CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK Ebhi dan Khandei Story as Reading Material for Children Muntihanah Balai Bahasa Provinsi Papua Jalan Yoka, Waena, Distrik Heram, Jayapura 99358 Telepon: 081240462522, Pos-el:
[email protected] Naskah masuk: 4 Juni 2015, disetujui: 21 Maret 2016, revisi akhir: 22 Maret 2016 Abstrak: Kabupaten Jayapura kaya dengan cerita rakyat, tetapi belum banyak dimanfaatkan untuk bahan bacaan sastra di tingkat pendidikan dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah cerita Ebhi dan Khandei dapat dijadikan bacaan sastra anak berdasarkan kriteria kesederhanaan struktur, kandungan nilai karakter, dan kesesuaian antara struktur cerita danperkembangan intelektual anak. Analisis data menggunakan teori struktural, perkembangan intelektual, dan nilai-nilai karakter dengan metode analisis deskriptif. Hasilnya menunjukkan bahwa cerita Ebhi dan Khandei dapat dijadikan bahan bacaan anak usia 7—11 tahun karena struktur ceritanya yang sederhana. Kesederhanaan struktur tersebut terlihat dari alur yang linear, tokoh yang datar, latar yang konkret, permasalahan yang terbatas, dan stile pada unsur leksikal yang umumnya menggunakan kata dasar serta unsur gramatikal umumnya menggunakan kalimat deklaratif. Disamping itu, cerita Ebhi dan Khandei juga mengandung nilai karakter yang berhubungan dengan diri sendiri, berupa karakter jujur dan nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama, berupa karakter yang patuh pada aturan-aturan sosial. Kata-kata Kunci: sastra anak, kesederhanaanstruktur, nilai karakter, usia anak Abstract: Jayapura regency has various folktales. Unfortunately, they have not been used optimally for literary reading material for children at the primary school level. This paper aims to know whether the story Ebhi and Khandei can be used as literary reading material for children based on three criteria, namely, the simplicity of structure, the character value, and the correlation between the structure of story and the children’s intellectual development. Data analysis uses structural theory, intellectual development, and character values with descriptive analysis method. The result of the research indicates that the story Ebhi and Khandei can be used as reading material for children of 7-11 years old because the story has a simple structure. The simplicity of structure is reflected on the linear plot, the flat character, the concrete setting, the limited conflict, the stile on lexical elements that generally use basic words as well as grammatical elements that generally use declarative sentences. In addition, Ebhi and Khandei story also contains the character values associated with oneself, that is, honesty and values related to social interaction—the obedience character to the social rules. Key words: children literature, simplicity of structure, character value, children age
1. PENDAHULUAN Cerita rakyat merupakan warisan budaya suatu suku atau bangsa. Cerita tersebut lahir bukan dari ruang hampa, melainkan lahir dari proses pemikiran,
perjalanan, pergelutan kehidupan suatu masyarakat yang mengkristal menjadi sebuah nilai. Itulah sebabnya Nurgiyantoro (2010:166) mengatakan bahwa dengan membaca cerita rakyat seseorang dapat 67
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
memahami eksistensi manusia dan kemanusiaan serta hidup dan kehidupan pada masa lalu yang menjadi akar bagi kehidupan dewasa ini. Penyediaan bacaan cerita rakyat kepada anak dapat memfasilitasi anak untuk memahami kebesaran di masa lalu, mengenal dan memahami “nenek moyangnya” yang menyebabkan eksistensinya di masa kini, dan belajar mengapresiasi warisan leluhur. Huck (dalam Nurgiyantoro, 2010: 170) mengatakan bahwa pada awalnya cerita rakyat merupakan karya sastra yang diperuntukkan untuk dikonsumsi orang dewasa. Namun, karena ceritanya menarik dan mengajarkan pembelajaran prinsipprinsip keadilan dan moral yang secara tidak langsung mengajarkan anak tentang pembelajaran menghargai keadilan dan penilaian moral, cerita rakyat dapat dikatakan sebagai sastra anak. Meskipun begitu, tidak semua cerita rakyat dapat begitu saja dijadikan sastra anak tanpa diseleksi. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, cerita rakyat awalnya hadir untuk diceritakan kepada orang-orang dewasa pada komunitasnya saat itu sehingga masih banyak berisi hal-hal yang tidak patut dibaca oleh anak-anak, seperti hal-hal yang bersifat filosofis dan pornografis. Oleh karena itu, sebelum cerita tersebut dijadikan bahan bacaan anak, perlu ditulis ulang dengan membuang hal-hal yang tidak diperlukan tanpa menghilangkan alur cerita sebagaimana aslinya. Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua memiliki banyak cerita rakyat. Namun demikian, cerita rakyat ini belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan ajar sastra di lingkungan pendidikan, terutama di tingkat SD. Kalau pun ada cerita rakyat yang sudah dijadikan bahan ajar sastra, dasar penentuannya masih bersifat impresif. Di luar Papua, kajian tentang sastra anak sudah dilakukan oleh banyak peneliti, di antaranya Bunanta (1998) tentang cerita rakyat untuk anak di Indonesia melalui kajian cerita Bawang Merah dan Bawang Putih dalam 29 versi, Sidik (2012) yang membahas 68
tema dan pesan moral di dalam cerita bergambar yang sesuai dengan anak usia dini/TK, Herminingsih (2010) yang mengkaji kearifan lokal yang dapat diperkenalkan melalui penciptaan sastra anak, Karyanto (2004) yang mengkaji kandungan nilai karakter dalam cerita rakyat Ranggana Putra Danang Balaraja, Muzijah (2012) yang mengkaji keterwakilan anak dalam karya-karya Arswendo Atmowiloto, danCitraningtyas (2013) yang mengkaji potensi cerita untuk bahan bacaan sastra anak.Oleh karena itu dipandang perlu melakukan kajian ilmiah untuk menentukan cerita rakyat yang dapat dijadikan bahan bacaan anak. Dalam penelitian ini, cerita rakyat yang akan dijadikan objek penelitian adalah cerita Ebhi dan Khandei yang berasal dari Kampung Asei Besar, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah cerita Ebhi dan Khandei dapat dijadikan bahan bacaan sastra anak, menemukan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam cerita, dan menentukan kesesuaian cerita dengan tahapan perkembangan usia anak. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa cerita rakyat masyarakat Asei Besar yang diambil dari hasil penelitian Muntihanah, dkk. (2012). Data selanjutnya, dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif yaitu menguraikan faktafakta berupa cerita rakyat dengan cara mendeskripsikan. Ada beberapa pandangan ahli tentang pengertian sastra anak. Menurut Nurgiyantoro (2010: 8—9) sastra anak merupakan sebuah karya yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaaan. Pandangan serupa juga dikemukakan (Tarigan, 2011:5) yang menyatakan bahwa sastra anak-anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak masa kini yang dapat dilihat dan dipahami melalui mata
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
anak-anak. Ampera (2010: 10) mengutip pandangan Hunt yang menyatakan bahwa sastra anak adalah bacaan yang dibaca anak yang secara khusus cocok dan dapat memuaskan sekelompok pembaca yang disebut anak. Menurut Nurgiyantoro (2010: 8—9) sastra anak tidak mesti harus berkisah tentang anak, tentang dunia anak, tentang berbagai peristiwa yang mesti melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan alam, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan yang lain termasuk makhluk dari dunia lain. Namun, apa pun isi kandungan cerita yang dikisahkan mestilah berangkat dari sudut pandang anak, dari kaca mata anak dalam memandang dan memperlakukan sesuatu, dan sesuatu itu haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional dan pikiran anak. Lebih lanjut Nurgiyantoro berpandangan bahwa sastra anak secara umum memiliki karakteristik yang sederhana. Kesederhanaan ini meliputi kesederhanaan kosakata, struktur, dan ungkapannya. Dalam penilaian sastra anak kesederhanaan ini dapat ditemukan pada struktur cerita yang mencakupi alur, latar, penokohan, stile, dan tema serta moral. Kesederhanaan alur ditandai oleh penggunaan alur yang linear, kesederhanaan tokoh ditandai oleh penggunaan tokoh datar (flat character) yang ditampilkan secara hitam putih, dan kesederhanaan stile ditandai oleh pemakaian unsur leksikal dan gramatikal. Pandangan senada juga dikemukakan Sarumpaet (2010: 41) yang mengatakan bahwa sastra anak dapat diteliti melalui teori formalis yang menyangkut tema, tokoh, latar, tekstur, sudut pandang, dan berbagai alat puitik yang ada. Untuk memperjelas fungsi struktur dalam kaitannya dengan sastra anak, komponen struktur tersebutakan dijelaskan. Nurgiyantoro(2010: 72—74) mengatakan kesederhanaan alur cerita anak dapat dilihat berdasarkan tiga hal. Pertama, masalah dan konflik yang dikisahkan sederhana berkisar
pada permasalahan anak atau yang masih dapat dijangkau oleh nalar anak. Peristiwa dan konflik yang melibatkan pemikiran abstrak, misalnya hanya terjadi lewat arus kesadaran, belum dapat dijangkau oleh anak. Kedua, hubungan antarperistiwa itu haruslah jelas, misalnya jelas hubungan sebab akibatnya. Cerita harus secara mudah dapat dipahami dari peristiwa dan konflik yang membangunnya, misalnya mana peristiwa yang mengakibatkan terjadinya peristiwa lain. Ketiga, urutan peristiwa harus linear dan runtut. Peristiwa yang terjadi lebih dahulu haruslah dikisahkan lebih dahulu juga. Teknik sorot-balik (flashback) tampaknya belum efektif untuk pembaca anak, terutama anak pada tingkat prasekolah dan masa awal sekolah dasar. Untuk anak usia yang lebih tinggi penggunaan teknik sorot balik yang sederhana sudah lebih dimungkinkan. Ada pun konflik dalam pengembangan alur cerita fiksi anak ini menurut Nurgiyantoro (2010: 239--242) terjadi dalam beberapa konflik, yaitu konflik seseorang dengan diri sendiri, konflik seseorang dengan orang lain, konflik seseorang dengan masyarakat, dan konflik seseorang dengan alam. Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. Menurut Nurgiyantoro (2010: 75—77), tokoh cerita anak ini dapat berupa manusia, binatang, atau makhluk dan objek lain seperti makhluk halus, (peri, hantu) dan tetumbuhan. Tokoh-tokoh selain manusia ini biasanya dapat bertingkah laku dan berpikir sebagaimana halnya manusia. Mereka bertingkah laku dan berpikir sebagaimana halnya manusia. Mereka adalah personifikasi karakter manusia. Dalam pengembangan cerita, tokoh-tokoh tersebut menurut Nurgiyantoro dapat berdiri sendiri, dalam arti tidak melibatkan tokoh manusia, misalnya tokoh binatang dalam fabel. Dalam cerita yang lain, tokoh manusia dan binatang dapat berjalan bersama, dalam arti sama-sama menjadi tokoh cerita.
69
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
Pada umumnya cerita anak, masih menurut Nurgiyantoro (2010: 77) menampilkan tokoh yang terbelah yaitu tokoh yang berkualifikasi baik dan jahat, tokoh yang putihdan hitam, dan jarang ada tokoh yang berkualifikasi “abu-abu”. Dilihat dari dimensi perwatakan tokoh, tokoh-tokoh cerita anak lebih berkategori berwatak datar (flat character) dari pada berwatak bulat (round character) dalam terminologiFoster. Tokoh yang berwatak sederhana tidak pernah mengalami perubahan watak secara esensial. Kalau dia berwatak baik, maka dia akan berwatak baik selamanya sampai akhir cerita. Demikian sebaliknya, jika jahat dia akan berwatak jahat selamanya. Perubahan watak hampir tidak ada sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh dengan kualifikasi tersebut akan mudah dikenali, familiar, diakrabi oleh pembaca anak, dan bahkan dijadikan tokoh idola yang terlihat tanpa cacat. Tokoh yang berwatak bulat, di pihak lain, adalah tokoh yang memiliki perwatakan multidimensional. Artinya ia mempunyai kemungkinan tampil dengan karakter yang berbeda secara esensial. Konkretnya, pada suatu ketika tokoh itu tampil dengan watak yang baik, misalnya suka menolong, tetapi pada kesempatan lain ia tampil dengan watak jahat, misalnya suka mencuri.Sebenarnya tokoh yang berwatak bulat ini, lebih mencerminkan keadaan orang dalam kehidupan nyata.Akan tetapi, bagi pembaca anak-anak, perubahanperubahan itu bisa jadi merepotkan karena kurang dapat mengikuti logika alur yang mendukungnya. Anak pun sebenarnya menyukai perkembangan watak, tetapi perkembangan watak itu haruslah yang masih dikualifikasikan sederhana sehingga mudah diikuti. Adapun cara mengungkapkan tokoh menurut (Nurgiyantoro, 2010: 78—79) dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara langsung (ekspositori) dan secara tidak langsung (dramatik). Pengungkapan secara langsung adalah pengarang secara jelas menunjukkan atau mendeskripsikan watak tokoh, sehingga kadang-kadang di awal cerita pembaca sudah mengetahui watak 70
tokoh yang bersangkutan. Dala teknik dramatik (secara tidak langsung), pengungkapan tokoh dilakukan secara tidak langsung melalui alur cerita. Pengungkapan watak tokoh dengan teknik ini tampaknya kurang efektif untuk anak usia prasekolah dan sekolah kelas rendah, tetapi untuk anak kelas yang lebih tinggi sudah dapat diterima. Latar menurut Nurgiyantoro merupakan landas tumpu berlangsungnya berbagai peristiwa. Unsur latar ini terdiri atas tiga bagian, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial budaya. Latar pada fiksi anak menurut Lukens yang dikutip oleh (Nurgiyantoro, 2010: 248) memiliki perbedaan dengan latar pada fiksi dewasa. Latar pada fiksi dewasa dapat terjadi dimana saja termasuk dalam benak tokoh, sehingga tidak terlalu banyak membutuhkan deskripsi tentang latar. Di dalam cerita fiksi anak, hampir semua peristiwa yang dikisahkan membutuhkan kejelasan tempat dan waktu terjadinya, dan karenanya membutuhkan deskripsi latar secara lebih detail. Kejelasan cerita tentang latar dalam banyak hal akan membantu anak untuk memahami alur cerita. Selain itu latar menurut Nurgiyantoro (2010: 87) akan mampu melibatkan anak secara lebih dalam ke arus cerita sehingga mereka merasa lebih senang dan terlibat disamping akan memberikan informasi tentang kultur lain yang penting untuk pengembangan wawasan multikultural. Berkaitan dengan tema, di dalam hubungannya dengan sastra anak, Nurgiyantoro mengangkat sebuah pertanyaan dan sekaligus menjawab pertanyaan tentang tema dan moral apa yang baik untuk sastra anak? Nurgiyantoro berpandangan bahwa tema dan moral yang sesuai dengan anak adalah semua masalah kehidupan dan kemanusiaan. Tema dan pengembangan nilai moral ini penting dilakukan terhadap anak-anak sejak usia dini yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Teknik penyampaian moral dan tema ini tidak berbeda, yaitu dapat bersifat eksplisit dan implisit (2010: 81—83, 267).
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
Adapun stile pada hakikatnya, menurut Nurgiyantoro (2010: 274—278, 2013: 389) adalah cara pengekspresian jatidiri yang berbeda dengan orang lain. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan yang meliputi aspek bunyi, leksikal, struktur gramatikal, dan penggunaan berbagai sarana retorika yang memperindah penuturan seperti pemajasan (figures of thought), penyiasatan struktur (figures of speech), dan pencitraan (imagery). Di dalam penelitian ini aspek stile yang dibahas hanya pada aspek leksikal dan struktur gramatikalnya saja. Hal ini berhubungan dengan tujuan penelitian untuk menemukan aspek kesederhanaan di dalam cerita sebagai syarat sebuah sastra anak, termasuk dalam aspek bahasanya. Penilaian aspek leksikal sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Nurgiyantoro, 2013: 391). Pertama, apakah kata-kata yang dipergunakan sederhana ataukah kompleks? Kedua, kata dan ungkapan formal atau kolokial, artinya kata baku—bentuk dan makna—ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang nonformal, termasuk penggunaan dialek? Ketiga, kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain, misalnya dalam cerita fiksi Indonesia apakah mempergunakan kata dan ungkapan bahasa Indonesia atau dari bahasa lain, misalnya bahasa Jawa atau asing? Keempat, arah makna kata yang ditunjuk, apakah bersifat referensial atau asosiasi, denotasi ataukah konotasi? Unsur gramatikal menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan analisis kalimat, beberapa pertanyaan diajukan seperti berikut (Nurgiyantoro, 2013: 393—395). Pertama, kompleksitas kalimat: sederhana ataukah kompleks struktur kalimat yang dipergunakan, bagaimana keadaannya secara keseluruhan?Berapakah rata-rata jumlah kata per kalimat? Bagaimanakah variasi penampilan struktur kalimat yang sederhana dan kompleks itu? Dalam struktur yang kompleks, sifat hubungan
apakah yang menonjol, koordinatif, subordinatif, ataukah parataktis? Kedua, jenis kalimat: jenis kalimat apa sajakah yang dipergunakan: kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan), kalimat interogatif (kalimat yang mengandung makna pertanyaan), kalimat minor (kalimat yang tak lengkap fungtor-fungtornya, mungkin berupa minor berita, perintah, tanya, atau seru)? Jenis kalimat manakah yang menonjol, apa fungsinya? Pembedaan jenis kalimat ini dapat juga ditinjau secara lain, misalnya aktif pasif, nominal verbal, langsung tak langsung, dan sebagainya. Ketiga, jenis klausa dan frasa: klausa dan frasa apa sajakah yang menonjol, sederhana ataukah kompleks? Jenis klausa dan frasa pastilah banyak sekali, maka dapat dibatasi dengan mengambil sejumlah di antaranya yang memang terlihat dominan. Berkaitan dengan batasan anak, (Nurgiyantoro, 2010: 14) mengutip pendapat Piaget yang menyatakan bahwaanak adalah orang yang memiliki usia 0 sampai sekitar 12 atau 13 tahun. Setiap perkembangan usia anak membutuhkan buku bacaan sastra yang berbeda. Pada tahap sensori motor yang berlangsung pada periode 0—2 tahun belum ada buku bacaan sastra yang sesuai. Pada tahap praoperasional yang berlangsung pada periode 2—7 tahun, buku bacaan yang sesuai adalah buku-buku yang menampilkan gambar-gambar sederhana sebagai ilustrasi yang menarik, buku-buku bergambar yang memberikan kesempatan anak untuk memanipulasikannya, buku-buku yang memberikan kesempatan anak untuk mengenali objek-objek dan situasi tertentu yang bermakna baginya, dan buku-buku cerita yang menampilkan tokoh dan alur yang mencerminkan tingkah laku dan perasaan anak. Pada tahap operasional konkret yang berlangsung pada periode 7— 11 tahun ada beberapa kriteria buku bacaan sastra yang sesuai. Buku-buku bacaan narasi atau eksplanasi yang mengandung urutan logis dari yang sederhana ke yang lebih 71
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
kompleks. Buku-buku bacaan yang menampilkan cerita yang sederhana, baik yang menyangkut masalah yang dikisahkan, cara pengisahan, maupun jumlah tokoh yang dilibatkan. Buku-buku bacaan yang menampilkan objek gambar secara bervariasi, bahkan mungkin dalam bentuk diagram dan model sederhana. Buku-buku bacaan narasi yang menampilkan narator yang mengisahkan cerita, atau cerita yang dapat membawa anak untuk memproyeksikan dirinya ke waktu atau tempat lain. Dalam masa ini anak sudah dapat terlibat dalam memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi tokoh protagonis atau memprediksikan kelanjutan cerita. Anak mulai dapat berpikir argumentatif dan memecahkan masalah sederhana, ada kecenderungan memperoleh ide sebagaimana yang dilakukan oleh dewasa, tetapi belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada situasi yang konkret. Pada tahap operasi formal atau tahap awal adolesen yang berlangsung pada periode 11—12 tahun ke atas ada kriteria buku bacaan sastra yang sesuai. Buku-buku cerita yang menampilkan masalah yang membawa anak untuk mencari dan menemukan hubungan sebab akibat serta implikasinya terhadap karakter tokoh. Buku-buku bacaan yang menampilkan alur cerita ganda, alur cerita yang mengandung plot dan subplot, yang dapat membawa anak untuk memahami hubungan antarsubplot tersebut, serta yang menampilkan persoalan (konflik) dan karakter yang kompleks. Karena sastra anak tradisional tersebut akan dijadikan bahan ajar siswa sekolah dasar, seyogyanya cerita anak tersebut juga terkandung nilai-nilai karakter yang dicanangkan oleh Pemerintah. Pendidikan karakter ini memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral. Pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi cara menanamkan kebiasaan (habit) tentang halhal yang baik dalam kehidupan. Hal ini 72
bertujuan agar anak/peserta didik memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi serta peduli dan komitmen menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2012: 3). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2006 Pemerintah telah menetapkan 20 nilai karakter yang akan diwujudkan pada periode tahun 2010—2025. Nilai-nilai karakter tersebut adalah a) nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan YME yang berupa nilai religius; b) nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri meliputi (1) jujur, (2) bertanggung jawab, (3) bergaya hidup sehat, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) percaya diri, (7) berjiwa usaha, (8) berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, (9) mandiri, (10) ingin tahu, dan (11) cinta ilmu; c) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama manusia meliputi (1) sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, (2) patuh pada aturan-aturan sosial, (3) menghargai karya dan prestasi orang lain, (4) santun, dan (5) demokratis; (d) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan meliputi peduli sosial dan lingkungan; (e) Nilai kebangsaaan meliputi (1) nasionalisme dan (2) menghargai keberagaman. Dengan memanfaatkanteori stuktural, teori tahapan perkembangan anak, dan nilai-nilai karakter diharapkan kesederhanaan struktur cerita dapat ditentukan, kesesuaian cerita dengan usia anak dapat ditemukan, dan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita dapat diketahui.
3.HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Ringkasan Cerita Pada mulanya Ebhi dan Khandei adalah manusia yang berteman akrab. Suatu saat, Ebhi dan Khandei pergi mencari ikan dan menemukan sebatang pohon pisang sedang terhanyut. Mereka kemudian mengambil batang tersebut dan bermaksud menanamnya. Tanpa persetujuan Khandei, Ebhi membagi batang pisang tersebut. Ebhi
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
mengambil bagian daunnya, sedangkan bagian akar dia berikan kepada Khandei. Batang pisang yang sudah dibagi, mereka tanam di darat. Beberapa hari kemudian, Ebhi datang menengok tanaman pisangnya, tetapi alangkah kecewanya karena batang pisang yang ditanamnya layu dan kering. Ebhi kemudian menengok tanaman pisang Khandei, dan alangkah kagetnya karena pohon pisang Khandei muncul tunas baru. Peristiwa tersebut menimbulkan perasaan kurang enak dan seketika timbul niat jahat Ebhi untuk memiliki pohon pisang tersebut. Ebhi kemudian memberi tanda pada pohon pisang Khandei dengan tebu hutan (kelei). Sementara itu, di hari berikutnya Khandei datang menengok tanaman pisangnya dan sangat terkejut karena pohon pisangnya telah diberi tanda oleh orang lain. Khandei kemudian mengganti tanda tersebut dengan memagari pohon pisangnya dengan lumut (neli). Bongkar membongkar tanda pada pisang Khandei ini terjadi sampai pisang tersebut masak dan siap dipanen. Ketika telah masak, pisang tersebut dipanen oleh Ebhi. Ebhi membawa masuk pisang tersebut ke tengah-tengah kebun dan membakarnya. Pada saat yang bersamaan datanglah Khandei menengok pisangnya dan bermaksud memetiknya. Alangkah marah dan kecewanya Khandei karena pisangnya telah dipetik orang. Khandei mengarahkan pandangannya ke berbagai penjuru. Dari kejauhan Khandei melihat ada asap di tengah kebun. Dengan amarah yang tertahan dia mendatangi tempat tersebut. Alangkah terkejutnya Khandei ketika mengetahui bahwa yang membakar pisangnya adalah sahabatnya, Ebhi. Khandei kemudian menegur Ebhi. Tanpa perasaan bersalah Ebhi mengajak Khandei untuk makan pisang bersama. Khandei hanya bisa menahan amarah. Sambil membakar bagian ujung pisang paling bawah yang disebut phuli, Khandei menyusun rencana untuk membalas Ebhi. Setelah menjadi bara, Khandei memanggil Ebhi dan menusukkan bara pisang ke mata Ebhi. Ebhi berteriak kesakitan lari ke sana ke mari dan berubah menjadi burung hitam.
Sementara Khandei yang ketakutan lari terbirit-birit, terjun ke air dan seketika berubah menjadi kecil. 3.2 Struktur Cerita Analisis struktur cerita digunakan untuk mengetahui tingkat kompleksitas struktur cerita Ebhi dan Khandei. Analisis struktur cerita Ebhi dan Khandei meliputi analisis alur, tokoh, latar, tema, dan stile. 3.2.1 Alur Tahap situation alur cerita Ebhi dan Khandei berisi informasi asal-usul Ebhi dan Khandei serta hubungan sosial keduanya. Di sana dijelaskan bahwa tokoh Ebhi yang saat ini berwujud burung dan tokoh Khandei yangsaat iniberwujud ikan pada mulanya adalah dua orang manusia yang saling berteman akrab. Pada suatu ketika dua sahabat ini pergi ke sungai. Di sana mereka menemukan sebatang pohon pisang yang hanyut di sungai. Penemuan sebatang pohon pisang oleh dua orang sahabat ini memunculkan konflik di antara mereka sehingga membawa perkembangan alur cerita dari tahap situation ke tahap generating circumstances. Konflik terjadi ketika dua orang sahabat ini sama-sama ingin memiliki sebatang pohon pisang tersebut. Namun demikian, konflik tidak menajam karena kedua sahabat itu berhasil menemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut, yakni membagi dua pohon pisang tersebut untuk mereka tanam. Ebhi mendapat bagian ujung pohon, sedangkan Khandei mendapat bagian pangkal pohon. Konflik yang tadinya sempat mereda muncul kembali ketika Ebhi mendapati kenyataan bahwa ujung batang pisang yang ditanamnya mati, sementara pangkal batang pisang yang ditanam Khandei hidup. Kondisi ini mendorong hasrat Ebhi untuk memiliki pohon pisang Khandei. Hasrat Ebhi untuk menguasai pohon pisang milik Khandei ini dia wujudkan dengan jalan memagari pohon pisang milik Khandei tersebut dengan kelei (tebu hutan). Tidak terima pohon pisangnya dirampas orang 73
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
lain Khandei pun membongkar pagar kelei tersebut dan menggantinya dengan neli (lumut). Konflik terbuka kedua tokoh untuk memperebutkan pohon pisang ini membawa alur cerita ke tahapan ricing action. Peristiwa ganti-mengganti pagar pohon pisang yang dilakukan kedua tokoh sebagai penanda kepemilikan pohon pisang tersebut terus berlangsung hingga pohon pisang tersebut berbuah. Konflik semakin memuncak ketika Khandei mendapati pohonpisangnya sudah ditebang orang dan buah pisang yang sudah mengkal juga hilang. Peristiwa hilangnya pisang Khandei tersebut menimbulkan amarah yang menggelora pada diri Khandei. Rasa amarah tersebutmendorongnya untuk mencari dan menemukan pelaku pencurian pisang tersebut. Setelah sekian lama mencari akhirnya Khandei menemukan pelaku pencurian buah pisangnya, yang tidak lain adalah Ebhi. Peristiwa penemuan pelaku pencurian pisang milik Khandei ini mengantarkan alur pada tahap klimaks cerita. Dengan menahan amarahnya Khandei menyusun rencana untuk membalas Ebhi. Dengan berpura-pura membantu membersihkan kotoran mata Ebhi, Khandei mencolokkan bara pisang puli (bagian paling bawah pisang yang berdekatan dengan jantung pisang) ke mata Ebhi. Setelah dicolok matanya dengan bara pisang Ebhi berlari sambil berteriak-teriak kesakitan. Sementara itu, Khandei melarikan diri dengan menceburkan diri ke air dan berubah menjadi ikan. Peristiwa ini sekaligus mengantarkan alur ke tahap denoment. Berdasarkan analisis alur yang telah dilakukan, ditemukan bahwa alur cerita Ebhi dan Khandaimenggunakan alur linear dengan konflik seseorang dengan orang lain dalam hal ini antara Ebhi dan Khandei. 3.2.2 Tokoh Cerita Ebhi dan Khandai hanya menampilkan tokoh dalam jumlah yang terbatas, yaitu dua tokoh. Kedua tokoh tersebut adalah Khandei dan Ebhi. Pada bagian awal cerita tokoh Ebhi digambarkan 74
sebagai tokoh yang baik, terlihat dari hubungannya yang harmonis dengan Khandei. Akan tetapi, watak jahatnya sudah mulai tampak secara tersamar pada saat Ebhi membagi batang pohon pisang menjadi dua dan Ebhi langsung memilih bagian ujung batang pohon tanpa menawarkannya terlebih dahulu kepada Khandei untuk menentukan pilihannya. Watak jahat Ebhi semakin terlihat jelas ketika pohon pisang miliknya mati, dan Ebhi berusaha merebut pohon pisang milik Khandai yang tetap hidup dengan cara memagari pohon pisang milik Khandai dengan kelei (tebu). Secara terbuka tokoh Ebhi sudah mempertontonkan perilaku jahatnya dengan cara mengambil buah pisang milik Ebhi, kemudian membakar dan memakannya. Bahkan, ketika Khandei berhasil menangkap basah perbuatan jahatnya itu Ebhi tidak melakukan permohonan maaf kepada Khandei sebagai pemilik buah pisang. Sebaliknya, meskipun tindakan Khandei mencolokkan bara pisang phulike mata Ebhitidak dapat dikatakan sebagai tindakan yang terpuji, tindakan tersebut hanyalah reaksi spontan dari seorang tokoh yang belum memiliki kematangan kejiwaan terhadap permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, tokoh Ebhi tidak dapat dikategorikan sebagai tokoh berwatak jahat. Kedua tokoh tidak mengalami perubahan watak. Tokoh Khandei yang sejak awal berkarakter baik, tetap berkarakter sebagai tokoh yang baik, sementara tokoh Ebhi sebagai tokoh yang jahat tetap jadi tokoh yang jahat sampai akhir. Karena tidak terjadi perubahan karakter kedua tokoh sejak awal sampai akhir cerita, tokoh Ebhi dan Khandei dikategorikan sebagai tokoh yang berwatak datar (flatcharacter). Meskipun tokoh yang ditampilkan berwatak datar, teknik pengungkapan tokohnya dilakukan secara tidak langsung atau dramatik. Karakter tokoh dapat diketahui melalui perilaku, hubungan antar tokoh, dan perbuatan tokoh. Karakter tokoh Ebhi sebagai tokoh yang berwatak jahat,
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
terungkap dari sikap dan perbuatannya terhadap Khandei. Demikian juga tokoh Khandei sebagai tokoh yang baik, terungkap dari perilakunya terhadap tokoh Ebhi. Jadi watak tokoh akan muncul dan diketahui melalui hubungannya dengan tokoh lain. 3.2.3 Latar Cerita Ebhi dan Khandei hanya menampilkan satu latar, yaitu latar tempat. Latar tempat tidak digambarkan secara rinci, baik menyangkut nama maupun letak tempat peristiwa itu berlangsung. Informasi latar tempat disampaikan dengan menggunakan teknik atmosfer, yaitu latar yang berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 243). Berdasarkan penggambaran atmosfer latar tempat dalam cerita Ebhi dan Khandei, seperti pagar yang terbuat dari lumut (neli). tebu hutan (kelei), dapat disimpulkan bahwa latar kejadian cerita berada di sekitar wilayah yang berair. Di Papua, wilayah berair ini biasanya terdapat di sekitar rawa atau danau yang memang banyak terdapat di Papua. Adapun latar tempat ini meliputi sungai tempat ditemukannya batang pohon pisang, daerah tempat batang pohon pisang ditanam, dan kebun tebu tempat Ebhi membakar dan memakan pisang jarum (emfau kheaja) milik Khandei. 3.2.4 Tema dan Pesan Moral Cerita Ebhi dan Khandei bertema kejahatan mendatangkan malapetaka. Dalam cerita, perbuatan jahat itu dilakukan baik oleh tokoh antagonis maupun tokoh protagonis. Sepanjang cerita, Ebhi, sang tokoh antagonis secara tersamar maupun secara terbuka melakukan tindakan jahat. Akibat tindakan jahat yang dilakukan itu Ebhi kehilangan teman bermainnya, yaitu Khandei. Apayang dialami Ebhi tidak hanya sebatas kehilangan sahabat akrabnya, lebih dari itu Ebhi bahkan mendapatkan musuh baru yang tadinya merupakan sahabat akrabnya. Malapetaka yang dialami
Ebhi tidak berhenti di situ, pada akhir cerita digambarkan Ebhi harus menerima kutukan berubah wujud menjadi seekor burung hitam. Meskipun tidak seburuk perbuatan yang dilakukan tokoh antagonis, tokoh protagonis dalam cerita Ebhi dan Khandai juga melakukan tindakan yang kurang terpuji. Meskipun tindakan balas dendam yang dilakukan Khandei hanyalah sebatas reaksi spontan terhadap peristiwa yang menimpanya, tindakan tersebut tetap saja mengakibatkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Bagi orang lain, tindakan mencolokkan bara api ke mata Ebhi tentu akan mengakibatkan kerusakan mata. Bagi diri sendiri, akibat tindakan balas dendam yang dilakukan, dia harus menerima kenyataan berubah diri menjadi seekor ikan merah. Adapun pesan moral yang dapat ditemukan dari cerita Ebhi dan Khandei adalah dilarang mengambil hak orang lain. Dalam cerita, hak tersebut digambarkan dalam bentuk makanan, yaitu pisang. Pesan moral ini begitu sederhana, tetapi jika direnungkan dan dicermati secara saksama, pelanggaran terhadap larangan ini masih sangat sering terjadi di sekitar kita, baik dilakukan secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Pesan moral ini penting untuk diketahui oleh anak-anak kita. Mengambil hak orang lain merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dalam cerita, malapetaka yang timbul akibat mengambil hak orang lain digambarkan antara lain dalam bentuk kerusakan persahabatan, kehilangan sahabat, permusuhan. dan menimbulkan perselisihan. 3.2.5 Stile Stile suatu cerita dapat ditentukan berdasarkan unsur kata (leksikal) dan unsur kalimat (gramatikal). 3.2.5.1 Unsur Leksikal Berdasarkan derajat kompleksitas kata yang digunakan, cerita Ebhi dan Khandei 75
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
dapat dikategorikan sebagai cerita yang memiliki stile yang sederhana. Kesederhanaan pemakaian kata itu terlihat dari dominannya pemakaian bentuk dasar jika dibandingkan dengan bentuk berimbuhan pada semua kelas kata yang terdapat di dalam cerita. Secara keseluruhan perbandingan pemakaian bentuk dasar dan bentuk berimbuhan pada cerita Ebhi dan Khandai dapat dilihat pada tabel berikut. Perbandingan Pemakaian Kata Cerita Ebhi dan Khandai Jenis Kata
Kata Dasar
KataBerimbuhan
Jumlah
Kata Benda
269
29
298
Kata Kerja
57
70
119
Kata Sifat
26
6
32
Kata Bilangan
8
3
11
Kata Tugas
234
17
249
Jumlah Total
604
125
709
Berdasarkan derajat keformalan kata yang digunakan, cerita Ebhi dan Khandei dapat dikategorikan sebagai cerita yang menggunakan kata kolokial. Cerita Ebhi dan Khandei banyak menggunakan kata kolokial yang berasal dari dialek Melayu Papua. Kecenderungan penggunaan kata kolokial yang berasal dari dialek Melayu Papua ini dapat dilihat pada hampir keseluruhan cerita. Penggunaan kata kolokial yang berasal dari dialek Melayu Papua ini dapat ditemukan baik pada dialog antartokoh maupun pada paparan pencerita ketika berkisah tentang kedua tokoh. Pemakaian kata kolokial yang berasal dari dialek Melayu Papua ini terlihat pada kata kamu dua yang bermakna kamu, sa pu yang bermakna punya saya, bongkar pagar, Khandei punya, Ebhi buat, mau bikin bersih, bikin bersih,ia buat; datang lihat; bikin pagar ini; mereka dua; kamu punya matasaya lihatkawan pu mata ada kotoran, kenapa kamu tebang/curi saya punya pisang, mari…mari…mari sudah kawan. Berdasarkan frekuensi pemakain makna kata yang digunakan, cerita Ebhi dan Khandei dapat dikategorikan sebagai cerita yang cenderung menggunakan kata 76
bermakna denotatif. Meskipun demikian, kendala pemaknaan cerita akan terjadi jika cerita ini dikonsumsi oleh anak yang tinggal di luar Papua. Hal ini disebabkan karena cerita ini lebih banyak menggunakan kosa kata yang berasal dari dialek Melayu Papua. 3.2.5.2 Unsur Gramatikal Pada tingkat gramatika, kesederhanaan sebuah cerita dapat dilacak melalui tiga komponen struktur gramatikal yaitu kompleksitas kalimat, Jenis kalimat. Jenis klausa dan frasa. 3.2.5.2.1 Kompleksitas Kalimat Pada tingkat kalimat (gramatikal), kompleksitas cerita Ebhi dan Khandei juga sama dengan unsur leksikal, yaitu berkategori sederhana. Kesederhanaan ini terlihat pada jumlah kata dalam cerita itu dalam satu kalimat, yakni rata-rata 7—36 kata. Kesederhanaan juga terlihat dari bentuk kalimat yang memiliki struktur kalimat yang sederhana karena masih dibentuk dari sebuah klausa yang unsur-unsurnya berupa kata atau frasa sederhana. Contohnya “Suatu saat, Ebhi dan Khandei pergi mencari ikan” (alinea ke-1). Dilihat dari bentuknya kalimat ini masih tergolong ke dalam struktur kalimat yang sederhana karena masih dibentuk dari sebuah klausa yang unsur-unsurnya berupa kata atau frasa sederhana. Menurut Chaer (1994:380) kalimat sederhana itu dibentuk dari sebuah klausa yang unsur-unsurnya berupa kata atau frasa sederhana. Seperti terlihat kalimat ini hanya memiliki komponen yang terdiri dari, yaitusubjek (Ebhi dan Khandei), predikat (pergi mencari), objek (ikan), dan keterangan (suatu saat). Kesederhanaan dapat juga ditemukan pada penggunaan kalimat majemuk setara yang dominan pada cerita. Dalam cerita Ebhi dan Khandai ini variasi bentuk kalimat yang memiliki dua buah klausa tetapi masih dikategorikan sebagai kalimat setara di antaranya seperti “Kemudian Ebhi bongkar pagar lumut itu dan mengganti pagar dengan
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
tebu hutan lagi)” (alinea ke-4). Kalimat ini merupakan kalimat majemuk setara yang hubungan klausa-klausanya menyatakan makna ’pengurutan’. Kalimat majemuk ini dibentuk dari dua buah klausa yang digabungkan menjadi sebuah kalimat. Kalimat majemuk setara ini ditandai dengan penggunaan kata penghubung kemudian dan dan. Kedudukan klausa-klausa di dalam kalimat majemuk setara ini sama derajatnya, yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain; atau yang satu tidak mengikat atau terikat pada yang lain. Klausa “Kemudian Ebhi bongkar pagar lumut itu” sederajat kedudukannya dengan “(Ebhi) mengganti pagar dengan tebu hutan lagi”. Variasi lain yang lebih kompleks terdapat pula dalam cerita ini, seperti terlihat pada kalimat, “Persoalan bongkar pasang pagar tebu hutan dan lumut ini terjadi berulang kali, hingga tanpa disadari pohon pisang itu sudah berbuah dan buahnya sudah setengah matang dan enak sekali untuk dimakan.” Kalimat ini termasuk kalimat kompleks yang dibentuk dari tiga klausa yang kedudukan klausa-klausanya itu merupakan campuran dari struktur kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Chaer (1994: 394) mengatakan bahwa kalimat kompleks adalah kalimat yang dibentuk dari tiga klausa yang kedudukan klausa-klausanya itu merupakan campuran dari struktur kalimat setara dan struktur kalimat bertingkat. Kalimat tersebut penggabungannya dibantu dengan berbagai kata penghubung, baik yang biasa dipakai dalam kalimat setara dan maupun yang biasa dipakai dalam kalimat bertingkat hingga. Kalau dibagankan struktur klausa-klausanya adalah sebagai berikut.
Walaupun variasi kalimat seperti ini kadang muncul namun kemunculannya dalam cerita agak jarang sehingga dikatakan bahwa cerita ini pada tataran gramatikalnya masih berkategori sederhana. 3.2.5.2.2 Jenis Kalimat Berbagai jenis kalimat dipergunakan dalam cerita Ebhi dan Khandei. Dari penelusuran ditemukan beberapa jenis kalimat, antara lain kalimat deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu), kalimat imperatif (kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan), kalimat interogatif (kalimat yang mengandung makna pertanyaan), kalimat minor (kalimat yang tidak lengkap fungtor-fungtornya, berupa minor berita, perintah, tanya, dan seru). Beberapa contoh kalimat berita, seperti “Suatu saat Ebhi dan Khandei pergi mencari ikan.” (alinea ke-1)dan “Ebhi sedang membakar pisang jarum yang tidak lain adalah pisang milik Khandei yang ditebang secara sembunyi-sembunyi oleh Ebhi” (alinea ke6)termasuk kalimat deklaratif. Hampir semua kalimat dalam cerita ini termasuk kalimat deklaratif,kalimat yang isinya menyatakan berita atau pernyataan untuk diketahui oleh orang lain (pendengar atau pembaca). Kalimat-kalimat berita dalam cerita ini ada yang dibentuk dari sebuah klausa, dua buah klausa, bahkan tiga buah klausa; atau dalam wujud kalimat sederhana, kalimat luas, kalimat setara, kalimat bertingkat, maupun kalimat kompleks, sesuai dengan besarnya atau luasnya isi berita yang ingin disampaikan. Sesekali terdapat pula pemakaian kalimat interogatif, seperti “Hei...Ebhi, kenapa kamu tebang/curi saya punya pisang?” (alinea ke-7). Kalimat tanya ini bermaksud meminta jawaban berupa ‘alasan’. Di pihak lain, tidak ada satu pun kalimat imperatif dalam cerita tersebut, begitu pula kalimat minor (kalimat yang tidak lengkap fungtor-fungtornya). Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jenis kalimat yang menonjol dalam cerita ini adalah kalimat 77
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
deklaratif (kalimat yang menyatakan sesuatu). Dominansi pemakaian jenis kalimat tersebut berfungsi untuk memperkuat efek estetis dan memperjelas pesan. 3.2.5.2.2 Jenis Klausa dan Frasa Berdasarkan penelusuran, jenis klausa dan frasa bervariasi. Jenis klausa yang terdapat dalam cerita ini terdiri dari klausa adverbial, koordinasional, temporal, nominal, verbal, dan nonverbal. Sementara itu frasa dalam cerita ini terdiri atas frasa adverbial, adjektival, koordinatif, nominal, dan verbal. Berikut beberapa contoh frasa dan klausa yang dimaksud.Beberapa contoh frasa dalam cerita, antara lain satu tandan, (merupakan frasa nominal berstruktur DM), pagar lumut, pisang jarum merupakanfrasa nominal berstruktur DM. Beberapa frasa verbal, antara lain bongkar pagar, suka makan (frasa verbal berstruktur MD). Frasa ajektival, antara lain marah sekali, enak sekali, dan berani sekali (frasa ajektival berstruktur DM). Di pihak lain, ada pula frasa adjektival berstruktur MD, seperti sudah matang, paling kecil. Sementara itu frasa preposisi juga terdapat dalam cerita ini. Frasa preposisi yang biasa menjadi unsur K di dalam kalimat mempunyai struktur; unsur pertama berupa kata depan dan unsur kedua berupa kata benda atau frasa benda (Chaer, 1994: 373), seperti dengan tebu hutan, di darat, dari danau, ke berbagai penjuru. Berbeda dengan frasa nominal atau verbal pada frasa preposisi tidak ada unsur D dan unsur M karena kedua unsur pembentuk frasa preposisi itu secara bersama-sama membentuk satu kesatuan bahasa yang tidak dapat dipisahkan. Selain frasa preposisi, frasa keterangan (adverbial) juga terdapat dalam cerita ini. Sebagaimana dikatakan Chaer (1994: 373) bahwa frasa adverbial yang biasa menjadi unsur K di dalam kalimat mempunyai struktur; unsur pertama berupa kata penghubung dan unsur kedua berupa kata keterangan atau kata-kata lain. Contoh ad78
verbial dalam cerita tersebut, secara sembunyi-sembunyi. Sama dangan frasa preposisi pada frasa adverbialpun tidak ada unsur D dan unsur M. Kedua unsur pembentuk frasa keterangan itu secara bersama-sama membentuk satu kesatuan bahasa yang tidak dapat dipisahkan. Seperti halnya frasa, klausa dalam cerita Ebhi dan Khandei juga bervariasi. Ada klausa adverbial dan ada pula klausa koordinasional. Sebagai contoh “Diakaget dan marah-marah karena pagar pohon pisang dari tebu hutan (kelei) sudah dibongkar dan diganti dengan pagar lumut (neli). Kalimat ini terdiri atas tiga klausa, yaitu (i) Dia kaget, (ii) (dia) marah-marah, (iii) Dia kaget dan marah-marah karena pagar pohon pisang dari tebu hutan (kelei) sudah dibongkar dan diganti dengan pagar lumut (neli). Subjek ketiga klausa itu sama, yaitu dia. Klausa pertama dan kedua dihubungkan dengan konjungtor dan. Klausa ketiga dihubungkan dengan konjungtor dengan. Dari kalimat ini dapat pula dikatakan bahwa ketiga klausa di dalamnya terdapat klausa koordinasional yang ditandai dengan konjungtor dan, serta klausa adverbial yang ditandai dengan konjungtor karena. Selain itu, dalam cerita ini terdapat pula klausa verbal seperti pada Khandei datang lihat (aline ke-3). Klausa verbal ditandai dengan predikat klausa tersebut adalah berkategori verbal (datang). Begitu pula terlihat adanya klausa ajektival seperti dalam Khandei rajin membersihkan dan merawat pohon pisang tersebut. Klausa ajektival di sini ditandai dengan predikat klausa yang berkategori ajektif (rajin). 3.3 Kandungan Nilai Karakter Ada dua kandungan nilai karakter yang terdapat di dalam cerita Ebhi dan Khandei, yaitu jujur dan patuh pada aturan-aturan sosial. Cerita Ebhi dan Khandei menawarkan pentingnya karakter jujur yang harus dimiliki setiap orang. Dalam cerita ini pesan tersebut disampaikan secara tidak langsung. Melalui peristiwa yang terdapat dalam
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
rangkaian alur cerita tergambar bahwa perbuatan tidak jujur dapat mengakibatkan hilangnya teman akrab, terjadi permusuhan, dan hidup tidak tenang. Penggambaran hidup yang tidak tenang dapat dilihat pada tokoh Ebhi yang setiap saat harus mengganti tanda pada pisang milik Khandei dan juga tidak nyaman saat menikmati pisang milik Khandei karena harus bersembunyi dari Khandei. Sikap jujur merupakan salah satu dari karakter yang dicita-citakan oleh pemerintah yang akan terbentuk pada diri anak-anak Indonesia. Karakter jujur ini terdapat pada bagian nilai karakter yang berhubungan dengan diri sendiri. Karakter jujur bahkan menjadi urutan paling pertama pada bagian nilai karakter yang berhubungan dengan diri sendiri. Artinya, sikap jujur merupakan sikap yang diutamakan di dalam pembentukan karakter anak-anak Indonesia sebelum karakter-karakter lainnya. Selain karakter kejujuran, cerita ini juga mengandung nilai karakter patuh pada aturan sosial. Nilai karakter patuh pada aturan sosial ini melarang setiap anggota masyarakat melakukan perbuatan yang dilarang dan apabila seseorang anggota masyarakat melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Pada cerita Ebhi dan Khandei ini perbuatan terlarang tersebut digambarkan sebagai perbuatan mencuri dan membalas dendam. Larangan ini dimunculkan secara tidak langsung. Pesan disampaikan melalui peristiwa yang dialami oleh tokoh Ebhi dan musibah yang menimpanya akibat perbuatan mencuri. Kerasnya sanksi sosial terhadap perbuatan mencuri dan membalas dendam disampaikan secara simbolis melalui perubahan wujud pada tokoh yang melakukan perbuatan tersebut. Ebhi yang mencuri berubah wujud menjadi burung hitam, sementara Khandei yang membalas dendam berubah wujud menjadi ikan.
3.4 Kesesuaian Cerita Ebhi dan Khandei dengan Tahapan Perkembangan Usia Anak Analisis struktur menemukan bahwa struktur cerita Ebhi dan Khandei berkategori sederhana. Kesederhanaan struktur ini terwujud melalui alur cerita yang linear atau alur maju, tokoh cerita yang ditampilkan berjenis tokoh datar dengan pengungkapan teknik dramatik yang sederhanadan jumlahnya terbatas, latar cerita yang ditampilkan berujud latar konkrit dan jumlahnya terbatas, tema dan masalah yang ditampilkan merupakan tema yang sederhana dan sering dijumpai dalam kehidupan keseharian, kosa kata yang digunakan sebagai sarana pengungkapan lebih dominan berbentuk kata dasar, bermakna denotatif, dan berupa kata kolokial, serta kalimat yang digunakan lebih didominasi kalimat sederhana, kalimat majemuk setara, dan kalimat deklaratif. Menurut Piaget (dalam Nurgiyantoro, 2010:14) cerita dengan karakteristik seperti ini akan sesuai apabila diberikan pada anak yang berada pada tahap operasional konkret yang berlangsung pada periode 7—11 tahun. Menurutnya buku bacaan sastra yang sesuai untuk anak pada tahap operasional konkret antara lain adalah bukubuku bacaan yang menampilkan cerita yang sederhana, baik yang menyangkut masalah yang dikisahkan, cara pengisahan, maupun jumlah tokoh yang dilibatkan. Pada tahap ini anak sudah dapat memikirkan dan memecahkan persoalan yang dihadapi tokoh protagonis. Anak mulai dapat berpikir argumentatif dan memecahkan masalah sederhana. Hal ini juga diyakini oleh kaum Freudian, Erikson (dalam Crain, 2007: 171, 460) yang menyebut periode ini dengan nama periode latensi. Pada periode ini anak sudah dapat melihat perspektif yang berbeda pada sebuah masalah dan dapat bekerja secara logis. Meskipun begitu, anak pada tahap ini belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan berpikirnya masih terbatas pada objek dan aktivitas-aktivitas yang konkret.
79
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
Selain berstruktur sederhana sehingga dapat dijadikan bacaan untuk anak berusia 7—11 tahun, cerita Ebhi dan Khandei juga mengandung nilai-nilai karakter yang hendak diwujudkan pemerintah. Nilai karakter yang terdapat dalam cerita ini antara lain adalah nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang berupa karakter jujur dan nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama manusia yang berupa karakter patuh pada aturan-aturan sosial. Meskipun disampaikan secara ironik, anak-anak seusia 7—11 tahun akan dapat mengambil hikmah dari cerita yang dibaca ini. Seperti sudah disampaikan dalam bagian sebelumnya, ketidakjujuran dan ketidaktaatan pada aturan-aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat yang dilakukan tokoh cerita mengakibatkan rusaknya hormoni hidup dalam masyarakat.
4. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, struktur cerita Ebhi dan Khandei dapat dikategorikan sebagai cerita yang berstruktur sederhana. Kesederhanaan struktur ini terwujud melalui alur cerita yang linear atau alur maju; tokoh cerita berjenis tokoh datar dan jumlahnya terbatas,meskipun ditampilkan dengam teknik dramatik sederhana; dan latar cerita yang ditampilkan berujudlatar konkrit dan jumlahnya terbatas; serta tema dan masalah yang ditampilkan merupakan tema yang sederhana dan sering dijumpai
dalam kehidupan keseharian. Adapun kesederhanaan aspek stile terlihat dari kosa kata yang digunakan sebagai sarana pengungkapan yang lebih dominan berbentuk kata dasar, bermakna denotatif, dan berupa kata kolokial, dan kalimatyang digunakan didominasi kalimat sederhana, kalimat majemuk setara, kalimat deklaratif. Di samping berstruktur sederhana, cerita Ebhi dan Khandei juga mengandung nilai karakter yang hendak diwujudkan oleh pemerintah. Nilai karakter tersebut antara lain adalah karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang berupa karakter jujur dan nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama manusia yang berupa karakter patuh pada aturan-aturan sosial. Oleh karena itu, cerita Ebhi dan Khandei dapat dijadikan bacaan pada anak yang berusia 7—11 tahun atau anak sekolah dasar. Meskipun cerita Ebhi dan Khandei dapat dijadikan bacaan untuk anak sekolah dasar terdapat beberapa bagian cerita yang perlu disempurnakan. Bagian tersebut antara lain cara penyelesaian konflik cerita dengan menggunakan tindakan balas dendam dan pemakaian dialek lokal yang masihbanyak ditemukan dalam cerita ini. Penyempurnaan penggunaan bahasa ini dimaksudkan agar pembaca di luar Papua tidak mengalami hambatan dalam memahami isi dan pesan cerita tersebut.
5. DAFTAR PUSTAKA Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra:Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran. Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat: Untuk Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer, Abdul. 1994. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta:Bhratara. Citraningtyas,Clara Evi. “Sastra Anak: Edutainment dengan Catatan”. www.academia.edu/816363/ Sastra_Anak_Edutainment_dengan_Catatan. Diunduh tanggal tgl 26-7-2013. Crain, William. 2007. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Herminingsih, Niken dan Sastriyani, Sitti Hariti. 2010. “Penggalian Kearifan Lokal dalam Rangka Pengembangan Model Penciptaan Karya Sastra Anak”. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. 80
MUNTIHANAH: CERITA EBHI DAN KHANDEI SEBAGAI BAHAN BACAAN ANAK
Karyanto, Puji.2004.”Pembentukan Karakter Anak Menurut Teks Cerita Rakyat Ranggana Putra Danang Balaraja: Kajian Pragamatik”. Surabaya: Fakultas Sastra, Universitas Airlangga. Kutha Ratna, Nyoman. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postruktrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mu’jizah. 2014. “Representasi Anak dalam Karya Arswendo Atmowiloto: studiCeritaAnak Tahun 1970an”Kandai: Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 10. No.2 November 2014. Mulyasa, H.E. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara. Muntihanah, dkk. 2012. “Inventarisasi Sastra Lisan (Masyarakat Asei Besar Sentani Timur)”. Jayapura. Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010—2025. Jakarta: Pemerintah RI. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor. Sidik, Umar.2012.”Cerita Bergambar untuk PAUD/TK (Kajian Terhadap Tema, Pesan Moral, dan Kesesuaiannya dengan Usia Perkembangan Anak)”Widyaparwa: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan KesastraanVol. 40. No. 1 Juni 2012. Tarigan, Henry Guntur. 2011 (edisi revisi). Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
81
METASASTRA, Vol. 9 No. 1, Juni 2016: 67—82
82