perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CERITA RAKYAT KABUPATEN BLORA (SUATU KAJIAN STRUKTURALISME DAN NILAI EDUKATIF)
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratanmencapai derajat MagisterProgram Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh :
DyanNovitaRatriani S841102006
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CERITA RAKYAT KABUPATEN BLORA (SUATU KAJIAN STRUKTURALISME DAN NILAI EDUKATIF)
Oleh DyanNovitaRatriani S841102006
TESIS
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Magister Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa: 1. Tesis yang berjudul “Cerita Rakyat Kabupaten Blora Suatu Kajian Strukturalisme dan Nilai Edukatif” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (Permendiknas No. 17 Tahun 2010). 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapat sanksi akedemik yang berlaku.
Surakarta, Juli 2012 Mahasiswa,
DyanNovitaRatriani S841102006
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kenikmatan hidup dan kemudahan kepada hamba-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr.Ir. Ahmad Yunus, M.S., DirekturProgram Pascasarjana Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin penulisan tesis; 2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS yang telah memberikan izin penulisan tesis; 3. Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd., selaku pembimbing I danDr. Nugraheni E. Wardhani, M.Hum., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancar; 4. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS yang telah membantu penulis selama menimba ilmu di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret; 5. Bapak Supangkat, Bapak Prawiro, Bapak Soegiyanto, Bapak Sumarno, Bapak Samsirin, yang berkenan menjadi informan dalam penelitian ini; 6. Ibu, Bapak, Dyan Ayu, Dyan Bagus dan keluarga di rumah yang senantiasa mampu memotivasi penulis untuk menghadirkan karya yang lebih baik; dan 7. Teman-teman S2 PBI UNS yang mampu menjadi mitra belajar yang baik. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan. Penelitian lain yang berkaitan dengan kajian yang sama juga diperlukan sebagai rujukan dan perluasan wilayah kajian sejenis. Akhirnya, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
commit to user
vi
Surakarta, Juli 2012 Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DyanNovitaRatriani. S841102006. 2012. CERITA RAKYAT KABUPATEN BLORA SUATU KAJIAN STRUKTURALISME DAN NILAI EDUKATIF.TESIS.Pembimbing 1: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd., II: Dr. Nugraheni E. Wardhani, M.Hum. Program StudiPendidikanBahasa Indonesia, Program PascasarjanaUniversitasSebelasMaret Surakarta. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan jenis-jenis cerita rakyat Kabupaten Blora, (2) membahas struktur cerita rakyat Kabupaten Blora, (3) menjelaskan nilai edukatif yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Blora. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini informasi dideskripsikan secara teliti dan analisis. Strategi penelitian yang yang digunakan adalah studi kasus tunggal yang dilakukan pada satu karakteristik dan satu sasaran (subjek), yaitu cerita rakyat Kabupaten Blora. Data penelitian dikumpulkan melalui beberapa sumber yaitu, informan, tempat benda-benda fisik, dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi langsung, perekaman, wawancara dan analisis dokumen. Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik validasi data yang digunakan adalah triangulasi data/sumber dan triangulasi metode. Teknik validasi data lain yang digunakan adalah review informan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis model interaktif (interactive model of analysis). Cerita rakyat Kabupaten Blora yang dihimpun dan dianalisis dalam penelitian ini berjumlah lima, yaitu (1) cerita rakyat “Punden Janjang”, (2) cerita rakya “Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu”, (3) cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi”, (4) cerita rakyat “Maling Kentiri”, dan (5) cerita rakyat “Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong”. Cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut diklasifikasikan legenda, yaitu dalam kelompok legenda perorangan dan legenda setempat.Secara umum cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut berisi dan bertema asal-usul terjadinya suatu tempat. Alur cerita yang digunakan dalam cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut adalah alur maju atau alur lurus. Tokoh yang dominan dalam cerita rakyat Kabupaten Blora adalah manusia yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki kesaktian tertentu dan berwatak baik. Latar tempat dan latar sosial lebih banyak digunakan dalam cerita rakyat Kabupaten Blora daripada latar lainnya. Dalam cerita rakyat Kabupaten Blora juga terkandung amanat yang cukup bervariasi. Nilai edukatif yang terkandung di dalam cerita rakyat Kabupaten Blora meliputi nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat, nilai pendidikan agama, dan nilai pendidikan kepahlawanan. Kata kunci: cerita rakyat, strukturalisme, nilai didik.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DyanNovitaRatriani. 2012. FOLKLORE OF BLORA DISTRICT : A STUDY OF STRUCTURALISM AND EDUCATIONAL VALUES. THESIS. Supervisor I: Prof. Dr. ST. Y. Slamet, M. Pd., II: Dr. Nugraheni E. Wardhani, M.Hum.Indonesian Education Department of Postgraduate Program of SebelasMaretUniversity.Thesis. ABSTRACT This study aims to (1) describe the types of folklore in Blora district, (2) discuss the structure of folklore in Blora district, (3) explain the educational value contained in folklore of Blora District. Explanation of folklore’s types in Blora district that are classified into legend. This research is a qualitative descriptive study. In this research, informations are described in meticulous and analysis. Research strategy used here is a single case study conducted on one characteristic and one target (subject), e.g. the District Blora folklore. The research’s data are gathered through several sources, namely, the informant, physical objects places, and documents. Data collection techniques used included direct observation, recording, interviews and document analysis. Technique that is used in taking samples (sampling) is purposive sampling. Data validation techniques used is triangulation of data / sources and methods triangulation. Other data validation techniques used arethe informants review. Analysis technique used is an interactive model analysis (interactive models of analysis). Blora District folklore collected and analyzed in this research are five, namely (1) folklore “punden Janjang”, (2) Folklore “Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu”, (3) folklore “TerjadinyaDesaGersi” , (4) folklore “MalingKentiri”, and (5) folklore “KiaiAnggayudadanKeramatSambong”. Folklores in Blora district are classified into legends, especially the legend of individuals and local legends.In general, the Blora District folklore themed and showed the origins of a place. The plot type used in Blora district folklore is a straight or forward plot. The dominant figure in folklore Blora District is a human who is described as a man who has a certain magic power and good character. Place and social background are more widely used in Blora district folklore, than the other background. In Blora district folklores also contain various messages. Educational value contained in the folklore of Blora district includes the value of moral education, the value of custom education, the value of religious education, and educational value of heroism. Keywords:folklore, structuralism, educational value.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Semakin tinggi sekolah, bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.” (Pramudya Ananta Toer)
“Jangan pernah meremehkan kemampuan seorang manusia karena Tuhan pun tidak pernah.” (Donny Dirgantara)
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan.” (Soe Hok Gie)
“Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” (WS. Rendra)
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Kusuntingkan tesis ini untuk anugerah dan harta karun luar biasa yang Allah titipkan di awal perjalanan hidupku: Ibu, Bapak, DyanAyu, DyanBagus, Mas TokohWijoyo.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL .............................................................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................
iii
PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................................
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN HAK PUBLIKASI .........................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
vii
ABSTRACT ..................................................................................................... viii MOTTO ........................................................................................................... ix PERSEMBAHAN ............................................................................................
x
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. LatarBelajarMasalah ......................................................................
1
B. RumusanMasalah ...........................................................................
5
C. TujuanMasalah ...............................................................................
5
D. ManfaatPenelitian ..........................................................................
6
BAB
II
KAJIAN
TEORI,
PENELITIAN
YANG
RELEVAN,
KERANGKA BERPIKIR A. KajianTeori ....................................................................................
8
1. HakikatCeritar Rakyat .............................................................
8
2. HakikatStrukturCerita...............................................................
25
3. NilaiEdukatifdalamKaryaSastra ...............................................
36
B. Penelitian yang Relevan .................................................................
42
C. KerangkaBerpikir ........................................................................... commit to user
45
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN A. TempatdanWaktuPenelitian ...........................................................
48
B. Bentuk/StrategiPenelitian...............................................................
50
C. Data Sumber Data ..........................................................................
49
D. TeknikPengumpulan Data ..............................................................
51
E. TeknikCuplikan/Sampling .............................................................
52
F. TeknikValidasi Data.......................................................................
52
G. TeknikAnalisis Data .......................................................................
53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. DeskripsiLatarPenelitian ................................................................
54
1. DeskripsiLetakGeografis..........................................................
54
2. Luas Wilayah KabupatenBlora ................................................
55
3. PendudukdanAdatIstiadatMasyarakatKabupatenBlora............
56
4. KondisiSosialdanEkonomiMasyarakatKabupatenBlora ..........
57
5. Agama danKepercayaanMasyarakatKabupatenBlora ..............
60
6. BahasaPendudukKabupaten .....................................................
61
7. KedudukandanFungsiCerita Rakyat KabupatenBlora .............
62
B. HasilPenelitian ............................................................................... 1. Jenis-JenisCerita Rakyat KabupatenBlora ...............................
64
2. StrukturCerita Rakyat KabupatenBlora ...................................
71
3. NilaiEdukatifDalamCerita Rakyat KabupatenBlora ................ 115 C. Pembahasan .................................................................................... 129 1. Jenis-JenisCerita Rakyat KabupatenBlora ............................... 130 2. StrukturCerita Rakyat KabupatenBlora ................................... 136 3. NilaiEdukatifCerita Rakyat KabupatenBlora........................... 140 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................... 143 B. Implikasi ......................................................................................... 144 C. Saran .............................................................................................. 148 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 150 commit to user LAMPIRAN .................................................................................................... 153
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.RincianWaktudanJadwalKegiatanPenelitian.......................... ............ 49 Tabel 2.PenggunaanLahanKabupatenBlora……………………........... ..........
commit to user
xiii
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.KerangkaBerpikir…………………………………………… ........
47
Gambar 2.Analisis Model Interaktif…………………………................ ........
53
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.CatatanLapanganHasilWawancara…………………...... ............. 154 Lampiran 2.CatatanLapanganHasilWawancara…………………...... ............. 161 Lampiran 3.CatatanLapanganHasilWawancara…………………...... ............. 167 Lampiran 4.CatatanLapanganHasilWawancara…………………...... ............. 173 Lampiran 5.CatatanLapanganHasilWawancara ............................................... 180 Lampiran 6.Foto ............................................................................................... 187 PermohonanIjinPenelitian……………………………………………. ........... 197 SuratRekomendasiRiset / Survey ..................................................................... 198 SuratIjinRiset / Survey ..................................................................................... 199
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdapat banyak produk kebudayaan baik yang berupa kebudayaan materi yang kasat mata maupun budaya nonmateri yang berupa adat istiadat, norma, aturan tradisi serta budaya-budaya lisan yang berkembang di masyarakat, salah satu aspek penting dari produk budaya tersebut adalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan bagian dari bentuk budaya lisan yang berkembang di masyarakat sejak dahulu. Sastra-sastra lisan banyak menggambarkan kondisi masyarakat pada masa dahulu. Sastra lisan memiliki ketertarikan dengan realitas sosial dalam kehidupan masyarakat, sebagai cerminan yang dapat digunakan untuk melihat realitas tersebut. Banyak hal yang bermanfaat yang dapat diperoleh dari sebuah cipta sastra ketika apresiasi itu dilakukan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan daya apresiasi masyarakat menipis dan terkikis. Ceritacerita rakyat sebagai salah satu bentuk karya sastra sekan-akan tergeser. Ceritacerita rakyat yang sebenarnya banyak mengandung falsafah hidup dan nilai-nilai yang positif yang relevan dengan kehidupan masyarakat kurang dikenali oleh kaum muda. Kaum muda sekarang seakan-akan asing dan terkesan tidak mau tahu tentang cerita rakyat di lingkungannya, dan untuk sekedar mendengarkan cerita dari orang tuanya juga enggan dilakukan kaum muda. Berbeda dengan masa lalu, commit to user
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cerita rakyat diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya dengan cara dituturkan atau didongengkan menjelang tidur atau ketika sedang bersantai penuh keakraban antara orang tua dan anaknya. Situasi yang demikian ini sekarang sudah sangat jarang ditemui. Tradisi dongeng ataupun tradisi tutur lisan hendaknya tetap melekat pada anak-anak, meskipun penyampaiannya hanya sebatas cerita pengantar tidur. Tradisi ini akan membekas dalam memori anak-anak dalam kehidupannya. Orang tua, guru, lingkungan masyarakat sebagai pendidik seharusnya lebih mengenalkan cerita-cerita rakyat atau yang berupa dongeng yang dapat ditemukan dan berada di daerah
masing-masing
di
seluruh
Indonesia,
yang
sebenarnya
banyak
mengandung falsafah dan nilai-nilai positif pendidikan budi pekerti yang sangat relevan dengan budaya dan kehidupan bangsa Indonesia. Sebenarnya banyak manfaat penting yang bisa diambil dari berbagai cerita rakyat yang ada dan masih hidup di masyarakat. Melalui cerita rakyat, bisa kita ketahui bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat di masa itu. Selain itu kisah para tokoh dalam cerita rakyat seringkali mencerminkan sikap-sikap tertentu seperti keteladanan, kehebatan, kebaikan, kebajikan yang perlu dicontoh, maupun sikap-sikap keburukan, kelicikan, kedustaan, kejahatan yang harus ditinggalkan dan dijauhi. Dalam cerita rakyat ada pesan moral tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Namun demikian, karena penyampaiannya secara lisan, maka tak jarang kita mendapatkan cerita yang tidak utuh atau tidak lengkap. Di sanasini terjadi penambahan maupun pengurangan alur cerita, tergantung siapa penuturnya, sehingga kadang-kadang keaslian cerita sering kabur. commit to user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bertolak dari kondisi tersebut, maka inventarisasi serta pendokumentasian sebuah
cerita
rakyat
sangat
penting
dilakukan.
Apalagi
tradisi
tutur
mendongengdalam kehidupan masyarakat kali ini semakin berkurang bahkan cenderung menghilang. Hilangnya sebuah cerita rakyat dalam memori seseorang berarti akan hilang pula sebagian nilai budaya yang cukup penting bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan penutur cerita juga semakin langka dan dengan hilangnya
cerita
rakyat
mengakibatkan
akan
hilangnya
sumber-sumber
kebudayaan yang mengandung nilai moral, pendidikan, sejarah, agama, dan sebagainya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka cerita rakyat perlu dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa dan kekayaan budaya. Sudah seharusnya kita mau belajar memahami, gemar, dan berani memulai untuk menginventarisasikan dan membukukan cerita rakyat di lingkungan kita, sekaligus mempopulerkannya. Seperti yang juga telah diuraikan di atas, dewasa ini narasumber cerita rakyat sangat minim jumlahnya disebabkan telah meninggal dan tidak menggenerasikan cerita itu pada keturunannya. Masyarakat masa kini juga tidak peduli lagi terhadap cerita-cerita rakyat yang ada di lingkungannya. Untuk itu diperlukan usaha mendokumentasikan untuk melestarikan cerita-cerita rakyat yang hidup di masyarakat setempat agar tetap terjaga keberadaannya. Penelitian tentang cerita rakyat ini dilakukan dengan alasaningin mendokumentasikan cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora, membukukan dan menginventarisasikan serta mempopulerkan keberadaannya, menggali nilai-nilai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
edukatifnya untuk dapat digunakan sebagai salah satu sumber pengetahuan sastra daerah, khususnya sebagai unsur kekayaan budaya Indonesia pada umumnya. Keanekaragaman jenis cerita rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya di Kabupaten Blora sangat banyak dan sebagian besar memiliki bentuk, isi, struktur, serta muatan yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut dapat digali dan ditemukan nilai-nlai edukatifnya, misalnya nilai sejarah, nilai sosial budaya, nilai semangat kepahlawanan, nilai moralitas, dan nilai-nilai positif lainnya. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi agar penelitian ini lebih terarah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu antara lain: (1) jumlah cerita rakyat di Kabupaten Blora sangat banyak, (2) secara geografis letak wilayah Kabupaten Blora luas, (3) hampir setiap kecamatan di Kabupaten Blora terdapat cerita rakyat bahkan satu kecamatan memiliki bermacam-macam cerita rakyat. Lokasi penelitian cerita rakyat Kabupaten Blora berada di Desa Jajang Kecamata Jiken yaitu Legenda Punden Janjang, Desa Sambong Kecamatan Sambong yaitu Legenda Kyai Anggayuda dan Kramat Sambong, Legenda Maling Genthiri di Desa Kawengan Jepon, Terjadinya Desa Gersi di Desa Gersi Jepon dan Legenda Watu Brem/Desa Pojok di Desa Pojok. Dipilihnya lokasi penelitian cerita rakyat tersebut didasari pertimbangan bahwa dilokasi-lokasi tersebut terdapat atau memlilki cerita-cerita yang dikenal oleh masyarakat setempat berupa peninggalan-peninggalan benda fisik, makam, tempat-tempat yang dikeramatkan, semuanya berkaitan erat dengan tokoh sejarah yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara, prasasti, petilasan, commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penemuan arca-arca purkakala, dan lain-lain. Kajian strukturalisme dan nilai edukatif cerita rakyat Kabupaten Blora diharapkan nantinya dapat member manfaat positif bagi masyarakat di Kabupaten Blora Khususnya dan menambah kekayaan budaya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Berupa apa sajakah jenis-jenis cerita rakyat di Kabupaten Blora? 2. Bagaimanakah struktur cerita rakyat di Kabupaten Blora? 3. Bagaimanakah nilai edukatif yang terkandung dalam cerita rakyat di Kabupaten Blora?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menginventariskan, mendokumentasikan serta mempopulerkan cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora, mendeskripsikan
struktur
cerita
rakyat
di
Kabupaten
Blora,
serta
mendeskripsikan nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam cerita rakyat di Kabupaten Blora. 2. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Mendeskripsikan dan menjelaskan jenis-jenis cerita rakyat di Kabupaten Blora. b. Mendeskripsikan dan menganalisis struktur cerita rakyat di Kabupaten Blora meliputi isi cerita, tema, alur cerita/plot, tokoh, latar/setting, dan amanat yang terdapat dalam cerita rakyat di Kabupaten Blora. c. Mendeskripsikan muatan nilai edukatif yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Blora meliputi nilai pendidikan, pendidikan adat, pendidikan agama/religi, dan nilai pendidikan kepahlawanan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memperkaya khasanah pengetahuan sastra, khususnya sastra lisan dan kesusastraan Indonesia. b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian dan pembanding bagi peneliti peminat dan pemerhati cerita rakyat. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah Kabupaten Blora Sebagai bahan acuan untuk
menentukan kebijakan pemerintak dalam
usaha melestarikan dan memasyarakatkan sekaligus mempopulerkan cerita-cerita rakyat yang ad di Kabupaten Blora, meningkatkan potensi pariwisata, utamanya objek-objek wisata budaya yang ada di Kabupaten Blora.
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Bagi Masyarakat Blora Sebagai sumber informasi dan pengetahuanmengenai kekayaan budaya Blora berupa cerita rakyat berwujud prasasti, monumen, benda-benda pusaka (senjata perang masa lampau), makam yang dikeramatkan, sebagai warisan budaya bangsa. c. Bagi Sekolah-Sekolah di Kabupaten Blora Sebagai bahan materi pelajaran bahasa Indonesia, bahan pembinaan pengembangan pengajaran apresiasi sastra Indonesia, meningkatkan minat baca pelajar untuk lebih mengenali dan memahami keragaman budaya lingkungan sendiri, memperkaya wawasan budaya nusantara pada umumnya dan melestarikan budaya daerah berupa adat dan istiadat khususnya di Kabupaten Blora.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Teori 1. Hakikat Cerita Rakyat a. Pengertian Cerita Rakyat Cerita rakyat disamakan pengertiannya dengan folklor yang merupakan pengindonesiaan dari kata Inggris folklore yang berasal dari kata folk dan lore. Folk berarti masyarakat, yaitu sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya, sedangkan lore merupakan tradisi folk, yaitu kebudayaan. Cerita rakyat bagian dari folklore, yang mempunyai satu pengertian lebih luas. Folklore adalah suatu istilah yang diadaptasi untuk menyebutkan istilah cerita rakyat. Folklore merupakan suatu istilah dari abad kesembilanbelas untuk menunjuk lisan tradisional dan pepatah-pepatah petani Eropa, dan kemudian diperlukan sehingga meliputi tradisi lisan yang terdapat di semua masyarakat (Haviland, 1993: 229). Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan sususnan nilai sosial masyarakat tersebut. commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
9 digilib.uns.ac.id
Cerita rakyat diwariskan secara secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu, tradisi lisan (oral tradision) ini hampir sering disamakan dengan folklore, karena didalamnya tercakup pula tradisi lisan (Suwardi Endraswara, 2005:3). Cerita rakyat adalah tubuh ekspresif budaya, termasuk cerita, musik, tari legenda, sejarah lisan, peribahasa, lelucon, kepercayaan. Adat istiadat, dan sebagainya dalam kurun waktu tertentu penduduk yang terdiri dari tradisi (termasuk tradisi lisan) itu budaya, subkultur anak muda, atau kelompok. Sesuai pendapat dan pengertian dan ciri tradisi lisan dari Told dan Prudentia (1995: 2), “Oral traditional do not only contains folktales, myths, and legends, but store complete indigenous cognate system, to name a few: histories, legal practices, adat law, mediacations.” Dari pendapat tersebut dapat diartikan bawasannya tradisi lisan tidak terbatas pada cerita rakyat, mite dan legenda saja, tetapi berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap, misalnya sejarah, hokum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional. Berdasarkan pendapat Haviland, Told an Prudentia tersebut dapat diketahui bahwa pengertian folklore sangat luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan James Dananjaya (1997: 14) bahwa koleksi folklore Indonesia terdiri dari kepercayaan rakyat, upacara, cerita prosa rakyat (mite, legenda, dan dongeng), nyanyian kanak-kanak, olahraga bertanding, hasta karya, logat, dan lain-lain. Keluasan pengertian folklore dibandingkan dengan cerita rakyat (folk literature) Juga tercermin dalam pernyataan berikut ini: Folklore maybe defined as those materials in culture that circulate traditionally among member of any group in commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diffirent versions, whether in oral or by means of customary example (Brunvand, 1968: 5). Folklor dapat didefinisikan sebagai materi-materi budaya yang tersebar secara tradisional keseluruh anggota dan beberapa kelompok dalam versi-versi yang berbeda, disampaikan secara lisan melalui contoh budaya yang berarti. Brunvand (dalam James Dananjaya. 1991: 21) cerita rakyat atau folklore memiliki tiga bentuk yang berbeda. Folklore digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklore bukan lisan (non verbal folklor), folklore sebagian besar lisan (partly verbal folklore), dan folklor lisan (verbal folklore). Yang dimaksud folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklore sebagian lisan adalah folklor yang merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Dan folklore lisan adalah sebagai folklore yang disampaikan dari mulut ke mulut secara tradisional dan turun temurun (James Dananjaya. 1991: 21-22). Sejalan dengan pendapat James Dananjaya tersebut di atas, Salamon Hagar dalam artikelnya dalam Jurnal of Folklore Research yang berjudul Blackness in Transition: Decoding Radical Constructs through Stories of Ethiopian Jews. Dia mengemukakan this research has uncovered a system of racial hierarachies among the beta Israel, including asecret system of master and slaves (chewa and barya), and this system challenges conventions of control and racist ideology. Dalam artikel tersebut riset folklore digunakan untuk membongkar sistem hierarki rasial para guru dan budak (chewa dan barya) di masyarakat Etiopia sistem ini menghadapi tantangan konvensi dan kendali commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
ideologi. Menyoroti masyarakat Etiopia yang berusaha membongkar sistem rasial dalam budayanya (Salamon Hagar, 2003) Cerita rakyat atau folklore merupakan salah satu hasil budaya masyarakat yang termasuk dalam karya sastra lisan. Disebut demikian, karena sifat-sifat cerita rakyatantara lain (1) cara persebaran folklor yang biasanya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut dari generasi ke genarasi berikutnya, (2) bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap (standar), (3) folklore berada dalam berbagai versi dan varia, (4)bersifat anonym, (5) mempunyai bentuk rumus dalam banyak dan berpola, (6) mempunyai kegunaan atau fungsi di dalam folk pendukungnya, (7) bersifat pralogis, (8) folklor menjadi milik bersama (kolektif), (9) folklore biasanya bersifat polos dan lugu (James Dananjaya, 1997: 3-4). Di Indonesia sastra lisan masih sangat kurang mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan sastra tulis. Suripan Sadi Hutomo (1991: 1-2) berpendapat bahwa sastra lisan dimaksudkan sebagai kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Namun sebenarnya kesusastraan lisan maupun kesusastraan tulis adalah dunia cipataan pengarang dengan menggunakan medium bahasa. Sastra lisan lebih pesat perkembangannya di masyarakat tradisional dan sastra tulis berkembang di masyarakat modern. Sastra lisan bersifat komunal, artinya milik bersama sedangkan sastra tulis bersifat individual/perseorangan (Suripan Sadi Hutomo, 1991: 3). Michael Brown (2007) berpendapat dalam artikelnya, the New Zealand folklore society was a small organization that emerged from the folk revival scene commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
in Wellington, New Zealand, in 1996. Members ainet to collect folklore (mainly songs). Dalam pendapatnya Brown, terdapat kebangkitan kembalinya sastra rakyat di Wellington, Selandia Baru tahun 1966. Dia mengarahkan anggota dan mengumpulkan dongeng-dongeng yang bersifat nyanyian rakyat. Sejalan dengan pendapat tersebut Timothy R. Tangherlini (2008) menyampaikan pendapatnya Collestion of century Danish Folklore is an amusing…dalam uraian tersebut pada abad ke Sembilan belas di Denmark, dongeng-dongeng merupakan suatu yang menghibur rakyat. Dongeng-dongeng tersebut berisi sesuatu yang menghibur dan terdapat kebenaran di dalamnya. Koenraad Kuiper dalam artikelnya menyampaikan the article proposes a research programme in folklore studies and cultural anthropology to investigate those part of pakehe (non-Maori) cultural continuity that can be traced to a set of largely working class and rural ritual and practices from Britain… dalam pendapat tersebut mengusulkan dongeng-dongeng seperti Pakehe yang di dalamnya berisi kelas-kelas pekerjaan dan upacara agama pedesaan di Britain (Koenraad Kuiper, 2007). Meider Wolfgang (2003) dalam artikelnya, “Now I Sit Lake a Rabbit in the Pepper”. Proverbial Language in the Letter of Wolfgang Amadeus Mozard. Dia berpendapat the stylistic and biographical discussion of the traditional folk rhetoric is grouped under eight subheadings: Incatations and curses as proverbial formulas, animal phrases as social commentary, sometic expressions as emotional indicator. Dia berpendapat bahwa dalam penelitian folklornya berkaitan dengan mantra dan kutukan yang dirumuskan menjadi pepatah, termasuk binatang yang commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbicara yang berkomentar tentang sosial. Folklor yang diambil untuk pengertian tersebut tokoh binatang yang berbicara, sama halnya dengan cerita “Si Kancil”. Fank mengemukakan bahwa kesusastraan rakyat adalah sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat. Sastra rakyat dituturkan oleh ibu kepada anaknya dalam buaian, atau tukang cerita kepada penduduk kampung yang tidak bisa membaca dan menulis. Atas kehendak pihak istana, adabeberapa cerita yang ditulis dan dibukukan. Dengan demikian sastra lisan berkembang terlebih dahulu daripada sastra tulis yang berkembang di istana, (Liaw Yock. Fank, 1982: 12). Suatu contoh sastra lisan yang berkembang sebelum sastra ditulis, seperti cerita-cerita tentang kebesaran istana yang banyak diceritakan dan disebarkan kepada rakyat, contoh lain seperti yang sudah disebutkan di atas yaitu cerita tentang “Si Kancil”, Kancil dan Seruling Nabi Sulaiman, Kancil dan Buaya, Kancil dengan Keong, Kancil dan Pak Tani, dan lain-lain. John Bendix (2003: 5), artikelnya “A Lost Track: On the Unconscious in Folklor” dalam penelitian mengemukakan Psychoanalysis and Folklore. Jeggle describes the opportunities that may have been lost for exploring the bridges between fokloristic and psychoanalytic scholarship. Using examples from folk belief and dream, from the realm of mental illness and oracle interpretation. John Bendix menyampaikan dalam artikel folklornya bahwa oportunitas yang mungkin telah hilang untuk menyelidiki jembatan antara psikoanalitik dan folkoloistik. Menggunaan contoh dari kepercayaan rakyat dan mimpi dari dunia sakit ingatan dan penafsiran ramalan. commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cerita sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu, peristiwa yang satu berlangsung sesudah terjadinya peristiwa yang lain. Dengan demikian hakikat cerita akan melibatkan 2 unsur, yakni bentuk dan substansi. Jelasnya, cerita hakikatnya merupakan pembeberan dan pengurutan gagasan yang mempunyai urutan awal, tengah, dan akhir (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 92). Cerita rakyat merupakan bagian dari sastra daerah yang dalam pengungkapannya menggunakan bahasa setempat, berkembang dari masa lalu sejak bahasa-bahasa tulis belum dikenal. Cerita rakyat diwariskan secara lisan, sehingga banyak tambahan yang disisipkan atau dikembangkan dan bervariasi tergantung si pencerita, sehingga muncul beberapan versi berbeda meskipun ceritanya sama. Sama seperti sastra lisan, cerita rakyat biasanya disebarkan secara lisan (dari mulut ke mulut) bersifat tradisional, dari satu generasi ke generasi, dapat terdiri dari berbagai versi cerita, dan biasanya tidak diketahui pengarangnya. Kadang-kadang penuturannya disertai dengan perbuatan misalnya melalui gerakan tari-tarian, tradisi mendalang dan sebagainya. Ini juga menjadi ciri-ciri cerita rakyat yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia
b. Jenis-Jenis Cerita Rakyat Para ahli sastra menggolongkan cerita rakyat secara berbeda-beda namun ditemukan banyak kesamaan. Penelitian ini mengambil cerita rakyat dari tiga kelompok yaitu mite/mitos, legenda, dan dongeng, tetapi peneliti hanya commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengambil kelompok legenda, yakni legenda setempat dan legenda perseorangan. Hal ini dimaksudkan mempertimbangkan keberadaan cerita rakyat. Cerita rakyat memiliki beberapa perbedaan tentang penggolongannya. Namun, perbedaan penggolongan cerita rakyat tersebut bukanlah sesuatu yang penting. Hal-hal yang berbeda tersebut, akhirnya akan ditemukan adanya kesamaan, unsur edukatifnya, maupun unsur religinya dll. Fank membagi cerita atau sastra rakyat menjadi lima golongan, yaitu: (1) cerita asal-usul, (2) cerita binatang, (3) cerita jenaka, (4) ceria pelipur lara, (5) pantun, Liaw Yock Fank (2002: 1). James Dananjaya (1997: 30) menyebutkan bahwa cerita rakyat yang tergolong dalam sastra lisan, di dalamnya dibagi menjadi (1) mite (myth), (2) legenda (legend) serta (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat pendukungnya, legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi oleh pendukungnya tetapi tidak dianggap suci seringkali mengambil tokoh manusia, kadang kala mempunyai sifat yang luar biasa dan dibantu oleh makhluk halus, tempat kejadiannya bisa masa sekarang maupun masa lampau, sedangkan dongeng (folktale) merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi, tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Lie Yock Fank (dalam Herman J. Waluyo, 2008: 2, 16, 20), menyatakan ada lima jenis cerita rakyat yaitu: mite, legenda, fabel, cerita jenaka, dan cerita pelipur lara. Mite dan legenda secara bersama-sama disebut dongeng etiologi/asal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
usul. Fabel adalah cerita binatang. Cerita jenaka disebut juga cerita lucu. Cerita pelipur lara adalah kisah muda-mudi. Selanjutnya Herman J Waluyo, (2008: 1-20) memberikan contoh masingmasing cerita rakyat antar lain: 1) Mite contohnya dongeng Nyai Roro Kidul, dongeng Aji Saka, dongeng Hantu dan Roh Halus. 2) Legenda contohnya dongeng Asal Usul Desa/Kota/daerah, Terjadinya Kota Banyuwangi, Terjadinya Gunung Tangkuban Perahu. 3) Fabel contohnya Kancil dengan Harimau, Kancil dengan Pak Tani. 4) Cerita jenaka contohnya Pak Pandir dan Musang Berjanggut. 5) Cerita pelipur lara contohnya Sri Rama, Roro Mendut-Pronocitro. Berikut penuturan Hernan J Waluyo dalam Cerita Rakyat dari Berbagai Daerah. (2008: 1) “ Cerita rakyat bukanlah folk-lore, namun folk-literature yang merupakan bagian dari folk-lore. Di berbagai daerah ada cerita rakyat. Sering kali cerita rakyat dari berbagai daerah yang satu ada persamaannya dengan cerita rakyat daerah lain, karena dulunya terjadi penyebaran itu secara lisan.” Berbeda dengan pendapat Liaw Yock Fang di atas, secara umum, Bascom (1965:4) membagi cerita rakyat/cerita prosa rakyat (folk literature) ke dalam tiga kelompok, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale). Senada dengan Bascom, Haviland (1993: 230) juga membagi cerita rakyat ke dalam tiga kelompok, yaitu: mitos, legenda, dan dogeng. Untuk menghindari perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai cerita rakyat, maka dalam penelitian ini membagi cerita rakyat (folklore) menjadi to user tiga kelompok, yaitu: (1) mite, commit (2) legenda dan (3) dongeng. Selain itu juga
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
mempertimbangkan bahwa cerita rakyat yang diangkat dalam penelitian ini masuk dalam kategori pendapat William R. Van Bascom dan Haviland. Ketiga bentuk cerita rakyat tersebut dapat diuraikan secara teoritis sebagai berikut: 1) Mite atau Mitos Mite atau mitos cerita yang bersifat dongeng tentang asal-usul suatu tempat, tentang kejadian alam, manusia binatang, dan penempatan. Apabila ditinjau dar segi peristilahan mite berasal dari kata “mythos” (Yunani) yang berarti cerita para dewa-dewa dan pahlawan perkasa yang dipuja-puja. Bascom dalam Dananjaya menyatakan pendapatnya bahwa mite (mitos) adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang tidak dikenal sekarang, karena terjadi pada masa yang telah lampau (Bascom dalam James Dananjaya, 1997: 50). Lebih lanjut James Dananjaya (1997: 50) menjelaskan bahwa mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan tentang petualangan tentang para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka dan sebagainya. Suripan Sadi Hutomo berpendapat bahwa mite atau mitos adalah cerita-cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau agama. Yang termasuk mitos adalah cerita-cerita yang menerangkan asal-usul dunia, kehidupan manusia dan kegiatan-kegitan hidup seperti bercocok tanam, kepercayaan Dewi Sri atau adat-istiadat lainnya (Suripan Sadi Hutomo, 1991: 63). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
Stainberg berpendapat bahwa mite adalah cerita rakyat yang bersifat suci, penuh dengan kegaiban dan kesaktian, dan mempunyai dasar sejarah (dalam Djarmanis, 2003: 98). Hidayat dan Navis, (2003: 87) menyatakan bahwa mitos merupakan gambaran tenang suatu dalam bentuk simbol agar memudahkan orangorang memahaminya. Dengan demikian, mitos sebenarnya merupakan suatu realitas yang terlalu kompleks dan sulit dipahami, karena mitos merupakan ekspresi berbagai makna dan cara. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mitos adalah cerita tradisi tentang binatang, kejadian alam, dan penempatan. Cerita tradisi tersebut yang dianggap benar-benar terjadi dan bersifat suci penuh dengan kegaiban dan kesaktian dan mempunyai dasar sejarah cerita, cerita tentang peristiwa-peristiwa yang semihistoris yang menerangkan masalah-masalah tentang kehidupan manusia, dan asal mula terjadi dunia. 2) Legenda Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Legenda adalah cerita yang mengisahkan sejarah satu tempat atau peristiwa zaman silam. Ia mungkin berkisah tentang seorang tokoh, keramat, dan sebagiannya. Setiap penempatan yang bersejarah lama mempunyai legendanya sendiri. Haviland (2003: 230-231) menyatakan bahwa legenda adalah cerita-cerita semihistoris yang memaparkan perbuatan para pahlawan, perpindahan penduduk, dan terciptanya adat kebiasaan lokal, selalu berupa campuran antara yang realis dan yang supranatural dan luar biasa. Sebagai cerita rakyat legenda tidak harus commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipercaya atau dipercaya, tetapi fungsinya untuk menghibur dan untuk memberi pelajaran serta untuk membangkitkan atau untuk menambahkan kebanggakan orang atas keluarga, suku, atau bangsa (nation). Legenda dapat memuat tentang keterangan-keterangan
langsung
atau
tidak
langsung
tentang
sejarah,
kelembagaan, hubungan nilai, dan gagasan-gagasan. Legenda juga memuat cerita omong kosong dan sebagainya. William R. Van Bascom (dalam Djamaris, 2003: 98) Legenda adalah cerita yang mempunyai cirri-ciri mirip mite yang dianggap benar-benar terjadi, akan tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite. Legenda ditokohi oleh manusia biasa walaupun ada kalanya sifat-sifat luar biasa atau sering juga dibantu oleh makhluk gaib. Legenda dapat mengandung rincian-rincian mitologis, khususnya kalau berkaitan dengan masalah supranatural dan oleh karena itu tidak selalu dapat dibedakan dengan mitos. Secara lebih terperinci, Brunvand menggolongkan legenda ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) legenda keagamaan (religious legend), (2) legenda alam gaib (supernatural legend), (3) legenda perseorangan (personal legend), dan (4) legenda setempat (local legend), (James Dananjaya, 1997: 67-71). 1) Legenda Keagamaan Legenda keagamaan (religious legends) misalnya, bisa diketahui dari adanya beberapa tokoh keagamaan yang berperan dalam pemberontakan maupun penumpasan terhadap peristiwa tertentu. Selain itu setelah mengetahui beberapa legenda yang ada, menunjukkan bahwa di dalam cerita mengisahkan tentang commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tokoh-tokoh keagamaan yang juga berperan di dalamnya, misalnya peran modin dalam legenda sunan, kiai, dan sebagainya. 2) Legenda Alam Gaib Legenda alam gaib (supernatural legends), legenda seperti biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda seperti ini untuk meneguhkan kebenaran sifat “ketahayulan” atau kepercayaan masyarakat. Dari hal-hal seperti itulah akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap kesaktian sang tokoh di dalam cerita tersebut, sehingga pada akhirnya legenda tersebut lebih dipercayai oleh masyarakat pendukungnya. 3) Legenda Perseorangan Legenda perseorangan (personal legends), adalah cerita mengenai tokohtokoh tertentu yang dianggap oleh pemilik cerita benar-benar terjadi (James Dananjaya, 1997: 73-75). Legenda perseorangan ini banyak dijumpai di Indonesia, di daerah Jawa khususnya kita mengenal legenda perseorangan, seperti “Pangeran Samodra” dari Sragen, legenda “Joko Buduk” dari Sragen, legenda “Raja Mala” dari Surakarta dll (Bakdi Sumanto, 2001). 4) Legenda Setempat Legenda Setempat (local legends) adalah legenda atau cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan berbentuk topografi suatu tempat (James Dananjaya, 1997: 75-83). Legenda yang berhubunga dengan nama suatu tempat contohnya, asal mula nama kota Salatiga, Banyuwangi, asal mula nama daerah Rawa Pening, dan sebagainya. Sementara itu legenda yang commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berhubungan dengan bentuk topografi suatu tempat yaitu legenda Sangkuriang, legenda Gunung Tangkuban Perahu, legenda Gunung Mardido, dan lain-lain. 3) Dongeng Dongeng (folktale) dalam bahasa Belanda disebut dengan “sprokje” dalam bahasa Jerman disebut degan “marchen”. Hartoko dan Rahmanto, (1999: 34) mengemukakan dongeng adalah cerita tradisi yang secara lisan turun temurun disampaikan kepada kita, pengarangnya tidak dikenal. Dunianya khayalan. Bascom (dalam James Dananjaya, 1994: 50) berpendapat dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita, tidak terikat oleh waktu dan tempat. Lebih lanjut (Haviland, 1993: 233) juga menyampaikan pendapatnya bahwa dongeng adalah cerita kreatif yang diakui sebagai khayalan untuk hiburan. Pengertian lain disampaikan oleh Idat Abdulwahid, Min Rukmini, dan Kalsum, (1998: 14-16) bahwa dongeng adalah cerita pendek kolektif kasusastraan lisan yang merupakan cerita prosa rakyat dan dianggap tidak benar-benar terjadi. Dongeng adalah cerita rakyat yang secara lisan turun temurun disampaikan pada kita, dan pengarangnya tidak dikenal. Dongeng biasanya tidak ada catatan mengenai tempat dan waktu, biasanya tamat dengan happy ending, atau berarkhir dengan suatu kebahagiaan, susunan kalimat, struktur dan penokohan sederhana, serta sering terjadi pengulangan (Diek Hartono dan Bernardus Rahmanto, 1986: 34). Sejalan dengan definisi tersebut dinyatakan bahwa dongeng adalah cerita kreatif yang diakui sebagai khayalan, untuk hiburan (Haviland, 1993: 233). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa dongeng tidak mengandung aspek historis.
Selain itu diakui bahwa dongeng hanya sebagai
khayalan belaka. Walaupun dipandang untuk keperluan hiburan dongeng juga member atau dapat digunakan sebagai wejangan atau member pelajaran praktis. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga cerita yang menggambarkan kebenaran, berisikan pelajaran (moral) atau bahkan sindiran. Dongeng biasanya berisikan petualangan tokoh cerita yang penuh pengalaman ajaib dan akhirnya mendapatkan kebahagiaan. Kejadian-kejadian yang dialami tokohnya sering merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Dongeng biasanya berisi kisah petualangan tokoh cerita yang penuh dengan pengalaman gaib dan berbagai macam tantangan yang akhirnya mendapat kebahagiaan. Kejadian-kejadian yang dialami oleh tokoh cerita berupa hal-hal yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Liew Yock Fank dalam Herman J. Waluyo (2009: 23) mengemukakan dongeng termasuk klasifikasi cerita rakyat (folk literatur). Cerita rakyat tersebut merupakan bagian dari kebudayaan rakyat (folklore) yang meliputi mite, legenda, fabel, cerita jenaka, dan cerita pelipur lara. Dalam kebudayaan tertentu atau yang berkembang di daerah tertentu, orang akan dapat mengelompokan tipe-tipe dongeng lokal, misalnya: dongeng hewan, dongeng pengalaman manusia, tipu muslihat, dilema, moral, hantu, cerita omong kosong, cerita cabul, dan sebagainya. Namun, seperti halnya legenda, dongeng seringkali menggambarkan suatu pemecahan-pemecahan local, masalahcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
masalah etis yang terdapat secara menyeluruh (universal) pada umat manusia. Dalam arti tertentu dongeng dapat mengemukakan suatu filsafat tentang moral. Oleh karena itu, pelajaran atau nilai-nilai yang terkandung dalam suatu dongeng dapat menggambarkan sampai manakah seseorang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri dalam menghadapi berbagai persoalan dan berbagai masalah-masalah di dalam masyarakat itu sendiri. c. Fungsi Cerita Rakyat Cerita rakyat yang ada dalam suatu daerah biasanya tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan. Cerita rakyat merupakan meruoakan sendi-sendi kehidupan secara lebih mendalam. Kehadira atau keberadaannya sering merupakan tanggung jawab atau teka-teki alam yang terdapat di seputar kita. Namun, saat ini penutur cerita rakyat sudah jarang dijumpai atau sudah langka. Hai itu menuntut adanya penginventarisasian cerita rakyat agar isi ceritanya dapat kita nikmati. Nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat kita tenamkan kepada generasi muda serta dapat dilestarikan keberadaannya. Pandangan secara umum tentang isi cerita rakyat atau folklore merupakan suatu gambaran masyarakat pemiliknya. Artinya folklore atau cerita rakyat dapat dijumpai di seluruh daerah atau suku di Indonesia dengan segala jenis dan variasinya. Cerita rakyat berfungsi mengungkapkan hal-hal atau sendi-sendi kehidupan masyarakat secara lebih mendalam. Kebenarannya merupakan jawaban atas teka-teki alam yang terdapat di sekitar kita. Secara nyata, cerita rakyat mampu memberi sumbangan nilai-nilai pendidikan yang kadang kita kurang commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyadarinya. Padahal, cerita rakyat dapat berperan dalam pengembangan kepribadian manusia, terbukti cerita yang dibawakan oleh orang tua akan mempengaruhi jiwa anaknya sehingga pada kelanjutannya dapat membentuk pribadi si anak di kelak kemudian hari sebagai generasi penerus yang mengerti asal-usul nenek moyangnya, dan meneladani kehidupan para pendahulu, serta menghindari hal-hal yang kurang terpuji. Menurut James Dananjaya (1997: 19) pengkajian sastra lisan yang di dalamnya termuat cerita rakyat (folk literature) memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai sistem proyeksi (projective system), (2) sebagai alat pengesahan pranatapranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidik anak (pedagogical device) (4) sebagai alat pemeriksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Secara ringkas, satra lisan di masyarakat memiliki empat fungsi, yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai alat pengesahan sosial, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan (4) sebagai alat pendidik anak (Suripan Sadi Hutomo, 1991: 69). Keempat fungsi inilah yang juga mendorong perlu dan pentingnya kajian secara mendalam
mengenai cerita rakyat. Cerita rakyat, selain merupakan
hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui (1) asal-usul nenek moyang, (2) jasa atau teladan
kehidupan para pendahulu, (3) hubungan kekerabatan
(silsilah), (4) asal mula tempat, (5) adat-istiadat, dan (6) sejarah benda pusaka (Dendy Sugono, 2003: 126). Selain itu, cerita rakyat juga dapat berfungsi sebagai penghubung kebudayaan masa silam dengan kebudayaan yang akan datang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
Dalam arti luas, sastra lisan (cerita rakyat) dapat juga berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan benih-benih kesadaran akan keangungan budaya yang menjadi pendukung kehidupan suatu bangsa.
2. Hakikat Struktur Cerita Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran ari semua bahan dan bagian yang menjadikan komponennya secara bersama membentuk suatu kebulatan (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 36). Faruk (2003: 16) mengemukakan bahwa struktur karya sastra juga mengacu pada suatu pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, dan secara bersama membentuk suatu kesatuan yang utuh. Sejalan dengan pernyataan Burhan Nurgiyantoro, Panuti Sudjiman (1988: 13) menyatakan bahwa melalui kegiatan analisis, kita akan menjadi paham akan duduk perkara suatu cerita. Pembaca akan dapat lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, penokohan, gaya dan hal-hal yang diungkapkan dalam karya itu. Untuk mengetahui struktur sebuah cerita perlu mengadakan sebuah analisis.
Analisis strukturan dilakukan untuk membongkar dan memaparkan
secara cermat, teliti dan detail dan mendalam atas keterjalianan semua unsur dan aspek semua karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2003: 112). Pendapat lain disampaikan oleh Zaenudin Fananie bahwa karya sastra bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting dan bahasa yang merupakan satu kesatuan utuh (Zainudin Fananie, 2001: 76). Sastra mengenal istilah strukturalisme sebagai salah satu pendekatan dan penelitian kesastraan yang menekankan pada kajian, hubungan antarunsur pembangun suatu karya. Jadi strukturalisme disebut juga sebagai pendekatan objektif yang dipertentangkan dengan pendekatan lain misalnya pendekatan mimetik, ekspresi, dan pragmatik (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 37). Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik, keadaan peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Analisis struktural bertujuan memaknakan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai oleh sebuah struktur yang komplek dan unik (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 37-38). Cerita tradisi sebagai bagian dari karya sastra dipandang sebagai kebulatan dan keterjalinan makna yang diakibatkan oleh adanya perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain kajian intrinsik struktur cerita juga memandang dan menelaah cerita tradisi itu dari segi yang membangun karya sastra, yaitu tema, alur, latar, dan penokohan (Atar Semi, 1993: 13). Kajian struktural sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sosial, budaya kesejarahannya, karena akan menyebabkan karya itu menjadi amat terbatas dan kurang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
analisis struktural dilengkapi dengan analisis lain yang dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara lebih luas (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 39). a. Tema Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Karena karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, sosial budaya, agama, teknologi, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Tema dapat juga berupa pandangan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita dan gagasan dasar umum tersebut digunakan untuk mengembangkan cerita. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita dan menjiwai seluruh bagian cerita tersebut (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 70). Panuti Sudjiman memberi batasan dengan istilah tema sebagai gagasan ide, yaitupokokpersoalah yang mendominasi suatu karya sastra (1998: 50). Sementara itu, Burhan Nurgiyantoro (1994: 70) membatasi istilah tema sebagai gagasan dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel. Berdasarkan definisi tema tersebut dapat ditarik kesimpulan tema adalah gagasan pokok yang mendasari suatu cerita dan mendominasi suatu karya sastra. Suminto A. Sayuti menyatakan bahwa dalam pengertian yang paling sederhana, tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita (Suminto A. Sayuti, 1998: 97). Sejalan dengan pendapat tersebut, Fananie menyampaikan pendapatnya tentang tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra (Zaenudin Fananie, 2001: 84). Karena sastra commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam. Tema dapat berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, perjuangan, teknologi, tradisi yang berkaitan erat dengan masalah kehidupan. Tema selalu berkaitan dengan pengalaman kehidupan, melalui karyanya itu, pengarang menawarkan makna tertentu dalam kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat merasakan dan menghayati makna kehidupan. Mungkin kita akan merasakan suatu keharuan, penderitaan atau kebahagiaan seperti yang dialami tokohnya, atau sifat emotif yang dapat menyebabkan kita mengalami perubahan dalam menjalani hidup dan kehidupan ini (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 71). Tema merupakan refleksi fiksional tentang kehendakmanusia untuk memberi makna terhadap pengelaman-pengalamannya. Tema merefleksikan kehendak manusiayang mendasar dan bersifat universal. Tema merupakan salah satu dari daya tarik sebuah fiksi yang juga paling mendasar dan universal. Dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan sentral pengarang yang akan disampaikan kepada pembaca. Tema adalah masalah hakiki manusia yang ingin dipecahkan dalam karya yang diwujudkan oleh pengarang. b. Plot/Alur Cerita Alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang merupakan susunan kejadian-kejadian yang satu sama lain saling berhubungan. Alur disebut juga plot. Alur atau plot adalah rangkaian kejadian dalam ceritayang disusun sebagai interelasi fungsional kejadian dalam cerita yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1993: 43). commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kejelasan plot/alur cerita adalah kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang dikisahkan secara linier, akan mempermudah pemahaman terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan plot berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita dimengerti, sebaliknya plot yang rumit dan komplek menyebabkan cerita sulit dipahami (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 110). Kaidah Pemplotan 1) Plausibilitas Plausibilitas diartikan sebagai suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. Plot sebuah cerita harus memiliki sifat plausible, dapat dipercaya oleh pembaca. Pengembangan plot cerita yang tidak plausible dapat membingungkan dan meragukan pembaca, misalnya karena tidak ada atau tidak jelasnya unsur kausalitas. Lebih dari itu mungkin orang akan menganggap bahwa karya tersebut kurang bernilai (literer) (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 130). 2) Suspense Suspense adalah cerita yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembacanya dan pembaca akan terdorong keinginannya untuk membacanya sampai selesai. Menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 134), Suspense adalah harapan yang belum pasti pada pembaca terhadap akhir cerita. Jelasnya unsur suspense akan mendorong, mengelitik, dan memotivasi pembaca commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk setia mengikuti cerita mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita. Unsur suspense yang terus-menerus terjaga secara kuat melingkupi perkembangan
plot,
pembaca
akan
merasa
penasaran
jika
belum
menyelesaikannya. Cara membangkitkan suspense dalam sebuah cerita adalah menampilkan foreshadowing yakni menampilkan peristiwa tertentu yang bersifat mendahului mungkin saja berupa pertanda atau firasat (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 135). 3) Surprise Surprise adalah sesuatu yang bersifat mengejutkan atau kejutan yang menampilkan sesuatu yang menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan pembaca (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 136). Jadi bisa dikatakan dalam karya itu terdapat penyimpangan, pelanggaran, atau penentangan dalam cerita dengan apa yang telah menjadi biasanya. Plot yang baik suspense, surprise, dan plausibility berjalinan sangat erat dan saling menunjang, saling mempengaruhi serta membentuk satu kesatuan yang padu (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 138). 4) Kesatupaduan Kesatupaduan menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, berkaitan dengan acuan yang
mengandung
konflik
atau
seluruh
pengalaman
yang
hendak
dikomunikasikan memiliki keterkaitan (ada benang merah yang menghubungkan) aspek cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 138). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Plot atau alur cerita meliputi: (1) paparan awal cerita (expotition), (2) masuk problem (inciting moment), (3) penanjakan konflik (rising action), (4) konflik makin ruwet (komplication), (5) menurunnya konflik (talking action), (6) penyelesaian (denouement) (Herman J. Waluyo, 1995: 148). Sesuai dengan beberapa pendapat mengenai alur cerita tersebut, Herman J. Waluyo membagi alur/plot sebuah cerita menjadi enam tahapan, yaitu: (1) Paparan awal cerita (expotion), yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar serta tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupkan tahap pembukaan cerita atau pemberian informasi awal yang berfungsi sebagai landasan cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. (2) Mulai ada problem (generaying ciricumstances), yaitu tahap memunculkan masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal muncul konflik. Konflik itu akan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. (3) Penanjakan konflik (rising action), yaitu tahap pemunculan konflik yang semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwaperistiwa dramatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mulai mengarah ke klimaks dan semakin tak terhindarkan. (4) Konflik yang semakin ruet (complication), yaitu tahap penyampaian konflik atau puncak ketegangan. Pertentangan-pertentangan yang terjadi pada diri atau antartokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih satu klimaks. (5) Konflik menurun (falling action), yaitu tahap klimaks mulai menurun. Artinya, klimaks sudah mulai kendor. Konflik sudah hampir berakhir dan sudah mulai ada titik tentu. (6) Tahap penyelesaian (denouement), tahap pemberian solusi atau jalan keluar. Konflik-konflik yang ada diberi jalan keluar, lalu cerita diakhiri. Dari beberapa pendapat di atas, plot merupakan jalinan cerita dari awal sampai akhir, berkesinambungan, dinamis, berhubungan dengan sebab akibat (kausalitas), berperan sangat penting dalam cerita, berfungsi untuk membaca ke arah pemahaman secara rinci. Plot yang baik adalah sebuah alur cerita yang mudah dipahami pembacanya. c. Tokoh dan Karakter Istilah “Tokoh” merujuk pada orangnya atau pelaku cerita, misal pelaku utama, atau tokoh pemeran protagonis, antagonis, dan sebagainya. Karakter adalah watak atau perwatakan menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca atau lebih pada kualitas pribadi seorang tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165). Teknik Penokohan dan Penggambaran Watak: 1) Teknik Penokohan Seorang tokoh cerita ciptaan pengarang itu jika disukai banyak orang dalam kehidupan nyata apalagi sampai dipuja dan digandrungi berarti merupakan tokoh commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang mempunyai relevansi. Salah satu bentuk kerelevansian tokoh sering dihubungkan dengan kesepertihidupan (lifelikeness) (Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 175). 2) Teknik Penggambaran Watak Teknik penggambaran/pelukisan watak tokoh dalam suatu karya yakni pelukisan/penggambaran sikap, sifat, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dibedakan kedalam dua cara atau teknik, yaitu teknik uraian (telling) dan teknik ragaan (showing). Kedua teknik ini hanya berbeda istilah namun secara esensial sama, yakni menyarankan pada penggambaran secara langsung dan penggambaran secara tidak langsung. Kedua teknik tersebut masing-masing memiliki kelamahan dan kelebihan yang dalam penggunaannya tergantung pada selera pengarang dan kebutuhan penceritaan. Pada umumnya pengarang menggunakan campuran dengan mempergunakan duaduanya, hal itu dirasa lebih menguntungkan karena kelemahan masing-masing dapat ditutup (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 195). Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang ditafsirkan pembaca memiliki kualitas moral tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan. Jadi istilah penokohan pengertiannya lebih luas daripada tokoh dan perwatakan.
Singkatnya,
pengarang
bebas
untuk
menampilkan
dan
memperlakukan tokoh meskipun hal itu berbeda dengan dunianya sendiri di dunia nyata (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 166). commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Latar/Setting. W.H. Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198), mengatakan bahwa setting adalah keseluruhan lingkungan cerita meliputi adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup tokohnya yang berkaitan dengan waktu, tempat penceritaan, tempat terjadinya cerita, misalnya siang, malam atau pagi, hari, bulan, atau tahun, di desa, kota atau wilayah tertentu, di pantai, gunung, danau, sungai atau lingkungan masyarakat tertentu, dan sebagainya. Unsur latar data dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut menawarkan permasalahan berbeda, tetapi saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Unsur-unsur latar tersebut yaitu: 1) Latar Tempat Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diciptakan dalam sebuah karya fiksi. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya penyebutan jenis yang bersifat umum yakni sungai, jalan, kota, desa, hutan dan sebagainya. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi dan keberhasilan penampilan unsur latar dapat dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 227-228).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
2) Latar Waktu Latar waktu sangat berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Biasanya dihubungkan dengan waktu faktual untuk memberi kesan pada pembaca seolaholah cerita itu sungguh ada dan terjadi sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan plot dan cerita secara keseluruhan dan bersifat fungsional (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 230). 3) Latar Sosial Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, mencakup berbagai masalah dalam ruang lingkup yang cukup komplek meliputi kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, latar spiritual, dan status sosial tokoh-tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 233). e. Amanat Amanat dapat disajikan secara eksplisit (tersurat) dan imptlisit (tersirat), melalui dialog atau percakapan antartokoh akan mudah ditangkap maknanya oleh pembaca, atau dapat pula dengan melalui perenungan atau pemikiran atas apa yang terjadi dalam cerita. Amanat dapat bersifat interpretatif artinya setiap orang mempunyai penafsiran makna yang berbeda dengan yang lain (Herman J. Waluyo, 2008: 151). Cerita yang dikatakan baik, yakni cerita yang dapat diteladani bagi manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan mengenali dan commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gemar membaca cerita rakyat akan termotivasi menjadi manusia yang kaya akan wawasan budaya, berkepribadian baik, dan mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Dengan kata lain pembaca akan mampu memetik pesan di balik tokoh cerita dan memilih yang dapat diteladaninya.
3. Nilai Edukatif dalam Karya Sastra a. Hakikat Nilai Darsono Wisadirana (2004: 31), nilai adalah gagasan yang berpegang pada suatu kelompok individu dan menandaka pilihan di dalam suatu situasi. Nilai selalu dikaitkan dengan kebaikan, kemaslahatan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi oleh manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai manusia dapat merasakan kepuasan lahir dan batin. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, sulit dirumuskan, kriterianya beragam, tidak dapat diukur oleh sifat-sifat lahiriyah tetapi bersifat batiniah. Tingkat kepuasan nilai tiap-tiap orang berbeda karena nilai berhubungan dengan perasaan hati dan bersifat relatif. Cerita rakyat menyumbangkan nilai positif dalam kehidupan masyarakat. Cerita rakyat dapat pula berperan dalam pengembangan kepribadian manusia. Cerita rakyat yang dituturkan oleh orang tua atau guru akan mempengaruhi jiwa anak atau siswa sehingga kelanjutannya dapat membentuk pribadi yang luhur dengan mencontoh pada pelaku-pelaku utama. commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Nilai dalam Karya Sastra Karya sastra yang baik harus memiliki beberapa nilai yaitu nilai estetika, nilai moral, nilai konsepsional, nilai sosial budaya dan lain-lain yang pada dasarnya bermuatan positif yang perlu ditanankan pada generasi muda. Mudji Sutrisno (1997: 63), menyatakan bahwa nilai-nilai dari sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema besar mengenai siapa manusia, kebenaran di dunia dan dalam masyarakat, apa kebudayaannya, dan bagaimana proses pendidikannya. c. Hakikat Pendidikan Pendidikan berarti pengaruh, bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggungjawab kepada seseorang yang dididik. Jadi pendidikan memiliki dua pengertian yaitu: (1) tugas dan fungsi mendidik, (2) tujuan mendidik. Pendidikan menyiratkan adanya tugas pembentukan terhadap pribadi anak didik juga tersirat adanya usaha penyerahan kebudayaan kepada generasi berikutnya (Soedomo Hadi, 2003: 18). Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia yang artinya pendidikan yang dilakukan dalam bentuk aktualisasi potensi diri diubah menjadi kemampuan/kompetensi. Pendidikan berperan sangat strategis dalam segala aktivitas di masyarakat dan berfungsi maksimal dalam hubungannya dengan aspek-aspek kehidupan yang lain. Pendidikan masyarakat berubah, kebudayaan yang ada juga berubah, perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan kualitas pendidikan masyarakat.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat Karya satra yang baik (termasuk cerita rakyat) mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai tersebut bersifat mendidik serta menggugah hati pembacanya yang mencakup nilai pendidikan moral, nilai adat, nilai agama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990: 27), bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan yakni makna medial (menjadi sasaran) dari makna final (yang dicari seseorang), nilai cultural, nilai kesusilaan dan nilai agama. 1. Nilai Pendidikan Moral Dalam karya sastra moral mencerminkan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai hidup pengarang yang disampaikan kepada pembaca. Moral sebagai salah satu sarana yang berhubungan dengan ajaran tertentu yang bersifat praktis, dapat ditafsiran oleh pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 322). Moral sebagai petunjuk pengarang kepada pembaca tentang masalah kehidupan, sikap, tingkah laku dan pergaulan melalui tokoh-tokohnya. Moral selalu mengacu pada perilaku manusia, baik dan buruk yang mengarah pada budi pekerti yang ditanamkan dengan tujuan pembentukan moral baik kepada para pembaca terutama generasi penerus. 2. Nilai Pendidikan Adat/Tradisi Adat bisa disebut juga tradisi sudah bisa menjadi kebiasaan turun temurun dalam suatu masyarakat. Tata cara hidup mencakup lingkup sosial berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
dan bersikap termasuk spiritual. Selain itu latar belakang sosial berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 233). Di dalam tradisi terkandung banyak kearifan, acuan paling dekat dalam berkebudayaan bagi bangsa dan negara. Globalisasi bukan suatu hal yang baru namun kita harus memperhatikan nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita. 3. Nilai Pendidikan Agama/Religi Religi atau kepercayaan mengandung segala keyakinan bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang alam gaib, tentang segala nilai, norma dan ajaran religi, yang bersangkutan. Sedangkan tata cara ritual dan upacara merupakan usaha manusia untuk menjalin hubungan dengan Sang Pencipta, dewa-dewa, makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib (Koentjaraningrat, 1984: 145). Masyarakat percaya bahwa agama telah menjadi kekuatan untuk kebaikan. Hal inilah yang membuktikan bahwa cerita rakyat sarat akan nilai-nilai pendidikan agama yang tetap memiliki relevansi dengan kehidpan zaman dahulu, sekarang dan yang akan datang. 4. Nilai Pendidikan Kepahlawanan Pahlawan dapat diartikan sebagai seorang yang berani mengorbankan jiwa raga, harta benda untuk membela negaranya. Dari kata pahlawan terbentuk kata kepahlawanan yang berarti sifat yang berhubungan dengan keberanian seseorang terhadap siapapun yang akan mengusik. Kepahlawanan seseorang dalam setiap peristiwa dikaitkan dengan tokoh atau pelaku cerita termasuk di dalamnya cerita rakyat. Tokoh cerita yang dikagumi biasanya memilki sifat jiwa kepahlawanan, commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penuh keberanian, membela kebenaran, semangat perjuangan yang tinggi untuk memperjuangkan segala hal yang baik dan benar.
e. Cerita Rakyat dalam Pengajaran Sastra Cerita rakyat merupakan bagian dari karya sastra yang memiliki fungsi dan kegunaan dalam pengajaran sastra, dapat digunakan untuk menafsirkan dan memahami problematika dalam kehidupan nyata. Melalui cerita rakyat dapat ditunjukan bahwa karya sastra memiliki relevansi dengan kehidupan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Rahmanto (1998: 15-16) mengatakan, jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah cukup sulit di dalam masyarakat. Melalui pengajaran sastra di sekolah dapat diketahui tradisi, budaya, perjuangan, dan sejarah kehidupan masa lampau. Secara lebih terperinci pengajaran sastra pilihan cerita rakyat memiliki banyak manfaat dan dapat membantu pendidikan secara utuh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi: (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta rasa, (4) menunjang pembentukan watak. Dengan membaca cerita rakyat dapat diketahui pula masa lampau, memahami isi, menyerap dan mengambil nilai-nilai positifnya. Keteladanan para tokoh cerita pada peristiwa dalam cerita rakyat dapat dijadikan inspirasi commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membentuk dan mengembangkan cipta rasa yang pada akhirnya membentuk karakter siswa termotivasi oleh karakter tokoh cerita. Menurut Sarwiji Suwandi (2008: 11-12) cerita rakyat memiliki implikasi penting dalam kurikulum. Implikasi tersebut adalah: (1) cerita rakyat sebagai bahan ajar yang mencakup struktur, isi, dan nilai edukatif; (2) guru menentukan pilihn cerita rakyat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan; (3) sekolah bersama dengan pemerintah mempersiapkan buku-buku cerita rakyat di perpustakaan sekolah sebagai bahan bacaan yang memadai. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka cerita rakyat sangat relevan diajarkan melalui pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sedini mungkin sesuai tingkat kelasnya. Keuntungan lain dari pembelajaran cerita rakyat, siswa mampu meneladani dengan mencontoh perwatakan tokoh-tokoh cerita yang pada akhirnya siswa mampu memilih yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Penelitian yang Relevan Beberapa usaha membukukan cerita rakyat dan beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian tentang cerita rakyat antara lain: Penelitian dengan judul “Cerita Rakyat Kabupaten Sukoharjo: Suatu Kajian Struktural dan Nilai Edukatif “ (Dudung Andriyanto, tahun 2006). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kabupaten Sukoharjo memiliki sejumlah cerita Rakyat yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini. Cerita rakyat yang ada antara lain: (1) Ki Ageng Balak, (2) Kyai Ageng Banyubiru, (3) Kyai commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ageng Banjaransari, (4) Kyai Ageng Sutowijaya, dan (5) PesanggrahanLangen Haro. Kelima cerita rakyat tersebut memiliki struktur cerita yang terdiri dari tema, alur, tokoh, latar dan amanat Mieder Wolfgang dalam artikelnya, “Now I Sit Lake a Rabbit in the Pepper”. Proverbial Language in the Letters of Wolfgang Amadeus Mozart. Dia berpendapat the stylistic and biographical discussion of the traditional folk rhetoric is grouped under eight subheadings: Incatations and curses as proverbial formulas, animal phrases as social commentary, sometic expressions as emotional indicators(http://muse.jhu.edu/journals/journal_of_folklore_research/toc/jfr40.1.ht .ml.) Dia berpendapat bahwa dalam penelitian folklornya berkaitan dengan mantra dan kutukan yang dirumuskan menjadi pepatah, termasuk binatang yang berbicara berkomentar tentang sosial. Folklor yang diambil untuk penelitian terserah tokoh binatang yang berbicara, sama halnya dengan cerita “Si Kancil”. Salamon Hagar dalam artikelnya dalam Jurnal of folklore research yang berjudul Blackness in Transition: Decoding Radical Constructs through Stories of Ethiopian Jews. Dia mengemukakan This research has uncovered a system of radical hierarchies among the beta Israel, including a secret system of master and slaves (chewa and barya), and this system challenges conventions of control and racist ideology. Dalam artikel tersebut riset folklor digunakan untuk membongkar sistem ini menghadapi tantangan konvensi dan kendali ideologi. Menyoroti masyarakat kulit hitam Etiopia yang berusaha membongkar system rasial dalam budayanya.(http://musc.jhu.edu/journals/journal_of_folklore_research/toc/jfr40.1. ht.ml)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
Mitos dan cerita rakyat ini dimulai pada awal abad-19 ketika Jacob dan Wilhelm berusaha menerbitkan koleksinya tentang cerita rakyat pada edisi yang ke-2. Pada kata pengantar dan catatan tentang karya mereka. Dalam buku tersebut memberikan banyak persoalan tentang cerita rakyat yang ada pada saat itu. Seperti metodologi pengumpulan dan penerbitan cerita yang berisi tentang tradisi, pertanyaan tentang berapa lama cerita tersebut ada, mempertanyakan tentang jenis cerita dan permasalahannya. Grimms mengadakan pembelajaran tentang cerita rakyat internasional, mereka memberi sebuah penyelidikan dengan menyertakan bukti tentang dongeng rakyat yang berada di Yunani kuno dan Romawi. Sebelas tahun kemudian penelitian pertama muncul dengan mengedepankan dongeng moderen yang dibuat oleh Jacob bersaudara jumlah terbanyak tentang dongeng terjadi pada abad-20 yang dinamakan sebagai sistem yang diterima berdasarkan klasifikasi dari jenis dongeng tersebut. Pengklasifikasian jenis dongeng yang berawal dari tradisi sangatlah mempengaruhi para peneliti pada saat itu. Terlebih tidak adanya penelitian yang difokuskan pada kisah tertentu dimana jenis dongeng tersebut harus diseleksi, pada salah satu sisi, kisah binatang atau cerita binatang, cerita masjid, cerita agama, novel, cerita lucu, dan cerita bersambung telah didokumentasikan dengan baik. (William Hansen, 1997, Mythology and Folktale Typologi: Chronicle of a Failed Scholarly Revolution, Journal Of Folklore Research, vol 34, hal 275) Seorang anak dari New Zealand mengingatkan pada Sina yang lain, seorang yang mempunyai watak yang jelek, seorang perempuan yang membawa botol air ketika bulan sedang tergelincir di balik awan. Sina yang berada di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
kegelapan, kemudian menumpahkan airnya, dan menyakiti kakinya. Dia marah dan mengutuk bulan. Dan ini adalah salah satu budaya Maori sebagai hukumannya dibawa ke bulan. Dimana dia masih memiliki temperamen yang buruk. Orang-orang Polinesia jaman dahulu sangat dekat dengan alam. Alam adalah ukuran, dimana alam mempunyai pengaruh yang utama pada kehidupan mereka. Konsekuensinya banyak legenda dan dongeng dari Polinesia yang memperhatikan pada pencipta alam dan kejadiannya. (Sharon Black, 1999, Using Polynesian Legends And Folktales to Encourage Culture Vision and Creativity, Journal Of Cultur Education, vol 75). Selanjutnya yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan ialah jurnal yang berjudul Gramsci Good Sense and Critical Folklore yang ditulis oleh Stephen Olbrys Gencarella (2009). Penelitian ini membahas kekosongan ilmiah kontribusi Antonio Gramsci untuk studi cerita rakyat di dunia yang berbahasa Inggris. Menurutnya kritik Gramsci, cerita rakyat telah sering disalahpahami karena belum dibaca bersama-sama dan diberi komentar pada bahasa yang menggunkan akal sehat dan agama, dan juga belum ada konteks diskusi tentang perbedaan diantara cerita rakyat, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga menarik perbandingan singkat dengan karya Hans George Gadamer dalam rangka untuk mengatasi ide-ide untuk penelitian kontemporer dan merebut kembali legimitasi politik cerita rakyatkritis yang terang-terangan akan menjadi dilema politik dan penderitaan manusia. Amy Gazin Schwartz (2010) dalam jurnal yang berjudul Archaeology and Folklore of Material Cultur, Ritual, and Everyday Life. Penelitian tersebut commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meneliti tentang arkeolog yang sering membuat perbedaan antara budaya material dan ritual budaya material sehari-hari dan utilitarian. Memahami hubungan yang komplek, antara budaya yang material, ritual, dan kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan cerita rakyat yang tercatat di Skotlandia pada abad ke tujuh belas untuk abad ke dua puluh diperlukan kontinue berbasis model. Model itu dapat memperkaya pemahaman arkeologi makna dan keyakinan yang membentuk konteks budaya untuk artefak, fitur, situs, dan lanskap belajar.
C. Kerangka Berpikir Berdasarkan pendahuluan dan kajian teori tentang cerita rakyat, struktur karya sastra, serta nilai edukatif cerita rakyat dapat dibuat suatu kerangka berpikir sebagai berikut: Kebudayaan Nasional berasal dan didukung oleh kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah berpotensi menjadi unsur kebudayaan Nasional. Kebudayaan daerah yang merupakan bagian kebudayaan Nasional berkaitan erat dengan kesusastraan dalam arti luas. Kebudayaan daerah disebut juga folklor merupakan bagian dari kebudayaan daerah tertentu, di antaranya adalah kebudayaan di Kabupaten Blora. Folklor selalu berkaitan dengan sastra lisan di dalamnya termasuk cerita rakyat, yang menjadi bagian dari folklor dan telah lama ada dalam mesyarakat tertentu termasuk di Kabupaten Blora, tersebar secara lisan, turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap kejadian atau peristiwa pada masa silam dapat ditemukan hikmah dan nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut juga dapat ditemukan melalui karakter tokoh dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita rakyat. Cara pemilik cerita rakyat mengambil nilai-nilai yang ada di dalamnya adalah dengan menyakini bahwa cerita-cerita yang ada dan dimilikinya banyak mengandung nilai-nilai positif sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Nilai edukatif atau pendidikan ternyata memilikicakupan yang sangat luas bagi kehidupan bermasyarakat, pembaca, dan pendengar cerita. Nilai edukatif yang dapat dikaji dan ditemukan dalam cerita rakyat antara lain: (1) nilai pendidikan moral, (2) nilai pendidikan adat/tradisi, (3) nilai pendidikan agama, (4) nilai pendidikan kepahlawanan/semangat perjuangan. Cerita rakyat di Kabupaten Blora dapat dijadikan sebagai koleksi budaya daerah yang memuat sejumlah nilai edukatif/pendidikan untuk mendukung perkembangan sektor lain. Dalam hal ini cerita rakyat dapat dipilih sebagai bahan pengajaran di sekolah sehingga dapat ditingkatkan usaha pembinaan dan pengembangan pengajaran apresiasi sastra. Cerita rakyat di Kabupaten Blora memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat Blora, seakan menampilkan gambaran hidup masyarakat sehari-hari dengan segala permasalahan dan dapat juga dikatakan sebagai cerminan warga masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Blora. Faktor strategis lain dari cerita rakyat dapat dijadikan koleksi budaya daerah, dapat pula sebagai bahan pengajaran sastra untuk meningkatkan commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembinaan, pengembangan, pengajaran, sastra daerah dan diterapkan di sekolah khususnya di Kabupaten Blora. Uraian kerangka berpikir di atas dapat disajikan dalam bentuk gambar berikut ini: (lihat gambar 1 di bawah ini).
Kebudayaan Nasional
Kebudayaan Daerah
Folklor Blora
Cerita Rakyat Blora
Struktur Cerita
Jenis 1. Mite 2. Legenda 3. Dongeng
1. 2. 3. 4. 5.
Tema Plot Tokoh Latar Amanat
Nilai Edukatif 1. 2. 3. 4.
Moral Adat Agama kepahlawanan
Bahan Pembinaan dan Pengembangan Pengajaran Apresiasi Sastra Indonesian dan Daerah di Wilayah Kabupaten Blora Gambar 1 Kerangka Berpikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian Penelitan cerita rakyat Kabupaten Blora ini dilaksanakan pada beberapa desa yang memiliki cerita rakyat yang menonjol dan memiliki bukti-bukti fisik berupa peninggalan-peninggalan yang mendukung penelitian. Desa yang dimaksud antara lain: Desa Janjang Kecamatan Jiken, Desa Sambong dan Desa Pojok Kecamatan Sambong, Desa Kawengan dan Desa Gersi Kecamatan Jepon. Beberapa tempat atau lokasi penelitian tersebut ditetapkan dengan pertimbangan yaitu memiliki cerita rakyat yang relevan dengan penelitian ini dan desa tersebut memiliki sisi peningglan yang berfungsi sebagai bukti fisik cerita rakyat yang sedang diteliti dan dikaji. Adapun objek penelitian tersebut antara lain yaitu: Legenda Punden Janjang di Desa Janjang Kecamatan Jiken, Legenda Kiai Anggayuda dan Kramat Sambong di Desa Sambong Kecamatan Sambong, Legenda Desa Watu Brem di Desa Pojok Watu Kecamatan Sambong, Legenda Maling Kentiri di Desa Kawengan Jepon, dan Terjadinya Desa Gersi di Desa Gersi Kecamatan Jepon.
commit to user
48
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2012 hingga bulan Juli 2012. Kegitan penelitian meliputi observasi langsung, persiapan instrumen dan izin penelitian, pengumpulan data, analisis dan verifikasi data, dan penyususnan laporan penelitian. Sesuai dengan karakter peneltian kualitatif, waktu dan kegiatan bersifat fleksibel. Secara rinci kegiatan penelitian ini dapat dilaksanakan seperti pada jadwal berikut No
1
2
3 4 5
6
Bulan Januari Februari April 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Persiapan awal, observasi, x penyususnan laporan
Seleksi informan, persiapa instrument dan data Pengumpulan data Analisis data
Juni Juli 1 2 3 4 1 2 3 4
x X x
X x x x x x
x x x x x x x x x x x x
Pengumpulan data dan laporan penelitian Ujian dan revisi
x
x x x
x x x x
x x
B. Bentuk/Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang telah ditetapkan. Penelitian lebih menekankan proses dan makna dan dalam penelitian ini informasi yang bersifat commit to user kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis.
x x
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pendeskripsian penelitian ini meliputi isi cerita, struktur cerita yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan amanat, serta nilai edukatif dalam cerita. Nilai edukatif dalam cerita meliputi nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat, nilai pendidikan agama, dan nilai pendidikan kepahlawanan. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal. Hal ini didasarkan bahwa penelitian hanya terarah pada satu karakteristik,artinya penelitian ini hanya dilaksanankan pada satu sasaran/subjek, yaitu cerita rakyat Kabbupaten Blora, sehingga meskipun penelitian dilaksanakan di berbagai tempat, tetapi sasaran penelitian memiliki karakteristik yang sama dan seragam. C. Data dan Sumber Data 1. Data Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data yang ada lebih banyak berupa kata-kata, diperoleh melalui informasi lisan dari para narasumber selanjutnya ditranskripkan ke dalam cerita secara tertulis. 2. Sumber data Sumber data dalam penelitian cerita rakyat Kabupaten Blora ini digali melalui beberapa sumber berikut ini: a. Informan Informan penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah seseorang yang dapat memberikan informasi-informasi secara lengkap dan akurat, informan yang relevan dengan penelitian ini. commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Tempat dan Benda-Benda Fisik Beberapa tempat atau lokasi yang ditetapkan dalam penelitian ini antara lain : Legenda Punden Janjang di Desa Janjang Jiken, Legenda Kiai Aggayuda dan Kramat Sambong di Sambong, Legenda Desa Watu Brem di Desa Pojok Watu, Legenda Maling Kentiri di Desa Kawengan Jepon dan Terjadinya Desa Gersi di Desa Gersi Jepon. c. Dokumen Dokumen yang akan digunakan dalam penlitian ini sebagai pendukung utama adalah narasumber atau informan, buku-buku tentang cerita rakyat yang dihimpun
oleh
beberapa
penulis
atau
budayawan,
artikel-artikel
yang
relevan,keterangan para pejabat yang berkompeten pada Dinas Pariwisata, Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Blora.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi: 1. Observasi langsung, adalah observasi yang dilakukan dengan mengunjungi lokasi penelitin yang dipilih, ke kantor-kantor atau lembaga tempat arsip-arsip dan dokumen disimpan. 2. Wawancara, adalah menggali informasi dari para juru kunci atau petugas untuk mendata dan mencatat hal-hal yang perlu untuk dianalisis sebagai bahan laporan penelitian.
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Analisis Dokumen, menganalisis dokumen-dokumen, arsip-arsip, makalahmakalah dari buku-buku karya beberapa pengarang, petugas pada Dinas dan instansi terkait.
E. Teknik Cuplikan/Sampling Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel penelitian secara purposive (purposive sampling). Informan yang dipilih adalah orang yang diyakini mengetahui informasi dan permasalahan secara mendalam sehingga dapat dipercaya menjadi sumber data yang mantap. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah cerita rakyat Kabupaten Blora, maka informan yang ditetapkan adalah juru kunci di tiap-tiap tempat penelitian. Kefleksibelan dalam penelitian diartikan bahwa dalam pengumpulan data, pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantaban paneliti dalam memperoleh data.
F. Teknik Validasi Data Teknik validasi data penelitian yang digunakan yaitu (1) triangulasi data atau sumber data sejenis dari berbagai sumber data yang berbeda. Jelasnya triangulasi data/sumber dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data yang diperoleh dari informan yang satu dengan informan yag lain, (2) triangulasi metode yakni menggali data yang sama dengan menggunakan metode berbeda, (3) review informan yaitu data yang sudah diperoleh mulai disusun, kemudian dikomunikasikan dengan informan khususnya informan pokok. commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini proses analisis akan dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif. Menurut Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2002:186), dalam model analisis interaktif terdiri dari tiga kemampuan yaitu reduksi data, sajian data , dan penarikan simpulan / verifikasinya. Aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Dalam proses ini peneliti aktivitasnya tetap bergerakdi antara analisis dan pengumpulan datanya selama masih proses pengumpulan data masih berlangsung. Kemudian peneliti hanya bergerak di antara tiga komponen analisis tersebut setelah pengumpulan data selesai pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa dalampenelitian ini. Proses analisis interaktif dapat digambarkan skema sebagai berikut (Miles dan Huberman dalam Sutopo, 2002: 189).
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan Gambar 2. Analisis Model Interaktif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Latar Penelitian 1. Letak Geografis dan Keadaan Alam Kabupaten Blora Kabupaten Blora merupakan salah satu dari 35 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Blora terlatak di ujung Timur Laut dari ibukota Provinsi Jawa Tengah. Dari sudut astronomi ini terletak di antara 60 525’ sampai dengan 70 248’ Lintang Selatan. Bentangan wilayah Kabupaten Blora dari barat ke timur sepanjang 87km dan utara ke selatan sejauh 58 km. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Blora adalah sebagai berikut. Bagian Timur dan Selatan berbatasan dengan wilayah Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Ngawi. Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Pati. Jarak Kabupaten Blora dengan kota Semarang kurang lebih 127 Km. wilayah Kabupaten Blora hanya seluas 5.59% dari luas wiayah Propinsi Jawa Tengah, secara administratif terbagi menjadi 16 kecamatan, 24 kelurahan dan 295 desa, serta 1.204 RW dan 5.429 RT (BPS, 2009: 29-30). Berdasarkan sudut geologinya Kabupaten Blora terletak pada Pegunungan Kendeng atau Pegunungan Rembang. Oleh karena itu daerah Blora mempunyai morfologi yang sangat bervariasi yaitu ketinggian antara 25 m hingga 500 m dari permukaan laut. Keadaan daerah sebagian besar berupa gunung atau pegunungan dan lereng-lereng gunung, jurang, dan sebagian lagi merupakan tanah datar dan lembah. Daerah tertinggi di kabupaten ini adalah Bogorejo. Ketinggiannya ratacommit to user
54
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rata antara 100-500 m dari permukaan air laut. Adapun rata-rata terendahnya terletak pada 100 m di atas permukaan air laut.
2. Luas Wilayah Kabupaten Blora Luas wilayah Kabupaten Blora pada tahun 2009 tercatat 182.058,797 ha, terdiri dari tanah sawah seluas 46.129,921 ha (25,33 %)dan bukan sawah 135.728,876 ha (74,67 %). Adapun rincian penggunaan lahan dapat dilihat pada tabel berikut: TABEL PENGGUNAAN LAHAN KAB. BLORA 2009 NO 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Lahan Sawah Tegalan Pekarangan/bangunan Hutan Perkebunan rakyat Waduk Lain-lain
Luas
46.129,921 26.278,277 16.791,858 90.416,520 4,000 56,962 2.381,259 182.058,797 Sumber: BPS Kab. Blora Tahun 2009
% 25,34 % 14,43 % 9,22 % 49,66 % 0,01 % 0,03 % 1,31 % 100,00 %
Sesuai dengan keadaan morfologi tanahnya, lahan sawah di wilayah Kabupaten Blora jenis pengairannya juga bermacam-macam dan sebagian besar merupakan sawah tadah hujan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
No 1 2 3 4 5 6
TABEL SAWAH DAN PENGAIRANNYA DI KAB. BLORA 2009 Jenis Pengairan Luas % Pengairan teknis 7.449,000 Pengairan setengah teknis 967,000 Pengairan sederhana 4.114,000 Pengairan desa 1.640,000 Tadah hujan 29.703,921 P2AT 2.259,000 Total 46.129,921 Sumber: BPS Kab. Blora Tahun 2009
4,09 % 0,53 % 2,26 % 0,90 % 16,31 % 1,24 % 25,33 %
Keadaan morfologi yang bervariasi di atas dan Pegunungan Rembang yang relatif tinggi ini, menyebabkan wilayah Kabupaten Blora banyak terdapat waduk. Ada 3 waduk terbesar di Kabupaten Blora yaitu yang terbesar adalah Waduk Tunjungan dengan luas area 35,537 ha, kemudian Waduk Blora 18,300 ha dan Waduk Todanan 3,125 ha. Adapun tanah di wilayah Kabupaten Blora didominasi oleh tiga golongan yaitu tanah gromosal 56 %, mediteran 39 %, dan alluvial 5 %.
3. Penduduk dan Adat Istiadat Masyarakat Kabupaten Blora Jumlah penduduk Kabupaten Blora berdasarkan data tahun 2009 sebanyak 842.624 jiwa, dan jumlah wanita lebih banyak yaitu 426.465 jiwa atau 50,61 %, sedangkan penduduk laiki-laki 416.209 jiwa atau 49,39 %. Dari jumlah tersebut terdiri dari 228.519 KK, sehingga rata-rata KK mempunyai 3 sampai 4 anggota keluarga. Mengenai pertambahan penduduknya, BPS (2009: 69-72) mencatat bahwa pertambahan penduduk secara alami lebih tinggi daripada pertambahan penduduk secara migrasi. Tingkat kelahiran tercatat 8,48 dan tingkat kematian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
4,02. Sedang tingkat kedatangan tercatat 4,48 dan tingkat kepergian 4,0. Dengan keadaan yang demikian menyebabkan jumlah penduduk Kabupaten Blora mengalami pertambahan dan ini tentu saja akan mempengaruhi kepadatan. Kepadatan penduduk rata-rata mencapai 463 jiwa setiap km. Kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Cepu yaitu 1.543 jiwa, Kecamatan Jati 567 jiwa, dan Kecamatan Sambong 301. Kepadatan penduduk yang tidak merata ini jelas dipengaruhi oleh keadaan geografis yang ada. Mengenai komposisi penduduk Kabupaten Blora termasuk struktur muda di bawah umur 15 tahun berjumlah 235.211 jiwa atau 27,91 %, umur produktif 15 tahun sampai dengan 64 tahun ada 547,384 jiwa atau 64,96 % dan golongan lanjut usia atau umur lebih dari 65 tahun ada 60.079 jiwa atau 7,13 %.
4. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Blora Kondisi pendidikan penduduk Kabupaten Blora sangat bervariasi. Menurut catatan BPS (2009: 126) jenjang pendidikan SD/MI memiliki jumlah murid yang paling banyak yaitu 96.901, SLTP sebanyak 37.109 kemudian SLTA sebanyak 22.972 dan TK 14.674, sedang jumlah guru yang paling banyak tentunya pada jenjang SD/MI ada 5.531 orang. Sarana pendidikan yang dimiliki tingkat perguruan tinggi di Kabupaten Blora ada 4 yaitu Sekolah Tinggi Teknologi Ronggolawe Cepu, Sekolah Tinggi Energi dan Mineral Cepu, Sekolah Tinggi Al Muhammad Cepu, Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Blora. Penduduk Kabupaten Blora cenderung berminat pada sekolah yang berbasis agama Islam. Oleh Karena itu hampir setiap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
kecamatan terdapat pondok pesantren, bahkan satu kecamatan ada yang memiliki 7 pondok pesantren atau bahkan 9 pondok pesantren. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Blora sebagian besar adalah di bidang pertanian (54,19 %). Keadaan alam sekitar memang sangat mempengaruhi terhadap masyarakat dimana mereka tinggal. Keadaan alam dan lingkungan 25,34 % berupa sawah, hutan 49,66 % dan tegalan 4,43 % (BPS, 2009: 90). Pekerjaan lain yang dilakukan adalah di bidang perdagangan, tukang kayu dan jasa lainnya di bidang penggalian dan pertambangan. Tanah pertanian umumnya kurang subur karena tanahnya mengandung kapur dan gamping. Untuk meningkatkan hasil pertanian, Pemda membangun beberapa dam, waduk, dan cekdam, antara lain: Waduk Brentolo di Todanan, Dam Tunggal Bhakti Pramuka di Kajangan, Dam Induk Kedung Waru di Kecamatan Kunduran, Dam Murah Sandang Pangan di Sambong, Dam Watu Lumbung di Jiken, dan lain-lain. Hasil pertanian berupa padi, jagung, kedelai, ketela, kacang hijau, kacang tanah, cabai, kapas dan lain-lain. Hasil cabai atau Lombok dari Kecamatan Jepon sangat terkenal dan diekspor. Penghasil cabai lainnya adalah Kecamatan Jiken, Tunjungan, Ngawen, Banjarejo dan Kunduran. Penghasil padi terbanyak adalah Kedung Tuban. Oleh karena itu kecamatan ini disebut gudang pangan bagi Kabupaten Blora. Penanaman padi selain diusahakan dengan melaksanakan Panca Usaha Tani juga dengan membuat sumur Pantek. Blora dikenal sebagai perkebunan kayu jati. Hutan yang mempunyai luas hampir separuh dari luas kabupaten, menghasilkan kayu jati untuk bahan commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bangunan perumahan dan diekspor ke luar negeri. Kecamatan penghasil kayu jati adalah: Sambong, Cepu, Kedung Tuban, Randublatung, Jati, Ngawen, Todanan, dan lain-lain. Kayu jati di Blora sangat terkenal karena kualitasnya sangat baik. Soko Guru Joglo, “Sasono Utomo” Taman Mini, berupa kayu jati yang berasal dari Kecamatan Randublatung Blora. Penduduk Kabupaten Blora banyak yang bermata pencaharian di bidang penggalian dan pertambangan, karena daerah ini banyak terdapat tambang. Hasil tambang utamanya adalah minyak tanah yang terdapat di Cepu Desa Ledok (Sambong), Semanggi, Nglobo, Pilangbogo, Banyak Ijo (Sono Kidul), Kawengan Desa Nglencong Botorejo, dan lain-lain. Barang galian lainnya di Perbukitan Jurangjero terdapat pasir kwarsa (sabagai bahan semen, kalsit, batu gips, dammar selo bahan plitur). Desa Batu dan Gayam merupakan gudang batu. Batu gamping terdapat di Ngampel, sedang batu merah dan genting dihasilkan Karangjati, Desa Jimbung Kedung Tuban. Sumber garam yang oleh masyarakat setempat disebut “pablengan” terdapat di Delok Pojo Watu Kecamatan Sambong. Dalam meningkatkan kehidupan ekonomi penduduk Kabupaten Blora banyak yang mengusahakan kerajinan. Kegiatan kerajinan ini ada yang merupakan usaha pokok, ada yang merupakan usaha sampingan ataupun hanya sebagai buruh. Kerajinan anyaman bambu seperti caping, rinjing bambu terdapat di Desa Bojo Kedung Tuban, Bangking (Blora), kerajinan kepang terdapat di Desa Got Putuk (Ngawen), tampar-dadung di Desa Sambongrejo, Desa Japah (Ngawen), besek dari Desa Kedungngaren dan Kedungelo (Kedungrejo), sangkar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
burung di Desa Tambakrejo. Kerajinan dari tanah liat seperti periuk, belanga terdapat di Desa Mendenrejo, Mendalem.
5. Agama dan Kepercayaan Masyarakat Kabupaten Blora Kerukunan hidup antarumat pemeluk agama dan penganut kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Blora cukup baik, terbukti sampai saat ini belum pernah terjadi perselisihan antarpemeluk agama atau penganut kepercayaan baik secara terbuka maupun secara tertutup. Beragam tempat-tempat ibadah dan peribadatan merupakan salah satu bukti kerukunan hidup beragama yang ada di Kabupaten Blora dapat hidup damai dan berkembang secara berdampingan dalam kebersamaan. Mayoritas penduduk Kabupaten Blora memeluk agama Islam. Sejumlah versi sejarah menyebutkan bahwa Islam pertama kali di Blora disebarkan oleh Sunan Pojok. Selain keturunan dari para Walisongo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan dengan budaya dan kesenian Yogyakarta. Semasa hidupnya Sunan Pojok dikenal dengan nama Pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, yang masih mempunyai hubungan dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Dewi Chandrawati binti Arya Teja Bupati Tuban. Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Blora pada tahun 2009, jumlah pemeluk Agam Islam mencapai 861.198 jiwa dari total 879.732 jiwa penduduk. Hal ini berarti bahwa 97,83 % penduduk Blora beragama Islam, yang dilayani oleh 1.065 tempat ibadah, yang terdiri dari 630 masjid dan 435 musholla. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
Jumlah terbanyak terdapat di Kecamatan Banjarejodengan 63 masjid dan 83 musholla. Disusul oleh Kecamatan Ngawen dengan 56 masjid dan 65 musholla, serta kecamatan Todanan dengan 91 masjid dan 28 musholla. Sedangkan apabila dilihat dari tanah yang diwakafkan yang terbesar terdapat di Kecamatan Cepu, Sambong, dan Banjarejo. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Blora pembangunan infrastruktur fasilitas masyarakat berbasis perkembangan Islam cukup baik. Selain agama Islam, sebagian penduduk Kabupaten Blora juga ada yang memeluk agama Kristen Protestan yaitu sebanyak 1,25%, pemeluk agama Katolik sebanyak 1,09 %, pemeluk agama Hindu 0,007 %. Penduduk di Kabupaten Blora meski telah memeluk salah satu agama tertentu masih bisa ditemui sebagian masyarakat kecil yang percaya akan adanya kekuatan-kekuatan gaib dari benda-benda tertentu atau dari tempat-tempat tertentu yang biasa disebut dengan keparcayaan animisme. Terbukti sebagian masyarakat masih ada kepercayaan bahwa meraka harus menghormati arwah-arwah leluhur, tokoh-tokoh tertentu yang dimakamkan di suatu tempat, tempat-tempat yang dikeramatkan dan dianggap bertuah, peninggalan-peninggalan berwujud bendabenda atau alat-alat yang memiliki daya magis tertentu yang jika dilanggar aturannya akan berpengaruh buruk bagi si pelanggar.
6. Bahasa Penduduk Kabupaten Blora Bahasa yang dipergunakan oleh penduduk Kabupaten Blora mayoritas adalah bahasa Indonesia. Bahasa Daerah atau bahasa Jawa digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Kabupaten Blora untuk berkomunikasi commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara akrab dan familiar. Adapun bahasa Jawa yang digunakan terdiri dari tiga tingkatan variasi bahasa yaitu: bahasa ngoko, bahasa karma madya, dan bahasa karma inggil. Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah tetap dipertahankan pemakainya terutama penduduk di pedesaan. Sementara penduduk yang tinggal di perkotaan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Pada acara-acara resmi atau kegiatan-kegitan resmi atau semi resmi bahasa Indonesia selalu menjadi pilihan.
7. Kedudukan dan Fungsi Cerita Rakyat Kabupaten Blora Cerita rakyat Kabupaten Blora merupakan cerita yang masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Cerita Rakyat Kabupaten Blora disebarluaskan secara lisan dan didasarkan pada kemampuan mengingat para penuturnya. Besar kemungkinan cerita rakyat Kabupaten Blora mengalami pembelokan dari bentuk dan cerita aslinya. Cerita rakyat Kabupaten Blora bersumber dari nenek moyang atau para pendahulunya secara turun temurun. Nenek moyang atau para pendahulu mewariskan cerita tersebut kepada generasi muda atau keturunannya secara lisan dan hanya didasarkan pada kemampuan mengingat, ada sebagian kecil secara tertulis dan itupun masih sangat sederhana dan tidak dikemas secara modern. Tetapi tidak sedikit pula para orang tua yang enggan mewariskan cerita yang dimilikinya kepada anak cucunya, dengan alasan kaum muda kurang berminat mendalami hal cerita itu atau merasa tidak cocok dengan keadaan kehidupan sekarang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Di masyarakat Kabupaten Blora didapati cerita rakyat yang berbeda versi dalam suatu tempat/lokasi dalam satu cerita. Cerita yang terpenggal-penggal atau hanya sebatas yang diingat saja dan kurangnya keutuhan cerita juga masih ada. Pengungkapan cerita yang tidak utuh dan tidak diketahui secara keseluruhan isinya sangat memungkinkan hilangnya sebagian nilai yang terkandung di dalamnya. Cerita rakyat Kabupaten Blora merupakan cerita-cerita yang berlatar belakang adat/kebiasaan hidup di lingkungan tersebut yang merupakan pengalaman hidup masyarakat pemiliknya. Cerita-cerita rakyat yang ada diserap dan dimanfaatkan sebagai pembentuk watak masyarakatnya. Pada masa dahulu cerita-cerita rakyat digunakan oleh para orang tua untuk pembentuk watak anak cucu dan keturunannya lewat tutur lisan yang digunakan di saat senggang atau pengisi waktu menjelang tidur dengan cara mendongeng. Pada saat mendongeng para orang tua menggunakan isi cerita untuk mendidik agar anak cucu dan keturunannya menjadi manusia yang hidup sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat seperti tokoh dalam cerita dengan segala perilaku dan perannya. Isi cerita rakyat yang disampaikan kepada anak cucu dan keturunannya diserap dan disampaikan untuk dapat memberikan petunjuk perilaku yang benar agar dapat diikuti, dan perilaku yang kurang benar agar dihindari atau dengan kata lain orang tua menekankan pada perilaku mana yang boleh dan perilaku mana yang tidak boleh. Melalui cerita rakyat dapat ditumbuhkan rasa penghargaan kepada para pendahulu dan rasa menghormati leluhur dengan kesadaran sendiri. commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cerita rakyat dapat pula digunakan sebagai alat penghibur dengan dibuat pementasan-pementasan ala kadarnya yang ditonton masyarakat setempat untuk menumbuhkan rasa patriotik, cinta bangsa dan tanah air sekaligus pengobat rindu bagi kerabat yang ditinggalkan serta kebanggaan masyarakat pemiliknya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, kondisi seperti di atas jarang dijumpai bahkan di Kabupaten Blora kondisi seperti ini hampir langka dapat ditemui di daerah pedesaan, terlebih lagi di wilayah perkotaan. Tradisi atau adat kebiasaan bercerita yang lebih dikenal dengan istilah mendongeng yang pada zaman dahulu sering dilakukan para orang tua, di masa sekarang tidak lagi dijumpai. Banyak dari mereka berpandapat bahwa mendongeng sekarang sudah bukan zamannya.
B. Hasil Penelitian 1. Jenis-Jenis Cerita Rakyat Kabupaten Blora Ditinjau dari beberapa ketentuan, batasan serta definisi menurut James Dananjaya, cerita rakyat di Kabupaten Blora sebagian besar dapat digolongkan sebagai legenda, karena memiliki beberapa kriteria maupun sifat-sifat tertentu antara lain: dianggap benar-benar terjadi, dianggap tidak suci lagi, sebagian besar mengambil tokoh manusia, Tokoh-tokohnya mempunyai sifat yang luar bias, Dalam kisahnya dibantu oleh makhluk halus, Mencerminkan tempat kejadian di masa lalu dan masa sekarang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
a. Dianggap Benar-Benar Terjadi Beberapa Legenda yang ada di Kabupaten Blora dapat dikatakan menceritakan kisah kejadian sebuah tempat, desa, tempat-tempat tertentu yang hingga kini masih digunakan oleh masyarakat Blora, bahkan asal mula nama Blora pun dianggap diperoleh berdasarkan dari cerita rakyat yang berkembang saat itu. Tempat, desa-desa tersebut antara lain asal mula Desa Balun, asal mula Desa Cepu, asal mula Desa Sawur, asal mula Desa Tegaldawa, asal usul Desa Brabowan, asal mula Desa Biting, asal mula Desa Gagaan dan sebagainya. Selain dianggap benar-benar terjadi beberapa legenda yang terdapat di Kabupaten Blora mengidentifikasikan bahwa pada prinsipnya leganda asal mula desa yang terdapat di Kabupaten Blora sangat bersifat lokal. Atau dapat dikatakan sebagai legenda yang menceritakan tentang asal mula sebuah tempat berdasarkan serangkaian peristiwa yang terdapat dalam sebuah cerita. terjadinya nama sebuah tempat pun juga didasarkan kepada suatu kejadian dari sang tokoh di dalam cerita. misalnya, asal mula Desa Watu Brem dan Pojok Watu. Namun demikian karena sifat persebaran legenda yang mudah menyebar, maka legenda-legenda tersebut sangat mudah tersebar menuju keberbagai tempat, sehingga dengan mudah diketahui oleh masyarakat luas. Dari beberapa peristiwa tercantum dalam cerita, banyak legenda yang terdapat di Kabupaten Blora yang menceritakan suatu keajaiban yang dibalut dengan sifat “ketakhayulan” yang sangat tinggi, apalagi sifat ketakhayulan tersebut mengandung unsur-unsur larangan yang pernah dirasakan oleh sang tokoh. Hal itu dapat diketahui dari beberapa legenda seperti Legenda Maling Kentiri yang menabukan bagi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
masyarakat setempat untuk menanam talas. Legenda Kiai Anggayuda dan keramat Sambong dimana warga masyarakat sekitarnya dilarang untuk memeluk Agama Islam. b. Dianggap Tidak Suci Beberapa cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora, memang tidak dianggap suci oleh masyarakat Blora. Mereka hanya sekadar mengetahui bahwa nama tempat atau nama desa mereka diperoleh dari cerita-cerita rakyat yang berkembang saat itu. Dengan demikian sebenarnya dengan adanya cerita rakyat sesungguhnya sebagai sarana pengingat bagi masyarakat pendukungnya. Walaupun pada akhirnya di dalam cerita tersebut banyak diceritakan tokohnya yang seringkali melakukan tindakan-tindakan ‘kesucian’ yang ditunjukan dari beberapa tempat yang hingga kini masih dianggap suci dan keramat bagi masyarakat, namun posisi cerita rakyat dianggap suci, karena siapa pun boleh menceritakan secara bebas, tanpa ada aturan-aturan apapun. Selain itu, memang sangat jelas bahwa yang disebut dengan legenda merupakan “sejarah kolektif” (folk history) suatu masyarakat, walaupun sejarah tersebut seringkali mengalami distorsi, sehingga acapkali berbeda jauh dengan sejarah aslinya (Dananjaya, 1997: 66) . sejalan dengan itu, maka memang wajar jika sebuah legendabisa dan boleh diketahui oleh siapapun, termasuk para pendukung legenda tersebut. Oleh sebab itu sangat logis bila legenda seringkali tidak dianggap suci oleh para pendukungnya. Dengan dimilikinya legenda tersebut, pada akhirnya akan menumbuhkan kebanggaan tersendiri dalam diri warga pendukung legenda tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
c. Sebagian Besar Mengambil Tokoh Manusia Tokoh-tokoh utama dalam semua cerita rakyat Blora dalam kajian ini selalu mengambil tokoh manusia sebagai sentralnya. Tokoh-tokoh yang diperankan di dalam cerita merupakan tokoh-tokoh yang berhubungan dengan suatu posisi di dalam kerajaan. Kerajaan-kerajaan maupun kadipaten yang berperan hampir melingkupi semua cerita rakyat Blora antara lain kerajaan Demak, Kerajaan Semarang, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, Kerajaan Jipang, Kadipaten Bengir, dan sebagainya. Untuk posisi-posisi atau kedudukan dalam kerajaan yang sering digunakan dalam cerita rakyat Blora adalah raja, adipati, pengawal raja, pengikut raja, patih, hulubalang, tokoh spiritual kerajaan dan sebagainya. Selain itu, tokoh-tokoh sentral yang mempunyai kekeuasaan terhadap sebuah kerajaan. Andaikata, ia bukan tokoh sentral dalam cerita rakyat Blora ini juga merupakan tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai pengaruh besar di masyarakatnya. Sebagian besar, tokoh utama yang mendominasi dalam setiap legenda yang berkembang di Kabupaten Blora adalah manusia. Tokoh manusia tersebut baik yang berlatar belakang tokoh agama (modin, penghulu), tokoh kerajaan (raja, adipati, prajurit), tokoh masyarakat maupun rakyat biasa. Meskipun sebagian besar tokoh sentral yang berperan dalam legenda merupakan tokoh-tokoh yang bisa dijadikan panutan di dalam masyarakat, namun adapula legenda yang yang ada di Kabupaten Blora menceritakan tokoh manusia yang kurang disenangi oleh masyarakat. Misalnya cerita Maling Kentiri yang menceritakan seorang manusia yang mempunyai pekerjaan sebagai pencuri, tetapi ia masih mempunyai sifat yang commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dermawan dan sosial, karena hasil curiannya selalu dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Di dalam legenda yang berkembang di Kabupaten Blora mereka berperan sesuai status dan peran yang diembannya. Misalnya dalam Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu yang mengisahkan asal mula Desa Watu Brem didasarkan pada tahapan-tahapan
dalam proses perkawinan atau peralatan dalam proses
perkawinan. d. Tokoh-Tokohnya Mempunyai Sifat yang Luar Biasa Sudah jelas jika di dalam sebagian besar cerita rakyat Blora seringkali dibubui dengan peristiwa-peristiwa luar biasa yang melingkupi kehidupan sang tokoh. Peristiwa-peristiwa tersebut kadang tidak masuk akal, ajaib, dan sulit diterima akal sehat. Dari beberapa contoh tentang kejadian luar biasa yang dialami atau dilakukan oleh sang tokoh cerita selain menunjukkan bagaimana kehebatan sang tokoh dalam cerita, juga menunjukkan bahwa legenda sangat menarik untuk diketahui oleh para pendukungnya. Dan di setiap legenda itu disampaikan kepada orang lain selalu mengalami penambahan-penambahan tertentu, dan penambahan cerita tersebut biasanya hal-hal yang bersifat kehebatan dari sang tokoh cerita. Memang, di satu sisi kehebatan yang dilakukan oleh sang tokoh sering kali tidak masuk akal. Dari beberapa kehebatan yang dimiliki sang tokoh tersebut mengindikasikan bahwa tokoh dalam cerita bukanlah manusia biasa. Mereka punya kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh manusia biasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
e. Dalam Kisahnya dibantu oleh Makhluk Halus Legenda merupakan cerita yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi kadangkala dalam kejadian-kejadian tersebut banyak diselipi dengan hal-hal keanehan, sehingga seringkali tidak masuk akal. Di dalam legenda seringkali muncul peran makhluk halus yang ikut serta memperlancar maupun mengganggu seorang tokoh. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa legenda seringkali mengandung unsur-unsur yang bersifat pralogis dan tidak masuk akal. Apalagi sifat legenda yang cara penyampaiannya secara lisan, sehingga peristiwa-peristiwa “pralogis” yang menyertainya sering mendapat penambahan dari sang penutur. Sifat-sifat tersebut makin jelas dengan adanya faktor makhluk halus yang ikut berperan dalam peristiwa tersebut. Disatu sisi dengan adanya unsur-unsur pralogis tersebut justru menjadikan legenda menarik untuk diketahui masyarakat luas. f. Mencerminkan Tempat di Masa Lalu dan Sekarang Cerita rakyat yang tersebar di Kabupaten Blora, sangat kental sekali dengan asal mula nama sebuah tempat (desa, dusun) dan keberadaannnya hingga kini masih dijadikan nama desa atau dusun. Dari keenam sifat maupun kriteria sebuah legenda, pada dasarnya legendalegenda yang berkembang di wilayah Blora satu dengan lainnya mempunyai suatu hubungan tertentu, yang secara inti mengambil tokoh Aria Penangsang sebagai tokoh sentralnya, serta Wilayah Jipang dan Panolan sebagai wilayah cakupannya. Walaupun dalam perkembangannya nama tokoh dan nama tempat selalu berubah, namun seting utamanya berbagailegenda yang ada di Kabupaten Blora, tetap commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menitikberatkan
kepada
tokoh
Aria
Penangsang
beserta
atribut
yang
melingkupinya. Setelah melihat sifat-sifat dan kriteria beberapa legenda yang ada di Kabupaten Blora tersebut, maka pada dasarnya legenda yang berkembang, hidup dan diyakini oleh masyarakat pendukung legenda, dalam hal ini masyarakat Blora, tentu mempunyai maksud tertentu, paling tidak sebagai pengingat suatu masyarakat (kolektif) tentang keberadaan dan asal mula nama daerah mereka. Sejalan dengan hal itu memang legenda sering disebut sejarah. Mengingat sifat legenda yang tidak tertulis, maka seringkali legenda mengalami distorsi, sehingga peristiwa yang ditampilkan sangat menyimpang dengan peristiwa sesungguhnya. Selain itu legenda juga bersifat migratoris, dalam arti bahwa tempattempat yang ada dalam sebuah legenda dapat berpindah-pindah, bahkan persebaran legenda punjuga mengalami perkembangan yang luar biasa. Tidak mengherankan jika seringkali dijumpai sebuah legenda yang sama di daerah yang berbeda. Sebagian besar legenda yang ada di Kabupaten Blora merupakan jenis legenda perorangan dan legenda setempat. Berdasarkan legenda perorangan jelas di dalam legenda di Kabupaten Blora selalu menghubungkan tentang seorang tokoh (person) dengan tokoh lain. Legenda-legenda tersebut melukiskan perjalanan, pengembaraan seorang tokoh beserta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Sementara legenda setempat, sudah tentu beberapa legenda di Kabupaten Blora, sangat berkaitan dengan asal mula nama-nama sebuah tempat (desa maupun dusun) yang hingga saat ini masih digunakan. commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Struktur Cerita Rakyat Kabupaten Blora Pengkajian stukturalisme cerita rakyat Kabupaten Blora dapat diartikan sebagai kajian atau susunan dalam cerita rakyat yang meliputi unsur-unsur intrinsik cerita yakni tema, alur, tokoh, latar, dan amanat yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Blora. Kajian strukturalisme dilaksanakan terhadap lima cerita rakyat di Kabupaten Blora. a. Cerita Rakyat Legenda Punden Janjang 1) Isi Cerita Legenda Punden Janjang terkait dengan perjalanan Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara dalam pengembaraannya untuk mencari pusaka Kerajaan Pajang yang hilang. Konon setelah berpisah dengan ketiga saudaranya yang melanjutkan perjalanannya kearah timur (Pangeran Anom, Pangeran Giri Jati, dan pangeran Giri Kusuma), Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara melanjutkan perjalanan ke arah utara. Mereka berdua sampai kesuatu tempat yang sulit dilalui karena di depannya terhalang sungai yang curam. Para sahabatnya tidak bisa melaluinya. Melihat hal demikian Pangeran Jati Kusuma dengan
kesaktiannya
menciptakan
sebuah
jembatan
untuk
membantu
mempermudah menyeberangi sungai tersebut. Seketika dalam sekejap di depan mereka terbentang sebuah jembatan dari tanah yang menghubungkan dua tebing sungai tersebut. Tempat tersebut dikenal dengan sebutan ‘Wot Lemah’. Kemudian dari seberang Pangeran Jati Kusuma melihat di sebarang jembatan tersebut ada tempat yang patut untuk bertapa. Pangeran Jati Kusuma menghendaki untuk bertapa di tempat tersebut. Segala peralatan yang diperlukan commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
segara dipersiapkan. Akan tetapi tempat tersebut tidak cocok untuk beliau bertapa, terbukti baru beberapa bulan dipergunakan untuk bertapa tempat itu sudah longsor (jurug), yang berarti tidak cocok untuk bertapa seorang pangeran yang sakti. Kedua pangeran itupun lalu berpindah ke tempat yang lebih cocok. Adapun tempat tersebut kemudian dinamakan Gunung Cilik atau Jurug. Disebutkan, selama bertapa di tempat tersebut Pangeran Jati Kusuma mendapatkan petunjuk bahwa tempat bertapa yang cocok untuk beliau berdua adalah bukan di situ, melainkan di sebuah pegunungan yang berada disebelah utara pegunungan tersebut. Dalam petunjuk (wangsit) tersebut diperintahkan untuk mencari tanah yang njanjang. Mereka lalu pergi mencari tempat yang diperintahkan pada wangsit tersebut. Mereka berjalan ke arah Timur Laut. Tampaklah di sana terdapat pegunungan yang cocok dengan petunjuk yang diterimanya. Maka rombongan pun segera menuju ke tempat tersebut. Disebutkan selama dalam perjalanan, kedua pangeran itu membuat masjid di Desa Genjeng, dekat Nglebur/Ngrambah, untuk tempat bersembahyang masyarakat sekitar tempat itu, yang dikenal dengan Masjid Benteng. Selama dalam pembuatan masjid tersebut kedua pangeran itu selalu didatangi oleh seorang wanita yang sangat cantik dari Desa Bleboh bernama Nyi Randha Kuning. Maksud kedatangan dari wanita tersebut adalah ingin agar diperkenankan mengabdi sebagai selir sang pangeran. Keinginan Nyi Randha Kuning tersebut tidak dikabulkan, tetapi juga tidak ditolak. Dia dibiarkan disitu sesuka hatinya. commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Disebutkan, pembangunan masjid belum selesai namun kedua pangeran tersebut segera meninggalkan tempat tersebut untuk bertapa di Janjang. Selama sang pangeran bertapa, Nyi Randha Kuning tetap setia menunggu sampai akhir hayatnya. Akibat dari perbuatan Nyi Randha Kuning tersebut, menjadikan orang dari Desa Bleboh dan Desa Nglebur tidak boleh menikah dengan orang Desa Janjang. Apabila memaksa harus menikah, kedua calon mempelai harus bersedia terlebih dahulu tidur bersama baik di Desa Nglebur maupun Desa Bleboh. Selain itu, juga berlaku adat bahwa wanita Nglebur atau Blebohlah yang mengajukan lamaran terlebih dahulu, seperti halnya Nyi Randha Kuning. Cara bertapa antara dua orang pangeran tersebut berbeda. Pangeran Jati Kusumo melakukan tapa dengan cara mengurangi makan dan tidur, sedangkan Pangeran Jati Kuswara dengan cara terus menerus makan dan tidur. Dikisahkan, selama
melakukan
tapa
kedua
pangeran
tersebut
saling
menunjukkan
kesaktiannya. Ternyata dari kedua pangeran tersebut yang lebih unggul adalah pangeran yang lebih muda, Pangeran Jati Kuswara. Pada suatu saat Pangeran Jati Kusuma marah kepada adiknya Pangeran Jati Kuswara yang terus menerus makan. Maka dipecahkanlah kendil yang biasa dipergunakan untuk menanak nasi. Oleh Pangeran Jati Kuswara, pecahan kendil yang sudah berantakan tersebut lalu dipungut dikumpulkan serta diatur sedemikian rupa sehingga pulih seperti sedia kala. Pernah juga Pangeran Jati Kusuma mencoba kesaktian adiknya dengan cara menyuruh bujangnya untuk mengambilkan serban yang tertinggal di Desa Semanggi. Sang bujang pun berangkat menjalankan perintah tuannya. Sampai di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
Desa Semanggi sang bujang pun tertegun karena melihat sorban yang dimaksud berada di puncak nyiur yang cukup tinggi sehingga dia tidak bisa mengambilnya. Sang bujang lalu kembali menghadap tuannya dan memberitahukan apa yang dilihatnya. Pangeran Jati Kuswara menyatakan tidak percaya, lalu sang bujang diminta untuk kembali ke Desa Semanggi untuk mengambil sorban kakaknya. Dengan perasaan yang kurang puas sang bujang pun lalu kembali ke Desa Semanggi, memenuhi perintah pangeran Jati Kuswara. Akan tetapi begitu tiba di Desa Semanggi, bujang tersebut merasa heran dan takjub karena begitu ia tiba di tempat tersebut, pohon nyiur yang tadinya menjulang tinggi, begitu ia tiba di tempat tersebut seketika pohon kelapa tersebut merendah sehingga sorbannya dapat diambil dengan mudah. Sebagaimana sudah disebutkan di depan, selama Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara bertapa Nyi Randha Kuning tetap setia menunggu hingga akhir hayatnya, akan tetapi keinginannya untuk menjadi selir sang pangeran tidak bisa terkabul. Setelah meninggal Nyi Randha Kuning dimakamkan di satu lokasi dengan makam sang pangeran, yaitu di Desa Janjang, Kecamatan Jiken. Karena besar pengaruh dan kesaktiannya, setelah wafat, makam kedua pangeran tersebut masih dianggap keramat dan tiap tahun pada hari Jumat Pon selalu diadakan Manganan Janjang. Pada upacara itu orang dari dalam desa dan dari luar desa, bahkan dari luar daerah banyak yang datang dengan membawa sesaji, ada yang membawa tumpeng bucu, ada yang membawa panggang ayam dan jajan pasar. Ada juga yang menyembelih ternak seperti kambing dan lembu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Bila dalam membawa tumpeng bucu dan panggang ayamdicegat oleh anak-anak gembala dan panggang ayamnya diminta, harus diberikan. Setelah sampai, nasi dan jajanan dikumpulkan menjadi satu dan orangnya kebanyakan menanti sampai upacara selesai. Pada acara itu dipertunjukkan wayang krucilsebagai peninggalan keduanya. Setelah upacara selesai diadakan selamatan dan nasi-nasi tersebut dibagikan merata ke seluruh orang yang ada. Kepercayaan pada acara tersebut biasanya membawa ramalan yang akan datang. Bila dalam acara tersebut nas yang dibagikan itu kurang, ramalan di tahun datang akan terjadi paceklik/kurang pangan. Bila daun pembungkusnya yang kurang maka akan terjadi mahal tembakau. Bila air yang ada di dalam guci/gentong yang kurang maka akan terjadi kemarau yang panjang. Barang-barang peninggalan Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara antara lain: -
Wayang krucil atau wayang klitik dan seperangkat gamelan.
-
Guci (gentong yang berair) air tersebut dapat digunakan untuk upacara penyumpahan.
-
Damar Sewu
-
Baju Ontokusumo
-
Kendi
-
Mustoko Rumah Disamping itu ditempat tersebut juga sering untuk melepas nadzar yang
biasa dilaksanakan dengan cara mementaskan pertunjukan wayang krucil khas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
janjang dengan menampilkan wayang keramat ciptaan sang pangeran yang terdiri dari lima buah wayang yaitu: -
Kyai Branjal melambangkan beliau Eyang Jati Kusuma
-
Kyai Kuripan melambangkan beliau Eyang Jati Kuswara
-
Nyai Sekintir melambangkan beliau Putri Randha Kuning
-
Semar dan
-
Bletik melambangkan para punakawan. Konon wayang tersebut sangat keramat. Jika terpaksa dipentaskan di luar
daerah, wayang tersebut tidak mau dibawa dengan naik kendaraan, melainkan harus dibawa dengan berjalan kaki dengan cara digendong. Selain itu makam kedua pangeran tersebut juga sering dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan peradilan tradisional yang dikenal dengan ‘Sumpah Janjang’. Acara tersebut biasanya dilakukan untuk mencari kebenaran yang sudah tidak bisa dilakukan dengan cara lain. Dengan dilakukannya ‘Sumpah Janjang’ , dalam waktu yang tidak lama kebenaran pasti akan segera terungkap, paling lama dalam jangka waktu 3 bulan. Hal itu sebagaimana pepatah Jawa yang berbunyi ‘becik ketitik, ala ketara’ (baik akan diketahui dan jelek pun akan kelihatan). 2) Struktur Cerita a) Tema Peristiwa yang diceritakan dalam cerita rakyat Punden Janjang ini adalah peristiwa yang menggambarkan keteguhan tekat seseorang untuk menjalankan suatu perjalanan mencari sebuah pusaka yang hilang. Demi mendapatkan pusaka commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Bertapa/bersemedi demi mendapatkan wangsit atau petunjuk dimana letak pusaka itu berada. Di dalam pengembaraannya, kedua pangeran itu juga bersemedi untuk mendapatkan kesaktian, menolong orangorang yang lemah dan menyebarkan Agama Islam. Banyak tempat yang sudah dilewati oleh kedua Pangeran tersebut sampai akhirnya mereka menemukan tempat yang mereka rasa adalah tempat yang cocok untuk bersemedi yaitu di Desa Janjang. Dan di Desa Janjang tersebut kedua pangeran ini juga bertemu dengan seorang wanita yang dengan setia mengabdi dan menunggu sang pangeran dan bermaksud menjadi istri dari salah satu pangeran tersebut, wanita itu bernama Nyi Randha Kuning yang sampai akhir hayatnya tetap setia menunggu untuk diperistri salah satu pangeran tersebut. Di Desa Janjang tempatnya tinggi sehingga ia dapat melihat kemana saja dengan jelas. Saat bertapa di Janjang kedua pangeran ini melakukan tapa yang berbeda yaitu Pangeran Jati Kusuma bertapa dengan mengurangi makan dan tidur sedangkan Pangeran Jati Kuswara tapa dengan cara menambah makan dan tidur. Semua itu dilakukan demimendapatkan wangsit atau petunjuk dimana tempat pusaka Pajang yang hilang itu. Sampai akhir hayatnya kedua pangeran itu tinggal di Desa Janjang dan dimakamkan juga di desa tersebut. Makam Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara dianggap keramat (bahasa Jawa dipundi) oleh warga sekitar, maka dari itu disebut punden dan sering dikunjungi masyarakat untuk meminta berkah. commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan inti cerita, tema cerita Punden Janjang adalah kenyataan keteguhan tekad yang kuat untuk meraih dan mendapatkan apa yang diinginkan. Keteguhan tekat jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan diiringi dengan selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Ikhlas dalam menjalankan tugas yang telah diberikan tanpa adanya keinginan atau pamrih tertentu, ikhlas tanpa ada tendensi tertentu. b) Alur Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Punden Janjang adalah alur lurus, karena cerita mengalir secara logis dan saling berkaitan. Hal-hal yang dilakukan oleh pelaku-pelaku cerita secara berurutan dan menimbulkan cerita. Cerita diawali dengan menggambarkan tokoh utama yaitu Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara yang mengembara mencari pusaka kerajaan Pajang yang hilang dan mereka berdua terpisah dari ketiga saudaranya yang melanjutkan perjalanan ke arah Timur, sedangkan meraka berdua ke arah Utara. Meraka mengikuti wangsit untuk bersemedi di Desa Janjang. Dan di desa tersebut kedua pangeran itu bertemu dengan seorang wanita dari Desa Bleboh yang ingin diperkenankan mengabdi sebagai selir sang pangeran. Selama kedua pangeran tersebut bertapa, Nyi Randha Kuning selalu setia menunggu sampai akhir hayatnya. Setelah kedua pangeran tersebut meninggal makamnya dijadikan satu dengan lokasi makam Nyi Randha Kuning. Karena jasajasanya, makam kedua pangeran tersebut dianggap keramat, sering dipugar dan sering diperbaiki masyarakat sekitar. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
c) Tokoh Tokoh utama dalam cerita rakyat Punden Janjang adalah Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara. Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara adalah dua bersaudara kakak beradik, putra dari Sultan Pajang yang semasa hidupnya kedua pangeran ini suka mengembara. Kedua Pangeran tersebut memiliki kesaktian yang tinggi, suka menolong orang lain serta bertujuan menyebarkan Agama Islam, terbukti dengan adanya bangunan masjid di sana. Pangeran jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara melakukan bertapa dengan cara berbeda. Pangeran Jati Kusuma melakukan tapa dengan mengurangi makan dan tidur sedangkan Pangeran Jati Kuswara melakukan tapa dengan cara terus menerus makan dan tidur. Selama melakukan tapa kedua pangeran saling menunjukan kesaktiannya, tetapi Pangeran Jati Kuswara yang lebih unggul. Selain tokoh utama ada pula tokoh pendukung cerita. dalam cerita Punden Janjang tokoh pendukungnya adalah Nyi Randha Kuning. Dia adalah seorang wanita yang cantik dari Desa Bleboh yang ingin agar dia dijadikan isrti oleh Pangeran Jati Kusuma atau Pangeran Jati Kuswara. Sampai akhir hayatnya Nyi Randha Kuning tetap setia menunggu jawaban dari kedua pangeran tersebut. Dan sebelum dia meninggal, dia berpesan kepada seluruh warga Desa Bleboh untuk tidak ada yang berbesanan dengan seorang warga dari Desa Janjang. d) Latar Di dalam cerita rakyat Punden Janjang yang menonjol adalah latar tempat yang terkait dengan kisah perjalanan para tokohnya. Pangeran Jati Kuswara dan Pangeran Jati Kusuma melakukan perjalanan mencari tempat untuk bersemedi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
mencari wangsit dan ilmu melewati sungai dan lembah yang curam. Kedua pangeran tersebut dengan kesaktiannya membuat jembatan dari tanah yang diberi nama ‘Wot Lemah’. Bersemedi Desa Ngrenjeng, Nglebur tetapi tanahnya longsor karena tidak kuat untuk bertapa seorang yang sakti seperti mereka. Selama bertapa di tempat yang selalu jurug/longsor tersebut kedua pangeran itu mendapatkan wangsit /petunjuk bahwa tempat bertapa yang cocok untuk pangeran berdua adalah di sebuah pegunungan yang berada di sebelah utara. Meraka disuruh untuk mecari tanah yang njanjang/tanah lapang tepatnya di Desa Janjang Kecamatan Jiken. Kedua pangeran tersebut akhirnya bertapa dan menetap di desa tersebut sampai akhir hayatnya. Karena banyaknya jasa dan kedua pangeran ini juga memiliki ilmu yang tinggi makam kedua pangeran tersebut dianggap keramat, sering dipugar dan diperbaiki dan sering pula di makam tersebut dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan peradilan tradisional yang dikenal dengan istilah ‘Sumpah Janjang’. e) Amanat Berdasarkan cerita rakyat Punden Janjang ini, dapat ditemukan beberapa amanat yang berguna bagi generasi penerus antara lain: sifat dari Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara yang memiliki kesaktian yang tinggi, suka menolong orang lain selain itu kedua pangeran ini juga patuh dan taat beribadah. Kedua pangeran yang merupakan putra dari Sultan Pajang ini juga bertanggung jawab dan berbakti kepada rajanya, demi mencari pusaka Pajang yang hilang mereka rela menyusuri hutan, sungai, lembah dan bertapa dari satu tempat ke commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tempat yang lain untuk mencari petunjuk dimana letak pusaka Pajang yang hilang tersebut. Kerelaan dan kesetiaan dari seorang wanita yang bernama Nyi Randha Kuning. Demi cintanya kepada pangeran Nyi Randha Kuning rela mengapdikan dirinya dan setia menunggu jawaban dari pangeran yang dicintainya hingga Nyi Randha Kuning meninggal. Keiklasan dari Pangeran Jati Kusuma juga
bisa
dicontoh oleh generasi muda. Keiklasan Pangeran Jati Kusuma yang rela mengurangi makan dan minum dan pangeran Jati Kuswara yang menambah makan dan minum. Keiklasan seperti itu merupakan nilai yang bila direfleksikan di kehidupan saat ini merpakan nilai yang langka. Keiklasan yang seperti itu sulit untuk bisa diketahui dengan jelas. Dimasa kini dalam kehidupan modern, keiklasan seperti itu bisa dikatakan langka, masyarakat kini sangat mengagungkan nilai-nilai individu. b. Cerita Rakyat Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu 1) Isi Cerita Alkisah, pada saat masih zamannya penggede, di Desa Pojok Watu (Desa Tu-brem) hiduplah seorang penggede (kepala perampok) bernama Malang Sudiro. Pada suatu saat ia berniat mengawinkan anaknya yang bernama Malang Kusuma dengan seorang gadis dari Desa Ngoda. Hari perkawinan sudah ditentukan, begitu pula semua peralatan yang diperlukan telah dipersiapkan. Pada hari yang sudah ditentukan, rombongan pengiring pengantin pria berbondong-bondong dari Desa Pojok Watu menuju ke Desa Ngoda. Upacara perkawinan berjalan dengan lancar dan meriah.
commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada hari kelima setelah perkawinan (sepasar) sang penganti akan diunduh, diboyong untuk dirayakan ke Desa Pojok Watu. Pada saat yang sudah ditentukan, iring-iringan rombongan pengantin berjalan dari Desa Ngado ke Desa Pojok Watu. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh segerombolan perampok, yang sesungguhnya adalah anak buah dari ayah sang pengantin laki-laki. Gerombolan perampok tersebut melakukan perampokan terhadap iring-iringan Malang Kusuma karena mereka tidak tahu kalau yang menjadi pengantin adalah anak dari pemimpin mereka. Dalam peristiwa perampokan tersebut, segala peralatan dan perlengkapan upacara iring-iringan pengantin berceceran di sepanjang jalan Ngoda-Pojok Watu. Rombongan iring-iringan pengantin berusaha melawan rombongan para perampok untuk mempertahankan benda-benda perlengkapan upacara perkawinan yang dibawanya. Maka terjadilah pertempuran cukup seru yang dalam istilah setempat disebut “tawur”. Tempat terjadinya perang tawur antara rombongan pengiring pengantin melawan rombongan gerombolan perampok tersebut kemudian dinamakan Desa Sawur. Peralatan kebesaran pengiring pengantin banyak yang tercecer di perjalanan. Barang-barang tersebut antara lain: bonang renteng (alat gamelan untuk mengiringi perjalanan rombongan pengantin), kembang nyamplung (sumping sang pengantin), jarit jomblang (kain yang dipakai oleh sang pengantin), kalung (perhiasan yang dipakai oleh sang pengantin), kukusan (peralatan dapur yang digunakan keperluan upacara bukak kawah, khususnya untuk pengantin anak sulung).
commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tempat hilangnya bonang renteng disebut ‘Sawah Bonang Renteng’. Di sawah ini setiap akan mulai tanam atau panen harus didahului dengan membunyikan (nabuh) bende, sebagai pengganti bonang renteng. Tempat hilangnya sumping pengantin yang bernama ‘kembang nyamplung’ kemudian disebut ‘sawah nyamplung’. Tempat hilangnya kain yang digunakan pengantin bernama
‘jarit
jombang’
kemudian
disebut
‘Sawah
Jombang’,
tempat
hilangnyakalung pengantin disebut Sawah Kalung. Tempat hilangnya peralatan bubak kawah yang berupa ‘kukusan’ disebut ‘Sawah Kukusan’. Hilangnya kalung sang pengantin karena sang pengantin terjerat dahan kacang (kesrimpet). Oleh karena itu, di sawah tempat hilangnya kalung tersebut ditabukan ditanami pohon kacang. Dalam peristiwa tersebut akhirnya pengantin dan pengiringnya terpisah. Tempat terpisahnya sang pengantin dengan pengiringnya tersebut kemudian disebut ‘Sawah Manten’. Untuk membuang sial, ditempat tersebut tiap tahun harus disediakan bekakak putra-putri menyerupai sepasang pengantin, sebagai peringatan atas terjadinya peristiwa naas tersebut. Adapun sang pengantin yang sudah tidak ada lagi yang mengurusi merasa ketakutan, akhirnya bersembunyi (ndhelik) pada sebuah sendang (mata air), yang kemudian disebut ‘Sendang Delik’. Setelah usai tawur, para pengiring mencari sang pengantin. Akan tetapi dicari kesana-kemari (digoleki nganti napis) belum juga ketemu. Akhirnya tempat para pengiring mencari pengantinnyatersebut kemudian disebut ‘Sawa Napis’. Atas terjadinya peristiwa perampokan terhadap iring-iringan pengantin yang berasal dari Desa Ngoda menuju Desa Pojok Watu tersebut dianggap sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
malapetaka besar, sehingga sampai saat ini orang Desa Pojok Watu pantang berbesanan dengan orang Desa Ngoda. Jangankan berbesanan, membawa sesuatu dari Desa Pojok Watu juga dipantangkan. Konon pernah terjadi, ada seorang gembala membawa batu krikil dari Desa Pojok Watu, terpaksa harus mengembalikan ke tempatnya semula, karena begitu tiba di rumah, semua binatang piaraannya sakit. Anehnya, setelah batu kerikil tersebut dikembalikan ke tempatnya semula, semua binatang piaraannya yang semula sakit seketika sembuh seperti sedia kala. Penggede Malang Sudira begitu mengetahui bahwa apa yang diperbuat oleh anak buahnya adalah perbuatan yang salah, maka dia merasa malu. Dia lalu pergi meninggalkan desanya. Dalam perjalanan dia bertemu dengan seorang yang memikul dagangan ‘brem’ (makanan dari sari tape). Ketika ditanya oleh penggede Malang Sudira mengenai barang apa yang dibawanya, orang tersebut merasa ketakutan dan khawatir kalau barang yang dibawanya akan dirampas oleh penggede tersebut. Oleh karenya ia menjawab dengan berbohong. Dikatakanlah barang yang dibawanya adalah ‘batu’. Mendengar jawaban tersebut Penggede Malang Sudira bertanya lagi: “Watu apa kok kaya brem” (batu apa kok seperti brem). Atas kejadian itu, akhirnya desa tersebut juga dinamakan Watu Brem atau Tu-brem, yang merupakan kependekan dari kata ‘watu brem’. 2) Struktur Cerita a) Tema Peristiwa yang diceritakan dalam cerita rakyat “Legenda Desa Watu Brem (Tu-brem) dan Desa Pojok Watu” adalah bermula dari seorang penggede (kepala commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
perampok) bernama Malang Sudiro yang hendak menikahkan anaknya dengan seorang gadis dari Desa Ngoda. Hari pernikahan sudah ditetapkan dan pada hari yang sudah ditentukan upacara perkawinan berjalan dengan lancar dan meriah. Pada hari kelima sang pengantin diunduh atau diboyong ke Desa Pojok Watu dan ditengah perjalanan iring-iringan pengantin dihadang oleh segerombolan perampok yang sesungguhnya adalah anak buah ayah sang pengantin laki-laki. Gerombolan perampok itu melakukan perampokan terhadap iring-iringan pengantin Malang Kusuma karena tidak tahu yang menjadi pengantin adalah anak dari pimpinan mereka. Peralatan kebesaran pengiring pengantin tercecer di perjalanan karena antara perampok dan pengiring pengantin terjadi pertempuran hebat. Kedua pengantin pun terpisah dan tidak diketahui kemana perginya. Penggede Malang Sudiro begitu mengetahui bahwa apa yang diperbuat oleh anak buahnya adalah perbuatan yang salah, maka dia merasa malu. Dia lalu pergi meninggalkan desanya. Di perjalanan dia bertemu dengan seorang yang memanggul brem dan ketika Malang Sudiro bertanya kepada pemanggul brem tersebut tentang apa yang dipanggulnya orang itu menjawab dengan berbohong yaitu sedang memanggul watu (batu). Orang tersebut terpaksa berbohong karena takut jika barang bawaannya akan dirampok oleh Malang Sudiro. Di dalam masyarakat Jawa, sifat seperti ini sering disebut dengan “ngunduh wohing pakarti”, yang artinya bahwa siapa pun yang berbuat jahat, pasti akan mengalami akibat perbuatannya. Ungkapan Jawa ini sesungguhnya mengandung nilai filosofi yang sangat tinggi, sebagai landasan dan pedoman dalam berperilaku. Begitu pula yang terjadi dalam Legenda Desa Watu commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Brem/Pojok Watu yang mengisahkan tentang perbuatan yang tidak terpuji oleh tokoh yang bernama Malang Sudiro. Perbuatan buruknya menjadi boomerang terhadap dirinya. b) Alur Cerita rakyat Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu dapat dikatakan menggunakan alur lurus atau maju. Secara berurutan diceritakan asal-usul tokoh cerita dan kronologi cerita yang dimulai dari rencana Malang Sudiro seorang pemimpin gerombolan perampok yang hendak menikahkan putranya dengan seorang gadis dari Desa Ngoda namun pada saat ngunduh manten, iring-iringan pengantin itu dihadang oleh gerombolan perampok. Gerombolan perampok tesebut sebenarnya adalah anak buahnya, anak buah Malang Sudiro yang tidak tahu bahwa yang dirampok adalah anak pimpinannya. c) Tokoh Tokoh utama dalam Legenda Desa Watu Brem/Pojok Watu adalah seorang penggede atau pimpinan gerombolan perampok yang bernama Malang Sudiro. Dia adalah seorang pemimpin gerombolan rampok yang pergerakannya secara sembunyi-sembunyi sehingga banyak yang tidak tahu jika dia adalah seorang pemimpin rampok. Yang harus menanggung malu karena para cantrik/anak buahnya merampok iring-iringan pengantin anaknya sendiri karena anak buahnya tidak tahu. Selain Malang Sudiro juga ada lagi tokoh tambahan yaitu Malang Kusuma. Malang Kusuma adalah anak dari Malang Sudiro, pemimpin gerombolan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
rampok. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan yang tidak tahu bahwa ayahnya adalah seorang pemimpin perampok. Seorang gadis dari Desa Ngoda yang merupakan istri dari Malang Kusuma juga menjadi salah satu tokoh tambahan dalam cerita ini. Selain gadis tersebut disebutkan Legenda Desa Watu Brem/Pojok Watu juga menampilkan tokoh tambahan seperti para anggota/anak buah dari Malang Sudira yaitu perampok yang jumlahnya banyak dan tersebar dan juga para pengiring pengantin yang ikut berperang melawan gerombolan perampok tersebut. d) Latar Latar yang menonjol dalam cerita “Legenda Desa Watu Brem/Pojok Watu” adalah latar tempat. Pada saat masih zamannya penggede, di Desa Pojok Watu (Desa TU-brem) hiduplah seorang pimpinan perampok yang akan menikahkan anaknya dengan seorang gadis dari Desa Ngoda. Tetapi pada saat pengantin diboyong, rombongan pengantin itu dihadang gerombolan perampok yang tidak lain adalah anak buah orang tua dari pengantin laki-laki. Ketika Malang Sudiro mengetahui hal tersebut dia malu dan pergi meninggalkan desanya. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang yang memanggul brem dan ketika Malang Sudiro bertanya kepada pemanggul brem tersebut tentang apa yang dipanggulnya, orang itu menjawab dengan berbohong yaitu sedang memanggul watu (batu). Orang tersebut terpaksa berbohong karena takut jika barang bawaannya akan dirampok oleh Malang Sudiro. Atas kejadian itu, akhirnya desa tersebut juga dinamakan Desa Watu Brem atau Tu-brem, yang merupakan kependekan dari watu brem. commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e) Amanat Di dalam Legenda Watu Brem/Pojok Watu, mengisahkan seseorang yang sering melakukan perampokan seperti yang sering dilakukan oleh Malang Sudiro. Disaat ia mengadakan hajatan perkawinan anaknya, ternyata iring-iringan pengantin dirampok di tengah jalan yang justru dilakukan oleh anak buahnya. Di dalam masyarakat Jawa, sifat seperti ini seringkali disebut dengan istilah ngunduh wohing pakarti, yang artinya bahwa siapa pun yang berbuat kejahatan, pasti akan mengalami akibat perbuatannya. Tidak hanya di dalam cerita rakyat atau legenda, hukum karma atas tindakan yang dilakukan juga seringkali tercermin dalam perilaku dan tindakan masyarakat sehari-hari. Manusia seringkali tidak mudah memahami akan hal ini. Manusia tidak bisa menilai dan tidak bisa bercermin diri, atas perbuatan yang telah dilakukannya. Apakah perbuatannya telah sesuai dengan norma atau kaidah kehidupan atau belum, hanya orang lain yang bisa menilai. Ungkapan Jawa ngunduh wohing pakarti yang artinya siapa yang berbuat jahat akan menanggung akibatnya ini sebagai landasan dan pedoman dalam berperilaku. Begitu pula yang terjadi dalam Legenda Desa Watu Brem/Pojok Watu yang mengisahkan tentang perbuatan yang tidak terpuji oleh tokoh yang bernama Malang Sudiro. Perbuatan buruknya menjadi boomerang terhadap dirinya.
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Cerita Rakyat Terjadinya Desa Gersi 1) Isi cerita Legenda terjadinya Desa Gersi berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Negara yang bernama Kerajaan Tanjung Mas, yang memiliki tumenggung yang sangat sakti, berama Tunggul Wulung. Tumenggung Tunggul Wulung mempunyai istri yang sangat cantik bernama Dewi Sumekar. Alkisah pada suatu hari di Kerajaan Tanjung Mas ada pemberontakan yang dilakukan oleh Bupati Nglangitan. Prajurit Tanjung Mas sudah dikalahkan oleh pasukan pemberontak. Melihat kekalahan prajuritnya, raja Tanjung Mas memerintahkan kepada putranya yang bernama Pangeran Suryo untuk mengundurkan Bupati Nglangitan. Pangeran Suryo tidak menuju ke medan perang, melainkan pergi ke katumenggunggan menemui Tumenggung Tunggul Wulung, dengan alasan mendapat perintah dari ayahnya bahwa Tumenggung Tunggul Wulung diperintahan untuk menumpas murkanya Bupati Nglangitan. Hal itu dilakukan karena Pangeran Suryo ada maksud kepada Dewi Sumekar. Sepeninggal Tumenggung Wulung, Pangeran Suryo membujuk Dewi Sumekar agar mau menuruti kemauannya dan mau diperistri. Keinginan Pangeran Suryo ditolaknya, Dewi Sumekar lalu lari, dan ketemu suaminya yang baru sampai di Sekanthen (saat ini menjadi Desa Sekethi). Dewi Sumekar menangis di luar Sekanthen (sampai saat ini tanah tempat Dewi Sumekar menangis menjadi tanah sangar/gawat). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Selanjutnya Pangeran Suryo pergi menghadap raja. Akan tetapi Tunggul Wulung dan istrinya sudah menghadap terlebih dahulu. Tumenggung Tunggul Wulung menyerahkan istrinya kepada raja dan mengatakan bahwa istrinya dikersakke (diinginkan) Pangeran Suryo. Setelah menyerahkan istrinya Tunggul Wulung lalu pergi. Kedatangan Pangeran Suryo menjadikan raja marah. Beliau lalu memerintahkan kepada Pangeran Suryo untuk membrantas angkara Bupati Nglangitan. Kalau gagal, walau putranya sendiri akan dihukum mati. Dewi Sumekar lalu pulang ke rumah orangtuanya di Bathokan. Dia mengatakan kalau suaminya sudah tidak menginginkannya lagi. Ayahnya lalu bertanya, Apakah masih mencintai suaminya. Dewi Sumekar menjawab bahwa dia masih mencintai suaminya. Mendengar jawaban putrinya tersebut, sang ayah lalu menyarankan kepada putrinya untuk pergi ke Nglangitan, menyamar sebagai laki-laki dan mendaftarkan diri sebagai prajurit dengan nama Silihwarni. Sepeninggalan Dewi Sumekar, datanglah Tunggul Wulung ke Bathokan, menemui mertuanya untuk menyerahkan istrinya karena dicintai oleh anak rajanya. Penggede Bathokan bertanya kepada Tunggul Wulung apakah masih mencintai istrinya. Tunggul Wulung menjawab bahwa ia masih mencintai istrinya. Mendengar hal itu, Penggede Bathokan memberitahukan bahwa untuk bisa ketemu lagi dengan istrinya, Tunggul Wulung harus memberantas Bupati Nglangitan dan mengubah nama menjadi Silihwarno. Tunggal Wulung pun lalu pergi ke Nglangitan. Di Kadipaten Nglangitan terjadi peperangan yang dimenangkan oleh Pangeran Suryo. Kekalahan prajurit Nglangitan terobati dengan datangnya commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Silihwarni yang mendaftar sebagai prajurit dengan syarat harus dapat meringkus Pangeran Suryo. Silihwarni berhasil meringkus Pangeran Suryo, lalu dipenjara di Nglangitan. Tak lama kemudian datanglah Silihwarno mengamuk ke Nglangitan. Dia ditemui Silihwarni. Terjadilah perang tanding Silihwarno dan Silihwarni, yang dimenangkan oleh Silihwarno. Silihwarni lalu menjumpai ayahnya, Kie Ageng Bathokan. Sang ayah kembali menyuruh ke medan perang, lalu menyerang dengan cara rayuan dan cubitan. Setelah dirayu dan dicubit Silihwarno melarikan diri, dan jatuh di lobang becek seperti belik (sumur kecil dan dangkal). Silihwarni terus mencubitinya. Silihwarno menarik ikat penutup kepala Silihwarni lalu dibuang ke utara. Begitu tutup kepalanya terbuka, taulah Tunggul Wulung bahwa Silihwarni adalah Dewi
Sumekar,
istrinya.
Kemudian
Tunggul
Wulung
juga
membuka
penyamarannya. Tanah yang kejatuhan ikat kepala Silihwarni menjadi longsor dan berlobang (gowak) serta berair sehingga dinamakan ‘Sendang Gowak’. Sedang lobang becek tempat Silihwarno (Tunggul Wulung) terjatuh dinamakan ‘Sedang Blibis’. Kemudian Penggede Bathokan bersama anak dan menantunya menuju Kadipaten Nglangitan. Bupati Nglangitan mempunyai senopati andalan bernama Ki Ageng Nglaban. Dialah yang mendalangi pemberontakan Bupati Nglangitan kepada Raja Tanjung Mas. Ketika diberitahukan bahwa Bupati Nglangitan telah dikalahkan oleh Tunggal Wulung dan Sumekar, dia lalu maju ke medan perang melawan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
Tunggul Wulung, yang kemudian digantikan oleh Ki Gede Bathokan. Terjadilah perang tanding antara Ki Gede Nglaban melawan Ki Gede Bathokan. Disebutkan wilayah Kadipaten Nglangitan dilindungi dengan pagar besi (dirajeg wesi). Dalam pertempuran tersebut kolor (tali celana) Ki Gede Nglaban terlempar dan tersangkut pagar besi tersebut. Melihat hal itu Ki Gede Bathokan lalu bersabda bahwa kelak jika tempat tersebut menjadi kota dinamakan kota Gersi, kalau jadi desa juga dinamakan Desa Gersi. Pertarungan antara Ki Gede Nglaban dan Ki Gede Bathokan terus berlangsung, dan semakin seru. Dalam pertarungan tersebut mereka semakin bergeser ke timur. Mereka sampai pada sebuah kedung yang dalam dan masih terus bertarung sehingga airnya seperti diaduk (dikebur). Oleh karena itu tempat tersebut kemudian tersebut Desa Keburan. Perang semakin ke timur. Mereka berdua dikerumuni jangkrik sehingga tempat tersebut kemudian disebut Desa Jangkrikan. Perang pun semakin ke timur. Di sebelah utara kraton Ki Gede Nglaban gugur. Darahnya mengalir sangat banyak hingga seperti kolam. Sampai saat ini kolam tersebut airnya merah seperti darah. 2) Struktur Cerita a) Tema Peristiwa yang diceritakan dalam cerita ‘Terjadinya Desa Gersi’ adalah bermula dari adanya pemberontakan di kerajaan Tanjung Mas yang dilakukan oleh Bupati Nglangitan. Raja Tanjung Mas memerintah putranya Pangeran Suryo. Akan tetapi Pangeran Suryo mempunyai rencana lain, dia mengutus Tumenggung Tunggul Wulung untuk maju menumpas pemberontak dan ketika Tunggal commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
Wulung pergi Pangeran Suryo berusaha mendekati dan merayu Dewi Sumekar, istri dari Tunggal Wulung yang sudah sejak lama dicintainya. Besarnya cinta Dewi Sumekar kepada suaminya membuatnya menolak Pangeran Suryo walaupun Tunggal Wulung sendiri yang menyerahkan Dewi Sumekar untuk putra rajanya. Akhirnya Dewi Sumekar melarikan diri dan pulang ke rumah orang tuanya dan berlatih ilmu kanuragan kemudian berganti nama Silihwarni dan bergabung dengan prajurit Nglangitan melawan Pangeran Suryo yang kemudian juga bertemu dengan suami yang masih mencintainya dan mengganti namanya dengan Silihwarno. Dalam melawan pemberontak yang dipimpin oleh Ki Gede Nglaban, Silihwarni dan Silihwarno dibantu oleh ayah dari Silihwarni yaitu Ki Gede Bathokan. Ki Gede Bathokan dan Ki Gede Nglaban terlibat peperangan yang seru dan dalam pertempuran tersebut kolor (tali celana) Ki Gede Nglaban terlempa dan tersangkut pagar besi. Melihat itu Ki Gede Bathokan bersabda bahwa kelak jika tempat tersebut menjadi kota Gersi dan jika menjadi desa juga dinamakan Desa Gersi. Berdasarkan inti cerita dan tema cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi” ini dapat digolongkan dalam golongan cerita legenda jenis sejarah kolektif. b) Alur Isi cerita dalam cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi” dapat dikatakan menggunakan alur lurus atau maju. Secara berurutan diceritakan asal-usul tokoh cerita yakni Tumenggung Tunggul Wulung dan istrinya Dewi Sumekar, kemudian ada putra Raja Tanjung Mas yang bernama Pangeran Suryo yang diam-diam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
mencintai Dewi Sumekar dan hendah menikahi Dewi Sumekar yang tidak lain adalah istri dari Tumenggung Tunggul Wulung. Kronologi kejadian dalam cerita berjalan secara berurutan dari awal hingga akhir. c) Tokoh Tokoh utama dalam cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi” adalah Tumenggung Tunggul Wulung (Silihwarno) dan istrinya Dewi Sumekar (Silihwarni). Tunggal Wulung adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa setia pada rajanya dan menyayangi istrinya. Dewi Sumekar adalah sosok wanita yang cantik yang tangguh yang memiliki rasa cinta yang tulus kepada suaminya dan juga seorang wanita yang setia. Tokoh selanjutnya adalah Pangeran Suryo. Digambarkan bahwa pangeran suryo adalah seorang Putra Raja Tanjung Mas yang mempunyai sifat licik, berbuat curang untuk mendapatkan apa yang diinginkan seperti berusaha memiliki istri dari Tunggul wulung. Kemudian tokoh Ki Gede Bathokan dan
Ki Gede
Nglaban. Ki Gede Bathokan adalah ayah dari Dewi Sumekar yang baik dan sayang terhadap anak dan menantunya. Sedangkan Ki Gede Nglaban adalah senopati Nglangitan yang mendalangi pemberontakan kepada Raja Tanjung Mas. d) Latar Latar tempat adalah latar yang menonjol dalam cerita “Terjadinya Desa Gersi”. Latar cerita dimulai dari Kerajaan Tanjung Mas yang memilki tumenggung yang sangat sakti yaitu Tunggul Wulung. Di Kerajaan Tanjung mas ada pemberontakan oleh Bupati Nglangitan. Maka Tunggal Wulung pun datang ke Kerajaan Nglangitan untuk menumpas pemberontakan. Dengan dibantu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
mertuanya Ki Gede Bathokan akhirnya pemberontakan yang di pimpin oleh Ki Gede Nglaban bisa ditumpas. Disebutkan wilayah Kadipaten Nglangitan dilindungi dengan pagar besi (dirajeg wesi). Dalam pertempura tersebut kolor (tali celana) Ki Gede Nglaban terlempar dan tersangkut pagar besi tersebut. Melihat hal itu Ki Gede Bathokan lalu bersabda bahwa kelak jika tempat tersebut menjadi kota dinamakan kota Gersi, kalau jadi desa juga dinamakan Desa Gersi. e) Amanat Berdasarkan isi cerita pada cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi” dapat ditemukan beberapa amanat yang sesuai, diambil dari karakter dan perilaku tokoh utama, yaitu: (1) agar masyarakat tahu dan mengerti sejarah Desa Gersi dan meneladani perjuangan para leluhur yang bersedia berjuang tanpa pamrih. (2) sikap setia kepada pasangan juga ditunjukan dalam cerita ini, kesetiaan yang ditunjukkan oleh Dewi Sumekar. Walaupun dia dicintai dan inginkan untuk diperistri anak rajanya dia tetap memilih suaminya, Tunggal Wulung. d. Cerita Rakyat Maling Kenthiri 1) Isi Cerita Alkisah cerita di tlatah Jawa tersebutlah Kiai Ageng Pancuran yang hidup bersama seorang anaknya bernama Kentiri. Kentiri adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan sehingga sanggatlah dibanggakan oleh ayahnya Kiai Ageng Pancuran. Selain tampan Kentiri juga pandai bela diri dan memiliki kesaktian yang tinggi. Setiap hari Kentiri rajin belajar berbagai ilmu. Tidak jarang dia berguru sampai jauh dari rumahnya. Berkat ketekunan dan kerajinannya, ia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
memiliki kekuatan lahir dan batin yang hebat serta punya kesaktian yang luar biasa. Dalam setiap pengembaraannya untuk mencari ilmu, Kentiri sering bertemu dengan rakyat kecilyang hidupnya sengsara.berkat ajaran ayahnya, Kentiri tumbuh menjadi pemuda yang tidak sombong dan suka menolong orang yang kesusahan. Sehinggadia sering mudah berbelas kasihan melihat penderitaan rakyat kecil, dan tidak segan-segan menolong mereka yang menderita bahkan membagikan harta miliknya. Namun di balik itu Kentiri memiliki sifat yang sangat keras terutama dalam hal mewujudkan impian dan cita-citanya. Bila ia menginginkan sesuatu, apa pun yang merintanginya pasti dihadapi agar keinginannya dapat terwujud. Tidak jarang ia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sifat inilah yang kerap membuat ayahnya prihatin dan sedih. Pada suatu sore ketika matahari telah condong ke barat, Kentiri duduk termenung dan terdiam di depan rumah. Biasanya bila malam hampir tiba ia bersiap untuk semedi di tempat sunyi. Hal itu bukanlah kebiasaan Kentiri, sehingga ayahnya Kiai Ageng Pancuran pun bertanya kepadanya. “Ada apa anakku, kamu duduk termenung dan kelihatan sedih? Katakanlah kepada bapakmu apa yang menjadi kesedihanmu.” “Aku sebenarnya malu dan takut bila menceritakan ini kepada bapak.” “Tidak seperti biasanya anakku, selama ini bila punya keinginan pastikamu nyatakan dengan tegas. Apa sebenarnya yang kau inginkan anakku. Apakah engkau menginginkan seorang gadis untuk menjadi istrimu?” commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Betul bapak. Beberapa hari lalu ketika aku bersemedi, di daerah Sulang aku bertemu dengan seorang gadis. Menurutku ia sangatcantik. Aku ingin sekali meminangnya. Apakah bapak menyetujuinya?” “Kalau menurutmu gadis itu baik, pasti bapak setuju. Siapa nama gadis itu dan siapa nama bapaknya?” “Namanya Dewi Sirep, anak Mbok Randha Suganti dari Desa Sepetik.” Kiai Ageng Pancuran kaget mendengar penjelasan anaknya. “Aduh anakku, apa tidak ada gadis yang lain?” “Ada apa pak?” “Konon kabarnya gadis itu sudah banyak membuat pemuda yang jatuh cinta padanya menjadi patah hati, apakah lamaran kita nanti diterimanya? Tetapi jika kamu memang menginginkannya, bapak akan berusaha mewujudkan keinginanmu.” Kiai Ageng Pancuran lalu meminta tolong pada saudaranya yang bernama Jaruman. Jaruman adalah paman Kentiri, ia tinggal di Rajekwesi. Jaruman dimintai tolong oleh Kiai Ageng Pancuran untuk melamar Dewi Sirep agar mau menjadi istri Kentiri. Beberapa waktu kemudian pergilah Jaruman ke Desa Sepetik
menemui
Mbok
Randha
Sugati
dan
menyampaikan
maksud
kedatangannya tersebut. “Saya Jaruman , datang ke sini menyampaikan pesan Kiai Ageng Pancuran , akan melamar putri Nyai untuk dijadikan istri Kentiri keponakan saya putra dari Kiai Ageng Pancuran.” commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Maaf beribu maaf, saya belum bisa memberi jawaban sekarang, berilah kami waktu beberapa hari lagi.” “Baiklah Nyai kalau memang demikian , kami akan menunggu. Kemudian Jaruman berpamitan dan bergegas pulang untuk menyampaikan jawaban Mbok Suganti kepada Kiai Ageng Pancuran. Selang beberapa waktu setelah lamaran dari Kentiri, datanglah Kiai Ngusman dan Mbalun Cepu bersama anaknya Jaka Selakan ke rumah Mbok Randha Suganti yang juga ingin melamar Dewi Sirep. Ternyata lamaran Jaka Selakan diterima oleh Mbok Randha Suganti dan anaknya Dewi Sirep, walaupun Kentiri lebih dahulu melamar. Mendengar ini, ia sangat marah dan hendak membunuh Jaka Selakan. Maka terjadilah pertandingan antara Kentiri dan Jaka Selakan. Karena kesaktiannya, Kentiri dapat memenangkan pertandingan tersebut dan Jaka Selakan pun tewas di tangan Kentiri setelah ditikam dengan tombak Kiai Dorodasih, senjata milik Kentiri yang sangat ampuh. Ketika mendengar kabar bahwa Jaka Selakan telah dibunuh oleh Kentiri, Dewi Sirep menjadi takut. “Bagaimana simbok kalau dia datang ke sini dan memaksaku jadi istrinya? Aku takut sekali simbok.” “Sudahlah anakku, tenangkanlah dirimu dan janganlah kau perlihatkan ketakutanmu apabila Kentiri datang kemari. Simbok nanti yang akan menghadapinya.”
commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selang beberapa lama kemudian, Kentiri bersama pamannya Jaruman, tiba di Desa Sepetik dan menemui Mbok Randha Suganti, dan kembali meminta Dewi Sirep untuk diperistri. “Baiklah Kentiri, aku akan memberikan Dewi Sirep menjadi istrimu asal kamu dapat memenuhi permintaan Dewi Sirep.” “Apa permintaanmu Dewi Sirep, katakanlah kepadaku. Aku pasti sanggup memenuhinya.” “Kentiri, aku mau jadi istrimu apabila kau dapat memenuhi permintaanku. Pertama, aku ingin mandi di Sendang Kara yang berada di Tuban. Kedua, aku ingin memiliki Bendhe Becak. Ketiga, aku ingin memiliki Bendhe Singobarong dan keempat, aku ingin memiliki Bendhe Kencana.” Mendengar permintaan Dewi Sirep kemudian Kentiri menyanggupinya dan segera pergi dari rumah Mbok Randha Suganti untuk mencarinya. Sebenarnya itulah cara Mbok Randha Suganti untuk menolak halus permintaan Kentiri. Bila ditolak secara terang-terangan pasti Kentiri akan marah. Kentiri lalu pergi ke Dusun Mlandingan Tuban menemui Mbok Randha Suli. Kentiri mengungkapkan kepada Mbok Randha Suli maksud kedatangannya tersebut. “Sungguh Kentiri aku tidak punya pusaka yang disebut Bendhe Becak. Yang ada di sini adalah Jaka Becak.” “Betul kata simbok, kami tidak punya pusaka yang kamu maksud.” Kentiri marah dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mbok Randha Suli dan anaknya Jaka Becak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
“Hei Jaka Becak, kaulah sebenarnya bendhe itu maka sekarang ikutlah aku.” Demikian kata Kentiri sambil menendang kaki Jaka Becak. Mendapat tendangan dari Kentiri, Jaka Becak segera membalasnya dan terjadilah perkelahian yang seru. Akhirnya, Jaka Becak dapat dibunuh oleh Kentiri dengan menggunakan tombak Kiai Doroasih. Setelah meninggal Jaka Becak berubah menjadi Bendhe Becak. Setelah mendapatkan Bendhe Becak Kentiri segera mencari Bendhe Singabarong milik Mbok Hira yang tinggal di Tuban. Bendhe ini dengan mudah didapatkan oleh Kentiri. Kini tinggal Bendhe Kencana yang belum dimilikinya sebab benda tersebut milik Ranggayuda Bupati Semarang. Kemudian Kentiri pergi ke Semarang dan mencuri benda tersebut. Malang baginya, sebelum dapat mengambil benda tersebut, ia ketahuan para prajurit kadipaten Semarang. Dan kemudian dikejarlah Kentiri oleh para prajurit kadipaten. “Maling. Maling. Ada pencuri masuk kadipaten. Kejar, kejar dia. Tangkap!” Mendengar teriakan yang bergemuruh itu, Kentiripun lari terbirit-birit dikejar prajurit Bupati Semarang. Dalam pelariannya, di tengah jalan Kentiri berjumpa dengan seorang pencuri yang bernama Jaka Sanggar, anak Ki Gede Tuguan. Kentiri dan Jaka Sanggar saling menantanguntuk mengadu kesaktian. Akhirnya, mereka berdua pun berkelahi. Dengan senjata pusakanya Kiai Doroasih Kentiri dapat mengalahkan dan membunuh Jaka Sanggar. Karena para prajurit Bupati Semarang masih mengejarnya, Kentiri masih terus berlari dan bersembunyi di daerah Blora. Untuk tetap menyambung hidup, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
dalam persembunyiannya itu ia kemudian mencuri. Namun, ia hanya mencuri kepunyaan orang-orang yang kaya saja. Hasil curiannya pun tidak dipakai sendiri tetapi juga diberikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan, terutama orang-orang miskin yang tinggal di desa. Sejak itulah ia disebut maling kentiri atau maling gentiri. Karena kebiasaan Kentiri yang suka menolong orang-orang miskin yang sedang mengalami kesusahan, maka penduduk desa pun sangat menyayangi Maling Kentiri. Ia tidak dianggap sebagai orang jahat, tetapi dianggap sebagai Ratu Adil yang datang ke bumi. Sebagai dewa yang menjelma sebagai manusia untuk menyelamatkan orang-orang desa yang miskin dan menderita, orang-orang desa yang ditindas para prajurit kadipaten. Sering kali Maling Kentiri disembunyikan oleh penduduk desa dari kejaran prajurit kadipaten yang akan menangkapnya. Kentiri terus pergi ke timur menghindari kejaran para prajurit Ranggayuda Bupati Semarang, sambil menyingkir, ia tetap mencuri dan membagikan barang curiannya kepada penduduk setempat. Namun demikian dalam menjalankan aksi pencuriannya, Kentiri tidak pernah tertangkapkarena kesaktiannya yang luar biasa. Ia dapat memasuki rumah korbannya hanya dengan meniti sorot atau sinar lampu yang keluar dari celah dinding rumah. Pada umumnya dinding rumah orang-orang Blora terbuat dari kayu jati jadi ada celah yang memungkinkan sinar lampu dalam rumah keluar. Hal ini berlangsung terus-menerussampai suatu ketika Kentiri merasa bosan dan lelah karena harus berkejaran sambil bersembunyi dari prajurit Kadipaten Semarang. Ia commit to user
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga bosan dah lelah harus selalu mencuri untuk tetap dapat menjaga kelangsungan hidupnya
dalam pelariannya tersebut. Hal itu kemudian
diungkapkannya pada pamannya Jaruman. Kepada pamannya tersebut dia berkata jika ingin bertaubat dan berguru kepada sang kiai di Semarang yaitu Sunan Ngareng. “Paman Jaruman, aku lelah mencuri dan terus dikejar-kejar para prajurit. Aku ingin menjadi manusia yang baik. Aku ingin bertobat dan berguru pada Sunan Ngerang di Semarang.” “Kalau begitu kemauanmu, aku merestui dan Paman akan ikut kau pergi ke Semarang.” Akhirnya Kentiri dan Jaruman pun pergi ke Semarang menemui Sunan Ngerang dan menyatakan kalau mereka ingin berguru dan menimba ilmu. Mereka berdua diterima Sunan Ngerang sebagai muridnya. Sebagai murid, Kentiri termasuk murid yang rajin mengaji dan belajar agama. Ia ingin menunjukan kepada gurunya bahwa ia sudah bertobat dan tidak mencuri lagi. Berkat ketekunan dan kemauannya untuk belajar, kemajuan yang dicapai Kentiri sangat cepat sehingga dengan waktu singkat ia sudah menjadi santri yang berbakat. “Kentiri aku senang melihat semangat dalam dirimu untuk belajat dan menjadi santri yang baik. Aku harap kamu terus meningkatkan ilmu agamamu.” “Sekarang aku telah sadar kanjeng sunan bahwa tujuan yang baik untuk menolong orang miskin juga harus dilakukan dengan cara yang baik. Dulu aku berpikir yang penting tujuanku baik untuk menolong orang miskin walaupun harta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
yang aku bagikan hasil dari merampok harta orang lain. Ternyata itu semua keliru. Sungguh Kanjeng Sunan aku bertobat. Aku mau jadi muslim yang taat.” “Kentiri, aku dengar pamanmu kembali ke kebiasaan lamanya yaitu mencuri. Aku sangat cemaskan dia. Mestinya dia tetap bersama kamu di sini, belajar agama Islam,” Sunan Ngerang sedih memikirkan salah satu murid barunya. Sepeninggalan Jaruman, Kentiri tetap memeluk Agama Islam dan menjadi muslim yang taat. Ia telah membuang kebiasaannya mencuri, namun ia tetap gemar membagikan beras pada orang miskin. Hanya saja beras yang dibagikan tersebut bukanlah hasil mencuri, melainkan kerja kerasnya mengolah sawah yang berada di sekitar kediaman Sunan Ngerang. 2) Struktur Cerita a) Tema Peristiwa yang diceritakan dalam cerita rakyat “Legenda Maling Kentiri” adalah peristiwa yang menggambarkan kebiasaan seseorang yang sering mencuri. Dia adalah Maling Kentiri, seorang pemuda putra dari Ki Ageng Pancuran yang dulunya memiliki nama Maling Kondang. Maling Kentiri sebenarmya adalah seorang pemuda yang gagah dan tekun berlatih ilmu kanuragan, dia memiliki kesaktian yang tiada tandingannya, patuh kepada orang tua dank eras kemaunnya. Sampai akhirnya Kentiri bertemu dengan seorang gadis anak dari Mbok Randha Suganti yang bernama Dewi Sirep. Kentiri menyatakan jatuh cinta dengan Dewi Sirep dan hendak memperistrinya, namun Dewi Sirep tidak mencintai Kentiri. Mbok Randha commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Suganti meminta syarat kepada Kentiri meminta benda-benda pusaka yang akhirnya membuat Kentiri menjadi pencuri karena sering mengambil benda-benda pusaka tersebut. Saat mencuri di Kerajaan Semarang Kentiri hampir ketahuan dan menjadi buronan istana. Kentiri akhirnya melarikan diri, dan dalam pelariannya dia sering mencuri harta milik orang-orang kaya untuk mempertahankan hidupnya sekaligus membagikannya kepada orang miskin. Apabila
dicermati
secara
mendalam
Legenda
Maling
Kentiri
memperlihatkan bagaimana seseorang yang gemar mencuri. Tentunya kebiasaan ini menjadi hal yang tidak baik untuk dilakukan oleh siapapun. Akan tetapi jika dilihat dari sifat sosial yang diperlihatkan, bahwa hasil dari curiannya selalu diberikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya, maka perilaku Maling Kentiri tergolong baik. b) Alur Alur yang diperlihatkan dalam Legenda Maling Kentiri adalah alur maju atau lurus, karena cerita mengalir secara logis dan saling berkaitan. Kejadian demi kejadian yang dialami para pelakunya secara berurutan dan menimbulkan peristiwa. Cerita diawali dengan menceritakan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita yaitu seperti Maling Kentiri dan ayahnya yang bernama Ki Ageng Pancuran beserta pamannya yang bernama Jaruman. Kemudian cerita dilanjut dengan Maling Kentiri yang sering mengembara berguru mencari ilmu kanuragan bertemu dengan Dewi Sirep yang membuatnya jatuh cinta sekaligus membuat Kentiri berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan Dewi Sirep. Termasuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
membunuh laki-laki yang dicintai Dewi Sirep dan karena cinta pada Dewi Sirep, Kentiri pun relamenjadi pencuri untuk memenuhi syarat dari Dewi Sirep yaitu mengambil benda-benda pusaka. Dalam pencariaannya mencari benda –benda pusaka tersebut, Kentiri menjadi buronan istana. Akan tetapi karena kesaktiannya dia tidak pernah tertangkap. Sambil melarikan diri dia terus mencuri untuk kelangsungan hidupnya sendiri dan juga untuk dibagikan kepada rakyat miskin. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Sunan Ngerang. Dia berguru kepada Sunan Ngerang dan berjanji tidak akan mencuri lagi. Meskipun dia tidak mencuri tetapi dia masih gemar menolong dan membagi-bagikan beras kepada rakyat miskin. Beras yang dia bagikan bukan dari hasil mencuri melainkan dari hasil kerja kerasnya mengolah sawah. c) Tokoh Tokoh utama dalam Legenda Maling Kentiri adalah Maling Kondang yang merupakan nama asli dari Maling Kentiri. Dia adalah pemuda gagah yang memiliki kesaktian yang sulit dikalahkan. Maling Kentiri juga merupakan pemuda yang giat berlatih ilmu dan agama juga sosok yang sangat keras kemauannya. Maling Kentiri sebenarnya bukan orang jahat meskipun dia sering mencuri akan tetapi hasil curiannya tidak dinikmatinya sendiri, melainkan untuk dibagikan juga kepada rakyat miskin. Dia mencuri hanya kepada orang-orang yang kaya harta bendanya. Selain Maling Kentiri tokoh yang sering diceritakan adalah ayahnya yaitu Ki Ageng Pancuran dan pamannya yaitu Jaruman. Kiai Ageng Pancuran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
merupakan orang tua yang baik, yang sayang dan cinta kepada anak-anaknya. Selalu mengajari Malang Kentiri untuk berbuat baik dan tekun berlatih ilmu. Dia juga sangat dekat dengan Maling Kentiri. Sedangkan Jaruman, paman dari Kentiri adalah sosok seorang paman yang patuh kepada kakaknya yaitu Ki Ageng Pancuran dan sayang kepada keponakannya Maling Kentiri. Kemana pun Maling Kentiri pergi Jaruman selalu mengikuti Kentiri. Tokoh pendukung dalam cerita ini adalah Nyi Randha Suganti, Dewi Sirep dan Sunan Ngerang. Nyi Randha Suganti adalah ibu dari gadis yang diinginkan Maling Kentiri untuk dijadikan istri. Nyi Randha Suganti adalah seorang ibu yang bai dan sayang pada anaknya, selalu melindungi anaknya dari laki-laki yang hendak menginginkan anaknya. Dewi Sirep adalah seorang gadis yang sangat cantik dan karena kecantikannya itu banyak laki-laki yangjatuh hati padanya termasuk Maling Kentiri. Sedangkan Sunan Ngerang adalah guru dari Maling Kentiri yang sabar dan baik hati. Sunan Ngeranglah yang membuat Kentiri sadar dan bertobat dengan mengajari Kentiri untuk belajar Agama Islam dengan tekun dan mengajari Kentiri untuk tidak mencuri tetapi tetap menolong orang miskin yang mebutuhkan. d) Latar Latar yang ada dalam Legenda Maling Kentiri adalah di desa-desa yang tersebar di daerah blora. Hal ini demikian karena disebutkan dalam cerita tersebut Maling Kentiri saat mencuri pusaka milik Kerajaan Semarang ia melarikan diri. Dalam pelariaanya tersebut ia selalu pindah-pindah dari desa satu ke desa lainnya sambil mencuri di rumah orang-orang kaya dengan kesaktiannya yang bisa masuk commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rumah hanya dengan cahaya yang keluar dari rumah, hal ini dilakukan Kentiri untuk mempertahankan hidup dan untuk dibagikan kepada rakyat yang miskin. Selain latar tempat di desa-desa yang tersebar di Blora, tempat yang sering disebutkan dalam cerita tersebut adalah di Semarang, yaitu disebutkan bahwa dia mencari benda pusaka di Kerajaan Semarang. Selain di kerajaan Semarang, Maling Kentiri juga pergi ke Semarang Untuk menuntul ilmu dan berguru kepada Sunan Ngerang. Di tempat Sunan Ngerang tersebut Maling Kentiri belajar Agama Islam dengan baik. e) Amanat Dengan mencermati cerita rakyat dalam Legenda Maling Kentiri ditemukan beberapa amanat yang diambil dari perilaku tokoh maupun peristiwanya. Perilaku Maling Kentiri yang mempunyai kebiasaan mencuri kepada keluarga-keluarga yang kaya tetapi hasilnya tidak hanya untuk dirinya sendiri. Rasa sosial yang ditunjukan oleh Maling Kentiri adalah dari hasil curiannya yang tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang-orang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan. Walaupun perilaku Maling Kentiri dinilai tidak baik karena suka mencuri, tetapi ia masih mempunyai sikap sosial yang tinggi kepada sesamanya. Hal yang dilakukan Maling Kentiri menunjukkan bagaimana upaya yang dilakukan untuk menolong masyarakat miskin yang mengalami kesusahan. Walaupun usahanya tergolong tidak baik dan tidak terpuji dan menyandang sebutan sebagai pencuri, suatu profesi yang tidak disenangi di kehidupan masyarakat mana pun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
e. Cerita Rakyat Legenda Kyai Anggayuda dan Keramat Sambong 1) Isi Cerita Disebutkan kekalahan Jipang oleh Pajang mengakibatkan pendudukan wilayah Jipang oleh orang Pajang. Adapun yang kemudian menduduki wilayah Kadipaten Jipang adalah Pangeran Benowo, putra Raja Pajang. Atas kekalahannya tersebut, laskar Jipang yang masih setia tetap melakukan kegiatan di sekitar Jipang Panolan. Di bagian utara ada seorang mukmin yang cukup disegani, bernama Kiai Anggamaya. Beliau berasal dari Tuban. Kedatangan Kiai Anggamaya ke wilayah tersebut adalah atas permintaan seorang pengikut Arya Penangsang yang masih setia. Dia diminta untuk merusak ketentraman Jipang Panolan . Sebagai orang saleh, maka pengikutnya banyak dan meluas dengan begitu cepat. Hal ini segera diketahui oleh Kadipaten Jipang Panolan. Pasukan kadipaten dikerahkan untuk menumpas oknum tersebut. Akan tetapi tidak menemukan pemberontak seorang pun, karena semua pengikut Kiai Anggamaya harus pandai merahasiakan diri. Mataram merasa, kekacauan di Panolan jika dibiarkan akan membahayakan, baik bagi Panolan sendiri, Bahkan mungkin dapat meluas ke Mataram. Oleh karena itu Panembahan Senopati mengirim putranya, Raden Rangga dan Rama yang dipimpin oleh Ki Juru Mertani untuk turut memadamkan pemberontakan di Panolan. Setelah tahu jika pemberontakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Ki Juru Mertani lalu menyeledikinya. Akhirnya dengan keahlian yang luar biasa, akhirnya dia tahu bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh orang dari Tuban. commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pangeran Rangga lalu diperintahkan untuk memadamkan pemberontakan tersebut, akan tetapi pasukan yang dipimpin olen Pangeran Rangga dan Rama tidak mampu menandingi kekuatan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya. Terpaksa Pangeran Rama kembali menghadap Ki Juru Mertani melaporkan kejadian tersebut. Dalam peperangan Panggeran Rama melawan Kiai Anggamaya, Pangeran Rangga harus mengakui keunggulan Kiai Anggamaya. Ki Juru Mertani mengetahui bahwa Kiai Anggamaya adalah orang yang sangat sakti, tidak mempan segala macam senjata, kecuali pusaka yang dimiliki Ki Klepu dari Kapuan. Ki Juru Mertani pun segera menghubungi Ki Klepu. Oleh Ki klepu diberitahu bahwa Anggamaya akan sulit dikalahkan jika pusaka andalannya yang berupa “Kul Buntet” tidak lepas dari badannya. Selain itu, walau pusaka yang bernama ‘Kul Buntet’ sudah lepas dari badannya, dia masih tetap tidak akan mempan oleh senjata apapun jika tidak dibunuh dengan pusaka dari Pluntur Sewu yang dimiliki oleh Kiai Putat. Untuk keperluan itu, Ki Juru diminta kesediaannya untuk mengambil pusaka di Pluntur Sewu yang berwujut Kutuk Buntung. Ki Juru Mertani pun segera berangkat ke Pluntur Sewu untuk menghadap Kiai Putat guna meminta senjata seperti yang diberitahukan oleh Ki Klepu. Setelah mendapatkan Pusaka yang dimaksud, Ki Juru segera mengajak Raden Rangga melaksanakan tugasnya. Raden Rangga diberitahu bahwa saan yang tepat untuk membunuh Anggamaya adalah saat dia sembahyang, karena saat itulah ia akan melepas semua pusaka (piandel) dari badannya. Oleh karena itu commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Raden Rangga harus menyembunyikan diri dulu, jangan sampai diketahui oleh Anggamaya. Saat yang dinantikan pun tiba. Waktu itu Anggamaya sedang menunaikan sholat Ashar. Pada saat dia sedang bersujud, dimana perhatiannya hanya berpusat kepada Tuhan, Raden Rangga segera menusukkan pusaka Kutuk Buntung ke tubuh Anggamaya. Seketika Kiai Anggamaya jatuh terkapar. Sebelum menghembuskan nafas terakhir ia sempat meninggalkan pesan: “Eh wong sak kiwo tengene Sambong iki, sasurutku ojo ono sing ngrasuk agama Islam. Yen nganti ngrasuk Agama Islam bakal ora langgeng uripe, kaya aku kang ngabekti lan
mituhu
prentahe
agama”
(hai
orang-orang
di
sekitar
Sambong,
sepeninggalanku jangan ada yang memeluk Agama Islam. Jika memeluk agama Islam bakal tidak abadi hidupnya, seperti saya yang berbakti dan mentaati perintah agama). Samapai sekarang orang Kejalen dan Sambong masih percaya hal itu. Adapun nama ‘Sambong’ berasal dari kata Sambongan (bendungan). Dikisahkan pada waktu mula pertama bermukim di desa tersebut Kiai Anggamaya dan pengikutnya membuat bendungan, istilah warga setempat “sambongan” guna menahan air agar pada waktu musim kemarau tidak kekurangan air. Tempat sambongan itu sampai sekarang masih ada, dan di tempat itu banyak sekali terdapat peninggalansejarah seperti pecahan keramik buatan Cina. Di samping itu, di sepanjang aliran air dari sambongan tersebut banyak dijumpai keong yang sudah membatu (kul buntet). Di tempat itu setiap malam Jumat Pon banyak orang yang mengadakan sesaji. Tempat tersebut sangat tabu bagi orang yang bersalah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111 digilib.uns.ac.id
dan bertabiat jahat. Bila ada pencuri yang menjadi buronan polisi melewati Makam Anggamaya pasti tertangkap. Begitu pula bila ada yang bersemedi di tempat tersebut dengan maksud kurang baik, pasti dirinya sendiri yang akan mendapat halangan. 2) Struktur Cerita a) Tema Peristiwa yang diceritakan dalam cerita rakyat “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong” adalah bermula dari kekalahan Jipang oleh Panolan. Atas kekalahan tersebut, laskar Jipang yang masih setia tetap melakukan kegiatan di sekitar Jipang Panolan. Di Kadipaten Jipang Panolan terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya seorang yang saleh, tinggi ilmu kanuragan dan ilmu agama yang (termasuk penganut Agama Islam yang taat beribadah) dan juga memiliki pengikut yang banyak. Panembahan Senopati mengirim kedua putranya yaitu Pangeran Rangga dan Rama yang dipimpin oleh Ki Juru Martani untuk memadamkan pemberontakan di Panolan. Pangeran Rangga dan Pangeran Rama saling bahu membahu menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya. Kedua pangeran tesebut selalu berusaha mencari cara untuk mengalahkan Kiai Anggamaya dan menumpas pemberontakan yang terjadi. Persahabatan yang tampak antara Pangeran Rangga dan Pangeran Rama dalam mengadakan penumpasan terhadap pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya. Dalam cerita ini juga sekaligus menceritakan adanya suatu wewaler atau ajaran tertentu yang kini masih diyakini oleh warga Desa Sambong commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agar tidak memeluk Agama Islam, agama yang dianut oleh Kiai Anggamaya. Persahabatan yang diwujudkan oleh Pangeran Rangga dan Rama mencerminkan kesetiaan antara kakak-beradik dalam menjalankan perintah dari Ki Juru Martani. b) Alur Alur yang ada dalam Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong adalah alur maju atau alur lurus. Alur cerita dikisahkan secara kronologis dan saling berkaitan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dan yang dialami oleh para tokohnya secara berurutan. Cerita diawali dengan memperkenalkan tokoh-tokoh cerita kemudian latar tempat kejadian dan peristiwa-peristiwa cerita secara bergantian. Dimulai dari kekalahan Jipang oleh Panolan. Atas kekalahan tersebut, laskar Jipang yang masih setia tetap melakukan kegiatan di sekitar Jipang Panolan. Di Kadipaten Jipang Panolan terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya seorang yang saleh, tinggi ilmu kanuragan dan ilmu agama yang (termasuk penganut Agama Islam yang taat beribadah) dan juga memiliki pengikut yang banyak. Panembahan Senopati mengirim kedua putranya yaitu Pangeran Rangga dan Rama yang dipimpin oleh Ki Juru Martani untuk memadamkan pemberontakan di Panolan. Pangeran Rangga dan Pangeran Rama saling bahu membahu menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya. Kedua pangeran tesebut selalu berusaha mencari cara untuk mengalahkan Kiai Anggamaya dan menumpas pemberontakan yang terjadi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
Nama ‘Sambong’ berasal dari kata Sambongan (bendungan). Dikisahkan pada waktu mula pertama bermukim di desa terebut Kiai Anggamaya dan pengikutnya membuat bendungan, istilah warga setempat “sambongan” guna maenahan air agar pada waktu musim kemarau tidak kekurangan air. Tempat sambongan itu sampai sekarang masih ada, dan di tempat itu banyak sekali terdapat peninggalansejarah seperti pecahan keramik buatan Cina. Di samping itu, di sepanjang aliran air dari sambongan tersebut banyak dijumpai keong yang sudah membatu (kul buntet). Di tempat itu setiap malam Jumat Pon banyak orang yang mengadakan sesaji. c) Tokoh Tokoh yang dalam cerita rakyat “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong” adalah Pangeran Rangga dan Rama, Ki Juru Martani dan Kiai Anggamaya. Pangeran Rangga dan Rama adalah putra dari Panembahan Senopati Panolan yang ditugasi untuk menumpas pemberontak di Jipang Panolan. Pangeran berdua ini memiliki sifat yang patuh dan berbakti pada orang tua dan juga memiliki sifat yang saling menyayangi antara keduanya. Tokoh Ki Juru Martani merupakan sosok yang baik dan juga disegani. Sosok pemimpin yang bertanggung jawab terhadap perintah pimpinannya. Menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Sedangkan Kiai Aggamaya adalah sosok orang yang disegani oleh pengikutnya, soleh dan setia kepada pemimpinnya. Kiai Anggamaya merupakan muslim yang taat menjalankan perintah Agama Islam, sosok lelaki yang memiliki kesaktian tinggi tidak mudah untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
dikalahkan oleh lawannya. Apa yang dikatakannya selalu didengar oleh penganutnya termasuk meminta warga Desa Sambong untuk tidak mengikuti jejaknya dalam menganut Agama Islam. Maka sampai sekarang banyak warga yang masih menjalankan apa yang diperintah Kiai Anggamaya. d) Latar Dalam Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong cerita diawali dengan kekalahan Jipang oleh Pajang. Pangeran Rangga dan Rama dengan dipimpin oleh Ki Juru Martani mengejar pemberontak sampai ke Desa Kejalen dan Sambong. Adapun Nama ‘Sambong’ berasal dari kata Sambongan (bendungan). Dikisahkan pada waktu mula pertama bermukim di desa tersebut Kiai Anggamaya dan pengikutnya membuat bendungan, istilah warga setempat “sambongan” guna maenahan air agar pada waktu musim kemarau tidak kekurangan air. Tempat sambongan itu sampai sekarang masih ada, dan di tempat itu banyak sekali terdapat peninggalansejarah seperti pecahan keramik buatan Cina. Di samping itu, di sepanjang aliran air dari sambongan tersebut banyak dijumpai keong yang sudah membatu (kul buntet). Di tempat itu setiap malam Jumat Pon banyak orang yang mengadakan sesaji. e) Amanat Di dalam Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong mengisahkan bagaimana persahabatan yang tampak atara Pangeran Rangga dan Rama dalam menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya. Dalam kisah ini sekaligus mencerminkan adanya suatu ajaran atau pesan yang hingga kini masih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
diyakini ileh warga Desa Sambong Agar tidak memeluk Agama Islam, agama yang dianut oleh Kiai Anggamaya. Sebab, dikala ia sedang melakukan sholat Ashar, ia dibunuh oleh pusaka Kiai Rangga yang bernama Kutuk Buntung, yang akhirnya Kiai Anggamaya terkaparr dan mati. Indahnya persahabatan tercermin antara kakak-beradik Pangeran Rangga dan Rama. Bentuk kecintaan antara kakak beradik tersebut, untuk masa sekarang sangat penting mengingat sebagian masyarakat kita telah mengesampingkan nilainilai persahabatan ini. 3. Nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat Kabupaten Blora a. Cerita Rakyat Legenda Punden Janjang 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendididkan moral dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Punden Janjang” dapat ditemukan pada karakter dan perilaku tokoh utama cerita yaitu Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara yang memiiki sikap sederhana, rendah hati suka menolong, suka mengamalkan ilmu yang dimiliki, gemar menjalani tirakat (puasa) di manapun berada dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Sang Pencipta, hormat dan berbakti kepada orang tua. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut: “Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara melanjutkan perjalanan ke arah utara. Mereka berdua sampai kesuatu tempat yang sulit dilalui karena di depannya terhalang sungai yang curam. Para sahabatnya tidak bisa melaluinya. Melihat hal demikian Pangeran Jati Kusuma dengan kesaktiannya menciptakan sebuah jembatan untuk membantu mempermudah menyeberangi sungai tersebut.” Kemudian dari seberang Pangeran Jati Kusuma melihat di sebarang jembatan tersebut ada tempat yang patut untuk bertapa. Pangeran Jati Kusuma menghendaki untuk bertapa di tempat tersebut.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
“Disebutkan selama dalam perjalanan tersebut, kedua pangeran itu membuat masjid di Desa Grenjeng, dekat Nglebur/Ngrambah, untuk tempat bersembahyang masyarakat sekitar tempat itu, yang dikenal dengan Masjid Benteng.” 2) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat dalam cerita rakyat “Legenda Punden Janjang” yakni tergambar melalui kebiasaan menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab, pasrah kepada Tuan Yang Maha Esa antara lain ketekunan Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara yang sering bertapa memohon petunjuk kepada Tuhan. Seperti kutipan berikut: “Pangeran Jati Kusuma melihat di sebarang jembatan tersebut ada tempat yang patut untuk bertapa. Pangeran Jati Kusuma menghendaki untuk bertapa di tempat tersebut. Segala peralatan yang diperlukan segara dipersiapkan.” “Disebutkan selama dalam perjalanan tersebut, kedua pangeran itu membuat masjid di Desa Genjeng, dekat Nglebur/Ngrambah, untuk tempat bersembahyang masyarakat sekitar tempat itu, yang dikenal dengan Masjid Benteng.” Pendidikan adat juga tergambar melalui kebiasaan masyarakat Desa Janjang sepeninggalan Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Kuswara yaitu kebiasaan menjaga peninggalan-peninggalan dari kedua pangeran tersebut. Seperti yang ada dalam kutipan berikut: “Karena besar pengaruh dan kesaktiannya, setelah wafat, makam kedua pangeran tersebut masih dianggap keramat dan tiap tahun pada hari Jumat Pon selalu diadakan Manganan Janjang. Pada upacara itu orang dari dalam desa dan dari luar desa, bahkan dari luar daerah banyak yang datang dengan membawa sesaji, ada yang membawa tumpeng bucu, ada yang membawa panggang ayam dan jajan pasar.” “Pada acara itu dipertunjukkan wayang krucil sebagai peninggalan keduanya. Setelah upacara selesai diadakan selamatan dan nasi-nasi tersebut dibagikan merata ke seluruh orang yang ada. Kepercayaan pada acara tersebut biasanya membawa ramalan yang akan datang.” “Selain itu makam kedua pangeran tersebut juga sering dipergunakan commitperadilan to user tradisional yang dikenal dengan sebagai sarana untuk melakukan
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
‘Sumpah Janjang’. Acara tersebut biasanya dilakukan untuk mencari kebenaran yang sudah tidak bisa dilakukan dengan cara lain. Dengan dilakukannya ‘Sumpah Janjang’ , dalam waktu yang tidak lama kebenaran pasti akan segera terungkap, paling lama dalam jangka waktu 3 bulan. Hal itu sebagaimana pepatah Jawa yang berbunyi ‘becik ketitik, ala ketara’ (baik akan diketahui dan jelek pun akan kelihatan).” 3) Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama yang ada dalam cerita rakyat “Legenda Punden Janjang” ditemukan pada peristiwa Pangeran Jati Kusumo dan Pangeran Jati Kuswara yang melakukan perjalanan untuk mencari pusaka pajang yang hilang. Di dalam perjalanan tersebut kedua pangeran tidak pernah meninggalkan sembahyang. Sering membangun masjid untuk sembahyangnya dan juga warga desa yang dilewati dalam perjalanan mencari petunjuk pusaka yang hilang tersebut. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut: “Disebutkan selama dalam perjalanan tersebut, kedua pangeran itu membuat masjid di Desa Genjeng, dekat Nglebur/Ngrambah, untuk tempat bersembahyang masyarakat sekitar tempat itu, yang dikenal dengan Masjid Benteng.” “Disebutkan, pembangunan masjid belum selesai namun kedua pangeran tersebut segera meninggalkan tempat tersebut untuk bertapa di Janjang.” 4) Nilai Pendidikan Kepahlawanan Nilai pendidikan Kepahlawanan dalam cerita rakyat “Legenda Punden Janjang” yakni berupa semangat dan tekad kuat yang dimiliki oleh Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara dalam mencari pusaka Pajang yang hilang entah kemana. Kedua pangeran tersebut mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari tempat bertapa yang tepat. Berikut kutipan untuk mendukung hal tersebut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
“Legenda Punden Janjang terkait dengan perjalanan Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara dalam pengembaraannya untuk mencari pusaka Kerajaan Pajang yang hilang.” “Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Kuswara melanjutkan perjalanan ke arah utara. Mereka berdua sampai kesuatu tempat yang sulit dilalui karena di depannya terhalang sungai yang curam. Para sahabatnya tidak bisa melaluinya.Melihat hal demikian Pangeran Jati Kusuma dengan kesaktiannya menciptakan sebuah jembatan untuk membantu mempermudah menyeberangi sungai tersebut.” “Cara bertapa antara dua orang pangeran tersebut berbeda. Pangeran Jati Kusumo melakukan tapa dengan cara mengurangi makan dan tidur, sedangkan Pangeran Jati Kuswara dengan cara terus menerus makan dan tidur.”
b. Cerita Rakyat Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat “Legenda Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu” yaitu mengisahkan seorang yang sering melakukan perampokan seperti yang sering dilakukan oleh Malang Sudiro. Disaat ia mengadakan hajadan perkawinan putranya, ternyata iring-iringan pengantin di rampok di tengah jalan yang justru dilakukan oleh anak buah ayahnya sendri. Di dalam masyarakat Jawa hal seperti itu sering disebut dengan istilah ngunduh wohing pakarti, yang artinya bahwa siapa yang berbuat kejahatan pasti akan mengalami akibatnya. Berikut kutipan yang mendukung: “Alkisah, pada saat masih zamannya penggede, di Desa Pojok Watu (Desa Tu-brem) hiduplah seorang penggede (kepala perampok) bernama Malang Sudiro. Pada suatu saat ia berniat mengawinkan anaknya yang bernama Malang Kusuma dengan seorang gadis dari Desa Ngoda.” “Pada hari kelima setelah perkawinan (sepasar) sang penganti akan diunduh, diboyong untuk dirayakan ke Desa Pojok Watu. Pada saat yang sudah ditentukan, iring-iringan rombongan pengantin berjalan dari Desa Ngado ke Desa Pojok Watu. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh segerombolan perampok, yang sesungguhnya adalah anak buah dari ayah sang pengantin laki-laki.” commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu” yakni terlihat pada segala macam peralatan dan perlengkapan upacara iring-iringan pengantin, dan acara ngunduh manten yang ada dalam acara perkawinan Malang Kusuma putra dari Malang Sudiro. Macam-macam peralatan pernikahan yang dibawa dari Desa Ngado menuju Desa Pojok Watu yang tercecer dan tempat dari hilangnya peralatan-peralatan tersebut dijadikan nama desa. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: “Pada hari kelima setelah perkawinan (sepasar) sang penganti akan diunduh, diboyong untuk dirayakan ke Desa Pojok Watu.” “Dalam peristiwa perampokan tersebut, segala peralatan dan perlengkapan upacara iring-iringan pengantin berceceran di sepanjang jalan NgodaPojok Watu.” “Peralatan kebesaran pengiring pengantin banyak yang tercecer di perjalanan. Barang-barang tersebut antara lain: boning renteng (alat gamelan untuk mengiringi perjalanan rombongan pengantin), kembang nyamplung (sumping sang pengantin), jarit jomblang (kain yang dipakai oleh sang pengantin), kalung (perhiasan yang dipakai oleh sang pengantin), kukusan (peralatan dapur yang digunakan keperluan upacara bubak kawah, khususnya untuk pengantin anak sulung).” 3) Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama yang ada dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu” ditemukan pada peristiwa yang dialami oleh Malang Sudiro. Malang Sudiro yang seorang pemimpin perampok tidak mengetahui bahwa anak buahnya menghadang dan merampok iring-iringan pengantin anak laki-lakinya. hal ini menyebabkan kedua pengantin terpisah. Kejadian tersebut dianggap malapetaka besar sehingga menyebabkan warga Desa Ngoda dan Desa Pojok tidak diperbolehkan untuk berbesanan. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut:
commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Dalam peristiwa tersebut akhirnya pengantin dan pengiringnya terpisah. Adapun sang pengantin yang sudah tidak ada lagi yang mengurusi merasa ketakutan, akhirnya bersembunyi (ndhelik) pada sebuah sendang (mata air).” “Atas terjadinya peristiwa perampokan terhadap iring-iringan pengantin yang berasal dari Desa Ngoda menuju Desa Pojok Watu tersebut dianggap sebagai malapetaka besar, sehingga sampai saat ini orang Desa Pojok Watu pantang berbesanan dengan orang Desa Ngado. Jangankan berbesanan, membawa sesuatu dari Desa Pojok Watu juga dipantangkan.” 4) Nilai pendidikan Kepahlawanan Nilai pendidikan kepahlawanan yang ada dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu” adalah dapat dilihat dari kegigihan Malang Kusuma putra dari Malang Sudiro yang bersama para pengiring pengantin bertempur melawan gerombolan perampok yang telah menghadangnya. Dengan peralatan yang ada rombongan pengiring pengantin berperang melawan gerombolan perampok yang sebenarnya adalah anak buah ayahnya Malang Kusuma sendiri. Pertempuran yang seru tersebut menurut istilah orang setempat disebut “tawur” sehingga tempat perang tersebut dinamakan Desa Sawur. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini: “Rombongan iring-iringan pengantin berusaha melawan rombongan para perampok untuk mempertahankan benda-benda perlengkapan upacara perkawinan yang dibawanya. Maka terjadilah pertempuran cukup seru yang dalam istilah setempat disebut “tawur”. Tempat terjadinya perang tawur antara rombongan pengiring pengantin melawan rombongan gerombolan perampok tersebut kemudian dinamakan Desa Sawur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
c. Cerita Rakyat Terjadinya Desa Gersi 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai tentang pendidikan moral dalam cerita rakyat “Legenda Desa Gersi” yakni tentang kesediaan Tumenggung Tunggul wulung untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Bupati Nglangitan. Sikap patuh dan hormat dari seorang tumenggung juga ditunjukkan olehnya yang merelakan dan menyerahkan istrinya untuk dijadikan istri putra rajanya yaitu pangeran Surya. Berikut adalah kutipannya: “Tumenggung Tunggul Wulung menyerahkan istrinya kepada raja dan mengatakan bahwa istrinya dikersakke (diinginkan) Pangeran Suryo. Setelah menyerahkan istrinya Tunggul Wulung lalu pergi.” “Sepeninggalan Dewi Sumekar, datanglah Tunggul Wulung ke Bathokan, menemui mertuanya untuk menyerahkan istrinya karena dicintai oleh anak rajanya.” “Mendengar hal itu, Penggede Bathokan memberitahukan bahwa untuk bisa ketemu lagi dengan istrinya, Tunggul Wulung harus memberantas Bupati Nglangitan dan mengubah nama menjadi Silihwarno. Tunggal Wulung pun lalu pergi ke Nglangitan.” “Ketika diberitahukan bahwa Bupati Nglangitan telah dikalahkan oleh Tunggal Wulung dan Sumekar, dia lalu maju ke medan perang melawan Tunggul Wulung, yang kemudian digantikan oleh Ki Gede Bathokan.”
2) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat dalam cerita rakyat yang berjudul “Terjadinya Desa Gersi” yakni bahwa setiap keinginan yang disertai usaha yang tekun akan membuahkan hasil yang sepadan dengan perjuangannya. Hal ini bisa terlihat dalam peristiwa yang dialami oleh Tunggal Wulung yang berusaha keras untuk menjalankan perintah rajanya sekaligus berjuang keras untuk mencari istri yang sangat dicintainya dan dalam pencariannya itu dia menyamar dan mengubah commit to user namanya menjadi Silihwarno. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut:
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
“Penggede Bathokan bertanya kepada Tunggul Wulung apakah masih mencintai istrinya. Tunggul Wulung menjawab bahwa ia masih mencintai istrinya. Mendengar hal itu, Penggede Bathokan memberitahukan bahwa untuk bisa ketemu lagi dengan istrinya, Tunggul Wulung harus memberantas Bupati Nglangitan dan mengubah nama menjadi Silihwarno. Tunggal Wulung pun lalu pergi ke Nglangitan.”
3) Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama yang ada dalam cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi” yaitu tersirat dalam peristiwa yang dialami oleh Tunggal Wulung dan Dewi Sumekar. Tunggal wulung dan Dewi Sumekar adalah sepasang suami istri. Yang harus melewati cobaan. Dewi Sumekar dicintai oleh Pangeran Suryo yang merupakan Putra dari raja Tunggal Wulung. Seperti layaknya semua ajaran agama yang ada bahwa sepasang suami istri harus saling mencintai dan setia kepada pasangannya, hal inilah yang ditunjukkan oleh Tunggal Wulung dan Dewi Sumekar. Seperti yang terlihat dalam kutipan tersebut: “Sepeninggal Tumenggung Wulung, Pangeran Suryo membujuk Dewi Sumekar agar mau menuruti kemauannya dan mau diperistri. Keinginan Pangeran Suryo ditolaknya.” “Dewi Sumekar lalu pulang ke rumah orangtuanya di Bathokan. Ayahnya lalu bertanya, apakah masih mencintai suaminya. Dewi Sumekar menjawab bahwa dia masih mencintai suaminya. Mendengar jawaban putrinya tersebut, sang ayah lalu menyarankan kepada putrinya untuk pergi ke Nglangitan.” “Penggede Bathokan bertanya kepada Tunggul Wulung apakah masih mencintai istrinya. Tunggul Wulung menjawab bahwa ia masih mencintai istrinya.” 4) Nilai Pendidikan Kepahlawanan Nilai pendidikan kepahlawanan dalam cerita rakyat yang berjudul “Terjadinya Desa Gersi” yaitu berupa semangat dan perjuangan menumpas pemberontak yang ditunjukkan oleh Tunggal Wulung, Dewi Sumekar dan juga commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ayahnya Ki Gede Bathokan. Tunggul Wulung diperintah oleh rajanya untuk menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Bupati Nglangitan yang bernama Ki Gede Nglaban. Tunggul Wulung dibantu oleh istri dan mertuanya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Bupati Nglangitan mempunyai senopati andalan bernama Ki Ageng Nglaban. Dialah yang mendalangi pemberontakan Bupati Nglangitan kepada Raja Tanjung Mas. Ketika diberitahukan bahwa Bupati Nglangitan telah dikalahkan oleh Tunggal Wulung dan Sumekar, dia lalu maju ke medan perang melawan Tunggul Wulung, yang kemudian digantikan oleh Ki Gede Bathokan. Terjadilah perang tanding antara Ki Gede Nglaban melawan Ki Gede Bathokan.” “Pertarungan antara Ki Gede Nglaban dan Ki Gede Bathokan terus berlangsung, dan semakin seru.” “Di sebelah utara kraton Ki Gede Nglaban gugur. Darahnya mengalir sangat banyak hingga seperti kolam. Sampai saat ini kolam tersebut airnya merah seperti darah.”
d. Cerita Rakyat Maling Kenthiri 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral yang terdapat dalam cerita rakya dengan judul “Legenda Maling Kentiri” sikap yang dimiliki oleh Maling Kondang atau Maling Kentiri. Maling Kentiri memang memiliki kebiasaan mencuri. Akan tetapi hasil dari curiannya itu tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk masyarakat yang membutuhkan, yaitu orang-orang miskin. Maling Kentiri memang sering mencuri tetapi dia hanya mencuri di rumah orang-orang kaya. Meskipun dia sering mencuri akan tetapi banyak yang sayang dengan Kentiri, tidak jarang saat pelariannya dari kejaran para prajurit dia sering diselamatkan oleh warga. Hal ini disebabkan karena Maling Kentiri sering commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
124 digilib.uns.ac.id
menolong warga miskin yang kekurangan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Karena para prajurit Bupati Semarang masih mengejarnya, kentiri masih terus berlari dan bersembunyi di daerah Blora. Untuk tetap menyambung hidup, dalam persembunyiannya itu ia kemudian mencuri. Namun, ia hanya mencuri kepunyaan orang-orang yang kaya saja. Hasil curiannya pun tidak dipakai sendiri tetapi juga diberikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan, terutama orang-orang miskin yang tinggal di desa. Sejak itulah ia disebut maling kentiri atau maling gentiri.” “Kebiasaan Kentiri yang suka menolong orang-orang miskin yang sedang mengalami kesusahan, maka penduduk desa pun sangat menyayangi Maling Kentiri. Ia tidak dianggap sebagai orang jahat, tetapi dianggap sebagai Ratu Adil yang datang ke bumi. Sebagai dewa yang menjelma sebagai manusia untuk menyelamatkan orang-orang desa yang miskin dan menderita.” 2) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat yang ada dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Maling Kentiri” adalah yang terlihat pada peristiwa yang dialami oleh tokoh utamanya. Seperti kebanyakan pemuda-pemuda, Maling Kentiri tidak beda jauh dengan yang lain. Mempunyai semangat yang tinggi menuntut ilmu, tekun berlatih ilmu dan juga punya rasa cinta kemudian ingin memilki istri. Hal itu juga yang dialami oleh Maling Kentiri. Dia mencintai seorang wanita dan meminta ayahnya untuk melamar wanita tersebut. Seperti terlihat pada kutipan di bawah ini: “Kentiri adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan sehingga sangatlah dibanggakan oleh ayahnya Kiai Ageng Pancuran. Selain tampan Kentiri juga pandai bela diri dan memiliki kesaktian yang tinggi. Setiap hari Kentiri rajin belajar berbagai ilmu. Tidak jarang dia berguru sampai jauh dari rumahnya. Berkat ketekunan dan kerajinannya, ia memiliki kekuatan lahir dan batin yang hebat serta punya kesaktian yang luar biasa.” “Betul bapak. Beberapa hari lalu ketika aku bersemedi, di daerah Sulang aku bertemu dengan seorang gadis. Menurutku ia sangat cantik. Aku ingin commit to menyetujuinya?” user sekali meminangnya. Apakah bapak
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
3) Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama yang terdapat dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Maling Kentiri” ditemukan pada peristiwa yang dialami oleh tokoh utamanya. Maling Kentiri yang dalam pelariannya saat dikejar oleh prajurit Kerajaan Semarang, Maling kentiri merasa capek terus-menerus mencuri dan lari dari pengejaran. Kentiri memilih untuk berguru dan belajar ilmu agama dan bertobat. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut: “Kentiri termasuk murid yang rajin mengaji dan belajar agama. Ia ingin menunjukan kepada gurunya bahwa ia sudah bertobat dan tidak mencuri lagi. Berkat ketekunan dan kemauannya untuk belajar, kemajuan yang dicapai Kentiri sangan cepat sehingga dengan waktu singkat ia sudah menjadi santri yang berbakat.” “Sekarang aku telah sadar kanjeng sunan bahwa tujuan yang baik untuk menolong orang miskin juga harus dilakukan dengan cara yang baik. Dulu aku berpikir yang penting tujuanku baik untuk menolong orang miskin walaupun harta yang aku bagikan hasil dari merampok harta orang lain. Ternyata itu semua keliru. Sungguh Kanjeng Sunan aku bertobat. Aku mau jadi muslim yang taat.” 4) Nilai Pendidikan Kepahlawanan Nilai pendidikan kepahlawanan dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Maling Kentiri” yakni berupa semangat dan perjuangan untuk mendapatkan ilmu dengan baik. Seperti yang terdapat dalam peristiwa yang dialami oleh Maling Kentiri. Untuk mendapatkan ilmu kanuragan dia selalu giat belajar bela diri dan sering mengembara berguru sampai ke luar desa. Selain itu Maling Kentiri juga giat berlatih ilmu agama dan juga berkerja di sawah untuk membantu warga yang miskin yang kekurangan. Berikut kutipan yang mendukung hal tersebut: “Setiap hari Kentiri rajin belajar berbagai ilmu. Tidak jarang dia berguru commitBerkat to userketekunan dan kerajinannya, ia sampai jauh dari rumahnya.
perpustakaan.uns.ac.id
126 digilib.uns.ac.id
memiliki kekuatan lahir dan batin yang hebat serta punya kesaktian yang luar biasa.” “Namun di balik itu Kentiri memiliki sifat yang sangat keras terutama dalam hal mewujudkan impian dan cita-citanya. Bila ia menginginkan sesuatu, apa pun yang merintanginya pasti dihadapi agar keinginannya dapat terwujud.” “Sebagai murid, Kentiri termasuk murid yang rajin mengaji dan belajar agama.“Ia telah membuang kebiasaannya mencuri, namun ia tetap gemar membagikan beras pada orang miskin. Hanya saja beras ang dibagikan tersebut bukanlah hasil mencuri, melainkan kerja kerasnya mengolah sawah yang berada di sekitar kediaman Sunan Ngerang.” e. Cerita Rakyat Legenda Kyai Anggayuda dan Keramat Sambong 1) Nilai Pendidikan Moral Nilai pendidikan moral yang ada dalam cerita rakyat berjudul “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong” adalah terlihat pada kisah Pangeran Rangga dan Rama yang patuh kepada perintah orang tuanya. Kedua pangeran tersebut bertekat dan berjuang menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Kiai Anggayuda dan pendukungnya. Hal ini semata-mata dilakukan untuk rakyatnya. Keresahan rakyat dan ayahnya melihat pemberontakan menjadikan kedua pangeran tersebut untuk segera menumpaskan pemberontakan tersebut. Berikut adalah kutipan yang memperjelas hal tersebut: “Setelah tahu jika pemberontakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, Ki Juru Mertani lalu menyeledikinya. Akhirnya dengan keahlian yang luar biasa, akhirnya dia tahu bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh orang dari Tuban. Pangeran Rangga lalu diperintahkan untuk memadamkan pemberontakan tersebut, akan tetapi pasukan yang dipimpin olen Pangeran Rangga dan Rama tidak mampu menandingi kekuatan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya.” “Setelah mendapatkan Pusaka yang dimaksud, Ki Juru segera mengajak Raden Rangga melaksanakan tugasnya. Raden Rangga diberitahu bahwa saan yang tepat untuk membunuh Anggamaya adalah saat dia sembahyang, karena saat itulah ia akan melepas semua pusaka (piandel) dari badannya. Oleh karena itu Raden Rangga harus menyembunyikan diri dulu, jangan sampai diketahui oleh Anggamaya.” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
2) Nilai Pendidikan Adat Nilai pendidikan adat dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong” yakni dapat terlihat dari kisah Kiai Anggamaya yang setelah meninggal melarang warga Desa Sambong untuk tidak memeluk Agama Islam karena dipercaya jika hal itu dilanggar akan mendapatkan kesusahan. Tempat meninggalnya Kiai Anggamaya dianggap keramat dan tabu untuk orang yang berbuat salah dan bertabiat jahat. Berikut kutipannya: “Sebelum menghembuskan nafas terakhir ia sempat meninggalkan pesan: “Eh wong sak kiwo tengene Sambong iki, sasurutku ojo ono sing ngrasuk agama Islam. Yen nganti ngrasuk Agama Islam bakal ora langgeng uripe, kaya aku kang ngabekti lan mituhu prentahe agama” (hai orang-orang di sekitar Sambong, sepeninggalanku jangan ada yang memeluk Agama Islam. Jika memeluk agama Islam bakal tidak abadi hidupnya, seperti saya yang berbakti dan mentaati perintah agama). Samapai sekarang orang Kejalen dan Sambong masih percaya hal itu.” “Di tempat itu setiap malam Jumat Pon banyak orang yang mengadakan sesaji. Tempat tersebut sangat tabu bagi orang yang bersalah dan bertabiat jahat. Bila ada pencuri yang menjadi buronan polisi melewati Makam Anggamaya pasti tertangkap. Begitu pula bila ada yang bersemedi di tempat tersebut dengan maksud kurang baik, pasti dirinya sendiri yang akan mendapat halangan.” 3) Nilai Pendidikan Agama Nilai pendidikan agama dalam cerita rakyat yang bejudul “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong” yaitu dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh Kiai Anggamaya. Kiai Anggamaya adalah seorang muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Seorang yang saleh dan memiliki pengikut yang banyak. Rajin sembahyang dan disegani oleh umatnya. Akan tetapi pada saat di akhir hayatnya dia berpesan kepada pengikutnya untuk tidak memeluk Agama Islam sepertinya kalau hidupnya ingin langgeng dan tidak commit to userini: celaka. Seperti terlihat dalam kutipan di bawah
perpustakaan.uns.ac.id
128 digilib.uns.ac.id
“Kedatangan Kiai Anggamaya ke wilayah tersebut adalah atas permintaan seorang pengikut Arya Penangsang yang masih setia. Dia diminta untuk merusak ketentraman Jipang Panolan “ “Sebagai orang saleh, maka pengikutnya banyak dan meluas dengan begitu cepat.” “Saat yang dinantikan pun tiba. Waktu itu Anggamaya sedang menunaikan sholat Ashar. Pada saat dia sedang bersujud, dimana perhatiannya hanya berpusat kepada Tuhan, Raden Rangga segera menusukkan pusaka Kutuk Buntung ke tubuh Anggamaya.seketika Kiai Anggamaya jatuh terkapar. Sebelum menghembuskan nafas terakhir ia sempat meninggalkan pesan: “Eh wong sak kiwo tengene Sambong iki, sasurutku ojo ono sing ngrasuk agama Islam. Yen nganti ngrasuk Agama Islam bakal ora langgeng uripe, kaya aku kang ngabekti lan mituhu prentahe agama” (hai orang-orang di sekitar Sambong, sepeninggalanku jangan ada yang memeluk Agama Islam. Jika memeluk agama Islam bakal tidak abadi hidupnya, seperti saya yang berbakti dan mentaati perintah agama).”
4) Nilai Pendidikan Kepahlawanan Nilai pendidikan kepahlawanan dalam cerita rakyat yang berjudul “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong ” dapat ditemukan pada sikap Pangeran Rangga dan Rama yang selalu berusaha mencari cara untuk menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya. Mulai dari meminjam pusaka sampai mencari tahu kelemahan yang dimiliki oleh kiai Anggamaya. Pangeran Rangga dan Rama tidak ada hentinya mencari tahu kelemahan yang dimiliki oleh pemimpim pemberontak yang bernama Kiai Anggamaya. Kiai Anggamaya adalah orang yang sakti dan tidak mudah untuk dilumpuhkan. Kiai Anggamaya juga memiiki pengikut yang tidak sedikit sehingga Pangeran Rangga dan Rama kewalahan menghadapinya. Seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini: “Pangeran Rangga dan Rama diperintahkan untuk memadamkan pemberontakan tersebut, akan tetapi pasukan yang dipimpin olen Pangeran Rangga dan Rama tidak mampu menandingi kekuatan pasukan commit to user pemberontak yang dipimpin oleh Kiai Anggamaya.”
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Terpaksa Pangeran Rama kembali menghadap Ki Juru Mertani melaporka kejadian tersebut. Dalam peperangan Panggeran Rama melawan Kiai Anggamaya, Pangeran Rangga harus mengakui keunggulan Kiai Anggamaya. Ki Juru Mertani mengetahui bahwa Kiai Anggamaya adalah orang yang sangat sakti, tidak mempan segala macam senjata, kecuali pusaka yang dimiliki Ki Klepu dari Kapuan.”
C. Pembahasan Bagian awal pada bab ini diuraikan deskripsi latar sosial budaya Kabupaten Blora. Penyajian deskripsi latar sosial budaya meliputi letak geografis, luas wilayah, penduduk dan adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat serta bahas penduduk Kabupaten Blora. Hal ini dimaksudkan untuk memberi gambaran awal secara lebih lengkap. Dengan gambaran tersebut dapat diketahui latar belakang penduduk pada masa lampau sehingga dapat tercipta beberapa cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora. Deskripsi latar sosial budaya dijadikan dasar untuk menganalisis cerita rakyat Kabupaten Blora. Latar sosial budaya dan kehidupan penduduk Kabupaten Blora saat ini tidak terlepas dengan kehidupan pada masa lampau, bahkan masa yang akan datang tentu masih diwarnai kehidupan masa-masa sebelumnya (masa sekarang). Cerita rakyat yang hidup dan berkembang sampai saat ini berkaitan erat dengan latar sosial budaya penduduk pada masa lampau yang berjalan dari masa ke masa atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat itu berkembang dan turun temurun secara lisan dari generasi commit to user lisan dan bersifat tuturan. Cerita ke generasi. Penyebarannya berlangsung secara
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
rakyat merupakan cerita yang berupa cipta sastra yang ada atau pernah ada dalam suatu masyarakat. Dalam cerita rakyat terkandung aspek sosial budaya, agama, tradisi, perjuangan para tokoh dan sejumlah ajaran atau nilai-nilai tertentu. Dari sejumlah uraian di atas dapat dikatakan bahwa melalui cerita rakyat Kabupaten Blora dapat diketahui kehidupan penduduk di masa lampau. Ini menandakan bahwa cerita rakyat memilikikedudukan dan fungsi tertentu bagi masyarakat pemiliknya. Kebiasaan atau cara hidup masyarakat di Kabupaten Blora mirip dengan cerita rakyat yang ada dan berkembang hingga saat ini. Hal ini sependapat dengan pernyataan bahwa cerita rakyat juga dapat digunakan untuk mempelajari sastra pada masa lampau (literary heritage) sedangkan fungsinya sebagai alat untuk memahami khasanah budaya (Bahrum Yunus dkk, 1998:13). Cerita rakyat juga bisa sebagai penghubung kebudayaan masa silam dengan kebudayaan sekarang dan yang akan datang. Dalam arti luas cerita rakyat pada suatu daerah lebih mengedepankan tradisi lisan. Cerita rakyat juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan kesadaran dan keagungan budaya dan dapat mendukung kebudayaan daerah setempat. Berikut ini pembahasan tentang pokok permasalahan dalam penelitian cerita rakyat Kabupaten Blora. 1. Jenis-Jenis Cerita Rakyat Kabupaten Blora Dari beberapa cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora dapat diklasifikasikan atas cerita rakyat yang dikenal masyarakat Kabupaten Blora dan cerita rakyat yang tidak dikenal oleh masyarakat Kabupaten Blora. Jenis cerita rakyat yang dikenal biasanya merupakan cerita yang menonjol di antara cerita yang lain. Cerita yang menonjol itu sebagian besar adalah cerita yang memiliki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
bukti-bukti fisik berupa peninggalan nenek moyang atau tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Tempat-tempat atau lokasi berkembangnya cerita rakyat tersebut sering dikunjungi masyarakat baik dari wilayah Kabupaten Blora sendiri maupun yang dari luar wilayah Kabupaten Blora. Peninggalan-peninggalan dan bukti fisik para tokoh dalam cerita rakyat Kabupaten Blora yang dimaksud adalah berupa petilasan, makam, sungai, punden, wayang, sendang, kampong, tempat, dusun dan benda-benda fisiklainnya. Biasanya masyarakat Kabupaten Blora lebih percaya pada cerita rakyat yang masih memiliki peninggalan atau bukti fisik. Adanya pengelola tempat petilasan dan juru kunci juga menambah keyakinan masyarakat Kabupaten Blora akan kebenaran cerita yang terjadi pada masa lampau di tempat tersebut. Cerita rakyat di Kabupaten Blora yang digali dalam penelitian ini ada lima. Antara lain: (1) “Legenda Punden Janjang”, (2) “Legenda Desa Watu Brem dan Desa Pojok Watu”, (3) “Terjadinya Desa Gersi”, (4) “Legenda Maling Kentiri”, (5) “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong”. Kelima cerita tersebut terdapat di tiga kecamatan dengan lima desa. Legenda Punden Janjang terletak di Desa Janjang Kecamatan Jiken Kabupaten Blora. Cerita rakyat Legenda Watu Brem dan Desa Pojok Watu berada sesuai dengan judul cerita yaitu berada di Desa Pojok Watu atau warga desa setempat kadang menyebut desa tersebut dengan Desa Tu-brem/Watu Brem Kecamatan Jiken Kabupaten Blora. Cerita rakyat Terjadinya Desa Gersi terdapat di Desa Gersi Kecamatan Jepon Kabupaten Blora. Cerita rakyat Maling Kentiri berada di Desa Kawengang, Kecamatan Jepon Kabupaten Blora. Dan cerita rakyat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
yang terakhir adalah Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong, berada di Desa Kejalen dan Desa Sambong Kecamatan Sambong Kabupaten Blora. Dari penelitian ini diketahui bahwa lima tempat/lokasi cerita rakyat di Kabupaten Blora tersebut terdapat bukti-bukti fisik berupa kampung, desa, pegunungan, jembatan, punden, makam, sungai bangunan, pusaka dan benda-bena peninggalan lainnya. Benda-benda/peninggalan tersebut tersimpan di masingmasing lokasi. Peninggalan dari tokoh cerita rakyat yang berjudul Legenda Punden Janjang adalah sebuah makam yang masih dianggap keramat dan sering dikunjungi warga maka disebut dengan sebuah punden. Selain makam ada juga peninggalan lainnya yaitu sebuah masjid, Wot Lemah (jembatan yang terbuat dari tanah). Peninggalan lainnya yang sampai sekarang masih di rawat adalah wayang krucil dan seperangkat gamelan yang dibuat oleh tokoh cerita, guci (gentong yang berisi air), pusaka damar sewu, kendi dan mustoko rumah. Bukti fisik peninggalan cerita rakyat yang berjudul Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu adalah nama-nama desa tempat terjadinya cerita rakyat dan nama desa tempat dilewatinya cerita seperti Desa Sawur dan Desa Pojok Watu. Kemudian nama-nama sawah yang menjadi tempat hilangnya barang-barang pengantin seperti Sawah Bonang Renteng, Sawah Nyamplung, Sawah Jomblang, Sawah Kukusan dan Sawah Napis. Bukti fisik peninggalan tokoh cerita rakyat “Terjadinya Desa Gersi” adalah sebuah sendang yang diberi nama Sendang Gowak dan Sendang Blibis. Selain itu juga terdapat asal-usul nama desa seperti Desa Gersi, Desa Keburan dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
Desa Jangkrikan. Bukti fisik peninggalan tokoh cerita rakyat yang berjudul Legenda Maling Kentiri adalah bebrapa benda pusaka yaitu pusaka Bende Bicak, Bende Singo Barong, Bende Kencana dan sebuah tombak yang bernama Tombak Kiai Doroasih. Bukti fisik peninggalan tokoh cerita rakyat yang berjudul Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong adalah sebuah makam dari Kiai Anggamaya yang dianggap keramat, dan sebuah bendungan yang bernama Sambongan yang akhirnya menjadikan nama tempat sambongan tersebut menjadi Desa Sambong. Pada setiap lokasi memiliki juru kunci atau orang kepercayaan yang diberi tugas untuk bertanggung jawab pada peninggalan-peninggalan tersebut. Selain juru kunci, pejabat pemerintah juga bertugas memelihara kelestarian barang-barang peninggalan yang berupa benda-benda fisik tersebut. Lima lokasi cerita di Kabupaten Blora tersebut sampai sekarang masih sering dikunjungin oleh masyarakat baik dari wilayah Kabupaten Blora maupun dari Luar Wilayah Kabupaten Blora. Umumnya kunjungan masyarakat tersebut untuk berziarah, termasuk di dalamnya kegiatan ritual meditasi tertentu, mengadakan sumpah dan ada pula yang hanya bertujuan wisata. Ada juga kelompok pemerhati budaya, tempat tersebut adalah sumber untuk mendapatkan bahan tulisan. Menurut pengakuan dari juru kunci maupun warga setempat menyatakan bahwa frekuensi kunjungan dan jumlah pengunjung meningkat pada hari-hari tertentu, seperti malam Jumat Pon dan Selasa kliwon. Dan lebih ramai lagi pada hari besar Agama Islam, peziarah meningkat tajam. Dari ke lima lokasi penelitian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
tersebut yang paling dikunjungi dan diziarahi adalah makam/punden janjang. Selain di punden Janjang tersebut ramai dikunjungi untuk berziarah, di tempat ini juga sering didatangi warga yang akan melaksanakan sumpah Janjang. Sumpah yang dilakukan bertujuan untuk mencari kebenaran yang sudah tidak bisa dilakukan dengan jalan lain. Dengan penelitian ini juga diketahui bahwa lima cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut pada umumnya berisi peristiwa tentang asal mula terjadi dan ditemukannya suatu benda, asal usul nama desa, cikal bakal keberadaan tempat, hari jadi/lahir tempat tertentu. Pengklasifikasian lima cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut didasarkan pada sejumlah teori. Menurut Suripan Sadi Hutomo (1991: 64) menytakan bahwa legenda adalah cerita-cerita yang oleh masyarakat yang mempunyai cerita tersebut dianggap sebagai peristiwa-peristiwa sejarah. Hal demikian yang menyebabkan ada orang yang menyatakan bahwa legenda adalah sejarah rakyat, bahkan ada pula yang menegaskan bahwa legenda adalah sejarah kolektif (fokl history), walaupun telah mengalami pemutar balikan fakta (distorsi) sehingga berbeda dengan kisah aslinya (James Dananjaya, 1997: 66). Legenda adalah cerita yang bersifat semi historis, sehingga dapat dikatakan bahwa lima cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut memiliki kaitan erat dengan sejarah kehidupan masa lampau masyarakat Kabupaten Blora meskipun tingkat kebenarannya tidak semua bersifat murni. Cerita rakyat bentuk legenda masih dapat diklasifikasikan ke dalam jenis legenda jenis tertentu. Pengklasifikasian jenis legenda ini didasarkan pada isi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
cerita. secara terperinci Brunvandmenggolongkan legenda ke dalam empat kelompok yaitu: (1) keagamaan (religious legend), (2) legenda alam gaib (supernatural legend), (3) legenda perseorangan (personal legend), dan (4) legenda setempat (local legend) (dalam James Dananjaya, 1997:67). Meurut James Dananjaya (1997: 73), legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu, yang dianggap oleh pemilik cerita benar-benar terjadi. Legenda semacam ini cukup banyak jumlahnya di Indonesia, seperti yang kita kenal ada legenda Pangeran Samodra di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, legenda Prabu Siliwangi di Jawa Barat, legenda Endang Nawangsih di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah dan legenda Sangkuriang di Jawa Barat, dan lain sebagainya. Cerita rakyat Kabupaten Blora yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini pada dasarnya diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya tersebar luas di kalangan rakyat. Dari sejumlah cerita rakyat hanya beberapa cerita saja yang dibukukan dan itupun belum menyeluruh. Secara umum penyebaran dan pewaris cerita rakyat Kabupaten Blora berkembang secara lisan, dari mulut ke mulut, bersifat tradisional dari satu generasi ke genarasi berikutnya dengan berbagai versi cerita dan biasanya bersifat anonim atau tidak diketahui pengarangnya. Kebenaran cerita rakyat Kabupaten Blora itu sendiri diwariskan secara turun-temurun dari tuturan lisan generasi pendahulu ke generasi berikutnya. Cerita rakyat diyakini oleh masyarakat setempat sebagai pemilik yang harus memelihara dan melestarikannya. Munculnya cerita yang bervariasi dikarenakan cerita commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebar secara lisan dari mulut ke mulut dan hal ini sangat tergantung pada kemahiran sang pencerita. Antara pencerita yang satu dengan pencerita yang selanjutnya sering muncul perbedaan memiliki versi yang berbeda. Oleh karena itu cerita rakyat yang sama dapat diceritakan dalam versi berbeda meskipun isi ceritanya sama. 2. Struktur Cerita Rakyat Kabupaten Blora Sama seperti karya sastra yang lain, cerita rakyat Kabupaten Blora juga memiliki strukturalisme. Cerita rakyat “Legenda Punden Janjang”, “Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu”, “Terjadinya Desa Gersi”, “Legenda Maling Kentiri”, dan “Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong” dibangun dengan strukturalisme yang terdiri dari beberapa unsur yang memiliki kebulatan cerita. Strukturalisme cerita meliputi isi, tema, alur, latar, tokoh, dan amanat. Semua unsur strukturalisme tersebut mendukung cerita dari awal sampai akhir. Beberapa unsur cerita tersebut saling melengkapi. Adanya salah satu unsur akan berpengaruh terhadap unsur cerita lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro, bahwa struktur karya sastra mengacu pada pengertian hubungan antarunsur intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 36).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
137 digilib.uns.ac.id
Kajian strukturalisme pada lima cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut memberi gambaran secara terperinci dan mendalam atas unsur intrinsic pembangun ceritanya. Dipilihnya kajian strukturalisma dilandasi teori yang relevan yakni: pertama, analisis/kajian strukturalisme merupakan prioritas pertama sebelum yang lain, karena tanpa itu kebulatan makna intrinsik tidak akan lengkap, maka unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra (Teeuw, 1983: 61). Kedua, analisis strukturalisme bertujun membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, detail, dan mendalam keterjalianan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 2003: 112). Dan yang ketiga, strukturalisme dipandang sebagai salah satu pendekatan penelitian kesusastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan. Jadi strukturalisme sama dengan pendekatan yang objektif (Burha Nurgiyantoro, 1995: 37). Intinya pendekatan objektif menitikberatkan pada analisis/kajian isi cerita. Analisis strukturalisme pada lima cerita rakyat Kabupate Blora tersebut diawali dengan pendeskripsian isi cerita, kemudian tentang tema, alur, tokoh, latar dan amanat. Masing-masing cerita rakyat Kabupaten Blora menunjukkan bahwa isi cerita rakyat merupakan hal yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji unsur-unsur cerita berikutnya. Isi cerita tersebut menjadi bagian yang penting karena merupakan hal yang dikisahkan dalam cerita yang dimaksud karena berkaitan dengan aspek bentuk cerita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
138 digilib.uns.ac.id
Hasil kajian Strukturalisme diketahui secara umum isi masing-masing cerita rakyat Kabupaten Blora berupa rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu atau berlangsung dari satu cerita/peristiwa ke cerita atau peristiwa berikutnya. Rangkaian ceritanya bersifat kronologis dan menunjukkan sebab akibat dari urutan awal, tengah hingga akhir cerita. Secara umum lima cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut berisi perjalanan seorang tokoh, temanya hampir sama yakni bertemakan asal mula terjadinya suatu tempat. Dengan mencermati isi maupun tema dari lima cerita rakyatKabupaten Blora tersebut dapat diklasifikasikan pada cerita bentuk legenda dalam jenis legenda perseorangan dan legenda setempat. Melalui hasil kajian tentang alur cerita dapat diketahui bahwa lima cerita rakyat yang berasal dari Kabupaten Blora tersebut adalah alur lurus dan alur maju. Alur lurus dan alur maju penggunaannya bersifat sederhana dan logis yang artinya penggambaran pelaku dari awal disusul peristiwa-peristiwa secara berurutan sampai akhir cerita, peristiwa satu menyebabkan peristiwa berikutnya, hubungan sebab akibat logis sehingga jalan cerita dari awal samapai akhir mudah dipahami. Kajian tentang alur, kesederhanaan alur pada cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut sesuai dengan teori meliputi: (1) paparanawal cerita (exposition), (2) mulai dari problem (incitingmoment), (3) penanjakan konflik (ricing action), (4) konflik yang semakin (complication), (5) konflik menurun (falling action), dan (6) penyelesaian (denouement) (Herman J. Waluyo, 2002: 147). Kajian strukturalisme tentang tokoh dalam lima cerita rakyat Kabupaten Blora dapat dikelompokkan tokoh utama dan tokoh pendukung. Tokoh utama commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diceritakan lebih banyak dan terkesan mendominasi jalannya cerita. tokoh pendukung diceritakan pada bagian-bagian tertentu saja atau dengan kata lain intensitas kemunculannya jauh lebih sedikit seperti fungsinya yakni hanya sebagai pendukung. Karakter yang tergambar adalah karakter hitam dan putih atau karakter yang baik dan buruk. Karakter yang demikian istilahnya penokohan, sesuai denga teori yang menyatakan
bahwa istilah tokoh menunjukkan pada
orangnya, pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 165). Tentang kajian strukturalisme latar cerita, latar tempat disajikan lebih menonjol. Latar dari lima cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora lebih menekankan pada latar tempat untuk membangun cerita. latar tempat yang menjadi latar cerita selalu berganti dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Latar waktu juga sering disajikan dalam cerita rakyat Kabupaten Blora, tersaji secara berurutan mulai dari tokoh itu muda, dewasa hingga ajalnya. Penyajian latar dimaksudkan agar memperjelas cerita dari awal sampai akhir, hal ini dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi perilaku, karakter tokoh dengan kondisi masyarakatnya, sesuai pendapat Zainuddin Fananie (2001: 97) yang mengatakan bahwa di dalam karya sastra setting/latar merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting. Kajian strukturalisme mengenai amanat dapat disampaikan bahwa lima cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut ditemukan sejumlah amanat atau hikmah cerita yang dapat dipetik atau dijadikan teladan bagi semua orang baik secara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
tersurat (eksplisit) maupun secara tersirat (implisit) maka amanat dapat langsung ditangkap dari percakapan atau dialog antartokoh, yang secara langsung mudah dipahami, sedang amanat yang bersifat tidak langsung harus melalui perenungan/pemikiran atas apa yang terjadi dalam cerita. Pembaca cerita rakyat tersebut harus mampu menangkap dan menemukan ajaran di balik kejadiankejadian atau perilaku para tokoh cerita. 3. Nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat Kabupaten Blora Dalam lima cerita rakyat dari Kabupaten Blora dapat diketahui bahwa lima cerita rakyat tersebut terkandung nilai edukatif, yaitu meliputi nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat, nilai pendidikan agama,dan nilai pendidikan kepahlawanan. Bukti-bukti ditemukannya nilai-nilai edukatif tersebut disertai kutipan-kutipan di tiap-tiap bagian dari masing-masing cerita rakyat tersebut telah dikemukankan pada bagian hasil peneitian. Nilai moral yang terkandung dalam lima cerita rakyat Kabupaten Blora menandai bahwa cerita rakyat Kabupaten Blora berisi ajaran tentang kebaikan. Ajaran tentang kebaikan ini dapat diambil dari karakter dan perilaku serta kehidupan para tokoh ceritanya, selanjutnya dapat disampaikan untuk memberi keteladanan bagi pembaca termasuk di dalamnya adalah para siswa dari berbagai jenjang pendidikan. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat ditafsirka dan diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 321). Dalam karya sastra moral itu biasanya mencerminkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
pandangan hidup pengarang dan pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran yang disampaikan kepada pembaca. Nilai pendidikan adat dari cerita-cerita rakyat Kabupaten Blora dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan nenek moyang pada masa lampau. Kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan para tokoh cerita dijadikan contoh masyarakat dan dapat dijadikan bahan pertimbangan atau pembanding dengan tradisi dan kebudayaan yang berkembang saat ini. Adat merupakan tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup komplek, dapat berupa kebiasaan hidup, adatistiadat, tradisi, keyakinan dan pandangan hidup. Cara berpikir dan bersikap terdorong, latar spiritual, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misal rendah, menengah atau atas (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 234). Nilai pendidikan agama juga ditemukan pada kelima cerita rakyat Kabupaten Blora. Pendidikan dan pengetahuan tentang agama yang dianut para tokoh cerita atau masyarakat pada masa lampau. Hal itu dapat diketahui dari kedudukan tokoh dalam cerita. usaha tentang keagamaan para tokoh, kegiatankegiatan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh para tokoh, dapat diambil nilai-nilai positifnya secara selektif. Religi dan kepercayaan mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sitaf Tuhan tentang wujud dari alam gaib (supernatural) serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan. Sistem ritus dan sesaji merupakan merupakan usaha untuk mencari hubungan dengan tuhan , commit to user
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib itu (Kuntjaraningrat, 1984: 145). Nilai pendidikan kepahlawanan pada lima cerita rakyat Kabupaten Blora menandai bahwa cerita rakyat tersebut terdapat sikap-sikap kepahlawanan dan perjuangan dari para tokoh cerita yang pantas diteladani keberaniannya, pengorbanan dan kerelaan berjuang,tidak mudah menyerah yang diperankan oleh tokoh cerita dan dapat dijadikan contoh figur yang memberi inspirasi bagi pembaca termasuk para siswa di lembaga pendidikan pada berbagai jenjang. Nilai pendidikan kepahlawanan yang ada dalam lima cerita rakyat tersebut sejalan dengan pendapat beberapa tokoh. Apabia dihadapkan pada tokoh-tokoh cerita pembaca sering memberikan reaksi emotif tertentu seperti marasa akrap, simpati, benci, suka, empati, atau berbagai reaksi afektif lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 174). Seorang tokoh memiliki relevansi dengan pembaca atau pendengar cerita apabila tokoh tersebut disukai banyak orang dalam kehidupan nyata. Salah satu bentuk kerelevansian seorang tokoh sering dihubungkan dengan kesepertihidupan (life likeness) (Kenney, 1966: 27). Dari hasil penelitian dan juga pembahasan mengenai strukturalisme dan nilai edukatif cerita rakyat Kabupaten Blora, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai positif di dalam cerita rakyat tersebut memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang.
Dengan
penelitian
yang
telah
dilakukan
diharapkan
dapat
menambahkan khasanah budaya dan sastra, kekayaan batin para pembaca dan pendengarnya, serta memiliki kontribusi positif bagi pengajar sastra. Pemilihan cerita rakyat sebagai bahan pengajaran satra di sekolah-sekolah di Kabupaten Blora sangat tepat, dapat pula dipergunakan sebagai bahan pembinaan dan pengembangan apresiasi sastra Indonesia dan Daerah di sekolah-sekolah di Kabupaten Blora.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: Cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut dapat diklasifikasikan dalam legenda, kelompok legenda perseorangan dan legenda setempat. Jenis cerita rakyat Kabupaten Blora yang dihimpun dan dianalisis dalam penelitian ini berjumlah lima yaitu: (1) Cerita Rakyat Legenda Punden Janjang di Desa Janjang, Kecamatan Jiken, (2) Cerita Rakyat Legenda Desa Watu Brem dan Pojok Watu di Desa Pojok Kecamatan Sambong, (3) Cerita Rakyat Terjadinya Desa Gersi di Desa Gersi Kecamatan Jepon, (4) Cerita Rakyat Maling Kentiri di Desa Kawengan Kecamatan Jepon, (5) Cerita Rakyat Legenda Kiai Anggayuda dan Keramat Sambong di Desa Sambong Kecamatan Sambong. Struktur cerita rakyat Kabupaten Blora tersebut dapat terbagi menjadi lima, yaitu: (1) Tema tentang kisah perjalanan dan pengembaraan atau asal-usul terjadinya peristiwa perjuangan dan perjalanan. (2) Alur yang digunakan adalah alur maju atau alur lurus pada semua cerita rakyat yang diteliti. (3) Tokoh dan penokohan, tokoh yang terlibat di dalam cerita rakyat Kabupaten Blora adalah tokoh manusia yang memiliki watak baik dan memiliki kelebihan dan kesaktian. (4) Latar atau setting yang ada dalam cerita rakyat Kabupaten Blora adalah lebih commit to user
143
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
didominasi oleh latar tempat. (5) amanat yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Blora cukup bervariasi. Muatan nilai edukatif yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Blora meliputi: (1) nilai pendidikan moral, (2) nilai pendidikan adat, (3) nilai pendidikan agama, dan (4) nilai pendidikan keagamaan. Dengan ditemukannya beberapa nilai edukatif dalam cerita rakyat Kabupaten Bloramemiliki relevansi dan kontribusi dalam pengajaran sastra di sekolah, dan dapat dijadikan materi pelajaran sastra di sekolah-sekolah yang berada di wilayah Kabupaten Blora yang disesuaikan dengan jenjang pendidikannya.
B. Implikasi Hasil penelitian kelima cerita rakyat di Kabupaten Blora dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa penelitian yang dilaksanakan memliliki berbagai implikasi penting terhadap pengajaran sastra di sekolah. Berbagai implikasi tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: Cerita rakyat di Kabupaten Blora memiliki beberapa kandungan nilai edukatif (pendidikan), maka cerita rakyat tersebut penting untuk disampaikan kepada siswa, melalui proses pembelajara sastra di sekolah. Hal ini untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur kepada generasi penerus agar nilai-nilai tersebut tidak luntur termakan oleh budaya asing. Akan tetapi kenyataan di lapangan dan masyarakat keadaannya lain, pada saat ini siswa di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Blora, sebagian siswa tidak mengenal cerita Rakyat yang hidup dan berkembang di daerahnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, di commit to user
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
antaranya hilangnya adat dan tradisi bercerita atau mendongeng oleh para orang tua kepada anaknya sebagai pengantar tidur. Cerita rakyat jarang sekali dijumpai di dalam keluarga, dalam masyarakat dan di sekolah. Melihat kenyataan semacam ini perlu diambil langkah-langkah pasti dan jelas untuk menyelamatkan cerita rakyat agar tidak punah. Peran guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam pembelajaran sehari-hari untuk memasukkan cerita rakyat ke dalam pembelajaran sastra sangat penting. Selain guru, peran sekolah maupun lembaga lain di antaranya dalam kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dengan jalan seperti mengadakan lomba-lomba tentang dongeng cerita rakyat setempat dengan harapan mengenal kembali cerita rakyat dan adat istiadat daerah setempat kepada siswa. Kegiatan yang mempertemukan guru-guru di tingkat kecamatan atau tingkat kabupaten perlu diadakan, semacam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)
Bahasa
Indonesia.
Kegiatan
tersebut
bisa
untuk
membahas
kemungkinan-kemungkinan dan menyatukan visi dan misi agar cerita rakyat dapat dimasukkan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah/madrsah. Diharapkan cerita rakyat dapat menjadi bahan ajar sastra di Kabupaten Blora dan sekitarnya, sebab jika diteliti kembali di Kabupaten Blora dan di tiap-tiap desa di Kabupaten Blora memiliki cerita rakyat dan apabila cerita rakyat dari tiap-tiap desa ini bisa digali dan diangkat, dapat dibuat sebuah bahan ajar sastra yang beragam dan bervariasi akan membuat anak-anak lebih tertarik. Sesuai dengan standar kompetensi dan kompetens dasar pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kelas satu semester satu tentang pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
146 digilib.uns.ac.id
tersebut dapat diarahkan agar siswa-siswa mencari cerita rakyat di desa tempat anak tinggal. Cerita rakyat yang ada disetiap desa, biasanya berupa asal-usul nama desa, dan anak bisa bisa mencari asal-usul nama desa tempat anak-anak tinggal. Tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Untuk mencari asal-usul nama desa setempat tidak semua orang tua di desa tempat tinggalnya tahu nama asalusul desa tersebut. Dengan cerita rakyat yang didapatkan berarti anak sudah berlatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis). Secara tidak langsung semua keterampilan berbahasa tersebut sudah dipelajari oleh anak pada saat mencari cerita rakyat tersebut. Cerita rakyat di Kabupaten Blora berpotensi untuk pembelajaran sastra di sekolah-sekolah, mulai Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA). Oleh karena cerita rakyat Kabupaten Blora mengandung nilai-nilai edukatif (pendidikan) dan nilai yang luhur dipakai untuk pengajaran sastra, maka seharusnya ada komitmen dan usaha untuk memasukkan cerita rakyat ke dalam kurikulum sekolah dengan cara menciptakan buku ajar yang berisi kumpulan cerita-cerita rakyat Kabupaten Blora untuk dijadikan bahan pembelajaran sastra sekolah-sekolah di Kabupaten Blora. Pada tahun ajaran 2010/2011 di sekolah/madrsah di Kabupaten Blora dan seluruh Indonesia sudah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Amanat yang terkandung dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tersebut menghendaki kebebasan aturan pendidikan atau sekolah untuk bereksplorasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan maupun tujuan yang akan commit to user
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dicapai oleh sekolah/madrasah dalam kerangka mutu satuan pendidikan tersebut. Dengan demikian sekolah atau madrsaha dalam tingkat satuan pendidikan memiliki kewenangan dan kelonggaran dalam menetapkan pembelajaran di tingkat satuan pendidikan tersebut. Untuk menerapkan cerita rakyat ke dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tentu ada beberap kendala walaupun di satu sisi kendala bisa diatasi tetapi di sisi lain tetap ada kendala. Kendala tersebut di antaranya pada pendanaan, untuk menggali cerita rakyat di pelosok di Kabupaten Blora tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Untuk membuat buku ajar juga memerlukn dana. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Blora melalui Dinas Pemuda dan Olahraga dan sekolah-sekolah harus memiliki kesepakatan untuk program tersebut. Tanpa adanya kerjasama dari berbagai pihak terkait, tentunya program tersebut tidak akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Setelah program memasukkan cerita rakyat ke dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat terlaksana, perlu adanya tindakan-tindakan perbaikan maupun tindakan yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan evaluasi dan control dari berbagai elemen, apakah program tersebut berjalan dengan baik atau hanya awalnya saja selanjutnya nihil. Selain itu juga adanya penilaian dari pihak terkait untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembelajaran cerita tersebut.
commit to user
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diberikan beberapa saran kepada pihak-pihak terkait sebagai berikut: 1. Saran untuk Sekolah dan Guru di Kabupaten Blora a. Melihat kandungan nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat Kabupaten Blora, sudah sepantasnya dapat dimasukkan dalam bahan ajar sastra di sekolah-sekolah. b. Setelah masuknya cerita rakyat sebagai bahan/materi ajar sastra di sekolah-sekolah dapat diharapkan hasil dari nilai-nilai tersebut. Cerita rakyat yang mengandung nlai-nilai tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan rasa bangga terhadap budaya lokal. c. Untuk mengembangkan daya pikir anak, perlu diadakan penelusuran cerita rakyat di tempat anak-anak berada. Setiap desa biasanya terdapat cerita rakyat atau legenda asal-usul nama desa tersebut. Anak diberi tugas untuk mencari cerita rakyat tersebut, dengan demikian anak dapat belajar langsung di lingkungannya masing-masing. 2. Saran untuk Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Blora a. Dinas pariwisata Kabupaten Blora agar lebih proaktif memperkenalkan dan mensosialisasikan cerita rakyat di Kabupaten Blora kepada masyarakat luas dengan cara yang dapat diterima oleh kalangan masyarakat luas. b. Selain itu juga perlu dilakukan promosi wisata yang lebih nyata dan digarap secara professional. commit to user
149 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Saran untuk Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Blora a. Dinas
Pendidikan
Pemuda dan
Olahraga
sebagai
pemegang
kunci
keberhasilan pendidikan di Kabupaten Blora diharapkan bisa memasukkan cerita rakyat ke dalam kurikulum sebagai bahan ajar sastra di sekolah. Hal ini diperlukan sebagai pembinaan generasi muda untuk mengenal nilai luhur budaya lokal. b. Selain memasukkan cerita rakyat ke dalam kurikulum sebagai bahan ajar di sekolah, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga mengalokasikan dana untuk pengembangan kualitas pendidikan sastra di Kabupaten Blora. 4. Saran untuk Pemerintah Kabupaten Blora a. Sebagai penentu kebijaksanaan pendidikan tertinggi di wilayah Kabupaten Blora sudah semestinya untuk memberikan dukungan yang nyata terhadap upaya baik dari pihak terkait, sesuai dengan hasil penelitian ini. Dengan harapan pembinaan kepada generasi muda dan anak-anak dapat terlaksana dengan baik melalui pembelajaran sastra di sekolah/madrasah. b. Pemerintah Kabupaten Blora dapat mengalokasikan dana untuk memfasilitasi penelitian dan penerapan hasil penelitian dan penerapan agar dapat diterapkan dengan baik di sekolah/madrasah. 5. Saran untuk Peneliti Lain a. Kabupaten Blora memiliki cerita rakyat yang sangat beragam, hampir di tiap desa terdapat cerita asal-usul nama desa tersebut sebelum melangkah lebih lanjut perlu inventarisasi cerita rakyat yang ada di Kabupaten Blora. b. Perlu ada penelitian dalam bentuk yang lain untuk mengembangkan cerita rakyat agar dapat menunjang pembelajaran yang lebih variatif. commit to user