Corporate Social Responsibility and Sustainability Reporting
Oleh : Kelompok 1 Annissa Sharafina ( 833511 ) Esther Marietty ( 8335118323 ) Universitas Negeri Jakarta Fakultas Ekonomi Program Studi S1 Akuntansi 2014
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya kami selaku penyusun makalah ini dapat menyelesaikan tugas yang diberikan. Makalah ini adalah tugas yang kami tujukan kepada Ibu Marsellisa Nindito,Se,Akt.,M.Sc. selaku dosen pembimbing mata kuliah Etika Profesi Akuntan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan memenuhi kewajiban tugas Etika Profesi Akuntan. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih perlu ditingkatkan lagi mutunya dan informasinya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 03 April 2014
i
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Manfaat Penulisan 1.5 Metode Penelitian 1.6 Sistematika Penulisan BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Tanggung
Jawab
Sosoal
Perusahaan
(Corporate
Responsibility-CSR) 2.2.1 2.2.2 2.2 Pelaporan Berkelanjutan (Sustainability Reporting) 2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.3 Analisa Kasus 2.3.1 2.3.2 2.3.3 BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran Daftar Pustaka
Social
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era yang sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian keuntungan semata. Perusahaan atau organisasi lainnya menganggap bahwa sumbangsih kepada masyarakat cukup diberikan melalui nilai dalam penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dengan produknya dan pembayaran pajak kepada negara. Ketiga hal tersebut tidaklah cukup apabila perusahaan ingin bertahan sampai lima tahun ke depan karena masyarakat tidak hanya menuntut perusahaan menyediakan barang dan jasa saja tetapi juga pertanggungjawaban secara sosial terhadap kehidupannya. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan pengguna laporan keuangan dimana fokusnya tidak hanya pada perolehan laba perusahaan tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain itu para pemimpin perusahaan juga menghadapi tantangan dalam menerapkan standar-standar etis terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab. Tanggung jawab sosial perusahaan dituangkan dalam bentuk suatu kepedulian sosial yang dapat kita namakan sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Dimana dalam praktiknya organisasi-organisasi bisnis melihatnya sebagai tekanan karena dalam mengimplementasikannya CSR masuk kedalam sebuah tantangan bisnis yang baru berkembang di tahun 2000-an. Dalam praktiknya, seperti yang kita telah ketahui CSR belum mempunyai dasar pemikiran dan aturan yang cukup jelas dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari, pengimplementasian CSR itu sendiri masih bersifat sukarela (volountary). Tim International Organization for Standarization (ISO) pada bulan September 2004 sebagai induk dari organisasi standar internasional mengundang berbagai pihak untuk melahirkan panduan (guedelines) dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance Standard on Social Responsibilty. ISO 26000 ini sifatnya hanya panduan saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan (requirements) karena memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai sebagai standar sertifikasi (Yusuf Wibisono, 2007 : 38). Hal ini memang harus dapat kita pahami,karena seperti yang telah kita ketahui CSR merupakan dampak dari perkembangan perubahan di dunia bisnis.
Walaupun demikian inti dari konsep ini adalah keseimbangan antara penitikberatan perhatian terhadap aspek ekonomis dan aspek sosial serta lingkungan. Selain itu pelaporan non keuangan secara umum telah diakomodasi di Indonesia dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK No. 1 menyatakan tentang penyajian laporan keuangan dinyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri di mana lingkungan hidup memegang peranan penting. Untuk itu sudah selayaknya perusahaan melaporkan semua aspek yang mempengaruhi kelangsungan operasi perusahaan kepada masyarakat. Dengan menganalisis perkembangan corporate social responsibility, didapatkan bahwa terdapat keterbatasan alam dalam mendukung kehidupan manusia sehingga perlu adanya upaya untuk menyadarkan dan membuat manusia peduli tidak hanya terhadap lingkungan hidup tapi juga pada lingkungan sosialnya (sustainability communication). para akuntan di Indonesia telah turut menyadari bahwa pentingnya penyusunan sustainability report karena di dalamnya terdapat prinsip dan standar pengungkapan yang mampu mencerminkan tingkat aktivitas perusahaan secara menyeluruh dan tentu saja berbeda dengan yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Dengan adanya hal tersebut kinerja perusahaan bisa langsung dinilai oleh pemerintah, masyarakat, organisasi lingkungan, media massa khususnya pada investor dan kreditor (bank) karena investor maupun kreditor (bank) tidak mau menanggung kerugian yang disebabkan oleh adanya kelalaian perusahaan tersebut terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Dalam proses pelaporannya sustainability report, banyak diatur dalam standar aturanaturan internasional baku yang diadopsi oleh Indonesia salah satunya adalah Global Reporting Initiative (GRI) yang di dalamnya mengatur prinsip dasar yang harus terdapat pada sustainability report yaitu: seimbang, dapat dibandingkan, teliti, tepat waktu, jelas dan dapat dipercaya.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan Tujuan Instruksi Khusus mata kuliah Etika Profesi Akuntan, masalah yang dibahas adalah mengenai tanggung Jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dan pelaporan berkelanjutan (sustainability reporting) . Dengan pokok bahasan lebih spesifik yaitu: a) Definisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) b) Kaitan Akuntansi Lingkungan sebagai dasar lahirnya Corporate Social Responsibility c) Analisis dan pengembangan d) Pengungkapan CSR (CSR Disclosure) e) Definisi Sustainability Reporting f) Peranan dan Tujuan Sustainability Reporting
g) Prinsip-prinsip Sustainability Reporting h) Teknik Pelaporan CSR i) Standar Sustainability Reporting
1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 2 yaitu, tujuan umum dan khusus:
1.3.1. Tujuan Umum a) Menjelaskan Tanggung Jawab Sosoal Perusahaan dan Laporan Berkelanjutan b) Menjelaskan peranan dan tujuan, prinsip, teknik, dan standar Pelaporan Berkelanjutan c) Diharapkan dapat menambah pengetahuan para pembaca makalah
1.3.2 Tujuan Khusus Memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Akuntan sesuai silabus BAB I : “Corporate Social Responsibility and Sustainability Reporting”
1.4. Manfaat Penulisan a) Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa. b) Sebagai wacana awal bagi penyusunan karya tulis selanjutnya. c) Sebagai literatur untuk lebih memahami kegiatan akuntansi, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kewirausahaan
1.5. Sistematika Penulisan Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan yang digunakan adalah : BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan, dan metodologi penelitian. BAB II PEMBAHASAN
Berisi tentang : Pembahasan mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) and Sustainability Reporting BAB III PENUTUP Berisi tentang : kesimpulan dan saran.
1.6. Metodologi Penelitian Dalam penulisan Karya Tulis ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah : a) Studi pustaka yaitu dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan karya tulis ini b) Penjelajahan internet yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang tidak
penulis tidak dapatkan dari buku-buku
BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR) 2.1.1 Definisi CSR CSR didefinisikan sebagai kontribusi bisnis untuk pembangunan berkelanjutan dan bahwa perilaku perusahaan tidak hanya harus memastikan kembali ke pemegang saham, upah kepada karyawan dan produk dan layanan kepada konsumen, tetapi mereka harus menanggapi masalah sosial, lingkungan dan nilai yang ada di masyarakat (Solihin, 2009). Tanggung jawab sosial secara sederhana dapat dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan sekitar atas keuntungan yang diambil oleh perusahaan yang berasal dari aktivitas bisnis yang dilakukan perusahaan. Aktivitas bisnis perusahaan tersebut seringkali menimbulkan kerusakan lingkungan dan dampak sosial bagi masyarakat sekitar. Selain itu, terdapat penjelasan tentang definisi CSR yang dikutip dari beberapa Organisasiorganisasi Internasional, yaitu WBCSD (World Business Council for Sustainable Development) dan Organisasi Bank Dunia (World Bank). WBCSD mendefinisikan CSR sebagai suatu komitmen bisnisyang berkelanjutan dalam berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja karyawan dan kerja mereka dan komunitas lokal dan masyarakat yang luas. Sedangkan World Bank mendefinisikan CSR sebagai suatu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan ekonomi yang berkelanjutan kepada karyawan dan perwakilannya, komunitas lokal, dan masyarakat yang luas untuk meningkatkan kualitas hidup, melalui jalan bisnis dan perkembangan yang baik. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dirangkum bahwa CSR merupakan aktivitas perusahaan dalam mencapai keseimbangan atau integrasi antara aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial tanpa mengesampingkan ekspektasi para pemegang saham dalam menghasilkan profit. Hal ini sesuai dengan konsep Triple Bottom Line yang merupakan konsep dasar terbentuknya konsep CSR. TBL menjelaskan bahwa perusahaan akan dapat melakukan usaha bisnis dalam jangka panjang apabila memperhatikan tiga aspek utama, yaitu Keuntungan, Sosial, dan Lingkungan (Mulyadi dan Anwar, 2011). Menurut ISO 26000 dalam Mulyadi dan Anwar (2008), Prinsip-prinsip Corporate Social Responsibility terbagi atas tujuh aspek dasar yaitu meliputi:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kepatuhan terhadap hukum Menghormati instrumen/badan-badan Internasional Menghormati stakeholders dan kepentingannya Akuntabilitas Transparansi Perilaku yang beretika Melakukan tindakan pencegahan
Kotler et al., (2005) menjelaskan bahwa terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh atas aktivitas CSR. Adapun manfaat dari CSR tersebut adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
peningkatan penjualan dan pangsa pasar (Increased sales and market share); memperkuat posisi nama atau merek dagang (strengthened brand positioning); meningkatkan citra perusahaan (Enhanced corporate image and clout); meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan mempertahankan pegawai (Increased ability to attract, motivate, and retain employees); 5. menurunkan biaya operasi (Decreasing operating cost); dan 6. meningkatkan daya tarik bagi investor dan analis keuangan (Increased appeal to investors and financial analysts).. CSR tidak harus selalu dipandang sebagai tuntutan masyarakat kepada perusahaan, melainkan sebagai kebutuhan dunia usaha. Menurut Aprilia (2011) dalam Mulyadi dan Anwar (2011), terdapat dua aspek yang mempengaruhi implementasi CSR oleh perusahaan, yaitu 1. Komitmen dari CEO CSR merupakan suatu bentuk investasi yang berdampak pada pertumbuhan perusahaan dan keberlanjutan bisnis. Oleh karena itu, CSR bukanlah kegiatan tambahan atau sesuatu yang bisa dikorbankan untuk mencapai tingkat efisiensi karena CSR merupakan bagian penting dari perusahaan yang dapat dijadikan strategi kompetitif perusahaan (Mulyadi dan Anwar, 2011). 2. Ukuran dan Kematangan Perusahaan Perusahaan yang besar yang sudah mapan akan memberikan kontribusi lebih besar dari perusahaan kecil yang masih berkembang. CSR menunjukkan kesadaran korporasi sebagai perusahaan juga merupakan bagian dari masyarakat (Mulyadi dan Anwar, 2011) Kotler dan Nancy (2005) juga menyebutkan bahwa setidaknya ada enam opsi untuk “berbuat kebaikan” (Six options for Doing Good) sebagai inisiatif sosial perusahaan yang dapat ditempuh dalam rangka implementasi CSR. 1. cause promotions, dimana suatu perusahaan dapat memberikan dana atau berbagai macam kontribusi lainnya, ataupun sumber daya perusahaan lainnya untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat atas suatu isu sosial tertentu, ataupun dengan cara mendukung pengumpulan dana, partisipasi dan rekruitmen sukarelawan untuk aksi sosial tertentu.
2. cause-related marketing, yang dalam hal ini suatu perusahaan berkomitmen untuk berkontribusi atau menyumbang sekian persen dari pendapatannya dari penjualan suatu produk tertentu miliknya untuk isu sosial tertentu. 3. n corporate social marketing, dimana suatu perusahaan dapat mendukung perkembangan atau pengimplementasian kampanye untuk merubah cara pandang maupaun tindakan, guna meningkatkan kesehatan publik, keamanan, lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat. 4. corporate philanthropy, yang dalam hal ini, suatu perusahaan secara langsung dapat memberikan sumbangan, biasanya dalam bentuk uang tunai. Pendekatan ini merupakan bentuk implementasi tanggung jawab sosial yang paling tradisional. 5. community volunteering, perusahaan dalam hal ini dapat mendukung dan mendorong pegawainya, mitra bisnis maupun para mitra waralabanya untuk menjadi sukarelawan di organisasi-organisasi kemasyarakatan lokal. Contohnya suatu perusahaan dapat mendorong atau bahkan mewajibkan para pegawainya untuk terlibat dalam bakti sosial atau gotong-royong di daerah dimana perusahaan itu berkantor. 6. socially responsible business practices, misalnya perusahaan dapat mengadopsi dan melakukan praktek-praktek bisnis dan investasi yang dapat mendukung isu-isu sosial guna meningkatkan kelayakan masyarakat (community well-being) dan juga melindungi lingkungan. Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih konfrehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Menurut Sonny A Keraf (2002) paling tidak sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai bagian yang tidak lagi terpisahkan dari CSR. 1. keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat. 2. perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-
tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat. 3. dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa punya kepedulian, punya tanggung jawab terhadap masyarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu. 4. dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan tersebut, dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Ini berarti keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial juga akhirnya punya dampak yang positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di tengah masyarakat tersebut. Di Indonesia CSR masih merupakan etika bisnis yang tidak tertulis sebelum diundangkannya Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 Undang-Undang Penanaman Modal menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan atas Pasal 15 (b) lebih lanjut menerangkan bahwa ”tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menentukan bahwa: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (3) dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud ”dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Dengan demikian CSR di Indonesia harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi arus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam negeri maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan dengan pengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait dan harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis (Sukarmi, 2008).
2.1.2 Kaitan Akuntansi Lingkungan sebagai dasar lahirnya Corporate Social Responsibility Adanya Perubahan dari sudut pandang dunia bisnis bahwa tujuan akhir organisasi berubah bukan hanya berorientasi pada keuntungan belaka menyadarkan sektor bisnis akan pentingnya tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitar. Dengan menerapkan program tanggung jawab sosial terhadap lingkungan, hal ini dapat membawa perubahan dalam bentuk rencana strategis bagi perusahaan guna mempertahankan kelangsungan bisnisnya sampai dimasa yang akan datang. Dari data statistik yang didapat, menunjukkan bahwa pertumbuhan positif dari peningkatan kehidupan dari banyak orang di seluruh dunia ternyata diimbangi dengan informasi yang mengkhawatirkan mengenai kondisi lingkungan serta beban kemiskinan dan kelaparan yang berlanjut dari jutaan orang lainnya (bahwa pertumbuhan positif dari peningkatan taraf kehidupan banyak orang di seluruh dunia ternyata diimbangi dengan informasi mengenai kondisi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan serta meningkatnya kemiskinan dan kelaparan dari jutaan orang lainnya). Kondisi kontras ini menciptakan dilema yang paling menantang bagi abad ke-21. Banyak perusahaan yang menganggap bahwa bentuk kepedulian kepada masyarakat cukup diberikan melalui penyediaan lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dengan produknya dan pembayaran pajak kepada negara. Tentu saja hal tersebut tidaklah cukup apabila perusahaan ingin bertahan dan berkembang untuk masa depannya karena masyarakat tidak hanya menuntut perusahaan menyediakan barang dan jasa saja tetapi juga pertanggungjawaban secara sosial. Sehingga saat ini pandangan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan pada telah berubah dimana fokusnya tidak hanya pada perolehan laba perusahaan tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Selain itu para pemimpin perusahaan juga menghadapi tantangan dalam menerapkan standar-standar etis terhadap praktik
bisnis yang bertanggung jawab. Tekanan untuk menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) menempati ranking kedua dari tantangan-tantangan bisnis paling penting di tahun 2000. Walaupun sedang banyak dibicarakan tetapi CSR itu sendiri merupakan hal yang belum pasti, hal ini bisa dilihat dari definisi secara operasional. Pada bulan September 2004 tim International Organization for Standarization (ISO) sebagai induk dari organisasi standar internasional mengundang berbagai pihak untuk melahirkan panduan (guedelines) dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000 : Guidance Standard on Social Responsibilty. ISO 26000 ini sifatnya hanya panduan saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan (requirements) karena memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai sebagai standar sertifikasi (Yusuf Wibisono, 2007 : 38). Hal ini memang harus kita pahami karena seperti yang kita ketahui CSR merupakan dampak dari perkembangan dunia bisnis yang umurnya baru berkembang . Walaupun demikian inti dari konsep ini adalah keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan aspek sosial serta lingkungan. Selain itu pelaporan non keuangan secara umum telah diakomodasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK No. 1 menyatakan tentang penyajian laporan keuangan dinyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri di mana lingkungan hidup memegang peranan penting. Untuk itu sudah selayaknya perusahaan melaporkan semua aspek yang mempengaruhi kelangsungan operasi perusahaan kepada masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang mengungkap berbagai ketentuan tentang pendirian PT dan salah satunya pada pasal 74 membahas tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi PT itu sendiri, komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya. Untuk melaksanakan kewajiban tersebut, kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus dianggarkan serta diperhitungkan sebagai biaya PT yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Pada pasal 66 juga dijelaskan bahwa kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan PT, salah satunya adalah laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Apabila PT tidak melaksanakannya maka PT yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan menganalisis perkembangan corporate social responsibility, didapatkan bahwa terdapat keterbatasan alam dalam mendukung kehidupan manusia sehingga perlu adanya upaya untuk menyadarkan dan membuat manusia peduli tidak hanya terhadap lingkungan hidup tapi juga pada lingkungan sosialnya (sustainability communication). para akuntan menyadari bahwa pentingnya penyusunan sustainability report karena di dalamnya terdapat prinsip dan standar pengungkapan yang mampu mencerminkan tingkat aktivitas perusahaan secara menyeluruh dan tentu saja berbeda dengan yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Dengan adanya hal
tersebut kinerja perusahaan bisa langsung dinilai oleh pemerintah, masyarakat, organisasi lingkungan, media massa khususnya pada investor dan kreditor (bank) karena investor maupun kreditor (bank) tidak mau menanggung kerugian yang disebabkan oleh adanya kelalaian perusahaan tersebut terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Dimana dalam proses pelaporan, ada beberapa standar yang sudah dikenal untuk menunjukkan kinerja perusahaan dalam mengimplementasikan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Salah satunya adalah Global Reporting Initiative(GRI). Pada dasarnya sustainability report perlu ada untuk melaporkan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan hal yang penting bagi sebuah perusahaan. Yang mana di dalam perusahaan ada yang dinamakan proses internal dan proses eksternal, di mana proses internal biasanya terkendali dan proses eksternal biasanya uncertain. Dengan diterapkannya sustainibility report pada organisasi atau perusahaan berdasarkan standar GRI ini, diharapkan dapat menciptakan perusahaan berbisnis secara beretika dan dapat berkembang secara berkelanjutan. 2.1.3 Analisis dan pengembangan Ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing). Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian beasiswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik di mata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR bukanlah sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal. "dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa di atas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama....setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut [1] Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak di bidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan bahwa: " CSR merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat atau pun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".[2]. 2.1.4 Pengungkapan CSR (CSR Disclosure) Hendriksen (1991) dalam Sumedi (2010) menyatakan bahwa pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Perusahaan selain menerapkan CSR juga perlu melakukan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas CSR yang dilakukan kepada stakeholder. Gray et al., (2001) dalam Rakhiemah dan Agustia (2009) mendefinisikan CSR Disclosure sebagai suatu proses penyediaan informasi yang dirancang untuk mengemukakan masalah seputar socialaccountability, yang mana secara khas tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan dalam media-media seperti laporan tahunan maupun dalam bentuk iklan-iklan yang berorientasi sosial. Pengungkapan CSR merupakan suatu bentuk transparansi perusahaan dalam bentuk aktivitas sosial dan lingkungan terhadap masyarakat yang kemudian dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap perusahaan dan pada akhirnya berdampak pada kinerja finansial perusahaan.
Terdapat dua jenis pengungkapan dalam pelaporan keuangan yang telah ditetapkan oleh badan yang memiliki otoritas di pasar modal. Yang pertama adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure), yaitu informasi yang harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal di suatu Negara, Sedangkan yang kedua adalah pengungkapan sukarela (voluntary disclosure), yaitu pengungkapan yang dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh standar yang ada Fitriyani (2012). Di Indonesia, pengungkapan sosial bersifat Voluntary, yaitu badan pengawas pasar modal tidak mengharuskan perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial. Sehingga, pengungkapan sosial yang terjadi akan beraneka ragam antara satu perusahaan dengan yang lainnya sesuai dengan gaya manajemen yang ada di dalam perusahaan tersebut. 2.1.5 Metode Pengukuran Tanggung Jawab Sosial Dalam akuntansi konvensional jelas bahwa setiap transaksi baru dapat dicatat jika sudah mempengaruhi posisi keuangan perusahaan. Dalam Socio Economic Accounting (SEA) kita harus mengukur dampak positif (Social Cost) dan dampak negatif (Social Negatif) yang ditimbulkan oleh kegiatan perusahaan, di sinilah rumitnya menghitung dampak ekonomis pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh karena itu para ahli membuat beberapa metode pengukuran seperti yang dirumuskan oleh Sofyan Syafri Harahap dalam buku Teori Akuntansi metode pengukuran tanggung jawab sosial sebagai informasi yang akan dilaporkan dalam Socio Economic Reporting misalnya : 1) Menggunakan penelitian dengan menghitung Opportunity Cost Approach. Misalnya dalam menghitung social cost dari pembuangan, maka dihitung berapa kerugian manusia dalam hidupnya; berapa berkurang kekayaannya; berapa kerusakan wilayah rekreasi; dan lain sebagainya akibat pembuangan limbah. Total kerugian itulah yang menjadi Social cost perusahaan (Belkaoui, 1985 p.185). 2) Menggunakan daftar kuesioner, survey, lelang, di mana mereka yang merasa dirugikan daitanyai berapa besar jumlah kerugian yang ditimbulkan atau berapa biaya yang harus dibayar kepada mereka sebagai kompensasi kerugian yang dideritanya. 3) Menggunakan hubungan antara kerugian massal dengan permintaan untuk barang pengurangan dalam menghitung jumlah kerugian masyarakat. 4) Menggunakan reaksi pasar dalam menentukan harga. Misalnya vonis hakim akibat pengaduan masyarakat akan kerusakan lingkungan dapat juga dianggap sebagai dasar perhitungan.” Walaupun keempat metode diatas secara mendasar sangat berbeda, tetapi pada dasarnya keempat metode tersebut untuk mengetahui kerugian serta reaksi masyarakat tehadap kegiatan perusahaan yang menimbulkan dampak negatif. 2.2 Sustainability Reporting
2.2.1 Definisi Sustainability Reporting Sustainability Report memiliki definisi yang beragam, menurut Elkington(1997) SR berarti laporan yang memuat tidak saja informasi kinerja keuangan tetapi juga informasi non keuangan yang terdiri dari informasi aktivitas sosial dan lingkungan yang memungkinkan perusahaan bisa bertumbuh secara berkesinambungan (sustainable performance). Pelaporan sustainability akan menjadi perhatian utama dalam pelaporan nonkeuangan, Pelaporan ini memuat empat kategori utama yaitu : business landscape, strategi, kompetensi, serta sumber daya dan kinerja (Falk, 2007). Saat ini implementasi pelaporan berkelanjutan di Indonesia didukung oleh sejumlah aturan seperti UU No. 23/1997 tentang manajemen lingkungan dan aturan yang dikeluarkan Bursa Efek Indonesia mengenai prosedur dan persyaratan listing dan juga standar laporan keuangan (PSAK). Sustainability Reports perusahaan membutuhkan pedoman pelaporan berkelanjutan yang diterima secara nasional. Untuk tujuan tersebut, dibutuhkan sebuah Badan Nasional yaitu NCSR (National Center for Sustainability Reporting). Pengguna utama dari SR antara lain, masyarakat atau komunitas, investor tanggung jawab sosial, bank, institusi pemerintah, dan manajemen dan karyawan. Manfaat SR yang berdasarkan pada kerangka GRI, yaitu: 1)
sebagai benchmark kinerja organisasional dengan memperhatikan hukum, norma, undang-undang, standar kinerja, dan prakarsa sukarela;
2) 3)
mendemostrasikan komitmen organisasional untuk sustainable development, dan membandingan kinerja organisasional setiap waktu.
GRI mempromosikan dan mengembangkan pendekatan standarisasi pelaporan tersebut untuk menstimulasikan permintaan terhadap informasi sustainability yang akan menguntungkan pelaporan organisasi dan kepada yang menggunakan informasi laporan serupa. Pengungkapan Sustainability Report yang sesuai dengan GRI (Global Reporting Index) harus memenuhi beberapa prinsip. Dewasa ini perusahaan dituntut oleh stakeholder kunci seperti karyawan, pemegang saham dan konsumen untuk transparan atas visi/misi, prinsip, tujuan dan kinerjanya dalam segala dimensi pembangunan berkelanjutan. Sustainability reporting adalah jawaban yang sesuai dengan prinsipprinsip KPB. Sustainability reporting adalah usaha dari suatu organisasi (perusahaan) dalam memproduksi dan mempublikasikan sustainability report (SR). SR – menurut World Business Council for Sustainable Development – bisa didefinisikan sebagai laporan publik dimana perusahaan memberikan gambaran posisi dan aktivitas perusahaan pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial kepada stakeholder internal dan eksternalnya (WBCSD 2002:7). Dengan demikian, SR, idealnya, mengintegrasikan tiga bentuk laporan sebelumnya (keuangan, sosial dan lingkungan). Bagaimanapun juga, memproduksi SR merupakan proses yang menantang. SR
hanyalah puncak dari gunung es. Perusahaan akan sulit membuat laporan yang akurat dan dapat dipercaya tanpa sebelumnya memiliki dan menerapkan sistem informasi dan manajemen 9 internal yang handal. Memproduksi SR membutuhkan komitmen kuat dari pimpinan perusahaan, alur tanggung jawab yang jelas dan sumber daya yang memadai. SR bukanlah hasil dari proses instant, melainkan merupakan hasil dari pengalaman perusahaan selama bertahun-tahun dalam melakukan aktivitas sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. 2.2.2 Peranan dan Tujuan Sustainability Reporting Laporan keberlanjutan adalah praktek pengukuran, pengungkapan dan upaya akuntabilitas dari kinerja organisasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan kepada para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal. ‘Laporan Keberlanjutan’ merupakan sebuah istilah umum yang dianggap sinonim dengan istilah lainnya untuk menggambarkan laporan mengenai dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial (misalnya triple bottom line, laporan pertanggungjawaban perusahaan, dan lain sebagainya). Sebuah laporan keberlanjutan harus menyediakan gambaran yang berimbang dan masuk akal dari kinerja keberlanjutan sebuah organisasi –baik kontribusi yang positif maupun negatif. Laporan Keberlanjutan yang disusun berdasarkan Kerangka Pelaporan GRI mengungkapkan keluaran dan hasil yang terjadi dalam suatu periode laporan tertentu dalam konteks komitmen organisasi, strategi, dan pendekatan manajemennya. Laporan dapat digunakan untuk tujuan berikut, di antaranya:
Patok banding dan pengukuran kinerja keberlanjutan yang menghormati hukum, norma, kode, standar kinerja, dan inisiatif sukarela; Menunjukkan bagaimana organisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh harapannya mengenai pembangunan berkelanjutan; dan Membandingkan kinerja dalam sebuah organisasi dan di antara berbagai organisasi dalam waktu tertentu.
2.2.3 Prinsip-prinsip Sustainability Reporting Laporan Keberlanjutan digunakan untuk menggambarkan laporan mengenai dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial suatu perusahaan. Terdapat Prinsip-prinsip dalam penyusunan sustainability reporting, sehingga membuat informasi yang tertuang di dalam sustainability reporting menjadi informasi yang berkualitas dan memadai. Prinsip-prinsip ini sangat fundamental bagi terwujudnya transparansi yang efektif. Kualitas informasi akan memungkinkan pemangku kepentingan untuk membuat penilaian yang masuk akal serta tindakan yang memadai terkait kinerja organisasi. Prinsip-prinsip tersebut yaitu :
Keseimbangan
Laporan harus menggambarkan aspek positif dan negatif dari kinerja perusahaan untuk dapat memungkinkan penilaian yang masuk akal terhadap keseluruhan kinerja. Keseluruhan penyajian isi laporan harus menyajikan gambaran yang tidak bias terhadap kinerja organisasi. Laporan harus menghindari pemilihan, penghilangan, atau penyajian format yang memungkinkan kesalahan penilaian oleh pembaca laporan.
Dapat diperbandingkan
Isu-isu dan informasi harus dipilih, dikumpulkan, dan dilaporkan secara konsisten. Informasi yang dilaporkan harus disajikan dalam sebuah cara yang memungkinkan pemangku kepentingan dapat menganalisis perubahan kinerja organisasi dari waktu ke waktu dan dapat mendukung analisis relatif terhadap organisasi lainnya. Perbandingan sangat dibutuhkan dalam mengevaluasi kinerja. Pemangku kepentingan yang menggunakan laporan harus dapat membandingkan informasi kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial yang dilaporkan dengan kinerja organisasi sebelumnya, sasarannya, dan apabila memungkinkan dengan kinerja organisasi lainnya. Konsistensi dalam melaporkan memungkinkan pihak-pihak internal dan eksternal untuk melakukan perbandingan.
Kecermatan
Informasi yang dilaporkan harus cukup cermat dan detail bagi pemangku kepentingan dalam menilai kinerja organisasi.
Ketepatan waktu
Laporan dilakukan berdasarkan jadwal reguler serta informasi kepada pemangku kepentingan tersedia tepat waktu ketika dibutuhkan dalam mengambil kebijakan. Kegunaan informasi akan sangat terkait dengan apakah waktu pengungkapannya kepada pemangku kepentingan dapat memungkinkan mereka untuk mengintegrasikannya secara efektif dalam pembuatan kebijakan yang mereka lakukan.
Kejelasan
Informasi harus disediakan dalam cara yang dapat dimengerti dan diakses oleh pemangku kepentingan yang menggunakan laporan. Laporan harus menyajikan informasi dalam cara yang dapat dimengerti, dapat diakses, dan dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan organisasi (baik dalam bentuk cetak maupun saluran lainnya). Pemangku kepentingan harus dapat menemukan informasi yang dibutuhkannya tanpa harus bekerja keras. Informasi harus disajikan dalam cara yang komprehensif kepada pemangku kepentingan yang telah memiliki pemahaman akan organisasi dan aktivitasnya. Grafik dan tabel data terkonsolidasi dapat membantu dalam memahami dan mengakses informasi yang ada dalam laporan.
Keterandalan
Informasi dan proses yang digunakan dalam penyiapan laporan harus dikumpulkan, direkam, dikompilasi, dianalisis, dan diungkapkan dalam sebuah cara yang dapat diuji dan dapat membentuk kualitas dan materialitas dari laporan. Pemangku kepentingan harus yakin bahwa sebuah laporan dapat dicek ketepatan dan ketelitian isinya serta tingkatan Prinsip Pelaporan yang digunakan. Informasi dan data yang termasuk dalam laporan harus didukung oleh pengendalian internal atau dokumentasi yang dapat di-review oleh individu di luar mereka yang terlibat dalam pembuatan laporan. 2.2.4 Teknik Pelaporan CSR CSR diartikan sebagai suatu tindakan etis atau tanggung jawab perusahaan terhadap stakeholders. Tindakan etis atau tanggung jawab tersebut dimaksudkan agar mendapat penerimaan dari masyarakat luas. Tanggung jawab sosial meliputi aspek sosial dan lingkungan, dalam hal ini aspek ekonomi telah tercakup dalam aspek sosial. Stakeholders terdiri dari pihak dalam dan luar perusahaan. Tujuan utama dari tanggung jawab sosial adalah untuk meningkatkan standar hidup, tanpa mengesampingkan pencapaian keuntungan untuk semua pihak baik yang berada di dalam ataupun di luar perusahaan. Untuk itulah maka pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) perlu diungkapkan dalam perusahaan sebagai wujud pelaporan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan dalam dua bentuk yaitu : 1. Di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sustainabitity report harus menjadi dokumen strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan sektor industrinya. 2. Laporan tanggung jawab sosial perusahaan di ungkapkan dan disajikan dalam Annual Report. 2.2.5 Standar Sustainability Reporting Salah satu standar Sustainability Reporting adalah standar yang dibuat oleh GRI. GRI membuat kerangka pelaporan, yang ditujukan sebagai sebuah kerangka yang dapat diterima umum dalam melaporkan kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial dari organisasi. Kerangka ini didesain untuk digunakan oleh berbagai organisasi yang berbeda ukuran, sektor, dan lokasinya. Kerangka ini juga memperhatikan pertimbangan praktis yang dihadapi oleh berbagai macam organisasi –dari perusahaan kecil sampai kepada perusahaan yang memiliki operasi ekstensif dan tersebar di berbagai lokasi.
Kerangka Pelaporan GRI mengandung kandungan isi umum dan sektor secara spesifik yang telah disetujui oleh berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia dan dapat diaplikasikan secara umum dalam melaporkan kinerja keberlanjutan dari sebuah organisasi. Panduan Pembuatan Laporan Berkelanjutan terdiri atas Prinsip-prinsip Pelaporan, Panduan Pelaporan dan Standar Pengungkapan (termasuk di dalamnya Indikator Kinerja) Elemen-elemen ini dipertimbangkan memiliki bobot dan kepentingan yang sama. Kerangka Pelaporan itu terdiri dari : Bagian 1 – Panduan dan Prinsip Pelaporan Untuk membantu dalam menentukan apa yang harus dilaporkan, bagian ini mencakup Prinsip Pelaporan terkait materialitas, pelibatan pemangku kepentingan, konteks keberlanjutan dan kelengkapan laporan, beserta seperangkat Alat Penguji singkat untuk setiap Prinsip. 1.
Menetapkan Isi Laporan
Dalam rangka menjamin penyampaian kinerja organisasi yang seimbang dan masuk akal, harus dibuat penetapan mengenai isi yang harus dicakup dalam laporan. Penetapan ini harus dibuat dengan mempertimbangkan tujuan dan pengalaman organisasi, serta harapan dan kepentingan yang masuk akal dari para pemangku kepentingan. Keduanya merupakan referensi penting dalam menentukan hal apa yang harus dimasukkan dalam laporan. 2.
Prinsip Pelaporan untuk Menetapkan Kualitas
Bagian ini mengandung Prinsip-prinsip yang mengarahkan pilihan dalam menjamin kualitas dari informasi yang dilaporkan termasuk penyajiannya yang memadai. Kebijakan terkait proses penyiapan informasi dalam pembuatan laporan harus konsisten dengan Prinsip ini. Semua prinsip ini sangat fundamental bagi terwujudnya transparansi yang efektif. Kualitas informasi akan memungkinkan pemangku kepentingan untuk membuat penilaian yang masuk akal serta tindakan yang memadai terkait kinerja organisasi 3.
Panduan Pelaporan untuk Menetapkan Batas
Batasan Laporan Keberlanjutan harus memasukkan entitas di mana organisasi memiliki pengendalian yang memadai atau pengaruh yang signifikan baik entitas hulu (misalnya rantai pasokan) maupun hilir (misalnya distribusi dan konsumen). Bagian 2 – Standar Pengungkapan Mengenai Standar Pengungkapan yang harus dimasukkan dalam laporan keberlanjutan. Terdiri dari : 1. Strategi dan Profil Strategi dan Analisis
Bagian ini ditujukan untuk menyediakan pandangan strat-egis tingkat tinggi mengenai hubungan organisasi dengan keberlanjutan dalam upaya menyediakan konteks laporan yang lebih detail seperti dalam sektor lainnya pada Pand-uan. 2. Profil Organisasi 2.1. Nama organisasi. 2.2. Merek, produk, dan atau jasa utama. 2.3. Struktur operasional organisasi, termasuk didalamnya divisi utama, perusahaan yang menjalankan usaha (operating companies), perusahaan anak (anak peru-sahaan) dan usaha patungan. 2.4. Lokasi kantor pusat organisasi. 2.5. Jumlah negara di mana perusahaan beroperasi, serta nama negara di mana operasi utama dilaksanakan, atau yang relevan dengan isu keberlanjutan yang dicakup dalam laporan. 2.6. Sifat kepemilikan dan bentuk legal. 2.7. Pasar yang dilayani (termasuk di dalamnya diperinci berdasarkan geografi, sektor yang dilayani dan jenis konsumen/penerima manfaat). 2.8. Skala organisasi, termasuk di dalamnya: • Jumlah pegawai; • Penjualan Netto (untuk organisasi sektor privat) atau pendapatan netto (untuk organisasi sector 3. Parameter Laporan Profil laporan 3.1 Periode pelaporan (misalnya tahun fiskal/kalender) 3.2 Tanggal dari laporan sebelumnya yang paling baru (jika ada). 3.3 Siklus Pelaporan (tahunan, dua tahun sekali, dan sebagainya). 3.4 Alamat Kontak apabila ada pertanyaan terkait laporan 4.
Tata Kelola, Komitmen, dan Keterlibatan 4.1 Tata kelola Struktur tata kelola organisasi, termasuk komite di bawah badan pengelola tertinggi yang bertanggung jawab untuk tugas khusus, seperti dalam menetapkan strategi atau mekanisme pengawasan organisasi. 4.2 Komitmen terhadap inisiatif eksternal Penjelasan mengenai bagaimana pendekatan atau prinsip pencegahan digunakan oleh organisasi.
4.3 Keterlibatan pemangku kepentingan Item pengungkapan berikut merujuk kepada pelibatan pemangku kepentingan secara umum yang dilakukan oleh organisasi selama periode laporan. Pengungkapan ini tidak terbatas hanya pada implementasi pelibatan pemangku kepentingan untuk tujuan penyiapan sebuah laporan keberlanjutan. 5.
Tanggung jawab pada Lingkungan
Dimensi Lingkungan dari keberlanjutan yang mempengaruhi dampak organisasi terhadap sistem alami hidup dan tidak hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara. Indikator Lingkungan meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (misalnya material, energi, dan air) dan output (misalnya emisi, air limbah, dan limbah). Sebagai tambahan, indikator ini melingkupi kinerja yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati), kepatuhan lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran lingkungan (environmental expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan jasa. Penjelasan Pendekatan Manajemen a. Berikan penjelasan singkat mengenai Pendekatan Manajemen terhadap Aspek Lingkungan seperti tercantum di bawah ini: o Material o Energi o Air o Biodiversitas o Emisi, Efluen dan Limbah o Produk dan Jasa o Kepatuhan o Transportasi; dan o Keseluruhan b. Tujuan dan Kinerja Tujuan keseluruhan organisasi terhadap kinerja yang berhubungan dengan Aspek Lingkungan. Gunakanlah Indikator spesifik organisasi yang ditambah dengan Indikator Kinerja GRI untuk menunjukkan hasil dari kinerja terhadap tujuan. c. Kebijakan Secara singkat, kebijakan organisasi secara keseluruhan yang menentukan komitmen organisasi terhadap Aspek Lingkungan yang tercantum di atas atau yang dapat ditemukan di ruang publik (misalnya weblink). Tanggung Jawab Organisasi: Posisi paling senior dalam tanggung jawab operasional terhadap Aspek Lingkungan atau menjelaskan bagaimana tanggung jawab operasional dibagi pada tingkatan senior.).
d. Pelatihan dan Kesadaran Prosedur yang berhubungan dengan pelatihan dan peningkatan kesadaran yang berhubungan dengan Aspek Lingkungan. e. Pengawasan dan Tindak Lanjut Prosedur yang berhubungan dengan pengawasan dan aksi pencegahan (preventive) dan pembetulan (corrective), termasuk yang berhubungan dengan rantai penyaluran (supply chain). f. Informasi Tambahan Kontekstual Informasi tambahan relevan yang dibutuhkan untuk memahami kinerja organisasi. o Sukses penting dan kekurangan Risiko organisasi lingkungan dan o kesempatan yang berhubungan dengan isu yang berkaitan. o Perubahan utama di dalam periode pelaporan terhadap struktur atau sistem untuk perbaikan kinerja; dan o Strategi penting dan prosedur untuk implementasi kebijakan atau pencapaian tujuan. 6.
Tanggung jawab pada pekerja dan masyarakat
Sama hal nyaseperti tanggung jawab pada lingkungan,tanggung jawab pada pekerja dan masyarakat pun dimulai dari: a. b. c. d. e. f.
Berikan penjelasan singkat mengenai Pendekatan Manajemen Tujuan dan Kinerja Kebijakan Pelatihan dan Kesadaran Pengawasan dan tindak lanjut Informasi Tambahan Kontekstual
2.3 Analisis Kasus 2.3.1 LATAR BELAKANG Semburan lumpur mulai terjadi sejak tanggal 28 Mei 2006 di kawasan Porong, Sidoarjo.Insiden ini terjadi akibat pengeboran gas yang diLakukan oleh PT Lapindo Brantas (saat ini bernama PT Minarak Lapindo Jaya) sedalam 32 km yang menyemburkan gas bercampur lumpur yang ditengarai oleh beberapa pihak sebagai lumpur gunung berapi. Hingga saat ini lumpur terus menyembur dan berbagai cara telah ditempuh untuk menghentikannya, namun belum berhasil.
Perusahaan Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, yang 60% sahamnya dimiliki oleh Bakrie Group, pimpinan Aburizal Bakrie, mantan Menteri Koordinator Perdagangan dan Industri yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial serta merupakan pengusaha ternama di Asia Banyak spekulasi yang berkembang di masyarakat, dari bencana alam hingga kesalahan manusia, dalam hal ini PT Lapindo. Hasil penyelidikan pihak kepolisian juga menemukan adanya kesalahan standar pengeboran dalam kasus ini. Menurut juru bicara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Besar Polisi Bambang Kuncoko, kebocoran selama pengeboran yang dilakukan oleh PT Medicitra Nusantara sebagai sub kontraktor dari PT Lapindo Brantas terjadi pada kedalaman 9.297 kaki di dalam sumur gas yang sedang dibor. Menurut Bambang Kuncoko, baik sub kontraktor maupun kontraktor harus bertanggung jawab. Selain tidak menggunakan casing dalam proses pengeborannya, prosedur pengeboran P.T Lapindo Brantas juga diduga menggunakan teknik pengeboran bertekanan rendah (a low pressure drilling technique) dan juga tidak ada pengawasan dari pihak perusahaan serta Kementerian Lingkungan Hidup. Tanpa adanya lapisan pengaman (casing), benda cair dari berbagai tingkatan dapat masuk lubang yang dibor dan menyembur ke permukaan. Akibat yang ditimbulkan oleh Insiden lumpur sidoarjo ini adalah kerugian yang sangat fatal bagi masyarakat yang tinggal di daerah sekitar kejadian.Penanganan kasus dan upaya untuk membantu masyarakat korban terus dilakukan baik dari segi kebijakan dan tindakan hukum. Namun hingga saat ini permasalah ganti rugi ini belum diselesaikan total oleh PT Minarak Lapindo Jaya.
2.3.4 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Kasus Lapindo Brantas ini mengingatkan kita betapa para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan di negeri kita belum memahami benar arti penting tanggung jawab perusahaannya terhadap lingkungan luar perusahaan. Sebagai buntut dari ketidakpedulian Lapindo Brantas Inc. terhadap kewajibannya memelihara keberdayaan alam dan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar, perusahaan itu kini menghadapi klaim tuntutan dari pihak-pihak yang dirugikan, tokoh masyarakat, dewan perwakilan rakyat (daerah maupun pusat), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak yang concern masalah kelestarian lingkungan (dosen, budayawan, pemerhati lingkungan, dll) yang berujung pada kerugian finansial yang sangat signifikan yang tidak mustahil dapat menyebabkan kolaps pada perusahaan.Tuntutan itu belum termasuk ancaman sanksi pidana penjara dan denda kepada badan usaha dan pihak-pihak yang memberikan perintah dalam tindakan pencemaran lingkungan sebagaimana diatur dalam Bab IX Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. kasus semburan lumpur di Sidoarjo sekali lagi membuktikan bahwa tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah mutlak harus dipenuhi dan bukan sebatas jargon belaka. 2.3.4 Analisis Dari Segi Etika Bisnis Mengenai Lumpur Lapindo
Dari uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyebab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas jelas telah melanggar etika dalam berbisinis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan social. Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi asset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan social yang mereka timbulkan. Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip-prinsip etika yang ada. Prinsip mengenai hak dan deontology yang menekankan bahwa tiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi dengan adanya perisyiwa lumpur panas tersebut, warga justru mengalami dampak kualitas lingkungan yang buruk. Sedangkan perspektif utilitarisme menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan pengehematan biaya operasional pada pemasangan chasing, sehingga menimbulkan bencana yang besar. Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributive juga dilanggar oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil dan keadilan social. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesame manusia atau lingkungan, karena menganngap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang kemudian dijadikan alas an perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan. Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk pengabdian etika dalam berbisnis akan mengancam kemanan dan kelangsungan perusahaan itu sendiri. 2..3.2 Kasus Lapindo sebagai suatu Bisnis Tak Beretika Secara konsep kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang terkait dengan sumber daya alam. Peraturan yang dibuat cenderung mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal. Lemahnya implementasi di bidang hukum yang mengatur pelaksanaan dan pengawasan pelestarian terjadi juga di bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dalam implementasinya hanya merupakan kebijakan yang bersifat
reaktif dan sesaat (temporary) atau suatu kebijakan yang secara konsep bagus tetapi dalam pelaksanaannya tidak terpantau secara berkesinambungan, lemah dalam manajemen kontrol, cenderung tidak konsisten dan persisten. Hal yang serupa disampaikan bahwa tingginya kerusakan sumber daya alam hayati di Indonesia disebabkan salah satunya adalah banyaknya kebijakan sektoral dan bersifat eksploitatif yang saling tumpang tindih dalam pengelolaan sumber daya alam. Dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Berbagai bencana terjadi silih berganti, mulai dari bencana yang diakibatkan oleh dampak fenomena alam seperti Tsunami di Aceh, tanah longsor dan banjir di berbagai daerah sampai pada bencana yang diakibatkan adanya faktor kelalaian manusia dalam usaha mengeksploitasi alam tersebut seperti kasus Teluk Buyat di Sulawesi, Freeport di Papua sampai dengan yang sekarang menjadi bencana nasional yaitu kasus semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur. Kasus luapan lumpur Lapindo adalah salah satu contoh kebijakan pembangunan yang dalam implementasinya telah terjadi pergeseran orientasi, yaitu kebijakan pembangunan yang cenderung mengabaikan faktor kelestarian lingkungan. Atau suatu kebijakan yang tidak memasukkan faktor lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaannya. Salah satu contohnya adalah tidak ditepatinya kebijakan lingkungan yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebelum suatu perusahaan mendapatkan ijin untuk melakukan usahanya. Pertimbangan kebijakan lingkungan tersebut antara lain : jarak rumah penduduk dengan lokasi eksplorasi, mentaati standar operasional prosedur teknik eksplorasi, dan keberlanjutan lingkungan untuk masa yang akan datang. Secara garis besar pelaksanaan, pengawasan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup dijalankan perangkat hukum antara lain AMDAL yang merupakan suatu prosedur preventif yang memberikan analisa menyeluruh dan terinci tentang segala dampak langsung yang mungkin timbul dari proyek yang direncanakan, cara-cara yang mungkin mengatasinya dan rencana kerja untuk mengelola, mengawasi dan mengevaluasi dampakdampak yang ditimbulkan dan efektifitas pelaksanaan rencana kerja. Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut. Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas
panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan berbagai pihak selama ini antara lain :
Lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Hingga kini sudah 25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang berakibat hilangnya mata pencaharian ribuan karyawan yang bekerja pada sektor industri tersebut. Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya jalan, jalan tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api dll. Kerugian di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur, menggenangi sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini, serta memindah paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Dampak sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila berlebihan menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan akumulasi yang berlebihan pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan. Hasil uji laboratorium juga menemukan adanya kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya yaitu kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang batas. Hasil uji kualitas air lumpur Lapindo pada tanggal 5 Juni 2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur, menunjukkan bahwa uji laboratorium dalam air tersebut terdapat kandungan fenol. Kontak langsung dengan kulit dapat mengakibatkan kulit seperti terbakardan gatal-gatal. Fenol bisa berakibat menjadi efek sistemik atau efek kronis jika fenol masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol bisa mengakibatkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantungberdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa selain dampak kerusakan lingkungan fisik, lumpur panas tersebut juga mengakibatkan ancaman lain yaitu efek kesehatan yang sangat merugikan dimasa yang akan datang dan hal ini justru tidak diketahui olehmasyarakat korban pada umumnya.
Dalam arti gramatikal, kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian kejahatan korporasi adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang berlanjut mengenai adanya
kesalahan manusia atau human error dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain adalah merupakan perbuatan tindak pidana. Human error yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi. Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus Lapindo ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasalpasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana (KUHP) dan hukum
Perdata (KUHPer). Sampai dengan saat ini bahwa upaya dalam penanggulangan dampak tersebut dirasakan berbagai pihak kurang optimal dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi. Hingga saat ini tindakan nyata dari Lapindo Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada Blok Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan sistematis. Peristiwa ini tentu saja mengundang masyarakat untuk berkomentar terhadap pertanyaan dimana dan sampai sejauh mana letak pertanggungjawaban Lapindo Brantas Inc. 2.3.3 Dampak Lumpur Lapindo Sidoardjo sebagai Bukti Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup Telah terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimana kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo
jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa. Didalam kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dibayangkan, terdapatnya ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009 terhadap penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung dapat terselesaikan dengan secara damai. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dari berbagai aspek yang seharusnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana. Lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang ditempuh oleh masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut. Dalam Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan. Berdasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta
pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas In dengan menugaskan Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas yang beracun. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya lumpur Lapindo yang telah dijelaskan tersebut diatas.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, melainkan juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya.
CSR merupakan suatu konsep terintegrasi yang menggabungkan aspek bisnis dan sosial dengan selaras agar perusahaan dapat membantu tercapainya kesejahteran stakeholders, serta dapat mencapai profit maksimum sehingga dapat meningkatkan harga saham. CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines, yaitu: Profit (keuntungan), People (masyarakat) dan Planet (lingkungan) CSR merupakan salah satu hal yang memiliki peranan yang cukup penting dalam hal keberlangsungan hidup suatu perusahaan. Apabila perusahaan mengabaikan tanggung jawab sosialnya, maka hal tersebut dapat mengganggu going concern perusahaan yang berupa tuntutan dari lingkungan internal dan eksternal perusahaan khususnya masyarakat. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi terganggungnya going concern perusahaan perlu sikap yang tegas dan komitmen yang tinggi dari pihak perusahaan untuk menjaga hubungan yang baik dan berkesinambungan terhadap stakeholders nya. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah perusahaan memperhatikan tanggung jawab sosialnya biasanya akan tampak pada kinerja perusahaan dan penampilan finansialnya dimana kondisi dan posisi keuangan perusahaan mengalami perubahan dan hal ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang sadar akan pentingnya memperhatikan tanggung jawab sosial bagi pertumbuhan dan keberlangsungan usahanya.
Dengan adanya pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dikelola dengan baik maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Selain itu perusahaan dapat pula melindungi lingkungan sekitar agar terjadi keharmonisasian antara perusahaan dengan lingkungan sekitar dan masyarakat.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA Brooks, L.J. (2004). Business and Professional Ethics for Accountants. South-Western College Publishing. Agoes, Sukrisno.(2009).Etika Bisnis dan Profes:Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya.Jakarta:Salemba Empat Cahyandito, M. Fani. Pembangunan Berkelanjutan, Ekonomi Dan Ekologi, Sustainability Communication Dan Sustainability Reporting. Http://Pustaka.Unpad.Ac.Id/WpContent/Uploads/2009/06/Jurnal_Lmfe_Pemb_Berkelanjutan-Ekonomiekologi-Sust_CommSust_Rep_Fani.Pdf. [28 Mei 2011] Hendriyeni, Nora Sri. 2011. People, Planet, Profit Dan Akuntan Http://Www.PpmManajemen.Ac.Id/Index.Php?Wb=09&Mib=Ppm_Articles.Detail&Id=5. [28 Mei 2011] Tanggung jawab sosial perusahaan. http://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan. [29 Mei 2011]