Arie Yulfa, Crowdsourcing sebagai Upaya Melibatkan Peran Masyarakat dalam Proses Perencanaan Wilayah, Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012, hlm 13-23
CROWDSOURCING SEBAGAI UPAYA MELIBATKAN PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PERENCANAAN WILAYAH Arie Yulfa Jurusan Geografi Universitas Negeri Padang Abstract. A question regional planning attempts to answer is how to manage any interest becoming a blue print to execute by reducing conflicts. To do so, complete and reliable information is necessary. Appropriate methods are needed to collect information as much as possible from different sources and reliable. This information should be accessible and representing public interest. This article is aimed at introducing crowdsourcing as a method to cope with these issues. We find that this method has the same mission with regional planning where managing information from different sources to accomplish some tasks. In addition, some advantages to implement crowdsourcing in regional planning are less time consuming and economically efficient. Key word: crowdsourcing, pelibatan masyarakat Semakin banyak keterlibatan masyarakat, institusi dan lembaga dalam penyusunan sebuah rencana. tentunya hasil dari perencanaan akan lebih mudah untuk dijalankan dan diterima secara luas oleh stakeholders. Masalahnya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa tidak ada aspirasi masyarakat yang luput dari mekanisme formal yang selama ini ada dan bagaimana memonitor proses ini secara live. Artikel ini mengenalkan tentang konsep/mekanisme crowdsourcing dalam proses perencanaan wilayah.
PENDAHULUAN. Untuk menyokong pembangunan yang baik tentunya dibutuhkan sebuah perencanaan yang matang dan mungkin dilakukan. Kedua hal tersebut tentunya tak lepas dari keterlibatan masyarakat dalam penyusunannya. Bila dilihat dari mekanisme yang ada (berdasarkan UU) maka pemerintah selaku pelaksana amanat masayarakat untuk mengeksekusi sebuah rencana yang telah disusun, telah membuat sebuah mekanisme dalam perencanaannya. Seperti musyawarah rencana pembangunan(musrenbang), ini dimulai dari level kelurahan/desa sampai ke level nasional.
13
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
bagaimana menggabungkan hasil kontribusi masyarakat? dan bagaimana mengatasi penyalahgunaan sistem? Secara umum, untuk membangun sebuah sistem crowdsourcing perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti degree of manual effort, role of human users, and standalone versus piggyback architectures. Degree of manual effort adalah cara bagaimana pengembang (developer) dari sistem crowdsourcing untuk memutuskan seberapa otomatis sistem akan berjalan dan berapa banyak usaha yang harus dilakukan oleh pengguna (users) dan pemilik (owners) sistem untuk menjalankannya. Role of human users memiliki empat tipe yaitu slaves, perspective providers, content providers, and component providers. Peran-peran ini akan membantu pengembang untuk memutuskan bagaimana merekrut pengguna yang memiliki kesempatan untuk memainkan lebih dari satu peran. Standalone versus piggyback adalah bagaimana sistem crowdsourcing akan dibangun pada sebuah sistem standalone atau ditumpangkan di atas sistem yang sudah ada. Ada beberapa solusi yang menurut Doan, et al. (2011) bisa dilakukan untuk menghadapi beberapa persoalan yang muncul pada penerapan sistem crowdsourcing. Untuk persoalan pertama, bagaimana mendapatkan orang-orang yang mau berpartisipasi? Solusi untuk mengatasinya adalah:
KONSEP-KONSEP DI DALAM CROWDSOURCING. Istilah crowdsourcing pertama kali dimunculkan oleh Howe (2006) , dia mendefinisikannya sebagai sebuah upaya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu oleh orang banyak (crowd) yang berasal dari lokasi-lokasi berbeda atau tingkat pengetahuan yang berbeda pula terhadap pekerjaan tersebut. Sebenarnya crowdsourcing bukanlah sebuah prinsip yang baru dalam meminta orang banyak untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Ada beberapa istilah yang memiliki maksud serupa, seperti user-generated content, collaborative systems, mass collaboration, human computation dan lain sebagainya yang terkait dengan partisipasi masyarakat (Doan, Ramakrishnan, & Halevy, 2011). Untuk paper ini istilah crowdsourcing digunakan untuk menggambarkan bagaimana sistem yang ada mengarahkan orang banyak untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di dalam proses perencanaan wilayah. Hal ini sekaligus sebagai bentuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dan memberdayakan masyarakat dalam proses perencanaan wilayah. Doan, dkk (2011) mengatakan bahwa ada empat masalah yang dihadapi dalam menerapkan crowdsourcing untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan, yaitu bagaimana mendapatkan orangorang yang mau berpartisipasi? apa saja hal yang mereka bisa kerjakan?
14
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
1. Meminta pengguna untuk berkontribusi kepada sistem. 2. Memberi dana insentif bagi pengguna atas partisipasinya. 3. Mengundang relawan- relawan. 4. Meminta pengguna berkontribusi ke dalam sistem crowdsourcing melalui layanan yang diberikan oleh sistem lain. 5. Memanfaatkan rekam jejak pengguna pada sistem yang sudah mapan. Selain itu, masalah lainnya adalah bagaimana mempertahankan pengguna untuk tetap berada di dalam sistem. Doan, et al. (2011) merekomendasikan untuk menyediakan gratifikasi langsung, pengalaman yang menyenangkan bagi pengguna ketika berkontribusi atau layanan menarik, dan membangun reputasi bagi mereka yang berpartisipasi. Sebagai contoh, memberikan respon secara langsung terhadap kontribusi yang telah diberikan pengguna ke dalam sistem. Untuk persoalan kedua, apa yang mereka dapat lakukan? Solusinya adalah (Doan, et al., 2011): a. Mengklasifikasikan pengguna berdasarkan kontribusi cognitive. Contohnya, low-level users (guests) cenderung memberikan kontribusi yang tidak menuntut pemikiran mendalam. b. Mengukur pengaruh kontribusi terhadap sistem crowdsourcing. Contohnya, meng-edit beberapa kata pada sebuah halaman web hanya sedikit pengaruhnya
dibandingkan meng-edit sebuah aturan pada halamn web yang sama. c. Mendistribusikan pekerjaan antara human users dan machines untuk berkontribusi sistem crowdsourcing. d. Merancang user interface yang menarik untuk pengguna yang ingin berpartisipasi. Untuk menyelesaikan persoalan ketiga, bagaimana mengintegrasikan kontribusi-kontribusi yang telah diberikan? Doan, et al. (2011) menyarankan dua pendekatan: a. Sistem secara otomatis menghitung bobot penilaian yang diberikan oleh pengguna. b. Manajemen perbedaan pendapat dari pengguna secara manual. Umumnya, pendekatan yang lebih banyak digunakan pada sistem crowdsourcing. Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan ke empat, bagaimana mengatasi penyalahgunaan sistem? dilakukan dengan cara mengevaluasi para pengguna dan kontribusi mereka. Tiga tehnik yang digunakan adalah (Doan, et al., 2011): block, detect, and deter. Block adalah menyaring para pengguna yang bisa berkontribusi ke dalam sistem basis data. Detect adalah bagaimana memeriksa secara otomatis atau manual para pengguna dan kontribusi mereka. Deter adalah mencegah para pengguna dan kontribusi mereka yang tidak dapat dipercaya. Tetapi, ketiga tehnik
15
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
tersebut belum sepenuhnya bisa mengelola pengguna yang tidak bertanggung jawab (malicious users) dan kontribusi-kontribusi yang tak bernilai untuk sistem. Oleh karena itu, sistem yang dirancang harus menyediakan prosedur undo.
teori perencanaan perencanaan wilayah yaitu: a. Physical Planning (Perencanaan fisik), terkait dengan merencanakan secara fisik pengembangan wilayah. b. Macro-Economic Planning (Perencanaan Ekonomi Makro), berkaitan dengan perencanaan ekonomi wilayah. c. Social Planning (Perencanaan Sosial), membahas tentang pendidikan, kesehatan, integritas sosial, kondisi tempat tinggal dan tempat kerja, wanita, anak-anak dan masalah kriminal. d. Development Planning (Perencanaan Pembangunan), berkaitan dengan perencanaan program pembangunan secara komprehensif guna mencapai pengembangan wilayah. Daluarti (2010) memaparkan tahapan perencanaan wilayah di Indonesia sebagai berikut: a. Menentukan gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. b. Menetapkan visi, misi, dan tujuan umum. c. Mengidentifikasi pembatas dan kendala yang sudah ada saat ini maupun yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang.
PERENCANAAN WILAYAH. Riyadi dan Bratakusumah (2003) di dalam disertasi Joni (2011) mendefiniskan “perencanaan wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas.” Nandi (2009) memaparkan bahwa perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah. Untuk penggunaan ruang wilayah dilaksanakan melalui perencanaan tata ruang wilayah (spatial planning) dan untuk perencanaan aktivitas pada ruang wilayah dilaksanakan melalui rencana pembangunan wilayah . Menurut Archibugi (2008) didalam disertasi Joni (2010) ada empat komponen yang terkait dengan
16
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
d. Memproyeksikan berbagai variabel terkait, baik yang bersifat controllable dan non-controllable. e. Menetapkan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu, yaitu berupa tujuan yang dapat diukur. f. Mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif untuk mencapai sasaran tersebut. g. Memilih alternatif terbaik, termasuk menentukan berbagai kegiatan pendukung yg akan dilaksanakan. h. Menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan. i. Menyusun kebijakan dan strategi agar kegiatan pada setiap lokasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di tingkat Nasional, pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 25 tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang ini dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan dan sinergi pembangunan antar dinas dan instansi dan antar daerah, keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran serta untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan. Salah satu yang diatur dalam undangundang ini adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG). MUSRENBANG ini memiliki dua fungsi utama Pertama, sebagai alat untuk melakukan koordinasi penyusunan perencanaan
pembangunan antar berbagai pelaku kegiatan pembangunan. Kedua, sebagai alat untuk menyerap partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan dengan mengikutsertakan berbagai tokoh masyarakat, cerdik pandai, alim ulama dan pemuka adat. Dari hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa keterlibatan semua pihak dalam proses perencanaan wilayah merupakan suatu hal yang sangat penting. Beragam media untuk proses keterlibatan sudah disiapkan seperti MUSRENBANG. Artikel ini mencoba memanfaatkan teknologi internet (Web 2.0) sebagai media yang meniru MUSRENBANG atau proses lain untuk mendukung perencanaan wilayah dengan menerapkan konsepkonsep crowdsourcing. APLIKASI SISTEM CROWDSOURCING DALAM GEOINFORMASI. Pengumpulan geoinformasi oleh orang banyak menggunakan sistem crowdsourcing telah membuktikan bahwa pekerjaan ini bisa dilakukan siapa saja. Beberapa riset telah membuktikannya seperti pemetaan cepat kerusakan setelah terjadinya bencana gempa bumi di Haiti tahun 2010 (Yulfa, 2012), pekerjaan ini dilakukan oleh orang banyak dengan beragam latar belakang pengetahuan dan lokasi berbeda, seperti oleh lembaga antariksa Jerman (DLR) anggota International Charter Space
17
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
and Major Disasters, kelompok ahli pemetaan, masyarakat umum baik yang berada di dalam atau diluar Haiti. Produk akhir dari pekerjaan yang dilakukan ini adalah peta kerusakan sebagai referensi untuk kegiatan tanggap darurat. Goodchild (2010) dan Richter and Winter (2011) menunjukkan bagaimana masyarakat/warga dapat dijadikan sebagai sumber data untuk penyediaan geoinformasi secara sukarela. Secara ekonomi, hal ini bisa mengurangi biaya dalam pengadaan geoinformasi (data spasial) jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang ada saat ini (seperti yang dilakukan oleh organisasi pemetaan dengan tenaga ahlinya). Keterbaruan data (up-to-date) menjadi keniscayaan dengan kontribusi yang dilakukan oleh masyarakat yang juga adalah sensor bagi sistem. Heipke (2010) menggambarkan penerapan crowdsourcing untuk geoinformasi sebagai upaya masyarakat luas yang umumnya tidak memiliki pengetahuan tentang pemetaan, tetapi dukungan teknologi geo-referencing dan Web 2.0 untuk membuat data spasial. Teknik georeferencing menetapkan lokasi data yang dikontribusikan oleh orang banyak ke sistem koordinat spasial tertentu. Sebagai contoh, menggunakan Global Positioning System (GPS) atau mendigitasi data di atas citra yang telah bereferensi spasial. Teknologi Web 2.0 memberi
kemampuan orang-orang untuk melakukan penggabungan data-data dari beragam sumber menjadi data baru (mash-up), untuk saling bertukar informasi dan bekerjasama melalui situs web. Sumber-sumber data yang digunakan biasanya adalah GPS tracks, citra yang telah bereferensi spasial dan pengetahuan lokal (local knowledge). Data-data tersebut akan menuntun pengguna (masyarakat) ke lokasi yang dia kenali dimana mereka akan membuat sebuah peta. Kualitas data Bagaimana kualitas dari data yang dihasilkan melalui sistem crowdsourcing? Menurut Goodchild and Glennon (2010), kualitas geoinformasi yang diperoleh dari banyak pengamat secara logika lebih baik dibandingkan dengan sedikit pengamat. Heipke (2010) menyatakan bahwa crowdsourced data umumnya bersumber dari orang-orang yang memiliki pengetahuan lokal pada wilayah tersebut. Pengetahuan lokal ini bermanfaat untuk mengurangi kesalahan dari crowdsourced data. Dia juga mengamati data dari OpenStreetMap (menerapkan crowdsourcing) dan data dari National Mapping Agency dengan kriteria kelengkapan data, kekinian (up-todateness), akurasi geometri, ketepatan atribut data, dan konsistensi logika. Hasil yang dia temukan adalah repetisi data yang diberikan oleh orang banyak (crowd) mampu mengurangi
18
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
mengurangi kesalahan, sehingga produk crowdsourcing mampu menyamai kualitas yang dimiliki oleh National Mapping Agency bahkan melebihi untuk beberapa kriteria seperti up-to-dateness.
OpenStreetMap adalah sebuah skema yang dimaksudkan untuk membuat basis data geografis seluruh dunia, dimana setiap fitur geografis, seperti jalan, bangunan, saluran irigasi, dan hutan yang bisa direkam. Dalam pembuatan data tersebut, OSM menggunakan data dari citra satelit, peta referensi, data GPS, dan sumbersumber lain. Pengguna OSM juga bisa memasukkan dan meng-edit data. Proses editing dari setiap obyek akan disimpan sebagai history untuk menelusuri kesalahan. Hal yang menarik dari OSM adalah sistem akan menampilkan langsung hasil yang dientry-kan pengguna. Mekanisme ini adalah salah satu penerapan dari sistem crowdsourcing yaitu gratifikasi. Contoh tapan-tahapan bagaimana pengguna memasukkan data baru dengan melakukan digitasi pada OSM dan respon dari server OSM bisa dilihat pada Gambar 1. Hasil akhir poligon/area yang dibuat oleh pengguna dapat pula dilihat dan diberi komentar mengenai data tersebut oleh pengguna lainnya. Jika dikaitkan dengan perencanaan wilayah, tentunya model mekanisme transaksi data ini bisa dimanfaatkan untuk mengakomodasi usulan masyarakat mengenai lokasi yang akan dimasukkan dalam perencanaan pembangunan suatu wilayah/area tertentu. Selain proses memasukkan data atau meng-edit data, sistem juga memungkinkan pengguna lain untuk merespon data tersebut.
Kenapa orang mau berkontribusi? Goodchild (2010) menyatakan bahwa self-promotion dan selfsatisfaction sebagai kata-kata kunci disamping kemajuan teknologi internet seperti Web 2.0. Perkembangan teknologi ini semakin mendorong orang untuk mempromosikan dirinya (self-promotion). Kontribusi diawali dari keinginan untuk membagi informasi kepada rekan-rekan, terlepas dari kenyataan bahwa informasi tersebut juga tersedia bagi orang lain. Sedangkan self-satisfaction sebagai contoh adalah orang yang berkontribusi pada OpenStreetMap. Orang tersebut merasa puas ketika melihat data yang dia masukkan dipublikasikan oleh OpenStreetMap, serta menjadi bagian dari pertumbuhan data di dalam basis data OpenStreetMap. CONTOH-CONTOH APLIKASI YANG MENERAPKAN CROWDSOURCING DAN BISA MENJADI ACUAN UNTUK MENDUKUNG PROSES PERENCANAAN WILAYAH. OpenStreetMap (OSM)
19
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
Kemampuan aplikasi berbasis crowdsourcing dalam menyelesaikan pekerjaan bisa terlihat pada saat terjadi bencana di Haiti tahun 2010. Conmtohnya, bagaimana basis data
OSM tumbuh dengan cepat akibat masukan yang diberikan oleh penggunanya dan bisa di-sharing secara gratis (Gambar 2).
Gambar 1. Digitasi sebuah area melalui internet – transaksi antara client dan server Sumber: (Haklay, Singleton, & Parker, 2008).
20
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
Gambar 2. Pertumbuhan basis data OSM di Port-Au-Prince, Haiti dua hari setelah terjadinya bencana.
Ushahidi Ushahidi (www.ushahidi.com) adalah sebuah aplikasi open source untuk pemetaan krisis (crisis map). Aplikasi ini menyediakan layananlayanan seperti pengumpulan informasi, visualisasi, dan pemetaan interaktif. Ushahidi di buat pertama kali tahun 2008 untuk memetakan laporan-laporan kekerasan yang terjadi di Kenya. Semenjak itu, perkembangan Ushahidi dilakukan oleh relawan dibawah koordinasi pendiri Ushahidi. Prinsip kerja Ushahidi yang telah menerapkan prinsip-prinsip crowdsourcing dimana pekerjaan yang dilakukan melalui Ushahidi merupakan hasil kerja dari para pengguna atau orang banyak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Contoh, pemetaan kerusakan bangunan akibat gempa bumi (Yulfa, 2012). Pada penelitian tersebut, para pengguna Ushahidi merupakan sumber informasi atau sensor untuk mengetahui seberapa besar kerusakan
dan lokasinya. Tingkat kepercayaan informasi yang diberikan para pengguna diperoleh berdasarkan komentar-komentar dan peringkat yang diberikan oleh pengguna lain, dan verifikasi oleh pengelola sistem (administrator). Apabila layanan-layanan yang dimiliki Ushahidi ini diterapkan dengan sedemikian rupa untuk proses perencanaan wilayah, seperti komunikasi antara stakeholders maka konsumsi waktu dan biaya bisa dikurangi. Contohnya, peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) dimasukkan ke dalam sistem lalu di respon oleh publik, dan respon ini akan dikomentari serta diberi peringkat oleh pengguna. Atau dilakukan sebaliknya, dimana RTRW ini di susun bersama melalui media ini. Proses ini tentunya akan diberi batasan-batasan (filter) untuk mencegah informasi tidak bertanggungjawab yang masuk. Salah satu layanan yang disediakan Ushahidi seperti
21
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
menyediakan fasilitas bagi pengguna untuk memberikan informasi dengan kriteria-kriteria yang harus diisi oleh
pengguna. Informasi yang diberikan berupa data spasial (lokasi) dan atributnya (Gambar 3).
Gambar 3. Formulir untuk memasukkan data pada Ushahidi.
penyelesaiannya. Bila ditinjau dari hakekat perencanaan wilayah, yaitu melibatkan banyak pihak sebagai bentuk terciptanya sense of belonging terhadap produk perencanaan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa crowdsourcing mempunyai misi yang sama dengan perencanaan wilayah.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Penerapan crowdsourcing pada proses perencanaan wilayah bisa mempersingkat waktu dan mengurangi biaya dalam perencanaan wilayah. Hal ini bisa dilihat dari contoh-contoh pekerjaan lain yang telah menerapkan crowdsourcing dalam
22
Jurnal Skala Vol. 2, No. 4, April 2012
Artikel ini merekomendasikan untuk penelitian selanjutnya bagaimana crowdsourcing itu benarbenar diterapkan untuk membuat
produk dari wilayah.
sebuah
perencanaan
DAFTAR PUSTAKA. Archibugi. F., 2008. Planning Theory. From the Political Debate to the Methodological Reconstruction. Daluarti, M. H. C. (2010). Perencanaan Wilayah. Retrieved 27 Juli 2012, from http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/LAINNYA/MEITRI_HENING/Bahan_Pr esentasi/5_Perencanaan_Wilayah_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf Doan, A., Ramakrishnan, R., & Halevy, A. Y. (2011). Crowdsourcing Systems on the World-Wide Web. Communications of the ACM, 54(4), 86-96. Goodchild, M. F. (2010). Citizens as sensors: the world of volunteered geography. GeoJournal, 69(4), 211-221. Goodchild, M. F., & Glennon, J. A. (2010). Crowdsourcing geographic information for disaster response: a research frontier. International Journal of Digital Earth, 3(3), 231-241. Haklay, M., Singleton, A., & Parker, C. (2008). Web Mapping 2.0: The Neogeography of the GeoWeb. Geography Compass, 2(6), 2011-2039. Heipke, C. (2010). Crowdsourcing geospatial data. Isprs Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 65(6), 550-557. Howe, J. (2006). The Rise of Crowdsourcing. WIRED. Joni, H. (2010). Analisis Perencanaaan dan Pembangunan Wilayah Terhadap Pendapatan Masyarakat di Kota Medan. Universitas Sumatera Utara, Medan. Nandi. (2009). Pengantar Perencanaan Wilayah. Retrieved 27 Juli 2012, from http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/197901012005 011-NANDI/perencanaan%20wilayah/PERENCANAAN_WILAYAH.pdf __Bahan_ajar_Perencanaan_Wilayah.pdf Richter, K.-F., & Winter, S. (2011). Citizens as Database: Conscious Ubiquity in Data Collection Advances in Spatial and Temporal Databases. In D. Pfoser, Y. Tao, K. Mouratidis, M. Nascimento, M. Mokbel, S. Shekhar & Y. Huang (Eds.), (Vol. 6849, pp. 445-448): Springer Berlin / Heidelberg. Riyadi dan Bratakusumah. D.S., 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yulfa, A. (2012). Crowdsourcing Geoportals for Rapid Post-disaster Damage Mapping. University, Enschede, The Netherlands.
23