perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+ PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
TESIS
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Ilmu Biomedik
OLEH : SUNARDO BUDI SANTOSO NIM S500907029
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+ PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
Disusun oleh : Sunardo Budi Santoso S500907029
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I Prof. Em. DR. Muhardjo, DHA, dr.Sp. THT-KL(K) ..................... NIP. 030 124 167 Pembimbing II Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si NIP. 1967 0215 199403 2 001
......................
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK commit to user NIP. 19480313 197610 1 001 ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+ PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
Disusun oleh : Sunardo Budi Santoso S500907029
Telah disetujui oleh Tim Penguji Rabu, 27 Juli 2011
Jabatan Ketua
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK …………………… NIP. 1948 0313 197610 1 001
Sekretaris Prof. Bhisma Murti, dr. MPH, M.Sc., PhD NIP. 1955 1021 199412 1 001 Anggota Penguji 1. Prof. Em. DR.Muhardjo, DHA, dr. Sp. THT-KL (K) NIP. 030 124 167 2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si NIP. 1967 0215 199403 2 001
................................
……………………
……………………
Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana
Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK NIP. 19570820 198503 1 004 NIP. 19480313 commit to user 197610 1 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Sunardo Budi Santoso NIM : S500907029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant terhadap Ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated adalah betul - betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar , maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, April 2011 Yang Membuat Pernyataan
Sunardo Budi Santoso NIM. S500907029
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur kepada Allah SWT yang Maha kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai selesainya karya ilmiah akhir ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher dari Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD. dr Moewardi Surakarta dan gelar Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat: 1. Prof. Emeritus. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp THT-KL (K), selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, dan bimbingan pada penelitian ini. 2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si, yang telah membimbing dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini. 3. dr. Made Setiamika, Sp THT-KL sebagai pembimbing Sub. Bagian Ongkologi dan selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit THT di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. dr. Mochamad Arief TQ, MS, yang telah membimbing dalam bidang statistik dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini. 5. dr. Sarwastuti Hendradewi, Sp.THT-KL. Msi.Med, selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta . 6. Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK, selaku Ketua program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki. MMR, yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian pada penulis. 8. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. DR. Zaenal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR yang telah memberikan kesempatan pendidikan kepada penulis. 9. Direktir Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan Magister Kedokteran Keluarga. 10. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PPDS I IK. THT-KL) dan program pendidikan Magister kedokteran keluarga. 11. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh staf THT-KL FK UNS yang kami hormati : a. dr. Djoko Sindhu Sakti, Sp THT-KL (K), MBA, MARS, Msi commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. dr. Sudarman, Sp THT-KL (K) c. dr. Sutomo Sudono, Sp THT-KL (K) d. Almarhum dr. Chairul Hamzah, SP THT-KL(K) e. dr. Sudargo, Sp THT f. dr. Bambang Suratman, Sp THT-KL (K) g. dr. Hadi Sudrajad, Sp.THT-KL, Msi.Med. h. dr. Imam Prabowo, Sp.THT-KL i. dr. Vicky Eko Nurcahyo H, Sp. THT-KL. M.Sc. j. dr. Putu Wijaya Kandhi, Sp.THT-KL k. dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes yang telah berperan besar dalam proses pendidikan penulis dan penyelesaian penelitian ini. 12. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 13. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. DR. Ambar Mudigdo, dr. Sp. PA (K), selaku Kepala laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah mengijinkan peneliti melakukan penelitian di bagian Laboratorium Biomedik. 14. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Bhisma Murti, dr. MPH, M.Sc, PhD, selaku Kepala laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Staf commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengajar Pascasarjana Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah membantu menganalisis hasil penelitian. 15. Teman sejawat residen THT, seluruh paramedis RSUD dr.Moewardi dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung. 16. Kedua orang tua (Bpk. Radiwan dan Ibu Supiyah) / mertua (Bpk H. KRT. Joko Paryanto dan almarhum Ibu Kusumawati) dan Kakak – Kakakku (Suwarno, Suwaryo, Suwarni, Surati, Sudiyah, Suciatun dan Wawan) serta adik-adikku (Sukardiyo dan Eva Dona Susanti) dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan semangat serta biaya kepada penulis. 17. Khususnya untuk istri tersayang dan membanggakan (Betti Falentina) dan anakku tercinta (Bella Sofiyana Kusuma) , terima kasih yang tidak terhingga atas segala keiklasan, kesabaran, pengertian, dorongan semangat, curahan kasih sayang dan doa tulusnya untuk penulis sehingga penelitian ini selesai. Penulis sadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan dan mohon kiranya dapat mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih bermanfaat. Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulustulusnya kepada semua dosen, teman sejawat, paramedis dan karyawan di lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Program Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Surakarta atas semua kesalahan dan kekhilafan selama menempuh Pendidikan Dokter Spesialis dan Magister Kesehatan. Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien Surakarta, April 2011 Penulis
Sunardo Budi Santoso
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...............................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................
iii
SURAT PERNYATAAN
...................................................................
iv
KATA PENGANTAR .............................................................................
v
DAFTAR ISI
...............................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xvi
DAFTAR TABEL
..............................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xx
DAFTAR SINGKATAN
xxi
..................................................................
ABSTRAK .............................................................................................. xxiii-xxiv
BAB I. PENDAHULUAN
..................................................................
1
1.1. Latar Belakang Penelitian ...................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ...............................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................
6
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................
6
1.3.2. Tujuan Khusus ..........................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian ..............................................................
7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. commit to user
8
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.. Karsinoma Nasofaring ......................................................
8
2.1.1. Anatomi
..................................................................
8
2.1.2. Histologi
..................................................................
9
2.1.3. Epidemiologi ...............................................................
9
2.1.4. Etiologi
..................................................................
11
2.1.4.1.
Genetik .....................................................
11
2.1.4.2.
Lingkungan ...............................................
12
2.1.4.3.
Virus Epstein Barr ....................................
13
2.1.5. Diagnosis ..................................................................
14
2.1.5.1.
Gejala Klinis ............................................
14
2.1.5.2.
Pemeriksaan Nasofaring ..........................
16
2.1.5.3.
Radiologi ..................................................
16
2.1.5.4.
Serologi .....................................................
17
2.1.5.5.
Pemeriksaan Patologi ...............................
18
2.1.6. Klasifikasi ..................................................................
19
2.1.7. Penentuan Stadium......................................................
20
2.1.8. Pengobatan ..................................................................
22
2.1.8.1.
Radioterapi ...............................................
22
2.1.8.2.
Kemoterapi ...............................................
31
2.1.8.3.
Kemoterapi neoadjuvant............................
38
2.2. Virus Epstein-Barr ..............................................................
43
2.2.1. Struktur Genom dan Molekuler EBV ..........................
43
2.2.2. Latent Membrane Protein- 1.......................................... commit to user
46
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3. Respon Imun terhadap Tumor ..........................................
48
2.3.1. Pertahanan Sistem Imun ...............................................
50
2.3.2. Mekanisme Penghindaran Diri Sel Tumor terhadap Respon Imun .................................................................
51
2.3. 3. Antigen Sel Tumor .....................................................
53
2.3. 4. Respon Imun Seluler Terhadap Tumor .......................
54
2.3. 5. Respon Imun Humoral Terhadap Tumor ....................
55
2.3. 6. Mekanisme Efektor Melawan Tumor .........................
55
2.3.6.1. Sel T CD8 + (CTL Cytotoxic T Lymphocytes)...
55
2.3.6.2. Sel T CD4 + ........................................................
60
2.4. Kerangka Teori .................................................................
62
2.5. Kerangka Konsep …………………………………………
66
2.6. Hipotesis Penelitian ............................................................
66
BAB III. METODE PENELITIAN .....................................................
67
3.1. Rancangan Penelitian ..........................................................
67
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
..........................................
67
3.3. Populasi dan Sampel ............................................................
68
3.3.1. Sampel
...................................................................
3.3.2. Besar Sampel
68
.......................................................
69
3.3.3. Cara Pengambilan Sampel ............................................
69
3.4. Variabel Penelitian ...............................................................
70
3.5. Defenisi Operasionil ............................................................ commit to user
70
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.6. Alat Penelitian
..................................................................
72
3.7. Cara Kerja
..................................................................
72
3.8. Teknik Analisis Data
......................................................
77
BAB IV. HASIL PENELITIAN ...........................................................
78
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian ..............................................
79
4.1.1. Data Dasar Umur Sampel Penelitian ............................
79
4.1.2. Data Dasar Jenis Kelamin Sampel Penelitian ..............
79
4.1.3. Data Dasar Ukuran Tumor Primer Sebelum dan Sesudah Pengobatan .....................................................................
80
4.1.4. Data dasar kelenjar Getah Bening Leher sebelum dan sesudah Pengobatan .......................................................
80
4.1.5. Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin, Leukosit dan Trombosit Sebelum dan Sesudah Pengobatan Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated ...............
81
4.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi LMP1, ekspresi CD4+ ,CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated …………………
83
4.2.1. Hasil Pemeriksaan LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada
Karsinoma
Nasofaring
Undifferentiated….……………………………………………..
jenis 84
4.2.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ................................................................... commit to user
85
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2.3. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ...................................................................
87
4.2.4. Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada
Karsinoma
Nasofaring
Undifferentiated………………………………………………..
jenis 88
4.3. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated
...........
BAB V. PEMBAHASAN ............................................................................. 5.1. Data dasar sampel penelitian .....................................................
90
93 94
5.2. Analisis Ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada
Karsinoma
Nasofaring
Undifferentiated..........................................................................
jenis 97
5.3. Analisis Ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada
Karsinoma
Nasofaring
Undifferentiated..........................................................................
jenis 100
5.4. Analisis Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada
Karsinoma
Nasofaring
Undifferentiated..........................................................................
jenis 102
5.5. Analisis Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada
Karsinoma
Nasofaring
jenis
Undifferentiated........................................................................... 106 commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5.6. Analisis Hubungan antara Ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated .................... 109
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
112
6.1. Kesimpulan ................................................................................
112
6.2. Saran ...........................................................................................
112
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................
114
LAMPIRAN
..................................................................
125
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Halaman
2.1. Potongan sagital anatomi Nasofaring
..........................................
2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring
8
..............................
9
2.3. Mekanisme kerja kemoterapi pada siklus sel ……………………...
33
2.4. Infeksi EBV pada penderita carrier
..........................................
46
2.5. Induksi respon sel T terhadap tumor
..........................................
49
2.6. Mekanisme Tumor menghindar dari sistem imun ............................
52
2.7. Struktur kristal dari perforin .............................................................
57
2.8. Mekanisme sel T CD8+ melalui perforin dan granzime dalam proses Apoptsis
..................................................................
59
3.1. Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok ..
67
4.1. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur .....
79
4.2. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin
79
4.3. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran tumor Primer (T) sebelum dan sesudah Pengobatan..
............................................
80
4.4. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran kelenjar getah bening leher (N) sebelum dan sesudah Pengobatan ....................................
80
commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.5. Boxplot Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan Trombosit (AT) selama menjalani Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated .............................................................
83
4.6. Boxplot hasil ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated .............
85
4.7. Boxplot Hasil ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi Neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated........ 4.8. Boxplot Hasil ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah
86
Kemoterapi
Neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated............ 88 4.9. Boxplot Hasil
Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ............
89
4.10. Korelasi antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ....................................................
91
4.11. Resume gambar boxplot expresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ....................................................................
92
commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Halaman
2.1. Formula Digby ...................................................................................
14
2.2. Performance status ...........................................................................
39
3.1. Nilai P (prosentase jumlah sel) ..........................................................
76
3.2. Penilaian Intensitas Warna ................................................................
76
4.1. Perbedaan kadar hemoglobin (Hb), leukosit (AL) dan trombosit (AT) sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ...........................................................................
81
4.2. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test LMP1 sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated .....................................................................................
84
4.3. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ......................................................................................
86
4.4. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ......................................................................................
87
4.5. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undiffrentiated ......................................................................................
89
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.6. Analisis Model Persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated.
............. 90
4.7. Resume tabel statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+
akibat Kemoterapi neoadjuvant pada
karsinoma nasofaring jenis undifferentiated
....................................
92
commit to user
xix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Ethical Clearance .................................................... 1
Lampiran 2.
Jadual Penelitian .................................................... 1
Lampiran 3.
Surat Pernyataan Persetujuan .................................
1
Lampiran 4.
Status Penelitian .....................................................
1–3
Lampiran 5.
Foto Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ .................
1–2
Lampiran 6.
Data dasar sampel penelitian penderita karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ………………..
Lampiran 7.
1
Hasil pemeriksaan LMP1, staging T dan N, dan status imunologi sampel penelitian penderita karsinoma
nasofaring
jenis
Undifferentiated
sebelum dan sesudah kemoterapi neaodjuvant ….. Lampiran 8.
Hasil analisis deskriptif dan uji Wilcoxon Signed Ranks Test dengan α = 0,05 ……………………...
Lampiran 9.
1
1–2
Analisis hubungan antara LMP1 dan rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ………………………………….. 1 – 2
commit to user
xx
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
AJCC
: american joint committee on cancer
APAF-1
: apoptotic protease-activating factor-1
APC
: antigen presenting cell
BAX
: BCL -2 –assosiated protein
Bcl-2
: B-cell leukemia – 2
BID
: BH3-interacting domain death agonist
CAD
: caspase-activated dnase
CD
: cluster of differentiation
CR
: complete response
CT
: computerized tomographic
CTL
: cytolitic T lymphocyte
CTX
: cyclophosphamide
DNA
: deoxyribonucleic acid
EA
: early antigen
EBNA
: epstein-barr nuclear antigen
EBV
: epstein-barr virus
ECOG
: eastern cooperative oncology group
FNAB
: fine nedle aspiration biopsy
Gp
: glikoprotein
ICAD
: inhibitor caspase-activated Dnase
IFN-γ
: interferon – γ
commit to user
xxi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
JAK
: janus kinase
KNF
: karsinoma nasofaring
LMP1
: laten membran protein 1
MHC
: major histocompatibility complex
MRI
: magnetic resonance imaging
mRNA
: messenger ribonucleic acid
MTX
: metotrexate
N
: nervus
NF-kB
: nuclear factor-kappa B lymphocyte
NR
: no response
PA
: posterior-anterior
PD
: progresive disease
PR
: partial response
ROS
: reactive oxygen species
TGF
: tumor growth factor
TNF-α
: tumor necrosis factor – α
UICC
: union international contre cancer
VCA
: viral capsid antigen
commit to user
xxii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Sunardo Budi Santoso, S500907029. 2011. Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant terhadap Ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Pembimbing I : Prof. Em. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp. THT-KL(K), Pembimbing II : Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si. Tesis : Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar belakang : Epstein-Barr Virus mengekspresikan protein LMP1 dan memacu hadirnya sel-sel imunokompeten (CD4+ dan CD8+). Rasio CD4+/CD8+ menggambarkan potensi eliminasi patogen intrasel dan sel tumor. Kemoterapi neoadjuvant akan menekan siklus sel dan kerusakan sel imunologis yang berefek pada penurunan imun seluler. Tujuan : Mengetahui pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap tingkat ekspresi LMP1, system imun dan hubungan antara ekspresi LMP-1 dan rasio CD4+ / CD8+ . Metode dan bahan : desain penelitian one group before and after intervention, menggunakan 10 sampel biopsi karsinoma nasofaring undifferentiated sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant dilakukan pemeriksaan imunohistokimia. Antibodi menggunakan mouse antibodi antihuman LMP1, antibodi monoklonal mouse anti human CD4+ dan anti human CD8+. Data penelitian dianalisis dengan Wilcoxon Signed Ranks test, Regresi Linier dan Spearman’s dengan program SPSS. 15.0 under windows. Hasil : Setelah kemoterapi neoadjuvant terjadi penurunan signifikan secara statistik baik ekspresi LMP1 (0,41±0,39 /1,79 ± 0,68) (p=0,007); CD4+ (0,88 ± 0,74/2,06 ± 1,31) (p=0,041) dan CD8+ (0,23 ± 0,26/1,96 ± 0,92) (p=0,005). Rasio CD4+/CD8+ meningkat tidak signifikan secara statistik (p=0,646) (1.06 ± 0,61/1,62 ± 3,25). Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ sangat lemah (r = 0,17), memenuhi persamaan garis linier dan tidak sginifikan secara statistik (p=0,646). Kesimpulan: kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated menyebabkan penurunan ekspresi LMP1 dan status imunologi (CD4+ , CD8+) dan peningkatan rasio CD4+/CD8+ . Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sangat lemah dan tidak signifikan. Kata kunci: LMP1, rasio CD4+/CD8+, kemoterapi neoadjuvant.
commit to user
xxiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Sunardo Budi Santoso, S500907029. 2011. The effect of Neoadjuvant Chemotherapy for LMP1, CD4+, CD8+ Expression Level and CD4+/ CD8+ Ratio in Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma. Advissor : Prof. Em. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp. THT-KL(K), Co. Advissor : Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si Thesis : Post Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta
Background: EBV has been frequently related with nasopharyngeal carcinoma, because of able to expressed LMP1 protein and induced immunocompetence cell respon (CD4+ and CD8+). The ratio of CD4+/CD8+ describes the elimination potency of intracellular pathogen and tumor cell. Neoadjuvant chemotherapy would reduced and destroyed cycle cell and decresed imun system. Aims : Evaluate the effect of neoadjuvant chemotherapy to know the expression of LMP1 , imun system and the correlation between LMP1 expression level and CD4+/CD8+ ratio in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma Methode and Material : one group before and after intervention design. Ten sampels were taken from nasopharyngeal carcinoma undifferentiated biopsy tissue, then each sample performed immunohistochemistry examination. Mouse antibody antihuman LMP1 was used in detection of LMP1 expression, CD4+ and CD8+ expression with antibodi monoklonal mouse anti human CD4+ and CD8+. Wilcoxon Signed Ranks test, Linier regression and Spearman’s were used to analized data using SPSS 15.0 underwindows program Result: Expression of LMP1, CD4+ and CD8+ were decresed significanly after neoadjuvant chemotherapy, which (0,41 ± 0,39 /1,79 ± 0,68) value for LMP1 (p=0,007); (0,88 ± 0,74 / 2,06 ± 1,31) value for CD4+ (p=0,041) and (0,23 ± 0,26 /1,96 ± 0,92) value for CD8+ level (p=0,005). CD4+ / CD8+ ratio after treatment was not significan (p=0.646) the highest value (1.06 ± 0.61/1.62 ± 3.25) and there was not significant corelation between LMP1 expression and CD4+ / CD8+ ratio (p=0,468) in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Conclussion : LMP1, CD4+ and CD8+ expression were decresed significantly and CD4+/CD8+ ratio was highes, but not significant after neoadjuvant chemotherapy. There were no significant corelation between LMP1 expression and CD4+/CD8+ ratio in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Keywords: LMP-1, CD4+ / CD8+ ratio, Neoadjuvant Chemotherapy
commit to user
xxiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili
Herpes virus yang menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan penyebab infeksi mononukleosis. Infeksi EBV berasosiasi dengan beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti Limfoma Burkitt, limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma gaster. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus, dimana virus memasuki periode laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik dimana terjadi replikasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) EBV, transkripsi dan translasi genom virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-masing periode infeksi (Soeharso, et al., 2007). Karsinoma nasofaring (KNF) dewasa ini merupakan tumor ganas kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Angkanya diperkirakan mencapai 60% tumor ganas kepala dan leher. Data dari laboratorium patologi anatomi KNF berada di peringkat ke lima dari semua keganasan pada tubuh manusia, angka ini commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
setelah tumor ganas servik uteri, tumor payudara, tumor kelenjar getah bening dan tumor kulit. (Soetjipto, 1986; Roezin, et al., 2007) Di Eropa dan Amerika keganasan nasofaring angkanya cukup rendah yaitu dengan kejadian kurang dari 1 diantara 100.000 penduduk. Sebaliknya di daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi. Angka tertinggi didapatkan di propinsi Cina Tenggara yaitu 40 – 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk (Brennan, 2005; Wei Wi, et al., 1996). Di Indonesia KNF cukup banyak ditemukan meskipun angka kejadian yang pasti belum diketahui. Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 /100.0000 penduduk pertahun (Roezin, et al., 2007; Tan, 2010) . Etiologi penyakit karsinoma nasofaring cukup kompleks seperti faktor genetik, infeksi virus Epstein-Barr dan bahan karsinogenik ( nitrosamin ) yang ada di lingkungan. Proses karsinogenesis masih belum dapat diungkapkan dengan jelas, tetapi secara umum disepakati bahwa prosesnya berlangsung secara bertahap. Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasikan faktor yang berperan pada karsinogenesis. Berbagai penelitian akhir-akhir ini telah membuktikan EBV selalu ditemukan pada biopsi KNF, untuk gambaran patologi anatomi terbanyak adalah jenis Undifferentiated sebesar 86 % dan karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 % (Huang, et al., 1998; Huang, et al., 1999). Produk onkogen dari Epstein-Barr Virus (EBV) yang dikenal sebagai Laten Membran Protein 1 (LMP1) telah terbukti secara in vitro menyebabkan tranformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk yang immortal, commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
proliferasi sel tumor, anti apoptosis dan berperan dalam terjadinya metastase (Zheng, et al.,
2007). Laten Membran Protein 1 merupakan onkogen virus
potensial dan mempunyai peran biologi penting pada karsinogenesis KNF yang dapat dikenali oleh CTLs dalam konteks Major Histocompatibility Complec satu (MHC I). (Bosman, 1996; Hu, 1996) . Dari penelitian terdahulu didapatkan ekspresi LMP1 pada KNF yang bervariasi yaitu sebesar 60%
(Miller, et al., 1995; Gondowiarjo, 1998; Lin,
2003; Zheng, et al., 2007) dan 45 % yang pernah dilaporkan Surono (2006) (Hariwiyoto, et al., 2006). Murono, et al., (2001) mengatakan bahwa
kadar
antibodi spesifik terhadap LMP1 terdapat lebih dari 70 % KNF dan ada korelasi antara kadar antibodi tersebut dengan stadium KNF dan sangat potensial membantu menegakkan diagnosis dan faktor prognosis. Lasniroha (2008) dalam penelitiannya tentang ekspresi LMP1 pada KNF Undifferentiated mendapatkan angka 11,76 %. Infeksi virus EBV akan memacu hadirnya sel-sel imunokompeten untuk mengelimnasi virus
dan sel sel yang terinfeksi. Epstein-Barr Virus akan
menginfeksi sel limfosit B dan sel epitel orofaring, sel-sel ini akan dieliminasi oleh sistem imun baik innate maupun adaptif. Hal yang menarik disini adalah hadirnya sel T CD8+ CTL yang bertugas melakukan sitotoksisitas terhadap sel target dalam hal ini epitel orofaring maupun limfosit B yang terinfeksi dan epitel nasofaring yang telah malignant. Eliminasi sel T CD8+ CTL terhadap sel-sel tersebut dilakukan dengan menggunakan gramzyme B dan perforin, sehingga sel target akan mengalami apoptosis. Sel T CD4+ adalah sel yang hadir dalam commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rangkaian respon immune adaptif yang perannya lebih mengarah ke induksi respon immune humoral. Sel T CD4+ akan menghasilkan citokin-citokin yang berperan sebagai inducer pembentukan antibodi untuk mengeliminasi patogen secara ekstraseluler (Abbas, et al., 2007) . Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang ditandai adanya tumor – infiltrating lymphocytes (TILs) termasuk diantaranya adalah Cyttolitic T Lymphocyte (CTL). Harijadi (2008) dalam penelitian mendapatkan hasil bahwa banyaknya CTL yang aktif akan mengekspresikan gramzyme B dan merupakan petanda kuat prognosis buruk penderita KNF. Nilai prognostik ini lebih kuat dan tidak tergantung dibandingkan petanda prognostik lainnya seperti umur dan status TNM pada saat
diagnosis awal. Prognostik tampak jelas menurun dengan
meningkatnya prosentase CTL yang aktif. Harijadi (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa rerata daya tahan hidup penderita dengan CTL aktif < 25 % adalah 42 bulan dan akan menurun menjadi 14 bulan pada penderita dengan CTL aktif > 25 %. Prognostik yang buruk dengan banyaknya infiltrasi CTL yang aktif diperkirakan terjadi akibat seleksi sel tumor sehingga resisten terhadap apoptosis yang dipacu oleh CTL, kemoterapi dan atau radioterapi. Rasio CD4+/CD8+ akan menggambarkan potensi eliminasi patogen intrasel dan sel tumor. Jiang, et al., (2004) mendapatkan nilai normal rasio CD4+/CD8+ pada orang dewasa sehat di Shanghai adalah 1,49 dengan standar deviasi 0,57 (rentang : 0,92-2,06) hampir sama dengan yang didapatkan oleh Cirino dan Marcano (2007) yaitu 0,90. Pada kasus keganasan nilai rasio sangat bervariasi, Heraberg, et al., (1997) dalam penelitiannya pada renal cell carcinoma sebelum commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
terapi dengan vinblastin-IFN adalah 1,3 (rentang : 0,56-6,8),
digilib.uns.ac.id
selama terapi
vinblastin 1,1 (rentang : 0,33-9,3) dan 1,7 (rentang : 0,60-11,1) dengan terapi vinblastin-IFN dan Cirino, et al., (2007) dalam penelitiannya tentang tumor paru mendapatkan 1,74. Angka rasio CD4+/CD8+ yang rendah akan menggambarkan tingkat prognostik yang lebih baik. Hal ini karena infeksi virus dan kejadian karsinoma nasofaring lebih efektif bila dieliminasi melalui mekanisme apoptosis oleh sel T CD8+ dibandingkan dengan respon immune humoral. Karena respon immune humoral hanya berperan pada saat infeksi primer dan tidak efektif untuk mengeliminasi sel malignant sebagaimana karsinoma nasofaring. Oleh karenanya perlu diteliti rasio CD4+/CD8+ pada kasus karsinoma nasofaring (Abbas, et al., 2007) . Penatalaksanaan KNF sementara ini dengan menggunakan kemoterapi dan/atau radioterapi. Terapi radioterapi menurut Vijayakumar (1997), mempunyai sifat mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor, memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor dan ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor. Akan tetapi pemberian radioterapi bersifat lokal dan regional juga dapat mengakibatkan defek imun secara general. Kemoterapi neoadjuvant dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvant pada commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan Complete Response (CR) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radioterapi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja, 2000). Penulis bertujuan untuk melakukan penelitian terhadap gambaran ekspresi LMP1 yang merupakan produk onkogen virus EBV dan status imunologi (CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.2.
Rumusan Masalah 1. Apakah ada penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ akibat kemoterapi
neoadjuvant
pada
karsinoma
nasofaring
jenis
Undifferentiated ? 2. Apakah ada perbedaan rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah kemoterapi
neoadjuvant
pada
karsinoma
nasofaring
jenis
Undifferentiated ? 3. Apakah ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ pada pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ekspresi commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LMP1 dan status imunologi (CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+) akibat kemoterapi neoadjuvantt pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Mengkaji adanya penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. b. Mengkaji adanya pola perubahan Rasio CD4+/CD8+ sesudah diberikan kemoterapi
neoadjuvant
pada
karsinoma
nasofaring
jenis
Undifferentiated. c. Mengkaji adanya pola hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang akademik Untuk memperoleh data mengenai tingkat ekspresi
LMP1 dan status
imunologi (ekspresi CD4+, CD8+ dan rasio CD+/CD8+) akibat kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 2. Dalam bidang klinis Diharapkan dapat digunakan sebagai prediksi terhadap respon terapi, khususnya pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karsinoma Nasofaring
2.1.1. Anatomi Secara anatomi Nasofaring merupakan bagian sempit yang terdapat pada belakang choana. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis occiput dan vertebra cervikalis pertama. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding lateral dan pada bagian anterior dan posterior terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian superior dan lateral dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum (Rusmarjono, et al.,, 2007).
Gambar 2.1
Potongan sagital anatomi Nasofaring (Dikutip dari : Van De Graaf, 2001. Human Anatomy, Sixth Edition. The McGrawcommit to user Hill, p.605)
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.2. Histologi Epitel bersilia respiratory type merupakan epitel yang melapisi mukosa nasofaring. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma nasofaring kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.
Gambar 2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab (cited 2010 Jan 5). Available from : http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502 2.1.3. Epidemiologi Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yaitu 6 per 100.000 penduduk dari total 12.000 kasus baru pertahun(Tan, 2010). Catatan dari commit to user berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Propinsi Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dengan didominasi suku Jawa, sedangkan Jakarta pasien karsinoma nasofaring terdiri atas populasi suku Jawa dan Cina. Pasien karsinoma nasofaring dijumpai lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita (Kentjono, 2003). Sedangkan Wei WI (2006) mendapatkan rasio laki-laki dibanding perempuan adalah 3 : 1. Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000 orang pertahun, dan merupakan masalah kesehatan yang serius di daerah ini. Pada Cantonese “boat people” di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk karsinoma nasofaring 54,7 kasus per 100.000 orang pertahun. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Korea dan Jepang sangat rendah, meskipun pada beberapa di Asia Tenggara, termasuk Filipina, Malaysia dan Singapura, insiden karsinoma nasofaring relatif tinggi. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan
Hindustan (0,5 per 100.000). Angka kejadian
karsinoma nasofaring di negara Eropa atau Amerika Utara 1 per 100.000 penduduk per tahun. (Witte, et al., 2001; Lee ,
2003)
Berdasarkan dari beberapa penelitian jenis KNF banyak ditemukan adalah tipe WHO 2 dan WHO 3. Menurut penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
didapatkan
digilib.uns.ac.id
WHO tipe 2 dan WHO tipe 3 sejumlah 112 kasus dari 127 kasus
KNF (Lee, 2003). Pada penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya didapatkan dari 478 kasus terdapat 424 kasus WHO tipe 3, 48 kasus WHO tipe 2 dan 6 kasus WHO tipe 1 (Witte, et al., 2001). KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun jarang dijumpai pada penderita dibawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-59 tahun, sedangkan Wei WI (2006) rmendapatkan rata-rata usia 50 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2-3:1 (Witte, et al.,2001; Ballanger,2003 Hariwiyoto, et al., 2006; Wei WI, 2006).
2.1.4. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial, akan tetapi banyak penelitian menunjukkan akan keberadaan virus Epstein Barr sangat dominan, disamping penyebab lain seperti faktor genetik dan faktor lingkungan (Witte, et al., 2001). 2.1.4.1. Genetik Analisis genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring (Witte, et al., 2001; Adham, 2002; Ballanger, 2003; Lee, 2003). commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.4.2. Lingkungan Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada Cantonese. Konsumsi ikan asin selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring pada Cina Timur. Faktor makanan terutama konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, merupakan mediator penting dan dapat menjadi “alkylating Agent” yang diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal atau daerah nasofaring. Hal ini didukung dengan penelitian pada binatang dimana tikus yang diberikan diet ikan asin akan mendapat karsinoma pada rongga hidung pada dosis tertentu. Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga berhubungan dengan peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir, pada wanita pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam, caustic atau dyeing process. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahanbahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor lingkungan lain yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang pernah dilaporkan adalah penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada daerah endemik, penggunaan alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi (Witte, et al., 2001; Adham, 2002; Lee , 2003; Ballanger, 2003). Seringnya peradangan didaerah nasofaring menyebabkan mukosa nasofaring menjadi rentan terhadap karsinogen lingkungan dan memudahkan perubahan mukosa ke arah prekanker commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
serta faktor pendukung seperti lingkungan dan genetik sangat menentukan timbulnya KNF (Soetjipto, 1986; Miller, et al., 1995; Hu, 1996; Wei Wi, et al., 1996; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003; Zheng, et al., 2007). 2.1.4.3.
Virus Ebstein Barr
Sampai sekarang meskipun etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi virus Epstein-Barr (EBV) dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF. Virus Ebstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. virus Epstein-Barr 1 & 2 (EBV1,2) yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring. Sebagian besar kasus karsinoma nasofaring pada orang-orang di Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediteranian, Afrika dan Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi EBV-1. Kasus-kasus yang mengenai Alaska Innuits hampir seluruhnya berhubungan dengan infeksi EBV-2 (Witte, et al., 2001). Virus Epstein-Barr hampir dapat dipastikan sebagai penyebab KNF, namun pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Virus ini menginfeksi
limfosit B dan epitel orofaring. EBV
melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi EBV. Virus Epstein-Barr mempunyai produk onkogen yang dikenal sebagai Latent Membran Protein-1 (LMP1) yang terbukti secara in vitro, menyebabkan transformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk immortal dan mempunyai peran penting pada karsinogenesis KNF (Bosman, 1996). commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.5. Diagnois Untuk dapat menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring, maka perlu dilakukan anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan histopatologi. 2.1.5.1. Gejala klinis Menurut Formula Digby, setiap simptom atau gejala mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan diagnosis karsinoma nasofaring. Tabel 2.1. Formula Digby (dikutip dalam Lica, 1999; Radiation Therapy) Gejala
Nilai
Massa terlihat pada nasofaring
25
Gejala khas di hidung
15
Gejala khas pendengaran
15
Sakit kepala unilateral / bilateral
5
Gangguan neurologik syaraf otak
5
Eksopthalmus
5
Limfadenopati leher
25
Bila jumlah nilai mencapai 50, maka diagnosis klinik karsinoma nasofaring dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun tindakan biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga untuk menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis. Gejala yang paling sering timbul berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial. Berdasarkan perkembangan tumornya, gejala KNF dapat dibagi dalam gejala dini dan lanjut. commit to user Gejala dini KNF meliputi gejala hidung dan telinga. Gejala hidung dapat berupa
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
epistaksis berulang yang biasanya sedikit dan bercampur ingus, hidung tersumbat dan suara bindeng. Biasanya disertai pilek kronis dengan ingus yang kental (Brennan, 2005; Soetjipto, 1986; Dol Cetti, et al., 2002; Adham, 2002; Lin, 2003; Roezin, et al., 2007). Gejala telinga yang sering membawa pasien berobat ke dokter adalah rasa penuh, tidak enak dan suara mendengung. Keluhan tersebut kadang disertai tuli akibat oklusi tuba Eustachii atau otitis media serosa. Gejala telinga otitis media serous pada usia dewasa di Cina dilaporkan 41 % dari 237 pasien yang didiagnosis KNF (Wei WI, et al., 2006). Gejala lanjut KNF dapat berupa gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar sepanjang fossa kranii media, disebut penjalaran petrosfenoid. Sel tumor biasanya masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum dan menyebabkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan VI. Menurut Siregar (1979) paling sering terjadi gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah). Gangguan pada N. III berupa ptosis dan gangguan gerakan bola mata (oftalmoplegia). Gangguan N.IV mengakibatkan kelumpuhan muskulus obliqus inferior bola mata. Lesi saraf ini jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi sering diikuti kelumpuhan N.III. Penekanan saraf-saraf ini terjadi pada dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen). Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang sering kali hebat. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sinus paranasal, fossa pterigopalatina dan dapat mencapai apeks orbita. Tumor yang besar dapat mendesak palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah postero lateral menuju ke ruang parafaring dan fossa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen jugulare. Disini yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N. IX sampai dengan N. XII, serta pleksus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sindroma retroparotidean (Siregar, 1979). Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher (regional) sering terjadi, yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003; Neel, et al., 1993; Skinner, et al., 1991; Bambang, 1988). Gejala tumor leher yang besar, lebih sering didapatkan pada KNF WHO tipe III dibandingkan dengan KNF WHO tipe I. Benjolan di leher sering kali merupakan gejala pertama yang membawa penderita datang berobat ke dokter. Harus dicurigai keganasan nasofaring apabila dijumpai trias gejala yaitu 1) tumor leher, gejala telinga, gejala hidung, 2) gejala intrakranial, gejala telinga, gejala hidung, dan 3) tumor leher, gejala intrakranial, gejala hidung atau telinga (Soedijono, 1989). 2.1.5.2. Pemeriksaan Nasofaring Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung yaitu rinoskopi posterior, nasoendoskopi dan flexiblelaringoskopi. 2.1.5.3. Radiologi Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan : commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Computed Tomografi Scaning (CT Scan), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak. 2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya. 3) Foto thorak posterior/anterior (PA) dilakukan terutama untuk kepentingan kecurigaan adanya metastasis ke paru. 4) USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke organorgan intra abdomen. Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar, destruksi pada tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan
computerized
tomographic scanning (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat mengenai perluasan tumor. (Adinolodewo, et al., 2003; Adham, 2002; Witte, et al., 2001). 2.1.5.4. Serologi Pada tumor, DNA Ebstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tehnik imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh dari asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan
antibodi
Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis karsinoma nasfaring. Virus Ebstein Barr dapat dijumpai pada Undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma (Adinolodewo, et al., 2003 ). 2.1.5.5. Pemeriksaan Patologi 1) Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) pada kelenjar getah bening servikalis Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah being servikalis. 2) Biopsi Histopatologi Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan biopsi yang multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien dengan resiko tinggi karsinoma nasofaring 2.1.6. Klasifikasi Menurut WHO tahun 1987 , KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran histopatologi yaitu ( Wei WI, 2006; Soetjipto, 1993) : a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ). Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma maupun di luar sel. b. Karsinoma sel epidermoid tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ). Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional. c. Karsinoma tanpa diferensiasi / Undifferentiated (WHO tipe III ). Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas berbentuk synctitial dengan batas sel yang tidak jelas. Di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. Soetjipto (1989) pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta (1980-1984) commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendapatkan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 %, 2,5 % dan 89,6 % (Soetjipto, 1993). Sedangkan Roezin dan Mahfuzh (1996) ditempat yang sama mendapatkan angka 9 %, 11,3 % dan 79,5 %. Affandi (1992) pada penelitiannya di Lab/ UPF THT FK UNPAD / RS. Dr.Hasan Sadikin Bandung, selama 4 tahun (Januari 1986-Desember1989) mendapatkan KNF jenis poorly diff.Ca. 14,8 %, well diff.Ca. 10,5 % dan jenis Undifferentiated sebanyak 70,7 %. Sedangkan hasil penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 %, 8 % dan 85,6 % (Kentjono, et al., 2000). 2.1.7. Penentuan Stadium Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan dengan menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (union international contre cancer) dan AJCC (american joint committee on cancer) pada tahun 1986. Pada saat ini telah diterbitkan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC. Untuk KNF pembagian TNM sebagai berikut : T menggambarkan keadaan tumor primer, besarnya dan perluasannya Tx
: tumor primer tidak dapat dinilai
T0
: tidak ada tumor primer
Tis
: karsinoma in situ
Nasofaring : T1
: tumor terbatas didaerah nasofaring
T2
: tumor meluas ke jaringan lunak daerah orofaring dan atau fossa nasalis
T2a
: tanpa perluasan ke daerah parafaring commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
T2b
: dengan perluasan ke daerah parafaring
T3
: tumor menginvasi struktur tulang dan atau daerah sinus paranasal
T4
: tumor dengan perluasan ke daerah intra kranial dan atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring atau daerah orbita
N menggambarkan keadaan Kelenjar limf regional ( N ) nasofaring : Nx
: kelenjar limf regional tidak dapat dinilai
N0
: tidak ada metastasis kelenjar limf regional
N1
: adanya metastase kelenjar limf unilateral, dengan ukuran kurang
atau
sama dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula N2
: adanya metastasis kelenjar limf bilateral kurang atau sama dengan 6 cm diatas fosa supraklavikula
N3
: adanya metastasis kelenjar limf
N3a
: lebih dari 6 cm
N3b
: perluasan kedaerah fossa supraklavikula
M menggambarkan Metastasis jauh ( M ) Mx
: metastasis jauh tidak dapat di nilai
M0
: tidak ada metastasis jauh
M1
: adanya metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium 0
: Tis
N0
M0
Stadium I
: T1
N0
M0
Stadium IIA
: T2a
N0
M0
Stadium IIB
: T1
N1 commit to user
M0
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
T2a
N1
M0
T2b
N0,N1
M0
N2
M0
T2a,T2b
N2
M0
T3
N0,N1,N2
M0
Stadium IV A : T4
N0,N1,N2
M0
Stadium IV B : T1,2,3,4
N3
M0
Stadium IV C : T1,2,3,4
N0,N1,N2
M1
Stadium III
: T1
Penentuan stadium yang lain adalah yang digunakan oleh Ho, di mana hanya ada T1-3, sedangkan ada stadium V, yakni penderita dengan M1.
2.1.8. Pengobatan Suwitodiharjo (2002) dan Vijayakumar, et al., (1997) menjelaskan prinsip pengobatan karsinoma nasofaring pada dasarnya adalah radioterapi, kemoterapi dan terapi kombinasi. Pemilihan terapi kanker tidaklah mudah. Menurut Sukardja (2000), berbagai faktor yang perlu diperhatikan misalnya 1) Jenis kanker, 2) Kemosensitivitas
dan
radiosensitivitas
kanker, 3) Imunitas
Tubuh
dan
kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan, dan 4) Efek samping terapi yang bisa terjadi (Sukardja, 2000). 2.1.8.1. Radioterapi 2.1.8.1.1. Definisi Terapi Radioterapi Menurut Lika (1999) terapi radioterapi adalah terapi sinar menggunakan commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma . 2.1.8.1.2. Persyaratan Terapi Radioterapi Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radioterapi menurut Vijayakumar, et al.,
(1997) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1
Belum didapatkannya sel tumor di luar area radioterapi
2
Tipe tumor yang radiosensitif
3
Besar tumor yang kira-kira radioterapi mampu mengatasinya
4
Dosis yang optimal.
5
Jangka waktu radioterapi tepat
6
Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radioterapi. Dosis
radioterapi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya
sebelum kemoterapi diberikan. Suwitodiharjo (2002) menjelaskan pemberian radioterapi pada limfonodi yang tak teraba diberikan radioterapi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu (Suwitodiharjo, 2002) 2.1.8.1.3. Sifat Terapi Radioterapi Terapi radioterapi menurut Vijakumar (1997), mempunyai sifat sebagai berikut : 1. Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor 3. Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. 4. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor. 5. Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.. 6. Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya. 7. Walaupun pemberian radioterapi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general. 2.1.8.1.4. Efek Samping Terapi Radioterapi (Suwitodiharjo, 2002 ) : 1 Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigi. 2 Xerostomia, trismus, otitis media 3 Pendengaran menurun 4 Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis. 5 Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. 6 Lhermitte syndrome karena radioterapi myelitis. 7 Hypothyroidism 2.1.8.1.5. Pengaruh Radioterapi pada DNA Lesi DNA oleh radiasi dapat menghasilkan berbagai akibat biologis, tergantung pada densitas radiasi atau Linear Energy Transfer (LET), dosis radiasi, commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
interaksi radiasi dengan molekul sasaran, sensitivitas sel atau jaringan yang terkena radiasi dan lain-lain (Early, et al., 1985) Radikal bebas, terutama OH- dapat merusak tiga jenis zat (senyawa) yang penting dalam mempertahankan integritas sel yaitu 1) DNA (perangkat genetik penyusun gen dan kromosom), berfungsi vital dalam mengendalikan metabolisme sel, 2) asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel, dan 3) protein (enzim, reseptor dan antibodi) yang berperan dalam metabolisme sel maupun respons terhadap sinyal. Struktur sel yang paling peka terhadap radiasi adalah DNA. Gangguan DNA akan menyebabkan kelainan atau perubahan pengaturan aktivitas sel. Radiasi sinar pengion yang mengenai DNA dapat menyebabkan berbagai kerusakan antara lain hidroksilasi (pecahnya basa timin dan sitosin), pembukaan inti purin dan pirimidin serta putusnya gugus fosfat dari struktur siklisnya (rantai fosfodiester DNA) yang berakibat perubahan kimia. Kerusakan DNA akan menyebabkan penyimpangan pengaturan aktivitas seluler. Radikal OH bertanggung jawab atas sebagian besar kerusakan yang terjadi pada DNA dan membran sel. Kerusakan yang sangat penting adalah putus (pecahnya) berkas ganda dari DNA single / double strand break (SSB/DSB), crosslinkage dalam rantai DNA dan perubahan basa-basa pembentuk DNA. Kerusakan DNA ringan, masih bisa diperbaiki oleh sistem perbaikan DNA (DNA repair system). Namun bila kerusakan DNA terlalu berat, proses perbaikan (nucleotide excision repair) tidak dapat dilakukan secara sempurna sehingga replikasi sel terganggu bahkan terjadi kematian sel. Rusaknya DNA secara aktif memicu kematian sel terprogram (programmed cell death) yang commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disebut sebagai apoptosis. Mekanisme kematian sel melalui apoptosis berbeda dengan nekrosis yang biasanya terjadi pada fase akut setelah terkena radiasi dosis tinggi (sel langsung mati) (Boag, 1975) Komponen membran sel yang terpenting ialah fosfolipid dan glikolipid yang mengandung beberapa asam lemak tak jenuh (asam-asam linoleat, linolenat dan arakidonat), sangat peka terhadap serangan radikal bebas terutama OH-. Peroksidasi asam lemak tak jenuh pada membran sel menyebabkan penurunan fluiditas dan permeabilitas membran sel sehingga integritasnya menurun. Keadaan ini menyebabkan cairan ekstra seluler memasuki ruang intraseluler (intracellular fluid droplet) dan terjadi perubahan konsentrasi ion Na, K, dan Ca yang penting untuk mempertahankan fungsi sel. Hasil akhir peroksidasi lipid adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi senyawa toksik terhadap sel, antara lain MDA, Etana dan Pentana. Ketiga senyawa ini (terutama MDA) dapat dipakai sebagai petunjuk terjadinya peristiwa peroksidasi lemak membran sel. Senyawa toksik ini menimbulkan kerusakan membran yang semakin parah (terjadi lisis). Proses kematian sel dengan cara ini melalui 5 fase yaitu pre kondensasi, kondensasi, fragmentasi, fagositosis dan degradasi. Apoptosis diawali oleh ekspresi gen yang berefek peningkatan kadar kalsium intra sel yang menimbulkan aktivasi enzim endonuklease sehingga terjadi kondensasi kromatin pada inti sel (Boag, 1975; Maity, et al., 1994) Radiasi menyebabkan fosforilasi dan penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP) yang mengakibatkan penurunan sintesis DNA. Hilangnya fosforilasi, kelainan atau gangguan susunan nukleotida DNA dan oksidasi commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan efek primer radiasi yang menginduksi apoptosis. Radiasi ionisasi juga menyebabkan hambatan proses reproduktif dan berhentinya siklus proliferasi sel pada fase G1 (G1 arrest or block). Kerusakan membran sel dan DNA akan mengaktifkan signal transduction pathways yang mengakibatkan siklus sel berhenti (cell cycle arrest). Proses ini diawali dengan peningkatan ekspresi Ataxia-Teleangiectasia gene (AT) yang kemudian memicu peningkatan ekspresi gen p53 melalui transkripsi p21 yang merupakan inhibitor cdk dan menyebabkan siklus sel berhenti pada fase G1. Keadaan ini menguntungkan karena sel kanker yang berada dalam siklus pertumbuhan (cell cycle) lebih radiosensitif dibandingkan sel kanker yang berada pada fase istirahat (G0) (Coleman, 1993; Joiner, 1997) Radiasi juga menghasilkan gelombang yang berefek sensitisasi p53 (tumor suppressor gene) yang memicu apoptosis. Kematian sel melalui mekanisme apoptosis ini diawali dengan kelainan genetik pada gen bcl2 yang berfungsi sebagai regulator dalam proses apoptosis. Apoptosis akibat radiasi disebabkan karena kerusakan atau kelainan susunan nukleotida DNA yang tidak dapat diperbaiki oleh sistem reparasi DNA. Radiasi dapat mengenai semua sel, baik sel kanker maupun sel normal. Sel yang terkena radiasi akan mengalami penurunan sintesis DNA sehingga kegiatan mitosis tertunda (Coleman, 1993; Chang, et al., 1997) 2.1.8.1.6. Pengaruh Terapi Radioterapi Terhadap Sistem Imun Balkwill et al.,
(2001) menjelaskan bahwa segera setelah pemberian
radioterapi terjadi gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
timbulnya berbagai macam infeksi (Balkwill, et al., 2001). Pasien dengan tumor primer di leher dimana drainase limfatiknya juga di leher , setelah diberikan radioterapi mengakibatkan berkurangnya limfosit darah tepi secara signifikan. Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih bermakna dibandingkan penurunan jumlah sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat radioterapi tidak hanya mempengaruhi jumlah sel limfosit T namun juga mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya gangguan fungsi dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan invitro. Apakah defek jumlah dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi radioterapi dapat reversibel? Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan normalisasi sel limfosit T CD4+ setelah 3-4 minggu pasca radioterapi (Balkwill, et al., 2001). Radioterapi pada KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat mengenai sel efektor imunologik baik yang beredar di sirkulasi (sistemik) maupun di jaringan limfoid mukosa hidung, nasofaring dan tenggorok (ring of Waldeyer’s), yang termasuk dalam sistem imun mukosal. Efek radiasi pada sel imun dapat menurunkan prognosis penderita. Sel limfosit (white blood cells) adalah sel yang paling radiosensitif dan pertama kali menghilang dari sirkulasi, kemudian diikuti granulosit. Radioterapi dapat menyebabkan penurunan jumlah total limfosit serta kualitasnya. Setelah radioterapi, terjadi penurunan jumlah total limfosit sebesar 50-60% dibandingkan dengan sebelum radioterapi. Disamping limfosit T, radioterapi juga menyebabkan penurunan hitung limfosit B dan sel NK darah tepi. Sel-sel imun ini akan kembali normal pada 13 minggu setelah radioterapi dan yang paling lambat adalah sel T. Selain itu, sistem imun seluler commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lokal (sel Tc, NK dan makrofag) pada jaringan tumor KNF juga mengalami penurunan (Maity, et al., 1994) Radikal bebas yang terbentuk akibat proses ionisasi air akan menyebabkan stres (exhaustion stage) pada sel imunokompeten (stress immunocompetent cell) terutama makrofag yang menyebabkan hambatan atau penurunan aktivitas sel imunologis yang berperan dalam respons Th1. Penurunan fungsi imunitas seluler oleh radiasi, dibuktikan dengan tes respons transformasi sel limfosit terhadap phytohemaglutinin (PHA). Proses penurunan transformasi terjadi sejak radiasi 0,5 Gy sampai titik optimal pada minggu ke 4. Penurunan transformasi sel limfosit masih terjadi sampai 4 - 6 minggu pasca radioterapi. Setelah penyinaran berlangsung 6 minggu ternyata tubuh penderita dapat mengadakan perbaikan, sehingga indeks transformasi dan hitung limfosit mengalami kenaikan. 2 minggu setelah selesai penyinaran indeks transformasi masih terus meningkat. Indeks transformasi terendah pada minggu ke empat penyinaran dapat sampai dibawah normal yaitu 30,7 (normalnya 37,18 -45,26) (Maity, et al., 1994; Kentjono, 2001) Radioterapi mengakibatkan penurunan fungsi sistem imun lokal pada jaringan tumor dan juga penurunan respons imun sel makrofag, NK, TCD4, sel T pemroduksi IL-4, dan IFN-γ (respons Th1). Jadi radiasi mempunyai efek imunosupresor. Penurunan respons imun (khususnya respons Th1) penderita KNF pasca radioterapi akan sangat merugikan. Selain meningkatnya risiko terkena infeksi mikroba (lebih dari 90% penderita meninggal akibat infeksi), penurunan respons Th1 sebagai cerminan kualitas immune surveillance yang rendah (buruk) dapat menyebabkan pertumbuhan KNF makin progresif, residif dan metastasis commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(imunitas berperan mengeliminir residu sel KNF pasca radiasi). Beberapa penelitian yang dilakukan pasca radioterapi pada keganasan jenis karsinoma sel skuamosa kepala leher (termasuk KNF) menemukan peningkatan yang tinggi kadar prostaglandin E2 (PGE2) yang berefek imunosupresi (penurunan respons imun seluler). Selain diproduksi oleh sel kanker, PGE2 juga diproduksi oleh makrofag yang tersupresi oleh radiasi (Rabben, et al., 1976; Wolf, et al., 1987; Baxevanis, et al., 1993) Sebuah penelitian melakukan pengukuran dosis radiasi yang mengenai kelenjar timus pada pasien KNF yang mendapat radioterapi. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelenjar timus tetap terkena radiasi walaupun dosisnya kecil. Radioterapi menyebabkan penurunan imunitas seluler pada penderita KNF karena: (1) besarnya volume darah yang terpapar radiasi, (2) kelenjar timus masih tetap menerima radiasi sekalipun radiasi yang dipakai hanya 390 rads dan (3) malnutrisi dan menurunnya berat badan karena mukositis (Rabben, et al., 1976; Wolf, et al., 1987; Baxevanis, et al., 1993) 2.1.8.1.7. Jenis Pemberian Terapi Radioterapi (Suwitodiharjo, 2002) Terapi radioterapi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai radioterapi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi dan radioterapi interna (brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implant atau intracavitary barchytherapy. (a) Radioterapi eksterna dapat digunakan sebagai : 1. pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening 3. Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi 4. Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection (b) Radioterapi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk : 1. Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radioterapi. 2. Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor 3. Pengobatan kasus kambuh. 2.1.8.2.
Kemoterapi
2.1.8.2.1. Definisi Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun (Kentjono, 2002) 2.1.8.2.2. Tujuan Kemoterapi Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini. 2.1.8.2.3. Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher (Sukardja, 2000) 2.1.8.2.4. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk (Chan et al., 2002). Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat (Lica, 1999) Berdasar siklus sel maka kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell Cycle non Spesific) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ) (Lica, 1999). Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin. Cisplatini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi dan bekerja pada fase G1 dan G2, Doxorubicin pada fase S1, G2, M, Bleomycin pada fase G2 dan M, sedangkan Vincristine pada fase S dan M (Lica , 1999)
G2 M
5 FU S G1
Cisplatin
Gambar 2.3 : Mekanisme kerja kemoterapi commit to user pada siklus sel.
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda (Lica, 1999) 2.1.8.2.5. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat, zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut (Lica , 1999) : (a) Antimetabolit Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis timidin. (b) Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA. (c) Inhibitor mitosis Obat golongan ini seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine, menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan mitosis.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.8.2.6. Cara Pemberian Kemoterapi Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu (Kentjono, 2002; Chan, 2002) : a) Sebagai neoadjuvant yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan atau radioterapi. b) Sebagai concomitant
yaitu
kemoterapi diberikan
bersamaan
dengan
radioterapi pada kasus karsinoma stadium lanjut. c) Sebagai adjuvant yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radioterapi d) Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radioterapi dan pembedahan terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi (leukemia dan limfoma). Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna (Chan, et al., , 2002; Quinn, et al., 2003) Menurut Sukardja (2000) bahwa terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : 1
kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
2
kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
makroskopis. 3
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh).
2.1.8.2.7. Efek Samping Kemoterapi Obat kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut (Chan, et al., 2002). Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker (Cody, et al., 1993). Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi (Cody, et al., 1993) Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala Karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya (Sukardja, 2000) Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek samping terhadap organ tersebut lebih minimal.
Efek samping kemoterapi
dipengaruhi oleh (Skee, 1987) : 1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh tertentu. 2. Dosis. 3. Jadwal pemberian. 4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus). 5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada organ tertentu. 2.1.8.2.8. Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut (Sukardja 2000) : 1.
Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
status penampilan ≤ 2 atau Karnovsky Scale ≥ 70 % 2.
Jumlah lekosit ≥ 4500/ml
3.
Jumlah trombosit ≥150.0000/ul
4.
Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 12
5.
Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
6.
Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal.
7.
Elektrolit dalam batas normal.
8.
Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun.
2.1.8.2.9. Status Penampilan Penderita karsinoma ( Performance Status ) Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) dan Karnofsky seperti pada table 2.2. 2.1.8.3. Kemoterapi neoadjuvant 2.1.8.3.1. Definisi Kemoterapi neoadjuvant Kemoterapi neoadjuvant adalah pemberian kemoterapi yang diberikan sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi dan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan dalam kemoterapi neoadjuvant ini sehingga sampai commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
saat ini belum didapatkan standar kemoterapi neoadjuvant yang definitif (Kentjono, 2002). Tabel 2.2. Performance status (dikutip dari Preith, et al., 2000; Cancer Therapy, hal : 291) ECOG
KARNOFSKY
Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, Index 100 % : aktifitas normal, tidak tanpa hambatan untuk mengerjakan ada komplain, tidak ada kejadian tugas kerja dan pekerjaan sehari- sakit. hari. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
Index 90 % : dengan sedikit keluhan dan gejala penyakit, tetapi masih bisa mengejakan aktifitas normal. Index 80 % : dengan beberapa keluhan dan gejala penyakit dan hambatan, ada penurunan untuk melakukan aktifitas.
Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain.
Index 70 % : tidak mampu mengerjakan aktifitas normal atau untuk bekerja, tetapi masih bisa mengurus diri sendiri. Index 60 % : kadang dibutuhkan kehadiran asisten, tetapi masih mampu untuk mengurus beberapa diri sendiri.
Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran.
Index 50 % : dibutuhkan asisten terus menerus untuk perawatan diri sendiri, pengobatan . Index 40 % : tidak mampu, dibutuhkan perawatan khusus dan asisten
Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betulbetul hanya di kursi atau tiduran terus.
Index 30 % : tidak mampu secara berat, indikaasi perawatan rumah sakit, sangat diperlukan perawatan diri. Index 20 % : sangat sakit, perawatan rumah sakit, diperlukan pengobatan supportif secara aktif. commit to user Index 10 % : morbund
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.8.3.2. Manfaat Kemoterapi neoadjuvant. Manfaat Kemoterapi neoadjuvant adalah (Ballenger , 1994) : a) Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radioterapi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. b) Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. c) Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radioterapi yang diberikan (radiosensitiser). Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radioterapi (Kentjono, 2002). Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi.
Pemberian
kemoterapi
neoadjuvant
didasari
atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvant pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radioterapi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja, 2000). commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radioterapi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radioterapi (Kentjono , 2002). Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi. Keuntungan kemoterapi neoadjuvant adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. 2.1.8.3.3. Kelemahan Kemoterapi neoadjuvant . Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan
penundaan
sementara
radioterapi.
Toksisitas
Kemoterapi
neoadjuvant dapat begitu besar sehingga berakibat fatal (Kentjono, 2002). Untuk mengurangi efek samping dari kemoterapi neoadjuvant diberikan kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47% (Sukardja, 2000). 2.1.8.4. Penilaian hasil akhir pengobatan karsinoma Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4 minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang lazim dipakai yaitu (Sukardja 2000; Manfred, 2001) : 1) Sembuh ( cured ) 2) Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor menghilang untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu 3) Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua tumor mengecil sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4 minggu. 4) Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kurang dari 50 % atau membesar kurang dari 25 % 5) Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor makin membesar 25 % atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya. 6) Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya (disease free survival ). Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat dipantau berdasarkan kadar tumor marker. 2.1.8.5. Pola Regresi Tumor Terdapat perbedaan pola regresi antara tumor perimer dan kelenjar getah bening leher. Terjadi Complete Respons (CR) pada akhir dari radioterapi (62%) dan meningkat menjadi 80 % pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan pada kelenjar getah bening leher CR hanya 32 % pada akhir radioterapi dan meningkat menjadi 76 % pada 2 bulan setelah radioterapi. Jadi biopsi sebaiknya dilakukan 2 commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bulan setelah radioterapi (Vijayakumar, 1997).
2.2.
Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr merupakan virus yang digolongkan dalam human herpes
virus. Jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi asimtomatik. EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring, limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan mononukleosis infeksiosa (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003). 2.2.1. Struktur genom dan karakteristik molekuler infeksi EBV Genom EBV berbentuk linear dengan DNA untai ganda (double-stranded), panjangnya sekitar 172-kb pasangan basa. Dalam keadaan infeksi pada limfosit B, DNA EBV ditransport ke dalam inti sebagai genom sirkuler ekstra kromosom (episome). Disamping itu didapatkan ekspresi gen laten yang memberikan kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan. Didapatkan protein ekspresi gen laten terdiri dari EBNA 1,2,3A,3B,3C, EBNA-LP yang dikontrol oleh p53, dan tiga protein membran yaitu latent membrane protein-1, 2A, 2B serta dua Epstein-Barr
virus
encoded
mRNA.
Sebagian
besar
genom
virus
ditransformasikan oleh EBV secara in vitro dalam bentuk episom. Karena hal di atas muncullah teori bahwa EBV mengaktifkan transformasi melalui ekspresi beberapa gen yang aktif saat infeksi laten. Bentuk infeksi laten EBV pada sel limfosit B dibedakan menjadi 3 latensi : latensi I, latensi II, latensi III. Karakteristik ke 3 jenis laten ini di dasarkan atas ekspresi jenis tertentu gen laten. commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pola latensi ini digunakan dalam pengelompokan EBV dalam hubungannya dengan timbulnya penyakit (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003). Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik ini menyebabkan infeksi ini dapat menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV terbanyak terjadi melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah kontak pertama, EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu yang terinfeksi oleh EBV. Setelah virus menetap dalam sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi sel limfosit B yang bersirkulasi dan ditemukan dalam jumlah besar di jaringan epitel saluran nafas atas. Limfosit B yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila melalui daerah tersebut. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa limfosit B merupakan lokasi utama infeksi laten dan merupakan sumber penyebaran infeksi ke permukaan epitel bagian distal, termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam limfosit B dimungkinkan oleh adanya ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation (CD) 21. Glikoprotein (Gp) 350/250 merupakan reseptor membran virus yang dapat mengenali CD 21 (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003). Pada penderita carrier EBV, Infeksi virus ini menginduksi 2 jenis proses infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah sel mengalami lisis. Pada fase litik ditandai dengan ekspresi berbagai protein commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
transkripsi dan protein virus, termasuk berbagai gen protein awal (BZLF 1 atau ZEBRA), antigen awal (early antigen = EA), antigen laten (viral capsid antigen = VCA) dan antigen membran (mambrane antigen = MA). Karena itu bila BZLF 1 tidak diekspresikan menandakan fase laten. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan orang lain. Bentuk lain yaitu infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi sejumlah kecil gen virus dan tidak mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk laten ini dapat menghindar dari respon imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat menetap. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan
ini genom EBV dalam bentuk episom, sedangkan limfosit B yang
terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA-1, LMP1 dan LMP-2 (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003). Perubahan status laten ke bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein yang disandi onkogen virus pada limfosit B dan sel epitel. Genom EBV, doublestranded deoxyribonucleic acid (dsDNA) linier dibentuk melalui replikasi cetakan episom dan dengan perantaraan polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier ini menjadi bentuk sirkuler ( lingkaran ) saat proses infeksi EBV - DNA menjadi virion yang infeksius (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003; Abbas, et al., 2007).
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.4. Infeksi EBV pada penderita carrier . Infeksi primer EBV dimulai di orofaring, setelah kontak pertama EBV melakukan replikasi virus dilepaskan secara intermiten. Virus mempunyai kemampuan infeksi yang persisten-aktif dan litik yang mentebabkan infeksi dapat menetap (dikutip dari Prasad, 1975 ).
2.2.2. Latent Membrane Protein-1 LMP1 merupakan protein membran dengan berat molekul 60– 66 kDa. LMP1 mempunyai struktur yang menyatu dengan membran protein yang terdiri dari tiga domain yaitu domain intracytoplasmic nitrogen terminus, hydrofobik transmembran dan intracytoplasmic Carbon terminus. Domain terminal karbon sitoplasma dapat diidentifikasi menggunakan antibodi monoklonal S 1 - 2 dan CS 1 - 4
dengan teknik pewarnaan imunohistokimia. Dari penelitian terdahulu
didapatkan ekspresi LMP1 pada KNF yang bervariasi yaitu sebesar 50 % sampai 67 % (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Lasniroha, 2006). commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LMP1 merupakan onkogen virus potensial yang mempunyai beberapa fungsi dan peran biologi penting pada karsinogenesis KNF. Transkripsi dari gen LMP1 membentuk messenger ribonucleic acid (mRNA) yang merupakan transkripsi genom virus paling dominan pada sel limfosit B dan ditransformasikan oleh EBV (Xu, 2000). LMP1 menginduksi transformasi sel B dan perkembangan tumor dengan jalan meningkatkan regulasi marker sel B yaitu CD23, CD39, CD40 dan juga molekul adesi CD11a yang disebut juga sebagai lymphocyte function antigen-1 (LFA-1), CD54, CD58 serta vimentin. LMP1 dapat menginduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-a1 pada sel B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. LMP1 mengaktifasi nuclear factor-kappa B lymphocyte (NF-kB) dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol. LMP1 menginduksi ekspresi proto-onkogen seluler B–cell leukemia–2 (bcl-2) yang akan melindungi sel dari proses apoptosis. Selain itu LMP1 menghambat proses diferensiasi sel juga melalui jaras bcl-2. LMP1 dapat menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 yang dapat menginaktivasi fungsi p53 sehingga menghambat proses apoptosis sel. Dari beberapa hal di atas diketahui bahwa ekspresi LMP 1 berperan pada proses imortalisasi dan merupakan
salah satu tahap dalam proses karsinogenesis
KNF (Miller, et al., 1995; Lin, 2003; Macswee, et al., 2003).
commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
2.3.
digilib.uns.ac.id
Respon Imun terhadap Tumor Penelitian secara in vivo dan in vitro telah memperlihatkan bahwa respons
imun pada manusia terhadap kanker memang ada. Beberapa fakta menunjukkan bahwa ada beberapa tumor ganas tertentu dapat sembuh spontan seperti melanoma maligna dan neuroblastoma (Sukardja, 2000). Di samping itu penderita dengan defisiensi imun ditemukan keganasan 200 kali dari pada yang diperkirakan. Fakta lain adalah meningkatnya risiko kanker pada penderita yang pengobatan imunosupresif, meningkatnya insiden keganasan pada periode neonatal dan usia lanjut, serta banyak sel kanker mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang terdiri atas sel T, sel NK dan makrofag (Abbas, et al., 2007). Adanya antigen tumor dipermukaan sel KNF seperti Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA 1-6) dan latent membrane protein (LMP 1,2) dipastikan mempunyai efek imunologik yang penting. Namun, pada kenyataannya banyak tumor ganas yang tetap bisa tumbuh, karena fungsi sistem imun untuk menghambat atau menghancurkan sel tumor (immune surveillance) relatif tidak efektif (Kentjono, 2003). Pertahanan tubuh terhadap infeksi virus maupun antigen asing antara lain diperankan oleh imunitas alamiah (innate immunity) pada tahap infeksi akut dan proses selanjutnya diperankan oleh imunitas yang di dapat (adaptive immunity). Innate immunity terdiri dari mekanisme yang telah ada sebelum terjadi infeksi virus dan bereaksi dengan jalan yang sama pada infeksi berulang. Berbeda dengan innate immunity, adaptive immunity memerankan mekanisme pertahanan yang lebih tinggi distimulasi oleh paparan agen infeksi dan meningkatkan jumlah serta commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemampuan bertahan setiap kali terkena paparan mikroorganisme (Kuby, et al., 1997; Baratawidjaja, 2001; Abbaset, et al., 2007). Respon imun didapat dibedakan menjadi respon imun humoral dan seluler. Respon imun humoral diperantarai oleh molekul darah yang dihasilkan oleh limfosit B, sedangkan respon imun seluler diperantarai oleh sel limfosit T. Kedua respon imun tersebut diperantarai oleh komponen berbeda dan menjalankan fungsi membunuh mikroorganisme dengan tipe yang berbeda pula (Abbas, et al., 2007). Sel limfosit T mempunyai beberapa fungsi penting dan terbagi menjadi dua kategori, yaitu sebagai regulator dan efektor. Fungsi regulator diperankan oleh sel T helper (Th) yang mengekspresikan protein permukaan berupa CD4+ yang berperan dalam melawan mikroorganisme (gambar 2.4) . Sedangkan fungsi efektor diperankan oleh cytotoxic T lymphocytes (CTLs) yang mengekspresikan protein permukaan CD8+, yang berperan dalam membunuh sel yang terinfeksi virus dan sel yang terkena tumor (Levinsons, et al., 2003; Abbas, et al., 2007).
Gambar 2.5. Induksi respon sel T terhadap tumor (dikutip dari Abbas et al., 2007) commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3.1. Pertahanan Sistem Imun Konsep immune surveillance atau pertahanan sistem imun dikemukakan pertama kali oleh Paul Ehrlich pada awal abad ke-20. Konsep ini menyatakan bahwa sistem imun mempunyai peran mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor. Walaupun hanya sedikit bukti langsung bahwa immune surveillance dapat melindungi seseorang terhadap pertumbuhan tumor, beberapa hasil penelitian mendukung teori tersebut. Diantaranya seperti, adanya infiltrasi limfosit dalam jaringan tumor dan telah terbukti pula bahwa tumor dapat membangkitkan respons imun seluler spesifik (Kresno, 2001). Di samping itu antigen tumor yang dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I diidentifikasi sebagai protein seluler yang diekspresikan secara abnormal atau protein mutan. Penemuan ini mendukung dugaan bahwa fungsi sel T-sitotoksik adalah surveillance dan menghancurkan sel yang mengandung gen mutan yang dapat menyebabkan atau yang diasosiasikan dengan tumor ganas (Sukardja, 2000). Walaupun tumor ganas mengekspresikan antigen tumor yang bersifat asing bagi penjamu (host), dan immune surveillance mungkin dapat membatasi pertumbuhan beberapa jenis tumor, namun belum ada bukti bahwa sistem imun dapat mencegah pertumbuhan tumor ganas. Hal ini mungkin karena kecepatan pertumbuhan dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan mekanisme efektor respons imun untuk mencegah pertumbuhan itu. Di samping kegagalan yang disebabkan oleh faktor penjamu (host), banyak tumor yang memiliki kemampuan untuk mengelak dari respons imun, dan proses pengelakan itu disebut tumor escape. (Riott, et al., 2001). commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
2.3.2.
digilib.uns.ac.id
Mekanisme Penghindaran Diri Sel Tumor terhadap Respon Imun Tumor escape atau mekanisme penghindaran diri sel tumor terhadap respon
imun dapat terjadi akibat penurunan ekspresi MHC dan kegagalan pembuatan antigen (gambar 2.5) . Ekspresi MHC I dan II sering berkurang pada tumor-tumor tertentu, bahkan ada tumor yang tidak mengekspresikan MHC sehingga tidak mampu membentuk komplek MHC-peptida yang merupakan persyaratan untuk dikenal limfosit T sitotoksik (Abbas, et al., 2007). Di samping itu sel-sel tumor dapat memproduksi substansi yang menekan respons tumor seperti transforming growth factor (TGF-b) dan IL-10 yang menghambat fungsi makrofag dan limfosit. Fas Ligan yang diekspresikan sel kanker, berikatan dengan molekul Fas yang terdapat pada permukaan limfosit akan menyebabkan kematian limfosit secara apoptosis (Hata, et al., 1998). Gangguan perlawanan terhadap sel kanker dapat juga disebabkan oleh karena bahan yang diproduksi sel kanker seperti soluble antigen tumor, prostaglandin E2 dan TNF-α. Penurunan respons imun terhadap tumor, selain akibat faktor internal dan penyakit kanker sendiri, dapat juga akibat pembedahan, radioterapi atau kemoterapi yang diberikan (Kentjono., 2003). Toleransi terhadap antigen tumor dapat terjadi akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor mengekspresikan antigen dalam bentuk tolerogenik. Contohnya adalah tumor yang disebabkan murine mammary tumor virus pada mencit dewasa yang pernah terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal karena menyusui (Abbas, et al., 2007). Disamping itu perubahan fenotipe tumor atau modulasi antigen permukaan tumor sebagai akibat pengikatan oleh antibodi juga menyebabkan commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tumor resisten terhadap mekanisme efektor sistem imun (Grenberg , 2001).
Gambar 2.6. Mekanisme Tumor menghindar dari sistem imun. (dikutip dari Abbas, et al., 2007)
Pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap mekanisme respons imun sebelum respons imun yang efektif terbentuk. Dugaan ini muncul pada percobaan di mana transplantasi tumor dalam jumlah kecil sel tumor akan menyebabkan tumbuhnya tumor letal, sedangkan transplantasi dalam jumlah besar, maka sel tumor ditolak (Abbas, et al., 2007).
Fakta lain
menunjukkan bahwa molekul tertentu seperti sialomucin, yang sering terikat pada permukaan sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit (Baratawijaya , 2004).
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
2.3.3.
digilib.uns.ac.id
Antigen Sel Tumor Mekanisme penolakan jaringan alograf, merupakan contoh tentang cara sel
tubuh melakukan pengawasan imunologik. Sel yang berubah dan berpotensi untuk menjadi ganas dapat diidentifikasi dan kemudian disingkirkan. Agar supaya mekanisme ini dapat berlangsung, sel-sel kanker harus menampilkan beberapa struktur permukaan baru yang dapat dikenal oleh sistem imun (Beverley, 2001). Jaringan tumor yang sebenarnya berasal dari jaringan tubuh sendiri (self), pada umumnya mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing. Keasingan antigen tumor disebabkan oleh adanya mutasi dan disregulasi gen yang menyebabkan diproduksinya protein baru (neoantigen) yang tidak pernah diekspresikan dalam keadaan normal, dan protein ini dapat merangsang respons imun (Macdonal, et al., 2004). Imunogenitas tumor sangat tergantung pada bagaimana tumor itu terbentuk. Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tumor yang terbentuk akibat karsinogen pada umumnya imunogenik. Spesifitas dan sifat imunogenitasnya juga bergantung pada potensi karsinogen penyebab transformasi sel dan interaksi karsinogen dengan sel sasarannya, dan tidak bergantung pada sel dari mana tumor itu berasal (Robbin, 2002). Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga bersifat imunogenik. Sel yang mengalami transformasi akan memunculkan antigen baru yang terbentuk dari antigen virion dan antigen produk gen virus yang berinteraksi dengan gen penjamu (host). Tumor yang diinduksi oleh virus yang sama akan menampilkan antigen permukaan yang sama, dan bereaksi silang, apapun asal selnya. Sedangkan imunogenitas tumor jaringan yang sama akan commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berbeda apabila masing-masing diinduksi oleh virus yang berbeda (Kresno, 2001). Adanya respons imun tubuh terhadap pertumbuhan kanker pada penderita KNF secara in vitro dibuktikan dengan ditemukannya circulating antibodies seperti IgA/G anti EBV VCA, IgA/G anti EBV EA dan IgA/G anti EBNA (Kentjono, 2003). 2.3.4.
Respon Imun Seluler Terhadap Tumor Antigen sel kanker yang ditampilkan bersama MHC kelas I akan dikenal
oleh sel T sitotoksik CD8+. Dalam hal ini sel tumor berperan sebagai APC yang menyajikan proteinnya sendiri kepada sel T. Tumor yang diinduksi oleh virus onkogenik biasanya mengandung genom provirus terintegrasi dalam genom sel tumor dan sering mengekspresikan protein yang disandi oleh genom virus bersangkutan. Protein yang disintesis secara endogen ini dapat diproses dan diekspresikan bersama MHC kelas I, sehingga merupakan sasaran untuk aktivitas sel T sitotoksik CD8+. Contoh virus onkogenik adalah Virus Epstein Barr (EBV) yang berhubungan dengan KNF dan human papilloma virus (HPV) yang dihubungkan dengan kanker serviks. Untuk mengatasi infeksi EBV diperlukan respons imun seluler. Apabila terjadi defisiensi respons imun seluler, dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi EBV secara laten mengalami transformasi ganas (Grenberg , 2001; Abbas, et al., 2007). Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik dalam mencegah pertumbuhan tumor dan bagaimana memodulasinya, diduga akan memegang peranan penting dikemudian hari. Hal ini berguna untuk meningkatkan surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kekambuhan tumor, serta menghambat perkembangan tumor selanjutnya. Di samping itu dapat juga dipakai untuk menentukan jenis pengobatan dan pengembangan imunoterapi baik secara pasif maupun aktif (Lollinii, et al., 1999; Sukardja , 2000).
2.3.5.
Respon Imun Humoral Terhadap Tumor Meskipun peran imunitas seluler lebih banyak dibanding imunitas humoral,
namun tubuh juga membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan komplemen. Di samping itu dapat juga melalui sel efektor antibodi dependent cellular cytotoxicity (ADCC) yang memiliki reseptor Fc, misalnya sel NK dan makrofag dengan cara opsonisasi atau dengan mencegah adhesi sel tumor. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel kanker yang bebas seperti leukemia dan metastase tumor dibanding terhadap tumor padat (Tannock, et al., 1992; Baratawidjaja, 2004). 2.3.6.
Mekanisme Efektor Melawan Tumor Pada beberapa penelitian terungkap bahwa baik respons imun humoral
maupun respons imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan secara in vivo, dan berbagai mekanisme efektor terbukti dapat membunuh sel tumor in vitro. (Kresno, 2001; Abbas, et al., 2007). 2.3.6.1. Sel T CD8+ (Cytotoxic T Lymphocytes) Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+ yang secara fenotip dan commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fungsional identik dengan sel T sitotoksik yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus. CD8
+
T sel limfosit T sitotoksik (CTL s) merupakan sel
yang mengeluarkan molekul yang merusak sel yang telah terikat dengan antigen. Ini adalah fungsi yang sangat berguna jika sel target terinfeksi virus karena sel biasanya hancur sebelum dapat merilis produk virus yang dapat menginfeksi selsel lain. Sel CD8+ mempunyai fungsi sitotoksik melalui dua mekanisme sebagai berikut : a) Meningkatkan perforin yang mampu merusak membran sel dan menghasilkan enzim degradatif yang disebut granzymes; b) Menginduksi kematian sel secara terprogram (apoptosis) (Levinsons, et al., 2003 ) . Perforin merupakan mediator cytolytic berupa protein yang diekspresikan oleh gen PRF1. Perforin dapat ditemukan pada granula sel T CD8+ dan NK sel. Setelah proses degranulasi sekresi perforin akan tersisipkan pada membran sel dan membentuk sebuah lubang dengan diameter yang berukuran sampai 20 nm (Liu, et al., 1995). Bagian perforin yang menancap pada membran tersebut adalah domain MACPF. Perforin bersinergi dengan membrane-attack complex yang dilakukan protein komplemen seperti C5a dan C5b (Fink, et al., 1992)
commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.7. Struktur kristal dari perforin (dikutip dalam : Fink, et al., 1992) Sel T sitotoksik dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Walaupun respons T sitotoksik mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, namun peningkatan respons sel ini merupakan cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan di masa mendatang (Beverley, 2001). Pengikatan antigen melalui reseptor pada limfosit T sitotoksik merupakan sinyal atau rangsangan awal untuk dikeluarkannya berbagai sitokin. Selanjutnya T sitotoksik yang teraktivasi akan berubah menjadi cytotoxic T lymphocyte (CTL), yaitu T sitotoksik yang pernah terpapar dengan antigen tertentu dan diprogram untuk berproliferasi bila terpapar lagi dengan antigen tersebut. Sel T sitotoksik tidak akan berfungsi sebagai CTL kalau reseptor selnya tidak terikat pada antigen. Mekanisme pembunuhan sel kanker oleh CTL merupakan mekanisme commit to user CTL akan melepaskan granul apoptosis melalui jalur granzyme dan perforin.
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sitoplasik yang merusak sel kanker dalam hal ini granzyme dan perforin (Grenberg, 2001). Di samping itu CTL mengekspresikan Fas yang berinteraksi dengan Fas ligan yang ada di permukaan sel kanker. Setelah CTL berikatan dengan sel kanker melalui ikatan Fas-Fas ligan, CTL melepaskan perforin yang dapat merusak membran sel tumor dengan cara membuat lobang. Dalam granul CTL terdapat granzyme yang menyerupai protease dan berfungsi membunuh sel tumor. Granzyme dapat masuk ke dalam sitoplasma sel tumor melalui lobang yang telah dibuat oleh perforin sebelumnya. Untuk membunuh sel kanker, CTL harus melakukan kontak yang dekat sekali dengan sel kanker. Kontak langsung ini dimungkinkan melalui interaksi molekul permukaan CTL dengan molekul adhesi di permukaan sel tumor seperti leucocyte functional antigen 1 LFA-1) dengan intercelluler adhesive molecule-1 (ICAM-1), CD8+ dengan MHC kelas I dan CD2 dengan LFA-3. Kontak CTL dan sel kanker demikian erat sampai kedua membran saling berhimpit sehingga substansi seperti granzyme, serine protease, TNF-α dan faktor sitotoksik lainnya dapat dipindahkan kedalam sitoplasma kanker. Rusaknya membran sel kanker akibat efek perforin dan faktor sitotoksik serta disintegrasi osmotik menyebabkan sel kanker mati melalui proses nekrosis. Interaksi Fas (CTL) dengan Fas ligan sel kanker akan memicu aktivasi gen supresi sehingga terjadi kematian sel secara apoptosis (Dotti, et al., 2005).
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
JALUR PERFORIN/GRANSIM Cytotoxic T cells (CTL) Membrane sel
Gransim B
Perforin Sitoplasma
Aktifasi Caspase 10
Jalur Eksekusi Aktifasi Caspase 3
Gransim A
Komplek SET
Fraksinasi DNA Inti Sel
Aktivasi Endonuclease à degradasi DNA kromosome Aktivasi Protease à degradasi nuclear dan protein cytoskeletal à reorganisasi cytoskeletal
Perubahan Cytomorphologi : Kondensasi chromatin dan cytoplasmic, fragmentasi nuclear dll
Terbentuknya Formatin sebagai bentuk apoptotic
Gambar 2.8.
Mekanisme sel T CD8+ melalui perforin dan granzime dalam proses Apoptsis (Modifikasi dari : Elmore, 2007; Apoptosis : A Review of Programmed Cell Death, Toxicology Pathology, http://tpx.sagepub.com/content/35/4/495)
Mekanisme sel T CD8+ dalam proses apoptosis melalui jalur granzim dan perforin, dengan cara langsung melalui aktifasi caspase 3 (Execution Pathway) dan tidak langsung melalui caspase 10. (gambar 2.6). Aktifnya jalur caspase 3 commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akan berakibat endonuclease activastion dan terjadi degradasi dari kromosom DNA. Selain itu protease juga menjadi aktif dan akan terjadi degradasi dari nuclear dan protein cytoskeletal
berakibat terjadi reorganisasi cytoskeletal.
Setelah terjadi aktivasi dari endonuclease dan protease maka tahap selanjutnya terjadi perubahan bentuk dari cytomorpholocal yang ditandai adanya kondensasi kromatin dan cytoplasmik, fragmentasi nuclear dan lain-lain. Tahap akhir dari mekanisme apoptosis jalur perforin / granzyme adalah terbentuknya bentukan apoptotik bodies. 2.3.6.2. Sel T CD4+ Sel T CD4+ diasosiasikan sebagai sel T helper karena memiliki peranan sebagai berikut : (1) Membantu perkembangan sel B menjadi antibodi yang menghasilkan sel plasma; (2) Membantu sel CD8+ menjadi sel T sitotoksik aktif; (3) Membantu makrofag dalam reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel CD4+ dibagi menjadi tiga sub populasi yaitu sel Th1, sel Th2 dan sel Th3. Sel Th1 mensekresi IL-2, IL-12, IFN-γ, TNF-α dan lain-lain. Sel Th2 merangsang produksi antibodi IgA, IgG, IgE yang akan menginduksi respon imun humoral (Abbas, et al., 2007; Baratawidjaja, 2001; Kuby, et al., 1997), adapun sel Th3 (CD4+CD25) disebut pula sebagai natural regulatory cell berfungsi sebagai kontrol yang memiliki peran penghambat dalam respon imun yang berlebihan (Maggi, et al., 2005). Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi selsel itu dapat berperan dalam respons anti tumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
samping itu sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF-α dan INF-γ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. Sebagian kecil tumor yang mengekspresikan MHC kelas II dapat mengaktivasi sel T CD4+ spesifik tumor secara langsung. Yang lebih sering adalah antigen presenting cell (APC) profesional yang mengekspresikan molekul MHC kelas II mengfagositosis, memproses dan menampilkan protein yang berasal dari sel-sel tumor yang mati kepada sel TCD4+, sehingga terjadi aktivasi sel-sel tersebut (Riott, et al., 2001). Sel CD4+ mengikat suatu epitop yang terdiri dari fragmen antigen tergeletak di alur dari kelas II histocompatibility molekul (MHC II). sel T CD4+ mempunyai kemampuan mengenali antigen yang dipresentasikan oleh Antigen Presenting Cell (APC) seperti fagositik makrofag dan sel dendritik. Fungsi dari CD4+ ini adalah memberi tanda dan adhesi ko-resptor pada MHC kelas II yang dibatasi antigen dan diinduksi oleh aktifasi sel T. Sel T lalu melepaskan lymphokines yang menarik sel-sel lain ke daerah infeksi.
commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
2.4.
digilib.uns.ac.id
KERANGKA TEORI
KEMOTERAPI DAN RADIOTERAPI EBV
NEKROSIS
LIMFOSIT B DAN EPITEL NASOFARING
INFLAMASI
APC
LMP1
AKTIFASI JALUR MOLEKULER
METASTASE
Tumor Infiltrating Lymphocyte
PROLIFERASI
INHIBISI APOPTOSIS JALUR CASPASE
SEL Th CD4+
SEL T CD8+
TUMOR SPESIFIK CD8+ CTL GRANZIM A DAN B
APOPTOSIS JALUR CTL KARSINOMA NASOFARING UNDIFFERENTIATED Keterangan : Memacu Menghambat
Efek samping kemoterapi neoadjuvant costimulator
commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan Kerangka Teori A. Infeksi EBV dan ongkogenesis Infeksi virus EBV pada limfosit B dimungkinkan karena adanya ikatan antara reseptor membran glikoprotein Gp350/220 pada virus dengan CD21 pada limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengkikat reseptor CD21 pada limfosit B, EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk pada sitoplasma sel pejamu kemudian terjadi fusi TR (terminal repeat) yang berakibat episom berbentuk sirkuler, partikel-partikel EBV tersebut selanjutnya akan terurai dan genom-genom EBV akan masuk kedalam nukleus yang merupakan bentuk EBV infeksi laten, ditandai dengan proses aktifasi sel dan proliferasi sel tersebut sebagai pengabadian EBV pada limfosit B (limfosit B immortal). Sebagaian besar genom virus dalam cell line yang ditransformasikan oleh EBV berada dalam bentuk episom. Di dalam sel pejamu terjadi 2 fase proses infeksi yaitu infeksi litik dan laten. Infeksi litik ditandai dengan replikasi virus secara lengkap yang dapat menginfeksi sel dan menular ke orang lain. Sedangkan fase laten ditandai adanya ekspresi gen tertentu yang merupakan bagian dari genom dan dapat menghindar dari respon imu pejamu. Langkah awal infeksi litik ditandai dengan aktivasi protein ZEBRA yang disandi oleh BZLF1 yang terdapat di sel epitel dan limfosit B. Pada saat ini produk beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempunyai korelasi dengan tahapan replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi early membrane antigen (EMA), early intra-celuler antigen (EA), viral capsid antigen (VCA), dan laten membrane antigen (LMA). Pada infeksi laten terjadi ekspresi commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari beberapa protein yaitu EBNA1,2,3a,3c dan EBNA-LP, LMP dam Ebstein Barr Encoded mRNA(EBER). LMP1 dapat menginduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-a1 pada sel B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. LMP1 mengaktifasi nuclear factor-kappa B lymphocyte (NF-kB) dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol. LMP1 menginduksi ekspresi proto-onkogen seluler B–cell leukemia–2 (bcl-2) yang akan melindungi sel dari proses apoptosis. Selain itu LMP1 menghambat proses diferensiasi sel juga melalui jaras bcl-2. LMP1 dapat menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 yang dapat menginaktivasi fungsi p53 sehingga menghambat proses apoptosis sel. Dari beberapa hal di atas diketahui bahwa ekspresi LMP 1 berperan pada proses imortalisasi dan merupakan
salah satu tahap dalam proses karsinogenesis
KNF B. Karsinoma nasofaring akan mengekspresikan beberapa protein antigen, seperti EBNA1-6 dan LMP1,2. Protein antigen LMP1 akan mempunyai efek imunologik, dimana akan dikenali oleh APC yang mempresentasikan sel TH CD4+. Dengan aktifnya CD4+ akan mengeluarkan beberapa cytokine-cytokine yang akan mengaktifkan sel T CD8+
dan selanjutnya akan menginduksi tumor spesifik
CD8+ CTL. Mekanisme CD8+ CTL dalam fungsi sitotoksik melalui mengeluarkan produk perforin yang akan merusak membran sel dan menghasilkan enzim degradatif yang disebut granzymes. akan mempengaruhi proses commit to Granzyme user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
apoptosis dengan cara langsung melalui aktifasi caspase 3 (Execution Pathway) dan tidak langsung melalui pro caspase 8. Aktifnya jalur caspase 3 akan berakibat endonuclease activastion dan terjadi degradasi dari kromosom DNA. Selain itu protease juga menjadi aktif dan akan terjadi degradasi dari nuclear dan protein cytoskeletal berakibat terjadi reorganisasi cytoskeletal. Setelah terjadi aktivasi dari endonuclease dan protease maka tahap selanjutnya terjadi perubahan bentuk dari cytomorpholocal yang ditandai adanya kondensasi kromatin dan cytoplasmik, fragmentasi nuclear dan lain-lain. Tahap akhir dari mekanisme apoptosis jalur perforin / granzyme adalah terbentuknya bentukan apoptotik bodies. C. Pengobatan kemoterapi neoadjuvant akan menghambat proses proliferasi sel dan meningkatkan differensiasi sel, sehingga akan menghambat progresifitas KNF. Disisi lain pengobatan kemoterapi neoadjuvant juga menginduksi caspase 3 dan aktif caspase 8. Dengan aktifnya caspase 3 dan caspase 8, maka mekanisme apoptosis akan terjadi dan proses KNF akan terhambat. Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor, memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor, ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor dan nekrosis jaringan. Disisi lain kemoterapi neoadjuvant menekan sistem imun akibatnya terjadi penurunan fungsi imun yang ditandai oleh penurunan CD4+ dan CD8+. Penurunan sistem imun berakibat eliminasi terhadap sel tumor terhambat, sehingga terjadi progresifitas tumor dan mudah terjadi infeksi sekunder.
commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.5. KERANGKA KONSEP
KEMOTERAPI NEOADJUVANT KNF
LMP1 CD4+/CD8+
LMP1 CD4+/CD8+
2.6.
Hipotesis Penelitian 1. Ada penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ akibat kemoterapi
neoadjuvant
pada
karsinoma
nasofaring
jenis
Undifferentiated. 2. Ada perbedaan Rasio CD4+/CD8+ akibat kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 5. Ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah one group before and after intervention
atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok tanpa kontrol yang merupakan penelitian eksperimental semu atau kuasi (Arief, 2004). Observasional dalam penelitian ini untuk mengetahui perbedaan tingkat ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. O1
(X)
O2
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok
Keterangan
:
O1
: Pengamatan Tingkat Ekspresi LMP1 sebelum intervensi Pengamatan Rasio CD4+/CD8+ sebelum intervensi
O2
: Pengamatan Tingkat Ekspresi LMP1 sesudah intervensi Pengamatan Rasio CD4+/CD8+ sesudah intervensi
(X)
: Intervensi berupa Kemoterapi neoadjuvant
3.2.
Tempat dan Waktu Penelitian
1. Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk melakukan biopsi nasofaring
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Ruang perawatan Anggrek II RSUD. Dr. Moewardi Surakarta untuk melakukan tindakan kemoterapi. 3. Ruang Radioterapi
SMF Radiologi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta
tempat pasien menjalani program radioterapi. 4. Laboratorium Patologi Anatomi FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi untuk melakukan pewarnaan hematoksilin
eosin pada preparat jaringan biopsi
nasofaring dan pembacaan serta memotong sedian parafin blok jaringan. 5. Laboratorium Biomedik FK-UNS untuk pewarnaan imunohistokimia dan pembacaan ekspresi LMP1 dan CD4+ dan CD8+ Penelitian dilakukan mulai bulan September 2009 sampai besar sample terpenuhi
3.3.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang datang berobat ke
Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi dengan hasil pemeriksaan biopsi nasofaring menunjukkan karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 3.3.1. Sampel Sampel penelitian adalah penderita karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria penelitian. Kriteria inklusi (penerimaan) : 1. Pasien baru dengan hasil histopatologi biopsi jaringan nasofaring adalah KNF jenis
Undifferentiated.
2. Memenuhi persyaratan dan bersedia diberikan program pengobatan commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemoterapi neoadjuvant Cisplatin dengan dosis 50 – 100 mg/BSI dan 5Fluorourasil dengan dosis 500 – 1000 mg/BSI dan diikuti radiasi Cobalt 60 dengan dosis 66 – 70 Gy yang diberikan dengan dosis Fraksi selama 33 kali. 3. Status kebugaran memenuhi kriteria skala ECOG ≤ 2 atau dengan skala Karnovsky ≥ 70 % 4. Menjalani pengobatan kemoterapi neoadjuvant dan
radioterapi secara
lengkap. 5. Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan setelah mendapat penjelasan (informed consent). Kriteria Eksklusi (penolakan) : 1. Pernah mendapat pengobatan imunoterapi sebelumnya. 2. Karsinoma nasofaring stadium I 3. Mendapatkan pengobatan yang bersifat immunosupresif
3.3.2. Besar Sampel Besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 10 sampel jaringan biopsi karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Pertimbangan besar sampel pada penelitian ini adalah : a. Angka dropaout pengobatan KNF cukup tinggi. b. Keterbatasan dana. 3.3.3. Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik consecutive sampling commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sampai besar sampel terpenuhi (Sastroasmoro, et al., 1995)
3.4. 1.
Variabel Penelitian Variabel bebas (independent variabel) : Kemoterapi neoadjuvant
2.
Variabel tergantung (dependent variabel) : a. Tingkat Ekspresi LMP1 , CD4+ dan CD8+ b. Rasio CD4+/CD8+
3.5.
Defenisi Operasional
1. Karsinoma Nasofaring (KNF) Defenisi
: Tumor ganas epitel skuamosa yang primernya terletak di nasofaring
Alat ukur
: Biopsi tumor primer
Cara ukur
: Melihat hasil pemeriksaan patologi anatomi
Hasil ukur
: Karsinoma Undifferentiated
2. Kemoterapi neoadjuvant Definisi : pemberian pengobatan kemoterapi dengan regimen Cisplatin dan 5 Fluorourasil satu seri (3 kali) dan dilanjutkan radioterapi dengan Cobalt 60. Cara ukur : dosis kemoterapi Cisplatin 50 – 100 mg/BSI , 5 Fluorourasil 500 – 100 mg/BSI dan Radioterapi 66-70 Gy dengan dosis fraksi selama 33 kali. Skala pengukuran ordinal
commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Ekspresi LMP1 Defenisi
: Ekspresi protein LMP 1 pada KNF jenis Undiferentiated.
Alat ukur
: Imunohistokimia
Cara ukur
: Imunoreaktivitas antibodi EBV – LMP CS 1-4 Lab Vision
Hasil ukur
: Nilai positif : warna coklat keemasan.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologi. Variabel skala ordinal. 4. Ekspresi CD4+ Definisi
: ekspresi protein CD4+ pada KNF jenis Undifferentiated
Alat ukur
: imunohistokimia
Cara ukur
: Imunoreaktivitas antibodi monoklonal mouse anti human CD4+
Hasil ukur
: Nilai positif : warna kecoklatan pada membran sel limfosit T.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologis. Variabel skala ordinal. 5. Ekspresi CD8+ Definisi
: ekspresi protein CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated
Alat ukur
: imunohistokimia
Cara ukur
: Imunoreaktivitas antibodi monoklonal mouse anti human CD8+
Hasil ukur
: Nilai positif : warna kecoklatan pada membran sel limfosit T.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologis. Variabel skala ordinal. 6. Rasio CD4+/CD8+ Rasio CD4+/CD8+ merupakan nilai pengukuran status sistem imun . Rasio limfosit T yang mengekspresikan antigen CD4+ terhadap ekspresi antigen CD8+. Nilai ini umumnya
dipakai
menggambarkan
untuk sistem
diagnosis
dan
imun termasuk commit to user
staging pada
dari infeksi
penyakit oleh
yang EBV
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(http://www.monodofacto.com/fact/Dictionary ? measure) . Nilai rasio ekspresi CD4+/CD+ dinyatakan sebagai skala ordinal .
3.6.
Alat Penelitian.
Alat penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu : 1. Alat pemeriksaan THT Yaitu : lampu kepala, spekulum hidung, spatula lidah, pinset bayonet, kapas, lidokain efedrin 2 %. 2. Alat dan bahan melakukan biopsi nasofaring : tang biopsi ( blakesley forceps ), spekulum hidung, pinset bayonet, kapas, kasa, alat nasoendoskopi, xylocain spray 10%, PBS formalin, botol untuk menyimpan jaringan biopsi. 3. Bahan untuk pewarnaan jaringan nasofaring dengan tehnik imunohistokimia antara lain antibodi EBV- LMP 1 CS 1-4 Lab Vision, mouse monoclonal antibody anti human CD4+ dan mouse monoclonal antibody anti human CD8+ 4. Alat untuk pengecatan imunohistokimia : Mikrotom, Poly L-Lysine glass slide (SIGMA), termometer, mounting media (Canada Balsem), microwave oven, inkubator, pipet mikro, deck glass, stop watch, humidified chamber, ruangan dalam kondisi kelembaban tinggi. 5. Mikroskop OLYMPUS seri BX 41
3.7.
Cara Kerja Penderita dengan kecurigaan KNF dilakukan biopsi nasofaring dengan
bantuan nasoendoskopi. Jaringan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi PBS formalin. Botol yang berisi jaringan dikirim ke commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematosillin eosin oleh dokter spesialis Patologi Anatomi. Preparat dengan hasil bacaan histopatologi KNF jenis Undifferentiated, selanjutnya blok parafin dilakukan pemotongan setebal 4 mikron. Dari masingmasing kelompok blok parafin, dipotong menjadi 3 slide dan digunakan untuk pemeriksaan LMP1 , ekspresi CD4+ dan ekspresi CD8+. Ketiga slide dilakukan pengecatan imunohistokimia sebagai berikut : 1. Pemotongan blok parafin dengan tebal 4-5 mikron. Diletakkan pada slides poly-L-lysine selanjutnya dinkubasi pada suhu 37oC selama 1 malam (agar lebih merekat pada slides). 2. Deparafinisasi : -
Direndam dalam xylol I selama 5 menit
-
Direndam dalam xylol II selama 5 menit
-
Direndam dalam xylol III selama 5 menit
-
Direndam dalam xylol IV selama 5 menit
-
Direndam dalam alkohol absolut selama 5 menit
-
Direndam dalam alkohol 95% selama 5 menit
-
Direndam dalam alkohol 70% selama 5 menit
-
Dicuci dengan aquadest selama 5 menit
3. Retrival antigen dilakukan pada microwave oven dengan buffer sitrat pH 6,4 pada suhu sedang selama 2 menit kemudian dilanjutkan pada suhu rendah selama 1 menit.
commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Cuci dengan PBS selama 2 X 5 menit. 5. Tahapa quencing endogenous peroksidase yaitu dengan memasukkan slide-slide tersebut ke dalam metanol H2O2 0,3% selama 30 menit. 6. Cuci kembali dengan aquades/PBS selama 2 X 5 menit. 7. Langkah-langkah selanjutnya ini dilakukan dengan humidified chamber : a.
Diberikan blocking reagent, biarkan selama 30 menit dan cuci dengan aquadest / PBS 2 x 5 menit.
b.
Ditambahkan antibodi primer yang telah dilarutkan sebelumnya dalam antibodi diluent ( 1:50 ), dan ditunggu selama 60 menit atau disimpan terlebih dahulu dalam kulkas pada suhu 4 0 C selama 18 jam dan dicuci dengan aquadest / PBS selama 2 x 5 menit.
c.
Ditambahkan antibodi sekunder berlabel biotin, ditungu selama 30 menit, pada suhu 30 0 C, lalu dicuci dengan aquadest atau PBS 2 x 5 menit.
d.
Ditambahkan substrat DAB (diamino Benzidine), ditunggu selama 5 menit, lalu cuci dengan aquadest / PBS 2 x 5 menit.
e.
Dilakukan perwarnaan counterstain dengan hematocylin mayer selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 2 – 5 menit
f.
Ditempelkan deck glass pada mounting media
8. Masing-masing sampel diamati dengan mikroskop cahaya dan dievaluasi pada 9 lapang pandang dengan sebaran yang merata, kemudian dibuat reratanya. Tingkat ekspresi LMP1 antibodi yang digunakan adalah mouse-anti commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LMP1, ekspresi CD4+ antibodi yang digunakan adalah mouse monoclonal antibody anti human CD4+, dan ekspresi CD8+ antibodi yang digunakan adalah mouse monoclonal antibody Human CD8+ dengan pengenceran 1:100. Sistem deteksi enzimatis ABC ( Avidin Biotin Complex ) menggunakan enzim peroksidase dan DAB ( Diamino Benzidin ) sebagai substan enzim. Nilai positif ditunjukkan dengan warna coklat keemasan hingga tua. Penilaian makna tingkat ekspresi LMP1, ekspresi CD4+, dan ekspresi CD8+ secara kuantitatif dinyatakan dalam Intensitas (I) dan Persentase (P) dan dinyatakan sebagai Skor Histologi ( SH ). Skor histologis dihitung dengan rumus uji statistik Mann-Whitney dengan rumus sebagai berikut :
SH = (IK x PK) + (IS x PS) + (IL x PL) + (IN x PN) (Tan,et. al., 2001)
Keterangan : SH= Skor Histologis
PS= Persentase Positif Sedang
PK = Prosentase Positif Kuat
IN = Intensitas Negatif
IK = Intensitas Positif Kuat
IS = Intensitas Positif Sedang
IL = Intensitas Positif Lemah
PN = Presentase Negatif
commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3.1. Nilai P ( prosentasi jumlah sel ). Kisaran
Grade
0 – 25 %
1
26 – 50 %
2
51 – 75 %
3
76 – 100 %
4
Tabel 3.2. Penilaian intensitas warna. Intensitas
Grade
Reaksi warna IHC pada Membran Sel Coklat Tua
Kuat
3
Sedang
2
Coklat Muda
Lemah
1
Kuning Keemasan
Negatif
0
Biru - Ungu (Budiani et al.,., 2006)
Interval nilai skor histologis
Makna kualitatif
0,00 – 3,75
:
Negatif
3,76 – 7,50
:
Positif lemah
7,51 – 11,25
:
Positif sedang
11,26 – 15,00
:
Positif kuat
Skor histologi ekspresi LMP1, ekspresi CD4+ dan ekspresi CD8+ adalah kalkulasi grade intensitas dan prosentase. commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penilaian intensitas dan prosentase dilaksanakan secara manual dengan mikroskop. Nilai skor histologis yang diperoleh berasal dari sembilan lapang pandang untuk masing-masing slide dan diambil nilai reratanya.
3.8.
Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dibandingkan untuk melihat perbedaan tingkat
ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio ekspresi CD4+ / CD8+ pada sediaan KNF jenis Undifferentiated. Data yang diperoleh selanjutnya di analisis dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks test untuk mengetahui perbedaan ekspresi dan Analisis Regresi Linier dan Spearman’s untuk mengetahui hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dengan menggunakan program SPSS 15 under windows.
commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan mulai September 2009 sampai dengan Maret 2011 dengan sampel
10 penderita KNF jenis Undifferentiated di Poliklinik THT,
Ruang perawatan Anggrek II dan Ruang Radioterapi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta. Pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel dilakukan biopsi jaringan nasofaring di Poliklinik THT dengan bantuan nasoendoskopi. Selanjutnya masing-masing parafin blok jaringan KNF jenis Undifferentiated dari semua penderita dilakukan pemotongan setebal 4 mikron serta diletakkan pada object glass di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta. Kemudian dikirimkan ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta untuk dilakukan pewarnaan dengan teknik imunohistokimia. Hasil pewarnaan yang diperoleh kemudian dinilai ekspresi LMP1 , CD4+ dan CD8+. Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ dinilai menggunakan skor histologi. Rasio CD4+/CD8+ merupakan hasil penghitungan antara ekspresi CD4+ dan CD8+. Untuk menilai adanya perbedaan antara hasil sebelum dan sesudah terapi Kemoterapi neoadjuvant dianalisis dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks test , sedangkan analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ dengan menggunakan Uji Spearman’s dan regresi linier program SPSS 15.0 underwindows. Hasil penelitian yang diperoleh seperti di bawah ini.
commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian Data dasar dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, stadium KNF, Kadar Hemoglobin, Kadar Leukosit dan Kadar Trombosit. 4.1.1. Data Dasar Umur sampel Penelitian
4
3
4
2
3 2
1
1 0 30 - 40
41 - 50
51 - 60
61 - 70
KELOMPOK UMUR
Gambar 4.1. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur. Berdasarkan gambar 4.1 didapatkan nilai rerata umur 52,6 dengan standar deviasi 13, 32 th (32 – 70 tahun) dengan kelompok umur terbanyak 50 - 70 tahun ( 60 % ) 4.1.2 Data Dasar Jenis Kelamin sampel Penelitian
9 8 7 6 5
9
4 3 2
1
1 0 LAKI-LAKI
PEREMPUAN
Gambar 4.2.
Diagram Batang Distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin. Dari gambar 4.2 di dapatkan penderita terbanyak pada penelitian ini adalah
penderita laki-laki 9 (90 %).
commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.1.3. Data Dasar Ukuran Tumor Primer sebelum dan sesudah Pengobatan 4
4
3
3
3 2
2
2 1
1
1 0
0 T4
T3
T2
STAGING T PRE
T1
T0
STAGING T POST
Gambar 4.3. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran tumor Primer (T) sebelum dan sesudah Pengobatan. Dari gambar 4.3 didapatkan bahwa berdasarkan ukuran tumor primer sebelum pengobatan terbanyak adalah T4 dan T3 sebanyak 70 %, sedangkan T2 dan T1 sebanyak 30 %, dan T0 = 0 %. Setelah pengobatan terjaadi perubahan untuk ukuran besar tumor primer dimana untuk T4 dan T3 menjadi 50 % dan T2 dan T1 sebanyak 20 % dan T0 sebanyak 30 %. 4.1.4
Data dasar kelenjar Getah Bening Leher sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant. 7 7 6 5
4
4 3
3 2
2
2
1
1
1
0
0 N3
N2 STAGING N PRE
N1
N0
STAGING N POST
Gambar 4.4. Distribusi sampel berdasarkan Ukuran Kelenjar Getah Bening Leher sebelum commit dan sesudah to user Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari gambar 4.4 didapatkan bahwa berdasarkan ukuran kelenjar getah bening leher sebelum pengobatan terbanyak adalah N3 dan N2 sebanyak 60 %, sedangkan N1 dan N0 sebanyak 40 %. Setelah pengobatan terjaadi perubahan untuk ukuran kelenjar getah bening leher dimana untuk N3 dan N2 menjadi 20 %, N1 sebanyak 10 % dan tidak teraba kelenjar getah bening leher (N0) sebanyak 70 %. 4.1.5. Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin, Leukosit dan Trombosit Sebelum dan Sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated.
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit pada sampel dibedakan menjadi kadar pre kemoterapi I, post kemoterapi I, post kemoterapi II dan post kemoterapi III atau sebelum terapi radioterapi (tabel 4.1). Tabel 4.1. Perbedaan Kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan Trombosit (AT) sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Variabel
Pre Kemo I
Post kemo I
Kadar Hb
12,42 ±1,41
11,31 ± 0,87
Post Kemo Post Kemo II III 11,72 ± 1,30 11,00 ± 0,87
Kadar Al
8,56 ± 4,05
5,69 ± 1,81
5,31 ± 1,38
304,4±111,98
255,5 ± 77,95
201,6 ± 83,6
Kadar AT
6,61 ± 2,40 174,5 ± 55,6
Hasil kadar hemoglobin yang didapatkan adalah nilai rerata HB pre kemoterapi I 12,42 ±1,41 (rentang nilai 11,3 – 15,4); nilai rerata HB post kemoterapi I adalah 11,31 ± 0,87 (rentang nilai 10,5 – 13,2); nilai rerata HB post kemoterapi II adalah 11,72 ± 1,30 (rentang nilai 10,6 – 14,3) dan nilai rerata HB commit to user post kemoterapi III adalah 11,00 ± 0,87 ( rentang nilai 9,9 – 12,3).
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Didapatkan perbedaan secara bermakna anatara kadar Hb sebelum kemoterapi dengan sesudah kemoterapi I dan III (p<0,05) dan tidak terdapat perbedaan antara kadar HB sebelum kemoterapi I dengan sesudah kemoterapi II (p>0,05) Hasil pemeriksaan kadar leukosit pada sampel dibedakan menjadi kadar leukosit pre kemoterapi I, post kemoterapi I, post kemoterapi II dan post kemoterapi III. Hasil yang didapatkan adalah nilai rerata leukosit pre kemoterapi 8,56 ± 4,05 (rentang nilai 4,0 – 13,8); nilai rerata AL post kemoterapi I adalah 5,69 ± 1,81 (rentang nilai 3,2 – 9,7); nilai rerata AL post kemoterapi II adalah 5,31 ± 1,38 (rentang nilai 3,2 – 7,3) dan nilai rerata AL post kemoterapi III adalah 6,61 ± 2,40 (rentang nilai 2,8 – 11,1). Didapatkan perbedaan secara bermakna anatara kadar leukosit sebelum kemoterapi dengan sesudah kemoterapi III (p<0,05) dan tidak terdapat perbedaan antara kadar HB sebelum kemoterapi I dengan sesudah kemoterapi I dan II (p>0,05) Hasil pemeriksaan kadar trombosit pada sampel dibedakan menjadi kadar trombosit pre kemoterapi I, post kemoterapi I, post kemoterapi II dan post kemoterapi III. Hasil yang didapatkan adalah nilai rerata AT pre kemoterapi I 304,4 ± 111,98 (rentang nilai 165,0 – 480,0); nilai rerata AT post kemoterapi I adalah 255,5 ± 77,95 (rentang nilai 178,0 – 417,0); nilai rerata AT post kemoterapi II adalah 201,6 ± 83,6 (rentang nilai 93,0 – 328,0) dan nilai rerata AT post kemoterapi III adalah 174,5 ± 55,6 (rentang nilai 88,0 – 271,0). commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Didapatkan perbedaan secara bermakna anatara kadar trombosit sebelum kemoterapi dengan sesudah kemoterapi II dan III (p<0,05) dan tidak terdapat perbedaan antara kadar HB sebelum kemoterapi I dengan sesudah kemoterapi I (p>0,05) p=0,014 p=0,264 p=0,048 p=0,207 p=0,027 p=0,056 p=0,014 p=0,264 p=0,048
Gambar 4.5. Boxplot Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan Trombosit (AT) selama menjalani Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated (α = 0,05)
Berdasarkan grafik boxplot terlihat bahwa rerata kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit mengalami penurunan sesudah terapi kemoterapi. 4.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated. Sepuluh sampel hasil biospi KNF Undifferentiated sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan pemeriksaan imunohoistokimia. commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ dibaca dan dihitung skor histologi ekspresinya sebanyak 9 lapang pandang. Hasil pembacaan dari 9 lapang pandang dihitung nilai reratanya. 4.2.1. Hasil Pemeriksaan LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated .
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi LMP1 sebelum pengobatan adalah
1,79 ± 0,68 (rentang nilai 0,67 – 2,78) dan sesudah
pengobatan adalah 0,41 ± 0,39 (rentang nilai 0,00 – 1,00) . Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test. Tabel 4.2.
Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test tingkat ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated. Sebelum terapi
Sesudah terapi
Variabel LMP1
n 10
Mean 1,79
SD 0,68
n 10
Mean 0,41
SD 0,39
Z Wilcoxon
p
-2,70
0,007
Didapatkan perbedaan bermakna secara statistic ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant
pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated (p = 0,007)
commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4.6. Boxplot Hasil Ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated (p=0,007).
Berdasarkan gambar boxplot terlihat bahwa rerata ekspresi LMP1 akan menurun signifikan secara statistic (p = 0,007) pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant. 4.2.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia pengobatan adalah
didapatkan nilai rerata Ekspresi CD4+ sebelum
2,06 ± 1,31
(rentang nilai 0,33 - 4,00 ) dan sesudah
pengobatan adalah 0,88 ± 0,74 (rentang nilai 0,00 – 2,22 ). Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test. commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.3. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated. Sebelum terapi
Sesudah terapi
Variabel CD4+
n 10
Mean 2,06
SD 1,31
n 10
Mean 0,88
SD 0,74
Z Wilcoxon
p
-2,04
0,041
Didapatkan perbedaan bermakna secara statistik ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant
pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated (p = 0,041)
Gambar 4.7. Boxplot Hasil ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated (α = 0,041). Berdasarkan gambar 4.7 boxplot terlihat bahwa rerata ekspresi CD4+ akan menurun signifikan secara statistic (p = 0,041) pada kelompok sampel sesudah commit to user kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 86
perpustakaan.uns.ac.id
4.2.3.
digilib.uns.ac.id
Hasil Pemeriksaan Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated. Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi CD8+ sebelum pengobatan adalah
1,96 ± 0,92 (rentang nilai 1,00 – 3,67 ) dan sesudah
pengobatan adalah 0,23 ± 0,26 (rentang nilai 0,00 – 0,67). Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Uji Wilcoxon test. Tabel 4.4. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Sebelum terapi
Sesudah terapi
Variabel +
CD8
n 10
Mean 1,96
SD 0,92
n 10
Mean 0,23
SD 0,26
Z Wilcoxon
P
-2,80
0,005
Didapatkan perbedaan bermakna secara statistik ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant
pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated (p = 0,005)
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4.8. Boxplot Hasil ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated (p = 0,005). Berdasarkan gambar boxplot terlihat bahwa rerata tingkat ekspresi CD8+ menurun secara signifikan (p = 0,005) pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant. 4.2.4. Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated . Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik pewarnaan
imunohistokimia
didapatkan rerata rasio CD4+/CD8+ sebelum
pengobatan adalah 1,06 ± 0,61 (rentang nilai rasio 0,33 – 2,07 ) dan sesudah pengobatan adalah 1,62 ± 3,25 (rentang nilai rasio 0,00 – 10,60) (tabel 4.5) . Pada penelitian ini di dapatkan bahwa rerata rasio CD+/CD8+ sesudah pengobatan commit to user lebih tinggi bila dibandingkan sebelum pengobatan. Untuk menilai adanya 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbedaan rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test.
Tabel 4.5. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated . Sebelum terapi
Sesudah terapi
Variabel Rasio CD4+/CD8+
n 10
Mean 1,06
SD 0,61
n 10
Mean 1,62
SD 3.25
Z Wilcoxon
P
-0,46
0,646
Berdasarkan tabel 4.5. diketahui tidak ada perbedaan secara statistik rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant (p = 0,646)
Gambar 4.9.
Boxplot Hasil Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated (p=0.646).
Berdasarkan gambar 4.9. boxplot terlihat bahwa peningkatan rerata rasio commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CD4+/CD8+ tidak signifikan secara statistik (p = 0,646) pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.3. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Jenis Undifferentiated . . Model persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ menggunakan analisis regresi linier dan
kekuatan korelasinya
dengan analisis Spearman’s rho. Variabel ekspresi LMP1 sebagai variabel bebas yang ingin diketahui sejauh mana berpengaruh terhadap rasio CD4+/CD8+, tanpa melihat adanya faktor lain.
Tabel 4.6. Analisis Model Persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Confidence Interval 95 %
B Konstanta LMP1
1,91 - 0,51
t 2,29 - 0,86
p 0,035 0,401
Batas Batas Bawah Atas 0,15 3,66 - 1,76 0,74
Dari table 4.6. menunjukkan hubungan terbalik antara ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+, tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,401) dan memenuhi model persamaan linier dengan rumus persamaan : Y = 1,91 – 0,51 X ; dimana Y = rasio CD4+/CD8+ dan X = Ekspresi LMP1
commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4.10. Korelasi antara ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring Undifferentiated (r= 0,17; p=0,468).
Dari gambar 4.10 dapat dilihat hasil analisis Spearman’s menunjukkan korelasi sangat lemah antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ dan tidak signifikan (r=0,17 ; p=0,468). Rasio CD4+/CD8+ akan mengalami penurunan dengan bertambahnya ekspresi LMP1. Penurunan rasio ini hanya mampu dijelaskan sebesar 4 %, selebihnya sebesar 96 % penurunan rasio CD4+/CD8+ akibat faktor lain.
commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
RESUME HASIL Tabel 4.7. Resume tabel analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Variabel LMP1 CD4+ CD8+ Rasio CD4+/CD8+
Sebelum (n=10) Mean 1,79 2,06 1,96 1,06
SD 0,68 1,31 0,92 0,61
Sesudah (n=10) Mean 0,41 0,88 0,23 1,62
SD 0,39 0,74 0,26 3,25
p=0,646 p=0,005 p=0,041 p=0,007
7
6
Z Wilcoxon
P
-2,70 -2,04 -2,80 -0,46
0,007 0,041 0,005 0,646
LMP1 CD4 CD8 RASIO
5
4
3
2
1
Eks
0
SEBELUM
SESUDAH
KEMOTERAPI NEOADJUVANT
Gambar 4.11. Resume gambar boxplot ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated. commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
Rancangan penelitian ini adalah one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok tanpa kontrol yang merupakan penelitian eksperimental semu atau kuasi (Arief, 2004). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan tingkat ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ , Rasio CD4+/CD8+ dan hubungan antara ekspresi LMP1 dan rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian ekspreimental kuasi karena pengamatan dilakukan terhadap subyek penelitian dengan melakukan intervensi atau perlakuan kemoterapi neoadjuvant tanpa menggunakan kontrol. Kelebihan penelitian ini relatif mudah dan murah bila dibandingkan eksperimen murni apalagi sampel dalam penelitian ini kecil. Populasi penelitian adalah penderita KNF yang berobat di Bagian Ilmu Kesehatan THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria penerimaan diambil sebagai sampel penelitian dengan metode pengambilan sampel secara consecutive sampling (non probality sampling). Pada penelitian ini didapatkan data dalam bentuk ordinal pada tiap variabel yang diteliti. Untuk mengetahui adanya perbedaan antara variabel sebelum dan sesudah terapi yaitu LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ maka dilakukan analisis dengan menggunakan Wilcoxon SignedRanks test dengan α = 0,05. commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ dengan menggunakan Analisis Spearman’s dan regresi linier. 5.1. Data dasar sampel penelitian Penelitian ini dilakukan pada 10 pendeita KNF jenis Undifferentiated dengan rerata umur adalah 52,6 tahun dengan standar deviasi 13,327 tahun (rentang umur
32 – 74 tahun), dengan kelompok usia terbanyak 50 – 70 tahun
(60 %) dan total sampel di atas dekade 4 sebesar 80 % (gambar 4.1). Hal ini sesuai dengan laporan Mulyarjo (2002) di Poli Onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 – 2001 didapatkan kelompok umur terbayak pada dekade ke 5 dan penelitian Lasniroha (2008) di poli Ongkologi THT RSUD. Dr. Moewardi Surakarta sebesar 79,5 %.Yunarti (2007) pada penelitian dengan 40 penderita KNF mendapatkan rerata umur 40,8 tahun dengan standar deviasi 13,49 (rentang umur 15 – 60 tahun) dan kelompok penderita terbanyak adalah umur 50-60 tahun. Keganasan kebanyakan didapatkan pada usia tua (lebih dar 40 tahun) dikarenakan sistim imunitas dan mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang berfungsi dengan baik. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Abbas, et al., 2007). Pada penelitian ini didapatkan kebanyakan laki-laki (90 %) dan perempuan (10 %) (gambar 4.2). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian orang lain seperti pada penelitian Mulyarjo (2002) terhadap penderita KNF selama tahun 2000commit to user
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2001 yang mendapatkan angka perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan 2:1, dan penelitian Lasniroha (2008)
yaitu 2,4 : 1. Gondowiarjo
(1998) melaporkan dengan mengutip dari data Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1991, melaporkan bahwa penderita KNF kebanyakan pada pria usia produktif dengan perbandingan antara laki-laki dengan wanita sebesar 2,2 : 1. Yunarti (2007) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 67,5 % (2,1) : 13 % (1). Prosentase lebih tinggi pada laki-laki kemungkinan oleh karena laki-laki lebih sering keluar rumah sehingga relatif banyak terkena polusi maupun iritasi kronis pada mukosa nasofaring dan merokok dibandingkan wanita. Dari gambar 4.3 didapatkan bahwa sebagian besar penderita KNF yang datang berobat ke RSUD. Dr. Moewardi Surakarta memiliki ukuran tumor primer T3 dan T4 (70 %) sudah stadium lanjut ( III dan IV ) yaitu sebesar 8
pasien
(80 %). Hal ini sesuai dengan laporan Mulyarjo (2002) pada penelitian di Poli Onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 – 2001 dan penelitian Lasniroha (2008)
di Poli Ongkologi THT RSUD. Dr. Moewardi Surakarta
didapatkan sebagian besar
penderita KNF datang sudah stadium lanjut yaitu
89,7 %. Kondisi inilah merupakan kendala yang dihadapi dalam penanganan KNF, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Semakin lanjut stadium KNF saat penderita datang berobat maka semakin komplek penanganannya. KNF merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa atau jaringan limfoepitelial pada nasofaring. Karena lokasinya yang tersembunyi, KNF relatif sulit didiagnosis secara dini (Mulyarjo, 2001) . Selain itu, karena commit to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gejala dini KNF hampir sama dengan keradangan di saluran nafas atas pada umumnya. Hal ini dapat mengurangi perhatian pemeriksa dalam mendiagnosis kemungkinan adanya KNF. Peralatan yang kurang memadai juga dapat menjadi kendala dalam mendiagnosis penyakit ini. Faktor penyebab keterlambatan lainnya yaitu pengetahuan yang kurang, percaya pada pengobatan non medis, takut berobat ke dokter dan kondisi sosial ekonomi yang lemah dari penderita. Hal di atas bisa menyebabkan penderita kurang memperhatikan adanya kelainan tentang penyakit kanker ataupun gejala dini KNF dan baru datang untuk memeriksakan diri setelah adanya benjolan di leher. Beberapa hal di atas dapat menyebabkan penderita KNF baru berobat setelah stadium lanjut. Keterlamabatan dalam mendiagnosis berkorelasi dengan hasil akhir pengobatan. Prognosis penderita KNF pada umumnya tidak baik. 5 year survival rate untuk stadium I dilaporkan sebesar 83,7 %, stadium II 67,9 %, stadium III 40,3 % dan stadium IV sebesar 22,3 % (Skinner, et al., 1991). Pada table 4.1. dapat diketahui kadar hemoglobin pasien KNF yang menjalani kemoterapi neoadjuvant adalah 12,23 mg/dL dengan standar deviasi 1,21 dengan rentang nilai kadar Hb adalah 11,3 – 15,4 mg/dL. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Yunarti (2007), yang mendapatkan kadar Hb rerata adalah 12,90 dengan standar deviasi 1,369 (rentang nilai Hb : 10,3 g% - 16,0 g%). Kadar Hb prekemoterapi pertama merupakan kadar Hb baseline. Kadar HB ini mempunyai kecenderungan menurun saat pasien menjalani kemoterapi dan akan terus mengalami penurunan selama radioterapi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Becker, et al., (2000) dalam penelitiannya commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap 133 pasien Tumor kepala leher melaporkan bahwa kadar Hb berhubungan erat dengan kondisi oksigenasi jaringan tumor. Kadar Hb akan terus menurun selama terapi dan ini sangat erat dengan terjadinya hipoksia jaringan. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa kadar HB berhubungan erat dengan hasil akhir pengobatan. Kadar leukosit pasien KNF yang menjalani kemoterapi neoadjuvant adalah 7,85 dengan standar deviasi 3,67 dengan rentang nilai kadar AL adalah 4,0 – 13,8. Kadar trombosit pasien yang menjalani pengobatan adalah pre kemoterapi I 304,4 ± 111,98 (rentang nilai 165,0 – 480,0); nilai rerata AT post kemoterapi I adalah 255,5 ± 77,95 (rentang nilai 178,0 – 417,0); nilai rerata AT post kemoterapi II adalah 201,6 ± 83,6 (rentang nilai 93,0 – 328,0) dan nilai rerata AT post kemoterapi III adalah 174,5 ± 55,6 (rentang nilai 88,0 – 271,0). Hasil ini menunjukkan adanya kecenderungan penurunan selama terapi. 5.2. Analisis Ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom. Limfosit B yang terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA1, LMP1 dan 2. Ekspresi gen laten inilah yang memberikan kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan (Hu, et al., 1996). Pada tabel 4.2. Ekspresi LMP1 sesudah pengobatan adalah 0,41 dengan standar deviasi 0,39 (rentang nilai 0,00 – 1,00),
sedangkan ekspresi LMP1
sebelum pengobatan didapatkan nilai rerata ekspresinya 1,79 dengan standar user skor histologis ekspresi LMP1 deviasi 0,68 (rentang nilai 0,67 commit – 2,78).to Hasil
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesudah pengobatan lebih rendah atau mengalami penurunan bila dibandingkan sebelum pengobatan secara signifikan (p=0,007). Perhitungan ekspresi LMP1 dengan menggunakan penjumlahan skor antara jumlah protein yang terekspresi dengan intensitasnya tidak selalu didapatkan bahwa LMP1 selalu terekspresi positif pada penelitian ini, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Khabir, et al., (2008) yang mendapatkan skor antara antara 2 sampai dengan 12 dengan rerata 7,6 dengan standar deviasi 2,6 dan semua protein LMP1 terekspresi. Ekspresi LMP1 memang didapatkan hasil yang berbeda-beda, seperti yang dilaporkan oleh Lasniroha (2008) yang mendapatkan nilai rerata ekspresi LMP1 sebesar 11.76 %, Lin (2003) mendapatkan ekspresi LMP1 pada KNF jenis Undifferentiated sebesar 65 %, Gondowiarjo (1998) mendapatkan angka 50,61 % memberikan ekspresi LMP1 yang positif. Kim, et al., (2006) dalam penelitiannya terhadap 40 pasien KNF (yang terdiri WHO I : 5 pasien, WHO II : 20 pasien dan 15 pasien WHO III/undifferentiad) dengan menggunakan tehnik pengecatan imunohistokimia monoclonal antibodi untuk LMP1 (DAKO, clones CS1-4, CA, USA: dilution 1: 400) mendapatkan ekspresi LMP1 positif 12 (30%) pasien (yang terdiri dari 5 (25 %) pasien dari WHO II dan 7 (22%) pasien WHO III). Hariwiyanto (2009) yang melakukan penelitian terhadap 56 pasien KNF yang mendapatkan adanya perbedaan ekspresi LMP1 antara KNF dengan respon negatif dan KNF respon pengobatan positif secara signifikan (p=0,001). Hasil ekspresi LMP1 yang dibedakan menjadi kelompok dengan respon negatif mendapatkan hasil rerata ekspresi LMP1 adalah 9,149 (dengan rentang nilai 4,2 – 11,6) dan nilai rerata ekspresi LMP1 5,5037 (rentang nilai 3,0 – 7,6) pada pasien commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KNF dengan respon pengobatan positif. Perbedaan ini mungkin disebabkan pemeriksaan imunohistokimia dan penghitungan ekspresi protein dilakukan semikuantitatif dengan menghitung jumlah sel yang terekspresi dan intansitas warnanya, sedangkan pemeriksaan konvensional hanya menghitung jumlah sel yang terekspresi pada tiap lapang pandang dan tidak dilakukan penghitungan intensitas warna. Pada penelitian ini didapatkan bahwa setelah pengobatan kemoterapi neoadjuvant masih didapatkan adanya ekspresi LMP1 positif yaitu 7 sampel (70 %) dan sisanya (30 %) tidak menunjukkan ekspresi LMP1. Hal ini membuktikan bahwa angka keberhasilan terapi pada KNF Undifferentiated stadium lanjut cukup rendah berkisar 30-40 %, dan sangat mungkin adanya ekspresi LMP1 setelah terapi berkaitan dengan kemampuan kemoterapi neoadjuvant dalam eradikasi tumor primer, angka rekurensi dan kesembuhan pada pasien KNF. Kemoterapi neoadjuvant akan memacu proses apoptosis melalui mekanisme aktifasi terhadap komplek caspase dan menekan ekspresi LMP1 (Karen, et al.,1999; Weinrib, et al., 2001; Gerald, et al., 2005). Hariwiyanto (2009) dalam penelitiannya terhadap 56 pasien KNF mendapatkan bahwa adanya ekspresi LMP1 yang rendah < 7,2 (28 orang) maka 2 (6,89%) dan 26 (93,11 %) orang hidup dengan nilai ketahanan hidupnya mencapai 96 %, sedangkan pada pasien yang menunjukkan ekspresi LMP1 tinggi (> 7,2) didapatkan 11 orang (40,7 %) meninggal dan hanya 17 orang (59,30%) hidup dengan nilai ketahanan hidupnya mencapai 60 %. Ekspresi LMP1 merupakan satu protein membran yang dapat mengaktifasi faktor transkripsi NFkB dan berakibat terhalangnya proses apoptosis, sehingga commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menyebabkan penurunan nilai ketahanan hidup pasien KNF. Ekspresi LMP1 positif merupakan produk onkogen virus potensial yang mempunyai beberapa fungsi dan peran biologi penting karsinogenesis dan regulasi sitokin pada KNF yang ditandai adanya sel-sel inflamasi mononuclear. Transkripsi gen LMP1 membentuk messenger ribonucleic acid (mRNA) yang merupakan transkripsi genom virus paling dominan pada sel limfosit B dan ditransformasikan oleh EBV (Miller, et al., 1995; Kentjono, et al., 2000; Murono, et al., 2003; Raab-Traub, et al., 2005; Zheng, et al., 2007; Weinburg, 2007). LMP1 dapat mengiduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-a1 pada sel limfosit B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. sehingga sel tidak terkontrol (Miller, et al., 1995). 5.3. Analisis Ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Pada tabel 4.3. dapat diketahui Ekspresi CD4+ sebelum pengobatan adalah 2,06 dengan standar deviasi 1,31 (rentang nilai 0,33 – 4,00) dan ekspresi CD4+ sesudah pengobatan adalah 0,88 dengan standar deviasi 0,74 (rentang nilai 0,00 – 2,22 ). Apabila dianalisis maka dapat diketahui bahwa ada perbedaan ekspresi dan perbedaan ini bersifat penurunan ekspresi CD4+
sesudah pengobatan.secara
signifikan (p=0,041). Hasil ini sesuai dengan penelitian Yunarti (2007) yang mendapatkan adanya penurunan secara signifikan (p=0,0001) jumlah limfosit dan monosit antara sebelum dan sesudah radioterapi. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Haryana, et al., (2009) yang mendapatkan hasil ekspresi CD4+ commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5,12 dengan standar deviasi 5,48. Dari 10 sampel penelitian sesudah pengobatan hanya 8 (80 %) yang menunjukkan adanya ekspresi CD4+, sedangkan 2 sampel (20 %) ekspresi CD4+ tidak bisa diidentifikasi. Pada penelitian ini terjadi penurunan ekspresi CD4+ setelah 2 bulan kemoterapi neoadjuvant, hal ini mungkin disebabkan adanya efek imunosupresif radioterapi belum sepenuhnya hilang walaupun dalam beberapa kajian disebutkan bahwa efek ini terjadi 4 – 6 minggu setelah radioterapi. Menurut Maity, et al., (1994) penurunan limfosit ini dapat mencapai 50-60 % dibanding sebelum terapi. Sel-sel ini akan kembali normal pada 13 minggu setelah terapi. Disamping itu radioterapi menyebabkan penurunan imunitas seluler pada penderita KNF karena: (1) besarnya volume darah yang terpapar radiasi, (2) kelenjar timus masih tetap menerima radiasi sekalipun radiasi yang dipakai hanya 390 rads dan (3) malnutrisi dan menurunnya berat badan karena mukositis (Rabben, et al., 1976; Wolf, et al., 1987). Penurunan sel CD4+ sesudah kemoterapi neoadjuvant menunjukkan bahwa sel CD4+ sensitif terhadap terapi dan proses pemulihannya lambat (Kuss, et al., 2005). Pada kasus KNF ekspresi CD4+ akan meningkat dan lebih tinggi dari orang normal dan tidak tergantung pada jenis histopatologi dan stadium KNF, hal ini menunjukkan bahwa pada keganasan sel progresifitas KNF.
T CD4+ mungkin berperan pada
Progresifitas KNF terjadi oleh karena sel T CD4+ akan
diaktifasi mulai dari kondisi premalignant sampai malignant dari infeksi EBV. (Budiani, et al., 2010). Ekspresi CD4+ yang tinggi sebelum terapi atau pada keganasan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan sistem imun dalam mengeliminasi pertumbuhan tumor. Mekanisme imunosupresif dapat disebabkan commit to user
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh adanya sekresi cytokine supresif (IL-2) yang akan menginduksi tolerogenik dendric cell (DC), disamping dalam beberapa kasus menyebabkan terjadinya lisis dari sel T atau APC. Keadaan imunosupresif juga dipicu oleh kemampuan sel tumor memproduksi TGF-β dan VEGF yang berakibat sel T menjadi Tregs baik langsung atau tidak langsung (Zou, et al., 2006). Hasil berbeda ditunjukkan oleh Kuss, et al., (2005) dalam penelitiannya tentang Imbalance in Absolute Counts of T Lymphocyte Subsets in Patients with Head and Neck Cancer and Its Relation to Disease mendapatkan adanya perbedaan signifikan (p=0.0001) dan ekspresi CD4+ lebih rendah pada tumor ganas kepala leher bila dibanding sel normal (670±412 (44 ±9) dibanding 1.005 ± 360 (47±9) ). 5.4. Analisis Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated . Pada tabel 4.4 dapat diketahui Ekspresi CD8+ sebelum pengobatan adalah 1,96 dengan standar deviasi 0,92 (rentang nilai 1,00 – 3,67 ) dan ekspresi CD8+ sesudah pengobatan yaitu 0,23 dengan standar deviasi 0,26 (rentang nilai 0,00 – 0,67). Ekspresi CD8+
sesudah pengobatan ada perbedaan dengan sebelum
pengobatan dan bersifat mengalami penurunan secara signifikan (p = 0,005). Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Haryana et al., (2009) yang mendapatkan hasil ekspresi CD8+ adalah 16,54 dengan standar deviasi 24,55. Penelitian lain yang dilakukan oleh Zhang, et al (2010) mendapatkan angka ekspresi CD8+ adalah 52,5 dengan standar deviasi 4,97 (rentang nilai 0,080 – 231,3 cell/HPF). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi CD8+ sesudah 2 bulan commit to user pengobatan kemoterapi neoadjuvant lebih rendah bila dibandingkan sebelum
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengobatan. Beberapa obat kemoterapi dapat meningkatkan sekaligus menekan antigen-spesifik imun respon yang tergantung akan dosis, waktu pemberian obat dan paparan protein antigen (Nigam, et al., 1998; Emens, et al., 2001). Peranan kemoterapi dalam proses lisis sel tumor oleh CTLs melalui mekanisme perubahan epigenetik, merangsang kembali ekspresi antigen tumor dan molekul yang berperan dalam prosesing dan presentasi antigen. Radioterapi mempunyai efek imunosupresif sebab radiasi pengion menyebabkan sindrom hemopoitik yang ditandai penurunan jumlah dan kualitas sel darah tepi terutama limfosit. Sinar pengion yang dihasilkan radioterapi menyebabkan pemecahan kovalen antara hydrogen dan oksigen. Radikal bebas OH– mengoksidasi DNA sehingga rantai DNA pecah dan menyebabkan kerusakan kromosom sehingga terjadi perubahan metabolisme dan efek biologi sel pada tingkat mitosis (kerusakan struktur sel yang memicu apoptosis sel imun) (Syahrun et al., 1984). Reaktifitas radikal bebas sangat tinggi dengan waktu paruh sangat pendek(10–9 detik) sehingga dengan cepat merusak molekul didekatnya. Sebuah molekul OH– dapat merusak ratusan rantai PUFA menjadi lipid hidroperoksida yang akan berubah menjadi aldehid. Aldehid akan berikatan denga protein, menghancurkan integritas membran sel, merusak aktifitas transport protein, membuat kolaps ion gradien dan akhirnya memicu kematian sel. Sebuah penelitian membuktikan adanya hubungan negatif antara dosis dan lamanya radiasi dengan imunitas seluler penderita KNF. Semakin besar dosis dan semakin lama paparan radiasi akan semakin menurunkan sistem imun seluler (Syahrun, 1984). commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebuah penelitian lain melaporkan bahwa sekitar 75% penderita KNF mengalami penurunan cell mediated imunity ( CMI ) setelah radioterapi sebab radioterapi pada KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat mengenai sel efektor imunologis, baik yang beredar di sirkulasi, jaringan limfoid mukosa hidung dan nasofaring serta tenggorok (ring of waldeyer’s) (Wolf, et al., 1987). Sebuah penelitian lain oleh Syahrun (1984) membuktikan bahwa setelah radioterapi terjadi penurunan jumlah total limfosit sebesar 50 - 60% dibandingkan dengan sebelum radioterapi. Penurunan sel-sel darah tepi ini karena terhambatnya produksi sel darah dalam sistem hemopoetik (hambatan mitosis pada sel induk) (Syahrun, 1984).
Sel limfosit yang terpapar sinar pengion akan mengalami
aberasi pada kromosomnya sehingga terjadi perubahan metabolisme dan efek biologis sel pada tingkat mitosis. Aberasi kromoson dapat terjadi pada sel induk sumsum tulang maupun sel limfosit matur pada nodus limfatikus dan pembuluh darah tepi. Sel-sel prekursor di sumsum tulang lebih radiosensitif dibandingkan sel limfosit matur. Aberasi kromosom ini menyebabkan penurunan jumlah limfosit, walaupun limfosit mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kerusakan melalui reparasi DNA. Apabila sistem ini gagal maka akan terjadi penurunan imunitas seluler dalam melawan kanker (Wang, et al., 1994). Efek radiasi pada dosis 200 cGy yang diberikan 5 kali dalam seminggu pada daerah nasofaring akan menurunkan jumlah dan indeks transformasi limfosit dimana hitung limfosit terendah terjadi 4 minggu setelah penyinaran. 2 minggu setelah penyinaran, indeks transformasi dan hitung limfosit akan mulai meningkat (Syahrun, 1984)
commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Monosit juga merupakan sel yang radiosensitif tetapi radiosensitifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan limfosit. Pada dosis radioterapi yang sama, monosit turun lebih lambat tetapi reparasi lebih cepat dibandingkan dengan limfosit. Reparasi limfosit terjadi 20 – 30 hari sedangkan monosit 6 hari setelah radioterapi (Syahrun, 1984; Early, et al., 1985) Sel T CD8+ akan diaktifasi oleh antigen virus EBV melalui mekanisme yang tergantung MHC I. Peningkatan sel T CD8
+
pada KNF bukan merupakan
sesuatu yang mengejutkan. Sel T CD8+ dari biopsi KNF tidak tergantung pada jenis histopatologi dan stadium KNF (Budiani, et al., 2010). Jumlah ekspresi sel T CD8+ pada KNF akan menggambarkan adanya defek pada sel aktifasi atau fungsinya pada tumor, yang barangkali ada kaitannya dengan konsentrasi IL-10 yang berfungsi menghambat proliferasi dan differensiasi dari sel T pada KNF. Sel T CD8+ memainkan peran utama dalam mekanisme sistem imun terhadap sel tumor dan infeksi endogenous termasuk infeksi EBV. Protein virus endogenous dihasilkan oleh proteosome lumen endoplasmic reticulum oleh TAP 1,2 dan dihasilkan oleh MHC I. Molekul MHC akan mengekspresikan beberapa peptide terhadap sel T CD8+ yang akan diaktifkan oleh EBV.
Sel T CD8+
memainkan peran utama dalam mengeliminasi sel yang terinfeksi virus dan sel tumor melalui jalur eksositosi granule (granule – exocytosis pathway). Perforin merupakan protein yang disimpan bersama sama dengan granzyme (serine protease) pada granule dari sel T CD8+ dan sel NK. Seksostosis granule terjadi manakala sel TCD8+ dan sel NK mengalami kontak dengan sel target. Dengan adanya produk granule ini maka terjadi aktifasi jalur apopoptosis dan eliminasi commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari sel target. Mekanisme ini pernah dilakukan uji coba dengan menggunakan mencit yang mengalami supresi perforin akan mengalami pertumbuhan yang cepat dari sel tumor. Bahkan perforin dapat mediatori terjhadinya keruskan membrane dan granzyme penting untuk merangsang terjadinya apoptosis. 5.5. Analisis Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant diikuti Radioterapi pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated Pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa ada perbedaan Rasio CD4+/CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated antara sebelum dan sesudah terapi lengkap kemoterapi neoadjuvant. Rasio CD4+/CD8+ sebelum terapi adalah 1,06 dengan standar deviasi 0,62 (dengan rentang nilai rasio 0,33 – 2,07) dan Rasio CD4+/CD8+ sesudah pengobatan adalah 1,63 dengan standar deviasi 3,25 (dengan rentang nilai rasio 0,30 – 2,67). Peningkatan rasio yang terjadi tidak signifikan (p=0,646). Angka rasio yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa sebukan sel T CD4+ lebih tinggi bila dibandingkan sel T CD8+ dan mengindikasikan adanya penurunan fungsi dari infiltrasi subset sel T (Budiani et al., 2010). Jiang et al., (2004) mendapatkan nilai normal rasio CD4+/CD8+ pada orang dewasa sehat di Shanghai adalah 1,49 dengan standar deviasi 0,57 (rentang : 0,92 - 2,06) hampir sama dengan yang didapatkan oleh Cirino, et al.,
(2007) yaitu 0,90. Pada kasus
keganasan nilai rasio sangat bervariasi, Heraberg, et al., (1997) dalam penelitiannya pada renal cell carcinoma sebelum terapi dengan vinblastin-IFN adalah 1,3 (rentang : 0,56-6,8), selama terapi vinblastin 1,1 (rentang : 0,33-9,3) dan 1,7 (rentang : 0,60-11,1) dengan terapi vinblastin-IFN., dan Cirino, et al., (2007) dalam penelitiannya tentang tumor paru mendapatkan 1,74. Angka rasio commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
CD4+/CD8+ yang rendah akan menggambarkan tingkat prognostik yang lebih baik. Hal ini karena infeksi virus dan kejadian karsinoma nasofaring lebih efektif bila dieliminasi melalui mekanisme apoptosis oleh sel T CD8+ dibandingkan dengan respon immune humoral. Karena respon immune humoral hanya berperan pada saat infeksi primer dan tidak efektif untuk mengeliminasi sel malignant sebagaimana karsinoma nasofaring. Oleh karenanya perlu diteliti rasio CD4+/CD8+ pada kasus karsinoma nasofaring selama dan sesudah kemoterapi (Abbas, et al., 2007) . Status imunologi cell mediated immunity (CMI) dilaporkan mempengaruhi respons KNF terhadap radioterapi. Penderita dengan respons imun seluler rendah sebelum terapi dan tetap rendah pasca terapi mempunyai prognosis jelek (Susworo, 1990; Nana, 2001). Subpopulasi limfosit T, limfosit T-helper dan T- sitotoksik sama-sama berperan dalam mengeliminasi antigen tumor. Sel yang mengandung antigen tumor akan mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC kelas I yang kemudian membentuk komplek melalui TCR (T-cell Receptor) dari sel Tsitotoksik (CD8), mengaktifasi sel T-sitotoksik untuk menghancurkan sel tumor tersebut. Sebagian kecil dari sel tumor juga mengekspresikan antigen tumor bersama molekul MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk komplek dengan limfosit T-helper (CD4) dan mengaktifasi sel T-helper terutama subset Th1 untuk mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α di mana keduanya akan merangsang sel tumor untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC kelas I, sehingga akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel T (CD8+). commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
.
digilib.uns.ac.id
Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang
berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+, yang secara fenotip dan fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL dapat melakukan fungsi survaillance dengan mengenal dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari protein seluler mutant atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (Tumor Infiltrating Lymphocyte = TIL) juga mengandung sel CTL yang memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Walaupun respon CTL mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, peningkatan respon CTL merupakan cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan dimasa mendatang. Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor secara langsung, tetapi sel-sel itu dapat berperan dalam respon antitumor dengan memproduksi berbagai sitokin misalnya IL-2 yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu sel T CD4+ yang diaktifasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFNγ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh sel CTL. Beberapa tumor yang antigennya diekspresikan bersama dengan MHC kelas II dapat mengaktifasi sel CD4+ spesifik tumor secara langsung, yang lebih sering terjadi adalah bahwa APC professional yang mengekspresikan molekul MHC kelas II memfagositosis, memproses dan menampilkan protein yang berasal dari se-sel tumor yang mati kepada sel T CD4+, sehingga terjadi aktifasi sel-sel tersebut. Proses sitolitik CTLs terhadap sel target dengan mengaktifkan penggunaan enzim Perforin dan commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gransim, ada beberapa langkah proses sitolitik CTLs terhadap sel target (Syahrun, 1984; Nana, et al.,1996; Prasad, et al., 2002). 5.6. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dan rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated . Pada gambar 5.11 didapatkan model persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dan Rasio ekspresi CD4+/CD8+ sesudah terapi, didapatkan model persamaan linier adalah Y = 1,91 - 0,51 X; dimana Y = Rasio CD4+/CD8+ dan X = Ekspresi LMP1, dengan confidence interval (CI) 95 % maka didapatkan nilai β terletak 0,15 ≤ α ≤ 3,66 dan nilai α terletak -1,76 ≤ β ≤ 0,73, dengan demikian setiap pertambahan nilai ekspresi LMP1 sebesar 1 %, maka rasio CD4+/CD8+ akan berkurang
antara -1,76 dan 0,73 dengan α= 0.
Setelah
dilakukan
uji Spearman’s diperoleh korelasinya sangat lemah dan tidak
signifikan
secara statistic antara ekspresi LMP1 dengan rasio ekspresi
CD4+/CD8+ (r = 0,17; p= 0,646). R
2
Hal ini juga diperkuat dengan hasil analisis
= 0,04 yang mengindikasikan bahwa hanya sebesar 4 % seluruh hasil rasio
dapat diterangkan dengan model ini, dan sisanya sebesar 96 % rasio CD4+/CD8+ akibat faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model ini (lampiran 9). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian oleh Haryana et al., (2009) dimana tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara LMP1 dan ekspresi CD4+ dan hubungan yang signifikan hanya antara ekspresi LMP1 dengan ekspresi CD8+ . Peranan LMP1 dalam respon imun melalui aktifasi MHC I dan II. commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada penelitian ini ekspresi LMP1 tidak terbukti dapat menyebabkan perubahan rasio ekspresi CD4+/CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated, sehingga pertumbuhan tumor semakin progresif. Gondowiarjo (1998) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan CD8+/CD4+ pada peningkatan proliferasi sel, meskipun ekspresi LMP1 ini meningkatkan pertumbuhan sel tumor. Hal ini diduga bahwa LMP1 berpengaruh pada penghambatan proses apoptosis. Pertumbuhan tumor merupakan hasil akhir proses proliferasi dan proses apoptosis. Asumsi ini diperkuat oleh Hu (1996) dengan hasil penelitian secara in vitro pada sel epitel terjadi gangguan proses apoptosis dengan keberadaan LMP1. Bahkan dijelaskan bahwa gangguan ini tidak terjadi melalui gangguan pada jaras bcl 2, yaitu jaras yang sering terganggu pada berbagai proses keganasan. LMP1 mempengaruhi proses keganasan melalui peningkatan ekspresi protein A-20. Protein A-20 adalah suatu substrat yang dapat meningkatkan resistensi sel terhadap tumor necrosis factor (TNF). TNF adalah sistim pro-inflammatory yang mempunyai kemampuan mengaktifkan mekanisme kemataian sel melalui proses apoptosis. Protein A-20 akan melindungi sel dari kerja TNF sehingga sel akan terlindung dari proses kematian sel. Jaikumar, et al., (2003) menyatakan ada korelasi antara ekspresi LMP1 dengan CTL dan tingginya respon sel T terhadap ekspresi LMP1 merupakan kunci sukses keberhasilan dalam mengeliminasi tumor. Pemeriksaan
ekspresi
petanda
molekuler
menggunakan
analisis
immunobloting akan mendapatkan hasil yang lebih obyektif dan akurat dibanding dengan pewarnaan tehnik immunohistokimia. Pemeriksaan dengan pewarnaan commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tehnik immunohistokimia standrisasi gat dipengaruhi oleh reagen antibodi monoklonal yang dipakai, ketrampilan petugas laboratorium dan subyekifitas pemeriksa histopatologi. Selain itu, stanadarisasi pemeriksaan ekspresi petanda molekuler sampai saat ini belum ada. Beberapa hal di atas menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini dengan yang dilakukan oleh miller (Miller, et al., 1995). Dalam penelitian ini penulis menyadari ada beberapa kelemahan atau kekurangan disamping tentunya ada beberapa kelebihan. Kelebihan penelitian ini adalah secara metodologi mudah diterapkan dan lebih murah dalam pembiayaan dan cocok digunakan pada penelitian dengan sampel angka dropout tinggi, atau pada populasi dengan angka keberhasilan pengobatan yang rendah. Beberapa kelemahan yang terjadi dalam penelitian ini diantaranya adalah subyek penelitian tidak dilakukan randomisasi, yang berakibat pengendalian terhadap faktor-faktor perancu kurang kuat sehingga sering timbul bias dalam analisa data.
commit to user
111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Terdapat penurunan yang signifikan secara statistik ekspresi LMP1 (p=0,007), CD4+ (p=0,041)
dan CD8+ (p=0,005) akibat kemoterapi
neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated. 2. Ada perbedaan berupa peningkatan yang tidak signifikan secara statistik (p= 0,646) rasio CD4+/CD8+ akibat kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated. 3. Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sangat lemah dan tidak signifikan secara statistik (r=0,17; p=0,468) pada KNF jenis Undifferentiated. 6.2. Saran 1. Perlu dipikirkan pemberian asupan dan/atau pengobatan untuk mencegah terjadinya penurunan sistem imun akibat kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. 2. Penelitian dengan memeriksa ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ setelah kemoterapi saja perlu dilakukan, sehingga pengaruh kemoterapi terhadap
ekspresi tersebut
dapat dianalisis. Hal
ini
dimaksudkan untuk mengurangi adanya bias yang mungkin terjadi dalam penelitian. 3. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan kontrol, mengingat commit to user
112
perpustakaan.uns.ac.id
desain
eksperimental
digilib.uns.ac.id
kuasi
pada
penelitian
ini
masih
banyak
kelemahannya.
commit to user
113