COWOK RASA APEL
Penerbit
COWOK RASA APEL Oleh: Noel Solitude Copyright © 2012 by Noel Solitude
Penerbit Spica Solitudia http://ceritasolitude.wordpress.com
File e-book ini dibagikan secara cuma-cuma sebagai fitur dari novel Cowok Rasa Apel. Dilarang menggandakan atau memperbanyak tanpa seijin Penerbit.
2
- NOEL -
3
4
Sebuah Dinding...
“Capek juga jadi pengurus OSIS. Udah mau liburan malah banyak rapat. Makan aja sampai lupa. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Sekarang capek dulu, yang penting liburan nanti pikniknya menyenangkan! We‟ll be going to Bali!” Kubaca tulisan status di menulisnya delapan menit yang lalu.
Facebook
Erik.
Dia
baru
Namanya juga pengurus OSIS, mana ada yang nggak sibuk? Atau minimal sok sibuk lah! Yah, aku yakin pasti ada yang jadi pengurus OSIS cuma buat ajang eksis, biar bisa sok keren nampang dan mondar-mandir keluar kelas di jam pelajaran dengan alasan tugas OSIS. Malah kayaknya sih kebanyakan pengurus OSIS memang anak-anak narsis macam itu. Paling tidak, itulah yang sering kulihat di sekolah. Tapi kalau Erik, aku masih percaya dia jadi pengurus OSIS bukan buat cari sensasi. Dia nggak perlu sok keren, karena dia memang udah... KEREEENNN!!! Di sekolahku, murid cowok kelas satu yang ditaksir bejibun cewek dari kelas satu sampai senior-senior kelas dua dan kelas tiga, siapa lagi kalau bukan Erik?! Pengurus OSIS berwajah tampan tanpa jerawat, berbadan atletis dan serba berbakat dari basket, main musik, sampai menyanyi...! Bahkan namanya sekarang juga mulai populer sampai ke sekolah lain. Aku rasa nggak berlebihan kalau aku menyebutnya sebagai idola di sekolah! Setelah membaca status Facebook-nya tadi, seperti yang biasa kulakukan, dengan semangat kukirim komentarku:
“Kalo nggak sempat makan nasi makan pisang aja buat stok tenaga. Keep the spirit!” Baru beberapa menit lewat, sudah ada dua komentar yang mengekor di bawah komentarku...
5
Rico Seratuspersen Cute: “Ciee... Dimas perhatian
banget nih sama Erik...!”
Joni Selalu Bahagia: “Dimas, ingat kamu tuh cowok, Erik
juga cowok! Hiii...!”
Sialan...! Reseh banget dua orang norak ber-nickname superkatro itu?!! Memangnya salah ya kalau aku ikut menyemangati Erik?!! Kuketik balasanku dengan emosi:
“Wooiii! Aku kan cuma ngasih masukan ke Erik! Nggak boleh???” Nggak lama, langsung nongol balasan lagi...! Rico Seratuspersen Cute: “Ngelunjak banget sih? Cuma ngasih saran gitu aja balasannya pingin „masukin‟?! Hehehe...” Dosa apa aku hari ini sampai harus menghadapi komentator busuk macam ini?!! Hatiku rasanya seperti kemasukan ulat bulu. Gatal dan panas! Naik pitam!!!
“Aku maklum sih kalo pikiranmu selangkangan. Otakmu kan memang di situ...!”
tujuannya
ke
Kuketik balasanku, segera kukirim! Tapi loading-nya kok lama gini...? Kutekan tombol refresh! Dan... Hahhh...?!! Kok tulisan statusnya Erik tadi udah nggak ada? Dihapus??? Kulihat di daftar chat, Erik masih online! “Rik, statusmu yang tadi kamu hapus ya?” aku langsung menyapa Erik di halaman chat. “Aku hapus,” jawab Erik nggak lama kemudian. Aduhh... Ternyata benar dia hapus! Jadi nggak enak nih sama Erik... “Oo... Sorry ya, kalo bikin yang lain jadi reseh...” balasku, dengan rasa menyesal. “Nevermind...” balas Erik.
6
Hyuhhh... Semoga Erik nggak marah. Tapi aku tetap ngerasa nggak enak sama dia. Perkara kecil yang menyebalkan! Gara-gara dua mahluk berkomentar busuk itu! “Oke deh. Istirahat aja kalo memang Goodnight...” akhirnya kuketik pesan penutupku.
kecapekan.
Tapi ternyata Erik langsung off lebih dulu...! Hffhhhh... Aku tahu biarpun Erik bisa bilang „nevermind‟, tapi pastinya dia jengkel gara-gara perkara tadi. Euughhh... Aku juga ngapain sih tadi, harus meladeni para komentator nggak penting itu? Beginilah jadinya sekarang! Lagi-lagi salah...! Aku memang selalu serba salah! Sebenarnya masalah di FB seperti ini bukan cuma sekali ini terjadi. Beberapa hari kemarin juga terjadi hal yang sama. Komentarku yang sebenarnya cuma satu kalimat berbunyi kurang lebih, “Semangat ya Rik, semoga lulus tesnya!”, akhirnya juga berakhir di tombol delete! Kalimat penyemangat dariku saat Erik harus ikut tes susulan karena habis sakit, itu dihapusnya juga gara-gara jadi sasaran komentar dari orang-orang nggak penting yang hobi nyampah! Sekarang terjadi lagi! Kenapa sih, rasa perhatian itu bisa menjadi begitu salah...? Sedih dan dongkol bercampur aduk! Aku log out! Kututup pula browser-ku. Lalu shutdown, kututup laptopku! Kutinggalkan tempat dudukku dan segera menggelinding ke kasur. Kupeluk gulingku erat-erat. Huhhh...! Makan hati, makan pikiran, emosi ini bikin aku capek! Lupakan sejenak dinding yang tebal itu...! Aku mau tidur!
7
Aku
Namaku Dimas. Aku akan berumur tepat tujuhbelas tahun di sebuah tanggal di bulan September nanti. Aku kelas satu SMA, dan sebentar lagi mau naik ke kelas dua. Aku tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah, kota yang cukup ramai tapi juga nyaman! Solo, kota yang punya slogan: The Spirit Of Java! Dalam banyak hal aku nggak jauh beda dengan anak cowok lainnya yang seumuran. Aku punya enam hari buat berangkat ke sekolah tiap pagi, dan pulang di sore hari. Selain teman sekolah, seingatku aku nggak punya teman bergaul lainnya. Itupun aku jarang bergaul dengan mereka di luar sekolah. Ya, aku tergolong anak rumahan yang lebih banyak tinggal di rumah sehabis pulang sekolah. Aktivitasku di luar rumah selain sekolah, paling-paling cuma sekedar refreshing yang biasanya kunikmati sendiri. Entah itu jalan-jalan, lihat-lihat kota ataupun nonton film. Jadi, aku bukan anak gaul? Ah, predikat seperti itu sih nggak penting buatku! Di rumah, aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Sebutanku buat kedua orang tuaku memang nggak ada kesan Jawanya sama sekali. Aku nggak memanggil mereka Bapak ataupun Ibu seperti lazimnya keluarga Jawa, tapi memanggil dengan sebutan Papa dan Mama! Karena, yahhh... mungkin kebiasaan dari kecil aja. Papa orang Jawa, asli dari Solo. Sedangkan Mama dulu tinggal di Jakarta, tapi aslinya campuran Sunda dan Manado. Mama lebih terbiasa pakai bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa ataupun Sunda, Papa akhirnya juga begitu. Tapi bukan berarti kami nggak bisa bahasa Jawa ya! Cuma soal kebiasaan aja. Hehehe... Keseharian Papa, dia sibuk kerja di kantor dari pagi hingga sore bahkan kadang sampai malam. Kalau bisa pulang lebih awal, biasanya juga pilih tinggal di rumah aja. Sedangkan Mama kerja di
8
perusahaan asuransi, entah apa istilahnya, pokoknya sering berada di luar mencari nasabah. Buat membantu mengurusi pekerjaan sehari-hari di rumah, kami punya pembantu, Mbok Marni. Sudah setengah tua, tapi justru itulah, dia bukan tipe pembantu yang banyak tingkah. Sederhana, sabar, nggak norak, dan syukurlah dia juga nggak suka caper ke tetangga. Tipe pembantu rumah tangga yang baik lah...! Lalu aku? Tetap dengan aktivitasku sendiri, berangkat ke sekolah tiap pagi lalu pulang ke rumah sore hari. Sesekali bantu bersih-bersih rumah, menyirami tanaman, menyapu halaman, atau keluar dengan motor sekedar refrehsing. Begitulah, aku rasa nggak ada schedule yang istimewa dalam keseharianku. Apakah hidupku membosankan? Hmmm, aku memang punya orang tua yang cukup sibuk. Tapi aku bisa memaklumi kesibukan mereka. Lagipula aku bukan anak cowok yang cuma bisa bengong sepanjang hari di rumah sepulang sekolah. Sebenarnya, aku punya satu hal spesifik yang selalu bisa kukerjakan, sendirian... di kamar! Aktivitas dengan sebuah... LAPTOP! Baiklah, laptopku memang bukan seri termahal di merknya. Tapi dia bisa berfungsi optimal, buatku itu udah cukup. Malah berkat Papa yang mau berbaik hati memasang saluran internet di kamarku, itu lebih dari cukup! Dengan begitu laptopku ibarat teman yang selalu siap kapan aja, selama nggak lowbatt! Dia bisa jadi apapun yang kubutuhkan! Ehhmm, dia memang nggak bisa jadi hamburger kalau aku lapar, tapi dia bisa jadi bioskop kalau aku lagi pingin nonton film. Dia bisa jadi music player yang asyik kalau aku lagi pingin dengar musik. Dia bisa jadi studio foto kalau aku lagi pingin narsis, mengedit foto sendiri dibikin lebih cakep, tapi pastinya bukan gaya sok imut seperti anak-anak alay! Hahaha... Dengan fasilitas internet aku bisa bermain-main di situssitus yang menyenangkan, dari jejaring sosial, forum maya, situs pendidikan sampai situs entertainment! Ya, aku memang anak rumahan, tapi bukan berarti aku nggak tahu apa-apa soal realita di luar rumah! Kehidupan yang sebenarnya, bahkan yang ada di luar sana yang nggak bisa kutemui secara langsung, aku bisa mengintipnya lewat sebuah jendela bernama internet. Aku nggak
9
merasa ketinggalan jaman! Jadi sekali lagi, apakah hidupku membosankan? Aku rasa selama ini aku bisa menikmatinya, jadi aku harus jawab apa? „Nggak‟ kali ya...! Ngomong-ngomong soal internet, aku juga nggak akan munafik buat mengakui satu hal lagi. Buat anak cowok sepertiku, kayaknya udah rahasia umum kalau dunia maya itu selain buat mencari pengetahuan soal perkembangan jaman, juga merupakan sebuah tempat buat... ehemm... „cuci mata‟! Hehehe... Ini abad 21! Seks dibicarakan dimana-mana termasuk oleh remaja-remaja usia belasan! Usia SMP atau bahkan SD! Terlepas benar atau salah, itu realita kan? Tapi mungkin kita semua juga faham, bahwa nggak semua orang yang berani bicara soal seks itu pernah melakukan langsung apa yang mereka bicarakan! Jaman sekarang, siapa anak SMA yang masih nggak tahu soal ML? Pasti sudah pada tahu, tapi mungkin sebagian besar belum sampai ke bagian prakteknya! Cuma pintar di teori saja, dan itu termasuk aku...! Hahaha... Di Indonesia, cowok umur tujuhbelas tahun yang mengaku belum pernah berhubungan seks masih dianggap wajar! Beda soal dengan di Amerika yang katanya sebagian besar anak usia SMA sudah pernah melakukan hubungan seks, di sana mengaku „virgin‟ hanya akan jadi bahan tertawaan! Katanya sih... Makanya, aku nggak malu buat mengakui bahwa aku termasuk orang yang baru tahu teorinya. Karena ini adalah Indonesia, bukan Amerika! Ya, internet mungkin adalah salah satu faktor utama yang mendongkrak revolusi pengetahuan, termasuk pengetahuan soal seks! Dengar cerita dari sana sini, katanya waktu jaman tahun 90-an dulu orang-orang yang berotak mesum udah „bersyukur‟ banget bisa lihat gambar porno stensilan. Sekarang, kalau mau, siapapun bisa nonton di layar dengan gambar yang bergerak! Kalau mau nonton filmnya, nggak perlu lagi selintutan malu-malu buat pinjam video porno jadul yang bentuknya mirip batu bata itu. Tinggal download aja di internet! Malah tinggal pilih, mau cari yang seperti apa! Aku sebagai generasi internet, perlu bersyukur nggak ya? Hahaha... Aku akui, aku memang bukan anak rumahan yang polos. Pikiranku sama mesumnya dengan anak-anak cowok seumuranku yang sedang lancar hormonnya, yang kadang merasa berdosa tapi
10
masih ogah „tobat‟. Tapi paling tidak, aku masih tahu batas! Aku bukan maniak! Dan aku juga nggak akan melakukan hal privat di tempat umum! Aku masih cukup tahu moral untuk tidak mengotori meja warnet, apalagi meja di kelas! Yucchhh...! Begitulah. Internet memberi banyak pengetahuan yang nggak diajarkan di sekolah. Aku bisa mencari sendiri apa yang ingin aku tahu lewat dunia maya. Dan sejauh ini, aku menikmatinya. Baiklah, ada satu hal lagi yang harus kuakui tentang diriku. Oke, yang ini lebih serius, dan juga lebih sensitif. Soal jatidiri...! Di antara kesamaan umum dengan anak cowok lainnya, aku memiliki satu hal yang mungkin bisa dikatakan sangat berbeda dari kebanyakan orang. Mungkin sejak awal kali aku masuk SMP, aku sudah menunjukkan tanda-tanda itu, saat aku cenderung lebih suka mengamati orang-orang tertentu... Dan aku makin menyadarinya sejak aku intens berhubungan dengan dunia maya. Seringkali aku memang nggak bisa menghindari rasa penasaran untuk melihat sesuatu yang kupikir bisa menjadi sekedar pelepas stress. Saat aku melihat gambar-gambar sensual, menonton videonya, lama-lama... kondisiku ini makin terasa jelas! Di saat melihat adegan antara cowok dengan cewek, mataku selalu cenderung untuk fokus melihat si... COWOK...! Jujur, aku sangat resah! Merasa cacat, sakit, salah, dan sebagainya. Awalnya begitu... Tapi, seiring keakrabanku dengan dunia maya, aku juga belajar banyak hal yang mengimbangi kebingunganku. Aku bergabung di forum-forum termasuk forum gay di internet. Sebuah pengalaman sosial di dunia maya, mempelajari realita berdasarkan pengalaman-pengalaman orang lain yang punya kondisi sama sepertiku, mencari penjelasan-penjelasan ilmiah dan merenungkannya. Hingga akhirnya kutemukan sebuah kesimpulan atas diriku, bahwa aku rasa... aku memang seorang GAY...! Berbeda dengan pendapat orang-orang pada umumnya yang menyebut homoseksual adalah „penyakit‟, sumber-sumber ilmiah yang kubaca mengatakan bahwa ilmu kedokteran sudah lama
11
meninggalkan anggapan itu. Jadi, homoseksual bukanlah penyakit! Ini adalah sebuah karakteristik, bukan untuk „disembuhkan‟ ataupun „ditularkan‟. Pemahaman itulah yang melegakanku. Itu juga menuntunku pada kesimpulan bahwa... sebaiknya aku mulai berhenti menyangkal keadaanku! Aku memang belum pernah pacaran. Tapi, kalau kamu seorang cowok straight, kamu nggak perlu harus pacaran dengan cewek dulu agar bisa bilang bahwa kamu seorang straight! Untuk mengakui diri sendiri, dasarnya adalah apa yang kita rasakan dalam diri kita secara jujur. Bukankah begitu? Apakah dunia maya membuatku menjadi gay? Tidak. Aku rasa, dunia maya hanya mengungkap, seperti apa sebenarnya diriku. Dan sekarang aku mulai menerimanya. Aku tahu, gay masih sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat. Termasuk di Indonesia. Jadi, biarpun aku bisa menerima diriku sendiri, bukan berarti aku akan coming out ke semua orang! Aku nggak senaif itu! Aku masih merahasiakannya, terutama di dalam keluarga ini. Karena bagaimanapun aku tahu resikonya! Entah, apa kelak aku akan bilang ke orang tuaku... Ahhh...! Aku nggak mau memikirkan itu dulu! Terlalu rumit. Masa muda cuma sekali, aku nggak mau menghabiskannya dengan menjadi anak stress! Inilah diriku. Aku ingin menerima dan berusaha menikmatinya...! Aku ingat sebuah pendapat yang berkata: Everybody is unique! After all, aku masih merasa normal meskipun aku „berbeda‟. Aku masih realistis meski aku sering berhubungan dengan dunia maya. Ingin bukti? Aku punya cukup banyak kenalan di dunia maya. Kuakui di antaranya adalah cowok-cowok tampan, atau... yahhh, setidaknya foto yang mereka tunjukkan memang tampan meski nggak ada jaminan bahwa itu foto asli mereka. Di antara mereka ada yang berterus terang untuk mencari pacar, boyfriend. Bahkan sangat lugas menyatakan bahwa mereka mencari kepuasan seks! Tapi ada juga yang menyatakan „cuma‟ ingin mencari „adik‟, dengan kriteria fisik yang bla bla bla...! Aneh kan, cari „adik‟ tapi melibatkan performa fisik? Nggak tulus banget, yang diakui „adik‟ cuma yang cocok dengan seleranya! Maaf deh, aku nggak percaya!
12
Yup, seindah apapun dunia maya tetaplah banyak hal yang menjebak di sana. Karenanya, soal cowok aku lebih berharap pada orang yang benar-benar aku kenal! Dan aku tahu siapa orang itu... Ya, aku suka dengan seseorang! Dia bukan model porno yang aku lihat di internet. Bukan juga kenalan dari dunia maya. Dia seorang cowok tampan yang satu sekolah denganku, dekat dengan lingkungan sehari-hariku! Seorang cowok yang... emmmhh, sebenarnya anak yang baik meski kadang agak sensitif. Cowok yang pernah beberapa kali menghapus komentarku dari Facebook-nya. Cowok yang jadi idola dan disukai cewek-cewek di sekolahku, dan mungkin cuma aku satu-satunya cowok yang menyukainya...! Erik. Ya, dialah orangnya. Tentang dia, aku selalu menulisnya di sebuah tempat di dalam laptopku. Di sebuah diary... Sekarang, aku jadi ingin membukanya lagi...!
13
Diary
“Namanya Erik. Aku tahu namanya dari tanda nama di seragamnya. Aku lihat dia pertama kali waktu upacara penerimaan siswa baru di SMA. Ya, beberapa hari yang lalu. Pandangan pertama, aku langsung suka dengannya. Hatiku rasanya seperti digerakkan oleh penampilannya yang PERFECT! Aku nggak peduli pendapat orang lain, yang pasti menurutku dia sempurna! Badannya memang nggak kekar, tapi cukup sporty. Lagian aku kan juga bukan penggemar atlet binaraga yang lengannya lebih besar dari leher orang sakit gondok! Badannya ramping tapi berisi. Jadi kalo aku ingin memeluknya, kedua tanganku pasti akan cukup buat melingkari tubuhnya. Misalnya dia yang memelukku, aku juga nggak akan sesak nafas dibuatnya, meski mungkin akhirnya aku tetap pingsan dan langsung mimpi indah. Hehehe... Wajahnya agak tirus. Berkulit putih. Hidung nggak mancung tapi juga nggak pesek. Matanya jernih dan punya sorot yang cerah, berpadu dengan alisnya yang hitam. Dia cakep tapi sangat jauh dari kesan metroseksual! Dia cakep natural, bukan menor! Pertama kali aku lihat dia waktu upacara, dia kelihatan berkeringat karena kepanasan. Di bawah sinar matahari seolah tubuhnya jadi berkilat-kilat seperti malaikat. Auranya benar-benar... aku sampai nggak bisa menggambarkannya! Ada pesona lain yang unik darinya. Rambutnya selalu disisir spike. Pastinya dia nggak naik motor, soalnya nggak mungkin rambutnya bisa seperti itu kalo dia selalu pakai helm! Mungkin dia naik mobil atau jalan kaki. Tapi melihat kulitnya yang putih bersih, kayaknya nggak mungkin kalo dia sering jalan kaki di bawah panasnya matahari. Pasti naik mobil! Entah mobil pribadi atau angkot. Tapi aku pernah berpapasan jalan dengannya, dan... My God... Baunya wangi dan segar! Kayaknya rada mustahil kalo dia
14
bisa naik angkot tiap hari tanpa membikin badannya jadi kucal dan bau asem! Kalo aku bisa dapat bajunya itu pasti akan aku simpan di lemari tanpa perlu mencucinya lagi! Jadi, dia naik mobil pribadi mungkin ya, diantar ortunya? Ahh... Sebenarnya nggak penting juga sih. Aku cuma... lama-lama makin penasaran aja...! Memang gini kali ya, kalo lagi suka sama seseorang? Selalu membayangkan dia. Selalu ingin tahu soal dia. Andai saja aku sekelas dengannya, pasti aku bisa dengan mudah kenalan dan akrab sama dia! Huhhh... Kami nggak sekelas, itu yang bikin aku kecewa! Tapi... Ah, cuma beda kelas! Nggak perlu terlalu kecewa! Pasti ada jalan buat bisa kenal dengannya. Anggap aja ini tantangan...! Kayaknya... Erik adalah cowok yang sudah bikin aku benar-benar... JATUH CINTA!!!” Kubaca isi salah satu lembar diary digitalku itu. Salah satu lembar favorit yang sering kubaca sampai berkali-kali. Dan itu selalu bikin aku jadi tersenyum-senyum sendiri. Hahaha... Biarpun singkat, ungkapan pertamaku tentang Erik itu memang sangat berkesan. Yah, namanya juga „first impression‟! Apalagi, aku menulis diary ini memang karena dia, ingin mengungkapkan apa saja yang kurasakan tentang dia! Aku buka lagi halaman lainnya yang aku suka. Ini dia...!
“Wowww...!!! Ternyata si rambut jabrik itu jago nyanyi! Tadi ada audisi buat personel band sekolah, dan ternyata Erik ikut mendaftar jadi calon vokalis! Dan aku lihat sendiri audisinya tadi, suaranya memang bagus!!! Moga-moga dia lolos!!! Kayaknya ini kesempatan buat aku juga! Mumpung audisi buat gitaris belum ditutup, aku harus ikut daftar! Ya Tuhan... Semoga kami berdua lolos! Kami bisa satu band! Aku bisa kenal lebih dekat dengannya! Inilah saatnya, aku harus berjuang!!!” Hehehe... Berkesan juga membayangkan saat-saat itu lagi. Berusaha itu memang hal yang menyenangkan! Selain dapat
15
pengalaman, juga meninggalkan kesan yang bikin hidup terasa lebih punya makna...! Dan rupanya nggak kelewatan juga kalau aku memuji Erik sampai segitunya. Soalnya terbukti kalau dia nggak cuma cowok yang menang tampang aja, tapi dia juga punya bakat! Suaranya bagus dan alami, vibratonya merdu nggak seperti artis-artis sinetron yang maksa jadi penyanyi itu! Dan pada akhirnya juga nggak cuma aku saja yang menilai. Orang lain juga, terutama cewek-cewek, dengan cepat Erik langsung jadi idola mereka! Penilaianku nggak salah! Tampan, berbadan bagus dan bersuara merdu, di Bank Sperma pasti jadi produk mahal! Hahahaha... Aku buka lagi halaman diary-ku. Halaman hari berikutnya...
“Saingan Erik banyak. Tapi dia lolos! Dia resmi direkrut jadi vokalis band sekolah! Dia kelihatan senang banget! Aku juga ikut senang lah! Berarti aku nggak boleh gagal! Soalnya Erik udah jelasjelas terpilih jadi vokalis, kalo aku juga lolos seleksi artinya aku bakal satu band dengannya!!! Gila nggak?!!! Besok giliran audisi gitaris, aku harus berhasil! Lagian sainganku cuma tiga orang. Si Erik aja yang saingannya delapan orang bisa lolos! Kalo aku nggak lolos, selain nggak bisa dekat sama Erik pastinya juga bakal malu sama dia...! Aku harus bisa!!!” Lalu... Di halaman hari berikutnya...
“Aku lolos!!! Aku satu band dengan Erik!!! Terima kasih Tuhan yang baikkkkkk...!!!” Hahaha... Waktu itu aku sampai guling-guling di kamar setelah pulang audisi, saking senangnya! Terus terang bukan bandnya yang bikin aku senang. Tapi jelas karena Erik! Akhirnya aku dapat kesempatan buat kenal sama dia! Hahaha...
16
Aku juga masih ingat, gimana senangnya waktu aku bisa ngobrol dengannya sehabis latihan pertama. Momen-momen yang menyenangkan itu juga kutulis di diary...
“Hari ini aku ngobrol sama Erik. Anaknya ramah, dengan gaya cool-nya itu ternyata dia juga humoris. Aku senang sekali. Bahagiaaaaa rasanya...! Lebay nggak? Hahaha... Aku juga jadi tahu lebih banyak tentang dia. Ayahnya dosen, ibunya pegawai di Pemda. Punya kakak dua orang cewek, dan satu adik cowok yang masih kecil. Zodiac-nya Cancer, ukuran sepatunya 42, ukuran bajunya M. Ukuran CD-nya berapa yaa...? Haiyah...! Nggak lah, masa aku mau tanya sampai segitunya sih...?! Biarpun sebenarnya..., pingin tahu juga... Hahaha... Yang pasti hari ini sangat menyenangkan. Biarpun latihannya bikin lelah, tapi nggak mungkin aku nggak semangat! Pasti aku akan terus semangat!!! Karena sekarang aku bisa dekat dengannya...! Thank God! Semoga semuanya akan semakin baik dan menyenangkan!” Sejak itu, aku selalu semangat. Sampai sekarang pun aku tetap semangat. Ya. Meskipun... sekarang aku sudah nggak gabung di band itu lagi... Inilah momen yang akhirnya membuatku kecewa...!
“Rasanya berat buat menerima kenyataan seperti ini! Berita yang sangat buruk buatku. Aku dikeluarkan dari band...! Belum ada sebulan audisi, belum ada sebulan aku gabung. Tapi mereka udah main pecat! Katanya aku nggak bisa main gitar listrik. Oke, memang biasanya aku cuma main gitar akustik. Aku akui aku belum begitu pintar nge-set sound-nya, tapi aku mau belajar dan menurutku aku punya progres! Lagian secara teknis main gitar itu chord sama picking-nya kan sama aja! Nge-set sound kan aku juga terus belajar sambil jalan! Setelah repot-repot audisi dan mutusin aku lolos seleksi, gampang banget mereka bilang: Dimas, kamu nggak cocok main di band ini! Lalu mereka bilang kalo mereka
17
juga udah dapat penggantiku...! That‟s bullshit!!! Sebenarnya aku udah curiga dari kemarin. Waktu aku mau masuk ke ruang studio, aku sempat dengar dari luar. Mereka yang di dalam sedang membicarakan soal anak lain yang mainnya lebih bagus dari aku. Ah, ember!!! Ini namanya nggak fair! Kalo boleh asal comot player kenapa dulu pakai audisi segala? Lagian kalo gitaris baru itu niat buat ngeband, kenapa dulu nggak ikut audisi?!! Dan aku tambah kecewa lagi, karena Erik cuma diam saja. Dia nurut-nurut saja,dan nggak bilang apa-apa waktu aku dipecat. Aku dibiarkan keluar studio begitu saja setelah permintaan maaf basa-basi dari mereka. Aku juga nggak minta harus ada drama purapura ada yang mencegah aku pergi atau gimana, tapi... Huhhh... Harusnya mereka nggak melakukan seenak jidat mereka! Tapi okelah, aku terima. Aku nggak bisa ngeband lagi sama Erik, nggak apa-apa... Kami sudah saling kenal. Biarpun hari ini ada satu hal yang sangat buruk, tapi itu bukan alasan bagiku buat musuhan sama dia. Aku memang kecewa, tapi aku bukan pendendam. Goodluck aja lah buat mereka...” Begitulah. Kecewa, tapi itu tak mengakhiri perasaanku padanya. Lagian akhirnya aku juga faham, Erik sendiri juga anggota baru di band itu jadi mungkin dia nggak bisa berbuat banyak buat membelaku. Aku bisa memakluminya. Dan lama-lama aku juga sadar diri, bahwa alasanku gabung di band itu memang karena ingin dekat sama Erik. Jadi, mungkin memang layak kalau aku dianggap nggak punya dedikasi yang sungguh-sungguh buat band itu. Ya, aku akui saja... Aku masih tetap baik dengan Erik. Aku selalu „say hi‟ tiap kali berpapasan dengannya, dan dia selalu membalas dengan baikbaik juga. Kadang kami juga ngobrol bareng kalau pas ketemu di kantin. Aku masih selalu melongok halaman FB-nya. Kalau dia lagi bete atau ada masalah, aku selalu kasih semangat. Yaaahhh, meskipun kadang harus berakhir dengan tombol „delete‟. Tapi itu artinya, paling tidak dia udah baca tulisanku. Dia mungkin menghapusnya karena orang lain yang usil, tapi pasti dia tahu kalau aku... peduli dengannya, dan aku selalu ingin dia baik-baik saja...
18
Aku memang belum bisa berterus-terang. Ibarat timbangan, resiko terburuk masih jadi sisi yang lebih berat dibanding harapan-harapan yang indah di pikiranku. Aku cuma bisa memberi sinyal perhatian padanya... Sayangnya, selalu saja muncul orang-orang yang suka ikut campur, nyampah! Padahal aku selalu berusaha memberi perhatian yang wajar. Yahhh, walapun sering... Tapi apanya sih yang berlebihan kalau aku menyarankan Erik mengkonsumsi pisang buat jaga stamina? Apanya yang berlebihan kalau aku menyemangati dia saat ikut ujian susulan??? Aku nggak bisa menyangkal bahwa aku merasa peduli dengannya, tentunya bukan supaya orang lain mengolok-olok kami...! Sayangnya, itulah yang terjadi! Erik jadi sering kesal sama aku gara-gara komentar-komentar miring itu...! Kalau begitu, apakah berarti Erik sendiri sebenarnya juga mulai menebak arti sinyalku? Mungkin. Tapi dia nggak ngasih jawaban apa-apa selain kata „nevermind‟, lalu log out dari Facebook tanpa permisi. Seolah dia ingin menghindar dariku...! Hmmhhh... Ya sudah lah. Kalau dia memang kesal, itu hak dia. Tapi aku juga berhak untuk tetap berharap, karena dia belum jadi milik siapa-siapa...! Memaksa Erik buat menyukaiku? Nggak juga. Berharap jadi boyfriend? Mungkin memang terlalu muluk, tapi siapa tahu...? Segala kemungkinan masih terbuka...! Kita harus berusaha, kalau tidak ya nggak bakal tahu apa yang layak kita dapatkan! Mungkin aku memang perlu lebih bersabar. Tapi yang pasti… Belum saatnya untuk menyerah...!
19
Akhir Sebuah Semester
Pagi ini sekolah benar-benar ramai! Nggak cuma oleh anak-anak yang berseragam sekolah, tapi juga rombongan orang tua yang harus mengambil raport anak-anak mereka. Ya, hari ini adalah hari pengambilan raport. Emperan ruang kelas penuh dengan murid-murid yang sedang menunggu orang tua mereka selesai mengambil raport. Ada wajah yang tenang-tenang saja, tapi tentu saja sebagian besar berwajah tegang! Soalnya ini nggak cuma mengambil raport, tapi juga pengumuman kenaikan kelas! Kulihat Mama baru keluar dari ruang kelasku sambil memegang raportku. Jantungku deg-degan! “Gimana, Ma, raportku?” dengan harap-harap cemas aku langsung menanyai Mama. Wajah Mama rada angker... Aduhhh...! Pertanda buruk...?! “Nih, jeblok!” tukas Mama sambil menimpukkan raport ke pipiku. “Haaa?!!” aku kaget ternganga. Langsung kubuka raportku, kulihat nilai-nilaiku. “Iya sih, Matematika sama Fisika jeblok... Tapi kan yang lain bagus!” seruku. adalah...
Hoohhhh... Syukurlah aku masih bisa lega! Karena intinya “Yang penting naik kelas!” seruku girang.
“Tapi kelas dua dapat jatah kelas IPS tuh!” tukas Mama sambil jalan. “Memang aku sendiri yang ngajuin buat masuk IPS kok! Lagian memangnya kenapa kalo aku masuk IPS? Jangan pukul rata kalo IPS lebih jelek dari IPA dong, Ma!” sanggahku sambil ngikut jalan di samping Mama.
20
“Ihhh, kamu ini! Kan buktinya kamu sendiri tuh, nilaimu jelek gitu!” Mama masih ngedumel. “Tuh, jadi berbelit-belit kan Mama! Yang jelek kan nilai IPA sama Matematika, itu juga nggak sampai merah! Lagian nilai IPA-ku jelek ya biarin! Memang tujuannya bukan mau masuk IPA! Ngapain musti maksa masuk IPA kalo memang nggak mampu? Yang bagus itu masuk sesuai bidangnya, Ma!” balasku panjang, nggak mau kalah. “Hiihhh, pasti gitu tuh, ngebales terus sama Mama! Ya udah, terserah kalo mau jadi anak IPS...!” akhirnya Mama ngalah meski dengan muka cemberut. “Mama mau langsung pulang. Kamu masih mau di sini apa ikut pulang?” “Nanti aja lah. Masih pingin kumpul sama teman-teman. Besok kan udah libur lama, tiga minggu...! Bakal jarang ketemu lagi...” gumamku. “Ya udah. Tapi nggak usah sampai sore pulangnya!” pesan Mama sambil meneruskan langkahnya. “Sippp!” sahutku mantap, melepas Mama pulang duluan. Kumpul sama teman-teman? Ahh... biasa aja, nggak semangat-semangat amat. Itu kan cuma alasan basa-basi aja. Kalaupun mau libur tiga minggu kan nanti masih ada piknik bareng ke Bali! Terus nanti di kelas dua kan juga masih bisa melihat temantemanku lagi, meski mungkin beda kelas. Yang susah aku lepas saat ini, bukan momen perpisahan dengan teman-teman sekelas. Tapi tentu saja Erik si cute berambut spike itu! Selama liburan, aku bakal jarang bertemu sosoknya yang cakep dan keren itu! Apalagi dengar-dengar dia pilih masuk ke kelas IPA, jadi kandas semua harapanku buat bisa sekelas sama dia! Kulihat Erik baru saja menerima raport dari ayahnya. Aku amati dari agak jauh. Hingga akhirnya ayahnya pergi juga, dan untung Erik nggak ikut pulang! Ini dia, kesempatanku datang...! Aku lewati berisiknya anak-anak lain yang nongkrong di emperan ruang kelas. Dengan santai kuhampiri Erik yang sedang duduk-duduk di teras depan kelasnya. Kayaknya aku memang lagi mujur, nggak ada anak lain yang duduk di dekat Erik. Jadi, aku harus segera ambil duduk di sebelahnya sebelum keduluan yang lain...!
21
“Dapat sebelahnya.
ranking
nggak?”
sapaku
sambil
duduk
di
Erik menoleh sejenak. Lalu kembali mamalingkan mukanya tanpa ekspresi. “Ranking empat...” jawabnya kalem. “Wah, lumayan dong!” sahutku tetap bersemangat. Baru saja membuka obrolan dengan Erik, ehhh... temantemannya mulai berdatangan...! Bukan teman kayaknya, lebih tepat disebut penggemar-penggemarnya! Cewek-cewek pemujanya! “Hei, Rik...! Raportmu gimana?” sapa si Kriting dengan suara melengking. Annoying! “Ahh, kalau Erik udah pasti bagus lah...! Iya nggak sih? Hahaha...!!!” si Kerempeng menyahut sambil tertawa cempreng. Nggak kalah berisik suaranya! “Aduhhh, liburan bisa ketemu kamu nggak ya...? Kan nanti aku kangeeeennn...!!!” yang satu ini malah pakai pegang-pegang lengannya Erik! Si Menor yang minta digampar sampai jontor! Aku yang udah duluan duduk di sini aja nggak pakai pegang-pegang! Kurang ajar!!! “Pada ikut piknik kan? Nanti juga ketemu lagi lah...” balas Erik dengan murah senyum. Ahhhhh, dasar...!!! Si Erik ini pakai senyum-senyum segala ke mereka! Giliran sama cewek-cewek aja ramah banget nih anak...! Tadi aja waktu aku yang menyapa, dia membalas nggak pakai senyum! Pilih kasih! “Eh, geser dong duduknya! Cowok kok dekat-dekat sama cowok, toleransi dong sama yang cewek...!” si Kriting menggusur dudukku, diikuti teman-teman capernya yang langsung ikut berjubal menyingkirkan aku dari samping Erik. Rrrrrggghhh...!!! Udah berisik, datang belakangan, langsung minta tempat istimewa! Bawa-bawa toleransi lagi?! Bukannya biasanya cewek tuh bawa-bawa emansipasi?! Kalau memang ini jaman emasipasi harusnya cewek juga berani antri! Dasar cewek-cewek nggak konsekuen! Cari enaknya aja! Bikin malu Ibu RA Kartini...! “Hayoo, Dimas mau dekat-dekat lagi nih sama Erik?” tibatiba ada yang lewat sambil menowel daguku...
22
Astaga...!!! Anak yang menowel daguku itu berlalu sambil ketawaketawa! Anjritt...!!! Dia itu anak yang di Facebook punya nickname supernorak, Joni Selalu Bahagia itu! “Mampus sana!!!” umpatku emosi sambil melayangkan tendangan ke pantat anak norak itu. Joni kabur sambil ngakak. Dan... Berikutnya adalah pemandangan yang bikin kutu...! Si Kriting, si Kerempeng dan si Menor memandangiku dengan tatapan aneh. Sedangkan Erik berusaha mengamankan mukanya, seolah nggak ingin yang sedang terjadi!
aku mati melongo kelihatan tahu apa
“Kenapa...?” tanyaku kikuk, dengan seratus persen yakin kalau mukaku sudah jadi ungu menahan malu! “Nggak papa...!” tiga cewek itu kompak jaim. Damn!!! Nggak cuma cewek-cewek reseh itu, tapi anak-anak lainnya yang melihat tingkahku juga kelihatan berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum. Ampuuunnnn...!!! Benar-benar memalukan! Kok aku sial terus sih...?!! Aku duduk lagi tanpa bicara apa-apa. Sedangkan cewekcewek itu segera nyerocos lagi dengan Erik. Erik masih enjoy menanggapi mereka. Cuma aku yang diam dan sendiri di tempat paling pinggir... paling jauh dari Erik. Cuma bisa mendengar obrolan mereka dengan rasa dongkol dan cemburu! Kalau hatiku ini punya muka, pasti sekarang sedang berlinang air mata! Ya Tuhan, aku merasa disia-sia... Melewatkan menit-menit yang bagai neraka bagiku, akhirnya cewek-cewek itu pergi juga setelah puas ngobrol dan cari perhatian di depan Erik. Hufff... Thank God! Sekarang tinggal aku sendiri lagi yang duduk di sebelah Erik. Aku pingin mendekat, tapi aku telanjur malu gara-gara kejadian tadi. Lagian... sekarang aku juga bingung mau ngomong apa... “Akhirnya pikniknya ke Bali ya, Rik?” akhirnya terucaplah kalimat basa-basi yang sangat basi ini. Ya ampun... Semua juga
23
udah pada tahu kalau pikniknya ke Bali! Goblok! “Kok masih nanya?! Kan udah diputuskan dari dulu!” jawaban Erik nggak bikin aku kaget. Dan... Yang kucemaskan jadi kenyataan, Erik jadi ketus! “Hehehe... Iya ya...” gumamku gugup dan rikuh. “Sorry ya, Rik... Kayaknya akhir-akhir ini aku sering bikin kamu bete...” “Ahh, kamunya juga sih... terlalu gitu!” “Ha...? Gitu gimana...?” “Ya kayak kemarin di FB itu lah! Kamu tuh keseringan seperti itu...” “Aku... kan cuma ngasih saran aja, Rik...?” “Tapi kalo keseringan kesannya jadi aneh tahu...?! Kita sekelas enggak, sodara bukan, tetangga juga bukan. Yaahhh... jelas aja lah anak-anak lain pada komentar macam-macam!” Aduhh... Erik beneran jadi kesal sama aku... Mau ngasih perhatian aja kok jadi serba salah seperti ini ya...? “Yaaa, teman kan nggak perlu mikirin kelasnya atau rumahnya...? Lagian kita pernah satu band juga kan?” kilahku berusaha mencari argumen. “Tapi kamu itu memang terlalu perhatian...! Pasti ada alasannya kan, kalo orang terlalu perhatian...?” gumam Erik setengah berbisik. Perhatian. Terlalu perhatian. Memang benar! Skak matt...! Erik menonjokku dengan kata-katanya itu...! Benar, Rik, perhatian itu pasti ada sebab dan tujuannya... Jadi, apa kamu bisa menebaknya...? “Memangnya nggak perhatian sama kamu?”
boleh
ya
kalo
misalnya
aku...
Eiittsss... Astaga!!! Ngomong apa aku barusan...??? „Memangnya aku nggak boleh perhatian sama kamu???‟ Kalimat apa itu tadi?!! My God!!! Aku hampir bilang terus terang kalau aku suka dia...?!! Erik memandangiku dengan mata tajam. “Jangan yang enggak-enggak lah...!” tukasnya sambil buang muka!
24
„Jangan yang enggak-enggak‟, apa itu artinya dia menolakku...??? Atau... dia cuma jengah dengan komentar orangorang...??? Atau... Apa artinya...?!! Ya ampun! Aku makin bingung! Awalnya cuma ingin menyapanya, sekedar ngobrol santai di akhir semester ini... Tapi lagi-lagi semua yang aku lakukan jadi salah! Selalu salah! “Hai, Rik, ayo gih rapat pikniknya mau dimulai...!” salah satu teman Erik tiba-tiba lewat dan mengajaknya. “Sipp, on the way...!” Erik pun langsung menyahut, dan cabut dari sampingku tanpa permisi. Aku cuma bisa memandangi perginya, tanpa mengucap apa-apa... Dia bisa segitu akrabnya dengan teman-temannya yang lain. Bisa enjoy, bahkan bisa jalan sambil berangkulan, dengan tangan di pundaknya... Itu hal yang biasa dalam pergaulan cowok, tapi coba kalau aku yang meletakkan tanganku di pundaknya, apa dia nggak bakal cepat-cepat menepisnya?! Tadi baru diajak ngobrol aja udah tanpa senyum sedikitpun, ketus pula! Sulitnya menjalani perasaan ini! Aku tahu, ini karena apa yang ada di dalam diriku berbeda dengan anak-anak lainnya. Apa sebaiknya aku mengakhiri perasaan ini saja? Huhhh, kalau bisa pasti sudah dari dulu! Melelahkan, tapi aku nggak bisa mengakhirinya! Bagaimana? Apa lagi yang harus kulakukan...? Kulontarkan pandanganku berkeliling. Menatap suasana sekolah di akhir semester ini. Keramaian yang sudah mulai reda, satu per satu teman-temanku mulai pulang, menyisakan suasana sekolahan yang makin lama makin lengang... Inilah, akhir sebuah semester. Akhir sebuah tahun ajaran... Dengan lesu akhirnya aku pun berdiri dari dudukku, mulai mengambil langkah. Yup, saatnya pulang, dan kembali lagi kemari di tahun ajaran baru nanti! Satu tahun, proses yang cukup panjang dari sebuah perasaan. Dan harapan masih saja tersisa setelah melewati berbagai tantangan dan kepenatan... Sekarang? Hmhhh... Just go home!
25
Ada Yang Datang
“Dimas, bangun...!” Ada yang menggugahku. Aku dengar suaranya samarsamar. Aku menggeliat... “Dimas, bangun...!” Suara itu menggugahku lagi. Kurasakan tubuhku juga digoyang-goyangkan. Aku masih malas membuka mata. Tapi... Eittt... Tunggu!!! Kok suaranya cowok...?!! Dan itu bukan suara Papa...! Segera kubuka mataku, dan... “Eeeeehh...?!!!” aku terbelalak saat melihat ada cowok di dekatku, tengkurap di kasurku bertopang bahu menatapku sambil senyum-senyum. My God...! Kaget bukan kepalang...!!! “KAMU...?!!” aku ternganga, segera bangun dan mengucek mataku berkali-kali! “Apaaa?!!” anak di sebelahku itu mencibirkan bibirnya lebar-lebar. Aku masih gugup dan bingung! Cowok di sampingku ini... MIRIP AKU...!!! SUMPAH MIRIP BANGET!!! ASTAGAAAA...!!! “Kenapa? Kaget lihat gue?” cibir anak itu setengah meledekku. “Kamu...? DENIS... ya...?!!” “Ya iya lah, siapa lagi?! Hehehe...” “Lho? Kok... ada di sini...?!”
26
Aku memandanginya seheran melihat kucing terbang ke langit! Dia ikut bangun, duduk menghadapiku masih dengan senyumnya yang seperti nggak tahu dosa itu...! Lalu... Plukkk...! “Woi, kurang ajar! Kenapa nampar aku?!” kuusap pipiku yang habis ditamparnya. Nggak keras sih, tapi kurang ajar amat?!! “Lu pasti mikir ini mimpi kan?” “Kok kamu bisa di sini?!” aku mengulang pertanyaanku lagi dengan masih terheran-heran. “Kenapa nggak? Badut aja bisa ke bulan! Lu nggak suka ya gue pulang...?” “Bukan gitu... Ngagetin tahu?!” seruku. Lalu aku segera bergegas terjun dari tempat tidurku, lari keluar kamar menuruni tangga... “Mamaaaaa.... Denis pulang ya?!!!” teriakku. “E, e, e... Nggak usah pakai teriak-teriak!” tukas Mama yang kutemui di bawah tangga. “Gimana nggak kaget?! Kok nggak ada kabar kalo dia mau pulang...?!!” gerutuku masih terheran-heran. “Ehhhh... Ini Dimas ya? Aduuhhh, udah gede sekarang...!” tiba-tiba seorang perempuan gendut nyamperin aku dari belakang. “Ehh, Tante Hilda...???” aku gelagapan. Perempuan gemuk ini tanteku, Tante Hilda! Ada Om Frans juga, suaminya, senyum-senyum melihatku. “Tante kemari sama Denis kan? Kok nggak ngasih kabar dulu, Tante?!” sambutku setengah bersungut-sungut. “Kejutan, Sayang!” balas Tante Hilda dengan gaya genitnya sambil mencubit pipiku. “Tapi Mama pasti tahu kan? Ini pasti konspirasi nih Tante sama Mama! Aku sengaja nggak dikasih tahu!” aku langsung nuduh sambil menggerutu. “Ih, segitunya sih sama Tante? Kamu nggak suka ketemu Denis?” balas Tante Hilda masih dengan gaya genitnya.
27
“Dimas memang gitu tuh, gayanya aja jaim! Aslinya ya senang lah, ketemu lagi sama Denis! Hihihi...” Mama ikutan komentar sambil cekikikan. “Udah, Mama nggak usah ngeledek!” sahutku cemberut. “Ya terserah Mama dong!” cibir Mama. Asem! Kayaknya aku memang sengaja dikerjain sama mereka! “Pokoknya, sekarang kamu musti damai sama Denis ya! Tuh barang-barangnya Denis, dibantuin tuh! Angkat ke kamarmu!” tukas Mama menyuruhku. “Hah? Kok ke kamarku, Ma?!” “Eee, memang harusnya dimana?!” “Ya, di mana lah, nggak harus di kamarku kan?!” protesku. “Udah nggak ada kamar lagi, Dimas! Kamu tega nyuruh Denis tidur di gudang?” “Ya nggak di gudang, itu di depan TV kan juga ada kasurnya!” aku bersikeras. “Memangnya kenapa sih kalo Denis tidur di kamarmu? Itu tempat tidurmu tiga orang aja muat! Jangan rewel deh, nggak sopan ada Tante sama Om...!” Mama mulai melotot padaku. “Ya, nggak cocoklah, Ma! Cowok udah gede-gede masa tidur satu kasur...?!” keluhku. “Ini anak aneh deh! Denis itu kan sodara kamu sendiri? Pokoknya Mama nggak mau diprotes lagi. Cepat, Denis dibantuin!” “Yang akur ya, Sayang...” Tante Hilda membungkam protesku dengan cubitannya lagi. Aku nggak bisa berkutik lagi. Kalah oleh kemauan orangorang yang lebih tua ini! Terpaksa nurut...! “Ayo dong, bantuin!” Denis lewat sambil menggaplok pundakku. Terpaksa, aku angkut barang-barang milik Denis ke kamarku. Dua koper yang beratnya, anjrittt...! Isinya batu bata ya?!! Setelah kutaruh koper-koper itu di sudut kamarku, aku
28
duduk di kursi, lalu memandangi Denis yang duduk di tepi tempat tidurku. Dia tersenyum cengar-cengir... “Lu senang nggak sih gue datang?” tanya Denis bak nggak tahu dosa. “Gimana yah...? Kita kan MUSUH...!” balasku sinis. “Wew, segitunya sih lu nganggap gue...?! Itu kan dulu waktu kita masih kecil. Ribut jaman kecil masa dibawa sampai gede sih?” “Tapi tiga tahun kemarin, pas kamu pulang kita juga masih ribut! Aku masih ingat kamu mukul nih hidung sampai berdarah! Untung hidung bagus ini nggak patah!” sungutku kesal. “Itu kan nggak sengaja! Habisnya lu gelitikin sih, gue mukulnya tuh refleks...!” kilah Denis. Aku memandanginya dengan dongkol sekaligus canggung. “Terus, kamu beneran mau tidur satu kasur sama aku...?” tanyaku. “Kenapa nggak? Gue udah jauh-jauh dari Medan ke Solo mau lu suruh tidur di lantai? Sadis amat lu...!” Lalu Denis guling-guling di kasurku, kayaknya puas banget bisa bikin kaget aku pagi ini! Bakal jadi apa nih malam nanti? Damai apa tetap perang, seperti jaman kecil...?! “Mas, masa sih lu nggak ada kangennya dikit aja sama gue?” gumam Denis sambil tengkurap. Aku benar-benar geregetan...! “IYA, AKU KANGEN SAMA KAMU!!! PUASSS...?!!!” teriakku serentak terjun menimpa adik kembarku... Dan... BRAAAKKKKK!!! Kasurku amblas ke lantai...! Dipanku runtuh!
29
Rahasia Saudara Kembar
Aku dan Denis adalah sodara kembar. Kami cuma berdua sebagai anak di keluarga ini, nggak punya kakak atau adik lagi. Aku lahir lebih dulu dari dia. Ada anggapan kalau anak yang lebih tua sebenarnya adalah yang nongol paling akhir, karena sang kakak harus mengalah agar adiknya keluar lebih dulu, begitulah katanya. Tapi ada juga anggapan yang sebaliknya, siapa yang lebih dulu datang ke dunia maka dialah anak yang lebih tua. Dan orang tuaku memilih anggapan yang kedua itu, yang lebih simple. Jadi akulah yang dianggap lebih tua, dan Denis sebagai adik kembarku. Namanya kembar, wajah kami mirip. Tapi tetap ada perbedaannya! Denis punya lesung pipit di pipinya. Hmmmm... Banyak orang yang memuja lesung pipit, beruntungnya si Denis! Tapi di sisi lain, rupanya aku dapat jatah badan yang lebih tinggi. Sedikit. Ya, secara postur aku memang lebih cocok jadi kakaknya. Biarpun selisihnya cuma beberapa senti, tapi tetap bisa terlihat sepintas saja kalau aku lebih tinggi dari Denis. Sejak umur sepuluh tahun, Denis dipisahkan dariku. Saat itu Tante Hilda, adik Mama, sudah menjalani lima tahun masa pernikahan tapi belum dikaruniai anak. Entah siapa yang menganjurkan, yang jelas akhirnya Papa dan Mama memberikan Denis agar diadopsi oleh Tante Hilda dan Om Frans. Kata Mama, ada cara tradisional buat membantu suami-istri yang susah mendapat keturunan. Yaitu dengan „memancing anak‟. Begitulah harapannya, biar Tante Hilda dan Om Frans bisa „terpancing‟ keturunannya setelah mengasuh Denis. Benar atau tidaknya mitos itu, terbukti akhirnya Tante Hilda bisa mengandung! Sekarang anaknya sudah berumur satu tahun. Dan katanya sekarang dia juga sudah hamil lagi! Aku jadi mikir, si Denis sakti sekali ya...?!
30
Nggak tiap tahun Denis diajak pulang ke Solo. Yahhh, jarak dari Medan ke Solo kan jauh banget! Sejak tinggal di Medan selama tujuh tahun, ini ketiga kalinya Denis diajak pulang ke Solo. Kepulangan sebelumnya sudah tiga tahun yang lalu. Terakhir ketemu masih sama-sama imut, sekarang sama-sama sudah gede dan wajah kami tetap mirip satu sama lain! Sebelumnya juga nggak ada kabar kalau dia bakal pulang, tiba-tiba pagi tadi sudah senyumsenyum tiduran di tempat tidurku! Jadi gimana aku nggak kaget coba?! Asal tahu saja, dulu waktu masih kecil kami sering berantem. Hampir tiap hari malah! Entah gara-gara rebutan mainan atau rebutan makanan. Yaahhh, biasa anak kecil. Apalagi anak lakilaki! Jadi kalau soal kangen sih, memang ada kangennya... Tapi yang paling jelas perasaanku saat ini adalah... AKU PANIK !!! Aku cowok udah gede! Aku punya privacy! Denis tidur di kamarku, itu tanda bahaya! Gimana kalau dia nanti ngubek-ubek isi laptopku dan tahu tontonan pribadiku di sana...?!! AAAAHHHH...!!! Kenapa aku masih nyantai-nyantai aja sih...?!!! Cepat, cepat, cepat...! Pindahkan semua file rahasia! Kutancapkan flashdisk-ku ke laptop, dan sejurus dua jurus kemudian kupindah semua file rahasiaku dari laptop ke flashdisk. Sedot data...! Tapi, tunggu, tunggu! Nggak perlu semua file. Sisakan satu file, film Miyabi! Versi yang soft aja, biar kelihatan „normal‟ tapi sekaligus tetap jaga image! Sekalian bikin jebakan buat ngerjain dia! Nggak tahu si Denis udah ngerti soal gituan apa nggak, tapi kalau sampai belum ngerti, kebangetan! Hihihi... Sippp! Pengamanan rahasia sudah selesai. Semua file sudah kuatur. Tapi aku akan tetap waspada...! Denis, kita memang sodara kembar. Tapi siapa tahu kamu juga masih jadi musuh kembarku...! Aku nggak akan terkecoh sama gayamu yang sok polos dan lugu itu! Kita lihat saja nanti!
31
Obrolan Di Meja Makan
Sebenarnya aku agak malas dengan acara makan bersama keluarga! Soalnya memang nggak ada tradisi seperti itu di rumahku, jadi rasanya aneh aja. Tapi karena Tante dan Om sekeluarga datang kemari, bersama Denis pula, akhirnya diadakan juga acara makan malam keluarga ini. Hmmm... Untung saja menunya enak. Kalau nggak, sudah pasti aku bakal bengong disiksa oleh suasana ngobrol orang-orang tua di meja makan ini! Lumayan, ada daging asap dan sup jamur kesukaanku. Aku bisa menemukan keasyikanku sendiri makan menu favoritku, tanpa harus mempedulikan obrolan Mama dan Tante yang udah kayak tetangga yang pada ngerumpi! Papa dan Om lebih banyak diam. Denis juga nggak banyak omong. Nino, sepupuku yang masih balita, malah belum bisa ngomong! Haha... Kalau dipikir-pikir ini memang konyol! Nggak ada interaksi yang nyambung selain antara Mama sama Tante saja, pastinya memang cuma mereka berdualah yang pintar ngerumpi! “Dimas makan yang banyak dong...! Biar isi dikit lah badan kamu!” akhirnya Om Frans mulai cari bahan sendiri buat ngomong sama aku. “Makannya susah si Dimas. Seringnya sih aku kasih duit aja biar cari sendiri yang dia suka...! Udah capek mikirin menu buat dia...!” Mama langsung menyahut saja, padahal Om Frans ngomongnya sama aku. Memang gitu ya, karakter ibu-ibu? “Hmmm... Nggak jauh beda sama si Denis dong?! Susah juga tuh kalo makan...!” Tante Hilda ikut nimbrung. Nah kan? Belum juga aku jawab, yang golongan ibu-ibu udah pada menyahut aja! Satu lagi, kayaknya udah kebiasaan juga ya kalau orang tua pada ngerumpi soal anak, pasti membanding-bandingkan! Paling sebal aku kalau dibanding-bandingkan!
32
“Dimas udah punya pacar belum?” “Belum, Tante...” jawabku datar. “Aaaaa... Sama kayak Denis tuh...!” Tuh kan...! Dibandingkan lagi! Penting nggak sih...? Males banget aku dibandingkan sama Denis! Memang kami kembar, tapi kami tetap orang yang beda! Kalau ada yang beda nggak usah dikomentari, kalau ada yang mirip ya nggak perlu disama-samakan! Lagian biarpun kembar, Denis itu MUSUH...!!! “Tadi katanya dipannya rubuh? Kenapa sampai gitu...?” celetuk Papa. “Dimas-nya yang pecicilan... Pakai loncat-loncat segala, ya rubuh lah...!” gumam Denis. Mulai, mengadu ke Papa! Aku masih ingat kok, dari dulu memang Denis ini sedikit-sedikit ngadu! Bukan karena cengeng, tapi memang dasar mulutnya itu usil! “Udah diperbaiki kok! Cuma ada baut yang lepas aja...” sahutku cuek. “Denis di Medan sana juga usil kok, sama aja kalian...!” ujar Tante Hilda sambil cekikikan. Halah! Belum capek juga ngebandingin?!! “Tante sama Om di Solo sampai berapa lama?” tanyaku, biar mereka nggak terus-terusan ngomongin aku sama Denis. Mogamoga mereka juga nggak lama-lama di sini! “Denis sih liburnya tiga mingguan. Ya sekitar itu lah kirakira...” jawab Tante Hilda. Maakkk...!!! Tiga minggu?!! Berarti sepanjang liburan aku harus menghadapi Denis satu kamar denganku?!! Bakal hancur liburanku, direcoki sama dia! Aduhhh, langsung lemas rasanya...! Aku lirik si Denis, dia juga sedang melirikku sambil cengarcengir. Asem!!! “Terus gimana tuh kateringnya kalo ditinggal?” Papa nimbrung. “Sudah diatur lah! Jadi ya selama di Solo otomatis nggak terima customer dulu. Kita kan kemari udah direncanain!” jawab Tante Hilda sambil menyuapi Nino, anak balitanya yang berumur setahun.
33
Tante Hilda dan Om Frans menjadi pengusaha katering di Medan sana. Katanya sih sukses! “Eh, si Dimas kan liburan ini ada acara piknik sekolah ke Bali. Denis sekalian aja ikut...! Biar bisa ikut senang-senang di sana!” Mama mencetuskan ide. “Wahhh...? semangat.
Ke
Bali?
Mau,
mau...!”
Denis
langsung
Aduhhhh...!!! Tambah rusaaaakkkk!!! Hancur total liburanku!!! Mama kok ngasih ide begitu segala sih?! Masa aku mau senang-senang ke Bali harus diuntit sama Denis juga...?!! For God‟s sake...! Jelas aja Denis mau...! PARAAAHHHH...!!! “Dimas, nanti tolong bilang ke panitianya ya, ada yang mau ngikut lagi! Nanti iurannya Mama kasih...!” Mama langsung memberi perintah. “Ya, nasibku...!
Ma...”
jawabku
tertunduk
lemas.
Malangnya
Benar nih, liburan yang semula aku bayangkan bakal asyik ada piknik ke Bali, tapi nggak tahunya...??? Jadi ingat tadi pagi Tante Hilda bilang, “Kejutan...!” Ini bukan kejutan! Ini BENCANAAAAA...!!!
34
Lagu Untukku…
“Rik, bisnya msh ada t4 duduk gak?” Kukirim SMS-ku ke Erik. Menanyakan tempat duduk buat peserta piknik. Yup, Erik kan termasuk panitianya! Kutunggu balasannya sambil tiduran di kamarku. Tapi kenapa nggak dibalas-balas ya? Udah hampir setengah jam...! Kukirim lagi SMS-ku yang kedua kalinya, pesan yang isinya sama. Lalu menunggu lagi. Sampai hampir saja ketiduran...! HP-ku akhirnya berbunyi, Erik membalas juga!
“Udh penuh lah, tinggal brngkt! Gi lthn band nih, jng smsan dulu ya!” Tuinggg...! Ketus lagi jawabannya...?!! Padahal aku nanya serius...? Si Denis pingin ikut piknik ke Bali, makanya aku nanya kursi busnya...! Kalau udah full ya udah, jawabnya ngapain ketus gitu ya? Kok jadi sensi banget gini sih si Erik? Ah, capek mikirin sikapnya! Berita buruk buat si Denis. Tapi ya biarin! Malah jadi berita gembira buat aku! Berarti aku tetap akan piknik ke Bali tanpa dia! Hahaha... Aku nggak bisa membayangkan respon teman-temanku kalau Denis sampai beneran ikut. Bisa jadi bahan olok-olokan, karena ada cowok kembar dadakan ikut acara piknik sekolah...! Jangan sampai itu terjadi!!! Hmmmhhh... Kayaknya mending tidur aja sekarang. Gulingku, di mana kau? Sini aku peluk, aku mau bobok... “Ini gitar lu, Mas?” tiba-tiba suara Denis terdengar masuk ke kamar. Aku menoleh, dia sedang menenteng gitarku. “Ada berita buruk buat kamu nih!” aku langsung nggak pakai basa-basi. “Busnya udah penuh, nggak bisa nambah penumpang lagi!”
35
“Jiahh...! Nggak bisa ikut dong gue?” tampang Denis langsung kecewa. “Nyusul aja naik bus sendiri...!” sahutku cuek sambil memejamkan mata lagi, memeluk gulingku erat-erat. “Huh, nggak ilang juga jahat lu ke gue...?!” sungut Denis. Rasain! Hihihi... Gara-gara Denis juga sih, aku musti nanyain bus, akhirnya aku jadi didamprat lagi sama Erik! Sekarang aku puas bisa ngasih berita buruk ke Denis! Kurasakan gerakan kasurku. Rupanya Denis ikut rebahan di dekatku. Aku jadi agak deg-degan... Malam ini aku mulai tidur sama dia! Sodara kembarku! Musuh besarku sejak kecil! Huhhh... Awas kalau dia sampai berani usil, bakal kulempar dia! “Lu lagi bete ya, Mas? Kok jelek amat tingkah lu...?!” “Memang. Bete sama kamu...!” jawabku cuek. “Huuu... Dosa apa ya gue...? Lu baru datang bulan, Mas, sampe bete ke orang tanpa alasan gitu...?” “Eh! Bilang apa?!!” Bukkk!!! Langsung kusambit Denis pakai guling! “Habisnya kenapa sih?! Gue udah datang jauh-jauh malah dijahatin...?! Lu tuh juga nyebelin tahu nggak?!” balas Denis setengah ngambeg. Aku balik tidur lagi. Huhhh...! Aku nggak mau tambah capek menghadapi Denis! Mikirin Erik yang pedes, menghadapi Denis yang sepet...! Aku mau istirahat!!! Aku sudah memejamkan mata lagi. Tapi, aku nggak bisa menampik pendengaranku. Denis sedang memetik-metik gitar di sampingku. “Biar nggak bete, gue nyanyiin lagu nih...” gumam Denis. Lalu... “Nina bobok, oh nina bobok...” ASTAGA...!!! “Diam nggak?! Berisik!” menyuruh dia diam. Emosi lagi!
aku
langsung
melek
lagi,
Denis malah cengar-cengir. “Ya udah, minta lagu apa biar lu seneng?” dia malah nantang sambil mukanya dibikin sok imut.
36
Kok bisa sih aku punya adik macam dia...?!! “Sini gitarnya!” aku langsung merebut gitarku. Lalu kutaruh di sebelahku, menjauhkannya dari Denis! Aku balik tidur lagi sambil menaikkan selimutku buat menutupi telinga. Aku nggak mau lihat dan dengar apa-apa lagi!!! Dan akhirnya, perlahan-lahan... Malam pun jadi sunyi. Emmhhh... Entah sudah berapa lama aku tertidur... Sekarang mataku mulai memicing lagi karena kupingku menangkap bunyi sesuatu di dekatku. Sesuatu yang bernyanyi di sampingku. Aku masih mendekap gulingku tanpa menoleh, tapi rasanya aku bisa menduganya... Kulihat gitarku sudah nggak ada lagi di sebelahku. Suara itu adalah petikan gitarku, dan... Denis yang sedang menyanyi...! Dan... kali ini yang menyita perhatianku adalah lagu itu... Aku nggak asing dengan lagu itu! Aku ingat, itu lagu yang dipopulerkan Joan Baez...
“Donna, Donna, Donna, Donna...” Aku ingat, itu lagu yang dulu sering dinyanyikan oleh Papa. Waktu kami kecil, selesai mendongeng kalau kami masih susah tidur maka Papa akan menyanyi buat menidurkan kami. Yang sering dinyanyikan Papa, salah satunya adalah lagu itu... Refrein yang repetitif dan meninabobokan... Aku menggeliat. Ketika lagu itu selesai, aku baru menoleh ke samping. Denis sedang duduk bersandar bantal di sebelahku. Gitarku ada di tangannya. “Udah, tidur! Nggak capek apa...? Udah jauh-jauh dari Medan juga...?!” gumamku nggak begitu jelas, bercampur kantuk. “Hehehe... Akhirnya lu ngomong yang bagus juga buat gue...” sahut Denis. “Ehhh...? Aku ngomong apa barusan...?” aku langsung bertanya-tanya, kikuk.
37
“Apa yaa...? Intinya, lu tuh akhirnya punya perhatian juga ke gue...!” balas Denis sambil tersenyum nyengir. “Perhatian apaan?! Berisik tahu, nyanyi gitaran dekat orang lagi tidur gini! Ganggu...!” aku langsung mulai mengomel. “Gue kan nyanyinya pelan-pelan? Tadi lu bilang, „apa gue nggak capek, udah jauh-jauh dari Medan?‟, berarti kan lu perhatian sama gue!” Denis masih membalas dengan nada ge‟er. Kampret! Apa benar begitu ya?! Pasti Denis jadi gede kepala nih! Tapi tadi memang spontan begitu saja aku ngomongnya... Spontan, berarti... nggak dibuat-buat...? “Lu nggak ingat sama lagu tadi, Mas?” lontar Denis kemudian. Lagu itu? Ya, aku ingat, tapi... kenapa sepertinya Denis sengaja memancing nostalgia jaman kami kecil ya? Apa maksudnya? “Lagu apaan tuh?!” aku masih pura-pura jutek. “Tadi kan lagu kesukaan lu dulu, dulu Papa yang sering nyanyiin kalo kita mau tidur...” gumam Denis sambil memetik-metik pelan gitar di tangannya. “Kok kamu malah ingat? Jadi yang perhatian aku apa kamu...?!” kelitku jutek. “Hehehe... Ya kita berdua!” cetus Denis sambil ketawa. “Dulu kita memang sering berantem, Mas. Tapi itu kan waktu kita masih kecil. Sekarang udah gede, harusnya bisa mikir yang lebih dewasa...! Ngapain terus musuhan? Toh dulu kalo kita sering berantem, malamnya tetap tidur satu kasur juga kan? Didongengin cerita yang sama juga kan sama Papa? Ngapain sekarang masih berantem terus...?” Aku tercenung mendengar kata-kata Denis. Sedangkan dia asyik lagi bermain gitar sambil menggumam-gumam pelan. Akhirnya, perlahan aku bangun dari rebahanku, ikut duduk bersandar bantal seperti Denis. Menguap sebentar, mengucek mata, lalu... “Belajar gitar dimana?” sebuah pertanyaan terlontar dariku.
38
“Cuma otodidak. Jauh lah kalo dibandingin sama lu. Lu ikut les gitar kan? Malah katanya lu pernah dapat juara lomba gitar klasik! Papa yang cerita...” urai Denis dengan nada yang sepertinya ingin memujiku. “Gue masih ingat, dulu lu juga pernah ikut lomba nyanyi dan dapat juara juga!” “Haha... Sekarang udah berhenti les. Lomba-lomba aku juga udah nggak pernah ikut lagi. Nggak tahu, rasanya malas aja sekarang...” timpalku berusaha mencairkan diri. “Ngomongngomong, aku sebenarnya heran juga sama kamu... Kamu tinggal di Medan, kok ngomongnya pakai „lu gue‟ gitu sih? Memangnya di Medan ngomongnya gitu ya?” “Lu lupa apa nggak tahu sih? Mama sama Tante kan dulu tinggal di Jakarta! Terus Om Frans itu aslinya juga orang Jakarta, dia tinggal di Medan karena dapat kerjaan di sana! Om kerja di perusahaan kontraktor, Tante bikin usaha katering, sampai sekarang. Kebetulan juga sih di komplek perumahan sana banyak pendatang dari Jakarta juga. Teman-teman main gue di sana juga rata-rata bahasanya campur-campur gini. Jadi ya gue ngikutin bahasa yang dipakai di pergaulan aja. Lama-lama jadi kebiasaan...” cerita Denis panjang lebar. Aku menyimak cerita Denis. Hmmm... Aku sendiri juga pakai bahasa campuran, kalau diajak ngomong pakai bahasa Jawa ya jawab pakai bahasa Jawa. Tapi kebiasaan sih pakai bahasa Indonesia yang santai, yang nggak perlu dibagi-bagi oleh status umur dan status sosial seperti yang terjadi dalam bahasa Jawa! Hahaha... Dan... Yahhh, aku rasa memang percakapan seperti inilah yang selayaknya kulakukan dengan Denis, sodara kembar yang selama ini telah dipisahkan dariku. Bertahun-tahun terpisah, yang selama ini terbayang di pikiranku cuma dirinya yang dulu waktu kami masih kecil. Padahal sekarang kami sama-sama sudah besar... Kenapa aku harus terus berprasangka pada Denis yang mungkin saja sudah jauh berubah...? Seharusnya aku bisa mengenalnya dengan cara pandang yang baru! Denis benar. Betapa aku sudah bersikap kekanakkanakan! Ya, aku ingin mengenal sodara kembarku ini lebih dekat! Lebih banyak...!
39
“Memangnya, kamu masih manggil mereka „tante‟ sama „om‟?” aku mulai mengulik lagi. “Ya nggak juga sih... Kalo manggil langsung, gue manggil mereka „mama‟ sama „ayah‟. Mereka ke gue udah kayak anak sendiri, nggak dibedain biarpun sekarang udah ada Nino. Tapi gue ya nggak mungkin lupa lah Mas, Papa sama Mama yang asli adalah yang ada di sini. Dan gue kangen juga...” Menyimak cerita Denis, akhirnya aku bisa terharu juga... Dia ini kan memang sodaraku, nggak cuma sodara kandung tapi sodara kembar! Benar-benar kekanak-kanakan ya aku tadi, masih aja menganggap dia musuh...?! Harusnya sejak dia nongol di kamarku tadi pagi, aku langsung menyambut dia sebagai sodara yang aku sayang, peluk atau cium sekalian gitu harusnya! Rada lebay biarin lah...! “Memangnya kamu juga pakai „lu gue‟ kalo ngomong sama mereka?” tanyaku makin tertarik sama cerita Denis. “Ya nggak lah! Ngomong sama orang lebih tua ya harus dibedain dengan ngomong sama orang sebaya!” tukas Denis. “Apa malah pakai bahasa Batak?” terkaku asal. “Ya nggak juga, yang penting lebih sopan aja!” “Memangnya kamu bisa bahasa Batak?” “Sedikit-sedikit...” gumam Denis sambil memetik-metik lagi gitar di tangannya. Aku tersenyum manggut-manggut. “Suka musik apa?” tanyaku berganti soal. “Apa aja. Tapi gue baru suka sama... pernah dengar Loreena McKennitt nggak?” “Ummhh... Tahu namanya sih, tapi lagu-lagunya belum. Itu kayaknya New Age kan? Kayaknya Papa punya CD-nya, aku pernah lihat tapi belum pernah dengar!” “Hehehe... Gue tahunya juga dari CD-nya Papa! Waktu gue pulang ke sini sebelumnya dulu, ada CD Papa yang kebawa ke Medan. Sering gue dengerin di sana, bagus-bagus lagunya...” “Kayaknya di sini Papa masih punya beberapa albumnya
40
tuh, masih disimpan semua. Tapi ngerasa aneh nggak sih, anak muda kayak kita sukanya malah musik-musik yang kesannya selera orang tua gitu...?” tanyaku, karena aku sendiri suka musik-musik klasik dan folk. “Buat gue nggak ada istilah „musiknya orang muda‟ atau „musiknya orang tua‟! Yang penting lagunya enak didengar! Nggak pusing-pusing soal alirannya atau apanya...” “Hmmm... Coba mainin lagu apa gitu...!” gumamku, nyuruh Denis nyanyi lagi. Akhirnya...! Hehehe... Padahal tadi aja pakai marah-marah sambil ngatain „berisik‟ segala! “Gue paling suka sama yang ini... Neverending Road, enak lagunya! Tiap dengar lagu ini, entah kenapa bawaannya pasti keingat sama rumah yang ada di sini... Soalnya gue juga ingat, waktu masih di sini dulu Papa sering putar lagu ini...” gumam Denis setengah termenung. Lalu Denis memetik intro lagu itu pelan-pelan. Dentingan itu lalu menjelma seperti ayunan. Lagu yang sepertinya juga pernah kudengar, dan aku terbuai... Perlahan tubuhku mulai rebah lagi, merapatkan kepalaku di atas bantal. Pikiranku meringan, kelopak mataku memberat. Rasa lelah, beban pikiran, mereka tiba-tiba... kemana...? Lenyap. Dan selanjutnya, untuk sekali lagi, yang bisa kurasakan adalah lelap yang damai...
41
Namanya Juga Cowok!
Rumah sepi, cuma ada Mbok Marni yang sedang beresberes di dapur. Mama dan Tante Hilda belanja ke supermarket, diantar Om pakai mobilnya Papa. Nino, sepupuku yang masih balita juga diajak ikut. Sedangkan Papa ke kantor, pakai Vespa tuanya. Aku baru saja selesai sarapan dan sekarang sedang menuju ke kamar. Begitu sampai di kamarku... O my gosh...!!! Baru sadar kamarku berantakan! Hanger yang biasanya cuma digantungi bajuku, sekarang berjubal dengan baju dan celana jeansnya Denis. Sampai bajuku ada yang jatuh, kena gusur! Meja belajarku juga berantakan, gelas dan mangkuk cemilan nggak dikembalikan lagi ke dapur! Selimut di kasur juga nggak dilipat lagi! Ini satu hal lagi yang mulai kuketahui soal adik kembarku, rupanya si Denis ini tipe cowok berantakan...!!! Kurapikan kamarku. Sambil menunggu Denis selesai mandi. Dia pasti bakal aku marahi! “Met pagi...” Denis keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarku, sambil bersiul-siul dengan santainya. Awalnya aku mau langsung marah-marah. Tapi nggak jadi, begitu melihat Denis yang baru selesai mandi cuma pakai celana, tanpa baju... Bikin aku tiba-tiba jadi... ehemm... benar-benar nggak jadi marah! Malah bengong melihati body adikku itu...! Memang rasanya aneh kalau aku mau memuji Denis secara fisik, soalnya dia kembaranku jadi secara nggak langsung berasa memuji diri sendiri alias narsis! Tapi memang harus aku akui, kalau aku suka melihatnya... Aduhhh...!!! Semoga ini bukan tanda kalau aku „sakit‟!
42
Oke, oke, aku nggak bermaksud narsis. Aku nggak bermaksud memuji diriku sendiri, tapi sekedar menilai penampilan sodara kembarku! Badannya yang ramping, padat, nggak kurus meskipun bentuk ototnya juga biasa saja... Sixpack juga nggak! Tapi bersih, fresh, nggak garing... Badannya memang bagus menurut mataku! Pendapat orang lain aku nggak peduli! Meski kurang lebih kami mirip, tapi feel-nya ternyata tetap beda juga kalau dibanding aku memandangi badanku sendiri di cermin...! Ya, aku baru menyadarinya! Dan daging segar di hadapanku ini adalah adikku! Sodara kembarku! Itu yang bikin aku bengong dan bingung! Seandainya dia bukan sodaraku, mungkin nggak ya aku jadi... suka sama dia...??? Aku melipat selimut sambil curi-curi pandang. Bersamaan dengan itu, sebagian dari diriku terus membisiki sisi warasku, “Dimas, Denis itu adikmu...! Dimas, Denis itu adikmu...! Berhenti memandangi seperti itu! Kamu masih waras!” Sedangkan bagian diriku yang lain sibuk mencari alasan, “Ya, aku masih waras...! Aku kan cuma penasaran ada cowok yang mirip aku sedang nggak pakai baju di depanku! Cowok yang badannya bagus...” Ya ampun!!! Aku masih waras kan...?!! Baiklah, aku harus berhenti memandanginya...!!! “Lu ngelihatin gue?” cetus Denis tiba-tiba, dia balas memandangiku...! Mampusss...!!! Ketahuan...!!! “Nggak! Ngapain juga? Ge‟er amat...!” aku langsung ngeles sedikit gelagapan! Denis masih memandangiku dengan rada curiga! Biarpun aku sudah ngeles, tapi kayaknya dia nggak percaya...! “Badanmu kayaknya lebih pendek dari aku ya?” akhirnya aku mengalihkan kecurigaannya, seolah-olah alasanku mengamati dia cuma karena soal tinggi badan! “Dari kecil juga...!” tukas Denis rada cemberut.
43
Kayaknya dia nggak suka aku mengungkit soal tinggi badan, karena jelas aku lebih tinggi sedikit dari dia! Atau... karena masih curiga? Tampangku memang kelihatan munafik kali ya? “Jangan-jangan... kamu belum sunat ya...?” celetukku. “Enak aja! Gue yakin „bentuk‟ gue juga lebih bagus dari punya lu!” ternyata balasan Denis malah lebih nonjok! “Weee... Pede amat? Coba buktiin kalo gitu!” aku langsung nyolot, nantang! Uuppsss…!!! “Najis gue kasih lihat ke lu!” “Berarti nggak ada buktinya dong...?!” “Tapi gue masih ingat, dulu waktu kecil kita kan sering mandi bareng, punya lu kan lebih kecil...!” “Ehh, kurang ajar! Jangan ngebandingin waktu jaman dulu ya! Lihat sendiri sekarang, aku lebih tinggi dari kamu...?!” balasku, nggak terima dengan tuduhan Denis! “Kan nggak jaminan juga punya lu lebih panjang?! Waktu kecil juga lu udah lebih tinggi dari gue, tapi tetap aja punya lu lebih pendek kan?!” sahut Denis enteng, sambil memakai kaosnya. Huhhh... Dia sudah pakai kaos sekarang, nggak ada godaan mata lagi! Tapi malah ganti omongan kami yang „menjurus‟! Ngomongin soal „kepunyaan‟ masing-masing...! “Ya udah, sekarang dibuktiin aja mana yang lebih panjang!” aku nggak tahu apa aku masih sadar ngomong seperti ini... Telanjur tertantang! Mungkin aku memang sudah sinting! “Aneh lu ah! Punya lu mau pendek apa panjang tuh juga bukan urusan gue! Niat amat lu...?!” sungut Denis. “Kamu sendiri tadi yang duluan ngungkit soal panjangpanjangan!” balasku nggak mau kalah, bercampur dongkol karena dituduh punyaku lebih pendek! Meski belum bisa dibuktikan juga sih kalau punyaku lebih panjang... Tapi... untunglah Denis menolak! Soalnya aku baru bisa berpikir sekarang, kalau aku sampai beneran main „panjangpanjangan‟ sama dia, berarti aku sudah EDANNN!!! Syukurlah, kewarasanku akhirnya masih terjaga!!! Lalu Denis dengan cueknya terjun lagi ke kasur. Tiduran...!
44
“Eh, buset, tidur lagi?!!” sentakku. “Tiduran habis mandi seger tahu...!” gumam Denis sambil menggeliat. Denis tiduran dengan enaknya. Guling kesayanganku dipeluk-peluk padahal rambut dia masih basah! Aduh, nasib nih punya kembaran kayak dia...! Tadi malam bisa ngobrol akrab, tapi sekarang kayaknya mulai ada tanda kalau sepertinya takdir kami tetap nggak jauh-jauh dari masa kecil kami: NGGAK AKUR! Ternyata dia masih nyebelin juga! Ahh, aku ingat dengan sesuatu...! Dapat ide buat ngerjain adik kembarku itu...! “Den, tadi malam kamu nggak langsung tidur kan?” aku mulai iseng memancing. “Kenapa?” “Semalam kamu buka apa di laptopku?” “Nggak buka apa-apa. Nyobain internet aja...” “Halahhh... Bohong...! Kamu pikir aku nggak tahu ya? Semalam aku sempat kebangun lagi gara-gara dengar suara dari laptop... Aku memang nggak nengok tapi aku kenal banget sama suaranya! Kamu nonton Miyabi kan?! Hayooo!!!” “Ahhh...! Usil lu...!!!” Denis langsung ngambeg, nggak bisa mengelak! Hahaha... Kena! “Terus habis itu kamu lama amat di kamar mandi?” godaku makin usil. “Lu ngeres ya?! Gue memang biasa mandi malam...!” Denis mau ngeles lagi, tapi mukanya udah telanjur merah. Berarti dugaanku nggak salah! Kena lagi! Hahaha... “Mandinya sih sebentar, „pemanasan‟ sama keramasnya yang lama...! Iya kan?!” timpalku sambil menahan tawa. “Alahh, kayak elu nggak pernah aja?! Ngapain ngurusin gue?!” Denis jadi tambah ngembeg. “Siapa yang ngurusin?! Punya punya kamu sendiri!” kelitku sambil ketawa geli melihat Denis ngambeg. “Dari umur berapa kamu ngerti gituan?”
45
“Bukan urusan lu...!” Denis makin jengkel. “Nggak usah ngeles, hayo ngaku!!!” aku makin jahil sambil ngucel-ucel rambut Denis. “Resehhh...!” kibas Denis sambil marah-marah. Itu bukan alasan buatku berhenti, malah makin jadi ngerjain dia! Kudekap Denis dan mulai menggelitiki dia...! Beginilah caraku mengusili dia sejak kecil! Hahahaha... “Hayoo, kembarku.
ngaku!!!”
desakku
sambil
menggelitiki
adik
“AAAHHHH...! Mamaaaa...! Dimas usil nihhh!!!” Denis meronta-ronta. “Mama nggak ada...!” sahutku tetap nggak berhenti mengusili Denis. Hahaha... Berasa dapat mainan! “Berhenti...! Gue tabok nih!!!” Denis berlagak mengancam. “Tabok aja...! Ayo tabok!” tantangku, tanpa menghiraukan rontanya Denis. Kalau dia belum menangis lemas aku belum puas ngerjain dia! Biarpun dia mau teriak-teriak sampai delapan oktaf, nggak bakal Mama bisa dengar suaranya dari supermarket! Hahaha…! CKREEKK...! Tiba-tiba pintu kamar terbuka... Mama dan Tante Hilda nongol dari luar... O my Ggg...! Mereka udah pulang...?!!! “Lho...? Kok pada pelukan sih...?” ceplos Tante Hilda dengan wajah bengong. Aku baru nyadar kalau aku masih mendekap Denis... AAAHH...!!! Momen yang salahhhh!!! Langsung kulepas dekapanku! “Aku kan udah bilang, si Dimas aja yang gayanya sok musuhan! Tuh rukun juga...!” sahut Mama sambil cekikikan sama Tante. Lalu mereka pergi lagi. “Siapa yang pelukannn...?!!!” protes Denis lantang, tapi Mama dan Tante sudah telanjur menghilang dari muka pintu. Rukun? OH YAAA...?!!!
46
Denis Atau Erik?
Bertengkar karena urusan sepele, saling ledek, saling ejek, begitulah aku sama Denis. Ternyata hubungan seperti itu masih tetap bertahan antara aku dengan dia. Yaahh, dalam hal „nggak akur‟ masih nggak jauh beda dengan jaman kami kecil. Tapi di antara kami, pertengkaran ya cuma sekedar pertengkaran. Malah bersamaan dengan itu kami belajar saling mengerti dan mengenal satu sama lain, dan aku bisa katakan... bahwa sebenarnya kami sangat akrab...! Kedatangannya bukan bencana seserius yang aku pikirkan sebelumnya. Saat itu aku memang masih dipenuhi prasangka, masih dilekati persepsiku tentang betapa nggak akurnya kami sejak kecil. Mungkin aku berpikir sedangkal itu karena terlalu kaget juga dengan kedatangannya yang nggak aku duga. Sekarang? Aku menyimpulkan bahwa prasangkaku memang sangat lebay! Aku rasa aku tetap bisa menikmati masa liburanku ini dengan nyaman meski ada Denis. Malah kalau aku kembali pada satu titik penting soal Denis, kayaknya dia bisa jadi bumbu yang bagus buat masa liburanku ini. Apa lagi kalau bukan menyangkut dirinya yang... ehemmm... gimana yaaa...? Dirinya yang... Aku sampai betah memandanginya waktu dia nggak pakai baju! Itu maksudku! Sudah tiga hari Denis di sini. Beberapa kali tiap pagi atau sore, aku melihat Denis selalu keluar dari kamar mandi tanpa baju. Sudah pasti aku curi-curi pandang! Hahaha... Sekali lagi, bukan berarti aku punya maksud terselubung buat memuji diri sendiri dengan cara memuji adik kembarku. Jujur aja, aku nggak merasa sedang menatap cermin waktu melihat dia. Semirip apapun kami, aku sangat tahu kalau kami berbeda. Kami bukan orang yang sama. Dia hanyalah... sodara kembar yang mulai aku senangi! Mulai kuterima keberadaannya di rumah ini...!
47
Nggak ada maksud buat bernafsu sama dia! Jadi gay udah banyak yang menghujat, apalagi kalau masih ditambah incest! Aku rasa aku cuma suka punya sodara yang enak dipandang di mataku. Sebagai cowok yang suka memperhatikan penampilan, terutama ke sesama cowok, menurutku Denis punya nilai yang bagus. Jujur saja, aku rasa itu yang membantuku untuk cepat menerima kehadirannya di rumah ini, di kamarku, terlepas dari tabiatnya yang berantakan! Sesimpel itu, atau serumit itu, pokoknya begitulah adanya! Soal sosok pujaan, sosok yang kuharapkan dalam hal cinta, bagiku masih tetap... ERIK! Aku masih tetap memberi Erik nilai di atas semua cowok yang aku kenal, terutama dalam hal pesona fisik yang bisa bikin jantungku berdebar dan kadang memancing otakku buat membayangkan hal-hal yang nakal. Yah, mungkin pikiranku itu bisa dianggap „nggak sopan‟. Tapi masa sih ada orang yang jatuh cinta tanpa punya unsur nafsu sedikitpun? Dan aku adalah COWOK, yang secara mental dan naluri lebih berani dibanding cewek buat membayangkan hal-hal yang bisa dikatakan „liar‟. Yaaahhh, seperti wajarnya cowok yang sedang dalam masa pertumbuhan! Hehehe... Aku masih memikirkannya, masih memendam rasa, masih berharap, masih suka membayangkan kira-kira sedang apa dia sekarang, apa yang sedang dia rasakan, apa yang sedang dia pikirkan... Dan aku nggak mendapat jawaban apa-apa, selain bisikan dalam angan-anganku sendiri. Huhhh... Kadang memang makan hati, tapi aku nggak kaget bahwa ternyata yang namanya cinta itu nggak selalu mudah...! Kalau lagi kangen dan ingin tahu kabarnya, jendela yang paling aman buat mengintip adalah... yup, dunia maya! Ya, aku ingin tahu kabarnya hari ini...! Kunyalakan laptopku, dan ONLINE! Log in ke Facebook, lalu segera loncat ke „dinding‟nya Erik...! Dan kabarnya hari ini adalah... APAAAAA...?!! HARI INI ERIK ULANG TAHUNNNN...?!!
48
Kubaca ucapan-ucapan yang mengalir „dinding‟nya! Semuanya ucapan selamat ulang tahun!!!
deras
di
Ya ampun, siaaaal...!!! Aku akan jadi pemberi ucapan di urutan ke berapa nih?!! Ya Tuhannn... Aku ini penggemar sejatinya! Orang yang jatuh cinta sama dia tapi hari ulang tahunnya aku bisa lupa...?!! DAMN...!!! Menyedihkan...!!! Huuhhh... Telanjur...! Aku kecewa dengan diriku sendiri! Tapi aku tetap harus memberi ucapan selamat, biarpun bukan yang pertama...!
“Happy birthday... God bless u with all the good things for your growing age! Be more in all of goodness...!” Kuketik ucapan selamat ulang tahun untuk Erik, sebagus mungkin...! Dengan semangat aku mengirimkannya... Tapi... lho...? Kok nggak bisa terkirim? Kok gini...??? Coba sekali lagi! Dan... My gosh...! Tetap nggak bisa terkirim! Kenapa ini...? Facebook lagi error… atau...??? Nggak, kayaknya bukan Facebook yang error! Barusan ada ucapan selamat yang terkirim lagi dari teman Erik, baru semenit yang lalu! Kenapa kirimanku nggak bisa terkirim...? Oh, ya Tuhan, semoga tidak! Semoga bukan karena aksesku untuk berkomentar diblokir oleh Erik! Masa dia harus sampai segitunya...???!!! Ini makin menyedihkan! Kalau memang aku diblokir, mungkin saja Erik cuma ingin mengantisipasi kejadian yang seperti kemarin itu... Kalau memang begitu, mungkin aku masih bisa mengirim ucapan selamat lewat pesan inbox! Nggak akan ada orang lain yang tahu, jadi Erik harusnya juga nggak perlu kuatir...! Tapi... Dimas, apa kamu cukup begitu saja memberi ucapan? Cuma ucapan? Penggemar dan pecinta, tapi cuma memberi ucapan??? NGGAK NGASIH KADO...?!!
49
Oh, damn!!! Jelas aku harus ngasih kado!!! HARUS!!! Ya, mungkin aku nggak perlu memberi ucapan lewat Facebook...! Tapi mengucapkan langsung ke orangnya sekaligus ngasih kado??? ITU LEBIH MANISSS...!!! Ehhh... Tapi...??? Memangnya aku punya duit...??? Baru ingat, aku kan lagi bokeeeekkkk...!!! Ya Tuhan, kenapa nasib baik selalu nggak berpihak padaku di saat-saat penting seperti ini...?!! Gimana nih sekarang...??!!! “Hayooo...! mengagetkanku.
Buka
apaan
tuh?!!”
tiba-tiba
Denis
“Apaan sih? Ikut campur aja...!!!” tukasku. “Buka Facebook ya? Add punya gue dong...!” “Ogah! Ngapain? Main sana gih, jangan ganggu aku dulu...!” tepisku mengusir Denis. “Main apaan? Nggak ada yang bisa buat main! PS nggak ada, film nggak ada, bingung gue...!” “Main sabun aja sana...!” “Ehhh...! Ngeres banget sih lu bawaannya...?!!” sungut Denis sambil menyikutku. Ujung-ujungnya dia terjun ke kasur. Tidur. Huhhh...! Dasar pemalas...! Ehhh, sebentar...! Aku ada ide...! Hehehe... Aku log out dari Facebook. Mematikan laptop, lalu segera mendekat ke Denis yang sedang tiduran... “Den, pinjam duit dong...” meledak!
Denis langsung berpaling memandangiku. Lalu tawanya
“Ahahahaha...!!! Dasar belagu lu! Sok sengak sama gue...! Sok jutek sama gue! Sekarang mau pinjam duit sama gue...! Ogah!!!” “Please...! Aku lagi bingung nih... Nanti aku pinjemin film...!” aku mulai merengek dan merayu. “Nggak mau...!” adik kembarku itu malah meringkuk menyembunyikan mukanya ke guling.
50
Bikin geregetan nih lama-lama! Sekarang dia jadi sok di depanku, merasa dibutuhkan!!! Kayaknya dia memaksaku buat mengeluarkan jurusku yang ini...! “Ayo dong, pinjemin duit...!!!” aku memeluk Denis eraterat sambil menggelitiki dia. “Aaahhhh...!!! Reseh lu aah...!!! Nggak mau, nggak mau! Lepasin nggak?!!!” Denis meronta sambil marah-marah. “Aku janji nggak akan jahat lagi sama kamu...! Aku nggak akan usil lagi sama kamu...!” “NGGAKKK...!!!” “Pleaseee...!!!” Mengemis dan mengiba, tapi sambil gulat di atas tempat tidur. Lama-lama Denis mulai nggak tahan juga... “Mau buat apa sih?!” tanya Denis berlagak sok galak, seperti emak-emak yang mau ngasih duit ke anaknya tapi pakai berbelit-belit dulu. “Aku mau beli kado buat teman... Aku nggak ada duit...!” jelasku pura-pura memelas. ngomel.
“Masa nggak ada duit sama sekali?!” Denis masih berlagak
“Kan jatah jajanku udah dirapel buat piknik ke Bali... Limapuluh ribu aja deh...” aku menarik-narik kaos Denis. Adikku itu dengan cemberut akhirnya merogoh dompetnya. Asyikkk...! Tuh kan, dapat pinjaman...! Hehehe... “Nih!” sodor Denis, selembar limapuluh ribuan. “Yes! Makasih yaaa...!!!” Hahaha...!!! Aku menang! Merendahkan martabat sebentar, mengemis-ngemis sejenak, sekarang dapat kan duitnya?!! Hehehe... Yang penting aku bisa beli kado buat Erik! Langsung semangat! Ambil jaket, siap-siap cabut beli kado buat cowok pujaanku! “Aku beli kado dulu yaaaa...!” pamitku ke Denis dengan gaya lebay.
51
Selanjutnya, nggak peduli lagi sama Denis! Aku langsung meluncur keluar dari kamarku dengan penuh semangat...! Di ruang tamu aku berpapasan dengan Papa yang habis pulang kantor. Papa lagi duduk-duduk sambil minum kopi. “Ee... Mau kemana? Buru-buru amat?” sapa Papa. “Keluar bentar, Pa...!” “Tadi pagi Papa titipin uang jajan ke Denis. Udah dikasih?” “Hah...?!!” aku terperanjat kaget, langsung menghentikan langkahku. “Uang jajan? Buat aku?” “Iya. Limapuluh ribu, Papa titipin ke Denis. Habisnya tadi kamu masih tidur...!” ujar Papa santai sambil mencicip kopinya. Uang jajanku limapuluh ribu dititipkan ke Denis...?!! Aaarrggghhhh...!!! Kampreetttt!!! Jadi yang dikasih Denis tadi sebenarnya memang duitku?!! Minta dihajar tuh anak!!! Aku langsung balik naik lagi ke kamarku dengan geram!!! Bisa-bisanya aku mengemis duitku sendiri ke Denis yang menyebalkan itu...! mencak.
“Denissss!!! Dasar tukang kibul!!!” teriakku mencak“Weeee... Gue ngibul apaan?!!” Denis mau mengelak.
Ngaku!!!”
“Tadi yang kamu kasih memang duitku dari Papa kan?! “Lho, gue kan nggak bilang itu duit gue...!” “Nggak usah alesan, sini...!!!”
Aku ancang-ancang mau menangkap Denis. Entah mau aku apakan, mungkin ngasih dia smackdown!!! Denis langsung kabur sambil cekikikan, meloloskan diri keluar kamar...! “Awas nanti!!!” kecamku. Sodara kembar sialaaannnn...!!!
52
Aku Memberinya Apel...
Aku mengamati, memilih-milih dengan bingung. Mungkin ada ribuan CD yang harus kuhadapi untuk kupilih salah satu! Buat kado ultah Erik! Harganya itu yang bikin megap-megap, CD original harganya di atas limapuluh ribu semua! Mau beli bajakan, tengsin lahhh...!!! Buat kado spesial masa bajakan?!! Akhirnya aku hanya bisa berkutat di produk diskon, mengobok-obok keranjang yang isinya CD diskonan! Yang aku tahu Erik sukanya lagu-lagu pop yang agak-agak jazzy... Tapi berhubung aku cuma mampu beli produk diskon, kayaknya nggak ada pilihan yang bagus! Yang didiskon kebanyakan album-album lama dan kompilasi yang udah basi! Aku sampai lama mengorek isi keranjang CD diskonan. Akhirnya, dapat juga album yang layak! Ketemu satu albumnya David Foster. Aku tahu, sebagian lagu-lagunya jazzy. Biarpun yang ini sepertinya album lama tapi nggak apa-apalah! Dia kan artis legendaris, biarpun harganya murah tapi kualitasnya pasti tetap berkelas! Cuma tigapuluh sembilan ribu...! Aku segera pergi ke kasir. Sekilas kubaca tulisan yang ada di papan kecil dekat kasir, rupanya di sini juga menyediakan jasa bungkus kado...! “Kalo bungkus kadonya sekalian berapa, Mbak?” aku bertanya ke si Mbak yang menjaga kasir. “Tergantung kertas kado sama variasinya, ada sample-nya kok! Tapi CD-nya dibayar di sini dulu ya, Mas!” sahut si Mbak ramah. “Oh, oke...” gumamku. Kusodorkan CD yang mau kubeli. Sekalian duit limapuluh ribu. “Kalo mau lihat contoh model kadonya, silakan ke meja yang sebelah sana, Mas...!” jelas si Mbak sambil mengulurkan kantong plastik berisi CD yang kubeli, plus duit kembalian.
53
“Oke, makasih...!” sahutku. Lalu aku menuju ke meja yang ditunjuk si Mbak penjaga kasir tadi. Di meja yang kayaknya memang khusus buat melayani kado, aku disambut oleh staff yang lain. Mbak-mbak juga. “Mau dibungkus, Mas, CD-nya?” “Iya, tapi aku lihat harganya dulu bisa nggak, Mbak?” tanyaku, rada cemas jangan-jangan biaya bungkus kadonya mahal! Si Mbak segera menyodorkan sebuah booklet. “Ada yang lima ribu, tujuh ribu, yang paling bagus sepuluh ribu, tapi nunggunya agak lama dikit!” jelas si Mbak. Aku melihati gambar-gambar model bungkusan kado di booklet itu. “Buat ceweknya ya, Mas...?” celetuk si Mbak tiba-tiba. Dia senyum-senyum aneh padaku. “Nggak kok...” jawabku jadi rada rikuh. “Ahhh... Buat ceweknya pasti...!” si Mbak malah ngeyel. Kok genit gitu sih dia?! “Tahu dari mana?” aku mulai meladeni dengan cuek. “Ya tahu lah! Kan CD itu romantis kalo dijadiin kado, Mas! Apalagi David Foster kan kebanyakan love songs!” cerocos si Mbak dengan gaya ganjen. “Bagus deh selera Mas, pasti senang tuh ceweknya...!” Aku diam saja. Si Mbak ini kalau niatnya ramah tamah sama konsumen udah rada kelewatan! Masa harus ungkit-ungkit soal „cewek‟ku segala? Kalau aku bilang sekalian orang yang aku sukai adalah COWOK mungkin bakal keselek dia sama lidahnya sendiri! Nggak bakal nyerocos lagi dia! “Bentuknya yang model ini aja, Mbak. Kertasnya yang warna merah. Yang lima ribuan aja!” akhirnya kutentukan pilihanku. Yang paling murah aja, duit mepet! Warna kertasnya aku pilih yang merah hati, kesannya paling elegan buat harga termurah! “Oke...!” sahut si Mbak, lagi-lagi tersenyum ganjen. Apa aku ge‟er kalau menduga si Mbak ini suka sama aku? Habisnya tingkahnya kegenitan gitu?!
54
Alaahhh, biarin lah! Yang penting aku udah dapat kado buat Erik. Tinggal menunggu CD-nya selesai dibungkus! Sekitar sepuluh menit aku menunggu, si Mbak selesai membungkus CD-ku. “Ini, Mas. Dibayar di sini ya...!” ujar si Mbak sambil menyodorkan kadoku yang sudah jadi. Memang rapi hasilnya! “Makasih, Mbak!” aku mengambil kadoku dan membayar ongkosnya. “Sama-sama!” ucap si Mbak lagi-lagi dengan senyum genit. Kumasukkan CD kado ke dalam kantong jaketku yang besar. Jangankan sekeping CD, dua kotak Baygon bakar juga muat di kantongku! Lalu aku segera beranjak dari hadapan si Mbak yang ganjen itu. Lebih cepat lebih baik, terus terang aku rada risih sama gerak-gerik si Mbak itu. Lagian memang urusan sama dia udah selesai! Aku keluar dari CD Store. Lalu mataku tertuju ke ruko sebelah. Ruko buah. Buah-buahnya bisa dibeli per biji! Tertarik, mungkin aku bisa melihat-lihat sebentar ke sana...! Hmmm... Jadi pingin beli apel. Sebiji dua ribu rupiah. Nggak apa-apa lah... Masih ada sisa duit! Kubeli satu buah apel merah, dan kusimpan di kantong jaketku. Dimakan nanti saja di rumah. Sekarang saatnya menuju ke rumah Erik! Udah mau gelap, aku harus cepat-cepat! Kuhampiri motorku. Starter, lalu tancap! Melintasi jalanan di jantung kota Solo yang mulai temaram. Melaju kencang. Lalu mulai berbelok ke jalanan yang lebih kecil, menuju ke sebuah komplek perumahan di daerah Manahan. Melewati beberapa gang, lalu... Sampailah! Rumah Erik lumayan besar. Gerbangnya nggak ditutup, jadi kumasukkan motorku dan kuparkir di halaman rumah yang berpaving. Halaman rumah ini luas juga, dihiasi taman dengan rumput jepang, beberapa palm hias dan tanaman-tanaman bonsai. Hmmm... Elit dan eksotis! Aku tahu rumahnya ini sudah sejak dulu, kalau nggak salah waktu aku masih satu band dengannya. Waktu itu aku sengaja
55
pulang berbarengan dengannya karena aku ingin tahu rumahnya. Tapi waktu itu aku nggak sempat mampir karena sudah sangat sore. Dan akhirnya, baru sekarang aku memasuki halaman rumahnya ini. Inipun bisa dibilang nekat! Lampu halaman sudah menyala, tapi suasana tetap saja remang-remang agak gelap. Aku melangkah dengan hati-hati mendekati teras... Tiba-tiba... “HYYYAAAA...!!!” aku melonjak kaget! Ada benda hidup bergerak dari balik rimbun tanaman...! TUYULLL! Hampir saja kata itu terlontar dari mulutku...! “Cayi bersuara...
sapa?”
benda
hidup
yang
mengagetkan
itu
Ya ampunnn... Ternyata anak kecil! Pasti adiknya Erik ini...! Habisnya gelap, kepala si bocah juga plonthos gitu...! Dan nggak pakai celana! Gimana nggak kaget...?!! “Aduhh... Bikin kaget aja, Dik! Lagi ngapain sih di situ, nggak pakai celana lagi?!” tanyaku ke bocah itu. “Abis pipis!” Alahhh...! Kebiasaan anak kecil, kalau pipis sesukanya! Hampir saja bikin aku pingsan karena kaget! “Kak Erik ada nggak?” tanyaku. “Kak Eyik pegi...” jawab adik Erik itu, masih cedal suaranya. “Pergi? Kemana?” “Pegi makan-makan, sama teman...” Haahhh?!! dirayakan nih...?!
Makan-makan???
Jangan-jangan
ultahnya
Dan aku nggak diundang...??? “Udah lama ya?” “Udah...” Oooo... Jadi gimana nih? Apa aku harus menunggu Erik pulang...?
56
Tiba-tiba terdengar suara motor masuk. Aku langsung menoleh ke arah gerbang. Ternyata... Erik masuk dengan motornya...! Dia sudah pulang! Begitu memarkir motornya, dia langsung melangkah menuju ke arahku... Ya ampun...! Aku jadi gugup, deg-degan...! “Loh, ada apa, Mas?” Erik langsung menyapaku dengan agak sungkan. “Nggak papa kok, Rik... Cuma main aja...” jawabku dengan senyum gugup. “Ini adikmu ya? Bikin kaget aku tadi... Suruh pakai celana dong!” “Rio masuk gih, pakai celana dong nanti masuk angin!” Erik segera menyuruh adiknya masuk. Bocah kecil itu pun masuk ke rumah. Erik waktu kecil palingan juga seperti itu kali ya? Muka adiknya sangat mirip dengannya. Dan, bisa lihat adik Erik nggak pakai celana... Kok nggak Erik aja sih...?! Hehehe... Upppsss!!! Mulai deh ini kepala, ngeres bawaannya!!! “Udah lama?” tanya Erik. “Belum kok. Baru aja...” jawabku simpul. “Sini masuk!” Erik mengajakku ke teras. Kami duduk di kursi yang ada di teras. Niatku memang udah bulat buat menemui Erik, tapi begitu berhadapan langsung dengannya sekarang aku malah jadi sungkan... Gugup! Dan juga malu...! Mau ngomong apa ya...??? Gimana mulainya...??? “Habis dari mana, Rik?” aku masih berbasa-basi dengan agak canggung. “Dari makan...” jawab Erik singkat, padat, dan memang nggak perlu dijelaskan. Aku sudah tahu kalau dia habis makanmakan. Adiknya yang bilang, anak kecil itu nggak mungkin bohong! “Ohhh... Kamu kan ulang tahun ya...?” sentilku dengan agak segan. Erik cuma diam memandangiku, tersenyum cenggung. Kok dia juga kelihatan sungkan begitu ya? Apa mungkin dia merasa
57
nggak enak sama aku, karena nggak mengundangku untuk ikut makan-makan...? Ahhh...! Kok aku ge‟er amat sih...?!! Bukan hanya soal makan-makan aja kali, soal Facebook kayaknya dia juga memblokir aku! tidak...!
Dia mungkin sedang jengah denganku...! Ahh, tapi semoga
“Aku cuma mau ngucapin selamat ulang tahun aja kok...” akhirnya kuutarakan maksudku dengan malu-malu. “Sama mau ngasih ini...” Aku merogoh kantongku... dan... Ehhhhhh...??? ASTAGAAAA....!!! Keringatku langsung dingin! Tanganku meraba-raba ke dalam kantong tapi nggak menemukan yang kucari...! Kadoku...??? Ya Tuhan dimana kadoku...?!! “Apa?” Erik menatapku dengan penasaran, seperti mulai menangkap ada yang aneh...! Ya aneh!!! Celaka!!! Aku benar-benar nggak menemukan CD kadoku...! Aku sudah meraba ke semua kantongku, nggak ada...! Apa kadoku jatuh di jalan?!! Aduuuhhhhh...!!! Gimana ini...???!!! “Ada apa sih...?” tanya Erik lagi, terlihat makin jengah. “Ehh... Nggak apa-apa...” aku gugup dan berusaha menyembunyikan kepanikanku. “Aku... cuma mau ngasih ini...” Erik pun langsung bengong. Dengan ragu tangannya terulur, menerima sesuatu dari tanganku... Akhirnya, aku memberinya apel... Itulah kadoku untuknya...! “Ini... maksudnya apa?” tanya Erik dengan mimik bingung. Aku tersenyum gugup menelan ludah. “Maksudnya... aku bingung mau ngasih kamu apa… Cuma itu yang aku punya... Jadi aku kasih buat kamu...” jawabku kikuk. Kejujuran dan kekonyolan benar-benar terasa sama...! Perasaanku gugup, gundah, malu, dan hancur...! Ya Tuhan, kenapa aku harus melakukan momen sekonyol ini!!!
58
Erik hanya diam. Menatap apel dariku di genggamannya... Apa ini terasa konyol juga baginya...? Aku malu, ingin menangis rasanya...!!! “Makasih ya...” akhirnya Erik mengucapkan kata itu... Aku mengangguk pelan, menerima apresiasi dari usaha „terbaik‟ku...! Iya... Makasih juga, Rik... Aku nggak menuntut kamu harus tulus mengucapkan „terima kasih‟ itu, karena kamu mau mengucapkannya saja sudah membuat hatiku senang... Meski aku tetap merasa malu...! “Ya udah, aku pulang dulu ya...” ucapku, setelah sadar nggak mungkin terus di sini melanjutkan kebodohan dan kekonyolan yang memalukan ini! “Hemmm...” Erik mengangguk kalem, tanpa basa-basi. “Bye...” pamitku pelan. Aku segera bangkit dan bergegas melangkah menuju motorku. Aku nggak bisa berlama-lama lagi...! Aku nggak berani melihat Erik lagi buat pamitan. Langsung ku-starter motorku, lalu segera melaju secepatnya meninggalkan rumah Erik...! Rasanya pingin menangis sepanjang jalan! Dongkol! Kesal! Malu...! Semua sudah kusiapkan dengan baik, bahkan sampai mengemis-ngemis pinjam duit, mengais-ais keranjang CD diskonan, memilih kertas dan bungkusan kado yang bagus! Tapi kenapa akhirnya aku cuma memberinya sebiji apel?!! Buah yang iseng kubeli seharga dua ribu rupiah?!! Aku benar-benar pemuja yang payahhh...!!! MEMALUKAAAANNNNN...!!! Sampai rumah, aku melewati gerbang dan langsung menyelonong mengarahkan motorku ke garasi. Sampai kebablasan menabrak kotak sampah. Nggak peduli! Aku turun dari motor dan langsung menuju ke kamar...! “Dimas, Mama habis beli fried chicken tuh, ada di dapur...!” ujar Mama yang kulewati di ruang tengah. Aku tetap menggegas langkahku tanpa peduli...!
59
“Itu Kak Dimas pulanggg...” gumam Tante Hilda, ngomong sendiri sama Nino sambil menimang sepupuku yang masih balita itu. Aku juga nggak peduli!!! Kunaiki tangga. Membuka pintu kamar, langsung masuk! Kulempar jaketku, dan... Brukkk! Kujatuhkan diriku, rebah di kasur. Kubenamkan mukaku ke bantal. Kupeluk dan kuremas-remas gulingku! Hati ini kesaaaaaal...!!! Maraaaaaah...!!! Kenapa sih, aku nggak pernah bisa melakukan sesuatu dengan benar buat Erik...?!! Buat orang yang aku sukai...?!! Aku selalu menjadi orang yang bodoh di depannya...! “Ada apa, Mas?” Kudengar Denis masuk kamar dan menanyaiku. Aku diam. Membisu di atas tempat tidurku. Nggak penting aku jelaskan pengalaman memalukanku ke dia!!! “Bete lagi? Ya ampun...” celetuk Denis. Lalu dia duduk di kasurku sambil memetik-metik gitar. Aku semakin membenamkan mukaku ke guling. “Mas, gue habis dengerin CD-nya Iona tadi, yang lu simpan di laci. Lagunya bagus tapi gitarannya susah, ajarin gue dong...!” cerocos Denis seolah nggak peduli perasaan hatiku saat ini seperti apa! Jelas saja dia nggak peduli!!!
“I will give my love an apple, without any core...” Lagi-lagi, kudengar Denis malah menyanyi...! Dan... Ya ampun lagu itu! Aku juga tahu lagu itu! Kenapa dia harus menyanyi lagu itu?!! Kenapa harus ada lirik seperti itu...?!! Tiba-tiba Denis mengintip wajahku... “Dimas, lu nangis...?”
60
A Break at Night
Aku terbangun tengah malam, di tengah waktu yang serba lelap. Terbaring, mata menatap langit-langit. Aku mau balik tidur untuk menghindari jalannya pikiran yang gundah, tapi... mataku susah buat kupejamkan lagi. Hhhh... Benakku langsung mengawang pada kejadian tadi sore. Soal Erik. Kado. Apel... Perasaan yang dipenuhi kegagalan. Mencintai dengan begitu susah payah tapi semuanya gagal! Aku tahu. Semua itu karena aku cowok yang jatuh cinta sama cowok! Pasti ini sebuah lelucon besar bagi banyak orang...! Itu membuatku di satu sisi ingin sembunyi, di sisi yang lain ingin ditemui... Siapa sih yang mau hidup sendiri? Siapa yang mau selamanya memendam perasaan?! Erik... Membayangkan saja susah! Terlalu susah dan muluk membayangkan sosok cowok sesempurna dia bisa suka ke sesama cowok seperti aku ini... Tapi gimana lagi, harus kuapakan perasaan yang telanjur tumbuh ini? Munafik kalau aku bilang nggak pingin jadi pacar Erik...! Tapi aku juga sadar kehidupan nyata itu seperti apa! Belum bilang cinta saja sudah diolok-olok. Memberi perhatian dianggap show off, berlebihan...! Bagaimana aku bisa berterus terang? Andai saja dia itu ramah dan memperlakukanku tanpa membangun jarak, tanpa membangun dinding yang tebal, mungkin beban perasaanku nggak akan seberat ini... Paling tidak, aku nggak selalu jadi serba salah pada setiap hal yang aku lakukan demi dia...! Pengalamanku sore tadi waktu memberinya kado, sekarang membuatku makin merasa kalau aku ini... memang nggak pantas buat dia... Lebih dari itu, aku merasa jadi orang yang layak dia benci. Huhhh...
61
Aku cuma ingin ikut senang saja di momen ulang tahunnya, tapi akhirnya tetap saja aku berujung pada rasa gelisah dan kesepian, yang membangunkanku malam ini... Aku bangun dari rebahan, duduk di atas kasurku dan diam termenung. Sebersit melirik gitarku yang tersandar di tepi dipan. Kuraih, kudekap gitarku. Mulai kupetik pelan-pelan… Denting-denting kecil di tengah Membalut rasa gelisah yang terasa sesak...
heningnya
kamar.
“Lascia ch'io pianga... Mia cruda sorte...” aku mengecap
satu lirik pelan-pelan, hampir tak terdengar...
Tapi kemudian aku segera terdiam lagi. Bukankah... bersikap seperti ini malah akan membuatku tambah sedih...? Tenggelam tambah dalam...? Hmmhhh... Kuletakkan gitarku lagi. Sudahlah...! Jangan dibikin tambah sakit dengan menyanyi lagu sedih! Kutengok ke samping. Memandangi beberapa saat. Setengah berbaring kutopang kepalaku, menghadap seseorang yang sedang tertidur di sampingku... Denis tertidur pulas. Aku mengamati wajahnya yang mirip aku. Tapi, raut wajahnya tampak lebih lepas... Nggak ada garis gelap di bawah matanya, nggak seperti mataku ini yang sering menyembunyikan masalah. Wajahnya kelihatan lebih damai. Bukan karena dia sedang tidur, tapi sepertinya apa yang ada di dalam dirinya memang lebih mengalir dibanding diriku... Mengalir lebih lepas... Denis ini anak yang nggak pernah kapok meski aku sering ketus padanya. Aku lagi bete, dia malah menyanyi... Dan entah kenapa lagunya sering mengena buatku. Seperti tadi, aku terus berbohong kalau aku sedang menangis, lalu dia terus menyanyi seolah tanpa beban. Membuat perasaanku akhirnya ikut meringan dengan sendirinya, dan aku bisa tertidur meninggalkan pikiranku yang kusut... Meski sekarang aku terbangun lagi, tapi ini justru seperti kesempatan bagiku buat bercermin pada sodara kembarku ini. Sodara yang jauh, sejak kecil dipisahkan dari keluarga ini, tapi dia tetap berjalan dengan hidupnya yang... mungkin lebih berat dariku...
62
Kubayangkan saat dia harus hidup terpisah jauh dari orang tua, padahal waktu itu dia masih kecil... Iya, aku sendiri sekarang baru bisa berpikir lebih jernih bahwa aku ini hidup lebih beruntung. Aku hidup dengan Papa dan Mama yang selalu ada di sini. Biarpun mereka sibuk tapi aku nggak pernah kekurangan kasih sayang... Perasaanku ke Erik mungkin memang masalah penting bagiku, tapi harusnya aku juga nggak secengeng ini...! Memang berat dan serba salah, tapi... aku nggak boleh lupa kalau aku masih punya kasih sayang lainnya dari orang-orang yang berharga dalam hidupku. Aku nggak boleh terbenam dengan rasa sedih seperti ini...! Pelan-pelan, kurebahkan wajahku ke sisi Denis. Anak menyebalkan yang ada di dekatku ini, sebenarnya adalah orang yang selalu mencoba mengerti diriku di saat orang lain nggak mau mengerti. Ya, saat satu orang nggak suka padaku, aku harus ingat bahwa ada orang lain yang menyayangiku...! Sudahlah... Lepaskan saja beban hati dan pikiran yang kusut ini. Bebaskan diri dari rasa serba salah itu. Istirahat dan berharap saja, esok pagi semuanya akan kembali baik. Malam, tolong antar aku lagi ke tidur yang lebih damai...
63
Jaim
Cicit suara burung dari pepohonan di luar kamar terdengar riuh. Sesekali kokok ayam menyahut. Udara pagi dingin dan kusut. Aku mendekam dibalik selimut... Denis menggeliat. Aku memisahkan diri. Masih terkantukkantuk berdua, setengah terjaga. “Guling lu kemana sih?” geliat Denis. “Hehh...? Ada nih...” balasku menggumam. “Kok meluk gue...?” “Siapa yang meluk?!” “Tadi malam, terus ini tadi juga masih meluk gue...?” “Nggak kok...!” aku tetap ngeles, sambil mendekap gulingku lebih erat. “Bohong lu. Tadi gue rasa ada yang meluk gue kok, kan cuma kita berdua di sini...” “Dibilangin...! Ini aku meluk gulingku sendiri nih!” “Ahhh... Lu aja yang nggak ngaku...!” “Ngeyel! Ngajak ribut...?!” Bukkk! Kutimpakan gulingku ke muka Denis...! Dan… Bukkk! Denis membalasku. “Aarrghhh…!” aku bangkit menggulat sodara kembarku! Baru bangun langsung berantem di atas kasur! Dan... BRUKKKK...!!! Kami pun terguling, sukses mendarat di ubin berdua...!
64
Jalan-Jalan
Sebenarnya aku malas jalan-jalan sama Denis, kuatir bakal jadi perhatian orang-orang! Aku belum cukup mental buat coming out sebagai cowok kembar! Tapi gara-gara diiming-imingi uang jajan sama Mama, akhirnya berangkat juga. Gimana lagi, dompet udah tipis karena selama liburan jatah jajan harian dipotong! Di atas jalanan kota Solo, aku meluncur dengan motor berboncengan dengan Denis. Rencananya mau nonton film. Berhenti di depan Solo Grand Mall, cuma bisa melongo melihat poster-poster film yang dipajang di depan gedung...! Film yang sedang diputar semuanya film Indonesia, komedi dan horror yang nggak jauh-jauh juga dari tema „selangkangan‟. Jiaahhh!!! Makin basi aja...! Kapan perfilman Indonesia bisa maju kalau temanya cuma gitu-gitu aja?! Nggak inovatif! Bayar duapuluh ribu buat nonton film porno yang serba nanggung nggak jelas gitu? Goblok, kalau aku ya mending beli bokep bajakan sekalian, duapuluh ribu dapat empat! “Filmnya jelek-jelek tuh...!” sungutku sebal. “Terus kemana dong?” lontar Denis, sama-sama bingung. Aku mikir-mikir. Kemana ya enaknya? “Ke Kraton aja yuk...!” tiba-tiba Denis punya ide. “Kraton? Jadul banget...!” tukasku. “Kok jadul sih? Bagus kan tempatnya?!” “Kalo sama pacar cocok, tapi masa kita jalan-jalan ke Kraton? Ngapain...?!” “Emangnya kenapa? Malah pikiran lu tuh yang aneh! Emang cuma orang pacaran aja yang boleh ke Kraton?! Gue pingin lihat Kraton! Ayo lah ke sana aja...!”
65
Denis mendesak. Aku sendiri nggak ada ide lain. Objek wisata di Solo memang kebanyakan objek-objek budaya dan sejarah, kalau nggak Kraton ya museum. “Ya udah. Ke Mangkunegaran aja yah! Kalo Kasunanan ribet jalannya!” akhirnya aku ngalah. “Bedanya apa?” “Bedanya? Kalo Kasunanan jalannya lebih ribet...! Aku nggak tahu pintu masuknya!” jawabku. Penjelasan yang nggak mutu ya? Yang aku tahu daerah Gladag, Kauman, dan Pasar Klewer itu selalu ramai, kadang macet, padahal kalau mau ke Kasunanan lewat situ. Ada jalur lain sih, tapi lupa, ribet ah pokoknya! Mangkunegaran aja! Cuma butuh lima menit dari Solo Grand Mall ke Kraton Mangkunegaran. Kami pun sampai. Dan seperti yang kucemaskan, baru turun dari motor, buka helm, orang-orang langsung memandangi kami. Denis-nya sih cuek, tapi aku yang nggak nyaman! Untung nggak terlalu ramai orangnya! Huh, aku coba buat cuek juga lah! Kraton Mangkunegaran terkenal karena punya bangunan pendapa yang katanya terbesar di Asia Tenggara. Aku duduk di tepi kolam di depan pendapa itu, memandangi dengan takjub bangunan berarsitektur Jawa campuran dengan Klasik itu. Memang megah sih. Sayangnya agak kusam. “Kok ukiran atapnya kayak gaya-gaya Barat gitu ya?” Denis ikut duduk di sampingku sambil berkomentar. “Pengaruh dari Belanda kali,” jawabku. “Bukannya Belanda itu musuhan sama Kraton?” “Nggak tahu ah. Nggak semua juga kali. Itu Pasar Gede di Solo arsiteknya juga orang Belanda, yang makai orang-orang pribumi.” “Menarik nih! Masuk ke dalam yuk, Mas...!” ajak Denis. Aku sendiri juga ikut penasaran. Ingin lihat seperti apa istana raja Jawa ini! Kami melangkah menuju ke Pendapa Mangkunegaran, lebih dekat. Aku lihat ada beberapa pengunjung lainnya yang sepertinya satu rombongan. Aku lihat mereka semua melepas sandal, sepertinya aturannya memang begitu...
66
“Sandalnya dilepas, Den!” bisikku ke Denis. Kami melepas sandal. Selanjutnya mulai jalan-jalan ke dalam pendapa. Aku dan Denis manggut-manggut mencuri dengar seorang Guide yang sedang memberi penjelasan ke rombongan pengunjung. Penjelasan tentang sebuah mitos. Mitos tentang tiang pendapa... “Ada satu mitos tentang tiang pendapa Mangkunegaran ini, bahwa barang siapa bisa melingkarkan kedua tangannya ke tiang ini, dan kedua tangan itu dapat bertemu, maka harapan yang dipanjatkan akan terkabul. Siapa tahu ada yang ingin mencoba? Tapi sekali lagi ini mitos bapak-bapak, ibu-ibu, benar tidaknya tergantung bagaimana kita meyakininya...” bla bla bla, Guide itu menjelaskan ke rombongannya. Mulai, satu persatu anggota rombongan itu mencoba memeluk tiang pendapa itu. Ada yang tangannya bisa saling bertemu, ada yang enggak. Hmmm... Jadi penasaran juga nih...! juga.
“Mas, mau ikut nyoba nggak?” Denis kelihatan penasaran “Pingin sih...!” gumamku bersemangat.
Kami menunggu rombongan itu selesai menjajal tiang itu. Belum mulai aku sudah bingung, nanti kalau aku berhasil, mau memanjatkan harapan apa ya? Ummm... boleh nggak yah misalnya... supaya sikap Erik jadi lebih baik padaku? Atau... Dia membalas cintaku...? Hehehe... Maksa nggak sih? Makanya dicoba dulu! Sukses nggaknya biar takdir yang menentukan! Orang wajib usaha kan? Denis mulai duluan. Perlahan-lahan dia memeluk tiang itu. Dan... “Woiii! Gue nyampai, Mas!” Denis berbinar-binar. “Hahhh? Wahhh...” aku terpukau melihat tangan Denis yang melingkari tiang itu dan ujung kedua tangannya bisa saling bertemu. “Hehehe... Nyampai kan gue...! Coba sekarang lu...!” tantang Denis seraya melepaskan pelukannya.
67
Aku gantian ancang-ancang. Heekkkk... Aku terus berusaha keras!
Kupeluk
tiang
itu...!!
Tapi... “Kok nggak nyampai, Mas?” “Iya nih...?” Aku heran! Coba lagi, lebih keras! Kutekan tubuhku lebih erat lagi supaya tanganku yang melingkari tiang bisa saling bertemu! Ayooo... Terusss...!!! “Hhhhhhhh...” akhirnya kulepaskan tanganku. Aduhhh... Denis aja bisa...?!! Aku yang lebih tinggi, mustinya tanganku juga lebih panjang dari tangan dia?! Tapi tanganku nggak sampai...?!! Kok bisa gitu...?!! “Nggak nyampai...!” cibir Denis. “Nggak tahu nih... Jangan-jangan ini tiang memang bukan sembarang tiang nih...?!” gumamku tercengang-cengang. “Lu banyak dosa kali?” “Sialan! Ngaco...!” tukasku kesal. Emmmhhh... Apa ini tanda kalau semua harapanku tentang Erik itu... mustahil...??? Terlalu muluk? Ini sebuah pertanda...? “Udah, nggak usah dipikirin! Cuma mitos! Gitu aja stress...!” tukas Denis sambil memijit-mijit pundakku. “Kamu tadi... harapan apa yang kamu panjatin?” tanyaku ke Denis. Penasaran. “Nggak ada. Tadi cuma penasaran aja buat meluk!” “Beneran? Kan untung tuh bisa kesampaian, masa nggak manjatin apa gitu...?” kulikku. “Manjatin apa? Manjatin tuh tiang sekalian?! Itu kan cuma mitos, gue sih nggak percaya...!” celetuk Denis. “Tapi aneh nggak sih? Aku kan lebih tinggi dari kamu jadi mustinya tanganku lebih panjang juga, harusnya bisa nyampai juga dong?!” gumamku masih keheranan.
68
“Kan pernah gue bilang, badan lu tinggi nggak jaminan bagian yang lain juga ikut panjang!” “Weii, asem!!! Nyindir nih?!” aku langsung sewot. “Cuma nyuruh lu introspeksi aja!” kelit Denis sambil melet. Sialan! Tapi ada benarnya juga sih yang dia bilang... Kok aku jadi percaya banget sama mitos-mitos gituan ya? Udah ah, nevermind! Jepret-jepret sebentar pakai kamera HP, hingga akhirnya kami selesai melihat-lihat pendapa. Lalu aku mengajak Denis ke museum kereta. Letaknya di seberang pendapa. Ada bangunan memanjang yang terdiri dari beberapa ruang, di situ kami melihatlihat kereta-kereta yang dulu biasa dipakai keluarga bangsawan di Mangkunegaran. Setelah itu, sepertinya sudah nggak ada lagi yang bisa dilihat di tempat ini. “Mau kemana lagi habis ini?” lontarku. “Nggak tahu. Kemana ya? Harusnya ke Kraton yang satunya!” gumam Denis. macet!”
“Nggak usah lah! Males jalan ke sana, ramai, kadang
Lalu sesaat Denis mengerling. “Ehhh, katanya Solo ada bekas benteng juga ya? Ke sana aja kalo gitu!” “Benteng Vastenburg? Ngapain? Udah nggak terawat tempatnya!” timpalku, menolak lagi. “Tapi dulu gue pernah baca di koran, tuh benteng dipakai buat festival musik internasional gitu! Masa Nggak terawat sih?!” Weewww... Festival musik internasional? Pasti maksud Denis itu SIEM Festival, Solo International Ethnic Music Festival! Kok dia tahu juga ya? Dari koran lagi? Anak macam dia gemar baca koran? “Memang sih, tahun 2007 ada SIEM Festival di sana. Hari terakhir aku nonton ada penampilan grup folk dari Belanda, keren banget! Gratis lagi...!” ceritaku, berbinar penuh kesan. “Tapi sayang, habis event itu selesai bentengnya nggak diurusin lagi kayaknya...!”
69
“Memangnya cuma sekali itu dipakai?” “SIEM kedua tahun 2008 diadakan di tempat lain! Mau tahu, diadakan dimana?!” aku malah jadi antusias untuk bercerita tentang festival musik itu. “Dimana?” “Di sini! Di Mangkunegaran!” “Hah? Masa sih?!” Denis ikut antusias! “Iya. Panggungnya di-set di lapangan depan itu!” jelasku sambil menunjuk ke arah lapangan di luar gerbang Kraton. “Sayang juga, aku pingin nonton Balawan tapi malah batal manggung dia! Tapi tetap asyik sih, pada hari penutupan ada performance dari artis Batak... Siapa ya...? Rada lupa namanya...” “Viky Sianipar!” “Iya, itu kayaknya...!” “Gue juga baca ulasannya di koran. Sumpah, kalo ada kesempatan pingin nonton gue konsernya Viky Sianipar! Hmmmm... Jadi di sini ya, tempat event itu...?” gumam Denis sambil berdecak, menyiratkan penuh kesan. “Solo ini sebenarnya kota kecil, tapi kayaknya meriah ya!” “Iya lah! Biar kecil, tapi kreatif! Punya event-event kelas internasional! Selain SIEM masih ada juga Solo Batik Carnival! Malah yang Batik Carnival baru aja diadakan, sehari sebelum kamu tiba di Solo ada karnaval di sepanjang Jalan Slamet Riyadi! Keren pokoknya!” Denis sekarang cemberut. “Lu sengaja bikin gue pingin kan?!” tukasnya. “Memang! Hahaha... Udah ah, habis ini makan aja yuk!” selorohku. Akhirnya sadar kalau perutku lapar! “Makan dimana?” “Ya nanti cari lah di jalan!” ujarku sambil melangkah menuju ke tempat parkir. Akhirnya kami berdua meninggalkan Kraton Mangkunegaran. Kembali duduk di atas motor, meluncur di jalanan kota Solo yang ramai.
70
Tapi... Sesekali, aku masih saja terpikir soal tiang di Kraton tadi. Masih bertanya-tanya, apa harapanku tentang Erik itu memang terlalu muluk? Apa itu memang mustahil buat kuraih, makanya aku nggak „diloloskan‟ saat memeluk tiang itu...? Apa keampuhan tiang itu memang bukan ditujukan untuk... cowok yang suka sesama cowok...??? Ahh! Sudah dibilang itu cuma mitos! MITOS...!!! Jangan dipikirkan lagi!
71
Aku, Denis, dan Erik
Dari Mangkunegaran, menyeberang jalan Slamet Riyadi, bertemu daerah Coyudan. Di situ ada sebuah resto fastfood yang terkenal dengan burgernya! Yup, lagi pingin beefbuger! “Yahh, fastfood?” keluh Denis. “Kenapa?” “Gue pingin nyobain masakan Jawa! Kangen! Yang tradisional gitu lah...!” “Halahh! Sok tradisional segala! Kalo mau tradisional nanti habis ini mampir ke Notosuman, beli Srabi! Tapi sekarang beefburger dulu!” cetusku nggak mau ngalah. Akhirnya Denis menurut juga. Kami antri pesan menu. Lima menit, dapat menunya! Lalu kami mencari tempat duduk di bagian yang agak belakang, yang agak sepi. “Doyan amat sama fastfood? Nggak sehat tahu!” Denis masih ngedumel. “Nggak sehat kalo keseringan! Kalo cuma sekali-sekali nggak papa lah! Lagi pingin, mumpung lagi ada duit...!” gumamku sambil siap-siap mencicip burgerku. Baru asyik melahap burger... “Lho, Mas...?” tiba-tiba ada yang menyapaku. Aku langsung menoleh, dan... ASTAGA...!!! Hampir saja aku keselek! ERIK...?!! Kok dia bisa ada di sini??? Ini kebetulan apa keajaiban...?!! “Eh, halo, Rik...!” sapaku gugup.
72
Erik meletakkan nampannya, satu meja dengan aku dan Denis. Dia pun segera beralih memandangi Denis, dan langsung nggak kalah kaget dariku...! “Lho, kalian... kok mirip ya?! Ini adik... atau kakak nih...?” Erik memandangi kami berdua bergantian, matanya sampai bengong! Mampus aku, akhirnya ketahuan juga punya kembaran...!!! Kok yang tahu juga si Erik sihhhh...???!!! “Temannya Dimas?” tanya Denis ke Erik. “Iya... Kamu?” Erik ganti bertanya dengan agak kikuk. “Sodaranya dia!” jawab Denis cuek sambil mengunyah frenc fries. “Kalian... kembar...?” Erik menebak-nebak, bingung. “Ya gitu deh...” jawab Denis cuek. Denis bisa sesantai itu! Aku...?!! Aku sampai salah tingkah...!!! Apalagi ini di depan Erik! Kemarin aku habis bertingkah konyol ngasih dia kado apel, sekarang malah ketahuan aku makan sama sodara kembarku!!! Haduuhhh...! Gimana yaa...??? Aku masih malu...?!! “Wahhh...! Aku baru tahu nih...! Nggak nyangka...!” Erik manggut-manggut, terus memandangi aku dan Denis bergantian dengan takjub sekaligus keheranan. “Kok aku baru tahu sih...?!” “Udah lah! Nggak usah diceritain, panjang ceritanya...!” kelitku enggan. “Tapi... Exciting...!” decak Erik masih terkagum-kagum. “Asyik ya kayaknya, punya sodara kembar...?” “Asyik apanya? Nyebelin punya sodara kayak dia...!” sahutku sambil nunjuk Denis, mencoba bersikap santai buat mengatasi gugup. “Ahh, nggak percaya! Ini kalian bisa makan-makan berdua? Kayaknya asyik-asyik aja...?” Erik membantahku. Ehhh... Sebentar, sebentar...! Kok kayaknya... Erik jadi ramah gini sama aku...??? Seolah-olah dinding tebal yang biasanya ada di antara kami sekarang lenyap...?!!
73
“Dimas tuh emang jaim orangnya! Dia sebenarnya sayang kok sama gue...!” balas Denis. Asem nih anak...! Berani ngerjain aku di depan Erik! “Hahaha... Masa si Dimas jaim sih? Perasaan kalo dia perhatian suka nunjukin langsung tuh?” sahut Erik sambil melirikku dengan senyum misterius. Aaaahhh!!! Erik bilang apa...?!! Kalau lagi perhatian aku suka nunjukin langsung??? Maksudnya apa nih...?!! Nyindir...???!!! Teganya! Bikin aku tambah malu...! “Kalo sama orang lain iya kali. Tapi kalo sama adek sendiri nggak...!” Denis tambah jahil komentarnya. “Ohh, jadi kamu adiknya...? Oh iya, sampai kenalan...! Aku Erik...” Erik mengulurkan tangannya ke Denis.
lupa
“Denis...” Denis membalas jabatan Erik setelah dia membersihkan tangannya dari bekas frenc fries. “Lu temen sekolahnya Dimas?” “Iya. Beda kelas sih. Tapi akrab kok sama dia!” jawab Erik. Berdebar-debar jantungku...! Barusan Erik bilang apa? Dia akrab sama aku??? Dia mengaku begitu...? Jujur apa basa-basi...?!! Tapi... Aku tetap senang mendengarnya!!! Akhirnya!!! Setelah sekian lama menghadapi sikap juteknya...! “Wew, muka Dimas kok rada merah gitu? Abis kepanasan ya?” tiba-tiba Erik mengomentari wajahku. Denis.
“Kepanasan apaan? Emang muka gue merah juga?” sela “Nggak tuh?” jawab Erik.
“Berarti merahnya bukan karena kepanasan! Tapi karena yang lain...!” sahut Denis. Erik memandangiku dengan tersenyum-senyum. Aaarrhhhh...!!! Aku dikerjain habis-habisan sama mereka berdua...!!! Dasar pada nggak punya perasaan!!! “Burgerku nih, pedes! Kalian jangan pada usil ya! Terutama kamu, ngeledek aku lagi, aku tinggalin di sini...!” ancamku
74
sambil menunjuk Denis. Berusaha stay cool, menyembunyikan rasa maluku...! “Tinggalin aja! Palingan ntar lu diomelin sama Mama! Terus disuruh jemput gue lagi di sini...!” balas Denis cuek. “Nggak papa. Kalo ditinggal sama Dimas, nanti aku yang anterin...!” sahut Erik. AAARRRGGGHHH...!!! Kok Erik malah sekongkol sama Denis?!! Tidaaaaakkkkkk!!! Aku nggak terima!!! Mereka pakai ketawa-ketawa lagi?!! Kok mereka berdua jadi lebih akrab dibanding sama aku sih?!!! Kurang ajar...!!! Tapi... Huhhhh... Kalau dilihat dari segi positipnya, memang sih... kayaknya Erik jadi lebih ramah dan terbuka padaku... Kayaknya dia nggak kesal lagi sama aku. Hmmhhh... Tapi biarpun keadaan ini lebih baik, bukan berarti harus mempermalukan aku seperti ini! Yah, oke deh, nggak apa-apa... Meski Erik lebih pro sama Denis, sebaiknya aku tetap berpikir positif aja! Lagian kapan lagi bisa makan bareng seperti ini...? Mengalir saja, menikmati waktu ini. Dibikin enjoy aja...! “Benar nggak sih, sodara kembar itu ikatan batinnya kuat?” tanya Erik, masih seputar hubunganku sama Denis. “Nggak. Ada sih hal yang bisa buat berbagi, tapi nggak semuanya. Pada intinya sih aku nggak mau mikirin urusan dia! Mending mikirin urusanku sendiri! Biasanya sih aku sama dia malah banyak berantemnya...!” jelasku cuek. “Nggak juga ding, si Dimas tuh sering juga kok manjanya ke gue...!” balas Denis. “Mulai lagi?!” aku mengepalkan tanganku ke Denis. “Hahaha... Kelihatan kok! Dimas tuh pura-pura aja jahat sama kamu...!” komentar Erik. “Ehh, dari tadi belain Denis terus sih?!” protesku ke Erik. “Soalnya lu kebanyakan pura-pura! Bilang jujur aja kenapa, kalo lu sayang sama gue...?!” sahut Denis nyengir main tunjuk.
75
“Kayaknya kamu lebih pintar menebak perasaan Dimas ya?” lontar Erik ke Denis. “Yahhh, kalo perasaan dia sih ditebak...!” sahut Denis sambil menunjukku.
memang
gampang
“Apa mungkin karena sodara kembar, kamu lebih mudah menebak Dimas dibanding kalo misalnya... aku yang nebak dia...? Tapi Dimas-nya bisa nebak kamu juga nggak?” “Nggak tahu deh. Tanyain aja ke Dimas...!” Lalu Erik sama Denis kompak memandangiku... “Ngapain juga sih diurusin?! Nggak selesai-selesai nih makannya...!” kelitku dongkol. Mereka berdua langsung ketawa-ketawa lagi. Dasar konyol!!! “Kamu bisa menebak perasaan Dimas sekarang nggak...?” tiba-tiba Erik menantang Denis untuk... MENEBAK PERASAANKU??? Maksudnya apa lagi ini...?!!! “Kayaknya lagi sebel dia. Ngiri kali, nggak dapat teman. Dari tadi kan kita kompak ngerjain dia...!” celetuk Denis. “Ngiri sama kita?” “Hehehe... Udah ah, jangan dikerjain lagi. Kasihan...! Biar suka badmood, dia tetap kakak gue yang baik!” Lagi-lagi Erik sama Denis ketawa-ketawa. Mereka benarbenar kompak! Kok bisa gitu sih...?! Aku iri...? Mungkin. Aku cemburu...? Bisa jadi kali ya...? Benar-benar sialan mereka berdua! Tapi memang sih, kayaknya Denis bisa menebakku. Mungkin ini juga bukan pertama kalinya. Contohnya, pas aku pulang dari rumah Erik sehabis memberi dia apel, pas aku lagi sedihsedihnya, Denis menyanyi lagu tentang... apel...! Apa dia memang punya intuisi itu ya? Naluri sodara kembar? Tapi kok kayaknya aku nggak punya...? Huhhhh... Sudah lah...! Ribet amat memikirkan itu?! Aku
76
sama Denis sodara, kalau saling perhatian ya wajar! Kalau sering bertengkar ya wajar juga, namanya juga cowok! Tapi kalau soal Erik... Kenapa dia jadi ramah begini...??? Itu yang aku belum mengerti. Dia mau menghampiriku di sini, padahal biasanya dia lebih suka menghindar dariku... Ada apa ya...? Biarpun aku senang, tapi ini tetap mengherankan... Ngobrol, bercanda, mengalir di meja makan ini. Nggak terasa, makanan dan minuman kami sudah nggak bersisa! “Udahan yuk!” ucap Denis. “Habis ini kalian mau kemana lagi?” tanya Erik. “Kata Dimas mau beli srabi,” jawab Denis. “Ke Notosuman,” tambahku. “Ohh... Ya udah. Aku mau langsung pulang!” sahut Erik. Akhirnya kami bertiga beranjak dari meja makan kami. Meninggalkan ruang restaurant. “Ehh, Mas, apel yang kamu kasih itu beli di mana?” sambil jalan tiba-tiba Erik bertanya padaku. Deg...!!! Jantungku kembali berdegup keras! Lagi-lagi apel itu...?!! “Apel apaan?” Denis menyela. Erik.
“Nggak apa-apa. Dimas kemarin ngasih apel...” gumam
Aduhhh...!!! Ampun...! Kok Erik juga terus terang gitu sih ke Denis??? Kalau dia nanti berpikir macam-macam gimana? Aku nggak mau masalahku sama Erik ada yang tahu di keluargaku...! Makin kacau saja...!!! “Ohh...” Denis cuma mengangguk-angguk. Untungnya dia nggak komentar yang aneh-aneh! Semoga dia juga nggak berpikir macam-macam...! Tapi aku jadi cemas juga soal apel itu, kenapa Erik menanyakannya? “Memangnya kenapa, Rik?” tanyaku dengan ragu. “Emm... Enak apelnya. Kecut sama manisnya itu...
77
Biasanya kalo aku sendiri beli nggak sesegar itu...!” cetus Erik. Ahh... Aneh nggak sih dia mengungkit hal itu? Masa sebiji apel kesannya seistimewa itu? Perasaan kalau beli di tempat lain ya sama aja rasanya, kan tinggal pintar-pintar memilihnya...? Tapi, ya baguslah kalau ternyata kesan dia positif... Benarbenar jauh dari yang kusangka selama ini...! Aku jadi malu lagi... Kali ini rasa maluku bukan karena aku merasa telah memberi kado yang salah, tapi karena ternyata Erik menghargai pemberianku...! Mungkin dia memang perlu basa-basi mengatakan rasa apelnya enak... Tapi intinya, mungkin dia mau bilang kalau kado dariku itu bukan pemberian yang salah... Dan dia menghargainya...! Sikap Erik yang sekarang terasa welcome padaku, membuatku berpikir lagi tentang apa yang kulakukan di Pendapa Mangkunegaran tadi... Seandainya tadi aku berhasil memeluk tiang di Mangkunegaran itu, pastinya aku bakal percaya kalau ini adalah tuah dari mitos itu! Tapi, sepertinya itu memang cuma mitos...! Ohhh... Shocked by this blessing! And now, I‟m blushing...! masing...
Di halaman parkir kami menuju pada motor masing“Aku duluan ya!” Erik menstarter motornya lebih dulu. “Oke!” sahut Denis.
Aku cuma tersenyum mengangguk, dan termangu memperhatikan perginya. Sampai sosoknya menghilang, berbelok di perempatan. bertanya.
“Dalam rangka apa lu, ngasih dia apel...?” tiba-tiba Denis “Bukan urusanmu...!” tukasku. Tebak saja pakai naluri sodara kembarmu...! Kalau bisa...!
78
Diary Lagi
Sebuah pengalaman indah hari ini. Rasanya terlalu sia-sia kalau semua kesan yang sudah kudapat itu nggak diabadikan. Ini adalah hal indah yang harus kutulis! Kubuka diary di laptopku. Beberapa saat kemudian, jari-jariku pun mulai bergerak mengetik kata-kata...
“Rasanya seakan nggak bisa habis, segala kesan yang kurasakan tentang cowok satu ini! Erik. Jatuh bangun aku bergelut dengan berbagai macam perasaan sejak aku kenal dia, sejak aku jatuh cinta sama dia. Aku sudah menulis berulang kali tentang berbagai perasaanku selama ini. Rasa senang saat melihat dirinya, rasa gemas dan malu saat mengkhayalkan romantisme dengannya, lalu rasa sedih dan kesal saat dia berusaha menghindariku, sakit hati saat dia mengabaikanku... Aku pernah bercerita tentang itu semua di sini. Tapi hari ini aku punya cerita lain! Hari ini Erik datang menghampiriku. Dia menyapaku. Lalu mulai mengajakku bercerita. Rasanya seperti mimpi! Yaaa, mungkin agak lebay kalau aku hubungkan dengan mimpi... Tapi benar, aku sangat-sangat terkejut dibuatnya! Nggak nyangka, setelah sekian lama dia selalu mengacuhkanku tiba-tiba tadi dia mendekatiku. Di sebuah meja makan, ditemani frenc fries, burger, salad dan cola, kami mengobrol dengan lepas dan hangat, penuh canda dan tawa. Hari apa ini? Kebaikan besar apa yang telah kubuat sampai aku diberkati dengan momen yang begini indah? Aku sangat senang! Dan sangat bahagia...!
79
Cuma… ya sayangnya saja, tadi ada Denis. Maksudku „sayang‟, terus terang aku belum siap ada yang tahu kalau aku punya sodara kembar. Bukannya aku nggak suka punya sodara Denis, jahat sekali kalau aku nggak mengakui dia sebagai sodara! Tapi rasanya ribet aja, selama ini teman-temanku telanjur tahu seorang Dimas tanpa kembaran! Sialnya, yang pertama kali tahu kalau aku punya kembaran adalah Erik! Tanpa bermaksud merendahkan Denis, tapi aku tetap merasa... emhh... yah, begitulah! Saat Erik tahu aku punya sodara kembar Denis, kurasakan betapa ribetnya menghadapi ekspresinya yang ternganga-nganga! Aku nggak peduli kalau Denis bisa cuek, tapi aku bukan Denis! Aku nggak suka jadi objek perhatian! Aku nggak nyaman dipandangi orang-orang dengan tatapan dan senyum aneh mereka, meski itu nggak bermaksud buruk! Tapi ya sudah lah. Itu sudah terjadi. Mau gimana lagi? Dan sebenarnya itu hanya sekedar uneg-uneg aja, memang lebih bijak kalau aku bisa menilai sisi baiknya, bahwa sikap Erik tampaknya sudah mulai berubah terhadapku. Berubah menjadi lebih baik. Sekarang dia terasa sangat ramah dan hangat. Dia juga cepat akrab dengan Denis. Malah berulang kali mereka berdua ngerjain aku! Memang ada rasa agak cemburu juga... Mereka berdua bisa cepat akrab, sedangkan aku butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan keramahan Erik! Tapi itu juga bukan cemburu yang serius. Yahh... Mungkin cuma sedikit rasa kesal! Rasa senang dan bahagia ini juga masih meninggalkan satu teka-teki untukku. Sebelum kami berpisah, Erik sempat menanyakan soal apel yang aku berikan padanya di hari ulang tahunnya. Katanya, apel dariku itu rasanya enak dan segar... Maksudnya apa ya? Aku sendiri ngasih dia apel secara kebetulan, malah saat itu aku menganggapnya keteledoran yang konyol! Apa istimewanya sebuah apel? Siapapun pernah memakannya dan bisa membelinya di mana saja dengan harga yang nggak mahal juga. Apa Erik punya maksud tersirat saat dia mengungkit soal apel itu…? Mungkin nanti akan terjawab juga. Yang pasti, aku harus mensyukuri semua itu bukan? Sekian lama memberi Erik perhatian, susah payah bertahan dari cemoohan, akhirnya dia menghargai perhatianku. Memang aku belum bisa bilang kalau itu artinya dia juga akan membalas
80
perasaan terpendamku. Terlalu dini buat menganggap seperti itu! Yang kudapatkan hari ini cukup dimengerti saja, bahwa akhirnya Erik baik padaku... Sama seperti waktu awal kami berkenalan dulu. Semoga selanjutnya nanti, semuanya akan makin jelas, dan makin baik untuk kami. Pada akhirnya, hari ini aku merasa senang. Bahagia. Thanks, God... Goodnight, my diary. See you later in other stories...!” Kuakhiri ketikanku. Aku membaca ulang tulisan yang baru selesai kuketik di diary-ku. Dan aku tersenyum sendiri. Halaman favoritku di diary ini sepertinya sudah bertambah lagi! Hahaha... Kualihkan pandanganku ke luar jendela, yang dibatasi oleh kaca. Aku bisa melihat langit malam yang terang. Cemerlang dengan taburan bintang-bintang. Ya, bintang-bintang yang selalu berkedip cahayanya, mungil tapi tak pernah padam. Begitulah sebuah harapan, jangan pernah mati untuk percaya bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya... Kulirik Denis yang sudah meringkuk di atas kasur. Bantal dan gulingku juga sudah sejak tadi melambai-lambai padaku. Segera kututup diary-ku, dan juga laptopku, shut-down! Lalu seperti biasa... Hoaahhhmm... Saatnya tidur!
81
Pencuri
Besok aku berangkat piknik. Ke Bali! Siapa yang nggak senang ke Bali?! Siapa yang nggak pingin? Haha... Makanya hari ini aku serba nggak sabar aja bawaannya! Pingin cepat-cepat ganti hari, pingin cepat-cepat berangkat piknik! Agendaku hari ini adalah berbelanja buat bekal piknik besok. Sudah dari tadi aku berputar-putar keliling di supermarket ini. Beli roti, cemilan, minuman kaleng, pasta gigi, sabun cair, de el el...! Yah, perlengkapan dan bekal buat piknik! Baru memilih-milih snack di depan rak, perhatianku tercuri oleh seseorang di sebelahku... “Aduuuhhhh! Ini roti semua...!” celetuk orang itu dengan gaya genit. Seorang cewek tinggi besar berbaju ketat dengan make up menor...! OHHHH... Astaga!!! Seorang waria...!!! Dan dia sekarang... melirik padaku...! Aku langsung menarik pandanganku lagi. Pura-pura fokus dengan belanjaanku. Grogi! “Ihhhh...! Apaan lirik-lirik?!” cetus Waria itu judes. O my God...! Sekarang dia malah mendekatiku! Lalu melongok isi keranjangku... “Beli apa tuh? Kondom ya? Hihihihihi...” Semprul nih orang!!! Aku mengumpat dalam hati...! “Bagian susu di mana sihhh? Dari tadi eike nggak ketemuketemu!” akhirnya Waria itu bertanya padaku dengan gaya ganjennya yang... haduuhhhhh nggak usah dikomentarin lah! “Tanya ke penjaganya, aku juga nggak tahu,” jawabku datar, berusaha cuek.
82
Tapi aku makin grogi dan tetap nggak bisa pura-pura cuek, soalnya Waria ini kayaknya mengikutiku terus! Ke rak ini dia ikut, ke rak itu dia juga ikut...! Kalau aku meliriknya was-was, dia malah tersenyum superlebar seolah malah senang! “Eehhhh...! Ini kok malah di sini?!” tiba-tiba ada satu Waria lagi yang datang... Ampuunnn!!! “Kesasar, Jeng!” seloroh Waria yang sedang mengikutiku dengan nyaring! “Alah sengaja nyasar lu, Cong! Cari lekong aja, dasar gatel! Nggak bisa jaga harga diri lu, Cong!” tukas Waria yang baru datang, yang wajahnya kelihatan galak. “Hihihi... Sirik ya, Jeng? Habisna diana imyut...!” “Yang bener dong kalo cari lekong, diana kan brondong!” sendiri...!
Dua Waria itu akhirnya meninggalkanku sambil ribut
“Aduuuhhh!” seru Waria yang tadi nyamperin aku. Kepleset! Hahahaha… Rasain!!! Makanya pakai high-heels jangan tinggi-tinggi! Haduuhhh... Lega, nggak dikerjai sama mereka! Yah, kota Solo memang bisa dibilang cukup toleran buat komunitas queer. Di daerah Sriwedari ada tempat yang tiap malam jadi tempat nongkrong para waria. Di kafe tertentu bahkan punya jadwal Queer Night! Jadi aku nggak heran kalau di kota ini ada cukup banyak eksistensi orang-orang non-straight. Tapi aku sendiri masih belum berani coming out ke tengah-tengah mereka. Masih harus pikir-pikir, apalagi dengan resiko pergaulan bebas! Kuteliti lagi belanjaanku. Kayaknya udah cukup! Aku melangkah menuju kasir. Syukurlah antrinya ngggak panjang. Cuma menunggu antrian tiga orang. Nggak lama menunggu, giliranku datang juga. Kutaruh keranjangku di meja kasir. Pandanganku sekarang jadi teralih lagi. Kali ini ke si Mas penjaga kasir. Hyuuuuu...! Hahaha... Kadar penyegarnya setara dengan obat tetes mata! Aku mencuri-curi pandang cowok di depanku ini yang kayaknya usianya nggak jauh di atasku. Mungkin sekitar duapuluh tahunan. Wajahnya oval, berkulit sawo matang
83
cerah. Kelihatan kalem dan cool. Dia seolah nggak tahu kalau aku sedang mengamatinya, dia tetap sibuk mendata belanjaanku, memilah-milah dan men-scan dengan cekatan...! “Totalnya tujuhpuluh sembilan ribu empat ratus, Mas!” suara ringannya langsung memecah lamunanku. “Ohh... Iya...!” sahutku dengan agak gugup. Aku merogohrogoh uang di dompetku. Lalu menyerahkannya ke penjaga kasir itu. “Uangnya seratus ribu. Kembaliannya duapuluh ribu enamratus, yang seratus permen ya, Mas... Terima kasih,” ucap penjaga kasir itu sambil menyodorkan uang kembalian plus satu biji permen. Aku mengangguk seraya menerima uang kembalianku plus permen itu, dan juga kantong belanjaanku. Pinginnya masih berdiri di sini, tapi pasti bakal digampar sama antrian di belakangku! Dengan agak berat hati, aku beranjak dari depan kasir. Yaaahhhh... Udah lewat cuci matanya! Nggak apa-apa. Lain kali ke sini lagi! Hehehe... Kubuka permen kembalian dari kasir tadi. Iseng-iseng mengamati bungkus permen yang kupegang, ehh... ada tulisan di bagian belakangnya...! “I SEE YOU...” Huaaaaaaa...!!! Ini kebetulan kaaannn...???!!! Dasar!!! Ini si Mas tadi sengaja mau menyindirku yaaa...?!! Awas kau, Mas...! Lain kali aku akan belanja lagi dan gantian aku yang bayar pakai permen! Aku akan kasih permen yang tulisannya, “I SEE YOU AGAIN...!” Lagian ini permen aneh-aneh juga, pakai tulisan-tulisan kayak gini segala! Hahahaha... Jadi malu dengan diriku sendiri! Aku duduk di motorku dan segera men-starternya. Lalu tanpa menunggu lama aku segera meluncur di jalan. Pulang!
84
Setelah sepuluh menit perjalanan, aku sudah sampai di rumah lagi. Rumahku yang sejuk dan menyenangkan dengan pohon mangga dan belimbing di depannya, dengan halaman berumput jepang berpadu aneka bunga. Teras kecil berkursi kayu dan berhias kentongan lombok warna merah, hmmm... Rumahku yang teduh dan nyaman, yang nggak lama lagi harus kutinggalkan selama piknik di Bali. Meski Bali pasti menyenangkan, tapi suasana rumah ini pasti tetap akan bikin kangen juga! Yup! Sekarang waktunya berkemas-kemas biar besok nggak terburu-buru, tinggal berangkat! Kujinjing plastik belanjaanku, menaiki tangga ke lantai dua. Menuju ke kamarku. Pintu kamar kubuka. Dan... Yang pertama kulihat adalah Denis yang sedang berada di depan laptopku. Tapi... ada sesuatu yang membuatku segera curiga, dan wajah Denis langsung kelihatan gugup saat tahu aku datang...! Tangannya kelihatan grogi berusaha menggerakkan mouse... Deg! Jantungku seperti berderak keras dalam sesaat... Sesaat termangu, lalu aku melangkah dengan ragu, menaruh plastik belanjaanku di dekat pintu. Dan baru kusadari... tanganku mulai gemetar... Seperti menahan kepanikan! Suasana hati seketika berubah. Riang ceria tadi lenyap! Rasa was-was ini tiba-tiba begitu kuat, dan aku benar-benar merasa gentar untuk tahu apa yang sedang terjadi di sini sekarang...! Tapi nggak mungkin aku bersikap seolah nggak melihat apa-apa...! “Kamu buka apa...?” tanyaku pelan dan tegang, seraya menghampiri Denis dengan langkah ragu. Kulihat indikasi layar laptop yang hang... Dan ada satu tampilan yang belum sempat ditutup...! “Kamu baca diary-ku...?” tanyaku dingin. Darahku rasanya seperti membeku seketika...! “Sorry, Mas...” Denis gugup menjawabku. Wajahnya seperti pencuri yang tertangkap basah.
85
Memang. Dia telah mencuri rahasiaku! Aku terpaku menatap layar laptop yang hang. Wajahku meremang. Bibirku gemetar. Rasanya... aku masih sulit mempercayai ini...! Sulit...! “Lancang...!”
lontarku
pelan,
menahan
gemetar
di
mulutku. Kuambil alih laptopku, kumatikan dengan paksa! “Sorry... gue nggak maksud gitu, Mas... Gue nggak sengaja...” ucap Denis lirih, nada takut...! “Nggak sengaja? Jadi kamu mau bilang diary-ku kebuka sendiri terus kamu nggak sengaja baca? Begitu...?” sergahku. Ya Tuhan! Rasanya ubun-ubunku mau meledak ke atas! Bagaimana dia bisa bilang „nggak sengaja‟?!! “Iya, sorry... Gue lihat ada diary di laptop lu... Gue iseng aja pingin baca...” “Kamu tahu passwordnya dari mana...?” “Dari... gue iseng aja... ketik nama lu, ternyata bisa kebuka...” jawab Denis kikuk. OHH!!! DAAAMN!!! Aku punya sodara lancang dan aku sendiri goblok!!! Andai aku tahu akan ada orang yang berani iseng dengan diary-ku aku nggak akan bikin password dengan namaku sendiri!!! Dan... kenapa juga harus Denis?!! Kenapa harus sodara kembarku yang sudah kupercaya...?!! “Jadi kamu masih mau bilang kalo kamu nggak sengaja?! Ternyata salah aku ngasih tempat kamu di kamarku! Dan bodoh banget aku ya... ngasih ijin kamu pakai laptopku...! Anjjj...!!!” hampir sebuah umpatan keluar dari mulutku. Ya Tuhannn, jangann...! Jangan sampai aku mengumpat kata-kata itu...! Rasanya seperti menelan muntahan yang mau keluar, kembali masuk ke dalam perutku! Jangan tanya rasanya...! HARUSNYA SEMUA ORANG TAHU BAGAIMANA RASANYA DITELANJANGI...!!!
86
Mas...”
“Iya, iya... Gue salah. Gue ngelanggar privacy lu... Sorry, “Apa aja yang udah kamu baca...?” “Gue...” Denis tergagu. “Gue tahu... soal elu...”
Kepalaku rasanya seperti mau melayang, menguap dan pecah di langit-langit. Tahu soal aku...? Tahu kalau aku GAY...! Gitu kan maksudnya?!! “Ibaratnya baju, kamu udah merobek-robek yang aku pakai... Puas sekarang...?” ucapku, lagi-lagi menelan muakku. Denis tidak menjawab. Ya, dia cuma bisa membuat semuanya kacau tapi nggak mampu menjawab apa alasannya melakukan semua ini! Menghancurkan perasaanku yang sudah percaya dan menerima dia di sini! “Maafin gue, Mas... Beneran, gue nyesel...” lagi-lagi cuma itu yang dia ucap... Lalu dia beringsut mau pergi... “Tunggu!” aku mencegah Denis. “Nggak usah kamu yang pergi. Aku aja. Kamu pakai aja kamar ini, sekalian semua isinya! Kamu memang pingin tahu semuanya kan? Pakai aja selama kamu di sini, bongkar semua privacy yang aku simpan di sini, semuanya aja! Biar kamu puas, nggak nanggung...!” Aku beranjak dengan kakiku yang lesu, angkat kaki dengan amarahku yang tertahan! Meninggalkan Denis yang telah mengkhianati, mengiris-iris kepercayaanku...! Sekarang biar semua jadi miliknya, toh menelanjangiku pun dia tega! Rahangku mengatup rapat, menahan muaknya rasa yang ingin berteriak! Kurengkuh daun pintu kamarku, rasanya aku ingin membantingnya sekeras mungkin!!! Tapi... tangan yang gemetar ini hanya bisa menepisnya seperti menghalau selembar tirai... Nggak lebih! Kutinggalkan kamarku dalam kemarahan yang tak mampu kuledakkan! Hanya bisa berteriak, dan menangis dalam batin...! KENAPA SAMPAI TERJADI...???!!!
87
Topeng Retak
Semua seperti bencana yang nggak diundang, datang merusak suasana hatiku yang selama ini selalu kupertahankan dalam kenyamanan. Sekarang kenyamanan itu nggak ada lagi... Sudah hancur! Denis sudah baca semua tentang aku, tentang Erik! Dan dia pasti cukup pintar buat menyimpulkan kalau aku ini GAY! Tapi beban pikiran yang terberat adalah, apa aku bisa percaya lagi sama Denis? Sejak kecil dia suka mengadukan apa saja yang kulakukan, ke Papa ataupun Mama... Apalagi ini masalah serius! Ada anak yang gay di keluarga ini! Rahasia yang dicuri dariku terlalu besar! Dan aku nggak mungkin memohon kepada Denis untuk menjaganya, karena bagaimana bisa?!! Dia mencuri dariku dan aku memohon agar dia menjaga apa yang telah dicurinya? Kelancangannya adalah bukti bahwa betapa sulit untuk tetap mempercayainya! Aku sepertinya tinggal menunggu waktu untuk menghadapi kenyataan yang lebih pahit, di mana rahasiaku yang sudah tersobek itu akhirnya diketahui nggak cuma oleh Denis, tapi oleh semua orang di rumah ini! Bukan hal yang nggak mungkin, Papa dan Mama akan menjadi orang berikutnya yang tahu! Ya, rahasia yang tersobek ini akan menganga makin sempurna! Kalau itu benar terjadi, hari-hariku yang nyaman bersama rahasiaku selama ini... apakah masih bisa bertahan...? Hhhhh... Apakah ada orang tua yang bisa menerima begitu saja saat anaknya punya kondisi seperti aku ini...? Adakah orang tua yang senang...? Nggak mungkin! Sejak semula aku sudah was-was dengan datangnya Denis di rumah ini! Tapi sikapnya yang begitu simpatik telah mengecohku untuk melenyapkan semua prasangkaku. Aku menerima dia di
88
rumah ini, di kamarku...! Aku kira rahasia yang kumiliki bisa tetap aman dengan anggapan bahwa Denis bisa dipercaya. Ternyata, diary-ku yang dilengkapi sistem password, nekat dibobol oleh pencuri lancang itu! Aku menyesal pernah bersimpati padanya. Aku menyesal pernah memeluk dia saat aku merasa kesepian... Oooh, dia tak sepolos itu!!! Justru dia memanfaatkan kelengahanku...! Memperdayaiku! Aku ibarat orang yang memakai topeng retak. Aku sedang menunggu topengku pecah dengan sempurna, lalu Papa dan Mama akan tahu anak mereka ini sebenarnya seperti apa. Dan selanjutnya? Entahlah... Mungkin aku memang nggak bisa menyembunyikan rahasia ini selamanya. Tapi jelas bukan sekarang saatnya untuk membuka rahasia ini! Aku masih merasa rapuh... Aku belum siap dengan kemungkinan buruk yang bisa terjadi, sebagaimana yang aku tahu bahwa nggak ada orang tua yang ingin anaknya seperti aku, cowok suka cowok, gay! Mana ada...?!! Kalau mereka mau menerima orang sepertiku ini, aku nggak akan memakai topeng ini demi menepis keresahan mereka, dan memendam keresahanku sendiri dalam hati...! Hhhhh... Dengan semua kekacauan ini, yang aku bisa cuma berharap. Berharap semoga semuanya akan baik-baik saja. Meski harapan itu kedengarannya terlalu lugu... Memangnya apalagi yang aku bisa...? Aku termenung sendiri, berbaring di sofa ruang tengah. Merenungkan semuanya lagi... Ya Tuhan, apa kondisiku ini memang salah? Aku bingung, semua pilihan terasa berat buatku... Semua orang ingin hidup bahagia. Aku pun ingin begitu... Yang aku tahu, inilah diriku, seperti inilah perasaanku... Kalau ini dosa, kenapa Kau memberiku naluri ini, Tuhan? Kau memberiku keadaan yang sulit ini, lalu Kau pun akan menarik orang-orang yang kusayangi dariku...? Kuusap air mata yang mengembun di pelupuk mataku. Kukuatkan dadaku menahan sesak yang terus mendesak di rongga batinku...
89
tengah.
“Dimas, kok tidur di sini?” Mama menengokku di ruang “Nggak apa-apa, tadi habis nonton TV...” jawabku pelan.
sana?”
“TV-nya udah mati gitu, kok nggak pindah ke kamar “Males, Ma... Sekalian aja tidur di sini...”
Mama pun beranjak lagi ke kamarnya, meninggalkanku yang masih di sini. Aku menatap perginya Mama. Apa aku mampu kehilangan dia...? Kehilangan Papa juga...? Rasanya nggak mungkin! Aku takut...! Bisakah aku bertahan dengan rahasia ini...? Setidaknya, sampai di saat aku lebih siap dengan semua konsekuensinya...? Di saat aku sudah dewasa, saat aku sudah mampu hidup sendiri... Saat aku sudah mampu berpisah dengan mereka... Saat... Ahhhhh...! Apa takdir akan menggubris...?! Aku bisa apa? Akhirnya juga cuma bisa bermuara pada rasa pasrah...! Semua kembali pada kata „semoga‟, sedangkan hati masih terus resah...! Malam pun kian melahap dan menelanku. Tapi resah dan kebingungan belum juga berkesudahan... Hmmmhhh... Doaku juga belum berubah! “Semoga semua baik-baik saja...”
90
Piknik
Aku turun dari mobil. Kurapatkan ransel besar di punggungku dengan sigap begitu kulihat jajaran bus wisata sudah nampak diparkir di halaman sekolah. Teman-teman sekolahku dan juga guru-guru berkerumun, mengkoordinir segala persiapan keberangkatan. Ahhhh...! Akhirnya tiba juga hari ini! Bersiap ke Bali! “Gimana, Papa temenin bentar? Sampai berangkat?” tanya Papa yang ikut turun dari mobil.
busnya
“Nggak apa-apa sih kalo Papa nggak sibuk. Tapi bukannya Papa harus segera ke kantor?” “Nggak apa-apa, molor dikit aja...” “Jangan ah, masa ngantar aku aja pakai ngaret jam kantor sih?! Aku kan bukan anak TK! Lagian tinggal nunggu busnya berangkat aja kok, udah diurusin sama panitianya!” “Gitu? Ya udah. Kamu nggak kurang apa-apa lagi?” tanya Papa, masih tampak berat hati mau meninggalkanku. “Udah beres semua. Pokoknya aku tinggal berangkat aja kok!” tegasku. “Ya udah... Kalau gitu Papa tinggal ya?” “Iya, nggak apa-apa.” Tapi Papa masih saja berdiri melihat ke sekeliling dengan agak bengong. “Udah, nggak apa-apa! Kayak mau ninggalin anak kecil aja?!” cibirku dengan agak jengkel melihat tingkah Papa. “Kok jadi ngusir Papa gitu?” Papa ganti mencibir. Malah jadi berbelit-belit.
91
“Bukannya ngusir! Papa kan harus ke kantor! Udah jam berapa nih?!” balasku sambil melihat ke jam tanganku. “Iya, tapi kamu kan mau pergi jauh, masa nggak boleh sih Papa nemenin sebentar?” gumam Papa sedikit cengengesan. “Kan aku nanti juga bakal balik lagi? Cuma lima hari aja...!” “Hahaha... Tambah gede, tambah pintar ngomelin Papa!” cetus Papa sambil mengucal rambutku. “Nurun dari Mama!” “Tambah ngelantur!” gumamku santai tapi juga sedikit agak kesal. “Ya udah sana, Papa tinggal sekarang!” decak Papa sambil beranjak dan naik lagi ke mobil. “Met piknik, ya!” “Iya. Thank you, Pa...!” balasku berseloroh. Lalu perlahan mobil Papa mulai bergerak lagi. Perlahanlahan meninggalkan halaman sekolah. Aku melambai, hingga mobil itu benar-benar keluar dari area sekolahan, melintas di jalan dan akhirnya hilang dari pandangan. Hmmhhh... Bukannya aku tega mengusir Papa, tapi... semakin lama ditemani nanti malah semakin berat buat berpisah...! Ya, meski cuma lima hari... Sekarang, saatnya aku bergabung dengan kerumunan teman-temanku, yang juga sama-sama menunggu berangkatnya bus. Aku duduk di bibir taman, di halaman sekolah ini. Menyendiri meski di sekitarku penuh orang, guru-guru dan temanteman sekolahku. Ya, beginilah aku. Kenal banyak teman, tapi nggak pernah benar-benar dekat. Bukan pasif sih, tapi lebih suka menyendiri. Lagipula, saat ini aku masih terbeban oleh sesuatu yang berat. Hmmhhh... Meski bisa kubayangkan piknik ini bakal menyenangkan, tapi perasaan dan pikiranku masih terganjal oleh masalah di rumah. Apa lagi kalau bukan perbuatan Denis kemarin itu?! Huhhh...! Aku masih cemas dan gelisah saja! Saat aku berangkat dari rumah tadi, aku pamitan ke semua orang di rumah. Kecuali Denis. Aku belum bisa memaafkan kelancangannya padaku! Kelancangan yang telah melanggar privasiku, mencuri rahasiaku!
92
Mama...?
Bagaimana kalau selama aku pergi, dia bilang ke Papa dan
Hhhhhh... Sudah terjadi...! Terus terang, aku nggak bisa apa-apa lagi! Jadi, lupakan saja dulu...! Lupakan Denis. Lupakan perbuatannya! Lebih baik aku fokus menikmati suasana piknik ini! Ya, nikmati saja piknik ini. Bukannya aku sudah menunggu-nunggu acara ini?!! Go ahead for funs...! “PERHATIAN, PERHATIAN...! Kepada semua peserta pariwisata, kami panitia menginformasikan bahwa bus akan segera diberangkatkan...! Untuk itu dimohon semua mempersiapkan diri...! Sebelum mengambil tempat duduk di bus masing-masing, kami informasikan pula bahwa akan ada penggabungan beberapa kelas dalam satu bus demi efisiensi tempat duduk. Setelah kami informasikan keterangan bus dan kelas yang menumpangi, silakan nanti mencari tempat duduk masing-masing dengan rapi dan tidak berebut...!” Bla bla bla...! Panitia sudah mulai mengkoordinir peserta piknik...! Aku bangkit mempersiapkan diri. Sesuai koordinasi dari panitia, busku akan diisi peserta dari kelasku dan kelas sebelah. No problem. Mulai, peserta piknik berjubal masuk ke bus mencari tempat duduk masing-masing. Sebagian ada yang memang sudah punya rencana buat duduk satu deret, sebagian lagi nggak punya rencana dengan siapa-siapa soal tempat duduk. Aku adalah peserta di kategori kedua! Mungkin karena aku juga terlalu nyantai soal tempat duduk, akhirnya dapat kursi di deret agak belakang. Agak menyesal juga... Tapi ya sudah. Toh aku bukan anak yang gampang mabok apalagi muntah-muntah kalau naik bus, yang biasanya merengek nggak mau dapat jatah kursi belakang! Nggak ada masalah bagiku. Aku sudah memantapkan diri: ini piknik, enjoy aja...! “Udah ada yang nempatin?” ada anak dari kelas sebelah bertanya sambil menunjuk kursi di sampingku yang masih kosong. Aku tahu dia, namanya Bambang. Tahu namanya aja, kenal sih nggak!
93
“Belum,” jawabku. “Aku duduk sini ya!” “Oke.” Bambang segera mendudukkan badannya yang tambun di kursi sebelahku. Duduk satu deret dengan orang yang nggak begitu akrab, itu juga bukan masalah bagiku. Aku bukan orang yang suka ngegang, jadi nggak menuntut harus berkoloni dengan teman-teman tertentu saja. Duduk dengan orang yang belum akrab nggak pernah jadi masalah buatku. “Kamu nggak kencan duduk sama teman semeja gitu?” tanya Bambang beramah tamah. “Nggak. Di kelasku duduknya nggak diatur. Berubah tiap hari, pilih kursi sesukanya. Jadi teman semeja juga gonta-ganti terus,” jawabku juga meramahkan diri. “Sebenarnya masih ada satu kursi di deret agak depan. Tapi aku mending pindah ke sini aja...! Males dekat si Eka!” ujar Bambang setengah berbisik. “Kenapa?” tanyaku, sekedar ingin tahu. “Kamu nggak tahu ya? Si Eka... Anak dari kelasku?” “Ohh...” aku manggut sambil mengingat-ingat. Emmhhh... Eka, anak kelas sebelah yang katanya pernah kena kasus itu? Aku cuma dengar-dengar juga sih... “Dia kan „pemakai‟, kemarin hampir OD kan dia...!” bisik Bambang. “Iya, aku juga dengar beritanya,” timpalku. Aku nggak tahu musti komentar apa. Aku nggak suka juga sih kalau pakai narkoba gitu. Merokok aja nggak doyan! Tapi, itu kan urusan pribadi orang juga? Aku nggak mau ambil pusing ah...! Setiap orang punya hal-hal pribadi masing-masing. Sebenarnya, aku sendiri termasuk malas kalau harus menggunjingkan masalah pribadi orang lain. Tapi, haknya si Bambang juga memilih duduk dekat aku. Sama-sama bayar!
94
Rupanya bus masih menunggu satu peserta piknik yang belum datang. Wahh...! Payah nih, mau senang-senang aja kok masih ngaret juga?! Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya datang juga peserta yang ngaret itu. Peserta yang datang ngaret itu dari kelas sebelah juga. Langsung disoraki anak-anak satu bus. Huuuuuuuu...! Sudah pada nggak sabar mau berangkat! Untung ditungguin. Kalau sampai ditinggal, pasti nangis bombay tuh anak...! “Hahaha... Dia duduk dekatnya si Eka deh...! Tinggal itu kursi yang sisa!” Bambang langsung berkomentar. Aku cuma menyahut dengan tawa setengah menggumam. Bukan urusanku juga! Nggak lama kemudian, bus pun mulai jalan. Akhirnya berangkat...! Bergerak meninggalkan kota Solo... Inilah piknik yang sudah kutunggu-tunggu! JOURNEY TO BALI...!!! Selama perjalanan, semula aku sempat agak risih oleh anak-anak lain yang mulai genjreng-genjreng gitar, menyanyi berjamaah di deret bangku panjang paling belakang. Lebih mirip teriak-teriak daripada nyanyi! Teriak kalau lagunya rock sih pantas. Aneh, teriaknya nyanyi lagu-lagu pop mellow, yang mustinya lebih cocok seandainya dinyanyikan dengan gaya keroncong atau dangdut! Tapi, aku sudah tahu cara mengantisipasinya. Pasang headset, putar mp3, setel posisi kursi, sandarkan kepala sambil lihat pemandangan di luar! Inilah cara terbaikku buat menikmati sebuah perjalanan. Polusi suara, bablasss...! Aku pasti bisa menikmati piknik ini. Aku pasti bisa menikmatinya...! Sudah, lupakan saja semua yang ada di rumah. Saatnya senang-senang! Bali, aku datang…!
95
Titanic on the Picnic
Pada dasarnya, sampai saat ini aku bisa menikmati perjalananku. Pagi dari Solo, dan tengah malam sampai di Pelabuhan Ketapang. Sempat break, rombongan bus dari sekolahku harus antri menunggu jatah ferry buat menyeberang ke Gilimanuk. Cukup lama. Ya harus maklum, soalnya memang musim liburan. Pelabuhan jelas ramai! Tapi setelah lama menunggu, akhirnya... Fiuuhhhh... Tiba juga giliran buat menyeberang ke Bali...! Aku menopangkan siku di atas bibir dek. Menatap pemandangan selat. Menghirup segarnya udara laut pagi hari. Mengusap percik-percik ombak yang jatuh di mukaku. Pulau Bali yang tampak jauh di depan, makin lama makin dekat... Perjalanan ini sudah terasa surga bagiku...! Apalagi kalau nanti sudah sampai di sana, di Bali... Ahhh, senangnya! Tapi di kapal ini kebisingan orang-orang menyisihkanku. Akhirnya aku mencari tempat yang lebih tenang. Aku menuju ke salah satu sudut di buritan yang agak sepi. Lebih tenang dan lebih nyaman buat menikmati suasana di atas air Selat Bali yang terbelah oleh laju kapal. Debur air terdengar sangat riak dan riang, mengiring penyeberangan yang semakin merapat ke pantai Pulau Dewata...! Kutengok ke tiap sudut, memastikan nggak ada orang yang sedang melihatku. Lalu pelan-pelan aku melangkah ke bagian yang agak ujung di buritan... Badanku merapat ke bibir kapal, di depanku terlihat Pulau Jawa yang terpisah oleh selat, makin lama tampak makin menjauh... Air selat jernih membiru, angin semerbak sejuk! Lalu semakin jelas apa yang sedang kubayangkan... Kurentangkan kedua tanganku lebar-lebar... Membayangkan diriku seperti adegan di film Titanic, menghayati suasana laut...!
96
Tapi tiba-tiba tubuhku terasa kurang seimbang, dan... “AAAHHHHHH...!!!” pekikku. Aku hampir saja terjelungup...! Kusadari ada tangan yang memelukku dari belakang, tangan yang telah menahanku hingga aku tak sampai terjatuh...! Aku gemetar... Jantungku berdegup keras...! Siapa ini, yang mendekapku dari belakang? Siapa ini yang telah menolongku...? Maka segera kupalingkan wajahku... “ERIK…?” Ya Tuhan...! “Kalo mau gaya seperti itu jangan di buritan! Angin meniup kamu dari belakang! Untung kamu nggak jatuh...!” ujar Erik, pelanpelan dia pun melepaskan tangannya dari pinggangku... “Ummmhh...” aku gugup, bingung mau bilang apa! Bagaimana tidak...??? Erik tepat di sampingku, sangat dekat, dan baru saja memelukku...!!! “Makasih... Aku memang ceroboh...!” aku terbata-bata, masih sukar percaya! “Apa-apaan kamu gaya seperti itu? Mau meniru film Titanic?!” Erik mencibirku. Aku nggak bisa menahan malu di hadapannya! Mukaku pasti merah...! “Malu juga sih... Tapi ya udah, aku ngaku aja... Ini pertama kalinya aku nyeberang laut, apalagi ini nyeberang ke Bali! Aku pingin menghayati aja!” jawabku apa adanya dan sedikit tersipu. “Belum pernah sama sekali? Hmmm...” Erik memandangiku, pasti masih membayangkan betapa konyolnya tingkahku! “Kok kamu malah kesini, nggak gabung sama temantemanmu?” tanyaku jadi penasaran dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Jangan-jangan dari tadi dia mengawasiku di luar kesadaranku...?
97
“Males aja sama orang-orang yang terlalu ramai! Pingin cari tempat yang tenang aja...” jawab Erik. Dia menopangkan tangannya di bibir kapal, menatap lepas ke arah laut. Aku pun ikut memandangi laut lagi, ikut menopangkan sikuku. Kami sama-sama menatap indahnya laut. Memandangi Pulau Jawa yang kami tinggalkan. Udara terasa sangat sejuk menyenangkan, sama dengan rasa hatiku... Benar-benar nggak menyangka, aku akan menemukan momen seperti ini... Akrab dengan Erik, berdua di atas kapal yang melaju di tengah selat biru. Sentuhan tangannya masih meninggalkan jejak rasa di pinggangku, seolah masih terasa tangannya mendekapku... Sungguh menghanyutkanku...! “Memang lebih indah kalo dinikmati dengan ketenangan... Lebih mudah dihayati...!” aku berbisik di tengah suara deburan ombak. “Kamu nggak ngelanjutin yang tadi?” tanya Erik. Matanya menatapku, cerah bagai memantulkan cemerlangnya sinar keemasan dari mentari pagi yang sedang menembus tirai cakrawala. Begitu hangat dan lembut... “Ngelanjutin apa?” gumamku terawang-awang. “Tadi kamu mau nyobain gaya di film Titanic kan? Nggak dilanjutin?” “Aaahhh...! Kamu ngeledek ya?! Sekarang kan ada orang lain di sini...! Malu lah...!” dengusku sedikit kesal sekaligus gemas. Erik sepertinya sengaja pingin membuat mukaku jadi merah lagi! “Jadi aku orang lain ya?” Erik malah membalasku... Dengan kalimat yang makin membuatku tersipu...! Apa maksudnya dia bilang begitu??? Erik tertawa pelan. Lalu, dia makin mendekat padaku... O my God! Dia mau ngapain??? Jantungku berdegup makin kencang! Berdesir-desir...! “Kenapa, Rik?” gumamku gugup dan hampir saja menjauhkan diriku dengan spontan, andai saja aku nggak langsung ingat kalau yang ada di depanku ini adalah Erik, cowok yang kucintai!
98
“Kamu lanjutin aja yang tadi...! Ini pertama kalinya kamu nyeberang laut kan? Aku akan pegangi kamu, biar nggak jatuh...!” bisik Erik. Astaga...! God, please, jangan mengolok-olok nasibku! Erik ini Pangeran tampan yang dinanti banyak Puteri! Satu kali tadi dia boleh memegangiku demi mencegahku jatuh dari kapal! Sekarang dia sengaja mau memegangiku lagi dan memintaku untuk menyetujuinya...?!! Yang benaaaarrrr...?!! DENGAN BAHAGIA AKU BERSEDIA...! TAPI JANGAN MEMPERMAINKANKU...!!! “Ayo, nggak usah malu?! Nggak ada yang lihat kok! Kamu rentangkan tanganmu, aku akan pegangi kayak tadi!” bisik Erik, dia benar-benar mendekapkan tangannya ke pinggangku... Lagi...! Aku memiliki sejuta kebingungan dan keraguan, tapi aku nggak bisa menyangkal hatiku yang bersorak-sorak kegirangan seiring dengan desir jantungku yang makin memburu...! Dengan ragu, bimbang dan gugup... perlahan mulai kurentangkan tanganku... Merentang...! Dan tiba-tiba bahagia ini pun terasa penuh...!!! Senyumku mengembang bagai sayap burung yang pertama kali merasakan terbang...! “Nggak usah takut. Kamu nggak akan jatuh...!” Erik berbisik ke telingaku, mendekap punggungku erat. “Sekarang kita mirip Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet kan...?” “Kamu Leonardo DiCaprio-nya...?” “Dia kan favoritku...!” sahut Erik. “Tapi masa aku jadi Kate Winslet?!” balasku gugup. “Siapa yang kamu suka...?” “Mmmmhhh... Mario Maurer...” “Mario...? Siapa...?” “Dia adalah...” gumamku sambil mengawang, membayangkan sosok tampan dari Negeri Gajah Putih itu...
99
Tapi kemudian senyumku jadi kecut saat membayangkan: Leonardo DiCaprio memeluk Mario Maurer di buritan sebuah kapal ferry...? Dimas, James Cameron pasti akan menggantungmu...!!! Lalu angin pun tiba-tiba bertiup sangat kencang dari belakang...! Angin yang menukik ke buritan...! Kencang sekali dan... “AAAAAHHHHHHHHH...!!!” Tubuhku terpelanting, terlempar jatuh dari atas kapal menukik ke permukaan air... Dan... DUAAAKKKK...!!! “Aduhhhhhhhhh...!!!” aku menjerit. Barusan tubuhku terayun keras ke depan, membuat jidatku membentur... KURSI DI DEPANKU...!!! “Ada apa...?!!” aku langsung gelagapan bertanya-tanya. Kaget setengah mati...! “Busnya hampir nabrak mobil di depan. Rem mendadak tadi!” jelas Bambang yang duduk di sampingku. OH... MY... GGGG...!!! Mimpiku pelukan sama Erik di kapal...???!!! AAARRGGGHHH!!! BUYAAARRRR...!!! Rasanya pingin ngomel ke semua orang, nggak peduli siapa saja!!! Ke sopir bus, ke sopir mobil, ke panitia, ke guru-guru, ke semua peserta piknik...!!! Aku marah semarah-marahnya!!! Baru mimpi bagus-bagus, baru dipeluk-peluk, ujungujungnya buyar kejedot kursi...!!! SIAAAALLLLL...!!! Kesadaranku dengan cepat mengaktifkan semua indra dan juga pusatnya, otakku! Dengan cepat mengingat perjalanan ini sampai di mana. Tadi pagi sudah sampai di Gilimanuk, dari Gilimanuk perjalanan berlanjut dengan bus lagi...
100
Ya ampun, INI SUDAH DI BALI...!!! Uuuggghhhh...!!! Letih, kebawa tidur, kebawa mimpi... Pantas lah, MIMPI INDAH...!!! Takdir benar-benar mengejek membuatku ingin maraaahhhh...!!!
nasibku!!!
Rasanya
Tapi... Huhhhhh... Memang sih, mimpi seindah apapun akhirnya ya cuma sebuah mimpi...! No other choice! Oke deh, get real...! Meski kecewa! Hmmm, lagian Erik kan juga ikut piknik ini! Amini saja semoga aku punya kesempatan yang nyata! Kalau aku bisa menempatkan diri dan tahu setiap peluang, mungkin saja aku bisa menikmati waktu bersamanya kan?! Malah nggak cuma mimpi! Piknik ini nyata!!! Aku menarik nafas panjang, mengendapkan emosiku. Membangun lagi pikiran yang positif dan optimis...! Dan... Uppsss, aku sekarang mulai menyadari sesuatu! Rupanya, ada yang kulewatkan selama aku tidur! Sekarang aku baru tahu ternyata sudah ada seorang Tourist Guide yang stand by di dalam bus! Laki-laki itu berdiri, dan mulai memperkenalkan dirinya di hadapan para peserta piknik... “Perkenalkan, nama saya Wayan Himawan Astika, bisa memanggil saya Awan...” Tourist Guide itu memperkenalkan dirinya dengan senyum lebar yang ramah dan sejuk di bibirnya. “Saya akan memandu adik-adik semua selama perjalanan wisata ini, tapi terlebih dahulu saya ingin sampaikan dengan penuh rasa bangga dan terima kasih... SELAMAT DATANG DI BALI...!” Seorang Tourist Guide yang... Handsome...! Akhirnya kejengkelanku teralih! Piknik ini mulai menawarkan sensasinya! Yap! Aku siap dipandu olehmu Mas Tour Guide! Hahaha...! Makanya, ayo Dimas...! SEMANGAATTT!!!
101
Nuansa dan Romansa di Bali
Obyek pertama piknik di Bali adalah Batu Bulan. Nonton TARI BARONG!!!! Woowww...! Pandangan dan imajinasiku benar-benar dimanjakan oleh indahnya Tari Barong! Sebuah tarian yang sangat ikonik dari Pulau Dewata. Eksotik! Memukau dan langsung memberi kesan yang nggak mungkin terlupakan tentang indahnya seni budaya dari Pulau Dewata ini! Aku memang nggak faham dengan bahasa yang dipakai dalam folklore Barong itu. Tapi untung ada booklet yang menjelaskan gambaran tentang apa yang diceritakan dalam tarian itu. Jadi secara garis besarnya aku faham. Yaitu tentang perselisihan antara kebaikan dan kejahatan. Kebaikan diwakili oleh Barong, sedangkan kejahatan diwakili oleh Rangda. Lalu ada tokoh bernama Sahadewa, anak termuda dari keluarga Pandawa yang diminta oleh Rangda sebagai tumbal. Melalui Barong, Para Dewa menolong Sahadewa dengan memberinya kekuatan untuk melawan Rangda. Menarik! Aku dengan Digicam-ku!
nggak
mau
melewatkannya!
Kurekam
Tapi, pesona para penari itu akhirnya dapat saingan! Aku jadi nggak begitu konsen lagi dengan atraksi tari Barong itu garagara ada mahluk lain yang menyita perhatianku. Mahluk yang jelas lebih cute dibanding Barong ataupun Rangda! Rambut gondrong si Rangda itu boleh saja menang kontes melawan rambut penyanyi metal manapun, tapi kalau lawan rambut spike-nya Erik... tunggu dulu! Erik duduk nggak jauh dariku, di deret depanku dengan posisi agak samping. Dia itulah, yang bikin aku jadi nggak konsen nonton Barong! Posisi duduknya memberiku banyak kesempatan buat mencuri pandang ke wajahnya yang cakep itu.
102
Akhirnya bukan cuma para penari Bali itu yang main liriklirik mata, mataku pun jadi ikut lirik-lirik ke cowok berambut spike itu! Digicam-ku akhirnya juga ikutan, beberapa kali mencuri wajah Erik! Lumayan, bisa buat obat kangen sewaktu-waktu! Hahaha... Erik atau Tari Barong? Oke, deh... Biar adil, just blend it! Harusnya Erik ikut menari Barong aja sekalian! Tapi jangan jadi Barong-nya! Jadi Sahadewa aja, tokoh ksatria protagonis di kisah itu. Yup, membayangkan Erik pakai kostum tari Bali, dengan bedak dan gincu lalu ada bintiknya di kening... Bakal jadi Sahadewa paling cakep sepanjang sejarah kayaknya! Ngarang! Maksa banget...! Biarin ah, namanya juga suka! CINTA! Hahaha... Sekitar satu jam di pertunjukan Tari Barong yang memukau. Akhirnya selesai juga. Pertunjukan yang sangat bagus...! Kalau suatu saat aku ke Bali lagi, nggak akan kulewatkan pertunjukkan yang satu ini! Pasti...! Goodbye, Barong...! Perjalanan piknik harus diteruskan, aku harus segera kembali duduk di bangku bus. Menuju obyek wisata berikutnya! Tour Guide kami yang cakep, dengan bersemangat menjelaskan panjang lebar tentang obyek wisata berikutnya, Goa Gajah. Aku sebenarnya tertarik buat mendengarnya, tapi gara-gara suara berisik anak-anak di bangku belakang aku jadi nggak begitu menangkap penjelasan Tour Guide yang berdiri di depan itu. Aku cuma bisa melihat wajahnya yang cakep itu, melihat bibirnya yang terus bergerak tapi tanpa suara yang jelas. Huhhh! Sayang... “Kamu nangkap nggak Tour Guide itu ngomong apa?” tanyaku sedikit basa-basi ke Bambang. Tapi, asem! Aku baru sadar kalau si Bambang pakai headset! Jangankan suara Tour Guide itu, suaraku yang dekat aja pasti dia nggak bakal dengar! Mendingan aku juga pakai headset-ku, putar musikku sendiri! Biar nggak bete! Sayang kalau jauh-jauh piknik ke Bali tapi malah bete sepanjang jalan! Entah berapa lama waktu telah terlewat. Akhirnya, sampai juga di Goa Gajah! Bus berhenti, kami segera turun dan tampaknya semua antusias menyambut obyek wisata kedua ini.
103
Aku berdiri memandang berkeliling dengan takjub! Goa Gajah adalah sebuah Pura kuno yang berupa gua. Halaman luarnya dilengkapi kolam pancuran yang cukup besar dengan pahatanpahatan yang sangat indah! Aku melongok ke dalam bilik kolam dan bisa kulihat dengan jelas, rupanya air memancur dari badan arcaarca yang berjajar, arca-arca bidadari yang terpahat dengan sempurna! Benar-benar sebuah nuansa Bali klasik yang sangat anggun...! “Patung-patung itu asli peninggalan dari jaman kuno,” tiba-tiba ada yang berbicara di dekatku. Ooohhh...! Kaget aku! Mas Tour Guide, yang cakep dan... aku lupa namanya...! Dia sudah berdiri di sampingku, ikut melongok ke dalam bilik kolam. “Iya, bagus...” sahutku agak gugup. “Nggak tertarik lihat guanya?” tanyanya ramah. “Tertarik lah! Tapi nanti aja, kan masih banyak waktu... Semuanya yang ada di sini kelihatan bagus sih, jadi nggak pingin buru-buru!” selorohku hangat, jadi tambah semangat didekati masmas yang cakep ini! “Memangnya boleh ya, masuk ke guanya? Bukannya itu tempat buat sembahyang?” “Ya boleh lah! Kalo nggak boleh masuk ya nggak akan jadi tempat wisata!” seloroh Tour Guide itu dengan tawa hangat. “Nggak ada pantangan atau apa gitu?” tanyaku, sambil melangkah pelan mengikuti Tour Guide itu. “Kami punya falsafah, Tri Kaya Parisudha. Jaga pikiran, ucapan, dan tindakan agar tetap bersih...” jelas Mas Tour Guide ringan. Aku menyimak dan mengangguk pelan. “Iya, benar. Itu sebuah nilai universal, di manapun memang sebaiknya begitu...” gumamku tersenyum, merenung-renung sambil berjalan. “Ya, di manapun!” sahut Tour Guide itu dengan bersemangat. “Wahhh... Ngomong-ngomong soal nilai universal, Goa Gajah ini menyimpan satu pelajaran yang sangat indah!” “Apa itu?!” tanyaku tertarik.
104
Tour Guide itu berhenti sejenak. Aku juga ikut menghentikan langkahku. Karena sekarang kami telah berada tepat di depan mulut gua. “Pura ini dibangun sekitar abad 10 Masehi. Fungsinya sebagai tempat untuk bertapa,” terang Tour Guide itu. “Yang menarik adalah, di sini ditemukan peninggalan arca-arca, baik dari agama Hindu maupun Buddha...” Aku sedikit ternganga. “Jadi, tempat ini dipakai bersamasama, penganut Hindu dan Buddha?” sahutku takjub. “Ya. Arca-arca itu masih bisa dilihat sampai sekarang, menandakan bahwa kedua umat bisa hidup berdampingan, berbagi tempat ibadah!” “Woowww...” aku berdecak kagum. Luar biasa! Jadi malu rasanya kalau menilik jaman sekarang dimana seharusnya masyarakat bisa berpikir jauh lebih maju, tapi malah masih ada saja berita tentang pertikaian antar umat beragama, yang disiarkan di televisi dan juga media lainnya...! Ironis. “Kalo nggak masuk ke dalam, nggak lengkap lho!” gurau Mas Tour Guide. “Hahaha... Ya udah deh, aku masuk!” bersemangat. “Kamu juga mau masuk kan, Mas?”
balasku
Belum sempat pertanyaanku dijawab... “Emmhhh... Wah, ada yang manggil tuh!” gumam Tour Guide itu seraya memandang ke arah rombongan teman-temanku yang lain, yang melambaikan tangan mereka. “Saya nanti pasti menyusul ke dalam. Itu teman-temanmu memanggil, saya ke sana dulu...” “Ooo... Ya, udah. Aku masuk dulu aja!” sahutku, dengan sedikit kecewa. “Maaf ya, Dik...” ucap Tour Guide itu dengan senyum sedikit masam. “Nggak papa kok. Mas kan udah nemenin aku, udah ceritacerita banyak juga. Sekarang giliran mereka!”
105
“Hahaha... Selamat jalan-jalan ya!” salam Tour Guide itu, sambil melambaikan tangannya sekilas. “Makasih!” balasku simpul. Sejenak masih kupandangi perginya Tour Guide itu, yang sekarang bergabung dengan teman-temanku yang lain. Aduhhh...! Udah ngobrol banyak, kok aku nggak tanya namanya sih?!! Lupa namanya, dan lupa nanya...! Padahal kan orangnya asyik, dan cakep juga! Lumayan kan buat kenalan baru! Huhhh... Aku memang payah! Aku mulai melangkah masuk ke dalam gua. Ruangan gua berupa sebuah lorong dengan ceruk-ceruk di kedua sisi. Aku melangkah pelan, meresapi suasana gua yang remang-remang, teduh, dan tenang... Kebetulan agak sepi karena pengunjung banyak yang sedang berada di luar. Lama-lama suasananya jadi terkesan angker juga... Aku berhenti di depan sebuah ceruk yang berisi arca Ganesha. Aku terpaku mengamati arca Dewa Kebijaksanaan itu. “Dimas...!” tiba-tiba kudengar seseorang menyapaku, mengejutkanku dengan suaranya yang agak bergaung di dalam gua. Aku pun menoleh, dan... O my God!!! bengong.
“Ehhh... Hai, Rik...!” balasku gugup, setelah agak lama
“Gimana, asyik nggak pikniknya?” lontar Erik dengan senyum santainya. “Banget!” gumamku dengan senyum agak tersipu. Gimana nggak asyik? Ada Erik gini! Asal ini bukan mimpi lagi aja!!! “Kok menyendiri aja, nggak gabung sama yang lain?” tanya Erik. “Nggak papa, malah jadi lebih konsen menikmati suasana...” jawabku. Bukan berarti aku ngarep sendiri terus lah! Seandainya Erik mau menemaniku kemana-mana, ya jelas mau! “Emmhh... Nanti malam ada waktu nggak?” tanya Erik. Ehhh...??? Nanti malam ada waktu??? Degup-degup, jantungku mendadak tegang! Erik bertanya apakah aku ada waktu...? Buat nanti malam??? Buat apa...???
106
“Ada lah pastinya...!” jawabku agak gugup. “Aku pingin ngomong sesuatu sama kamu...” ujar Erik setengah berbisik. Sesuatu...??? “Ngomongin apa ya...?” tanyaku deg-degan. “Ada lah, nanti aja sekalian!” jawab Erik. Tambah bikin penasaran! “Di mana...?” aku bertanya lagi terburu rasa penasaran. Ohhh... Jangan-jangan di kamar...?!! “Ya gampang lah nanti, kita lihat dulu situasinya nanti!” gumam Erik dengan senyum sarat misteri. Oh my dear God! Meminta waktu buat bicara berdua...?! Ini pertanda tentang sesuatu yang PERSONAL...!!! “Oke. Kapanpun aku siap!” jawabku setengah terpana. “Oke, deh... Aku duluan ya!” pungkas Erik diiringi senyum simpulnya. Lalu dia segera melangkah meninggalkanku. Meninggalkanku bersama rasa penasaran ini!!! Ada apa dengan nanti malam???!!! Aku nggak sabar menunggunya...!!! Waktu benar-benar mulai melambat! Detik-detik, menit-menit, jam berganti...! Meninggalkan Goa Gajah, dan menyisakan rasa penasaran yang terus memburu ini! Penasaran yang makin lama makin berpadu dengan khayalan penuh harap...! Dinner berdua, candlelight... atau jalan-jalan, atau... atau apaaa...???!!! Angan-angan ini masih terus terbawa hingga di objek wisata selanjutnya, Museum Bali di Denpasar yang sangat-sangat indah dan anggun! Dan masih berlanjut lagi di objek berikutnya, salah satu pantai paling eksotis di Bali! Pantai Sanur! Debur ombak yang tenang seolah-olah memantulkan suara Erik, yang kini selalu hadir dengan sapanya yang hangat dan ramah. Bahkan dia memintaku menyediakan waktu untuk bicara berdua dengannya...!
107
Pantai Sanur yang menghadap ke timur, tempat matahari terbit, ibarat pertanda sebuah harapan yang begitu cerah... Ya, saat cinta telah bertemu...! Itulah yang kutunggu...! Ya ampun!!! Kapan saat itu tiba???!!! Nuansa Pulau Dewata yang indah ini makin membangkitkan khayalan akan romansa yang manis...! Ya Tuhan, bagaimana caranya bersabar...?!! Kusepak-sepakkan kakiku dengan girang dan gemas di atas air pantai! Bermain sendiri dengan pasir dan ombak, sampai lelah dan bosan...! Sampai aku akhirnya terdiam sendiri. Berdiri terpekur di atas pasir pantai yang tergenang ombak... Semua angan-angan ini benar-benar... Hahaha… Ya ampun! Konyolnya aku yang telah melarutkan diri dalam pikiran ini, meresahkan diri dalam lamunan yang begini muluk! Tentu aku boleh berharap, tapi apa harus dengan cara seperti ini...? Pantai Sanur yang damai, dengan ombak lembut yang menyapa tanpa pernah berhenti... Seperti wajah sang waktu yang selalu terus bergulir. Tidak pernah lebih cepat, tidak pernah lebih lambat. Sesungguhnya jarak tiap detik tak pernah berubah, ya, waktu tak pernah melambat! Semua yang ingin kudengar, maka akan kudengar. Lalu kenapa aku harus jadi gelisah seperti ini...? Seperti pantai yang menunggu ombak. Ombak selalu datang. Waktu selalu menjawab bukan...? Sayup-sayup, suara riuh menyela renunganku... “Woiii...! Jangan woiii...!!!” Erik, kulihat dia sedang digotong beberapa temannya menuju ke tengah air. Lalu... Byuuuurrrrr...!!! Mereka melemparkan Erik ke air. Mereka tertawa-tawa. Erik juga, meski bercampur kesal. Aku cuma melihat dari sini, tempat yang tidak dekat... tapi juga tak terlalu jauh. “Sialannn...!” maki Erik sambil menyibakkan air menciprati teman-temannya yang usil itu sambil ketawa-ketawa.
108
Lalu, dia malah membenamkan tubuhnya lagi ke dalam air. Bermain dengan ombak... Aku seperti melihat sisi lain dari dirinya yang jarang kulihat selama ini. Sisi kanak-kanaknya yang riang dan lepas... Dan tanpa aku meminta, tanpa dia mengulurkan, seolah bahagianya sudah ikut kurasakan... Hari pun makin sore. Mentari bersinar keperakan dan langit makin teduh. Angin makin dingin... Mungkin sebentar lagi saatnya kami harus meninggalkan tempat ini. Pantai yang melukiskan kesejukan sekaligus kegundahan hatiku...! Kusibak air dengan tanganku, memburainya... Aku pun tertawa sendiri, seolah ingin ikut melepas diriku dari segala kegelisahan ini. Lalu aku kembali menatap ke sisi di mana Erik masih bermain-main dengan air laut. Dia mulai berdiri. Tangannya menyapu kaosnya yang kuyup. Lalu... Dia melepas kaos itu... Sejak aku kenal dia, baru kali ini aku melihat... tubuhnya itu... Yang putih berkilat oleh air dan sapuan sinar mentari sore, menegaskan setiap lekuk di tubuhnya yang indah... Dia berjalan santai sambil setengah merentangkan kedua tangannya, memegangi kedua ujung kaos basah yang dipuntir dan menempel di tengkuknya... Sekilas dia menoleh ke arahku. Dia tersenyum, seolah sudah menyadari keberadaanku di sini sejak tadi. Ya. Tentu saja dia sudah tahu. Sebagaimana halnya aku juga tahu. Maka aku pun membalas senyumnya itu... Ya, kami saling tahu. Aku juga yakin dia sangat mengerti, bahwa masing-masing dari kami tak ingin orang lain mengolok-olok keakraban ini. Maka inilah yang kami lakukan, saling berada di tempat masing-masing, menjaga segala keinginan dalam rasa sabar. Lalu... Kami saling tersenyum di saat kami harus tersenyum... Semoga yang kurasakan ini benar. Dan... Tentu, aku tetap menunggu untuk malam nanti!
109
Makan Malam
Selesai menjalani wisata seharian, akhirnya berujung juga di hotel. Malam ini kami semua menginap di sebuah hotel di Gianyar. Yaahh... Hotel biasa sih, nggak terlalu mewah tapi bersih dan rapi, udah lumayan lah buat istirahat menghilangkan capek. Pembagian kamarnya adalah: tiap kamar ditempati 2 orang. Buat memudahkan koordinasi, teman sekamar disesuaikan dengan teman duduk di bus. Jadi, aku dengan si Bambang lagi. Syukurlah, satu kamar udah ada dua tempat tidur. Ya memang harus begitu! Kalau nggak, mampuslah aku satu kasur dengan si Bambang yang body-nya jumbo itu! Lagian, terus terang saja, soal tidur satu kasur aku cuma bisa seratus persen bersenang hati kalau cowok yang jadi teman tidurku adalah: Erik! Yang lain? Aku nggak terlalu ikhlas kayaknya. Hehehe... Setelah soal kamar beres, yang langsung terpikir di kepalaku adalah: Mandi! Segera kusiapkan pakaian gantiku. Lalu segera menuju ke kamar mandi. “Mbang, aku mandi duluan yah!” lontarku ke Bambang. Nggak usah menunggu jawaban, aku langsung masuk ke kamar mandi. Buka semua pakaian, dan langsung buka shower-nya. Pyurrr...! Titik-titik air mengguyur lembut. Whuuuuhhhhhh... Segaaaaarrrr!!! Dari Tari Barong, Goa Gajah, Museum Bali, lalu Pantai Sanur, pikiranku dijejali oleh Erik, Erik, dan Erik! Sekarang, ternyata lagi-lagi! Sembari mandi pun aku masih kepikiran lagi dengannya! Wajahnya, senyumnya, dan yang paling jelas adalah: adegan dia buka baju di Pantai Sanur...! Kulit putihnya, tubuh bagus yang mulus, dan basah...
110
Lama-lama, jatuhnya rintik air dari shower terasa seperti menggelitiki kulitku. Geli-geli merinding...! Andai saja... Erik ikut mandi... HAIYAAAAHHHHH...!!! Nggak! Nggak! Nggak boleh ngeres! Jangan jadi kebiasaan membayangkan yang enggak-enggak!!! Duk duk duk! Kupukul-pukul kepalaku yang ngeres dengan kepalan tanganku. Ini bukan di rumah, ini di hotel, di luar ada yang menunggu giliran mandi! Kalau sampai cabul benar-benar nggak punya toleransi namanya! Segera kutuang shampoo ke kepalaku, lebih baik keramas saja...! Rambut bersih, pikiran jadi jernih! Mungkin berapa belas menit aku mandi. Selesai. Kukeringkan badanku pakai handuk. Lalu berpakaian. Aku keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutku dengan handuk. “Weh, keramas ya? Habis cabul ya...?! Hahaha...!” nggak ada angin nggak ada hujan, Bambang langsung nyerocos main fitnah! “Lambe-mu!” umpatku. Nggak keramas pikiran keruh, begitu keramas malah difitnah! Siapa yang nggak jengkel?! sarap!
“Wakakakaka...!” Bambang malah tambah ngakak. Dasar
Tiba-tiba ada seorang panitia piknik melongok ke kamarku sambil woro-woro. “Kalo mau makan malam bisa ambil di ruang makan ya! Udah disiapin...!” cetus panitia itu, lalu kepalanya segera menghilang lagi dari balik pintu. Wahhh, asyikkk! Saatnya makan malam!!! Kurapikan rambutku pakai tangan, lalu segera bergegas keluar dari kamar! Berangkat makan...! Udah lapaaaarrr!!! Ruang makan ada di dekat aula, ramai penuh orang. Antri prasmanan udah seperti antri sembako aja! Aku mengambil piring dan sendok, menciduk nasi lalu langsung memilih-milih menu. Kayaknya enak-enak nih masakan Bali? Kulihat ada sate yang bentuknya aneh. Kuambil sate yang bentuknya mirip cottonbud jumbo itu... “Maaf ya, Sate Lilit-nya ambil satu aja!” ada panitia langsung interupsi pas aku mengambil sate itu.
111
Anak-anak yang lain langsung menoleh padaku. Aduhhhh! Panitia sialan, bocor banget ngomongnya! Dengan malu-malu aku kembalikan lagi sebagian sate yang aku ambil. Aku tadi mengambil tiga biji. Hihihi... Pengen sih...! Selesai mengambil jatah, aku cari tempat nongkrong yang enak buat makan. Aku menuju ke taman belakang aula. Ada bangku panjang yang kosong, dan lumayan agak sepi. Aku duduk menyendiri, menikmati makan malamku. Yahh, kebiasaan, nggak suka dengan suasana yang ramai-ramai. “Boleh gabung...?” “Hkkkkk...!” aku tersedak, kaget! Karena Erik tiba-tiba menghampiri dan menyapaku! “Nah...! Keselek kan?!” tukas Erik. Aku batuk-batuk. Bagian dalam hidungku terasa sakit banget! Si Erik kalau nongol kok suka tiba-tiba begini sih?!! Bikin kaget! “Kamu sih, ngagetin!” sahutku masih agak seret. “Kamunya aja yang suka bengong. Ada orang datang nggak nyadar. Begitu nyadar keselek!” “Tahu aku lagi bengong jangan langsung disamperin lah! Jelas aja kaget!” “Terus gimana? Harus sungkem dulu gitu?” Erik malah mengajak bercanda. “Iya! Pakai cium tangan juga harusnya!” aku jadi nyolot, dengan hati berbunga dan kepala membengkak. “Cium tangan? Ya udah sini aku cium tangannya!” Aaaa... Erik...? Beneran apa? Aku cuma bercanda, pasti dia bercanda juga kan...?!! “Weew... Aku cuma bercanda kok!” sahutku agak kikuk. Bukannya nggak mau, tapi malu kalau aku yang harus ngasih tanganku! Pinginnya sih dia langsung pegang tanganku terus langsung dia cium, dengan lembut...! Harusnya begitu kan sikap seorang Pengeran saat mencium Puteri...? Ehhh anu, maksudku... sesama Pangeran tentunya...?! Halahhh...! Malah makin kacau pikiranku!
112
“Becanda ya? Aku juga cuma becanda...” Erik langsung ganti ngeles. Tuh kan...?!! Ya iyalah Erik pasti cuma bercanda! Masa dia beneran mau mencium tanganku sih...?!! Dimas bego...! “Udah makan! Malah bengong lagi...!” tukas Erik. Yaahhh... Malu-malu mau, menerima berkat diakrabi oleh Erik seperti ini... Kusuapkan nasiku pelan-pelan ke mulutku sambil tersenyum-senyum sendiri. Ini, serasa dinner sama Erik jadinya! O My God, harusnya ada lilin-lilin di sekitar sini! “Nih, kamu tadi pingin Sate Lilit kan?” tiba-tiba Erik memindahkan Sate Lilit dari piringnya ke piringku, dua tusuk. “Lho, kok kamu bisa ngambil banyak? Sampai lima tusuk?” aku melihati Sate Lilit yang masih ada tiga tusuk di piring Erik. “Aku kan panitia. Boleh ngatur jatah sendiri!” Erik cuek menjawab. “Huuuh... Curang! But thanks!” cetusku. “Panitia kan udah capek-capek ngurus pikniknya, jadi ya adil lah kalo sedikit diistimewakan!” balas Erik sambil mengunyah satenya. Hahaha... Ah, apapun yang dia bilang lah! Aku suka dan merasa senang. Erik yang dulu sering ketus, akhirnya memberi perhatian juga ke aku. Dan dia yang datang sendiri... Bukan aku yang minta! Dan ini bukan mimpi, aku sangat yakin! Plukk! Plukk! Kutampar pipiku pelan-pelan, dan terasa jelas. Yup, ini nyata! “Kenapa sih kamu suka menyendiri?” tanya Erik. “Eemmhh... Aku cuma nggak cocok sama suasana yang terlalu ramai aja sih. Kenapa?” “Nggak apa-apa. Cuma kesannya agak aneh aja...” “Aku lebih suka suasana tenang. Jadi aku juga nggak merasa kesepian, soalnya memang udah mauku,” jelasku ringan. Kesepian itu baru terasa, kalau orang yang aku sukai, sayangi dan cintai, mengabaikanku... Aku memang pernah merasa
113
begitu. Tapi tidak lagi untuk saat ini. Karena sekarang dia benarbenar hadir di sini, di dekatku, di sampingku... Hangat dan akrab! “Terus kamu sendiri, kenapa nggak gabung sama temantemanmu? Kenapa malah di sini?” aku ganti bertanya. Mulai memancing, terus terang masih sangat penasaran dengannya. “Nggak apa-apa juga. Kamu nggak suka?” “Eh... nggak masalah kok...! Aku senang kok...” aku langsung menimpal. Ahhhh...! Jadi tersipu aku mengakuinya! Sepertinya, memang sudah saatnya untuk lebih berani mengungkapkan perasaanku. Karena pintu yang dulu selalu tertutup sekarang sudah mulai terbuka! Tunjukkan saja rasa senangku, tunjukkan rasa bahagiaku, semoga dia akan makin mengerti...! “Senang?” Erik mengulang dengan nada tanya. Aku cuma mengangguk. Kali ini benar-benar malu untuk mengucapkan yang kedua kali! Tapi aku memantapkan hati untuk menatap Erik dan memberinya satu senyuman. Lebih jelas dengan isyarat ini bukan, bahwa aku bahagia...? Tolong, tangkaplah perasaanku ini! Erik langsung menunduk. Aku sempat membaca gerak di bibirnya. Dia tersenyum...! Ya, tersenyum, meski agak aneh... Ah, bukannya keakraban ini sebenarnya memang aneh...? Aku faham kalau perasaan seperti ini memang susah buat diutarakan, sehingga kerap membuat kami canggung. Aku sudah menjalani perasaan ini sejak aku mengenalnya, aku faham betapa sulitnya dan juga kadang betapa lucunya. Itulah kenapa saat keakraban ini tiba, malah terasa aneh! Aneh tapi juga memberi rasa bahagia...! “Tadi siang kamu bilang mau ngomongin sesuatu, mau ngomong apa?” akhirnya aku mulai mendesaknya, tentang pesannya yang telah mengganjal pikiranku selama seharian ini. “Hmm... Iya. Tapi kayaknya nanti agak malam aja, jangan sekarang. Suasananya masih agak ribet, habis ini masih ada rapat juga...” jawab Erik pelan. Sorot matanya jadi kelihatan gelisah. Ahh, mungkin gelisah yang sama sepertiku juga.
114
“Kayaknya memang nggak bisa diomongin tergesa-gesa ya? Penting pasti...!” gumamku setengah bertanya-tanya sendiri. “Hmmm... Sebaiknya dibicarakan nanti sajalah pokoknya!” gumam Erik sambil menatapku seolah ingin mengisyaratkanku agar sabar sedikit lagi. “Oke lah...” gumamku pelan sambil tersenyum tipis. Nggak berani mendesak Erik lagi. “Nanti aku SMS,” tambah Erik. “Aku tunggu...!” timpalku dengan senyum simpul. Sekelumit rasa gelisah. But anyway, nice dinner! Bahkan Erik seolah-olah nggak lagi menghiraukan orang-orang yang biasanya mengolok-olok kami. Memang di sini sepi, tapi... yahhh, memang dia sudah berubah. Sabar saja lah, tunggu nanti, pasti semua akan jelas juga. Yang penting keakraban kami berdua malam ini sudah siap tersimpan sebagai kenangan manis di memoriku! Sweet moment! “Udah?” cetus Erik, piring di tangannya sudah kosong. Lalu dia juga menghabiskan tehnya. Gelasnya pun kosong juga sekarang. “Ya,” gumamku, dengan piring dan gelas yang sudah kosong juga. “Aku duluan ya!” Erik mengisyaratkan diri mau beranjak. Duluan...? Nggak bareng aku...? Ah, iya... Kan harus kembali ke ruang makan yang ramai orang? Aku rasa dia cuma ingin menghindari mulut-mulut yang gatal saja. Aku mengerti. “Oke,” balasku tahu diri. “Makasih udah nemenin makan, buat satenya juga!” Erik cuma menoleh sekilas padaku dengan senyum simpulnya sebagai sahutan. Ya, aku suka itu, gayanya yang cool itu setimpal dengan wajah tampannya. Kesan sederhana yang indah di akhir makan malam...! Aku masih tercenung agak lama setelah perginya Erik. Lalu akhirnya aku pun mulai berdiri juga dari dudukku, dan perlahan melangkah juga menuju ke ruang makan. Suasana di ruang makan ternyata memang masih cukup ramai. Aku meletakkan piring dan gelasku yang kosong di meja.
115
Sekarang, rasanya aku perlu ke toilet. Mataku menangkap ada logo toilet, nggak jauh dari aula. Aku segera mengambil langkah ke sana. I want to pee...! Selesai buang air kecil, aku menuju ke wastafel di salah satu sudut ruangan. Baru hendak mencuci tanganku, mataku menangkap... Astaga...! Sebuah HP tertinggal di ceruk dekat wastafel, entah milik siapa... Kuraih HP itu, kuamati. Mataku langsung tersita memandangi foto wallpaper yang terpajang di layar HP. Foto dua orang cowok yang berpose akrab! Bisa dibilang, sangat akrab...! Dan aku kenal salah satunya...! Aku terkesiap. Dia...?!! “Aku kembalikan aja lah...!” gagasku di kepala. Aku baru mau keluar dari toilet, di depan pintu toilet aku sudah berpapasan dengan... “Ehh...” orang itu agak kaget berpapasan denganku. Dia Tour Guide yang memandu rombongan busku...! “Eh maaf, ini benar HP-nya Mas?” begitu mengenali wajahnya aku langsung menunjukkan HP yang barusan aku temukan. “Ahhh...! Iya...! Aduh, syukur deh!” Tour Guide itu menerima HP dari tanganku. Wajahnya kelihatan lega sekali. “Lain kali hati-hati dong, Mas! Sayang kalo hilang, HP mahal kan itu?!” selorohku sambil senyum. “Iya, lupa tadi. Terima kasih ya, Dik...!” ucap Tour Guide itu sambil mengulurkan tangannya padaku. “Hehehe...” aku cuma tersenyum mengangguk, sambil menjabat tangannya yang terulur padaku. “Terima kasih ya...!” sekali lagi Tour Guide itu mengucap sambil mengangguk permisi dengan ramah. Aku ikut mengangguk dan tersenyum membalasnya. Lalu dia segera menghilang keluar dari ruang toilet. Aku sekarang berdiri termangu sendirian di muka pintu toilet. Pikiranku masih iseng menebak-nebak soal Mas Tour Guide
116
itu...! Cowok ramah berwajah cerah sawo matang, senyum yang manis, mata yang teduh... Dan... Foto di HP-nya itu...! Dia sama cowok...?!! Apa dia juga...??? Yah, cuma dia yang tahu. Tapi nalarnya sih nggak mungkin kalau bukan seseorang yang spesial fotonya sampai dijadikan wallpaper di layar HP...! Ahh, biarin lah...! Itu kan urusan pribadinya! Aku mengembalikan HP-nya, itu udah cukup dan... end of this case! Kalau mau sedikit lebih, mungkin semoga saja dia bisa jadi kenalan baru yang baik. Selanjutnya: Dimas, fokus saja ke Erik! Ingat, nanti dia mau bicara lagi sama kamu...!!! BERDUA...!!!
117
Telepon
Aku sedang tiduran di kamar hotelku. Sepi sendiri. Bambang entah kemana, mungkin jalan-jalan di luar. Aku memilih tetap tinggal di kamarku, menunggu Erik yang katanya mau SMS... Sebenarnya pingin juga menikmati suasana malam di Bali di luar hotel. Tapi Erik lebih penting! Katanya saat ini dia masih ada rapat, dan selesai rapat dia ingin bicara berdua denganku. Kalau nanti Erik mencariku dan aku malah keluyuran di luar hotel, takutnya dia jadi bete lagi sama aku! Sambil menunggu Erik, aku termenung di atas kasur. Sayup-sayup kudengar suara gamelan Bali yang entah darimana sumbernya. Jauh dari rumah, di Pulau Dewata, baru sekali ini seumur hidupku merasakan langsung sentuhan nuansanya... Tenang, teduh, merdu... Jiwaku rasanya damai dalam penantian ini. Rasa letih karena seharian jalan-jalan ke objek wisata, seperti teredam oleh tentramnya suasana. Sekonyong-konyong lamunanku terpecah oleh bunyi HPku. Cepat-cepat kuraih benda itu, siapa tahu Erik yang sedang menelponku?!! Oooohh... Ternyata telepon dari rumah...! “Ya halo?” sapaku, ke siapapun yang ada di sana. “Gimana pikniknya, Dimas?” suara Tante Hilda... “Ohh, Tante ya? Asyik-asyik aja. Ada apa, Tante?” “Oh iya, gini nih... Tante sama Om mau ngasih tahu aja. Tadi pagi ada telepon dari Medan, katanya Bapaknya Om Frans masuk rumah sakit... Jadinya, Tante sama Om kayaknya mau balik ke Medan lebih awal dari rencana...” “Haa...? Bapaknya Om Frans sakit? Ummhh... Sakit apa, Tante...?”
118
“Agak parah... Maag akut, ada pendarahan di lambung katanya. Jadinya Tante sama Om musti segera balik ke Medan nih...” “Tapi... bukannya Bapaknya Om Frans tinggal di Jakarta, Tante...?” “Iya, dulunya. Tapi sekarang Bapak sama Ibunya Om Frans ikut tinggal di Medan. Di Jakarta dulu kan cuma rumah kontrakan. Mereka kan udah tua, perlu ada yang jaga. Dan Om Frans kan anak sulung, syukurnya kondisi ekonomi juga paling mapan. Kemarin-kemarin sih sehat waktu mau ditinggal ke Solo, tapi nggak tahunya habis itu maagnya kambuh...” tutur Tante Hilda. “Ohh, gitu... Jadi, mau balik ke Medan-nya kapan Tante?” “Ini masih mau pesan tiket pesawat. Mungkin besok atau lusa lah. Maksud Tante, ini sekalian mau pamitan aja, soalnya kayaknya nggak akan sempat ketemu Dimas pulang dari Bali nih. Padahal pingin lho oleh-olehnya dari Bali!” Tante Hilda setengah cekikikan. “Yaaahhh, gimana lagi? Terus, Denis-nya...?” aku sedikit mengulik soal sodara kembarku... “Ya Denis ikut balik ke Medan lah...! Kalo ditinggal di sini, masa nanti dia mau balik ke Medan sendiri? Ya sekalian aja lah...” jawab Tante Hilda. “Oohh...” gumamku ambigu. Sebenarnya aku bingung harus merespon bagaimana. Sedih? Senang? Biasa saja? Ya, kalau rasa yang muncul dengan sendirinya sih memang biasa saja. Aku hanya berusaha beramah tamah yang sopan dan sewajarnya saja, karena bagaimanapun ada kerabat yang sakit, dan ada yang mau pamitan... “Kamu mau ngomong sama Denis?” lontar Tante Hilda. “Ahh, nggak, nggak Tante... Nggak usah...” jawabku buruburu, jadi agak gugup lagi. “Kenapa? Kalian nggak akan ketemu lagi lho...?” “Yaa... gimana yah? Biar nanti Denis sendiri aja yang nelpon, kalo misal dia mau ngomong... Atau aku sendiri aja yang nelpon, nanti...” aku berkilah sebaik mungkin.
119
“Eh, kenapa nih? Kayaknya baru marahan ya?” Tante Hilda sepertinya tahu gelagatku. berkilah.
“Nggak kok, Tante... Nggak ada apa-apa...!” aku terus
“Emm... Ya udah deh kalo gitu. Tante sama Om nyicil pamit yaa... Denis juga titip pamit...!” “Iya, Tante... Hati-hati ya, Tante...” “Kamu juga, hati-hati di situ! Met piknik yaa...!” “Iya Tante, makasih...!” “Daaahh...” suara pembicaraan di telpon.
genit
Tante
Hilda
memungkasi
Dan pembicaraan selesai. Aku menghela nafas... Mereka mau balik ke Medan. Denis juga. Aku nggak tahu harus merasa bagaimana, tapi... perasaan ini memang biasa saja waktu mendengar kabar itu. Ada kagetnya juga, tapi jujur saja nggak meninggalkan sesuatu yang mendalam. Cuma seperti... ibaratnya suara petasan yang dengan cepat menguap gemanya...! Mungkin karena perbuatan Denis kemarin yang langsung menepis semua simpatiku padanya...! Ya, apa lagi kalau bukan itu...?!! Bahkan sejujurnya, aku berharap dia memang lebih baik segera pergi. Pergi dari rumahku, dari hidupku...! Dia mencuri rahasiaku, itu sudah cukup! Jangan sampai dia memberitahu ke siapapun karena aku pasti akan membencinya seumur hidupku! Meski dia itu sodaraku sendiri! Ya, apalagi dia itu sodaraku sendiri, tega-teganya kalau dia sampai melakukan itu! Sebaiknya dia jangan merepotkanku lagi. Itu saja! Di tengah aku merenung sendiri, tiba-tiba HP-ku berbunyi lagi. Kali ini ada SMS masuk. Segera kubuka, dan kali ini seperti yang kuharapkan! Dari Erik...!
“Ku tggu d taman yg td ya!” Erik menungguku di taman?!! Senyumku mengembang lebar, semangatku menyeruak! Yuppp...! Aku datang, Rik...!!!
120
“Aku cinta kamu, Rik...”
Di taman tempat aku tadi makan malam bersama Erik, kulihat dia sudah menunggu di sana. Dia duduk sendirian di bangku yang sama. Membelakangiku... Jantungku berdegup ragu, dan juga gamang... Apa yang akan kami bicarakan malam ini...? Sesaat kuamati sekitarnya. Sepi. Anak-anak lainnya mungkin sudah beristirahat atau masih jalan-jalan di luar hotel. Cuma ada seorang dua orang yang sesekali masih lewat dengan cuek. Cukup aman! Begitu yakin dengan situasi, kuberanikan diri menghampiri Erik. Melangkah pelan-pelan... “Hai...” sapaku seraya duduk di samping Erik. “Hai...” Erik menyambutku disertai senyum teduhnya. “Tadi udah tidur?” “Belum,” sahutku simpul. “Nggak jalan-jalan sama yang lainnya?” tanya Erik lagi. “Nggak. Kamu sendiri, kenapa nggak jalan-jalan ke luar?” “Aku kan udah bikin janji sama kamu...!” Aku tersenyum, jadi agak tersipu. “Aku juga nungguin SMS-mu...” balasku simpul. Erik cuma mengangguk pelan, disertai senyumnya pula. Melewati basa-basi sejenak, aku masih berusaha mengatur diriku untuk mengatasi ketegangan yang mempermainkan detak jantungku. Melawan rasa gugup! “Ada yang penting ya, buat diomongin sama aku...?” aku bertanya dengan agak segan.
121
Erik juga kelihatan mengatur diri sejenak. Melemparkan pandangan sekilas ke beberapa arah. Menyamankan diri untuk bicara. Lalu... “Ya. Ada masalah yang... sebenarnya sudah kupikirkan sejak lama...” desah Erik terdengar sedikit canggung. “Memikirkan apa?” “Kamu...” Deg...!!! Jantungku berdentum! “Aku...?” ulangku, tersenggal oleh tawa kikuk. “Iya. Mikirin kamu... yang udah lama berusaha ngasih perhatian ke aku... Dugaanku benar nggak sih...?” ucap Erik seraya mengerlingkan matanya ke arah yang jauh. Ya ampun...! Aku sudah sering berandai-andai tentang dia, tapi aku nggak pernah mengira dia bakal bicara selugas itu! Kami baru berbasa-basi lima menit sebelum dia mengarahkan pembicaraan menjadi sangat personal seperti ini...! Aku terpaku menatap wajah Erik yang tersenyum dengan sorot matanya yang serius. Kata-kata lugasnya benar-benar langsung menonjokku. Wajahku pun terasa meremang, aahhh... mungkin bersemu merah! “Perhatian...?” gumamku gugup. “Kayaknya sejak pertama kita kenal, aku udah merasa kalo perhatian kamu itu... nggak seperti teman biasa...” lanjut Erik lirih. “Nggak seperti teman biasa...? Maksudmu, Rik...?” tanyaku makin bertambah rikuh dan gugup. Ragu, dan malu untuk mengaku! Makin lama Erik juga tampak gelisah. “Tolong, aku ingin sekarang kamu jujur aja sama aku, Mas... Nggak fair kalo cuma aku yang terus menduga-duga. Kamu juga harus bilang yang sebenarnya, benar apa enggak, kalo aku menganggap kamu punya perhatian ke aku...?” cecarnya dengan nada pelan. Straight to the point...! Kata-kata Erik benar-benar menggiringku untuk mengaku! Kalau sudah begini, aku cuma punya dua pilihan: mengaku atau menyangkal...?! Kalau menyangkal, MUNAFIK!
122
Kalau mengaku, mengatakannya...?
ya
Tuhan...
apa
aku
bisa
Aku... apa yang harus kukatakan...?!! “Rik... aku...” kalimatku tercekat oleh kebingungan yang belum pernah kurasakan sebelumnya! “Mas, apa aku cuma teman biasa buat kamu...?” Erik terus menggiringku! “Kamu... nyuruh aku ngomong jujur...?” tanyaku, bahkan oleh telingaku sendiri terdengar begitu bodoh. “Ya iyalah, apa ada orang minta dibohongi?!” sahut Erik disertai tawa sedikit geli, sekaligus sinis. Aku tersenyum gagu menatap Erik. Memandangnya lekatlekat, melewati gurat-gurat sayu wajahnya, menembus ke lorong matanya yang tajam dan dalam itu... “Iya... Kamu bukan teman biasa, Rik...” jawabku pelan. Akhirnya tak mampu lagi melawan kejujuran. “Bukan teman biasa...? Berarti...?” Erik terus menyeretku, menuntut kejujuran yang lebih lugas dariku! Kutarik pandangan mataku darinya. Kupalingkan mukaku. Menunduk, gelisahku makin jadi! Degup di dadaku makin kencang...! “Iya... Memang, aku suka kamu...” bisikku dengan susah payah, menahan wajahku yang terasa makin meremang. “Suka...?” Erik mengulang lagi, satu kata yang terdengar ragu, tapi lagi-lagi terasa ingin mengeruk semua kejujuranku... makin jauh! Ya ampun! Kurapatkan mataku, mengejapkannya berulang kali...! Mengatur nafas sebaik mungkin... Dan... Setelah sekian lama, kalau bukan sekarang kapan lagi aku punya kesempatan untuk mengatakan langsung padanya...?!! Harus kubulatkan keberanianku! Tak mungkin ada kesempatan lain yang lebih baik dari sekarang! Kukuatkan diriku menatap Erik dalam-dalam...
123
Dan... “Aku cinta kamu, Rik...” Akhirnya... TERUCAP...! Seketika segera kutarik lagi wajahku dan kupejam mataku rapat-rapat. Ya Tuhan...! Bagaimana caranya agar aku percaya bahwa ini benar-benar terjadi...?! Lama aku berharap, cuma bisa berharap! Sekarang aku baru saja membuka pengakuanku dan ternyata itu cuma dua detik dari sebuah ucapan...! Sekarang, apa yang akan terjadi setelah dua detik paling gila itu...?!! Sesaat cuma ada keheningan di antara kami. Kesunyian yang sulit kugambarkan bagaimana rasanya! “Ooh...” akhirnya Erik merespon pengakuanku dengan ekspresinya yang tampak termangu. Cuma gumaman yang aku belum menangkap maknanya! Kulirik wajahnya dengan rasa segan dan ragu. Dia terdiam. Ekspresinya tetap belum bisa kusimpulkan. Rik, kamu sendiri yang memintaku buat mengakuinya... Sekarang jawab aku, Rik...! “Kenapa, Rik...?” tanyaku, masih bisa terselip tawa kecil di tengah kegundahan. Sejujurnya, aku nggak tahu harus merasa bagaimana setelah aku membuka semua kejujuranku. Tapi yang pasti, tolong... jangan permalukan kejujuranku, Rik...! “Ternyata aku masih bisa kaget juga...!” tiba-tiba Erik berkomentar dengan tawa datar, seperti ada sesuatu yang konyol. “Padahal selama ini aku sudah menduganya...!” desahnya terdengar meringan. Dan itu membuat perasaanku justru mengambang makin bimbang! “Kamu sudah menduga...?” cekatku masam.
124
“Sejak semula perhatianmu udah kelihatan nggak biasa, Mas. Wajar kan kalo aku menduga? Tapi aku tetap harus mendengar pengakuanmu sendiri... Karena yang bisa menjelaskan seutuhnya cuma kamu... Benar, kan?” “Dan aku udah jawab jujur... Jadi...?” Erik menghela nafas seraya tersenyum ringan. “Yaahh... Kalo udah jelas begini, aku kan jadi lebih yakin buat menyampaikan ini ke kamu...” ujarnya pelan. “Menyampaikan... apa...?” aku terbata. Erik menghela nafas lagi. Dia pun tersenyum lebih tegas. Lebih tajam, seolah sudah tak ada lagi keraguan di sana. Lalu dia menatapku sesaat dengan matanya yang jernih itu... “Kamu udah jujur, aku ingin menghargai perasaanmu...” bisik Erik, membuat jantungku seperti mau berhenti berdegup. “Karena itu aku juga akan jujur, bahwa aku...” Aku langsung menarik wajahku dari tatapan Erik, menahan nafas untuk mendengar... “Bahwa aku nggak bisa menerima kamu, Mas...” Ruang dan waktu seperti kosong sesaat. Lalu... Yang bisa kurasakan setelah itu, jawaban Erik seperti satu bongkah batu yang jatuh ke permukaan air. Dayaku serasa terhempas... Lenyap! Dan beberapa saat aku hanya mampu terdiam. “Aku nggak bisa...” Erik mengulangnya lagi. “Karena...?” suaraku tertahan pelan, terasa susah payah untuk keluar. “Karena aku nggak bisa...!” “Pasti ada alasan yang bisa kamu jelaskan, Rik...?!” racauku menindih emosi yang hampir panik.
125
Erik menatapku. Sekonyong-konyong matanya seperti kembali pada sorotnya yang dulu yang hampir selalu menyudutkanku... Tajam dan dingin! “Mas, kamu mau aku bicara apa adanya kan? Kalo ini menyakitkan, sorry... Terus terang, aku nggak bisa cinta dengan sesama cowok! Nggak mungkin! Aku normal, Mas...!” ucap Erik pelan, namun nada sinisnya begitu menusuk seperti sebilah pisau yang beku...! Tubuhku terasa lemas seluruhnya. Semua seperti pupus tanpa sisa lagi...! “Terus selama ini...? Terus terang, akhir-akhir ini aku merasa kamu beda dengan yang dulu... Dulu aku sering merasa kamu selalu berusaha menghindariku. Tapi akhir-akhir ini kamu beda, Rik! Aku merasa kita sudah menjadi akrab... Aku merasa kamu sudah bisa menerimaku...!” desahku kelu, menggugat semua yang kudengar dari Erik. “Atau... aku sudah keliru menduganya...?” Perasaanku sekarang terasa seperti dipermainkan! “Oke, jujur aja, Mas... Sebenarnya selama ini aku memang nggak nyaman sama kamu. Apalagi kalo kamu sudah menunjukkan perhatian yang terlalu berlebihan. Please...! Aku nggak seperti kamu, aku bukan gay...!” Dengan untaian kalimat yang pelan itu, kata-kata Erik mengirisku makin dalam! “Aku benar-benar nggak nyaman dibicarakan orang-orang kalo aku „dekat‟ sama kamu. Tapi kamu masih saja ngasih perhatian! Kelihatannya kamu memang terlalu berharap...!” curah Erik menumpahkan semua kejujurannya yang sangat menamparku. “Aku udah capek, Mas! Aku udah nggak tahan terus-menerus menghadapi kamu seperti itu. Tapi gimana caranya agar aku bisa menyadarkan kamu kalo aku nggak bisa ngasih harapan ke kamu?! Kenyataannya kamu juga nggak pernah terus terang...!” Aku tertunduk nanar menatap tanah. Batinku hancur...! Ternyata begini...??? “Jangan kamu kira aku nggak merasa „digantung‟, disukai orang yang nggak pernah mengaku...! Sedangkan orang lain terus mengolok-olok kita! Jadi terpaksa, akulah yang harus menanting
126
kamu, Mas... Aku harus berpura-pura, buat menguji perasaan yang selama ini kamu sembunyikan! Supaya kamu berani bicara jujur...!” Tenggorokanku terasa kian berat. Tapi, sekecap tawa terlepas juga. Getir... “Jadi... semuanya pura-pura...?” cetusku pahit. “Dari luar terlihat akrab, padahal sebenarnya kamu nggak nyaman...?” “Bagaimana aku harus menolak orang yang tak pernah mengakui perasaannya padaku? Aku cuma mencari jalan biar kamu sadar, bahwa kamu berharap pada orang yang salah. Bahwa sebaiknya kamu berhenti...!” timpal Erik lugas. Aku bungkam, membisu sesaat. Akhirnya, aku menelan tawa. Tawa terhadap diriku sendiri, yang bodoh, naif, dan terlalu muluk berharap...! Membayangkan, ibarat sebuah pintu maka hatiku kini terpampang tulisan besar: PECUNDANG...! “Yang aku sangka tulus, ternyata cuma sebuah jebakan...” ujarku dengan senyum kecut. “Apa soal apel yang pernah aku kasih dulu, yang kamu terima dan kamu bilang rasanya manis, atau apa lah... itu bagian dari rencanamu juga...?” “Justru sejak itu, menurutku perhatianmu udah terlalu jauh. Aku merasa kamu begitu berniat membayang-bayangi aku...” jawab Erik, dengan senyum sinis di wajahnya. Keangkuhan lama, yang dulu sering kulihat darinya... “Lalu, dengan ini semua... apa sekarang kamu merasa menang...?” “Nggak ada yang menang, nggak ada yang kalah. Orang yang disukai punya hak buat menolak, dan orang yang suka harusnya tahu konsekuensi dari yang namanya „memiliki sebuah perasaan‟! Kamu butuh jawaban, dan aku memberikannya. Sekarang semua sudah jelas, itulah kenyataan yang harus diterima...!” Aku menatapnya. Rasa sayang, rasa kecewa, rasa hancur... Sulit kupilah lagi.
127
“Ya, kamu benar, Rik. Aku tahu aku nggak pernah berterus terang. Tapi aku masih sulit menerima, bahwa kamu berpura-pura akrab hanya untuk bilang bahwa kamu nggak bisa menerimaku... Kamu seperti memancing ikan cuma untuk menceburkannya lagi ke kolam, hanya karena kamu merasa nggak rugi apa-apa maka kamu melakukannya tanpa peduli sakitnya sebuah kail menancap di kerongkongan...! Aku nggak cuma kecewa, Rik, tapi juga merasa nggak berharga...” “Lalu kenapa kamu nggak terus terang aja sejak awal...? Siapa yang punya perasaan? Kenapa bukan kamu saja yang langsung bertanya padaku, apakah aku punya perasaan yang sama denganmu...?” “Karena memang nggak mudah, Rik, buat orang seperti aku... Menyatakan perasaan, mengakui sesuatu yang dianggap nggak wajar oleh orang lain...!” desahku kelu. “Jadi harus aku yang memancingnya kan?!!” Hhhhh... Aku mendesah, menghela nafasku yang terasa begitu berat...! “Rik, mungkin „menolak‟ itu memang lebih mudah dibanding „berharap untuk diterima‟... Baiklah, ini memang konsekuensiku. Aku cuma mau bilang, kalo kamu bermaksud menolak bukan berarti kamu boleh melakukannya dengan cara yang menyakitkan... Perasaan orang itu bukan mainan...” ucapku lirih. Erik terdiam. Dia merenung dengan alisnya yang berkerut. “Oke, aku udah minta maaf sebelum mengatakannya kan...?” ucapnya kemudian. Aku sekarang juga hanya membisu. Kepura-puraan yang tersingkap, harapan yang patah, batin yang terinjak, aku punya apa lagi untuk berkata...? Yahh, cuma punya asam pahit untuk menyisakan satu senyum di bibirku, atau sedetik tawa tanpa suara... “Semua udah jelas kan, Mas? Nggak ada yang perlu kita bicarain lagi. Sekali lagi, maaf buat semuanya...” ucap Erik, perlahan mulai berdiri dari duduknya. “Rik, bagaimanapun selama ini kita juga sudah berteman bukan...? Apa ini artinya, kita nggak akan berteman lagi...?” aku
128
masih mencoba, bahwa meski berat tapi aku tetap berusaha untuk mampu menerima sikapnya. Erik memandangku dengan datar. “Tergantung caramu menganggap aku teman...” jawabnya, mengambang. “Apa keadaanku ini jadi masalah buat kamu...?” “Mas, gay itu „sakit‟. Tapi... selama nggak menular, mungkin aku nggak perlu menghindari kamu... Asal kamu bisa jaga sikapmu. Aku berharap omongan miring dari orang-orang tentang kita bisa berhenti mulai sekarang.” Sekali lagi, perasaanku dipukul sangat keras...! Aku mengira sakit hati tadi sudah cukup, ternyata masih ditambah lagi. Sepertinya perasaanku memang nggak penting ya...? Baiklah, satu lagi senyum pahit di bibirku... “Oke... Tapi tolong... Jangan sampai orang lain tahu... Tolong ya, Rik...?” ucapku lesu. Akhirnya cuma itu yang masih bisa kuminta darinya... Erik cuma membalasku dengan senyum masamnya. Lalu dia pun melangkah pergi tanpa berucap lagi. Meninggalkan aku sendiri di sini. Hati yang biasanya penuh dengan harapan dan anganangan, sekarang kosong. Kekosongan yang terasa perih. Gemetar di bibirku menyengat, sekejap-sekejap. Aku menggigitnya, mengatasi kecamuk batin yang ingin berontak melawan kenyataan...! Jangan berontak! Ini kenyataan! Kehancuran yang harus diterima...! Aku menahan sesuatu yang rasanya terus mendesak, ingin keluar dari bibirku. Kudekap mulutku rapat-rapat dengan tanganku yang gemetar. Jangan sampai aku berteriak! Meski sepedih apapun! Tapi... satu isak berhasil lepas...! Makin lama makin susah kubendung. Kuremas wajahku, kutahan apapun yang mau keluar! Aku nggak boleh nangis...!!! Tapi... Ahhhh...! Bodoh!!! Kenapa air mata ini keluar juga...?!!
129
Sakit
Rasanya nggak ada semangat. Lesu, seperti zombie. Mati gairahku buat melakukan apa saja! Kuseret langkahku, sekedar ikut melewatkan suasana karena nggak ada pilihan lain selain mengikuti trip yang sudah dijadwalkan hari ini. Aku nggak mungkin tinggal sendiri di hotel! Selesai jalan-jalan di monumen raksasa Garuda Wisnu Kencana, tujuan berikutnya adalah Pantai Kuta. Pantai yang tersohor namanya sampai ke seluruh belahan dunia! Ya, memang indah... Indah tanpa rasa. Ibarat orang sedang sakit, meski di depannya dihidangkan menu makanan fantastis kelas bintang lima, apa akan bernafsu juga buat memakannya? Yahh... Kemarin ada yang bilang aku „sakit‟, tapi terus terang sebelumnya aku nggak pernah merasa sesakit ini! Aku termenung menatap ombak Pantai Kuta, yang tanpa henti menghampiri pasir pantai. Ombak menggayut, pasir menyambut. Lalu ombak beringsut kembali ke laut, pasir-pasir surut seperti hendak ikut... Seperti tangan yang menggapai, lalu saling melepas lagi dengan hasrat ingin tetap bersama. Ahhh...! Bahkan alam saja bisa bercinta...! Dan aku cuma bisa melihat bersama perasaan yang terluka! Mungkin memang benar. Cinta itu takdir. Dan bisa saja takdir adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Entah berapa lama di Kuta. Yang aku ingat, sepanjang singgah aku cuma sendiri merenung, memisahkan diri dari yang lain. Sempat jalan-jalan ke pusat kaos yang terkenal akan katakatanya itu! Berharap menemukan kaos dengan kata-kata yang bisa memberiku semangat, karena itulah yang akan menjadi satusatunya alasanku untuk membelinya! Tapi ternyata tetap saja, aku nggak dapat apa-apa selain rasa yang masih sama: patah hati!
130
Huuhhhh... Akhirnya kembali melanjutkan perjalanan, untuk singgah di pantai yang lain! Ya, lagi-lagi pantai...! Sekarang di Tanah Lot, sebuah pantai dengan batu karang yang di atasnya berdiri sebuah Pura. Tapi, kali ini aku agak tertarik dengan cerita yang tadi kudengar di bus, cerita yang diuraikan panjang lebar oleh Tour Guide yang aku belum juga tahu namanya itu. Dia bilang, ada sumber air di batu karang di seberang pantai itu. Air tawar alami di tengah pantai! Katanya juga, ada kepercayaan kalau air tawar itu berkhasiat untuk mengabulkan permohonan...! Seperti di Mangkunegaran, tiang bangunan yang bisa mengabulkan permohonan...? Kepercayaan...? Mitos...??? Ehhh... Tapi tunggu...! Aku jadi ingat, waktu di Mangkunegaran itu aku memanjatkan harapan tentang Erik! Dan waktu aku memeluk tiang itu, tanganku tidak sampai...! Kenyataan sudah bicara tadi malam, Erik menolakku! Apa itu berarti... mitos itu benar...?!! Aku berdiri diam di tengah air pantai, menatap batu karang besar yang ada di depanku. Pikiranku sekarang malah dipenuhi tanya-jawab soal mitos itu! Sampai akhirnya, lama-lama aku jadi merasa konyol sendiri! Takdir ditentukan oleh mitos? Ahhh, mungkin cuma kebetulan saja mitos itu singkron dengan kenyataan yang kutemui! Tapi apa salahnya juga aku melihat-lihat ke sana, ke karang besar yang memang menarik itu? Yaahhh, anggap saja biar nggak rugi. Sudah bayar mahal-mahal buat ke Bali, cuma demi ditolak Erik...? Demi bersakit-sakit diri? Memang sakit, dan justru itu, seharusnya aku bisa menemukan manfaat dari piknik ini! Have fun! Aku berjalan lesu menapaki pasir di air yang dangkal, menuju ke karang yang tak jauh di depanku. Kulihat teman-temanku satu rombongan juga banyak yang ke sana. Kalau dipikir-pikir, memang bodoh kalau piknik yang mahal ini disia-siakan begitu saja!
131
Lokasi air tawar berada di ceruk sisi bawah karang. Seorang penjaga objek wisata berbusana adat Bali, menempelkan semacam butiran beras di pelipis keningku saat aku mau memasuki lokasi air suci itu. Nggak tahu maksudnya apa, nurut aja...! Aku bergabung dengan pengunjung lainnya yang berkerumun di sekitar sumber air tawar. Ada yang mengambil dan meminumnya dengan tangan, ada yang memakainya buat membasuh muka, ada juga yang menyimpannya ke dalam botol. Aku? Hmmm... Buat basuh muka aja. Permohonan? Percaya nggak percaya, nggak ada ruginya juga kan...? “Semoga suatu saat aku menemukan cinta yang bisa membuatku bahagia...” satu harapan terbayang begitu saja di benakku saat aku membasuh wajahku dengan air tawar itu. Lalu aku termenung sejenak. Merenungkan kembali harapanku. Cinta? Lebih bahagia...? Yahhh, semoga saja, suatu saat. Nggak ada salahnya punya pengharapan. Setiap orang memilikinya. Setelah puas melihat-lihat pemandangan di sekitar karang, aku kembali menuju ke tepi. Lalu mencari toilet buat mencuci kaki yang belepotan pasir dan habis terendam air laut. “Ehh, habis ini balik ke bus ya, waktunya lanjut nih!” pesan salah seorang panitia yang kebetulan berpapasan denganku. “Oke,” balasku singkat. Selesai dengan objek wisata di Tanah Lot, aku kembali ke bus. Duduk lagi di kursiku. Di sebelah Bambang yang rupanya hari ini jadi pendiam. “Habis ini kemana?” aku sekedar berbasa-basi. “Bedugul,” jawab Bambang agak malas. Bedugul? Tadi habis dari Kuta terus ke Tanah Lot, dari pantai yang satu ke pantai yang lain. Sekarang habis dari pantai, mau gantian ke danau? Air lagi? Cool. Panitia yang kreatif! Terima kasih buat objek wisata yang monoton! Tapi berhubung mood-ku memang sedang kacau, aku nggak terlalu ambil pusing soal jadwal trip yang jelek ini. Nggak mau tambah pusing! Mau kemana pun, akhirnya komentarku tetap: terserah! Ya, dengan sedikit menggerutu.
132
Bus sudah siap berangkat lagi. Tour Guide yang biasanya itu juga sudah stand by. Sebentar lagi dia pasti akan tanya pesan dan kesan setelah kunjungan di Tanah Lot ini. Lalu dia akan cerita soal objek wisata berikutnya. Ahh... Untung dia cakep! Kalau aku bosan dengan ceritanya, aku pandangi saja wajahnya tanpa peduli dia ngomong apa. Seperti biasa! Ya, lihatlah! Sebenarnya aku juga masih bisa tertarik pada orang lain bukan?! Artinya, Erik bukan satu-satunya cowok yang harus kuharapkan. Suatu saat, pasti sangat mungkin bahwa aku akan jatuh cinta lagi. Meski entah kapan... Entah dengan siapa... Meski mungkin butuh waktu lama...! Atau... entahlah, takdir sangat rahasianya...! Aku mulai lelah memikirkannya.
pandai
menjaga
Koordinator rombongan mengabsen satu per satu penumpang bus, memastikan bahwa semua sudah ada di bus dan siap berangkat. Kubuang perhatianku. Kupalingkan muka mencoba mencari pemandangan di luar jendela... Dan ternyata cuma untuk menemukan pemandangan dari orang yang sudah membuatku patah hati...! Ludah pahitku tercekat di kerongkongan, melihat Erik sedang berjalan santai menuju busnya dengan wajah cerah, bersama seorang cewek... Mungkin teman sekelasnya, mungkin juga bukan, mungkin... Aahhhh...! Lagi-lagi sibuk dengan pikiran yang nggak jelas! Aku cuma ingin keluar dari perasaan yang buruk ini, bukan untuk membuatnya tambah rumit! Kupalingkan lagi wajahku, menatap nanar pada punggung kursi di depanku. Ya, sedikit lebih baik sekarang. Berusaha melupakan Erik memang berat. Tapi aku harus bisa! Brmmmm... Suara mesin bus telah menyala! Kata „selamat tinggal‟ bisa ada kapan saja untuk apa saja. Tapi seperti bus ini harus meneruskan perjalanan, begitu juga hidup! Life must go on!
133
Jamuan Untuk Pecundang
Seharian keliling Bali. GWK, Kuta, Tanah Lot, dan Bedugul. Mungkin hanya keajaiban air tawar di Tanah Lot, dan keelokan pemandangan Danau Bratan di Bedugul yang bisa membuatku cukup terkesan. Sisanya? Penat dan capek! Aku bersyukur, sekarang sudah tiba di hotel lagi! Turun dari bus, aku melangkah gontai dan langsung menuju ke kamar. Kulempar ranselku ke lantai. Kucuci mukaku di wastafel. Kubasahi rambutku. Kulihat mukaku di cermin. Ohhh! Berantakan! Wajahku memang tergolong biasa saja, tapi jujur aku pernah jauh lebih tampan dari wajah yang kulihat di cermin ini! Kujatuhkan badanku ke atas kasur. Memejamkan mata. Memijit-mijit keningku. Menghela nafas pelan-pelan menyantaikan pikiran... Kreekkkk... Pintu kamarku terbuka. Sosok bongsor agak tambun masuk ke kamarku. Menjatuhkan tasnya ke kasur, lalu segera melangkah menuju pintu lagi. “Makan, coy...!” lontar Bambang sambil lalu. Kemudian menghilang lagi, keluar dari kamar. Makan? Hmmm... Aku nggak makan seharian. Pagi nggak ikut sarapan di hotel. Makan siang kardusan, aku kasih ke Bambang. Nggak nafsu sama sekali. Tapi sekarang terasa juga laparnya. Mungkin makanan yang masuk ke mulutku rasanya akan seperti sampah. Tapi perutku harus tetap diganjal! Aku bangkit dari rebahan. Masih dengan malas aku menuju ke ruang makan. Nggak kaget, ruang makan penuh orang. Semua sibuk memilih menu prasmanan. Kuambil piringku, lalu memilih menu dengan asal-asalan, apa saja yang kira-kira aku suka. Lalu aku duduk di pojok. Kupaksa diriku untuk makan!
134
“Eh, Dimas... Habis ditolak Erik ya semalam? Hahaha...” Deg! Tiba-tiba jantungku seperti tergelincir...! Aliran darahku berdesir dua kali lebih cepat menuju sarafsaraf di wajahku, membuat kulit wajahku meremang! Kutengok orang yang tadi bicara, salah satu dari segerombolan orang... “Wah... Kasihan amat, cowok ditolak cowok juga...!” “Resiko jadi hombreng ya gitu lah...!” Orang-orang itu, nggak cuma satu...! Dan mereka adalah teman-teman sekelasku sendiri, melontarkan kata-kata sinis bergantian sambil tertawa-tawa...! Melirikku dengan mata yang menikam...! “Ketinggian sih ngarepnya! Cewek-cewek aja udah pada ngantri si Erik...!” “Oh, sosis makan sosis ya si Dimas? Hahaha...” “Untungnya besok kita udah ganti kelas!” “Kenapa?” “Malu, man...! Sekelas sama homo...!” “Hahahaha...” Tawa mereka bersahutan di ruang makan. Pandangan mata mereka silih berganti menusukku! Diikuti sekian mata dari tiap sudut, ikut memandangiku... Cukup! Tanganku gemetar menahan piringku. Prkkk...! Kuletakkan piringku di kursi... Secepatnya kutinggalkan ruangan itu...! Tapi tawa-tawa yang mengejek itu masih saja berusaha mengejar telingaku meski aku sudah menghindar sebisa mungkin... Kupercepat lagi langkahku! Entah menuju kemana... AKU CUMA INGIN PERGI DARI SINIII...!!! Langkahku baru terhenti ketika aku yakin suara-suara itu tak terdengar lagi, dan wajah-wajah pengejek itu sudah lenyap kutinggalkan di belakang. Sekarang aku berdiri di sini, di satu sisi hotel yang sepi. Bimbang... Lutut pun lemas, goyah...!
135
Aku terduduk di pinggiran taman. Gundah dan lesu menumpukiku. Kudekapkan tanganku rapat-rapat, kurasakan dadaku gemetar kencang...! Bagaimana mereka tahu...? Kenapa mereka bisa tahu...?! Siapa yang begini berniat membuatku jatuh...? Apa Erik yang mengatakan semuanya...? Ya Tuhan, apa dia setega itu...?!! Aku nggak cuma kalah. Aku kalah dan ditelanjangi di depan orang-orang yang begitu senang melihatku malu...! Mereka merasa menang menginjak-injak perasaanku! Mereka puas dengan tawa mereka yang keras itu...! Kuremas wajahku. Gigi berderak menahan kertak tangis...! Rasanya aku ingin berteriak di depan mereka... “HAIII!!! AKU PUNYA HARGA DIRI...!!!” Tapi... cuma ini yang aku bisa, cuma ini sisa kemampuanku... Merintih sendirian, tanpa sanggup berkata apa-apa di depan orang-orang yang menertawaiku! Aku sendirian dan kalah. Tanpa satu pun yang membelaku. Ya Tuhan, apa aku memang nggak pantas dibela...?!! APA GAY ITU MEMANG SAMPAHHHH...?!! “Dik...?” tiba-tiba ada suara seseorang menjamah bahuku...
menyapa, dan
tangan
Kuredam mataku yang basah. Kukeringkan di lenganku, sesaat menahannya. Lalu perlahan kutengok orang yang menyapaku. Kutatap wajah orang itu sekejap. Aku mengenalinya... “Ada masalah apa?” tanyanya pelan. “Nggak apa-apa...” jawabku gemetar. Kusembunyikan lagi wajahku darinya. Aku nggak mau memperlihatkan mata basahku, menambah rasa maluku di depan siapapun! “Kalo ada masalah jangan seperti ini. Nggak baik...” ujarnya lagi. Dia merengkuh bahuku, mengajakku berdiri. “Ayo...!” Dayaku terasa begitu lesu dan rapuh, tapi entah kenapa aku mau mencoba berdiri saat dia mengajakku...
136
“Ayo, lebih baik jangan sendiri di sini...” laki-laki itu mengajakku untuk mengikutinya. Aku tak punya alasan untuk menolaknya. Sebenarnya aku juga tak punya alasan buat mengikutinya. Tapi, aku tak sanggup lagi menghadapi masalah ini seorang diri...! Aku memilih mengikutinya. Aku melangkah pelan di belakangnya, hingga kami tiba di bagian lain dari hotel. Sebuah bangunan kamar, dengan teras di depannya. Lampu gantung menerangi teras dengan sorot cahaya lembut kekuningan. “Duduk sini,” ujarnya sambil menyiapkan kursi untukku. Aku duduk, dan berusaha menenangkan diri di tengah batin yang sangat sesak ini. Denyut emosi naik dan turun, labil kurasakan... “Minum dulu, mumpung masih hangat...” tawar laki-laki itu sambil menuang teh dari poci ke dua buah cangkir yang telah siap di meja. Aku cuma mengangguk pelan. Tanganku sedikit gemetar saat mengangkat cangkirku. Perlahan, kuminum tehku, berharap bisa membantuku lebih tenang. “Aku nggak tahu masalahmu. Tapi pasti masalah pribadi. Aku cuma mencegah... kalo mungkin akan terjadi apa-apa... yang nggak baik...” Mendengar ucapan laki-laki itu, sesaat aku terpaku masam memandanginya. Tour Guide itu... “Terjadi apa...?” tanyaku setengah tercekat. Tour Guide itu tertawa lirih. “Kamu kan sedang jauh dari rumah. Kadang kalo ada masalah yang berat di situasi seperti ini, orang bisa menjadi nekat...” “Nekat...?” aku sedikit bergidik. Kemudian tertawa pahit. “Tapi aku nggak akan bunuh diri...?!”
terpaksa
“Ohh, aku nggak berpikir seburuk itu juga kok!” laki-laki itu segera menyanggah. “Yang aku maksud, orang yang lagi kena masalah itu biasanya mudah terpengaruh buat melakukan hal yang buruk. Mengamuk, merusak apa saja, pergi tanpa tujuan, ya seperti
137
itulah kira-kira... Aku nggak bermaksud berpikiran negatif, tapi kecenderungannya memang bisa seperti itu!” Laki-laki itu lalu tersenyum. Aku menatapnya dan kali ini juga ikut tersenyum. Menarik kedua ujung bibirku sedikit naik ke samping, agak berat dan terpaksa, tapi... Begitulah. Aku mengangguk pelan. Aku faham. “Aku lupa nama Mas... Siapa ya...?” tanyaku sedikit enggan. “Awan,” jawabnya simpul. “Mas Awan...” gumamku sambil mengangguk. Terasa bukan situasi yang nyaman untuk berkenalan. Tapi biapun perasaanku saat ini begini buruk, sangat nggak sopan juga kalau aku masih belum tahu siapa nama laki-laki yang ramah dan baik hati ini, yang sepertinya tulus memperhatikanku... “Namaku Dimas,” ucapku. “Yang mengembalikan HP-ku waktu itu...” sambung Mas Awan dengan senyum mencandaiku. Aku tertawa masam. Rupanya dia mengingatku! Dan sekonyong-konyong terbersit sesuatu di pikiranku. Meski sebenarnya enggan, dan terasa agak lancang, tapi aku benarbenar sulit menahan rasa ingin tahuku...! “Mas, apa aku boleh bertanya?” ucapku hati-hati. “Soal apa?” “Soal HP Mas itu...” ujarku dengan agak sungkan. “Maaf, bukannya sengaja, tapi aku sempat melihat foto yang di HP itu... Apa itu orang yang istimewa buat Mas...?” tanyaku hati-hati. Mas Awan kelihatan berpikir-pikir sejenak. Lalu perlahanlahan dia tersenyum sedikit masam... “Ya. Kenapa?” dia menjawab sekaligus balik bertanya. “Kalo aku nggak sopan, maaf ya, Mas... Apa dia... pacar Mas?” Laki-laki itu langsung tertawa. Nggak kelihatan mau marah mendengar tebakan lugasku. Setelah itu dia merenung sejenak. Matanya yang teduh itu tampak menerawang jauh.
138
“Kamu menyimpulkan darimana?” dia balik bertanya lagi. “Mas, aku suka sesama cowok...” ucapku tanpa menutupnutupi. Mas Awan menatapku agak kaget! “Aku cuma menebak kalo Mas juga seperti aku. Mungkin aku salah. Makanya aku ingin tahu...” lanjutku hati-hati. “Kamu...?” Mas Awan seperti masih kurang percaya. “Iya. Aku gay...” tandasku singkat. “Dan kamu mengakuinya ke orang lain semudah itu...?” delik Mas Awan, masih ragu. “Resikonya udah telanjur aku ambil Mas... Teman-temanku hari ini udah pada tahu kalo aku... yahh, begitu lah... Padahal aku nggak pernah bilang ke mereka. Entah darimana mereka tahu. Tapi akhirnya sama saja, mereka tahu dan aku yang menanggung konsekuensinya. Jadi kayaknya nggak ngaruh, misalnya ada satu orang lagi yang tahu kalo aku gay...” Mas Awan menatapku dengan beku. Dan aku hanya tersenyum, makin kecut. “Jadi itu masalahmu?” Aku tertawa lirih. “Begitulah. Rasanya nggak adil, aku nggak pernah bilang tapi orang-orang bisa tahu dan mereka menertawaiku! Seolah aku nggak punya hati buat merasa sakit! Kalo memang itu harus diketahui orang lain, seharusnya akulah yang berhak memutuskan buat membukanya atau tetap menyimpannya! Tapi tanpa perasaan mereka menguaknya, demi bisa mengolok-olok aku yang selama ini sudah berusaha keras menyimpannya! Aku seperti nggak punya harga diri lagi...” desahku lesu. Ohh, aku jadi curhat sekarang! Ya ampun! Untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa butuh pendengar untuk masalah ini...! Hidupku sudah sekacau ini rupanya! Mas Awan mendesah landai. Lalu meluruskan duduknya, menyantaikan diri. Dia mengeluarkan HP-nya. Bibirnya tersenyum saat memandangi foto di HP-nya itu. “Iya, dia boyfriend-ku...” ujarnya sambil menatap foto di HP-nya itu.
139
Aku terdiam memandanginya. Sebenarnya aku nggak terlalu kaget mendengarnya... “Dia temanku sejak SMA. Tapi kami jadian saat kami sudah kuliah. Yahhh... Mengakui perasaan kepada orang yang kita cintai, apalagi orang seperti kita, bukan hal yang mudah. Bisa butuh waktu lama, dan yang pasti juga butuh keberanian! Kami bersyukur, karena diberkati perasaan yang sama. Dan itu berjalan sampai sekarang...” tuturnya dengan mata menerawang, dan dengan senyum kecil penuh arti. Aku termangu menyimaknya... Ternyata kami memang sama. Tapi... ahhhh, alangkah dia lebih beruntung dariku, bisa bersatu dengan orang yang dia cintai...! “Apa orang lain juga ada yang tahu? Keluarga...?” tanyaku makin jauh. “Keluarga kami? Ya. Mereka tahu, akhirnya...” desah Mas Awan seraya menghela nafas. Seolah sesuatu yang berat juga masih tersisa di dalam dirinya. “Tanggapan mereka...?” kulikku makin penasaran. “Kecewa. Kami tahu mereka kecewa. Tapi mereka tetap menerima kami...” Aku tertegun. “Menerima? Apa bisa begitu?” Mas Awan mengalihkan pandangannya padaku lagi. Dia tersenyum sayu. “Setiap orang pasti punya kelemahan di mata orang lain. Tapi menurutku, cara pikir orang dewasa adalah menghargai orang lain berdasarkan kemampuannya. Yang aku tunjukkan pada mereka adalah aku menjalani hidupku dengan baik. Aku mandiri. Aku tidak bermaksud menyakiti orang lain. Aku menentukan pilihanku sendiri, dan bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Mereka kecewa, tapi mereka akhirnya berusaha mengerti...” Aku terdiam. Berpikir dalam-dalam merenungkan cerita yang dituturkan Mas Awan... “Keluarga mungkin memang lebih bisa mengerti kita, karena mereka menyayangi kita. Tapi bagaimana dengan orang lain...? Kita juga hidup di tengah lingkungan dengan macam-macam orang...?” kulikku dengan rasa risau.
140
“Ya, tapi nggak semua orang adalah bagian dari hidup kita kan? Apa semua orang harus tahu? Bukankah belum tentu mereka ingin tahu? Selama ini aku menjalankan prinsip, dalam pekerjaan aku harus professional, dalam pergaulan aku harus ramah... Dalam hubungan dekat, aku menyayangi mereka dengan menjadi diriku sendiri. Dunia sangat rumit, kita harus punya cara yang lebih sederhana karena hati dan pikiran kita nggak akan bisa kalo harus menuruti semuanya!” tutur Mas Awan diikuti tawa lirihnya yang hangat. Sesuatu tiba-tiba terasa meniup keruhnya pikiranku. Perlahan aku ikut tersenyum. Kata-kata itu terasa penuh arti bagiku...! “Jadi, apa aku juga harus bilang ke orang tuaku, Mas...?” sesaat aku kembali ragu, dan berusaha mencari jawab atas kebimbangan yang kurasakan selama ini. “Semua ada waktunya!” jawab Mas Awan seraya tersenyum simpul. “Sebelum menanyakan perlu-tidaknya ngomong ke orang tua, yang lebih perlu adalah menanyakan pada diri kita sendiri: apa kita sudah bisa membuat mereka bangga? Karena yang ada di dalam harapan orang tua itu nggak cuma soal siapa yang akan jadi pacar anaknya, tapi juga bagaimana sekolahnya, bagaimana prestasinya, pekerjaannya, pergaulannya, banyak hal...! Adakah yang sudah membuat mereka bangga? Itu yang harus dibuktikan oleh seorang anak kepada keluarganya...!” Aku tersenyum dan termangu, menangkap nasehat Mas Awan. Kata-katanya seperti sebuah cermin besar yang tiba-tiba dihadapkan kepadaku... “Lalu, bagaimana dengan teman-teman yang kutemui tiap hari di sekolah? Mulai dari sekarang, kayaknya mereka akan makin senang mengejekku...! Jika keluargaku tahu, nggak mungkin itu menjadi sesuatu yang membuat mereka bangga!” keluhku. “Lihat saja dari sisi yang lebih jernih. Teman sejati itu, akan menerima siapapun kita. Di saat banyak orang mengejek kita, maka di saat yang sama kita bisa lebih mudah melihat siapa yang benar-benar di pihak kita. Bukan begitu? Teman-teman sejati, itulah yang seharusnya kita pedulikan! Yaitu sahabat yang bisa melihat bahwa ada kelebihan di samping kekurangan kita...” “Teman sejati? Gimana kalo nggak ada...?” tanyaku ragu.
141
“Berarti, saatnya kamu menjadi dewasa!” ujar Mas Awan menyiratkan sesuatu yang sulit kupahami. “Apa menjadi dewasa itu harus bisa hidup tanpa teman?” sanggahku tetap ragu. Mas Awan tertawa ringan. “Aku yakin, nggak ada orang hidup tanpa teman. Yang ada adalah, orang yang sombong buat berteman...! Kalo kamu mau membuka diri, pasti akan ada yang namanya teman sejati. Kalo sampai nggak ada orang yang mau berteman denganmu, berarti: introspeksilah! Menjadi dewasa itu berani introspeksi!” Introspeksi...? Kenapa kali ini aku merasa seperti ditampar?! Sombong untuk berteman? Aku...? Dengan siapa selama ini aku berteman? Yang ada adalah: aku lebih suka menyendiri. Selalu...! Lalu, kenapa aku merasa nggak mampu menghadapi masalah ini sendiri? Aku merasa butuh orang yang membelaku, tapi siapa...? Siapa temanku...? Apa aku pernah menjadi teman bagi orang lain? Bukankah selama ini yang aku kejar cuma...??? Ya, selalu Erik, cuma Erik...! Erik, Erik dan Erik...! Tapi akhirnya, ya ampun, Erik sendiri ternyata menolakku...! Dan sekarang aku mengeluh saat orang lain nggak mau peduli dengan perasaanku...? Hhhhh... Sekarang rasanya aku sadar, aku begitu egois dan sombong sebagai orang yang akhirnya cuma menjadi... PECUNDANG...! “Teh?” Mas Awan memecah lamunanku, menuang teh lagi ke cangkirku. “Ya...” anggukku lesu. Kuangkat lagi cangkirku, meminum tehku pelan-pelan... “Mas Awan percaya kalo teman sejati itu ada?” tanyaku setengah merenung.
142
“Percaya.” Aku menatap Mas Awan. Sorot matanya yang teduh, senyum sayunya yang hangat, seperti menyiratkan satu keyakinan sekaligus sisa-sisa kenangan yang pahit dalam dirinya. Entah apa... “Terima kasih, Mas...” akhirnya terucap di bibirku. “Buat apa?” “Buat...” aku sedikit kikuk, menurunkan mataku ke meja. “Buat tehnya. Buat semangatnya... Buat apapun yang bikin aku jadi merasa lebih baik...” Mas Awan tertawa hangat. Aku ikut tertawa pelan. “Teman sejati itu pasti ada ya, Mas? Entah kapan dan dimana...” gumamku menerawang. Lalu aku menatapnya lagi, dan menjawab ucapanku sendiri. “Mungkin sudah ya, sekarang di sini...?” Kami seketika tertawa bersamaan. Meringankan hatiku dengan pelan dan pasti. Dan tawaku menjadi tawa haru... “Pasti akan ada yang lain juga lah...!” celetuk Mas Awan. “Doakan ya, Mas...” balasku dengan tawa lirih. Pahit, getir, masam... dan juga sejumput rasa manis pada akhirnya, itulah menu makan malamku malam ini. Aku terpejam sesaat, menertawakan diriku sendiri. Tawa perih, dan penuh arti...! Setelah merenungi diri sendiri, sekarang aku jadi teringat akan hal yang kurasa telah kusita dari Mas Awan...! “Maaf, Mas, aku jadi merepotkan...! Padahal Mas Awan pasti sudah capek habis mengantar rombongan seharian, dan besok masih harus mengantar lagi...” ujarku kemudian, jadi merasa sungkan. “Aku kan dibayar buat jadi Guide!” canda Mas Awan. “Tapi nggak buat ngobrol sama aku kan?” “Jadi Guide aku dibayar, tapi jadi teman nggak perlu bayar!” “Nice reason!” Kami tertawa lagi dengan hangat.
143
“Makasih, Mas, udah membuatku introspeksi...” gumamku setengah merenung. “Aku akan belajar lebih tegar mulai sekarang...!” Mas Awan mengangguk dengan senyum rapat. Lalu perlahan aku pun mulai berdiri dari dudukku. “Aku juga nggak boleh egois, menyita jam istirahat Mas Awan... Besok kan masih harus melanjutkan perjalanan!” lanjutku sedikit bercanda, bersiap-siap untuk pamitan. Mas Awan tertawa seraya ikut berdiri. Dia mengulurkan tangannya padaku. Kujabat tangannya itu! “Jangan menyerah! Dan nggak usah merasa rendah diri, semua orang pernah nangis kok!” ucap Mas Awan dengan senyum canda. Aku mengangguk tersipu. “Aku coba!” “Sampai ketemu besok!” “Pasti!” Aku menuruni undakan teras. Sesaat aku menoleh lagi dan tersenyum, kepada orang yang telah memberiku banyak kekuatan setelah hari yang kacau ini...! Aku akan mengingatnya. Pasti! Masalah belum berakhir, aku tahu. Bahkan aku harus siap dengan hal-hal buruk berikutnya karena kusadari bahwa sebenarnya ini semua baru dimulai! Mungkin akan makin banyak orang yang meneriaki aku dengan ejekan mereka. Tapi satu hal, jangan sampai aku diteriaki: PENGECUT...! Aku akan menghadapinya! Dan itu juga berarti bahwa semua ini harus mendorongku untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Lebih tegar! Begitu bukan...? Aku akan berusaha...! Terima kasih, Mas Awan...
144
Berdamai
Aku kembali ke kamarku. Kamarku yang sepi. Yahhh... Ini malam terakhir di Bali. Pastinya banyak yang ingin menikmati malam ini, nongkrong atau jalan-jalan ke luar hotel. Si Bambang mungkin juga begitu. Tapi, aku terlalu letih. Aku butuh istirahat karena hari ini sudah menjadi hari yang berat. Ahhh... Mungkin esok juga akan jadi hari-hari yang berat buatku. Bahkan bisa jadi lebih berat. Saat orang-orang tahu aku seorang gay, artinya mau nggak mau aku harus siap dengan cacian, bahkan perlakuan menyakitkan yang belum pernah kukenal sebelumnya. Mungkin memang nggak akan selalu seberat itu, tapi yang pasti resikonya sangat jelas! Aku hidup di dunia yang masih menganggap gay sebagai anomali. Apa yang tadi kuhadapi di ruang makan adalah bukti nyata yang nggak perlu dibantah! Karena itu, sebaiknya aku beristirahat di sisa malam ini. Mengendapkan semua beban sementara waktu. Karena esok, dan hari-hari berikutnya, nggak akan pernah sama lagi! Baru saja kucoba untuk tidur, HP-ku menyela pejaman mataku. Sebuah nada panggilan. Segera kuraih dan melihat nomor siapa yang sedang memanggilku. Ternyata... Sesaat aku cuma terpaku menatap layar HP-ku, ragu. Apa aku harus mengangkatnya...? “Hallo...?” akhirnya kuangkat juga. “Hai, Mas...” suara Denis lirih di sana. “Ada apa?” tanyaku dengan canggung. “Emmhhh... Mas, lu masih marah...?” “Cuma mau nanya itu?”
145
“Mas... Gue bener-bener minta maaf...” Aku terdiam. Hhhhh... Apa minta maaf itu memang selalu lebih mudah dibanding berpikir masak-masak sebelum mengorek privacy orang?!! “Mas... Gue akui, gue memang udah lancang buka-buka diary lu. Gue ngerti, lu sakit hati. Gue sungguh-sungguh, Mas, minta maaf sama lu...” “Kenapa baru bisa berpikir sekarang kalo aku sakit hati? Kamu nggak bisa, berpikir sebelum berbuat kalo aku bakal sakit hati?” “Iya. Gue ngerti. Kesalahan gue bukan karena nggak bisa baca tanpa ketahuan, tapi kesalahan gue karena gue lancing! Lu bakal tahu atau nggak, gue tetap salah udah mengorek privacy lu...” “Kenapa sih, kamu harus lancang seperti itu?!” kecamku lirih, menahan gusar. “Mas... Terus terang, gue cuma bermaksud... ingin tahu soal lu...” Ingin tahu? Oh, alasan yang gampang banget! “Dengan cara buka diary yang jelas-jelas aku kunci? Aku udah berusaha sebisa mungkin buat percaya sama kamu!” balasku ketus. “Mas, gue mau jujur sama lu sekarang...” kamu?”
“Jujur? Setelah kamu merusak kepercayaanku sama
“Lu mau percaya apa nggak, gue nggak akan maksa. Kayaknya kita nggak akan ketemu lagi buat waktu yang lama, makanya sekarang gue harus bilang sama lu... Meski gue udah lancang baca diary lu, tapi justru dari situlah akhirnya gue jadi tahu diri lu yang sebenarnya...” “Maksudmu?! rahasiaku?!”
Kamu
senang,
bisa
memiliki
semua
“Nggak, Mas, please...! Jangan terus menerus nganggap gue musuh... Lu pasti marah karena gue tahu rahasia kalo lu itu...
146
suka cowok kan...? Lu suka sama Erik dan lu marah waktu gue tahu itu, iya kan?” Aku benar-benar terdiam nanar, saat ucapan Denis terasa menamparku...! “Mas, sumpah...! Gue nggak malu punya sodara seperti lu! Siapapun yang lu sukai itu hak lu, lu tetap sodara gue! Gue bisa ngerti kemarahan lu soal kelancangan gue, dan gue terima. Tapi gue nggak ngerti kenapa seolah-olah lu nggak butuh sodara yang bisa nerima keadaan lu...?” Aku tercekat membisu. Tanganku gemetar memegangi HPku. Tiba-tiba, yang bisa kurasakan adalah tamparan Denis bukan untuk menyakitiku, tapi dia sedang berusaha membuka mataku... Bahwa... Selama ini aku telah bersembunyi di balik keangkuhanku, menutupi semua ketakutanku! Sekarang itu terkuak, dan aku tak bisa menyangkal lagi bahwa dalam lubuk hati yang terdalam sebenarnya aku butuh seseorang yang mau menerimaku... Pencuri yang dulu membuatku marah itu, kini telah membukaku dari kepura-puraan...! “Gue nggak tahu gue musti bersyukur atau gimana. Tapi yang pasti begitu gue tahu sejatinya lu, gue harap lu jangan bawa beban itu sendirian...!” “Beban apa? Beban bahwa aku gay...?” ucapku gemetar. Setetes air mata tergelincir dari pelupukku... “Bukan. Beban lu itu kesepian. Lu cuma berbagi sama diary, karena lu nggak tahu harus berbagi sama siapa kan? Gue ngerti kalo lu cemas sama tanggapan orang lain... Tapi lu bukan orang lain buat gue, Mas, biarpun kita ini dipisah sejak kecil. Kita dikandung sama-sama berdua, gue nggak mau jadi sodara buat lu benci, dan gue juga nggak mau benci sama lu... Gue nekat baca diary lu, karena gue juga ingin berbagi sama lu... Gue ingin kenal dengan sodara gue lagi...!” Suara Denis yang lirih di sana, menyibak semua perasaanku dengan gamblang! Rasa marah, rasa malu, rasa angkuh, sebenarnya tak lain adalah jelmaan dari rasa takutku akan kehilangan orang-orang yang kusayang... Takut kalau mereka berhenti menerimaku, takut kalau mereka berbalik membenciku...!
147
Papa, Mama, Denis, kehilangan kalian...?
bagaimana mungkin
aku mau
“Mas, gue tetap minta maaf soal kelancangan gue. Gue nggak nuntut lu buat maafin gue. Tapi gue ingin lu tahu, selama lu ingin semua itu tetap jadi rahasia, gue akan jaga buat lu...! Sebenarnya gue sendiri juga butuh waktu buat merenungkan keadaan lu. Tapi akhirnya gue faham, lu menjalani sesuatu yang nggak mudah, gue percaya lu menjalani itu bukan buat sekedar main-main dengan hidup lu! Lu tetap sodara gue, dan gue sayang sama lu...!” Badanku luluh di atas tempat tidurku mendengar semua pengakuan Denis... Dadaku sesak dan pedih. Mataku nanar memandang langit-langit, tanpa sepatah katapun yang sanggup kukatakan. “Gue cuma ingin menyampaikan itu aja, Mas... Dan sekalian pamitan karena gue harus balik ke Medan...” “Den...” “Ya...?” “Kamu benar, selama ini aku selalu pura-pura... Aku juga selalu menyalahkan orang lain...” ucapku terbata-bata, mencoba menahan gemetar di bibirku. “Kalo kamu nggak lancang, mungkin aku justru nggak akan pernah tahu arti yang sebenarnya dari sodara seperti kamu... Aku juga harus minta maaf sama kamu... Dan harusnya aku juga bersyukur...” Kudengar tawa kecil Denis di sana, sebaliknya air mata mengalir makin deras membanjiri pipiku. Ya Tuhan, betapa memalukan aku ini! Karena manusia sombong ini rupanya begini cengeng...! “Mas... Lu nangis ya...?” “Diammm...!” tukasku jengkel sekaligus haru. Aku mengusap mataku yang makin banjir. Sedangkan Denis tertawa lagi. “Gue nggak bilang lebay kok, Mas... Cowok kan juga boleh nangis. Malah harusnya bersyukur, karena itu tandanya punya hati. Gue juga pernah nangis kok...” “Mulai...! Cerewet!”
148
Denis tertawa lagi. Akhirnya, meski dengan jarak yang jauh ini, meski hanya lewat segenggam HP, kami bisa tertawa berdua. Ya Tuhan, rasanya begini damai... “Gimana di Bali? Sesuai harapan lu...?” tanya Denis terdengar lebih ringan. Tapi aku justru merasa pahit mengingat hal-hal buruk yang telah kualami di sini. “Aku habis ditolak Erik...” jawabku kelu. “Hahh...? Jadi akhirnya lu ngomong ke dia...?” “Akhirnya... Tapi aku udah ikhlas kok... Yahh, masih berusaha ngatasin sakit hati sih...” balasku dengan tawa pahit. Kami lalu terdiam. Aku mau menceritakan semuanya, tapi... mungkin sebaiknya jangan. Kalau aku cerita semuanya, perasaanku yang sudah dikecewakan ini mungkin mudah terjebak buat menjelek-jelekkan Erik... Aku rasa nggak perlu. Denis tahu intinya, itu sudah cukup. “Dia nggak suka sama lu?” “Dia... nggak seperti aku... Dia menjelaskan kalo dia straight. Sudahlah... Berani suka, juga harus berani ditolak...” ujarku menegarkan diri. “Gue suka lu bisa bersikap gentle...!” cetus Denis. Aku tersenyum tipis seraya memejamkan mataku. Ya, aku harus belajar melepaskan harapan-harapan yang sepertinya memang terlalu tinggi itu... Menyukai seorang idola sekolah? Ahhh... Sudahlah, lupakan mulai sekarang! Kenyataan sudah bicara. “Mas, kalo lu memang udah yakin sama kondisi lu, apa nanti lu akan ngomong ke Papa sama Mama...?” Denis melontarkan satu pertanyaan yang cukup berat buatku. “Entahlah. Ngomong atau tetap merahasiakannya, duaduanya nggak mudah. Jadi, kayaknya aku belum bisa memikirkan keputusan apa-apa. Lihat aja nanti lah...” desahku lesu. “Oke. Selama lu mau tetap menyimpan itu, gue akan ikut jaga rahasia lu...” Rahasia...?
149
Hffhhh... Sekarang hampir semua teman sekolah sudah tahu soal „rahasia‟ itu. Bukan rahasia lagi. Sesuatu yang nggak bisa kucegah lagi. Yang masih bisa kucegah mungkin adalah agar Papa dan Mama nggak sampai dengar masalah itu. Entah bagaimana caranya... “Sebenarnya itu juga udah bukan rahasia lagi, Den... Teman-temanku udah pada tahu...” “Hahhh?!” kudengar suara Denis yang kaget. “Kok...? Gimana bisa...?” “Aku nggak tahu. Tapi nanti pasti akan jelas juga, siapa yang nyebarin...” “Erik?” “Aku nggak tahu, dan aku juga nggak mau nuduh. Biar nanti ketahuan sendiri...” ucapku gamang. Sebenarnya kecurigaan itu memang ada. Tapi, aku sulit percaya Erik akan setega itu. Aku nggak boleh gegabah menuduh orang. “Terus? Gimana tanggapan teman-teman lu?” Aku tercenung sesaat. Ohhh, apa aku harus cerita ke Denis berita buruk hari ini? Untuk membuatnya resah, membakar emosinya...? “Ada yang ngomong jelek sih... Tapi masih wajar kok, buat becandaan aja...” akhirnya aku setengah berbohong. “Kalo ketahuan siapa orangnya, gue hajar tuh orang!” timpal Denis. Seperti dugaanku, dia menanggapinya dengan emosi. “Udah! Ngapain sih sampai segitunya?! Nanti juga pada diam sendiri kalo udah capek...!” cegahku. “Lagian kapan mau hajar orangnya? Bukannya kamu mau balik ke Medan?” Denis terdiam. “Kamu mau pulang ke Medan kan...?” ulangku perlahan. “Iya... Besok lusa berangkat pagi, tiketnya udah dipesan...” akhirnya Denis menjawab. Dan akhirnya rasa sedih begitu terasa saat Denis memastikan dia akan balik ke Medan. Setelah melewati berbagai pertengkaran, kemarahan, kepura-puraan, lalu saling memaafkan, akhirnya rasa kehilangan ini muncul...
150
Kapan lagi aku bisa melihat dia? Sodara kembarku yang usil dan menyebalkan itu, aku pasti akan kangen sama dia... “Ohh, ya udah... Hati-hati ya...!” ucapku dengan berat hati. “Kalo mau bilang hati-hati, jangan ke gue. Tapi ke pilot pesawat...! Hehehe...” Lagi-lagi rasa haru membuatku ikut tertawa. “Aku kayaknya akan kangen sama kamu, Den...” “Itu sih pasti...!” “Ah, sialan!” umpatku jadi gengsi. “Haha...! Gue tahu kok, lu sebenarnya sayang sama gue!” “Tahu dari mana?” “Mama yang cerita...” “Cerita apa?” “Dulu pas gue dibawa sama Tante ke Medan, katanya lu sering nangis tiap mau tidur. Hampir sampai sebulanan gitu katanya... Pasti kangen kan sama gue?” Ini dia, gelagat menyebalkan kalau Denis mulai cerewet! Tapi aku diam saja, karena yang dia ceritakan memang benar. Memang kok, aku cengengnya segitu...! Hahaha... “Gue juga kangen kok, Mas. Gue juga pernah nangis...” “Hahaha...” aku ganti ketawa sekarang. Tapi hatiku sekaligus sesak, ketika mengingat kami yang harus dipisah pada saat masih kecil. Apalagi Denis, dia yang harus jauh dari orang tua... Sekarang dia pulang ke rumah kami di Solo, tapi aku nggak di rumah. Dan di saat aku baru menyadari arti seorang sodara seperti dia, kami sudah nggak punya kesempatan buat bertemu lagi. Kami cuma bisa bicara dan saling berbagi rindu lewat benda mungil ini, sebuah handphone... Dia akan berangkat lusa pagi, aku mungkin baru sampai di rumah lusa siang. Melihat wajahnya sebelum berpisah saja aku nggak akan sempat... “Lu musti lebih terbuka, Mas. Jangan menyendiri terus!” Denis berpesan.
151
“Tapi, pasti susah cari teman yang mau nerima...” keluhku. “Kalo teman yang baik itu susah dicari, ya nggak usah kaget lah! Tapi pasti ada kok! Gue juga percaya, biarpun lu suka sesama cowok, bukan berarti lu bukan orang baik...” Aku mengangguk haru di atas bantalku. “Thanks, Den...” “Gue pamit ya, Mas...” Rasanya berat buatku menjawab ucapan perpisahan ini. “Iya. Take care!” ucapku. “Oke. Bye...” “Bye.” Lalu... Tuttt... Denis menutup HP-nya. Aku sendirian lagi sekarang. Termenung di kamar yang hening ini. Senyap. Lalu aku teringat kebiasaan Denis selama kami berbagi kamar. Biasanya, dia akan memetik gitar dan menyanyi sebelum kami tidur. Maka segera terlintas di kepalaku satu gagasan...! Kuraih lagi HP-ku. Kuketik satu pesan...
“susah tdur. biasany klo mau tdur u nyanyi kan? one last time, please!” Kukirim SMS-ku sambil tersenyum-senyum sendiri. Lebay ya...? Ah, nggak urusan! Hahaha... Nggak lama kemudian Denis langsung menelpon lagi... “Aneh-aneh aja lu!” tukasnya. “Aku kangen sama kamarku, kangen sama tempat tidurku, kangen sama gulingku... Kangen ada yang nyanyi waktu aku mau tidur...!” cerocosku. “Kali ini lu beneran lebay!” gerutu Denis.
152
Kuakui, memang lebay! Hehehe... “Kalo di sini ada gitar aku bakal nyanyi sendiri! Aku sendirian di sini! Sepi banget, kayaknya juga rada seram nih kamar...!” keluhku. “Tapi jangan marah ya! Kemarin gue habis ngobrak-abrik koleksi CD lu. Dapat lagu baru nih...” “Lagu apa?” Sesaat suara kosong. Lalu perlahan mulai kudengar petikan gitar, sayup-sayup. Segera kupasang headsetku... “Kalo aku nggak ngomong lagi, berarti aku tidur ya...!” pesanku sambil merilekskan diri di atas kasur. Suara Denis mulai kudengar menyanyi pelan-pelan...
“I close my eyes to see the world...” Ahhh... Itu lagu milik Yanni, Before The Night Ends. Aku juga menyukainya! Dan saat ini, lagu itu terasa begitu dekat maknanya bagiku. Ya, kumaknai arti lirik lagu itu dalam hati...
“Sebelum malam berakhir dan fajar menyibak pagi yang baru, betapa aku berharap untuk sanggup keluar dari kegelisahan ini... Bahwa aku akan menemukanmu, sebelum malam berakhir...” Suara yang jauh terpisah ruang. Meski tak begitu jernih, tapi aku menangkap pesan itu. Setelah semua beban dan penat, sekarang aku merasa tentram dan damai. Malam ini pun menjadi teduh. Dan aku merasa seperti di rumah lagi... Sesaat aku menggumam, “Sahabat sejati…” Kurasa aku telah menemukannya, di sana...! Lalu... Aku pun terlelap.
153
Persona Non Grata
Aku baru saja naik ke bus dan duduk di kursiku. Hari ini adalah hari ketiga di Bali, hari terakhir sebelum pulang ke Solo. Semua bawaan nggak ada lagi yang ditinggal di hotel, semua sekalian dikemasi. Hari ini masih mengunjungi beberapa objek wisata, Pasar Seni Ubud, Pura Besakih, Kintamani, dan Sangeh. Berkaitan dengan kejadian-kejadian pahit tadi malam, meski perasaanku masih canggung buat menghadapi anak-anak lainnya, tapi aku sadar nggak ada pilihan yang lebih baik selain untuk berani menghadapinya. Karena bagaimanapun tiap hari aku bakal bertemu mereka di sekolah. Hadapi saja! “Eh, bisa tukeran tempat duduk nggak?” tiba-tiba ada salah satu peserta piknik menghampiriku, mengajak tukar tempat duduk. Anak kelas sebelah. “Kenapa? Bukannya di depan lebih enak?” aku balik bertanya. “Aku nggak cocok sama si Eka tuh!” jawab anak itu sambil menunjuk kursinya yang ada di depan. Aku masih ingat, dia anak yang kemarin pas berangkat datangnya ngaret! Terus sekarang dia mengajak tukar tempat duduk. Ribet amat nih anak...?! “Nanti kalo aku juga nggak cocok sama dia, gantian aku yang rugi?” balasku, nggak langsung sepakat. Pikir-pikir dulu lah! “Kamu kan pendiam, cocoklah sama si Eka! Aku nggak betah duduk sama orang yang „nggak bisa‟ ngomong! Lagian kamu sendiri bilang lebih enak buat duduk di depan? Masa nggak mau?” Weee, kok sekarang dia membalik alasan itu? Hmmm, gimana ya? Duduk dengan si Eka yang...???
154
“Udah, sana! Asyik kan dapat kursi depan?!” ternyata Bambang malah mendukungku buat pindah. Sebenarnya aku masih ragu. Tapi... Ya udah lah! Aku berdiri dari kursiku. Kubawa sekalian ransel dan bawaan lainnya. Pindah ke depan! “OK, makasih ya!” ucap anak itu kelihatan puas. “OK!” sahutku simpul sambil beranjak. Bus juga mulai bergerak. Mulai berangkat. Aku segera duduk di kursi baruku. Bersebelahan dengan Eka, anak kelas sebelah yang katanya bermasalah itu...! “Hai!” sapaku, mencoba ramah lebih dulu. Eka cuma tersenyum dingin, menatap sekilas padaku lalu segera kembali memalingkan mukanya, diam menatap ke luar jendela. Cuek banget! Rambutnya agak acak ala rocker, matanya tajam tapi agak kosong. Seram! Aku jadi rikuh. Kok aku mau sih pindah kemari...?! Ahhh, tapi segalak-galaknya dia, nggak bakal makan orang juga lah! Aku kan juga bisa cuek! Tapi, aku jadi tertarik waktu melihat gitar Eka yang ditaruh di dekat kakinya. Beberapa hari nggak pegang gitar, jariku mulai gatal-gatal. Tapi mau bilang pinjam, masih agak-agak gimana gitu... Takut! “Kok mau pindah kesini?” tiba-tiba Eka bicara. Blaikk...! Kaget aku! Dia mau ngomong juga ternyata...?! “Diajak tukar sama teman kamu itu...” jawabku agak gugup. lagi.
“Si Aris? Dia bilang alasannya pindah nggak?” tanya Eka
Nah...! Rada-rada grogi nih menjelaskannya...! Masa mau terus terang, “Temanmu bilang katanya kamu nggak bisa ngomong...!” Begitu? Kalau aku nanti malah ditonjok gimana?! “Katanya, kamu terlalu pendiam gitu... Benar ya?” aku ragu-ragu menjawab. Jadi berasa blo‟on banget ngomongku! “Hahaha...” Eka tertawa pelan.
155
Malah ketawa? Atau habis ketawa terus nonjok aku nih...? “Benar kok, dia tadi bilang gitu!” tandasku. “Alesan!” tukas Eka. Nah! Mulai marah kayaknya! Siap-siap menangkis kalau tangannya tiba-tiba melayang...! “Yang bikin rencana buat Bambang...!” celetuk Eka kemudian.
mindahin
kamu
kan
si
Hah?! “Bambang? Kok gitu?” aku tambah bingung. “Tadi malam Bambang main ke kamarku. Aku dengar waktu dia bikin rencana sama si Aris buat mindahin kamu,” gumam Eka tenang. “Tapi... kenapa?” kulikku, masih ragu. “Yang aku tangkap sih, Bambang nggak mau duduk sama kamu. Makanya dia nyuruh si Aris buat pura-pura ngajak kamu tukar kursi!” jelas Eka. “Kenapa nggak Bambang sendiri aja yang pindah depan? Kok malah nyuruh si Aris pindah belakang? Atau... dia takut sama kamu kali ya...?” celetukku kikuk. Aku bingung menganalisa teori konspirasi soal pindah-pindahan kursi ini! “Si Aris juga nggak mau pindah ke belakang kalo duduknya sama kamu! Aku juga nggak mau, aku udah nyaman di depan!” tukas Eka dengan santainya. Lalu dia menatapku sambil tersenyum tipis. “Memangnya kamu nggak nyadar akibat berita soal kamu sama Erik itu?” Deg! Kaget...! Ohhh...! Lagi-lagi masalah itu?! Huhhh!!! Ternyata masalah itu sudah tambah jauh nyebarnya! Seperti yang sudah kucemaskan! Aku faham sekarang, jadi ternyata si Bambang sekarang juga „jijik‟ denganku! Makanya dia bikin rencana sama si Aris, menyuruhku pindah tempat duduk dengan bawa-bawa Eka sebagai alasan! Padahal sebenarnya yang ingin mereka singkirkan itu adalah: AKU! Hebat...!!!
156
“Baru nyadar, ternyata ada hubungannya dengan itu...! Padahal kalo mereka ngomong terus terang, pasti aku akan pindah juga sih... Ngapain duduk sama orang yang nggak suka denganku?” ucapku lesu. “Namanya juga cemen!” komentar Eka. “Siapa yang cemen?” aku jadi agak tersentak! “Mereka. Yang berlagak straight itu!” tukas Eka. Haaaaaa...??? Aku langsung bengong dibuatnya! Wow...! Si Eka bisa ngomong begitu? Apa jangan-jangan, dia juga...??? “Kamu ngomong gitu, kok kesannya straight...?” gumamku ragu, menduga-duga.
kamu
bukan
Eka langsung memandangiku dengan tajam. Hiii...! Aku salah ngomong ya...??? “Memangnya aku bilang gitu?!” tukasnya. “Yaa... nggak tahu! Aku bingung maksud kata-katamu tadi...!” kelitku gugup. “Straight soal sikap! Aku lebih suka punya musuh gentle, daripada teman pengecut yang ngaku teman tapi punya niat jelek di belakang...!” Wowww...!!! Statement Eka barusan itu... benar-benar keren! Aku sampai ternganga dan rasanya ingin tepuk tangan...! “Tapi, kamu nggak masalah, kalo aku duduk dekat kamu...?” tanyaku masih agak ragu. “Hey! Aku nggak seperti kamu, tapi aku juga nggak punya masalah dengan orang seperti kamu. Be your self...!” Lagi-lagi aku terpukau kata-katanya...!!! Gila! Anaknya cool gini kok dibilang „nggak bisa ngomong‟ sih?!! Kayaknya, aku malah suka dengan anak ini...! Maksudku, aku jadi enjoy duduk dekat dia! “Idolaku juga „cowok yang suka cowok‟ kok...!” celetuk Eka, kali ini agak terasa nada konyolnya!
157
“Oh ya? Siapa?” tanyaku jadi bersemangat dan penasaran. Eka mengambil gitarnya. Lalu jari-jarinya memainkan satu intro lagu. Lagu yang aku kenal banget!
segera
“Tebak!” tantang Eka sambil memainkan intro lagu itu. “Freddie Mercury, absolutelly!” tebakku.
“Love of my life, you‟ve hurt me...!” Eka langsung meneruskan ke lirik lagu dengan suaranya yang pelan tapi cadas! Awesome!!! Suaranya agak serak tapi lentur, seperti rocker-rocker rambut gondrong tahun 80‟an! Ehemm, kayaknya Erik aja musti hati-hati kalau mau saingan nyanyi sama dia! Aku nggak mau ketinggalan, aku menyusul dengan suara dua di bait berikutnya. Dengan volume setengah suara, menyanyikan lagu itu sampai habis! Benar-benar jadi enjoy dengan suasana ini! “Keren!” pujiku kagum. “Kamu mantap juga suara duanya!” Eka balik memuji. “Masa sih? Hahaha...” aku tertawa bangga. Siapa bilang aku nggak bisa nyanyi?!! “Kamu bisa main gitar juga kan? Dulu kayaknya kamu pernah ikut band di sekolah?” lontar Eka. “Iya. Kok ingat sih? Haha... Ikut band cuma sebentar kok. Katanya aku nggak cocok main gitar listrik!” jawabku. Jadi ingat dengan pemecatanku dari band dulu. Kalau itu sih nggak bisa dibanggakan! “Biasa main akustik ya?” “Iya. Dulu les gitar, yang dipakai buat latihan lagu-lagu klasik gitu...” “Klasik? Coba main!” Eka langsung mengulurkan gitarnya padaku. Wedeewww...! Akhirnya, dapat kesempatan pegang gitar juga! Harus kutunjukkan kemampuanku! Segera kujajal gitar milik Eka. Mantap!
158
Kumainkan salah satu komposisi gitar klasik favoritku. Sampai rampung! “Woww...! Keren juga mainnya! Itu Gavotte-nya Bach kan?” ujar Eka. “Wah, tahu juga ya?” balasku sumringah. “Tapi mainku masih banyak cacatnya...!” “Udah bagus kok! Aku suka dengar symphonic metal, kadang mereka juga main komposisi klasik. Dari situ aku jadi suka dengar lagu klasik juga...” “Kalo aku sukanya cenderung yang Folk sama Baroque. New Age juga suka. Musik metal dengerin juga sih, dikit-dikit...” sahutku antusias. Kuamat-amati gitar Eka. Warnanya coklat gelap, kokoh! Sekilas aku tertarik mengamati sticker tulisan yang menempel di body gitar... “BEN... Apa nih artinya?” iseng-iseng aku bertanya soal tulisan sticker itu. “Singkatan namaku,” jawab Eka simpul. “Ohh... Wah, nickname yah?!” cetusku. Eka mengangguk. “Teman-teman ngeband-ku dulu suka memanggil dengan nick itu,” sahutnya. “Hmmm...” ngeband?”
aku
manggut-manggut.
“Sekarang
masih
“Udah nggak.” “Kenapa?” “Yaaahh, beda prinsip aja soal musiknya. Klise ya?” seloroh Eka dengan senyum tipis. Aku tertawa sambil manggut-manggut lagi. “Kayaknya aku juga lebih suka manggil kamu „BEN‟ aja...!” celetukku kemudian. “Eh, iya, aku sendiri belum sebut nama...! Aku...” “Udah tahu kok. Dimas, kan?” potong Ben seraya tersenyum simpul.
159
Aku mengangguk serta membalas dengan senyum pula. Entah dari mana dia bisa tahu. Mungkin karena saat-saat ini aku memang sedang sering dibicarakan...! Ahh, yang penting kan dia bisa menerimaku? Ya! Ben, anak yang katanya bermasalah, ternyata nggak seburuk yang orang lain bilang! Anaknya memang cuek, tapi bagiku dia ramah dan kelihatan apa adanya. Tanpa kepura-puraan! Terus terang, aku justru kagum dengannya...! Aku rasa, tiap orang pasti punya masalah. Aku dengar dari omongan yang beredar di sekolah, Ben ini katanya pernah overdosis karena pakai narkoba! Hampir tewas, katanya. Memang, itu masalah yang serius...! Tapi, kenapa banyak orang yang sepertinya begitu gampang menghakimi orang lain? Aku nggak ingin ikut menghakimi dia. Karena aku sadar, bahwa aku sendiri punya masalah. Dan aku sendiri nggak mau orang lain dengan seenaknya menghakimiku...! Ben... Siapapun dia, yang aku tahu dia ramah padaku, dan mau menerimaku di saat orang lain menjauhiku. Aku sangat menghargainya... Perlahan jariku mulai bergerak lagi, memainkan satu lagu lagi. Untuk dia, untuk kami... Sebuah lagu lama milik Michael Jackson, yang judulnya sama dengan caraku memanggilnya... Dia tampak merenung menatap ke luar jendela saat aku menyanyikan lagu ini. Dan di akhir lagu, sesaat dia menatapku, seolah tahu apa maksudku...
“...if they had a friend like Ben...” Dan, Ben tersenyum tipis penuh arti...
160
Tak Seorangpun Sempurna
Pura Besakih benar-benar memukau. Aku berkeliling melihat-lihat komplek Pura Besakih yang merupakan salah satu ikon wisata di Bali ini. Sampai capek, lutut pegal semua! Saking luasnya area Pura dengan undakan di sana-sini! Aku duduk istirahat menjulurkan kaki di teras salah satu komplek Pura. Megap-megap kelelahan...! Baru enak-enak istirahat, seketika perhatianku tercuri. Sekilas kulihat Erik lewat di seberang teras... Dia jalan berduaan, bersama seorang cewek...! Ohh, aku masih ingat itu cewek yang kemarin aku lihat dari kaca bus, orang yang sama! Sepertinya mereka nggak melihatku...! Aku langsung bangkit lagi, sembunyi! Ngumpet sekaligus mengawasi mereka dari balik bangunan Pura! Mereka kelihatannya... mesra...??? Kenapa perasaanku sepertinya... cemburu...?! Ahhhh...! Tentu saja! Menyukainya dan memendam perasaan hampir satu tahun lamanya! Apakah dua hari cukup untuk menghapus semua sisa perasaan itu?! Nggak! Nggak semudah itu! Meski sudah nggak bisa berharap apa-apa, tapi tetap masih tersisa rasa cemburu seperti ini saat melihat dia bergandengan mesra dengan orang lain...! Aku nggak goblok buat menebak, kalau sepertinya Erik sedang ada „hubungan istimewa‟ dengan cewek itu! Bergandengan, berduaan, memisah dari rombongan...! Sinyalnya jelas! Entah sedang PDKT, atau memang sudah jadian...? Sejak kapan? Kaget juga rasanya, mengingat baru dua hari kemarin Erik menolakku!
161
Ahh, sudahlah! Soal pacar Erik, seharusnya itu bukan urusanku lagi! Sekarang ada urusan lain yang harus segera kucari kejelasannya! Aku harus bicara dengan Erik! Kuperhatikan dua orang itu. Mereka sedang melihat-lihat salah satu komplek Pura. Sepertinya perhatian mereka tersita oleh bangunan Pura. Si cewek mulai memisah, dan Erik sepertinya nggak terlalu peduli. Erik sekarang sendirian di salah satu sisi Pura...! Ini saatnya! “Rik...!” sapaku setengah berbisik. Erik menoleh, dia langsung kelihatan kaget dan gugup. Sorot matanya yang was-was seolah ingin menyuruhku segera pergi. pelan.
“Aku cuma mau minta waktu sebentar aja!” kataku agak
“Mau apa?” Erik setengah berbisik, terlihat gelisah dan nggak nyaman. “Mumpung nggak ada teman-teman yang lihat, aku cuma mau nanya...” bisikku. Erik tengak-tengok sejenak. “Ya udah, cepetan!” desaknya. “Kenapa orang-orang jadi pada tahu soal kita? Terutama soal aku?!” tanyaku langsung to the point. Inilah urusanku sekarang! “Soal kita apa? Kok nanya ke aku?!” kelit Erik. “Rik, nggak usah pura-pura lah! Pas malam kita berdua ngomong di taman itu, cuma kita yang ada di situ. Tapi kenapa kemarin orang-orang bisa pada tahu? Malahan nggak cuma tahu, tapi mereka juga...” aku tercekat, sulit melanjutkan kata-kataku... Sedangkan Erik terlihat bingung. Tapi gelagatnya makin kelihatan kalau dia nggak bisa berpura-pura lagi! Rasanya memang nggak masuk akal kalau dia sampai nggak tahu! Biarpun aku nggak berani langsung menuduh, tapi harus kuakui yang ada di kepalaku adalah kecurigaan bahwa dia memang punya peran di balik itu...! “Oke... Gini, Mas... Waktu itu kita memang berdua di taman, kelihatannya buat kita memang begitu. Tapi, waktu aku mau balik ke kamar malam itu, anak-anak kamar sebelah langsung nyamperin aku... Malam itu mereka lihat kita!”
162
“Hah?!” aku tersentak. Tapi, menurutku tetap masih ada yang janggal. “Yaahhh... Melihat sih bisa aja, tapi nggak mungkin kan mereka dengar semua yang kita bicarakan?” “Memang, tapi wajar kan mereka berprasangka macammacam melihat kita malam-malam di taman berdua? Aku udah jelaskan ke mereka, kalo aku nggak ada apa-apa sama kamu... Tapi mereka tetap memojokkan aku! Aku udah muak, Mas, jadi sasaran seperti itu!” Aku menatap makin sangsi pada Erik. Kedengarannya, dia masih berusaha menutupi sesuatu...! “Mereka memojokkanmu? pernyataan Erik dengan was-was...
Terus...?”
aku
mengurai
Erik meremas rambutnya seraya membuang nafas dengan lesu. “Hhhhhhh... Aku harus bilang ke mereka... Kalo aku bukan gay, dan aku udah nolak kamu...” Mendengarnya, batinku miris seperti tersengat es yang sangat beku...! Ya ampun, Tuhan... Ternyata benar! Erik yang mengatakan semua itu ke mereka!!! Siapa orang yang sudah kucintai setengah mati ini?!! Ternyata dia sampai hati melakukannya...! “Rik, perlu ya kamu jelasin sampai segitunya?!” desahku kecewa. Untuk sekali lagi, terasa menelan sesuatu yang sangat pahit! “Mas, sebelum itu bukannya orang-orang udah sering ngomongin soal kamu? Dari dulu udah kelihatan sama orang-orang, kalo kamu tuh deketin aku! Kamu boleh punya perasaan, tapi aku juga punya perasaan dan aku nggak suka terus-terusan jadi bahan gunjingan! Kalo orang neriakin kamu gay, paling nggak kamu memang seperti itu...! Tapi kalo aku ikut dikira gay juga, kamu pikir aku senang?! Apa aku nggak berhak menjaga nama baikku sendiri?” sergah Erik tajam, suaranya lirih tapi seperti sembilu! Aku mengerti, aku memahami alasannya. Dia hanya ingin aman. Tapi, dengan cara menjebloskanku ke tengah cemoohan?! Aku nggak tahu apa aku boleh menyalahkan dia... Aku cuma merasa sakit hati ini jadi makin pahit! Aku berusaha tetap percaya padanya, bahwa dia bisa menjaga rahasia ini...! Ternyata...???
163
“Oke...” akhirnya aku harus mengucapkan itu, meski rasanya pedih. “Kamu memang berhak membela diri, Rik... Aku cuma berharap, orang-orang nggak setega itu ngata-ngatain aku...” Semua sudah jelas. Satu lagi kenyataan pahit yang harus diterima! Dengan lesu kubalikkan badanku, saatnya pergi. Aku tahu Erik pasti juga ingin aku lekas pergi. Dia pasti sedang ingin menikmati waktunya dengan orang lain, bukan denganku. Dan dia pasti juga nggak mau diganggu! “Mas...” Erik ternyata masih memanggilku. Aku menoleh lagi. Erik menatapku seperti memohon sesuatu. “Aku harap kamu bisa ngerti... Nggak mungkin buatku menerima image yang sama seperti kamu. Aku sedang dekat dengan seseorang...” ujarnya dengan sedikit terbata. “Ohh... Cewek tadi ya?” gumamku masam. Aku sudah menebak sebelumnya, ternyata benar. “Kok aku sampai nggak tahu ya kalo kamu sedang dekat dengan seseorang? Udah jadian...?” Erik rupanya bisa sedikit tersenyum. “Baru jadian semalam. Aku udah lumayan lama dekati dia. Jadi, aku nggak mau semuanya berantakan, gara-gara gosip soal kita...” terangnya tampak gundah. “Akhirnya, dari sekian banyak cewek yang ngefans sama kamu, kamu ambil satu juga...” balasku kecut, sedikit menyindir. Erik menggeleng. “Dia bukan fans, atau apalah istilahnya. Jujur saja, aku nggak cari orang yang tergila-gila denganku... Aku lebih suka dengan orang yang bisa melihatku sebagai... orang yang sewajarnya, yang juga bisa serba salah...” ucapnya dengan tawa masam. Tiba-tiba, aku harus tersenyum di sela-sela sakit hatiku. Batinku seperti tersentil. Karena akulah salah satu orang yang selama ini telah tergila-gila dengannya...! Aku melihatnya sekarang! Sorot matanya sesaat tampak sayu mengawang jauh, seolah menyiratkan bagian dirinya yang jauh lebih sederhana. Ya, Erik memang cowok yang diberkati dengan fisik yang nyaris sempurna, dan talenta yang mengagumkan! Tapi dia
164
tetaplah manusia biasa yang punya kelemahan... Bisa salah, bisa rapuh, bisa mengecewakan... Seperti halnya diriku sendiri, tergila-gila dengannya adalah bagian dari kelemahanku. Begitu pula patah hati ini, juga tanda kelemahanku... Ahhh! Lucunya orang kalau sudah terjerat sesuatu yang bernama: CINTA! Jadi sudahlah! Menyalahkan atau mencari pembenaran, aku rasa itu hanya akan menambahi kemunafikan! “Oke. Goodluck!” ucapku disertai senyum pahit. Erik termangu menatapku. Seolah sesuatu, tapi cuma bisa terdiam. Ah, entahlah...
ingin
mengucap
Kubalikkan badanku. Beranjak dari hadapan Erik. Meniti langkah menuruni undakan Pura Besakih yang agung dan anggun, bersama tumit dan lutut letihku. Erik. Cinta. Secawan madu pahit... Aku akan terus berjalan dengan beban-beban yang tersisa. Dan semoga aku bisa belajar untuk memaafkannya...
165
Nyanyian di Kintamani
Aku turun dari bus bersama rombongan piknik saat sampai di objek wisata berikutnya, Kintamani. Tepatnya di Penelokan, katanya ini lokasi paling bagus buat melihat indahnya Danau Batur. Tapi dari kejauhan pastinya! Para peserta piknik segera berhamburan ke trotoar, mencari lokasi pandang yang baik buat menyaksikan Danau Batur. Danau yang berwarna biru kehijau-hijauan itu kelihatan cukup jauh di lembah seberang sana. Anggun, indah dan teduh...! Pesonanya menghiasi sisi jalan Penelokan, di Kintamani yang sejuk dan sedikit berkabut. Aku duduk di tanah, takjub memandangi danau di kaki Gunung Batur itu. “Sendirian aja?” seseorang menghampiri dan menyapaku. “Hai, Ben. Biasalah. Kamu juga nggak gabung sama yang lain?” timpalku ringan. “Biasa juga sih,” sahut Ben datar. Dia ikut duduk di sampingku sambil memetik-metik gitar yang dibawanya. Tadi kami turun dari bus berbarengan, aku langsung kemari sedangkan dia mencari kamar kecil. Aku kira habis itu dia ingin menikmati waktunya sendiri. Ternyata dia menghampiriku kemari. “Kita rupanya nggak jauh beda ya, suka menyendiri...” gumamku seraya tertawa ringan. “Sebenarnya baik nggak sih kalo suka menyendiri?” aku memancing obrolan. “Baik atau jelek kan tergantung situasinya. Kalo kamu merasa nggak diterima, mendingan nggak usah sama mereka. Kan nggak ada gunanya, rame-rame tapi hati nggak tenang?” “Kamu sendiri, apa sering merasa begitu juga?” “Sering sih...” gumam Ben singkat.
166
lontarku.
“Tapi, bukan berarti kamu nggak butuh teman kan?”
“Ya butuh lah! Tapi telanjur sering jadi outsider. Di mana saja, sama siapa saja. Asing rasanya...!” ucap Ben pelan. Matanya memicing dibalik kibasan rambutnya yang dikibarkan angin. “Kenapa kamu merasa begitu?” Ben hanya menerawang dengan tatapan kosong. “Kamu pernah ngelakuin sesuatu, yang bikin kamu merasa orang lain jadi benci sama kamu...?” tanyaku sedikit hati-hati. Sebenarnya, aku ingin tahu cerita tentang masalahnya itu. Dari ucapannya sendiri, bukan mulut orang lain yang tujuannya cuma bikin gossip...! Ben masih terdiam. Jarinya masih memetik-metik gitarnya. Matanya kelihatan melamun, kosong. Aku jadi kuatir, jangan-jangan pertanyaanku sudah menyinggung perasaannya...? “Aku memang pernah ngelakuin hal bodoh. Tindakan yang bakal aku benci seumur hidupku...!” ucap Ben akhirnya, setengah merenung. Sebuah penyesalan... Aku mengangguk pelan. “Menurutku, mencari kelemahan orang lain itu memang lebih mudah dibanding mengakui kelemahan sendiri. Kenapa ya, kadang banyak yang lebih suka menghakimi orang lain daripada introspeksi? Bukannya nggak ada orang yang sempurna?” gumamku ikut merenung. Aku dan Ben diam termenung di hadapan Danau Batur yang teduh dan anggun. Kami punya sisi yang sama sebagai orang yang terjebak dalam sebuah situasi, di mana kami merasa terasingkan... Ahhh...! Saatnya mendobrak perasaan itu! “Pinjam gitarnya dong!” cetusku. Ben mengulurkan gitarnya padaku. Kupegang gitarnya, lalu aku mulai memetiknya. Di pinggir jalan Penelokan, di tengah sejuknya udara pegunungan yang bercampur dengan hangatnya matahari siang ini...
167
Memainkan lagu sekaligus puisi milik John Denver,
Sunshine On My Shoulders...
Sambil bernyanyi, aku pun meresapi arti lirik itu...!
“Jika aku punya cerita yang bisa kututurkan, akan kututurkan padamu satu cerita untuk membuatmu tersenyum. Jika aku punya permohonan yang bisa kusampaikan padamu, akan kumohonkan sinar mentari sejenak saja...” Sebuah lirik yang penuh makna! “Kamu juga bukannya nggak butuh pertanyaan Ben terselip di akhir nyanyianku.
teman
kan?”
“Ya pasti butuh lah! Tapi kamu tahu sendiri kan, baru soal tempat duduk aja aku udah dijauhi!” jawabku sedikit mengeluh. “Nggak semua kok, yang menolak duduk sama kamu...” sahut Ben. Dia kini tersenyum sedikit konyol. Aku pun ikut tersenyum seraya berucap dalam hati, “Aku tahu kamu menerimaku. Aku percaya itu...!” “Sini, gantian aku nyanyi!” Ben mengambil gitarnya lagi dari tanganku. “Yang bisa dinyanyiin bareng dong!” cetusku. Ben berpikir-pikir sesaat. “Kamu sukanya klasik ya...?” lontarnya kemudian. “Nggak juga. Pop atau rock juga dengerin kok!” “Yang ini termasuk klasik bukan?” tanya Ben sambil memetik gitarnya, memainkan intro. Lalu dia mengeja liriknya dengan ragu-ragu...
“I don‟t have to say a word to you...” Aku tersenyum lebar mendengar lirik itu!
168
“You seem to know whatever mood I‟m going through, feels as though I‟ve known you forever...” susulku ikut menyanyi dengan percaya diri.
Ya, aku tahu lagu karya Andrew Lloyd Webber itu! Kami pun bernyanyi! Penuh keriangan, dan gairah baru dalam semangat persahabatan yang telah kami temukan...! “Amigos para siempre...!”
169
Apel Untuk Monyet!
Objek wisata terakhir adalah Sangeh. Dan bus kami baru saja tiba. Sebelum turun dari bus, lebih dulu panitia membagikan makan siang kardusan. Ada yang makan di halaman parkir, ada juga yang makan di dalam bus. Aku pilih makan di luar saja, sekalian menghirup udara segar! Di pinggir halaman parkir bus, aku duduk-duduk di bawah pohon sambil siap-siap membuka jatah makan siangku. “Nggak dimakan nanti aja?” lontar Ben yang mengikutiku. “Sekarang aja ah, aku udah lapar!” sahutku. “Aku duluan masuk aja ya?” “Oke. Nanti aku nyusul!” Ben menduluiku masuk ke hutan Sangeh. Sedangkan aku mau mengisi perut dulu. Sudah lapar! Kubuka kardus makan siangku. Wow...! Ada Sate Lilit lagi! Dan juga ada... Apel! Hmmm... Jadi ingat „Si Itu‟... Si rambut jabrik! Ahhh, biarin! Saatnya makan ya makan! Ngapain mikir yang lain? Kulahap makan siangku. Sampai habis! Cuma satu yang tersisa, buah apel-nya. Buat dimakan nanti saja. Sementara ini simpan saja dulu di kantong jaket! Sekarang, saatnya menyusul ke hutan! Tadi sudah dijelaskan oleh Mas Awan waktu di bus, kalau masuk ke hutan Sangeh sebaiknya jangan bawa barang-barang penting yang gampang diserobot, seperti HP, kamera, kalung, dan benda-benda semacamnya. Kalau memang ingin bawa, harus dijaga ekstra ketat! Soalnya monyet-monyet di Sangeh terkenal jahil, suka menyerobot barang milik turis!
170
Sebenarnya aku ingin foto-foto sama monyet, tapi mendingan nggak usah daripada kameranya malah hilang diserobot! Kameraku aku tinggal di tas, di dalam bus. Aku bawa HP dan kusimpan di kantong jaketku bagian dalam, mungkin kalau situasi aman aku akan ambil foto dengan kamera HP saja. Harus selalu waspada! Masuk di hutan Sangeh, beneran gokil...! Langsung disambut monyet-monyet yang berseliweran di mana-mana. Meski lucu-lucu, tapi bikin bergidik juga! Takut aja kalau-kalau ada yang agresif. Tapi overall sih, asyik lah buat tontonan! Aku masuk makin ke dalam. Mencari Ben yang tadi jalan duluan. Sambil sesekali memperhatikan monyet-monyet yang lagi gaya. Hahaha… Menghibur! Dan makin ke dalam, monyetnya makin banyak! Pastinya! Tapi, sudah cukup jauh aku jalan, belum juga ketemu Ben? Kuhentikan langkahku, aku duduk di sebuah bangku beton yang agak berlumut. Istirahat, siapa tahu malah nanti Ben lewat sini... Kuisi nafasku dengan hawa sejuk hutan Sangeh. Udara hutan rimbun dan menyegarkan! Suara kicau burung bersahutan dengan suara monyet, dan juga gemerisik daun-daun pepohonan yang lebat membuat suasana alam ini sangat menentramkan. Apalagi di beberapa bagian hutan juga tampak berdiri Pura-Pura yang kelihatan sudah sangat tua. Tapi bangunan-bangunan suci itu kelihatannya makin tua makin bertambah wibawanya! Membuat suasana jadi semakin teduh dan damai...! Sambil duduk menikmati suasana hutan, aku mengamati pengunjung-pengunjung yang lewat. Sesekali bertegur sapa juga, karena banyak di antaranya adalah teman-teman satu sekolah. Meski kadang aku masih merasa ada prasangka mengingat reputasiku sekarang, tapi aku sadar bahwa aku nggak boleh membenamkan diri dalam keterasingan. Aku harus besar hati untuk memulai senyuman, dan harus rendah hati untuk membalas temanteman yang masih mau menyapa. Ya, karena kesombongan hanya akan mengasingkan diri sendiri! Tapi, Ben benar-benar nggak nongol batang hidungnya?! Aku jadi manyun sendiri di sini...!
171
Eiitttt!!! Ada yang menyita perhatianku! Ada satu monyet yang lain dari pada yang lain! Bagaimana tidak?! Monyet satu itu berkalung Flashdisk...! Pasti itu Flashdisk hasil menyerobot milik orang! Kurang ajar tuh monyet! Tapi lucu juga jadinya! Hahaha... Aku mau ambil gambar dengan HP-ku, tapi nanti kalau diserobot juga gimana? Ada kalung Flashdisk dilehernya aja udah menandakan kalau monyet monyong itu cukup sukses menjahili orang! Kuraba kantong jaketku bagian dalam, hmmm... HP-ku masih tersimpan dengan aman! Jangan sampai ketahuan monyet itu! Oh iya, selain HP di kantongku juga ada... Apel! Ahaaa...!!! Aku tersenyum sendiri menatap monyet nyentrik di depanku itu. Monyet itu pun balas nyengir padaku. Dasarrr...! Mau bergaya di depanku? Awas, gantian aku kerjain kamu! “Denis, sini Denis...!” kupanggil monyet itu. Hihihi... Nggak tahu gimana caranya memanggil monyet, yang terpikir malah si Denis. Mungkin karena sama-sama tengil! “Ngukk...!” monyet itu cengar-cengir lagi di tempat duduknya. apelku.
“Sini! Mau apel kan?” aku iming-imingi si monyet dengan
Benar dugaanku! Monyet itu langsung bangkit dari duduknya, berjalan mendekatiku. Tepat di depanku monyet itu mencoba menggapai apelku... “Eit...! Ditukar sama Flashdisk-mu dong!” cetusku sambil menarik lagi apelku. Dan kuulurkan tanganku satunya, isyarat meminta ke monyet itu. Wahhhh...! Ideku benar-benar jitu! Monyet itu mulai melepas Flashdisk yang dikalungkan di lehernya! Kuulurkan apelku lagi, dan monyet itu mengulurkan Flashdisknya... “Nih, tukeran ya...!” kuberikan apelku, dan kuraih Flashdisk yang diulurkan monyet itu. Yesss!!! Deal! Transaksi sukses...!
172
Ahahahaha...! Asyik, dapat Flashdisk! Kuamati benda digital di tanganku dengan berbinar-binar. Delapan Giga! Lumayan! Segera kumasukkan Flashdisk baruku ke kantong jaket, sebelum ketahuan monyet lainnya! Sedangkan monyet yang sudah dapat apel dariku itu masih nongkrong di depanku, memakan apel itu sambil cengar-cengir. “Enak kan?” candaku ke mahluk tengil itu. Beberapa saat lamanya aku masih menikmati waktu duduk-duduk sendiri, sambil mengamati monyet yang sedang makan apel di depanku. Hingga akhirnya aku mulai bangkit berdiri, karena Ben belum nongol juga! Mungkin saja dia malah udah balik ke bus! “Dahhh...!” aku berpisah dengan Denis, maksudku monyet tengil itu! Aku melangkah santai, berjalan menikmati suasana hutan. Sesekali masih tertawa melihat tingkah monyet-monyet yang lucu. Sampai tanpa terasa, aku sudah di ambang pintu keluar. Kulihat teman-temanku sebagian masih berada di sekitar area hutan, belum kembali ke bus. Masih ada sisa waktu buat persinggahan di Sangeh ini, tapi aku bingung mau ngapain lagi. Akhirnya aku nongkrong di halaman depan loket, duduk melamun lagi sendirian. “Bli Dimas, sendirian lagi?” seseorang menyapaku dari belakang. Aku menoleh. “Ehh, Mas Awan...! Iya nih, tadi sih ada teman, tapi udah jalan duluan!” sambutku hangat. “Ohh... Gimana, kesannya selama di Bali?” Mas Awan bertanya, sambil ikut nongkrong di sebelahku. “Yaaa... Gimana ya...? Gara-gara ada masalah kemarin, jadi sempat nggak enjoy juga sih. Tapi sekarang udah lebih baikan kok. Overall, ada kesannya lah...!” ujarku dengan senyum yakin. “Hmmm... Jadi gimana kesannya?” “Semua turis akan bilang hal yang sama kayaknya. Pulau yang indah! Bali memang kereeenn!” jawabku sambil berkelakar. “Tapi secara pribadi, aku juga dapat pelajaran yang berharga selama di sini. Yaahhh... Yang Mas Awan bilang kemarin benar. Selama ini aku cenderung eksklusif! Nggak mau tahu urusan orang
173
lain. Egois, sombong, seolah semua bisa aku hadapi sendirian. Tapi begitu masalah besar datang, aku baru sadar kalo aku nggak bisa menanggung beban itu sendirian...” tuturku pelan, terpekur setengah merenung. “Setelah aku renungkan, aku sadar bahwa ternyata hal yang paling membahagiakan itu bukan saat kecerdikan kita berhasil menutupi setiap rahasia. Tapi justru di saat kita bisa membagi rahasia itu dengan orang yang bisa menerima kita sepenuhnya, sehingga itu bukan lagi sebuah rahasia, melainkan sebuah titik pandang baru untuk saling mengerti satu sama lain...” Mas Awan mengangguk-angguk. Tersenyum hangat padaku. Meski tak berkomentar, tapi senyumnya itu terasa melengkapi semangatku. Aku pun ikut tersenyum lepas. “Mas Awan punya Facebook?” “Ada.” “Email-nya dong!” selorohku bersemangat. Mas Awan tersenyum. Lalu dia menyebut alamat emailnya. Kucatat di memo HP-ku. “Sipp...!” gumamku berseri. Lalu aku teringat sesuatu. Sesuatu yang lagi-lagi akan terasa berat hari ini... “Nggak kerasa, habis ini kita udah harus pisah ya...” desahku sedih. “Hahaha... Memangnya mau di sini terus...?” Mas Awan mencandaiku. “Ya nggak, waktunya aja yang rasanya terlalu cepat! Nanti kalo aku mau main ke Bali lagi, aku cari Mas Awan aja! Nanti aku ditemenin keliling Bali ya! Kalo bisa dikenalin juga sama boyfriendnya...!” aku balas bercanda. Mas Awan tertawa lagi. “Boleh. Tapi aku juga dikenalin boyfriend-mu ya?!” “Ya makanya itu, doain lah biar aku dapat boyfriend!” celetukku. “Memangnya suka yang gimana?” tanya Mas Awan memancingku.
174
Aku langsung jadi sedikit gugup. Suka cowok yang kayak gimana??? Hmmm... Baru kali ini ada orang yang menanyaiku secara langsung soal tipe boyfriend...! “Kalo secara fisik sih aku suka yang kulitnya... nggak harus putih sih, yang penting cerah, bersih! Postur nggak terlalu jomplang denganku, terus... yahh seperti biasa, cakep. Nyaman dilihat lah...!” cerocosku pede. Lalu bayanganku terbentur pada sosok... Erik! Aku segera melanjutkan ucapanku. “Tapi, mau cakep kayak gimana, kalo nggak baik hati ya jadinya cuma makan hati ya, Mas...?” timpalku sambil garuk-garuk kepala. Mas Awan langsung tertawa lagi. “Seringnya, cinta itu memang awalnya dari mata terus baru main di hati. Tapi, semua teori soal cinta itu nggak ada yang bisa benar seratus persen lho! Soalnya teori itu dibangun dari logika, sedangkan kenyataannya cinta itu sering nggak logis. Iya nggak?” Aku tercengang. “Iya sih, Mas...” gumamku bengong. “Makanya, nggak usah terlalu dirancang. Mengalir saja. Nikmati hidup, bebas tapi juga jangan kebablasan! Setuju?” “Sippp...!” anggukku seraya tersenyum mantap. “Menurut Mas Awan, orang yang masih muda seperti aku ini cintanya masih cinta monyet ya...?” Mas Awan sedikit mendelik. “Cinta monyet itu yang kayak gimana memangnya?” “Yaaa... Mungkin yang masih rapuh, masih gampang berubah...? Yang seharusnya nggak perlu dirasakan terlalu berlarutlarut?” gumamku mengawang, membayangkan dan mulai mempertanyakan perasaan yang selama ini melandaku, semua perasaan yang muncul ketika aku menyukai cowok bernama Erik itu. Yang selama ini telah membuatku terbenam dalam banyak anganangan, dan akhirnya aku pun jatuh juga...! Mas Awan tersenyum agak geli. “Kalo menurutku, cinta monyet itu tetap cinta. Ibaratnya buah, katakanlah sebuah apel, meskipun masih mentah itu tetaplah sebuah apel...! Memang yang matang lebih manis, makanya sebaiknya cinta itu juga menunjukkan sikap yang dewasa. Yang sudah matang...!”
175
Apel...?!! Ahhh...! Kenapa harus apel...?!! Sembari setengah merenung aku bertanya-tanya lagi. “Aku rasa aku setuju, sebaiknya cinta itu menunjukkan sikap yang dewasa... Tapi kedewasaan itu sebuah proses kan, Mas?” “Ya.” “Sebelum menjadi dewasa, pasti melewati proses saat masih mentah kan?” “Betul.” “Jadi, apa cinta monyet itu salah?” “Aku rasa tidak. Karena cinta juga butuh belajar...” ujar Mas Awan dengan senyum mantap. Aku pun tersenyum lebar. “Oke. Aku rasa aku setuju sepenuhnya! Tapi, by the way, kenapa perumpamaannya harus apel...?!” Mas Awan tampak kikuk sejenak. “Hahaha... Nggak ada maksud apa-apa. Ada apel di kardus makan siang tadi, jadi itu aja yang langsung terpikir. Diganti buah yang lain juga nggak apa-apa kok!” jawabnya sambil nyengir. “Hahaha... Sebenarnya, kebetulan aku memang suka apel sih...!” sahutku sedikit tersipu. “Lagian, kenapa juga pakai istilah cinta monyet? Kenapa harus monyet?” Mas Awan setengah bergurau. “Nggak tahu juga!” timpalku menyerah. Aku dan Mas Awan tertawa berdua. Ringan dan lepas. Hhhhhh... Keakraban yang pasti akan kurindukan! “Oh iya, habis ini berarti Mas Awan balik kemana?” tanyaku. “Emhh... Aku nggak ikut ke bus lagi. Kalian kan langsung ke Gilimanuk habis ini. Aku tinggal di sini saja, nanti ada yang jemput kok!” “Ohh... Dijemput sama bironya Mas Awan?”
176
“Biasanya begitu sih. Tapi hari ini kebetulan boyfriend-ku juga sedang di Badung sini, nanti dia yang jemput aku...” ujar Mas Awan disertai senyum semu yang menyiratkan rasa senangnya. “Wahhhh...” aku cuma bisa bergumam kagum. Nggak bisa berkata-kata, membayangkan betapa bahagianya Mas Awan dengan boyfriend-nya, bisa menjalani hidup bersama-sama seperti itu...! “Teman-teman kamu sudah kumpul tuh!” ujar Mas Awan. Aku memandang ke kerumunan di sekitar bus. Ya, rombongan piknik sudah mulai berkumpul lagi. Sebentar lagi pasti berangkat, pulang ke Solo. Petualangan di Bali sudah sampai pada akhirnya... “Ya udah, Mas... Time to say goodbye...!” ucapku dengan berat hati. Kuulurkan tanganku. Mas Awan menjabat tanganku. “Selamat jalan ya...! Goodluck...!” “Ini pengalaman yang luar biasa!!!” sahutku dengan mantap. “Matur suksma, Mas...!” Mas Awan mengangguk seraya menepuk-nepuk bahuku. Lalu, jabatan tangan kami saling terlepas... Saatnya berpisah. Aku melangkah dengan berat. Menuju kembali ke bus. Aku memang kangen rumah, tapi rasanya juga nggak mau mengakhiri pengalaman di Bali ini! Berat untuk berpisah dengan Mas Awan yang baik hati dan banyak nasehat itu. Sahabat yang telah kutemukan di sini, sahabat yang juga sama sepertiku...! Ahhh... Ada pertemuan, ada perpisahan. Aku harus kuat hati! Dalam langkah beratku, selintas kudengar selentingan teman-temanku satu rombongan... “Flashdisk-nya Erik diserobot monyet tadi!” “Sukurin aja, udah dikasih tahu jangan bawa-bawa barang gituan! Hahaha...” Kelakar sambil lalu dari mereka itu, seketika membuatku terkejut. Erik kehilangan Flashdisk? Direbut monyet...?! Apa janganjangan Flashdisk yang sekarang aku bawa ini...?!
177
Aku nggak langsung menuju ke menghampiri bus rombongan kelasnya Erik...!
busku.
Tapi
aku
“Eh, Erik ada di dalam nggak? Kalo ada panggilin dong...!” kutanyai salah satu anak dari rombongan Erik. Anak itu langsung masuk ke dalam bus. Dan nggak lama kemudian, Erik muncul turun dari bus. “Ada apa?” tanya Erik dengan muka nggak asyik begitu tahu yang mencarinya adalah aku. “Flashdisk-mu hilang?” tanyaku. “Iya,” jawab Erik agak malas. “Flashdisk-nya yang ini bukan?” kutunjukkan Flashdisk yang kubawa. Dan muka Erik langsung bengong, seperti nggak percaya dengan apa yang kutunjukkan! “Ehh... Iya... Itu punyaku...” jawab Erik berbinar-binar, tapi juga sekaligus kikuk. “Nih!” kuulurkan Flashdisk itu. Erik masih bengong. Dia menerima benda miliknya itu dari tanganku dengan agak ragu-ragu. Dia mengamati benda itu lagi beberapa saat. Lalu mukanya mulai terlihat berseri, tersenyum senang. “Ya ampun! Apa jadinya kalo sampai nggak balik?! Datadata penting aku simpan di sini, materi-materi buat rekaman bandku...!” terang Erik kedengaran masih agak kikuk. “Makasih banget ya...!” akhirnya dia mengucapkan itu. Aku cuma tersenyum mengangguk. Kewajiban sudah selesai. Jadi, saatnya balik ke busku! “Mas...” Erik memanggil lagi. Aku kembali menoleh sejenak. “Kok kamu bisa dapat Flashdisk-ku?” tanyanya. Sekarang gantian aku yang agak kikuk...! Bagaimana menjelaskannya???
178
“Eemmh... Tadi aku tukar... dengan apel...” jawabku sedikit terbata. Wajah Erik tampak tercengang tanpa kata-kata! Tiba-tiba... “Nah loh...! Dimas masih deketin Erik aja?!” “Hahaha... Ya iyalah! Hombreng!” Ada teman-teman Erik melempariku dengan cemoohan...!
yang
lewat,
dan
langsung
“Hei! Jangan ngata-ngatain dong! Hargai perasaan orang!!!” Erik langsung mendamprat teman-temannya yang lewat itu! Dan aku langsung ternganga kaget dibuatnya! Erik...??? Aku benar-benar tak menyangka dia mau membelaku...! Temantemannya itu cuma tertawa cengengesan sambil masuk ke bus, seolah tak menggubris sama sekali...! Erik pun segera menatapku lagi, dengan wajah yang kelihatan terpukul... “Maaf, Mas, buat semuanya...” ucapnya pelan. “It‟s OK...” ucapku lirih, meninggalkan satu senyum pahit. Pada akhirnya, Erik menunjukkan bahwa dia masih punya perasaan. Dia membelaku, dan juga mengucap maaf... Hmmhh... Memang nggak ada orang yang sempurna, dan kadang situasi memang nggak mudah dan semua bisa jadi serba salah... Kutinggalkan Erik. Rasa pahit masih terselip di hati, tapi pada akhirnya... aku tetap merasa lega. Jauh lebih lega...! Aku masuk ke busku. Ben sudah stand by di kursinya. “Tadi aku tungguin di dalam sana!” ujar Ben. “Aku juga nyariin kamu tadi! Ternyata di sana jalannya masih bercabang-cabang! Bingung jadinya!” timpalku. “Sekarang, akhirnya pulang!” gumam Ben. “Iya...” bisikku pelan. Mas Awan rupanya masih menyusul lagi naik ke bus. Pasti dia mau pamitan sama rombongan yang sudah dipandunya ini...!
179
“Selamat siang adik-adik...!” sapa Mas Awan. Dan segera disambut hangat oleh seluruh penghuni bus! Senyum hangat Tour Guide itu pun mengembang lebar. “Wahhh... Sedih, karena kita akan berpisah di sini. Terima kasih sudah berkunjung ke Bali, senang bisa memandu adik-adik semuanya. Selamat jalan. Bila ada waktu dan biaya, jangan sungkan berkunjung lagi...!” pesannya dengan sedikit berkelakar. Anak-anak langsung menyoraki! Beberapa menghambur dan bersalaman sebagai salam perpisahan. Sebagian ada yang sedih-sedihan segala, terutama cewek-cewek. Mewek...! Hmmmmm... Rupanya di rombongan ini banyak yang suka juga dengan Tour Guide yang cakep dan ramah itu...! Aku cuma tersenyum haru di tempat dudukku. Mas Awan melirik ke arahku, lalu dia melambai. Kubalas lambaiannya... Selamat tinggal, Mas Awan... Mas Awan turun dari bus diiringi keruyuk manja para cewek. Kupandangi dari jendela, Mas Awan melangkah meninggalkan area parkir menuju ke seberang. Di sana rupanya sudah ada yang menantinya, seorang cowok yang sedang duduk menunggu di atas motor. Itu pasti boyfriend-nya yang sudah datang menjemput! Mas Awan menghampirinya dengan langkah ringan, disambut senyuman kekasihnya... Lalu busku bergerak. Pelan-pelan mulai meninggalkan area parkir. Melewati tempat Mas Awan berdiri di samping boyfriend-nya. Dia melambai lagi. Kami membalasnya, melambai dari dalam bus... Aku berdiri supaya lebih jelas melihatnya. Mas Awan melihatku, bertemu pandang denganku. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Kulihat juga dengan jelas boyfriend-nya yang setia itu. Yaaa, pada saatnya nanti aku pun ingin seperti mereka! Suatu saat, bahagia...! Akhirnya, harus siap berpisah dengan Bali. Kami telah meninggalkan objek wisata terakhir kami. Tapi pasti, semua pengalaman ini nggak akan selesai di sini! Semangat ini akan terus menyambut waktu-waktu yang datang ke dalam hidupku. Aku akan terus melangkah ke sana dengan tegar! “Mata kamu basah?” Ben tiba-tiba melongok ke wajahku.
180
mataku.
“Ihhh, nggak...!” jawabku berkilah. Tapi sambil mengusap
“Aneh ya? Di dalam bus AC kok bisa kelilipan?” celetuk Ben dengan cueknya. Huaaaaaa...!!! Aku lagi terharu nih...!!! JANGAN DIBECANDAIN DOONG...!!!
181
Pulang
Lima hari di Bali. Akhirnya aku pulang... Sampai di rumah masih agak siang. Sambutan di rumah adalah sesuatu yang nggak bisa dihindari: pertanyaan pikniknya asyik apa nggak, mampir kemana saja, jajan apa saja, oleh-olehnya mana...? Ya, begitulah. Memang sebuah piknik yang berkesan, tapi namanya orang baru selesai menempuh perjalanan jauh pasti capek! Mama tetap saja tanya ini itu, dari waktu masih di mobil sampai tiba di rumah, nyerocos terus! Huhhh... Letih sekali. Kubongkar muatanku, kuturunkan dari mobil. Aku menjinjing ranselku masuk ke rumah. Mama membopong plastikplastik yang berisi oleh-oleh, yaahhh... pilihannya bisa dimaklumi! Papa memasukkan mobil ke garasi, nggak terlalu pusing denganku seolah aku pulang dengan selamat sudah cukup. Aku duduk di sofa ruang tamu. Menikmati suasana rumah ini lagi, yang sudah kutinggal selama lima hari. Memandangi dari sudut ke sudut, foto-foto keluarga dan lukisan pemandangan sawah di dinding bercat biru muda. Menatap ke luar pintu, pada teras yang berubin coklat muda, menyambung ke taman kecil dengan rumput hijau... Kenthongan berbentuk lombok merah di beranda, dan juga lonceng pipa yang berdenting-denting ditiup angin yang sejuk menerobos masuk melewati pintu... Pikiranku yang penat terbawa lagi kepada semua kesan tentang perjalanan di Bali. Pengalaman pahit yang berbalut pelajaran hidup yang berharga. Aku pun tersenyum di tengah lamunan. Aku akan merindukannya, dan pasti akan ke sana lagi suatu saat nanti... Ke Bali yang penuh kesan...!
182
Ahhh... Kendati begitu, suasana rumah dan keluarga yang cuma lima hari kutinggalkan ini, rupanya aku juga merindukannya! Rumahku yang memberi rasa tenang dan damai ini... Tapi, setelah lima hari meninggalkan rumah ini, sepertinya aku juga akan kehilangan salah satu yang berharga darinya. Aku nggak akan melihat Denis lagi di sini... Sodara kembarku yang cuma tinggal sebentar di sini, tapi... kali ini dia membekaskan sesuatu yang sangat dalam untukku...! Sebagaimana diriku yang ingin berubah, rumah inipun nggak akan pernah sama lagi! Aku akan selalu merindukan sodara kembarku, yang usil dan menyebalkan itu...! “Nih, minumnya...!” Mama menyodorkan teh yang masih agak panas. “Tante sama Om udah balik ke Medan ya?” gumamku sambil meminum tehku. “Iya, tadi pagi,” jawab Mama singkat. “Denis juga ya...?” “Ya iyalah! Dia udah pamitan sama kamu kan?” “Udah, tadi pagi pas mau berangkat dia sempat nelpon...” gumamku lesu. “Berarti udah tahu kan?” Mama sedikit mencibir. “Kenapa? Kangen ya sama Denis?” Aku memandangi Mama yang tersenyum-senyum jahil. “Kapan kita gantian nengok dia ke Medan, Ma?” gumamku menerawang. Senyum jahil Mama perlahan berubah jadi raut haru yang lembut. “Kalo kamu libur lagi, kita kesana!” bisik Mama. Aku tersenyum simpul. Itu cukup menghiburku... “Istirahat dulu sana!” sahut Papa yang ikut gabung di ruang tamu. “Mandi dulu sana!” sela Mama. “Nggak usah, kalo capek ya tidur!” sahut Papa. ngeyel.
“Tapi kalo mandi dulu kan jadi enak tidurnya!” Mama
183
“Nggak usah mandi, nggak bau kok!” cetusku sambil berdiri. “Habis tidur baru mandi!” Aku menggeloyor menuju ke tangga di ruang tengah. Meniti tangga dengan lesu. Lalu segera membuka pintu kamarku. Diam sejenak, berdiri di muka pintu... Kulihati kamarku. Tiap-tiap sisi dan sudut. Rapi, seperti sebelum Denis tinggal di sini. Selama ada Denis, hampir tiap hari berantakan. Tapi kok aku malah kangen ya...? Siapa lagi yang bisa kumarahi? Siapa lagi yang bisa kuajak berantem? Siapa lagi yang bisa kuajak main, ngobrol sambil tiduran, nyanyi, main gitar...? Aku melangkah masuk. Kupandangi tempat tidurku. Dua bantal masih tertata berderet. Denis biasanya tidur di sebelah kiri... Ahhh... Badanku pun terjatuh, kutaruh kepalaku di atas bantal yang biasanya dipakai Denis. Kurengkuh juga guling kesayanganku. Kupejamkan mata. Entah, berapa lama aku tidur... Saat terbangun, rupanya sudah malam... Kulihat jam di mejaku, jam delapan malam. Gara-gara banyak nyamuk, aku jadi terbangun. Padahal masih capek, pinginnya tidur sampai pagi! Aku bangkit dengan malas, mencari obat nyamuk electrik yang biasanya aku pakai buat mengusir nyamuk...! Tapi, aku sudah mencari sampai kolong-kolong meja dan tempat tidur, kok nggak ketemu ya? Aku bergegas keluar dari kamar, turun ke lantai bawah. “Mbok, tahu obat nyamuk electrik yang biasa aku taruh di kamar nggak?” tanyaku ke Mbok Marni, pembantu rumahku yang sedang beres-beres meja setrika. “Wah, nggak tahu, Mas Dimas. Tapi kalo nggak salah kemarin Om Frans yang bawa ke kamarnya...” jelas Mbok Marni.
184
Aku langsung menuju ke kamar yang kemarin dipakai Om Frans sama Tante Hilda. Aku cari obat nyamuk electrik itu di tiap sudut kamar. Belum ketemu juga! Aku melongok ke bawah tempat tidur... “Haahhh...?” aku kaget, ada dua koper besar di situ. Kutarik koper-koper itu! Ehh, anjrit...! Berat banget?!! Dan... ini kan kopernya Denis kemarin?!! Kok masih ada isinya?!! Kok ada di sini...?!! OOHHHH...!!! Ini ada yang nggak beres nih...!!! “MAAAAA...!!!” teriakku sambil menuju ke kamar Mama. “Eeeeehhh!!! Ini ngapain sih pakai teriak-teriak?!!” Mama keluar dari kamar. “Hayoo!!! Mama ngaku aja, pasti ada yang disembunyiin nih?!!” tanpa basa-basi aku langsung nuduh!
lagi
“Ihhh...! Apaan sih? Main tuduh sama Mama?!” “Mama nggak usah pura-pura! Itu kenapa koper-kopernya Denis masih di sini?! Masih ada isinya lagi!!! Sengaja diumpetin ya?!” gertakku. Mama langsung kelihatan gugup. Bengong melihatku berapi-api mengajukan bukti tuduhanku! “Ini pasti konspirasi nih! Mama ngaku aja lah! Denis beneran balik ke Medan nggak?!!” aku menyelidik sekaligus ngomelngomel. “Dimas kok gini sih...?! Kayak anak kecil mainannya diumpetin...?! Tadi Dimas udah makan belum, Mbok?” Mama masih mau mbulet, pakai nanya ke Mbok Marni segala. “Mama nggak usah ngeles ya! Jawab aja kenapa sih? Denis belum balik ke Medan kan?!” omelku sambil memelototi Mama, geregetan! Mama akhirnya kelihatan menyerah. Nggak bisa pura-pura lagi, udah ketahuan, ada buktinya! “Iya iya! Denis belum balik ke Medan!” akhirnya Mama mengaku!
185
Aku terkesiap, sedikit demi sedikit mulai berbinar! “Terus? Kenapa belum balik...?!” rasa penasaranku makin menanjak. “Yaa... Denis-nya memang nggak mau balik...! Dia pingin pindah sekolah di sini...!” jawab Mama kikuk. Aku terperanjat lagi. Pindah sekolah? Beneran...?! “Lho, kalo mau pindah sekolah bukannya musti ngurusngurus dulu? Memangnya bisa dadakan? Kemarin aja Denis bilang siap balik ke Medan kok?!” kulikku, masih susah buat percaya! payah...
Mama mendesah. Memandangiku dengan raut agak
“Sebenarnya, Denis itu memang mau dikembaliin ke sini...! Mama sama Papa yang minta. Cuma, yang nentuin kan tetap Denisnya sendiri, dia mau balik kesini apa nggak... Awalnya sih dia memang masih ingin tetap tinggal di Medan, dia udah betah di sana. Tapi baru kemarin, sehari sebelum balik ke Medan, Denis mutusin mau sekolah di sini...! Memang ribet sih, orang udah telanjur dipesankan tiket pesawat... Tapi, masa tiket pesawat lebih penting sih...? Apapun pilihan dia, Denis yang terpenting buat Mama sama Papa...!” ujar Mama makin lirih, matanya kelihatan hampir berkacakaca. “Dia udah dipisah jauh sejak kecil, dia pingin pulang ke sini lagi masa masih dihalang-halangi sih...? Ini kan rumah dia juga... Kita ini satu keluarga, Mama sama Papa pingin kita bisa ngumpul lagi...” Kini, aku jadi terharu mendengar kata-kata Mama. Aku jadi nggak bisa ngomong apa-apa sekarang... Kalau aku nggak malu sama Mama, mungkin aku udah nangis duluan... “Entah apa yang bikin Denis berubah pikiran, mendadak seperti itu... Tapi Mama yakin kok, Denis mutusin itu bukan karena ada yang maksa... Kamu bisa kan, nerima Denis lagi...?” ujar Mama seraya mengusap rambutku. Aku hanya mengangguk pelan, dan tersenyum penuh arti seperti senyum Mama. Jadi akhirnya, keluarga ini berkumpul lagi seutuhnya...! Ini adalah keputusan yang terbaik untuk kami semua...!
186
“Tante sama Om pesan, kamu harus bisa jaga adik kamu baik-baik! Boleh berantem, tapi nggak boleh musuhan...!” tambah Mama. “Ngapain dijagain? Udah sama-sama gede juga...!” aku langsung ngeles dengan jaim. Memangnya Denis anak umur sepuluh tahun apa? “Terus, kalo gitu ngapain koper-kopernya diumpetin segala?!” tanyaku, mulai jutek lagi. Mama jadi kikuk lagi, dan tersenyum rada malu. “Yaaa... Denis ngajak bikin kejutan buat kamu, gitu...” jawab Mama selintutan seperti anak kecil kepergok bikin ulah! KEJUTAN...??? Oooo...! Alasannya se-simple itu ya? Jadi aku sampai hampir nangis bernostalgia dan membayangkan bakal kangen sama Denis, ternyata cuma termakan akal-akalan ini?!! Aku mencoba menahan kejengkelanku. “Berhubung rencana udah ketahuan, berarti tinggal satu pertanyaan yang harus Mama jawab dengan jujur...!” tukasku. Mama bengong menatapku... “DIMANA DENIS SEKARANG...???!!!”
187
Reuni
“Eh, monyong...! Bangun!” Bukkk! Aduhhh...! Siapa sih nih? Nimpuk kepala gue?! Nggak sopan amat ganggu orang tidur?!! Setengah memicing, mata gue menangkap sosok yang nggak begitu jelas sedang berkacak pinggang... “Bangun, dodol...!” orang itu menimpuk lagi pakai bantal. “Lohhh...? Elu, Mas...?” gue langsung kaget begitu nyadar mahluk yang nimpukin gue itu si Dimas! “Ngapain ngumpet di sini?! Mau ngerjain aku kan? Mau bikin kejutan kan?! Sekarang siapa yang kaget? Siapa?!!” omel Dimas sambil gebukin pakai bantal lagi. protes!
“Lu ngapain sih uring-uringan kayak gini?!” otomatis gue
“Puas nangkap kamu!!! Pakai ngumpet di rumah Eyang segala!!! Makan nih kejutan! Nih...!!!” “Aaaahhhhhhh...!!!” gue langsung berontak mati-matian waktu Dimas mulai menyergap dan gelitikin pinggang gue. “Lepasin!!!” “Ogah...!” Dimas malah cekikikan, tambah reseh! Gue kibas sodara kembar gue itu, lalu gantian gue rajam dia pakai bantal sampai gelagapan! Sampai bantal habis terlempar semua ke lantai. Lalu dengan sigap gue terjun dari dipan! Kabur...!!! “Eittt...! Jangan lari!!!” seru Dimas.
188
Bodo...! Sumpah, paling ogah gue kalau jahilnya si Dimas kumat! Sambil lari gue menyelamatkan diri ke luar kamar! BRUUKKKK...!!! “Gusti Allah...!!!” pekik Kakek waktu gue menabraknya di ruang tengah! Dan... Kraaakkkk!!! Sangkar burung yang sedang dibawa Kakek terjatuh ke lantai...! “Astaga! Maaf, Kek...! Nggak sengaja!” gue gelagapan. “Lho, lho...! Manuk‟e mabur...!” seru Kakek sambil nunjuk burung piaraannya yang lepas dari sangkar! Aduhhhh...! Tambah runyam!!! Burung yang lepas itu terbang berkitaran di ruang tengah. Kakek langsung lari nutupin semua pintu dan jendela! “Hayooo! Tanggung jawab, ditangkap burungnya!” seru Kakek murka. “Itu Dimas yang bikin gara-gara!” jelas aja gue nunjuk Dimas, orang memang dia yang bikin gara-gara! “Weeee...! Yang nabrak Eyang kan kamu?!” Dimas langsung ngeles dengan tampang blo‟on. “Kamu berdua! Kalo burungnya gak ketangkap, tak gebuki kabeh...!!!” Kakek langsung naik pitam, ngambil pentungan pengganjal pintu...! “Iya iya iya!!!” Kami berdua nggak bisa menghindar dari murka Kakek yang mengancam pakai pentungan, terpaksa ngejar terbangnya si burung yang masih berputar-putar di ruangan! “Gara-gara lu nih...!” “Kamu yang nabrak!!!” “Lu yang usil duluan!” “Kamu pakai ngumpet di sini?!”
189
Bruaaanggg...! Klonthaanggg...! “Gusti Allah...!!!” “Dimas tuh, Kek...!” “Denis, Mbah...!” “DIAAMMM...!TANGKAP BURUNGNYA!!!” Siaaaaal...!!! Kok gue bisa ketahuan seehhhh...??!!!
File e-book ini dibagikan secara cuma-cuma sebagai fitur dari novel Cowok Rasa Apel. Terima kasih sudah membaca Cowok Rasa Apel...!
190