g
ISSN 0216-2393
G R A D IE N
R e l. in t e n s ity /c o u n ts
Vol. 3 No. 2 Juli 2007
JURNAL MIPA
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
ZA
5
15
25 35 Degree of 2 tetha
45
55
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU Gradien
Vol. 3
No. 2
Hal. 243-290
Bengkulu, Juli 2007
ISSN 0216-2393
g
ISSN 0216-2393
G R A D IE N
Vol. 3 No. 2 Juli 2007
JURNAL MIPA DAFTAR ISI
Fisika 1. Identifikasi Lithologi Batuan Bawah Permukaan Dengan Metode Csamt Di Daerah Kasihan, Tegalombo, Pacitan (Arif Ismul Hadi) 243-246 2. Penggunaan Metode Logika Fuzzi Untuk Memprediksi Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasarkan Tingkat Kebisingan Lalu Lintas, Lebar Jalan Dan Faktor Koreksi (Syamsul Bahri) 247-251 3. Analisis Data Suhu, Konduktifitas, Dan Aliran Panas Untuk Menafsir Struktur Bawah Permukaan Daerah Air Putih Lebong Utara (Andik Purwanto) 152-256 Kimia 4. Kajian Variasi Kadar Glukosa Dan Derajat Keasaman (Ph) Pada Pembuatan Nata De Citrus Dari Jeruk Asam (Citrus Limon. L) (Devi Ratnawati) 257-261 5. Isolasi Senyawa Flavonoid Aktif Berkhasiat Sitotoksik Dari Daun Kemuning 262-266 (Murraya Panicullata L. Jack) (Morina Adfa) 6. Pembuatan Dan Karakteristik Katalis Bifungsional Dari Zeolit Alam (Totok E. Suharto) 267-272 7. Penentuan Efisiensi Inhibisi Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana L) Pada Reaksi Korosi Baja Dalam Larutan Asam (Asdim) 273-276 Matematika 8. Uji Median Pengaruh Utama Dan Interaksi Dalam Percobaan Berfaktor (Sigit 277-281 Nugroho) 9. Aplikasi Differensial Numerik Dalam Pengolahan Citra Digital (Yulian Fauzi) 282-285 10. Optimasi Pada Traveling Salesman Problem (PSB) Dengan Pendekatan Simulasi Annealing (Jose Rizal) 286-290
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 243-246
Identifikasi Lithologi Batuan Bawah Permukaan Dengan Metode Csamt Di Daerah Kasihan, Tegalombo, Pacitan Arif Ismul Hadi Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 16 Mei 2007; Disetujui 10 Juni 2007
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lithologi batuan yang berhubungan dengan struktur perlapisan batuan bawah permukaan berdasarkan kontras resistivitas medium dan menginterpretasi sebaran resistivitasnya. Akuisisi data di lapangan menggunakan peralatan CSAMT model Stratagem 26716 Rev. D. Data diolah dengan menggunakan transformasi Bostic. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa daerah survai yang terletak di Kasihan disusun oleh lithologi yang merupakan satu satuan batu pasir yang terdiri dari konglomerat pasir dan batu pasir vulkanik, intrusi batuan beku andesit di beberapa daerah masih berhubungan satu sama lainnya yang menembus batu pasir vulkanik dan konglomerat. Adapun sebaran mineral phirit ke arah Baratdaya-Timurlaut dan mineral phirit di daerah ini mengandung besi yang cukup banyak. Kata kunci: Lithologi batuan; transformasi Bostic; konglomerat pasir; batu pasir vulkanik; batuan beku andesit; mineral phirit. 1. Pendahuluan Secara geografis daerah Kasihan, Tegalombo, Pacitan berada pada koordinat 4026’-4029’36’’ BT dan 806’807’30’’LS. Geomorfologi daerah Kasihan adalah pegunungan terjal dengan dicirikan oleh kontur yang rapat. Pegunungan tersebut berderet diseluruh penjuru, sedangkan morfologi yang relatif datar dengan kontur renggang, yang merupakan pusat Desa Kasihan terdapat dibagian tengahnya. Topografi minimummaksimum di daerah ini adalah 621 - 923 m di atas MSL [4]. Satuan lithologi paling tua di Desa Kasihan adalah lapisan batu pasir vulkanik, dengan selang seling batulanau. Batupasir yang segar berwarna hijaukekuningan, sedangkan yang lapuk berwarna coklatkemerahan, berukuran butir pasir kasar, sortasi kurang bagus, struktur berlapis dan, struktur sedimen laminasi sejajar dan bergelombang. Pada beberapa singkapan menunjukkan gradasi. Fragmennya adalah kuarsa, feldspar dan tuf, serta material vulkanik. Matriknya diduga adalah lempung. Sebagian besar lapisan batupasir ini dalam keadaan lapuk (berwarna merah kecoklatan), sedangkan yang segar berwarna abu-abu, hijau, keputihan, terbentuk pada lingkungan
pengendapan laut (neritik tengah-luar), yang bersamaan dengan terjadinya aktivitas vulkanik, diduga berumur Miosen Tengah. Satuan ini disepanjang sungai Dadap dan jalan Desa Kasihan. Di atas satuan batu pasir vulkanik menumpang secara tidak selaras satuan konglomerat pasiran, yang fragmennya didominasi oleh butiran batuan beku (andesit dan dasit). Ukuran kerakal-pasir kasar, kuarsa (chalcedony dan chert) dengan matriks diduga adalah lempung (clay). Terdapat sisispan fosil kayu yang tersilisifikasi (petrified wood) dan sisipan konglomerat batugamping yang fragmennya terdiri dari batugamping terumbu (masif, dominan), batuan beku (andesit) dalam kondisi lapuk, napal masif, batulanau masif, dan mineral kuarsa (chalcedony dan chert). Fragmen batu gamping (terbentuk pada laut dangkal) telah tererosi dan tertransportasikan sampai laut dalam. Satuan ini diperkirakan berumur miosen tengah. Satuan yang paling muda adalah intrusi andesit dan dasit yang menerobos dua satuan batuan di atasnya. Pada batuan intrusi ini terbentuk kekar-kekar akibat pendinginan dan banyak membentuk struktur dyke yang terisi oleh larutan silika. Batuan ini tersingkap setempat-setempat di sepanjang Sungai Dadap, lereng Gunung Pengajaran,
244
Arif Ismul Hadi / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 243-246
dan Gunung Dringo dan bukit-bukit sekitar Desa Kasihan. Metode CSAMT (Controlled Source Audio-frequency Magneto-telluric) merupakan salah satu metode survai geofisika dengan menggunakan sistem induksi elektromagnetik. Metode CSAMT ini merupakan perluasan dari metode MT (Magneto-telluric) yang menggunakan sumber alami. Goldstein dan Strangway mengembangkan suatu metode yang menggunakan sumber medan buatan (CSAMT) [2]. Sumber medan yang digunakan berasal dari dipol listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi [7]. Informasi tentang resistivitas batuan bawah permukaan sebagai fungsi kedalaman, diperoleh dengan mengukur besarnya medan listrik dan medan magnet untuk berbagai frekuensi. Resistivitas listrik merupakan parameter penting untuk mengkarakterisasikan keadaan fisis bawah permukaan, yang diasoasiasikan dengan material dan kondisi bawah permukaan. Parameter tersebut bergantung pada lithologi, porositas, suhu, tekanan, dan fluida yang mengisi batuan [5]. Penurunan persamaan untuk metode MT maupun CSAMT dikembangkan mengikuti pendekatan Cagniard [1]. Asumsi dasar yang digunakan adalah bumi dianggap lapisan horizontal dimana masingmasing lapisan mempunyai sifat homogen isotropis dan, gelombang elektromagneik alam yang berinteraksi dengan bumi merupakan gelombang bidang. Dengan menganggap bahwa bumi bersifat homogen isotropis [3], sifat fisik medium tidak bervariasi terhadap waktu dan tidak ada suatu sumber muatan dalam medium yang ditinjau, sehingga diperoleh persamaan Maxwell dalam bentuk: ∂H (1) ∇×E=-µ ∂t
∇ × H = σE + ε
∂E ∂t
(2)
∇•E =0
(3)
∇•H =0
(4)
Apabila variasi terhadap waktu dinyatakan sebagai fungsi sinusoidal, maka akan diperoleh persamaan [3]: ~ E(r, t ) = Re E(r, ω )e iωt ~ (5) H (r, t ) = Re H (r, ω )e iωt
Skin depth adalah jarak pelemahan gelombang elektromagnetik dalam medium homogen sehingga menjadi 1/e (~37%) dari amplitudo di permukaan. Dengan menggunakan pendekatan quasi-static dan mengasumsikan nilai permeabilitas µ = µ0 = 1,256 x 10-6 H/m, dan memasukkan frekuensi (ω = 2πf), maka diperoleh [7]: 1
ρ2 , δ = 503 f
(6)
dengan δ = skin depth (m), ρ = resistivitas medium homogen (Ωm), dan f = frekuensi gelombang elektromagnetik (Hz). Untuk mendapatkan resistivitas yang sebenarnya dimana bumi mempunyai resistivitas yang heterogen diperoleh dengan cara membuat model dan diturunkan hubungan antara resistivitas semu dan resistivitas sebenarnya (metode inversi). Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lithologi batuan yang berhubungan dengan struktur perlapisan batuan bawah permukaan berdasarkan kontras resistivitas medium dan menginterpretasi sebaran resistivitasnya. 2. Metode Penelitian Akuisisi data di lapangan menggunakan peralatan CSAMT model Stratagem 26716 Rev. D. Alat ini digunakan untuk mengukur intensitas medan listrik dan medan magnet dalam frekuensi tertentu. Sistem Stratagem terdiri dari dua komponen dasar yaitu penerima (receiver) dan pemancar (transmitter). Sumber daya untuk pemancar dibangkitkan dari baterei 12 volt. Sistem penerima standar dikonfigurasi untuk menerima data dalam jangkauan frekuensi dari 10 Hz sampai 92 kHz. Pengolahan data secara garis besar adalah sebagai berikut: (1) Melakukan pengukuran komponen E dan H dalam arah tegak lurus yang memiliki rentang frekuensi tertentu, (2) Melakukan analisis frekuensi (spektrum), (3) Melakukan pemilihan sinyal-sinyal pengukuran pada spektrum tertentu (yang kemudian dianggap mewakili kedalaman tertentu), (4) Melakukan perhitungan nilai resistivitas berdasarkan nilai E dan H bersesuaian, (5) Melakukan perhitungan kedalaman oleh suatu frekuensi melalui perumusan skin depth dan
Arif Ismul Hadi / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 243-246
(6) Hasil akhir dalam nilai resistivitas untuk berbagai frekuensi (atau kedalaman) diplot sebagai nilai resistivitas terhadap kedalaman. Langkah-langkah tersebut kemudian diintegrasikan dengan algoritma inversi Bostic, analisis koherensi, korelasi, dsb untuk mendapatkan hasil akhir yang lebih baik. 3. Hasil dan Pembahasan
245
ohm-m). Hal ini diduga terjadi karena adanya intrusi batuan andesit [6] yang cocok dengan informasi geologi yang menyebutkan bahwa di sekitar daerah titik sounding 2 ini terdapat singkapan batuan andesit. Pada daerah titik sounding 1,2,3 ini pada umumnya tersusun oleh satu satuan batu pasir yang terbagi menjadi konglomerat pasir dan batu pasir vulkanik. Konglomerat terletak di atas batu pasir vulkanik, hal ini cocok dengan stratigrafi daerah tersebut.
Hasil akhir pengukuran berupa sebaran nilai resistivitas terhadap kedalaman kemudian ditafsirkan sebagai penampang geofisika yang berkorelasi dengan struktur geologi bawah permukaan yang sebenarnya. Penafsiran pada sebuah titik pengukuran merupakan penafsiran secara 1-D kemudian dicocokkan dengan informasi geologi yang ada. Hasil dari interpretasi terhadap titik sounding dapat dilihat di lampiran. Untuk dapat menginterpretasikan lithologi batuan di daerah survai, data diolah dengan menggunakan transformasi Bostic. Dalam penelitian ini diambil enam titik sounding yang dianggap mewakili daerah survai yang telah dilakukan transformasi Bostic.
Gambar 2. Hasil Interpretasi dari Titik-titik Sounding 13, 14, 15 CSAMT
Gambar 1. Hasil Interpretasi dari Titik-titik Sounding 1, 2, 3 CSAMT
Untuk titik sounding 1-3 bila dikorelasikan akan membentuk suatu perlapisan batuan ke arah UtaraSelatan dan hasil yang didapatkan cukup relevan. Dari titik sounding 2 didapatkan adanya kontras resistivitas semu yang cukup signifikan, yaitu adanya lapisan yang memiliki lapisan dengan resistivitas semu tinggi (2000
Untuk daerah titik sounding 13,14,15 diperoleh nilai resistivitas semu ke arah kedalaman yang sangat kecil (orde 1-10 ohm-m). Hal ini menggambarkan bahwa pada daerah ini terdapat suatu lapisan yang konduktif (low resistivity) yang sangat tebal, yakni sampai dengan frekuensi yang paling rendah masih didapatkan nilai yang berkisar di kisaran tersebut. Diduga pada daerah ini mengandung ore deposit yang cukup banyak. Dari informasi geologi di sebutkan bahwa pada daerah ini banyak dijumpai mineral phirit yang kandungan besinya cukup banyak. Sehingga diduga ore deposit yang ada di daerah titik sounding 13, 14 dan 15 adalah phirit yang kaya akan besi. Pada titik sounding 13 terlihat adanya kontras resistivitas yang cukup baik menggambarkan adanya perubahan lithologi pada kedalaman tertentu. Secara geologi singkapan yang tampak di permukaan menunjukan batuan konglomerat. Diduga di bawah lapisan konglomerat ini terdapat batu pasir vulkanik. Hal ini mendukung data pada titik
246
Arif Ismul Hadi / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 243-246
sounding yang lain, yang diduga mengandung mineral phirit, sebab pada daerah survai dijumpai adanya phirit pada batu pasir vulkanik dan batu andesit. Adapun kecenderungan penyebaran mineral phirit ke arah Baratdaya-Timurlaut. Terlihat pula adanya intrusi andesit di beberapa tempat dan diduga intrusi ini masih berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan lithologi yang menyusun daerah ini adalah konglomerat pasir, batuan pasir dan intrusi andesit. 4. Kesimpulan Daerah survai yang terletak di Kasihan disusun oleh lithologi yang merupakan satu satuan batu pasir yang terdiri dari konglomerat pasir dan batu pasir vulkanik. Intrusi batuan beku andesit di beberapa daerah masih berhubungan satu sama lainnya yang menembus batu pasir vulkanik dan konglomerat. Sebaran mineral phirit ke arah Baratdaya-Timurlaut dan mineral phirit di daerah ini mengandung besi yang cukup banyak. Daftar Pustaka [1] Cagniard L., 1953, Basic Theory of the Magnetotelluric Method of Geophysical Prospecting, Geophysics, Vol. 18. [2] Goldstein, M.A., dan Strangway, D.W., 1975, Audiofrequency magnetotellurics with a Grounded Electric Dipole Source, Geophysics, vol. 40. [3] Grant F.S. dan G.F. West, 1965, Interpretation Theory in Applied Geophysics, McGraw-Hill, Inc., New york, USA. [4] Nukman, 2001, Geologi daerah kasihan dan Sekitarnya, Laboratorium Geofisika, Fakultas MIPA. UGM. Yogyakarta. [5] Sutarno D., 1993, Metoda Magnetotellurik, Teori dan Aplikasinya, Kontribusi Fisika ITB, Vol. 4. [6] Telford W.M., L.P. Geldart dan R.E. Sheriff, 1998, Applied Geophysics Second Edition, Cambridge University Press, New York. [7] Zonge K.L., dan Hughes L.J., 1988, Controlled Source Audio-frequency Magnetotellurics, Zonge Engineering and Research Organization, Inc., Tucson, Arizona.
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 247-251
Penggunaan Metode Logika Fuzzy Untuk Memprediksi Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasarkan Tingkat Kebisingan Lalu Lintas, Lebar Jalan Dan Faktor Koreksi Syamsul Bahri, Rida Samdara, Fairuz Zamani Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 13 Mei 2007; Disetujui 22 Juni 2007
Abstrak - Telah dilakukan pengembangan sebuah sistem prediksi jumlah kendaraan bermotor yang lewat pada suatu jalan berdasarkan level kebisingan lalu lintas, lebar jalan, dan faktor koreksi dengan menggunakan logika fuzzy. Sistem inferensia fuzzy yang digunakan disini menggunakan metode Sugeno dengan tiga crisp yaitu: level kebisingan lalu lintas, lebar jalan dimana sistem ini digunakan, dan faktor koreksi sebagai faktor penalaan. Sedangkan metode defuzzyfikasi menggunakan Weight Average untuk menghasilkan crisp output berupa prediksi jumlah kendaraan. Pengujian sistem dilakukan dengan cara membandingkan hasil prediksi dengan jumlah kendaraan sebenarnya. Hasil penelitian menunjukkan kesalahan prediksi pada penelitian adalah 3 – 7 %. Kata-kata kunci : Logika Fuzzy; kebisingan; faktor koreksi. 1. Pendahuluan Untuk menyusun rencana tata ruang kota yang terpadu, informasi kapasitas jalan yang akurat dan berguna mengenai hal ini perlu didapatkan. Seiring meningkatnya arus transportasi, maka pertumbuhan kota-kota akan semakin meningkat dan dengan sendirinya kebutuhan jaringan transportasi untuk menampung pergerakan warga kotanya pun akan semakin meningkat pula. Banyak model yang telah dikembangkan untuk mempelajari volume lalu lintas di jalan untuk menggambarkan volume tersebut, tetapi sebagian besar hanya menggambarkan untuk kondisi dan waktu yang tertentu saja. Tujuan dari hasil pembelajaran ini adalah untuk memperkirakan besarnya pergerakan pada segmen jaringan tertentu, lebih jauh adalah menterjemahkan kondisi perwilayahan, kependudukan dan sosio-ekonomi [2]. Volume lalu lintas kendaraan di jalan tidak terdiri dari suatu variabel yang homogen, melainkan terdiri dari bermacam karakteristik yang tidak selalu sama. Keanekaragaman ini membatasi ketepatan sistem yang dikembangkan untuk menyatakan jumlah kendaraan di jalan. Volume lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati satu titik pada suatu ruas
jalan dalam waktu tertentu. Volume ini dapat dinyatakan dalam kerangka tahunan, harian, ataupun dalam satuan yang lebih kecil. Volume lalu lintas merupakan satu dari beberapa variabel yang diperlukan dalam penentuan batas kebisingan lalu lintas pada suatu ruas jalan tertentu [1]. Tingkat kebisingan lalu lintas memiliki korelasi yang linear dengan jumlah kendaraan bermotor yang melewati sebuah jalan [6]. Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kebisingan diantaranya adalah volume lalu lintas, kendaraan, lebar jalan, tipe jalan, tipe lingkungan jalan, gangguan sampingan akibat aktivitas perpakiran, dan pergerakan kendaraan. Dalam beberapa kasus, kita tidak dapat memutuskan sesuatu masalah dengan jawaban sederhana ”ya” atau ”tidak”. Sebagai contoh, untuk menyatakan kebisingan suara ”sedang”, sangat bersifat relatif. Pada tahun 1965, Zadeh memodifikasi teori himpunan dimana setiap anggotanya memiliki derajat keanggotaan yang bernilai kontinu antara 0 sampai 1. Himpunan ini disebut dengan Himpunan Kabur (Fuzzy Set). Sistem Logika Fuzzy biasanya memiliki sifat fault tolerant serta mampu mengakomodasi ketidakpresisian
248
Syamsul Bahri / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 247-251
dalam proses akuisisi data [3]. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kebisingan yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor menggunakan sistem pengukur kebisingan yang selanjutnya digunakan sebagai data masukan untuk memprediksi jumlah kendaraan bermotor. 2. Metode Penelitian a. Proses Pengambilan Data Data diperoleh dengan pendeteksian suara melalui sound level meter dengan kapasitas tingkat tekanan suara hingga 100 dB, dan proses perekaman data dilakukan selama 1 menit untuk setiap 1 data prediksi, yang secara skematik konfigurasi pengambilan data ditampilkan dalam gambar 1. Sound level meter diletakkan tegak lurus terhadap laju kendaraan supaya dapat menerima gelombang dengan tepat. Selama pengambilan data hasil senantiasa diamati dan pengujian dapat dilakukan dalam beberapa kali untuk setiap satu set jarak sound level meter guna memastikan konsistensi suara. Hasil dari beberapa kali pengujian didapatkan jarak antara sumber gelombang terhadap Sound Level meter sama dengan dengan jarak sound level meter terhadap permukaan jalan yaitu 1,5 meter. b. Lokasi dan Instrumen Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Minggu ke-2 bulan Mei 2007 dengan interval waktu antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB di ruas jalan dan simpangan berlampu lalu lintas yang berlokasi di kota Bengkulu. Seluruh lokasi pengujian merupakan jenis jalan arteri yang secara hirarki fungsi memberikan fasilitas pelayanan yang terus-menerus dan sebagai jalur distribusi lalu lintas. Sound level meter dalam kajian ini merupakan sensor noise pabrikan dengan interval tingkat tekanan suara yang dipakai antara 50 – 100 dB. c. Analisa dan Interpretasi Data Kebutuhan Input dan output
Himpunan-himpunan fuzzy yang digunakan pada variabel pada sistem prediksi seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Himpunan fuzzy untuk ruas jalan dan simpangan Nama Satuan Variabel himpunan Domain fuzzy Low [ 60, 83 ] Kebisingan dB Medium [ 60, 100] High [ 83, 100 ] Narrow [ 3, 7.5 ] Lebar jalan Meter Medium [ 3, 12 ] Wide [ 7.5, 12 ] Low [ 0.4, 0.85 ] Faktor % koreksi Medium [ 0.4, 1.3 ] High [ 0.85, 1.3] Low [ 2 ] & [ 12 ] Jumlah Unit Kendaraan Medium [40] & [55] High
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
[58] & [90]
Tabel 2. Kombinasi aturan fuzzy yang digunakan Faktor Jumlah Kebisingan Lebar jalan koreksi kendaraan Low Narrow High Low Low Medium High Low Low Wide High Low Low Narrow Medium Low Low Medium Medium Low Low Wide Medium Medium Low Narrow Low Low Low Medium Low Medium Low Wide Low Medium Medium Narrow High Low Medium Medium High Low Medium Wide High Medium Medium Narrow Medium Low Medium Medium Medium Medium Medium Wide Medium High Medium Narrow Low Medium Medium Medium Low High Medium Wide Low High High Narrow High Medium High Medium High Medium High Wide High High High Narrow Medium Medium High Medium Medium High High Wide Medium High High Narrow Low High High Medium Low High High Wide Low High
Syamsul Bahri / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 247-251
Aturan IF-THEN Fuzzy if – then rules yang digunakan disini sebanyak 27 aturan yang dibuat sesuai untuk menggambarkan keadaan dengan catatan bahwa setiap aturan yang dibentuk menyertakan semua variabel. Metode inferensia fuzzy yang digunakan adalah metode Sugeno orde nol. Pada metode ini, anteseden direpresentasikan dengan proposisi dalam himpunan fuzzy, sedangkan konsekuen direpresentasikan dengan sebuah konstanta. Sistem Inferensia Fuzzy Pada sistem prediksi ini variabel input maupun variabel output dibagi menjadi 3 variabel yang saling berkaitan. Fungsi implikasi yang digunakan dalam sistem prediksi adalah MIN. Sistem prediksi terdiri dari beberapa aturan, sehingga inferensia diperoleh dari kumpulan dan korelasi antar aturan. Sebelum dilakukan inferensia perlu dicari terlebih dahulu derajat keanggotaan nilai tiap variabel dalam setiap himpunan dengan menggunakan persamaan : x≤a 0; (x - a)/(b - a); a ≤ x ≤ b f (x; a, b, c) = (c - x)/(c - b); b ≤ x ≤ c 0; x≥c
(1)
kemudian dicari α-predikat untuk setiap aturan yang didapatkan dari persamaan : µ A∩B = min (µA [x], µA [y]) (2) Input dari proses defuzzy adalah suatu himpunan fuzzy yang diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy tersebut. Sehingga jika diberikan suatu himpunan fuzzy dalam range tertentu, maka harus dapat diambil suatu nilai crisp tertentu sebagai output. Pada metode yang digunakan dalam penelitian ini, defuzzy dilakukan dengan cara mencari nilai rata-ratanya dengan menggunakan persamaan : n
Z=
∑ Zj * µ (Zj)
(3)
249
dimana : Z adalah nilai rata-rata jumlah kendaraan, µ(Zj) adalah nilai α-predikat yang memenuhi aturan dan Zj adalah nilai domain output jumlah kendaraan yang sesuai dengan α-predikat yang memenuhi aturan. 3. Hasil dan Pembahasan Pengujian dilakukan dengan cara membandingkan hasil prediksi sistem fuzzy dengan jumlah kendaraan sebenarnya. Pengujian dilakukan terhadap variasi parameter sebagai berikut: (1). Memvariasikan nilai input dari faktor koreksi dan lebar jalan yang berfungsi sebagai faktor penala sehingga diperoleh hasil prediksi yang mendekati dengan hasil sebenarnya, (2). Melakukan perubahan terhadap bentuk domain membership function input, yaitu pada input level kebisingan dan perubahan membership function output yaitu jumlah kendaraan. Perubahan ini bertujuan untuk meminimalisasikan error prediksi yang dihasilkan sistem fuzzy. Setelah dilakukan beberapa perubahan terhadap nilai domain membership function level kebisingan dan jumlah kendaraan, lalu dilakukan pengujian sistem terhadap data sebenarnya, maka didapatkan nilai domain yang sebelumnya telah ditunjukkan dalam Tabel 1 diatas. Tabel hasil prediksi kendaraan bermotor untuk ruas jalan didapatkan sebagai berikut : Tabel 3. Hasil prediksi jumlah kendaraan dengan perubahan membership function input level kebisingan untuk ruas jalan lokasi A. Jumlah kendaraan (unit) Error Nilai (X1) & No kebisingan Prediksi Aktual (X2) (dB) sistem (X1) (X2) 1
79.1
25
26
4
2
77.4
24
23
4.1
3
81.7
30
29
3.3
4
90
42
41
2.3
5
83.4
33
34
3.0
6
89.1
40
40
0
7
86.6
36
38
5.5
8
80.1
29
27
6.8
9
79.8
26
26
0
n
10
85.3
35
37
5.7
j =1
11
84.3
34
35
2.9
12
83.7
33
34
3.0
j =1
∑ µ (Zj)
Syamsul Bahri / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 247-251
250
13
76.7
23
22
4.3
14
81.6
30
29
3.3
15
86
36
38
5.5
Mean Standar deviasi
Lebar jalan Faktor koreksi
3.58 1.92287
: 6.8 meter : 0.849068
sedangkan untuk simpangan berlampu lalu lintas didapatkan hasil sebagai berikut:
diprediksi dengan baik dan ada pula lokasi yang memiliki error prediksi di atas 7 %. Hal ini dikarenakan data yang dimiliki pada beberapa lokasi memiliki kesamaan dalam nilai kebisingan terhadap jumlah kendaraan bermotor yang ada, sehingga sistem menghasilkan error prediksi yang tinggi. Tabel 5. Hasil perbandingan terhadap beberapa kombinasi kebisingan, lebar jalan dan faktor koreksi (menggunakan sistem prediksi yang dibuat).
Tabel 4. hasil prediksi jumlah kendaraan dengan perubahan membership function input level kebisingan untuk simpangan berlampu lalu lintas lokasi F Jumlah kendaraan Error Nilai (unit) (X1) & No. kebisingan Aktual Prediksi (dB) (X2) (X1) sistem (X2) 4.1 1 85.54 48 50 2
86.35
49
51
4.08
3
94.28
64
63
1.5
4
84.48
46
47
2.1
5
83.25
45
45
0
6
85.6
48
50
4.16
7
85.19
47
50
6.3
8
84.4
45
47
4.4
9
88.14
53
55
3.7
10
78.9
37
34
8.1
11
89.23
55
56
1.8
12
83.07
45
44
2.2
13
86.97
50
52
4
14
91.56
59
60
1.6
15
81.2
42
40
4.7
Mean Standar deviasi
Lebar jalan Faktor koreksi
3.516 2.054058
: 7.5 meter : 0.958
Kemampuan Sistem Dalam Memprediksi Jumlah Kendaraan Bermotor Sistem fuzzy yang telah diuji dengan menggunakan data yang diakuisisi, kemudian dibandingkan menggunakan data dari lokasi yang berbeda. Adapun hasil perbandingan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 5. Pada tabel tersebut tampak bahwa nilai prediksi tiap lokasi begitu beragam. Ada lokasi yang mampu
* dalam satuan unit 4. Kesimpulan Pengukur tingkat kebisingan dapat diimplementasikan dalam bentuk perangkat lunak aplikasi yang dapat membaca dan menyimpan data secara langsung. Hasil pengukuran program sangat bergantung pada spesifikasi sistem yang digunakan. Sistem prediksi fuzzy yang dibuat mampu memprediksi jumlah kendaraan bermotor berdasarkan tingkat kebisingan, lebar jalan dan faktor koreksi dengan kesalahan sebesar 3 - 7 %. Daftar Pustaka [1] Direktorat Jendral Bina Marga, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Jakarta, Indonesia. [2] Hermawan R., 2001, Sistem Teknologi Transportasi, Bandung: Penerbit ITB. [3] Kusumadewi S., 2002, Analisis & Desain System Fuzzy (menggunakan Toolbox Matlab), Yogyakarta : Graha Ilmu. [4] Kusumadewi S., Purnomo H., 2002, Aplikasi Logika Fuzzy untuk Pendukung Keputusan, Yogyakarta : Graha Ilmu. [5] Lubis H., 2001, Pengantar Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Bandung: Penerbit ITB. [6] Purnomowati, Endang R., 1997, Mencari Korelasi Tingkat Kebisingan Lalu Lintas dengan jumlah
Syamsul Bahri / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 247-251
Kendaraan yang lewat di jalan Kaliurang, Yogyakarta: MediaTeknik. [7] Tamin O. Z., 2000, Perencanaan & Pemodelan Transportasi Edisi Kedua, Bandung: Penerbit ITB.
251
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 252-256
Analisis Data Suhu, Konduktifitas, Dan Aliran Panas Untuk Menafsir Struktur Bawah Permukaan Daerah Air Putih Lebong Utara Andik Purwanto Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 21 Juni 2006; disetujui 20 Juli 2007 Abstract - The measurement had been conducted at 50cm depth on Air Putih’s area, which is used needle probe. The transient heating of needle probe is used to measure the thermal conductivity and shallow depth temperature. The temperatures that have been measured are 17.42-52.930 C and the highest value of heat flow that have been measured is 0.55 W/ m. K. Temperature measurements at shallow depths contain useful information about features of the geological structures in Air Putih area. Essentials similarity between thermal and magnetic prospecting make it possible to apply to thermal prospecting modification of the rapid method characteristic point developed for magnetic prospecting. The interpretation result, which is used characteristic points, is the upper edge location of anomaly at 12.13 m below the surface Keywords: Air Putih, Temperature, Conduktivity, Heat Flow 1. Pendahuluan Kebutuhan energi dalam kehidupan manusia pada harihari ini sudah meningkat menjadi suatu kebutuhan primer. Tak dapat dipungkiri bahwa seiring meningkatnya populasi manusia, kebutuhan akan energi juga meningkat. Oleh karena itu berbagai macam usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
sehingga dibutuhkan informasi mengenai panas bumi untuk pengembangannya. Salah satu lokasi panas bumi yang terdapat di Indonesisa terletak di area Air Putih, Lebong Utara. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui besarnya panas alamiah yang dihasilkan oleh area panas bumi di Air Putih dan struktur yang mengontrol sistem tersebut. a.
Pada sektor energi, Indonesia didominasi oleh minyak, gas dan batu bara. Minyak bumi memegang 57% dari pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia, gas 23% dan batubara 18%. Sedangkan 2%-nya dipegang oleh energi yang bebas emisi karbon hingga ber-emisi rendah (seperti hidroelektrik dan panas bumi). Info yang didapat dari MEMR, menunjukkan bahwa persediaan energi panas bumi di Indonesia sebesar 20,000 MW. Indonesia telah 20 tahun mengembangkan energi panas bumi ini, akan tetapi hanya mampu mengembangkan sebesar 787 MW energi panas bumi, itu berarti baru 4 persen dari total potensial yang ada di Indonesia [10]. Oleh karena itu untuk masa kedepannya, prospek pengembangan energi panas bumi masih terbuka lebar,
Geologi dan dan Manifestasi Panas Bumi di Area Air Putih.
Air Putih terletak di kabupaten Lebong yang merupakan salah satu kabupaten yang ada dipropinsi Bengkulu. Penampakan panas bumi di permukaan terletak pada perbukitan yang merupakan jajaran Bukit Barisan dimana manifestasi air panas Air Putih terletak. Manifestasi yang bisa ditemui di Air Putih meliputi mata air panas, kolam air panas (warm pool), fumarol, steaming ground dan alterasi hidrotermal. Area thermal di Air Putih berhubungan dengan aktifitas magmatik yang berada dijajaran Bukit Barisan. Pemunculan manifestasi panasbumi di daerah Air Putih dominan dikontrol oleh permeabilitas sekunder yang berupa struktur sesar. Beberapa sesar inilah yang menyebabkan keberadaan manifestasi thermal di
Andik Purwanto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 252-256
permukaan. Pembentukan sesar mengakibatkan batuan yang berada di zona sesar mengalami hancuran yang sangat intensif, sehingga batuan yang ada menjadi lebih permeabel dan pada zona tersebut memungkinkan dapat mengakibatkan batuan menjadi reservoar yang baik. b.
Hukum Dasar Perpindahan Panas Secara Konduksi
Hubungan dasar untuk perpindahan panas dengan cara konduksi dikemukakan oleh ilmuwan Prancis J.B.J Fourier. Hubungan ini menyatakan bahwa laju aliran panas dengan cara konduksi dalam suatu bahan sama dengan hasil kali dari tiga buah besaran yaitu a. Konduktivitas termal bahan (k), b. Luas penampang melalui mana panas mengalir dengan cara konduksi, yang harus diukur secara tegak lurus terhadap arah aliran panas (A). c. Gradien suhu pada penampang tersebut yaitu laju perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas z. ( ∂T ) ∂Z
Dapat dituliskan sebagai berikut : (1) q k = −kA ∂T ∂Z dan persamaan (1) disebut hukum fourier untuk perpindahan panas konduksi. Mengingat Hukum Kedua Termodinamika bahwa konduktivitas panas akan mengallir secara otomatis dari titik yang suhunya lebih tinggi menuju ke titik yang suhunya rendah, maka aliran konduksi panas q adalah positif jika gradien suhu berharga negatif. Selain itu arah kenaikan jarak z merupakan arah aliran konduksi panas positif, seperti pada gambar 1.
Jika gradien suhu
∂T ∂Z
253
= 1, maka besarnya
konduktivitas panas suatu bahan merupakan jumlah energi panas yang mengalir pada suatu bahan tiap satuan luas. Suatu bahan yang memiliki nilai konduktivitas panas besar merupakan penghantar yang baik dan sering disebut konduktor panas, sebaliknya suatu bahan yang memiliki nilai konduktivitas panas kecil merupakan penghantar panas yang jelek dan disebut isolator c.
Kesamaan Aspek antara Anomali Gravitasi, Magnetik dan Suhu.
Keberhasilan data magnetik dan gravitasi dalam menginterprestasi kondisi geologi memberi sumbangan yang besar dalam pembuatan model, hal ini hasil magnetik dan gravitasi bedasarkan teori potensial [3][6][9]. Perbandingan antara anomali gravitasi dan temperatur telah dilakukan [7][8]. Aliran panas pada medium yang disebabkan oleh perbedaan konduktivitas secara matematis sama seperti induksi magnetik yang diakibatkan oleh suatu benda yang meliki ukuran sama pada medan yang seragam [1]. Berdasarkan kesamaan tersebut metode interpreastasi magnetik dapat diterapkan pada interpretasi anomali suhu. Konduksi adalah proses utama pada trasnsfer panas di lapisan kerak bumi. Persamaan diferensial perpindahan panas secara konduksi tanpa ada sumber adalah ∂T = ∇ 2Tλ (2) ∂t Cρ dimana T adalah temperatur; t adalah waktu; λ adalah konduktivitas; C adalah koefisien kapasitas panas, ρ adalah densitas; ∇ adalah operasi Laplacian. Jika variasi suhu harian yang mempengaruhi harga suhu pengukuran dilapangan dihilangkan, dT/dt adalah 0. Sehingga persamaan diatas memenuhi persamaan Laplasian , dimana medan temperatur merupakan medan potensial. Pada kondisi yang ajeg perambatan panas secara konduksi mengukuti Hukum Fourier. (3) q = −λ∇T
Gambar 1. Arah aliran konduksi panas.
sedangkan medan magnetik yang juga merupakan medan potensial dirumuskan (4) U a = −∇ V
Andik Purwanto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 252-256
254
d1 = x min − x max
U adalah medan anomali magnetik dan V adalah potensial magnetik.
(
d 2 = x0.5 za
Dari dua persamaan tersebut memiliki kesebandingan, sehingga dapat dikembangkan metode interpretasi anomali magnetik pada data suhu permukaaan.
tan(θ ) =
) − (x ) r
0.5 z a 1
d2 d1
h = d1 d 2 / k1, 2
(9) (10) (11) (12)
dimana k1, 2 = 2 / sin θ cos θ Metode interpretasi kuantitatif anomaly magnetic yang disebut metode titik karakteristik telah dikembangkan [4]. Model yang lebih sering digunakan dalam interpertasi thermal adalah bed dan silinder horizontal [1]. Persamaan yang dipakai untuk menggambarkan model bola dan silinder: 3 Td = (q / λan ).[(1 − µ )/ (2 + µ )].R3 / x 2 + z 2 2
(5)
Td = (q / λan ).[(1 − µ )/ (1 + µ )].C3 / x 2 + z 2
(6)
x0 = 0.5( x min + x max ) − h cot(θ )
(13)
dimana Td adalah suhu yang diakibatkan oleh suatu benda, λ adalah konduktivitas termal benda, µ adalah perbandingan konduktivias medium dan benda, R jarijari bola, C jari-jari silider, z adalah kedalaman titik pusat benda, x adalah sumbu koordinat x. Persamaan medan magnetik komponen vertikal yang diakibatkan oleh benda berbentuk bola dan silinder horizontal adalah: Z
= mz / x2 + z 2
3
(7)
2
Z = 2I .2b.z / x 2 + z 2
(8)
dimana m adalah kemagnetan benda, I adalah magnetisasi dan b adalah setengah lebar. Keempat persamaan diatas sangat jelas, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa medan tersebut secara fisik berbeda tetapi secara matemetika sama. Oleh karena itu metode karakteristik poin dapat dipakai untuk pengolahan data suhu dekat permukaan. 2. Metode Peneltian Metode Karakteristik point. Interpretasi karakteristik poin menggunakan koordinat anomali maksimum dan minimum.
Gambar 2. Kerangka karakteristik point pada anomali magnetik lapisan tipis.
Dimana
xmax adalah absis pada nilai anomali
maksimum, xmin adalah absis pada nilai anomali minimum. Hasil yang bisa didapatkan dengan menggunakan metode ini adalah posisi batas atas dari model atau benda anomali [4]. 3. Hasil dan Pembahasan a. Pemetaan suhu dan konduktifitas Pengukuran suhu dan konduktifitas difokuskan pada area fumarol Air Putih dan sekitarnya. Luas area penelitian melingkupi luasan sebesar 150.5 x 181.3 m2. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat needle probe didukung oleh tongkat suhu 2 meter untuk memonitor fluktuasi suhu harian. Penggunaan tongkat suhu ini untuk menghilangkan efek pemanasan matahari yang mempengaruhi pengukuran suhu menggunakan needle probe.Dari setiap titik pengukuran bisa didapatkan nilai suhu batuan pada
Andik Purwanto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 252-256
255
kedalaman 50 centimeter dibawah permukaan dan konduktivitas batuannya. Pemetaan suhu yang terukur setelah terkoreksi variasi harian bervariasi nilainya dari 17.42-52.93oC (290.57-326.08 K). Pengitungan konduktifitas batuan menggunakan needle probe menghasilkan nilai yang bervariasi dari 0.01103 - 0.57961 W/m2 oC. Nilai konduktivitas yang tinggi berada disekitar sumber atau tempat keluarnya uap panas dari fumarol. Hal ini disebabkan oleh kandungan uap air di derah panas sehingga menambah nilai konduktivitasnya disamping itu Tanah atau soil ini merupakan lapukan batuan yang mengalami proses alterasi terus menerus. .
Gambar 5. Peta heat flow di sekitar area Fumarol Air Putih.
Dengan menggunakan harga gradien suhu vertikal di area pengukuran mempunyai harga sebesar 3.195135 Kelvin/m (harga ini diambil dari harga gradien suhu hasil pengukuran menggunakan tongkat suhu) sehingga dapat dipetakan heat flow permukaan yang terjadi di area penelitian. b.
Interprestasi Menggunakan Metode Titik Karakteristik (Characteristic points method)
Gambar 3. Peta suhu 50 cm dibawah permukaan di area Fumarol Air Putih
Gambar 6. Penampang lintang AA’(atas), perkiraan kedalaman model menggunakan metode titik karakteristik.
Gambar 4. Peta konduktifitas di sekitar area Fumarol Air Putih
Interprestasi kuantitatif telah dilakukan dengan menggunakan metode titik karakterisik pada peta suhu di kedalaman 50 cm, di sepanjang garis AA’. Hasil yang didapatakan dapat diketahui posisi dari sesar
256
Andik Purwanto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 252-256
normal yang menimbulkan manifestasi fumarol. Pada garis AA’ dan BB” didapatkan kedalaman dari model pada kedalam 12,13213 meter dibawah permukaan. Pemunculan manifestasi panasbumi di Air Putih berkaitan erat dengan kondisi geologi, terutama adanya struktur sesar yang banyak terdapat di perbukitan disekitar posisi pengukuran. Kemungkinan besar permeabilitas yang berperan dalam reservoir panasbumi di Air Putih adalah permeabilitas sekunder yang dikontrol oleh struktur tersebut. Dari peta suhu terlihat adanya anomali panas yang cukup besar pada lembah. Pada bagian sisi sungai air putih mencapai suhu 54oC, sedang daerah sekitarnya hanya berkisar 20 hingga 30oC. Kecilnya debit mata air panas, kemungkinan disebabkan karena permeabilitas di dekat permukaan yang kurang besar atau memang aktivitas hidrotermal di bawah permukaan tidak terlalu besar. Mengacu pada data geokimia air dan mineralogy (sementara), dapat dikatakan bahwa interaksi fluida-batuan di dekat permukaan melibatkan batuian berkomposisi andesitik (andesit-piroksen) dengan fluida yang bersifat asam. Diinterpretasikan bahwa fluida tersebut merupakan steam heated water yang merupakan hasil kondensasi pada boiling zone. 4. Kesimpulan Aktivitas panas paling besar terdapat pada fumarol 2
dengan heat flow sebesar 1.9 W/m . Anomali panas terbesar terdapat pada lembah Kali Panjang bagian hulu. Kedalaman struktur yang mengontrol manifestasi fumarol di Air Putih terdapat pada kedalaman 12.13 m. Daftar Pustaka [1] Carslaw H. S., and Jaeger J. C., 1959, Conduction of heat in solids, Oxford Univ. Press. [2] Eppelbaum L. V., 2000, Applicability of geophysical methods for localization of archaeological targets : An aintroduction. Geoinformatics, 11 no .1: 25-34. [3] Grant, F. S. , and West, G. F., 1965, Interpretation in theory in Applied geophysics, McGraw-Hill.
[4] Khesin B. E., Alexeyev V.V. and Eppelbaum L.V.., 1993, Investigation of geophysical fields in pyrite deposits under mountainous conditions, Journal of Applied Geophysics, 30 : 187-204. [5] Khesin B. E. and Eppelbaum L.V., 1994, Near surface thermal prospecting: Review of processing and interpretation, Geophysics, 59: 744-752. [6] Parasnis D. S., 1963, Principles of Applied Geophysics, John Wiley & Sons, Inc. [7] Poley J.PH. and Stevenink J. V., 1970, Delination of salt domes and surface faults by temperature measurements at a depth of approximately 2 meters : Geophys. Prosp., 18, 666-700. [8] Simmons G., 1967, Interpretation of heat flow anomalies. Reviews of Geophysics, 5 :43-52. [9] Telford, W. M., Geldart., L. D., Sheriff, R. E., and Keys, D. R., 1976. Appl. Gephysics: Cambridge Univ. Press. [10] Wulandari , F., 2004, Government tender 13 geothermal areas, The Jakarta Post. 03 April 2004.
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 257-261
Kajian Variasi Kadar Glukosa Dan Derajat Keasaman (Ph) Pada Pembuatan Nata De Citrus Dari Jeruk Asam (Citrus Limon. L) Devi Ratnawati Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia
Diterima 11 Mei 2007; Disetujui 22 Juni 2007 Abstrak - Telah dilakukan pembuatan Nata de Citrus dari bahan dasar sari jeruk asam menggunakan bakteri Acetobacter xylinum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pH optimum pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum agar dapat menghasilkan nata dengan rendemen yang tinggi dan berkualitas baik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan sari jeruk asam sebagai medium fermentasinya. Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan metode titrasi Iod dan penentuan kadar glukosa menggunakan metode Luff Schroll. Variasi pH dilakukan pada rentang 3,5-5,5 menggunakan asam asetat glasial dan amonia. Sari jeruk kemudian diolah menjadi Nata de Citrus menggunakan sukrosa (7,5%) sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat (0,5%) sebagai sumber nitrogen. Hasil penelitian dengan waktu inkubasi 8 hari menunjukkan bahwa sari jeruk asam dapat terfermentasi membentuk nata de citrus. Kualitas terbaik dihasilkan pada pH 5,0 dan kadar glukosa 78 mg/100 mL dengan tebal nata 6,5 mm, berat 10,48 g, rendemen selulosa 2,53% dan berwarna putih bersih. Kata kunci : Nata de Citrus 1 Latar Belakang Produk makanan nata bukan merupakan sesuatu yang asing lagi di kalangan masyarakat, bentuknya yang seperti agar-agar tetapi kenyal merupakan ciri khas tersendiri dari nata. Makanan ini bermanfaat untuk memperlancar penyerapan makanan dalam tubuh dan membantu penderita diabetes yang diet gula. Bahan baku yang umum digunakan adalah air kelapa, sehingga dikenal sebagai nata de coco. Selain dari air kelapa, nata juga dibuat dari berbagai buah-buahan seperti nenas (nata de pina), tomat (nata de tomato) dan buah-buahan lain yang cukup banyak mengandung gula, ataupun darai kedelai (nata de soja). Pengembangan produk nata diperkirakan mempunyai prospek yang cerah di masa yang akan datang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa semakin banyak industri nata yang berdiri dan produk nata yang beredar di pasaran. Dalam rangka pengembangan produk nata maka perlu dicari bahan baku selain air kelapa, salah satu kemungkinannya adalah jeruk asam.
Di Bengkulu, kuantitas jeruk asam yang dihasilkan cukup melimpah. Komposisi jeruk yang antara lain terdiri dari asam sitrat (0,630 ± 0,300%) dan sukrosa (10,40 ± 0,200%) menyebabkan jeruk ini mempunyai rasa asam manis [4], sehingga tidak dikonsumsi dalam bentuk buah segar seperti halnya jeruk jenis lain. Biasanya, jenis jeruk ini dikonsumsi oleh masyarakat dengan cara dibuat menjadi es jeruk, kalaupun dijual harganya sangat murah dan kurang menguntungkan. Pengembangan dari produk nata dari sari jeruk asam dapat menjadi salah satu pilihan, karena selain dapat meningkatkan nilai jual, jeruk asam merupakan komoditi yang mudah diusahakan dan cocok ditanam di daerah Propinsi Bengkulu. Kandungan asam sitrat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penghambatan perkembangbiakan bakteri Acetobacter xylinum karena pH dapat menjadi rendah dengan adanya asam tersebut. Untuk itu perlu dilakukan pengenceran guna mendapatkan perbandingan antara sari jeruk dan air yang tepat agar dapat dihasilkan rendemen nata yang tinggi. Kualitas dan jumlah nata terbanyak dihasilkan pada media air kelapa yang mempunyai pH 4,5 [5] dan kondisi optimum untuk pembentukan nata terjadi pada pH 4,0
258
Devi Ratnawati / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 257-261
pada media air kelapa [2]. Pada saat ini, di Bengkulu belum pernah dilakukan penelitian kimia yang lebih spesifik dalam pemanfaatan sari jeruk asam menjadi nata. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang ” Kajian Variasi Kadar Glukosa dan Derajat Keasaman (pH) Pada Pembuatan Nata De Citrus Dari Jeruk Asam (Citrus limon. L)”. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menemukan kondisi pH yang tepat pada pembuatan nata de citrus, sehingga komunitas jeruk asam yang kuantitasnya cukup banyak dapat dikembangkan lebih lanjut di propinsi Bengkulu. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui apakah sari jeruk asam dapat dibuat menjadi nata. 2. Mengetahui pH pembentukan nata dari sari jeruk asam sehingga dapat dihasilkan rendemen nata yang terbaik.
b. Penentuan Kadar Glukosa Uji kuantitatif kandungan glukosa menggunakan metode Luff Schroorl yang didasarkan pada peristiwa tereduksinya kupri-oksida menjadi kupro-oksida karena adanya gula pereduksi. Sebanyak 2 mL larutan blanko dititrasi dengan larutan 0,1 N Na-tiosulfat, kemudian dilakukan juga titrasi terhadap larutan sampel menggunakan pentitrasi yang sama. Untuk mengetahui apakah titrasi sudah cukup maka dipergunakan indikator amilum yang ditandai dengan perubahan warna dari biru menjadi putih. Agar perubahan warna biru menjadi putih tepat, maka penambahan amilum diberikan pada saat titrasi hampir selesai. Setelah diketahui selisih banyaknya titrasi blanko dan titrasi sampel kemudian dikonsultasikan dengan tabel yang tersedia (menunjukkan hubungan antara banyaknya Natiosulfat dengan banyaknya gula pereduksi), sehingga dapat diketahui jumlah gula pereduksi dalam larutan. c. Pengaturan pH
2. Metode Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah: jeruk asam, sukrosa, aquades, asam asetat glacial teknis 98%, ammonium sulfat teknis, bibit Acetobacter xylinum dari laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tanaman (IHPT) UNIB, amonia, reagen sokhlet (campuran kupri sulfat dan kalium natrium tartrat), indikator amilum 1%, larutan iodium, Natrium tiosulfat dan aquades. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi : hot plate, kain saring, pisau pemotong, gelas ukur, gelas (tinggi 9,5 cm dan diameter 6,8 cm), pengaduk, gelas piala, pipet ukur, pipet gondok 10 mL, pipet tetes, timbangan analitik, cawan penguap, erlenmeyer, buret, oven, pemeras jeruk, lap yang bersih, karet gelang, kertas koran, meja tempat meletakkan nata dan ruang produksi yang bersih. a. Pengenceran Sari Jeruk Asam Pengenceran dilakukan sebanyak 1x, 1½x, 2x, 3x dan 4x dengan menggunakan rumus V1.M1 = V2.M2.
Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan asam asetat glasial 98% dan larutan amonia. Pada masingmasing pengenceran dilakukan variasi pH pada rentang 3,5-5,5 yaitu : 3,5 , 4,0 , 4,5 , 5,0 dan 5,5. d. Prosedur Pembuatan Nata de Citrus Jeruk asam diperas dan diambil sarinya sebanyak 30 mL, kemudian diencerkan sesuai dengan prosedur dan ditentukan kadar glukosanya. Sari jeruk disaring dan dimasukkan ke dalam gelas piala lalu dididihkan. Ke dalam sari jeruk yang telah mendidih ditambahkan sukrosa 7,5% dan amonium sulfat sebanyak 0,5%. Setelah sukrosa dan amonium sulfat larut, rebusan air jeruk dimasukkan ke dalam gelas dalam keadaan panas lalu ditutup dengan kertas koran dan diikat dengan karet gelang. pH kemudian dijustifikasi sesuai dengan prosedur dan diberi cairan bibit 1/10 sampel setelah air jeruk dingin pada suhu kamar. Setelah inkubasi selama 8 hari, nata dipanen dengan mengeluarkannya dari gelas dan dibuang lapisan tipis di bagian bawahnya. Lembaran nata lalu dipotong-potong sesuai selera dan direndam selama 3 hari dengan mengganti air
Devi Ratnawati / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 257-261
rendaman 1 x tiap harinya. Potongan nata ditiriskan dan siap diolah menjadi manisan. Nata yang siap diolah dapat dicek dengan cara menggigit , bila terpotong artinya nata siap diolah.
259
Melalui pengukuran menggunakan pH meter didapatkan pH sari jeruk asam adalah 3,7. sedangkan titrasi iod untuk menentukan kadar vitamin C mendapatkan 15,84 mg asam askorbat per 100 mL (Tabel 2).
e. Penentuan Rendemen Selulosa Sebanyak 10 g nata de citrus diletakkan pada cawan penguap dan dioven sampai beratnya konstan, kemudian dihitung rendemennya menggunakan rumus sebagai berikut : Rendeman =
berat kering nata × 100% berat basah nata
3. Hasil Dan Pembahasan a. Pengenceran Sari Jeruk Asam Pengenceran sari jeruk asam dilakukan sebanyak 1x, 1½x, 2x, 3x dan 4x dengan menggunakan rumus V1.M1 = V2.M2 untuk memvariasikan kadar glukosanya, hasil pengenceran ditunjukkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Kadar glukosa hasil pengenceran sari jeruk asam
Pengenceran 1x 1½x 2x 3x 4x
Kadar glukosa (mg/100 mL) 72 48 36 24 18
b. Analisis Komposisi Sari Jeruk Asam Penentuan kadar gula pereduksi dalam sari jeruk dilakukan dengan menggunakan metode Luff Schrool, dimana setiap 100 mL-nya mengandung 72 mg gula pereduksi. Tabel 2. Hasil analisis komposisi sari jeruk asam
No. 1. 2. 3.
Parameter Analisis Gula reduksi pH Kadar Vitamin C
Hasil Analisis 72 mg/100 mL 3,7 15,84 mg/100 mL
Hasil analsis komposisi sari jeruk asam (Tabel 2) menunjukkan bahwa sari jeruk asam merupakan sumber media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, dalam hal ini bakteri pembentuk nata yaitu Acetobacter xylinum yang disebabkan adanya kesamaan komponen bahan organik air kelapa (0,8% gula pereduksi, 0,05% nitrogen, 4,74% padatan total dan beberapa mineral, Pandolai dalam Woodroof dalam Nisa dkk, 2001). Komponen ini sangat diperlukan untuk pembentukan selulosa nata karena selulosa yang dibentuk oleh enzim-enzim produk Acetobacter xylinum berasal dari suatu prekursor glukosa yang diikat dengan β(1-4). pH yang terukur dari sari jeruk asam adalah 3,7, suatu kondisi keasaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum karena rentang pertumbuhan bakteri pembentuk nata adalah 3,5 – 7,5 [2]. Vitamin C bersifat sangat mudah larut dalam air, sehingga tidak menutup kemungkinan vitamin tersebut dapat terjebak dalam nata yang terbentuk [1]. Hal ini merupakan keistimewaan tersendiri dari nata yang dihasilkan dengan media fermentasi sari jeruk asam. c. Pembuatan Nata de Citrus Pembentukan selulosa dimulai dengan terjadinya pertumbuhan bakteri nata pada media cair yang mengandung gula, yang ditandai dengan timbulnya kekeruhan setelah 24 jam inkubasi. Setelah 36-48 jam, suatu lapisan tembus cahaya mulai terbentuk dipermukaan media dan secara bertahap akan menebal membentuk lapisan baru selama kondisinya masih memungkinkan. Dalam pertumbuhannya, sel xylinum akan berkembang pesat yang rendah meningkat secara jumlah yang maksimum dengan
bakteri Acetobacter dari jumlah sel awal eksponensial sampai waktu generasi kira-
kira 2 jam. Ketika jumlah sel mencapai 107 sel/mL kultur, agregat mulai tampak terbentuk dan jumlah sel
260
Devi Ratnawati / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 257-261
di dalam larutan tidak meningkat lebih lanjut. Hal tersebut disebabkan selama pembentukan agregat sebagian sel Acetobacter xylinum masuk diantara rongga-rongga dalam agregat sehingga tidak terbebas lagi di dalam larutan. Pada kultur yang tumbuh, suplai oksigen di permukaan dengan adanya glukosa akan merangsang peningkatan massa sel dan enzim pembentuk selulosa, sehingga meningkatkan produksi selulosa. Selama terjadi penebalan lapisan selulosa nata, maka rongga-rongga yang terdapat dalam nata akan terisi oleh air sehingga nata menjadi tebal dan mengandung ± 95-98% air dan 2-5% selulosa. Tebal dan berat optimum nata de citrus adalah 6,5 mm dan 10,48 gr dari sampel setinggi 10 mm yang dihasilkan pada pH 5,0 dan kadar glukosa 78 mg/100 mL dengan 1x pengenceran (Tabel 3). Adanya kadar glukosa yang tinggi dan pH yang tepat akan dihasilkan tebal nata yang optimum. Karena dengan ketersediaan glukosa sebagai prekursor pembentuk nata dan sukrosa sebagai sumber karbon Acetobacter xylinum, maka mikroba akan membentuk lapisan nata yang tebal (Lapuz dalam [3]). Parameter yang digunakan untuk mengetahui pertumbuhan bakteri adalah berat dan tebal nata, hal ini dikarenakan lapisan selulosa nata tidak lain adalah kapsula (slime layer = gelatinous envelopes) yang terdapat di luar dinding sel dan merupakan hasil sekresi sel bakteri Acetobacter xylinum. Lapisan selulosa nata tersebut sebagian besar terdiri dari cairan yang mengandung sel-sel bakteri yang dirangkaikan oleh serabut halus (mikrofibril) selulosa yang saling berkaitan. Oleh karena itu, kegiatan pertumbuhan bakteri dapat digunakan sebagai dasar pengukuran pertumbuhan bakteri tersebut. Secara umum warna nata de citrus yang dihasilkan adalah putih kecuali beberapa produk nata yang berwarna putih kecoklatan. Warna putih disebabkan oleh selulosa yang merupakan produk utama hasil fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian pembuatan Nata de Pina pada pH 5,0 (Muchtadi, 1997) warna nata yang terbentuk adalah putih, namun berkaitan dengan
hadirnya vitamin C pada penelitian ini diduga dapat memberikan warna nata yang putih kecoklatan. Tabel 3. Rendemen selulosa, tebal dan berat Nata de Citrus yang dihasilkan sesuai dengan kadar glukosa dan derajat keasaman (pH).
Pengenceran
1X
1½ X
2X
3X
4X
pH
Kadar Glukosa (mg)
Rendemen Selulosa (%)
Tebal Nata (mm)
Berat Nata (gr)
3,5
-
-
-
4,0 4,5 5,0 5,5 3,5
0.414 1.508 2.528 1.800 -
0.50 4.75 6.5 4.00 -
1.49 8.47 10.48 5.87 -
0.356 1.151 1.508 1.563 -
1.50 2.45 3.50 1.65 -
1.75 4.31 5.35 4.08 -
0.51 0.82 1.80 1.33 -
0.50 0.75 6.00 1.00 -
2.19 3.59 9.30 2.67 -
0.16 1.62 0.66 0.67 -
0.50 2.00 3.50 2.25 -
1.63 6.53 4.19 5.11 -
0.33 0.16 0.53 1.16
0.50 3.00 5.00 3.00
0.53 4.94 5.65 4.83
4,0 4,5 5,0 5,5 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5
72
48
36
24
18
4. Kesimpulan Sari jeruk asam (Citrus limon.L) dapat dibuat nata de citrus dengan cara fermentasi oleh Acetobacter xylinum. Adanya variasi kadar glukosa dan pH mengakibatkan terjadinya perbedaan yang signifikan pada tebal, berat, dan rendemen selulosa, tetapi tidak untuk kadar vitamin C nata de citrus. Penggunaan sari jeruk asam sebagai bahan pembuat nata secara optimal terjadi pada pengenceran 1x yang mempunyai kadar glukosa 72 mg/100 mL dan pH 5,0. dimana dihasilkan nata de citrus dengan berat dan tebal yang optimal, yaitu 10,48 gr dan 6,5 mm.
Devi Ratnawati / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 257-261
Daftar Pustaka [1] Muchtadi D., Palupi N.S., Astawan M., 1992, Metode Kimia Biokimia dan Bilogi Dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [2] Muchtadi T.R., 1997, Pangan : Nata de Pina, Swadaya, Jakarta. [3] Nisa, F.C., Hani, R.H., Wastono, T., Baskoro, B., Moestijanto., 2001, Produksi Nata dari Limbah Cair Tahu (Whey) : Kajian Penambahan Sukrosa dan Ekstrak Kecambah, Jurnal Teknologi Pertanian, Jakarta. [4] Soelarso, B., 1996, Budidaya Jeruk Bebas Penyakit, Kanisius, Jakarta. [5] Widia, I.W., 1984, Mempelajari Pengaruh Penambahan Skim Milk Kelapa, Jenis Gula dan Mineral dengan Berbagai Konsentrasi Pada Pembuatan Nata de Coco, IPB, Bogor.
261
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 262-266
Isolasi Senyawa Flavonoid Aktif Berkhasiat Sitotoksik Dari Daun Kemuning (Murraya Panicullata L. Jack) Morina Adfa Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 9 Mei 2007; Disetujui 12 Juni 2007
Abstrak - Telah diisolasi senyawa flavonoid golongan flavon (apigenin) berupa kristal berwarna kuning muda sebanyak 30 mg dari daun kemuning (Murraya panicullata L. Jack) dengan titik leleh (195-196o C). Dari hasil uji Brine Shrimp Lethality Test terhadap senyawa ini tidak memberikan efek toksik terhadap larva Artemia salina Leach dengan LC50 194,786 µg/ml. Karakterisasi senyawa hasil isolasi telah dilakukan dengan Kromatografi lapis tipis (KLT), spektrum UV dan IR Kata Kunci: flavon (apigenin); Murraya panicullata L. Jack; Brine Shrimp Lethality Test 1. Pendahuluan Kemuning dengan nama latinnya Murraya panicullata L. Jack dan sinonim Murraya exotica termasuk suku jeruk-jerukan, merupakan perdu atau pohon kecil bercabang banyak dan merupakan salah satu tanaman yang digunakan untuk obat tradisional seperti obat sakit gigi, infeksi saluran kencing, ulcerpain, memar terpukul, sakit reumatik, gigitan serangga, gigitan ular, bisul dan koreng. Rebusan daun kemuning ini digunakan pula untuk mengobati haid yang tidak teratur, lemak tubuh berlebihan serta untuk memperkuat kontraksi uterus bagi ibu yang habis melahirkan [7]. Berdasarkan penelusuran literatur terhadap tumbuhan kemuning diperoleh informasi omphamurin yang berupa kristal putih dari daun kemuning telah berhasil diisolasi dengan pelarut n-heksana [12]. Kristal murrayatin dari daun kemuning terlah diperoleh dengan menggunakan pelarut petrol [2] dan senyawa kumarin dari daun kemuning telah berhasil diisolasi [5]. Namun sejauh ini belum ada laporan tentang senyawa flavonoid serta bioaktivitasnya dari daun kemuning, sedangkan dari uji pendahuluan dengan pereaksi sianidin test daun tanaman kemuning positif mengandung flavonoid. Dan dari uji pendahuluan menggunakan plat kromatografi lapisan tipis (KLT)
dan penampak noda lampu UV254 nm, ekstrak metanol daun kemuning memperlihatkan 6 noda yang berfluoresensi, hal ini memberikan informasi bahwa terdapat lebih dari satu jenis senyawa flavonoid pada daun kemuning. Serta kalau dilihat dari manfaat tanaman kemuning sebagai obat tradisional maka sangat berpotensi untuk diteliti maka penting dilakukan penelitian ini. 2. Metode Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium kimia organik, alat destilasi, rotary evaporator, kolom kromatografi, spektrofotometer UV, spektrofotometer IR, Fisher John Melting Point Apparatus, lampu UV254 nm, pipet mikro, kapiler, vial, botol camber, tempat penetasan udang laut dan aerator. Bahan-bahan yang digunakan adalah etanol, nheksana, kloroform, metanol, etil asetat, serbuk magnesium, asam klorida pekat, natrium hidroksida, uap iodium, plat KLT silika gel 60 GF 254, silika gel 60 (230-400 mesh), kapas, kertas saring, aquades, telur Artemia salina Leach. a. Persiapan Sampel
Morina Adfa / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 262-266
Sampel berupa daun tanaman kemuning diambil di kelurahan Bentiring, kota Bengkulu kemudian determinasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Universitas Andalas Padang (ANDA).
263
di gabung, diuapkan pelarutnya. Untuk mengetahui jumlah noda pada plat, maka plat disinari dengan lampu UV254 nm dan juga menggunakan uap I2 . d. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
b. Uji Pendahuluan Flavonoid Identifikasi kandungan flavonoid dilakukan dengan cara: lebih kurang 4 g sampel dipanaskan dengan metanol 10 mL kemudian disaring. Filtrat ditambah 3 tetes asam klorida pekat, kemudian ditambahkan serbuk logam magnesium. Kalau timbul warna merah atau jingga bearti positif mengandung flavonoid. Sebagai pembanding digunakan daun legundi (Vitex trifolia) dengan perlakuan yang sama. Dimana legundi mempunyai kadar relatif 0,05 % dengan lambang ++. c. Isolasi Senyawa Flavonoid dengan Tuntunan Bioassay Sampel daun kemuning yang telah dikumpulkan dirajang halus kemudian dikering anginkan. Setelah kering, sebanyak 800 g sampel disoklet terlebih dahulu menggunakan pelarut n-heksana. Ekstrak yang didapat diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator, maka akan diperoleh ekstrak pekat fraksi n-heksana. Terhadap Ekstrak pekat n-heksana dilakukan uji kandungan senyawa flavonoid dan uji Brine Shrimp. Setelah proses ekstraksi dengan n-heksana selesai maka proses sokletasi ini dilanjutkan dengan menggunakan pelarut metanol. Ekstrak metanol di pekatkan in vacuo, maka akan diperoleh ekstrak pekat fraksi metanol. Terhadap ekstrak pekat metanol juga dilakukan deteksi senyawa flavonoid dan uji Brine shrimp. Ekstrak yang positif mengandung senyawa flavonoid dan aktif dengan “Brine Shrimp” dilanjutkan dengan kromatografi kolom menggunakan silika gel sebagai fasa diam dengan sistem step gradient polarity. Sebagai eluen digunakan campuran n-heksana dengan etil asetat, etil asetat : metanol dan dilanjutkan dengan metanol. Fraksi yang keluar dari kolom ditampung dengan vial/tabung reaksi dan dimonitor dengan kromatografi lapisan tipis (KLT) dengan eluen campuran etil asetat dan metanol dengan perbandingan 9 : 1. Fraksi yang memberikan noda dan Rf yang sama
Senyawa murni hasil isolasi ditentukan dahulu sifat fisikanya meliputi uji titik leleh dan kromatografi lapis tipis dengan berbagai macam eluen, dihitung LC50 dengan metoda Brine Shrimp untuk menentukan keaktifan biologisnya. Setelah itu baru di rekam spektrum UV dan spektrum IR . e. Uji Aktifitas Biologis (Bioassay) fraksi nHeksana, fraksi Metanol dan senyawa Hasil Isolasi Masing-masing fraksi (fraksi n-heksana, fraksi metanol) dan juga senyawa murni dilakukan uji aktivitas Sitotoksik dengan metoda Brine shrimp menggunakan anak udang air laut (Artemia salina Leach), dengan cara disiapkan 9 vial untuk tiga konsentrasi masing-masing larutan uji 1000, 100, 10 µg/ml serta satu vial untuk kontrol. Larutan induk dibuat dengan melarutkan 20 mg sampel uji dalam 2 ml metanol. Larutan induk tersebut sebanyak 500, 50,5 µl berturut-turut dimasukkan kedalam masing-masing vial yang telah disiapkan untuk konsentrasi 1000, 100, 10 µg/ml. Vial yang berisi larutan uji dikeringkan dalam desikator sampai semua pelarutnya menguap, kemudian ditambahkan 50 µl DMSO termasuk vial kontrol untuk melarutkan sampel kembali. Selanjutnya ditambah 2 ml air laut. Larva Artemia salina Leach sebayak 10 ekor dimasukkan kedalam setiap larutan uji dan kontrol,dicukupkan volumenya sampai 5 ml dengan air laut, diletakkan dibawah sinar lampu selama 24 jam. Setelah 24 jam diamati dan dihitung jumlah larva udang yang mati. Dari data yang diperoleh, dihitung nilai LC 50 nya dengan analisis probit atau program komputer Finney [6][9]. 3. Hasil Dan Pembahasan a. Ekstraksi Daun Kemuning Identifikasi tumbuhan yang telah dilakukan di Herbarium Universitas Andalas Padang (ANDA)
Morina Adfa / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 262-266
264
menunjukkan nama species dari tumbuhan ini adalah Murraya panicullata L. Jack. Hasil pemeriksaan kandungan senyawa flavonoid dari daun tumbuhan ini memperlihatkan hasil (++) dengan pereaksi sianidin. Hasil ekstraksi 800 g sampel kering daun Murraya panicullata L.Jack. diperoleh ekstrak kental fraksi nheksana sebanyak 4,6 g dan ekstrak kental fraksi metanol sebanyak 18,2 g. Uji pendahuluan kandungan senyawa flavonoid dengan KLT dan sianidin test terhadap fraksi n-heksana menunjukkan hasil yang negatif. Uji pendahuluan dengan sianidin test dan KLT mempergunakan penampak noda lampu UV254 nm terhadap fraksi metanol menunjukkan hasil uji positif, dengan KLT memberikan noda-noda dengan warna fluoresensi biru, kuning-hijau, ungu dan biru-ungu yang terpisah baik dengan eluen etil asetat-metanol (9:1). Dari data ini diperoleh informasi bahwa selain mengandung senyawa flavonoid fraksi metanol ini juga mengandung senyawa kumarin. b. Uji Aktifitas Biologis (Bioassay) Fraksi nHeksana Dan Fraksi Metanol Setelah didapat ekstrak fraksi n-heksana dan ekstrak fraksi metanol, maka dilanjutkan dengan uji Brine shrimp Lethality Test (BSLT) untuk mencari fraksi yang paling aktif yang dilihat dari harga LC50, dengan hasil sebagai berikut: Tabel 1. Hasil Uji Hayati Brine Shrimp Lethality Test Ekstrak Daun Kemuning
Jenis Ekstrak Fraksi n-heksana Fraksi Metanol
LC 50 (µg/ml) 6375 707,64
Fraksi metanol positif mengandung flavonoid dengan test sianidin dan juga mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap Arthemia salina yang ditunjukkan dengan LC < dari 1000 µg/ml, maka fraksi metanol sangat berpotensi untuk dieksplorasi lebih lanjut sehingga didapatkan senyawa murni. Sedangkan fraksi nheksana tidak mengandung flavonoid dan tidak mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap Arthemia salina yang ditunjukkan dengan LC 50 besar dari 1000 50
µg/ml, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Meyer et al., 1982 bahwa ekstrak suatu tumbuhan mempunyai
aktivitas sitotoksik jika memberikan LC
50
≤ dari 1000
µg/ml, maka fraksi n-heksana tidak dilanjutkan. c.
Isolasi Flavonoid dari Fraksi Metanol dengan Kromatografi Kolom
Fraksi metanol positif mengandung senyawa flavonoid dan aktif dengan “Brine Shrimp” dilanjutkan dengan kromatografi kolom. Sebanyak 1 gram ektrak pekat fraksi metanol dikromatografi kolom menggunakan silika gel sebagai fasa diam dan elusi bergradient menggunakan eluen campuran n-heksana-etil asetat, etil asetat- metanol dan metanol. Fraksi yang keluar dari kolom ditampung dengan vial/tabung reaksi dan dimonitor dengan kromatografi lapisan tipis dengan eluen campuran etil asetat-metanol dengan perbandingan 9 : 1, didapat 16 (enam belas) fraksi gabungan. Spot yang terlihat pada KLT dibawah lampu UV memperlihatkan fluoresensi yang menunjukkan adanya konyugasi fenolik, diduga adanya senyawa flavonoid. Ini konsistensi dengan penapisan fitokimia yang menunjukkan adanya senyawa flavonoid pada daun kemuning. Fraksi 13 positif mengandung flavonoid, memberikan satu noda yang berfluoresensi kuning dengan KLT kemudian pelarutnya diuapkan dan direkristalisasi dengan metanol. Setelah pelarutnya menguap maka diperoleh kristal jarum berwarna kuning pucat sebanyak 30 mg. d. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi Senyawa hasil isolasi yang didapat diuji terlebih dahulu dengan sianidin test untuk memastikan bahwa kristal yang didapat adalah flavonoid, setelah diuji dengan pereaksi sianidin memperlihatkan larutan uji berwarna merah, artinya kristal yang didapat positif flavonoid, didukung oleh data KLT yang memberikan satu noda berfluoresensi kuning, hal ini menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi ini benar-benar flavonoid. Untuk memastikan bahwa senyawa flavonoid hasil isolasi ini sudah murni maka dilakukan uji titik leleh (TL) terhadap senyawa hasil isolasi diperoleh TL 195-196o C. Jarak titik leleh sebesar 1o C ini menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi ini sudah murni. Hal ini ditunjang pula oleh data KLT dengan beberapa eluen yang tetap memberikan satu noda, dengan pengungkap noda lampu UV 254 nm dan uap I2 dengan Rf yang
Morina Adfa / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 262-266
dicantumkan pada tabel 2. Oleh sebab itu untuk selanjutnya dapat dilakukan karakterisasi dengan spektrum UV dan IR. Tabel 2. Hasil Pengujian Kromatografi Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Dengan Berbagai Eluen Dan Penampak Noda
Gambar 1. Spektrum Ultraviolet Senyawa Hasil Isolasi
Gambar 2. Spektrum Infrared Senyawa Hasil Isolasi
265
Senyawa hasil isolasi yang dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV mempergunakan pelarut metanol memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 273,1 nm (pita II) , 305 nm (bahu) dan 347,2 nm (pita I) terlihat pada lampiran 1. Interpretasi spektrum UV mendukung data sebelumnya bahwa senyawa hasil isolasi ini adalah flavonoid, dimana menurut Markham (1988), flavon (apigenin) mempunyai spektrum UV pada pita II dengan λ maks 250-280 nm dan pita I dengan λ maks 310-350. Serapan yang menyebabkan terjadinya pita II karena adanya eksitasi elektron dari π ke π* pada cincin benzenoid (cincin B). Pita I dihasilkan karena adanya transisi elektronik dari n ke π* pada gugus karbonil yang terkonyugasi oleh cincin A. Karakterisasi senyawa hasil isolasi dengan spektrofotometer IR memberikan serapan pada angka gelombang υKBrMaks cm-1 : 3260,1660, 1620, 1520, 1440, 1365, 1285, 1260, 1225, 1200, 1175, 1145, 1125, 1080, 1040, 1010, 940, 860, 835, 780 dan 745. Interpretasi spektrum inframerah didapatkan puncak-puncak yang penjabarannya sebagai berikut: serapan pada angka gelombang 3260 cm-1 merupakan serapan OH fenol yang mempunyai ikatan hidrogen [11]. Cincin aromatis ditunjukkan oleh puncak yang muncul pada daerah 1650-1450 cm-1,- senyawa hasil isolasi memberikan yang puncak sekitar 1620 cm-1 dan 1520 cm-1 merupakan regangan C=C aromatis dan didukung oleh pita serapan pada 860 cm-1,- 835 cm-1, 940 cm-1 serta pada daerah 1440 cm-1 terdapat pita yang sangat kuat dan tajam yang merupakan regangan cincin aromatis [3]. Senyawa hasil isolasi memperlihatkan serapan pada angka gelombang 1660 cm-1 yang mengindikasikan serapan untuk gugus karbonil C=O, didukung oleh puncak 1145 cm-1. Menurut literatur regang C=O yang karaktristik untuk senyawa-senyawa flavonoid adalah 1700-1750 cm-1 yang didukung oleh adanya puncak pada daerah sidik jari dengan angka gelombang 1158 cm-1. Serapan karbonil senyawa hasil isolasi ini lebih kecil karena adanya konyugasi ikatan rangkap. Senyawa karbonil disini adalah golongan ester yang diperkuat oleh puncak-puncak yang kuat pada daerah 1300-1000 cm-1 [3][11].
266
Morina Adfa / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 262-266
e. Aktivitas Sitotoksik Senyawa Murni Hasil Isolasi Uji Aktivitas sitotoksik dengan metoda Brine Shrimp Lethality Test terhadap senyawa murni hasil isolasi memberikan LC50 194,786 µg/ml. Artinya senyawa murni hasil isolasi ini tidak memberikan efek toksik terhadap larva Artemia salina Leach [1] [4] [13]. 4. Kesimpulan Dari 1 gram fraksi metanol ekstrak daun kemuning, didapat senyawa flavonoid golongan flavon (apigenin) berupa kristal berwarna kuning muda dari daun kemuning dengan titik leleh (195-196o C). Dari hasil uji Brine Shrimp Lethality Test terhadap senyawa ini tidak memberikan efek toksik terhadap larva Artemia salina Leach dengan LC50 194,786 µg/ml. Ucapan Terima Kasih Bersamaan dengan publikasi hasil penelitian ini, kami mengucapkan terima kasih kepada DITJEN DIKTI atas bantuan dana penelitian dosen muda tahun 2006. Daftar Pustaka [1] Alen Y., N.E.Putri, Zulharmita, 2004, Flavonoid Luteolin dari tangkai bunga Paspalum cunjugatum Berg., Jurnal matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Unad., N0. 1, Vol.3, hal.38-41. [2] Barik, B.R., 1983, Murrayatin, A Coumarin from Murraya exotica, Phytochemistry, 22 (10), pp. 22732275. [3] Creswell, C.J., Olaf, A.R., Malcom, M.C., 1982, Analisis Spektrum Senyawa Organik, ITB Bandung. [4] Dey P.M and J.B. Harborne, 1991, Method in Plant Biochemistry, Academic Press, London, 8-10. [5] Ibrahim, S., M.Adfa, A.Napis, 1999, Isolasi Kumarin dari daun Kemuning (Murraya panicullata L.Jack), Andalas Chemistry Journal, Unand., Vol.5, No. 2, hal 110-114. [6] Koestoni T., 1985, Analisis Probit, Balai Penelitian Hortikultura Lembang, Lembang. [7] Kusuma H.W., 1990, Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Jilid II, Jakarta, hal. 86-87. [8] Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, ITB Bandung [9] Meiyanto, E. And Sugianto, 1997, Uji Toksisitas Beberapa Fraksi Ekstrak Etanol daun Gymura Procumbens (Lour) Merr . terhadap Larva Udang Artemia salina Leach, Majalah Farmasi Indonesia, 8: 42-49. [10] Meyer B.N, N.R. Ferrigni, J.E. Putman, L.B. Jacabson, D.E. Nichole and C.L. Mclaughin, 1982, Brine Shrimp
A Convenient General Bioassays For Active Plant Constituens, Planta Med., 45, 31-34. [11] Silverstein, R.M., Clayton, B.G., Torence, C.M., 1991, Spectrometric Identification of Organic Compounds, John Wiley &Sons, Inc. [12] Shung Wu, Jian, 1981, Omphamurin A New Coumarin from Murraya omphalocarpa, Phytochemistry, 20, pp. 178-179. [13] Solis P.N., C.W. Wright M.M. Anderson, M.P. Gupta & D. Philipson, 1993, A Microwell Cytoxoxy Assay Using Artemia salina Leach, Planta Med. 59: 250-252.
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 267-272
Pembuatan dan Karakterisasi Katalis Bifungsional dari Zeolit Alam Totok E. Suharto1, Irfan Gustian1, Agus Sundaryono2 1 2
Jurusan Kimia, Fakultas Matemática dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 11 Mei 2007; Disetujui 5 Juni 2007
Abstract - Bifunctional zeolite catalysts have been prepared by three following steps: activation of local natural zeolite by hydrochloric acid and ammonium nitrate solutions, followed by impregnation of Cr, Ni, and Ti ions separately, and finally by calcination at 500oC for 4 hours. Characterization of catalyst properties was conducted by XRD to analyze its crystal phases, by SEM to study its surface morphology, by methylene blue to determine its surface area, and by IR spectroscopic and adsorbed ammonia gravimetric methods to analyze acidic properties. X-ray difractograms show that all calcined catalysts have amorphous and dominant crystalline phases. The morphology of catalysts analyzed by SEM prohibited similar cracked lamellar layers on the surface characterized by a microporous material. These catalysts have high specific surface area of 110 m2/g. Acid amount measured by adsorbed ammonia gravimetric method is in a range of 3.00 – 3.70 mg NH3/g. Keywords: Bifunctional zeolite catalys;, characterization; palm oil cracking 1. Pendahuluan Faktor yang sangat menentukan keberhasilan proses cracking minyak adalah jenis katalis yang digunakan, yaitu katalis bifungsional berbasis zeolit. Sejumlah parameter mempengaruhi aktivitas dan selektivitas katalis zeolit bifungsional, khususnya karakteristik fungsi asam dan fungsi hidrogenasi serta keseimbangan kedua fungsi tersebut. Karakteristik katalis bifungsional zeolit sangat tergantung pada prosedur pembuatan katalis dan cara penyisipan (impregnasi) unsur logam yang dapat menimbulkan fungsi hidrogenasi [3]. Hasil penelitian sebelumnya [4][9][10] menunjukkan bahwa zeolit alam yang telah diimpregnasi dengan logam dapat digunakan sebagai katalis aktif dalam reaksireaksi isomerisasi, oligomerisasi dan cracking molekul hidrokarbon. Dalam perengkahan katalitik cair (fluid catalytic cracking) dalam kilang minyak bumi dan industri petrokimia banyak digunakan katalis zeolit bifungsional [11]. Katalis bifungsional mempunyai dua jenis situs aktif, yaitu situs asam yang berfungsi untuk perengkahan (cracking) atau isomerisasi dan situs logam (metalik) yang berfungsi untuk hidrogenasi atau dehidrogenasi [3]. Sejumlah parameter mempengaruhi aktivitas dan selektivitas katalis zeolit bifungsional,
khususnya karakteristik fungsi asam dan fungsi hidrogenasi serta keseimbangan kedua fungsi tersebut. Karakteristik katalis bifungsional zeolit sangat tergantung pada prosedur pembuatan katalis dan cara penyisipan (impregnasi) unsur logam yang dapat menimbulkan fungsi hidrogenasi [3]. Pada artikel ini dilaporkan hasil penelitian untuk membuat katalis bifungsional dari zeolit alam dan karaketrisasinya. 2. Metode Penelitian a. Pembuatan katalis zeolit bifungsional Katalis bifungsional katalis dibuat melalui modifikasi zeolit alam yang diambil dari daerah Bengkulu. Modifikasi zeolit alam menjadi katalis bifungsional ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pembentukan H-zeolit, tahap impregnasi logam aktif, dan diakhiri dengan tahap kalsinasi. Tahap pertama adalah pengubahan zeolit alam menjadi H-zeolit. Reagen yang digunakan adalah larutan amonium nitrat (NH4NO3) dan asam klorida (HCl). Pertama-tama serbuk zeolit alam dimurnikan dengan cara perendaman dengan akuades, diaduk, disaring, dicuci dengan akuades, dan padatan yang diperoleh dipanaskan pada suhu 110oC dalam oven selama 12 jam sampai dengan 24 jam. Selanjutnya padatan zeolit kering ini ditumbuk menjadi
Totok E. Suharto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 267-272
268
serbuk dan dicampur dengan larutan NH4NO3 2 M dengan perbandingan berat zeolit : volume larutan NH4NO3 adalah 1 : 2. Campuran diaduk secara kontinyu selama 2 jam sampai dengan 4 jam tanpa pemanasan. Campuran disaring dan dicuci dengan akuades sampai pH filtrat netral. Padatan yang diperoleh dipanaskan pada suhu 110oC dalam oven selama 12 jam. Padatan kering ini diimpregnasi dengan logam aktif. Dengan cara yang sama H-zeolit juga diperoleh dengan mengganti larutan NH4NO3 dengan menggunakan larutan asam klorida (HCl). Logam yang akan diimpregnasikan pada H-zeolit adalah masing-masing Cr, Ni, dan Ti secara terpisah. Proses impregnasi logam dilakukan dengan menggunakan serbuk H-zeolit, baik yang sudah dikalsinasi maupun yang belum dikalsinasi. Untuk itu sebanyak 10 g H-zeolit dicampur dengan 20 mL larutan yang masing-masing mengandung ion logam Cr3+, Ni2+, dan Ti4+. Campuran diaduk selama 2 jam, kemudian dipanaskan pada suhu 90oC dalam oven selama 12 jam. Selanjutnya semua sampel zeolit terimpregnasi diaktivasi dengan cara kalsinasi pada suhu 500oC selama 4 jam dalam oven. Pada tahap ini akan dihasilkan tiga kelompok katalis zeolit bifungsional, yaitu Cr-H-zeolit, Ni-H-zeolit, dan Ti-H-zeolit. b. Karakterisasi katalis Kristalinitas dan fase kristal katalis dianalisis dengan difraktometri sinar-X (XRD). Sampel diukur pada sudut difraksi 2θ antara 5o dan 40o dengan interval pengukuran 120 detik. Luas permukaan katalis ditentukan dengan metode metylene blue. Jumlah keasaman ditentukan dengan jumlah mol amoniak yang teradsorpsi per gram katalis secara gravimetri. Kadar logam terimpregnasi ditentukan dengan analisis unsur menggunakan analisis EDX. Untuk memeperoleh gambaran morfologi permukaan katalis digunakan mikroskopi elektron (SEM). 3. Hasil dan Pembahasan a. Komposisi kimia katalis
Komposisi kimia katalis zeolit dianalisis dengan metode EDX dan hasilnya ditunjukkan secara lengkap pada tabel 1. Penurunan kadar logam Na dalam sampel zeolit sesudah aktivasi dibandingkan dengan kadarnya dalam zeolit alam (ZA) menunjukkan, bahwa pertukaran kation telah terjadi menghasilkan zeolit dalam struktur H-zeolit. Harga rasio SiO2/Al2O3 katalis zeolit sebesar 2,4 sampai dengan 2,5. Tabel 1. Komposisi (persen berat) sampel katalis zeolit sebelum dan sesudah aktivasi dan impregnasi
Proses aktivasi, baik dengan larutan amonium nitrat amupun dengan asam klorida, menyebabkan terjadinya penurunan kadar logam Na dan K pada zeolit alam. Hal ini sesuai dengan teori aktivasi zeolit, yang menyatakan bahwa dalam proses aktivasi terjadi penukaran ion logam Na+ atau K+ oleh ion H+. Impregnasi tiga ion logam berbeda, masing-masing adalah Ni2+, Cr3+ dan Ti4+ ke dalam zeolit berhasil dilakukan. Hasil analisis kadar logam dengan EDX menunjukkan, bahwa zeolit alam (ZA) dan zeolit yang diaktivasi dengan amonium nitrat (ZANk) tidak mengandung ketiga logam tersebut, sedangkan masing-masing sampel katalis zeolit sejenis yang terimpregnasi (Cr-ZAN1/5, Ni-ZAN1/5, dan TiZAN1/5) mengandung kadar logam yang dimpregnasikan. Data serupa juga ditunjukkan oleh sampel katalis zeolit yang diaktivasi dengan asam klorida dan dimpregnasi dengan masing-masing ion Ni2+, Cr3+, dan Ti4+. Proses impregnasi ion logam Ni2+, Cr3+, dan Ti4+ ke dalam zeolit alam yang diiukti dengan proses kalsinasi pada suhu 500oC menghasilkan katalis zeolit bifungsional.
Rel. intensity/counts
Totok E. Suharto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 267-272
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
ZA
5
15
25 35 Degree of 2 tetha
45
55
269
pengemban (support) yang baik untuk digunakan sebagai katalis. Struktur kristal zeolit yang khas memungkinkan zeolit untuk membentuk morfologi permukaan yang khas dengan luas permukaan yang besar. Morfologi dan luas permukaan katalis zeolit yang telah dibuat dibahas lebih lanjut pada uraian berikut. 1600
1400
Rel. Intensity/counts
Rel. intensity/counts
1600 ZAH-II
1200 1000 800 600 400 200
1400
Cr-ZAH-II-1,2
1200 1000 800 600 400 200 0
0
5 5
15
25
35
45
15
55
25 35 Degree of 2 tetha
45
55
Degree of 2 tetha
1400
ZAN k1
Rel. Intensity/counts
Rel. intensity/counts
1600 1200 1000 800 600 400 200 0 15
25 35 Degree of 2 tetha
45
55
Gambar 1. Pola difraktogram (XRD) sampel zeolit alam (atas), zeolit alam diaktivasi dengan HCl (tengah), dan zeolit alam diaktivasi dengan NH4NO3 (bawah). b. Fasa kristal Pola difraktogram hasil analisis dengan X-Ray Diffraction (XRD) ditunjukkan pada gambar 1 dan 2. Pola difraktogram menunjukkan, bahwa hampir semua katalis zeolit yang dibuat dalam riset ini mempunyai fase kristal yang tercampur dengan fase amorf. Fase amorf dominan dalam zeolit alam, sedangkan bagian fase kristal meningkat setelah dilakukan aktivasi, impregnasi dan kalsinasi pada suhu 500oC. Fase amorf pada zeolit alam diidentifikasi dengan munculnya puncak difraktogram pada daerah 2Ө di sekitar 5º - 10o. Adanya fase kristalin zeolit ditandai dengan puncak-puncak difraktogram yang tajam pada daerah 2Ө antara 18o dan 28o. Kristalisasi padatan amorf seperti zeolit alam diikuti dengan perubahan struktur kerangka silika-alumina dan lepasnya sebagian kandungan molekul air. Zeolit dengan struktur silikaalumina kristalin merupakan bahan matriks dan
Ni-ZAH-II-1,2
5
15
25
35
45
55
Degree of 2 tetha
1600 Rel. Intensity/counts
5
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
1400
Ti-ZAH-II-1,2
1200 1000 800 600 400 200 0 5
15
25
35
45
55
Degree of 2 tetha
Gambar 2. Pola difraktogram (XRD) sampel zeolit alam diaktivasi dengan HCl dan diimpregnasi dengan ion logam Cr3+ (atas), Ni2+ (tengah), dan Ti4+ (bawah).
ZA
270
Totok E. Suharto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 267-272
ZAH-II
ZAN-k Gambar 3. Mikrograf SEM morfologi permukaan zeolit alam (atas), zeolit yang diaktifkan dengan asam klorida (tengah), dan zeolit yang diaktifkan dengan amonium nitrat (bawah).
c. Morfologi permukaan katalis Morfologi permukaan padatan katalis zeolit yang terdiri dari fase kristalin yang berpori-pori (porous) ditunjukkan oleh mikrograf hasil identifikasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) sebagaimana disajikan pada gambar 3 dan 4. Mikrograf permukaan zeolit alam (gambar 3, atas) menunjukkan morfologi permukaan zeolit alam dengan karakter rapuh dan amorf. (gambar 3, tengah dan bawah). Zeolit yang sudah diaktivasi, diimpregnasi, dan dikalsinasi menunjukkan struktur permukaan yang berbeda dari zeolit alam; terdiri dari lamelar-lamelar yang berlapis, dan di sela-sela lamelar tersebut terdapat banyak rongga pori-pori dengan ukuran yang berbeda-beda.
Cr-ZAH-II-1,5
Ni-ZAH-II-1,5
Ti-ZAH-II-1,5 Gambar 4. Mikrograf SEM morfologi permukaan zeolit yang diaktivasi dengan HCl dan diimpregnasi dengan Cr (atas), diimpregnasi dengan Ni (tengah), dan yang diimpegnasi dengan Ti (bawah).
Pada gambar 4 ditunjukkan mikrograf morfologi permukaan katalis zeolit bifungsional yang dibuat dari zeolit alam yang diaktifkan dengan asam klorida, dimpregnasi dengan logam Cr, Ni, dan Ti, serta dikalsinasi. Mikrograf serupa ditunjukkan oleh katalis zeolit bifungsional yang diaktifkan dengan amonium nitrat. Kedua kelompok katalis berbasis zeolit ini mempunyai morfologi yang tidak jauh berbeda, tetapi berbeda dari zeolit alam. Morfologi permukaan katalis zeolit bifungsional terdiri dari lamelar-lamelar kristalin yang berlapis, dan di sela-sela lamelar tersebut terdapat banyak rongga pori-pori dengan ukuran yang berbedabeda. Gambaran struktur kristalin katalis kelompok katalis zeolit ini sesuai dengan hasil analisis XRD yang sudah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan skala mikrogrsf SEM juga dapat ditentukan secara kasar diameter ukuran partikel dan diameter ukuran pori-pori katalis berbasis zeolit alam. Diameter ukuran partikel serbuk zeolit rata-rata kurang dari 100 µm. Diameter ukuran pori-pori bervariasi antara 10 dan 20 µm, yang menunjukkan bahan katalis ini termasuk dalam kelompok microporous. Tingkat
Totok E. Suharto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 267-272
porositas zeolit dapat dijelaskan lebih lanjut berdasarkan hasil pengukuran luas permukaan, yang diuraikan pada bagian selanjutnya. d. Luas permukaan katalis Hasil pengukuran luas permukaan katalis dengan metode metylene blue menunjukkan bahwa sampel zeolit alam (ZA) mempunyai luas permukaan sebesar 97 m2/g, sampel zeolit teraktivasi sebesar 105 m2/g, dan contoh katalis zeolit bifungsional sebesar 110 m2/g (tabel 2). Tabel 2. Data luas permukaan zeolit alam tanpa dan dengan perlakuan aktivasi dan impregnasi
Sampel ZA ZANk Cr-ZAN-1/2 Cr-ZAN-1/3 Cr-ZAN-1/5 Ni-ZAN-1/2 Ni-ZAN-1/3 Ni-ZAN-1/5 Ni-ZAN-1/2 Ti-ZAN-1/3 Ti-ZAN-1/5
Luas permukaan (m2/g) 97,26 105,82 99,50 110,83 108,63 99,75 98,97 104,58 107,50 109,03 107,42
Data ini menunjukkan, bahwa perlakuan aktivasi, baik dengan asam klorida maupun dengan amonium nitrat, dapat meningkatkan luas permukaan zeolit alam. Peningkatan luas permukaan ini dapat dijelaskan sebagai akibat dari sebagian bahan pengotor yang semula menutup lubang pori-pori larut dalam larutan pengaktif dan dilepaskan atau terbakar melalui kalsinasi, sehingga pori-pori menjadi terbuka. Dengan terbukanya lubang pori-pori pada sistem struktur kristal katalis zeolit, luas permukaan yang terukur menjadi lebih besar. e. Sifat asam padatan katalis Sifat keasaman zeolit merupakan karakter penting dan menentukan aktifitas katalis. Jumlah keasaman (kuantitatif) dalam zeolit diukur dengan metode
271
gravimetri, yaitu dengan mengukur selisih antara berat sampel katalis zeolit yang mengadsorpsi amoniak dan berat sampel zeolit tanpa amoniak. Jumlah keasaman zeolit termodifikasi lebih besar daripada jumlah keasaman zeolit alam (tabel 3). Analisis keasaman lebih lanjut dengan spektrofotometri IR untuk mengidentifikasi situs asam Broensted dan situs asam Lewis pada permukaan zeolit belum selesai dilakukan. Tabel 3. Data jumlah keasaman zeolit alam tanpa dan dengan perlakuan aktivasi impregnasi
Sampel ZA ZANk Cr-ZAN-1/2 Cr-ZAN-1/3 Cr-ZAN-1/5 Ni-ZAN-1/2 Ni-ZAN-1/3 Ni-ZAN-1/5 Ni-ZAN-1/2 Ti-ZAN-1/3 Ti-ZAN-1/5
Keasaman (mmol NH3/g zeolit) 1,537 3,222 3,368 3,426 3,444 3,361 3,372 3,751 3,042 3,355 3,202
4. Kesimpulan Katalis zeolit bifungsional telah berhasil dibuat dengan cara aktivasi zeolit alam menggunakan larutan asam klorida atau amonium nitrat dan diikuti dengan impregnasi logam Cr, Ni, dan Ti serta kalsinasi. Fasa katalis zeolit bifungsional yang telah dikalsinasi terdiri atas sedikit fase amorf dan lebih banyak fase kristalin porous. Morfologi permukaan padatan katalis menunjukkan bentuk kristalin yang terdiri atas lapisan lamelar dengan rongga pori-pori yang tergolong mikroporous. Diukur dengan metode metilen blue semua varian katalis yang diperoleh mempunyai luas permukaan spesifik yang cukup besar, yaitu 90 – 110 m2/g. Jumlah keasaman yang diukur dengan metode gravimetri adalah 3,00 – 3,70 mg NH3/g. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menguji aktivitas dan selektvitas katalis zeolit bifungsional
272
Totok E. Suharto / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 267-272
untuk mengkoversi minyak sawit melalui reaksi perengkahan menjadi hidrokarbon. Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada DP2M Ditjen Dikti Depdiknas RI yang telah membiyai Penelitian Hibah Bersaing (kontrak nomor 009/SP3/PP/DP2M/II/2006). Terimakasih juga disampaikan kepada Radi Meidiansyah dan Septi Aryanti yang telah membantu bekerja dalam penelitian ini. Daftar Pustaka [1] Chang, C.D., Lang, W.H. and Smith, R.L., 1979, Application of ZSM-5 zeolite as catalyst in the conversion of methanol to gasoline, J. Catal. 56, 169. [2] Derouane, E.G., 1984, Conversion of methanol to gasoline over zeolite catalysts, I. Reaction mechanisms, Zeolites, Science and Technology, Boston, 515 – 528. [3] Guisnet M. and Perot G., 1984, Zeolite Bifunctional Catalyst, Zeolite: Science and Technology, Boston, 397 – 420. [4] Suharto T.E., 1997, Solid acid catalysts for the conversion of small hydrocarbon moleculs, PhD dissertation, Johannes Gutenberg-University of Mainz, Germany. [5] Suharto T.E., Keasaman dan Aktifitas Katalis Padat Zeolit dan Zirconia Tersulfatasi, Jurnal Kimia Andalas, 8(2), 1 – 5. [6] Suharto, T.E., Perengkahan Asam Oleat dengan Katalis Zeolit Alam Termodifikasi, hasil sementara penelitian pendahuluan, tidak dipublikasi. [7] Suharto T.E., Synthesis of Catalytically Active High Surface Area Sulfated Zirconia, Jurnal Matematika dan Sains, 8/4, 171 – 173. [8] Suharto T.E., Widiyati, E., 2002, Zirconia Tersulfatasi sebagai Katalis untuk Oligomerisasi Propena menjadi Bahan Bakar Bensin, Laporan Penelitian Hibah Bersaing IX, UNIB-DP3M Ditjen Dikti Depdiknas. [9] Suharto T.E., Widiyati, E., Gustian, I., 2003, Pembuatan Katalis Baru Berbasis Zeolit dan Zirconia untuk Mengubah Propena Menjadi Bahan Bakar Cair Sejenis Bensin Bebas Timbal, Laporan Riset Unggulan Terpadu (RUT) X, UNIB-LIPI-KRT. [10] Trisunaryanti W., Triyono, dan Taufiyanti F., 2002, Deaktivasi dan regenerasi katalis Sr/Zeolit alam aktif untuk proses konversi metil isobutil keton, Gama Sains, IV (2), 142 – 148. [11] Venuto P.B. and Habib E.T., 1979, Fluid Catalytic Cracking with Zeolite Catalysts, Chemical Industries/1, Dekker Inc., New York.
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 273-276
Penentuan Efisiensi Inhibisi Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) Pada Reaksi Korosi Baja Dalam Larutan Asam Asdim Jurusan Kimia, Fakultas Matemátika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 16 Mei 2007; Disetujui 25 Juni 2007
Abstrak - Telah dilakukan penelitian penentuan efisiensi inhibisi ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana l) pada reaksi korosi baja dalam larutan asam sulfat dan natrium klorida dengan menggunakan ekstrak kulit buah manggis (Garcinia Mangostana L). Metode yang digunakan untuk mempelajari penurunan laju reaksi korosi adalah metode Gravimetri. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ekstrak kulit buah manggis dapat menghambat laju reaksi korosi baja dalam larutan asam sulfat. Efisiensi inhibisi dalam larutan asam sulfat 0,02 M dapat mencapai 48,79 % pada konsentrasi ekstrak 200 ppm. Kata kunci : Korosi; Inhibitor; Garcinia mangostana L 1. Pendahuluan Korosi adalah degradasi atau penurunan mutu logam akibat reaksi kimia suatu logam dengan lingkungannya [6]. Korosi merupakan masalah besar bagi peralatan yang menggunakan material dasar logam seperti mobil, jembatan, mesin, pipa, kapal dan lain sebagainya [7]. Dampak yang dapat ditimbulkan akibat kerusakan oleh korosi akan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, antara lain dari segi ekonomi dan lingkungan. Dari segi ekonomi misalnya tingginya biaya perawatan, tingginya biaya bahan bakar dan energi akibat kebocoran uap, kerugian produksi pada suatu industri akibat adanya pekerjaan yang terhenti pada waktu perbaikan bahan yang terserang korosi, dan dari segi lingkungan misalnya adanya proses pengkaratan besi yang berasal dari berbagai konstruksi yang dapat mencemarkan lingkungan [8]. Di Indonesia permasalahan korosi perlu mendapat perhatian serius, mengingat dua per tiga wilayah nusantara terdiri dari lautan dan terletak pada daerah tropis dengan curah hujan tinggi, kandungan senyawa klorida yang tinggi, dimana lingkungan seperti ini dikenal sangat korosif. Lingkungan yang menyebabkan korosi sangat dipengaruhi oleh adanya gas limbah
(sulfur dioksida, sulfat, hidrogen sulfida, klorida), kandungan O2, pH larutan, temperatur, kelembaban, kecepatan alir, dan aktifitas mikroba [6]. Beberapa cara yang dapat memperlambat laju reaksi korosi antara lain dengan cara pelapisan permukaan logam agar terpisah dari medium korosif, membuat paduan logam yang cocok sehingga tahan korosi, dan dengan penambahan zat tertentu yang berfungsi sebagai inhibitor reaksi korosi. Penelitian mengenai penggunaan senyawa tanin sebagai inhibitor reaksi korosi baja dalam larutan garam pernah dilakukan [2]. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa senyawa tanin dapat menginhibisi reaksi korosi baja dalam larutan garam. Kemudian Djaloeis pada 1998 juga telah menguji pengaruh tanin terhadap korosi baja dalam larutan asam, didapatkan hasil bahwa tanin dapat juga berfungsi sebagai inhibitor [9]. Tetapi penggunaan ekstrak bahan alam yang banyak mengandung senyawa tanin untuk menghambat laju reaksi korosi baja dalam larutan asam dan garam belum pernah dilaporkan sebelumnya. Salah satu bahan alam yang banyak mengandung senyawa tanin adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L). Kulit buah
Asdim / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 273-276
274
manggis banyak mengandung senyawa – senyawa organik seperti tanin, katechin, pektin, rosin, dan zat pewarna, sehingga sering dimanfaatkan untuk bahan pembuat cat anti karat [5]. Banyaknya kandungan tanin di dalam kulit buah manggis ini menjadikan kulit buah manggis kemungkinan dapat dipakai untuk menghambat laju reaksi korosi baja. Kemudian kulit buah manggis sering hanya dibuang dan tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Disamping itu harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan inhibitor sintetik seperti tanin murni. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui daya inhibisi ekstrak kulit buah manggis terhadap laju reaksi korosi baja dalam larutan asam.
didapatkan ekstrak pekat dari kulit buah manggis. Kemudian dibuat larutan induk 1000 ppm ekstrak kulit buah manggis dengan pelarut air. Larutan tersebut dibuat dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak pekat kulit buah manggis dalam labu ukur 1000 ml dengan aquades sampai tanda batas. Larutan ini disebut dengan larutan induk inhibitor. Persiapan Permukaan Baja Sampel baja dengan ukuran 1x2 cm dengan tebal 0,4 cm dihaluskan permukaannya dengan ampelas besi. Permukaan yang telah haluis ini dicuci dengan deterjen, dan aquades, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 400 C selama 5 menit.
2. Metode Penelitian Pembuatan Larutan Induk Media Korosif Penelitian ini akan dilaksanakan di laboratorium Kimia, jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, selama delapan bulan, mulai dari bulan Maret 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. Persiapan sampel Sampel yang digunakan adalah baja yang biasa digunakan untuk bahan bangunan yang ada di Kota Bengkulu. Sampel lain adalah kulit buah manggis yang diambil dari salah satu perkebunan manggis di kabupaten Bengkulu Utara. Alat dan Bahan Kimia yang Digunakan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : neraca analitis ( Mettler ), stopwatch, jangka sorong, besi penjepit, oven, dan peralatan gelas yang biasa digunakan. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah metanol, asam sulfat, asam nitrat ( E. Merck Jerman ), dan aquades. Penyediaan Ekstrak Kulit Buah Manggis (Inhibitor) Kulit buah manggis yang telah diambil dari perkebunan dikering anginkan. Kemudian kulit buah manggis yang telah kering dilakukan maserasi dengan air sehingga didapatkan ekstrak kulit buah manggis dalam metanol. Ekstrak ini dipekatkan dengan cara in vacuo, kemudian
Larutan induk media korosif asam sulfat 1 M dibuat dari asam sulfat p.a. dengan cara mengencerkan 55,5 ml asam sulfat p.a. dalam labu ukur 1000 ml sampai tanda batas. Larutan media korosif asam yang akan diuji dibuat dengan cara mengencerkan larutan induk 1 M secara bertingkat. Pembuatan larutan Campuran Media Korosif dan Larutan Inhibitor Larutan campuran media korosif dan larutan inhibitor, dibuat dengan cara mencampurkan larutan media korosif 1 M dengan volume tertentu dan larutan inhibitor 10.000 ppm volume tertentu yang sesuai dengan komposisi yang diinginkan dalam labu ukur 50 ml, kemudian diencerkan sampai tanda batas. Perendaman Baja dalam Larutan Asam Sulfat Sampel baja yang telah disiapkan direndam dalam larutan asam sulfat 0,02, 0,04, 0,06, 0,08 dan 1,0 M dengan volume larutan 50 ml selama 24 jam, kemudian ditentukan laju reaksi korosinya. Perendaman Baja Dalam Larutan Campuran Asam Sulfat dan Inhibitor Sampel baja yang telah disiapkan direndam dalam larutan campuran asam sulfat dan inhibitor selama 24
Asdim / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 273-276
275
dengan tanpa adanya asam sulfat. Dalam batasan konsentrasi asam sulfat sampai 0.1 M, terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asam sulfat maka semakin tinggi laju reaksi korosi baja dalam larutan asam sulfat.
Penentuan Laju Reaksi Korosi
Penghambatan Laju Reaksi Korosi Dalam Larutan Asam Sulfat dengan Ekstrak Kulit Buah Manggis dan Efisiensi Inhibisinya
Laju Reaksi Korosi = Berat Awal - Berat Akhir Luas Baja x Waktu Perendaman
Penentuan Efisiensi Inhibisi
Dimana : Vko = Laju reaksi korosi tanpa inhibitor Vki = Laju reaksi korosi adanya inhibitor 3. Hasil Dan Pembahasan Pengaruh Asam Sulfat
Asam Sulfat 0.1 M
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi Ekstrak (ppm)
Gambar 2. Grafik laju reaksi korosi baja dalam larutan asam sulfat dengan adanya ekstrak kulit buah manggis, perendaman selama 24 jam.
1.4 1.2 1
Asam Sulfat 0.02 M
0.8 0.6
Asam Sulfat 0.1 M
60
0.4 0.2 0 0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
Konsentrasi Asam Sulfat (M)
Gambar 1.Grafik laju reaksi korosi dalam larutan asam sulfat perendaman selama 24 jam.
Efisiensi Inhibisi (%)
2
Asam Sulfat 0.02 M
Penghambatan laju reaksi korosi baja dalam larutan asam sulfat dengan adanya ekstrak kulit buah manggis dalam larutan dapat diamati pada Gambar 2. Laju reaksi korosi dengan adanya ekstrak kulit buah manggis dalam larutan asam sulfat menurun jika dibandingkan dengan tanpa adanya ekstrak. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa tanin yang ada dalam ekstrak (Kasim.A, 1995). Senyawa tanin dalam ekstrak dapat membentuk komplek dengan Fe(III) di permukaan baja (Favre, dkk., 1993) sehingga laju reaksi korosi akan mengalami penurunan. Komplek ini akan menghalangi serangan ion-ion korosif pada permukaan baja, sehingga laju reaksi korosi akan menurun.
Efisiensi Inhibisi = Vko – Vki x 100 % Vko
Laju Reaksi Korosi (mg/cmjam)
2
Setelah proses korosi berjalan selam waktu tertentu, produk korosi diangkat dari media korosi, dicuci dengan hati-hati dengan menggunakan sikat yang halus. Selanjutnya dikeringkan pada suhu kamar, kemudian ditimbang sebagai berat akhir. Berat awal dari baja adalah berat baja sebelum direndam kedalam larutan. Laju reaksi korosi dihitung dengan rumus berikut :
Laju Reaksi Korosi (mg/cm.jam)
jam. Variasi konsentrasi asam sulfat adalah 0,02 dan 0,1 M dan variasi konsentrasi inhibitor adalah 200, 400, 600, 800 dan 1000 ppm. Kemudian ditentukan laju reaksi korosinya.
50 40 30 20 10 0 0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi Ekstrak (ppm)
Dari Gambar 1 terlihat bahwa larutan asam sulfat adalah suatu larutan yang sangat korosif. Hal ini ditunjukan dengan adanya peningkatan yang sangat tinggi dalam larutan asam sulfat jika dibandingkan
Gambar 3. Grafik Efisiensi Inhibisi Ekstrak Kulit Buah Manggis dalam Larutan Asam Sulfat.
276
Asdim / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 273-276
Kemudian efisiensi ekstrak kulit buah manggis terhadap korosi baja dalam larutan asam sulfat dapat diamati pada Gambar 3. Efisiensi inhibisi dalam larutan asam sulfat 0.02 M dapat mencapai 48,79 % pada konsentrasi ekstrak 200 ppm. Sedangkan dalam larutan asam sulfat 0.1 M, dapat mencapai 17,92 % pada konsentrasi 1000 ppm. 4. Kesimpulan Ekstrak kulit buah manggis dapat menghambat laju reaksi korosi dalam larutan asam sulfat. Efisiensi inhibisi ekstrak kulit buah manggis dalam larutan asam sulfat 0,02 M dan 0,1 M masingmasingnya dapat mencapai 48,79 % dan 17,92 % pada pada konsentrasi ekstrak 200 dan 1000 ppm masingmasingnya. Daftar Pustaka [1] Djamal R., 1990, Prinsip-Prinsip Dasar Bekerja Dalam Bidang Kimia Bahan Alam, Universitas Andalas, Padang, 31-34. [2] Favre dkk.,1993, The Influence of Gallic Acid On The Reduction of Rust on Painted Steel Surface, J. Corrosion Science 34, 1483-1492. [3] Fontana, M.G., 1987, Corrosion Engineering, 3rd ed, Mac Graw Hill Book Company, Singapore, 4, 14-31. [4] Hadi, N., 1983, Faktor Utama Penyebab Korosi Atmosfir di Kawasan Industri, Lembaga Publikasi Lemigas, No.2/XVII/Agustus, 10-14. [5] Kasim, A., 1995, Identifikasi Senyawa Aktif Pada Kulit Buah Manggis dan Perubahannya, Lembaga Penelitian Universitas Andalas, Padang, 1-14. [6] Priest, D., 1992, Measuring Corrosion Rates Fast, J. Chemical Engineering, 169-172. [7] Rieger, H.P., 1992, Electrochemistry, 2nd ed., Chapman and Hall Inc, New York, 412-421. [8] Trethewey dkk., 1991, Korosi ed.1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 25, 69-70. [9] Yerimadesi, 2001, Pengaruh Penambahan Zn ( II ), Ni (II) dan Cu (II ) Terhadap Pembentukan Kompleks Fe– Tanin, Thesis, Universitas Andalas, Padang
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 277-281
Uji Median Pengaruh Utama dan Interaksi dalam Percobaan Berfaktor Sigit Nugroho Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 1 Juni 2007; Disetujui 26 Juli 2007
Abstract - Factorial experiments with fixed effects in randomized complete block design can be modeled as Yijk = µ + β i + τ j + ϕ k + (τϕ ) jk + ε ijk i = 1, 2,..., b j = 1, 2,..., t k = 1, 2,..., m . To test main effects and its interaction when basic assumptions are met is using the F test (ANOVA). Nonparametric alternative testing for main effects median and interaction median is discussed in this paper. Keywords : factorial, nonparametric, median, main effects and interaction. Pendahuluan
a. Alternatif Pengujian
Dalam tulisan ini model yang digunakan adalah dengan Yijk = µ + βi +τ j +ϕk + (τϕ) jk + εijk
i = 1, 2,..., b
j = 1, 2,..., t
k = 1, 2,..., m .
Bila
asumsi dasar model ini dipenuhi, maka prosedur statistika parametrik digunakan untuk menguji pengaruh-pengaruh utama
τj
dan
ϕk , serta interaksi
(τϕ ) jk . Analisis keragaman merupakan prosedur yang tepat untuk itu. Untuk
H 0 : τ 1 = τ 2 = ... = τ t
menguji
H1 : τ i ≠ τ j
i≠ j
KT (τ ) / KT (ε ) .
digunakan
Tolak
statistik
hipotesis
KT (τ ) / KT (ε ) > Ft −1;( b −1)( tm −1) .
lawan
nol
Untuk
uji apabila
menguji
H 0 : ϕ1 = ϕ2 = ... = ϕm H1 : ϕi ≠ ϕ j
i≠ j
lawan digunakan
statistik
Tidak terpenuhinya asumsi dasar rancangan percobaan, seperti normalitas dan kehomogenan ragam ataupun karena skala pengukuran, mengakibatkan perlu dipertanyakannya validitas analisis jika prosedur diatas (prosedur parametrik) tetap digunakan. Oleh karena itu, sebagai alternatif pengujian dapat digunakan prosedur statistika nonparametrik. Median merupakan salah satu ukuran pemusatan data, disamping mean atau rata-rata. Untuk data yang tidak simetris, median lebih baik untuk mendiskripsikan ukuran pemusatan data daripada mean. Oleh karenanya, sebagai alternatif digunakan uji median untuk melihat pengaruh-pengaruh utama perlakuan maupun interaksinya. b. Pengujian Median Pengaruh Utama τ j
uji
KT (ϕ ) / KT (ε ) . Tolak hipotesis nol apabila
Dalam setiap blok, banyaknya pengamatan yang
KT (ϕ ) / KT (ε ) > Fm −1;( b −1)( tm −1) . Sedangkan untuk
digunakan untuk menghitung pengaruh utama
menguji
H 0 : (τϕ )11 = (τϕ )12 = ... = (τϕ )tm lawan
H1 : (τϕ )ij ≠ (τϕ ) kl
ij ≠ kl digunakan statistik uji
KT (τϕ ) / KT (ε ) . Tolak hipotesis nol apabila KT (τϕ ) / KT (ε ) > F(t −1)( m −1);(b −1)(tm −1) .
τj
ada
sebanyak m. Sedangkan untuk setiap kombinasi blok
βi
dan perlakuan
ϕk
ada sebanyat t pengaruh utama
τ. Dengan demikian, untuk pengujian median pengaruh utama
τj
perlu dilakukan melalui tahapan-tahapan
seperti berikut:
Sigit Nugroho / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 277-281
278
1.
Hipotesis nol : median pengaruh utama
βi
pada tiap kombinasi blok
2.
τj
dan perlakuan
βi
dan
=1,2,...,m data yang dikelompokkan tersebut adalah Yi1k, Yi2k, ..., Yitk. Hitung nilai median data Yi1k, Yi2k, ..., Yitk untuk tiap i = 1,2,...,b dan k =1,2,...,m. Sebut saja nilainya dengan
τ j dan 2.
3.
menyatakan bahwa hipotesis nol tidak benar. Kelompokkan data untuk melihat pengaruh antar
yaitu
banyaknya
τj
pada setiap
pengamatan akibat perlakuan
dan perlakuan ( ik )
besar dari nilai mediannya, mτ sama b
juga
ϕk
4.
=1,2,...,t data yang dikelompokkan tersebut adalah Yij1, Yij2, ..., Yijm. Hitung nilai median data Yij1, Yij2, ..., Yijm untuk tiap i = 1,2,...,b dan j =1,2,...,t. Sebut saja nilainya
b
pengamatan akibat perlakuan kombinasi blok
yang
besarnya
6.
5. t
c. Pengujian Median Pengaruh Utama
Tϑ =
6.
ϕk
digunakan untuk menghitung pengaruh utama
besarnya
Sebagai
tambahan,
m 2 btm2 ( Ok(1) − Ok(1) ) dimana ∑ m k =1 (1) (0) ∑ Ok ∑ Ok k =1 k =1 m
1 m (1) ∑ Ok . m k =1
Tolak hipotesis nol jika Tϕ > χ m2 −1,α
d. Pengujian Median Pengaruh Interaksi
ϕk
sebanyak t. Sedangkan untuk setiap kombinasi blok
ada
βi
ada sebanyat m pengaruh utama ϕ .
Dengan demikian, untuk pengujian median pengaruh perlu dilakukan melalui tahapan-tahapan
seperti berikut:
dihitung
Hitung statistik
Ok(1) =
Dalam setiap blok, banyaknya pengamatan yang
ϕk
yang lebih
Ok(1) + Ok(0) = bt .
Tolak hipotesis nol jika Tτ > χt2−1,α
utama
τj
i =1 j =1
1 t (1) . ∑ Oj t j =1
τj
juga
t
Ok(0) = ∑∑ Ψ (Yijk ≤ mϕ(ij ) ) .
2 dimana bmt ∑ ( O (1)j − O (1)j ) t (1) t (0) j =1 ∑ Oj ∑ Oj j =1 j =1
dan perlakuan
sama b
tambahan,
Hitung statistik
O (1) j =
dan perlakuan
pada setiap
( ij )
i =1 k =1
Tτ =
βi
ϕk
besar dari nilai mediannya, mϕ . Dengan cara
. Dengan cara
Sebagai
t
Hitung O (1) = ∑∑ Ψ(Yijk > mϕ(ij ) ) yaitu banyaknya k i =1 j =1
(0) O (1) = bm . j + Oj
2
dan
dengan mϕ .
yang lebih
dihitung
m
O (0) = ∑∑ Ψ (Yijk ≤ mτ(ik ) ) . j
5.
βi
τ j . Artinya untuk tiap i = 1,2,...,b dan j
i =1 k =1
yang
dan perlakuan
( ij )
m
βi
sama
hipotesis tandingannya secara umum
perlakuan
= 1,2,..., t, hitung
( ik ) O (1) ) j = ∑∑ Ψ (Yijk > mτ
kombinasi blok
βi
ϕk
perlakuan pada tiap kombinasi blok
mτ(ik ) .
Untuk setiap nilai j b
Hipotesis nol : median pengaruh utama pada tiap kombinasi blok
ϕk . Artinya untuk tiap i = 1,2,...,b dan k
perlakuan
4.
1.
ϕk
dan hipotesis tandingannya secara umum menyatakan bahwa hipotesis nol tidak benar. Kelompokkan data untuk melihat pengaruh antar perlakuan pada tiap kombinasi blok
3.
sama
(τϕ ) jk
Untuk pengujian median pengaruh interaksi (τϕ ) jk perlu dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut: 1.
seperti
Hipotesis nol : median pengaruh interaksi (τϕ ) jk sama
pada
tiap
blok
βi
dan
hipotesis
tandingannya secara umum menyatakan bahwa hipotesis nol tidak benar.
Sigit Nugroho / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 277-281
2.
Kelompokkan data untuk melihat pengaruh kombinasi perlakuan pada tiap blok
3.
βi .
Artinya
untuk tiap i = 1,2,...,b data yang dikelompokkan tersebut adalah Yi11, Yi12, ..., Yi1m, Yi21, Yi22,... Yi2m,..., Yit1,..., Yitm. Hitung nilai median data Yi11, Yi12, ..., Yi1m, Yi21, Yi22,... Yi2m,..., Yit1,..., Yitm untuk tiap i = 1,2,...,b. (i )
Sebut saja nilainya dengan mτϕ . 4.
O
Hitung
b
= ∑ Ψ (Yijk > mτϕ )
(1) jk
(i )
n j O(1)j O( 0 ) (1 − p) j (1) p j j =1 dimana p adalah peluang sebuah pengamatan bernilai lebih dari nilai mediannya. c
∏O
Apabila total baris diketahui atau ditetapkan nilainya, maka sebaran pasti T memiliki fungsi kepekatan peluang n1 n2 nc (1) (1) L (1) O1 O2 Oc N a
yaitu
i =1
banyaknya pengamatan akibat perlakuan (τϕ ) jk pada setiap kombinasi blok βi yang lebih besar (i )
279
Namun dalam prakteknya, sebaran kai-kuadrat dengan derajat bebas c-1 digunakan.
dari nilai mediannya, mτϕ . Dengan cara yang sama
juga
dihitung
b
(i ) . O (0) jk = ∑ Ψ (Yijk ≤ mτϕ )
besarnya
Sebagai
tambahan,
i =1
(0) . O (1) jk + O jk = b
5.
Hitung Tτϑ =
Dalam percobaan berfaktor 4x3 dalam rancangan acak kelompok lengkap diperoleh data seperti berikut :
statistik 2
2
t
m
2 bt m ∑∑ ( O(1)jk − O(1)jk ) t m (1) t m (0) j =1 k =1 ∑∑ O jk ∑∑ O jk j =1 k =1 j =1 k =1
1 dimana O (1) jk =
t
m
∑∑ O tm
6.
f. Teladan
j =1 k =1
(1) jk
.
Tolak hipotesis nol jika Tτϕ > χ (2t −1)( m−1),α
e. Sebaran Eksak Statistik Uji
Untuk melakukan pengujian median pengaruh utama
Secara umum bentuk data frekuensi pengamatan yang lebih besar dan tidak lebih besar dari median untuk pengujian median ini dapat disajikan seperti berikut. Sebaran pasti statistik T merupakan sebaran bersyarat yang tergantung pada total baris dan total kolom. Peluang untuk memperoleh komposisi data seperti tabel c
O1(1)
O 2(1)
...
Oc(1)
a = ∑ O (1) j
O1(0)
O2(0)
...
Oc(0)
b = ∑ O (0) j
n1
n2
nc
N
j =1
dengan total kolom yang tetap adalah
c
j =1
perlakuan pertama (dinotasikan dengan Faktor τ) dapat dipermudah dengan membuat tabel di bawah ini, yang merupakan transformasi tiap nilai diatas menjadi 1 atau 0. Penentuan nilai 1 atau 0 ini dengan menggunakan kriteria Ψ (Yijk > mτ(ik ) ) , dimana Ψ merupakan fungsi indikator. Hasil dari transformasi diatas adalah
Sigit Nugroho / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 277-281
280
Selanjutnya dihitung untuk tiap taraf perlakuan τ, banyaknya pengamatan yang lebih besar (dan juga yang lebih kecil atau sama dengan) mediannya: Faktor τ
1
2
3
4
>med
3
9
10
14
36
<=med
15
9
8
4
36
18
18
18
18
72
Dengan demikian,
Dengan demikian, m 2 btm 2 Ok(1) − Ok(1) ) = 14, 63 . ( ∑ m m (1) (0) k =1 ∑ Ok ∑ Ok k =1 k =1 Nilai peluangnya dapat dihitung dengan fungsi pada Microsoft Excel misalnya, chidist(14,63;2) = 0,001. Dengan demikian median pengaruh utama ϕ berbeda secara signifikan pada taraf 1%.
Tϑ =
Akhirnya, untuk pengujian pengaruh interaksi diperoleh tabel transformasinya seperti berikut
t . 2 bmt 2 Tτ = ∑ ( O (1)j − O (1)j ) = 13,8 t (1) t (0) j =1 ∑ Oj ∑ Oj j =1 j =1
Nilai peluangnya dapat dihitung dengan fungsi pada Microsoft Excel misalnya, chidist(13,8;3) = 0,003. Dengan demikian median pengaruh utama τ berbeda secara signifikan pada taraf 1%, karena nilai-p atau nilai signifikansi pengujian ini (0,003) lebih kecil dari taraf pengujiannya (0,010). Selanjutnya, untuk melakukan pengujian median pengaruh utama perlakuan kedua (dinotasikan dengan
Dengan cara yang sama seperti prosedur perhitungan pengaruh utama τ dan ϕ diperoleh
Faktor ϕ) dapat dipermudah dengan membuat tabel di bawah ini, dengan cara yang sama seperti diatas, yang merupakan transformasi tiap nilai diatas menjadi 1 atau 0. Penentuan nilai 1 atau 0 ini dengan menggunakan kriteria Ψ (Yijk > mϕ(ij ) ) Hasil dari transformasi diatas adalah
Dengan menggunakan statistik uji
Tτϑ =
Selanjutnya dihitung untuk tiap taraf perlakuan ϕ, banyaknya pengamatan yang lebih besar (dan juga yang lebih kecil atau sama dengan) mediannya: Faktor ϕ
1
2
3
>med
6
3
15
24
<=med
18
21
9
48
24
24
24
72
t m bt 2 m 2 (1) 2 O (1) ( ∑∑ jk − O jk ) t m t m (1) (0) j =1 k =1 ∑∑ O jk ∑∑ O jk j =1 k =1 j =1 k =1
Nilai dari statistik ini adalah 0, dengan demikian chidist(0;6) = 1,000. Ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi antara pengaruh utama τ dan θ terhadap median. Daftar Pustaka [1] Conover, W.J., 1971, Practical Nonparametric Statistics. Wiley International Edition, John Wiley & Sons. New York. NY.
Sigit Nugroho / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 277-281
[2] Gibbons, J.D., 1985, Nonparametric Statistical Inference. 2nd ed. Revised and Extended. Marcel Dekker, Inc. New York. NY. [3] Randles R.H., and D.A. Wolfe, 1979, Introduction to the Theory of Nonparametric Statistics, John Wiley & Sons. New York.
281
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 282-285
Aplikasi Differensial Numerik Dalam Pengolahan Citra Digital (Application of Differential Numeric In Digital Image Processing) Yulian Fauzi Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 13 Mei 2007; Disetujuai 15 Juni 2007
Abstrak - Artikel ini bertujuan untuk mengkaji aplikasi differensial numerik dalam pengolahan citra digital, khususnya dalam mendeteksi tepi objek yang terdapat dalam citra digital. Pendeteksian tepi dapat dilakukan dengan cara yang mirip dengan differensial pertamanya secara parsial dalam ruang diskrit. Aplikasi differensial numeric turunan kedua dalam mendeteksi tepi menggunakan persamaan Laplace, perumusan teori tersebut dalam system digital menggunakan metode hampiran selisih mundur (backward difference approximation). Hasil deteksi tepi dengan menggunakan differensial numeric turunan kedua pada bahasa Matlab memberikan hasil tepi yang jelas dan tajam. Kata-Kata Kunci : Differensial Numerik; Laplace; Matlab 1. Pendahuluan Citra merupakan kumpulan elemen-elemen gambar (pixel) yang secara keseluruhan merekam suatu adegan (scene) melalui pengindera visual (kamera). Untuk kebutuhan pengolahan dengan berbantuan computer, citra disajikan dalam bentuk diskrit yang disebut citra digital. Salah satu proses yang terdapat dalam pengolahan citra digital adalah pendeteksian tepi yang menggunakan pendekatan kemiringan differensial. Penggunaan teori differensial dalam analisis citra digital telah dilakukan oleh [5][6][8]. Differensial merupakan konsep matematika yang menghitung laju perubahan suatu fungsi pada satu titik. Dalam konteks pengolahan citra digital, kecepatan ini dianalogikan sebagai selisih perubahan nilai kecerahan (piksel) pada citra [3]. Dalam kaitan dengan citra digital perubahan nilai kecerahan yang besar dalam jarak yang singkat disebut sebagai tepi. Penggunaan teori differensial untuk pengolahan citra digital harus dirumuskan dalam bentuk fungsi diskrit, dan secara matematis teori tersebut merupakan persoalan differensial numerik. Differensial numerik adalah metode untuk menentukan hampiran nilai differensial fungsi f dengan menggunakan metode hasil bagi selisih yaitu pengurangan dua buah nilai yang besar (f(x+h) - f(x)) dan membaginya dengan bilangan
yang kecil (h). Berdasarkan pada teori tersebut artikel ini ingin mengkaji konsep differensial numerik dan aplikasinya dalam pengolahan citra digital khususnya untuk pendeteksian tepi citra. 2. Metode Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa citra digital gedung rektorat UNIB dalam format JPEG. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Perangkat keras berupa: 1 set komputer Intel Pentium 4 yang dilengkapi 1 buah monitor warna, 1 buah printer dan 1 buah scanner. b. Perangkat lunak Matlab ver. 6,5 a. Perumusan Teori Derivatif Dalam Bentuk Digital Perumusan teori differensial diawali dengan memahami konsep-konsep aplikasi kalkulus khususnya teori differensial dalam rumusan digital (differensial numerik). Metode yang digunakan dalam perumusan teori ini adalah mencari, menghimpun dan mempelajari beberapa teori yang terkait dengan differensial dan aplikasinya. b. Implementasi Teori Differensial Numerik
Yulian Fauzi / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 282-285
Implementasi teori differensial numerik dalam mengolah citra digital untuk mendeteksi tepi citra menggunakan bahasa Matlab. Citra uji (test image) yang digunakan adalah citra (foto) gedung rektorat UNIB yang sudah dikonversi dalam format digital. Hasil implementasi berupa citra tepi akan dianalisis secara visual untuk melihat dampak dari teori differensial numerik dalam mendeteksi tepi citra digital. 3. Hasil Dan Pembahasan Pendeteksian tepi merupakan langkah pertama untuk melingkupi informasi didalam citra. Tepi mencirikan batas-batas objek dan karena itu tepi berguna untuk proses segmentasi dan identifikasi objek di dalam citra. Tujuan operasi pendeteksian tepi adalah untuk meningkatkan penampakan garis batas suatu daerah atau objek di dalam citra. Karena tepi termasuk ke dalam komponen berfrekuensi tinggi, maka pendeteksian tepi dapat dilakukan dengan filter lolostinggi. Tepi (edge) adalah perubahan nilai intensitas derajat keabuan yang mendadak (besar) dalam jarak yang singkat. Perbedaan intensias inilah yang menampakkan rincian pada gambar. Tepi biasanya terdapat pada batas antara dua daerah berbeda pada suatu citra. Tepi dapat diorientasikan dengan suatu arah, dan arah ini berbedabeda pada bergantung pada perubahan intensitas. ∂f G x ∇f = ∂∂fx = G y ∂y
dimana: Gx =
∂f ( x, y ) f ( x + ∆x, y ) − f ( x, y ) = ∆x ∂x
Gy =
∂f ( x, y ) f ( x, y + ∆y ) − f ( x, y ) = ∂y ∆y
Dengan
mengasumsikan
2
G[ f ( x, y )] = G x + G y
α ( x, y ) = tan −1
Gy =
∂f ( x, y ) = f ( x, y + 1) − f ( x, y ) ∂y
Kekuatan tepi merupakan magnitudo dari gradien dapat dinyatakan
Gy Gx
Karena menghitung akar adalah persoalan rumit dan menghasilkan nilai riil, maka dalam praktek kekuatan tepi biasanya disederhanakan perhitungannya dengan menggunakan pendekatan rumus berikut (Dulimarta dalam Munir, 2004): (a) G[ f ( x, y )] = G x + G y , atau (b) G[ f ) x, y )] = max { G x 2 , G y 2 }. Hasil pendeteksian tepi adalah citra tepi (edge image) g(x,y), yang nilai setiap pixel-nya menyatakan kekuatan tepi: g(x,y) = G[ f ( x, y )] Keputusan apakah suatu pixel merupakan tepi atau bukan tepi dinyatakan dengan operasi treshold berikut: jika G[ f ( x, y ) ≥ T 0, lainnya
g(x,y) = 1,
Yang dalam hal ini T adalah nilai ambang, pixel tepi dinyatakan putih sedangkan pixel bukan tepi dinyatakan hitam. a. Differensial Numerik Turunan kedua Operator turunan kedua disebut juga operator laplace. Operator Laplace mendeteksi lokasi tepi lebih akurat khususnya pada tepi yang curam. Pada tepi yang curam, turunan keduanya mempunyai persilangan nol (zero-crossing), yaitu titik di mana terdapat pergantian tanda nilai turunan kedua, sedangkan pada tepi yang landai tidak terdapat persilangan nol. Persilangan nol merupakan lokasi tepi yang akurat. Turunan kedua fungsi dengan dua peubah adalah: ∇2 f =
persamaan differensial pertama menjadi: ∂f ( x, y ) = f ( x + 1, y ) − f ( x, y ) ∂x
2
Sedangkan arah tepi dapat dinyatakan
∆x = ∆y = 1, sehingga
Gx =
283
∂2 f ∂2 f + ∂x 2 ∂y 2
Dengan menggunakan definisi hampiran selisihmundur (backward difference approximation): G3 ( x ) =
∂f ( x, y ) f ( x, y ) − f ( x − ∆x, y ) = ∂y ∆x
Yulian Fauzi / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 282-285
284
G3 ( y ) =
∂f ( x, y ) f ( x, y ) − f ( x, y − ∆) = ∂y ∆y
Maka
>> I = imread ('D:\FILE DOSEN\YFAUZI\unib1.tif'); >> Imshow (I)
2 2 ∇2 f = ∂ f + ∂ f 2 2
∂x
∂y
= G1 (G3 ( x )) + G1 (G3 ( y ))
= G1 (G3 (x)) − G1 ( f (x − ∆x, y)) +
1 G1 ( f (x, y)) − G1 ( f (x, y − ∆y)) ∆y
=
1 f ( x + ∆x, y) − f ( x, y) − f ( x, y) + f ( x − ∆x, y) } { ∆x ∆y
+
1 f ( x, y + ∆y) − f ( x, y) − f ( x, y) + f ( x, y − ∆y } { ∆y ∆y
=
f ( x + ∆x, y ) − 2 f ( x, y ) + f ( x − ∆x, y ) (∆x) 2
f ( x, y + ∆y ) − 2 f ( x, y ) + f ( x, y − ∆y ) + (∆y ) 2
Gambar 1. Citra Rektorat UNIB hasil pembacaan Matlab melalui fasilitas Imshow [2]
Algoritma pengolahan citra digital dalam mendeteksi tepi menggunakan turunan kedua yang berhasil dirancang adalah operator Laplace. Secara umum algoritma tersebut dapat disajikan sebagai berikut: c. Algoritma Differensial Numerik Turunan Kedua pada Bahasa Matlab Input Proses
: Citra digital dengan kualitas yang baik 2 2 : = ∂ f +∂ f 2 2
∂x
∂y
Dengan mengasumsikan ∆x = ∆y = 1 , maka diperoleh
= f (x, y −1) + f (x −1, y) − 4 f (x, y) + f (x +1, y) + f (x, y +1)
∇2 f (x, y) = f (x+1, y)−2f (x, y)+ f (x−1, y)+ f (x, y+1)−2f (x, y)+ f (x, y−1)
Output : Citra tepi Laplace
= f (x, y−1) + f (x−1, y) −4f (x, y) + f (x+1, y) + f (x, y+1)
Berdasarkan pada hasil rancangan algoritma differensial numeric turunan kedua langkah selanjutnya adalah menyusun program sederhana dengan memanfaatkan fasilitas m-file yang terdapat pada bahasa Matlab. Program yang dirancang adalah program yang disadur dan dikembangkan dari program m-file > edge.m. Hasil implementasi dari algoritma differensial numeric turunan kedua berupa citra gedung rektorat UNIB dengan kenampakan tepi-tepi dari bangunan gedung rektorat UNIB, output citra dari algoritma ini disajikan dalam gambar berikut:
Atau dapat dinyatakan sebagai mask: 0 1 0 1 − 4 1 0 1 0
b. Implementasi Differensial Numerik pada Citra Digital Implementasi teori differensial numerik (turunan kedua) pada citra digital didahului dengan menerapkan algoritma-algoritma dasar dalam sistem pengolahan citra digital pada software Matlab. Membaca dan menampilkan citra digital Perintah yang digunakan adalah: >> I = Imread (nama folder dan file dari gambar) >> Imshow (I) Contoh Membaca dan menampilkan citra UNIB Perintah yang digunakan
Gambar 3. Citra tepi gedung rektorat UNIB hasil pemfilteran Laplace [2]
Yulian Fauzi / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 282-285
4. Kesimpulan Perumusan Operator Laplace menggunakan teori differensial numerik turunan kedua dengan menggunakan metode hampiran selisih-mundur (backward difference approximation) dan dalam aplikasinya dapat digunakan untuk mendeteksi tepi dari objek yang terekam dalam citra digital. Citra yang dihasilkan dari operator Laplace mampu memberikan kenampakan tepi yang cukup baik yang terdapat dalam dari citra asli (citra gedung rektorat UNIB). Tepi pada citra ditandai dengan warna yang putih dan berupa kenampakan linier (garis) yang sangat tegas. Daftar Pustaka [1] Aniati M.A., dan Setiawan S., 1992, Pengantar Pengolahan Citra, Elek Media Komputindo, Jakarta. [2] Fauzi Y. dan Mayasari Z.M., 2005, Implementasi Algoritma Filter Derivative Pada Matlab, Laporan Penelitian DIKs UNIB. Lembaga Penelitian UNIB, Bengkulu. [3] Gonzalez R.C. and Woods. R.E., 1993, Digital Image Processing, Addison Wesley. USA. [4] Hord, 1982, Digital Image Processing of Remotely Sensed Data, Academic Press, New York. USA. [5] Jain A.K., 1989, Fundamental of Image Processing. University of California, Davis, USA. [6] Jensen, John. R., 1986, Introductory Digital Image Processing-a Remote Sensing Perpective, Second Edition, Prentice Hall, London. [7] Munir. R, 2004, Pengolahan Citra Digital dengan Pendekatan Algoritmik, Penerbit Informatika, Bandung [8] Schalkoff, R., 1989. Digital Image Processing and Computer Vision, John Wiley & Sons. Inc., USA.
285
Jurnal Gradien Vol.3 No.2 Juli 2007 : 286-290
Optimasi Pada Traveling Salesman Problem (TSP) dengan Pendekatan Simulasi Annealing Jose Rizal Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 20 Juni; Disetujui 29 Juni 2007 Abstrak – Tulisan ini membahas salah satu penerapan dari simulasi bersyarat (conditional simulation) yaitu Simulasi Annealing dalam mencari rute terpendek (optimasi) dari permasalahan Traveling Salesman Problem (TSP). Proses Simulasi Annealing analogi dengan proses pada pendinginan logam cair. Dalam aplikasi Simulasi Annealing pada TSP, terdapat proses pertukaran rute-rute perjalanan guna mendapatkan rute perjalanan yang menghasilkan total jarak perjalanan keseluruhan yang minimum. Algoritma Metropolis-Hasting digunakan sebagai kriteria pengujian diterima atau tidaknya pertukaran rute perjalanan dari dua titik. Sebagai studi kasus, diberikan suatu contoh permasalahan TSP dimana untuk menjalankan algoritma Simulasi Annealing menggunakan bantuan Software Matlab. Kata Kunci :
Simulasi Annealing (Conditional Simulation); Traveling Salesman Problem (TSP); Algoritma Metropolis-Hasting 1. Pendahuluan
Salah satu permasalahan dalam bidang transportasi darat adalah mencari suatu rute perjalanan terpendek yang dapat di tempuh dari titik awal keberangkat menuju titik akhir (tujuan), dengan harapan biaya perjalanan yang dikeluarkan dan waktu tempuh perjalanan seminimum mungkin. Masalah seperti ini dikategorikan dalam suatu permasalahan kombinatorial yang lebih dikenal dengan Traveling Salesman Problem (TSP). Inti dari TSP yakni dalam melakukan satu kali perjalanan, seorang salesman diharuskan mengunjungi beberapa tempat tujuan dan diakhiri dengan kembali ke tempat awal keberangkatan. Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam mencari solusi optimum dalam menjawab masalah TSP, diantaranya Genetik Algoritma [10], Pendekatan secara Stokastik [9], Neural Network [4] [6] dan Program Linier [5]. Dalam tulisan ini akan dibahas aplikasi Simulasi Annealing dalam mencari solusi optimum masalah TSP. Menurut [2] dan [8], metode ini dinilai ampuh dalam mencari solusi optimum yang bersifat numerik salah satunya pada kasus TSP, karena metode ini mampu menghindari kondisi jebakan optimum lokal [12]. Dua definisi yang digunakan dalam Simulasi Annealing pada
TSP yaitu: Model Distribusi Seragam dan Definisi jarak pada Ruang Euclid. Definisi 1 [7] Misalkan X peubah acak kontinu, peubah acak ini hanya memilki nilai pada suatu selang terbatas (a,b) dan fungsi kepadatan peluangdari X konstan sepanjang selang,
f ( x ) = c dengan c ∈ R . X berdistribusi Seragam
pada selang (a,b), jika fungsi kepadatan peluang dari X adalah 1 f (x; a, b ) = b − a 0
a< x
(1)
Notasi untuk X peubah acak kontinu yang berdistribusi seragam pada selang (a,b) adalah X ~ U (a, b ) . Fungsi Distribusi dari X adalah x
Definisi 2 [1] Misalkan
vektor
u = (u1 , u 2 , L , u n )
(2)
dan
v = (v1 , v 2 , L, v n ) , norma (jarak) Euclidis pada R n didefinisikan sebagai berikut:
Jose Rizal / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 286-290
d (u, v) = u − v =
(u1 − v1 )2 + (u2 − v2 )2 + L+ (un − vn )2 (3)
Untuk n = 2, jarak Euclidis pada sebagai berikut:
d (u , v ) = u − v =
R 2 didefinisikan
(u1 − v1 )2 + (u 2 − v2 )2
(4)
adalah dengan menukarkan dua titik berlainan yang dipilih secara random dengan mengambil bilangan bulat, I1 dan I2 yang berharga 1 sampai Nt dengan persamaan sebagai berikut: (5) I 1 = 1 + INT (N p R1 )
I 2 = 1 + INT (N p R2 )
Prinsip Dasar Simulasi Annealing [11] Metode Simulasi Annealing dikembangkan dari analogi pada proses pendinginan cairan (batuan cair atau logam cair). Pada temperatur tinggi molekul-molekul cairan mempunyai tingkat energi yang tinggi sehingga relatif mudah bergerak terhadap molekul lainnya. Bila temperatur diturunkan, molekul-molekul akan mengatur dirinya untuk mencari konfigurasi dengan tingkat energi yang lebih rendah. Dengan menurunkan temperatur secara perlahan, molekul-molekul tersebut diberi kesempatan untuk mengatur diri sehingga diperoleh suatu keadaan stasioner dengan tingkat energi yang minimum. Bila penurunan temperatur terjadi secara mendadak akan diperoleh polycrystaline atau amorphous dengan tingkat energi yang tidak minimum. 2. Metode Penelitian Sesuai dengan proses annealing pada proses pendinginan logam, metode Simulasi Annealing pada TSP terdiri dari 5 (lima) komponen utama, yaitu: 1. Konfigurasi Sistem atau image awal proses, analogi dengan posisi awal iterasi. 2. Fungsi Objektif, fungsi ini didefinisikan sebagai fungsi sasaran yang diminimumkan, analogi dengan energi (total jarak yang ditempuh salesman). 3. Parameter Kontrol, analogi dengan temperatur sistem dan merupakan parameter bebas. 4. Mekanisme untuk merubah konfigurasi interaksi antar titik pengamatan, analogi dengan pertukaran rute-rute perjalanan antar titik. 5. Annealing/Cooling Schedule, dinotasikan dengan Tn = f (T0 , i, N ) , analogi dengan menurunkan temperatur untuk setiap iterasinya.
(6)
dimana R1 dan R2 merupakan bilangan random yang mempunyai Distribusi Seragam dalam daerah [0,1] dan INT mununjukan hanya bagian bilangan bulatnya yang diambil. Dalam menentukan titk yang akan ditukar ada 2 (dua) kondisi yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Titik-titik yang akan ditukar mempunyai selisih jarak yang lebih besar dari suatu harga minimum tertentu, sehingga proses simulasi berlangsung efisien. 2. Memenuhi kondisi Metropolis. Kondisi Metropolis adalah suatu kondisi yang memenuhi persamaan sebagai berikut: bila ∆E ≤ 0 1 P (∆E , T ) = ∆E exp − bila ∆E > 0 KT
(7)
dimana ∆E : Perubahan Energi, T: Temperatur dan K: Konstanta Bolztmann (1.3860 x 10 −23 JK −1 ) atau
(8.6174 x 10
−5
eV K −1
)
Proses simulasi terdiri dari beberapa langkah dimana setiap langkahnya terdiri atas beberapa iterasi. Proses simulasi tersebut dapat diterangkan dengan algoritma dibawah ini: 1. Membangkitkan kondisi awal simulasi 2. Menghitung Energi awal yang dihasilkan pada kondisi awal 3. Update state awal dengan menggunkan aturan yang bersesuaian dengan permasalahan. 4. Hitung kembali energi yang dihasilkan pada setiap updating. 5. Bangkitkan bilangan random berdistribusi Uniform [0,1]. 6.
Mekanisme pertukaran adalah proses iterasi pada Simulasi Annealing yang menyebabkan perubahan harga fungsi objektif. Mekanisme pertukaran merupakan analogi dari interkasi antar molekul pada proses pendinginan logam. Mekanisme pertukaran yang dilakukan pada kasus TSP
287
Uji kriteria, bila p < exp − ∆E
update state
KT
diterima atau pertukaran diterima, lain dari kondisi ini di tolak. Dengan Energi E untuk masalah TSP didifinisikan sebagai berikut
Jose Rizal / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 286-290
288
E=
M −1
∑ x(s ) − x(s ) + x(s ) − x(s ) i =1
dimana
i +1
E:
i
1
M
(8)
Fungsi energi setelah iterasi,
x(si ) : Posisi dari titik ke-i x(si ) − x(s j ) : Jarak
7.
dari titik ke-i menuju titik ke-j, M: Jumlah Kota yang dikunjungi. Turunkan T (temperatur) dengan fungsi cooling schedule. Untuk kasus TSP ini, fungsi cooling schedule yang digunkanan T = T Tn i 0 T0
Ti :
8.
i
N dimana
Temperatur Cooling Schedule ke-I,
Temperatur Awal, Tn
:
Temperatur
Sebagai contoh penerapan Simulasi Annealing pada kasus TSP, akan dilakukan simulasi pada lokasi-lokasi yang harus dikunjungi dalam satu kali perjalanan. Simulasi dilakukan pada 10 titik lokasi, 20 titik lokasi dan 50 titik lokasi. Dalam setiap simulasinya diberikan parameterparameter masukan yang sama seperti: temperatur awal (To = 0.5) , Cooling Schedule (Tn = 0.0001), dan iterasi (N=1000)
T0 :
Cooling
Berikut Hasil Output dari Matlab: 1. Hasil simulasi untuk 10 titik lokasi dengan keluaran antara lain: state awal simulasi, state akhir simulasi dan penurunan energi
Schedule, N : Jumlah Iterasi., i : iterasi ke-i Ulangi langkah ke-3 sampai mencapai kriteria berhenti.
Berikut ini tampilan bagan alur dari Algoritma Simulasi Annealing: .
Gambar 2. (atas) State Awal Iterasi (tengah) State Akhir Iterasi (bawah) Penurunan Energi Gambar 1. Diagram Alur Simulasi Annealing pada TSP
3. Hasil dan Pembahasan a. Contoh Aplikasi Simulasi Annealing pada kasus TSP
2.
Hasil simulasi untuk 20 titik lokasi dengan keluaran antara lain: state awal simulasi, state akhir simulasi dan penurunan energi
Jose Rizal / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 286-290
289
Gambar 4. (atas) State Awal Iterasi, (tengah) State Akhir Iterasi, (bawah) Penurunan Energi
3.
Gambar 3. (atas) State Awal Iterasi (tengah) State Akhir Iterasi (bawah) Penurunan Energi
3.
Hasil simulasi untuk 50 titik lokasi dengan keluaran antara lain: state awal simulasi, state akhir simulasi dan penurunan energi
Hasil simulasi untuk 50 titik lokasi dengan keluaran antara lain: state awal simulasi, state akhir simulasi dan penurunan energi dengan temperatur awal (To = 0.5) , cooling schedule (Tn = 0.0001), dan iterasi (N=10000)
Jose Rizal / Jurnal Gradien Vol. 3 No. 2 Juli 2007 : 286-290
290
c
Gambar 5. (atas) State Awal Iterasi (tengah) State Akhir Iterasi (bawah) Penurunan Energi
4. Kesimpulan Untuk kasus 10 titik lokasi dan 20 titik lokasi, cukup dengan melakukan 1000 iterasi diperolehhasil yang optimal. Dapat dilihat dari grafik penurunan energi untuk masing masing titik lokasi dimana untuk 10 titik lokasi cukup dilakukan dengan 200 iterasi. Sedangkan untuk 20 titik lokasi dibutuhkan 700 iterasi. Untuk kasus 50 titik, iterasi sebanyak 1000 kali belum menghasilkan state akhir yang optimal, dapat dilihat dari tampilan akhir simulasi, dimana masih banyak rute perjalanan yang bersilangan. Selain itu dari grafik penurunan energi terlihat belum stasioner. Iterasi yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi optimal untuk kasus 50 titik adalah sebanyak 7000 iterasi. Ini ditandai dengan kecendrunagn grafik setelah iterasi ditas 7000 cenderung stasioner (flat). Jumlah iterasi yang menghasilkan kondisi/solusi optimal bergantung pada banyaknya titik lokasi yang disimulasikan. Semakin banyak titik lokasi yang disimulasikan, diperlukan jumlah iterasi yang banyak. Hasil simulasi dari 10, 20, dan 50 titik lokasi menunjukan, rute perjalanan yang optimal yaiut dengan mengambil rute terluar dan tidak ada rute yang saling bersilangan. Daftar Pustaka [1] Anton, H., Aljabar Linier Elementer, Edisi kelima, 1994, Erlangga, Jakarta [2] Basuki, A, Budi, S.T, dan Huda, M., Modeling dan Simulasi, Edisi pertama, 2004, IPTAQ Mulia Media, Jakarta
[3] Buckham, B.J and Lambert, C., Simulated Annealing Application, 1999, Mechanical Engineering Department University of Victoria, 1-16 [4] Budinich, M and Rosario, B.A., Neural Network for The Traveling Salesman Problem with a Well Behaved Energy Function, 1995, MANNA Conference,1-8 [5] Diaby, M., A Linear Programming Formulation of the Traveling Salesman Problem, 2007, WSEAS International Conference on Applied Mathematics, 6:97-102 [6] Gee, A.H and Prager, R.W., Limitations of Neural Networks For Solving Traveling Salesman Problems, 1995, IEEE Transactions on, 6:280-282. [7] Hogg, R.V and Craig, A.T., Introduction to Mathematical Statistics 5th Ed., 1978, Prentice-Hall International, Inc. New Jersey. 48p. [8] Kirkpatrick, S.S, Gellat, D and Vecchi, M.P., Optimization by Simulated Annealing, 1983, SCIENCE, 220:671-680 [9] Peres, A.G, and Martin,O.C., The Stochastic Traveling Salesman Problem: Finite Size Scaling and the Cavity Prediction, 1999, Springer Netherlands, 94:739758 [10] Potvin, J., Genetic Algorithms for the Traveling Salesman Problem, 1996, Springer Netherlands, 63:337-370 [11] Rizal, J., Prediksi Penempatan Sumur Baru Pada Lapangan Panas Bumi Kamojang Menggunakan Metode Simulasi Annealing, 2005, Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung. [12] Ross, S.M., Simulation 2nd Ed., 1997, HP Harcourt Academic Press, San Diego California. 236p