Everything to Explore
As photographer, try to shoot any subject & in any situation
Gorgeousness in the Morning Glory
Edisi 44, Maret 2012
Melasti, a Ritual of Cleansing
Capturing grandeur in tiny dewdrops
Religious activity toward Nyepi (Seclusion) Day
Enchanting Ranu Kumbolo, Amazing Bromo Canon EOS 5D Mark III Lomba Foto Bulanan
Capture the magnificence!
US$ 3.449 untuk fitur-fitur yang kian ampuh
Foto pemenang Canon-FN Lomba Foto Tema Bulanan
contents
CONTENTS 54 snapshot
Edisi 44, Maret 2012
Info Aktual, Berita Komunitas, Agenda
122 bazaar
Panduan Belanja Peralatan Fotografi
Everything to Explore
Melasti, a Ritual of Cleansing
Capturing grandeur in tiny dewdrops
Religious activity toward Nyepi (Seclusion) Day
Enchanting Ranu Kumbolo, Amazing Bromo Canon EOS 5D Mark III Lomba Foto Bulanan
124 users’ review
As photographer, try to shoot any subject & in any situation
Gorgeousness in the Morning Glory
Edisi 44, Maret 2012
Kamera Nikon D5100
Capture the magnificence!
US$ 3.449 untuk fitur-fitur yang kian ampuh
Foto pemenang Canon-FN Lomba Foto Tema Bulanan
130 index
photo Anom Manik Agung design Philip Sigar Pada ajang bergengsi fotografi jurnalistik dunia, foto karya Samuel Aranda asal Spanyol telah terpilih sebagai Photo of the Year di World Press Photo 2012. Foto tersebut, yang diambil di tengah konflik politik penuh kekerasan di Yaman, menggambarkan seorang lelaki korban konflik dalam pelukan seorang wanita yang mengenakan burka. Kemenangan foto tersebut ternyata telah menimbulkan perdebatan yang lumayan sengit di antara penggiat fotografi, utamanya fotojurnalisme. Ada yang berpendapat bahwa foto tersebut sama sekali tidak menggambarkan apa yang saat ini terjadi di Yaman. Foto Aranda memang berhasil menunjukkan hubungan antara dua subyek di dalamnya; jadi, sebagai portrait, itu bisa diterima. Tapi sebagai foto jurnalistik? Ada yang menilainya tidak tepat. Alasannya, ia sama sekali tidak mendeskripsikan keadaan yang sesungguhnya, bagaimana kemarahan dan tersiksanya rakyat di negeri itu. Memang sih, jika meletakkannya bersama fotofoto karya Aranda lainnya yang diambil di tengah krisis Yaman, foto tersebut tampak menonjol dan bisa dipahami kenapa menjadi foto yang penting.
78
04 .: Skill First Instead of Gear Our fellow photographer from the Philippines is sharing his photos and experience here. He suggests that instead of upgrading our gear why not upgrade our skill first.
Melasti, :. a Ritual of Cleansing
Small is beautiful. As a matter of fact, we can discover it in the morning through dewdrops on the grass. This is how to capture their gorgeousness.
Enchanting Ranu Kumbolo, :. Amazing Bromo
Nyepi (Seclusion) Day for Hindus will be on March 23 this year. Three or two days before it, a kind of cleansing ritual for self and the nature called Melasti is held.
20
:. Gorgeousness in Dewdrops
96
:. Pemenang Lomba Foto Bulanan
From Ranu Kumbolo to Bromo in the Bromo Semeru Tengger National Park we can find a lot of beauty while adventuring. Get your camera ready for capturing the magnificence.
Simak foto pemenang Canon-FN Lomba Foto Tema Bulanan
28
Pendapat lain yang lebih unik adalah yang memandang foto tersebut sebagai ikonografi keagamaan. Para kritikus menyebut foto Aranda merupakan ikonografi kristiani yang mengacu pada Pieta, yang menggambarkan Bunda Maria memeluk tubuh Yesus setelah diturunkan dari kayu salib. Dengan interpretasi semacam itu, sejumlah kritikus memandang adanya pemaksaan masuknya elemen kristiani pada agama lain.Mungkin di antara para pemeluk Kristen, mereka akan menghubunghubungkannya dengan Pieta; namun bagi orangorang Islam, barangkali mereka tak paham atau malah tak hirau bila ada koneksitas semacam itu, sehingga tak ada yang perlu dipermasalahkan. Kita boleh saja memperdebatkan foto Aranda, tapi kita juga perlu mendengarkan pendapat sang fotografernya sendiri. Ketika ditanya oleh British Journal of Photography tentang fotonya itu, Aranda mengatakan: “Saya tak punya maksud apa-apa. Tahulah Anda bagaimana situasi saat itu yang benar-benar tegang dan kacau. Dalam situasi seperti itu, Anda hanya memotret. Begitulah adanya. Kami hanya fotografer. Saya hanya bekerja. Saya hanya menyaksikan apa yang terjadi di depan mata saya dan memotretnya. Itu saja.” Nah, apa dan bagaimana pun perdebatannya, kita pantas memberi selamat kepada Samuel Aranda. Hasil jerih payahnya di tengah situasi yang sulit di Yaman patut kita hargai, bahkan setinggi-tingginya.
64
.: Bergiat dengan Kamera Lubang Jarum Berkedudukan di Bali, komunitas fotografi ini menitikberatkan kegiatannya pada fotografi lubang jarum alias pinhole selama dua tahun terakhir.
Buku Baru: :. Photography from My Eyes Ditulis oleh fotografer asal Surabaya, buku ini menawarkan pengayaan visual
55
Salam, Farid Wahdiono 2
36
2012-44
54
.: Canon EOS 5D Mark III Telah Hadir Kamera terbaru Canon EOS 5D Mark III sudah diluncurkan. Harganya US$ 3.449.
fotografer edisi ini
Ruel Tafalla
Irham Rahadian
Nugroho Ak
Teguh Santosa
Novi Tri Gogon
M. Fathra Nazrul I.
Anom Manik Agung
Agus Nonot
Fransisca Ria Susanti
Sambodo
Supriyanto
Armita Budiyanti
Adhitya Angga
Daus
Herman
Dwiky Kurniawan
Hary Muhammad
Muh. Rafiuddin
I Wayan Madu Sedana
Mohamad Zainuri
I Wayan Semara Putra
Ruli Amrullah
:. Gallery Foto-foto kiriman Anda yang telah diseleksi oleh Redaksi. Nikmati, dan silakan berpartisipasi.
Hak Cipta Dilarang mengutip menyadur/menggandakan/ menyebarluaskan isi majalah tanpa izin redaksi. Hak cipta tulisan ada pada penulis dan hak cipta foto ada pada fotografer, dan dilindungi undang-undang. Setiap fotografer dianggap telah memperoleh izin dari subyek yang difoto atau dari pihak lain yang berwenang atas subyek tersebut. 2012-44
3
be inspired
The Limit is Our
Imagination Photos & Text: Ruel Tafalla
4
2012-44
2012-44
5
be inspired
I
t was in 1999 when I started to like photography. It was my second year working and living in Indonesia as an engineer when my technicians showed me photos in black and white which they took. I was awestruck. I got bitten by the bug. It was a routine; working on weekdays and shooting on weekends, using up to 3 to 5 rolls of films every weekend; 80 percent rubbish was produced for a year.
S
aya mulai tertarik pada dunia fotografi sejak tahun 2009. Saat itu saya sudah dua tahun tinggal dan bekerja di Indonesia. Saya seorang engineer, dan teknisi-teknisi saya menunjukkan beberapa foto hitam-putih hasil jepretan mereka. Saya terhenyak begitu melihatnya; seperti tersengat lebah. Begitulah rutinitas di lingkungan kami; kami bekerja selama hari kerja dan memotret di akhir pekan, rata-rata menghabiskan 3 sampai 5 rol film tiap minggunya; 80 persen hasil yang kami dapat selama setahun sangat tidak memuaskan.
6
2012-44
2012-44
7
be inspired
8
2012-44
2012-44
9
be inspired
Engineer to Photographer I practiced shooting in zoos, bird parks, botanical gardens, parks and the islands near Batam like Barelang. I was always fascinated in shooting landscapes, travelled a few places in Asia, Europe and the US. I joined the first Crossing Bridges (an annual event of the fellowship of online photography forums on five ASEAN countries: Indonesia, Singapore, Malaysia, Vietnam and the Philippines) which was held in Yogyakarta, Indonesia. I started shooting portraits. I felt as a photographer we should be able to shoot in any situation and any subject matter. I also explored weddings. I was tired of doing the same thing everyday when I was working as an engineer. In 2007, I quit my job and went to the US to study graphic design. I and my brother set up a photography business. That’s how it all started. Back to the Philippines, I started a small photography business and also started organizing shoots and workshops; sharing what I learned in Indonesia and the US. To date I shoot everything from cars to pets to weddings etc., manage a studio and teach photography and Photoshop. So now I am doing my hobby and earning from it.
Dari Engineer ke Fotografer Saya berlatih memotret di kebun binatang, taman burung, kebun raya, taman dan pulau-pulau di sekitar Batam, misalnya Barelang. Saya sangat menikmati memotret lanskap, dan saya pun memburunya sampai ke berbagai tempat di Asia, Eropa, dan AS. Saya ikut serta dalam acara Crossing Bridges (acara tahunan bagi komunitas/ forum fotografi online di lima negara ASEAN: Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipina) yang pertama kali diadakan di Yogyakarta, Indonesia. Saya pun mulai memotret portrait. Menurut saya, seorang fotografer harus bisa memotret apa saja, dalam keadaan bagaimanapun. Saya juga bereksplorasi dengan fotografi pernikahan. Sebagai seorang engineer, saya dihadapkan pada pekerjaan yang sama setiap hari, dan ini membuat saya lelah. Tahun 2007, saya berhenti dari pekerjaan saya dan hijrah ke AS untuk mengambil studi desain grafis. Kemudian, bersama saudara laki-laki saya, kami mulai membangun bisnis fotografi. Begitulah awal mulanya. Sekembalinya ke Filipina, saya membuka bisnis fotografi kecil-kecilan sambil juga mulai mengorganisasi hunting dan workshop; pendeknya, saya membagikan apa yang telah saya pelajari, baik selama di Indonesia maupun di AS. Hingga kini, saya masih memotret apa saja—dari mobil, hewan peliharaan, sampai pernikahan dan banyak lagi. Saya juga menjalankan sebuah studio foto serta mengajar fotografi dan Photoshop. Bisa dibilang, saya hidup dari hobi yang saya tekuni ini.
10
2012-44
be inspired
12
2012-44
2012-44
13
be inspired
Shoot from the Heart Usually when I shoot, I visualize which will come out nice, what lighting do I need to set up. A day before the shoot, I prepare pegs/concepts, show it to my subject, discuss things that we will do to make the shoot successful. When doing commercial photos, the most important thing is that the customer is always right. So, I follow first then suggest another concept when we have done what they want. If you ask me some special photography tips from me, actually I do not have them. When I shoot, I shoot from the heart. I shoot what I like. However, I always advice photographers to learn how to compose, and instead of upgrading your gear why not upgrade your skills first. I always keep this in mind: our creativity is only limited by our imagination.
Memotret dengan Hati Saat memotret, biasanya saya memvisualisasikan bagaimana agar hasilnya bagus, dan pencahayaan seperti apa yang dibutuhkan. Sehari sebelum pemotretan, saya terlebih dulu menyiapkan gambaran dasar/konsep, menunjukkannya pada orang yang akan saya potret, dan mendiskusikan hal-hal yang perlu kami lakukan demi kelancaran pemotretan. Saat memotret untuk permintaan komersial, hal terpenting yang harus diingat adalah bahwa klien adalah pihak yang selalu benar. Maka, saya biasanya mengikuti dulu apa yang mereka inginkan, baru kemudian menyarankan konsep lain. Jika ditanya tentang tip-tip khusus dalam fotografi, saya tidak bisa bicara banyak karena saya tidak punya tip tertentu. Saat memotret, saya melakukannya dari hati. Saya memotret apa yang saya suka. Walau begitu, saya tetap menyarankan para fotografer untuk belajar mengatur komposisi. Selain itu, daripada menambah atau meng-upgrade alat, lebih baik kita meningkatkan kemampuan kita lebih dulu. Hal ini pun selalu saya camkan dalam pikiran saya: kreativitas kita hanya bisa dibatasi oleh imajinasi kita sendiri. (Versi bahasa Indonesia oleh Widiana Martiningsih)
14
2012-44
2012-44
15
be inspired
16
2012-44
2012-44
17
be inspired
Ruel Tafalla
[email protected] http://www.rueltafalla.com http://rueltafalla.multiply.com Currently based in Manila, Philippines, he manages Lensmates Studio -- a 180sqm floor area that is capable to shoot 2 SUV cars at the same time. He also teaches photography on weekends plus the usual shoots during Friday night and Sunday morning.
18
2012-44
2012-44
19
pictures of the month WINNER BY INugroho Ak
Knight Formerly, knight used to refer to a certain social class. But nowadays, according to a dictionary, it refers to a person invested by a sovereign with a nonhereditary rank and dignity usually in recognition of personal services, achievements, etc. (From “Canon-FN Lomba Foto Tema Bulanan 2011: Ksatria”)
20
2012-44
2012-44
21
pictures of the month
HONORABLE MENTION BY M. Fathra Nazrul I
22
2012-44
2012-44
23
pictures of the month
HONORABLE MENTION BY Fransisca Ria Susanti
24
2012-44
2012-44
25
pictures of the month
NOMINEE BY Armita Budiyanti NOMINEE BY Herman
PENGUMUMAN
Terhitung sejak November 2010, rubrik Pictures of the Months dipadukan dengan Canon & FN Lomba Foto Bulanan. Dengan demikian, untuk foto-foto yang diikutkan lomba, silakan Anda upload di Fotografer.net (www.fotografer.net) sesuai tema yang telah ditentukan. Setiap bulannya Exposure akan memuat foto-foto pemenang (1 juara bulanan, 2 honorable mention, dan 2 foto yang masuk nominasi) di rubrik ini. 26
2012-44
2012-44
27
gallery
Gallery 28
2012-44
BY AGUS NONOT SUPRIYANTO
2012-44
29
gallery
BY Hary Muhammad
30
2012-44
2012-44
31
gallery
BY Daus BY Ruli Amrullah
32
2012-44
2012-44
33
gallery
Please send your photos for this Gallery to:
[email protected]
34
2012-44
BY Mohamad Zainuri
2012-44
35
essay
Melasti, Macrocosmic & Microcosmic Cleansing Photos & Text: Anom Manik Agung 36
2012-44
2012-44
37
essay
A
long a beach in Bali, hundreds to thousands of people gathered in the religious ritual of Melasti. The ritual of Melasti is also conducted by any other Hindu fellows spread in various places around Indonesia and the globe; it is a ritual of cleansing before the Nyepi Day comes. This year, the Nyepi (the Çaka New Year 1934) Day will fall on March 23. The ritual of Melasti, also known as Melis or Mekiyis, is to be held two or three day before Nyepi. During Melasti, all tools and equipments used for worship are carried to the beach or lake. The Hindus believe that the beach or lake is the source of the tirta amerta (sacred water) having the power to purify all leteh (dirty aspects) within the self and the nature. After the ritual of Melasti is completed, there will be the Tawur Kesanga ceremony, which is to be held a day before Nyepi. In Bali, the Tawur Kesanga ceremony is usually held at all levels—from families, sub-village, traditional village, district, regency, to province. The ceremony aims to improve a balanced, harmonic relationship among men and between them and the environment as well as with God the Almighty. In the evening, Tawur Kesanga will end by what is called “Ngerupuk”, a parade of ogohogoh (puppets, usually in enormous size), which symbolizes the effort to neutralize the universe by eliminating bhutakala (all the negative power or force)—the invisible spirit/being. During Nyepi, the Hindus conduct Catur Bratha Penyepian (the four abstinences) the whole day. The four abstinences are amati geni (no fire/lighting), amati karya (no working), amati lelungan (no traveling/ going outside the house), and amati lelanguan (no entertainment). By doing all the abstinences, the Hindus are restraining their humanly desires and any other evil wills in order to achieve spiritual tranquility and peace. (English version by Widiana Martiningsih)
38
2012-44
2012-44
39
essay
40
2012-44
2012-44
41
essay
D
i salah satu pantai di Bali, ratusan bahkan ribuan orang berkumpul dan melakukan persembahyangan dengan khusuk dalam prosesi Melasti. Hal serupa juga dilakukan oleh umat Hindu Dharma di tempat lainnya di seluruh Indonesia, bahkan dunia, untuk melakukan penyucian menjelang Hari Raya Nyepi. Nyepi (Tahun Baru Saka 1934) pada tahun ini jatuh bertepatan dengan tanggal 23 Maret. Upacara Melasti, disebut juga Melis atau Mekiyis, biasanya dilakukan tiga atau dua hari sebelum Nyepi. Di saat Melasti itu, segala sarana persembahyangan yang ada di pura (atau tempat suci lainnya) di arak ke pantai atau danau. Bagi umat Hindu, laut atau danau merupakan sumber air suci (tirta amerta), dan bisa menyucikan segala leteh (hal-hal yang kotor) di dalam diri manusia dan alam. Setelah Melasti, ada upacara Tawur Kesanga yang diselenggarakan sehari menjelang Nyepi. Di Bali, pelaksanaan Tawur Kesanga dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, dusun, desa adat, kecamatan, kabupaten/kota hingga tingkat provinsi. Kegiatan tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan yang Maha Esa. Tawur Kesanga yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan “Ngerupuk,” dengan mengarak ogoh-ogoh yang bermakna menetralkan alam semesta. Ini dimaksudkan untuk meniadakan semua kekuatan dan pengaruh negatif bhutakala – roh atau makhluk yang tidak kelihatan secara kasat mata. Di saat Nyepi selama sehari-semalam, umat melakukan Catur Bratha Penyepian yang terdiri atas empat macam pantangan, yaitu amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan ini dilakukan untuk mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai ketenangan dan kedamaian batin.
42
2012-44
2012-44
43
essay
44
2012-44
2012-44
45
essay
46
2012-44
2012-44
47
essay
48
2012-44
2012-44
49
essay
50
2012-44
2012-44
51
essay
Anom Manik Agung
[email protected] Professional photographer based in Denpasar, Bali 52
2012-44
2012-44
53
snapshot | info aktual
Canon EOS 5D Mark III
US$ 3.449
Dipersenjatai teknologi pemrosesan paling mutakhir, DIGIC 5+, 5D Mark III juga dilengkapi dengan fungsi-fungsi video canggih yang menawarkan kualitas gambar lebih bagus, di samping juga kontrol audio yang lebih jempolan.
“Photography from My Eyes” untuk Pengayaan Visual
“EOS 5D Mark III merepresentasikan kemajuan besar pada seri EOS 5D,” kata Kieran Magee, Direktur Pemasaran, Professional Imaging, Canon Eropa, dalam siaran persnya. “EOS 5 D Mark II merupakan kamera istimewa dan kami telah mendengarkan dengan seksama feedback dari komunitas pengguna setianya untuk meningkatkan performa di semua lini.”
Setelah sekian lama menjadi bahan perbincangan dan kasak-kusuk, Canon EOS 5D Mark III kini benar-benar hadir. Pihak Canon baru saja (2/3) mengumumkan peluncuran EOS 5D Mark III. Dibangun berdasarkan pendahulunya, 5D Mark II, produk terbaru ini tentu saja sudah ditingkatkan performanya mulai dari kecepatan, resolusi, daya pemrosesannya serta opsi-opsi kreatifnya baik untuk urusan foto maupun video Full-HDnya – tentunya sekaligus menawarkan kebebasan berkreasi bagi fotografer.
Setelah mendapatkan feedback dari para fotografer di berbagai belahan dunia, pada 5D Mark III tentu saja telah dilakukan penyempurnaan di semua lini. Kamera dengan sensor full-frame 22,3 MP ini menawarkan keseimbangan resolusi untuk foto dan video HD dan kecepatan hingga 6 frame per detik (fps) untuk continuous shooting-nya. Sementara itu, sistem AF 61poin dan metering 63 zone yang dimilikinya menyodorkan kecepatan, fleksibilitas dan akurasi yang lebih ampuh.
Berikut ini fitur-fitur utama EOS 5D Mark III: • Sensor full-frame 22,3 MP • Otofokus 61 poin • Continuous shooting hingga 6 fps • Sensitivitas ISO-nya 100 sampai 25.600 • Video Full-HD dengan kontrol manual • Prosesor DIGIC 5+ 14-bit • Perlindungan terhadap cuaca sudah ditingkatkan • Layarnya 3,2 inci dengan 1.040.000 dot • Mode HDR dengan preset
Kamera 46MP Generasi Baru
Bulan Februari 2012, Sigma Corporation of America memperkenalkan dua seri kamera terbarunya sekaligus—DP1 Merrill dan DP2 Merrill. Termasuk dalam jajaran seri Merrill yang baru diluncurkan, kedua seri kamera ini hadir dengan sensor APS-C X3 46MP sebagai fitur andalannya. 54
2012-44
Tambah lagi, DP1 dan DP2 Merrill juga dibangun dengan prosesor gambar ganda TRUE (three-layer responsive ultimate) II yang menjamin kecepatan tinggi saat
Buku tersebut menjabarkan korelasi antara fotografi dan kemampuan memahami warna, bentuk-bentuk geometris, angle dan komposisi. Kesemuanya dijelaskan dalam logika sistematis untuk mempermudah pemahaman terhadap fotografi secara komprehensif. “Saya berusaha menawarkan pemikiran baru mengenai konsepsi sistemisasi foto agar kita semakin mudah memahami fotografi secara integral,” tutur Yuyung Abdi, sang penulis buku.
Canon EOS 5D Mark III kini sudah tersedia di beberapa toko online seperti B&H dan Adorama, dengan harga US$ 3.449 (body only). farid
Sigma Merrill Series Sensor 46MP yang ditanamkan dalam kedua kamera ini adalah jenis sensor Foveon X3 penuh warna, yang menjanjikan hasil gambar berdetail luar biasa akurat dengan sentuhan tiga dimensi. Performa lensanya sendiri dijamin memuaskan berkat kaca “F” Low Dispersion (FLD) yang dikembangkan langsung oleh Sigma.
Fotografi bukanlah sekadar kegiatan memotret belaka, melainkan juga mengeksplorasi kolaborasi visual. Buku “Photography from My Eyes” ini menawarkan analisis kuat dan penjelasan yang detail dalam sisi teknis dan nonteknis untuk memberi pengayaan visual bagi para pencinta fotografi.
pemrosesan gambar serta menjanjikan hasil gambar brilian. Keseluruhan fitur ini masih dipoles pula dengan desain badan yang ringkas dan praktis. DP1 Merrill dilengkapi dengan lensa lebar 19mm F2.8 (setara lensa 28mm pada sistem kamera SLR 35mm), sementara DP2 Merrill dilengkapi lensa 30mm F2.8 yang setara dengan lensa 45mm pada kamera SLR 35mm. Nama “Merrill” sendiri dipakai sebagai bentuk penghargaan untuk Richard “Dick” Merrill, salah satu pencipta teknologi Foveon X3 Direct Image Sensor. Resolusi tinggi yang ditawarkan sensor ini juga hadir pada kamera DSLR Sigma SD1, yang kini juga dikenal sebagai SD1 Merrill. cameratown.com | widie
Photography is not just an activity to take photographs, but also to explore visual collaboration. This Photography from My Eyes book offers a strong analysis and detail explanation in technical and non-technical ways in order to give visual enrichment to photography enthusiasts. The book elaborates a correlation between photography and ability to have a good grip of colors, geometrical forms, angle and composition. All are explained in systematical logic to make us easier to understand photography comprehensively. “I try to offer a new thought about conception on photo systemization in order to make us easier to understand photography integrally,” said Yuyung Abdi, the author of the book. Beside a photographer, Yuyung Abdi is currently an editor at Surabaya-based daily newspaper, Jawa Pos, and attending a doctoral program at Airlangga University. Photography from My Eyes is his fourth book after Lensa Manusia (2004), Sex for
Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia (2007), and Surabaya Cantik (2010). Photos could have pictorial, art, documentary, informative, journalistic, scientific and digital-imaging backgrounds that in their creation they have to be based on art of seeing. The art of seeing relates to our capability to understand angle, composition, shooting distance, how to choose lenses and perspectives. “A pictorial photo is different from journalistic one and others as well. Henceforth, in making photos we need to know varied persperctives in photography,” he added. With its tagline “semua hal yang perlu anda ketahui untuk menjadi fotografer serba bisa” (all you need to know for being all-round photographer), the book is already available in some book stores in Indonesia. The price is IDR 114,800 (approx. US$ 12.5).
Selain sebagai fotografer, Yuyung kini juga menjabat sebagai redaktur di harian Jawa Pos, dan sedang menempuh pendidikan S3 Sosiologi di Universitas Airlangga, Surabaya. “Photography from My Eyes” merupakan buku keempat Yuyung setelah “Lensa Manusia” (2004), “Sex for Sale: Potret Faktual Prostitusi 27 Kota di Indonesia” (2007), dan “Surabaya Cantik” (2010). Foto bisa berlatar belakang piktorial, seni, dokumentatif, informatif, jurnalistik, saintifik, maupun digital imaging, yang dalam penciptaannya semua harus didasarkan pada art of seeing. Seni melihat ini berkorelasi dengan kemampuan kita memahami angle, komposisi, jarak memotret, bagaimana memilih lensa dan perspektif. “Foto piktorial berbeda dari jurnalistik dan yang lainnya. Oleh karenanya, dalam membuat foto kita perlu tahu berbagai perspektif dalam fotografi,” imbuh Yuyung. Dengan tagline “semua hal yang perlu anda ketahui untuk menjadi fotografer serba bisa,” buku ini sudah tersedia di sejumlah toko buku. Harganya Rp 114.800. farid 2012-44
55
snapshot | info aktual
Indonesian Photographers’
Pictures Shorlisted in 2012 Sony World Photography Awards pictures; one of them entitled “Prayers at Harbour” – taken at Sunda Kelapa Harbour, Jakarta – is in the shortlist. Compared to 2011 with 105,000 entries from 162 counties, the 2012 competition has garnered increased worldwide interest with over 112,000 entries from 171 countries, with the shortlisted images depicting the stories of extraordinary lives from around the world.
Prayers at Harbour by Tan Nono Rahardian
The shortlist of 2012 Sony World Photography Awards was already announced last month. As reported by Exposure, seven photographers from Indonesia appeared in the shortlist of Open Competition. “I’m glad to have my picture appear in the shortlist,” said Anom Manik Agung, one of the seven Indonesian photographers. He sent his photo entitled “Happy Cheerful” in black-and-white to compete in Smile category. There are 10 categories in Open Competition: Architecture, Arts &
Culture, Enhanced, Low Light, Nature & Wildlife, Panoramic, People, Smile, Split Second, and Travel. The seven Indonesian photographers are Tan Nono Rahardian (Arts & Culture), Handri Fitrido (Nature & Wildlife), Pramiga Aditya (Panoramic), Zulkifli Thalib (People), Ricky Alexander (Smile), Anom Manik Agung (Smile), and Suprijanto Suprijanto (Travel). “I knew the information from Twitter account of Sony Indonesia. Seeing 112.000 entries from 171 countries, of course, I’m happy though my photo just appears in the shortlist,” said Tan Nono Rahardian whose one of his pictures is shortlisted in Arts & Culture category. Tan actually sent three
Beside Open Competition, there is Professional one consisting of 14 categories in three subject genres: Photojournalism & Documentary, Commercial and Fine Art. The Professional Competition reflects a turbulent year of global events with the war in Libya; the Greek and European economic crisis; the Fukushima nuclear disaster in Japan and the fall of Gaddafi, in the Photojournalism & Documentary categories. The shortlist for the Fine Art and Commercial categories gets to the very heart of daily life – a small sheep-farming community in Iceland; the rice harvest in South China; a religious pilgrimage in Poland and gold diggers in Chile. The annual Sony World Photography Awards ceremony and gala dinner will take place on 26 April at the Hilton Hotel in London’s Park Lane. The awards celebration will once again take place alongside World Photo, London, a monthlong event which brings an eclectic mix of photographic events for all to enjoy. Daftar foto pilihan Sony World Photography Awards 2012 telah diumumkan awal Februari lalu. Dalam daftar tersebut, terdapat tujuh nama fotografer Indonesia yang fotonya terpilih untuk kelas Kompetisi Terbuka dalam ajang bergengsi ini. “Saya senang sekali foto saya masuk daftar foto pilihan dalam ajang ini,” tutur Anom Manik Agung, salah satu fotografer Indonesia yang fotonya masuk daftar tersebut. Foto hitam-putihnya yang berjudul “Happy Cheerful” masuk dalam daftar foto pilihan untuk kategori Smile.
Happy Cheerful by Anom Manik Agung
Kelas Kompetisi Terbuka ini memiliki 10 kategori: Architecture, Arts & Culture, Enhanced, Low Light, Nature & Wildlife, Panoramic, People, Smile, Split Second, dan Travel. Ketujuh fotografer Indonesia yang fotonya masuk daftar tersebut—setara dengan daftar finalis—adalah Tan Nono Rahardian (Arts & Culture), Handri Fitrido (Nature & Wildlife), Pramiga Aditya (Panoramic), Zulkifli Thalib (People), Ricky Alexander (Smile), Anom Manik Agung (Smile), dan Suprijanto Suprijanto (Travel). “Saya mengetahui bahwa foto saya masuk daftar foto pilihan dari akun Twitter Sony Indonesia. Bersaing dengan fotografer lain dari 171 negara dengan jumlah foto terkumpul sebanyak 112.000, jelas saya sangat gembira walau foto saya hanya masuk daftar foto pilihan,” ungkap Tan Nono Rahardian yang fotonya masuk daftar foto pilihan dalam kategori Arts & Culture. Dari ketiga foto yang dikirimkannya untuk ajang ini, yang terpilih adalah foto berjudul “Prayers at Harbour”, yang dipotretnya di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Tahun lalu, ajang Sony World Photography Award diikuti oleh fotografer dari 162 negara dengan jumlah foto yang dikirimkan sebanyak 105.000. Tahun ini, ajang kelas dunia ini mengalami peningkatan partisipan; tercatat foto yang dikirimkan sebanyak 112.000 foto dari 171 negara. Semua foto yang dikirimkan untuk ajang ini menggambarkan kehidupan yang luar biasa di seluruh bagian dunia. Selain kelas Kompetisi Terbuka, Sony World Photography Award juga membuka kelas Professional yang melombakan 14 kategori dalam 3 genre utama yaitu Photojournalism & Documentary, Commercial dan Fine Art. Foto-foto yang masuk dalam kategori Photojournalism & Documentary ini menggambarkan beragam peristiwa menarik sepanjang tahun 2011—dari perang di Libya, krisis ekonomi di Eropa dan Yunani, sampai bencana ledakan nuklir di Fukushima (Jepang) dan jatuhnya pemerintahan Khadafi. Sementara itu, kategori Fine Art dan Commercial dipenuhi foto-foto kehidupan sehari-hari—komunitas penggembala domba di Islandia, panen padi di Cina Selatan, sampai ziarah religi di Polandia dan penambang emas di Chili. Upacara penyerahan penghargaan yang disertai makan malam megah sendiri akan diselenggarakan pada 26 April mendatang di Hotel Hilton di London’s Park Lane. Tahun ini pun, penyerahan penghargaan ini akan belangsung bersamaan dengan World Photo yang juga diadakan di London selama sebulan penuh. Kedua acara bekelas ini menjadi perpaduan ekletik yang tak boleh terlewat oleh para pencinta fotografi. farid
snapshot | info aktual
Kisah di Balik Foto Pemenang World Press Photo Contest 2012 World Press Photo (WPP) Contest, yang dianggap sebagai ajang lomba foto paling prestisius di dunia fotografi jurnalistik, telah mengumumkan para pemenang untuk tahun 2012 ini. Samuel Aranda (Spanyol) dari Corbis Image berhasil memenangi penghargaan Photo of the Year. Foto jepretan Aranda—menampilkan seorang wanita Yaman yang sedang merengkuh putranya yang terluka dalam sebuah demonstrasi pada bulan Oktober 2011—terpilih dari total 101.254 foto yang dikirimkan oleh 5.247 fotografer dari 124 negara. Seperti tahun-tahun sebelumnya, foto Aranda ini juga langsung menjadi bahan perbincangan hangat sebagaimana foto-foto yang sebelumnya pernah menyabet penghargaan Photo of the Year di ajang WPP. Fatima Al-Qaws, wanita yang dipotret Aranda, pun kemudian muncul di depan publik, membagikan kisah dan komentarnya seputar foto tersebut. Foto itu sendiri diambil di sebuah rumah sakit darurat pada tanggal 15 Oktober 2011; saat itu, Fatima sedang memeluk putranya, Zayed Al-Qaws (18) yang menjadi korban luka dalam demonstrasi di Yaman. “Waktu itu baru saja terjadi demonstrasi di daerah Al-Zubairy,” tutur Fatima pada Yemen Times. “Saya mendatangi rumah sakit darurat namun tidak menemukan putra saya, baik di antara korban tewas maupun korban luka. Saya terus mencari dan akhirnya menemukannya; ia terbaring di atas tanah dan mengalami sesak nafas akibat semprotan gas air mata,” lanjut
Photo by Samuel Aranda
Fatima. “Saya pun langsung memeluk dan menenangkannya. Foto itu pasti dipotret [oleh Aranda] pada saat itu.” Aranda sendiri berharap fotonya tersebut bisa menjadi dukungan tersendiri bagi masyarakat Yaman. Nyatanya, fotonya justru telah berbicara lebih banyak dari yang semula diharapkannya. “Foto [milik Aranda] ini telah mewakili suara seluruh wilayah di Arab yang terlibat demonstrasi. Bukan hanya untuk Yaman, foto ini juga telah mewakili Mesir, Tunisia, Libya, dan Syria,” Koyo Kouoh, salah satu juri World Press Photo Contest 2012, mengungkapkan pendapatnya tentang foto Aranda. Kouoh juga menambahkan, “Foto ini juga mengungkap demonstrasi tersebut secara pribadi dan mendalam. Selain itu, foto ini juga menunjukkan peran wanita dalam peristiwa semacam itu; mereka bukan hanya bertindak sebagai perawat, namun juga aktif terlibat dalam pergerakan massa.” Sementara itu, Fatima sendiri tidak menyangka foto Aranda tersebut akan memenangi penghargaan Photo of the Year—bisa dibilang sebagai penghargaan tertinggi dalam ajang WPP. “Foto ini memberikan dukungan besar bagi revolusi [di Yaman],” ungkapnya. “Foto ini membuktikan bahwa tidak semua warga Yaman adalah kelompok ekstrem.” pdnpulse.com, yementimes.com | widie
Mengintip Fitur Adobe Photoshop CS6 Baru-baru ini, Adobe merilis video tentang teknologi Content Aware yang direncanakan akan dimasukkan dalam Adobe Photoshop CS6 yang akan dirilis beberapa waktu mendatang. Sejumlah komentar terhadap video yang dirilis melalui YouTube ini menyatakan bahwa fitur-fitur Content Aware Fill/Move yang ditawarkan teknologi Content Aware tersebut sangat mengesankan. Dirilis langsung oleh Bryan O’Neil Hughes—Manajer Produk Senior di Photoshop, video ini menunjukkan bagaimana Adobe Photoshop CS6 dengan teknologi Content Aware memungkinkan kita memindahkan atau menghilangkan obyek dari foto dengan amat mudah. Dengan teknologi ini, kita bisa mengambil satu atau beberapa bagian dari foto dan memindahkannya hanya dengan satu sentuhan saja. Video ini juga menunjukkan bagaimana mudahnya mengatur ulang komposisi foto dengan Photoshop CS6. farid 58
2012-44
Nikon Rilis D800 & D800E Setelah beberapa bulan dunia fotografi diramaikan oleh rumor tentang kamera DSLR terbaru dari Nikon, awal Februari lalu—tepatnya 7 Februari, spekulasi para pencinta fotografi pun terjawab dengan hadirnya Nikon D800 dan D800 E. Kedua seri ini diperkenalkan dua hari sebelum pembukaan ajang CP+ Camera and Photo Imaging Show 2012 di Yokohama, Jepang. Dengan fitur unggulan yang menggabungkan resolusi ekstrem (sensor CMOS format FX beukuran 36.3 MP) dan kualitas gambar prima, kedua seri kamera ini ditujukan bagi kaum profesional penggelut multimedia—baik fotografer maupun videografer. Nikon D800 ditanami prosesor gambar terbaru keluaran Nikon, EXPEED 3™, yang memastikan hasil gambar dengan warna cemerlang, dynamic range luas, serta resolusi tinggi. Kamera ini juga diperkaya sistem AF 51-poin yang menjanjikan akurasi, fungsionalitas, dan hasil gambar sempurna. Para videografer juga dipastikan akan terpuaskan oleh fitur-fitur yang diusung Nikon D800 ini, termasuk desain badannya yang praktis dan ringan. Selain itu, sederet fitur videografi canggih yang ditawarkan kamera ini juga akan sanggup menjawab kebutuhan para videografer, antara lain kemampuan rekam video Full HD 1080p, kendali manual penuh, dan hasil video HDMI tanpa kompresi. Melengkapi kehadiran D800, Nikon juga memperkenalkan Nikon D800E, yang serupa dengan D800 namun degan resolusi dan kepraktisan lebih tinggi. Walau sama-sama hadir dengan sensor CMOS 36.3 MP, Nikon D800E ini masih dilengkapi dengan fitur tambahan untuk peningkatan resolusi, yang dihasilkan dengan “menghilangkan properti anti-alias OLPF di dalam kamera”. Seri D800E ini diyakini akan menjadi pujaan para fotografer yang menggemari fotografi lanskap serta mengharapkan hasil foto dengan “kualitas dan ketajaman maksimal”. Nikon D800 dijadwalkan akan dilepas ke pasaran mulai bulan Maret pada kisaran harga US$2,999.95 (sekitar Rp27,7 juta), sementara Nikon D800E akan menyusul dipasarkan mulai pertengahan April seharga US$3,299.95 (setara Rp36,3 juta). Keterangan lengkap seputar spesifikasi kedua seri ini bisa diulik di nikonusa.com. dpreview.com | widie
snapshot | info aktual
Kodak Hentikan Produksi Kamera Digital
Smartphone Berkamera 41MP
dari Nokia
Terus melakukan inovasi baru, Nokia kini mengumumkan peranti terbarunya, Nokia 808 PureView. Kehadiran smartphone ini bisa dibilang cukup mencengangkan, terutama karena dilengkapi kamera beresolusi 41MP dengan fitur pixel-binning (kompresi piksel). Tak seperti kebanyakan ponsel berkamera yang menggunakan sensor standar berukuran 1/3.2”, Nokia 808 PureView ini dibangun dengan sensor berukuran 1/1.2”—lima kali lebih besar dari sensor yang biasa ditanamkan pada ponsel berkamera, atau tiga kali lebih besar dari sensor yang digunakan pada kamera kompak. Foto yang dihasilkan Nokia 808 ini memang tidak berukuran 41MP, melainkan
“hanya” 3,5 sampai 8MP. Namun, hasil fotonya jauh lebih berkualitas, belum lagi dengan adanya serangkaian fitur pintar. Hasil foto yang berukuran rata-rata sama dengan ponsel berkamera 8,2MP ini akan mengalami kompresi pixel (pixel-binning) ke ukuran lebih kecil; dengan kata lain, noise pada foto akan dibagi rata pada pixel ganda. Walaupun hadir dengan lensa fixed, Nokia 808 ini sanggup menawarkan zoom 2,8 kali, dengan jarak fokus minimal (15cm) dan hasil gambar 5MP tetap terjaga. Secara umum, hal yang paling menarik dari dirilisnya Nokia 808 PureView ini
adalah gagasan Nokia untuk menggunakan resolusi pixel tinggi untuk menghasilkan foto rendah noise dan zoom digital cepat tanpa interpolasi. “Yang kami tawarkan bukanlah hasil gambar seukuran papan reklame. Kami menjanjikan hasil foto menakjubkan dalam ukuran wajar yang bisa disesuaikan dengan keinginan,” tulis pihak manajemen di blog Nokia. dpreview.com | widie
Manipulasi Photoshop, Fotografer Dipecat dari Surat Kabar Sacramento Bee—biasa disebut The Bee, sebuah surat kabar Amerika, belum lama ini memecat salah seorang fotografernya akibat melakukan manipulasi dengan Photoshop. Bryan Patrick, si fotografer, diketahui melakukan manipulasi pada setidaknya tiga foto hasil jepretannya. Awalnya, setelah diketahui menggabungkan dua buah foto burung bangau menjadi satu foto, Patrick dikenai skors oleh manajemen The Bee, sementara pihak manajemen melakukan pengusutan lebih mendalam pada karya-karyanya yang lain. Manajemen Sacramento Bee akhirnya menemukan dua foto lain yang juga telah dimanipulasi Patrick menggunakan Photoshop. Keputusan akhir pun diambil, Patrick resmi dipecat dari Sacramento Bee.
“Setelah The Bee merilis pernyataan maaf dan koreksi, editor kami memeriksa ulang sejumlah foto karya Patrick dan menemukan ada dua foto lain yang juga telah dimanipulasi secara digital, yang melanggar standar yang berlaku di The Bee,” demikian pernyataan resmi yang diterbitkan surat kabar ini. “Pada tahun 2009, Patrick mengirimkan sebuah foto yang menampilkan ledakan bom di Auburn—yang sudah dipoles dengan Photoshop agar api akibat ledakannya tampak lebih menyala—untuk kontes foto tahunan San Francisco Bay Area Press Photographers Association, dan berhasil keluar sebagai pemenang. Sebelumnya, foto tersebut sudah pernah dimuat di surat kabar kami tanpa manipulasi digital.” petapixel.com | widie
Setelah mengambil langkah perlindungan kebangkrutan, Kodak kini mulai melakukan reorganisasi bisnis serta pemotongan biaya produksi. Dalam beberapa bulan mendatang, perusahaan ini akan menghentikan produksi kamera digitalnya, termasuk kamera saku, kamera video, serta bingkai foto. Menurut perhitungan bisnis, penghentian produksi kamera digital ini akan membantu Kodak menghemat biaya produksi sampai US$100 juta/ tahun. Sebagai langkah lanjutan, Kodak juga akan menjual lisensinya pada perusahaan lain. Mengingat Kodak adalah perusahaan yang memperkenalkan kamera ringkas pertama di dunia, penghentian produksi kamera digital ini jelas menjadi berita sedih bagi para pelaku fotografi. Namun, Kodak telah memastikan bahwa semua garansi produk digitalnya yang sudah tersebar ke pasaran masih diakui dan tetap dianggap berlaku. dpreview.com │ widie
Barbie Photo Fashion Boneka Berkamera
Mudah Hilangkan Obyek dengan Scalado Remove Aplikasi bertitel “Remove” yang dikembangkan oleh Scalado—sebuah perusahaan pengembang teknologi, aplikasi, dan layanan untuk industri ponsel—adalah teknologi revolusioner yang memudahkan pengguna menghilangkan obyek yang tidak dikehendaki dari foto hasil jepretan dengan ponsel berkamera. Aplikasi ini akan mendeteksi dan memilih obyek yang tidak dikehendaki pada foto hasil jepretan—misalnya pejalan kaki yang tidak sengaja ikut terpotret—serta akan menghilangkan obyek tersebut dengan mudah dan mulus. “Remove membuktikan bahwa teknologi kami adalah yang terdepan di dunia ponsel,” Sami Niemi, CTO dan salah seorang pendiri Scalado, mengklaim. Scalado Remove ini hadir sebagai aplikasi untuk ponsel, dan diperkenalkan secara resmi pada ajang Mobile World Conference (27 Februari – 1 Maret) di Barcelona. dpreview.com | widie
60
2012-44
Mattel—produsen mainan taraf dunia—berencana meluncurkan produk boneka Barbie yang dilengkapi kamera. Dengan nama Barbie Photo Fashion, Matell akan menanamkan kamera 5MP di bagian punggung boneka ini. “Boneka fotografi” Barbie ini juga akan dilengkapi layar LCD di bagian dadanya. Selain sanggup menyimpan sampai 100 foto, fitur fotografisnya juga akan diperkaya dengan 15 filter bawaan. Sambungan mini USB akan ditempatkan di bagian punggung bawah, sehingga foto hasil jepretan bisa langsung ditransfer ke komputer. Menarik baik sebagai peranti fotografi maupun mainan, Barbie Photo Fashion ini diperkirakan akan dipasarkan pada kisaran harga US$ 50 atau sekitar Rp 454.000. Tanggal rilis dan ketersediaannya akan diumumkan lebih lanjut. petapixel.com | widie
events
Agenda Hunting “Journey to the Exotic Island” 17 Maret 2012, 09.30 – 15.30 WIB Pulau Bidadari, Jakarta CP: 08176374588 Rally Foto Komunitas Fotografi Tangerang 18 Maret 2012 Fotoku Digital Ruko Inter Megah permata blok P-04 No. 14 Jl. M. H. Thamrin, Cikokol, Tangerang Telp: 021-55752024 CP: 081314686225 Lomba Foto YONIV 500 Raider 2012 Surabaya, 25 Maret 2012 CP: 081392412090 Info: https://www.facebook.com/ events/242711852486275/
62
2012-44
Hunting Foto Pulau Karimun Jawa 4 – 8 April 2012 CP: 081808748801/26847E85 Lomba Foto Pendidikan 2012 oleh Kemendiknas Deadline: 10 April 2012 Info: kemdikbud.go.id Fotografer.net Hunting Series 2012: Songkran Splash Bangkok – Thailand, 13 – 16 April 2012 Pendaftaran:
[email protected] Keterangan selengkapnya bisa dilihat di www.fotografer.net
community BY Novi Tri ‘Gogon’
Komunitas Semut Ireng, Bali
Creativity on Whatever Gears Naskah: Widiana Martiningsih E-mail:
[email protected]
64
2012-44
2012-44
65
community
Semut-semut hitam yang berjalan Melintasi segala rintangan Satu semboyan di dalam tujuan [Semut Hitam-God Bless]
M
ost people must have known and seen dark ants. It is such a name familiar to the society. A photography community in Bali, indeed, named their community after the animal’s name—Komunitas Semut Ireng (Dark Ant Community). Having been popular to the society, the name dark ant turns out to be a unique one in photography. Many people think that the Komunitas Semut Ireng is a theater community. In the end, it is the community’s activities that eventually tell the society about what the community, based in Denpasar, is engaged in— photography.
H
ampir semua orang pasti tahu dan pernah melihat semut ireng (hitam). Bisa dibilang, nama ini memang sudah akrab di telinga masyarakat. Di Bali pun, ada sebuah komunitas fotografi yang menamakan dirinya Komunitas Semut Ireng. Uniknya, walau sudah menjadi nama yang “merakyat,” ternyata nama semut ireng masih bukan nama yang umum di dunia fotografi. Tak jarang orang menyangka Komunitas Semut Ireng ini adalah komunitas teater. Namun, kegiatankegiatan yang diadakan oleh komunitas ini sendirilah yang akhirnya membuat masyarakat tahu, bahwa komunitas yang berkedudukan di Denpasar ini bergerak di bidang fotografi.
66
2012-44
BY Adhitya Angga
2012-44
67
community
Creating, with Whatever Medium The founding of Komunitas Semut Ireng was rather similar to other communities or clubs; it started from casual talk, which then developed into gatherings and later turned into an organization. “Simply saying, we started from shared hobby and love for photography,” explained Syafi’udin—familiarly called Vifick Bolang— the leader of the community. Founded in 9 October 2009, the community always respects togetherness and sharing with each others, both among its members and with those from outside of the community. Vifick also added, “Just like ants, we also respect work-sharing.” The community applies no specification in the genre to learn or to engage in, but during the last two years, it has been focusing its activities on pinhole photography. The purpose is to develop the spirit to create, without having to worry about the mediums or gears used. “Taking photographs using pinhole camera takes us into a vast space in which we can improve our minds, senses, and even our physics,” Vifick said further. “In other words, pinhole photography teaches us to pay higher appreciation to the process happening in photography.” In addition, Vifick also explained that pinhole photography provides the community with bigger opportunities to invite more people—anyone from any backgrounds—to share with each other and to learn to be creative, so that photography may be even more widely accepted despite the gears which sometimes become a limitation. “Whatever the medium is, we keep creating,” he emphasized.
68
2012-44
Berkarya, Apapun Medianya Awal berdirinya Komunitas Semut Ireng ini tak jauh beda dari kebanyakan komunitas atau klub lain; dari obrolan ringan berkembang menjadi acara kumpul bersama, hingga akhirnya menjadi organisasi resmi. “Sederhananya, kami berangkat dari kesamaan hobi dan kecintaan pada fotografi,” jelas Syafi’udin— akrab disapa Vifick Bolang—ketua komunitas ini. Terbentuk tepatnya pada 9 Oktober 2009, komunitas ini selalu mengutamakan kebersamaan dan nilai saling berbagi, baik di antara sesama anggota maupun dengan lingkungan di luar komunitas. Vifick menambahkan, “Layaknya semut, kami juga mengedepankan gotong royong.” Walau tak membatasi genre yang ingin dipelajari atau digeluti, selama dua tahun terakhir ini Komunitas Semut Ireng memang menitikberatkan kegiatannya pada fotografi lubang jarum/pinhole. Tujuannya, menumbuhkan semangat untuk terus berkarya tanpa terbatas oleh media atau alat yang digunakan.
BY Dwiky Kurniawan
BY I Wayan Madu Sedana
“Memotret dengan kamera lubang jarum membawa kita ke suatu ruang yang luas untuk olah pikir, olah rasa, bahkan olah fisik,” tutur Vifick lebih lanjut. “Pendeknya, fotografi lubang jarum mengajari kita untuk lebih menghargai proses fotografi itu sendiri.” Selain itu, Vifick juga mengungkapkan bahwa fotografi lubang jarum juga membuka jalan lebih lebar bagi Komunitas Semut Ireng untuk mengajak semakin banyak orang—siapa saja dari latar belakang apa saja—untuk saling berbagi dan belajar kreatif, sehingga fotografi bisa semakin memasyarakat tanpa harus terhalang kendala alat. “Apapun medianya, kita terus berkarya,” tandasnya.
2012-44
69
community
Communication and Loyalty The great thing about Komunitas Semut Ireng, which now has about 40 active members, is that it always put total efforts in sharing with others. Most of its activities are designed to involve multidisciplinary parties—from arts, educational, to environmental organizations. Beside in Bali, the community had also held various seminars and workshops in other regions, such as Lombok and Sumbawa. One of the many activities Vifick considered most memorable for the community was a workshop project conducted for children of Sanggar Anak Tangguh in Guwang Village, Gianyar. Unlike most similar workshops which commonly are completed in a day or a week at the longest, the particular workshop in Sanggar Anak Tangguh was a three-month project. Organizing such long-term project was certainly not an easy thing to do. What do they have as the secret ingredient? “We take ‘community’ as ‘communication and loyalty’,” Vifick explained when asked about the recipe. He also said further, “We try to combine our communication pattern and loyalty in togetherness to help us express the love for photography.” The strategy has worked well and the activities had been successful. The communication and loyalty has also helped the community gain attention and support from Ray Bachtiar Drajat—founder of Kamera Lubang Jarum Indonesia (KLJI/Indonesian Pinhole Camera Community)—and Rio Helmi—professional photographer—who then participated in the workshop. The photoworks the children of Sanggar Anak Tangguh had made—using pinhole cameras made of used cans and materials—were then also displayed in a photo exhibition entitled “Cerita dalam Kaleng (Stories in Cans)”. “The exhibition was held twice at two different venues— Art Café Seminyak (Kuta) and Bar Luna (Ubud),” Vifick said. He also added, “We also published a mini book about the project.”
70
2012-44
Komunikasi dan Loyalitas Hebatnya lagi, Komunitas Semut Ireng yang kini memiliki sekitar 40 orang anggota aktif ini tak setengah-setengah dalam usahanya berbagi dengan banyak orang. Terbukti, hampir semua kegiatannya selalu melibatkan pihak-pihak luar yang bergerak di beragam bidang—dari seni, pendidikan, sampai lingkungan. Tak hanya di Bali saja, komunitas ini juga kerap menggelar seminar atau workshop di daerahdaerah lain, misalnya Lombok dan Sumbawa. Salah satu kegiatan yang menurut Vifick berkesan bagi Komunitas Semut Ireng adalah proyek workshop yang diadakan di Sanggar Anak Tangguh di Desa Guwang, Gianyar. Tak seperti kebanyakan kegiatan serupa yang rata-rata hanya memakan waktu satu sampai paling lama seminggu, workshop ini berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Menangani workshop jangka panjang seperti yang dilakukan Komunitas Semut Ireng tersebut jelas bukan hal yang mudah. Apa kira-kira resep rahasianya? “Kami memaknai ‘komunitas’ sebagai ‘komunikasi dan loyalitas’,” papar Vifick ketika ditanya soal ini. Diuraikannya lagi, “[Komunitas] kami mencoba memadukan pola komunikasi dan loyalitas kebersamaan kami untuk membantu mengekspresikan kecintaan pada fotografi.”
BY I Wayan Semara Putra
BY I Wayan Semara Putra
Pada kenyataannya, “jurus” tersebut memang ampuh dan kegiatannya sendiri pun terbukti sukses. Bahkan, komunikasi dan loyalitas yang ditunjukkan komunitas ini juga berhasil menarik perhatian dan dukungan dari Ray Bachtiar Drajat—pendiri Kamera Lubang Jarum Indonesia (KLJI)—dan Rio Helmi— fotografer profesional—yang kemudian ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hasil karya yang dibuat oleh anak-anak di Sanggar Anak Tangguh itu—dengan memakai kamera lubang jarum buatan sendiri dari kaleng bekas—kemudian dipamerkan dalam pameran foto “Cerita dalam Kaleng”. “Pamerannya digelar di dua tempat—Art Café Seminyak (Kuta) dan Bar Luna (Ubud),” terang Vifick. Ditambahkannya pula, “Kami juga menerbitkan mini book berisi segala hal tentang proyek workshop itu.”
2012-44
71
community
Let’s Share Stories! Not only do the community shares knowledge and experience in photography, it also shares stories through the photographs. One of the examples was the photo exhibition “Landscape Tanpa Batas (Unlimited Landscape)” held in collaboration with Alliance Francais (AF) Denpasar during the Spring of the Poets/Printemps des Poetes 2011. “The photographs told the stories of environmental issues—mine exploitation, natural phenomenon and disasters, and so on,” Vifick explained. Beside through photo exhibitions, Komunitas Semut Ireng also shares stories via the blog ceritadalamkaleng.wordpress. com. In addition to the existing blog, the community is currently developing another blog—semutirengbali.wordpress.com—to share the photographs taken during the hunting sessions, which are conducted regularly 2-3 times in a month, either around Bali or in other regions. What’s clear is that Komunitas Semut Ireng is always consistent and optimistic to keep sharing with others. Quoting Rio Helmi, Vifick emphasized, “Sharing is wonderful; through photography, we can do many things.” Mari Bercerita! Tak hanya berbagi ilmu dan pengalaman memotret, Komunitas Semut Ireng juga senantiasa berusaha untuk berbagi cerita melalui karya-karyanya. Misalnya, lewat pameran “Landscape Tanpa Batas” yang diselenggarakan dengan bekerja sama dengan Alliance Francaise (AF) Denpasar dalam rangka Musim Semi Penyair/Printemps des Poetes 2011. “Karya-karya yang dipamerkan menceritakan permasalahan lingkungan— eksploitasi tambang, fenomena dan dampak bencana alam, dan banyak lagi,” jelas Vifick. Selain melalui pameran, Komunitas Semut Ireng juga rajin berbagi melalui blog ceritadalamkaleng.wordpress.com. Tambah lagi, komunitas ini juga sedang menyusun blog lain—semutirengbali.wordpress.com—untuk mewadahi karya-karya hasil hunting, yang diadakan rutin 2 – 3 kali sebulan, baik di wilayah Bali maupun di daerah lain. Yang jelas, Komunitas Semut Ireng selalu konsisten dan optimis untuk terus berbagi dengan sesama melalui fotografi. Mengutip kata-kata Rio Helmi, Vifick menandaskan, “Berbagi itu indah; melalui fotografi, kita bisa melakukan banyak hal.”
72
2012-44
BY Irham Rahadian
2012-44
73
community
BY I Wayan Semara Putra
74
2012-44
2012-44
75
community
76
2012-44
Contact Person Nama Kedudukan E-mail Telp/HP Website/Blog
: Syafi’udin aka Vifick Bolang : Ketua :
[email protected] : 085658025417 / 085333114666 : syafiphoto.wordpress.com
Sekretariat Klub Alamat Telp. E-mail Website/Blog Facebook
: Denpasar - Bali : 085333114666 :
[email protected] : semutirengbali.wordpress.com, ceritadalamkaleng.wordpress.com : semut ireng
2012-44
77
my project
Heaven in Dewdrops Photos & Text: Teguh Santosa 78
2012-44
2012-44
79
my project
I
B
Carrying a camera, I wished to find something interesting to capture amongst the grasses I stood on. Too bad, nothing special came to my eyes. Not did exotic tiny animals. All I saw was only the grasses, wet from last night’s rain.
Dengan kamera di tangan, saya berharap menemukan sesuatu yang menarik di hamparan rumputan tempat saya berdiri. Tapi, ternyata, tak terlihat apa pun yang istimewa. Juga tak ada hewan-hewan kecil nan eksotis. Hanya rumput basah sisa hujan semalam.
t all started three years ago, at a ricefield path, right in front of my home. The sun hadn’t risen from beyond the mist when I walked along the path. I had a million questions hanging on my mind; questions that came after a friend of mine told me some simple techniques on doing macro photography using reversed lens.
Squating down, I tried to shoot a group of wet grasses from hi-angle. The result was not impressive, if not to say it was poor. For reasons I didn’t know, I happened to kneel down on the grass. I dismounted the kit lens on my Canon EOS 1000D, and carefully reversed and manually mounted it onto the camera. Without a reverse lens converter attached, I held the dismounted lens on my left hand. I took several shots from low angle (imagine this, using low angle to capture grasses on a ricefield path). Guess what, it’s magic! From the viewfinder, I saw many glittery dews with the bokeh background formed by other dewdrops behind. Clear, wonderful, and so exotic!
80
2012-44
ermula dari pematang sawah, persis di depan rumah, tiga tahun yang lalu. Matahari belum lagi beranjak dari balik tirai kabut ketika saya berjalan di pematang. Sejuta penasaran bergelayut di kepala setelah seorang teman bercerita tentang teknik sederhana memotret makro dengan membalik lensa.
Sambil jongkok, saya mencoba memotret sekumpulan rumput basah dengan hiangle. Tak ada hasil yang mengesankan, kalau tidak boleh dibilang jelek. Entah kenapa, tahu-tahu saya sudah dalam posisi bersujud di rumputan basah. Lensa kit yang menempel di bodi kamera Canon EOS 1000D saya lepas, lalu dengan hatihati saya membalik dan menempelkannya secara manual pada bodi kamera. Tanpa reverse lens converter, lensa itu kini hanya saya pegang di tangan kiri saja. Saya membidik dengan posisi low angle (bayangkan, low angle untuk memotret rumput di pematang sawah). Ajaib! Terlihat di viewfinder begitu banyak embun berkilauan berlatarkan pendar bokeh embun-embun lain di belakangnya. Jernih, indah, dan begitu eksotis!
2012-44
81
my project
82
2012-44
2012-44
83
my project
I corrected my shooting position and started to focus on the subject. It was real hard. Without autofocus, controllable aperture, or reverse lens converter, focusing seemed to be impossible. Spiritful, and by luck, I pressed the shutter several times. The magic hasn’t yet to end. I was astonished; the image was amazingly beautiful despite its prominent out-offocus. When later I checked the images on my desktop computer, the images looked poorly out of focus. Still, those images had given me a hope; I can shoot dews! It was even better after I uploaded the images on social media and my friends applauded them. Sure enough, most of them commented on the poor out-of-focus results, but generally they responded to the images positively. That was how I became addicted to shooting dewdrops. To the present time, I couldn’t count how many times had I pressed the shutter to capture the dewdrops, a beauty that seems to tell heavenly peace. I have tried almost all kinds of cheap gears to capture dewdrops—from manually reversing the lens, adding a cheap magnifier in front of the lens, using nonelectrical extension tube (manual focus) or close-up filter, to a Canon 60mm macro lens which I eventually could afford. Shrink yourself and enjoy the amazing adventure in macro world! (English version by Widiana Martiningsih)
Saya memperbaiki posisi dan mulai mencari fokus bidikan. Sulitnya minta ampun. Tanpa autofocus, tanpa aperture yang bisa diatur, tanpa reverse lens converter, titik fokus menjadi hal yang nyaris mustahil bagi saya saat itu. Dengan semangat untung-untungan, saya menekan shutter beberapa kali. Keajaiban belum berhenti. Saya tercengang; hasilnya begitu cantik, meski ketidakfokusannya cukup kentara. Apalagi setelah kemudian saya lihat di layar komputer desktop. Ketidakfokusannya begitu jelas. Meskipun begitu,hasil itu sudah membesarkan hati saya; saya bisa memotret embun! Apalagi setelah hasil itu saya uploadk e media sosial dan teman-teman pun banyak memberikan applaus. Tentu saja banyak yang mengkritik ketidakfokusannya, tapi sebagian besar menanggapinya dengan positif. Itulah awal kecanduan saya memotret embun. Sampai sekarang, tak terhitung lagi berapa ribu shutter telah saya pencet untuk mengabadikan embun, sebuah keindahan yang seolah mewartakan kedamaian surgawi. Saya sudah mencoba nyaris semua peralatan murah-meriah untuk memotret embun. Mulai dari membalik lensa kit, menambahkan kaca pembesar murahan di depan lensa, menggunakan nonelectrical extension tube (manual focus), memakai filter close up, hingga akhirnya saya mampu membeli lensa makro Canon 60mm. Shrink yourself and enjoy the amazing adventure in macro world!
84
2012-44
2012-44
85
my project
86
2012-44
2012-44
87
my project
88
2012-44
2012-44
89
my project
S TIP THE ER M PH FROOGRA T HO
P
To me, capturing natural dewdrops or raindrops on grasses or on the stem/leaf/ grain of paddy plants gives more “satisfaction” than the “artificial” dewdrops. Dewdrops on the grass are more exotic to my eyes. As the dewdrops are on the grass, consequently I have to kneel down or even totally lie on the ground to capture them. In my own experience, low angle is the best shooting position to choose, in order to bring out a beautiful “profile” and reflection. Dewdrops reflect things in reversal, just like mirrors do. They reflect what is behind them, not what is in front of them. Sometimes I experiment on the background to obtain unique reflection. It may be by placing a red flower or yellowish leaf behind the dewdrops; any thing we imagine is acceptable. To obtain both the reflection and dimension, I usually set the camera’s aperture to 7.1 – 13. The shutter speed may be set under 1/100s. We won’t need to use tripod as the camera will be sustained by our hands when lying on the ground. To gain brighter image, I frequently use internal flash. To make the light softer, I also add a diffuser on the flash—the easiest way is to use white tissue papers as the diffuser. But, when dimension and the color range are what we want primarily, then flash is not necessary. “Artificial” dewdrops suit better for this; the artificial reflection is up to us to create. During the dry season, dewdrops on the grass are rare to find, but we can still “create” them on potted plants, either on the stem, leaf, or on the flower petals. To make the artificial dewdrops, we can use a water sprayer, eyedropper, straw, or used refill ink injector—like the one I usually use. Making the artificial dewdrops also allows us to freely experiment on the background. An exotic dewdrop is commonly perfectly round in shape. When looking for such drops on the grass, I usually watch them while kneeling down, then slowly moving closer on my knees to avoid ruining the dewdrops (from this process on, slowly but sure we will gain a sense of “dew-aware”; means that we would step on the grass more carefully in the morning so that we don’t ruin the dewdrops). When capturing dewdrops on the grass, many times I get tiny animals as a bonus, be it a ladybug, a fly, or other small creatures. Whatever they are, their sizes are commonly tiny that sometimes they are not visible to the naked eyes. Don’t forget to bring a small scissors with you; it will be useful to cut unwanted foreground or background. Carefully pay attention to the background and make sure it is capable of showing a strong, beautiful impression. The ideal gear to use is a macro lens. Still, if you are not able to afford for it yet, don’t give up or surrender. You can still try some simple alternative ways I have mentioned above. Last but not least, always take by heart, so that the beauty will go into the deepest part of the heart. Hopefully.
90
2012-44
2012-44
91
my project
I AR FER D P TI GRA TO FO Saya lebih “puas” memotret embun atau titik air sisa hujan di rumput atau di batang/ daun/bulir padi daripada embun “buatan.” Menurut saya, embun di rerumputan lebih eksotis. Konsekuensinya, karena di rerumputan, posisi bersujud, bahkan tiarap, harus saya lakukan untuk memotretnya. Menurut pengalaman saya, untuk memunculkan “profil” serta refleksi yang indah, sudut pemotretan terbaik adalah low angle. Refleksi embun itu terbalik sebagaimana cermin, dan yang difleksikan adalah sesuatu yang berada di belakang embun, bukan yang di depannya. Kadang-kadang saya bermain-main dengan background-nya untuk mendapatkan refleksi yang unik. Suatu saat saya meletakkan bunga merah; di lain hari saya menyertakan daun kekuningan di latar belakangnya; terserah imajinasi kita. Untuk mendapatkan refleksi dan dimensi sekaligus, saya biasanya menggunakan aperture antara 7.1 - 13. Shutter speed bisa di bawah 1/100s dan tidak diperlukan tripod, karena kamera sudah tersangga tangan yang bertumpu di tanah. Untuk mendapatkan gambar yang lebih cemerlang, saya sering juga menggunakan flash (internal). Tetapi, agar lebih soft, biasanya saya beri diffuser; paling mudah, misalnya, memanfaatkan kertas tissue putih sebagai diffuser. Namun, jika yang diinginkan hanya dimensi dan nuansa warnanya saja, maka flash tidak diperlukan. Biasanya jenis ini lebih cocok dengan embun “buatan” dengan refleksi artifisial yang bisa dirancang sesuka hati. Di musim kemarau, kadang kita sulit mendapatkan embun di rerumputan, tapi kita bisa “membuatnya” pada tanaman di pot, baik di tangkai, daun, maupun di kelopak bunganya. Kita bisa membuatnya dengan sprayer, bisa juga pipet atau sedotan, atau yang sering saya lakukan dengan injeksi bekas tinta refill. Embun jenis ini juga memungkinkan kita dengan leluasa bermain-main dengan background artifisial atau buatan. Embun yang eksotis biasanya bulat sempurna. Untuk mendapatkannya di rerumputan, biasanya saya mengambil posisi bersujud cukup lama untuk mengamati, lalu merangkak maju secara perlahan agar tidak merusak embunnya (di bagian ini lamalama akan terbentuk rasa “perikeembunan”; artinya, kalau menginjak rumput di pagi hari akan lebih berhati-hati, takut merusak embun). Saat memotret embun di rerumputan, saya sering mendapat bonus hewan-hewan kecil, entah kepik, lalat, atau lainnya. Yang pasti, hewan-hewan itu sangat kecil, kadang hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Jangan lupa membawa gunting kecil untuk membersihkan foreground atau background yang dirasa mengganggu. Perhatikan dengan cermat agar background benar-benar mampu memunculkan impresi yang kuat dan indah. Idealnya, gunakan lensa makro. Tetapi, jika belum punya, jangan menyerah dan berkecil hati. Beberapa cara sederhana sebagaimana saya terangkan di atas mungkin dapat dicoba. Terakhir, selalu take by heart, agar keindahannya benar-benar menancap ke hati. Semoga.
92
2012-44
2012-44
93
my project
Teguh Santosa
[email protected]
A macro photography lover, currently residing in Bantul, Yogyakarta. He first engaged in macro photography in 2009, and many of his works have been published on renowned websites, including Fotografer.net (www.fotografer.net), and several printed media in England, such as The Sun, The Telegraph, Daily Mail, and The Independent. He is currently sitting in the board of jury for the 2012 Macro Photographer of The Year contest.
94
2012-44
2012-44
95
traveling
Exploring
Ranu Kumbolo to Bromo 96
2012-44
Photos & Text: Sambodo
traveling
T
he area of Bromo Semeru Tengger National Park, East Java, offers rich beauty for visitors to enjoy or to capture with their cameras. This beauty was what I’ve found when I made a trip there, added by a touch of adventure, along with five fellows. Obviously we hadn’t explored all the spots within the area—we only travelled along the path of Ranu Kumbolo, on the feet of Mahameru, to the caldera of Bromo. We flew from Jakarta to Surabaya as the tickets for direct flight from Jakarta to Malang had been sold out. We made use of an adventure travel agency to organize the travel schedule and guide us through the exploration. From Surabaya, we headed to Malang on a minibus provided by the travel agency. We arrived at Malang past noon, and directly continued to the check point at Tumpang. There, we met the field coordinator and the trekking guide. It is worth noted that trekking to Ranu Kumbolo requires us to provide a health recommendation letter issued by a professional doctor. We were panicked for a while as we had been informed about this by e-mail only the night before we departed. Fortunately, our guide said that we could still make it to Ranu Kumbolo without such recommendation letter; we would have to show a copy of our valid identity card on the spot.
98
2012-44
B
anyak keindahan yang ditawarkan, entah sekadar untuk dinikmati atau untuk diabadikan dengan kamera, ketika saya dan lima kawan saya melakukan perjalanan dengan sedikit petualangan di kawasan Taman Nasional Bromo Semeru Tengger, Jawa Timur. Tentu saja tidak seluruh kawasan kami jelajahi, tapi hanya ruas Ranu Kumbolo di kaki Mahameru hingga kawah/kaldera Bromo. Dari Jakarta, kami terbang ke Surabaya karena kehabisan tiket untuk penerbangan langsung Jakarta-Malang. Kami menggunakan jasa agen petualangan yang telah mengatur jadwal dan memandu penjelajahan. Perjalanan Surabaya-Malang ditempuh dengan minibus yang sudah disediakan oleh pihak agen. Lewat tengah hari rombongan sampai di Malang dan langsung menuju ke check point di Tumpang. Di sini kami bertemu dengan koordinator lapangan dan pemandu trekking kami. Perlu diketahui bahwa untuk trekking ke Ranu Kumbolo dibutuhkan surat keterangan sehat dari dokter, dan kiranya ini perlu kita siapkan sebelumnya. Kami sempat panik karena informasi ini baru kita terima via e-mail pada malam sebelum keberangkatan. Tapi pemandu menjelaskan hal itu bisa diurus di lokasi dengan bekal fotokopi KTP.
2012-44
99
traveling
“Teletubies” Hill Riding on a Toyota hard-top jeep, we set off from Tumpang to the base camp at Ranu Pane, Mount Semeru. The trek varied; first we had to ride along on asphalt road, while the half rest of the trip was on stone-paved road. Most of the trek was ascending, passing through the villages nearby. The driver told us that the villagers are the Tengger tribe, a Hindu tribe residing around the Bromo Semeru Tengger National Park. However, it doesn’t mean that all villagers in Tengger are Hindu—some of them had assimilated with the newcomers, making a variation in their religious belief. To the left and right, we could see valleys with green farms, sometimes also deep abyss. On a particular spot on the left of the trek, there was a green hill in the middle of a vast valley. The hill was the access point to Mount Bromo. On a far distance, we saw car track that seemed to resemble a long winding snake. The guide also pointed out a small hill he called “teletubies hill” since it resembled the house in the TV show for children, “Teletubies”. On the same spot, next to the savannah, there was also a sand dune in distance. After spending some time hunting for photos around the spot, we continued on the trip. We arrived at Ranu Pane at about 3pm. The base camp also functioned as the registration and permission office for hikers willing to trek up to the peak of Mount Semeru—the highest active volcano in Java. Perhaps most of us had heard about Ranu Pane—the lake was not really large and was not that interesting to capture.
Bukit “Teletubies” Dari Tumpang dengan kendaraan jip jenis Toyota hard-top, kami berangkat menuju ke base camp Gunung Semeru di Ranu Pane. Kondisi jalanan yang dilewati bervariasi; terlebih dahulu kami menelusuri jalanan beraspal, dan kemudian setengahnya adalah jalan dengan perkerasan batu-batu paving. Jalanan cenderung terus menanjak, melewati perkampungan di sekitar pegunungan. Sang sopir bercerita bahwa penduduk sekitar pegunungan itu adalah suku Tengger, suku Hindu yang bermukim di sekitar Taman Nasional Bromo Semeru Tengger. Tapi tidak semua komunitas Tengger beragama Hindu karena beberapa sudah berasimilasi dengan pendatang yang beragama lain, sehingga agama mereka pun menjadi bermacam-macam. Beberapa kali di kanan-kiri terlihat lembah dengan sawah menghijau, dan beberapa kali pula tampak jurang lembah yang cukup dalam. Di salah satu bagian perjalanan, tepatnya di sisi kiri kami terbentang pemandangan bukit hijau di tengah hamparan lembah nan luas. Bukit itu merupakan akses menuju ke Gunung Bromo. Di kejauhan terlihat jalur jalan mobil yang tampak seperti ular panjang dan meliuk-liuk. Pemandu lantas menunjuk ke arah sebuah bukit kecil yang disebutnya sebagai “bukit teletubies.” Orang menyebutnya demikian karena bentuknya mirip dengan rumah yang ada di serial TV untuk anak-anak berjudul “Teletubies.” Masih di lokasi yang sama, di sebelah padang sabana, terhampar lautan pasir di kejauhan. Setelah puas hunting foto pemandangan di seputaran lokasi tersebut, perjalanan pun dilanjutkan. Sekitar pukul 3 sore waktu setempat kami tiba di Ranu Pane. Base camp ini sekaligus merupakan pos pendaftaran perijinan untuk pendakian ke puncak Semeru – gunung berapi aktif yang tertinggi di Jawa. Seperti diketahui, Ranu Pane ini adalah danau yang tak begitu besar dan kurang menarik untuk difoto.
100
2012-44
2012-44
101
traveling
Preparing to Trek to Ranu Kumbolo While the guide was managing the trekking permit, we got busy doing our own activities. Some of us went to the toilet; some others busy capturing the local people and their activities. Some of us were sorting and packing the things we would have to carry for our trekking to Ranu Kumbolo. Things we considered less important were left in the jeep. It turned out that we carried loads of things: 8 carriers, 4 camera bags and 5 tripods. We decided to hire a porter to help us with the baggage. Following the guide’s information, we hired a porter to carry 6 carriers and all tripods, as well as several tents. The rest of the baggage was left for us to carry. The trekking route and time estimation were displayed on an information board. It would take 90 minutes from Ranu Pane to Waturejeng—5 km in distance, continued by another 90 minutes from Waturejeng to Ranu Kumbolo, also 5 km in distance. It meant that our trip would take about 3 hours, but our guide estimated that even professional trekkers would need about 4 hours. The whole trek from Ranu Pane to Ranu Kumbolo had 4 check points. We started trekking at 3.30 pm.
102
2012-44
Persiapan Trekking Ranu Kumbolo Sementara pemandu mengurus perijinan trekking, kami pun sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang menyempatkan diri ke toilet, ada yang sibuk memotret suasana sekitar dan aktifitas penduduk setempat. Beberapa rekan lainnya mengatur dan memilah-milah bawaan yang nantinya akan dibawa trekking ke Ranu Kumbolo. Barangbarang yang sekiranya tidak diperlukan kami titipkan di kendaraan. Setelah diinventarisasi, ternyata bawaan kami cukup banyak: 8 ransel, 4 tas kamera dan 5 tripod. Kami putuskan menyewa porter untuk membantu membawa bawaan kami. Dari informasi pemandu, kami cukup menyewa seorang porter, yang akan membawakan 6 ransel dan semua tripod, juga beberapa tenda. Sisanya kami bawa sendiri. Dari papan rute pendakian Gunung Semeru bisa dilihat jarak dan perkiraan waktu tempuh perjalanan. Dari Ranu Pane ke Waturejeng yang berjarak 5 km diperlukan waktu tempuh 90 menit. Jarak Waturejeng - Ranu Kumbolo juga 5 km dengan waktu tempuh 90 menit. Jadi, perjalanan kami diperkirakan akan memakan waktu 3 jam. Namun, pemandu kami memperkirakan waktu tempuh bagi trekker profesional kurang lebih 4 jam. Perjalanan dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo akan melewati 4 pos perhentian. Rombongan kami memulai trekking pada pukul 15.30.
2012-44
103
traveling
S TIP THE ER M PH FROOGRA T HO
P
Here are some tips for photographers to trek to Ranu Kumbolo: •
Make sure your camera bag has a rain cover.
•
It is better to bring a zoom lens with enough focal length range, such as a 24-105mm lens; the lens will be able to cover all needs, so we can minimize our baggage.
•
If there is no other option than to bring two or more lenses and cameras, you better hire a porter to help you with them. Don’t pack the cameras and lenses together with other baggage.
•
Don’t force yourself to carry too much or too heavy baggage. It will only exhaust you quickly and limit your flexibility in shooting during the trip.
•
Many spots are interesting to capture, such as: - between Ranu Pane and check point 1 - between check point 4 and Ranu Kumbolo - between check point 2 and 3, where we can see the peak of Mount Semeru above and the clouds below.
•
Don’t forget these trekking equipments: hard-bottomed trekking shoes, flashlight, cap/other head covers, rain coat and, if necessary, trekking pole.
I AR FER D TIP GRA TO FO Beberapa tip untuk fotografer yang trekking di rute Ranu Kumbolo:
104
2012-44
•
Bawa/pilih tas kamera dengan rain cover.
•
Sebaiknya bawa lensa zoom dengan rentang focal length yang cukup panjang, misalnya 24-105mm. Lensa ini sudah bisa meng-cover semua kebutuhan sehingga mengurangi beban bawaan.
•
Bila harus membawa dua atau lebih lensa dan kamera, sewa porter khusus yang membawakan peranti fotografi tersebut. Jangan digabung dengan barang-barang bawaan yang lain.
•
Jangan bawa sendiri barang bawaan yang terlalu banyak/berat. Hal ini akan mempercepat lelah dan membatasi fleksibilitas kita dalam memotret di perjalanan.
•
Banyak spot bagus untuk dipotret selama perjalanan, terutama: - dari Pos Ranu Pane ke Pos 1 - dari Pos 4 ke Ranu Kumbolo - dari Pos 2 ke Pos 3, beberapa kali puncak Semeru terlihat; dan awan berada di bawah kita.
•
Jangan lupa mempersiapkan perlengkapan trekking seperti: sepatu trekking dengan sol kasar, senter, topi/penutup kepala, jas hujan dan, bila perlu, tongkat trekking.
2012-44
105
traveling
Camping or Continue Trekking Trekking from Ranu Pane to check point 1 was quite fun. The route was not that hard; the track was paved blocks. We could still maintain our focus when capturing objects, and our faces were still cheerful. After walking for one hour and a half, we reached check point 1, located right at the left corner on the right-turn track. It was a green gazebo or shelter. We wondered why it was painted green; we thought it would be better to paint it yellow so as to make it more visible in the midst of the green woods. Seeing our poor stamina and walking speed, our guide became desperate. He said that he doubted that we would make it to Ranu Kumbolo before sunset. We could not reply but just listened to what he said. What else could we do, after all? After a 10-minute break, we continued trekking. The sky started to turn dark though it was only 4 pm. Clouds were hanging on the sky, and the evening mists started falling down. At several spots, we could feel the height of the ground we were stepping on; the clouds were there below us, and from some turns we could also see the peak of Mount Semeru afar. The trek started to get steep with no paved blocks; only ground and grass. To the right, there was a cliff, and some abyss on the left. After about two hours of trekking, we reached check point 2, located near a cliff on a straight steep. The post was a simple one, also painted green. We took a short
106
2012-44
break there. Some of us had already looked exhausted. We were supposed to continue directly to check point 3, but since we were exhausted, we decided to take some rest at a bridge. The wooden bridge was only 3 meters long, built above a deep abyss. As the construction seemed to be worn out by age, our guide suggested us not to lie on the fence. The cold weather started to go deep underneath our jackets and into the pores. In the mean time, the sky got darker. Our visions were limited. The route from check point 2 to check point 3 was the longest path compared to the previous treks. We arrived at check point 3 at about 8 pm. It was at the end of a turn on the steep. I hadn’t expected that the next trek was behind the check point—roughly ascending with a more than 50 degree leaning. Most of us had really been exhausted; only one who was still full of spirit and enthusiastic. Worse, we almost ran out of water supply. With such condition, we were left with two options: camping at check point 3, or continue trekking. Our guide seemed to be unwilling to camp in sleeping bags at the dirty check point 3. On the other side, the one friend, who was still enthusiastic, tried to encourage the rest of the team by explaining some risks we would have to face if we decided to camp at check point 3. Though roughly exhausted, we finally decided to continue trekking.
2012-44
107
traveling
Menginap atau Lanjutkan Perjalanan Perjalanan dari Ranu Pane ke Pos 1 cukup menyenangkan. Rutenya tidak terlalu terjal. Jalannya masih berupa paving blok. Konsentrasi kami untuk memotret sanasini juga belum terpecah. Keceriaan masih terlihat di raut muka kami masing-masing. Setelah sekitar 1,5 jam berjalan akhirnya kami sampai di Pos 1, yang persis berada di sudut kiri jalan yang berbelok ke kanan. Bentuknya seperti gazebo atau pendopo berwarna hijau. Herannya, pos kok dicat hijau, padahal kalau di hutan lebih baik dibuat warna kuning supaya eye-cacthing. Pemandu sepertinya mulai menunjukkan keputusasaannya melihat kondisi stamina dan speed berjalan kami. Ia lantas mengutarakan keraguannya bahwa kami bisa mencapai Ranu Kumbolo sebelum sunset. Kami cuma pasrah saja mendengarkan pendapatnya. Mau apa lagi? Setelah istirahat 10 menit, kami melanjutkan perjalanan. Langit mulai gelap walau saat itu masih pukul 4 sore. Kondisi langit saat itu berawan, dan sepertinya kabut sore mulai turun. Di beberapa tempat kami mulai merasakan ketinggian lokasi yang kami lewati. Gumpalan awan terlihat berada di bawah. Beberapa belokan juga memperlihatkan puncak Semeru dari kejauhan. Jalan setapak yang kami lalui mulai tanpa paving blok, hanya tanah dan rerumputan. Di sebelah kanan ada tebing, dan sesekali jurang di sebelah kiri. Setelah berjalan sekitar dua jam, kami sampai di Pos 2 yang berada di dekat sebuah tebing dengan jalan setapak yang lurus. Konstruksi pos sederhana saja,
108
2012-44
juga bercat hijau. Istirahat di sini hanya sebentar saja. Beberapa teman sudah terlihat kelelahan. Tujuan berikutnya tentu saja Pos 3. Tetapi karena kondisi kami mulai payah, diputuskan untuk beristirahat di sebuah jembatan. Jembatan kayu ini hanya pendek, panjangnya hanya 3 meter. Di bawahnya terlihat tebing yang cukup dalam. Konstruksinya terlihat sudah rapuh, dan pemandu kami menyarankan untuk tidak menyandari pagarnya. Udara dingin mulai merayap ke bawah jaket dan terasa menusuk pori-pori kulit. Sementara itu, langit juga perlahan mulai lebih gelap. Pandangan mulai terbatas. Rute dari Pos 2 ke Pos 3 merupakan rute terpanjang dibanding rute-rute sebelumnya. Sekitar pukul 8 malam kami sampai di Pos 3. Posisinya berada di ujung belokan jalan setapak. Saya tidak mengira jalan selanjutnya ada di balik Pos 3. Jalan itu terlihat sangat menanjak terjal, dengan sudut kemiringan lebih 50 derajat. Rasa lelah sudah menghinggapi sebagian besar dari kami; hanya satu rekan saja yang terlihat masih bersemangat dan antusias melanjutkan perjalanan. Di sisi lain, persediaan air minum kami sudah menipis, malah cenderung hampir habis. Melihat kondisi semacam ini, muncul dua opsi: bermalam di Pos 3 atau melanjutkan trekking. Pemandu sepertinya tak begitu rela untuk menggelar sleeping bag di Pos 3 yang kotor itu. Di lain pihak, satu teman kami yang masih bersemangat menyemangati rekan-rekan lain, dengan memaparkan beberapa risiko kalau kami menginap di Pos 3. Dalam kondisi yang sangat lelah, akhirnya kami bertekad melanjutkan perjalanan.
2012-44
109
traveling Wall of Hills, Roof of Sky It was totally dark. I had to say that we were poor stupid as only two of us brought flashlights. We had to turn on the flashlight on our mobile phones to light our way. The porter and guide were well-equipped with headlamps. Without flashlight, the vision was very limited; we could only see to half a meter ahead, the rest is a total darkness. After an hour and a half of trekking through the deep, dark woods, I vaguely saw the lake in a distance—Ranu Kumbolo was there, in the dark, under the full moon. The moon was reflected amazingly beautiful on the water. Spontaneously, I exclaimed, “That’s the lake, on the left!” Though, we knew that it was still away. Half faltering, we could finally see check point 4. It was located in an open space, with no steep around. Bigger than the other posts, it was also cleaner. We rested at the post. We had totally run out of water supply.
Setelah berjalan hampir 1,5 jam melewati lebatnya dan gelapnya hutan, samar-samar di kejauhan saya melihat danau – Ranu Kumbolo terbentang luas di kegelapan diterangi sinar bulan purnama. Refleksi sinar bulan purnama terlihat indah sekali. Spontan saya berteriak, “Danaunya sudah kelihatan, di sebelah kiri!” Meskipun begitu, kami sadar jaraknya masih jauh. Dengan setengah terhuyung kami bisa melihat Pos 4. Lokasinya berada di alam terbuka. Sudah tidak ada jalan setapak lagi di sekitarnya. Pos ini lebih besar dibandingkan pos yang lainnya;k ondisinya lebih bersih. Kami semua melepaskan lelah di depan pos. Air minum sudah benar-benar habis.
Our guide suggested we make it quick at check point 4 as night was falling; it was 10 pm. We would still have to walk another half an hour to reach Ranu Kumbolo. From a distance, we could see some lights and camping grounds. We could also hear people talking.
Pemandu kami menyarankan untuk tidak terlalu lama terlena di Pos 4, karena hari semakin larut; jam menunjukkan pukul 10 malam saat itu. Masih diperlukan kurang lebih setengah jam lagi untuk sampai di Ranu Kumbolo. Dari kejauhan terlihat beberapa titik lampu dan beberapa lokasi perkemahan. Suara percakapan sayup-sayup terdengar.
From check point 4, the track began to descend. To go down the sloppy, dark valley, sometimes we had to squat or roll down since we had been too tired to hold our own bodies.
Dari Pos 4, kontur track-nya mulai berubah menurun. Untuk menuruni lembah yang terjal dan gelap, kadang-kadang kami harus berjongkok dan merosot turun, karena kaki kami sudah sedemikian lelah untuk menahan beban tubuh sendiri.
When the voices of people talking at the camping ground sounded even clearer, we knew that we had been close to Ranu Kumbolo’s camping ground. The lake lied on a valley, surrounded by hills. On one side, a green savannah spread vastly like a carpet. Again, being just too exhausted, we seemed to just pass the beauties.
Suara percakapan di perkemahan sedikit demi sedikit mulai terdengar jelas. Artinya,kami kian mendekati lokasi perkemahan di Ranu Kumbolo. Danau ini berada dilembah dikelilingi oleh bukit-bukit. Di salah satu sisinya terbentang sabana hijau seperti permadani. Lagi-lagi karena kondisi kami yang “super capek,” semua keindahan itu seperti terabaikan.
Relieved, tired, touched…we could not even describe how we felt when we finally reached Ranu Kumbolo. At 10.30 pm, two tents had been erected for the six of us. Finished having our dinner, my friends directly went into the tents to sleep. I was left outside as I wanted to savor the wonderful night in the nature, under the full moon. The atmosphere was all natural, undistracted by the urban crowd. Silent… only surrounded by the hills and covered by the star-spangled sky. However, I could not resist the cold 8° Celsius temperature for too long. I entered the tent and cuddled into the sleeping bag, trying to close my eyes. 110
Berdinding Bukit, Beratap Langit Suasana sudah benar-benar gelap. Bego-nya,hanya dua dari kami berenam yang membawa senter; lampu flash dari ponsel terpaksa kami gunakan untuk penerangan. Porter dan pemandu masingmasing menggunakan headlamp. Jarak pandang tanpa senter sangat pendek, hanya setengah meter ke depan; selebihnya gelap gulita.
2012-44
Lega, lelah, terharu… semua bercampur-aduk ketika kami berhasil mencapai Ranu Kumbolo. Pada pukul 22.30, dua tenda berukuran sedang sudah tersedia untuk kami berenam. Seusai makan malam, temanteman saya langsung memilih istirahat di dalam tenda. Saat itu saya masih di luar tenda, ingin menikmati indahnya suasana malam di alam terbuka, di bawah terangnya bulan purnama. Suasananya alami, benar-benar jauh dari keramaian kota. Sepi…hanya dikelilingi bukit dan diselimuti langit dengan tebaran bintang-gemintang. Namun, lama kelamaan dingin sekitar 8° Celsius mulai tak tertahan. Beringsut saya masuk ke tenda, dan merayap ke dalam sleeping bag mencoba memejamkan mata. 2012-44
111
traveling
Even Cameras Need Warmth The alarm I had set on my mobile phone woke me up at 4 in the morning. I wanted to capture the sunrise moment. The references I had read said that in the morning, the water on the lake would be covered in mists. The rest of the team were still asleep, unmoved by what I was doing—preparing my camera and other gears. In the biting cold, I crawled out off the tent. Walking quite away from the camping ground, I set my tripod by the lake. In less than five minutes, my fingers started freezing and could not move easily. I had to put my gloves on to fight the cold. The full moon started to hide back behind the hills on the horizon, replaced by the red spread rising on the East. My friends were coming out from the tents to enjoy the beautiful cold morning. Some of them also started to prepare their cameras. One of them seemed to be shocked when finding out that his camera’s LCD screen could not display anything though the camera itself could still function. I suggested he warm the camera up. The day got brighter gradually, so I made my way off the camping ground, exploring some spots around Ranu Kumbolo. Obviously, I also hunted for various interesting objects to capture. After having our breakfast and undo the tents, we started to trek back to Ranu Pane. From check point 4, we had just realized the beauty of Ranu Kumbolo, surrounded by the hills and savannah.
Kamera pun Butuh Kehangatan Pukul 4 pagi esoknya, saya dibangunkan suara alarm dari ponsel yang memang sengaja saya pasang. Saya ingin mengabadikan momen sunrise. Dari referensi yang saya baca, permukaan danau Ranu Kumbolo akan berkabut di pagi hari. Teman-teman masih tertidur lelap, dan sama sekali tak terganggu oleh aktifitas saya mempersiapkan kamera dan perlengkapan lainnya. Di tengah dingin yang menggigit, saya merangkak keluar tenda. Berjalan sedikit menjauhi perkemahan, saya mulai mengatur tripod di sisi danau. Belum lima menit di lokasi itu, jemari saya mulai membeku dan susah digerakkan. Terpaksa saya mengenakan sarung tangan untuk mengurangi rasa dingin. Purnama beringsut sembunyi di balik bukit di cakrawala, digantikan lembayung merah yang mulai merona di timur cakrawala.T eman-teman pun mulai keluar tenda untuk menikmati indahnya pagi nan dingin. Beberapa teman saya juga sibuk mempersiapkan kamera. Salah seorang teman terlihat syok lantaran LCD kameranya mati. Tapi kameranya tetap bisa dioperasikan. Saya menyarankan agar kameranya dihangatkan dulu. Suasana beranjak terang dan saya mulai berani bergerak menjauhi perkemahan, untuk mengeksplorasi seputaran Ranu Kumbolo. Tentu saja saya juga berburu obyek-obyek menarik untuk dipotret. Pagi itu serasa indah sekali. Kurangnya tidur dan lelahnya perjalanan tadi malam serasa tidak berarti. Setelah makan pagi dan membongkar tenda, perjalanan kembali ke Ranu Pane dimulai. Dari Pos 4, kami baru sadar akan keindahan Ranu Kumbolo yang dikelilingi bukit dengan padang sabananya.
112
2012-44
2012-44
113
traveling
S TIP THE ER M PH FROOGRA T HO
P
Things to notice when in extremely low temperature: •
If you plan to hunt for photos in extremely low temperature, it is always better to wrap your camera to keep it warm.
•
Extreme cold will freeze the camera’s LCD as well as disabling its function.
•
In some cases, the extreme temperature may also affect the camera’s mirror. The mirror may be locked that it cannot be used to shoot. Two of our cameras, different brands, experienced it; one was affected on the LCD, while the other one was mirror-locked.
•
Before shooting, it is better to put the camera out and leave it for air. Sudden change of temperature will cause dews to form inside the lens.
I AR FER D TIP GRA TO FO Yang perlu diperhatikan di lingkungan suhu sangat dingin:
114
2012-44
•
Bila ingin hunting foto di tengah suhu yang sangat dingin, sebaiknya bungkus kamera agar lebih hangat.
•
Suhu udara yang terlalu dingin akan mempengaruhi kinerja LCD (LCD menjadi beku) dan tidak menyala.
•
Pada kodisi tertentu, mirror pada kamera bisa terdampak oleh suhu udara yang sangat dingin. Mirror akan terkunci sehingga kamera tidak bisa digunakan untuk memotret. LCD mati dan mirror terkunci terjadi pada dua kamera kami dengan merek berbeda.
•
Sebaiknya keluarkan lensa dan angin-anginkan beberapa saat sebelum pemakaian. Perubahan suhu yang tiba-tiba akan mengakibatkan embun di dalam lensa.
2012-44
115
traveling
Hunting for Bromo’s Sunrise Returning back at Ranu Pane, an annoying thing happened. During the trek, our guide told us to hurry, but in fact, the jeep hadn’t been available yet when we arrived back at Ranu Pane. The car came only after we waited for about an hour.
Berburu Mentari Terbit Setibanya kembali di Ranu Pane, hal mengesalkan terjadi. Setelah oleh pemandu diminta untuk buru-buru, ternyata mobil jemputan kami terlambat datang. Mobil tiba setelah sekitar satu jam menunggu.
We headed straight to a motel in Bromo. Again, our guide confirmed that we wouldn’t be able to see the sunset since we hadn’t had enough time. And again, we were quite disturbed; we were late because of the delayed car which picked us at Ranu Pane. But, we could do nothing, so we headed to Cafe Lava inn.
Perjalanan dengan kendaraan langsung mengarah ke penginapan di kawasan Bromo. Lagi-lagi si pemandu kami mengonfirmasi bahwa kamitak bisa menikmati sunset di Bromo karena waktunya tidak cukup. Lagi-lagi pula saya dan teman-teman dibuat sewot. Sudah pasti penyebabnya adalah keterlambatan datangnya mobil jemputan di Ranu Pane. Ya sudahlah, pasrah saja, dan kendaraan membawa kami ke penginapan Cafe Lava.
After having dinner and sipping some tea and coffee, we slept early as we would have to wake up earlier, at 3.30 am, the next day to catch the sunrise at Bromo, from Penanjakan. As it hadn’t been enough, the car was delayed for about 30 minutes from the schedule. Our guide threw reasons, but we could no longer bear our anger. I told him that I was not to miss the sunrise. That was the second time I had visited Bromo, so I had already knew the best spot to capture the sunrise from Penanjakan peak. I informed my friends. We walked pass a welcome arch with the “Taman Nasional Bromo Semeru Tengger” writing and headed to a halllike space to catch the sunrise. I was not really interested to see to the direction from which the sun rose, since the view would be less attractive. We set off to a spot which was located across the Bromo caldera, Mount Batok and Mount Semeru in the distance. The sunrise experience never got me bored though I had seen it before. It was such an amazing view. The clouds covering the faraway savannah valley, sand dune and Bromo caldera, slowly began to fade away along with the rise of the sun.
Seusai makan malam dan menikmati teh dan kopi, saatnya kami merebahkan badan dan melepas penat. Pasalnya, esok paginya kami harus bangun pukul 3.30 untuk menikmati sunrise Bromo dari Penanjakan. Peristiwa mengesalkan kembali terjadi; lagi-lagi kendaraan datang terlambat 30 menit dari yang sudah dijadwalkan. Berbagai alasan dikemukakan oleh pemandu kami, dan kami pun sempat memuntahkan rasa kesal kami. Saya sendiri hanya bilang bahwa saya tidak ingin tertinggal momen sunrise. Sesampai di puncak Penanjakan, karena ini kali kedua saya ke Bromo, saya sudah tahu lokasi terbaik untuk memotret sunrise. Saya membagi informasi itu ke temanteman. Kami lantas berjalan melewati gapura bertuliskan “Taman Nasional Bromo Semeru Tengger,” dan naik menuju pelataran tempat menyaksikan momen sunrise. Saya sendiri tidak terlalu tertarik untuk melihat ke arah matahari akan terbit, karena di arah tersebut pemandangannya kurang menarik. Kami menuju lokasi yang berhadapan dengan kawah Bromo, gunung Batok dan Semeru di kejauhan. Walau sudah pernah menikmati sunrise di sana sebelumnya, tetap saja saya tidak merasa bosan untuk melakukannya lagi. Pemandangannya benar-benar luar biasa. Awan yang menyelimuti lembah sabana, lautan pasir dan kawah Bromo nun jauh di bawah sana, lambat laun merambat menghilang seiring naiknya mentari pagi.
116
2012-44
2012-44
117
traveling Bromo Caldera, Sand Dune, Savannah Moments later, our guide suggested we continue the trip to Bromo caldera. It was past 6.30 in the morning. It took about 15 minutes to the vehicle stop before the caldera. The caldera could be reached by walking or by riding on horses. The parking area was about 3.5km from the caldera, so we agreed to hire the horses. I found an excitement capturing while riding on the horse. The camera should be set in accordance to the horse’s movement. Challenging! We spent some time enjoying the situation at the lower part of the caldera. The Tengger horsemen in their distinctive outfits, the horses and the tourist passing with the nature and Mount Bromo as the background, became a wonderful combination. Also, it was one of the so many reasons why I always wanted to visit Bromo over and over again. There were sloppy stairs in front of us. There were not so many of the stairs, and the end up there could also be seen from below. Still, its sloppy leaning degree became another challenge we would have to take. This time, I felt it was easier to climb on the stairs. Perhaps, it was because I had experienced harder treks the day before, when in Ranu Kumbolo. Before setting back to Tumpang, Malang, we spent some time at the sand dune and savannah. The hot day in the sand dune was not really a big deal. It was pleasing to watch the clouds moving; the dark shadow it casted on the sands offered a dramatic impression. When passing by the savannah, we got out off the car. The savannah was just to charming to enjoy from inside the car. Surrounded by mountains, the savannah was totally wonderful. It looked even more beautiful with the snowy clouds contrasting to the blue sky. Slowly the car brought us away from the beautiful Bromo. As we left, I took with me a strong memory, which keeps on calling me to return there. (English version by Widiana Martiningsih)
Kawah Bromo, Lautan Pasir, Sabana Beberapa saat kemudian pemandu menyarankan kami kembali ke kendaraan dan menuju kawah Bromo. Jarum jam sudah menunjuk pukul 6.30 lebih. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di perhentian kendaraan menuju kawah Bromo. Kuda menjadi alternatif transportasi menuju kawah Bromo, di samping jalan kaki. Jarak dari area parkir ke kawah kurang lebih 3,5 km. Kami semua sepakat untuk menunggang kuda. Memotret dari atas kuda yang sedang berjalan pun menjadi pengalaman baru bagi saya. Setingan kamera harus disesuaikan dengan goyangan kuda. Seru! Kami sejenak menyempatkan menikmati suasana di bawah kawah Bromo. Para joki suku Tengger dengan baju khasnya, kudakuda dan berbagai wisatawan dengan latar belakang alam bebas dan pegunungan Bromo, menjadi kombinasi yang indah. Inilah satu dari sekian banyak alasan kenapa saya selalu kangen dengan suasana Bromo. Di hadapan kami masih ada tangga yang terjal untuk didaki. Jumlah anak tangganya tidak terlalu banyak, ujung atasnya pun terlihat jelas dari bawah. Tapi sudut kemiringan yang sangat terjal itu tantangan lain yang harus ditaklukkan. Ternyata kali ini naik tangga ke kawah Bromo relatif lebih ringan dibanding pengalaman pertama saya menaikinya. Mungkin karena hari sebelumnya kami sudah melalui rute yang lebih berat ke Ranu Kumbolo. Sebelum kembali keTumpang, Malang, kami sempat mampir untuk menikmati pemandangan di lautan pasir dan padang sabana. Panas terik tengah hari di lautan pasir tidak begitu berasa. Senangnya bila melihat gumpalan awan berarak. Bayangan hitamnya di lautan pasir memberikan kesan yang dramatis. Melewati padang sabana, kami berhenti dan turun dari mobil. Sayang bila keelokannya hanya dinikmati dari dalam mobil. Dikelilingi oleh pegunungan, padang sabana ini benar-benar indah. Kontrasnya awan putih di birunya langit melengkapi keindahannya. Perlahan kendaraan kami mulai meninggalkan kawasan Bromo nan indah. Ia menyisakan kenangan yang selalu melekat, dan senantiasa memanggilmanggilku untuk datang kembali ke sana.
118
2012-44
2012-44
119
traveling
Sambodo
[email protected]
In the middle of his daily routine as an interior designer in Jakarta, he always tries to escape, “to steal an opportunity” of taking pictures. New places become his favourites to travel around. He loves places with lovely landscapes, unique cultures and social life as well. He has visited Belitung and Ternate in Indonesia, and also Turky and Morocco – both countries offer things he loves.
120
2012-44
2012-44
121
bazaar
baru
bekas
Nikon 1 V1 with 10-30mm + 30-110mm 10.1 MP
Panasonic Lumix DMC-GX1 with 14-42mm 16.0 MP Rp8.320.000
Rp8.495.000
Nikon 1 J1 with 10-30mm + 30-110mm 10.1 MP
Canon PowerShot S100 12.1 MP
Rp5.700.000
Nikon Coolpix S8200 16.1 MP
Fujifilm Finepix S4000 14.0 MP
Rp3.015.000
Rp4.100.000
Nikon Coolpix S6200 16.0 MP
Rp2.499.000
Panasonic Lumix DMC-FH7 16.1 MP
Sony DSC-W620 14.1 MP
Rp1.550.000
Rp2.080.000
Canon PowerShot A3200 IS 14.1 MP
Rp1.170.000
Nikon 1Nikkor VR 10-100mm F4.5-5.6 PDZoom Rp965.000
Rp1.152.000
Nikon 1Nikkor VR 30-110mm F3.8-5.6 Rp1.750.000
Rp6.950.000
Sumber (baru) :
Sumber (bekas):
Bursa Kamera Profesional (www.bursakameraprofesional.net) Wisma Benhil lt.dasar C6, Jl. Jend. Sudirman Kav.36 Jakarta 10210 Tel (021) 5736038 - 5736688 - 92862027
www.fotografer.net *Harga per 28 Februari 2012, dapat berubah sewaktu-waktu.
Focus Nusantara (www.focusnusantara.com) Jl. KH. Hasyim Ashari No. 18, Jakarta Pusat 10130 Telp (021) 6339002, Email :
[email protected] Victory Photo Supply (www.victory-foto.com) Ruko Klampis Jaya 64, Surabaya, Jawa Timur Phone: (031) 5999636, Fax: (031) 5950363, Hotline: (031) 70981308 Email:
[email protected] *Harga per 28 Februari 2012, dapat berubah sewaktu-waktu.
122
Rp7.295.000
Panasonic Lumix DMC-GF3K with 14-42mm F3.5-5.6 ASPH 12.1 MP
Rp6.450.000
Casio ZS10 14.1 MP
Nikon 1 V1 with 10mm 10.1 MP
2012-44
Nikon 1 V1 with 10-30mm 10.1 MP Rp7.150.000
Fujifilm Finepix HS20EXR 16.0 MP Rp3.999.000
Sony DSC-W630 16.1 MP Rp1.670.000
Sony DSC-W610 14.1 MP Rp1.070.000
Nikon 1Nikkor 10mm F2.8 Rp1.375.000
Canon EOS 550D with 18-55mm IS Kondisi: 96% Kontak: 087839405000 Rp13.000.000
Canon EOS 500D, BO Kondisi: 98% Kontak: 0817358833 Rp3.850.000
Sony Handycam Projector DCR-PJ5E Kondisi: 99% Kontak: 087839405000 Rp2.650.000
Canon EOS 40D, BO Kondisi: 95% Kontak: 087839405000 Rp4.475.000
Canon EOS 1000D with 18-55mm IS Kondisi: 96% Kontak: 087839405000 Rp3.500.000
Minox Digital Classic Camera DCC 5.1 Kondisi: 99% Kontak: 08165443325 Rp1.800.000
Canon EOS 500D with 18-55mm Kondisi: 97% Kontak: 087839405000 Rp4.400.000
Nikon D3000 + kit 18-55 Kondisi: 97% Kontak: 087839405000 Rp3.500.000
Tokina AT-X PRO 100mm F2.8 Macro for Canon Kondisi: 99% Kontak: 02197760501/085692913767 Rp3.900.000
Sony NEX3 with 18-55mm Kondisi: 95% Kontak: 087839405000 Rp4.175.000
Leica D-Lux5 Black Kondisi: 98% Kontak: 085312602020 Rp6.450.000
Sony 55-200 F4-5.6 SAM DT Kondisi: 97% Kontak: 087839405000 Rp1.375.000
users’ review
PHOTO BY Muh. Rafiuddin
Nikon D5100 124
2012-44
S
udah hampir setahun kamera ini berada di pasaran, dan kita tentunya sudah paham bahwa posisinya berada di antara Nikon D3100 dan D7000. Jadi, kalau dikira-kira kemampuan Nikon D5100 berada di tengah-tengah antara kelas entry-level dan mid-range. Yang menarik lagi, jika dilihat fitur-fitur dan fasilitasnya, D5100 memang dibuat untuk menghadapi Canon EOS 600D. Tapi, hal yang disebut terakhir itu tak terlampau penting untuk pengguna. Yang
lebih penting, sebagaimana diketahui, sensornya yang 16,2 Megapixel mewarisi kepunyaan D7000. Jika Anda menyukai perekaman video dengan DSLR, D5100 sudah menyediakan video Full-HD 1080p dengan 24, 25 dan 30 fps. Colokan untuk mikrofon eksternal juga tersedia. Anda yang suka memotret dengan angle yang sulit dan bahkan ekstrem, diuntungkan dengan hadirnya layar LCD putar-lipat. Sudut pengambilan gambar menjadi sangat bervariasi, dan tidak biasa.
Ini juga memudahkan saat digunakan untuk membuat video. Melengkapi fitur-fitur unggulannya, pada D5100 ditanamkan efek-efek baru untuk meningkatkan kreatifitas Anda saat memotret. Efek tersebut meliputi miniatur, sketch, selective color, bahkan sampai Night Vision yang dengannya Anda bisa meningkatkan ISO hingga 102.400. Efek-efek itu tidak hanya bisa diterapkan pada pengambilan foto, tapi Anda juga
memanfaatkan beberapa di antaranya ketika merekam video. Efek HDR (high dynamic range) juga disediakan bila Anda memerlukannya. Kalau saja Anda hanya suka memotret, tidak bermain-main video, memang tidak banyak upgrade yang ditawarkan dari kamera pendahulunya, D5000. Meskipun demikian, Anda tetap diuntungkan karena bisa mendapatkan sensor sekualitas D7000 dengan harga yang lebih terjangkau.
Hanya saja, jika Anda membutuhkan kamera dengan continuous shooting yang lebih cepat, AF yang lebih canggih, desain yang lebih kokoh dan viewfinder yang lebih besar dari Nikon, Anda perlu melirik ke D7000, tentunya.
2012-44
125
users’ review User: Muh. Rafiuddin E-mail:
[email protected] Saya sudah menggunakan Nikon D5100 selama delapan bulan, dan kebetulan ini merupakan DSLR pertama saya. Saya memutuskan membeli kamera ini setelah melihat rank fiturnya lewat DX0Mark. com. Kualitas sensornya sebanding dengan D7000. Selama menggunakan kamera ini, saya merasa puas akan fitur-fitur yang ditanamkan di dalamnya. Salah satu yang saya sukai adalah fitur Live View, yang sangat mendukung untuk pemotretan dengan angel ekstrem. Mengenai handling-nya, saya rasa nyaman, meskipun terasa kecil di tangan. Pada foto-foto yang tersuguh di sini, saya menggunakan tiga lensa, yaitu lensa kit 1855mm, lensa fix 50mm f/1.8D AFS (motor fokus tidak berfungsi), dan lensa manual 50mm f/1.8 seri E. Pada foto makro, saya mengambilnya dengan menggunakan extention tube.
PHOTO BY Muh. Rafiuddin
126
2012-44
2012-44
127
users’ review
PHOTOs BY Muh. Rafiuddin
Next Review:
Olympus E-PL2 Silakan kirim review Anda, beserta foto-foto yang Anda hasilkan dari kamera tersebut, ke e-mail
[email protected]. Kami tunggu kiriman Anda selambat-lambatnya 23 Maret 2012.
128
2012-44
2012-44
129
index
A
embun 80
Anom Manik Agung 37
engineer 6
F
B Bali 38, 42, 67 Barbie Photo Fashion 61 bisnis fotografi 10 Bromo 98
Fotografer 10
H Hindu 38, 42
I
Bromo Semeru Tengger National Park 98
M
R
macro world 84
Ranu Kumbolo 98
Mahameru 98
reverse lens 80
Manipulasi 60
Ruel Tafalla 5
Melasti 38, 42
N
S Sacramento Bee 60
Nikon D800 59
Sambodo 97
Nikon D800E 59
Samuel Aranda 58
Nikon D5100 124
Scalado Remove 60
Nokia 808 PureView 60
Sigma 56
Nyepi 38, 42
Sony World Photography Awards 54, 55
P
T
penyucian 42
Taman Nasional Bromo Semeru Tengger 98
pernikahan 10
Teguh Santosa 78
imagination 14
C
imajinasi 14
Canon EOS 5D Mark III 54
K
cleansing 38 Knight 21 commercial 14 Kodak 61 converter 80 komersial 14 creativity 14 Komunitas Semut Ireng 67 Photographer 10
D
kreativitas 14
W
photography business 10 dewdrop 80
L
wedding 10 Photography from My Eyes 56 World Press Photo 58
DP1 Merrill 56 landscape 10
Photoshop CS6 58
lanskap 10
pinhole 68
lubang jarum 68
portrait 10
DP2 Merrill 56
E
130
2012-44
2012-44
131
next issue
next Edisi 45, April 2012
Kemeriahan Festival Balon Udara di Filipina
2 1
3 Photos by: 1. Ruel Tafalla 2. Peachy Hernando 3-4. Kristupa Saragih
4
Sebuah festival internasional balon udara telah digelar beberapa waktu lalu di Clatrk Air Base, Filipina. Sebanyak 28 peserta dari berbagai negara berpartisipasi dalam acara tersebut. Warna-warni dan berbagai bentuk balon, dan langit biru, menjadi elemen-elemen yang menarik untuk dipotret.
Pemimpin Umum
Pemimpin Perusahaan Valens Riyadi
+62 274 542580
Pemimpin Redaksi
Promosi dan Pemasaran Iklan
+62 274 542580
Redaktur
Distribusi & Sirkulasi Online
[email protected]
Kristupa Saragih Farid Wahdiono
Farid Wahdiono, R Budhi Isworo
Staf Redaksi
Widiana Martiningsih
Desainer Grafis Philip Sigar Koko Wijanarto
Ag. Farano Gunawan Moniaga Khanifun Nizar Kusuma Dewangga
Sekretariat
Alisa Zunaeroh
Alamat Redaksi
Jalan Petung 31 Papringan Yogyakarta 55281 INDONESIA
Follow us on twitter:
@fotografernet | @exposuremagz
Telepon Fax:
E-mail Redaksi E-mail Iklan:
[email protected]
Komentar dan Saran:
Exposure terbuka terhadap saran dan komentar, yang bisa disampaikan melalui e-mail ke:
[email protected]