihan akan ditentukan oleh Ki Tapa, kami berdua tidak diberikan pesan perihal hal itu," jawab Ki Tampar. "Ada pertanyaan lain?" Paras Tampan menggeleng sambil menundukkan mukanya. Sebenarnya baginya tidak ada masalah berapa lama ia harus berlatih di dalam rimba, akan tetapi Citra Wangi lah yang menjadi persoalan. Seorang dara yang baru saja dijodohkan dengan dirinya. Ingin tentu seorang yang baru dijodohkan untuk berkenalan lebih dekat dengan calonnya. Dan ini pun dirasakan oleh Paras Tampan dengan sangat. Akan tetapi saat ia dipanggil oleh Ki Gisang untuk ikut pelatihan di dalam rimba, tak terpikirkan olehnya bahwa ia harus meninggalkan sang pujaan hati. Citra Wangi sendiri pun merasa kehilangan dan menyesalkan mengapa ia tidak terpilih untuk ikut berlatih di dalam rimba. Oleh karena itu mereka berjanji pada saat setiap bulan baru untuk bertemu di tepi Rimba Hijau untuk saling melepas rindu. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi pertanyaan dari kawula muda yang akan ikut pelatihan di dalam rimba, Ki Gisang dan Ki Tampar pun menyuruh mereka untuk beranjak pergi menuju portal tempat di mana penghuni Desa Luar Rimba Hijau dan Penghuni Gunung dan Rimba Hijau berkomunikasi. Di sana di pelataran berbatu tersebut, ternyata telah dipersiapkan obor-obor yang telah tertancap rapi. Delapan buah pada ketiga sisi dan kosong pada sisi yang menghadap ke utara. Sekilas dapatlah diterka bahwa ketiga sisi yang terisikan obor-obor tersebut mewakili dua puluh empat kawula muda itu. Rombongan pun berhenti di hadapan sisi yang tidak dipasangi obor, sambil tetap berdiri, Ki Gisang menghampiri sisi tersebut dan membaca simbol-simbol yang terpahat di sisi utara tersebut. Umumnya sisi bagian utara, yang mengarah ke
Gunung Hijau, jarang dipergunakan. Sisi itu berisikan petunjuk untuk memasuki Rimba Hijau secara aman. Setelah memperhatikan lambang-lambang tersebut, kemudian Ki Gisang membuka lontar yang diambilnya dari buntalan kain di punggungnya, dan mencocokkan beberapa lambang dan tulisan. Setelah mengerti apa yang dituliskan di sana, ia pun mengangsurkannya kepada Ki Tampar. Jika Ki Gisang membaca salah satu sisi lontar dan lambang pada sisi utara portal, maka Ki Tampar membaca pada sisi lain dari lontar. Dua sisi yang berlainan pada lontar dan kunci pada simbol di sisi utara portal, bersesuaian dengan petunjuk jalan masuk dan jalan keluar dari rimba. Bila orang tidak mengetahui petunjuk tersebut, dapat dipastikan ia akan tersesat dan bisa berbulan-bulan lamanya berputar-putar di dalam Rimba Hijau tersebut. Setelah mereka berdua merasa yakin akan bahwa telah mengerti petunjuk-petunjuk yang ada, mulailah rombongan itu berjalan ke arah utara, menuju Rimba dan Gunung Hijau, melalui jalan setapak di tengah tanah lapang berumput tersebut. Bulan saat itu sudah lebih dari setengah langit tingginya. Saat yang tepat, menurut petunjuk dari portal dan lontar, untuk memasuki Rimba dan Gunung Hijau. Rombongan itu berjalan dengan perlahan-lahan Masing-masing kawula muda terdiam dan bermain dengan pikirannya masing-masing. Rimba dan Gunung Hijau yang selama ini menjadi semacam mitos bagi mereka sejak turun-temurun akan dikunjungi hari ini. Mereka akan berlatih di sana. Di tempat yang selama ini terlarang untuk dimasuki. Siapa yang tidak bersemangat dan tegang dengan keadaan itu. Rimba pun mulai dimasuki. Pohon-pohon tinggi dan lebat menjulang sampai ke atas, sehingga langit yang berbintang banyak pun hanya tampak samar-samar di tengahtengah rimbunan dedaunan. Pada beberapa tempat bahkan kanopi pohon-pohon tinggi saling menutupi sehingga tiada lagi sinar bulan yang dapat menerangai perjalanan mereka. Untung bagi setiap anggota rombongan tersebut telah dilengkapi dengan obor di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri. Tongkat itu berperah untuk menunjang jalan mereka agar lebih stabil. Perjalan yang tidak mudah. Kadang setelah tiada lagi pohon-pohon lebat dan tinggi yang hanya menyediakan kegelapan, tampaklah langit kembali di atas kepala, akan tetapi dengan sungai berbatu-batu di bawah kaki atau padang rumput dengan batu-batu berwarna aneh yang dapat berpendar di malam hari. Atau bisa juga jalan setapak yang di kiri-kanannya terdapat lumpur yang bergelembunggelembung mengeluarkan gas yang baunya mirip kentut. Selama dalam perjalanan itu ditemui banyak batu-batu besar yang bertuliskan simbol-simbol aneh. Ki Gisang dengan cermat memeriksa setiap jengkal permukaan batu-batu itu untuk mencari simbol yang tertera di atasnya. Kemudian setelah ketemu, diamat-amatinya dengan ingata mengenati pemecahan yang diberikan pada portal dan halaman atas lontar. Sambil sesekali ia melihat ketinggian bulan. Setelah itu menentukan arah, dan rombongan itu pun berjalan beriringan mengikutinya. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Mereka tidak mau mengganggu konsentari Ki Gisang dalam mencerna makna lambang-lambang itu untuk menentukan arah, jika sampai ia salah menafsirkan, bisa-bisa mereka tidak sampai ke tempat Ki Tapa, melainkan tersasar di dalam Rimban Hijau. Perjalanan itu kadang berlangsung lambat kadang cepat dari satu batu ke batu lainnya, hal itu dikarenakan petunjuk yang diberikan berkaitan dengan tinggi bulan di langit. Bila tidak kira-kira tepat saat mengartikan lambang yang ada, maka bisa makna yang salah dapat diperoleh. Dalam artian ini, berarti arah yang salah akan dipilih. Oleh karena itu walaupun tidak mengerti mengenai hal ini, para kawula muda hanya diam saja dan mengikuti Ki Gisang yang berjalan di depan. Ki Tampar berjalan paling belakang sambil memperhatikan panjangnya barisan. Tanpa diketahui siapa pun Paras Tampan diam-diam mencatat dalam hatinya lokasilokasi yang dilaluinya. Ia adalah seorang yang memiliki ingatan yang baik, sesuatu yang pernah dilihatnya, sukar untuk dilupakan. Ia berusaha mengingatingat, karena ia berencana untuk sesekali kembali ke pinggir Rimba Hijau untuk bertemu dengan kekasihnya, Citra Wangi. Setelah beberapa saat berjalan, di mana beberapa kawula muda, terutama yang perempuan, merasa kakinya hampir habis, sampailah mereka di suatu tanah lapang luas, di tengah-tengah rerimbunan pohon-pohon tinggi. Di salah satu sisi lapangan luas itu menjulang tinggi ke atas sebuah gunung batu terjal dengan puncaknya tidak terlihat karena tertutup awan dan gelapnya langit. Itulah Gunung Hijau. Gunung yang baru kali ini dilihat oleh rombongan itu dari dekat. Biasanya mereka hanya bisa melihatnya dari jauh, dari luar Rimba Hijau.
Saat ini mereka bisa melihatnya pada jarak sedekat ini. Benar-benar merupakan suatu gunung yang mengagumkan dan mengiriskan. Tinggi, terkesan kasar, kekar dan dingin. Di tengah-tengah tanah lapang luar berumput setinggi mata kaki tersebut terdapat sebuah pondokan sederhana yang terbuat dari kayu dengan atap dari rerumputan. Di dalamnya terlihat cahaya api yang memberikan bayang-bayang seseorang. Ki Tapa. Rombongan itu pun dengan didahului oleh Ki Gisang menuju ke rumah itu yang berada di sebelah kanan dari arah mereka datang tadi. Kali ini mereka tidak lagi berjalan beriring-iring seperti semut, melainkan bergerombol. Ki Gisang dan Ki Tampar pun tidak mencegahnya. Di tempat ini sudah tidak ada lagi bahaya akan tersesat, oleh karena itu dibiarkannya mereka melepas sedikit ketegangannya dengan bergerombol. Setelah sampai di depan pintu gubuk tersebut, berhentilah mereka dan Ki Gisan mengucapkan salam. "Masuklah," sebagai jawaban dari orang yang berada di dalam rumah tersebut. Mereka pun masuk satu persatu ke dalam rumah itu. Rumah yang sederhana. Tidak banyak perabot di dalamnya. Terdapat sebuah meja panjang yang kelihatannya akan muat diisi oleh mereka semua. Orang yang mempersilahkan mereka masuk tampak sedang berdiri dekat sebuah panci besar. Ia membelakangi mereka. Tampaknya ia sedang memasak sesuatu, karena terlihat sesekali ditambahkannya sesuatu ke dalam panci, sambil melirik ke suatu catatan pada daun lontar. Bau sedap pun mengembang di udara. "Duduklah semua pada kursi di samping meja panjang," perintah orang itu sambil tetap mengaduk-aduk panci yang sedang dijerangkannya di atas api. "Sebentar lagi makan malam selesai," lanjutnya. Para kawula muda pun bertanya-tanya dalam hatinya. Makan malam, di tengah malam? Benar-benar makan malam. Mereka semua sebelum berangkat dari Desa Luar Rimba Hijau telah masing-masing mengisi perutnya. Akan tetapi setelah perjalanan yang cukup melelahkan melewati Rimba Hijau, sudah pasti tiada lagi persediaan dalam usus mereka. Pemberitahuan mengenai makan malan ini sudah tentu amat menggembirakan. Tapi mereka diam saja. Menunggu dengan hormat apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang aneh tersebut, yang sampai saat itu pun belum memperlihatkan mukanya, masih membelakangi tamu-tamunya. Suasana pun hening. Suara jangkrik di luar dan di dalam rumah pun dapat terdengar dengan jelas. Kadang dihentikan oleh uhu-uhu burung hantu yang sedang berburu mangsanya. Tikus-tikus. "Akhirnya selesai," ucap orang itu. Kemudian ia berbalik. Tampak seorang yang sudah tua akan tetapi dengan raut muka gembira dan berwajah ramah, dilengkapi dengan kerut-kerut pada sudut mata dan mulutnya. Rambutnya awut-awutan pendek segenggam tangan. Mungkin dipotong dengan menggunakan pedang atau pisau sehingga terlihat tidka rata. Akan tetapi cocok dengan pakaiannya yang sederhana dan bersih. Ialah Ki Tapa, yang mengundang dua puluh empat kawula muda itu melalui Ki Gisang dan Ki Tampar. "Mari-mari makan," lanjutnya, sambil diambilnya piring-piring dari kayu dan gelasnya yang langsung dilempar-lempar seenaknya. Tiada yang jatuh ke lantai, melainkan jatuh tepat di depat setiap orang yang duduk di kursi pada meja panjang sersebut. Dua puluh tujuh piring kayu dan gelasnya, "terbang" dari tangannya menuju ke hadapan orang-orang tersebut. Termasuk di kepala meja, tempat ia akan duduk nanti. Benar-benar demonstrasi tenaga dalam yang mengagumkan. Tak tahan para kawula muda itu pun berdecak kagum, dan pandangan mereka pada Ki Tapa semakin menghormat setelah melihat pertunjukkan itu. Belum habis kekaguman mereka, kembali Ki Tapa menunjukkan sesuatu yang lebih keren, ia dengan santai menyuap makanan dari dalam panci sebesar kerbau itu dan melemparkannya seakanakan dalam arah yang asal-asalan. Bukannya jatuh atau mengenai salah seorang yang duduk, melainkan makanan tersebut masuk ke dalam masing-masing piring tersebut. Dua puluh tujuh piring kayu telah terisi oleh makanan. Makanan berupa bubur kental berbau gurih dan harum. Selanjutnya Ki Tapa masih mengabil air dari gentong besar yang ada di dekat panci dan kembali menyiduknya serta melemparkan ke dalam masing-masing gelas, tanpa ada sececerpun air yang tumpah. "Yang barusan namanya Jurus Menunggang Angin Mengendalikan Wujud," jelasnya sambil duduk di ujung meja. "mari makan, jangan malu-malu. Di panci masih banyak tersedia. Cukup untuk tambah setiap orang." Lalu tanpa menunggu tamu-tamunya, ia dengan lahap menyantap makanannya. Semua pun makan tanpa bersuara, menunggu-
nunggu ucapan Ki Tapa. Setelah habis Ki Tapa masih menawarkan untuk tambah, hanya beberapa orang yang masih lapar, selebihnya merasa telah cukup. Ternyata walaupun terlihat sedikit, makanan tersebut mengenyangkan. Entah apa kandungannya, tapi yang pasti terlihat bergizi tinggi. Setelah Ki Tapa selesai makan dan juga kawula muda yang menambah makanannya. Duduklah ia agak santai sambil memandang satu persatu tamu-tamunya itu. Yang dipandang tiada yang tahan bertatapan dengan matanya yang ramat akan tetapi menyorot dengan tajam. "Tapa dan Gisang, terima kasih telah bersusah payah membawa mereka-mereka ini ke pondokku," ucap Ki Tapa, "aku harap kalian tidak segan di rumah ini. Beristirahatlah selama aku dan para kawula muda ini berada di lapangan sana." Mereka berdua mengiyakan, tidak membantah mengapa mereka tidak boleh melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Tapa dengan para kawula muda itu. Setelah menyuruh masing-masing kawula muda untuk meninggalkan barang-barang bawaannya di salah satu sudut ruangan, Ki Tapa pun mengisyaratkan mereka untuk mengikutin keluar rumah, menuju lanpangan di sekitarnya. Katanya pelan seperti hembusan angin, walaupun demikian terdengar jelas bagi semua orang, "Bagi jumlah kalian ke dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompok delapan orang. Setiap delapan orang tentukan pusat dan beriri menghadap ke delapan mata angin. Gunung Hijau adalah arah Utara. Punggung bersentuhan." Mereka pun mematuhi dan membagi jumlahnya menjadi tiga kelompok. Setelah itu masing-masing kelompok mengambil jarak dan menentukan titik tengah sebagai pusat mata angin mereka. Kemudian mereka berdiri saling membelakangi dan menghadap ke arah delapan mata angin, empat mata angin utama dan empat mata angin antara. "Setiap orang maju sepuluh langkah," perintah Ki Tapa. Kemudian ia menyuruh masing-masing untuk duduk menyilangkan kaki dan mengheningkan cipta. "Jangan tidur, dengarkan alam sekitar kalian. Dengarkan napas kalian, denyut jantung, aliran darah. Gatal-gatal di pantat, semilir angin di rambut, wangi uap air di udara. Pejamkan mata dan rasakan semua itu," perintahnya selanjutnya, "sampai kusuruh berhenti." Kemudian Ki Tapa pun berjalan berkeliling, membetulkan postur masing-masing kawula muda tersebut. Punggunt tidak tegak. Perut kurang ditarik ke dalam. Dubur tidak diangkat. Bahu tidak rileks. Kepada tidak tegak. Setelah yakin semua menjalankan apa yang diperintahkannya, duduklah Ki Tapa di atas sebuah batu, tidak jauh dari ketiga lingkaran yang masing-masing dibentuk oleh depalan kawula muda itu. Dipejamkan matanya dan ia pun ikut mengheningkan cipta, merasakan alam sekitarnya. Begitulah kawula muda Desa Luar Rimba Hijau, pada awal malam pertamanya di dalam Rimba Hijau, telah memulai latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuannya, agar dapat kemudian dipilih untuk menjadi ahli waris Perguruan Rimba dan Gunung Hijau. Dua puluh empat orang muda-mudi itu berlatih dengan tekun di bawah petunjuk Ki Tapa. Keesokan harinya Ki Gisang dan Ki Tampar pun pulang kembali ke Desa Luar Rimba Hijau meninggalkan kawula muda desa mereka dalam salah satu babak baru kehidupan mereka. Berlatih di dalam Rimba dan Gunung Hijau. Saat mereka pamit para kawula muda itu belum beranjak dari posisi mereka tadi malam. Mereka berdua pun tidak bertemu dengan Ki Tapa, melainkan hanya membaca sebuah pesan pada dinding dekat tempat mereka tidur, bahwa mereka sebaiknya pergi kembali ke desa sebelum matahari naik tinggi, agar dapat menemukan jalan pulang. *** Sudah terlalu lama kita tidak mengikuti perkembangan dari Perguruan Atas Angin yang dahulu dipimpin oleh Ki Jagad Hitam. Telah terjadi banyak perubahan di sana. Misalnya saja, sepeninggalnya Ki Jagad Hitam, tampuk kemepimpinannya dipegang oleh Tapak Kelam, salah seorang murid yang termasuk dalam keenambelas orang Lingkaran Dalam. Lingkaran dalam telah dibubarkan, dan masing-masing dari mereka ada yang keluar dan hidup sebagai orang biasa atau membuka perguruan baru. Hanya sedikit yang masih bertahan tetap dalam perguruan. Kemudian banyak aturan-aturan perguruan yang diubah, dan juga pencarian lebih lanjut mengenai kitab-kitab yang hilang, yaitu Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Angin-angin, Batubatu serta Seribu Ramuan, tidak lagi menjadi tujuan perguruan itu, melainkan sebanyak-banyaknya mencari murid baru dan memperluas perguruan. Hal ini dipicu oleh berdirinya kembali Perguruan Tapak Ganda yang telah dimusnakan oleh Perguruan Atas angin beberapa dekade yang lalu. Dengan mendatangkan banyak orang
luar yang sakti, sisa-sisa murid perguruan Kapak Ganda membangun kembali perguruan mereka untuk membalaskan sakit hati mereka kepada Perguruan Atas Angin. Bagian 6 -- Bangkitnya Perguruan Kapak Ganda Seorang anak berbaju kumuh dan lusuh tampak habis menangis di pinggir jalan yang berdebu. Debu-debu beterbangan semakin tinggi dari jalanan yang berbatu dan bertanah, saat dilalui oleh pedati atau pun kuda. Seakan tak peduli dengan panasnya matahari dan sesaknya napas menghirup udara kering berdebu itu, sang anak masih duduk di sana. Tak jauh dari sana tampak seorang tua berjalang sambil bernyanyi-nyanyi kecil seakan-akan hidup ini penuh dengan kecerian belaka. "Burung bersiul bersahut-sahutan, matahari bersinar cerah, kera-kera bermain di hutan, bunga semerbak merekah. Buat apa susah, susah itu tak ada gunanya, buat apa resah, resah itu juga tiada gunanya. Tralala.., trilili.., haha.., hihi.. Nanana..., ninini..., dada.., didi.." Saat padangan matanya bertemu dengan sang bocah lusuh, orang aneh itu pun berhenti. Dengan masih tersenyum, dikelilinginya bocah itu sambil menganggukanggukkan kepalanya. "Bagus, tulang bagus, postur tepat, sayang sedikit perasa.., hmm...," gumamnya. Anak tersebut tampak tak peduli. Pandang matanya kosong. Ia masih saja duduk termangu, sementara orang aneh itu masih berjalan berkeliling, mematut-matus dan menilai-nilai dirinya. "Hey, cah bagus, siapa namamu?" tanya orang itu tiba-tiba. Seakan tidak mendengar pertanyaan tersebut, sang bocah yang dipanggil 'cah bagus' itu masih saja termangu dalam pikirannya. "Wah sayang, kecil-kecil sudah budeg," lanjut orang itu seperti berbicara pada dirinya sendiri. Entah karena kata 'budeg' atau memang baru saja tersadar dari ketermenungannya, bocah itu baru saat itu menatap sang orang aneh. Lalu ucapnya, "Nggak ada hujan atau angin, ngatain orang budeg. Situ yang ngomongnya nggak kedengeran." Mendengar jawaban yang kasar dan lugas tersebut, alih-alih marah, orang aneh tersebut malah tertawa terbahak-bahak. Senang ia bertemu dengan anak yang perangainya mirip dengannya. "Nah tuh, sekarang malah ketawa nggak ketulungan, ngeri ah! Kabur.." jawab anak itu. Sudah lupa sedihnya ia saat berhadapan dengan orang aneh itu. "Wah, wah kamu itu lucu bener.." kata orang aneh tersebut sambil menghapus air matanya yang berlerenan karena tertawa terbahak-bahak tadi. Ia memang begitu, saat tertawa, tidak bisa menahan air matanya. "Nama saya Lantang, paman," jawabnya dan lanjutnya, "kalau paman, siapa?" Tercengah juga orang itu mendengar pertanyaan balik dari bocah yang mengaku Lantang namanya itu. Tidak biasanya ada bocah yang demikian berani dan tak malumalu seperti ini. "Namaku Rancana, tapi orang-orang biasanya memanggilku dengan julukan Bayangan Menangis Tertawa," jawabnya jenaka. Mimik dan cara menjawab yang menarik itu membuat Lantang menjadi makin ceria, dan ia pun berkomentar, "tentu saja, karena paman tertawa sambil menangis, bukan?" "Hahaha, benar-benar," jawab Rancana terkesan, "engkau cerdik sekali Lantang. Eh, maukah engkau menjadi muridku?" Katanya kemudian mengutarakan maksudnya yang sedari tadi telah disimpannya di dalam hati, sejak ia melihat bahwa bocah tersebut memiliki struktur tubuh yang cocok untuk menjadi seorang jago silat. "Menjadi murid paman? Apa yang bisa dipelajari dari paman? Menyanyi?" tanyanya penuh selidik, karena tidak melihat kelebihan Racana si Bayangan Menangis Tertawa itu. Kembali Rancana tertawa terbahak-bakan mendengar pertanyaan yang lucu dan jujur itu. Setelah berhenti tertawa dan juga menyapu air matanya, ia pun akhirnya berkata, "tentu saja belajar kanuragan, ilmu silat dengan paman. Maukah?" Lantang terdiam dan kemudian dengan lemas menggeleng, "tidak paman." Lanjutnya
kemudian, "saya benci ilmu silat, ilmu yang berguna hanya untuk mengundang kekerasan." Terkejut juga hati Rancana mendengar jawaban sang bocah. Tidak biasanya bocahbocah menolak apabila diajari ilmu silat. Secara umum amat senang anak-anak belajar silat, apalagi bila tahu bahwa dirinya yang akan menjadi guru. Benarbenar bocah ini aneh dan amat menarik hatinya. "Logika yang tidak tepat itu, cah bagus," terangnya kemudian, "ilmu silat ataupun kanuragan itu sama halnya seperti pisau atau api. Kita dapat menggunakan pisau untuk membantu pekerjaan kita sehari-hari, misalnya memotong daging untuk dimasak, memotong sayuran sebelum direbus dan sebagainya. Akan tetapi pisau dapat pula digunakan untuk memgancam orang lain, membunuh atau perbuatan jahat lainnya. Demikian pula dengan api, api yang diatur dapat digunakan untuk memasak, melunakkan logam, mencetak emas dan lainnya. Akan tetapi api yang tidak terkendali dapat menyebabkan kebakaran rumah dan hutan." Mendengar uraian mengenai baik buruknya sesuatu yang relatif terhadap cara penggunaannya itu membuat Lantang menjadi sedikit bingung. Nalarnya masih meyakini bahwa ilmu silat hanyalah sumber kekerasan belaka, sehingga ucapnya, "tapi paman..., untuk apa ilmu silat jika kita tidak mau berseteru secara fisik dengan orang lain? Buat apa mempelajarinya?" "Banyak manfaat ilmu silat selain untuk bekelahi, cah bagus. Antara lain untuk menjaga kesehatan. Mempertinggi daya tahan tubuh terhadap penyakit. Melancarkan peredaran darah, melancarkan nafas, membuat diri selalu bersemangat dan juga melatih konsentrasi dan kesabaran," jelas Rancana. "Wah, saya belum pernah mendengar hal seperti itu, paman!" jawab Lantang jujur. Sesaat, keheningan pun lewat di antara mereka berdua. Walaupun bibit-bibit persahabatan telah muncul di antara dua insan tersebut akan tetapi waktu masih perlu untuk menanti agar hal tersebut tumbuh dan berbuah. Salah satu dari mereka harus bisa meyakinkan yang lain. Rancana, si Bayangan Menangis Tertawa, merasa ada yang aneh dengan keadaan Lantang, si bocah lusuh di pinggir jalan itu, maka tanyanya lebih jauh, "coba jelaskan pikiranmu mengapa kamu terlihat tidak senang ilmu silat! Atau ada sesuatu yang pernah engkau alami yang menyebabkan engkau benci ilmu silat?" Diingatkan akan tragedi yang barus saja dialaminya. Lantang mendadak terlihat murung, dan sejentik air mata terlihat pada sudut matanya yang mulai berkacakaca. Akan tetapi ia berusaha untuk tidak menangis. Ia tadi telah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan lagi menangis. Ia tidak mau terlihat lemah, ia akan membuktikan pada orang-orang yang menyebabkannya menderita bahwa ia bukan anak cengeng dan ia bisa hidup dengan kekuatannya sendiri. Tapi walaupun demikian ingatan yang masih segar akan semua peristiwa tersebut membuatnyal kembali bersedih. "Apa yang sebenarnya terjadi, cah bagus?" tanya Rancana dengan hati-hati, perubahan wajah Lantang yang jelas terlihat itu, mengisyaratkan adanya peristiwa hebat yang mengguncangkan jiwa anak itu. "Menangislah, tidak pantang seorang lelaki menangis. Bila itu dapat menolong mengeluarkan bebanmu, menangislah!" Tak tahan dengan anjuran dan juga suara Rancana yang bersimpati membuat bendungan air mata Lantang hancur, dan bergulirlah air matanya jatuh, walaupun tanpa suara. Selain suara angin dan debu yang beterbangan, tiada suara lain di sekitar mereka. Hening. Dan Rancana pun membiarkan Lantang menggunakan waktunya. Setelah mengeluarkan bebannya melalui tangis, tenanglah Lantang sedikit lebih baik. Dengan perlahan lahan diceritakannya peristiwa yang terjadi pada dirinya dan keluarganya, dan mengapa ia sampai terdampar di sini. *** Bukit Utara di sebelah selatan Paparan Karang Utara di waktu siang hari yang umumnya tampak lengang, tiba-tiba saja dipenuhi banyak sekali orang-orang yang berpakaian ringkas dan memiliki gerakan mantap. Orang-orang ahli silat. Di sisi timur berdiri sembilang orang. Naga Geni dan delapan orang Penjuru Angin. Sedangkan di sisi timur berdiri juga sembilan orang. Ki Jagad Hitam dan delapan orang sisa dari Lingkaran Dalam. Pertemuan ini merupakan kala kedua sejak pertempuran pertama di tempat yang sama. Dalam pertempuran pertama hampir hilang seluruh murid perguruan Kapak Ganda, sehingga hanya tersisa sang guru Naga Geni dan delapan orang murid utamanya. Dan itu harus dibayar mahal oleh perguruan Atas Angin dengan tewasnya separuh anggota lingkaran dalam dan hampir seluruh murid tingkat satu dan dua. Kedudukan yang sama sembilang lawan sembilan ini tentu saja membesarkan hati
orang-orang perguruan Kapak Ganda, karena mereka berada di daerahnya sendiri. Lain dengan orang-orang Perguruan Atas Angin yang tidak terbiasa pada daerah berbatu-batu seperti ini. Akan tetapi ada hal yang tidak diketahui oleh Naga Geni dan murid-muridnya, bahwa Ki Jagad Hitam telah memerintahkan untuk meminta bantuan pada sisa-sisa muridnya. Dan bantuan ini langsung menyerang mereka yang ada di Bukit Utara melainkan akan menyerang dan menguasai markas Perguruan Kapak Ganda yang saat ini sedang kosong. Apabila siasat ini berhasil sudah tentu orang-orang Perguruan Kapak Ganda akan menjadi hilang semangatnya dan mudah untuk dijatuhkan. "He.. Jagad Hitam, menyerahlah. Hampir habis itu murid-muridmu kami bantai." teriak Naga Geni jumawa, "bahkan separuh dari Lingkaran Dalam yang dibanggakan itu sudah masuk liang kubur." Ki Jagag Hitam yang tidak terpancing dan dengan kalem jawabnya, "Naga Geni, berkacalah, orang-orangmu juga hampir habis. Lebih baik kamu penggal sendiri kepala murid-muridmu itu, daripada aku yang melakukannya." Tak bisa terima dengan ejekan itu, malah Naga Geni yang termakan sendiri dengan siasatnya untuk memancing emosi Ki Jagad Hitam. Dengan tanpa ba-bi-bu lagi, ia pun menyerah Ki Jagad Hitam dengan ilmu silatnya yang bernama Kapak Pengantar Nyawa. Gerakan-gerakan dalam ilmu tersebut didominasi oleh sabetan-sabetan melingkar menyilang, yang seakan-akan tiada memberi ruang untuk kabur atau menyerang. Dengan dua buah kapak, yang menjadi ciri Perguruan Kapak Ganda, Naga Geni merengsek maju, tidak memberi ruang gerak pada Ki Jagad Hitam. Alih-alih melompat mundur untuk menghindar Ki Jagad Hitam malah meloncak ke atas terbalik dan menyerang belakang kepala Naga Geni dengan tangannya yang siap mencengkram ubun-ubun. Ia melihat bahwa jurus-jurus dari Kapak Pengantar Nyawa kuat pada arah depan akan tetapi kosong pada arah atas sebelah belakang. Kaget melihat serangan yang berbahaya itu Naga Geni tak kehilangan akal, dengan segera ia menekuk tubuhnya ke depan untuk menghidar serangan pada belakang kepalanya, dan sambil berjungkir balik dilemparkannya ke belakang kedua kapaknya satu per satu. Satu kapak di satu waktu dan yang lainnya di lain waktu, dengan arah putaran yang berbeda. "Hemm," dengus Ki Jagad Hitam yang hampir saja menjadi makanan kapak kedua yang dilemparkan oleh Naga Geni. Ia dapat dengan mudah melihat lemparan kapak pertama, akan tetapi tidak yang kedua, karena dilemparkan dalam bayangan kapak pertama dan lebih cepat. Dengan pengaturan tenaga yang mumpuni, kapak kedua Naga Geni bisa datang lebih dulu dari yang pertama. Akhirnya berada keduanya pada jarak aman untuk diserang. Keringat panas akibat gerakan yang banyak menguras tenaga tampak mengalir deras dari kening keduanya. Di antaranya juga terdapat keringat dingin menetes, mengingat hampir saja nyawa mereka melayang di tangan lawannya masing-masing. Dengan isyarat tangannya Naga Geni memerintahkan semua murid-muridnya dari Penjuru Angin untuk maju. Bersamaan maju pula sisa-sisa dari Lingkarang Dalam. Setelah masing-masing memilih lawannya satu-satu, maju pula kembali Naga Geni berhadapan dengan Ki Jagad Hitam. Bertempuran pun kembali dimulai. Setiap orang melakukan jurus demi jurus, tipu demi tipu untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Tingkat ilmu yang seimbang dan daya tahan diperlihatkan dalam masing-masing pertempuran. Matahari pun telah meminggalkan posisi tertingginya, akan tetapi belum terlihat ada yang menang atau kalah dari kesembilan perkelahian tersebut. Mendadak terdengar suara, "Guru, perguruan diserang..." Mendengar berita itu, sontak hilang konsentrasi orang-orang Perguruan Kapak Ganda yang sedang bertempur. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh orang-orang Perguruan Atas angin, mereka pun meningkatkan daya serang mereka sampai semampumampunya. Akibatnya sudah dapat diduga, berselang tak berapa lama jatuh satu persatu kedelapan Penjuru Angin di tangan sisa-sisa Lingkaran Dalam. Sampai tinggal Naga Geni yang masih dapat berdiri, itu pun dengan penuh luka pukulan di sana-sini. Hilang sudah semangat Naga Geni melihat tumbangnya kedelapan murid utamnya, dan juga mendengar berita bahwa perguruannya telah diserang saat ia dan muridmuridnya berada di sini. Ia kalah bukan hanya oleh ilmu silat dari Perguruan Atas Angin yang lebih baik melainkan pula oleh siasat keji mereka untuk menyerang perguruan saat penghuninya sedang bertempur di luar. Mengingat kebodohan dan kekalahannya itu Naga Geni pun memutar kapak gandanya lebih cepat dan melemparkan ke samping. Dengan berdesing kedua kapak itu berputar dalam arah
yang berbeda dan kembali kepada yang melemparnya setelah terbang miring melengkung. Dan, "capp..!" terpenggallah kepala Naga Geni rapih oleh kedua kapaknya. Ia tidak sudah dikalahkan dan dipermalukan oleh Ki Jagad Hitam. Lebih baik ia membuhuh diri dari pada dibunuh. Toh, sudah tidak ada yang tinggal dari perguruannya. Murid-muridnya, perguruannya, semua telah habis dibasmi oleh Perguruan Atas Angin. Melihat hal tersebut bergelak tawa Ki Jaga Hitam, "hahaha..., bagus Naga Geni, lebih baik engkau bunuh diri, dari pada aku bersusah-payah membunuhmu. Mulai hari ini orang-orang akan melupakanmu dan juga Perguruan Kapak Ganda." Tidak ada sedikitpun rasa menyesal atau kasihan dalam diri Ki Jagad Hitam. Semua yang dilakukannya dirasakan merupakan sudah sepantasnya, yang membela keunggulan nama perguruannya. Perguruan Atas Angin. Perguruan yang paling tangguh di bumi persilatan. Setelah beristirahat sebentar kemudian, Ki Jagad Hitam pun turun dari Bukit Utara menuju Desa Paparan Karang Utara untuk melihat hasil kerja murid-muridnya yang berhasil membumihanguskan rumah-rumah Perguruan Kapak Ganda. Tampak puing-puing bangunan yang telah habis dilalap api. Juga tumpukan batubatu yang digunakan sebagai gapura pintu utama perguruan. Semuanya hancur, jika boleh dikatakan, hanya setinggi lutut dari atas tanah. Hampir-hampir tak tersisa kejayaan Perguruan Kapak Ganda. Beberapa sosok mayat murid-murid tingkat rendah perguruan yang pada saat terakhirnya masih membela rumah-rumah mereka, tampak di mana-mana. Ada yang mati hangus terbakar, ada pula yang tertusuk golok ataupun tombak. Di tengah-tengah puing-puing tersebut terdapat sekumpulan anak-anak yang berwajah pucat dan muka habis menangis. Pakaian mereka kotor dinodai tanah dan percikan-percikan darah. Mereka adalah anak-anak dari murid-murid Perguruan Kapak Ganda yang masih hidup karena berlindung pada satu ruang bawah tanah di salah satu rumah. Secara kebetulah tempat tersebut ditemukan oleh seorang murid Perguruan Atas Angin. "Hmm, cikal bakal masalah," kata Ki Jagad Hitam, "bunuh saja semuanya!" "Ki Jagad Hitam," usul seorang dari Lingkaran Dalam, "terlalu enak apabila dibunuh. Mengapa tidak kita buat mereka menjadi gembel saja dan disuruh mengemis. Pada akhirnya mereka pun akan mati juga, bukan?" "Boleh juga usulmu itu, Tapak Kelam," ujar Ki Jagad Hitam. "Sesukamulah," lanjutnya memberi ijin. Setelah mendapat persetujuan dari Ki Jagad Hitam, dengan dibantu oleh beberapa murid Perguruan Atas Angin, Tapak Kelam pun memerintahkan anak-anak yang malang itu untuk mengganti pakaiannya dengan rombengan yang disediakan. Mengotorkan mukanya dan menyuruh mereka untuk berguling-guling di atas debu dan kotoran hewan. Setelah puas menyiksa mereka, Tapak Kelam pun masih menghadiahi mereka masing-masing satu totokan di punggung. Seperti halnya Ki Jagad Hitam, Tapak Kelam pun kuatir apabila anak-anak itu besar nanti akan menuntut balas, oleh karena itu ia menutup jalan darah penting dari tubuh mereka. Dengan demikian sehebat apapun mereka belajar, tidak akan bisa mereka mencapai tingkatan ahli dalam bela diri. Benar-benar suatu siasat yang keji dan jahat. Lebih jahat ketimbang membunuh begitu saja anak-anak itu. *** Tak tanah Rancana mendengar cerita yang dikisahkan oleh Lantang, tentang bagaimana orang tuanya, yang merupakan salah seorang murid rendahan Perguruan Kapak Ganda dibantai oleh orang-orang Perguruan Atas Angin. Selain itu anak-anak yang selamat masih pula disiksa, dipermalukan dan disuruh untuk mengemis. Mungkin masih lebih baik apabila mereka dibunuh saja. "Jadi itu alasanmu, mengapa tidak ingin mempelajari ilmu silat," tanya Rancana si Bayangan Menangis Terwata, untuk meyakinkan. "Benar, paman." "Tidak inginkah engkau membalas dendam kedua orang tuamu?" "Keinginan ada, paman. Tapi apa dayaku. Lebih baik aku melupakan hal itu dan memulai kehidupanku sendiri." "Bukankah dengan demikian enkau malah membiarkan orang-orang yang jahat itu berkeliaran. Terlebih mereka telah menewaskan kedua orang tuamu dan juga kerabat-kerabatnya." Lantang pun terdiam. Pada masa itu memang sudah menjadi suatu kewajiban bahwa anak yang orang tuanya dibunuh, harus menuntut balas. Hal itu sebagai suatu
bakti kepada mendiang orang tuanya. Lantang tahu hal itu, tapi balas dendam bukanlah hal yang disukainya. Ia sedari kecil tidak suka kekerasan. Bila temanteman sepermainannya mengganggunya, ia hanya menjauh dan menghindar. Entah sikap ini timbul dari keminderannya akan pekerjaan ayahnya yang hanya murid rendahan dan juga pengurus kandang kuda, atau merupakan bawaan. Ayahnya pun sudah berulang kali menasehatinya untuk menghadapi orang-orang yang mengganggunya, akan tetapi ia tidak bisa. Ia memilih lebih baik menyendiri, jauh dari keramaian, dari pada harus berseteru dengan orang lain. "Tapi paman, saya tidak suka kekerasan." "Begini saja, bagaimana jika kamu menjadi muridmu dan belajar silat, akan tetapi ilmu itu jangan digunakan. Anggap saja semacan cara untuk menjadi sehat. Sehat itu perlu dalam bekerj untuk menafkahi hidup, bukan?" Akhirnya Lantang pun setuju. Ia pun mengangkat guru pada Racana si Bayangan Menangis Tertawa, salah seorang ahli silat yang tidak banyak pada masa itu. Terutama dalam hal ilmu meringankan tubuh. *** Iring-iringan kereta kuda berjalan berurut-urutan. Tujuh buah kereta yang masing-masing ditarik oleh dua buah kuda semuanya. Berjalan pelan-pelan seakanakan waktu tak begitu penting artinya. Dua buah kereta yang di depan berisikan hanya barang-barang. Ada kotak-kotak, gulungan-gulungan kain, sayur mayur dan barang-barang lainnya. Tiga kereta yang di tengah berisikan orang-orang, hal ini dapat terlihat dari kepala-kepala yang tampak dari lobang-lobang jendela pada kain terpal yang menutupi kereta-kereta kuda tersebut. Sedangkan sisa kereta selebihnya berisikan batang-batang kayu seperti bahan dasar untuk membuat tombak. Yang mengejutkan adalah pada tiap-tiap kereta ada simbol dua buah kapak bersilangan dalam suatu lingkaran. Lambang Perguruan Kapak Ganda. Apakah orangorang ini juga anggota Perguruan Kapak Ganda, yang tidak tahu bahwa perguruannya telah ditumpas habis oleh Perguruan Atas Angin? Ya, mereka adalah sisa-sisa dari Perguruan Kapak Ganda, yang tidak tahu-menahu atas bencana yang telah menimpa perguruan mereka. Saat bencana itu terjadi mereka sedang pergi ke Tanah Seberang Pulau untuk mengundang beberapa tokoh sakti yang akan dijadikan pelatih di perguruan. Sebenarnya tokoh-tokoh sakti dari Tanah Seberang Pulau itu bukanlah orang-orang lain dari sang guru, Naga Geni. Melainkah mereka itu adalah saudara-saudara angkatnya, saat ia mencari ilmu di Tanah Seberang Pulau. Adapun ketiga tokoh yang diundang itu adalah Mayat Pucat, Sabit Kematian dan Cermin Maut. Dua tokoh pertama adalah laki-laki setengah tua seperti halnya Naga Geni, sedangkan yang terakhir adalah seorang perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik dengan dandanannya yang tebal. Mereka-mereka ini bisa saling mengangkat saudara karena kesamaan sifat yang tidak mematuhi norma-norma yang umumnya dipatuhi oleh seorang pendekar. Bisa dibilang mereka adalah anggota dari golongan sesat. Orang-orang berilmu akan tetapi memanfaatkan ilmunya semena-mena kepada sesamanya. Jika Naga Geni memiliki Kapak Pengantar Nyawa, yang merupakan ilmu silat bersenjata kedua kapaknya yang memenuhi ruang gerak lawan -- menyapu ke segala arah, maka ketiga orang ini memilki masing-masing keahlian atau ilmu pula yang canggih pula dalam bertempur. Mayat Pucat, sesuai dengan julukannya memiliki ilmu yang bersifat dingin. Ilmu yang diperolehnya setelah bertahun-tahun bertapa bersama mayat-mayat di kuburan. Dengan cara ini ia dapat menyerap sisa-sisa energi dari mayat-mayat saat terurai dalam tanah. Semakin segar mayat yang akan digunakan, semakin baik. Bahkan tidak jarang, ia menculik orang dan membunuhnya untuk digunakan sebagai alat latihan. Selain itu orang-orang yang matinya penasaran, ketakutan, marah dan tidak relat, memberikan tenaga yang lebih baik bagi Mayat Pucat, ketimbang orang yang meninggal dengan baik-baik. Oleh karena itu Mayat Pucat tidak suka mengganggu kuburan para pendeta atau orang-orang suci, karena percuma. Energi yang tersisa dari mayat-mayat mereka tidak dapat dimanfaatkannya. Senjata andalannya adalah kepalan tangan dan juga kuku kaki dan tangannya yang sudah kuning menghitam. Mengandung racun keji dan ganas. Lain pula halnya dengan Sabit Kematian. Wujudnya yang selalu berjubah dan bertudung kepala itu, mirip dengan malaikat pencabut nyawa pada hikayat-hikayat di suatu tanah jauh. Senjata andalannya adalah semacam sabit besar yang dikaitkan pada tongkat setinggi kepala. Dengan sejata ini Sabit Kematian merupakan ahli tempur jarak menengah. Dengan loncatan-loncatannya