CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik I PENGANTAR KECERDASAN SPIRITUAL
A. Latar Belakang Istilah Kecerdasan Spiritual 1.
Munculnya Istilah Kecerdasan Spiritual Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) merupakan sebuah istilah yang dalam
pemakaian sehari-hari sering disandingkan dengan jenis intelegensia lain yang ada pada setiap manusia sejauh ini. Sebelumnya terdapat kecerdasan intelektual (IQ) lalu kecerdasan emosi (EQ) melalui buku Daniel Goleman yang sangat fenomenal di tahun 1995 itu. Namun belakangan muncul lagi istilah Kecerdasan Spiritual yang dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku mereka yang bertajuk “Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence”. Di dalam buku “Spiritual Intelligence” yang cukup menggemparkan itu, Zohar dan Marshall menegaskan sikap mereka bahwa SQ merupakan inti (nucleus) dari segala intelegensia pada persona manusia. Serentak muncul reaksi dan diskusi panjang dari kalangan penganut IQ dan EQ, karena kemunculan klaim ini sendiri terkesan meminggirkan dua (2) jenis kecerdasan lain yang sudah diakui lebih dahulu. Kecerdasan spiritual disinyalir mampu mengatasi berbagai persoalan aktual yang menghantui dimensi spiritual manusia dalam masyarakat manusia dewasa ini. Kecerdasan spiritual sangat penting bagi manusia dalam menghayati kehidupannya. Zohar dan Marshall menunjukkan peran penting kecerdasan spiritual sebagai landasan pijak yang sangat dibutuhkan manusia untuk memaksimalkan dan mengembangkan lebih lanjut IQ dan EQ secara efektif. Dimensi spiritual diangkat sebagai elemen penting yang menopang pengembangan emosi (EQ) dan intelek (IQ) manusia. Hendak dicari sebuah titik temu yang mengakomodasi segala potensi/kemampuan manusia sampai ke titik maksimal yakni terciptanya keseimbangan antara badan (body), mind (psychological) dan jiwa (soul). Kecerdasan intelek (IQ) berfungsi untuk melihat keluar melalui mata pikiran, kecerdasan emosional (EQ) bekerja mengolah yang ada di dalam emosi (telinga perasaan), sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) menunjuk pusat diri seseorang. Ketiga jenis kecerdasan ini sebetulnya berperan penting dalam mengembangkan setiap pribadi manusia ke arah ideal. Sikap kita terhadap kecerdasan spiritual yakni menempatkan jenis kecerdasan ini secara bijak sebagai hal yang melekat erat (inherent) di dalam diri manusia. Kecerdasan spiritual perlu digali, dikembangkan dan dihayati manusia dalam kenyataan hidup setiap hari. Kecerdasan spiritual
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
bersifat universal karena mampu merangkum kelompok mana saja, siapa saja, apapun latar belakangnya. Namun kecerdasan spiritual itu tidak harus berkaitan dengan agama, tradisi, nilai primordial, dan sebagainya. Jenis kecerdasan ini tidak mengikatkan diri pada klaim-klaim artifisial yang mengkotak-kotakan manusia berdasarkan kelompok dan golongan tertentu. Kecerdasan spiritual mampu dicapai oleh siapapun, apapun status dan latar belakang orang bersangkutan. Kecerdasan ini tidak mengikuti suatu nilai yang sudah ada di dalam tradisi dan agama, tetapi lebih dari itu justru berperan menciptakan dan membuka peluang bagi pembukaan dan penemuan nilainilai baru dalam realitas kehidupan.
2.
Kecerdasan Spiritual sebagai Kecerdasan Umum Manusia Metode pendekatan kecerdasan spiritual sendiri, sama halnya seperti IQ dan EQ tidak bertitik
tolak dari nilai-nilai agama yang dihidupi kelompok manusia dewasa ini. Metode pendekatan kecerdasan
spiritual
tetap
tidak
menyentuh
wilayah
agama
tetapi
lebih
fokus
dan
mengkonsentrasikan diri pada pendekatan rasional dan sekuler-populer. Kalaupun ada titik temunya dengan wilayah agama, pendekatan kecerdasan spiritual tetap berorientasi pada aspek humanisme (dimensi kemanusiaan) sebagai sebuah kenyataan unik yang ada pada pribadi manusia itu sendiri. Maka sebetulnya kajian kecerdasan spiritualisme memang jauh dari unsur-unsur agama ataupun perspektif teologis. Kecerdasan spiritual tetap mempertahankan dimensi humanisme universal setiap manusia. Ia mengeksplorasi potensi dan daya-daya positif manusia agar berkembang maksimal bagi kebaikan kemanusiaan secara menyeluruh. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang umum (universal) dialami oleh manusia baik oleh orang yang mengaku beragama ataupun yang tidak beragama (ateis). Juga dialami oleh kelompok penghayat spiritual kebatinan ataupun kelompok orang yang tidak menghayati cara hidup eksklusif seperti itu. Namun harus ditegaskan bahwa kecerdasan spiritual itu secara potensial telah ada pada setiap manusia. Tinggal bagaimana manusia secara pribadi mengeksplorasi kecerdasan itu dan menggunakannya secara efektif bagi kemanusiaan dan kehidupan sosial manusia. Sebagai kecerdasan umum yang ada pada setiap manusia, kecerdasan ini mampu dicapai oleh segala jenis orang dari budaya apa saja, dari etnis mana saja, dari agama apa saja, dari bangsa mana saja, dari aliran kepercayaan/spiritualis apa saja, dari profesi apapun termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Singkatnya, kecerdasan ini merangkum manusia dari kategori dan latar belakang apa saja. Kecerdasan ini bersifat umum, holistik dan mungkin untuk dicapai oleh setiap orang yang merasa dirinya masih sebagai manusia.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
3.
Kecerdasan Spiritual sebagai Kritik atas Egoisme Manusia Kecerdasan spiritual juga bisa dijadikan sebagai kekuatan kritik atas cara hidup manusia zaman
modern sekarang ini atau bahkan mungkin di masa depan. Kalau kita mau jujur sebetulnya kita manusia modern sekarang ini telah kehilangan nilai-nilai prinsipil dan mendasar dalam kehidupan. Manusia menghayati kehidupannya secara bodoh dan seolah-olah mengalami disorientasi dalam hidup. Kehidupan yang bodoh secara spiritual ini ditandai dengan adanya gejala materialisme, egoisme, kehilangan makna hidup dan komitmen (Zohar dan Marshall, 2008: 14). Semua ini terjadi karena manusia mengagungkan IQ dalam dunia sekarang ini yang menempatkan rasio sebagai primadona. Bahkan kekeringan spiritual terjadi akibat produk IQ yang ada pada manusia (Zohar dan Marshall, 2000: 20). Di sini peranan kecerdasan spiritual menjadi penting untuk menciptakan keseimbangan dalam pribadi manusia. Kecerdasan spiritual mampu membawa manusia mencapai kebahagian dalam realitas kehidupan ini. Realitas dunia kita sekarang ini disuguhkan dengan berbagai persoalan dan masalah hidup yang sering kali tidak mampu diatasi manusia. Banyak fenomena kehidupan yang membuat manusia menghidupi hidup yang egois. Manusia lebih mempertimbangkan keuntungan dan kepentingan diri sendiri ketimbang memperhatikan kepentingan bersama. Hal ini disebabkan karena manusia tidak sadar diri (unconsciousness) dalam relasinya dengan unsur-unsur lain dalam alam semesta ini. Hadirnya kecerdasan spiritual ini bermaksud memberikan perspektif baru berupa rangsangan intelektual dan sentuhan emosional bagi manusia modern agar berani melakukan pembongkaran atas keegoisan dan ketidakpedulian dalam menghayati hidup. Kecerdasan spiritual diharapkan membuat manusia semakin sadar diri dalam kesatuan dengan elemen lain di dalam dunia dan membangun sikap respek dan hormat terhadap elemen yang lain dalam praksis hidup dan kenyataan sehari-hari. Namun di atas segala-galanya, kecerdasan spiritual ini tampil sebagai kekuatan kritik atas cara hidup manusia modern yang cenderung egoistik dan individualistik. Kecerdasan spiritual mendorong kesadaran manusia untuk terlibat dalam sebuah kesadaran dan partisipasi universal dalam dunia menuju masa depan yang lebih baik.
“Tuhanku, Pertemuan kami semu. Lamis dan harus saling menipu Salah-menyalahkan, keliru memahamkan Bertengkar untuk hal-hal picisan Menjadi sombong atau saling meniadakan” (Emha Ainun Najib)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
B. Pengertian Operasional Kecerdasan Spiritual 1.
Kecerdasan Spiritual Tidak Sama dengan Spiritual Quotient
Sebelum mendalami lebih lanjut kecerdasan spiritual ini, terlebih dahulu kita perlu memahami pengertian atau konsep kecerdasan spiritual. Namun pengertian kecerdasan spiritual dalam pembahasan buku ini tidak bermakna seperti konsep spiritual quotient (SQ) yang sudah diorbitkan dan diperkenalkan oleh konseptor/penggagas SQ sebelumnya. Pengertian dan pemahaman kecerdasan spiritual di sini adalah sebagai pemaknaan secara operasional agar kita memiliki gambaran pemahaman yang seragam dalam memahami istilah kecerdasan spiritual ini. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kita dalam mempersempit ruang lingkup pembahasan dan multidimensi interpretasi yang beragam terhadap istilah kecerdasan spiritual ini. Kecerdasan spiritual di sini tidak menggunakan kata Quotient sebagai mana penerapannya dalam IQ, EQ ataupun SQ. Karena istilah Quotient adalah angka dari hasil pembagian. Kecerdasan spiritual yang dimaksud di sini tidak merupakan sebuah kajian ilmiah-matematis, tetapi harus dimengerti dan dipahami sebagai usaha atau latihan untuk memaknai kehidupan setiap manusia. Menghayati kehidupan yang bermakna menjadi konsentrasi utama kita dalam usaha memahami jenis kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual dibentuk dari dua (2) kosa kata yakni kecerdasan dan spiritual. Kedua hal ini berbeda arti dan makna. Karena itu kedua hal ini akan dijelaskan secara terpisah, dan sesudahnya barulah kita lakukan penggabungan pengertian atas keduanya untuk mendapatkan sebuah sintesis arti yang menuntun seluruh pemahaman kita dalam mendalami buku ini.
2.
Pengertian Kecerdasan Dalam kehidupan sehari-hari kita tentu sudah sering mendengar kata cerdas. Ada banyak
makna dan arti dari kata ini. Cerdas dapat dimaknai sebagai hal yang berkaitan dengan daya atau kemampuan pikir otak seseorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kecerdasan yakni perbuatan mencerdaskan; kesempurnaan perkembangan akal budi manusia seperti kepandaian, ketajaman pikiran, dll. Kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan menalar, menginterpretasi, berpikir, memahami dan menemukan makna atau arti dari sesuatu objek yang dipikirkan. Kecerdasan di sini merujuk pada usaha manusia secara rasional untuk menyadari segala pengalaman yang hadir dalam dinamika dan totalitas kehidupan manusia di planet bumi ini. Jadi aktivitas menalar dan berefleksi menggunakan pikiran menjadi hal penting dalam menentukan kecerdasan seseorang.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
3.
Pengertian Spiritual Kata spiritual berasal dari kata Inggris Spirit (roh) yang diturunkan dari akar kata bahasa Latin
(spiritus) yang bermakna sama yakni roh atau jiwa. Dalam pemakaian populer, spirit dapat diartikan sebagai semangat yang menggerakkan manusia dalam bertindak. Semacam kekuatan internal dalam diri seseorang yang mendorong tindakan ataupun aktivitas yang dilakukannya menjadi maksimal. Menurut Webster Internasional, kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya, untuk hidup perlu bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Kamus Filsafat mengungkapkan beberapa pengertian dari spiritual yakni: a). Imaterial, bukan jasmani, tidak terdiri dari roh b). Mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran c). Mengacu pada nilai-nilai manusiawi yang non material seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran dan kesucian d). Mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik Dalam pemakaian sehari-hari istilah spiritualisme mengalami pengembangan arti dan makna. Muncullah istilah yang dikenal dengan nama spiritualisme metafisik. Spiritualisme metafisik mengandung beberapa pengertian, yakni: a). Pandangan bahwa realitas terakhir yang mendasari (atau landasan realitas) adalah roh/jiwa dunia yang meresapi alam semesta pada semua tingkat kegiatannya, sebab aktivitas dan tata/arah alam semesta, berguna sebagai satu-satunya penjelasan lengkap dan rasional eksistensi alam b). Pandangan bahwa yang ada hanyalah Roh Absolut (dan roh-roh terbatas seperti manusia) dan semua lainnya merupakan produk Roh Absolut.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
4.
Pengertian Operasional Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual merupakan hal yang berkaitan dengan hati dan kepedulian antarsesama
manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Esa. Di sini kecerdasan spiritual bersifat holistik karena berkaitan dengan hubungan individu manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan. Kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai segala kesadaran, pemahaman, pengenalan akan pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari yang dimaknai secara rohani atau spiritual. Kecerdasan spiritual membuat manusia hidup secara sadar diri dalam relasinya dengan makhluk lain baik biotik maupun abiotik ataupun human dan infrahuman. Maka sebetulnya kecerdasan spiritual merangkum semua entitas (unsur) sejauh mungkin, seluas mungkin dan sedalam mungkin yang disadari oleh individu manusia dalam kenyataan eksistensinya sebagai manusia. Kesadaran spiritual menghubungkan manusia dalam satu kesatuan kosmis bersama dengan segala elemen di dalam realitas alam semesta ini.
C. Manusia sebagai Makhluk Spiritual 1.
Dimensi Jiwa Manusia Suatu kenyataan yang tidak tersangkalkan bahwa manusia adalah makhluk yang berjiwa. Dalam
bukunya Republica, Plato mendeskripsikan jiwa sebagai unsur yang memiliki tiga (3) bagian yakni reason, spirit dan appetite (Stumpf, 2007: 61). Reason artinya pikiran, spirit itu semangat dan appetite itu nafsu. Reason artinya kesadaran akan tujuan atau nilai. Spirit mengarah ke arah tindakan (action) sebagai respon atas reason. Dan appetite sebagai keinginan tubuh atau selera. Dari uraian ini tampak jelas bahwa jiwa adalah prinsip utama dari kehidupan dan tindakan seorang individu. Tubuh tanpa jiwa adalah mati, karena jiwa adalah prinsip yang menggerakkan tubuh untuk bergiat atau beraktivitas. Tanpa jiwa, aktivitas manusia itu tak mungkin alias mustahil. Karena setiap manusia memiliki jiwa, maka setiap manusia pastilah digerakkan untuk melakukan aktivitas dalam hidup. Dan dari jiwalah manusia mampu mengenal hal-hal spiritual dalam kenyataan hidupnya. Jiwa berada di dalam tubuh manusia. Jiwa mendorong tubuh manusia untuk melakukan aktivitas dan gerak. Perdebatan filosofis Plato tentang jiwa-badan, menempatkan jiwa manusia sebagai elemen yang terpenjara di dalam tubuh manusia. Jiwa hanya akan lepas atau bebas dari badan saat kematian datang menjemput manusia. Badan dinilai inferior (lebih rendah) dari jiwa manusia. Namun pandangan kita yakni, kita tidak boleh merendahkan tubuh secara ekstrem dan meninggikan jiwa saja. Toh dalam faktanya, baik jiwa dan badan sama-sama bekerja untuk
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
menghasilkan pengalaman-pengalaman spiritual manusia. Jiwa butuh badan dan sebaliknya badan pun butuh jiwa. Keduanya komplementer, saling melengkapi dalam mengembangkan pribadi manusia.
2.
Menuju Realitas Spiritual Bertitik tolak dari dimensi jiwani yang sudah ada pada manusia, kita harus menegaskan bahwa
manusia mampu memasuki realitas spiritual itu. Realitas spiritual identik dengan hal-hal yang berhubungan dengan dunia kebatinan, ruang internal pribadi manusia itu sendiri. Dengan kualitas jiwa yang ada padanya, manusia mampu mengolah pengalaman luar dirinya di dalam ruang batinnya. Inilah saatnya manusia memasuki realitas spiritual tersebut. Realitas spiritual tersebut dapat berupa kesadaran, inspirasi pencerahan ataupun dorongan hati yang begitu kuat untuk melaksanakan hal-hal spiritual konkret yang dialami manusia dalam seluruh kehidupnnya. Dengan jiwanya, manusia mengolah pengalaman hidup dan memaknainya secara positif untuk mematangkan dirinya sebagai makhluk yang bermatabat dalam tatanan dunia. Realitas spiritual adalah realitas misterius di dalam diri kita. Dalam kenyataan sehari-hari, realitas spiritual bisa tampil dalam banyak bentuk dan macam. Orang beragama (Katolik, Islam, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu) dapat mengalami hal itu dalam tindakan-tindakan bernuansa spiritual yang dialami. Sementara para penganut aliran/kepercayaan pun dapat mengalami itu dalam sebuah momen ekstasi yang mengagumkan. Seorang aktivis kemanusiaan pun dapat mengalami pengalaman itu ketika merasakan kegembiraan luar biasa dalam bekerja. Atau ketika seseorang merasakan kegembiraan luar biasa saat mendengarkan musik atau berolahraga. Sebenarnya kualitas jiwa manusia sudah menyiapkan manusia untuk bergerak menuju realitas spiritualnya. Yang penting manusia membuka diri, sadar diri, peka untuk merasakan nuansa spiritual itu dan bergerak memasuki kenyataan/realitas spiritual tersebut. Yang jelas, realitas spiritual itu mengagumkan, menarik dan mempesona bagi manusia. Atau meminjam istilah Rudolf Otto, realitas spiritual itu bersifat tremendum et fascinosum, menarik serentak menakutkan. Peristiwa-peristiwa alam yang dahsyat dan menggemparkan, misalnya bencana alam gempa bumi, tsunami air laut dan letusan gunung api kerap membuat manusia mengakui kebesaran Tuhan dan memunculkan rasa ketakutan yang suci kepada Tuhan. Realitas spiritual
dimaknai oleh orang beragama dengan pengalaman penyatuan dengan
kekuatan Ilahi (Tuhan) dalam doa-doa yang disampaikan kepada Tuhan. Realitas spiritual dialami oleh orang non beragama seperti penganut aliran spiritual (kebatinan) yang sedang berekstasi dalam pergulatan spiritualnya. Atau juga seorang profesional yang merasakan kegembiraan luar biasa saat melakukan tugas/pekerjaan kesehariannya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
3.
Ciri Manusia yang Cerdas Spiritual Dalam kenyataan sehari-hari banyak orang keliru memahami jenis kecerdasan spiritual ini.
Orang sering kali menganggap kecerdasan spiritual secara sempit misalnya rajin ke masjid, rajin ke gereja, rajin ke pura atau pun wihara dan lain sebagainya. Padahal kecerdasan spiritual itu tidak semata-mata ditentukan oleh hal-hal fisik (artifisial) seperti itu. Kecerdasan spiritual tidak identik dengan kewajiban ibadat yang mengikat orang. Kecerdasan spiritual berbeda sama sekali dengan praktik dalam agama-agama yang dianuti manusia. Sebagai makhluk spiritual, manusia memiliki ciri-ciri tertentu. Orang yang cerdas secara spiritual dapat dilihat pada indikator-indikator tertentu. Ciri-ciri manusia yang cerdas secara spiritual antara lain: Pertama, orang mampu memaknai realitas kehidupannya dalam rumusan nilai-nilai tertentu. Kedua, orang tampak senang dan bahagia menjalankan kehidupannya. Ketiga, orang yang suka berbuat baik kepada sesama. Keempat, orang yang cepat menolong orang lain. Kelima, orang yang telah menemukan tujuan hidupnya. Keenam, orang yang merasa terhubung dengan kekuatan alam semesta (Tuhan atau kekuatan supranatural yang diyakininya). Ketujuh, orang yang memiliki sense of humor yang baik dalam relasi dengan orang lain di sekitarnya. Dewasa ini di banyak negara orang berusaha untuk mengikuti program-progam pelatihan kecerdasan spiritual yang diselenggarakan oleh institusi-institusi spiritual tertentu. Pelatihan ini bertujuan untuk membentuk karakter orang yang cerdas secara spiritual. Tampak di sini bahwa semakin hari semakin dirasakan pentingnya usaha pembentukan orang untuk cerdas secara spiritual. Maka peningkatan dan pengembangan kecerdasan spiritual sudah menjadi kebutuhan mendesak manusia dalam masyarakat manusia dewasa ini, dari berbagai latar belakang agama, etnis, bangsa, kaum profesional, usia dan gender.
Orang yang cerdas berpikir, hanya mampu berpikir tapi tak mampu merasakan. Orang yang cerdas emosional hanya mampu merasakan tapi tak mampu berpikir. Namun orang yang cerdas spiritual mampu melakukan keduanya: berpikir sekaligus merasakan. (NN)
D. Tanggung Jawab Manusia sebagai Makhluk Spiritual Manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab mengembangkan dimensi spiritualnya dari waktu ke waktu. Untuk itu manusia dituntut untuk menyadari diri dan mengembangkan dirinya ke arah kebaikan dan kesempurnaan spiritual. Pernyataan ini mengharuskan manusia untuk menghayati hidupnya secara bermartabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
Perintah moral-etis manusia sebagai makhluk spiritual berbunyi: “Lakukanlah segala usaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual di dalam seluruh derap kehidupanmu”. Hal ini artinya manusia, siapapun dia, harus terus melakukan refleksi, perenungan, penyadaran akan salah satu hakikat dirinya sebagai makhluk spiritual. Manusia perlu mengaktualisasikan dan merealisasikan hal-hal spiritual sepanjang hidupnya. Ia harus mengolah hidup secara spiritual. Karena nilai kebahagiaan, kedamaian, keselamatan, ketenangan hidup hanya akan digapai kalau manusia mengolah dirinya secara spiritual. Di luar ini mustahil manusia mencapai kebahagiaan. Karena kebahagiaan duniawi bersifat sementara (tentatif). Kebahagiaan spiritual (batiniah) lebih langgeng, lebih bertahan, lebih bersifat abadi. Pengolahan diri secara spiritual mengharuskan manusia bersikap terbuka dan menyadari kesatuan dirinya selalu dengan segala makhluk hidup lain (biotik dan abiotik) dalam lingkaran semesta ini. Visi dan perspektif ini akan mendorong manusia untuk selalu melihat keseluruhan hidupnya secara spiritual. Ia akan menjalani hidup secara bertanggung jawab karena dia menyadari dirinya sebagai makhluk spiritual. Tanpa penyadaran diri sebagai makhluk spiritual, manusia akan mudah terjebak untuk mengidentifikasikan dirinya secara rendah dan inferior. Misalnya hanya mereduksikan dirinya sebagai makhluk materialis belaka. Atau yang lebih parah lagi hanya mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan aspek ketubuhan manusia sebagai hal bernilai dan tertinggi dalam hidup (hedonisme) dalam berbagai aspeknya. Padahal dimensi jiwani manusia sudah mengungkap sisi spiritual manusia. Dan ini artinya manusia harus terus peka untuk mengembangkan dirinya secara spiritual. Manusia yang spiritual bertanggung jawab mengembangkan diri secara spiritual dalam totalitas ziarah hidupnya di atas dunia ini. Ini tugas dan tanggung jawab manusia sepanjang seluruh eksistensi hidupnya sampai kapan pun.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
Kisah: “Dua Orang Pekerja” Salah satu ciri orang religius adalah mampu memaknai hidup dan aktivitas yang dilakukannya secara rohani. Inilah yang disebut proses sanctifikasi atau pemaknaan secara rohani atas kegiatan manusia sehari-hari. Konon, pada abad pertengahan, seorang musafir bertemu dengan dua (2) orang pekerja yang sedang mengangkut batu-bata. Salah seorang di antara mereka bekerja dengan raut wajah cemberut, masam, dan tampak kelelahan sekali. Sedangkan kawannya justru bekerja dengan wajah yang ceria, gembira, dan penuh semangat. Ia tampak tidak kecapaian sedikit pun. Kepada keduanya sang musafir mengajukan pertanyaan yang sama. “Apa yang sedang Anda kerjakan?”. Yang cemberut menjawab, “Saya sedang menumpuk batu-batu.” Sementara yang ceria berkata, “Saya sedang membangun sebuah katedral, tempat ibadat yang besar!”. Apa yang bisa kita katakan terhadap cara pikir dan jawaban kedua orang ini? Siapa yang memiliki kecerdasan spiritual paling baik? Yang pertama ataukah yang kedua”? (disadur dari http://lenijuwita.wordpress.com)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik II AGAMA DAN SPIRITUALISME
A. Memahami Agama dan Spiritualisme 1.
Ruang Lingkup Agama Pembahasan tentang spiritualisme sudah disinggung dalam topik I. Karena itu dalam bab 2 ini
kajian spiritualisme tidak akan dibahas lagi. Bagian ini hanya akan mendalami tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama dan karakteristik agama serta karakteristik spiritualisme untuk selanjutnya mendudukkan sebuah relasi ideal antara agama dan spiritualisme. Dipandang dari sudut bahasa agama dalam bahasa Indonesia yang berarti din diadopsi dari bahasa Arab dan Semit. Sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa sama dengan religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Secara linguistik atau kebahasaan, istilah agama berasal dari bahasa sansekerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah menguasai, menaklukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan”. Memang tidaklah gampang untuk merumuskan suatu konsep yang seragam terhadap istilah agama. Karena istilah ini dihidupi oleh berbagai kelompok masyarakat di dunia ini dengan latar belakang kehidupan yang kompleks dari aspek perilaku, keyakinan, struktur organisasi, simbol dan tradisi agama masing-masing. Maka sejauh ini berbagai disiplin ilmu pasti memberikan definisi yang beragam dan variatif. Penelitian-penelitian agama pun mengkaji praktek agama dari aspek individu maupun kelompok. Karenanya sulit menemukan konsep yang seragam. Kendatipun banyak definisi yang beraneka, kita membutuhkan satu definisi simpul yang dapat mengekspresikan hal inti dalam agama yang dihayati oleh manusia. Agama dimaknai sebagai suatu keyakinan religius dan sakral yang dipersepsikan dalam konteks antropomorfis ketuhanan, akan suatu kekuatan tertinggi yang melampaui kemampuan manusia (Ensiklopedi Internasional, 2010: 159). Keyakinan ini terdapat dalam semua penganut agama dunia umumnya dan khususnya agama Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu maupun Konghucu yang di Indonesia. Intinya, semua penganut agama mengakui adanya suatu kekuatan impersonal yang disebut Tuhan ataupun katakata bermakna paralel yang searti dengannya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
Agama, melalui inspirasi suci para penulisnya yang tertulis dalam Kitab Suci, memberikan orientasi/arah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku sebagai makhluk yang mengakui eksistensi Tuhan. Agama memberikan semacam asuransi atau jaminan keselamatan dan kebahagiaan abadi untuk para penganutnya (visi eskatologis). Visi ini meresapi sikap dan perilaku manusia sehari-hari di mana saja ia berada, hidup dan berkarya. Agama menjadi dimensi penting dalam realitas sosial manusia sebagai kenyataan yang tersebar luas, dihayati pada tingkat individu maupun komunal di lingkungan keluarga, di tempat kerja hingga lingkungan masyarakat publik dan luas. Hal yang menarik dari setiap agama terletak pada sifat ajaran atau doktrin yang dipandang sebagai hal yang kudus, suci dan bernilai luhur. Persepsi tentang agama ini mempengaruhi sikap manusia dalam totalitas hidup pribadi maupun interaksi sosialnya dalam kebersamaan dengan orang lain. Agama menjadi sumber etika moral dalam sikap dan perilaku. Etika dalam agama ini diakui kebenarannya dan diwujudkan dalam sikap dan tingkah laku yang baik di dalam kehidupan.
2.
Titik Kesamaan Substansi Agama Karena agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama
semakin kabur atau tidak jelas. Karena kita perlu menelusuri pandangan kaum intelektualisme, dekonstruksionisme dan strukturalisme tentang definisi agama yang dapat membantu kita memahami panorama agama. Di antara tokoh-tokoh yang ada, Tylor-lah yang memberikan definisi lebih jelas. Tylor mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Ia mengatakan walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun agama-agama semua sama dalam satu hal yakni bahwa terdapat roh-roh di alam ini yang bisa berpikir, bertindak dan merasakan seperti halnya manusia. Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi Tylor sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut dan menganggap bahwa agama sebagai rangkaian akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Hal-hal yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun di dalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama adalah hal yang mampu menyatukan seluruh masyarakat. Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Kita bisa bersumsi bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh intelektualisme.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
3.
Asal Usul Agama Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Intelektualisme dan kontekstualisme tentang agama, kita
harus mengenal terlebih dahulu pandangan mereka tentang manusia. Pada saat Rasialisme meyakini perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada, dan menganggap bahwa antara ras satu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada ras lainnya, para petualang dengan pemikiran ini ditimpa kejadian-kejadian tragis yang sangat disesalkan. Para Intelektualisme bangkit dan menentang pandangan ini kemudian meyakini bahwa manusia memiliki potensi-potensi yang sama. Tylor kemudian mengorbitkan ide “kesatuan psikis” yang menyebabkan manusia memiliki potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Mereka sama dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya di seluruh alam, bersumber dari kesamaan mendasar dalam benak manusia, karena kebanyakan budaya-budaya yang ada di berbagai tempat adalah hasil dari kreasi manusia. Prinsip kesatuan psikis dalam pandangan intelektualisme memberikan sebuah asumsi bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain perbedaanperbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan bersumber dari substansi yang satu.
4.
Karakteristik Agama Sudah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa sangat sulit merumuskan suatu definisi yang
lengkap dan memuaskan tentang istilah agama. Karena itulah para peneliti bidang agama lebih memilih untuk menkonsentrasikan diri pada karakter dasar dan umum yang terdapat pada semua agama yang dihayati bangsa manusia di planet bumi ini. Umumnya terdapat lima (5) karakter dasar yang terdapat dalam agama yakni: a.
Memiliki kepercayaan agama Kepercayaan merupakan unsur dasar di dalam agama. Kepercayaan artinya keyakinan atau iman yang kukuh dan tak tergoncangkan pada Tuhan ataupun sesuatu yang disembah di dalam agama-agama. Kepercayaan identik dengan suatu keyakinan spiritual yang mengkristal di dalam hati orang yang menghayati agama. Keyakinan itu dapat tampak dalam hal-hal seperti pengakuan akan adanya satu Tuhan (monoteisme), keyakinan akan keselamatan di akhirat, kepercayaan akan reinkarnasi bagi agama Hindu ataupun kepercayaan pada roh nenek moyang yang dihayati oleh para pemeluk agama Shinto. Unsur kepercayaan dalam agama sangat menentukan disposisi batin orang-orang yang menghayati agama. Kalau orang meyakini agamanya secara kukuh dan tidak tergoncangkan, ia akan konsisten untuk mendalami agama itu secara mendalam. Ia akan merasa aman, damai dan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
bahagia dalam agama itu. Namun kalau dia tidak memiliki kepercayaan yang baik di dalam agama itu, ia sulit berkembang baik di dalam agama bersangkutan. Ia bisa menjadi bosan, malas, apatis, antipati dan sikap-sikap negatif lainnya. Kalau orang memiliki kepercayaan yang teguh dalam agamanya, orang bersangkutan akan menghayati hidup secara bermakna, positif dan produktif. b.
Memiliki simbol agama Agama-agama biasanya memiliki simbol, tanda dan lambang tertentu di dalamnya. Simbol atau lambang itu bukan hampa makna atau pun nihil nilai. Simbol itu memiliki kandungan arti dan makna tertentu di baliknya. Simbol itu hanya dipahami dan dimengerti secara eksklusif oleh kelompok penganut agama bersangkutan. Kelompok agama lain tidak dapat memahami secara baik dan mendalam simbol-simbol yang terdapat di dalam agama kelompok lainnya. Simbol biasanya berkaitan dengan filosofi atau cara pandang para penganut agama berkaitan dengan Tuhan yang mereka sembah dalam agama mereka. Simbol itu bersifat kudus, suci, sakral, istimewa dan unik. Simbol biasanya dapat menjadi sarana yang mendukung praktik ibadat atau ritus kelompok penganut agama bersangkutan. Simbol sangat penting artinya bagi penganut agama-agama. Beberapa contoh simbol dalam agama-agama misalnya dalam Islam terdapat simbol tertentu seperti tasbih, dalam agama Katolik ada simbol rosario, dalam agama Kristen Protestan (dan Katolik juga) ada simbol salib, dalam agama Budha dan Hindu ada simbol patung-patung, dalam agama Konghucu ada Hio dan sebagainya. Simbol agama dapat dilihat dalam bentuk rumah (bangunan) ibadat yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya simbol agamaagama ini dihormati, dihargai dan digunakan sebagai instrumen pendukung dalam doa, ibadat dan upacara-upacara keagamaan. Simbol diyakini mampu mengantar para penganut agama masuk lebih khusuk di dalam ibadat-ibadat yang mereka lakukan.
c.
Memiliki praktek agama Para penganut agama biasanya menjalankan praktek keagamaan sebagai bagian integral dalam kehidupan religius mereka. Ada banyak praktek keagamaan yang biasanya dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Praktik keagamaan itu diyakini sebagai ungkapan iman para pemeluk agama itu kepada Tuhan yang disembah. Praktek keagamaan yang dapat dilihat dalam kehidupan religius para penganut agama misalnya berdoa, sembahyang/sholat/yoga, berpuasa pada waktu-waktu tertentu, berpantang makan daging hewan tertentu dan lain sebagainya. Para penganut agama menjalankan praktek
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
keagamaan ini secara serius dan konsisten. Praktek ini pun menjadi tanda penunjuk identitas untuk mengenali jenis agama yang dianut oleh mereka. Salah satu unsur yang menyertai praktek agama ini adalah sikap dasar ketaatan untuk melakukan praktek itu dengan penuh ketaatan dan loyalitas. Hal inilah yang lalu membuat praktek agama itu sebagai hal yang rutin dilakukan oleh para penganut agama. Praktik agama itu ada yang bersifat wajib dan harus, ada pula yang bersifat tidak wajib atau fakultatif disertai berbagai aturan dan ketentuan yang terdapat di dalamnya. d.
Memiliki umat agama Individu atau orang yang kemudian bergabung dalam kelompok jenis agama tertentu akhirnya membentuk apa yang disebut kelompok atau komunitas pemeluk agama. Lazimnya orang yang memeluk agama tertentu disebut penganut agama atau umat. Umat merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki iman, keyakinan dan kepercayaan yang sama akan Tuhan atau Allah ataupun sebutan lain yang searti dengan itu. Penganut masing-masing agama menjalankan ibadat atau upacara keagamaan untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai umat dari golongan agama tertentu. Mereka juga menghayati praktek keagamaan dalam suasana kebersamaan, persaudaraan dan keakraban satu sama lain. Selain kelompok penganut agama dalam jumlah besar, biasanya ada pengelompokan umat dalam bagian-bagian yang lebih kecil lagi dengan jumlah anggota yang sedikit. Misalnya ada warga jemaat/lingkungan di Kristen (Katolik dan Protestan), atau warga pesantren/majelis taklim tertentu, komunitas keagamaan yang terdiri dari anggota suatu gereja tertentu, komunitas pura dan wihara tertentu dan lain sebagainya.
e.
Memiliki pengalaman keagamaan Setiap penganut agama memiliki pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu yang khas dan unik. Pengalaman keagamaan itu dihayati secara bersama maupun pribadi. Misalnya saja di kalangan Kristen ada yang mengalami pengalaman keagamaan lalu menghayati panggilan menjadi pendeta. Di kalangan Katolik seseorang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi pastor (romo) ataupun menjadi biarawan atau biarawati. Di dalam agama Islam, orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terdorong untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah. Di Budha orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa terpanggil untuk menjadi biksu atau pewarta agama dan sebagainya. Pengalaman keagamaan ini hampir ditemukan dalam setiap agama di dunia. Pengalaman keagamaan ini sering menjadi tolok ukur untuk menentukan kadar kedalaman hubungan orang beragama dengan Tuhan. Semakin dalam hubungan dengan Tuhan, seseorang akan mudah
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
mengalami pengalaman keagamaan. Semakin jauh relasi dengan Tuhan, maka pengalaman keagamaan pun semakin jauh dari hidup orang itu. Maka setiap orang beragama perlu mengembangkan diri dan mengusahakan diri untuk dapat mengalami pengalaman keagamaan dalam hidupnya. Orang yang mengalami pengalaman keagamaan akan merasa kukuh dan kuat menghayati agama yang telah dipilih dan dianutnya. Ia tidak akan mudah tergoncangkan untuk melakukan hal yang buruk atau hal yang salah dalam hidupnya. Ia tidak akan gampang juga untuk terjatuh ke dalam godaan-godaan dunia ini yang menyesatkan dan menghanyutkan manusia ke dalam jurang dosa. Sebab dosa semakin menjauhkan manusia dari Tuhan sebagai substansi ilahi yang disembah dalam agama-agama.
“Apa Karakteristik Agama Anda?” Stasiun kereta bawah tanah Thim Tsa Tsui, Hongkong siang ini agak lengang, tak sepadat pagi atau sore hari yang merupakan rush hours bagi para pekerja kantoran.Tidak begitu lama, tibalah kereta jurusan Mongkok yang saya tunggu. Duduk di deretan bangku panjang sambil membuka koran infotainment yang beberapa hari lalu saya beli dari salah satu toko di Indonesia. Di sebelah saya duduk seorang pria setengah baya berpakain rapi dan berpenampilan perlente kalau kata sahabat saya. Meski tak secara langsung bertatap muka, saya merasakan matanya sesekali melirik ke arah saya. Merasa risih dipandangi terus, refleks saya membetulkan letak jilbab dan baju, saya khawatir terpasang miring atau tersingkap. “Maaf apakah Anda orang Indonesia?” tiba-tiba pria itu mengajak saya bicara. “Iya betul.ada yang aneh dengan penampilan saya?” jawab saya sambil mencoba tersenyum. “Oh tidak…tidak ada yang aneh kok”, dengan sigap pria tersebut menjawab pertanyaan saya diiringi permintaan maaf. Lalu tanpa saya minta, pria tersebut bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke Indonesia. Selain tertarik dengan keindahan dan keramahan orang Indonesia, ia juga tertarik dengan Islam. Ia mengatakan bahwa ajaran Islam indah dan sesuai dengan jiwa orang Hongkong yang disiplin. “Kalau boleh saya tahu, apa salah satu karakteristik agama Islam?” jedar!!! Pertanyaan yang tak pernah saya duga sebelumnya. Ingin saya menjelaskan bahwa banyak karakteristik unggul yang ada pada Islam. Bahkan saya ingin menceritakan tentang apa yang sedang saya lakukan yaitu puasa. Tapi saya justru ingat perdebatan panjang dengan si mbok semalam yang menganggap saya gila karena rela berlapar-lapar di siang hari hanya demi Tuhan yang kata dia tidak ada wujudnya. Tapi saya tidak mau mengulangi perdebatan itu lagi. Tiba-tiba saya ingat dengan pengalaman sahabat saya yang pernah dipecat dari pekerjannya gara-gara minta ijin saat jam kerja untuk sholat. Islam identik dengan sholat, sholat identik dengan tepat waktu. Nah, bukankah orang Hongkong begitu mengagungkan waktu? Kedisiplinan? yup! Akhirnya saya jawab “salah satu karakteristik agama saya adalah management of quality time”, saya tidak tahu apakah bahasa Inggris saya benar atau salah, bisa CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
diterima atau tidak, yang penting saya berusaha mengatakan semampu saya. Dan kenyataannya pria tersebut manggut-manggut sambil mengacungkan jempol. “Tapi yang saya tahu kenapa masih banyak para pekerja Indonesia yang kurang bisa menghargai waktu? sulit di percaya dan suka menunda-nunda pekerjaan. Padahal saya juga pernah membaca buku tentang Islam, katanya seorang Muslim harus menjalankan amanah dengan baik. Lalu apa pekerjaan itu tidak sama dengan amanah?” Duh! saya kira sudah tak ada pertanyaan lanjutan setelah saya memberikan jawaban. ternyata….“Betul, pekerjaan sama dengan amanah. Wujudnya adalah tanggung jawab. Pertanggungjawaban di dua masa yaitu dunia dan akhirat. Di dunia dengan menyelesaiakan tugas yang diberikan dengan baik tanpa melihat besar kecilnya tugas. Dan di akhirat pun juga ada pertanggungjawabannya. Tanpa sengaja saya pun seperti tersindir. Sudahkah saya melaksanakan semua amanah yang datang kepada saya dengan baik? Rasanya masih banyak tanggung jawab saya yang terabaikan, padahal saya selalu berkata dengan bangganya ‘ya, saya muslim’. Dan saya tahu betapa beratnya mengemban amanah ini. Sampai pada akhirnya kereta yang membawa kami sampai pada stasiun Mongkok. Saya pun pamit pada pria tersebut untuk turun duluan. Terimakasih Sir, atas tegurannya melalui sebuah pertanyaan yang pada awalnya sempat membuat saya tersentak. Mudah-mudahan ke depannya saya bisa menjadi seorang muslimah yang lebih baik, yang tidak akan mengecewakan orang-orang yang telah memberikan amanah kepada saya. (Karin Na Maulana dalam http://agama.kompasiana.com/2010/08/13/)
5.
Kategori Agama Dalam kategori atau pengelompokan agama terdapat banyak versi. Ada juga yang
mengelompokkan agama berdasarkan dari negara asalnya, ada yang mengelompokkan agama dari segi primitif dan modern (yang telah meninggalkan agama primitif). Namun ada juga yang mengelompokkan agama ke dalam dua kelompok yakni; (1) agama wad’i (natural religions) atau agama alamiah yang merupakan kreasi manusia dan muncul di lingkungan tempat mereka hidup seperti agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto; (2) agama samawi (revealed relegions) adalah agama yang diturunkan dari Allah sebagai petunjuk bagi manusia seperti agama Islam, Nasrani (Katolik dan Protestan) dan Yahudi. Agama Islam sendiri merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT, sebagai penyempurna ajaran sebelumya, sebagai rahmat bagi alam semesta. Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Tuhan saja tapi juga mengatur hubungan sesama manusia dan kepada alam semesta.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
6. Membaca dan Memaknai Agama Sesuai dengan watak evolusi agama yang harus diejawantahkan, maka tradisi kritik dan pemunculan tafsir yang heterogen menjadi suatu kemestian yang wajar dan tak terelakkan. Tradisi ini bertujuan agar peran-peran profetik agama sebagai kekuatan moral dan pembebasan lewat perilaku pemeluknya dapat muncul lagi ke permukaan. Keragaman tafsir juga mempunyai nilai positif sebagai upaya kontekstualisasi teks agama pada problem-problem kemanusiaan aktual masa kini. Dalam pemunculan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jacques Derrida (Prancis) layak dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja. Metode yang awalnya dipakai dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk bertanya, menggugat, atau pun mengkritik. Dalam bidang keagamaan, dekonstruksi terhadap teks ini memungkinkan kita untuk membongkar monopoli tafsir atas otoritas tertentu yang menegaskan mengenai “kebenaran” atas nama Tuhan, negara atau penguasa. Sehingga definisi dan praktek pencarian “kebenaran” menjadi demokratis dan berparadigma antroposentrik. Dalam hal ini, manusia menjadi pusat tafsir yang berusaha untuk menggali kebenaran yang beragam secara obyektif. Evolusi keagamaan yang menghargai pluralitas itu dengan sendirinya menekankan adanya historisitas logos dalam pembacaan teks. Maksudnya, dalam pembacaan teks agama mutlak diperhatikan rentang waktu kemunculan, kompleksitas, serta latar belakang ideologi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, Arkoun mengkritik adanya sebuah pensakralan pengetahuan agama (taqdis al-afkar ad-diniyyah) yang sering terjadi pada umat beragama. Sebab, sebuah pensakralan menjadikan manusia terbelenggu pada kebenaran tunggal dan penerimaan tanpa reserve sebuah penafsiran teks keagamaan. Padahal, kemunculan teks pada masa lalu pasti tidak terlepas dari dimensi politis dan ideologis sang pengarang. Berkaitan dengan itu, Arkoun menawarkan kita agar jernih dan jeli membedakan pemikiran keagamaan yang ada pada era klasik, skolastik, dan modern. Untuk itu, model pembacaan teks dengan metode hermeneutika yang berusaha menghadirkan teks masa lalu agar bisa terpakai pada zaman sekarang, layak dilakukan. Dalam metode ini, latar belakang kemunculan teks, maksud pengarang, struktur bahasa, nilai atau simbol pengetahuan, dan kontekstualisasi adalah sebuah lingkaran yang senantiasa berkelindan. Sehingga, sebuah teks keagamaan tidak serta merta dipakai secara simbolik tanpa mengkaji makna substantif dan moral yang ada di baliknya. Dengan bahasa dan istilah berbeda, Mohammad Abed Al-Jabiri juga menegaskan, bahwa krititisme dalam pembacaan dan pemaknaan kembali teks keagamaan mutlak dilakukan. Sedangkan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
metodologi yang ditawarkan adalah metode strukturalis; analisis sejarah, dan kritik ideologi. Metode strukturalis digunakan sebagai pembacaan teks secara literal dan membatasinya dalam melokalisir kebenaran yang bersifat sementara. Sedangkan analisis sejarah adalah mencari pertautan pemikiran sang pengarang teks dengan ruang lingkup sejarah budaya, sosial, politik, serta sosiologisnya. Kritik idelogi mengungkap maksud pengarang dalam penciptaan karya melalui episteme yang dirujuknya. Dengan model pembacaan dan pemaknaan agama yang tidak terjebak pada simbol dan homogenitas seperti di atas, maka umat beragama dapat diharapkan menjalankan keberagamaan baru yang humanis dan membebaskan. Penegasan Soroush bahwa “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog antar-intra iman, serta giat bekerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan menggalakkan demokratisasi dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.
7.
Aliran-Aliran Spiritualisme Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan spiritualisme dapat diartikan sebagai 1).
Aliran filsafat yang mengutamakan aspek kerohanian: ia menumpahkan perhatian pada ilmu-ilmu pasti seperti mistik - dan ; 2). Kepercayaan untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal; 3). Spiritisme. Dalam perspektif filsafat, spiritualisme mengandung beberapa pengertian yakni: • Ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh (pneuma, nous, reason, logos) yang mengisi dan mendasari seluruh alam semesta ini • Seringkali disebutkan untuk pandangan idealistik yang menyatakan adanya roh mutlak • Spiritualisme juga dipakai dalam bidang keagamaan dan spiritual untuk menekankan pengaruh langsung roh suci dalam kehidupan manusia • Spiritualisme juga dapat berarti kepercayaan bahwa roh-roh orang mati berkomunikasi dengan orang yang masih hidup melalui orang-orang tertentu yang menjadi perantara dan lewat bentuk wujud yang lain. Istilah spiritualisme sebetulnya lebih tepat dikenakan bagi kepercayaan semacam ini yang lazim disebut spiritisme. • Spiritisme merupakan keturunan langsung atau pengembangan dari animisme yang percaya bahwa “semua benda dan kejadian alam berjiwa” dan dinamisme yang percaya bahwa “terdapat manisfestasi dari kekuatan-kekuatan tertentu di balik dinamika semesta dan kenyataan-kenyataan alam.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
Dalam konteks arti dan pemahaman di atas muncullah istilah filsafat spiritualisme yang menitikberatkan perhatian pada unsur jiwa manusia atau unsur-unsur terdalam dari manusia. Aliran-aliran yang termasuk ke dalam filsafat spiritualisme ini yakni: • Aliran idealisme yang para penganutnya memberi tempat tertinggi pada ide • Aliran spiritualisme yang memberi tempat tertinggi pada aspek jiwa manusia • Aliran rasionalisme yang memberi tempat tertinggi pada akal budi manusia Spiritualisme sebetulnya muncul karena manusia mengagungkan dimensi jiwa manusia sebagai unsur yang lebih tinggi nilainya daripada unsur raga atau fisik. Manusia yang menitikberatkan perhatian pada aspek fisik akan menghasilkan pemikiran (cara hidup) materialis yang disebut materialisme dengan tokoh tertentu seperti Karl Marx. Sedangkan aliran yang lebih mementingkan jiwa manusia akan menghasilkan pemikiran spiritual yang disebut spiritualisme. Plato (490-430 SM) dan Leibnitz (1646-1716) merupakan contoh tokoh penganut aliran spiritualisme yang memberikan keyakinan filosofis bahwa kenyataan terdalam di dalam alam semesta ini adalah roh atau jiwa. Dalam konteks kerohanian, spiritualisme merujuk pada sesuatu kekuatan ultim atau realitas immaterial, bagian terdalam di dalam diri manusia yang memampukan manusia untuk menemukan inti dari Adanya atau nilai/makna terdalam yang darinya manusia hidup. Biasanya orang melakukan praktek spiritual dengan cara bermeditasi, berdoa, berkontemplasi dengan realitas yang lebih luas melebih realitas diri manusia sendiri. Aliran-aliran spiritualisme dapat dikategorikan ke dalam tiga (3) jenis yakni: • Spiritualisme Primitif/Tradisional: misalnya animisme, dinamisme, dan spiritisme • Spiritualisme Natural: misalnya agama natural, fengshui, horoskop, totemisme, dll • Spiritualisme Sekular: misalnya humanism dan new age Aliran-aliran spiritualisme bertumbuh dan berkembang dari konteks budaya, tradisi dan adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan manusia dalam ras dan etnis tertentu. Karena itu aliran spiritualisme dapat dinamakan dengan berbagai macam sebutan dan istilah yang beraneka sesuai dengan konteks spiritualisme itu bertumbuh dan berkembang. Spiritualisme tidak berhubungan dengan agama-agama yang telah ada misalnya Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu yang diakui di Indonesia.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
8.
Karakteristik Spiritualisme Spiritualisme merupakan aliran yang tidak memasukkan diri ke dalam salah satu kelompok
agama tertentu. Spiritualisme tidak berhubungan dengan agama-agama misalnya Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu yang ada dan diakui di Indonesia. Aliran spiritualisme cenderung tidak menggolongkan diri ke dalam salah satu agama. Mereka sering menyebut diri dengan istilah SBNR atau “spiritual but not religius”. Karena itu mereka mengembangkan diri sesuai dengan ketertarikan pada aspek spiritual tertentu yang diminati dalam aktivitas keseharian. Dalam dunia kontemporer dewasa ini, para ilmuwan sosial malah memandang spiritualisme sebagai pencarian kekudusan dalam bentuk berbagai aktivitas dan kegiatan sosial manusiawi yang dimaknai secara spiritual. Spiritualisme dapat saja tampak dalam gerakan-gerakan kemanusiaan populer seperti teolog feminis yang memperjuangkan hak kaum perempuan, spiritualisme ekologi (kelompok green peace) yang memperjuangkan kebaikan lingkungan hidup, para aktivis yang memperjuangkan perbaikan kesehatan mental (mental health) manusia dan lain sebagainya. Penganut aliran spiritualisme juga sering kali terobsesi dengan tokoh pendiri yang menghayati nilai tertentu. Kalau pendirinya suka melakukan kebaikan bagi orang lain, maka anggotanya pun akan melakukan hal yang sama demikian. Kalau pendirinya suka memperjuangkan nilai kedamaian dan persaudaraan, maka para anggotanya pun akan melakukan hal seperti itu. Kalau pendirinya gemar melakukan tapa dan meditasi, maka para anggotanya pun dituntut untuk melakukan hal itu secara serius dan konsisten. Spiritualisme umumnya berkarakter pribadi/individual dan mementingkan penghayatan yang bersifat pribadi. Ia lebih fokus pada pencarian ruang batin yang hening dan sunyi. Ketenangan dan kehehingan disertai refleksi merupakan hal pokok dalam dunia spiritualisme. Karena hanya dengan meditasi dan yoga, mereka mampu menyelami realitas alam ini sampai sedalam-dalamnya hingga bertemu dengan hal inti yang dicari. Tujuan spiritualisme adalah berada dalam keadaan tersambung, terhubung atau terkoneksikan dengan semua unsur dan barang dalam alam semesta ini. Agak mirip dengan karakteristik agama, spiritualisme berikhtiar membuat hidup manusia mencapai keseimbangan dan perkembangan maksimal dalam pencarian nilai spiritual dalam hidup. Spiritualisme bercita-cita membentuk pribadi manusia yang baik, bermoral dan beretika dalam hidup ini dengan mengandalkan eksplorasi ruang batiniah manusia yang terdalam. Spiritualisme adalah salah satu jalan menjadi pribadi bijaksana dalam dalam hidup ini.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
B. Relasi Agama dan Spiritualisme 1.
Identik tapi Disting Agama dan spiritualisme merupakan dua hal yang identik (mirip) namun tetap disting (berbeda)
dalam hal-hal tertentu. Agama mengutamakan ritual artifisial fisik, sedangkan spiritualisme lebih menekankan aspek batiniah. Agama menonjolkan dimensi fisik-lahiriah, sedangkan spiritualisme lebih mengutamakan dimensi rohani-batiniah. Agama dijalankan dalam nuansa kebersamaan (komunal) dalam iklim persaudaraan dan keramaian dalam kebersamaan, sedangkan spiritualisme dijalankan dalam keheningan, ketenangan, kesunyian, meditasi, dan kontemplasi. Agama berurusan dengan ruang publik (umum) sedangkan spiritualisme berurusan dengan ruang privasi internal batiniah. Dalam masyarakat modern dewasa ini, perbedaan (distingsi) antara agama dan spiritualisme sangat tampak jelas. Pada masyarakat Amerika Serikat misalnya, banyak orang mengklaim bahwa mereka menjadi orang yang spiritualis tanpa harus menganut agama tertentu. Menurut Clark Roof dan Robert Wuthnow, Kelompok penganut spiritualis tanpa agama di Amerika berjumlah 13 persen pada tahun 1999 dan naik menjadi 31 persen dari penduduk Amerika Serikat di tahun 2005 (Ensiklopedi Sosiologi Internasional, hal. 60). Angka ini menggambarkan sebuah kenaikan yang fantastis dalam jumlah signifikan dari tahun ke tahun. Di Indonesia penganut aliran spiritualis juga tentu ada, bertumbuh dan berkembang semakin subur seiring dinamika waktu. Apalagi ditambah dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, modernisasi dan globalisasi tentu tak dapat dipungkiri juga bahwa ada orang yang menganut agama tapi malah mempraktikkan cara-cara spiritual dalam kehidupannya. Menganut agama mengimplikasikan adanya iman atau kepercayaan kepada Tuhan atau Yang Ilahi, berpartisipasi dalam institusi dasar agama, hormat pada ajaran tradisi. Sedangkan menganut aliran spiritual mengimplikasikan penelusuran pengalaman keterhubungan, relasi, atau kesatuan dengan Tuhan (Allah) atau kekuatan tertinggi atau kekuatan suci atau kekuatan alam dan mewujudkannya ke dalam kehidupan pribadi dan penyadaran diri dalam perjalanan hidup secara sendiri/pribadi (Ensiklopedi Sosiologi Internasional, hal 60). Jadi sebetulnya salah satu distingsi atau perbedaan antara agama dan spiritualisme terletak pada akibat dan konsekuensinya masing-masing. Agama dan spiritualisme mirip/sama (identik) dalam hal usaha bersama mencari nilai-nilai universal dan hakiki dalam kehidupan ini berkaitan dengan Tuhan ataupun keyakinan lain yang searti dengan itu. Agama dan spiritualisme sama-sama mengikhtiarkan kedamaian, kebaikan, keharmonisan, keselarasan, keseimbangan dalam realitas kehidupan ini. Agama dan spiritualisme sama-sama identik dalam membawa manusia hidup baik dan benar di dalam tatanan alam semesta dalam kesatuan dengan semua makhluk yang ada.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 13
2.
Saling Melengkapi dan Saling Mendukung Agama dan spiritualisme merupakan dua unsur yang yang saling mengandaikan. Keduanya
ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Keduanya saling melengkapi dan saling mendukung dalam mengemban visi dan tujuan masing-masing. Agama tanpa spiritualisme akan salah arah (disorientasi) karena akan mudah terjebak pada dimensi kedangkalan dalam penghayatan agama. Sedangkan spiritualisme tanpa agama akan kehilangan relevansi sosialnya. Agama tanpa spiritualisme akan mudah terjebak ke dalam fenomena politisasi agama ataupun religiosifikasi politik. Agama tanpa spiritualisme akan mudah terjebak dalam fenomena manipulasi yang menyesatkan. Sebetulnya agama dan spiritualisme saling melengkapi dan saling mendukung. Keduanya tidak bertentangan, namun sama-sama berurusan dengan wilayah nilai rohani sebagai petunjuk etis moral bagi manusia dalam bertindak dan berperilaku. Keduanya saling memperkaya untuk membuat manusia semakin baik dan bahagia dalam hidup. Agama dapat membuka diri untuk belajar hal-hal positif dari wilayah spiritual, sebaliknya spiritualisme pun dapat membuka diri untuk belajar dan mengambil inspirasi positif dari wilayah agama. Kerja sama kedua unsur ini akan semakin memperkaya kehidupan batin manusia yang terpancar dalam sikap, tindakan dan perilaku yang baik dan benar dalam realitas sosial. Agama dan spiritualisme saling mengandalkan dalam membentuk kualitas kehidupan yang lebih baik dan memenuhi harapan. Agama dapat mengadopsi kekuatan-kekuatan spiritualisme untuk meneguhkan eksistensinya. Meditasi dan kontemplasi sebagai kekuatan spiritualisme dapat dipakai dalam agama untuk semakin kaya dalam kiprahnya membuat manusia beragama hidup lebih baik lagi menghayati imannya akan Tuhan. Kekuatan spiritualisme dapat dikembangkan oleh agama untuk menjadikan orang beragama semakin mengalami pengalaman-pengalaman spiritual dalam agama yang dianut. Sedangkan spiritualisme dapat menjadikan agama sebagai media dan sarana untuk mewartakan nilai-nilai eksotik dalam dirinya. Maka sesungguhnya akan tercapai kerjasama yang sangat indah kalau tercipta hubungan dialektis yang produktif antara agama dan spiritualisme. Saatnya agama dan spiritualisme bekerja sama, saling berdialog, saling mendengarkan, saling belajar memperkaya diri masing-masing dalam membangun dan mengusahakan tatanan dunia yang lebih baik.
C. Peran Agama dan Spiritualisme 1.
Membentuk Pribadi yang Religius dan Spiritual Kendatipun agama dan spiritualisme berbeda, namun satu hal yang pasti bahwa keduanya
sama-sama berurusan dengan pribadi manusia. Agama dan spiritualisme sama-sama memberikan sumbangsih berharga bagi dimensi manusia sebagai pribadi dan dimensi kemanusiaan pada
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 14
umumnya. Kebenaran ini tak dapat disangkal adanya. Agama dan spiritualisme penting bagi manusia dalam kehidupan ini. Peran utama agama dan spiritualisme terletak pada kekuatan nilai-nilai yang dikandungnya. Agama dan spiritualisme bergelut dengan persoalan nilai-nilai etika dan moral sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang sangat dibutuhkan manusia dalam menjalankan kehidupan ini. Manusia tak layak hidup sebagai manusia jika mengabaikan nilai-nilai agama dan spiritualisme. Manusia yang hidup tanpa agama dan spiritualisme akan membuat manusia hidup dalam pengaruh materialisme dan profanisme (sekularisme) yang menyesatkan. Agama membentuk pribadi yang religius, yang beriman, yang percaya teguh pada Tuhan dalam seluruh ziarah eksistensinya sebagai manusia. Pribadi yang religius adalah pribadi yang menghargai nilai-nilai rohani dan nilai-nilai ke-Tuhanan dalam hidup. Nilai-nilai rohani sekaligus nilai ke-Tuhanan yang dimaksud yakni nilai kebenaran, nilai kebaikan, nilai keindahan dan nilai religius. Pribadi yang religius akan menghayati dan berkomitmen menghidupi nilai-nilai ini dalam keseluruhan kehidupannya. Ia memegang teguh prinsip-prinsip nilai ini dalam segala situasi, dalam segala kondisi dan dalam mengemban profesi apa saja. Spiritualisme berperan membentuk pribadi spiritual yang mengutamakan nilai-nilai ketenangan, kedamaian, keharmonisan, kepekaan batin yang mendalam terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan yang lain dalam kehidupan ini. Nilai-nilai spiritual ini mampu membawa manusia masuk ke dalam wilayah kedalaman batin yang hening dan sunyi. Dalam wilayah ini manusia akan mudah melakukan refleksi atas kehidupan untuk menemukan makna dan nilai-nilai yang penting bagi manusia dalam mengarungi kehidupan ini. Nilai-nilai spiritual mampu membawa manusia menjadi sosok filsuf yang terus merefleksikan diri, sesama, dan lingkungannya. Nilai spiritual inilah yang membuat manusia hidup bermakna, berarti dan layak sebagai manusia. Sokrates (filsuf Yunani klasik) jauh-jauh hari sudah bermadah “Hidup yang tidak direfleksikan, sesungguhnya tidak layak untuk dihidupi”. Ini artinya, tanggung jawab seorang spiritual adalah terus melakukan refleksi atas nilainilai spiritual untuk semakin meneguhkan eksistensi diri sebagai manusia yang beradab dan bermartabat.
2.
Membentuk Pribadi yang Bermoral Dari awal sejarah kehidupannya, setiap individu manusia berkembang dalam level
perkembangan moral tertentu menurut tahap-tahap tertentu. Hal ini sudah ditelusuri secara ilmiahakademis oleh para pemikir terkenal sebelumnya seperti John Rawls, Jean Piaget maupun Kohlberg. Pemikiran Kohlberg akan sedikit didalami pada bagian ini untuk memperluas pemahaman kita tentang perkembangan moralitas pada manusia umumnya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 15
Dalam penelitiannya tentang perkembangan pemikiran moral manusia, Kohlberg yakin bahwa moralitas orang dewasa dan orang muda berkembang dan bertumbuh dari masa kanak-kanak. Kadang-kadang seseorang individu merasakan dilema moral dalam keadaan dan situasi tertentu dalam tahap perkembangannya sebagai manusia. Dilema ini muncul saat seseorang hendak mengambil tindakan moral dalam situasi konflik batin dalam kehidupannya. Kisah berikut ini dapat menggambarkan situasi dilema moral itu.
Heinz, adalah seorang ayah yang baik dan sopan. Namun tiba-tiba istrinya divonis dokter sakit kanker tragis yang mematikan. Obat untuk menyembuhkan sakit istrinya hanya dijual di satu-satunya toko obat di kotanya. Namun obat penyembuh kanker itu sangat mahal harganya. Heinz tidak memiliki cukup uang untuk membeli obat itu. Heinz menawarkan untuk menukarkan barang miliknya (barter) yang senilai dengan harga obat kanker itu. Namun hal ini ditolak mentahmentah oleh pemilik toko penjual obat. Heinz mengalami dilema moral. Dalam keputusasaannya, ia berniat mencuri obat itu dari toko obat tersebut demi menyembuhkan kanker ganas yang mengancam nyawa istri terkasihnya. Pertanyaannya adalah haruskah Heinz melakukan tindakan ini?” (Social Capital: 1980: hal. 304).
Kohlberg mengemukakan tiga (3) level (tingkatan) moral dan enam (6) tahap perkembangan moral yang dialami oleh setiap orang. Teori perkembangan moral Kohlberg dapat dijabarkan dalam tiga tingkatan berikut ini: •
Level Moralitas Prakonvensional (usia 0-9 tahun) di mana individu menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial (takut dihukum kalau bersalah dan berharap mendapatkan reward karena berbuat baik). Level ini dibagi atas dua (2) tahap: a. Tahap 1: Hukuman dan orientasi ketaatan. Individu menyesuaikan diri (pemikirannya) dengan otoritas superior di atas dirinya yang berkuasa mengadili. Individu takut dan berusaha menghindari hukuman (punishment). b. Tahap 2: Perubahan kepentingan diri. Individu taat supaya mendapatkan imbalan yang ditawarkan oleh orang lain pada dirinya. Individu berusaha berbuat baik dan ikhlas agar orang lain memenuhi keinginan/kebutuhan yang dikehendakinya.
•
Level Moralitas Konvensional (usia remaja) di mana individu mulai mengerti, menerima dan melaksanakan aturan dan harapan sosial yang ditentukan oleh otoritas. Aturan-aturan moral sudah diinternalisasikan secara baik di dalam dirinya. Level ini dibagi atas dua tahap: c). Tahap 3: Menjaga relasi interpersonal yang baik. Individu berusaha agar terlihat baik oleh orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha menghidupi nilai-nilai kebaikan yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya misalnya orang tua, keluarga dan teman-temannya. Individu
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 16
akan merasa malu di hadapan teman-temannya kalau melakukan kesalahan. Ia berusaha menjaga kepercayaan, loyal, hormat dan menghargai orang lain. d). Tahap 4: Menjaga sistem sosial termasuk relasi dengan otoritas sosial. Individu menyetujui aturan-aturan sosial dan perjanjian-perjanjian yang terlihat adil sebab mereka ingin menjaga fungsi sistem sosial. Tahap ini disebut juga penyesuaian diri dengan hukum dan aturan moral (law and order morality). •
Level Moralitas Postkonvensional (level yang dicapai oleh sebagian kecil orang dewasa dan jarang sampai umur 20-an tahun). Pada tahap ini aturan-aturan sosial diterima namun individu melakukan internalisasikan nilai-nilai moral mereka sendiri di bawah hukum-hukum. Jika prinsip-prinsip moral individu berkonflik dengan aturan-aturan sosial, individu dibimbing oleh prinsip-prinsipnya sendiri. Dua tahap terdiri dari: e). Tahap 5: Moralitas kontrak sosial dan hak-hak individu. Aturan-aturan sosial terlihat relatif dapat berubah sesuai efek persetujuan. Agar diterima, hukum-hukum harus lolos dari prosedur demokratis dan imparsial. Individu taat dengan perjanjian-perjanjian yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi dan hormat pada komunitas secara rasional. f). Tahap 6: Moralitas berdasarkan prinsip etika universal. Sebagai pribadi rasional, individu mengenal validitas etika universal. Misalnya, hak untuk hidup dan hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan fungsi-fungsi sosial. Individu memiliki perasaan komitmen personal pada prinsip-prinsip etika umum (universal). Tindakan individu berdasarkan kesadaran pribadi, bukan berdasarkan tekanan luar ataupun kontrak-kontrak sosial tertentu. Bertitik tolak pada Teori Kohlberg ini, kita perlu mengatakan bahwa agama dan spiritualisme
merupak hal sangat menyumbang perkembangan moral pribadi manusia. Agama dan spiritualisme dengan cara masing-masing memberikan kontribusi penting dalam membuat manusia berkembang dewasa dalam keyakinan moralitasnya. Agama dan spiritualisme diharapkan menjadi elemen yang mendukung pribadi manusia berkembang maksimal menembus tahap ke-6 yakni menghayati moralitas berdasarkan prinsip-prinsip etika universal. Ketika hanya sedikit orang yang mampu mencapai tahap ke-6 karena berbagai alasan dan argumentasi, agama dan spiritualisme bisa tampil sebagai jawaban alternatif dan solusi. Ia bisa tampil sebagai “prinsip jalan ketiga” atau jalan tengah untuk membentuk pribadi bermoral. Inilah fungsi klasik dari agama dan spiritualisme yang tak dapat tergantikan di samping tradisi dan nilai-nilai lokal lain dalam etnis, suku dan budaya masyarakat manusia. Agama dan spiritualisme mampu mengantar manusia untuk membentuk kematangan nilai moral pribadi. Di titik ini orang melakukan tindakan moral bukan karena motivasi latar belakang
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 17
tradisi agama ataupun ideologi spiritual tertentu yang sudah melembaga. namun orang melakukan pilihan moral, keputusan moral dan tindakan moral berdasarkan keyakinan pribadi yang hakiki. Orang melakukan tindakan moral karena ia sadar sebagai manusia, ia wajib berbuat baik secara moral. Ia melakukan tindakan moral bukan karena ajaran tradisi dan doktrin spiritual tertentu, namun ia melakukan tindakan moral sebagai tanggung jawab kemanusiaan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain yang merasakan konsekuensi dari tindakan moral yang ia lakukan.
3.
Membentuk Pribadi Arif dan Bijaksana Orang beragama dan penganut aliran spiritual akan berkembang bukan hanya menjadi pribadi
yang bermoral namun juga menjadi pribadi yang arif dan bijaksana. Pribadi yang arif artinya pribadi yang mampu menunjukkan perbuatan baik dalam kenyataan/tindakan sehari-hari misalnya menolong sesama yang membutuhkan dan lain sebagainya. Orang yang arif juga akan bersikap sopan dan santun dalam hidupnya. Bersikap baik dan sopan dalam relasi dengan sesama menjadi kebahagiaan tersendiri yang dikejar dan diperjuangkan dalam hidupnya. Sedangkan pribadi yang bijkasana adalah pribadi yang mengutamakan hati nurani dan pikiran benar yang diwujudkan dalam tindakan konkret yang tidak merugikan orang lain. Kebijaksanaan adalah filosofi atau cara pandang terhadap diri, dunia dan sesama tidak hanya mengandalkan akal budi (pikiran) namun juga mendengarkan bisikan hati nurani. Hati nurani adalah tempat tinggal atau bersemayamnya hal yang baik, suci dan kudus. Hati nurani dapat diartikan secara umum/luas dan khusus/sempit. Secara umum hati nurani artinya kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang di dalam hati manusia. Kesadaran moral ini menginsafkan manusia untuk selalu bertanggung jawab untuk wajib berbuat baik dalam hidup. Sedangkan dalam arti khusus hati nurani adalah penerapan kesadaran moral dalam situasi konkret yang manusia alami. Suara hati tampil sebagai hakim jujur yang menilai tindakan manusia benar atau salah, baik atau buruk. Kata “nur” artinya cahaya merupakan istilah untuk menyebutkan hati nurani sebagai cahaya ilahi. Orang beragama dan penganut aliran spiritual percaya hati nurani sebagai tempat tinggal Tuhan ataupun identik dengan hal-hal yang memantulkan cahaya yang baik bagi manusia. Orang beragama dan spiritual akan bertindak menurut hati nurani yang baik sebagai hal tertinggi dalam hidupnya. Ia percaya hati nurani, mendengarkan hati nurani dan taat hati nurani yang mampu mengarahkan diri pada kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan. Pribadi yang bijaksana akan penuh pertimbangan dalam melakukan aktivitas (kegiatan) dalam hidup. Ia tidak akan bertindak ceroboh berhadapan dengan situasi-situasi dalam hidupnya. Ia tidak hanya menggunakan pikiran sebab pikiran dapat salah dan merugikan orang lain. Menggunakan pikiran akan membuat orang mudah terjebak pada kesombongan intelektualisme dan rasionalisasi
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 18
yang salah. Maka menggunakan pikiran saja tidak cukup. Orang perlu mendengarkan suara hati agar bertindak baik dan benar dalam hidup. Hati nurani perlu didengarkan karena ia memberikan peran yang luar biasa bagi manusia. Peran hati nurani itu di antaranya: menjadi petunjuk/pedoman bagi manusia untuk menilai suatu tindakan apakah tindakan itu baik atau buruk; menjadi pegangan bagi manusia dalam hidup; menyadarkan manusia akan nilai-nilai penting dan berharga di dalam hidupnya. Atas alasan-asalan inilah maka kita perlu mentaati hati nurani dalam hidup ini agar kita semakin berkembang menjadi sosok orang yang arif bijaksana.
“Selain pikiran yang memiliki logika, hati nurani pun memiliki logikanya sendiri. Itulah yang disebut logika hati” (Blaise Pascal)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 19
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik III PENGALAMAN SPIRITUAL
A. Pengertian Pengalaman Spiritual 1. Fenomena Pengalaman Keagamaan Pengalaman keagamaan merupakan pengalaman spiritual yang dialami oleh orang ataupun kelompok penganut agama dalam kenyataan sehari-hari. Pengalaman keagamaan biasanya dialami dan dirasakan oleh kelompok penganut agama Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu Konghucu dan sebagainya. Pengalaman keagamaan dapat disebut juga sebagai pengalaman religius. Pengalaman religius ini sangat khas dan unik dari penganut agama yang satu ke penganut agama yang lain. Umumnya pengalaman keagamaan itu direfleksikan dengan bertitik tolak pada doktrin dan tradisi-tradisi agama masing-masing. Umumnya ajaran agama masing-masing dijadikan sebagai patokan dan tolok ukur untuk menilai pengalaman keagamaan. Kitab suci agama masingmasing, tradisi, doktrin, ajaran iman, tokoh suci dapat direfleksikan oleh penganut agama untuk mengembangkan dan memperoleh pengalaman keagamaan itu. Dalam sejarah perkembangan agama-agama, pengalaman keagamaan biasanya dialami oleh para pendiri agama atau tokoh panutan dalam agama masing-masing. Orang Katolik dan Protestan dapat mengambil inspirasi pengalaman dari tokoh sentral Yesus Kristus, orang Islam dapat mengalami pengalaman dari Nabi Muhammad SAW, orang Budha dapat belajar pengalaman agama dari pendirinya Sidharta Buddha Gautama, orang Kong Hu Zu dapat mengambil pengalaman agama dalam diri Konfusius dll. Pengalaman keagamaan membuat orang menghayati suatu visi dan misi khusus dalam menghayati kehidupannya.
2. Pengertian Pengalaman Keagamaan Pengalaman keagamaan dapat diartikan sebagai segala macam kejadian dan peristiwa religius yang dialami oleh penganut agama dalam kehidupan sehari-hari sesuai konteks agama yang dianutinya. Umumnya pengalaman keagamaan juga bisa dinamakan sebagai pengalaman iman akan Allah atau pengalaman iman akan Tuhan. Pengalaman keagamaan dapat berkembang menjadi pengalaman iman. Pengalaman iman dalam konteks beragama bisanya menjadi potensi yang mendorong orang untuk semakin menghayati agama yang dianutnya secara baik dan benar. Pengalaman keagamaan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
akan menumbuhkan iman dan kepercayaan orang dalam agama yang dianutinya. Pengalaman keagamaan membuat seseorang bertumbuh subur dalam agama yang dia anut. Ia dapat mengimani secara kukuh tak tergoncangkan apa yang diyakini benar dalam agamanya. Pengalaman keagamaan dapat menginspirasi orang beragama untuk menjadi produktif dalam iman keagamaannya. Ia tidak beriman buta, tapi beriman secara rasional dan mampu mempertanggungjawabkan
imannya
pada
Tuhan.
Orang
yang
belum
mampu
mempertanggungjawabkan mengapa dia beragama, sebetulnya orang itu belum dikatakan dewasa dalam beragama. Artinya orang beragama bukan karena sekedar warisan atau tradisi. Namun orang harus dapat mempertanggungjawabkan alasan mengapa dia beragama. Orang harus bisa mempertanggungjawabkan dan mengargumentasikan mengapa dia memilih agama Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu ataupun Konghucu. Pengalaman keagamaan biasanya menyentuh wilayah emosi atau perasaan orang beragama. Jadi bukan hanya menyentuh aspek kognitif namun juga dimensi emosi manusia. Sesudahnya dapat terpancar keluar dalam aspek motorik yakni aksi untuk melakukan suatu hal yang terdorong oleh motivasi keagamaan itu. Contohnya, seseorang yang menganut agama tahu bahwa menolong orang yang terkena musibah bencana alam merupakan ajaran agama yang baik dan benar. Ajaran yang diketahuinya ini lalu menggetarkan wilayah batin dan emosinya. Berhadapan dengan orang-orang yang terkena musibah, orang ini akan tergerak untuk melakukan aksi/tindakan konkret menolong korban misalnya dengan memberikan uang, pakaian, bahan makanan dan lain sebagainya. Sesudah mewujudkan tindakan ini secara religius, ini dapat menjadi pengalaman agama orang beragama. Inilah yang disebut juga pengalaman iman orang beragama. Dan pengalaman keagamaan dapat saja mencapai titik puncaknya. Tentang hal ini akan diulas secara psikologis pada bagian selanjutnya.
B. Tipologi Pengalaman Puncak Keagamaan Banyak ahli psikologi yang merasa tertarik untuk mengkaji tipologi pengalaman puncak keagamaan yang dialami oleh para penganut agama. Tokoh-tokoh itu di antaranya Alport, Wiemans, William James, Erich From dan Abraham Maslow. Sumbangan positif para psikolog ini dapat dijadikan rujukan untuk memahami tipe atau bentuk pengalaman keagamaan itu.
1.
Menurut Gordon Alport Dalam perspektif Psikologi, muncul nama Alport, seorang psikolog yang suka menggeluti isu
pengalaman keagamaan pada pribadi manusia. Allport mensinyalir pengalaman puncak keagamaan itu dengan istilah kematangan beragama. Menurutnya, kematangan beragama itu sesungguhnya tampak dalam beberapa tipe karakter utama yang bisa teramati secara nyata dalam ranah praksis.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
Pertama, sentimen kematangan beragama pertama kalinya tampak dalam kemampuan untuk membedakan hal-hal yang baik atau kritik terhadap diri sendiri. Di sini orang beragama mulai sadar bahwa ia harus bertahan ketika agamanya dikritik oleh orang lain. Kedua, kematangan beragama terkait erat dengan tekanan emosi (perasaan) yang begitu kuat dalam proses psikologis-internal seseorang. Ketiga, kematangan beragama adalah konsistensi dari konsekuensi moral manusia berhadapan dengan pengalaman konkret yang dihadapi oleh manusia beragama. Di sini peran logika dan proses penalaran menjadi penting dan urgen. Keempat,
yang
berhubungan
dengan
konsistensi
kematangan
beragama
adalah
comprehensiveness sebagai filosofi kehidupan. Di sini Allport menggarisbawahi poin penting keyakinan agama yang perlu mengedepankan prinsip toleransi antarumat beragama. Kelima, kematangan beragama bersifat integral. Orang yang memiliki kematangan beragama pasti akan menemukan keharmonisan/kedamaian sesuai dengan tujuan awal (dekat dengan Tuhan yang diimani dan diyakini). Keenam, kematangan beragama sangat ditentukan oleh sikap heuristic yang terdapat dalam pribadi setiap manusia.
2.
Menurut William James James membagi kriteria kematangan beragama dalam empat (4) aspek yang merupakan kondisi
psikologis internal dimensi kejiwaan
manusia. Pandangan James juga bernuansa psikologis.
Kematangan keagamaan tampak dalam unsur-unsur berikut ini. Pertama, sensibilitas akan eksistensi (keberadaan) kuasa Tuhan. Kekuasaan ini seringkali diidentifikasi sebagai manifestasi (epifania) atau perwujudan konkret Tuhan. Fenomena ini bisa muncul juga dalam bentuk hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman mistik yang tak bisa dipahami manusia, jadi bernuansa irasional. Kedua, kontinuitas dalam relasi dengan Tuhan dan sikap pasrah diri. Dalam kontinuitas/kesinambungan relasi itu telah terjadi keselarasan yang berfungsi mengontrol rasa egois manusia, sehingga manusia dapat bersikap ramah dan menunjukkan sikap bersahabat dalam relasi dengan sesama manusia yang lain. Ketiga, adanya perubahan emosi yang terdalam. Di sini kematangan memberikan pengaruh signifikan terhadap stabilitas dan konsistensi emosi pribadi seseorang, sehingga perubahan emosi tersebut dapat terkontrol dengan sempurna tanpa mengedepankan egois yang berlebihan/ekstrem. Keempat, perasaan bahagia, afeksi/kasih sayang dan keharmonisan semakin berkembang. Di sini sikap kasih muncul dan menciptakan kedamaian dalam hidup pribadi dan sosial.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
3.
Pendapat Wiemans Di antara semua tokoh psikologi, Wiemans merupakan seorang ahli psikologi yang sangat
memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan kematangan beragama manusia. Wieman sukses membagi norma/standar kematangan beragama sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Pertama, tujuan hidup layak ditinjau dari perspektif humanisme/kemanusiaan. Kedua, loyalitas yang sempurna oleh manusia. Ketiga, efisiensi
mencapai tujuan. Keempat, sensitifitas dalam
memandang nilai. Kelima, loyalitas yang terus tumbuh/berkembang. Keenam, loyalitas sosial yang diekspresikan dalam kehidupan sosial-aktual.
4.
Pendapat Eric From Pandangan Fromm tentang kematangan beragama dapat ditinjau dari dua (2) sisi penting yang
sangat mendukung kematangan seseorang dalam mencapai makna hidup yang sesungguhnya. Fromm membandingkannya dalam dua konteks. Pertama, keagamaan otoriter, yang dipahami sebagai sebuah ajaran yang datang dari luar dan bersifat otoriter/mengekang pribadi seseorang. Kedua, keagamaan humanis. Konsep ini dipahami sebagai bentuk kerinduan akan nilai agama dalam pribadi seseorang sehingga ia mampu bersikap humanis dalam realitas kehidupannya.
5.
Abraham Maslow Dalam psikologi humanistik, Maslow patut diklaim sebagai tokoh yang lebih jelas membahas
perilaku keagamaan. Maslow, dalam pergumulan psikologisnya, berusaha memahami dimensi esoterik (rohani) manusia. Ia menegaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat dari yang paling dasar hingga yang paling puncak. Pertama, kebutuhan fisiologis, sebagai kebutuhan dasar untuk hidup seperti: makan, minum, istirahat. Kedua, kebutuhan akan rasa aman yang mendorong orang bebas dari rasa takut/cemas. Ketiga, kebutuhan akan kasih sayang, antara lain berupa pemenuhan hubungan antarmanusia. Keempat, kebutuhan harga diri. Kebutuhan ini dimanifestasikan manusia dalam aktualisasi diri misalnya dengan melakukan sesuatu hal yang berguna bagi sesama dan sebagainya. Pengalaman puncak keagamaan, dimaknai Maslow sebagai kondisi sehat super normal (normal super healty) dan sehat super-super (super-super healty), yang disebut peakers (transcenderr) dan non-peakers
(non-transcenders).
Peakers
memiliki
pengalaman-pengalaman
puncak
yang
memberikan wawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka. kelompok ini cenderung menjadi lebih mistik, puitis, dan saleh.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
Teori Maslow melukiskan orang yang mengalami pengalaman puncak sebagai pribadi yang lepas dari realitas fisik dan menyatu secara intim dengan kekuatan transenden. Maslow menilai hal ini sebagai tingkat kesempurnaan manusia sebagai diri (self). Maslow menyebut pengalaman puncak keagamaan tersebut dengan istilah peak experience.
Hal-hal berikut dapat dilihat sebagai satu-kesatuan daftar panjang ciri-ciri ketika orang memasuki pengalaman puncak keagamaan itu: 1. Kebenaran. 2. Kebaikan 3. Keindahan 4. Keutuhan/keseluruhan 4a. Mengatasi segala dikotomi/pertentangan). 5. Sifat penuh gairah. 6. Keunikan dan istimewa). 7. Kesempurnaan 7a. Keseharusan 8. Kelengkapan 9. Keadilan 9a. Tata tertib 10. Kesederhanaan 11. Kekayaan 12. Keadaan tanpa upaya/rahmat 13. Sifat bermain/melucu 14. Keadaan kecukupan dan puas diri. (Maslow)
C. Pengalaman Spiritual Puncak Penganut aliran spiritualisme biasanya mencapai hasil akhir yang baik dalam aktivitas spiritual yang dihayati. Setiap bentuk ibadat, doa, meditasi, yoga, tapa ataupun istilah lain dalam konteks spiritualisme tentu bermuara pada hasil maksimal dan positif yang diharapkan tercapai. Di sini kita bicara soal hasil pengalaman puncak spiritualisme dimaksud. Pengalaman puncak spiritual menjadi indikator dasar kedewasaan dan kematangan praktik hidup spiritual. Konkretnya, hasil akhir itu berupa pengalaman puncak (peak experience) ataupun ekstasi spiritual. Namun seperti apakah nuansa ekstasi spiritual puncak tersebut? Istilah ekstasi berasal dari kata Yunani ex (keluar) dan histanai (berdiri). Jadi ekstasi artinya berdiri di luar diri sendiri. Dalam dunia mistisisme, ekstasi berarti keadaan psikologis yang ciri khasnya adalah penyerapan mental yang intens, rasa terpesona, hilangnya kontrol kehendak dan kemampuan untuk menanggapi persepsi indrawi. Keadaan inilah yang kemudian disamakan dengan pencerahan atau kesatuan jiwa dengan kenyataan yang lebih tinggi (Bagus, 2005: 191). Ekstasi merujuk pada bentuk pengalaman mistik yang dialami oleh seseorang dalam pergelutan spiritualnya. Dalam hampir semua penganut agama dan aliran spiritual, sangat mudah kita temukan adanya dimensi mistik sebagai puncak penghayatan spiritual secara perorangan maupun kelompok. Ekstasi adalah tahap final pengalaman mistik atau pengalaman spiritual puncak. Ekstasi merupakan tujuan utama aktivitas mistik yang dilakukan oleh manusia. Di sini jiwa manusia seolaholah bersatu dengan Tuhan, Sang Adikodrati dan Kekuatan Transendetal itu. Jiwa manusia tenggelam di dalam Tuhan. Inilah saatnya jiwa manusia bersatu secara intim dan akrab dengan Tuhan Sang Khalik Semesta. Persatuan intim ini menjadi pengalaman spiritual luar biasa yang menyenangkan, membahagiakan dan memotivasi manusia untuk mencintai dan mengembangkan potensi spiritual dalam praksis kehidupannya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
Apakah mudah mencapai ekstasi spiritual itu? Jujur saja, sungguh tidak mudah mencapai pengalaman dashyat ini. Rasanya sulit mencapai kondisi ekstasi dimaksud. Ada banyak tahapan panjang untuk bisa sampai pada momen indah tersebut. Untuk mencapai momen ekstasi, pribadi manusia harus konsisten mengikuti beberapa tahapan jalan penyempurnaan yang lumayan panjang, melelahkan dan malah terkadang terasa sulit. Tradisi klasik Yunani,
seperti yang sudah digagas oleh Filsuf Plotinos dahulu kala sudah
merekomendasikan tiga (3) jalan utama yang harus diikuti manusia untuk mencapai ekstasi spiritual. Ketiga tahap itu di antaranya: jalan pembersihan (via purgativa), jalan kontemplatif/permenungan (via contemplativa), dan jalan penerangan/pencerahan (via illuminativa). Di ujung perjalanan menempuh ketiga tahap ini, barulah manusia sampai pada tahap peleburan diri dengan Sang Pencipta melalui ekstasi spiritual dan kembali kepada sumbernya yang sejati (fitrah). Jadi, di sini kita sudah menemukan gagasan “kembalinya segala makhluk berasio ke Allah”, asal usul mereka yang pertama (apokathastasis panton) (Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, 2000: 39). Para mistikus yang konsisten melakukan meditasi/tapa tentu banyak mengalami pengalaman ekstasi jenis ini. Para mistikus mengakui adanya pengalaman ekstasi ini yang lazim ditandai dengan semacam ineffability atau tidak mampu diungkapkan secara verbal atau kata-kata. Nuansa pengalaman jenis ini hanya bisa dirasakan, karena menyentuh langsung wilayah emosi manusia secara luar biasa dashyatnya. Untuk itu lazimnya para mistikus mencari lambang/simbol untuk merumuskan pengalaman unik tersebut. Para mistikus biasanya menggunakan simbol dalam mengurai pengalaman mistik yang mereka alami dalam pergulatan spiritual mereka. Malahan ada mistikus yang coba menganalogikan momen ekstasi itu dalam bentuk pengalaman persatuan antara pengantin pria dan pengantin wanita. Franz Magnis Suseno mencontohkan, mistisi Belanda Ruusbroec yang hidup sekitar abad ke-14, pernah melukiskan pengalaman pribadinya dalam buku bertajuk “Pernikahan Rohani”. Namun sayangnya, simbol model ini berpeluang gampang untuk disalah-mengerti. Karena yang namanya ekstasi secara mistik bukanlah kondisi atau keadaan yang tetap, melainkan jarang terjadi dan kalaupun dialami, hanya berlangsung dalam jangka waktu singkat. Ia hanyalah sebuah momen aksidental, momen sesaat saja, momen yang sungguh singkat durasinya. Namun momen ini sungguh membahagiakan dan menyenangkan sekali bagi orang-orang yang mengalaminya. Istilah lain untuk menyebut pengalaman ini yakni konsolasi rohani. Sedangkan lawannya desolasi atau situasi kekeringan dalam pergumulan spiritual. Desolasi terjadi saat orang gagal mencapai ekstasi spiritual. Dibandingkan dengan masa lampau, di era zaman kita sekarang ini, mistik tidak begitu dominan lagi dalam praktik bidang keagamaan, walaupun tidak pernah (tidak mungkin juga) secara lengkap hilang sama sekali. Namun bukan berarti tak mungkin. Kalau begitu pengalaman puncak spiritual itu
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
masih mungkinkah untuk konteks orang Indonesia zaman ini? Lantas bagaimana bentuk relevan dan nyata untuk menerapkan hal itu? Ekstasi religius zaman ini bisa ditarik jauh sampai pada kenyataan praksis kita sehari-hari. Bentuk ekstasi tersebut tidak harus terjadi dalam romantisme ibadat dan meditasi berat yang melelahkan kita. Nuansa ekstasi spiritual itu dapat direalisasikan dalam setiap bentuk aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang melibatkan unsur keikhlasan, kasih, kerelaan, kepedulian, kepasrahan, empati dan simpati bagi sesama yang menderita, yang terpinggirkan dalam realitas kehidupan. Ketika manusia melakukan semua ini tanpa pamrih, tanpa banyak pertimbangan, tanpa merasa untung-ruginya, dalam kesadaran iman yang penuh dan kapasitas diri sebagai orang beragama/penganut aliran spiritual, manusia sudah sedang menghayati pengalaman puncak spiritual itu. Intinya manusia dapat merasakan kegembiraan dalam aktivitas yang dilakukannya. Manusia sedang mengalami ekstasi spiritual puncak itu. Di sini pengalaman puncak masih mungkin kita rasakan walau tidak semistis ala pengalaman para mistikus, tetapi justru bersifat praktis-sosial. Pengalaman ini bisa dirasakan secara pribadi maupun kelompok. Kalau begitu pengalaman puncak keagamaan dapat diaplikasikan ke dalam hidup nyata sehari-hari.
“Tidak setiap orang kebagian kemungkinan ultim (kontemplasi spiritual) di bumi dan kepada orang-orang terpilih pun kemungkinan ultim itu tidak diberikan secara tetap dan konstan. Kemungkinan ultim itu terdiri dari ekstasis, perjumpaan dengan Tuhan yang melampaui indra manusia: pneuma Tuhan turun atas roh manusia dan mengakibatkan suatu kesatuan cinta yang mesra dan tak terperikan dengan Dia. Akan tetapi, baru sesudah kematian kita, kemungkinan ultim dan makna kehidupan itu diberikan sebagai suatu keadaan tetap. Intinya ialah keterikatan mesra dengan Tuhan; Tuhan menjadi segalanya dalam segalanya” (K. Bertens)
D. Titik Tuhan di Otak Adakah titik Tuhan (God Spot) ditemukan di dalam otak manusia? Pertanyaan ini membimbing banyak ilmuwan melakukan kajian pada otak manusia untuk menemukan tanda-tanda itu. Sekitar awal tahun 1990-an, neurolog Michael Persinger melakukan penelitian terhadap adanya fenomena God Spot ini. Tujuh tahun sesudahnya, persisnya tahun 1997 neurolog Amerika berkebangsaan India, V.S Ramachandran bersama rekan-rekannya dari Universitas California (UCLA) melakukan penelitian yang sama tentang adanya titik Tuhan dalam otak manusia. Di ujung penelitian mereka, muncul sebuah keyakinan intelektual bahwa Got Spot ada dalam otak manusia. Titik Tuhan dimaksud terletak di lobus temporal (di balik pelipis). Menggunakan alat topografi emisi, Positron, mereka menemukan fakta bahwa area-area syaraf di otak akan bersinar kalau subjek penelitian diarahkan untuk mendiskusikan topik-topik yang berkaitan dengan agama dan spiritualisme. Para peneliti akhirnya yakin adanya titik Tuhan di dalam otak manusia.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
Berangkat dari deskripsi di atas kita dapat mengatakan bahwa pada manusia terdapat bagian otak yang sangat responsif ketika manusia berbicara tentang Tuhan ataupun kekuatan-kekuatan spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa pengertian dan pemahaman manusia akan Tuhan dan kekuatan spiritual muncul dari sesuatu ketercerahan yang berasal dari bagian otak manusia. Jadi, titik Tuhan ada pada setiap manusia dalam kadar yang berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lainnya. Orang-orang yang berkomitmen menghidupi hidup keagamaan dan spiritual secara konsisten tentu memiliki kadar otak spiritual yang semakin tinggi kualitasnya. Sebenarnya setiap manusia dapat sadar atau mendapatkan semacam inspirasi tentang titik Tuhan di otak. Para filsuf dari berbagai latar belakang bangsa pun jauh-jauh hari terobsesi memikirkan Tuhan dalam pergulatan filosofis mereka walau hasilnya berbeda-beda. Ada yang mengakui Tuhan, namun ada pula yang mengingkari eksistensi Tuhan. Tokoh-tokoh seperti Friedrich Nietzsche, Thomas Aquinas, Charles Darwin, Spinoza, Max Planc, Al-Kindi, Ibnu Rusyd, All Hallaj dan yang lainnya lagi, merupakan sosok orang-orang dari kalangan filsuf yang menggulati Tuhan. Hal ini tentu saja dirangsang oleh titik Tuhan di otak yang melecut mereka bergulat tentang Tuhan. Sebab kalau tidak ada titik Tuhan di otak mereka, mungkin mereka tidak menyentuh sama sekali pembicaraan dan pemikiran tentang Tuhan itu. Eksistenti God Spot mengkristal atau mengendap di dalam otak manusia. Orang yang suka membicarakan Tuhan, yang suka berpikir dan merenungkan Tuhan tentulah menunjukkan titik Tuhan itu ada di dalam diri orang tersebut. Kalau demikian halnya, maka dapat dikatakan manusia tidak bisa melepaskan diri dari kekuatan transendental Tuhan ataupun kekuatan spiritual lain dalam realitas kehidupan ini. Sikap bijaksana yang perlu kita tunjukkan yakni manusia perlu bersikap pasrah, tunduk dan mengakui eksistensi Tuhan atau kekuatan spiritual apapun itu yang ada dalam konstelasi ruang alam semesta mahaluas ini. Kesadaran akan kehadiran Tuhan ini menandai adanya titik Tuhan di otak kita. Dan orang beragama dan penganut spiritual bertanggung jawab mengembangkan titik Tuhan ini untuk hidup bahagia dalam kehidupan dalam kesatuan dengan makhluk hidup lainnya. Di sini Kecerdasan spiritual berasal dari integrasi aktivitas God Spot dengan aktivitas yang lebih luas dari otak, dengan IQ dan EQ untuk membentuk satu keutuhan.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik IV MENGEMBANGKAN KECERDASAN SPIRITUAL
A. Pentingnya Mengembangkan Kecerdasan Spiritual 1.
Akal Budi Penting dalam Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Aspek akal budi sangat penting bagi manusia dalam usaha untuk mengembangkan kecerdasan
spiritual. Manusia telah dianugerahi Sang Pencipta akal budi untuk digunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi mengembangkan diri. Akal budi berperan penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam mengembangkan kecerdasan spiritualnya. Akal budi adalah rahmat Tuhan yang luar biasa bagi manusia. Sudahkah manusia menyadari kebenaran hal ini? Akal budi merupakan unsur khas manusiawi yang penting dan sangat menentukan eksistensi (keberadaan) setiap manusia. Banyak filsuf sudah mengemukakan pendapat tentang pentingnya akal budi bagi manusia. Filsuf Aristoteles (Yunani) menyebut manusia sebagai animal rationale atau hewan berakal budi. Rene Descartes (Perancis) menyebut akal budi sebagai bagian dari kesadaran diri manusia. Ia mengatakan “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Pemikiran sangat berkaitan erat dengan keberadaan manusia sendiri. Kalau manusia berhenti berpikir, manusia tidak dapat menyadari keberadaan dirinya sebagai insan manusia. Bayangkan saja, kalau kita tidur, kita tidak menyadari siapakah kita. Kalaupun kita bermimpi, mimpi itu hanya berupa imajinasi prareflektif yang belum direfleksikan secara sadar oleh manusia. Akal budi sangat berperan penting dalam usaha pengembangan kecerdasan spiritual. Akal budi mesti dimanfaatkan oleh manusia untuk berpikir. Fungsi dasar dan klasik akal budi ini harus dimaksimalkan. Akal budi harus digunakan secara baik dan benar untuk mengendus nilai-nilai spiritual. Berkaitan dengan usaha mengembangkan kecerdasan spiritual, akal budi dapat digunakan untuk 2 hal: a). Berpikir Integralistik Dalam konteks mengembangkan kecerdasan spiritual, akal budi dapat digunakan untuk berpikir secara spiritual. Artinya akal budi digunakan untuk berpikir integralistik. Berpikir integralistik artinya berpikir dengan cara menghubungkan subjek pribadi kita dengan segala unsur lain di dalam alam semesta ini. Contoh, jika saya makan buah anggur, saya harus berpikir juga bahwa saya sedang berhubungan dengan banyak unsur lain di alam ini. Misalnya anggur itu ditanam oleh petani, bertumbuh di atas tanah, disuburkan oleh pupuk dan unsur hara, disirami oleh
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
hujan, disinari oleh sinar matahari, dijual oleh pedang di pasar lalu akhirnya tiba di mulut saya saat ini. Inilah contoh berpikir integralistik. Artinya ketika saya melakukan suatu hal, saya harus memikirkan hal itu secara integral (kesatuan) dengan seluruh alam raya ini baik manusia lain (sesama) maupun unsur biotik dan abiotik lain di alam semesta. Berpikir
integralistik memampukan manusia untuk menghormati dan menghargai segala
macam unsur di dalam jagad raya dan semesta. Manusia selalu dan senantiasa terhubung dan terkoneksikan dengan berbagai hal lain dalam alam semesta. Manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia tidak mutlak mengandalkan dirinya sendiri, namun selalu berarti dalam relasi bersama dengan elemen biotik maupun abiotik dalam kesatuan kosmos. Di sini, manusia perlu bahkan harus memiliki keyakinan spiritual bahwa setiap pribadi manusia tergantung total pada kekuatan lain di luar dirinya. Ada sebuah ketergantungan spiritual universal segala makhluk di dalam tatanan alam semesta. Karenanya manusia tak layak mengandalkan diri sendiri apalagi merasa ego berlebihan dalam menghayati realitas kehidupan ini. Ia selalu satu dan berada dalam rantai kesatuan spiritual dengan unsur dan elemen lain dalam alam semesta yang mahaluas ini. b). Berpikir Reflektif Berpikir integralistik mengandaikan manusia harus mampu berpikir reflektif. Artinya manusia harus mampu berpikir sampai ke kedalaman untuk menemukan makna dan nilai-nilai spiritual mendasar dalam kehidupan ini. Inilah saatnya manusia melakukan renungan atas seluruh tapaktapak perjalanan dan pengalaman hidupnya. Ia merenungkan dirinya di saat ia bahagia, susah, putus asa, gembira, sakit, menderita, sukses, gagal dan sebagainya. Intinya ia mesti merenungi seluruh pengalaman hidupnya sebagai sebuah perjalanan spiritual dirinya. Renungan atas pengalaman dan situasi hidupnya membuat manusia semakin mengembangkan dirinya ke arah spiritual. Ia pun semakin berkembang secara spiritual sebagai manusia ciptaan Tuhan. Berpikir mendalam tidak harus dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi. Orang yang tidak berpendidikan tinggi pun dapat melakukan hal itu. Malahan orang yang tidak berpendidikan tinggi justru sering kali berpikir reflektif dalam melihat dan memaknai kehidupannya secara mendalam. Kisah berikut dapat menunjukkan orang yang sederhana dan tidak berpendidikan tinggi yang menggunakan akal budi dan menghasilkan pemikiran bermakna bagi hidupnya. Ia bahagia menghidupi pemikirannya dan bukan di atas buah pikiran orang lain.
Seorang pengusaha Amerika mencemooh gaya hidup seorang nelayan Meksiko. “Saya tidur larut malam, memancing sebentar, bermain dengan anak-anak saya, tidur siang dengan istri saya, Maria, jalan-jalan ke desa setiap malam untuk menyesap anggur dan bermain gitar bersama kawan-kawan saya. Saya CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
mempunyai kehidupan yang lengkap dan sibuk, Senor,” kata nelayan Meksiko. Pengusaha Amerika itu mengatakan bahwa Ia seorang MBA lulusan Harvard dapat menolong nelayan itu menjadi pengusaha besar dan terkenal dalam waktu 15 sampai 20 tahun dan pindah ke Los Angeles atau New York. Tapi sang nelayan menanyakan apa yang dilakukan setelah itu. Sang Pengusaha menjawab bahwa ia dapat menjual perusahaannya, menjadi kaya dan pindah ke desa untuk melakukan apa yang dilakukan nelayan itu sekarang. (SQ, 2001: 250).
Kisah di atas mau menunjukkan bahwa orang yang menggunakan pikiran dan akal budi secara tepat akan mampu melihat kehidupannya secara tepat. Ia tidak memiliki ambisi-ambisi yang tak mungkin ia raih, namun mengolah pengalaman yang sudah dia hidupi dengan pikiran bijaksana untuk menemukan arti hidup. Ini artinya orang perlu melakukan refleksi dan renungan atas hidup untuk bisa hidup damai, tenang dan bahagia. Penemuan makna hidup terjadi dalam ruang kesederhanaan hidup yang mengalir biasa-biasa saja seperti petani Meksiko itu. Semuanya ini diperoleh berkat kemampuan akal budi yang digunakan dengan tepat untuk mempersepsikan pengalaman hidup secara bijaksana sehingga orang hidup damai. Dengan akal budi, ia mendapat pengetahuan dan pemahaman untuk bersyukur atas hidup yang sudah dikarunia Tuhan bagi dirinya.
2.
Manfaat Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Setiap bentuk usaha yang dilakukan manusia akan bernilai guna jika membawa manfaat praktis
dan positif baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dimensi manfaat perlu terwujud dalam setiap kegiatan yang dilakukan manusia. Biasanya orang termotivasi juga untuk melakukan suatu kegiatan kalau sudah mengetahuai aspek manfaat dari suatu kegiatan yang mau dilakukannya. Begitu pula halnya dengan usaha mengembangkan kecerdasan spiritual. Manakah manfaat-manfaat mengembangkan kecerdasan spiritual itu? Mengembangkan kecerdasan spiritual tentu diharapkan membawa manfaat akhir bagi setiap pribadi manusia. Beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai manfaat mengembangkan kecerdasan spiritual yakni: a). Memiliki kepekaan hidup sosial yang baik Orang yang tekun dan giat mengembangkan kecerdasan spiritual akan mendapatkan kepekaan sosial yang tinggi dalam dirinya. Kecerdasan spiritual yang semakin berkembang dalam diri akan mendorong orang bersangkutan untuk melihat ke luar dirinya. Ia berani bergerak meninggalkan tembok-tembok egoisme diri dan berlangkah menuju sesamanya yang lain. Ia menghidupi spiritualitas altruis, mengabdikan diri bagi sesama dalam hidupnya. Ia mudah tergerak hati, mudah bersimpati dan berempati bersama dengan orang lain yang tertimpa musibah dan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
penderitaan hidup. Ia pun tergerak untuk menolong meringankan beban orang yang membutuhkan bantuannya. b). Memiliki Kesadaran diri yang optimal Kesadaran diri merupakan salah satu manfaat praktis yang dapat langsung dirasakan bila kita mengembangkan kecerdasan spiritual kita. Kesadaran diri artinya menyadari keberadaan diri dan orang lain termasuk makhluk biotik dan abiotik dalam satu kesatuan spiritual dalam ruang lingkup kosmik. Kesadaran diri dengan semua makhluk hidup di dalam semesta ini akan mendorong kita untuk tahu menghormati dan menghargai sesama makhluk hidup. Kita tidak akan merusakkan sesama ciptaan Tuhan yang lain, tetapi mengusahakan kualitas hidup yang lebih baik dengan kualitas spiritual yang kita hayati. Kesadaran diri yang maksimal mendorong kita menghayati hidup dalam kebersamaan, persaudaraan dan persatuan dengan segala makhluk. c). Memiliki kekayaan spiritual yang memadai Manusia tidak hanya perlu memberikan makanan bagi tubuh saja, namun perlu juga memberikan makanan bagi dimensi jiwanya. Manusia tidak hanya membutuhkan materi saja, namun juga membutuhkan hal-hal spiritual dan rohani. Manusia membutuhkan keseimbangan agar hidup layak sebagai manusia. Salah satu manfaat mengembangkan kecerdasan spiritual yakni kita akan memiliki kekayaan spiritual yang memadai. Kekayaan spiritual itu sebetulnya sudah ada di dalam diri kita, namun kita tidak menyadari keberadaannya dan sering kali kita disibukkan dengan banyak urusan yang membuat kita tidak mengembangkan secara maksimal kualitas kekayaan spiritual itu. Padahal kalau kita mengembangkan kekayaan spiritual itu, kita akan sukses dan bahagia dalam menjalankan kehidupan kita. Banyak rahasia dan sukses besar dalam hidup ini justru diraih karena orang berhasil mengolah kecerdasan spiritual yang sudah ada dalam dirinya. d). Mengolah ruang batin secara maksimal Manusia memiliki kemampuan untuk menyerap pengalaman, kejadian dan peristiwa dalam hidupnya dan menyimpannya dalam ruang batinnya. Pengalaman-pengalaman itu sebetulnya menjadi kekuatan bagi manusia dalam hidup jika disadari keberadaannya dan dimaksimalkan maknanya dalam refleksi (melihat ke dalam diri). Inilah saatnya manusia mengolah ruang batin dirinya. Ruang batin itu mencakup pikiran, emosi, perasaan dan hati nurani. Pengolahan ruang batin sering kali tidak dipedulikan oleh manusia. Akibatnya hidup manusia seolah-olah sepi, tanpa gairah, kehilangan roh, kehampaan sentuhan spiritualitas. Maka pengelolaan kecerdasan spiritualitas mampu mengaktifkan ruang batin manusia sehingga manusia hidup penuh makna
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
dan nilai. Ruang batin manusia menyimpan energi yang berguna bagi manusia dalam menghidupi kehidupan ini. e). Aktif dan produktif dalam hidup Sering orang mengatakan bahwa kalau badan orang sakit, jiwa orang pasti juga sakit. Atau kalau jiwa orang sakit, maka badan orang itu pun akan sakit. Memang selalu ada hubungan antara jiwa dan badan. Dualisme jiwa-badan ini mampu membuat manusia produktif dalam hidup. Produktif artinya manusia akan terus menemukan nilai-nilai baru dalam hidup. Ia terus melakukan refleksi untuk membuka horizon nilai-nilai baru dalam hidup. Aktif artinya melakukan kegiatan/aktivitas penuh semangat, penuh kesadaran, penuh gairah, dan motivasi. Dan ini hanya terjadi jika orang tahu tujuan hidupnya secara baik dan mengarahkan diri secara benar menuju tujuan hidup tersebut. Orang spiritual akan mengarahkan hidup secara tepat dan benar karena ia sudah memiliki visi spiritual yang benar dalam dirinya. Hal ini diaktualisasikan dalam aktivitas yang produktif dan kaya makna. Ia hidup dan menghayati kehidupan dari makna dan nilai-nilai tersebut.
1. Buah-Buah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Tiada kebahagiaan luar biasa selain orang yang sungguh mendalami dan mengembangkan kecerdasan spiritual dalam hidupnya. Orang itu tidak akan berhenti mencari sumber-sumber spiritual. Ia akan merasa diri terus haus akan nilai-nilai spiritual. Rasa haus spiritual ini yang memotivasi orang terus hidup secara penuh dan bermakna. Mengembangkan kecerdasan spiritual akan menghasilkan buah-buah sebagai berikut: a). Kita menjadi pribadi yang integratif Buah dari usaha untuk mengembangkan kecerdasan spiritual yakni kita mampu menjadi pribadi integratif. Pribadi yang integratif adalah pribadi yang mampu menyatukan berbagai hal yang berbeda menjadi satu kesatuan. Pribadi integratif selalu mengusahakan berbagai hal untuk menciptakan persatuan dan kesatuan dalam realitas kehidupan. Ia mengusahakan hal-hal yang baik, yang damai, yang memelihara kesatuan dan persatuan dalam hidup bersama. Karena itu pribadi integratif tidak suka berkonflik apalagi melakukan tindakan yang melukai orang lain dalam hidupnya. Dalam konteks hidup bersama, pribadi integratif tampil sebagai figure pemimpin yang mampu mendamaikan pertentangan para anggota. Ia memiliki visi dan pandangan yang luas dari berbagai aspek dan dimensi hidup. Ia tidak mudah terjebak pada pola pikir sektarian dan fragmentaris yang memecahkan dan mengacau-balaukan kehidupan bersama. Ia tampil sebagai pribadi bijak yang menyatukan pendapat dua orang yang berkonflik. Ia mampu mendamaikan dua kelompok orang yang saling berselisih pendapat mempertahankan prinsip masing-masing.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
Pribadi integratif juga adalah tipe orang yang terbuka dan berwawasan luas ke depan. Ia mampu berpikir antisipatif untuk mengurai hal-hal yang berpeluang merusakkan tatanan kehidupan bersama. Ia mampu membawa perspektif baru, sudut pandang baru dalam memahami suatu masalah dan membedah kasus yang merugikan banyak orang. Pribadi yang integratif juga memiliki rasa solider dengan sesama yang menderita kesulitan dan penderitaan hidup. Ia punya respon dan respek sosial yang baik pada sesama. Ia juga mampu menjaga alam lingkungan hidup dan segala unsur lain baik biotik maupun abiotik dalam alam. Ia merasa seolah-olah memikul tanggung jawab besar atas seluruh kehidupan ini. Pribadi integratif selalu sadar dan merasa berada dalam keadaan menyatu dengan segala unsur lain dalam semesta ini. b). Kita menjadi pribadi yang spiritual Pribadi yang spiritual adalah orang yang mampu terbuka dan membuka diri pada hal-hal spiritual dalam hidupnya. Pribadi spiritual harus selalu sadar bahwa di dalam dirinya ada kualitas spiritual tertentu yang harus dikembangkan dalam kehidupan. Kualitas spiritual membuat pribadi spiritual terus merenungkan hidup dan mempertanyakan segala sesuatu dalam hidup. Unsur spiritual dalam diri pribadi spiritual membuat seseorang bertanya: mengapa saya dilahirkan? mengapa saya hidup? Apa makna hidup bagi saya? Mengapa saya harus mencurahkan perhatian pada persoalan ini atau pekerjaan ini? Apa yang saya mau capai dalam hidup ini? Dengan cara apa saya mencapai tujuan hidup saya? Inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang menjadi pergulatan utama pribadi spiritual sejati. Pribadi spiritual hakikatnya adalah orang kreatif yang selalu mencari. Ia terus mencari cara-cara berpikir, bertindak dan berperilaku yang secara fundamental lebih baik dan berkualitas untuk menghasilkan suatu kualitas kehidupan yang berarti dan bermakna. Ia tidak bosan hidup, namun penuh gairah dalam menjelajahi horizon-horizon wilayah spiritual dalam derap kehidupannya. c). Kita menjadi pribadi yang bermoral dan beretika Pribadi yang bermoral artinya pribadi yang mampu berpikir dan memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dalam kehidupan ini. Ia terus bertanya diri apa yang harus saya lakukan agar menjadi orang baik dalam hidup? Pertanyaan ini menjadi pengarah seluruh dinamika orang bermoral itu. Pribadi bermoral akan menjadi orang pertama yang merasa sakit dan terluka ketika menyaksikan perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral muncul di sekitar dirinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan tatanan moral yang rusak dan hancur itu ke tempatnya yang sejati.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
Pribadi beretika adalah orang yang terus belajar tentang hal-hal baik dalam hidup. Ia tidak merasa cepat puas dengan perbuatan baik yang ia lakukan. Ia terus belajar dan merasa kurang dalam hidup walaupun sudah melakukan perbuatan baik. Ia juga tidak munafik dan pura-pura. Titik fokus pribadi beretika adalah melakukan hal dan perbuatan baik secara jujur, apa adanya. Ia tidak peduli dengan apa kata dunia baginya dengan perbuatan baik yang ia lakukan. Pilihan dasar (optio fundamentalis) orang beretika adalah melakukan segala sesuatu yang baik dalam kehidupan ini. Pribadi bermoral dan beretika tampil sebagai figur yang menantang arus utama (mainstream) dunia ini yang menawarkan berbagai ideologi dan cara hidup yang jauh dari nilai-nilai spiritual. Kehadirannya di mana saja adalah suatu bentuk kehadiran yang kritis. Ia menghadirkan secara fundamental cara-cara berpikir baik dan bertindak baik dalam hidup dan siap menanggung konsekuensi dari sikap dan perbuatannya itu. Ia kukuh, gigih dan penuh komitmen mempertahankan prinsip menjadi orang baik.
“Biar langit akan runtuh, biar bumi akan guncang, etika dan moralitas harus tetap dipertahankan sampai kapan pun”. (NN)
d). Kita menjadi pribadi yang gembira dan bahagia Orang yang cerdas spiritual akan menikmati hidup secara baik sehingga ia tampak sebagai orang yang berkepribadian gembira dan bahagia. Ia tidak mengalami keterpecahan pribadi di dalam dirinya. Ia tidak merasa susah ataupun putus asa menjalankan kehidupan. Karena baginya, hidup adalah sebuah rahmat kehidupan dari Tuhan yang harus dirayakan dan dihayati dengan penuh kegembiraan dan sukacita. Menghadapi masalah, orang yang berkepribadian cerdas spiritual tidak mudah dibawa oleh tarikan arus masalah yang menggelisahkan hati. Ia malah akan mengolah masalah dan menyelesaikan masalah secara tepat sehingga hidup terasa bahagia dan menggembirakan. Spiritualitas kegembiraan ini menjadi kekuatan dirinya. Karena itu pula kehadirannya di antara orang lain memberikan gairah dan semangat hidup. Ia tampil sebagai figur inspiratif yang memberikan harapan dan optimisme akan sebuah masa depan yang positif bagi orang lain. Pribadi cerdas menghayati momen-momen kehidupannya dengan penuh rasa syukur pada Tuhan. Syukur pada Tuhan menjadi alasan kegembiraan dan kebahagiaan orang ini. Baginya, gembira dan bahagia dihayati dan ditempatkan dalam perspektif spiritual. Maksudnya adalah kebahagiaan internal-batiniah. Pribadi cerdas spiritual menghayati kegembiraan hidup sebagai bagian integral dalam hidupnya. e). Pribadi yang menjaga keseimbangan dan keharmonisan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
Pribadi spiritual selalu merasa diri berada dalam koneksi atau keterhubungan dengan semua unsur lain dalam alam semesta ini. Kesadaran ini mendorong orang tipe ini untuk membangun hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama dan alam. Ia selalu menghargai dan menghormati sesama dalam berbagai pengalaman dan perjumpaan harian. Orang cerdas spiritual menciptakan kedamaian dalam segala situasi dan dalam keadaan apa saja. Ia adalah pengkotbah ulung yang senang memproklamasikan nilai-nilai persatuan, kesatuan, kedamaian, keharmonisan, keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan bersama. Ia adalah orang pertama yang melawan segala bentuk ketidakharmonisan yang ada dalam tatanan sosial manusia. Ia adalah orang yang gelisah menyaksikan kawasan ekologis dan lingkungan hidup manusia dieksploitasi secara tidak manusiawi untuk kepentingan manusia tanpa mempertimbangkan kebaikan alam itu sendiri. Ia adalah pribadi yang menjaga kelestarian alam dan menghayati sikap dan prilaku yang pro terhadap lingkungan hidup.
B. Cara Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Cara untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut ini: 1). Menyadari keberadaan diri sekarang Manusia selalu hidup dalam lingkaran tiga (3) kategori waktu yakni masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Masa lalu adalah kenangan, masa sekarang adalah aktualitas (bersifat actual) dan masa depan adalah rencana atau proyek yang mengundang saya untuk merealisasikannya dalam aktivitas dan kegiatan-kegiatan. Ketiga trilogi waktu ini berhubungan erat satu sama lain. Semuanya dirangkum secara serentak di dalam kesadaran manusia yang bersifat sekarang ini (hic et nunc). Manusia adalah hasil bentukan berbagai unsur di masa silam yakni lingkungan alam, agama, tradisi, sosialisasi dalam keluarga, budaya, dan berbagai nilai spiritual yang ditradisikan kepada kita dari berbagai pengalaman hidup kita. Semuanya itu merangkum dirinya dan hadir dalam waktu sekarangku. Karena itu setiap orang yang cerdas spiritual harus selalu menyadari keberadaan dirinya sekarang ini dalam kaitan dengan berbagai unsur masa lalu dan masa kini yang mempengaruhi diri pribadinya. Kesadaran diri saat sekarang menjadi penting bagi orang yang mau berkembang dalam kecerdasan spiritualnya. Menyadari keberadaan diri kita sekarang ini membuat kita hidup secara bertanggung jawab atas waktu, tanggap dengan situasi di sekitar kita dan respek pada sesama dan makhluk hidup lain di dalam alam semesta ini. Sadar akan keberadaan diri saat ini membuat kita selalu terbuka dan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
membuka diri menuju sejarah masa depan dengan penuh pengharapan dan optimisme. Sadar akan situasi saat ini menentukan keberadaan kita sebagai pribadi-pribadi secara kualitas di tengah dunia ini dalam setiap dinamika waktu yang kita masuki dan alami. Sadar akan situasi saat ini membuat kita selalu membuka diri dan terbuka untuk hal baru, kemungkinan baru, horizon baru dan perspektif baru yang berpeluang muncul dalam diri kita. Kita berusaha untuk menjadi pribadi yang dinamis, fleksibel dan terbuka untuk belajar hal-hal baru bagi perkembangan dan kebaikan diri kita. 2). Merasakan dengan sangat kuat bahwa kita ingin berubah Sebagai pribadi yang dinamis dan fleksibel, kita harus terbuka untuk melakukan tindakan transformatif. Hal ini mengandaikan kita sungguh merasakan adanya niat dan komitmen untuk berubah. Berubah tentu selalu diarahkan untuk pembentukan kualitas diri yang semakin baik dan positif. Transformasi diri atau perubahan diri ini yang juga menjadi alasan bagi kita untuk selalu mengevaluasi diri atas kekurangan diri dan hal-hal negatif dalam diri dan memperbaikinya ke arah yang semakin baik. Mengubah diri menjadi perintah moral bagi orang yang ingin maju dan sukses di masa depan. Mengubah diri penting agar kita juga dapat menyesuaikan diri dengan situasi, lingkungan dan keadaan di sekitar diri kita. Mengubah diri adalah tanda orang yang mau berkembang dan mau berjuang menjadi orang baik dalam hidup ini. Mengubah diri membuat kita juga menghargai waktu dan setiap momen yang kita masuki dan kita hidupi. Kita bersama semua makhluk hidup (biotik dan abiotik), alam lingkungan, sejarah manusia, dan sesama manusia melangkah bersama menuju perubahan. Karena perubahan itu abadi, dan yang abadi itu adalah perubahan itu sendiri. Parmenides, filsuf praklasik Yunani mengatakan: “Segala sesuatu mengalir seperti air”. Sesuatu yang abadi pastilah berhubungan dengan sesuatu yang spiritual. 3). Merenungkan pusat diri dan motivasi yang paling dalam Tanggung jawab manusia sebagai makhluk rasional etis yakni melakukan refleksi dan renungan terus-menerus sepanjang hidupnya. Titik pusat renungan itu tersentral pada penemuan motivasi diri yang paling dalam di dalam hati manusia. Penemuan motivasi diri ini penting agar kita dapat percaya diri dan penuh gairah melangkah menghidupi fragmenta pengalaman hidup kita menuju masa depan yang lebih baik. Pusat diri adalah inti diri, sumber diri, hakikat diri yang menjadi hal inti, nukleus dan substansi seluruh dinamika diri kita. Sebagai makhluk religius-spiritual, pusat diri adalah iman dan keyakinan kita terhadap Substansi (Zat) Spiritual yang mengkristal/mengendap di dalam hati setiap manusia, apapun agama, aliran spiritual, budaya, etnis dan ras apa saja. Pusat diri ini yang menjadi hakikat diri kita. Dialah sumber kekuatan utama yang menggerakkan keseluruhan hidup kita. Pusat diri itu ibarat mesin yang menggerakkan motor atau mobil untuk berjalan. Pusat diri adalah roh spiritual di dalam diri kita. Roh
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
spiritual internal kita inilah yang menjadi mata air kehidupan eksternal kita. Kita tak dapat hidup tanpa Roh Spiritual di dalam diri kita tersebut. Maka kita harus menyadari dan memelihara eksistensi Roh Spiritual itu di dalam diri kita. 4). Menemukan dan mengatasi rintangan di dalam diri Setiap orang yang mau berjalan, tentu bertemu dengan rintangan di jalanan yang dilewatinya. Rintangan itu berbeda kadar kualitas dan kuantitasnya. Ada rintangan yang bersifat kecil, namun ada pula yang bersifat besar. Rintangan di dalam diri dapat berupa godaan-godaan yang menjauhkan kita dari Roh Spiritual kita. Godaan-godaan itu banyak macam dan bentuknya. Ia bisa tampil dalam rayuan kenikmatan material (materialisme), ia juga bisa tampil dalam wujud arogansi kekuasaan, ia bisa tampil dalam wajah kenikmatan tubuh yang bersifat seksual (hedonisme). Godaan itu identik dengan nafsu-nafsu rendah yang berpeluang mendorong kita melakukan tindakan kontra-spiritual yang menurunkan hakikat diri kita sebagai makhluk spiritual. Atau menurut Freud, kita perlu membebaskan diri dari Unsur ID (nafsu) irasional yang dapat membelenggu diri kita. Bahaya Unsur ID ini perlu disadari, lalu dikontrol dan diarahkan secara rasional ke arah positif agar kita bisa berkembang mencapai kematangan sebagai manusia spiritual sejati. 5). Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju Mencapai kemajuan memang tidak mudah ibarat membolak-balikkan telapak tangan. Justru sebaliknya sulit ibarat menangkap angin dengan tangan. Namun bukan berarti utopia atau sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Orang yang cerdas spiritual tidak akan menyerah begitu saja terhadap fakta kesulitan yang dihadapinya. Ia akan menggunakan pemikiran untuk mencari cara-cara kreatifalternatif untuk maju dan berkembang. Aspek dinamis dan terbuka untuk belajar hal baru akan menjadi kekuatan pendukung yang menopang usaha pribadi spiritual menemukan kemungkinan baru untuk melangkah maju. Orang cerdas spiritual banyak akal, namun bukan berarti licik dan keji. Orang cerdas sangat memiliki banyak pikiran inspiratif karena ia suka merenung dan menggali nilai-nilai spiritual dalam dirinya. Kekuatan menggali hal-hal baru dalam diri inilah yang membuat orang cerdas spiritual itu melangkah maju dalam kehidupannya waktu demi waktu. 6). Menetapkan hati pada sebuah jalan spiritual Setelah menggali makna dan nilai spiritual, kini saatnya kita harus menentukan sikap dan pilihan pada satu jalan spiritual yang menjadi keyakinan dasar, iman prinsipil yang akan kita hayati secara konsisten. Inilah saatnya kita memilih jalan spiritual kita masing-masing. Jalan spiritual itu tentu berbeda dari orang ke orang tergantung kondisi diri orang itu.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
Jalan spiritual itu dapat berbentuk keimanan yang semakin kukuh pada agama yang dianut, atau keteguhan hati pada suatu keyakinan spiritual yang dipilih. Inilah saatnya kita menentukan jalan spiritual yang kita ikuti, kita pilih, kita hayati dan kita lesratikan sepanjang perjalanan hidup kita. Jalan spiritual itu menjadi pedoman, pengarah, dan pembimbing perjalanan spiritual kita. Kita percaya kebenaran spiritual itu mampu membawa kita mencapai pelabuhan akhir yang aman, nyaman, damai, sukses, dan bahagia. 7). Terbuka hati untuk sadar bahwa tetap ada banyak jalan spiritual Namun pilihan kita pada suatu jalan spiritual yang sudah ditentukan bukan berarti membuat kita mengklaim dan mengadili bahwa jalan spiritual lain salah dan tidak benar. Ingat, sekali lagi jalan spiritual setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Maka sikap tepat yang diperlukan yakni kita perlu menghargai dan menghormati jalan spiritual yang lain juga. Kita berbeda namun diikat oleh satu semangat spiritualitas yang sama. Arah dan orientasi spiritualitas boleh beda, namun semangat dasarnya tetap sama. Maka sebetulnya tidak boleh muncul pertentangan dan permusuhan juga antarpenganut spiritual. Kita harus tetap terbuka hati dan sadar diri bahwa tetap ada banyak jalan spiritual bagi setiap orang. Keyakinan ini membuat kita tidak mudah mengadili keyakinan spiritual orang lain apalagi sampai memvonis salah atau keliru. Namun justru harus menumbuhkan sikap menghargai keyakinan dan jalan spiritual lain. Ingat, bahwa orang yang cerdas spiritual tetap merasakan adanya kesatuan dengan sesama/orang lain juga termasuk di dalamnya kelompok orang yang menghayati jalan spiritualitas lain yang berbeda dengan diri kita.
C. Agama sebagai Sarana Pengembangan Kecerdasan Spiritual Agama penting bagi manusia dalam mengembangkan dimensi spiritual dirinya. Agama adalah salah satu sarana efektif untuk mengembangkan kecerdasan spiritual. Hal itu disebabkan karena agama memiliki arah dan visi yang sama berkaitan dengan spiritualisme yakni membentuk pribadi manusia yang sama-sama memiliki keyakinan pada Tuhan atau pun kekuatan spiritual tertentu di dalam ziarah kehidupannya. Sebagai sarana pengembangan kecerdasan spiritual, agama harus dimaknai dan dihayati sampai pada wilayah spiritual. Artinya orang yang menghayati agama harusnya bisa mencapai taraf spiritual, memasuki ruang internal penghayatan spiritual yang semakin mendalam. Agama bukan sebatas ibadat di tempat ibadat (aktivitas artifisial) namun harus masuk sampai ke ruang penemuan nilainilai spiritualitas di ruang batin. Penganut agama yang baik dan benar harusnya dapat bergerak
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
sampai pada ruang spiritualitas ini. Sebelum agama menyentuh wilayah spiritualitas, agama mengalami pendangkalan nilai dan kehilangan maknanya. Agama memiliki kekuatan dan potensi-potensi yang dikembangkan untuk mencapai dimensi spiritual. Bagian dari agama yang dapat dikembangkan menuju spiritualisme itu yakni kegiatan praktek ritual, kitab suci, dan ajaran agama masing-masing. Bagaimana hal ini dijelaskan? Kita akan melihat satu per satu dalam uraian berikut ini.
1.
Aktivitas Berdoa Doa dimaknai dalam agama-agama sebagai berbagai bentuk kegiatan atau aktivitas manusia
dalam berkomunikasi atau berelasi dengan Tuhan. Dalam hidup sehari-hari orang biasanya berdoa kepada Tuhan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Doa dapat dilakukan di tempat mana saja asal layak dan memungkinkan untuk dilakukannya aktivitas komunikasi dengan Tuhan dimaksud. Orang dapat berdoa di tempat ibadah (masjid, gereja, pura, wihara) atau pun di tempattempat lain yang dianggap sakral dan kudus. Orang dapat berdoa di rumah, di kantor, di tempat kerja atau di tempat manapun asalkan tempat itu layak. Biasanya sebelum berdoa orang melakukan persiapan-persiapan baik fisik maupun persiapan batin. Yang paling penting yakni persiapan batin. Karena doa berkaitan dengan keterarahan batin manusia pada Tuhan. Karena itu persiapan batin lebih penting dalam aktivitas doa yang dilakukan oleh orang beragama. Persiapan yang baik akan membawa hasil yang efektif juga. Kalau persiapan tidak dilakukan dengan baik, maka hasil akhirnya pun tidak akan berarti apa-apa. Dalam doa sebetulnya manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Bentuk komunikasi itu melibatkan seluruh unsur diri manusia. Doa melibatkan unsur rasa, emosi, dan pikiran manusia. Konsentrasi begitu penting dalam doa. Dalam doa dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan totalitas keterarahan hati manusia pada Tuhan. Konsentrasi penting agar manusia dapat menyerap nilai-nilai spiritual-inspiratif bagi kehidupannya. Doa dapat menjadi sarana pengembangan kecerdasan spiritual. Aktivitas doa yang dilakukan manusia hendaknya disertai dengan refleksi mendalam untuk menemukan nilai-nilai spiritual yang berhubungan dengan Tuhan. Dalam doa orang beragama dapat merenungkan sifat-sifat mendasar yang ada pada Tuhan. Tuhan sering disebut sebagai Maha Pengampun, Maha Adil, Maha Tahu, Maha Kasih, Maha Cinta dan sebagainya. Manusia dapat mengambil inspirasi dari sifat-sifat Tuhan ini dan coba mengaplikasikannya dalam realitas kehidupannya sehari-hari. Sifat-sifat Tuhan dalam agama-agama merupakan nilai-nilai spiritual penting yang dapat dihayati oleh orang beragama dalam ikhtiar mengembangkan kecerdasan spiritual agamanya. Penemuan nilai-nilai spiritual Tuhan dalam doa seperti kasih, damai, cinta, dan adil dapat membuat manusia semakin bertumbuh cerdas dalam dimensi spiritualnya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 13
Dr. Howard Kelly, dulunya seorang bocak miskin. Ia pernah meminta segelas air kepada seorang gadis muda yang memberinya segelas susu gratis. Belakangan wanita itu dirawat di rumah sakit. Dr. Kelly mengenalinya. Selesai perawatan, ia menulis kuitansi: “Telah dibayar penuh dengan satu gelas susu”. Si pasien yang semula khawatir tidak akan mampu membayar, berdoa dalam nada syukur: “Terima kasih Tuhan, kasihMu telah memancar melalui hati dan tangan manusia”. (Relasi dengan Tuhan, 2004: 23-24). Kisah di atas menunjukkan bahwa si pasien memiliki kecerdasan spiritual yang baik. Ia mampu melihat campur tangan Tuhan dalam segala pengalaman hidupnya. Ia spontan berdoa kepada Tuhan di saat ia mengalami sentuhan kasih Tuhan melalui sesama dalam pengalaman hidup yang menakjubkan. Doa si pasien menunjukkan kualitas spiritual yang ada pada dirinya. Bahwa ia tahu bersyukur kepada Tuhan karena Tuhan telah mencurahkan rahmat dan kasihNya baginya melalui perantaraan orang lain yang tidak ia duga-duga sama sekali.
2.
Praktik Ritual Agama-agama mengenal praktik-praktik keagamaan yang dilakukan sebagai sarana untuk
mengembangkan dimensi spiritual para penganutnya. Praktik ritual ini dapat dilakukan secara pribadi ataupun secara bersama-sama. Praktik ritual umumnya dilakukan di tempat ibadat ataupun di tempat lain yang layak untuk itu. Agama Katolik mengenal Misa/Ekaristi, devosi, novena, sharing kitab suci, doa brevir, sakramen dan sakramentali sebagai tanda hormat kepada Tuhan Yesus Kristus. Agama Protestan mengenal penyembahan, perayaan kurban, saat hening, dan doa-doa yang dilakukan dalam persekutuan jemaat. Agama Islam menjalankan al ahkam al khamsa (hukum Islam) agar mendatangkan pahala bagi hidupnya. Orang Budha melakukan ritus penghormatan kepada sang Budha Gautama untuk menjadi semakin beretika dalam hidup. Agama Hindu melakukan praktik ritus di tempat dan pada saat yang berkaitan dengan irama hidup tiap hari seperti di sekitar rumah tinggal, sumber air, saat matahari terbit dan waktu penting lainnya. Agama Konghucu melakukan praktik ritual untuk menghormati
pendiri
dan
juga
agar
mencapai
manusia
budiman
(Kuncu).
Aliran
spiritual/kepercayaan melakukan berbagai ritus untuk menunjukkan pengakuan mereka akan Tuhan yang Maha Esa. Aliran-aliran spiritual mengembangkan berbagai teknik dan cara untuk mengeksplorasi dimensi kebatinan untuk mengembangkan budi pekerti yang baik. Dalam praktik ritual-ritual tersebut dilakukan doa, penyembahan, penghormatan, nyanyian, himne dan renungan-renungan rohani yang disampaikan pemimpin kepada para penganutnya. Setiap orang yang mengikuti praktik ritual diharapkan melibatkan seluruh dimensi diri termasuk emosi, kesadaran dan pikirannya secara total. Hasil akhir yang diharapkan dari praktik ritual yakni mendapatkan pahala, berkat, rahmat dari Tuhan atas kehidupan manusia. Manusia dapat
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 14
menemukan inspirasi hidup dari praktik ritual ini untuk mengembangkan kecerdasan spiritual diri yang semakin baik. Praktik ritual mendukung perkembangan spiritual kita.
3. Tulisan Kitab Suci Para penulis Kitab Suci agama-agama sudah menulis pikiran, pesan dan nasihat spiritual untuk para pemeluk agama. Kitab Suci berisikan ajaran-ajaran moral dan etika yang berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk manusia dalam berpikir, berperilaku dan bersikap. Isi kitab suci dapat dikatakan sebagai kristalisasi ajaran dan nilai spiritual yang sangat berguna bagi penganut agama dalam menjalankan tanggung jawab religius. Tulisan kitab suci sangat bernilai tinggi dan kaya akan makna spiritual. Orang beragama dapat mengembangkan kualitas religius dirinya dengan membaca, merenungkan dan menghayati kebijaksanaan-kebijaksanaan spiritual yang ada dalam kitab suci. Maka Kitab Suci dapat disebut sebagai Kitab Spiritual orang beragama. Kitab Spiritual ini harus dihargai sebagai buku suci yang memberikan spirit, semangat, motivasi dan inspirasi hidup. Maka setiap orang beragama seharusnya rajin membaca dan merenungkan nilainilai spiritual yang ada di dalam Kitab Suci. Nilai-nilai spiritual itu diharapkan kemudian diolah dan dikembangkan melalui refleksi dan aksi sosial konkret sebagai tanda bahwa kita menghidupkan Kitab Suci itu. Memiliki Kitab Suci saja belum cukup. Yang lebih penting yakni membaca, merenungkan dan memaknai kata-kata kitab suci sehingga berdaya guna bagi hidup kita. Kitab Suci mendukung perkembangan spiritual kita.
4. Ajaran Iman Agama Selain kitab suci, semua agama pun mengenal ajaran atau doktrin agama yang berisikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan usaha mengembangkan kecerdasan spiritual penganutnya. Biasanya ajaran-ajaran itu dibuat oleh para pendahulu atau pun oleh para pemimpin dalam agama dalam periode sejarah hidup mereka. Ajaran-ajaran agama bisa berupa nasihat, ajakan, imbauan, perintah, larangan atau pun bisa dalam bentuk hukum-hukum yang harus dilakukan oleh para penganut agama. Umumnya ajaran moral itu berisikan hal-hal etis moral bagi perkembangan hidup orang beragama ke arah yang semakin baik dan positif. Ajaran agama itu bisa berupa seruan moral bagi penganut agama untuk berperilaku hidup yang baik dan benar dalam realitas kehidupan sosial. Biasanya ajaran moral itu diserukan oleh pemimpin agama berhadapan dengan masalah yang muncul dalam konteks sosial kemasyarakatan. Seruan itu berfungsi sebagai kendali preventif ataupun represif agar orang beragama menghayati bentuk dan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 15
kualitas hidup yang semakin baik dalam tatanan sosial. Ajaran agama di sini memiliki juga aspek relevansi sosialnya. Penganut agama yang baik akan memperhatikan seruan moral para pemimpinnya sehingga ikut berkembang secara religius dan spiritual.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 16
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik V KESADARAN UNTUK PEDULI A. Pengertian Sadar Menurut KBBI (2008), sadar adalah insaf, merasa atau tahu dan mengerti; ingat kembali atau siuman; juga diartikan bangun. Kesadaran adalah keinsafan, keadaan mengerti; atau hal yang dirasakan/dialami oleh seseorang. Insaf atau eling, dihubungkan dengan pengertian etis yang bisa membedakan antara apa yang baik atau buruk, benar atau salah. Ingatan dan perhatian murni sekaligus mengerti dan menginsafi; juga kewaspadaan atau kehatihatian merupakan ciri dari kesadaran. Kesadaran sering disamakan dengan pikiran. Pikiran sendiri mengandung pengertian hasil berpikir, akal, ingatan, angan-angan atau gagasan dan niat atau maksud. Orang disebut tidak sadar bukan hanya karena pingsan. Lupa atau hilang ingatan, mabuk dan mata gelap atau kalap, biasanya juga disebut tidak sadar. Orang mabuk tidak merasa malu dan tidak takut berbuat buruk. Jelas alasannya, kenapa agama-agama menolak konsumsi alkohol dan narkoba yang menyebabkan ketagihan dan hilangnya kesadaran. Kelengahan, kurang perhatian dan tidak waspada, merupakan ciri dari orang yang tidak memiliki kesadaran. Bisa jadi seseorang merasa sadar dan dianggap sadar oleh orang lain, padahal dia tidak benarbenar berkesadaran. Contoh, seseorang yang terlibat dalam suatu diskusi, kelihatannya dia mendengarkan, tetapi tidak mampu mengungkapkan kembali apa yang baru saja diucapkan oleh teman bicaranya. Bukan karena pendengaran terganggu, pelupa berat, atau tidak bisa mengerti, melainkan jelas dia tidak peduli. Seperti juga seorang mahasiswa yang hadir di kelas, tidak menyimak pada isi kuliah, karena asyik berkhayal, sibuk dengan sms dan main games. Kita tidak bisa disebut benar-benar sadar kalau di saat sedang mengunyah sepotong roti, perhatian kita tertuju pada hal lain, dan emosi kita hanyut terbawa oleh adegan tayangan tivi. Di saat meneguk air, tidak benar-benar minum, karena pikiran mengembara ke mana-mana, dicengkam perasaan cemas, atau cemburu, curiga dan sebagainya. Begitu pula kita tidak benar-benar tidur jika berbaring di ranjang golak-galik karena gelisah atau terganggu oleh mimpi buruk. Siapa yang hanyut dalam pikirannya, mengenang atau menyesali apa yang telah berlalu, merindukan apa yang belum datang, dia hidup di dunia lain. Kalau bukan dunia di masa silam, dunia di masa depan. Dia kehilangan dunia saat ini. Dia tidak sadar sedang menikmati hidup di saat dia menarik dan mengembuskan napas. Kesadarannya tidak hadir di sini di saat ini. Kesadaran bukan sebatas keyakinan atau pengetahuan intelektual, bukan semacam ilham apalagi mimpi, melainkan benar-benar merupakan sesuatu yang dialami sendiri. Pengalaman
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
tersebut tidak selalu bisa dijelaskan dengan nalar, mungkin saja di luar jangkauan logika, seperti apa yang disebut pencerahan intuitif. Semua orang sama memiliki kesadaran, walau tidak sama levelnya. Tetapi kesadaran dapat dikembangkan. Di saat menghadapi berbagai macam kesulitan, kita harus ingat bahwa kita memiliki bakat kemanusiaan yang paling berharga: kemampuan untuk menjadi sadar. Kita punya kekuatan untuk insaf, untuk bangkit, untuk mengubah (Feldman, 2003: 6). Dengan berlatih mengembangkan kesadaran, kita akan mampu mengubah hidup menjadi lebih baik. Dengan itu seseorang dapat mengurangi penderitaan sendiri sekaligus juga penderitaan orangorang di sekitarnya. Pengalaman sehari-hari menunjukkan, bahwa orang yang sukses melakukan pekerjaannya dengan penuh kesadaran, kepedulian, dan konsentrasi.
HIDUP DENGAN TUJUAN Kata mereka dia telah meninggal! Pada suatu pagi di tahun 1888, Alfred Nobel, penemu dinamit, yang telah mengumpulkan kekayaan dengan memproduksi dan menjual senjata perusak, merasa kaget membaca berita kematiannya sendiri di surat kabar. Sebenarnya yang meninggal adalah saudaranya sendiri, namun seorang wartawan salah sangka dan menulis tentang pengumuman meninggalnya Alfred. Untuk pertama kalinya Alfred Nobel melihat dirinya menurut pandangan dunia terhadapnya: “raja dinamit”, tidak lebih dari itu. Tidak dituliskan usaha-usaha merobohkan pembatasan yang ada antarmanusia dan antargagasan-gagasan. Dia hanya dikenal sebagai pedagang kematian, dan dia akan dikenang hanya untuk itu saja. Alfred merasa ngeri. Dia memutuskan agar dunia mengetahui tujuan hidupnya. Maka dia menulis wasiat terakhirnya dan menyerahkan kekayaannya untuk membuat hadiah yang paling bergengsi: Hadiah Nobel Perdamaian. Saat ini, dunia sudah melupakan hubungan antara namanya dengan dinamit. Frank Mihalic. 1, 6 (Mihalic, 1996: 5-6)
B. Dimensi Spiritualitas Manusia Misalkan di tengah hutan sebatang pohon besar tumbang. Seperti apa suaranya? Di dekatnya tidak ada seorang manusia pun sampai sejauh radius puluhan kilometer. Gelombang suara ada, tetapi tidak ada telinga yang mendengar. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang suara? Tidak ada yang didengar kalau tidak ada yang mendengar. Begitu juga tidak ada yang dilihat kalau tidak ada yang melihat. Ada objek yang diamati, ada subjek yang mengamati, keduanya bergantung satu sama lain untuk bermanifestasi. Subjek memiliki kesadaran dan mengalami peristiwa itu. Manusia bukan saja melihat bintang di kejauhan sana, tetapi dia juga menyadari bahwa dialah yang melihatnya. Manusia sebagai subjek bisa mengenal dirinya sendiri dan berefleksi tentang dirinya sebagai objek. Ini menunjukkan kesadaran, atau consciousness. Kata consciousness berhubungan dengan kata conscientia dalam bahasa latin, yang berasal dari kata kerja scire
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
(mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Conscientia berarti “turut mengetahui”. Kata ini juga digunakan untuk menunjukkan hati nurani (Bertens, 2003:53) Kesadaran diri (self consciousness) adalah kesadaran pikiran mengenai keberadaan pribadi seseorang di tengah lingkungannya. Ada private self-consciousness yang dirasakan hanya oleh diri sendiri, ada public self-consciousness yang diamati pula oleh orang lain. Orang yang memiliki private self-consciousness sadar akan aliran persepsi, perasaan, angan-angan, pengetahuan yang dipikirkannya, sehingga tahu bagaimana harus menempatkan diri. Kesadaran diri yang terkait dengan kecerdasan jiwa yang merengkuh makna, nilai dan tujuan yang melampaui ego disebut kesadaran spiritual. Kesadaran spiritual dapat digambarkan sebagai cahaya batin. Kesadaran sendiri adalah energi spiritual. Energi spiritual adalah energi ilahi. Menurut Wayne W. Dyer, selama ini kita dikondisikan untuk memercayai bahwa kita akan memperoleh kelimpahan dari luar diri kita sendiri. Kita menghadap ke luar dan mencari, apakah itu cinta kasih, kesehatan, kekuatan, kebahagiaan, di luar diri sendiri. Padahal di dalam diri setiap manusia terdapat energi ilahi. Kuasa energi ini mewarnai keseluruhan keberadaan kita dan memungkinkan kita hidup. Ada dua aspek energi ilahi, lahiriah dan batiniah (Dyer, 2003: 16-17). Dalam kesadaran spiritual selalu terdapat kesadaran tentang moral. Hati nurani adalah suatu bentuk kesadaran tentang moral, yang membedakan baik dan buruk sehubungan dengan tingkah laku kita. Menurut Bertens, dalam hati nurani terdapat peranan perasaan, kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio, karena hati nurani memberi penilaian atau putusan. Mengemukakan putusan adalah fungsi rasio. Putusan hati nurani membuat konkret pengetahuan etis kita, menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum (rasio teoritis) dengan perilaku konkret (rasio praktis). Putusan hati nurani bersifat rasional, tetapi tidak berarti ia mengemukakan suatu penalaran logis. Ucapan hati nurani pada umumnya bersifat intuitif, yang berlangsung satu kali tembak, tidak menurut tahap-tahap perkembangan seperti sebuah argumentasi (Bertens, 2003:59-60) Ada dua bentuk orientasi hati nurani: (1) retrospektif, memberi penilaian tentang perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau; dan (2) prospektif, melihat ke masa depan, mengajak atau melarang untuk melakukan sesuatu. Namun sebenarnya hati nurani bekerja menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan di sini. Ia turut mengetahui ketika perbuatan berlangsung, berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan. Hati nurani bersifat personal dan diwarnai oleh kepribadian kita, berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian. Misalnya, tahu malu yang tumbuh dari dalam diri seseorang, dan takut bersalah atau takut akan akibat perbuatan yang salah yang datang dari pengalaman menghadapi dunia luar. Kedua corak batin ini berkembang lewat proses belajar (Narada, 1979:96)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
Orang beragama kerap kali mengatakan hati nurani memiliki aspek adipersonal, sehingga dianggap sebagai suara Tuhan atau Tuhan berbicara melalui hati nurani. Tetapi naif sekali jika orang berpikir bahwa melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik dalam batin kita. Anggapan ini berbahaya. Banyak orang beragama yang fanatik telah mengatakan bahwa tindakan mereka dilakukan atas perintah Tuhan, sedangkan bagi masyarakat luas tindakan itu tidak lain dari kejahatan. Hati nurani adalah norma moral yang subjektif. Belum tentu perbuatan yang dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif. Dengan kata lain, hati nurani seseorang bisa keliru menurut orangorang lain. Hati nurani memang membimbing tetapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah tidaknya si pelaku. Bila suatu perbuatan secara objektif baik, tetapi suara hati menyatakan buruk, dengan melakukan perbuatan itu orang yang bersangkutan secara moral merasa bersalah. Sebaliknya orang merasa tidak bersalah bila suara hatinya menyangka perbuatan tersebut baik walau secara objektif buruk. Jadi hati nurani adalah norma perbuatan kita pertama-tama sejauh menyangkut soal kebersalahan (Bertens, 2003:54-59, 62-63) Kesadaran indra muncul bersamaan dengan kontak antara organ indra dengan suatu objek. Karena kontak tersebut muncul perasaan, persepsi dan pikiran terhadapnya. Indra kita memiliki keterbatasan, dan bisa membuat kita berpandangan keliru. Bagi yang rabun, misalnya, mata perlu dikoreksi. Jika memakai kacamata, lensa berwarna akan mewarnai apa yang dilihat. Bisa jadi seseorang punya mata, tetapi tidak melihat. Kita sering mendengar perumpamaan tentang orang-orang buta sejak lahir yang memperdebatkan apa itu gajah. Mereka masing-masing meraba kepala gajah, telinga, belalai, badan, kakinya dan lain-lain. Yang satu mengatakan bahwa gajah menyerupai jambangan, yang lain mengatakan seperti tampah, bajak, dinding lumbung, tiang, dan sebagainya. Mereka berpikir terbatas menurut apa yang diketahuinya dan gelap terhadap kenyataan-kenyataan lain. Dalam hal melihat, cahaya yang menembus kornea dan lensa mata difokuskan menuju retina, yang mengubahnya menjadi sinyal-sinyal yang dikirim oleh sel-sel saraf ke pusat penglihatan di otak. Melihat artinya menyadari dan mengenali sinyal-sinyal listrik dalam otak. Begitu pula semua hal yang ditangkap melalui indra lain hanyalah sinyal yang disadari dan dikenali oleh pusatnya di otak. Kita mengatakan, aku melihat, padahal pikiranlah yang melihat. Begitu pula pikiran yang mendengar, yang mengecap, mencium, dan meraba. Bahkan pikiran yang berpikir, menangkap objek kesan pikiran. Jika kita mengimajinasikan sesuatu di dalam pikiran, pikiran menerima imajinasi tersebut sama sebagai kenyataan. Persepsi yang tidak tepat atas suatu objek menghasilkan ilusi atau delusi. Kekeliruan dapat terjadi menyangkut pengamatan, atau pemikiran dan pengertian yang membentuk gagasan. Karena itu melihat atau mendengar sesuatu yang sama, tidak berarti membuat orang yang berbeda menangkap hal yang sama, apalagi bereaksi yang sama. Seseorang merasa senang atau
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
tidak senang melihat atau mendengar sesuatu, sesungguhnya bukan karena objek penglihatan atau pendengaran, melainkan karena konsepsi yang dibentuk oleh pikirannya sendiri.
Yang Terbesar di Dunia Putri dari seorang teman lama saya dari masa kuliah tengah menjalani tahun pertamanya di bangku SD. Gurunya bertanya kepada kelas berisi anak-anak lima tahunan itu, ”Apakah yang paling besar di dunia?” ”Ayah saya,” kata seorang gadis kecil. ”Gajah,” kata seorang bocah yang baru-baru ini mengunjungi kebun binatang. ”Gunung,” jawab yang lainnya. Anak teman saya berkata, ”Mata saya adalah hal yang paling besar di dunia.” Seluruh kelas hening sesaat, mereka mencoba memahami jawaban di gadis kecil. ”Apa maksudmu?” tanya sang guru, sama-sama dibuat bingung. ”Yaa,” si filsuf cilik mulai menerangkan, ”Mata saya bisa melihat ayahnya dan dapat melihat gajah. Mata saya pun dapat melihat gunung serta banyak hal lainnya. Karena semua itu dapat masuk ke dalam mata saya, mata saya pastilah sesuatu yang paling besar di dunia!” Kebijaksanaan bukanlah pembelajaran, tetapi melihat dengah jernih apa yang tidak dapat diajarkan. Dengan segala hormat kepada putri teman saya itu, saya akan sedikit menambahkan kebijaksanaan yang telah diketahuinya. Bukanlah mata Anda, tetapi pikiran Andalah yang merupakan hal terbesar di dunia. Pikiran Anda dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, dan juga dapat melihat melampaui apa yang nampak dengan melalui imajinasi. Pikiran juga dapat mengetahui adanya suara, yang mana mata tidak dapat melihatnya, dan menyadari sentuhan, baik yang nyata maupun yang ciptaan impian. Pikiran Anda pun dapat mengetahui apa yang berada di luar jangkauan pancaindra Anda. Karena segala sesuatu yang dapat diketahui dapat masuk ke dalam pikiran Anda, maka pikiran Anda pastilah merupakan hal terbesar di dunia. Pikiran memuat segalanya. Ajahn Brahm (Brahm, 2005: 214-215) Kesadaran pikiran adalah kesadaran ”kerja” kita yang melahirkan pengetahuan, dari bahasa, matematika dan sebagainya, yang berguna untuk mendapatkan apa yang kita mau, hingga misalnya membuat manusia bisa mendarat di bulan. Naluri mendorong seseorang yang lapar untuk mencari makanan, dan jika makanan langka kesadaran pikiran bekerja untuk menemukan atau memproduksi makanan. Rasio atau nalar atau akal budi tercakup dalam kesadaran pikiran, berfungsi mengetahui atau memahami, menganalisis, mempertimbangkan secara logis, menyimpulkan, dan merencana. Kata akal (aql) berasal dari bahasa Arab, pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi ”sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Akal diartikan sebagai daya untuk memahami, lebih dari sekadar memiliki pengetahuan, dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah (Shihab, 1996:294-295)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
Ketika kita tidur, kita tidak kehilangan kesadaran, karena kita dapat mengingat mimpi kita. Pada orang yang tidur tanpa bermimpi, kesadaran pikiran dan indranya tidak aktif sampai tingkat tertentu. Saat jam alarm berbunyi, terdapat respons sehingga terbangun dari tidur. Dalam keadaan koma, kesadaran pikiran secara total berhenti bekerja. Saat kesadaran pikiran berhenti bekerja—tidak ada pemikiran, perencanaan, tidak ada apa-apa—namun bawah sadar masih terus bekerja. Bawah sadar atau kesadaran terpendam adalah kesadaran yang terdalam. Thich Nhat Hanh menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita alami memiliki sebuah benih yang tersimpan dalam bawah sadar. Dalam Injil disebutkan ada biji moster yang memiliki kapasitas menjadi pohon yang sangat besar tempat burung-burung datang dan bernaung (Matius 13:31, Markus 4;31, Lukas 13:19). Biji moster adalah simbol muatan kesadaran terpendam. Benih itu sangat kecil, tapi ketika punya kesempatan untuk bertunas, cangkang luarnya akan pecah, dan benih itu akan tumbuh menjadi sangat besar. Bawah sadar bagaikan “gudang”, namun bukan hanya menerima informasi, menyimpan dan melestarikannya, melainkan juga memproses informasi atau melakukan transformasi. Kerjanya di luar kesadaran pikiran. Dia dapat melakukan perencanaan dan membuat keputusan tanpa kita ketahui. Contoh, ketika kita ingin membeli sesuatu di mal, kita berpikir bahwa kita bebas untuk memilih yang mana saja yang kita sukai selama dimungkinkan secara keuangan. Kalau penjual bertanya apa yang kita pilih, kita akan menunjukkan apa yang kita inginkan. Sepertinya pada saat itu kita ’bebas’, menggunakan kesadaran pikiran kita untuk memilih. Tetapi itu hanya ilusi. Semuanya telah diputuskan dalam bawah sadar. Pada saat kita tertarik; kita bukanlah orang yang bebas. Penilaian kita tentang keindahan, perasaan kita tentang suka dan tidak suka; sejak awal telah ditentukan dengan sangat pasti dan sangat hati-hati pada tingkat kesadaran terpendam. Tingkat kebebasan yang dimiliki kesadaran pikiran kita sesungguhnya sangat terbatas. Bawah sadar mendikte banyak hal yang kita lakukan. Tapi kalau kita tahu cara kerjanya, kita dapat memengaruhi bagaimana bawah sadar menyimpan dan memproses informasi sehingga menghasilkan keputusan yang lebih baik. Seringkali kesadaran terpendam bekerja sama dengan kesadaran indra tanpa melalui pikiran. Misalnya, ketika seseorang sedang mengendarai mobil, dia dapat menghindari kecelakaan, walau pada saat itu kesadaran pikirannya sedang memikirkan hal yang lain, bukan berpikir menyetir. Reaksi refleks tidak dilakukan oleh kesadaran pikiran. Kesan yang disampaikan oleh kesadaran indra diterima oleh kesadaran terpendam, dan keputusan dibuat tanpa melalui kesadaran pikiran. Naluri mempertahankan diri berasal dari bawah sadar. Kesadaran terpendam sendiri adalah objek keterikatan, sehingga sama saja tidak bebas. Dalam kesadaran terpendam ada elemen-elemen kebodohan—khayalan, kemarahan, ketakutan—dan elemen-elemen ini membentuk suatu kekuatan energi yang bersatu padu, yang ingin menguasai. Kesadaran ini , perasaan dan insting yang disebut “aku”, sepertinya sebuah ”penalaran”, yang berakar pada keyakinan bahwa ada suatu diri yang terpisah berdiri sendiri. Ini bukanlah pandangan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
kesadaran pikiran. Dalam relung kesadaran terpendam terpatri dengan kuat pendapat bahwa ada “aku” yang terpisah dari elemen-elemen non-aku. Terdapat muatan kesadaran berupa konstruksi mental atau corak batin yang mengikuti kesadaran bagai bayangan. Ada yang bersifat positif, misalnya tahu malu, perhatian, keyakinan, cinta, belas kasih, simpati, bijaksana. Ada yang negatif, misalnya tidak tahu malu, serakah, benci, delusi. Ada pula muatan kesadaran yang netral, seperti perasaan, persepsi, kehendak, yang dapat bersekutu dengan semua kesadaran, positif atau negatif.
Formasi mental terbentuk dan
terkondisikan menggantikan satu sama lain seperti air sungai yang selalu mengalir, berubah. Berbeda dengan penyimpanan informasi dalam hard drive dari sebuah komputer, semua benih dalam kesadaran terpendam bersifat organik dan dapat dimodifikasi. Benih kedengkian, misalnya, dapat dilemahkan dan energinya dapat diubah menjadi energi cinta kasih. Benih cinta dapat disirami dan diperkuat. Sifat informasi yang disimpan dan diproses oleh kesadaran terpendam selalu mengalir dan berubah. Cinta dapat berubah menjadi benci, dan benci bisa diubah kembali menjadi cinta. Karena itu, bawah sadar menawarkan kita pencerahan dan transformasi. Hidup berkesadaran bukan hanya mengandalkan pikiran dan indra saja, tetapi juga bersandar pada kesadaran terpendam (Hanh, 2010: 7-23).
C. Menyadari Relasi Semua makhluk Kesadaran spiritual membuat kita keluar dari dari kungkungan keakuan (egois), tidak menempatkan
„aku“ berlawanan dengan segala bentuk „non-aku“. Thich Nhat Hanh
mempertanyakan kenapa kita memisahkan aku dan non-aku? Apa yang kita sebut sebagai aku berasal dari unsur yang bukan aku. Untuk menjelaskannya, ia mengajak kita melihat pada setangkai bunga. Segala unsur di kosmos ini menembus atau ada di dalam bunga itu. Tanpa seluruh unsur yang bukan bunga seperti sinar matahari, awan, tanah, mineral, sungai, panas dan kesadaran, bunga itu tidak akan muncul. Begitu pula seorang manusia yang menyebut dirinya “aku” berasal dari unsur yang datang dari luar dirinya. Manusia tidak dapat hidup sendiri, yang satu terkait dengan yang lain. Selalu ada interaksi dan interdependensi. “Aku ada, maka itu Anda ada. Anda ada, maka itu aku ada.” Kita saling tali-temali. Itulah tatanan antarmakhluk. Ada hubungan interpenetrasi antara kita dengan lingkungan. Dalam fisika diketahui adanya kesalinghubungan partikel sub-atomik dalam dinamika satu kesatuan yang utuh. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan jagat raya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
KERENDAHAN HATI Marian Anderson, penyanyi yang memiliki suara contralto (suara terendah), biasa menggunakan “kami” dan “seseorang” ketimbang kata ganti “aku”. Ketika ia ditanya tentang hal ini, ia berkata: “Aku menyadari bahwa semakin lama aku hidup, tidak ada satu hal pun yang bisa kukerjakan sendiri. Dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, banyak orang terlibat di dalamnya; ada yang menulis musik, ada yang memainkan piano sebagai musik pengiringnya, ada pengiring yang biasanya memberi dukungan bagi pertunjukan.Bahkan suara, napas, segalanya, bukanlah hasil pekerjaanmu sendiri.Maka ‘aku’ dalam hal ini hanya bagian yang sangat kecil.” (J. Maurus) (Maurus, 2004: 126)
Menurut To Thi Anh aku hanya suatu gelombang air dalam arus aliran, atau suatu percikan bunga api, tetapi dalam ketidaktahuanku, aku menuntut suatu keberadaan yang terpisah, suatu diri yang berdiri sendiri. Ia menunjukkan letak kesalahan dari ego sebagaimana pernyataan Christmas Humphreys: Setiap titik air di lautan bersifat basah, tetapi apakah titik air itu tetap dan memiliki sendiri kebasahannya? Setiap lampu listrik yang bersinar dalam ruangan, apakah memiliki sendiri listrik yang membuatnya bersinar? Engkau dan aku menghayati hidup yang sama, namun kita tidak memilikinya. Singkatnya, yang ada di dalam diriku, yang berasal dari Yang Satu, bukan milikku; yang menjadi milikku adalah apa yang bisa lenyap, musnah, menderita (Anh, 1984: 26-27). Kitab Upanisad menggambarkan kesatuan segala sesuatu seperti angin, meski hanya satu, mengambil bentuk baru ke mana ia bertiup. Lewat bernapas hidup diberikan kepada manusia, dan oleh napasnya manusia menukar daya hidupnya dengan kosmos. Manusia menghirup sebagian napas alam semesta dari mana angin itu datang sambil menyerahkan sebagian dari hidupnya. Hidup ada dalam bernapas. Bernapas merupakan ciri dari kehidupan dan berhubungan dengan apa yang disebut spiritual. Sulak Sivaraksa menyatakan bahwa “Aku bernapas, karena itulah aku ada.” (Wawancara, 1995: 26). Sedangkan semua yang bernapas sama, tidak membedakan aku dan kamu. Berdasar konsep ini, semua yang seudara, menghirup udara yang sama dan sepantasnya diperlakukan sebagai saudara. Kalau kita mau merenungkan, siapa saja tidak bisa memonopoli atau mengisolasi udara pernapasan. Seorang yang kaya dan berkuasa misalnya, tidak bisa menolak untuk menghirup udara pernapasan dari sekelilingnya yang diembuskan oleh orang kecil yang papa. Anthony de Mello menjadikan napas itu sakral, memberi contoh bagaimana berdoa dengan memusatkan perhatian pada pernapasan. Dengan itu orang dapat menyadari kehadiran Tuhan menyertai hirupan dan embusan napas (Mello, 1986: 37).
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
BERILAH, MAKA ANDA AKAN DIBERI Seorang Sikh bernama Singh bersama sahabatnya mengadakan perjalanan menyusuri bagian utara pegunungan India. Badai musim dingin bertiup menerpa mereka. Dalam kabut badai salju itu mereka menemukan seorang pria yang sedang berbaring di pinggir jalan, tampak seperti mayat. Orang Sikh itu ingin berhenti dan memberi pertolongan, tetapi temannya menolak. Ia bahkan tidak mau berjalan sedikit lebih pelan. Orang Sikh itu memijit tangan dan kaki pria itu dengan sangat perlahan, mengikis salju dari tubuhnya, kemudian meletakkannya di atas bahunya dan menggotongnya dengan susah payah sepanjang pejalanan. Kehangatan tubuh orang itu ditambah dengan kehangatan tubuhnya sendiri menghasilkan daya hidup yang lebih besar pada keduanya yang membuat mereka mampu betahan menghadapi cuaca dingin yang membeku itu, Setelah satu mil melangkah dengan sudah payah, orang Sikh itu menemukan lagi tubuh yang terbaring di pinggir jalan. Ternyata, orang itu adalah temannya tadi, yang telah mati beku. Ia seorang diri tidak mempunyai kehangatan tubuh yang mencukupi untuk melawan badai salju. William Barclay (Mihalic, 2010: 20)
“Sang aku” sering kali melihat manusia lain bukan sebagai sesama manusia, sehingga cenderung mencari perbedaan, bukan persamaan, dan tidak saling berbagi. Demi “sang aku” apa yang buruk dianggap baik, apa yang salah dianggap benar; atau sebaliknya, yang baik dianggap buruk, yang benar dianggap salah. Karena ada banyak agama, sebagian orang merasa perlu membedakan Tuhan agama yang satu dengan yang lain. Tuhanku bukan Tuhanmu. Sepertinya Tuhanku tidak suka pada orang-orang yang tidak seagama denganku. Dengan itu sikap memusuhi bahkan menzalimi orang lain yang berbeda agama mendapatkan pembenaran. Tuhan beserta kita, beserta aku dan kamu. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Namun, apa kita beserta Tuhan? Apa kita dalam setiap aktivitas sadar akan kehadiran Tuhan? Kesadaran spiritual adalah kesadaran bahwa kita dan Tuhan bersama-sama hadir di sini di saat ini. Tanpa perhatian dan kesadaran akan kekinian sesungguhnya kita jauh dari Tuhan. Mendekatkan diri pada Tuhan tidak cukup hanya menyebut nama-Nya saja. Kita mencintai Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang baik, luhur dan mulia; mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri kita. Secara sadar mewujudkannya dalam semua kegiatan kita, sehingga menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri, juga untuk semua makhluk dan lingkungan sekeliling kita. Rene Descartes (1596-1650) mengatakan cogito ergo sum, “aku berpikir karena itu aku ada”. Pernyataan ini mengungkapkan pandangan bahwa jasmani dipisahkan dari pikiran, dan pikiran bertugas mengontrol jasmani. Padahal pikiran dan jasmani saling memengaruhi. Dapat dipertanyakan, apa dan siapa aku? Bukankah yang disebut “aku” adalah pikiranku?
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
Ketika pikiran menciptakan ”sang aku”, Sivaraksa merasa perlu untuk mengingatkan, bahwa pemikiran “aku ada karena aku berpikir” melegitimasi orang pintar untuk mendominasi dengan segala manifestasi egoismenya. Orang yang pintar berpikir akan mengakali orang yang kurang pintar, mengambil keuntungan dari kebodohan orang lain. Padahal hidup manusia bukan hanya untuknya sendiri. Hidup ditandai hubungan ketergantungan dan saling memengaruhi. Tiada suatu pun keberadaan yang berdiri sendiri. Setiap orang melepas dan menerima budi baik orang lain, memberi dan menerima pertolongan orang lain. Karena memiliki kesadaran, seseorang mampu mengenali dan menempatkan dirinya serta berinteraksi dengan orang lain secara baik atau normal. Kesadaran itu juga menggeser keinginan untuk mendapatkan menjadi keinginan untuk berbagi. Tanpa kesadaran, kita mempertahankan pandangan yang keliru dan kelekatan pada ego atau “sang aku” dan “milikku”. Pandangan ini meracuni diri kita dengan keserakahan dan kebencian. Banyak masalah dan penderitaan di dunia ini bersumber dari keakuan. “Sang aku” melihat dirinya terpisah dari alam, sehingga manusia cenderung mengeksploitasi alam sesuka hatinya. Mereka yang menggunduli hutan, atau yang membuang sampah sembarang kita sebut tidak sadar lingkungan. Setiap orang tahu kalau jantung berhenti berdetak, maut menjemput. Tetapi sejauh mana manusia memperhatikan hal-hal di luar tubuhnya yang juga menentukan kelangsungan hidup? Bila ozone yang melapisi bumi lenyap, manusia akan mati. Setiap orang tahu kalau paru-parunya rusak, dia akan sekarat. Seharusnya juga dia menyadari bahwa hutan adalah paru-paru yang berada di luar tubuh manusia. Tanpa tumbuh-tumbuhan bagaimana manusia dapat hidup. Jadi kita tidak boleh membiarkan jutaan hektar hutan dibabat, atau mencemari udara, sungai dan sebagainya. Bumi adalah tubuh kita. Oleh karenanya untuk melindungi makhluk hidup kita harus melindungi batu, tanah dan samudra, juga tentunya udara. Ada kontinuitas dari dunia dalam dan dunia luar. Artinya dunia adalah large self, “diri luas” kita. Kita harus menjadi ‘diri luas” tersebut dan peduli terhadapnya. Diri yang luas tidak terkungkung dengan keakuan diri yang sempit. Dengan melindungi kepentingan bersama berarti juga melindungi kepentingan orang seorang. Melindungi kepentingan diri sendiri seharusnya pula tidak mengabaikan kepentingan bersama yang lebih luas. Terdapat banyak ketidaksadaran yang lain. Misalnya tidak sadar hukum, ditunjukkan oleh orang-orang yang terlibat aksi kriminal, korupsi, melanggar ketertiban umum termasuk peraturan lalu lintas. Yang merokok, atau kecanduan miras dan narkoba tentu tidak sadar kesehatan. Atau tidak sadar gizi karena mengabaikan keseimbangan asupan nutrisi. Batin kita, tepatnya kesadaran pikiran, kesadaran indra, dan bawah sadar membutuhkan makanan dari luar. Apa yang disebut diet diperlukan oleh tubuh ataupun batin. Makanan yang menjadi racun bagi tubuh dan batin bukan hanya sesuatu yang masuk lewat mulut, melainkan juga
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
asupan negatif yang diterima indra dan pikiran. Misalnya, bacaan dan film atau tayangan televisi yang memupuk amarah, kebencian, keserakahan, dan rangsangan seksual. Ketika kita berada di tengah sekelompok orang, meskipun kita ingin menjadi diri kita sendiri, kita akan mengonsumsi cara-cara mereka. Kesadaran kita juga diisi dengan kesadaran orang-orang lain. Cara kita membuat keputusan, kesukaan atau ketidaksukaan kita, tergantung pada cara kita bersama melihat sesuatu. Seseorang mungkin melihat sesuatu itu tidak bagus, tetapi ketika banyak orang berpendapat bahwa itu bagus, maka pelan-pelan dia juga akan menerima bahwa hal itu memang bagus, karena kesadaran individu juga terbentuk oleh kesadaran kolektif. Inilah sebabnya mengapa kita perlu sekali untuk selektif menentukan siapa orang-orang yang berada di sekitar kita. Kita harus bergaul dengan orang-orang yang memiliki hati yang penuh kebaikan, pengertian, dan welas asih, mengingat bahwa kita dipengaruhi oleh kesadaran kolektif. Banyak masalah yang terjadi karena kelengahan dan ketidaksadaran seseorang, dipengaruhi sekaligus juga memengaruhi keluarga, komunitas ataupun institusi. Lingkungan yang menawarkan hedonisme, materialisme, konsumerisme, dan mengizinkan berbagai tindak kekerasan, tentu tidak kondusif bagi hidup yang berkesadaran. Modernisasi yang menyatu dengan kepentingan ekonomi telah menghadirkan kapitalisme sebagai agama baru. Mengutip Sulak Sivaraksa, agama baru ini mengajarkan konsumerisme. Tempat ibadahnya adalah shopping centre. Mimbar khotbahnya adalah iklan-iklan. Disadari atau tidak, yang berlaku dalam konsumerisme adalah “aku ada karena aku membeli.” Konsumerisme bersekutu dengan materialisme dan hedonisme mengakibatkan erosi moral, spiritual, dan distorsi pengamalan ajaran agama. Ketika kita tidak bisa mengendalikan dunia luar, yang perlu dilakukan adalah mengendalikan dan mengubah diri kita sendiri. Segala hal tampaknya menjadi buruk di mata orang yang pesimis. Ia hanya melihat masalah, tetapi tidak melihat adanya jalan keluar. Pikiran yang suram, membuat orang putus asa. Orang yang optimis melihat segalanya baik saja, selalu penuh harapan dan melupakan apa yang tidak menyenangkan. Yang paling tepat adalah bersikap realistis. Dengan itu orang berpikir dan bertindak sehat, menghadapi hidup ini seperti apa adanya.
D. Melayani Seluruh Makhluk Kita sering melupakan kekuatan dari perhatian, sedang tanpa perhatian kita hanya hidup di permukaan keberadaan. Tanpa perhatian kita tidak benar-benar mendengar kicauan burung, atau melihat secara mendalam keindahan matahari terbenam. Dengan perhatian kita menyentuh dan disentuh hati orang lain. Perhatian kecil akan membuat perbedaan secara menyeluruh. Bayangkan bagaimana perhatian seorang anak membuat seorang ibu atau ayah merasa dihargai, bagaimana orang-orang yang berpacaran mengambil hati pasangannya. Tanyalah para pelaku bisnis, apa yang membuat mereka mendapatkan pelanggan yang meningkatkan penjualan mereka? Setiap sukses
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
bermula dari kesadaran dan kepekaan yang dalam, menyangkut keinginan kita memberikan perhatian.
SOPAN SANTUN Pada suatu siang ketika Presiden Lincoln sedang berkeliling dengan kereta kudanya, ia bertemu dengan seorang Negro tua yang membungkuk dan mengangkat topinya. Mereka berpapasan. Lincoln juga melakukan hal yang sama. Seorang temannya yang memperhatikan apa yang dilakukan presiden itu, betanya,”Kenapa Anda mengangkat topi kepada orang tua hitam itu?” “Karena,” jelas presiden yang dicintai itu, “aku tidak ingin ada yang lebih sopan daripada diriku.” J. Maurius. (Maurus, 2004: 64-65) Setiap orang memiliki kebutuhan untuk disapa dan didengar. Kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia. Winston Churchill kala masih muda pernah mendapat pelajaran dari seorang polisi tentang perlunya memberi kesempatan dan kebebasan bagi seseorang untuk memperdengarkan isi hatinya. Setelah perang Boer, Churchill kembali ke London dan berjalan-jalan melintasi Hyde Park. Taman ini sampai sekarang dikenal sebagai tempat bagi para demonstran berunjuk-rasa. Di sana Churchill menemukan seorang orator opera sedang mencela Ratu Victoria. Ada seorang polisi yang berdiri cukup dekat, namun membiarkan orang itu bebas bicara. Churchill, yang di kemudian hari menjadi perdana menteri Kerajaan Inggris, menegurnya, ”Tidakkah ada yang akan engkau lakukan? Kenapa tidak kau tangkap orang itu?” Jawab si polisi, ”Memang begini sebaiknya, Tuan. Hal ini tidak menyakiti sang ratu, dan barangkali saja dengan cara ini bisa menolong lelaki itu.” (Maurus, 2004: 150). Kita sendiri sering merasakan adanya kebutuhan untuk mendapatkan perhatian. Kalau ada yang mau mendengar kata-kata kita, beban yang kita rasakan akan menjadi sedikit lebih ringan. Masalahnya, tidak banyak orang yang bisa menjadi pendengar yang baik, yang peduli dan sanggup memahami kesulitan orang lain. Berbagai masalah sering timbul karena ada orang yang tersisih, tidak mendapatkan perhatian, pertolongan atau perlindungan dari keluarga dan sesama. Bagaimana kita dapat bahagia melihat penderitaan orang lain? Tidakkah kita prihatin atas kesulitan mereka, misalnya yang kelaparan dan yang ketakutan, yang tak berdaya menghadapi tekanan. Bayangkan kalau kita menjadi mereka. Sama seperti saya yang ingin bahagia, semua makhluk juga ingin bahagia. Sama seperti saya ingin terbebas dari penderitaan, semua makhluk juga ingin bebas dari penderitaan. Saat pengertian itu hadir, empati dan kasih sayang muncul. Karena itulah kita tergerak untuk membantu orang-orang yang mengalami kesulitan. Untuk itu kita perlu sepenuhnya hadir, memperhatikan secara sadar setiap momen yang kita hadapi. agar peduli dan mampu melindungi seluruh makhluk. Sebuah iklan di kasino di Las Vegas berbunyi seperti ini: Engkau Harus Hadir untuk Menang. Semua atlit tahu apa artinya veni, vidi, vici:
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 13
aku datang, aku melihat, aku menang. Datang atau hadir berarti mengalami apakah kekinian itu. Jantung dari kehidupan spiritual adalah hidup dalam kenyataan masa kini yang dinamis, selalu berubah. Setiap momen itu unik sehingga sangat berharga.
TIGA PERTANYAAN KAISAR Kapankah waktu yang paling penting untuk melakukan sesuatu? Siapakah orang yang paling penting untuk diajak bekerja sama? Apakah hal yang paling penting untuk dilakukandi segala waktu? Sang kaisar menerbitkan dekrit ke seluruh kerajaannya, mengumumkan bahwa barangsiapa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ia akan menerima hadiah yang besar. Banyak orang yang membaca dekrit itu, serentak pergi ke istana. Masing-masing orang memberikan jawaban yang berbeda-beda. Menjawab pertanyaan pertama, satu orang menasihatkan agar sang kaisar membuat jadwal waktu yang lengkap, merinci setiap jam, hari, bulan, dan tahun untuk tugas-tugas tertentu dan mengikuti jadwal itu dengan ketat. Hanya dengan cara itu, ia bisa menjalankan tugasnya tepat waktu. Orang lainnya menjawab bahwa tidak mungkin merencanakan di muka, dan sang kaisar harus menyingkirkan hiburan yang sia-sia dan tetap memberi perhatian pada segala sesuatu supaya mengetahui melakukan apa pada waktu apa. Orang lainnya lagi menyatakan dengan tegas, kaisar sendiri tidak bisa mengharap memiliki seluruh rancangan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk memutuskan kapan melakukan masing-masing hal dan setiap tugas. Yang benar-benar ia butuhkan, telah dirancang oleh suatu Dewan Kebijaksanaan dan kemudian melakukannya sesuai nasihat mereka. Yang lainnya berkata, hal-hal tertentu membutuhkan keputusan segera dan tak bisa menunggu konsultasi, tetapi jika ia ingin tahu di muka apa yang akan terjadi, ia harus berkonsultasi dengan tukang sihir dan ahli nujum. Jawaban untuk pertanyaan kedua juga susah untuk disetujui. Satu orang berkata, kaisar perlu menaruh seluruh kepercayaannya kepada administrator, yang lainnya mendesak untuk percaya kepada pendeta dan rahib, sementara yang lainnya merekomendasikan tabib. Yang lainnya lagi menaruh kepercayaan kepada tentara. Pertanyaan ketiga sama mendapat jawaban yang beragam. Satu orang berkata, ilmulah yang paling penting dikejar. Yang lainnya menekankan agama. Yang lainnya lagi mengklaim, yang paling penting adalah keterampilan militer. Sang kaisar tidak puas dengan jawaban-jawaban itu, dan tak satu pun yang mendapat hadiah. Setelah beberapa malam merenung, sang kaisar memutuskan untuk mengunjungi seorang petapa yang tinggal di sebuah gunung dan konon ia adalah orang yang tercerahkan. Sang kaisar ingin menemui petapa itu untuk menanyakan kepadanya tiga pertanyaan itu, walaupun ia tahu petapa itu tak pernah meninggalkan gunung, dan sudah terkenal hanya menerima orang miskin, dan menolak untuk berurusan dengan orang kaya atau penguasa. Jadi, kaisar itu menyamar sebagai petani sederhana dan memerintahkan bawahannya untuk menunggunya di kaki gunung, sementara ia mendaki lereng sendiri untuk menemui petapa itu.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 14
Setelah mencapai tempat tinggal orang suci itu, kaisar menemukan sang petapa mengolah kebun di depan pondoknya. Ketika sang petapa melihat orang asing itu, ia menganggukkan kepala memberi hormat dan melanjutkan mencangkul. Pekerjaan itu jelas berat baginya. Dia orang tua, dan setiap waktu ia mengayunkan cangkulnya ke bumi untuk membalik tanah, ia menarik napas dengan berat. Sang kaisar mendekatinya dan berkata, “Aku datang kemari untuk memohon pertolongan darimu menjawab tiga pertanyaan: Kapankah waktu yang paling penting untuk melakukan sesuatu? Siapakah orang yang paling penting untuk diajak bekerja sama? Apakah hal yang paling penting untuk dilakukandi segala waktu?” Petapa itu mendengarkannya dengan cermat, tetapi ia hanya menepuk bahu sang kaisar dan meneruskan mencangkul. Sang kaisar berkata, “Engkau pasti lelah. Kemarilah, biarkan aku membantumu.” Sang petapa berterima kasih kepadanya, menyerahkan cangkulnya, dan kemudian duduk di tanah beristirahat. Sesudah ia menggali dua alur, sang kaisar berhenti dan menoleh kepada petapa itu dan mengulangi tiga pertanyaannya itu. Sang petapa masih tidak menjawab, tetapi berdiri dan menunjuk cangkul itu dan berkata, “Mengapa engkau tidak beristirahat sekarang? Aku dapat mengambil alih lagi.” Tetapi sang kaisar meneruskan mencangkul. Satu jam berlalu, kemudian dua jam. Akhirnya matahari mulai terbenam di balik gunung. Sang kaisar menaruh cangkul itu dan berkata pada sang petapa, “Aku datang kemari untuk bertanya apakah engkau dapat menjawab tiga pertanyaanku. Tetapi jika engkau tidak dapat memberiku jawaban, tolong biarkan aku mengetahuinya sehingga aku dapat segera pulang.” Sang petapa menggelengkan kepalanya dan bertanya kepada kaisar, “Apakah kaudengar seseorang berlari ke sana?” Kaisar itu memalingkan kepalanya. Mereka berdua melihat seorang laki-laki berjenggot putih panjang muncul dari hutan. Ia berlari kencang, menekankan tangannya pada luka yang berdarah di perutnya. Orang itu berlari ke arah sang kaisar sebelum jatuh pingsan di tanah, ia mengerang. Setelah membuka bajunya, kaisar dan petapa itu melihat bahwa orang itu mendapatkan luka yang dalam. Sang kaisar mencuci luka tersebut dan kemudian menggunakan bajunya sendiri untuk membalutnya, tetapi darah membasahinya hingga luber dalam beberapa menit. Ia mencuci baju itu dan membalut luka untuk kedua kalinya. Dan demikian seterusnya sampai aliran darah berhenti. Akhirnya orang yang luka itu kembali sadar dan meminta air untuk minum. Sang kaisar turun ke sungai dan membawa kembali sebotol air segar. Sementara itu, matahari telah lenyap, dan di malam hari udara menjadi dingin. Sang petapa membantu kaisar untuk mengangkat orang itu ke pondoknya, menidurkannya di tempat tidur sang petapa. Orang itu menutup matanya dan tertidur dengan tenang. Sang kaisar merasa kelelahan setelah seharian mendaki gunung dan mencangkul di kebun. Bersandar di pintu, ia pun jatuh tertidur. Ketika ia bangun, matahari telah terbit di atas gunung. Beberapa saat ia lupa ia berada di mana, dan untuk apa ia datang ke situ. Ia melihat ke tempat tidur dan melihat orang yang luka itu pun melihatnya dengan kebingungan. Ketika ia melihat sang kaisar, ia memandanginya dengan cermat, dan kemudian berkata dengan bisikan lemah, “Maafkan aku.” “Tetapi apa yang kaulakukan hingga aku harus memaafkanmu?” tanya sang kaisar. “Engkau tak mengenalku, Tuanku. Tetapi aku mengenalmu. Aku benar-benar musuhmu, dan aku telah bersumpah untuk membalas dendam kepadamu, karena dalam perang yang lalu engkau telah membunuh saudaraku dan merampas harta bendaku. Ketika aku tahu engkau datang ke gunung sendirian untuk menemui sang petapa, aku berniat mengejutkanmu dari belakang dan membunuhmu. Tetapi setelah menunggu begitu lama, CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 15
tak ada tanda-tanda mengenaimu. Maka aku meninggalkan tempat persembunyianku untuk mencarimu keluar. Tetapi bukannya menemukanmu, aku malah bertemu dengan para pengawalmu yang memergokiku, dan melukaiku. Beruntung, aku dapat melarikan diri kemari. Jika aku tidak bertemu denganmu, tentu aku sudah mati sekarang. Aku telah berniat membunuhmu, tetapi engkau malah menyelamatkan hidupku! Aku merasa malu dan bersyukur tak terperikan. Jika aku hidup, aku bersumpah untuk menjadi budakmu sepanjang sisa hidupku, dan aku akan menyuruh anakku dan cucuku untuk melakukan hal yang sama. Berikanlah maaf kepadaku.” Sang kaisar merasa sangat gembira melihat ia begitu mudah berdamai dengan mantan musuhnya. Ia tidak hanya memberi maaf kepada orang itu, tetapi berjanji untuk mengembalikan seluruh harta benda orang itu, dan mengirimkan tabib pribadinya serta para pembantunya untuk merawat orang itu sampai ia sembuh sepenuhnya. Setelah ia memerintahkan pengawalnya untuk membawa orang itu ke rumah, kaisar kembali menemui sang petapa. Sebelum pulang ke istana, kaisar ingin mengulangi tiga pertanyaannya untuk terakhir kalinya. Ia temukan pertapa itu sedang menanam biji di tanah yang telah mereka gali sehari sebelumnya. Sang petapa berdiri dan memandang kepada kaisar. “Tetapi pertanyaanmu telah terjawab.” “Bagaimana itu?” sang kaisar bertanya kebingungan. “Kemarin, jika engkau tidak merasa kasihan melihat umurku dan membantuku mencangkul kebun ini, engkau akan diserang oleh orang yang kaubawa pulang itu. Lalu engkau akan merasa sangat menyesal tidak tinggal bersamaku. Karena itulah, waktu yang paling penting adalah waktu engkau mencangkul di kebun, orang yang paling penting adalah diriku sendiri, dan pekerjaan paling penting adalah menolongku. Kemudian, ketika orang yang luka itu lari kemari, waktu yang paling penting adalah ketika engkau membalut lukanya, yang jika tidak dirawat olehmu, ia akan mati. Dan engkau akan kehilangan kesempatan untuk berdamai dengannya. Begitu juga, ia adalah orang yang paling penting, dan pekerjaan yang paling penting adalah merawat lukanya. Ingat, hanya ada satu waktu yang penting, yaitu sekarang. Sekarang inilah satu-satunya waktu yang kita kuasai. Orang yang paling penting adalah selalu orang yang ada bersamamu, yang benar-benar ada di hadapanmu, karena siapa tahu apakah engkau akan berurusan dengan orang lainnya di kemudian hari. Pekerjaan yang paling penting adalah membuat orang itu, orang yang berdiri di sisimu, bahagia, karena hanya itulah yang dikejar dalam kehidupan.” Leo Tolstoy (Feldman, 2002: 95-100) Apa yang disebut kepedulian dilihat dari bagaimana kita hidup dalam kekinian bersama orangorang di sekitar kita, dan membantunya mengurangi penderitaan mereka. Jika kita ingin menunjukkan kepada ayah dan ibu kita bahwa kita sungguh-sungguh menyayanginya, lakukanlah sekarang juga. Tidak ada cinta tanpa tindakan. Jika kita perlu meminta maaf kepada seseorang, jangan ditunda-tunda. Tentu baik sekali kalau kita bisa menolong orang yang jauh dari kita, tetapi kita sering lupa bahwa ada orang yang di dekat kita yang perlu dibahagiakan lebih dahulu. Jika kita tidak bisa melayani ayah, ibu, saudara serumah, bagaimana mungkin melayani masyarakat? Kekinian itu ada dalam keseluruhan waktu. Pada waktu sekarang kita dapat melihat waktu yang lampau dan yang akan datang. Kita tidak bisa menghentikan waktu atau perubahan yang
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 16
diakibatkannya. Waktu selalu bergerak, menjauh dari kita. Kekinian, momen sekarang, dalam sekejap menjadi masa lalu. Kita bisa belajar untuk menerima ketidakkekalan, dan bersahabat dengannya. Dengan itu kita tidak menyia-nyiakan waktu. Kesadaran-penuh memiliki kapasitas untuk menjaga kewaspadaan kita pada apa yang terjadi di sini, sekarang ini. Kita seharusnya menyadari, bahwa momen yang sedang kita hadapi -sedetik, bahkan lebih singkat lagi-, menentukan kehidupan kita selanjutnya. George Washington Carver, seorang ilmuwan berkulit hitam, mengembangkan lebih dari 350 produk dari kacang. Semboyannya dalam bekerja bisa menjadi semboyan kita juga. Bunyinya:
“Mulailah di mana kamu berada, Ambillah apa yang Anda miliki, Dan buatlah sesuatu dari padanya.” (Mihalic, 1996: 15).
EGOISME Di sudut sebuah jalan ia berdiri, menertawakan kekonyolannya sendiri. “Ada apa?” seseorang bertanya padanya. “Kau lihat batu yang ada di tengah jalan itu?” Diogenes menunjuknya dari tempat ia berdiri. “Lebih dari sepuluh orang telah menyandungnya. Setelah tersandung mereka memelototi batu itu dan mengutuknya. Namun tak seorang pun memindahkan batu itu untuk mencegah orang lain agar tidak tersandung lagi.” J. Maurus (Maurus, 2004: 81) Cinta sejati bersifat universal, tidak dibatasi oleh segala bentuk ikatan primordial. Persoalannya, bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami cinta kasih tanpa memiliki dan mengalaminya sendiri? Thich Nhat Hanh menjelaskan, bahwa cinta memberi kita kesempatan untuk melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang tidak memiliki cinta (Hanh, 1995:) Cinta telah melahirkan dan membesarkan anak manusia. Cinta berakar dalam keluarga. Seorang ibu mengasihi anaknya tanpa pamrih. Sekalipun menanggung penderitaan, orang tua merasa bahagia bisa membesarkan anaknya dan membuat anaknya bahagia. Kalau kita mencermati fenomena kekerasan dalam keluarga misalnya, yang mencapai klimaks pada kasus-kasus pembunuhan, kita harus menyadari bahwa masyarakat kita sedang sakit. Penyakit sosial bukanlah suatu peristiwa yang terjadi tiba-tiba, tetapi terakumulasi oleh tekanan dari sebuah sistem yang mengabaikan cinta. Dunia modern didominasi individualisme dan budaya kompetitif. Danah Zohar melihat sejumlah motivasi di baliknya yang dinilai negatif, yang tidak akan pernah membawa kita pada level kecerdasan spiritual. Motivasi itu adalah penonjolan diri, kemarahan, keserakahan, dan ketakutan. Semua ini terkait dengan apa yang digambarkan oleh Abraham Maslow sebagai deficiency needs, kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh hewan. Ian Marshall menempatkan kebutuhan tingkat rendah yang terdiri dari bertahan hidup, rasa aman, dan rasa memiliki dari piramida Maslow, dalam
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 17
skala motivasi yang negatif. Kebutuhan tingkat tinggi terdiri dari harga diri, aktualisasi diri, dan pengalaman puncak merupakan motivasi dalam deret positif. Untuk menemukan tempat kita pada skala motivasi, dibutuhkan kesadaran diri yang jujur. Kesadaran diri adalah dasar dari kecerdasan emosional sebagaimana yang dideskripsikan oleh Daniel Goleman, menyadari satu perasaan ketika perasaan itu berlangsung. Dari kesadaran diri yang mengenali motivasi-motivasi itu kita bergerak mengubahnya ke level yang lebih tinggi. Setiap pergeseran naik atau turun pada skala motivasi mencerminkan satu pergeseran paradigma. Visi, tujuan, strategi dan hasilnya akan berbeda. Mengubah motivasi adalah satu-satunya cara yang andal untuk mengubah perilaku (Zohar, 2005: 73-85) Motivasi negatif membuat manusia melihat manusia lain bukan sebagai sesamanya, melainkan sebagai ancaman, saingan atau lawan yang pantas ditaklukkan bahkan dihabiskan. Untuk memuaskan “sang aku” manusia yang kuat dan menjadi pemenang merasa berhak menguasai, mengeksploitasi atau mengambil sebanyak-banyaknya. Karena kebahagiaan “sang aku” diukur dari pemilikan materi yang berlimpah, keserakahan menjadi sebuah keharusan. Menghadapi ketidakadilan, kemarahan, kebencian dan perang dengan mudahnya mendapatkan pembenaran. Demi kemakmuran pencemaran dan kerusakan bumi pun terjadi di mana-mana. Motivasi positif mendorong seseorang melakukan transformasi diri dan transformasi sosial. Kebanyakan pemimpin atau orang-orang besar lain hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga membawa kebaikan bagi orang banyak. Keselamatan bagi diri sendiri sekaligus juga membawa keselamatan bagi orang lain.
E. Mencintai Dengan Tulus PANGGILLAH IMAM KALAU TIDAK SADAR Seorang pastor yang penuh semangat ditunjuk untuk menjadi pastor di salah satu rumah sakit. Pada suatu hari ia melihat-lihat kartu pasien yang baru saja masuk dan menemukan satu kartu pasien yang beragama Katolik. Ada juga satu catatan aneh yang ditempelkan di sana. ”Tidak mau didatangi pastor, kecuali kalau sedang tidak sadar.” Hal yang harus ditanyakan kepada diri sendiri setiap kali merasa membutuhkan pertolongan atau nasihat: ”Apakah saya yakin bahwa saya sadar?” Anthony de Mello (Mello, 1990: 201).
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 18
Mungkin kita suka memperdebatkan keunikan akidah dari agama-agama, namun bagaimanapun kita tidak akan menolak tindakan yang penuh kasih yang akan menyelamatkan kehidupan atau mengakhiri penderitaan. Penderitaan orang lain adalah penderitaan kita juga, dan kebahagiaan orang lain adalah juga kebahagiaan kita. Memberi kebahagiaan kepada siapa saja merupakan tindakan yang dilakukan karena cinta. Tanpa cinta tidak ada kebahagiaan. Kita bisa mempertanyakan, bagaimana mungkin membedakan cinta kasih seorang Nasrani dengan cinta kasih seorang Buddhis, atau cinta kasih penganut agama Hindu dan Islam? Sikap eksklusif dan sektarian telah membuat orang berbeda paham mengenai cinta menurut perbedaan agama. Cinta kasih menjadi diskriminatif. Apakah ini benar-benar cinta? Berbagai bentuk musibah dan bencana datang melintasi batas-batas agama, suku, gender, status sosial dan ekonomi. Bahkan sepertinya tidak membedakan orang baik atau jahat. Sebagian orang mungkin memperdebatkan, apa benar bencana berasal dari Tuhan yang sedang marah dan menghukum orang-orang yang berdosa? Di antara para korban, dapat ditemukan orang-orang yang mungkin tidak berdosa, bayi misalnya. Barangkali Tuhan justru sedang menunjukkan kasih-Nya dengan memberi cobaan dan ujian agar manusia menjadi lebih kuat dan mendapatkan sesuatu yang lebih baik; atau Tuhan menjadikan sosok korban sebagai alat untuk mengingatkan atau mendidik orang lain? Bagaimanapun, kita percaya Tuhan menolong setiap korban, antara lain melalui kerja keras para relawan dan uluran bantuan dermawan. Mereka memberi pertolongan tanpa membedakan korban, apakah ‘dibenci atau disukai Tuhan’. Seperti yang ditunjukkan oleh Bunda Teresa (alm) – tidak pernah bertanya apa agamamu, dari mana asal usulmu, berapa saudaramu. Ia merasa cukup kalau melihat setiap orang yang harus dilayaninya adalah manusia yang juga dikasihi Tuhan–. Atau Master Cheng Yen menebar cinta kasih universal melalui organisasi Tzu Chi lintas agama, tanpa membedakan bangsa atau negara. Yang ada hanya cinta dan belas kasih. Jelas, kemanusiaan mengatasi segalanya. Solidaritas yang tidak diskriminatif ini memberi kedamaian bagi siapa saja. Di sini agama berperan, bukan menakuti, melainkan memberi rasa aman.
Aristoteles pernah memberi sedekah kepada seorang laki-laki yang memiliki reputasi buruk. Seseorang menyalahkan apa yang telah ia lakukan. “Aku tidak memberikannya kepada orang itu, Aristoteles menjawab, Aku memberikannya demi kemanusiaan.” (Maurus, 2004: 157). Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat kemelaratan bertambah, pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk kejahatan berkembang cepat, pembunuhan menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari waktu ke waktu semakin pendek. (D. III, 65-73). Bagaimana orang-orang yang hidup kekurangan dan merasa tidak aman bisa memelihara cinta?
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 19
Kemiskinan menimbulkan stres dan frustrasi. Karena tidak tahan lagi menghadapi tekanan yang mengancam hidupnya, orang yang kalap dan nekad merampok hingga membunuh. Sedangkan orang yang putus asa menjadi berani untuk bunuh diri. Pemeluk agama pantas menjawab pertanyaan: Apa yang dapat dilakukan oleh agama bagi orang yang kelaparan? Agama bisa jadi sangat menarik perhatian orang-orang lapar. Mereka menaruh pengharapan. Lebih dari sekadar memberi penghiburan, agama menjanjikan pertolongan agar mereka dapat hidup lebih baik. Kita harus mengakui bahwa sebuah khotbah tidak akan membuat orang lapar menjadi kenyang. Vitalisasi spiritualitas menempatkan agama bukan hanya sebagai sumber yang memberi inspirasi, tetapi betul-betul menghidupkan dan mengisi kehidupan. Gerakan keagamaan tidak hanya menyiarkan khotbah, tetapi aktif sebagai agen dan motor transformasi. Di Amerika Latin, Gerakan Teologi Pembebasan merealisasi pembelaan dan pemihakan terhadap kaum miskin. Rikard Bagun mengungkapkannya dalam metafora yang indah: Altar dan mimbar yang selalu diagungkan di tempat yang tinggi telah diturunkan jauh ke bawah, ke ladang rakyat, ke tengah permukiman kumuh perkotaan dan lingkungan petani gurem. Tuhan harus dimuliakan dalam perut yang kenyang, bukan dalam wajah yang muram oleh kelaparan dan kemiskinan (Bagun, 2008). Mustahil kita dapat mengalahkan kejahatan tanpa memerangi kemiskinan. Semua agama mengajarkan agar orang mencintai sesama dan merealisasi kepedulian sosial. Kedermawanan misalnya dihubungkan dengan tanggung-jawab memelihara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun aksi karitatif saja tidak akan bisa melenyapkan kemiskinan. Kita perlu lebih memahami akar permasalahan dari kenyataan-kenyataan sosial yang kompleks dan secara struktural menemukan jalan keluar yang tepat. Orang yang peduli akan menghampiri orang-orang yang menderita itu dan mengangkat martabat mereka. Kemiskinan dan kelaparan akan selalu ada sepanjang manusia yang bersangkutan tidak berbuat dan mengubah diri sendiri. Mereka memerlukan pemberdayaan melalui bimbingan, contoh teladan dan kesempatan. Kata pepatah Tionghoa: Jangan memberi ikan, tetapi berilah pancing. Hanya, bagaimana kalau mesti bersaing dengan pukat harimau, atau perairan dikuasai oleh para konglomerat, atau malah sudah habis ikannya? Dalam rangka melindungi seluruh makhluk atau masyarakat, kepedulian berkesadaran perlu menjangkau sistem kekuasaan yang korup, hukum yang tidak mendidik, pelanggaran HAM, struktur perkonomian yang tidak adil, pengangguran atau kegiatan usaha yang merusak lingkungan misalnya. Agama untuk manusia. Sejak awalnya lahir sebagai fenomena sosial menyangkut masalahmasalah kemanusiaan, termasuk ketidakadilan dan kemiskinan. Ibadat tidak hanya sebatas ritual, namun juga dikenal ibadat sosial yang merealisasi tanggungjawab untuk menghadirkan kesejahteraan. Ajaran agama membumi karena menyentuh aktivitas hidup manusia sehari-hari dan memberi jawaban atas permasalahan sosial.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 20
Misi agama adalah merealisasi kebaikan, atas dasar kasih sayang membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi semua makhluk (Vin. I, 21). Cinta kasih tidak terbatas hanya untuk manusia, tetapi juga untuk semua makhluk. Spiritualitas ditandai kesadaran dan kearifan batin, mengenai makna, nilai dan tujuan hidup. Cinta dalam tindakan terkait dengan spiritualitas. Tentu saja cinta ada pada semua manusia, bukan hanya milik orang-orang suci. Dari sanubari, berdasar hati nurani, cinta berkembang dengan ketulusan dan kepekaan yang membuat seseorang sedia bertanggungjawab dan berkorban sehingga melampaui keakuan. Altruisme, yaitu pengorbanan bagi orang lain yang bukan sanak atau kerabat muncul karena kesadaran spiritual. Bukan karena terpaksa mengikuti perintah, melainkan justru karena adanya kehendak bebas. Sikap moral yang luhur dan kemampuan membedakan baik dan buruk terbentuk dalam hidup yang berkesadaran, berpegang pada kebenaran dan kesucian. Kesadaran menjadi sebuah panggilan untuk memperbaharui visi dan misi agar hidup menjadi lebih bermakna. Raja Asoka misalnya, menghentikan ekspansi militer dan menukarnya dengan gerakan perdamaian yang memajukan harkat kemanusiaan. Santo Agustinus melepaskan sisi gelap kenikmatan daging, dan menjadi salah satu Bapa Gereja Katolik yang ikut memengaruhi sejarah dunia. Malcolm X sempat masuk penjara karena kriminalitas yang sepertinya tidak terhindarkan di tengah lingkungannya, namun ia bisa berubah menjadi simbol kekuatan orang kulit hitam yang mengimbangi Martin Luther King. Yang mengagumkan, kemarahannya telah memotivasi dirinya, tetapi keajaibannya adalah mengambil semua yang buruk dalam hidupnya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang baik. Pada awalnya Malcolm X memeluk agama Islam sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan orang kulit putih yang beragama Kristen, tetapi melalui iman baru ia memahami kesatuan umat manusia yang tidak dibatasi oleh agama. Ia sangat terinspirasi oleh kisah Mahatma Gandhi (Buttler-Bowdon, 2006: 197-205) Mahatma Gandhi bukan hanya sesosok pemimpin politik yang berhasil membawa India bebas dari cengkeraman Inggris, tetapi juga ia menjadi simbol kekuatan spiritual. Gandhi percaya bahwa ahimsa, tanpa kekerasan, amat penting dalam mencari kebenaran. Menyerang orang lain misalnya, sama seperti menyerang diri sendiri. Sejalan dengan ahimsa, ia menggerakkan satyagraha, perjuangan antikooperasi. Kampanye pembangkangan dan antikooperasi sipil melawan penguasa Inggris di India menjadi sebuah kekuatan moral yang tak terbendung oleh kekuatan militer. Sebelumnya Gandhi mempraktikkan prinsip-prinsip ini ketika memperjuangkan hak-hak orang India di Afrika Selatan, dan kesuksesannya menginspirasi pemuda Afrika bernama Nelson Mandela (Buttler-Bowdon, 2006: 97-103). Tidak sedikit pemimpin yang tergelincir karena mabuk harta dan perempuan. Lain dengan Gandhi, ia hidup sederhana, tidak mementingkan diri sendiri, dan dengan persetujuan istrinya pada usia pertengahan tigapuluhan ia menjalani selibat.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 21
Semua penerima Hadiah Nobel Perdamaian, tak pandang agama, menentang tindak kekerasan. Mereka mempertahankan prinsip ini sekalipun harus membayarnya dengan penderitaan. Kekerasan harus ditolak karena merupakan pisau bermata dua. Prinsip ini tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan prinsip lain: menanggalkan egoisme, dan menyadari bahwa setiap aksi akan mendatangkan reaksi (hukum tabur tuai, karma). Aksi yang baik akan menghasilkan reaksi yang baik, dan aksi yang buruk akan menuai reaksi yang buruk.
Setiap hari berupayalah melayani sesama dengan hal-hal kecil dan janganlah beritahukan kepada siapa pun. Hanya pertolongan kecil atau ungkapan kasih terhadap sesama, tanpa memikirkan pamrihnya, akan meningkatkan kesadaran Anda. Salinlah kebenaran kuno ini dan bacalah ulang setiap harinya: “Ketika engkau mencari kebahagiaan bagi dirimu sendiri, ia akan selalu terlepas darimu. Ketika engkau mencari kebahagiaan bagi sesama, engkau sendiri akan menemukannya.” (Dyer, 2003: 16-17)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 22
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik VI MEMAAFKAN, MENGHADIRKAN KEDAMAIAN
A. Memaafkan dengan Sadar Suka atau tidak suka, sabar atau mudah marah, mencintai atau membenci, adalah sebuah pilihan berdasar konsepsi yang dibentuk oleh pikiran. Tidak ada yang menyangkal bahwa otak bertanggungjawab atas proses berpikir. Sementara otak sendiri bekerja dengan dikendalikan oleh pikiran. Robert B. Livingston, M.D., dalam konferensi Mind and Life Institute yang pertama, pada tahun 1987, membandingkan pikiran dengan sebuah simfoni. Seperti sebuah orkestra simfoni, jelasnya, otak terdiri dari sejumlah kelompok pemusik yang bekerja bersama-sama untuk menciptakan hasil tertentu, seperti gerakan, buah pikiran, perasaan, memori, dan sensasi fisik (Yongey, 2007) Manusia memiliki otak basal yang disebut sebagai otak reptilian. Reptil cenderung bersikap siap untuk menyerang ketimbang bekerja sama. Otak yang dianggap primitif ini mengontrol apa yang sering kita sebut fight-or-flight, lawan-atau-lari, atau respons otomatis yang menilai suatu kejadian yang tak terduga sebagai sebuah ancaman. Otak yang lain, otak tengah atau daerah limbik, diprogram untuk beradaptasi dan belajar, memainkan peranan penting untuk mengingat dan merasakan emosi termasuk kemampuan untuk membentuk atau mengenali hubungan sosial. Memori emosional yang ia ciptakan sangat kuat, terhubung dengan reaksi biologis dan biokimiawi yang signifikan. Sedang otak besar yaitu neocorteks, mencapai dua pertiga total massa otak, terbagi menjadi dua, belahan kiri dan belahan kanan. Otak ini memiliki fungsi kognitif yang lebih tinggi dan berpengaruh pada kemampuan rasional seseorang, termasuk kemampuan menerima rangsang pancaindra, memahaminya, menganalisis, dan merespons secara motorik. Otak kiri mengatur bagian tubuh kanan, sebaliknya otak kanan mengatur bagian tubuh kiri. Otak kanan cenderung lebih dominan pada pengendalian emosi, interaksi dengan manusia lain, kemampuan imajinasi dan berekspresi seperti menyanyi, menari, musik, melukis, dan kemampuan intuitif (menyangkut EQ). Sedangkan otak kiri dominan dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta matematika (menyangkut IQ). Kedua bagian otak ini bekerja sama, terhubung dan bertukar informasi melalui “corpus callosum“. Walau neocorteks dipandang sebagai otak tingkat tertinggi, ternyata tidak dapat dikatakan bahwa otak besar ini selalu mendominasi bagian otak lainnya. Misalnya sistem limbik yang mengatur emosi, dapat memengaruhi fungsi mental bagian neocorteks ketika kita sedang marah atau takut. Hal
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
yang berbau dogmatis dan paranoid, yang memiliki basis fisik pada sistem limbik, sering kali lebih dominan daripada proses berpikir rasional. Otak manusia memiliki ratusan miliar sel saraf atau neuron. Sebuah neuron terlihat seperti pohon, ada akar (dendrit) dan cabang (akson). Setiap neuron menerima pesan atau impuls ke dendrit yang meneruskannya ke badan sel, sampai mencapai ujung akson. Ujung-ujung akson membentuk sinapsis (sambungan) pada dendrit dari neuron tetangganya. Sebuah neuron punya ribuan sinapsis yang berkoneksi atau berkomunikasi secara langsung dengan neuron-neuron lain. Impuls dari neuron yang satu ke neuron lain bergerak melalui jaringan otot dan kulit, organ-organ vital dan organ-organ sensasi. Pesan-pesan
itu
dibawa
dalam
bentuk
molekul-molekul
zat
kimia
yang
disebut
neurotransmitter, yang menciptakan sinyal-sinyal elektrik yang bisa diukur dengan EEG. Neurotransmitter tersebut antara lain acetylcholin yang dihubungkan dengan ingatan; serotonin yang sangat berpengaruh dalam hal depresi; dopamine yang merangsang sensasi kesenangan; dan epinephrine, yang lebih dikenal dengan adrenaline, zat kimia yang sering diproduksi ketika merespons stres, kegelisahan, ketakutan, tetapi juga penting untuk perhatian dan kewaspadaan. Neurotransmitter menyebabkan adanya koneksi antar-neuron di banyak area. Koneksi ini membentuk jalur-jalur saraf (neural tracts), kira-kira seperti jaringan kabel telepon. Jalur-jalur itu menghasilkan fungsi pikiran yang berbeda-beda. Dalam waktu yang sekejap bisa berubah-ubah, sehingga pikiran menjadi ruwet atau meloncat-loncat tak terkendali bagai monyet yang liar. Jalur saraf yang bekerja seperti sederetan lampu yang dirangkai seri menghasilkan pemikiran yang logis dan rasional (bisa diuji dengan tes IQ). Jika ada satu bagian yang rusak atau off, seluruh rangkaian terkait akan berhenti bekerja. Struktur otak juga memiliki jaringan saraf (neural network). Setiap jaringan mengandung ratusan ribu rangkaian saraf, dan setiap neuron dalam satu gugus bisa dihubungkan dengan ribuan gugus saraf lain secara simultan. Hasilnya berupa pemikiran asosiatif (mendasari EQ), yang berkembang melalui interaksi dengan pengalaman. Kedua sistem, pemikiran seri dan asosiatif berinteraksi dan saling menguatkan. Hasilnya kita bisa berpikir unitif, menyatukan (terkait dengan SQ). Yongey Mingyur Rinpoche menggambarkan neuron sebagai sel-sel sosial, yang suka bergosip. Percakapan antar-neuron adalah tentang sensasi, gerakan, penyelesaian masalah, menciptakan memori, dan menghasilkan bentuk pikiran dan perasaan. Perasaan terbatas, cemas, takut dan lainlain hanya gosip-gosip neuron. Ketika neuron-neuron saling terhubung, mereka membentuk sebuah ikatan seperti layaknya sebuah perkoncoan lama. Mereka terbiasa saling menyampaikan pesan, seperti teman-teman lama yang cenderung memaksakan pendapat masing-masing tentang orang lain, kejadian dan pengalaman. Ikatan ini adalah dasar biologis bagi banyak hal yang sering kita sebut kebiasaan mental.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
Kita dibentuk oleh kebiasaan. Perasaan tidak suka atau benci misalnya, datang dari koneksi sejumlah neuron tertentu yang biasa berkonco. Kebiasaan yang menciptakan seorang pemarah. Begitu pula pemaaf, pemalas, pemberani atau penakut, dan sebagainya. Dan kebiasaan ini bisa diubah. Otak dapat mengembangkan koneksi-koneksi neuron baru, yang bukan saja mengubah persepsi yang sudah ada, tetapi juga melampaui semua kondisi mental menuju keadaan yang lebih baik. Sebagai makhluk yang berkesadaran, kita sadar akan pengalaman kita, juga sadar akan kesadaran kita. Dengan itu kita memiliki kebebasan, tidak terbelenggu oleh sebuah kebiasaan yang telah kita pelajari dan kita alami. Kita bisa berpikir kreatif, berwawasan dalam dan intuitif. Bahkan mekanisme kerja gen/DNA (on/off) sebagai cetak biru sosok manusia dipengaruhi oleh cara berpikir dan sikap mental. Latihan pembiasaan, keceriaan, inspirasi, syukur, doa, ketulusan memberi, hingga kondisi genting dapat mengaktifkan gen yang bermanfaat (Divine Massage of DNA). Pemahaman akan sifat dari pikiran ini menjadi dasar dari penyataan: Kita dapat mengubah kehidupan kita dengan mengubah pikiran. Kondisi pikiran memiliki dampak tertentu terhadap tubuh. Dalam dunia kedokteran dikenal penyakit atau kelainan psikosomatik (berkaitan dengan jiwa dan raga). Gangguan pada tubuh juga akan diikuti gangguan pada pikiran. Manusia adalah paduan unsur badan dan batin. Tubuh dan pikiran berinteraksi saling bergantung dan saling memengaruhi. Membangun jiwa pun harus disertai membangun raga, dan membangun raga tidak akan berhasil tanpa membangun jiwa. Mudah dimengerti kalau praktik pengembangan kesadaran atau pemusatan pikiran yang disebut meditasi juga bermanfaat bagi kesehatan. Dampaknya jelas dari peningkatan kebugaran dan daya tahan tubuh, hingga penyembuhan sejumlah penyakit. Penelitian menunjukkan bahwa praktisi meditasi dapat mengontrol saraf otonomnya. Bahkan penderita stres dan depresi merasa tertolong dan pecandu narkoba dapat menghentikan kecanduannya.
B. Memaafkan Berdasarkan Pengalaman Spiritual Pengalaman spiritual berhubungan dengan kesadaran refleksi diri dan kritik diri yang tidak terpisah dari unsur di luar diri sendiri. Thich Nhat Hanh menjelaskan bagaimana pengalaman spiritual membuat kita bisa melihat penderitaan semua makhluk adalah penderitaan kita juga. Dia memberi contoh ratusan bayi lahir di tengah keluarga nelayan miskin. Di antaranya setelah remaja ada yang menjadi bajak laut dan penjahat. Apa kita bisa menyalahkan mereka? Mereka melarat, tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan, tidak mendapat kesempatan bekerja. Kalau bisa memilih tentu mereka ingin menjadi orang terhormat. Andaikan kita adalah salah seorang di antara mereka, kita akan menyalahkan siapa? Kita memang bukan mereka, lalu kalau kita memiliki senjata, apa manusia-manusia seperti itu kita tembak mati saja? Atau, bukankah lebih baik kalau kita
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
merangkulnya, membantunya untuk mendapatkan pengertian dan cinta kasih? (Hanh, 2004: 157158).
Setiap orang pasti pernah marah. Entah pada diri sendiri, orang lain, atau barangkali juga pada sebuah situasi yang tidak bersahabat, dan pada nasib yang kejam. Apa Anda pemarah? Buat daftar, kepada siapa saja Anda pernah marah? Apa alasannya? Apa sampai sekarang Anda masih mengingatnya, masih merasa sakit hati? Kenapa begitu?
Ada yang menyalurkan amarah dengan cara ekspresif, seperti melontarkan kata-kata kasar, memaki, mengancam hingga menyakiti dengan kekerasan. Ada yang pasif, seperti menghindari kontak mata, tidak mau bicara, atau menyalurkan perasaan marahnya lewat bergosip, mungkin pula menyalahkan diri sendiri, dan menangis. Mengenali apa yang disebut amarah itu penting, seperti mendiagnosis suatu penyakit. Kesadaran spiritual membuat kita segera mengidentifikasi kemarahan begitu ia muncul. Kita mengatakan dalam hati, “Aku sadar bahwa aku sedang marah,” seraya menarik napas dalam-dalam. Amati perasaan itu bersamaan dengan kelegaan menikmati masuk keluarnya napas. Banyak alasan yang menimbulkan kemarahan. Apakah itu menyangkut keinginan yang tidak tercapai, atau mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Berdasar pengalaman sendiri dan pengamatan terhadap orang-orang di sekeliling kita, kita akan menemukan hubungannya dengan persepsi yang subjektif. Ada sejumlah kondisi yang memudahkan munculnya kemarahan, di antaranya tekanan hidup dan pekerjaan, lingkungan yang tidak bersahabat, kelelahan fisik dan penyakit, juga pergaulan yang buruk dan pemakaian narkoba.
Jika seseorang membabi buta karena marahnya Akan menyerang kamu sewaktu-waktu Kenapa kamu meniru perbuatannya Memelihara kebencian dalam hatimu Kemarahan dan kebencian pada seseorang Telah membuat kamu gelisah Kebencian itulah yang seharusnya kau hancurkan Kenapa kau menjadi susah tak keruan? Jika seseorang membenci orang lain Siapakah yang menderita, kalau bukan dirinya sendiri? Kamulah yang menjadi sebab penderitaanmu Kenapa kamu harus membenci orang lain? (Visuddhi Magga)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
Gandhi pernah berkata kepada seorang politikus, ”Tidak seorang pun bisa menyakitimu kecuali dirimu sendiri. Aku lihat sudah cukup banyak kedengkian di dalam hatimu yang bisa melukaimu kecuali bila kau segera membuangnya.” (Maurus, 2004: 201). Orang yang memelihara kedengkian, sama halnya dengan dendam, kebencian, atau amarah, tidak mampu mempertahankan kedamaian. Pikirannya tidak tenang, fisiknya tidak nyaman. Sementara itu orang yang membuatnya marah bisa jadi sedang bersuka-cita tanpa merasa terusik. Bayangkan apa yang kita rasakan ketika sedang marah. Napas menjadi pendek memburu, detak jantung bertambah cepat, otot dan saraf tegang, sakit kepala, susah makan, susah tidur. Dokter yang mendapatkan tekanan darah kita naik, mengingatkan kita pada ancaman serangan jantung atau strok. Dalam keadaan emosional, kita cenderung kehilangan akal sehat, berpikir ingin menjatuhkan atau mencelakakan pihak lain, tidak sempat memikirkan hal-hal yang baik dan tidak lagi kreatif. Di depan cermin kita melihat ekspresi wajah kita tak enak dipandang. Orang yang melihat kita menjadi takut atau tidak bahagia. Artinya kita telah mengirim sinyal dan energi negatif ke lingkungan kita. Tanpa kendali, mungkin saja kita melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain dan diri kita sendiri. Seringkali kemarahan tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru. Gandhi juga mengingatkan, “Bila kau benar, kau mampu menjaga amarahmu. Namun bila kau salah, kau tidak mampu menghilangkan amarahmu.” (Maurus, 2004: 177). Memaafkan adalah cara yang terbaik untuk meredakan amarah. Demi kebaikan kita sendiri seharusnya kita berlapang dada dan berbesar hati untuk memaafkan kesalahan orang lain, bahkan membalas kesalahan tersebut dengan kebaikan. Kalaupun kita benar, belum tentu orang lain salah. Mengingat relasi dan kesalingbergantungan setiap makhluk, saat orang lain salah, kita juga salah. Melihat mereka salah, kita mesti memperbaiki kesalahan yang ada dalam diri kita sendiri. Ada kesalahan kecil, ada kesalahan besar. Banyak orang takut melakukan dosa besar, tetapi terbiasa melakukan dosa kecil. Dengan dalih bahwa semua orang berdosa, seringkali orang menutup mata terhadap segala bentuk kesalahan yang kecil. Namun kesalahan sekecil apa pun tidak bisa diremehkan. Kita dibentuk oleh kebiasaan, sesuatu yang besar berasal dari yang kecil, atau terdiri dari yang kecil. Sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes. Sebuah sekrup kecil dari sebuah mesin yang besar bukanlah barang yang dapat diabaikan. Tanpa memperhatikan hal-hal yang kecil, orang tidak akan berhasil menangani pekerjaan besar. Setiap orang yang bersalah menanggung beban akibat apa yang dilakukannya. Sekalipun tidak diketahui oleh orang lain, atau mungkin tidak sampai digiring ke pengadilan, ia sendiri akan merasa cemas, takut. Agar bisa menutupi jejak perbuatannya saja ia menghabiskan cukup banyak energi yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Orang yang sadar telah melakukan kesalahan, secara sadar akan menyatakan penyesalan dan mohon maaf, dengan itu diharapkan batinnya menjadi tenteram. Orang yang memberi maaf, mengharapkan orang yang dimaafkannya dapat selamat dan bebas dari penderitaan, terdorong oleh cinta kasih dan belas kasih.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
Ada seorang veteran perang yang tidak mampu melupakan kejahatannya yang telah menyebabkan kematian lima orang anak. Ibunya berusaha untuk menenangkannya. Ibunya berkata, ”Anakku, itu kejadian yang terjadi di masa perang. Tidak ada yang perlu kamu sesali.” Akan tetapi ia sangat menderita. Ia mengikuti latihan meditasi untuk mengubah rasa takut dan rasa bersalah. Ia tesadarkan, memang benar dulu ia telah membunuh lima orang anak, tetapi sekarang dan berikutnya, ada banyak anak lain yang bisa ditolong dan diselamatkannya. (Hanh, 2002: 131). Disadari atau tidak, pada dasarnya setiap makhluk mencintai diri sendiri. Siapa saja berpikir, ”Inilah aku, aku menyukai diriku, aku ingin menjaga kepentingan diriku, aku ingin melindungi hidupku.” Kita harus bisa menghargai diri sendiri agar memiliki kemampuan untuk mencintai orangorang lain. Mencintai diri sendiri bukan berarti hanya peduli diri sendiri. Kesadaran spiritual kita mengingatkan bahwa diri kita adalah bagian dari diri yang luas. Ketika merasa bersalah, di kedalaman jiwa muncul pikiran, ”Seharusnya aku tidak melakukan itu, tetapi ada alasan yang membuat aku begitu, aku ingin orang lain mengerti, aku ingin mereka memaafkanku.”
HALANGAN BAGI SESEORANG, BANTUAN BAGI ORANG LAIN Ada dua orang pemuda yang dibesarkan oleh ayah mereka yang pemabuk. Sebagai pemuda, keduanya memilih cara hidup mereka sendiri-sendiri.Beberapa tahun kemudian, seorang psikolog yang sedang meneliti tentang dampak psikologis dari orang tua pemabuk kepada anak-anaknya mencari kedua pemuda itu. Salah seorang dari mereka juga sudah menjadi seorang pemabuk seperti ayahnya. Seorang yang lain telah menjadi manusia anti alkohol, yang tidak pernah minum alkohol.Psikolog itu bertanya kepada pemuda yang telah menjadi pemabuk itu. “Mengapa Anda menjadi seorang pemabuk?” Dan kepada pemuda yang lain, “Mengapa Anda menjadi seorang yang anti alkohol?”Dan mereka berdua memberi jawaban yang sama. “Apa yang bisa Anda harapkan, bila Anda memiliki seorang ayah seperti ayah saya?” –Pulpit Helps (Mihalic, 1997: 7) Kita tumbuh dan belajar dari lingkungan. Kita mendapat asupan lewat mulut juga semua indra. Mau tidak mau semua yang kita konsumsi, setelah dicerna, menghasilkan sampah yang dibuang oleh tubuh. Sungguh menderita manusia yang mengalami kesulitan untuk membuang kotorannya. Kotoran bukan hanya sampah dari tubuh, melainkan juga ada kotoran batin. Kotoran batin merupakan racun yang menimbulkan penderitaan, baik bagi orang seorang ataupun bagi masyarakat. Niat jahat, kebencian dan dendam merupakan kotoran batin yang membuat seseorang tidak bisa hidup damai. Kotoran batin lain misalnya keserakahan, kesombongan, kemalasan, iri hati, prasangka buruk, egois, dan sebagainya. Thich Nhat Hanh membandingkan kotoran batin itu seperti sampah organik yang bisa diubah menjadi pupuk, dan pupuk membuat pohon menghasilkan bunga. Kita harus belajar seni mengubah sampah-sampah dalam diri kita menjadi sesuatu yang indah. Apa itu yang indah? Cinta, pengertian,
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
kebijaksanaan dan kedamaian yang membuat hidup kita bahagia. Dengan mengubah diri sendiri, kita dapat membawa perubahan pada dunia luar.
MENGUBAH DIRI SENDIRI Saya pernah mendengar cerita tentang seorang pria dan wanita yang hidup di China sekitar empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu. Mereka baru saja menikah, dan si pengantin wanita pindah ke rumah suaminya, dan ia segera saja bertengkar dengan ibu mertuanya karena beberapa hal yang tidak begitu penting tentang pekerjaan rumah tangga. Perlahan-lahan, ketidak-cocokan mereka berkembang hingga mereka sudah tidak bisa saling melihat lagi. Si pengantin wanita menganggap ibu mertuanya sebagai nenek tua pengganggu, dan si ibu mertua menganggap istri anak laki-lakinya sebagai anak kecil yang sombong, yang tidak tahu bagaimana menghormati orang yang lebih tua. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang serius sehingga kemarahan mereka menjadi begitu memuncak. Tetapi, akhirnya, si istri menjadi sangat marah sehingga ia memutuskan untuk mencari cara untuk menyingkirkan ibu suaminya. Jadi, ia pergi ke seorang tabib dan meminta racun untuk ditaruh di makanan mertuanya. Setelah mendengarkan keluhan pengantin wanita ini, si tabib setuju untuk menjual racun kepadanya. “Tetapi, “ tabib tersebut memperingatkan, “jika saya memberikan Anda racun yang ganas yang langsung bekerja, semua orang akan menuduh Anda dan mengatakan, “Kamu meracun ibu mertuamu,’ dan mereka juga akan tahu kalau kamu membeli racun dari saya, dan ini tentu saja tidak baik bagi kita berdua. Jadi, saya akan memberikan Anda racun yang efeknya ringan sehingga ibu mertua Anda akan mati perlahan-lahan.” Tabib itu juga menginstruksikan agar selama ia meracuni ibu mertuanya, ia harus memperlakukannya dengan baik. “Sediakan setiap hidangan dengan senyuman,” sarannya. “Katakan kalau Anda berharap ia menikmati makanannya dan menanyakan apakah ada sesuatu yang ia butuhkan lagi. Jadilah orang yang rendah hati dan baik, jadi tidak akan ada seorang pun yang curiga kepadamu.” Pengantin wanita itu setuju, dan ia membawa pulang racun tersebut ke rumah. Malam itu juga, ia mulai menaruh racun di makanan ibu mertuanya, dan dengan sopan menghidang makanan yang sudah ia racuni. Setelah beberapa hari mendapatkan perlakuan yang sopan, si ibu mertua mulai mengubah pandangannya tentang menantunya itu. Mungkin, ia tidak benar-benar sombong, pikir si ibu tersebut. Mungkin saya salah menilai dirinya. Dan sedikit demi sedikit, ia mulai memperlakukan menantunya dengan lebih baik, memuji masakannya dan bagaimana ia melakukan pekerjaan rumah tangga, dan bahkan mulai berbagi gosip dan cerita-cerita lucu. Ketika sikap dan perilaku wanita tua tersebut berubah, tentu saja demikian juga sikap dan perilaku si pengantin muda ini. Setelah beberapa hari, ia mulai berpikir, Mungkin ibu mertua saya tidak sejahat yang saya kira. Ia bahkan terlihat cukup baik. Ini terus berlanjut selama beberapa bulan, hingga kedua wanita ini akhirnya mulai menjadi teman baik. Mereka mulai cocok sehingga si gadis akhirnya berhenti meracuni makanan ibu mertuanya. Ia mulai merasa khawatir karena ia sadar ia telah menaruh banyak sekali racun dalam semua makanan ibu mertuanya sehingga ia pasti akan mati. Jadi, ia kembali menemui tabib yang memberikannya racun tersebut dan memberitahukannya, “Saya melakukan kesalahan. Ibu mertua saya sebenarnya adalah orang yang sangat baik. Saya seharusnya tidak meracuninya. Tolong saya dan berikan obat penawar racun yang saya berikan kepadanya.”
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
Tabib tersebut duduk dengan tenang selama beberapa saat setelah mendengarkan si gadis. “Saya minta maaf,” katanya. “Saya tidak bisa menolong Anda. Racun tersebut tidak ada obat penawarnya.” Setelah mendengar jawaban tersebut, gadis itu makin kecewa dan mulai menangis, bersumpah kalau ia akan bunuh diri. “Mengapa Anda mau bunuh diri?’ tanya si tabib. Gadis itu menjawab, “Karena saya telah meracuni orang yang begitu baik dan sekarang ia akan mati. Jadi, saya akan menghukum diri saya atas kekejaman yang telah saya lakukan.” Tabib itu kembali duduk dengan tenang selama beberapa saat, kemudian ia mulai tertawa geli. “Bagaimana Anda bisa tertawa setelah mengetahui semua ini?’ gadis tersebut sewot. “Karena kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa,” jawabnya. “Tidak ada obat penawar karena saya memang tidak pernah memberikan racun kepada kamu. Semuanya hanyalah ramuan dari tumbuh-tumbuhan yang tidak berbahaya. “ Saya suka cerita ini karena ini adalah sebuah contoh yang sangat sederhana tentang bagaimana sebuah transformasi alami karena pengalaman dapat terjadi. Dulu, si pengantin wanita dan ibu mertua saling membenci. Masing-masing mempunyai pikiran yang buruk tentang masing-masing. Ketika mereka mulai memperlakukan satu sama lain secara berbeda, mereka mulai saling melihat dengan cahaya yang berbeda. Masingmasing saling melihat bahwa pada dasarnya mereka adalah orang baik, dan akhirnya mereka menjadi teman baik. Sebagai manusia, mereka tidak berubah sama sekali. Satusatunya hal yang berubah adalah sudut pandang mereka. Hal yang menyenangkan dari kisah-kisah seperti ini adalah mereka membuat Anda melihat bahwa kesan pertama kita kepada orang lain bisa saja salah. Tidak ada alasan untuk merasa bersalah karena hal itu. Ini hanyalah hasil dari ketidak-tahuan. Dan, untungnya, Buddha mengajarkan metode meditasi yang bukan hanya menyediakan kesempatan untuk mengubah kesalahan, tetapi mencegah kita untuk melakukannya lagi di masa yang akan datang. Praktik ini dalam bahasa Indonesia disebut “menempatkan diri Anda sebagai orang lain,” yang dalam pengertian sederhana maksudnya membayangkan diri Anda berada di posisi seseorang atau keadaan yang sangat tidak Anda sukai (Rinpoche , 2007: 182-184).
C. Memaafkan Sebagai Tuntutan Iman Karena kebencian dilawan dengan kebencian, pertikaian dan peperangan menjadi bagian dari kehidupan manusia. ”Kebencian tidak akan pernah berakhir bila dibalas dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah hukum yang abadi.” (Dhammapada 5). Pada orang yang menyimpan prasangka dalam pikirannya: –ia menghina aku, ia memukul aku, ia mengalahkan aku, ia merampas milikku– kebencian tidak akan reda. Bilamana ia tidak menyimpan pikiran seperti itu, kebencian akan berakhir (Dhammapada 3-5). Dalam ungkapan Romawi dikenal si vis pacem para bellum, artinya untuk mencapai perdamaian bersiaplah perang. Perang adalah cara, damai itu tujuan. Padahal perdamaian sejati memerlukan cara yang damai. Damai seharusnya bukan hanya tujuan, melainkan sekaligus juga cara. Hanya, seperti yang dikatakan oleh Jenderal Omar N-Bradley yang memimpin Gabungan Kepala Staf
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di tahun 1948, ”Kita lebih tahu tentang perang daripada tentang perdamaian, lebih tahu tentang membunuh daripada tentang kehidupan.” Ketika Anusapati membunuh Ken Arok, ayah tirinya, semua orang berpikir itulah kewajiban seorang anak untuk membalas dendam. Bukankah ayah kandungnya, Tunggul Ametung, dibunuh oleh Ken Arok? Selanjutnya Tohjaya, anak Ken Arok, membalas dendam atas pembunuhan ayahnya. Menyusul kemudian giliran Rangga Wuni, anak Anusapati, berganti membalas dendam pula. Secara keliru, seringkali hukum karma disamakan dengan hukum pembalasan, sehingga balas dendam mendapatkan pembenaran. Namun orang yang beriman akan mengalahkan kemarahan dan kebencian dengan cinta kasih, mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Dhp. 223). Kegelapan dilenyapkan dengan cahaya penerangan. Yesus berkata, ”Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Matius 5:38-39) Suatu ketika seorang teman bertanya kepada Diogenes, ”Bagaimana menurutmu, haruskah aku membalas dendam pada musuhku?” ”Jadilah orang yang lebih berbudi luhur ketimbang mereka,” ia menjawab dengan tegas (Maurus, 2004: 259). Buddha, Yesus, juga Nabi Muhammad, tak luput dari kecaman dan fitnah orang-orang yang menentangnya. Ketika menghadapi serangan, hujatan atau apa pun namanya, acap kali orang akan terpancing membalas dengan cara yang serupa. Buddha menolak sikap semacam ini. Memaafkan adalah salah satu bentuk kemurahan hati, yang menyempurnakan seorang manusia. Kata-Nya, barang siapa dicaci, lalu membalas dengan mencaci pula, dia lebih buruk dari yang pertama memulainya (S. I, 163). Nabi Muhammad sering mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi, seperti dilempari kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, dan selalu memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk membalas, Nabi bersabda, ”Semoga Allah mengampuni mereka karena mereka tidak tahu.” Tentang pengampunan Nabi Muhammad menyatakan bahwa pemberian maaf hendaknya diberikan sebelum yang melakukan kesalahan itu meminta maaf. Yesus berkata agar mengampuni itu bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuhpuluh kali tujuh kali (Matius 18:22). Ketika Yesus ditangkap untuk diadili, salah seorang yang mendampingi-Nya menghunuskan pedang hingga telinga salah seorang yang menangkap-Nya putus. Yesus berkata, ”Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barang siapa menggunakan pedang, akan biansa oleh pedang.” (Mat. 26:52). Yesus sendiri memohon pengampunan bagi para pembunuh-Nya. Dia berdoa di atas salib, ”Ya Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk. 23:34). Jenderal Oglethorpe, pendiri Georgia, Amerika Serikat, berkata kepada John Wesley, seorang penginjil,
“Aku tidak pernah memaafkan,” Wesley menjawabnya, “kalau begitu aku berharap
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
semoga saja Anda tidak pernah berbuat dosa.” Maurus, 20024: 103). Memaafkan merupakan wujud kebesaran jiwa dan kematangan iman. Orang yang
beriman akan saling memaafkan atau
mengampuni satu sama lain. Karena percaya dan cinta pada Tuhan, ia menghadirkan dalam dirinya kasih Tuhan yang tak terbatas. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Kita semua pernah berbuat salah, sehingga membutuhkan maaf atau pengampunan. Kata Yesus, ”Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan, janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum. Ampunilah dan kamu akan diampuni.” (Luk. 6:37). Penganut Kristen dalam ”Doa Bapa Kami”, menyatakan ”. . . ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.” (Mat. 6:9-13). Dengan disemangati oleh pengampunan dari Tuhan, kita pun tergerak untuk mau mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Kesediaan kita untuk mengampuni merupakan suatu tanda syukur kita kepada Tuhan yang begitu baik. Injil menggambarkan bagaimana Allah mengampuni dalam perumpamaan ”Anak yang Hilang”. Asda seorang ayah mempunyai dua anak laki-laki. Yang bungsu meminta harta milik bagiannya, kemudian pergi jauh dan berfoya-foya memboroskan kekayaannya. Ia melarat dan menghadapi bencana kelaparan. Terpaksa ia bekerja sebagai penjaga babi, dan tidak ada yang memberinya makanan, bahkan ampas yang menjadi makanan babi sekalipun. Maka ia kembali kepada bapanya yang menyambutnya dengan cukacita, walau anak yang sulung merasa kurang suka (Luk. 15:11-32). Kisah serupa tentang kembalinya anak yang hilang, juga ditemukan dalam kanon Buddhis, Saddharmapundarika IV. Dalam versi ini tidak diceritakan adanya anak yang lain. Sang ayah yang mencari dan setelah si anak–yang sudah tidak mengenali ayahnya lagi– ditemukan, dibimbing hingga sukses. Kita percaya petunjuk memohon ampun atas kesalahan yang kita lakukan diwahyukan oleh Allah sendiri. ”Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa meraka – dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.’ (Al Imran 135). Semua dosa akan diampuni, sebesar apa pun dan seberat apa pun, kecuali orang berbuat syirik, mempersekutukan-Nya dengan yang lain (An-Nisa 48). Praktik syirik ditemukan pada pemujaan berhala, sesuatu yang didewakan, yang menjadi tujuan penyembahan karena dipercaya memiliki kekuatan dan menentukan nasib orang yang memujanya. Dewasa ini banyak orang yang tanpa disadari memberhalakan uang atau harta dan jabatan. ”Kerjakanlah kewajibanmu sesuai dengan aturan agama lalu berserah dirilah kepada-Ku, dan engkau tidak usah khawatir, akan Aku ampuni seluruh dosamu.” (Bhagavad Gita XVIII, 66). Dosa bagaikan setetes tinta hitam, tidak akan tampak lagi jika air putih kebajikan diperbanyak. Atau bagai segumpal garam dalam semangkuk kecil air, yang tidak bisa diminum untuk menghilangkan dahaga. Jika segumpal garam yang sama itu dimasukkan ke dalam Sungai Gangga, air sungai tidak akan menjadi asin dan dapat diminum (A. I, 249). Perumpamaan ini menjelaskan bahwa korelasi antara
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
karma berupa perbuatan dan akibat tidak bersifat determinastik. Karma bersifat kondisional, sehingga terdapat jalan untuk memengaruhi atau menekan akibat karma buruk dengan mengembangkan kemampuan dan kebiasaan baik lahir dan batin (dapat dikatakan sebagai penebusan dosa). Saat kita menderita, acapkali kita berpikir bahwa kita adalah korban dari orang lain, dan hanya kita saja yang menderita. Hal ini tidak benar – orang lain juga menderita. Semua orang mempunyai kesulitan dan kecemasan sendiri. Jika kita melihat penderitaan pada diri kita, kita dapat mulai memahami orang lain. Kita harus saling mengasihi. ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. ” (Korintus 13:4-7). Cinta kasih universal tidak bersifat diskriminatif. Cinta adalah belas kasih terhadap semua makhluk yang malang, yang menderita atau mengalami kesulitan. Cinta adalah simpati, ikut bersukacita atas kebahagiaan orang lain. Cinta juga memelihara ketenangseimbangan mengatasi konflik berlandaskan keadilan dan kebenaran. Dengan merealisasi cinta kita hidup dalam kediaman luhur (Brahma-vihara) atau rumah Tuhan (Wijaya-Mukti, 2003: 187-188).
BEGITU YA? Guru Zen Hakuin dipuja oleh masyarakat sekitarnya sebagai orang yang menjalani hidup suci. Seorang gadis Jepang yang rupawan yang orangtuanya punya toko makanan, tinggal tak jauh dari kediaman Hakuin. Tiba-tiba, tanpa terduga, orangtua gadis itu mengetahui putrinya ternyata sedang amil. Ini membuat mereka sangat marah. Gadis itu tidak mau mengatakan siapa ayah bayi yang dikandungnya, tetapi setelah dipaksa akhirnya ia menyebut nama Hakuin. Dengan sangat berang, orangtua gadis itu bergegas menemui Hakuin. ”Begitu ya?” hanya itu yang terucap dari mulut Hakuin. Setelah lahir, bayi itu dibawa ke Hakuin. Ia tidak memusingkan hancurnya reputasi yang ia alami saat itu, bahkan sebaliknya ia dengan sangat baik merawat bayi itu. Ia mendapat susu dari tetangganya dan mengupayakan segala kebutuhan si bayi. Setahun kemudian gadis itu merasa tidak tahan lagi. Ia akhirnya menceritakan hal yang sebenarnya kepada orangtuanya bahwa ayah bayi itu adalah seorang pria belia yang bekerja di pasar ikan. Ayah dan ibu gadis itu serta merta pergi menemui Hakuin untuk memohon ampun, dan akhirnya mengambil kembali bayi itu. Hakuin berkenan. Sembari menimang si bayi, ia hanya berkata, ”Begitu ya?” 101 Koan Zen (Reps, 2006: 6-7)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
Orang yang percaya pada kekuatan kebenaran dan kebajikan yang selalu dijalaninya, tidak memiliki kekhawatiran menghadapi fitnah. Kebanyakan orang berpendapat bahwa fitnah dan pencemaran nama baik sepantasnya tidak boleh dibiarkan. Demi mempertahankan nama baik acapkali terjadi pertumpahan darah. Namun main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan. Hukum negara ataupun adat mengancam mereka yang berbuat merugikan orang lain. Di pengadilan kebenaran diungkapkan dan keadilan ditegakkan, berdasar bukti dan saksi. Kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, orang yang memfitnah dan menista harus dikasihani. Belas kasih dan kebijaksanaan membuat orang yang berjiwa besar tidak merasa dirugikan, bahkan ia mendapat kesempatan untuk menambah timbunan kebajikannya.
D. Elemen Penting Dalam Memaafkan Teori konvensional mengemukakan bahwa cara yang paling baik untuk memerangi kejahatan adalah menghukum para penjahat dengan hukuman yang seberat-beratnya. Pemberantasan korupsi di RRC misalnya dipandang berhasil karena koruptor dijatuhi hukuman mati. Kwik Kian Gie menawarkan konsep pemberantasan korupsi yang sederhana: Carrot and Stick. Carrot adalah pendapatan netto mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai. Stick adalah kalau kesemuanya sudah dipenuhi dan masih berani korupsi, hukumannya tidak tanggung-tanggung. Masalahnya sekalipun sudah mendapatkan carrot-nya, korupsi masih merajalela. Stick-nya tidak diterapkan, karena apa pun dapat dibeli oleh mereka yang mempunyai kekayaan sedemikian besar, yang membuatnya menjadi kebal hukum. Agama yang merupakan sumber nilai-nilai moral memang tidak secara mutlak menempatkan hukuman sebagai pembalasan demi keadilan. Karena Tuhan Maha Pengampun, apa kita harus mengampuni seorang koruptor yang menyesali kesalahannya di tengah pengadilan? Jangan-jangan ada pula orang yang menafsirkan bahwa sukses seorang koruptor memang ditentukan oleh Tuhan. Kwik mengungkapkan banyaknya konglomerat jahat yang mendadak menjadi pemeluk agama yang pandai berkhotbah (Gie, 2003: No 307). Gambaran yang sama berlaku juga untuk bandar narkotika, teroris, penjudi dan penjahat kakap lain yang bisa mengubah penjara menjadi istana. Seorang penjahat, Anggulimala, telah membunuh sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang. Dia mengenakan kalung yang terbuat dari tulang-tulang jari para korbannya. Buddha menaklukkan pembunuh itu dan membuatnya sadar. Dia bertobat mengubah dirinya secara radikal, berlatih diri hingga berhasil mencapai tingkat kesucian tertinggi. Raja membebaskannya dari hukuman, bahkan menghormatinya. Namun Anggulimala masih harus menanggung pembalasan dari sejumlah kerabat para korbannya dahulu. Dia tidak menghindar, dengan tenang menghadapi penganiayaan mereka yang membuatnya luka parah.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 13
Kisah ini menunjukkan bahwa pengampunan tidak meniadakan semua tanggungjawab sepanjang masih dalam jangkauan proses sebab akibat. Orang yang memaafkan tidak menuntut, namun orang yang mendapatkan maaf atau pengampunan tetap harus memiliki kesediaan untuk bertanggungjawab. Dengan memaafkan bukan berarti mengingkari kesalahan pelaku yang telah terjadi, tetapi hanya membebaskannya dari tekanan penyesalan dan memberi kesempatan kepadanya untuk berubah. Menurut Jeffrey Lang, ketika membicarakan cinta Allah, Al Quran sebenarnya mengemukakan sebuah hubungan timbal-balik, yang dengan sukarela dijalin oleh Allah dan orang-orang yang beriman. Tuhan mencintai orang-orang yang berbuat baik, bertobat, menyucikan diri, bertakwa, sabar, tawakal, menegakkan keadilan dan berjuang di jalan-Nya. Sebaliknya, koruptor, penjahat, pendusta, pelanggar hukum, para tiran dan yang berbuat zalim, mengingkari hubungan ini. Tuhan memberikan kasih sayang, ampunan, dan kebaikan hati kepada orang yang sungguhsungguh bertobat. Kita dapat membandingkannya dengan sikap orang tua kepada anaknya yang bersalah. Kita tidak berbuat jahat karena kita dilarang melakukannya, dan juga karena kita secara pribadi pernah mengalami kerugian yang ditimbulkannya. Sebuah kesalahan yang kita perbuat mempunyai implikasi moral, dan merupakan dosa, yaitu kemalangan dan kerugian yang mestinya mendorong untuk bertobat. Dengan itu, kesalahan yang pernah kita lakukan akan berbalik jadi keberuntungan dan meningkatkan perkembangan kita dalam balutan nilai-nilai kebajikan (Lang. 2007: 126-127, 160-161) Semua orang yang merasa bersalah ingin dimaafkan. Pengampunan dari Tuhan tidak akan sampai kepada manusia apabila manusia sendiri tidak membuka hati menerimanya. Maksudnya, bertobat. Pertobatan menunjuk pada perubahan radikal dalam diri manusia, dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak. Berkat kesadaran, tahu telah berbuat salah, muncul penyesalan atas apa yang sudah dilakukan. Penyesalan diikuti kesediaan memohon maaf atau ampun, dengan mengakui kesalahan, dan siap mempertanggungjawabkan apa yang pernah diperbuat. Tentu disertai tekad yang kuat untuk memperbaiki dan tidak berbuat salah lagi. Penyesalan sendiri bukanlah pertobatan jika tidak diikuti perubahan menjadi baik. Bertobat juga berarti bangkit dari kejatuhan. Vince Lombardi mengatakan, ”Yang penting bukan apakah Anda terjatuh, melainkan apakah Anda bangkit kembali” Orang Jepang mengungkapkannya dalam sebuah syair yang dihubungkan dengan boneka Daruma. Boneka berbentuk bulat itu simbol dari Daruma yang sedang bermeditasi, memelihara kesadaran tak kunjung henti. Walau dirobohkan berulang kali, boneka Daruma selalu akan bangkit, tegak kembali.
Seperti inilah hidup – Tujuh kali jatuh Delapan kali bangun!
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 14
Dalam konteks hubungan antar-sesama, terhadap mereka yang membuat kita marah, kita seharusnya berterima-kasih. Mata tidak melihat mata sendiri. Kita justru seringkali membutuhkan bantuan orang lain untuk menemukan kekurangan atau kesalahan kita. Kita disadarkan untuk sabar, mawas diri dan melihat ke dalam diri sendiri, mengenali gerak-gerik perasaan dan pikiran kita. Kita berkesempatan mengubah kotoran batin menjadi pupuk yang menyuburkan benih-benih kasih. Menaruh prasangka dan menyalahkan orang lain atau dunia luar itu sia-sia. Kemarahan hanya akan membuat seseorang tidak bisa objektif mengenali apa yang benar atau salah. Yesus mengingatkan, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” (Matius 7:3-5). Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain, tetapi sulit melihat kesalahan sendiri. Tidak jarang orang yang menunjukkan kesalahan orang lain, menyembunyikan kesalahannya sendiri. Barangsiapa selalu memperhatikan dan mencari-cari kesalahan orang lain, kotoran batinnya akan bertambah sehingga sulit dimusnakan. (Dhammapada 252-253) Mawas diri akan membuat hidup bahagia, aman sentosa, jauh dari penderitaan, ancaman dan segala kejahatan. Bertanyalah selalu pada diri sendiri -tandanya sadar-, apakah yang saya lakukan saat ini dan sebelumnya, baik atau tidak. Hadis Nabi menyatakan bahwa jika hidup kamu hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka kamu benar telah merugi; jika hidup kamu hari ini sama dengan hari kemarin, berarti kamu tertipu. Yang baik adalah jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Baik untuk diri sendiri juga baik untuk orang lain.
Sebagai anggota masyarakat, kita pun melakukan introspeksi, misalnya kenapa kekerasan hadir di tengah kita juga di dalam rumah tangga. Apa benar anak bangsa sering mengamuk, sampai-sampai kata amuk diadopsi menjadi kosakata internasional (amok/Inggris). Kenapa terjadi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, krisis ekonomi, krisis hukum, krisis moral, krisis kebangsaan sampai berbagai bencana alam yang bertubi-tubi? Apa kita tidak ikut bersalah? Dalam konteks ini dikenal seruan untuk melakukan pertobatan nasional, apa artinya itu? Bagaimana merealisasinya?
Tidaklah pernah di zaman dahulu, sekarang atau yang akan datang, ditemukan orang yang selalu dicela atau selalu dipuji. Perbedaan pendapat harus dihargai. Tidak seorang pun –yang berbeda pendapat dengan kita– bisa menyakiti kita kecuali diri kita sendiri. Orang menderita bukan karena suara sumbang yang dilontarkan pihak lain, melainkan karena persepsi dan perasaannya sendiri yang bereaksi negatif. Barangsiapa telah berbuat sebaik-baiknya, menjaga dirinya dengan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 15
waspada, tidak akan khawatir dicela. Bahkan sebaliknya, ia berterima-kasih atas kritik yang disampaikan oleh orang lain. Sayangnya tidak banyak orang yang merespons kecaman dengan kepala dingin, sabar, menjaga simpati dan sedia mawas diri. Seringkali terjadi, orang yang bermaksud baik dan telah berbuat baik terkena kecaman karena orang lain yang salah menafsirkannya. Orang yang berjiwa besar tidak menjadi kecil hati bila dikecam karena mereka tidaklah mengharapkan pujian. Tidak pula menjadi kecewa bila jasanya tidak diakui, karena mereka tidak menuntut pengakuan. Kesediaaan memaafkan, begitu juga memohon maaf, tidak ditentukan oleh bagaimana sikap orang yang kita hadapi. Apa dia tahu diri atau tidak, senang atau tidak, atau malah menyalahgunakannya. Kita berbuat baik semata-mata karena kebaikan dan kesadaran, terdorong dari dalam hati kita sendiri. Bagaimana kita memberi maaf atau memohon maaf sudah menyangkut penghayatan iman, bahwa Tuhan Maha Pengampun dan Pemaaf. Memaafkan orang yang sudah sedemikian menyakiti hati kita memang tidak mudah. Dibutuhkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa agar bisa memaafkan dengan tulus. Kerendahan hati berarti tidak menganggap diri sendiri lebih tinggi dari manusia lain, dan menyadari bahwa setiap orang sama memiliki kekurangan atau bisa berbuat salah. Orang yang mau memohon maaf tentunya juga harus memiliki kerendahan hati. Orang yang rendah hati tahu diri, tidak egois, dan tidak malu mengakui kekurangannya. Ia mengendalikan dan menaklukkan diri sendiri, bukan orang lain. Ia berusaha melakukan sesuatu untuk orang lain, dan tidak merasa perlu memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu baginya. Ketimbang mempermasalahkan orang lain, ia memperhatikan apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh dirinya sendiri (Dhammapada 50). Biasanya seseorang tahu mengenai satu hal dan tidak tahu mengenai hal yang lain. Ada sesuatu yang kita ketahui tetapi terselubung bagi orang lain. Ada yang orang lain tahu, tetapi kita buta mengenai itu. Ada pula sesuatu yang sama gelapnya bagi kita atau pun bagi orang lain. Kita mesti belajar mendengar supaya orang lain mengungkapkan segala hal yang belum kita ketahui. Sebaliknya kita mesti menyampaikan dengan baik apa yang belum diketahui oleh orang lain, sepanjang bermanfaat.
MELIHAT SECARA BERBEDA Stephen R. Covey menceritakan pengalamannya di dalam kereta bawah tanah: Orang-orang sedang duduk dengan tenang – sebagian sedang membaca surat kabar, sebagian sedang melamun, sebagian lagi beristirahat dengan mata terpejam. Suasananya tenang dan damai. Lalu tiba-tiba, seorang pria dan anak-anaknya masuk ke dalam gerbong. Anak-anak tersebut begitu berisik dan ribut tak terkendali sehingga segera saja keseluruhan suasana berubah. Pria tersebut duduk di sebelah saya dan memejamkan matanya, agaknya tidak peduli akan situasi saat itu. Anak-anaknya berteriak-teriak, melemparkan benda-benda, bahkan CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 16
merenggut koran yang sedang dibaca. Sangat mengganggu. Namun, pria tersebut yang duduk di sebelah saya tidak berbuat apa-apa. Sulit untuk tidak merasa jengkel. Saya tidak dapat percaya ia dapat menjadi begitu tidak peka sehingga membiarkan anak-anaknya berlarian liar seperti itu dan tidak berbuat apaapa untuk mencegahnya, sama sekali tidak bertanggung jawab. Mudah sekali untuk meilhat bahwa semua orang lain di dalam gerbong juga merasa terganggu. Akhirnya, dengan apa yang saya rasa sebagai kesabaran dan pengekangan diri yang luar biasa, saya menoleh ke arahnya dan berkata, ”Tuan, anak-anak Anda benar-benar mengganggu banyak orang. Dapatkah Anda mengendalikan mereka sedikit?” Orang itu mengangkat tatapannya seolah baru tersadar akan situasinya untuk pertama kalinya dan berkata lunak, ”Oh, Anda benar. Saya kira saya harus berbuat sesuatu. Kami baru saja dari rumah sakit di mana ibu mereka meninggal satu jam yang lalu. Saya tidak tahu harus berpikir apa, dan saya kira mereka juga tidak tahu bagaimana menghadapinya.” Dapat Anda bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu? Paradigma saya berubah. Tiba-tiba saya melihat segalanya secara berbeda, dan karena saya melihat dengan cara berbeda, saya berpikir dengan cara berbeda, saya merasa dengan cara berbeda, saya berperilaku dengan cara berbeda. Kejengkelan saya hilang. Saya tidak perlu khawatir untuk mengendalikan sikap saya atau perilaku saya; hati saya dipenuhi dengan kedukaan yang dirasakan pria itu. Perasaan simpati dan kasihan mengalir dengan bebas (Covey, 1994: ...). Pemberian maaf harus berawal dari hati yang tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak menaruh dendam atau benci, tidak ada niat untuk melakukan pembalasan dengan cara apa pun. Kita menunjukkan sikap dan perilaku berbaikan, umpamanya: tidak menjauhi, mau bergaul dengannya, mau membantunya saat dibutuhkan. Kalau kita mau memberi kado kepadanya tentu kemarahan sudah reda. Sebuah hadiah tidak harus berupa barang, bisa saja tatapan penuh kasih dan senyum atau sapaan yang ramah. Untuk menjernihkan segala keraguan, baik di hati orang yang bersalah, maupun di hati orang yang memaafkan, diperlukan pernyataan dengan kata-kata yang manis.
E. Pahala dari Memaafkan Kondisi pikiran memiliki dampak tertentu terhadap tubuh. Tidak sedikit orang yang mengidap penyakit karena beban pikiran termasuk amarah dan dendam. Tentu saja mereka tidak bahagia, sering berkeluh-kesah, kalau tidak meratap tentu mengomel menyalahkan orang lain. Kita sering mendengar tentang pasien yang mungkin sudah putus asa karena cukup lama diobati tanpa kemajuan yang berarti, suatu ketika dokter pun takjub menemukannya tiba-tiba sembuh. Mukjizat itu terjadi begitu sikap batin si pasien berubah, ia menyadari kebodohannya menyimpan dendam, dan mengampuni orang yang membuatnya sakit hati. Tidak keliru kalau dikatakan maaf-memaafkan dapat memperpanjang umur seseorang. Maaf memaafkan akan memulihkan luka yang sempat terjadi. Beban dan masalah akibat konflik akan teratasi. Pihak yang memaafkan merasa lega, terbebas dari amarah, benci atau dendam;
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 17
sedangkan yang dimaafkan mendapatkan ketenangan, bebas dari tekanan atau ketakutan menjadi sasaran balas dendam. Kasih dan kebijaksanaan berkembang, membuat hidup menjadi bermakna. Semua pihak yang terlibat mendapatkan kedamaian, kerukunan dan kehangatan hubungan. Kerendahan hati dan mampu memaafkan memperlihatkan kebesaran jiwa, kematangan pribadi dan kedewasaan iman. Sikap dan tindakan ini bukanlah suatu tanda kekalahan, isyarat ketakutan atau ketidakmampuan berkompetisi, melainkan justru adalah sebuah tanda kemenangan atas kejahatan, sekaligus keunggulan hidup yang dimiliki seseorang.
BEBAN SEKANTUNG KENTANG Suatu ketika, seorang guru meminta murid-muridnya membawa satu kantung plastik bening ke sekolah. Ia meminta setiap anak untuk memasukkan sebuah kentang ke dalam kantung plastik itu untuk setiap orang yang tak mau mereka maafkan. Mereka diminta untuk menuliskan nama orang tersebut dan tanggal di dalamnya. Ada beberapa anak yang mendapati kantungnya ringan berisi beberapa butir kentang saja. Banyak juga yang mengisi kantung plastiknya hingga kelebihan beban. Mereka diminta untuk membawa kantung bening itu siang dan malam. Ke mana saja harus mereka bawa, selama satu minggu penuh. Kantung itu, harusn ada di sisi mereka kala tidur, diletakkan di meja saat belajar, dan ditenteng saat berjalan. Lama kelamaan kondisi kentang itu makin tak menentu. Banyak dari kentang itu yang membusuk dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Hampir semua anak mengeluhkan pekerjaan ini. Akhirnya, waktu satu minggu itu selesai, semua anak agaknya banyak yang memilih untuk membuangnya daripada menyimpannya terus-menerus. Tugas ini, setidaknya, memberikan hikmah spiritual yang besar sekali buat anak-anak. Suka duka saat membawa-bawa kantung yang berat, akan menjelaskan pada mereka, bahwa membawa beban itu sesungguhnya sangat tidak menyenangkan. Memaafkan, sebenarnya, adalah pekerjaan yang lebih mudah daripada membawa semua beban itu ke mana saja kita melangkah. Ini adalah sebuah perumpamaan yang baik tentang harga yang harus kita bayar untuk sebuah kepahitan yang kita simpan, dan dendam yang kita genggam terus-menerus. Getir, berat, dan merupakan aroma yang tak sedap, bisa jadi, itulah nilai yang akan kita dapatkan saat memendam amarah dan kebencian. Sering kita berpikir, memaafkan adalah hadiah bagi orang yang kita beri maaf. Namun, kita harus kembali belajar, bahwa pemberian itu adalah juga hadiah buat diri kita sendiri. Hadiah untuk sebuah kebebasan, yakni kekebasan dari rasa tertekan, rasa dendam, rasa amarah, dan kedegilan hati (Unknown)
Count Witte, perdana menteri Rusia (1905), meminta sekretarisnya untuk mengumpulkan nama jurnalis di surat kabar yang mengecamnya. Kemudian memilih penulis yang paling pedas mengkritik. Sekretarisnya berpikir, kalau daftar itu harus dikirim kepada jaksa penuntut umum. Tetapi Witte bermaksud lain. Ia ingin memilih mereka yang mengkritiknya untuk dijadikan juru bicara dan pembela. Mereka ditawarkan untuk menjadi editor korannya. Katanya, “Pengalaman mengajariku bahwa pembela yang paling baik adalah orang yang pernah menjadi musuhmu yang paling berbahaya.” Ia tidak merasa perlu untuk membungkam lawan dengan tuduhan mencemarkan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 18
nama baik, walau ia memiliki hak dan kesempatan memanfaatkan pasal-pasal hukum. Witte tentu mudah memaafkan lawannya, dengan itu seorang musuh dapat menjadi teman. Nelson Mandela menjalani hukuman penjara selama dua puluh lima tahun karena kegiatannya yang antiapartheid. Ia dibebaskan atas perintah Presiden Frederik Willem de Klerk yang mendapat tekanan dari seluruh dunia. Setelah memenangkan pemilihan umum, Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama. Tentu saja ia memiliki kesempatan untuk membalas dendam sebagaimana yang diinginkan teman-temannya. Tetapi ia justru memilih untuk memaafkan lawannya. Hasilnya adalah rekonsiliasi nasional yang mengakhiri pertikaian sehingga seluruh komponen bangsa bisa bersatu membangun negara. Bersama de Klerk yang kemudian menjadi deputi presiden, Mandela mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian (1993). Konflik dan pertikaian antar-individu, antar-kelompok hingga antar-negara mengutamakan kekuatan tanpa kasih sayang, yang tak lain dari kezaliman. Perang, apa pun alasannya, hanya membawa penderitaan dan dapat dikatakan menghadirkan neraka di bumi. Kalau semua pihak yang terlibat saling mengerti dan saling memaafkan, dampaknya tentu lain. Maaf memaafkan dan mengembangkan cinta kasih akan menghadirkan surga dalam kehidupan ini.
SURGA DAN NERAKA Suatu hari, Timur memanggil Nasruddin yang terkenal bijaksana. “Nasruddin,” Timur memulai, “Tadi malam saya tidak dapat tidur karena saya terus memikirkan apa yang dimaksud dengan surga dan neraka. Mungkin kamu bisa memberi saya penjelasan mengenai dunia setelah kehidupan ini?” Nasruddin melihat dengan serius ke mata Timur dan berkata, “Kamu tidak perlu tahu mengenai tempat ini. Dan siapakah kamu, apakah kamu menganggap diri hebat untuk mengetahui hal ini padahal kamu hanyalah seorang penakluk yang kejam?” Seketika Timur diliputi oleh kemarahan dan ia pun mengambil pedangnya hendak menusukkan pedang itu ke Nasruddhin. “Nah, lihatlah,” jawab Nasruddin sambil memandang tajam mata Timur, “Inilah neraka!” Timur dengan cepat memahami situasi dirinya yang sedang emosi ini dan menjadi terkesan dengan apa yang baru saja dikatakan Nasruddin. Timur pun mulai tersenyum dan berkata, “Kamu dimaafkan karena memberi saya sebuah pelajaran. Saya akan memberimu hadiah . . . dan sekarang duduklah di samping saya, Nasruddin.” ”Dan inilah yang dimaksud surga, Yang Mulia.” Jawab Nasruddin. Surga dan neraka ada di dalam diri setiap manusia. Bila manusia sedang marah dan emosi, itu mencerminkan neraka. Dan bila manusia sedang berbaik hati, itu mencerminkan surga. (Mullah Nasruddin, 2010: 107)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 19
Semua orang memilih surga. Di surga kita bahagia. Kenapa kita mesti menunggu setelah ajal untuk menjadi bahagia? Manusia bisa menghadirkan surga di bumi ini. Atau sebaliknya menciptakan neraka. Damai untuk dunia harus dimulai dari damai di dalam hati kita. Hati yang bersih dari kebencian dan niat jahat. Dan sebelum orang bisa menjadi damai, dia harus menghentikan cara hidup yang mementingkan diri sendiri, serta maaf memaafkan.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 20
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik VII SETIA PADA KEBENARAN A. Manusia Mencari Kebenaran Kebenaran adalah sesuatu yang benar, cocok dengan kenyataan, terbukti tanpa bias atau dusta. Kebenaran sebagai pengetahuan dapat diuji, dan rasional. Dalam dunia sains, secara empiris siapa saja yang melakukan pengamatan dan percobaan yang serupa dapat membuktikan kebenaran dengan mendapatkan hasil penemuan yang persis sama. Kebenaran dalam kehidupan kita seharihari adalah sesuatu yang kita yakini benar, secara moral tidak menyimpang dari nilai-nilai luhur dan secara hukum disepakati oleh orang banyak. Kebenaran spiritual dan religius tidak harus bersandar pada rasio, bisa intuitif. Ada jarak antara kebenaran sains dan agama. Sains tidak memasuki ranah batin, tidak berurusan dengan kesadaran, kesucian, moral, dan cinta kasih. Terdapat perbedaaan motif, metode dan tujuan. Dalam banyak hal, sains modern bertentangan dengan agama tertentu yang telah mapan. Sains menolak keyakinan yang menjadi kebenaran utama dalam agama, baik yang berupa tulisan harfiah (misal penciptaan manusia pertama) maupun yang mistis, hanya karena tidak ada bukti empiris. Jika relasi sains-agama hanya konflik, kita harus memilih – menolak agama sama sekali, atau menerimanya meski dengan banyak catatan. Namun Ian Barbour melihat adanya tipe relasi yang lain, yaitu independensi, dialog, dan integrasi. Menurut Fritjov Capra, sains dan mistisisme Timur tidaklah bertentangan satu sama lain. Keduanya merupakan manifestasi pikiran manusia yang saling melengkapi, yaitu yang rasional dan yang intuitif. Katanya, sains tak butuh mistisisme, dan mistisisme tak butuh sains. Akan tetapi, manusia membutuhkan keduanya ( Prawacana, 2009: xii, xix, lvi). Tentu ada alasannya kalau orang seperti Albert Einstein mengatakan bahwa sains tanpa agama lumpuh dan agama tanpa sains buta. Pengetahuan modern dapat menyumbang banyak untuk mendukung kebenaran dan kehidupan spiritual. Kita jangan menjadi orang-orang buta yang meraba gajah dan membayangkan gajah berbeda-beda, lalu saling berdebat mempertahankan kebenaran sendiri. Dengan mulai dari mengetahui adanya kuman, kita dapat berusaha menghindari wabah penyakit. Dengan memahami setiap saat terdapat sel-sel dalam tubuh kita yang mati, kita belajar menghadapi perubahan dan bahkan kematian secara damai. Pengetahuan mengenai pembuahan dan kromosom akan membuat orang menghargai perempuan sama dengan laki-laki. Dengan menyadari apa artinya perbedaan warna kulit, kita tidak melakukan diskriminasi. Tahu bahwa tubuh kita juga terbentuk dari berbagai unsur jagat raya, kita mengerti kenapa harus melindungi tanah, air dan udara.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
Agama dan sains tidak harus berjalan sendiri-sendiri. Pengakuan bahwa bahasa sains dan bahasa agama tidak bisa dicampuradukkan, tidak mengabaikan titik singgung antara keduanya. Makna seharusnya mengatasi kata-kata harfiah. Pemahaman baru mengenai kosmologi jagat raya ataupun dunia mikro sub-atomik telah memengaruhi cara pandang ilmuwan menyangkut relasi agama dan sains. Danah Zohar dalam The Quantum Self (1992) memperkenalkan kecenderungan kosmologi baru dan memperluasnya kepada konsep-konsep kesadaran dan religiositas. Sains dan teknologi dipandang tidak mampu membuat manusia menjadi lebih baik atau bermoral. Kaitannya dengan egoisme dan keserakahan, potensial merendahkan martabat manusia bahkan menghancurkan. Misalnya pengetahuan mengenai energi atom menghasilkan bom atom, seperti yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki (1945) yang telah mengambil nyawa beratus ribu orang, menyebabkan korban yang masih hidup menderita sepanjang sisa umurnya dan bahaya radiasi yang ditimbulkannya masih tetap tinggal di sana. Di pihak lain, pengetahuan energi atom juga merupakan rahmat bagi dunia kedokteran. Sains dan teknologi semata-mata adalah cara, bukan tujuan; dan ajaran agama, khususnya spiritualitas yang harus menjawab apa tujuannya. Agama sendiri juga adalah alat untuk mencapai tujuan (Wijaya-Mukti, 2003: 295-302) Kita mesti memiliki semangat mencari kebenaran. Sebagaimana digambarkan dalam kisah Nasrudin mencari kuncinya yang hilang. Seorang sahabat melihat Nasrudin jongkok dan merangkak di bawah lentera di luar rumah. Ia bertanya, ”Apa yang kaulakukan Mullah?” ”Aku sedang mencari kunciku.” Maka sahabatnya itu ikut merangkak, dan mereka berdua mencari sampai lama di tempat kotor di bawah lentera. Karena tak menemukan apa-apa, sahabatnya itu bertanya, ”Di mana persisnya Mullah kehilangan kunci itu?” Nasrudin menjawab, ”Di dalam rumah”. ”Astaga! Lantas kenapa Anda mencarinya di sini?” ”Karena di sini lebih terang.” Semangat mencari tidaklah cukup. Yang penting adalah kesediaan tak habis-habisnya mau mengakui mungkin ada kesalahan (Mello, 1987: 92). Kebenaran jelas bukan pembenaran. Ketika sulit menemukan kebenaran di tengah kegelapan, seringkali orang menghibur dirinya dengan pembenaran, seolah-olah apa yang dicarinya ada di tempat lain. Bagaimanapun kebenaran bukan dogma, bukan sistem kepercayaan, bukan opini. Pengakuan terhadap kebenaran tidaklah atas dasar perintah atau keputusan suara mayoritas. Kita tidak bisa memaksakan kebenaran kita atau gagasangagasan kita kepada orang lain –karena mereka memiliki kebebasan–
sampai mereka
mempertimbangkan dan membuktikannya sendiri benar.
B. Sumber Kebenaran Spiritual Kita bisa belajar dari berbagai sumber dan dari pengalaman sendiri. Pengetahuan kita ada yang diperoleh karena diberitahukan atau diajarkan oleh orang lain, ada yang diperoleh karena kita
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
menyaksikannya. Ada pula yang benar-benar kita pahami karena kita mengalaminya sendiri. Kebenaran dapat dikatakan bertingkat-tingkat. Belajar tidak hanya untuk mengetahui atau mengingat, tetapi juga untuk memiliki keterampilan dan melaksanakannya. Dengan itu kita mencapai sebuah kemampuan, yang secara spiritual disebut penembusan realitas atau pencerahan. Bayangkan bagaimana kita mengetahui kebenaran tentang sejenis makanan yang merupakan menu baru di sebuah restoran. Seorang pramusaji menjelaskan bentuknya, bahannya, proses pembuatannya dan rasanya. Kita menjadi tahu seperti apa makanan baru itu. Kita percaya makanan itu enak, lalu memesannya. Sambil menunggu, kita melihat ada orang lain yang sudah lebih dahulu memesan makanan yang sama dan kini dia sedang menikmatinya. Sekarang kita tahu, makanan itu seperti yang kita lihat, bukan sekadar gambaran yang terbayang sebelumnya. Kelihatannya orang yang menyantap makanan itu sangat puas, sehingga kita berpikir, benar makanan itu enak. Sampai setelah makanan yang kita pesan muncul di meja kita, dan kita mencicipi sendiri, barulah kita tahu yang sesungguhnya. Betul makanan itu enak, atau mungkin saja sebaliknya, kita tidak menyukainya. Itulah kebenaran yang kita alami, kebenaran kita yang sesungguhnya. Lewat agama kita mengenal kebenaran yang paling utama, yaitu Kebenaran Tuhan. Kebenaran Tuhan berasal dari Tuhan sendiri. Sebagian agama menyatakan bahwa Tuhan memperkenalkan diri melalui wahyu. Agama tidak hanya satu, dan masing-masing mengunggulkan wahyu agamanya sendiri yang benar sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Klaim sebagai agama yang benar, menolak kebenaran lain dari yang dimilikinya. Sejarah mencatat perjumpaan agama-agama pernah menimbulkan perang antar-agama. Sebagian lain menganggap Tuhan mewahyukan diri kepada manusia di zaman sebelum adanya agama-agama, dan manusia menurunkan pengetahuannya kepada turunannya, sehingga terdapat pula kebenaran dari Tuhan pada agama-agama etnis, atau kepercayaan leluhur. Tradisi kuno ini pada umumnya bersifat lokal dan masih banyak yang bertahan sekalipun terdesak oleh agama-agama besar. Sedangkan rasionalisme memandang kebenaran juga berasal dari Tuhan yang bersemayam dalam diri manusia, sehingga akal budi merupakan salah satu sumber kebenaran (Wijaya-Mukti, 2003: 40).
KEBENARAN AGAMA-AGAMA Di sebuah warung kopi, dua orang petani berdebat tentang kebenaran agama mereka masing-masing. Perdebatan itu didengar oleh seorang petani lainnya. Beberapa saat kemudian petani lain itu berseru dengan suara nyaring, ”Saudara-saudara, selama lebih dari empat puluh tahun aku sudah benyak kali membawa padiku ke penggilingan ini. Sekarang, sudah terbentang dua jalan untuk tiba di penggilingan ini. Tetapi, Sahabatsahabatku yang terkasih, tidak pernah sekalipun juga pemilik penggilingan ini bertanya kepadaku jalan mana yang kupakai. Ia hanya bertanya, ’Apa padimu baik?’” Brian Cavanaugh (Mihalic, 1997: 4).
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
Pewahyuan Tuhan selain telah berlangsung, dapat dikatakan juga masih sedang dan akan terus berlangsung. Pewahyuan Tuhan terbuka kepada manusia di segala zaman. Alam semesta bisa menjadi penampakan kebenaran Tuhan. Peristiwa yang dihadapi seseorang memberi petunjuk atau kesempatan di mana manusia dapat menangkap kebenaran Tuhan, sekurang-kurangnya bagi dirinya sendiri. Dan lubuk hati manusia dapat menjadi tempat berlangsungnya pewahyuan Tuhan (Gea, 2004: 289). Tentu saja hanya orang-orang yang sadar dan penuh perhatian yang tidak mengabaikannya. Kebenaran Tuhan mutlak dan menyeluruh, tak terhingga luas dan dalamnya. Semua kebenaran lain yang sifatnya parsial dan relatif, mengambil bagian dalam kebenaran Tuhan. Bahwa kebenaran Tuhan itu ditangkap dan dimengerti secara terbatas dan berbeda-beda oleh manusia, bukan karena kebenaran Tuhan itu banyak dan tidak pasti, melainkan karena keterbatasan kemampuan manusia untuk menjangkaunya, apalagi menguasai seluruhnya (Gea, 2004: 287-288). Setiap agama mempunyai dasar teologis atau ajarannya sendiri untuk menyatakan kebenaran dirinya. Pencaharian kebenaran selalu dilakukan melalui pemahaman dan penafsiran tentang makna ajaran seperti yang dinyatakan dalam kitab suci. Agama-agama yang menerima wahyu sebagai kebenaran mutlak, dihadapkan pada persoalan kebenaran itu tidak hanya satu karena yang disampaikan oleh sejumlah agama beragam (Schuon, 1996: xv). Kebenaran Tuhan disampaikan dalam bentuk lisan. Kitab suci baru ditulis dan dikompilasi dengan melibatkan banyak orang belakangan. Tidak ada pendiri agama besar yang menuliskan sendiri ajaran atau wahyu yang diterimanya. Al Qur’an dalam bahasa Arab memuat wahyu Tuhan yang turun berangsur-angsur selama kurun waktu hampir 23 tahun, hanya memberi ajaran secara garis besar. Hadis Nabi yang memberi penjelasan melengkapinya. Alkitab terbagi atas dua bagian, Perjanjian Lama yang mengungkapkan berbagai kejadian sejak terciptanya bumi dan Perjanjian Baru menyangkut Yesus Kristus. Kitab ini merupakan sekumpulan karangan yang dihasilkan dalam kurun waktu beberapa ratus tahun. Para penulisnya dipercaya bekerja di bawah ilham dan bimbingan Roh Kudus. Weda dalam bahasa Sanskerta terdiri dari Reg Weda, Sama Weda, Yayur Weda dan Atharwa Weda, masing-masing memuat mantra dan ajaran yang dihimpun oleh Resi yang berbeda. Weda yang berisi wahyu disebut Sruti, dan dalam bentuk tafsir disebut Smerti. Tripitaka terdiri dari tiga keranjang kitab, yaitu Winaya-pitaka memuat tuntunan disiplin dan peraturan, Sutta-pitaka memuat khotbah Buddha selama 45 tahun, dan Abhidhamma-pitaka memuat analisis batin dan filosofi. Kitabkitab ini versi Pali ataupun Sanskerta dihimpun dan ditulis beberapa ratus tahun kemudian. Teks ditulis berdasar daya ingat atas peristiwa yang telah berlangsung jauh sebelumnya. Kita sulit memastikan sepenuhnya apakah para penulis naskah suci telah mendengarkan dan mengerti ajaran dengan sempurna serta merekamnya dengan lengkap seluruhnya, untuk kemudian disampaikan kepada pendengarnya tanpa salah sedikitpun. Terdapat ajaran dan pemahaman yang berbeda-beda pada semua naskah. Sedangkan untuk teks yang sama bisa ditafsirkan bermacammacam (Gea, 2004: 289).
Bagaimanapun Kitab Suci bukanlah karya ilmiah. Juga bukan buku
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
sejarah, sehingga bisa saja dipertanyakan kronologi dan acuan historisnya. Ada ayat yang mengemukakan fakta, ada yang berupa tamsil, sekalipun keduanya mengandung petunjuk tentang kebenaran sesuai dengan konteksnya (Lang, 2007: 60). Kita tidak mempertanyakan sebuah ayat berdasar pemikiran rasional, tetapi memang ada beberapa ayat yang terasa bertentangan dengan akal. Jeffrey Lang misalnya, seorang Muslim, mengatakan masalahnya terletak pada penafsiran atau penerjemahan. Penting untuk bersikap objektif, tidak dipengaruhi oleh sentimen pribadi. Akal bisa menerima maksud ayat yang mencegah timbulnya perbuatan-perbuatan jahat. Begitu pula sikapnya menghadapi pertentangan ayat yang satu dengan ayat lain atau dengan fakta-fakta yang telah diakui kebenarannya. Menurutnya, Al Qur’an berkali-kali menganjurkan para pembacanya supaya tidak memahaminya secara harfiah saja (Lang, 2007: 68). Akal dan iman adalah satu kubu.
Jeffrey Lang mengangkat pertanyaan dari Al Qur’an,
“Tidakkah kamu berpikir?” Allah menurunkan tanda-tanda, pelajaran-pelajaran, dan ketentuanketentuan, “agar kamu memahaminya”. Al Quran menguji pembacanya dengan pertanyaan, “Terangkanlah kepadaku . . .?” “Apakah kamu memperhatikan . . .?” “Apakah kamu mengira . . .?” Pesannya cukup jelas untuk mempunyai iman yang sebenar-benarnya, kita harus membebaskan diri dari tradisi dan memeriksa kepercayaan-kepercayaan kita secara rasional. Akal dan iman adalah satu kubu. Orang-orang yang paling beruntung adalah “mereka yang berakal”, “orang-orang yang mendalam ilmunya”, “mereka yang berpikir”, dan “mereka yang mengakui bukti-bukti yang terang” (Lang, 2007: 97-98). Agama bersifat universal, tepatnya pada tingkatan tekstual. Pada tingkatan operasional, ajaran-ajaran dari teks suci harus diinterpretasikan dan dipahami oleh pemeluknya untuk kemudian dijadikan pedoman hidup di lingkungannya. Dengan kata lain dijadikan kebudayaan atau unsur yang tidak terpisahkan dari kebudayaan, mengingat acuan menginterpretasi teks suci adalah kebudayaan dari pemeluknya. Ketika agama dipraktikkan, coraknya berubah menjadi lokal, sesuai dengan kebudayaan setempat (Suparlan, 1999: ...).
Pewarisan ajaran agama terjadi secara estafet. Setelah pendiri agama atau utusan Tuhan tidak lagi berada di tengah-tengah umatnya, pasti petunjuk-petunjuk yang dibawanya dapat mengalami perubahan interpretasi. Apabila penganutnya menyepakati suatu interpretasi tunggal, interpretasi tersebut menjadi absolut di kalangan mereka, sebaliknya jika mengandung berbagai kemungkinan makna, maka ia menjadi relatif. Kesepakatan interpretasi tunggal dapat ditolak oleh kelompok lain, sehingga pandangan tersebut absolut bagi kelompok yang satu, tetapi tidak untuk yang lain. Absolusitas dapat bertingkat-tingkat. (Shihab, 1991: 42-43) Di mana sebenarnya unsur kemutlakan yang hakiki? Yang Mutlak hanyalah satu, Allah sendiri. Agama terdiri dari unsur Ilahi dan unsur-unsur manusiawi. Wahyu tidak pernah dapat dikoreksi,
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
tetapi iman orang-orang beragama, ibadat mereka, paham mereka tentang ajaran dan hukum agama selalu akan mencerminkan selain wahyu Ilahi juga paham-paham, prasangka-prasangka, keterbatasan-keterbatasan kultural dan kognitif manusia yang menampung wahyu itu dalam iman mereka. Agar agama menemukan kembali relevansinya di zaman yang baru, ia perlu direaktualisasikan. Reaktualisasi itu menuntut antara lain kesediaan untuk mengakui relativitas ekspresi-ekspresi dan interpretasi-interpretasi agama tradisional (Von Magnis, 1987: 50-52). Dewasa ini globalisasi membuat dunia kehilangan batas-batas budaya, rasial, bahasa dan geografis. Setiap orang menjadi tetangga dekat dari penganut agama lain. Masalah yang timbul dari kemajemukan agama seringkali tumpang tindih dengan berbagai kepentingan dan primordialisme. Kontak budaya, difusi teknologi dan informasi dan temuan baru membawa perubahan, dan bagaimanapun perubahan tidak terhalangi. Ketika orang terpukul menghadapi perubahan, khususnya akibat modernisasi dan materialisme, kebutuhan akan kepercayaan spiritual semakin hebat. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengungkapkan pengamatannya mengenai timbulnya kecenderungan
”Spiritualitas,
ya.
Agama
terorganisasi,
tidak.”
Muncul
dua
ekstrem:
fundamentalisme dan pengalaman spiritual pribadi (Naisbitt, 1990: 258-260). Objektivitas diperlukan tidak hanya menyangkut bukti dan fakta yang dianggap sebagai kebenaran, namun juga dalam sikap dari orang yang mencarinya. Yang menjadi masalah, bagaimana manusia bisa melihat sesuatu sebagaimana adanya, sementara ia terperangkap oleh prasangka subjektif, perasaan suka dan tidak suka, terikat oleh nafsu, kebencian, kegelapan batin atau ketakutan? Pengetahuan mempunyai peranan dalam perkembangan spiritual manusia, namun kesadaran spiritual jauh melampaui pengetahuan. Kita tidak boleh hanya terpaku pada kebenaran teks sebagai yang tidak boleh diganggu gugat, sementara hal itu gagal menjadikan kebenaran dalam kehidupan kita sendiri (Mello, 1995: 291).
C. Dimensi Universal Kebenaran Kebenaran bersifat universal jika berlaku untuk semua orang, di mana saja, bahkan kapan saja. Kita mengenal kebenaran Tuhan yang bersifat Mutlak, transenden ataupun imanen, kekal tidak berubah-ubah di zaman apa saja. Tetapi segala sesuatu yang tercipta selalu berubah. Yang terlahir pasti akan mati. Apa yang dinamakan kelangsungan dan kesinambungan sesungguhnya tidak lain dari serangkaian perubahan yang bergerak terus-menerus. Tingkat dan kecepatannya dalam ukuran waktu saja yang membedakan. Tidak ada suatu keadaan yang sama pada waktu yang berbeda. Maka perubahan itu merupakan kebenaran. Perubahan merupakan hukum yang abadi. Kita berpikir dan merasa diri kita hari ini adalah kita yang kemarin. Aku adalah sebuah entitas tunggal yang tidak berubah sejak lahir, masuk TK, lalu lulus SMA, dan sekarang mahasiswa. Padahal fisik kita telah berubah sepanjang waktu. Perubahan terjadi hingga sel-sel tubuh. Perubahan adalah
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
ciri eksistensi yang hadir karena segala sesuatu bersyarat, bergantung pada kondisi. Sosok yang kita sebut ”aku” terdiri dari berbagai bagian. Setiap bagian tidak bekerja sendiri-sendiri, yang satu bergantung pada yang lain. Jiwa kita yang sekarang pun tidak sama dengan saat masih bayi, berubah sesuai dengan arus pengalaman. Pikiran atau kesadaran selalu berubah. Setiap saat pikiran timbul dan lenyap. Yang lenyap memberi kondisi kepada munculnya pikiran baru secara berkesinambungan, sehingga kita hanya melihat sebuah arus kesadaran. Seseorang tidak pernah bisa mandi di sungai yang sama untuk kedua kalinya, begitu Heraclitus menggambarkannya. Kata Buddha, ibarat sebuah sungai, mengalir dengan deras, tidak untuk sesaat, tiada jeda yang membuatnya tak bergerak (A. IV, 137). Seperti juga tema Kitab I Ching: Segala sesuatu selalu mengalir tanpa henti. Jika manusia berbuat seolah-olah tidak berubah, mempertahankan sikap yang lama dan tidak dapat mengikuti hal-hal baru yang dihadapinya, setiap bentuk perubahan akan menimbulkan penderitaan baginya. Kesadaran spiritual membuat kita bersahabat dengan setiap perubahan. Sebenarnya semua orang menyenangi perubahan. Banyak orang yang mengharapkan perubahan suasana, merindukan suasana yang baru. Tak seorang pun akan menolak perubahan kalau perubahan itu pasti mendatangkan kebaikan, keuntungan dan ketenteraman baginya. Orang tidak menyukai perubahan kalau perubahan itu berupa sesuatu hal yang tidak pasti, yang mungkin akan merugikan dan menimbulkan ancaman baginya. Maka menjadi penting, bagaimana mengantisipasi dan memanfaatkan suatu perubahan sebagai kesempatan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Secara spiritual kita bisa melihat dan menyadari sendiri bahwa segala fenomena tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan, saling memengaruhi, saling bergantung dengan yang lain. Dengan adanya ini, itu terjadi; dengan tidak adanya ini, itu pun tiada. Hukum sebab akibat atau kausalitas bukan hanya menjadi pijakan sains yang rasional, tetapi juga milik ranah spiritualitas. Seorang fisikawan, Fritjov Capra, menelaah hubungan dialogis spiritualitas agama dengan sains. Dalam The Web of Life, ia mengungkapkan kesadaran ekosistem yang mengikuti prinsip ekologi. Ada enam prinsip ekologis yang diharapkan dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran yang dibawa oleh peradaban industrial. Keenam prinsip itu adalah: (1) kesalingbergantungan (interdependency), (2) kedaurulangan (cyclicity), (3) kemitraan (partnership), (4) keluwesan (flexibility), (5) keanekaragaman (diversity) dan (6) keberlangsungan (sustainability). (Prawacana, 2009: lvii). Berhadapan dengan Kebenaran Mutlak, kita menyadari keterbatasan kita. Kemutlakan bukan milik kita. Sebagai konsekuensinya kita tidak berhak menjadi hakim atas keyakinan orang lain. Meskipun tidak dapat membenarkan kepercayaan dan praktik keagamaan lain, seseorang yang memahami relativitas agama tidak akan mengutuknya. Pengikut agama-agama yang berbeda dapat bersepakat untuk tidak sepakat dan belajar membangun sikap saling menghormati dan memahami.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
Distingsi kemutlakan dan kenisbian diperlukan untuk memahami persamaan dan perbedaan agama-agama (atau juga aliran agama). Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama: agama. Bila tidak ada perbedaan di antaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk: agama-agama. Agama yang berbeda-beda dapat dibandingkan dengan jenis-jenis warna dalam pelangi yang kelihatan lewat pembiasan manakala ada cahaya matahari jatuh di atas prisma pengalaman manusia (Panikkar, ...: 24-33). Warna cahaya berbeda, tetapi semuanya berasal dari satu sumber cahaya yang sama. Religiositas dan kesadaran spiritual akan kebenaran terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Merealisasi kebenaran berarti memiliki komitmen yang kuat pada martabat kemanusiaan, pemuliaan kemanusiaan dan keselamatan manusia. Komitmen ini juga ditemukan pada setiap agama yang mencita-citakan keselamatan bagi semua manusia. Karena itu seharusnya tidak ada tempat bagi usaha yang merugikan keselamatan orang lain. Berkembangnya spiritualitas dan perjumpaan agama-agama pun menjadi rahmat yang membuat kita bisa saling berbagi dan belajar. Misi kita bukan memaksakan kebenaran kita sendiri kepada orang lain, tetapi untuk hidup sesuai dengan kebenaran-kebenaran yang kita sadari, untuk memahami dan menyatakan harmoni batin itu dalam setiap bagian kehidupan kita. Kebenaran spiritual tidak terpisahkan dari kebijaksanaan, moralitas dan kesadaran yang membuat seseorang menaruh perhatian dan peduli menghidupkan kebenaran dalam hidupnya. Kebenaran-kebenaran ini tidak memerlukan label, tidak membedakan keyakinan agama, berlaku untuk orang baik ataupun jahat. Schuon mencari titik temu agama-agama dengan menarik garis pemisah antara yang esoterik dan yang eksotrik. Kesatuan berbagai agama terjadi pada tingkat esoterik, tersembunyi dan bersifat misteri. Apa yang disebut esoterik sebenarnya tidak dirahasiakan. Orang yang mengetahuinya bukan tidak mau menjelaskan, melainkan karena kebenaran itu terbenam dalam timbunan unsur manusiawi, hal itu tidak bisa dijelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak, sehingga sepertinya tersembunyi (Schuon, 1996: x, xiii). Tidak ada yang disembunyikan dalam ajaran tentang kebenaran. Seperti rahasia resep panjang umur atau rahasia hidup bahagia, rahasia menjadi sukses dan kaya, rahasia kekuatan pikiran, dan lain-lain, disebut rahasia, padahal tidak dirahasiakan. Di mana-mana para pembicara dengan bebasnya mengungkap bermacam-macam rahasia tersebut di hadapan publik. Lain halnya rahasia jabatan dan rahasia negara, orang harus tutup mulut. Seharusnya rahasia negara dijaga demi kebaikan rakyat. Manakala rahasia negara disamakan dengan rahasia penguasa, kepentingan oknum mengalahkan kepentingan orang banyak. Penyalahgunaan kekuasaan mudah terjadi. Karena itu terdapat sejumlah peristiwa pelanggaran berat HAM yang agaknya dibiarkan sebagai sisi gelap sejarah. Kebenaran seharusnya merupakan satu kesatuan dengan kebaikan dan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
keindahan. Benar karena nyata ada dan diterima oleh akal budi. Baik karena berharga atau bernilai untuk dilakukan. Indah karena menarik hati, menyenangkan (Maurus, 2004: 138-141, 157).
D. Manusia Mampu Mengetahui Kebenaran Kita mengenal epistemologi, yang menyelidiki
asal, struktur, metode dan keabsahan
pengetahuan. Dengan kata lain mempelajari dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan manusia. Terdapat tiga aliran epistemologi dalam ilmu filsafat, yaitu: aliran rasionalis (Descartes, Spinoza, Leibniz), aliran empiris (Locke, Berkeley, Hume) dan aliran kritis (Immanuel Kant). Aliran rasionalis menyandarkan diri pada rasio sebagai sumber pengetahuan. Dalam metodologi, rasionalis menekankan jalan deduksi dan pembuktian pengetahuan. Aliran empiris beranggapan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah pengalaman. Metodologinya menekankan jalan induksi dan pengamatan. Sedangkan aliran kritis berupaya mendamaikan pendirian rasionalisme dan empirisme. Setiap klaim kebenaran bisa diperdebatkan karena tidak mustahil untuk berbeda tergantung pada siapa dan bagaimana memandangnya. Sampai pun kebenaran kitab suci agama berhadapan dengan tafsir yang sering menimbulkan perbedaan pendapat. Bukan hanya menyangkut sudut pandang dan metodologi, tetapi juga bisa jadi sarat dengan berbagai kepentingan. Untuk mencapai tujuannya, lewat pembenaran seseorang akan menempuh cara apa saja, yang baik maupun kotor. Ketika kebenaran ditentukan hanya berdasar otoritas yang menjaga kepentingan politik kekuasaan, hal-hal yang sekalipun benar, dapat dipandang salah. Sejarah mencatat bagaimana Giordano Bruno dan Galileo dan lain-lain dihukum karena menggoyang kepercayaan dan kebenaran yang dianut masyarakat di zaman itu. Kebenaran yang sesungguhnya baru disadari berabad-abad kemudian.
1.
Akal Budi Akal budi dapat dikatakan merupakan suatu manifestasi sifat Tuhan yang dimiliki manusia.
Dengan akal budinya manusia mampu belajar, mengetahui, membedakan dan memilih mana yang baik, mana yang buruk, walau tidak sesempurna Tuhan mengetahuinya.
Kekuatan akal budi
memungkinkan manusia maju, menciptakan dan mengembangkan peradaban serta membuat sejarah. Akal budi yang menghadirkan sains dan teknologi, membuat manusia mampu mengeksploitasi bumi dan lautan, terbang, menjelajah ruang angkasa bahkan hingga mendarat ke bulan. Seperti yang dikemukakan oleh Fritjov Capra, pikiran manusia dapat bekerja dalam dua macam modus kesadaran, yaitu rasional dan intuitif. Apa yang menjadi perhatian agama-agama Timur adalah pengalaman langsung atas realitas, yang melampaui pemikiran nalar, juga persepsi indrawi. Realitas yang dialami secara intuitif tidak akan pernah bisa menjadi objek penalaran atau pengetahuan yang dapat didemonstrasikan. Realitas ini tidak bisa dideskripsikan secara memadai
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
melalui kata-kata karena ada di luar wilayah indrawi dan nalar, yang justru dari wilayah inilah katakata dan konsep diturunkan. Upanishad menegaskan tentang ini: Ke sana mata tak sampai, Perkataan tak sampai, begitu juga pikiran, Kita tak tahu, kita tak paham Bagaimana orang akan mengajarkannya. Lao Tzu menyebut realitas ini Tao, dalam Tao Te Ching menyatakan: Tao yang terucap bukanlah Tao yang abadi (Prawacana, 2009: 19-20). Berbicara tentang Realitas Tertinggi, Kebenaran Mutlak, harus disadari bahwa Tuhan yang tanpa batas tak terjangkau oleh alam pikiran manusia biasa. Kalau Yang Absolut diberi nama, kata Lao Tzu, maka nama apa pun tak ada yang tepat. Demikian pula definisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bisa didefinisikan, maka ia tidak lagi absolut. Maka Ibn al-‘Arabi mengatakan, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Ia berpendapat bahwa Tuhan itu ada dua macam. Yang pertama, Tuhan yang diciptakan, bisa diketahui secara berbeda-beda pada masing-masing orang sesuai kapasitas intelektual dan pengalaman religious masing-masing. Yang kedua, Tuhan yang sebenarnya, yang tak satu gelintir orang pun betul-betul mengetahui-Nya, tidak terjangkau oleh nalar dan imajinasi manusia (Madjid, 1998: 85&99). Bukti adanya Tuhan dan kebenaran-Nya tidak tergantung pada argumen-argumen ilmiah. Seorang teolog abad kesebelas, Anselmus dari Canterbury merumuskan teologi sebagai “fides quaerens intellectum” – iman yang mencari pengertian atau iman berusaha untuk mengerti. Ia tidak berusaha mengerti supaya percaya, melainkan ia percaya supaya mengerti, “credo ut intelligam”. Bagaimanapun iman tidak mematikan akal, dan sebaliknya akal tidak meninggalkan iman.
2.
Kehendak bebas. Selain akal budi, keistimewaan manusia yang lain ditandai dengan kepemilikan kehendak
bebas. Dengan kemampuan yang satu ini manusia mampu menentukan dirinya sendiri dan apa yang mau diperbuatnya. Ini adalah kebebasan eksistensial yang ada pada manusia, dengannya manusia mampu memilih dari berbagai kemungkinan yang terbuka baginya. Dengan kebebasannya manusia mampu merealisasi apa yang dinginkannya, dan mampu merencanakan masa depannya ke arah yang lebih baik. Mewujudkan yang baik berarti sekaligus menolak yang buruk, memihak yang benar dan menentang yang jahat (Antonius, 2004: 299).
3.
Tanggungjawab Akal budi dan kehendak bebas terikat pada tanggungjawab. Tanggungjawab adalah suatu
konsekuensi dari bekerjanya akal budi dan kehendak bebas. Bertanggungjawab artinya tidak bisa menghindar dari akibat yang ditimbulkan oleh suatu sebab. Sesuai dengan benih yang telah ditabur,
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
begitulah buah yang akan kita peroleh darinya. Kita tidak hanya bertanggungjawab terhadap pihak di luar diri kita, orang lain dan Tuhan, tetapi juga terhadap nurani kita sendiri. Seseorang yang memiliki kesadaran spiritual tidak melulu tenggelam dalam dunia batiniah, namun justru dikenali oleh orang-orang di sekelilingnya dari perhatian dan tanggungjawabnya terhadap masalah duniawi. Ada dua sisi komplementer yang ditunjukkannya, yaitu kebijaksanaan intuitif dan pengetahuan praktis, atau meditatif dan tindakan sosial. Berdasar akal budi, kehendak bebas dan tanggungjawab, seorang pencari kebenaran akan berpikir rasional dan bersikap kritis. Kesangsian atau tidak lekas percaya, menjadi langkah pertama untuk mencari dan menemukan kebenaran. Verifikasi atas suatu laporan, berita atau kesaksian, dan menyelidiki kebenaran yang diwariskan lewat tradisi, bahkan juga yang tertulis dalam kitab-kitab suci menjadi sebuah kebutuhan. Ketika kita melihat, mendengar atau mengalami sesuatu, kemudian mengatakan inilah kebenaran yang kita tahu, kita melindungi kebenaran, sepanjang tidak sampai pada kesimpulan hanya ini saja yang benar, dan yang semua yang lainnya keliru (A. I, 189; M. II, 170171). Kekeliruan berpikir dan penalaran dapat terjadi pada siapa saja. Manusia bisa berbeda pendapat karena itu. Sumber pengetahuan dan pengertian tentang realitas pada umumnya adalah apa yang ditangkap oleh indra. Sedangkan persepsi indra memiliki keterbatasan dan bisa keliru. Dalam hal penglihatan misalnya, persepsi yang tidak tepat atas suatu objek dapat menghasilkan ilusi. Ilusi timbul karena kekeliruan pencerapan yang mengamati, kekeliruan pikiran yang mengenali, dan kekeliruan pandangan yang membentuk gagasan (Narada, 1979: 424). Persepsi indra dapat memberi pemahaman yang tidak tepat. Hal ini terutama disebabkan oleh cara yang telah mengondisikan manusia sedemikian rupa dalam menafsirkan apa yang dia lihat, dengar, rasakan dan sebagainya. Sumber-sumber kesesatan penalaran dapat ditemukan dalam cara berpikir deduktif dan induktif. Di dalam logika deduktif, kesesatan mudah terjadi menyangkut pemakaian bahasa. Misalnya, kesalahan semantik antara lain karena kata-kata yang bersifat homonim, dan kesalahan materiil antara lain karena penafsiran atau acuan yang tidak relevan. Di dalam hal induktif, kesalahan dapat terjadi karena prasangka, pengamatan yang tidak lengkap atau tidak teliti, generalisasi atau analogi yang keliru. Indra tidak berdiri sendiri, tetapi secara internal saja setidak-tidaknya berkaitan dengan aspek kesehatan dan aspek kejiwaan. Kepekaan perasaan, emosi, praduga dan imajinasi ikut mengaruhi, Embusan angin yang terasa nyaman bagi orang yang sehat, akan terasa lain bagi orang yang sakit (Suharto, 1994: 53).
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
E. Manifestasi Kesetiaan Pada Kebenaran Tahu tentang kebenaran saja tidak cukup. Kita harus menghidupkan kebenaran kita, menjadi nyata dalam aktivitas sehari-hari. Agar kita hidup benar, kita beriman, menaati hati nurani, dan menggunakan rasio. Tentu saja kita harus setia pada kebenaran. Dalam istilah umat beragama, memiliki komitmen terhadap Tuhan. Berusaha hidup benar berarti bersedia untuk selalu tunduk dan melaksanakan kebenaran, sekalipun kita harus menderita untuk itu. Ketika melakukan kesalahan, walau tidak disengaja, orang yang setia pada kebenaran, tidak mencoba untuk menyembunyikannya atau melakukan pembenaran, apalagi menimpakan kesalahan pada orang lain.
8 x 3 = 23 Yan Hui adalah murid kesayangan Kong Hu Cu yang pandai. Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat kerumunan orang banyak di sebuah toko kain. Dia mendekat dan mendengar perdebatan antara seorang pembeli dan dengan penjual kain. Pembeli berteriak: “3×8 = 23, kenapa kamu bilang 24?” Yan Hui menengahi, katanya, “Saudara, 3×8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi.” Si pembeli tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata: “Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat, tanyalah guru bijak Kong Hu Cu. Benar atau salah guru bijak yang berhak mengatakan.” Jawab Yan Hui, “Baik, jika guru bilang engkau salah, bagaimana?” Si pembeli kain menantangnya bertaruh, “Kalau guru bilang engkau yang benar, aku rela menggorok batang leherku, aku beri kepalaku untukmu. Kalau engkau yang salah, copot topimu, berikan jabatanmu untukku.” Keduanya sepakat, lalu pergi menemui Kong Hu Cu. Setelah sang guru bijak tahu duduk persoalannya, ia berkata sambil tertawa: “Ya 3×8 = 23. Yan Hui, engkau kalah.” Biasanya Yan Hui tidak berdebat dengan gurunya. Ketika mendengar Kong Hu Cu berkata begitu, dia menyerahkan topinya kepada si pembeli kain. Yan Hui tidak puas. Dia merasa sang guru sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya. Dia mohon diri untuk pulang kampung. Kong Hu Cu mengizinkannya dan memberi dua nasihat: Jangan berteduh di bawah pohon bila hujan lebat, dan jangan membunuh. Dalam perjalanan, ketika hujan lebat disertai angin kencang dan kilat menggelegar, Yan Hui sempat berlindung di bawah pohon. Tetapi tiba-tiba dia ingat pada nasihat gurunya. Dia menyingkir, tepat sebelum pohon besar itu tumbang. Yan Hui terkejut, dan berpikir kalau gurunya bukan manusia sembarangan. Setiba di rumah hari sudah larut malam, dan Yan Hui tidak ingin membangunkan istrinya yang sudah tidur. Namun dia mendapati sesuatu yang membuatnya marah, ada seseorang yang tidur bersama sang istri. Yan Hui menghunus pedangnya. Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Kong Hu Cu, jangan membunuh. Lalu dia menyalakan lilin dan melihat ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya. CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 13
Keesokan harinya, Yan Hui kembali kepada guru bijak Kong Hu Cu, berlutut dan berkata: “Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?” Kong Hu Cu berkata: “Kemarin hari sangat panas, kemungkinan akan terjadi hujan petir, maka aku mengingatkanmu untuk tidak berlindung di bawah pohon. Engkau pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka aku mengingatkanmu agar jangan membunuh”. Tanpa diminta, Kong Hu Cu selanjutnya menjelaskan, “Kemarin aku bilang 3×8=23 adalah benar, sehingga engkau kalah dan kehilangan jabatan. Tetapi kalau aku mengatakan 3×8=24 adalah benar, si pembeli kain yang kalah dan itu berarti hilang satu nyawa. Engkau akan menyesal seumur hidup. Menurutmu, apa jabatanmu lebih penting dibanding kehilangan satu nyawa manusia?” “8 x 4 hanyalah kebenaran kecil, kebenaran matematis. Namun 8 x 3 = 23 adalah kebenaran besar karena menyangkut nyawa manusia.” Suntingan dari http://foggy.mywapblog.com/post/27.xhtml dan Bertambah Bijak Setiap hari 8x3=23 1.
Hidup Baik dan Benar Baik atau buruk, benar atau salah bukan soal selera, dan tidak hanya dilihat dari kepentingan
pribadi. Kita tidak hidup sendiri. Pada umumnya suatu perbuatan disebut baik dan dibenarkan jika tidak mengakibatkan kerugian atau menyakitkan, baik terhadap diri sendiri, atau pihak lain atau kedua-duanya. Buddha mengajarkan bagaimana merealisasi pengertian ini, ”Umpamakan orang lain dengan diri sendiri dan sebaliknya.” (Dhammapada 130) Seperti juga yang dikatakan Yesus, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Matius 7:12) Dengan itu kita tidak menginginkan kesengsaraan bagi diri kita sendiri sekaligus juga bagi orang lain. Kita disebut manusia karena ketinggian tingkat perkembangan batin atau pikiran (dibandingkan dengan binatang). Kita manusia, memiliki iman, rasio dan hati nurani. Manusia berperilaku sebagai manusia, yang tahu kesantunan, etika dan moral. Artinya setia pada kebenaran dengan hidup baik dan benar. Bukan seperti binatang liar, yang bertindak sesuka hati, kasar, buas hingga saling memangsa, penuh kekerasan dan mengumbar nafsu seks. Kita harus bertanya, apakah jalan hidup kita merugikan dan membahayakan pihak lain? Tidakkah kita hidup di atas penderitaan orang lain? Apakah kita tidak merusak dunia ini? Bila kita menjawab dengan jujur, kita akan tahu bagaimana mengarahkan hidup dan tindakan kita sesuai dengan kebenaran. Dalam hidup bermasyarakat kita mengenal kontrol sosial menyangkut kesadaran bersama sebagai manusia untuk bertingkah laku yang baik dan melindungi kepentingan semua pihak (Krishnanda Wijaya-Mukti, 2003: 458, 462). Begitu dilahirkan manusia berutang budi pada orang-orang lain. Kita berutang budi kepada orang tua dan keluarga, para guru, masyarakat, bangsa dan negara. Kita harus berterima-kasih kepada semuanya. Ketika kita makan, kita berdoa berterima-kasih kepada Tuhan, sekaligus kepada
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 14
siapa saja yang menghadirkan makanan untuk kita makan, termasuk para petani dan peternak. Bayangkan berapa banyak orang yang terlibat, berapa banyak tetesan keringatnya, dan berapa lama waktu yang diperlukan agar sebutir beras yang ditanam sampai menjadi butiran nasi di piring makan kita. Kita harus bersyukur dengan tidak menyia-nyiakan makanan. Kita berterima-kasih sampai kepada tukang-tukang sampah, tentu tidak akan dengan sengaja membuang sampah sembarang. Kalau semua orang tahu terimakasih dan tahu balas budi dunia akan menjadi lebih baik.
2.
Jujur dan Adil Kejujuran atau ketidakjujuran dimulai dari pikiran atau niat, yang diekspresikan tidak terbatas
pada kata-kata, melainkan juga bahasa tubuh, aktivitas termasuk tulisan. Dusta adalah apa yang tidak benar yang kemudian diucapkan atau dilakukan untuk mengelabui orang lain. Sekalipun orang yang menangkap pernyataan tersebut tidak memercayainya, dusta tetap terjadi. Pelaku tidak bisa membohongi diri sendiri, ketidakjujuran mengotori dan akan membuat batinnya menderita. Sudah barang tentu, kita harus jujur pada diri sendiri. Katakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Apa yang bukan punyaku, jangan dianggap sebagai punyaku. Manusia begitu dilahirkan, tidak perlu belajar lagi, langsung menangis. Tetapi berbohong merupakan hasil pembelajaran. Semua orang belajar dari pengalaman dan lingkungan. Agar merasa aman, terhindar dari kesulitan, untuk melindungi diri atau menyenangkan orang lain, bohong secara keliru mendapatkan pembenaran. Apakah itu bohong basa-basi, ingkar, menutupi kebenaran, tidak mengatakan seluruh kebenaran, menyunting, membelokkan, atau menjungkirbalikkan kebenaran, sama saja bukan ucapan yang benar. Berbicara benar bukan hanya tidak berdusta, tetapi juga bukan fitnah, memojokkan atau mengadu domba, bukan omong kosong, bukan mencaci maki atau berkata kasar menyakiti orang lain. Ada banyak kasus ketidakjujuran yang tak lain dari kejahatan, seperti memalsukan, menggelapkan, menipu, korupsi, markup belanja proyek, termasuk juga kecurangan yang membuat kisruh Pemilu. Di sekolah kita belajar ilmu pengetahuan sekaligus nilai-nilai moral, termasuk kejujuran. Pendidikan agama pastilah menekankan kebenaran dan kejujuran. Pendidikan olahraga mengedepankan fair play, tidak ada tempat untuk menang dengan cara curang. Menyontek diharamkan. Belakangan ini, warung atau kantin kejujuran menjadi sebuah cara pembelajaran bagaimana mempraktikkan kejujuran. Komisi Pemberantasan Korupsi bukan hanya menangkap koruptor, tetapi juga melakukan usaha pencegahan dan perlawanan terhadap ketidakjujuran. Selama ini sudah banyak badan yang melakukan pengawasan. Slogan pajak saja berbunyi: Bayar pajaknya, awasi penggunaannya. Perangkat hukum pun tak kurang menangkal segala bentuk kecurangan. Tetapi tetap saja kejujuran, juga keadilan, masih sering diabaikan. Penelitian Harthstone dan May menemukan bahwa kita tidak dapat membagi dunia atas kelompok orang yang jujur dan kelompok yang tidak jujur. Hampir setiap orang berbohong atau
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 15
menipu pada suatu waktu. Nilai kejujuran yang diucapkan oleh seseorang sama sekali tidak berhubungan dengan bagaimana orang itu berbuat. Pembohong melontarkan kecaman terhadap penipuan sama banyaknya dengan mereka yang tidak menipu, bahkan lebih (Kohlberg, 1963). Ada disparitas dan rumpang nilai (value gap) antara apa yang dicela dengan yang dipraktikkan sendiri oleh seseorang. Tidak jarang kita dengar keluhan mengenai pemberlakuan standar nilai ganda, yang berbeda untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Setiap orang bisa salah, dan seharusnya tidak boleh bohong. Sedang mereka yang berurusan dengan hukum mungkin saja bisa bohong asal tidak salah menurut ketentuan hukum. Lain dengan Abraham Lincoln, sebagai pengacara ia menolak untuk menangani kasus yang sangat oke dari segi teknis hukum tetapi tidak memenuhi rasa keadilan. Katanya kepada seorang klien, “Bila aku membelamu, maka saat berdiri untuk berbicara kepada juri pasti aku akan berpikir: Lincoln, kau seorang pembohong! Dan aku yakin bahwa aku akan lupa diri sehingga mengatakannya dengan keras (Maurus, 2004: 112). Orang yang jujur juga adil. Keadilan memang bisa diartikan berbeda-beda oleh berbagai kelompok masyarakat, tetapi biasanya menyangkut hak seseorang dalam relasi antar-manusia. Melaksanakan keadilan tak lain dari memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Rasa keadilan timbul karena kesadaran akan kelayakan. Kesadaran itu mendorong seseorang bertindak.
TUKANG ROTI DAN PETANI Seorang tukang roti di sebuah desa kecil membeli satu kilogram mentega dari seorang petani. Ia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak benarbenar seberat satu kilogram. Beberapa kali ia menimbang mentega itu, dan benar, berat mentega itu tidak penuh satu kilogram. Yakinlah ia, bahwa petani itu telah m,elakukan kecurangan. Ia melaporkan pada hakim, dan petani itu diajukan ke sidang pengadilan. Pada saat sidang, hakim berkata pada petani, “Tentu kau mempunyai timbangan?” “Tidak, Tuan Hakim,” jawab petani. “Lalu, bagaimana kau bisa menimbang mentega yang kau jual itu?” tanya hakim. Petani itu menjawab, “Ah, itu mudah sekali dijelaskan, Tuan Hakim. Untuk menimbang mentega seberat satu kilogram itu, sebagai penyeimbang, aku gunakan saja roti seberat satu kilogram yang aku beli dari tukang roti itu.” (Unknown) Anthony de Mello dalam buku Burung Berkicau, menulis cerita tanya jawab saat seleksi pegawai. Pertanyaannya, “Dua kali dua itu berapa?” Calon pertama menjawab, “Empat.” Sedangkan calon kedua menjawab, “Berapa saja, terserah Bapak.” Komentarnya, “Sikap calon kedua itulah yang amat dianjurkan, kalau Anda ingin mendapat kenaikan pangkat di setiap lembaga, baik yang sekuler maupun yang bersifat keagamaan.”
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 16
Setelah cerita itu ia menulis dialog antara dua orang filsuf. Aristippos mencibir Diogenes yang makan ubi sebagai santap malamnya. Aristippos berkata, “Kalau engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi.” Jawab Diogenes, “Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja.” Ketika kejujuran dan keadilan menjadi sebuah komitmen, kita tidak akan menjadi seorang penjilat yang mencari keuntungan untuk diri sendiri dengan mengabaikan kebenaran. Kita harus memiliki keberanian untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya, sepanjang memiliki alasan dan tujuan yang baik, bermanfaat dan tentu saja pada waktunya yang tepat.
3.
Setia pada Janji Janji adalah pernyataan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu atau sebaliknya
tidak berbuat. Kita sering berjanji hendak datang, bertemu, atau hadir; hendak memberi atau menolong, dan lain-lain. Mungkin diucapkan sepihak, mungkin juga merupakan persetujuan antara dua pihak. Janji sepasang manusia yang mengikatkan diri dalam perkawinan bukan hanya merupakan persetujuan antara dua pihak, melainkan juga mengikutsertakan Tuhan. Janji dalam bentuk sumpah jabatan, diucapkan secara resmi demi Tuhan. Menepati janji adalah bagian dari iman. Tuhan sendiri pun berjanji kepada manusia dan pasti menepati seluruh janji-Nya. Setia pada janji merupakan tanggungjawab moral dan keagamaan kita. Entah kepada siapa pun janji itu diberikan. Ada janji yang diucapkan (atau tertulis) dan diketahui oleh orang lain, ada yang tidak. Janji kepada diri sendiri merupakan komitmen dan tekad, yang tidak harus diketahui orang lain. Misalnya tidak menyontek, mendahulukan belajar daripada bermain, lulus sekolah tepat waktu, tidak membuat ayah ibu marah, menjauhi pergaulan bebas. Janji memang mudah diucapkan, tetapi seringkali berat untuk dipenuhi. Bagaimanapun, semua janji, apakah kepada orang lain ataupun diri sendiri, seperti juga janji kepada Tuhan, sama saja harus direalisasi. Jani adalah utang yang harus dipenuhi. Bayangkan orang yang berutang ketika jatuh tempo tidak memenuhi kewajibannya. Setiap ditagih dia menghindar; atau cuma berjanji, sampai berulang kali belum juga melunasi utangnya. Jelas dia tidak bisa dipercaya. Padahal kepercayaan adalah prinsip yang menggerakkan roda aktivitas manusia. Pebisnis misalnya, memerlukan kepercayaan sebagai salah satu bentuk modal yang membuat usahanya maju. Dia punya komitmen terhadap rekan pengusaha, karyawan dan pelanggan, serta membutuhkan kepercayaan dari mereka semua. Mengingkari janji adalah sebuah tindakan munafik. Tanda-tanda munafik lainnya adalah berbicara dusta dan mengkhianati amanah atau kepercayaan yang diberikan kepadanya.” Siapa pun tentu tidak menyukainya. Walau seseorang bisa menyembunyikan kemunafikannya di depan orang
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 17
lain, dia tidak dapat membohongi diri sendiri. Rasa bersalah akan selalu membuat hidupnya tidak tenang, dan satu waktu dia akan menanggung akibatnya.
4.
Patuh pada Hukum Kebenaran itu tidak memihak, tetapi manusia yang harus memihak kepadanya. Kebenaran yang
merupakan hukum Tuhan bukan hanya hukum agama, tetapi juga hukum alam yang diungkapkan oleh ilmu pengetahuan. Setiap orang akan menerima hasil dari perbuatannya, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang ini ataupun setelah meninggal dunia. Kebebasan dan ketaatan kepada hukum tidaklah saling bertentangan. Kebebasan menghendaki kearifan, kebajikan dan ketaatan pada hukum, agar dapat mewujudkan kebenaran, kebaikan dan ketertiban. Ada juga hukum atau aturan yang dibuat oleh manusia. Entah hukum negara, hukum adat atau lainnya, tertulis atau tidak, harus kita patuhi. Agama-agama memberi seperangkat larangan. Seorang penganut agama hidup baik dan benar dengan mematuhi ketentuan itu. Kita menyebutnya memiliki komitmen dengan Tuhan. Al Qur’an misalnya memuat larangan melakukan agresi militer, membunuh, memfitnah, menipu, mengambil riba, minum minuman keras, mencuri, berzina, dan memaksakan agama. Walau ada juga ajaranajaran lain yang bila dipahami secara harfiah menjadi terlihat usang bagi masyarakat modern, seperti aturan tentang perbudakan dan pergundikan, atau peraturan yang hanya berlaku bagi Nabi Muhammad dan keluarganya (Lang, 2007: 78). Injil memuat Sepuluh Firman Tuhan dan dari Tripitaka kita mengenal Panca Sila. Larangan membunuh, mencuri, berdusta, berzina dan mengonsumsi zat yang menimbulkan ketagihan serta hilangnya kesadaran, dapat dikatakan universal. Hukum negara pun tidak membenarkannya. Seorang warganegara hidup benar, termasuk menjalani penghidupan dengan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum bersifat memaksa, karena mengandung sanksi atau hukuman. Tanpa adanya hukum itu, kebebasan akan kebablasan membuat masyarakat terjerumus ke dalam hukum rimba; siapa yang kuat dia yang menang, tanpa melihat siapa yang benar, siapa yang salah. Kita semua membutuhkan hukum
untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan, berpihak kepada siapa yang benar. Hukum
melindungi orang-orang yang berkelakuan baik; mengendalikan dan memperbaiki mereka yang berkelakuan buruk, serta mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan secara efektif. Dengan itu hukum akan membawa kerukunan, kedamaian, dan kemajuan sosial. Hukuman bukan sekadar pembalasan demi keadilan, karena hukum yang baik, yang melindungi kebenaran dan keadilan, memiliki dasar moral yang dapat diterima secara universal dan mengandung unsur pendidikan. Ini menyangkut kemanfaatan hukum. Berdasarkan kemanfaatan, penggunaan cara-cara yang menyakitkan kadang-kadang tidak terhindarkan. Cinta kasih tidak memberi tempat pada kekerasan, tetapi juga tidak akan membiarkan suatu kejahatan terjadi. Ada waktunya kita memerlukan pendekatan keras (Wijaya-Mukti, 2003)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 18
Sidney Sheldon, seorang penulis novel, berpikir kebanyakan perkara dimenangkan atau dikalahkan sebelum sidang pengadilan dimulai. Aparat hukum yang mestinya menegakkan kebenaran mudah terjerumus merekayasa atau memaksakan pembenaran. Keadilan hukum pun tidak selalu memenuhi rasa keadilan. Ini bukan hanya cerita fiksi, karena faktanya dapat ditemukan dalam dunia nyata. Ada makelar-makelar hukum dan mafia peradilan, ada kasus-kasus korupsi diputus bebas sedangkan pencuri kecil dikirim ke penjara. Beberapa kasus yang terungkap belakangan, menunjukkan bahwa polisi penyidik, jaksa penuntut, begitu pula majelis hakim yang menjatuhkan vonis secara bersama ternyata salah. Kesalahan-kesalahan seperti ini tentu harus dicegah jangan sampai berulang atau berkelanjutan. Reformasi hukum dan kontrol sosial merupakan sebuah kebutuhan. Usaha penegakan hukum menghendaki kepastian hukum. Apa yang telah diundangkan dan melembaga harus ditaati. Penguasa tidak boleh semena-mena memberlakukan apa yang tidak ada peraturannya. Tanpa kepastian hukum, sulit dibayangkan suatu negara akan sejahtera. Jika hukum tidak dihargai dan orang tidak percaya pada penegakan hukum, kejahatan atau kekerasan akan meningkat. Timbul kecenderungan main hakim sendiri. Salah satu kelemahan dari pendekatan hukum adalah penyalahgunaan hukum oleh aparat atas nama penguasa atau negara, dan apa yang disebut terorisme negara tidak terhindari karena kondisi yang diciptakannya itu. Pada gilirannya kemudian, akan terjadi pelawanan dari masyarakat. Karena itu pendekatan hukum seharusnya terkait dengan pendekatan moral dan memperhatikan suara rakyat (Ratnapala, 1993).
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 19
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik VIII BERIMAN SECARA KRITIS
Beriman secara kritis dimaksudkan setiap pemeluk agama harus menyadari bahwa implikasi penting dari iman harus bisa mendekatkan manusia kepada Tuhan dan sesamanya. Kedekatan dengan Tuhan berimplikasi positif terhadap kedekatan dengan sesama dan antar umat beragama. Beriman secara kritis bertujuan agar umat beragama secara teosentris dapat merasa menerima kebaikan Tuhan, dan secara sosiologis kebaikan Tuhan dapat dibagikan kepada sesama dan antar umat beragama.
A. Alasan Beriman Secara Kritis Kita dituntut beriman secara kritis karena seringkali keberimanan kita tidak berimplikasi positif bagi diri kita serta dengan sesama dan antar umat beragama. Kita menjadi sangat eksklusif dan mempersempit makna kebaikan Tuhan kepada semua makhluknya. Positif atau tidak positifnya iman kita dapat diukur dengan indikator keberimanan teosentris dan indikator keberimanan sosiologis.
1.
Indikator Keberimanan Teosentris Indikator keberimana teosentris menunjuk pada hubungan kita dengan Tuhan. Dalam hal ini
kita percaya kepada kebenaran Tuhan, percaya bahwa Tuhan adalah sumber kebaikan. Kebaikan Tuhan tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi oleh siapapun. Dengan kepercayaan seperti itu kita merasa aman, damai, dan tenteram. Kita memiliki sikap teguh memegang prinsip kebenaran dan kebaikan itu, kokoh dalam berpikir dan bersikap serta bertindak berdasarakan prinsip tersebut, mantap dalam bersikap dan berbuat, dan memiliki emosi keberagamaan yang stabil.
2. Indikator Keberimanan Sosiologis Indikator keberagamaan sosiologis menunjuk pada hubungan kita dengan Tuhan yang berimplikasi sosiologis. Prinsip-prinsip keberimanan sosiologis diimplementasikan pada hubungan kita dalam dan antar umat beragama. Sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan dengan sesama dan antar umat beragama harus berdasar pada prinsip-prinsip keberimanan teosentris. Dalam hal ini harus dikembangkan sikap menganggap kelompok agama lain setara karena samasama percaya pada kebenaran dan kebaikan Tuhan. Kita mau menebarkan sikap dan perilaku yang membuat agama lain merasa aman dan damai
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
B. Pemahaman Kritis Tentang Iman Pemahan kritis tentang iman perlu dikembangkan karena dengan demikian kita dapat selalu memeriksa kesesuaian pola pikir, sikap dan perilaku kita sebagai substansi dari iman berdasarkan kebenaran dan kebaikan Tuhan. Karena tidak sedikit orang yang menyatakan beriman kepada Tuhan tetapi cara berpikir, bersikap dan berperilakunya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebaikan Tuhan. Inilah yang di dalam agam disebut munafiq. Marilah kita jadikan diri kita sebagai orang beriman yang sejati.
1.
Iman: Sesuainya ucapan dan perbuatan Mengacu kepada apa yang dikatakan Frans Magnis-Suseno: (Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius,
1969, hal: 124-150), ada beberapa sifat luhur yang harus dimiliki orang beriman, yaitu kejujuran, otentik, tanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, realistis dan kritis. Inilah yang oleh maginis Suseno disebut sebagai keutamaan moral bagi orang-orang yamng beriman. Pertama, kejujuran. Kejujuran adalah hal yang harus dimiliki orang beriman. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia beriman tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus. Orang yang tidak lurus tidak menjadikan dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain. Ia bukan tiang, melainkan bendera yang mengikuti arah angin. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka dan bersikap fair. Dengan terbuka tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Kita berhak atas batin kita. Bersikap jujur dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain. Dalam segala sikap dan tindakan kita memang hendaknya tanggap terhadap kebutuhan, kepentingan dan hak orang-orang yang berhadapan dengan kita. Kita tidak bersikap egois belaka. Kita seperlunya bersedia untuk mengorbankan suatu kepentingan kita demi orang lain. Tetapi kita melakukannya bukan sekedar untuk menyesuaikan diri, karena takut atau malu, melainkan sebagai diri kita sendiri.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
Kedua, terhadap orang lain orang jujur bersikap wajar atau fair. Hal itu dapat memperlakukannya menurut standar-standar yang diharapkannya dipergunakan orang lain terhadap dirinya. Ia menghormati hak orang lain, ia selalu akan memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Tetapi kita hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita pertama-tama harus berhenti membohongi diri kita sendiri. Kita harus berani melihat diri seadanya. Kita harus berhenti main sandiwara, bukan hanya terhadap orang lain, melainkan terhadap kita sendiri. Kita perlu melawan kecondongan untuk berasionalisasi, menghindari show dan pembawaan berlebihan. Orang jujur tidak perlu mengkompensasikan perasaan minder dengan menjadi otoriter dan menindas orang lain. Orang yang tidak jujur senantiasa berada dalam pelarian. Ia lari dari orang lain yang ditakuti sebagai ancaman, dan ia lari dari dirinya sendiri karena tidak berani menghadapi kenyataannya yang sebenarnya. Maka kejujuran membutuhkan keberanian. Keberanian untuk berhenti melarikan diri dan menjadi diri sendiri. Berani untuk melepaskan kedok-kedok yang kita pasang dan untuk menunjukkan diri seadanya kita. Begitu kita berani berpisah dari kebohongan, tameng ketakutan kita, kita akan mengalami sesuatu yang amat menggairahkan: kekuatan batin kita bertambah. Meskipun lemah, kita tahu bahwa kita kuat. Dibuat merasa malu pun kita tidak patah semangat. Maka amatlah penting agar kita mulai menjadi jujur. Kedua, nilai-nilai otentik. Di sini tempatnya untuk beberapa kata tentang sesuatu yang erat hubungannya dengan hal kejujuran dan juga sangat penting kalau kita mau menjadi orang yang kuat dan matang. Kita harus menjadi otentik. Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. Kita bukan orang jiplakan, orang tiruan, orang-orangan yang hanya bisa membeo saja, yang tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri karena dalam segalanya mengikuti mode, atau pendapat umum dan arah angin. Otentik berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadiannya yang sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dicetak dari luar, yang dalam segala-galanya menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan; orang yang seakan-akan tidak mempunyai kepribadian sendiri melainkan terbentuk oleh peranan yang ditimpakan kepadanya oleh masyarakat. Manusia dapat juga tidak atau kurang otentik dalam cita-cita dan nilai-nilainya. Itu berarti: apa yang dicintai, dihargai, dicita-citakannya, begitu pula apa yang dibenci dan ditolaknya itu sebenarnya bukan nilai-nilai dan kebencian-kebenciannya sendiri, melainkan apa yang oleh lingkungannya dicintai, dihargai, dicita-citakan, dibenci, ditolak. Seakan-akan ia sendiri tidak mempunyai cita-cita dan nilai-nilai. Jeleknya bahwa yang bersangkutan sendiri tidak sadar akan hal itu. Maka mungkin saja bahwa ia penuh semangat membela cita-cita luhur tertentu, tetapi sebenarnya ia hanya ingin bersatu dengan kelompoknya. Dasar ketidak-otentikan itu adalah rasa
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
takut jangan-jangan ia ditinggalkan oleh mereka. Maka ia mau merasa dan bercita-cita seperti kelompoknya. Namun dengan demikian ia tidak dapat mengembangkan identitas dan kepribadiannya sendiri. Ia kehilangan kreativitasnya dan mudah dikendalikan oleh lingkungannya. Ketidak-otentikan itu bisa terdapat di segala bidang nilai. Begitu halnya orang yang dalam segala-galanya mengikuti mode. Atau orang yang merasa malu apabila tidak tahu lagu pop terakhir, atau yang takut "ketinggalan zaman" kalau kelihatan tidak memakai spray pembersih meja mutakhir. Atau di bidang estetis, kalau orang kaya suka arsitektur gaya Spanyol, tetapi hanya karena gaya itu sedang "in" di kalangan orang berada "masa kini" dan bukan karena ia memang meminatinya. Di bidang politik seorang mahasiswa yang "kritis" dan "pemberontak" karena itulah gaya mahasiswa, tetapi di rumahnya ia bersikap feodal. Atau sebaliknya si pejabat yang menghafalkan semua istilah penataran ideologi negara. Tentu nilai-nilai dapat berkembang. Di bidang estetik pun hegitu. Di bawah bimbingan seorang guru apresiasi seni otentik seorang murid dapat menjadi lebih luas dan lebih mendalam, bukannya karena ia mau merasa seperti gurunya saja, melainkan karena guru berhasil untuk menularkan apresiasinya sendiri kepada murid. Begitu pula dalam bidang-bidang lain cita-cita dan sikap-sikap seorang panutan dapat tertular sehingga betul-betul menjadi cita-cita dan sikap-sikap muridnya. Namun untuk itu cita-cita dan nilai-nilai yang tidak otentik lama-lama harus dibongkar. Artinya, orang harus mengerti apa yang sebenarnya dinilainya tinggi dan apa yang sebenarnya tidak disukainya. Ia harus jujur terhadap dirinya sendiri. Ia harus berani untuk melihat dengan terbuka situasinya, kekuatan dan kelemahannya, apa yang disenangi dan tidak disenangi dengan sebenarnya. Ketiga, kesediaan untuk bertanggung jawab. Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Itu, pertama, berarti kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berkaitan dengan sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri. Sikap itu tidak memberikan ruang pada pamrih kita. Karena kita terlibat pada pelaksanaannya, perasaan-perasaan seperti malas, wegah, takut atau malu tidak mempunyai tempat berpijak. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah di mana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita emong, kita pelihara, kita selesaikan dengan baik, bahkan andaikata tidak ada orang yang perduli. Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas. Kedua, dengan demikian sikap
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
bertanggung
jawab
mengatasi
segala
etika
peraturan.
Etika
peraturan
hanya
mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak. Sedangkan sikap bertanggung jawab merasa terikat pada yang memang perlu. Ia terikat pada nilai yang mau dihasilkan. Ketiga, dengan demikian wawasan orang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara prinsipial tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan. Ia bersedia untuk mengerahkan tenaga dan kemampuan di mana ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif. Apabila tetangganya dirampok, ia tidak bersikap masa bodoh, melainkan segera menghubungi polisi. Apabila ia melihat kecelakaan, ia tidak pergi karena itu "bukan urusannya", melainkan mendekati dan memeriksa bagaimana ia dapat menolong. Keempat, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta, dan untuk memberikan, pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Seorang atasan, umpamanya, kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada bawahan. Sebaliknya, sebagai atasan ia, dalam hubungan dengan fihak luar, bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atas suatu keteledoran, meskipun yang sebenarnya bertanggung jawab adalah seorang bawahan. Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap. Keempat, kemandirian moral. Keutamaan keempat yang perlu kita capai apabila kita ingin beriman secara kritis adalah kemandirian moral. Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai padangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Jadi kita bukan bagaikan balon yang selalu mengikuti angin. Kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, enak, kurang berbahaya. Baik faktor-faktor dari luar: lingkungan yang berpendapat lain, kita dipermalukan atau diancam, maupun faktor-faktor dari batin kita: perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi, tidak dapat menyelewengkan kita dari apa yang menjadi pendirian kita. Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk bagaimanapun
juga
tidak
mau
berkongkalikong dalam suatu urusan atau permainan yang kita sadari sebagai tidak jujur, korup atau melanggar keadilan. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat "dibeli" oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan. Kelima, keberanian moral. Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral. Maka kemandirian terutama merupakan keutamaan intelektual atau kognitif. Sebagai ketekadan dalam bertindak sikap mandiri disebut keberanian moral. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia diisolir, dibuat merasa malu, dicela, ditentang atau diancam oleh orang banyak, oleh orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil risiko konflik. Keberanian moral kelihatan umpamanya dalam diri pegawai perusahaan yang tidak mau ikut berkorupsi, meskipun karena itu ia dikucilkan; dalam keberanian seorang Satpam untuk menolak seorang Gubernur kepala daerah masuk wilayah tertutup sebuah pabrik kalau Gubernur itu tidak dapat membuktikan identitasnya; dalam pembelaan terhadap seorang rekan yang difitnah oleh atasan; dalam penolakan seorang insinyur kecil untuk ikut menandatangani laporan pemeriksaan kelaikan mesin pesawat terbang yang oleh pemeriksapemeriksa lain dianggap laik, tetapi ia sendiri tahu bahwa pemeriksaan tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Keberanian moral tidak menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang ada kalau itu berarti mengkompromikan kebenaran dan keadilan. Orang yang berani secara moral akan mendapatkan pengalaman yang menarik . Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang diyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya, dalam arti bahwa ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu yang sering mencekam. Ia merasa lebih mandiri. Ia bagaikan batu karang di tengah-tengah sungai yang tetap kokoh dan tidak ikut arus. Ia memberikan semangat dan kekuatan berpijak bagi mereka yang lemah, yang menderita akibat kezaliman pihak-pihak yang kuat dan berkuasa. Keenam, kerendahan hati. Keutamaan ini adalah keutamaan yang hakiki bagi kepribadian seorang beriman. Barangkali orang akan bertanya mengapa di sini justru muncul kerendahan hati? Kalau kita mendengar kata kerendahan hati, yang biasanya terbayang adalah sikap orang yang tidak berani, cepat-cepat mengalah kalau berhadapan dengan orang yang berkedudukan tinggi, suka menjilat, tidak sanggup mengambil dan membela suatu pendirian, merendahkan diri dan lain sebagainya. Akan tetapi, sikap-sikap ini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seadanya kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya, melainkan juga kekuatannya. Tetapi ia tahu bahwa banyak hal yang dikagumi orang lain padanya bersifat kebetulan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
saja. Ia sadar bahwa kekuatannya dan juga kebaikannya terbatas. Tetapi ia telah menerima diri. Ia tidak gugup atau sedih karena ia bukan seorang manusia super. Maka ia adalah orang yang tahu diri dalam arti yang sebenarnya. Justru karena itu ia kuat. Ia tidak mengambil posisi berlebihan yang sulit dipertahankan kalau ditekan. Ia tidak perlu takut bahwa kelemahannya ketahuan. Ia sendiri sudah mengetahuinya dan tidak menyembunyikannya. Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral, terbatas. Penilaian kita masih jauh dari sempurna karena hati kita belum jernih. Oleh karena itu kita tidak akan memutlakkan pendapat moral kita. Dengan rendah hati kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri. Kita sadar bahwa kita tidak tahu segala-galanya dan bahwa penilaian moral kita sering digelapkan oleh pengaruh emosi-emosi dan ketakutan-ketakutan yang masih ada dalam diri kita. Kerendahan hati ini tidak bertentangan dengan keberanian moral, melainkan justru prasyarat kemurniannya. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan atau kedok untuk menyembunyikan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan bahwa kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri dalam dialog kritis. Kerendahan hati menjamin kebebasan dari pamrih dalam keberanian. Tidak pernah kita akan menyesuaikan diri dengan suatu desakan atau tekanan untuk melakukan sesuatu yang kita yakini akan merugikan orang lain atau bertentangan dengan tanggung jawab kita. Tetapi kita sadar bahwa penilaian kita terbatas. Maka kita tidak memutlakkannya. Apabila situasinya memang sebenarnya belum begitu jelas, atau dalam hal-hal yang kurang penting atau yang hanya menyangkut diri kita sendiri saja, kita bersedia untuk menerima, menyetujui dan kemudian mendukung pendapat orang lain. Kita tidak merasa kalah, kalau pendapat kita tidak menang. Justru orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betulbetul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah meyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya. Ketujuh, realistik dan kritis. Hal ini merupakan dua sikap yang tidak pertama-tama menyangkut hati kita, melainkan pendekatan kritis yang dilakukan oleh orang beriman. Itu sesuai dengan ciri khas etika sebagai refleksi kritis atas fenomen moralitas. Manusia yang kita hormati dan sesama terhadapnya kita mau bersikap baik bukan "si manusia", melainkan pelbagai orang yang berada dalam jangkauan pengaruh tindakan kita, dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan-kemampuannya, dengan kelemahan-kelemahan dan harapan-harapan mereka. Terhadap mereka itu kita dipanggil untuk bertanggung jawab. Dan karena orang-orang itu orang real dalam dunia yang real pula, tanggung jawab kita harus real juga. Kita wajib membuka mata
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
lebar-lebar terhadap realitas. Tanggung jawab moral menuntut sikap yang realistik. Siapa yang selalu bertindak menurut "cita-cita luhur" berada dalam bahaya akan mengorbankan orang yang nyata demi cita-citanya. Cita-cita luhur dapat menjadi kedok untuk melarikan diri dari tanggung jawab yang nyata. Apa yang menjadi kebutuhan orang dan masyarakat yang real hanya dapat diketahui dari realitas itu sendiri. Teori moral hanya menyediakan tiga prinsip dasar. Segala norma lainnya kurang lebih hanya merupakan contoh bagaimana prinsip-prinsip dasar itu dapat diterapkan kepada realitas. Sebagai cetusan pengalaman masyarakat norma-norma itu perlu diperhatikan tetapi tidak langsung mengikat dengan mutlak. Kewajiban-kewajiban yang konkret tak dapat diketahui hanya dari buku etika, dari daftar kewajiban dalam buku-buku agama, dari perasaan suci kita sendiri, dari penentuan penguasa atau atas dasar ilham-ilham yang khusus. Tak ada jalan lain kecuali membuka mata terhadap orang-orang yang nyata. Tetapi sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistik mesti berbarengan dengan sikap kritis. Tanggung jawab moral menuntut agar kita terus-menerus memperbaiki apa yang ada supaya lebih adil, lebih sesuai dengan martabat manusia, dan supaya orang-orang dapat lebih bahagia. Prinsip-prinsip moral dasar adalah norma kritis yang kita letakkan pada keadaan. Sikap kritis perlu juga terhadap segala macam kekuatan, kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat. Kita tidak tunduk begitu saja, kita tidak dapat dan tidak boleh menyerahkan tanggung jawab kita kepada mereka. Penggunaan setiap wewenang harus sesuai dengan keadilan dan bertujuan untuk menciptakan syarat-syarat agar semakin banyak orang dapat lebih bahagia. Tak pernah martabat manusia boleh dikorbankan. Di luar tujuan itu wewenang mereka berhenti. Begitu pula segala macam peraturan moral tradisional perlu disaring dengan kritis. Peraturan-peraturan itu pernah bertujuan untuk menjamin keadilan dan mengarahkan hidup masyarakat kepada kebahagiaan. Tetapi apakah sekarang masih berfungsi demikian ataukah telah menjadi alat untuk mempertahankan keadaan yang justru tidak adil dan malahan membawa penderitaan? Tanggung jawab moral yang nyata menuntut sikap realistik dan kritis. Pedomannya ialah untuk menjamin keadilan dan menciptakan suatu keadaan masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar bagi anggota-anggota untuk membangun hidup yang lebih bebas dari penderitaan dan lebih bahagia.
2.
Iman: Dimensi Vertikal dan Horizontal Substansi uraian di atas sebenarnya adalah bahwa iman berdimensi vertikal dan horizontal.
Dimensi vertikal menunjuk pada hubungan kita dengan Tuhan. Sedangkan dimensi horizontal menunjuk pada hubungan antar sesama manusia. Kedua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
dalam penerapannya, kendatipun agama kita berbeda dengan orang lain. Karena perbedaan agama merupakan kehendak Tuhan. Hal yang terpenting harus kita perhatikan adalah keberimanan kita dapat bermanfaat pada diri kita dan sekaligus kepada orang lain.
3.
Iman: Menuju Kedamaian dan Kesejahteraan Jika kita cermati secara mendalam ajaran agama dan keberimanan kita masing-masing,
sesungguhnya memiliki potensi paling besar untuk menciptakan kedamain individual sekaligus sosial dan pada akhirnya dapat mensejahterakan umat beragama dan manusia secara keseluruhan. Kekerasan atas nama agama sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap nilai agama dan iman itu sendiri. Oleh karena itu, marilah kita koreksi keberimanan kita secara kritis.
C. Cara Beriman Secara Kritis Hal yang sangat penting harus kita pahami dan laksanakan dalam hubungannya dengan uraian sebelumnya adalah tentang cara beriman secara kritis. Karena hal ini menjadi kecakapan (ability) bagi kita semua. Ada tiga cara beriman secara kritis, meninjau kembali (review) kualitas keberimanan, kebermaknaan iman, dan sumbangan bagi kehidupan bersama orang lain. Kualitas keberimanan kita selalu naik turun, baik secara teosentris maupun secara sosiologis. Kontrol merupakan konsep praktis dalam menjaga kualitas keberimanan kita. Kegiatan ibadah dan menambah wawasan keberimanan teosentris dan sosiologis merupakan cara efektif untuk menjaga kualitas keberimanan tersebut. Sehingga keberimanan kita bermakna bagi diri sendiri, dan juga bagi orang lain. Selanjutnya, cara beriman secara kritis harus diarahkan pada sumbangannya bagi kehidupan bersama, baik dalam rangka perbaikan moral maupun pengembangan kehidupan ekonomi. Karena kehadiran semua agama adalah untuk memperbaiki moral (akhlak) manusia dan mensejahterakan mereka, melepaskan mereka dari ketidak adilan dan kesengsaraan hidup.
D. Hasil Beriman Secara Kritis Beriman secara kritis diharapkan akan dapat membuat manusia memiliki keunggulan, yaitu memiliki kebiasaan efektif. Zuchdi (2009) mengajukan tujuh kebiasaan efektif yang ia kutip dari Covey. Ketujuah kebiasaan tersebut dalam konteks ini merupakan beberapa contoh-contoh hasil beriman secara kritis. Ketujuh kebiasan efektif tersebut kebiasaan-kebiasaan yang bersifat konsisten atau bersifat tetap, muncul sehari-hari, dan merupakan tampilan moral yang membuat seseorang
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
menjadi efektif atau tidak efektif. Tujuh kebiasaan tersebut yaitu: proaktif, memikirkan tujuan, memikirkan dan mengerjakan dulu, berpikir sama-sama menang, memahami orang lain dulu baru meminta dipahami, bersinergi, mempertajam dan “gergaji”.
1.
Proaktif: Prinsip Visi Pribadi Proaktif berarti berinisiatif, suatu cerminan dari adanya tanggung jawab terhadap kehidupan
diri sendiri. Rasa tanggung jawab menyebabkan seseorang tidak menyalahkan kondisi lingkungan atas kegagalan yang dialami. Perilaku yang proaktif merupakan hasil pemilihan secara sadar, berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Sebaliknya, dalam kehidupan orang dapat berperilaku reaktif. Orang yang reaktif sering dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya. Dia juga diatur oleh lingkungan sosialnya. Jika orang lain berlaku baik terhadapnya, ia merasa baik. Sebaliknya jika ia memperoleh perlakuan tidak baik lalu bersikap defensif dan protektif. Orang yang proaktif juga masih dipengaruhi oleh rangsangan, baik fisik maupun sosial, namun tanggapannya didasarkan pada pilihan sendiri sehingga memperdayakannya untuk menciptakan suasana lingkungan yang baik. Dengan kata lain, orang yang proaktif memiliki inisiatif, tetapi tidak agresif. Orang yang demikian inilah yang biasanya berhasil dalam kehidupan, karena ia secara kreatif mencari pemecahan masalah yang dihaddapi dan secara konsisten berinisiatif untuk mengerjakan hal-hal yang berguna. Dalam konteks pendidikan, perlu diberikan teladan menghargai orang yang proaktif. Dengan cara ini diharapkan subyek didik dapat meneladani kebiasaan proaktif. Namun, hal ini juga sangat berantung pada kematangan subyek didik. Mereka yang sangat tidak mandiri secara emosional, tidak dapat diharapkan bersikap kreatif atau memiliki inisiatif. Yang dapat dilakukan oleh pendidik dalam kasus seperti ini adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan subyek didik dapat meraih kesempatan dan memecahkan masalah dengan semakin percaya diri.
2.
Mulai dengan Memikirkan Tujuan: Prinsip Kepemimpinan Pribadi Orang yang memiliki kebiasaan ini mulai pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidupnya.
Untuk itu, ia perlu mengetahui ke mana tujuannya sehingga lebih menyadari sudah berada di mana dan selalu melangkah ke arah tujuannya yang hendak dicapai. Hidup kita akan lebih bermakna apabila kita benar-benar mengetahui apa yang penting bagi kita dan selalu menyadari hal itu, kemudian mengelola diri sendiri untuk mengerjakan hal-hal yang benar-benar penting. Dengan demikian, kita menjadi orang yang efektif. Sifat unik manusia yang efektif, seperti di atas ialah memiliki kesadaran diri. Dua keunikan yang lain ialah adanya imajinasi dan hati nurani. Dengan imajinasi, seseorang dapat memvisualisasikan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
potensi yang dimiliki. Dengan hati nurani, seseorang dapat menerima dengan ikhlas hukum dan prinsip universal. Dengan tiga keunikan tersebut manusia dapat memberdayakan diri sendiri. Dalam proses pendidikan, pendidik memiliki tanggung jawab untuk memberdayakan subyek didik, sehingga subyek didik yang memiliki potensi yang berbeda-beda dapat mengaktualisasikan potensi masing-masing. Dengan demikian, setiap subjek didik dapat mensyukuri keberhasilannya, meskipun tidak selalu harus sama dengan keberhasilan teman-temannya. Sebelum memberdayakan subjek didik, pendidik harus memberdayakan dirinya sendiri. Hal ini yang sering kurang disadari sehingga diperlukan sistem yang kondusif untuk pemberdayaan pendidik atas kemauan sendiri. Penataran-penataran yang prosedur penentuan pesertanya berdasarkan keputusan pemimpin semata, bukan atas kebutuhan pendidik yang bersangkutan, tentu kurang dapat memberdayakan pendidik dalam arti yang sesungguhnya.
3.
Memikirkan dan Mengerjakan Dulu: Prinsip Managemen Pribadi Kebiasaan ini merupakan aktualisasi kebiasaan nomor 1 dan 2. Pengembangan kebiasaan ini
berfungsi sebagai latihan berkemauan bebas agar menjadi orang yang berpusat pada prinsip dalam setiap tindakannya. Kebiasaan nomor 1 dan 2 merupakan prasyarat bagi kebiasaan nomor 3 ini. Orang tidak akan berpusat pada prinsip dalam kehidupannya jika tidak bersikap proaktif dan menyadari paradigma yang dipilihnya. Kebiasaan nnomor 3 ini berkaitan dengan manajemen waktu. Esensi manajemen waktu adalah bertindak berdasarkan skala prioritas. Hal yang menjadi tantangan sebenarnya bukan manajemen waktu, tetapi manajemen diri sendiri. Manajemen diri menghasilkan kepuasan, yakni kesesuaian antara realisasi dengan harapan. Yang dikelola adalah kompetensi pribadi agar dapat diaktualisasikan.
4.
Berfikir Sama-Sama Menang: Prinsip Kepemimpinan Antar Pribadi Ada beberapa pola penyelesaian masalah yang menyangkut hubungan antarpribadi, yaitu
menang/kalah,
kalah/menang,
kalah/kalah,
dan
menang/menang
(sama-sama
menang).
Penyelesaian masalah yang positif adalah yang berpola sama-sama menang, yakni solusi yang sinergis, solusi yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Solusi demikian ini membuat orang merasa bebas (tidak merasa tertekan perasaannya) karena tidak perlu memanipulasi orang, memaksa agenda, atau hanya mengikuti kehendak sendiri. Pendekatan sama-sama menang paling realistik dalam kegiatan apa pun yang melibatkan hubungan antarpribadi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa penyelesaian masalah yang tidak berorientasi pada hasil akhir yang memposisikan setiap pihak dalam kondisi menang akan menimbulkan masalah yang serius. Di dantaranya pihak yang merasa kalah mungkin berinisiatif
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
untuk membalas dendam. Hal ini sering terjadi dalam penyelesaian konflik; seolah-olah masalahnya sudah selesai, tetapi justru menimbulkan konflik yang lebih berat, bahkan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas.
5.
Memahami Dulu Orang Lain Baru Minta dipahami Oleh Orang Lain: Prinsip Komunikasi Empatik Komunikasi merupakan keterampilan yang paling penting dalam kehidupan. Kita menghabiskan
hampir semua waktu jaga (tidak tidur) untuk berkomunikasi. Namun, latihan atau pendidikan untuk mengembangkan keterampilan menyimak sangat kurang memperoleh perhatian. Beberapa orang pernah memperoleh latihan menyimak dan biasanya hampir seluruh aktivitas yang dilatihkan mengenai latihan menyimak. Dasar-dasar pembinaan akhlak untuk menjalin hubungan, yang justru sangat penting agar dapat memahami orang lain secara autentik, bahkan tidak diberikan. Padahal jika kita ingin benar-benar efektif dalam berkomunikasi antarpribadi, tidak dapat hanya dengan menguasai tekniknya. Kita harus mengembangkan keterampilan menyimak empatik, berlandaskan akhlak mulia yang mengilhami terbentuknya sifat berterus terang dan rasa percaya pada orang lain. Kebanyakan orang melakukan aktivitas menyimak tidak dengan maksud untuk memahami, tetapi untuk menanggapi. Mereka menggunakan paradigma mereka sendiri dalam menanggapi pembicaraan orang lain. Mereka sering mengatakan mengetahui secara pasti perasaan pembicara. Sering pula mereka menyatakan memiliki pengalaman yang sama persis dengan pengalaman pembicara. Mereka menyamakan persepsi pembicara dengan persepsinya sendiri. Apabila terjadi suatu masalah dengan pihak lain, mereka langsung menimpakan kesalahan pada pihak lain, yang dianggap tidak dapat memahami diri mereka. Supaya orang-orang lain memahami diri kita, kita harus dapat memahami mereka. Apabila kita selalu berpijak pada kebenaran diri sendiri sehingga selalu ingin dipahami oleh orang lain, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar memahami apa yang terjadi dalam lubuk hati manusia. Perilaku orang mendengarkan dapat dibedakan menjadi empat tingkatan. Pertama, mendengarkan tetapi mengabaikan atau tidak memerhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang didengarkan. Kedua, berpura-pura mendengarkan; sebenarnya yang didengarkan hanya bagianbagian tertentu dari pembicaraan. Ketiga, menyimak memfokuskan pada makna kata-kata yang diucapkan pembicara. Keempat, menyimak empatik; jarang orang yang mempraktekkan menyimak tinggat empat ini. Menyimak empatik adalah menyimak untuk benar-benar memahami kerangka acuan yang ada dalam diri seseorang. Penyimak empatik berusaha mengetahui cara orang lain memaknai kehidupan, memahami paradigma yang digunakan orang tersebut, dan memahami perasaanya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 13
Menyimak empatik sangat perlu dibudidayakan di dunia pendidikan, karena hal ini dapat menghasilkan kepuasan. Apabila subjek didik sudah merasa puas karena pendidik bersedia menyimak hal-hal yang diungkapkannya, mereka tidak lagi memerlukan motivasi ekstrinsik, karena sudah terbentuk motivasi intrinstik dalam dirinya. Di samping itu, menyimak empatik dapat memenuhi kebutuhan subjek didik yang paling besar dipahami, dianggap sah keberadaannya, dan diapresiasi. Subjek didik juga perlu memperoleh latihan dan pembiasaan menyimak empatik agar dapat melakukan komunikasi yang efektif. Menyimak orang lain dengan empati berarti memenuhi kebutuhan orang yang bersangkutan untuk memperoleh kepuasan dan perilaku yang manusiawi. Setelah hal ini dilakukan, berarti telah memenuhi kebutuhan vital manusia, barulah seseorang dapat memfokuskan pada upaya memengaruhi atau memecahkan masalah.
6.
Bersinergi: Prinsip Kerja Sama Secara Kreatif Sinergi merupakan kegiatan paling tinggi dalam kehidupan-ujian manusia yang sesungguhnya
dan manifestasi lima kebiasaan yang telah dibahas. Sinergi adalah esensi kepemimpinan yang berpusat pada prinsip (principle centered leadership). Bentuk sinergi yang tertinggi dapat dicapai karena manusia memiliki tiga keunikan (kesadaran diri, imajinasi, dan hati nurani), mempunyai motif sama-sama menang, dan menguasai keterampilan berkomunikasi empatik. Hal ini merupakan tantangan yang berat, namun jika telah tercapai hasilnya sangat mengagumkan, yaitu secara kreatif dapat menemukan alternatif baru, sesuatu yang belum pernah dialaminya. Hakikat sinergi adalah menghargai perbedaan, menghormatinya, memanfaatkan kelebihan, dan mengompensasi kekurangan. Kebiasaan sinergi perlu dilatih dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan subjek didik di lingkungan pendidikan formal, dimulai sedini mungkin. Untuk itu, diperlukan suasana pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan individual, meningkatkan kesadaran akan harga diri setiap subjek didik, dan memberikan kesempatan kepada setiap subjek didik untuk mencapai kemandirian dan kesaling-tergantungan. Diharapkan terbentuknya kebiasaan bersinergi dapat menciptakan generasi yang akan datang lebih sanggup melayani dan mau memberikan kontribusi; generasi yang kurang protektif, kurang bermusuhan, dapat mempercayai orang lain; generasi yang kurang defensif serta tidak hanya berorientasi politis; generasi yang lebih dapat mencintai sesama, mengasihi sesama; generasi yang kurang mementingkan hak miliknya sendiri dan kurang menghakimi pihak lain.
7.
Mempertajam “Gergaji”: Prinsip Pembaruan Diri Secara Seimbang Kebiasaan “mempertajam gergaji” melingkupi kebiasaan-kebiasaan yang lain dalam paradigma
tujuh kebiasaan efektif karena kebiasaan efektif yang ketujuh ini memungkinkan kebiasaan lain berkembang. Kebiasaan ini memiliki empat dimensi, yaitu dimensi fisik, mental, sosial/emosional, dan spiritual. Filsuf Herb Shepherd, seperti halnya para filsuf yang lain, memiliki pendapat senada
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 14
mengenai hal ini. Shepherd mengutarakan bahwa kehidupan seimbang yang sehat adalah yang didasarkan pada empat nilai, yaitu perspektif (spiritual), otonomi (mental), kebersamaan (sosial), dan suasana (fisik). “Mempertajam gergaji” pada dasarnya bermakna mengekspresikan empat dimensi kebiasaan tersebut. Dengan kata lain, kebiasaan ini berwujud latihan dalam keseluruhan empat dimensi kemanusiaan secara teratur dan konsisten, dengan cara yang bijaksana dan seimbang. Apabila institusi pendidikan berketetapan untuk menolong subjek didik agar memiliki kebiasaan “mempertajam gergaji”, hal ini merupakan investasi termahal, karena kebiasaan ini sebagai satusatunya instrumen yang perlu dimiliki oleh setiap orang untuk menghadapi masalah kehidupan. Agar dapat menjadi orang yang efektif, setiap orang hendaknya menyadari pentingnya mengalokasikan waktu secara teratur untuk mengembangkan empat dimensi tersebut. Demikian juga yang perlu dilatihkan kepada setiap subjek didik, bahkan semua pertisipan pendidikan untuk menghasilkan perilaku kelembagaan pendidikan yang sesuai dengan misi lembaga yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas beriman secara kritis berarti bertujuan untuk menghasilkan pribadipribadi semua umat beragama agar memiliki karakter yang baik dan kuat. Pertama, menjadi pribadi yang selalu memelihara iman karena didorong kesadarannya untuk berbuat baik kepada siapapun. Kedua, agar kita menjadi orang yang selalu memberi rasa aman kepada diri dan orang lain, tidak menjadi orang yang meresahkan dan menyengsarakan. Ketiga, menurut Sulaiman dan Fawwaz (2009), agar kita menjadi orang terpercaya; tidak berbohong dalam hal apapun, sekecil apapun, berusaha sekuat tenaga untuk tidak berdusta; menjaga mulut (lisan), tidak menambah-nambah atau mendramatisasi berita dan informasi, serta tidak meniadakan apa yang harus disampaikan; tidak sok tahu atau sok pintar; pandai menjaga kepercayaan (amanah), tidak membocorkannya; menepati janji dan tidak mengingkarinya.
A. Mempertanggungjawabkan Iman Secara Kritis Kecenderungan umum dalam masyarakat modern, mereka berpendapat bahwa Tuhan adalah urusan kepercayaan masing-masing orang. Kita tergoda untuk tidak membutuhkan Tuhan lagi. Kekayaan telah menjamin kelangsungan hidupnya, tidak perlu Tuhan. Kesejahteraan terjamin, halhal sulit dapat dipecahkan dengan temuan iptek secara jelas dan gamblang. Sebaliknya penderitaan dan kemiskinan terus merajalela, dimana Tuhan? Di kalangan orang beragama sendiri ada kecenderungan untuk menolak pemikiran rasional tentang Tuhan. Sikap menolak pemikiran kritis tentang Tuhan disebut fideisme. Orang yang menganut paham ini biasanya konservatif dan cenderung mengagung-agungkan hal-hal yang
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 15
hurufiah, dan arti harfiah. Kitab Suci dipandang sebagai yang seratus persen datang dari Tuhan dan harus diterapkan secara teliti. Ketaatan buta pada agama dan kebenaran iman, akan berbahaya. Orang bisa berbuat sembrono dan tak nalar karena keyakinannya. Akal budi mendorong untuk mencari jawaban atas pertanyaan kritis mengapa kita percaya kepada Tuhan? Apakah yang kita buat sekedar mengikuti tradisi yang diwariskan dari tahun ke tahun? Bahan ini ditulis lebih membantu kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Persoalan ini mendesak, karena di Indonesia tantangan bukan masalah berketuhanan, melainkan Tuhan yang diyakini dan dihayati dalam agama masing-masing tidak bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kodrat manusia adalah makhluk yang bertanya, termasuk mempertanyakan hal-hal yang bersifat ilahi dan pernak-pernik iman. Mempertanyakan eksistensi dan kehendak Allah bukan lagi tabu. Bahan ini menjadi panduan untuk mempertanggungjawabkan iman kepercayaan kita secara nalar. Dengan nalar misteri keilahian dapat didekati dan tercerahkan. Jangan sampai praktik hidup beragama menjauhkan diri dari pemikiran kritis terhadap Tuhan. Prinsipnya adalah fides quaerens intellectum, iman mencari pengertian. Di tengah masyarakat yang semakin plural bahan ini juga mengundang dan membuka kemungkinan terjadinya dialog dengan mereka yang mempunyai paham berbeda tentang Tuhan. Dalam bahan ini pun, beragam tentang “Realitas Tertinggi” yang dikemukakan oleh para filsuf. Descartes (1596-1650), misalnya menghubungkan paham Allah dengan ide kesempurnaan. Jika kita memikirkan yang sempurna atau tidak sempurna, maka hal ini mengandaikan adanya gagasan yang sempurna. Ajaran Blaise Pascal (1623-1662), memberi sumbangan yang lebih holistik dan personal bagi kita dalam memahami manusia dan sikapnya menerima Allah. Bagi Pascal, Allah adalah seorang pribadi yang terlibat dalam sejarah dosa dan penderitaannya dan mempunyai kepedulian padanya dengan melaksanakan karya pembebasan. Seperti diwahyukan oleh Kitab Suci kepada kita. Dengan demikian dari ajaran Pascal, muncul distingi, Allah yang kita terima keberadaan-Nya lewat hati dan Allah yang disadari melalui akal budi. Gagasan Pascal mau mengatakan bahwa bertemu dengan Allah dalam hatinya, keputusan terpenting yang dapat diambil manusia adalah keputusan untuk menerima dan mengikuti Allah secara pribadi. Keputusan ini melampaui keputusan rasio. Dengan kata lain sifatnya metarasional (bukan irasional atau melawan rasio). Maka sikap religius dan sikap kritis, intuisi dan akal budi, teologi dan filsafat tidak boleh dipertentangkan. Jangan sampai ada anggapan bahwa orang beriman atau religius tidak perlu mempertanggungjawabkan imannya melalui akal budinya, tidak perlu bersikap kritis terhadapnya. Percaya begitu saja ada bahaya akan mudah menjadi buta, picik, dan
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 16
fanatik sempit. Bahan ini sungguh menggugah kesadaran kita, akan apa yang kita imani selama ini. Belajar dari para filsuf, yang tidak ada hentinya berpikir dan terus berpikir tentang segala fenomena, termasuk fenomena terhadap adanya “Realitas Tertinggi”, kita akan terbebas dari segala macam pandangan fundamentalistik yang antirasional mengenai Tuhan. Dengan begitu kita bisa menjaga keseimbangan hidup, bukan hanya “cogito ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) melainkan juga “credo ergo sum” (Aku percaya, maka aku ada).
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 17
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik IX TOLERANSI BERAGAMA
Spiritualitas hubungan antarumat beragama dapat diartikan sebagai kualitas batiniah kolektif (collective conciousness) dalam setiap kelompok agama yang dapat menyatukan mereka ke dalam wujud hubungan yang harmonis sebagai hamba Tuhan. Dalam hubungan ini, maka beberapa proposisi dapat diajukan yaitu: Pertama, Semua manusia yang ada di muka bumi apapun latar belakangnya berasal dari Tuhan. Kedua, hak-hak manusia menentukan agamanya tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus dilindungi dan diberi dukungan. Ketiga, semua usaha manusia dalam mencari Tuhan harus mendorong pada peningkatan kualitas hidup, penciptaan perdamaian dan kerukukuknan antar sesama umat beragama.
A. Memahami Toleransi Beragama Toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance yang menurut Webster’s New American Dictionary berarti memberi kebebasan (membiarkan) pendapat orang lain
dan berlaku sabar
menghadapi orang lain. bahasa Arab toleransi sama dengan tasamuh, artinya membiarkan sesuatu untuk saling mengizinkan, saling memudahkan. Sementara dalam kamus bahasa Indonesia, toleransi didefinisikan
sebagai sikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat,
kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang dimiliki oleh seseorang atau yang bertentangan dengan pendirian seseorang. Toleransi beragama adalah suatu sikap bersedia untuk bersanding hidup dengan orang lain yang berbeda agama, berdasarkan pada prinsip saling menghormati. Sikap demikian mensyaratkan adanya sikap yang mendahuluinya, yaitu sikap inklusif, bukan eksklusif. Dalam hubungannya dengan masyarakat majemuk, sikap sedemian itu perlu ditegakkan dalam pergaulan sosial,
terutama dengan anggota-anggota masyarakat yang berlainan pendirian,
pendapat, dan keyakinan. Toleransi merupakan sikap lapang dada terhadap orang lain, tanpa harus mengorbankan prinsip diri sendiri. Sikap toleransi akan menciptakan hubungan harmonis. Sebaliknya, sikap intoleransi akan menciptakan hubungan konfliktual, dan hal ini tidak akan memberikan manfaat bagi umat beragama. Hubungan konfliktual antar umat beragama sesungguhnya seringkali lebih disebabkan bukan karena faktor agama sendiri. Tetapi lebih disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi, yang secara sosiologis disebut deprivasi relatif, yaitu perasaan tertinggal suatu kelompok agama tertentu dari
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
kelompok agama lainnya dalam bidang sosial-ekonomi yang kemudian dibawa kepada persoalan agama. Persoalan ini yang haruas diperhatikan oleh setiap agama sehingga kerjasama mengentaskan kemiskinan dan ketidakmerataan pendidikan harus dijadikan agenda paling utama. Dalam konteks inilah maka kerukunan dan toleransi antar umat beragama menjadi sangat penting.
Pameran Agama-agama Bersama seorang teman lain, kami mengunjungi sebuah pameran dunia agama-agama (pameran ini diikuti oleh agama Yahudi, Kristen dan Islam). Persaingan ketat sangat terasa, disertai berbagai propaganda yang sungguh keras. Dari bagian agama Yahudi diterima informasi bahwa Allah berbelas kasih, dan orang-orang Yahudi adalah bangsa terpilih. Pada bagian agama Kristen diwartakan bahwa Allah adalah kasih. Di luar Gereja tidak ada keselamatan. Hanya anggotaanggota Gereja saja yang terbebas dari bahaya keterkutukan kekal. Pada bagian agama Islam diperoleh informasi bahwa Allah Maha Besar dan Mulia, dan Muhammadlah satu-satunya Nabi. Keselamatan diperoleh apabila mendengarkan Mohammad, satu-satunya utusan Allah. Ketika kami keluar dari pelataran pameran, saya bertanya kepada temanku, Apakah sikapmu terhadap Allah? Dia menjawab, Allah terlalu keras kepala, fanatik, dan sadis. Pada suatu kesempatan lain saya bertanya kepada Allah ketika kami sudah di rumah, Apakah sikap-Mu terhadap hal-hal itu, Tuhan? Apakah Engkau tidak tahu bahwa manusia telah menyalahgunakan Engkau sejak berabad-abad lamanya? Allah berkata, Aku tidak mengorganisir pameran itu. Untuk ke sana saja Aku sendiri sebenarnya sangat malu.
B. Membangun Toleransi Melalui Dialog Antar Agama Toleransi beragama dapat dibangun melalui dialog antar umat beragama. Karena dialog akan menghasilkan saling pengertian di antara umat beragama yang pada gilirannya memunculkan sikap toleran dan rukun. Jadi, toleransi dan kerukunan antar umat beragama merupakan tujuan dialog. Dengan dialog diharapkan dapat terwujud masyarakat agama yang berjiwa kerukunan. Sehingga muncul kerjasama dan kebersamaan untuk menghadapi ketidakadilan sosial, terorisime, sukularisme, yang mengancam umat manusia di dunia. Dialog antar umat beragama merupakan kebutuhan hakiki umat beragama. Dialog merupakan pergaulan antar pribadi yang saling memberikan diri dan mengenal pihak lain apa adanya. Dalam dialog harus dilakukan sharing di antara umat beragama untuk saling membagikan informasi dan nilai-nilai yang dimiliki masingmasing, untuk menghadapi masalah-masalah kemanusiaan. Hal ini dilakukan untuk menambah sikap saling pengertian yang objektif dan kritis dan menumbuhkan kembali alam kejiwaan yang tertutup. Sehingga terwujud kerjasama untuk memenuhi kepentingan bersama.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
1.
Beberapa Prinsip Penting yang Mendasari Dialog Antar Agama Spiritualitas hubungan antar umat beragama atau spiritualitas dialogal (dialogal spirituality)
adalah sebuah gerakan religius umat beriman dengan mengosongkan dirinya untuk dipenuhi dengan “jiwa ilahiah” dan melihat realitas hidup di sekitarnya untuk berdialog secara integral dan transformatif dengan sesama umat beriman lainnya menuju kedamaian dan kerukunan hidup yang sesungguhnya. Beberpa prinsip yang diperhatikan dalam hal ini, yaitu: (a) Penghayatan hidup yang didasarkan pada ikatan relasi kasih antara manusia dengan Allah, yang dalam filsafat agama Jawa disebut Manunggaling Kawula Gusti (Menyatunya Hamba dan Tuhan), (b) Perlu adanya kesadaran diri manusia bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan, sesuai dengan gambaran dan rupa Allah sendiri di mana akhir perjalanan hidup manusia adalah persatuan jiwa manusia dengan Allah itu sendiri (persatuan Atman dengan Paraatman dalam Hindhuisme). Lebih jauh dari itu, cinta kasih Tuhan kepada manusia tercurah melimpah dalam seluruh ciptaan alam semesta. (c). Manusia beriman sejati menyadari tanggungjawab yang mendesak untuk sekali lagi membangkitkan sikap mendengarkan suara alam beserta misterinya. Umat beriman di manapun diundang untuk bertemu hati dalam keheningan dan cintakasih akan alam semesta, untuk menerima tata tertib karya Tuhan dan serasinya alam, untuk menandingi daya-daya destruktif yang menghancurkan lingkungan. Harmoni dengan alam semesta menghidupkan harmoni dalam hati dan menjalinkan harmoni antar pribadi sesama manusia. (d) Spiritualitas yang menciptakan hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan, maka spiritualitas dialogal mengungkapkan jawaban manusia terhadap panggilan Tuhan. (e) Spiritualitas dialogal membutuhkan sikap dasar hati yang terbuka. Sikap yang demikian itu memmerlukan model pengosongan diri (kenosis), suatu kesadaran tak berdaya, pemurnian tiada hentinya dari kecenderungan pemusatan diri, egoisme, bertumbuh terbuka dalam dialog dengan umat beriman lainnya. (f) Spiritualitas dialogal bersifat integral transformatif, yaitu merubah hidup orang beriman melalui sharing pengalaman hidup religius guna mengentaskan keterpurukan krisis total menuju Indonesia baru. Dalam pergulatan demi transformasi itu semua umat beriman diminta bersikap sabar dan rendah hati. Tiap peserta dialog harus mencoba mengakukan pada dirinya sedapat mungkin intuisi dan pengalaman sesama digunakan untuk mencoba mengungkapkan dan mengkomunikasikan pengalaman religiusnya. Berkat bimbingan Tuhan, semua umat beriman diajak berdialog, berjalan bersama mencari kebenaran. Setiap peserta dialog antar umat beriman saling berbagi pengalaman religius kehidupan sehari-hari, saling memperkaya dan saling meneguhkan satu sama lain dalam membangun dunia yang rukun, damai dan sejahtera di bumi Indonesia.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
2.
Buah dari pelaksanaan dialog antar agama Prinsipnya, spiritualitas hubungan antar umat beragama akan membuahkan hasil: (1) umat
beragama mengalami pengayaan di mana iman peserta diperluas dengan peluang untuk saling mendengarkan, menghalau segala praduga yang sudah mengakar, memperlebar pengertian yang sempit, (2) Iman peserta dijernihkan berkat perjumpaan antar umat beriman untuk merevisi asumsi, pandangan yang keliru antar umat beragama. Meninggalkan masa lampau yakni pengalaman yang buruk dalam membangun kerukunan hidup beragama, saling mengampuni dan memulai babak baru yang makin baik menuju kerukunan yang sejati, (3) Iman peserta diperdalam dengan saling mengenal dan menghargai berdasarkan landasan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh sikap dan perilaku kelompok ekstrim. Spiritualitas dialog yang sejati dan mendalam akan merubah sikap hidup kita antar umat beriman dari dialog antar iman (interreligious dialogue – interfaith dialogue) menuju pertobatan (metanoia). Semua perserta dialog antar umat beriman menjadi tanda pertobatan yang mengantar umat manusia kepada Allah.
3.
Spiritualitas yang Perlu Diperhatikan Dalam Dialog Antar Agama Spiritualitas dialogal secara konkrit dalam situasi pluralisme agama harus dikembangkan,
dengan cara: pertama, kita hendaknya menyadari bahwa umat beragama dan umat kepercayaan lain adalah rekan-rekan seperjalanan dalam menuju Tuhan; kedua, merupakan kewajiban kita untuk menggalang kerekanan, kekerabatan, persaudaraan antar umat beragama dan umat kepercayaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia, sebagai model bagi hubungan sosial; ketiga, kekerabatan, persaudaraan itu akan menghasilkan kerukunan sebagai prinsip hubungan sosial; keempat, menjaga moralitas hidup yang baik, yang ditandai dengan kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai insani luhur dalam menghayati dan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hidup bermasyarakat; kelima, mengusahakan kesejahteraan umum (bonum commune), yang adil makmur dan merata, terutama dalam opsi mengutamakan rakyat miskin dan tersingkir. Itulah Spiritualitas transformatif, merombak hidup umat beriman sendiri semakin menyerupai diri Allah, melahirkan umat manusia yang baru dipenuhi cinta kasih. Uraian di atas sesungguhnya terkait dengan keimanan setiap pemeluk agama apapun yang tidak hanya berdimensi teologis tetapi juga berdimensi sosiologis. Oleh karena itu, toleransi beragama dan kerjasama antar umat beragama menjadi sangat penting untuk dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan antar umat beragama.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
4.
Mengatasi Hambatan Utama Dalam Dialog Para peserta dialog antar umat beragama harus mempunyai perhatian penuh terhadap apa
yang didialogkan dan menghargai serta mempercayai orang lain. Mereka juga harus bersikap terbuka untuk bersedia mengungkapkan diri kepada orang lain dan sanggup mendengar serta menerima ungkapan orang lain Mereka harus memiliki sikap disiplin untuk mematuhi semua aturan dialog (Hendropuspito, 1983: 170). Dialog antar umat beragama tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan jika sikap-sikap seperti itu tidak dimiliki oleh peserta dialog Mereka perlu menyadari bahwa yang menjadi hambatan dalam dialog adalah bahasa yang berbeda, karena yang pasti para peserta masing-masing memiliki latarbelakang kebudayaan yang berbeda-beda. Prasangka negatif, sifat egois dan nafsu membela diri pertama kali harus dihindari. Ada beberapa pedoman dialog antar umat beragama. Pertama, dasar pijak yang sama. Karena itu, mereka harus menyadari bahwa masing-masing di antara mereka memiliki kepercayaan terhadap Tuhan yang sama sebagai pencipta dan kepercayaan mengenai adanya misi yang sama dalam agama mereka masing-masing untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian hidup umat manusia. Disamping itu, dalam konteks ke-Indonesiaan, mereka harus menyadari bahwa mereka hidup di satu negara, Indonesia. Karena itu, tekad untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa harus dijadikan prioritas. Dialog adalah untuk menumbuhkan saling pengertian dan saling menghargai yang bertolak dari bidang karya, sehingga semua agama di Indonesia dapat menjadi pendorong bagi kemajuan bangsa, bukan justru sebaliknya. Masalah demoralisasi, kemiskinan, ketidakadilan, pengangguran, kerjasama antar umat beragama, kode etik pergaulan antar umat beragama, monopoli ekonomi, dan sebagainya dapat dijadikan sebagai tema pilihan dalam dialog antar umat beragama. Dan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana dialog tersebut dapat melahirkan solusi-solusi terhadap masalah tersebut.
Pencarian Seribu tahun yang lalu dua filsuf bertemu di lereng gunung Lebanon. Yang satu berkata kepada yang lainnya, Kemana engkau akan pergi? Yang satunya menjawab, Aku mencari air mancur muda yang berada di sekitar perbukitan ini. Aku telah menemukan tulisan yang menceritakan bahwa air mancur itu berbungabunga saat matahari menyinarinya. Dan engkau, apa yang engkau cari? Filsuf pertama itu menjawab, Aku mencari misteri kematian. Kemudian mereka saling menganggap bahwa yang lainnya kurang ilmunya, dan mulai mereka bertengkar, serta saling menuduh sebagai orang yang buta terhadap kejiwaan.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
Ketika suara keras mereka terbawa angin, seorang asing, laki-laki yang dianggap tolol di desanya sendiri, lewat, dan ketika ia mendengar pertengkaran kedua filsuf yang semakin memanas, ia berdiri sebentar dan mendengar argumen mereka. Kemudian ia mendekati keduanya dan berkata, Sahabat-sahabatku yang baik, kelihatannya kalian berdua benar-benar menguasai bidang ilmu filsafat yang sama, dan kalian membicarakan hal yang sama, meski kalian katakan dengan bahasa yang berbeda. Salah satu dari kalian mencari air mancur muda, dan yang lain mencari misteri kematian. Namun sesungguhnya yang kalian cari itu hanya satu, dan berada dalam diri kalian berdua. Orang asing itu pun berbalik dan pergi sambil mengatakan, Selamat berpisah, orang-orang bijak. Dan, ketika ia meninggalkan mereka, ia tertawa dengan tawa yang sabar. Dua filsuf itu saling memandang diam untuk sementara, dan kemudian juga tertawa. Lalu salah satu dari mereka berkata, Jadi sekarang, akankah kita berjalan dan mencari bersamasama? (Kahlil Gibran)
C. Beberapa Model Dialog Sebagai Wujud Toleransi Beragama Untuk mengembangkan suatu dialog antar umat beragama, diperlukan suatu model sebagai pedoman. Tidak hanya satu model yang bisa menjadi pedoman. Beberapa model telah dikemukakan oleh beberapa pemikir agamawan.
1.
Membuat pengelompokan Paul F. Knitter dalam bukunya, Satu Bumi Banyak Agama, membagi model dialog itu menjadi
tiga macam yaitu: a).
Pusatkan pembicaraan atau tema tentang“ada banyak jalan menuju ke satu sumber yang Ilahi (Divine Center)” sebagai titik berangkat atau kriteria.
b). Berbagai kategori yang sama dipakai untuk mengelompokkan mereka menurut eklesiosentris (terpusat pada Gereja) atau kristosentris (terpusat pada Yesus) atau teosentris (terpusat pada Allah) sebagai titik berangkat atau kriteria
c). Mempergunakan kriteria penjabaran tentang pemahaman Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme, (Kristus menolak agama-agama lain, Kristus di dalam agama-agama, atau Kristus bersama agama-agama lain)
2.
Melakukan dialog bertingkat. Ada lagi bentuk dan model dialog yang dikemukakan oleh Dr. Krishnanda Wijaya Mukti. Dalam
bukunya Wacana Buddha Dharma dinyatakan bahwa ada beberapa bentuk dialog, tetapi tidak setiap
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
dialog itu cocok untuk setiap orang dalam setiap kesempatan. Karena itu, dialog antar agama dibedakan sebagai berikut: a).
Dialog kehidupan sehari-hari Sekalipun tidak langsung menyentuh perspektif iman dan ajaran, semua orang bekerja sama, belajar mencontoh kebaikan dalam praktek sehari-hari, di dalam lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja dan lain sebagainya.
b). Dialog melakukan pekerjaan sosial Bekerjasama dengan para pengikut agama lain dengan sasaran meningkatkan martabat dan kualitas hidup manusia, misalnya membantu mereka yang mengalami penderitaan, melaksanakan proyek-proyek pembangunan, dan sebagainya. c).
Dialog pengalaman keagamaan Saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai dan cita-cita rohani masing-masing pribadi dengan berbagi pengalaman berdoa, meditasi dan sebagainya. Pemeluk satu agama bisa tinggal untuk beberapa waktu di tengah komunitas pemeluk agama lain. Berkumpul melakukan doa bersama (dengan cara sendiri-sendiri) untuk tujuan yang sama, misalnya untuk perdamaian dunia, keselamatan bersama, dan lain sebagainya.
d). Dialog pandangan teologis Dialog ini dilakukan oleh ahli-ahli agama, untuk saling memahami dan menghargai nilai-nilai rohani masing-masing. Melalui dialog ini mereka mengangkat pandangan keagamaan dan warisan tradisi keagamaan dalam menyikapi persoalan yang dihadapi manusia.
3.
Menghargai perbedaan interpretasi teks suci. Model lain ditawarkan oleh Muhammad Ali dengan mengetengahkan beberapa sikap yang
perlu dipegang dalam melakukan dialog seputar perbedaan pemahaman dan interpretasi atas teksteks suci, sebagaimana termuat dalam kitab-kitab keagamaan. a).
Mengakui perbedaan pemahaman terhadap kitab suci orang lain. Karena umat Islam, umat Kristen dan Yahudi misalnya, berbagi sejarah yang sama, maka juga memiliki interpretasi sendiri-sendiri. Kaum Muslim berhak memberikan tafsiran atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru karena mereka merupakan bagian dari warisan ini. Kaum Muslim bisa jadi memiliki Kristologi sendiri yang berbeda dengan pandangan Kristen, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi berhak memiliki Islamologinya sendiri. Terdapat interpretasi yang berbeda antara umat Islam, Kristen dan Yahudi terhadap sosok Ibrahim (Abraham), Musa dan Isa atauYesus.
b). Menghargai perbedaan pemahaman terhadap kitab suci dalam agama tertentu. Kalangan liberal Yahudi misalnya, berpendapat bahwa Alkitab merupakan pewahyuan Ilahi, namun tetap merupakan dokumen manusiawi dan bukan produk pewahyuan secara harfiah. Sedang kaum
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
konservatif tidak sependapat dengan itu. Mereka lebih memahami Taurat murni sebagai wahyu ilahi, sekaligus teks dan isinya. Perbedaan pandangan seperti ini memperlihatkan betapa setiap tradisi iman tidak saja memiliki pandangan sejarah dan teologi yang berbeda tentang iman dan kitab suci orang atau agama lain, melainkan juga tentang tradisi mereka sendiri. c)
Berdebat secara cerdas, dan bukan berdebat kusir. Diskusi dan dialog harus dilakukan dengan cara yang paling baik dan paling tepat. Tidak ada penghujatan, pengkafiran, pelabelan ‘setan’ terhadap mitra dialog, atau theological judgment lain yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan. Persoalan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka bukanlah persoalan sesama manusia. Itu pekerjaan Tuhan dan Tuhan yang menentukan dan menjelaskannya nanti. Yang penting bagi kita ketika di dunia ini adalah pencarian kebenaran secara tulus dan bertanggung jawab. Seorang muslim misalnya hanya berhak mengatakan“kita memiliki pesan Allah melalui Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang otentik secara historis, dan pesan ini harus disampaikan dengan cara terbaik kepada dunia, dan terserahlah manusia apakah mau menerima atau tidak pesan tersebut”. Hal yang sama berlaku juga bagi agama-agama lain. Mereka hanya berhak menyatakan sesuatu tentang apa yang mereka imani. Namun siapa pun tidak bisa mendahului Allah untuk melakukan penilaian. Dan, tidak boleh suatu agama memaksakan seseorang untuk menerima pernyataan atau pewartaan iman mereka.
Atas Nama Tuhan Menurut cerita turun temurun, kota kami dilewati jalan Dandels yang dibangun dengan kerja rodi. Pusat kota yang terdapat alun-alun, tersebar bangunan beribadah dari berbagai macam agama. Terdapat bangunan masjid yang berhadap-hadapan dengan penjara. Di sampingnya masjid dengan dipisahkan jalan, berdiri pusat pemerintahan, di sampingnya dengan dipisahkan jalan berdiri sebuah bangunan gereja. Sedangkan di samping gereja dengan dipisahkan jalan, berdiri bangunan vihara. Kemudian di samping vihara dengan dipisahkan jalan, berdiri bangunan penjara dan di samping penjara yang dipisahkan jalan, berdiri bangunan kantor kejaksaan. Susunan pusat kota kami menurut cerita turun temurun di samping menunjukkan toleransi beragama juga menunjukkan sebuah hubungan antara sebuah kehidupan yang religius dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pusat pemerintahan yang terletak di antara penjara dan bangunan-bangunan beribadah ibadat diharapkan akan membuat para pemegang kendali pemerintahan untuk bekerja secara benar, sebab jika mereka bertindak tidak benar dalam menjalankan pemerintahan maka mereka akan menerima siksa akhirat tercermin dari bangunan beribadah dan akan mendapatkan siksa dunia yang tercermin dalam bangunan penjara dan kantor kejaksaan. Di waktu aku kecil, tidak terdapat sebuah tembok tinggi yang memisahkan kami dengan teman-teman yang berbeda agama. Di waktu perayaan Idul Fitri, kota kami sangat meriah di malam hari. Kami merayakannya dengan suka cita, keliling kota dengan kendaraan truk dan bak terbuka sambil membawa obor. Teman-teman kami yang CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 9
berbeda agama turut larut dalam kegembiraan. Walaupun tidak mengucapkan takbir, mereka ikut berteriak-teriak sambil memutar-mutar obor. Tidak ketinggalam temanteman kami yang berbeda agama ikut unjung-unjung dan menikmati makanan khas lebaran, Lontong Opor. Dan di waktu perayaan Natal, kami yang jumlahnya mayoritas mengunjunginya beramai-ramai. Kami selalu memegang dan memandangi pohon Natal yang berhiaskan bermacam lampu. Kami juga makan bersama tanpa sedikitpun rasa takut, disediakan makanan yang menurut kami haram. Mereka telah mengetahui secara baik, ada beberapa makanan yang tidak boleh kami makan. Guru mengaji kami telah berkali-kali menerangkan batas-batas di antara kami dengan jelas. Sehingga kami semuanya telah mengetahui kapan kami boleh ikut dalam perayaan Natal dan kapan kami harus keluar untuk menghormatinya beribadat. Satu lagi yang penting, orang tua kami tidak pernah ketakutan kami akan berpindah agama gara-gara ikut makan bersama merayakan Natal. Ternyata memang terbukti, sampai saat ini diantara teman-temanku yang selalu ikut makan di waktu perayaan Natal tidak ada yang berpindah agama. Tetapi setelah kota kami berubah menjadi kota industri, segalanya berubah. Toleransi beragama menjadi sesuatu yang langka terjadi. Penyebabnya adalah banyaknya orang yang bekerja di kota kami yang berasal dari luar kota membawa sebuah pengaruh baru dalam pemahaman tentang toleransi. Di tambah orang-orang dari kota kami yang belajar di bangku kuliah di luar kota, juga membawa pemahaman baru tentang toleransi. Teman-temanku yang di waktu dulu walaupun berbeda agama selalu bermain bersama-sama, sekarang menaburkan benih-benih permusuhan. Kota kami sekarang tersekat-sekat oleh agama yang dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Anakanak yang berbeda agama selalu diusir jika mendekati tempat ibadah. Mereka menghindari fitnah mengajak anak-anak pindah agama, yang dapat menimbulkan kerusuhan yang berbau SARA. Kota kami kini telah bermunculan sekolah-sekolah berdasarkan agama, mulai dari TK sampai SMA. Seperti teman sebayaku, aku juga menimba ilmu di bangku kuliah di luar kota. Tetapi semangat toleransi yang terbina sejak kecil tidak dapat mempengaruhi aku untuk melihat orang di luar agamaku adalah musuh. Namun, tidak semuanya temanku semasa kecil dapat bertahan pada toleransi yang telah mereka rasakan di masa lampau. Kedua temanku Nurdin yang sekarang berjenggot dan bercelana congklang dan si Alex yang selalu berkalung salib besar yang sewaktu kecil akrab sekarang mulai membuka Front. Mereka pernah berdebat kusir mengenai agamanya msing-masing. Dapat ditebak akhir dari perdebatan ini, yaitu saling menghujat dan melahirkan permusuhan. Setelah selesai kuliah, kini aku bekerja pada sebuah pabrik di kota kelahiranku. Pabrik tempatku bekerja pemiliknya adalah orang yang beragama kristen. Dan rata-rata pekerjanya juga beragama kristen. Walaupun banyak di antara temanku mengingatkan akan bahayanya bekerja di perusahaan tersebut, tetapi aku tidak peduli, sebab sampai sekarang tidak ada kalimat yang tersurat maupun tersirat aku harus pindah agama jika ingin mendapatkan karier yang bagus. Buktinya, setelah beberapa tahun bekerja, karierku di perusahaan tersebut lumayan bagus. Kadang-kadang aku mendengarkan keluhan dari temanku yang berbeda agama, mengenai sikap dari orang-orang yang seagama denganku yang kurang ramah. “Kalau masalah tersebut, jangan dibawa ke masalah agama. Sebab bukan hanya pemeluk agama saya yang berbuat demikian, mungkin ada juga pemeluk agamamu yang berbuat demikian. Tetapi yang jelas setiap agama menganjurkan perbuatan yang baik.” kataku “Kalau boleh tahu, seperti apakah ciri-cirinya dari pemeluk agamamu yang kurang toleransinya dalam kehidupan beragama?” tanya temanku. Aku terdiam, memikirkan CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 10
sebuah jawaban yang tidak membuat masalah menjadi lebih runcing. “Menurut saya, orang yang ingin memformalkan kehidupan beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah orang yang mempunyai toleransi beragama yang rendah. Sebenarnya semua pertanyaanmu adalah bernada kecurigaan. Dan kadang andalah sebagai fihak yang minoritas yang memancing kecurigaan. Seperti di perusahaan ini juga memancing kercurigaan. Kenapa dari pemilik yang beragama kristen, mayoritas pegawainya juga kristen?” jawabku. Temanku terdiam dan mengangguk sebagai tanda mengerti. Semakin lama, aku semakin menyadari posisiku dalam kehidupan sosial sangat tidak menguntungkanku bukan hanya berada dalam posisi netral dalam perebutan pengaruh agama di kotaku, namun ada sebuah isyu yang beredar bahwa aku telah “MALIH KIBLAT”. Sungguh, aku sangat menyesalkan isyu tersebut. Bahkan yang lebih mengecewakan aku, isyu tersebut di hembuskan oleh temanku sendiri, Nurdin, dalam setiap ceramah-ceramahnya di setiap pengajian yang dia kunjungi. Sebenarnya, keinginanku sederhana, aku tidak ingin menjadi wasit ataupun juru damai kehidupan beragama di kotaku yang sedang mengalami permasalahan toleransi. Aku hanya ingin semuanya normal, seperti masa kecilku dulu, diantara kami yang berbeda agama tidak ada rasa saling mencuragai. Pada suatu hari menjelang Maghrib, setelah aku pulang kerja kulihat Nurdin menghampiriku yang sedang berada di teras rumah sambil minum kopi. Setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi sebentar Nurdin mulai mengutarakan maksudnya. “Rif, kenapa kamu tidak keluar dari perusahaan itu? Bukankah kamu sudah tahu siapa pemiliknya? Dia adalah donatur terbesar dari gereja terbesar di kota ini. Aku yakin jika kamu keluar dari perusahaan itu, Allah pasti akan memberikan rejeki kepada kamu yang jauh lebih besar.” “Din, kenapa sekarang kamu berpandangan sempit. Apakah kamu masih ingat ketika kita kecil dulu. Bukankah kita saling menghormati agama orang lain dan tidak memagari diri kita dengan tembok yang tinggi terhadap orang yang berbeda agama. Dan sekarang kamu lihat, aku masih bersholat dan berTuhan yang sama seperti kamu.” “Saya hanya mengingatkan kamu sebagai sesama Muslim, apakah salah?” “Tidak salah, yang salah adalah bahwa kamu telah berlaku seolah-olah menjadi Tuhan. Sehingga kamu berhak menuduh setiap orang, kafir”. “Rif, buka wawasanmu. Pandanglah lebih luas. Di berbagai belahan dunia umat Muslim ditindas. Kita harus bersatu, jika kelak gerakan itu sampai kesini.” “Setiap daerah memiliki setiap permasalahan yang berbeda, tidak dapat kamu samakan. Dan saya masih melihat toleransi masih relevan di kota ini.” “Kamu seorang yang pesimis, karena berada di tengah-tengah. Sama saja dengan orang yang tidak punya pilihan, tidak punya pegangan,” kata Nurdin. Sebelum aku sempat menjawab, Nurdin telah mengucapkan salam. Aku memandangnya sampai bayangannya hilang ditelan malam. Pertemuan ini adalah pertemuan terakhir kami, sebab setelah ini dia telah memutuskan aku bukan bagian barisannya. Permasalahan toleransi beragama di kota kami semakin meruncing dan mendekati puncaknya tatkala sebuah truk tempatku bekerja yang membawa minyak solar untuk kebutuhan pabrik meledak di depan masjid. Walaupun, tidak terdapat korban jiwa dalam insiden tersebut, tetapi kaca pada dinding masjid pecah akibat getaran dari ledakkan tersebut. Peristiwa kecelakaan itu, ternyata dapat menjadi sebuah isyu yang tidak jelas dari mana asalnya menjadi sebuah peledakan masjid yang didalangi oleh pihak gereja. Entah dari mana asalnya setelah peristiwa itu, ratusan orang berpakaian putih dan bersurban putih menutup gereja di kota kami dan menutup pabrik tempat kami bekerja. Beberapa hari kemudian, pihak gereja yang merupakan kelompok minoritas di kota kami, CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 11
melakukan manuver hukum dengan melaporkan bentuk ketidakadilan ini kepada aparat yang berwenang. Aparat keamanan yang kurang mengerti duduk persoalannya langsung berkesimpulan dan menganggap peristiwa ini sebagai SARA dengan cepat-cepat mengambil tindakan, agar tidak sampai meluas. Aparat keamanan melakukan tindakkan tegas dengan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai provokator. Tindakkan aparat keamanan ternyata tidak dapat memadamkan kerusuhan, tindakan penangkapan ternyata memancing reaksi lebih keras dan menimbulkan solidaritas sesama pemeluk agama. Masyarakat di kota kami pada akhirnya terpancing, karena beberapa saudaranya yang tidak tahu menahu peristiwa ini ikut di tangkap aparat keamanan. Gereja dan pabrik tempat aku bekerja di bakar dan kini tinggal debu. Aku yang sekarang menjadi pengangguran tanpa sebab yang jelas harus bolakbalik ke kantor polisi. Dan pada akhirnya membawaku sebagai tersangka penyebab kerusuhan. Dalam sidang pengadilan yang dihadiri ribuan orang, namaku dihujat dan dikafirkan. Dalam sidang yang berliku-liku aku dituduh telah sengaja meledakkan masjid dengan menggunakan mobil tangki minyak perusahaan tempatku bekerja. Walaupun aku telah beruaha menjelaskan bahwa peristiwa mobil tangki minyak yang meledak di depan masjid adalah sebuah kecelakaan. Tetapi kelihatanya pengadilan tidak percaya. Kemudian, aku baru menyadari, bahwa sebuah toleransi beragama membutuhkan tumbal atau kambing hitam. Dan aku sekarang telah menjadi tumbal. Dalam pledoi di depan pengadilan aku berusaha melakukan pembelaan. “Kerusuhan bernuansa agama yang terjadi bukanlah disebabkan oleh meledaknya mobil tangki minyak di depan masjid, sebab mobil tangki minyak tersebut meledak karena kecelakaan. Penyebab yang utama adalah terkikisnya toleransi kehidupan beragama, sehingga umat beragama menjadi saling curiga. Saya yakin, setelah ini pasti sebuah peristiwa yang tidak disengaja akan meyebabkan kerusuhan muncul kembali. Umat beragama telah menjadi Tuhan dan meletakkan Tuhan di ujung pedang. Padahal Tuhan ada di hati kita, bukan diujung pedang yang siap di tebaskan. Jika atas nama Tuhan kita di benarkan curiga, membakar dan membunuh sesama manusia, ada baiknya kita bakar masjid dan gereja bersama-sama, kita bakar Tuhan kita bersama-sama agar hilang rasa dendam, curiga, dan saling membunuh di antara kita.” Pengunjung pengadilan terdiam beberapa saat. Sebelum sempat aku melanjutkan pembelaanku, sebuah suara pistol meletus. Terdengar sayup-sayup orang berteriak-teriak dan terdengar pula sayup-sayup suara ketukan palu hakim. Aku limbung, darah menetes dari dadaku dan kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 12
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik X KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA
Kerjasama antarumat beragama merupakan suatu keniscayaan. Pertama, karena semua agama membawa misi ilahiah yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi manusi. Istilah sejahtera menunjuk pada aspek lahir dan batin, yaitu jiwa-raga dan terpenuhinya kebutuhan hidup mereka. Kedua, persoalan setiap umat beragama relatif sama, yaitu masalah moral, sosial, ekonomi dan budaya. Ketiga, kerjasama antarumat beragama merupakan wujud dari substansi dari semua agama sebagai rahmat bagi semua manusia dan alam. Keempat, setiap agama dituntut untuk melakukan perannya yang nyata dalam mengatasi masalah-masalah keagamaan yang sifatnya universal tanpa harus melihat apapun latar belakang manusia. Kelima, kerjasama antarumat beragama kalau begitu benar-benar penting untuk diwujudkan.
A. Pentingnya Kerjasama Antarumat Beragama Agama diakui sebagai kekuatan pembebas bagi menusia; membebaskan manusia dari kesengsaraan hidup, dari ketidak adilan, dan dari penindasan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka agama-agama harus lebih proaktif lagi mewujudkan perannya yang paling tinggi, yaitu “kerja sama”. Semua institusi agama dan juga etnis harus mengembangkan kesadaran akan pentingnya kerjasama, karena hubungan yang paling dekat dan paling erat serta paling berhasil dalam suatu kemajemukan adalah kerja sama. Jika kesadaran dan kerjasama antar kelompok yang berbeda sedang berlangsung, maka apa yang disebut multikulturalisme kolaboratif sedang dibangun. Multikulturalisme kolaboratif merupakan salah satu pendekatan mengatasi masalah-masalah akibat perbedaan etnis, agama dan budaya, seperti konflik dan disintegrasi nasional. Baik keterasingan buadaya maupun asimilasi budaya dapat membawa masalah apabila kerja sama tidak dikedepankan. Multikulturalisme kolaboratif menghargai perbedaan budaya secara mendasar dan tidak sekedar bersifat formalistik dan seremonial belaka. Kerjasama antarumat beragama harus menyentuh kepada substansi persoalan. Misalnya persoalan moral generasi muda dewasa ini dan manusia secara keseluruhan. Orientasi manusia modern saat ini, seperti yang diyakini sosiolog Inggris Anthony Giddeens, sebagai “runaway world”, yaitu dunia yang tunggang langgang seperti truk yang lari kencang tidak jelas arahnya karena lepas
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
dari pengemudinya. Manusia sekarang mengalami disorientasi. Persoalan kemiskinan juga menjadi masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia; anak-anak putus sekolah, mereka yang kecanduan obat terlarang, kerusakan lingkungan, dan sebagainya merupakan masalah penting yang harus dipecahkan bersama antarumat beragama.
B. Bentuk-Bentuk Kerjasama Banyak aspek yang dapat dilakukan bersama antarumat beragama. Artinya agama-agama dapat bekerja sama untuk melakukan peran pencerahan dan pembebasan yang membuahkan pemberdayaan bagi para penganutnya dan warga negara Indonesia secara keseluruhan. Berikut ini ada tiga bentuk kerjasama yang dapat dilakukan bersama.
1.
Perbaikan Moral Tugas utama agama adalah bagaimana agar agama dengan berbagai pesan-pesan moral yang
terkandung di dalamnya bisa menjadi sumber semangat dan moralitas bagi umatnya. Di sini peran berbagai institusi keagamaan, termasuk departemen agama sendiri sangat diharapkan. Para pemimpin dan tokoh-tokoh agama dituntut untuk bisa menjadi nabi-nabi, guru dan imam zaman ini, yang menyuarakan kehendak Allah, bagi kebaikan, perdamaian, kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Departemen agama dituntut untuk tampil sebagai pengayom bagi tumbuh-kembangnya iklim keagamaan yang harmonis, rukun dan damai di bumi persada ini. Lembaga-lembaga keagamaan harus berefleksi kembali apakah sudah memainkan peran yang tepat dalam menumbuhkembangkan iklim keagamaan yang kondusif di Indonesia. Juga dapat menanyakan pada dirinya apakah sudah menjadi sumber pembentukan watak dan akhlak bagi umat yang telah dipercayakan Tuhan kepada mereka.
2.
Penegakan keadilan Boleh dikatakan bahwa masyarakat kita sudah cukup lama menderita karena ketidakadilan. Di
berbagai sektor kehidupan berlangsung perlakuan yang tidak sama, baik terhadap individu maupun kelompok (suku, etnis, daerah, wilayah, gender, agama, status, dan sebagainya). Diskriminasi dalam berbagai bentuk dan cara, berlangsung di berbagai sektor kehidupan, tanpa ada yang sungguhsungguh peduli dengan itu. Di sinilah agama-agama terpanggil untuk memainkan peran pembebasannya. Bukan tidak mungkin agama-agama dapat secara bersama-sama mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurangi bahkan memberantas praktek yang sudah menyengsarakan rakyat dan umat dalam waktu yang cukup lama itu.
3.
Perbaikan taraf hidup
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
Perbaikan taraf hidup warga dan umat sangat mendesak sekali. Ketertinggalan di salah satu bidang akan mempengaruhi bidang-bidang lain. Kalau ekonomi lemah, maka peningkatan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, juga ikut terbengkalai. Bahkan untuk bisa menjalankan kewajiban agama dengan baik, seseorang dituntut untuk mampu memenuhi persyaratan minimal. Seorang muslim misalnya, dia harus shalat, harus puasa, zakat dan pergi haji. Keempat rukun Islam itu tidaklah dapat dijalaninya dengan sempurna kalau dia seorang miskin. Melakukan ritual sholat, perlu berpakaian bersih dan rapi. Menjalani puasa, perlu modal untuk berbuka puasa dan makan sahur. Untuk mengeluarkan zakat, seseorang tidak mungkin akan bisa kalau dirinya sendiri miskin. Apalagi untuk pergi haji dengan ongkosnya antara 25 sampai 35 juta rupiah. Jadi untuk bisa menjadi muslim yang baik mesti mempunyai kemampuan harta minimal. Begitu juga seorang Kristen yang baik, harus rajin mengikuti ritual-ritual keagamaannya secara teratur. Untuk bisa melakukan itu, seseorang perlu berpakaian rapi dan bersih, perlu kendaraan dan ongkos jalan ke Gereja. Perlu juga mengisi kas Gereja dan memberi persembahan. Hal yang kurang lebih sama berlaku juga untuk agama-agama lain.
C. Langkah-langkah Konkrit Untuk mewujudkan kerjasama kerjasama maka perlu ada langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan oleh setiap semua umat beragama, sebagai berikut.
1.
Memperbaiki paradigma hidup keagamaan Sebagai bangsa beragama, kita berharap bahwa pesan-pesan keselamatan dari Tuhan bukan
hanya tinggal sebagai yang ideal saja, yang tidak tersentuh oleh manusia. Agama-agama, dengan kerjasama yang semakin baik, harus mencari jalan agar pesan-pesan keselamatan itu dapat menjadi milik manusia dan menyemangati hidupnya. Pada tataran teologis agama-agama perlu mengubah paradigma teologis yang pasif, tekstual dan eklusif. Agama-agama harus mengembangkan teologi yang inklusif, pluralis, kontekstual, yang mampu menggugah para pemeluk agama untuk menemukan kehendak Allah dalam berbagai praksis dan pergumulan hidup mereka. Teologi harus memperjuangkan kebebasan dari segala belenggu dan penindasan, sekaligus memberi dorongan dan kekuatan untuk hidup dengan baik, di hadapan Tuhan dan sesama. Dialog antar agama perlu ditingkatkan lagi, untuk secara bersama-sama mencari bagaimana pesan Allah dapat ditangkap oleh manusia zaman ini, dan dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam menjalankan hidup yang semakin baik.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
2.
Membela kaum lemah Kerjasama yang dibangun hendaknya terutama berorientasi untuk memihak yang lemah
dengan memberdayakan mereka. Perbaikan taraf hidup masyarakat sebaiknya dilakukan secara simultan di berbagai sektor penting kehidupan. Namun dalam kenyataannya, kalau kemampuan ekonomi semakin baik, maka perbaikan di bidang lain lebih mudah dilakukan. Maka dapat dikatakan bahwa perbaikan kondisi ekonomi perlu dijadikan prioritas. Kenyataan menunjukkan bahwa kalau seseorang belum makan (perutnya kosong), anaknya tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya, kalau kondisi kesehatan mereka memprihatinkan, bagaimana kita mengajak mereka untuk menghayati betapa baiknya Allah kepada mereka? Kebaikan Tuhan bisa sampai kepada seseorang melalui sesamanya. Agama-agama terutama harus dapat menjadi saluran berkat bagi Tuhan bagi manusia. Untuk itu, lembaga-lembaga sosial keagamaan harus bekerja sama mencari bentuk-bentuk kerjasama yang orientasinya terarah untuk memberdayakan masyarakat lemah. Kerjasama ini harus bebas dari campur tangan pihak luar serta tujuan-tujuan di luar tujuan yang sebenarnya.
3.
Menghadirkan suasana surga di dunia ini Setiap agama harus menunjukkan sikap bersahabat yang tulus, sebagai yang sama-sama
memiliki tugas dan tanggung jawab menciptakan pembaharuan di dunia ini. Keselamatan abadi, sebagaimana dijanjikan oleh setiap agama, yang dalam istilah agama disebut surga, tidak akan kita alami sekarang ini apabila hidup manusia bergelimang penderitaan dan keterbelakangan, baik secara fisik maupun non-fisik. Surga dari nirwana sebagai lambang kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan hidup, bukanlah hanya sebagai kenyataan di akhirat nanti, melainkan seharusnya kita sudah mulai menikmatinya dalam kehidupan di dunia ini. Hal itu bisa terjadi dalam bentuk ketentraman, keamanan, kerukunan, kedamaian, kesejahteraan, dan segala wujud kebaikan bersama. Itulah yang kita usahakan dalam semangat keagamaan dan iman, yang harus kita tumbuh kembangkan di antara kita semuanya.
4.
Menjadi pelopor perbaikan akhlak Perbaikan akhlak dari bangsa kita ini sudah sangat mendesak sekali. Potret keagamaan
sebagaimana diungkapkan pada bagian pertama topik ini sangat berkaitan dengan kepemilikan watak dan akhlak buruk oleh sebagian besar orang berpengaruh di negara ini. Kalau watak, karakter atau akhlak tetap tidak berubah (apalagi bila semakin buruk), maka kita akan semakin terperosok ke jurang kehancuran. Sebuah bangsa akan hancur ketika moralitasnya hancur, demikian kata penyair Syauqi Beik. Dalam hal perbaikan moralitas bangsa ini, agama tidak boleh berpangku tangan saja. Ada tanggungjawab besar terletak di pundaknya, yang harus dia jalankan dengan sepenuh hati, melebihi yang sudah-sudah. Dalam aktivitas sehari-hari, setiap peribadi beriman hendaknya bisa menjadi teladan bagi sesamanya. Bagi masyarakat Indonesia yang paternalistik, keteladanan sangat
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
penting. Masing-masing tokoh, masing-masing umat beragama yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin, entah itu pimpinan birokrat atau pemimpin organisasi atau bahkan telah dipercaya menjadi wakil rakyat, hendaklah menjadi teladan kebaikan, dengan menjaankan tugas dan pengabdiannya penuh tanggung jawab.
5.
Bekerjasama memberantas kejahatan dan menebar kebaikan Kerjasama antar berbagai agama dapat diarahkan juga dengan bijak untuk memberantas
kejahatan di berbagai lingkup kehidupan. Agama secara bersama-sama dapat mencari jalan umpamanya, bagaimana cara mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Indonesia, biarpun tingkat keberagamaannya mendapat acungan jempol oleh sementara bangsa dan negara lain, namun korupsinya telah menjadi seni dan bagian dari budayanya. Korupsi dan kejahatan lainnyamenjadi sangat tidak ada korelasinya dengan ketaatan beragama, padahal budaya korupsi adalah penyebab terjadinya kemunduran dan keterbelakangan suatu masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa beragama tidak berarti tidak korupsi atau melakukan kejahatan lain? Kita tidak perlu under-estimate, seolah-olah agama tidak mampu mendorong anti korupsi dan anti kejahatan lainnya. Bukan agama yang gagal, melainkan tokoh dan penganut agama itu yang memiliki pemahaman dan penghayatan agama secara tidak benar. Kesalehan individu tampaknya belum menjadi jaminan kesalehan sosial dan profesional. Agamaagama tidak membenarkan kebejatan, ketidakjujuran dan segala bentuk immoralitas sosial lainnya. Agama mengajarkan norma yang mulia, buadaya malu, kokoh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, ethos kerja dtinggi serta orientasi pada kemajuan dan prestasi. Agama dalam konteks demikian berposisi sebagai ppembimbing dan kontrol transendental. Penganut agama seharusnya juga merasa dia tetap dikontrol oleh Yang Maha Tahu, kapan pundan dimana pun dia berada. Selain itu, agama juga mengajarkan kehidupan sesudah mati, yang punya kaitan dengan kehidpan di dunia sekarang ini. Maka, meskipun tindakan korupsi dan kejahatan lain yang dilakukan sekarang ini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian hari tidak akan melepaskannya begitu saja. Keberagamaan yang substantif akan mampu meencegah penganutnya dari perilaku korup. Melalui aktivitas kemasnyarakatan, hendaknya ada semacam gerakan moral untuk mencegah terjadinya perilaku korup dalam berbagai bentuk, dengan cara memberikan sangsi moral bagi pelakunya. Agama-agama harus memasyarakatkan dan menyebarluaskan kebaikan melalui kerjasama di berbagai proyek kemanusiaan dan mempengaruhi sebanyak mungkin orang untuk berbuat baik. Himbauan atau seruan yang terus menerus dari tokoh-tokoh agama, yang disertai dengan keteladanan yang terpuji, dapat medorong umat untuk menjauhi kejahatan dan berusaha hidup secara baik.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
D. Hasil Kerjasama Antar Umat Beragama Kerjasama antarumat beragama akan membuahkan beberapa hasil positif bagi setiap umat beragama, bagi bangsa Indonesia, dan umat manusia pada umumnya. Pertama, kerjasama akan dapat meningkatkan keberimanan secara teosentis maupun sosiologis. Secara teosentris, hubungan umat beragama dengan Tuhan akan semakin kuat karena mereka akan saling mengingatkan dan menasehati. Secara sosiologis, keberimanan teosentris dapat diwujudkan ke dalam kehidupan sosial. Kedua, kerjasama antarumat beragama akan menghasilkan hubungan sosial yang kuat (social embededness) dalam dan antar umat beragama. Karena muncul kepercayaan (social trust) di antara mereka, sehingga tidak ada lagi prasangka negatif di anatara mereka baik pada tingkat individual (prejudice) maupun pada tingkat kolektif (stereotype). Ketiga, moral umat beragama akan menjadi lebih baik karena ada aksi bersama dalam menyelesaikan masalah tersebut. Setipap umat beragama akan saling berbagi pengalaman dalam menyelesaikan masalah. Keempat, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat agama akan meningkat karena ada kepedualian bersama terhadap masalah tersebut. Ada beberapa catatan penting lainnya yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan kerjasama antarumat beragama yang perlu kita pahami. Kerjasama antarumat beragama merupakan suatu karakter etik (ethic character), dimana kerjasama tersebut didasarkan kepada kesadaran nurani bahwa hal itu memang betul-betul diperintah oleh agama, jadi muncul dari dalam (hati nurani) dan memancar keluar mewujud ke dalam kerjasama. Karakter ethic merupakan “pesan Tuhan” yang harus dilakukan oleh umat beragama. Oleh karena itu, karakter etik melekat pada sifatsifat umat beragama, seperti integritas, rendah hati, kepedualian, dan keteladanan.
Kerjasama Antarumat Beragama dengan SVP dan STP Alvin adalah seorang alumni sebuah perguruan tinggi di metropolitan yang menyadari betul akan makna kerjasama antarumat beragama. Dia memastikan dirinya untuk menjadi motor penggerak kerjasama antarumat beragama di daerahnya di Sumatera. Kesadaran seperti itu dia tanamkan ke dalam pikiran dan kalbunya. Maka dia tulis Statemen Visi Pribadi (SVP) dia ketika masih mahasiswa semester lima, yaitu: “Saya menjadi pelopor kerjasama antarumat beragama di daerah saya, agar semua umat beragama hidup aman, damai dan sejahtera.” Alvin menurunkan SVP-nya ke dalam Statemen Tindakan Pribadi (STP) dia sendiri. STP merupakan tindakan-tindakan spesifik yang harus dia lakukan mulai “sekarang” untuk mencapai visinya. Maka dia buat STP dalam durasi waktu tiga bulan (stengah semester). Dia rinci seperti ini: (1) dalam minggu pertama saya harus memiliki sahabat yang beragama A, (2) dalam minggu kedua, saya harus memiliki sahabat yang beragama B, (3) dalam minggu ketiga saya punya sahabat yang beragama C, dan (4) dalam minggu keempat saya memiliki sahabat beragama D. Dalam minggu kelima setiap sahabat saya
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 7
itu memperkenalkan lima sahabatnya kepada saya, dan kemudian dalam minggu keenam mereka semua menjadi sahabat saya. Mulai minggu ketujuh kami sepakat untuk berdiskusi tentang apa yang harus kami lakukan terhadap anak-anak jalanan yang ada di perempatan lampu merah Slipi. Maka pada minggu kedelapan kami bersepakat untuk menghimpun mereka dan mengajari mereka baca-tulis. Kami mengumpulkan uang semampu kami. Kami belikan uang itu alatalat tulis. Lalu minggu berikutnya sampai minggu keduabelas mengajari mereka bacatulis. Pada bulan-bulan berikutnya kami melakukan pekerjaan itu dengan konsisten secara bergantian. Hubungan kami solid dengan teman-teman yang berbeda agama. Kami semua bahagia karena kerjasama kami membuahkan hasil, karena di antara beberapa anak jalanan yang kami bina sukses menyelesaikan pendidikannya hingga paket C. Ketika saya pulang ke daerah, saya mengembangkan kebiasaan itu. dan saya bersyukur apa yang saya lakukan dapat diterima oleh semua tokoh agama dan masyarakat agama. Saya dapat membangun koperasi simpan-pinjam tanpa bunga kepada siapapun, khsusunya kepada pemeluk agama apapun yang memang tidak berdaya mengembangkan usaha kecilnya. Dengan modal kepercayaan justru modal koperasi berkembang pesat, karena setiap peminjam dengan sukarela memberikan kelebihan rizkinya kepada koperasi untuk didistribusikan kepada saudara-saudara mereka yang berbeda agama yang sedang kurang beruntung. Sungguh saya sangat berbahagia dengan apa yang saya lakukan. Sumber: Dikonstruk oleh Syamsyul Arifin
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 8
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik XI MENGAPRESIASI MAKNA KERJA
Topik Mengapresiasi Makna Kerja ini diuraikan menjadi dua bagian pokok. Pertama, Aspek Spiritual Kerja (Spiritual aspects of work). Kedua, Aspek Pelaksanaan Kerja. Pada bagian pertama yaitu aspek spiritualitas kerja akan diuraikan mengenai spiritualitas yang mendasari pelaksanaan kerja. Pada bagian kedua, yaitu Aspek Pelaksanaan Kerja akan diuraikan tiga bagian pokok berikut. a) Bekerja Sebagai Aktualisasi Diri (Working as self-actualization). b) Bekerja Sebagai Panggilan Spiritual (Work as a spiritual call). c) Bekerja dengan Baik (Works well).
A. Aspek Spiritual Kerja Spiritual kerja dapat dilihat dari sisi kehidupan beriman dan dari sisi kehidupan profan (duniawi). Di dalam relasi dengan Tuhan dari sisi kehidupan beriman, makna kerja tidak hanya dianggap sebagai hal yang profan atau duniawi, tetapi dihayati sebagai sesuatu yang alkalik atau kudus. Relevansi lebih jauh adalah, setiap orang beriman harus melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh sesuai ajaran imannya. Dengan demikian, wilayah spiritual tidak hanya terbatas dalam kehidupan rohani, tetapi juga secara konkret dan luas dinyatakan dalam kehidupan dunia kerja. Sedangkan dari sisi kehidupan profan (duniawi), spiritual kerja diabstraksikan sebagai pola hidup yang berkaitan dengan integritas dalam menegakkan kebenaran terhadap diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian maka Spiritual kerja
dipahami sebagai usaha individu untuk
menghidupi value atau nilai-nilainya secara penuh. Spiritual kerja seseorang lebih melihat nilai-nilai yang dihanyatinya secara pribadi dalam perjalanan menuju kesadaran akan nilai-nilai universal. Kedua aspek spiritual kerja tersebut di atas, bersumber dari pengalaman hidup masa lalu. Pengalaman hidup masa lalu yang dialami berulang-ulang dan terus menerus telah ikut membentuk karakter, pandangan hidup, atau spiritual setiap orang. Pengalaman hidup masa lalu itu dapat bersumber dari pembiasaan di rumah, tradisi dalam suatu lingkungan masyarakat, budaya, religiusitas yang mendasari terbentuknya etos kerja seseorang atau kelompok orang. Secara etimologi (arti kata), etos berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos. Artinya moral, karakter atau keberadaan diri/jiwa/pikiran yang membentuk seseorang. Pada Webster's New Word
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
Dictionary, 3rd College Edition, etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Jika kita membandingkan etos kerja Jepang dan Amerika Serikat misalnya. Etos kerja Jepang, tidak mau pindah kerja dari suatu perusahaan ke perusahaan lainnya karena rasa memiliki terhadap perusahaan tempat bekerjanya sangat tinggi, 24 jam tinggal di areal tempat kerja. Berbeda dengan Etos kerja Amerika Serikat yang tidak merasa bersalah pindah kerja ke perusahaan lain jika gaji atau fasilitas lainnya lebih baik, dan kalau sudah 8 jam bekerja dalam satu hari atau 40 jam 1 minggu maka boleh meninggalkan tempat kerja (teng go). Kita mengenal etos kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja Korea Selatan, dan etos kerja bangsa-bangsa maju lainnya. Bila ditelusuri lebih dalam, etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang di tempat kerja yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan spiritual kerjanya masing-masing.
B. Aspek Pelaksanaan Kerja 1.
Bekerja Sebagai Aktualisasi Diri Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan yang terbaik dari
yang dia bisa. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan dimana seorang telah merasa menjadi dirinya sendiri karena dapat mengerjakan sesuatu yang disukainya dengan gembira. Menurut Erwin Arianto (2009), Orang yang mampu mengaktualisasikan diri, memahami bahwa ada eksistensi lain di dalam atau di luar dirinya sendiri yang mengendalikan perbuatan dan tindakannya untuk melakukan sesuatu. Aktualisasi diri erat kaitannya dengan kesadaran untuk mengenali dan memperbaiki diri dan keinginan untuk mengubah kondisi hidup ke arah yang lebih baik dari hari ke hari. Abraham
Maslow
dalam
teorinya
tentang
Piramida
Kebutuhan
menempatkan
aktualisasi diri di posisi puncak piramida. Dan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling utama.
1.
Bekerja Sebagai Panggilan Spiritual Bekerja sebagai panggilan spiritual memerlukan kesadaran akan seberapa bagus atau sempurna
kondisi anda saat ini. Bertolak dari kesadaran itu, terus-menerus bekerja untuk memperbaiki kondisi
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
tersebut sesuai panggilan spiritual yang dimiliki. Panggilan spiritual dimaksudkan di sini adalah tangga untuk mencapai puncak kesuksesan. Bekerja sebagai panggilan spiritual dapat dilukiskan sebagai bekerja dalam usaha merealisasikan harapan-harapan, keinginan, dan kebutuhan Anda sendiri. Bekerja sebagai panggilan spiritual tentu juga memerlukan kesehatan dan kekayaan mental seperti kepercayaan diri, disiplin, tanggung jawab, dan integritas. Dengan kekayaan mental seperti ini semua maka Anda mengetahui krkurangan dan kelebihan sendiri sehingga mampu mencapai apa yang diinginkan.
3.
Bekerja dengan Baik Bekerja dengan baik menyangkut banyak sisi pandang. Namun demikian, gabungan bekerja
sebagai aktualisasi diri dan bekerja sebagai panggilan spiritualitas merupakan dasar-dasar untuk dapat bekerja dengan baik. Bekerja dengan baik dapat juga dilihat dari sisi pandang hak dan kewajiban sebagai pekerja, keduanya dapat terlaksana dengan seimbang. Akhirnya bekerja dengan baik sangat ditentukan oleh visi misi, dan budaya organisasi suatu perusahaan di satu pihak. Dan budaya, tradisi, dan etos kerja masyarakat yang bekerja di pihak lainnya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik XII TANGGUNGJAWAB DALAM BEKERJA Masalah tanggung jawab dalam bekerja berhubungan dengan a) disiplin kerja (Discipline at work) b) pelaksanaan kerja (Work thoroughly), dan c) resiko kerja (risk of working). Disiplin kerja dapat berupa disiplin waktu, disiplin terhadap peraturan perusahaan (top down), atau disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom up). Pelaksanaan kerja dapat berupa kejujuran, keadilan, pertanggung-jawaban administrasi, keegoan dsb. Sedangkan resiko kerja merupakan dampak dari pelaksanaan kedisiplinan dan pelaksanaan kerja tersebut.
A. Disiplin Kerja Disiplin kerja, entah itu disiplin waktu, disiplin terhadap peraturan perusahaan (top down), maupun disiplin terhadap komitmen bersama tim kerja (bottom up) terkait dengan apa yang seharusnya dilakukan sebagai pekerja (karyawan atau manajer) dalam suatu perusahaan. Menurut Hodges (Yuspratiwi, 1990), disiplin adalah sikap seseorang atau sekelompok orang yang berniat mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan perusahaan atau organisasi. Tanpa didasari dengan kedisiplinan maka tujuan perusahaan sulit tercapai sebab, roda perusahaan sangat tergantung kepada perilaku-perilaku manusia yang bekerja di dalamnya. Sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan perusahaan muncul dari dalam diri karyawannya. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, niat, kemauan, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Karyawan yang mempunyai disiplin tinggi, tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati melainkan, juga mempunyai kehendak (niat) untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan perusahaan. Sebelum bekerja dalam sebuah perusahaan, seorang karyawan mempunyai aturan, nilai, dan norma yang sudah tumbuh dan berkembang dari keluarga di mana ia dilahirkan dan lingkungan masyarakat di mana ia dibesarkan. Aturan, nilai dan norma tersebut belum tentu sesuai dengan aturan-aturan perusahaan yang ada sehingga, dapat menimbulkan konflik seorang karyawan dengan aturan perusahaan di mana ia bekerja. Seorang karyawan bisa mudah tegang, marah, atau tersinggung apabila ia terlalu menjunjung tinggi salah satu aturan yang sudah lama dijalankan dan dihayati olehnya tetapi tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan perusahaan tempatnya bekerja.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
Misalnya, orang yang terbiasa bangun siang dan kurang menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan terhadap waktu, tetapi perusahaan mempunyai aturan harus masuk pagi-pagi sekali dan menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan terhadap waktu. Dalam hal ini jika si karyawan memegang teguh prinsip-prinsipnya sendiri, ia akan tersisih dari teman sekerjanya. Jadi karyawan tersebut harus menyesuaikan diri dengan peraturan perusahaan. Menurut Avin Vadilla Helmi (Buletin Psikologi 1996) ada tiga indikator disiplin kerja sebagai berikut. a) Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja saja, misalnya datang dan pulang sesuai dengan jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak mencuri-curi waktu. b) Upaya dalam mentaati peraturan tidak didasarkan adanya perasaan takut, atau terpaksa. c) Komitmen dan loyal pada organiasi yaitu tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja. Selanjutnya Alvin menambahkan, yang sering menunjukkan ketidakdisiplinan terlihat dari tingkat absensi yang tinggi, penyalahgunaan waktu istirahat dan makan siang, meninggalkan pekerjaan tanpa ijin, membangkang, tidak jujur, berjudi, berkelahi, berpura-pura sakit, sikap manja yang berlebihan, merokok pada waktu terlarang, dan perilaku yang menujukkan semangat kerja yang rendah. Disiplin terhadap Peraturan Perusahaan (Top Down) merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh masing-masing karyawannya. Penanaman disiplin terhadap Peraturan Perusahaan ini dapat berkembang apabila di dukung oleh visi, misi, motto, dan budaya organisasi Perusahaan. Disiplin terhadap Peraturan Perusahaan sangat besar pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Dengan disiplin terhadap peraturan perusahaan maka karyawan akan memperlancar kegiatan yang bersifat kelompok. Sebaliknya, ketidak disiplinan seorang karyawan terhadap Peraturan Perusahaan akan menghambat pekerjaan karyawan lainnya atau bidang kerja lain di perusahaan tersebut. Pada umumnya Perusahaan memberikan Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punisment) untuk memperlancar penerapan Peraturan Perusahaan. Bagi karyawan yang terus menerus menjalankan Peraturan Perusahaan diberikan ganjaran (Reward), sebaliknya bagi karyawan yang tidak menjalankan atau melanggar Peraturan Perusahaam diberikan hukuman (punishment). Dalam hal ini para pimpinan Universitas Bina Nusantara sering mengungkapkan pada pertemuan intern, “Give the best to Binus, and the best will return to you”. Disiplin Terhadap Komitmen Bersama Tim Kerja (Bottom Up) berbeda dengan disiplin terhadap Peraturan Perusahaan. Kegiatan perusahaan bukanlah kegiatan yang bersifat individual semata tetapi juga membutuhkan disiplin terhadap komitmen kelompok Tim Kerja. Tim-tim kerja akan menghasilkan pekerjaan yang optimal jika setiap anggota kelompok dapat memberikan andil yang sesuai dengan hak dan tanggungjawabnya masing-masing.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
Kaitan antara disiplin terhadap Peraturan Perusahaan secara top down dengan Disiplin Kelompok (Tim Kerja) secara bottom up sebagai saling melengkapi dan saling menunjang. Disiplin dari pimpinan tertinggi perusahaan ke bawah (top down) tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin kelompok yang dibangun oleh Tim Kerja dari karyawan yang paling rendah ke pimpinan yang paling tinggi. Disiplin di temapt kerja tidak hanya semata-mata patuh dan taat terhadap sesuatu yang kasat mata, seperti penggunaan seragam kerja, datang dan pulang sesuai jam kerja, tetapi juga patuh dan taat terhadap sesuatu yang tidak kasat mata tetapi melibatkan komitmen, baik dengan diri sendiri ataupun komitmen dengan organisasi (kelompok kerja). Jika dikaitkan dengan tujuan organisasi, maka disiplin kerja pada dasarnya merupakan upaya untuk menyesuaikan diri dengan aturan organisasi sehingga tercapai tujuan organisasi. Hal itu berarti, terpenuhinya standar ukuran prestasi. Hal ini sesuai dengan pengertian disiplin kerja yaitu suatu sikap dan perilaku yang berniat untuk mentaati segala peraturan organisasi yang didasarkan atas kesadaran diri untuk menyesuaikan dengan peraturan organisasi. Disiplin kerja merupakan sarana untuk mencapai tujuan organisasi.
B. Pelaksanaan Kerja Pelaksanaan kerja dapat berupa kejujuran, keadilan, pertanggungjawaban administrasi, keegoan. Pelaksanaan kerja yang baik dipengaruhi oleh faktor sisytem nilai yang dianut dan faktor lingkungan.
1.
Faktor Sistem Nilai. Dari segi faktor sistem nilai yang dianut, sistem nilai akan terlihat dari sikap seseorang, dan
sikap akan tercermin dalam perilaku. Menurut Kelman (Brigham, 1994), perubahan sikap ke dalam perilaku terdiri dari tiga tingkatan yaitu disiplin dalam pelaksanaan kerja karena kepatuhan, disiplin pelaksanaan karena identifikasi, dan disiplin pelaksanaan kerja karena internalisai. Kepatuhan kerja terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan perusahaan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat kerja maka disiplin kerja tidak tampak. Kepatuhan akan aturan kerja yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan-aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut tetapi lebih
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas profesional yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka disiplin pelaksanaan kerja akan menurun, dan pelanggaran meningkat frekuensinya. Disiplin kerja dalam tingkat internalisasi terjadi karena karyawan mempunyai sistem nilai pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan kerja. Dalam taraf ini, si karyawan dikategorikan sebagai seorang yang telah mempunyai disiplin diri. Sebagai contoh misalnya, walau tidak ada yang mengotrol pekerjaannya tetapi ia tetap bekerja maksimal.
2.
Faktor Lingkungan. Dari segi faktor lingkungan, disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan
suatu proses belajar yang terus-menerus. Proses pembelajaran agar dapat efektif maka pemimipin yang merupakan agen perubahan perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil, bersikap positif, dan terbuka. Konsisten adalah memperlakukan aturan secara konsisten dari waktu ke waktu. Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah sistem aturan tersebut. Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membeda-bedakan. Dengan bersikap positif, diharapkan pemimpin dapat mengambil tindakan secara tenang, sadar, dan tidak emosional. Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya adalah menanamkan nilai-nilai. Oleh karenanya, komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini transparansi mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk di dalamnya sangsi dan hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan. Selain faktor kepemimpinan, gaji kesejahteraan, dan sistem penghargaan yang lainnya merupakan faktor yang tidak boleh dilupakan. Di dalam pelaksanaan kerja, yang seharusnya dijunjung tinggi karyawan atau manajer adalah prinsip melaksanakan tugas sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan. Selalu berorientasi pada budaya peningkatan mutu kinerja. Saling menghormati sesama karyawan. Membangun kerjasama dalam melaksanakan tugas-tugas perusahaan. Memegang amanah atau tanggung jawab, dan kejujuran. Dan menanamkan kedisiplinan bagi diri sendiri dan perusahaan.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
C. Resiko Kerja Pekerja, baik sebagai karyawan maupun pimpinan (manajer) harus berani menghadapi resiko kerja. Resiko kerja memiliki konsekuensi luas, alternatif ganda, akibat berbeda, konsekuensi tak pasti, dan efek personal. Konsekuensi Luas maksudnya, keputusan etika membawa konsekuensi yang luas. Misalnya, karena menyangkut masalah etika bisnis tentang pencemaran lingkungan maka diputuskan penutupan perusahaan dan pindah ke tempat lain yang jauh dari karyawan. Hal itu akan berpengaruh terhadap kehidupan karyawan, keluarganya, masyarakat dan bisnis lainnya. Alternatif Ganda maksudnya, beragam alternatif sering terjadi pada situasi pengambilan keputusan dengan jalur di luar aturan. Sebagai contoh, memutuskan seberapa jauh keluwesan dalam melayani karyawan tertentu dalam hal persoalan keluarga sementara terhadap karyawan yang lain menggunakan aturan yang ada. Akibat Berbeda maksudnya,
keputusan-keputusan dengan dimensi-dimensi etika bisa
menghasilkan akibat yang berbeda yaitu positif dan negatif. Misalnya mempertahankan pekerjaan beberapa karyawan di suatu pabrik dalam waktu relatif lama mungkin akan mengurangi peluang para karyawan lainnya untuk bekerja di pabrik itu. Di satu sisi keputusan itu menguntungkan perusahaan tetapi pihak karyawan dirugikan. Ketidakpastian Konsekuensi maksudnya, konsekuensi keputusan-keputusan bernuansa ketika sering tidak diketahui secara tepat. Misalnya pertimbangan penundaan promosi pada karyawan tertentu yang hanya berdasarkan pada gaya hidup dan kondisi keluarganya padahal karyawan tersebut benar-benar kualifaid. Efek Personal maksudnya, keputusan-keputusan tak etis sering mempengaruhi kehidupan karyawan dan keluarganya, misalnya pemecatan terhadap karyawan disamping membuat sedih si karyawan juga akan membuat susah keluarganya. Misal lainnya, kalau para pelanggan asing tidak menginginkan dilayani oleh “sales” wanita maka akan berpengaruh negatif pada masa depan karir para “sales” tersebut.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6
CB : SPIRITUAL DEVELOPMENT (CB422)
Prepared By Frederikus Fios, S.Fil., M.Th Krishnanda Wijayamukti, dr., M.Sc Syamsul Arifin, S.Ag., M.Si. Stefanus Ngamanken, S.Pd., MM
Directed By Antonius Atosökhi Gea, S.Th., MM
Character Building Development Center © 2010 - BINUS UNIVERSITY
Topik XIII KEBEBASAN DAN OTONOMI KERJA
“Tidak ada yang dapat memaksa saya menjadi bahagia dengan caranya (seperti ia membayangkan kebahagiaan itu bagi orang lain). Setiap orang boleh mencari kebahagiaannya dengan jalannya sendiri. Jalan yang akan membantunya hanya jika ia tidak menginjak kebebasan orang lain (artinya hak orang lain). Yaitu kebebasan untuk mendapatkan tujuan yang sama, kebebasan yang dapat tumbuh bersama dengan kebebasan setiap orang berdasarkan suatu hukum umum.” (Immanuel Kant (1794))
Pada topik Kebebasan dan Otonomi Kerja ini, diuraikan dua bagian pokok. 1) Kebebasan Kerja. 2) Otonomi Kerja. Pada bagian Kebebasan Kerja dijelaskan dua hal. a) Etika Kerja (Job Ethics). b) Etika Bisnis (Business Ethics). Sedangkan dalam bagian Otonomi Kerja dijelaskan tiga hal. a) Memahami Ruang Lingkup Kerja dengan Baik (Know the scope of work well). b) Percaya Diri (Selfconfidence). c) Mengembangkan Keterampilan Kerja (Develop work skills)
A. Kebebasan Kerja Kebebasan yang bertanggungjawab (bandingkan dengan pernyataan Immannel Kant tersebut di atas) dalam kerja dapat dilihat dari kebebasan individu (Etika Kerja), dan kebebasan perusahaan (Etika Bisnis).
1.
Etika Kerja (Job Ethics) Etika kerja adalah aturan normatif yang mengandung sistem nilai dan prinsip moral, yang
merupakan pedoman bagi setiap individu baik sebagai manajer maupun karyawan, dalam melaksanakan pekerjaannya pada perusahaan di mana ia bekerja. Kebijakan manajemen yang menyangkut karyawan harus memiliki etika. Sebagai contoh misalnya keadilan dan keterbukaan dalam hal kompensasi, karir, dan evaluasi kinerja karyawan. Termasuk dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang integratif. Jadi setiap keputusan etika dalam perusahaan tidak saja dikaitkan dengan kepentingan manajemen tetapi juga karyawan.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 2
Masalah yang begitu kompleks yang sering dihadapi oleh para manajer adalah dalam menghadapi tingkah laku karyawan. Keadaan ini bisa menjadi tekanan dan bahkan tantangan dalam menerapkan aspek etika kerja seperti ketidak-jujuran, ketidak-disiplinan, ketidak-adilan, kecurangan pertanggung-jawaban administrasi, keegoan dsb. Karena itu munculah perhatian yang besar bagaimana caranya agar para karyawan dan tentunya juga manajer bekerja dengan standar etika tertentu.
2. Etika Bisnis (Business Ethics) Etika Bisnis adalah suatu rangkaian prinsip yang harus diikuti apabila menjalankan bisnis atau perusahaan. Keputusan perusahaan yang tidak etis atau tidak memiliki etika bisnis, bisanya timbul jika pengambilan keputusan hanya untuk menguntungkan perusahaan, tanpa memperdulikan tanggung jawab sosial perusahaan. Praktek bisnis yang tidak etis dapat berpengaruh tidak baik terhadap nilai perusahaan. Untuk menjamin tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pelanggan dapat dilakukan dengan menciptakan kode etik, menampung semua keluhan, dan meminta umpan balik dari pelanggan. Pemerintah cenderung menjamin tanggung jawab kepada pelanggan dengan berbagai hukum atas keamanan produk, iklan dan kompetisi industri, yaitu melalui Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Produk, Peraturan Pemerintah tentang Periklanan, dan sebagainya. Untuk menjamin tanggungjawab perusahaan kepada karyawan dapat dilakukan dengan menciptakan rasa aman bagi karyawan, para karyawan diperlakukan layak oleh karyawan lain, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap karyawan, dan lain sebagainya. Masih banyak tanggung jawab perusahaan yang lain sebagai etika bisnis perusahaan seperti tanggungjawab terhadap pemegang saham, kompensasi eksekutif, kreditor, dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan tentang etika kerja dan etika bisnis di atas dapat kita tarik suatu benang merah bahwa, di satu pihak kebebasan kerja ada pada individu-individu yang bekerja dalam suatu perusahaan baik sebagai pimpinan maupun sebagai karyawan biasa. Di lain pihak, kebebasan kerja ada pada proses pengambilan keputusan oleh perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawabnya terhadap pelanggan dan masyarakat sekitar.
B. Otonomi Kerja Uraian tentang otonomi kerja di sini menyangkut tiga hal yaitu, Memahami Ruang Lingkup Kerja dengan Baik (Know the scope of work well), Percaya Diri
(Self-confidence), dan
Mengembangkan Keterampilan Kerja (Develop work skills)
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 3
1.
Memahami Ruang Lingkup Kerja dengan Baik Dari segi manajemen sumberdaya manusia, ada delapan ruang lingkup kerja dalam suatu
perusahaan yaitu perencanaan tenaga kerja, rekrutmen, seleksi dan penempatan, pelatihan dan pengembangan, penilaian prestasi kerja, kompensasi, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja. Perencanaan tenaga kerja disusun untuk menjamin kebutuhan tenaga kerja perusahhan tetap terpenuhi secara konstan dan memadai. Oleh sebab itu perencanaan ini tergantung kepada analisis kebutuhan tenaga kerja. Proyeksi tenaga kerja disusun setiap tahun untuk diusulkan kepada Biro Personalia. Rekrutmen dilakukan bila perusahan memerlukan tenaga kerja baru. Rekrutmen bisa dilakukan dengan penyampaian dari mulut ke mulut apabila karyawan baru yang dibutuhkan hanya beberapa orang. Bila membutuhkan karyawan baru lebih dari 10 orang maka pengumuman rekrutmen dapat disampaikan dari mulut ke mulut dan iklan di media masa atau bekerja sama dengan perusahaan perekrutan. Seleksi dan penempatan tenaga kerja bisa melalui empat tahap yaitu,
menilai formulir
lamaran, mewawancarai, menggunakan tes lainnya bila perlu, dan memperoleh referensi. Pelatihan dan pengembangan dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan, dan pengetahuan para karyawan sesuai dengan visi misi perusahaan. Kegiatan pelatihan dan pengembangan dilaksanakan bagi karyawan baru, maupun guru dan karyawan lama. Pelatihan dimaksudkan juga untuk menyesuaikan sikap, perilaku, keterampilan dan pengetahuan karyawan dengan tuntutan zaman. Penilaian prestasi kerja dilaksanakan untuk menilai seorang karyawan secara akurat untuk memperoleh dasar pengambilan keputusan promosi, mutasi, demosi atau penurunan pangkat, dan pemutusan hubungan kerja. Kompensasi atau balas jasa adalah pemberian penghargaan langsung maupun tidak langsung kepada guru dan karyawan. Adapun jenis-jenis kompensasi itu adalah kompensasi gaji dan upah, dan evaluasi jabatan. Pemeliharaan dilakukan setelah karyawan diterima melalui rekrutmen. Hal-hal yang bisa membantu pemeliharaan kemampuan dan sikap-sikap karyawan adalah membantu pemeliharaan fisik dan mental mereka seperti pelatihan, raker, rekreasi bersama, perumahan, transportasi, dan sebagainya.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 4
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena kemauan karyawan, kemauan perusahaan atau kemauan kedua belah pihak. Alasan-alasan pemutusan hubungan kerja antara lain adalah ketidak jujuran,
ketidakmampuan bekerja,
malas, pemabok,
ketidakpatuhan, kemangkiran,
ketidakdisiplinan, dan lain-lain. Selain itu, pemutusan hubungan kerja juga dapat dilakukan karena keadaan yang tidak terelakkan misalnya usia lanjut, meninggal, sakit-sakitan terus menerus, perampingan perusahaan, dan sebagainya.
2.
Percaya Diri Secara pesikologis, semua orang mempunyai masalah dengan percaya diri. Ada orang yang
merasa telah kehilangan rasa kepercayaan diri di hampir keseluruhan wilayah hidupnya. Mungkin terkait dengan soal krisis diri, depresi, hilang kendali, merasa tak berdaya menatap sisi cerah masa depan, dan lain-lain. Ada juga orang yang merasa belum percaya diri dengan apa yang dilakukannya atau dengan apa yang ditekuninya. Ada juga orang yang merasa kurang percaya diri ketika menghadapi situasi atau keadaan tertentu. Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya. Orang yang punya kepercayaan diri rendah atau kehilangan kepercayaan diri, memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, memiliki keyakinan lemah terhadap kemampuan dirinya, dan punya pengetahuan yang kurang akurat terhadap kapasitas yang dimilikinya. Maka dari itu, rasa percaya diri juga sangat mempengaruhi kebebasan dan otonomi kerja. Sekalipun peluang begitu besar untuk meniti karier di perusahaan tempat kerja tetapi, kalau Anda menghadapinya dengan kurang percaya diri maka kecenderungan gagal menjadi lebih besar. Sebaliknya, meski begitu banyak tantangan dan hanya memiliki peluang yang kecil untuk melanjutkan jenjang karier yang lebih tinggi di perusahaan tempat bekerja, kalau Anda hadapi dengan penuh percaya diri maka kemungkinan berhasil menjadi lebih besar.
C. Mengembangkan Keterampilan Kerja Selain percaya diri, pengembangan keterampilan kerja juga memiliki kontribusi yang tinggi dalam mencapai kesuksesan dalam bekerja. Orang yang bisa bekerja dengan terampil pada umumnya memiliki karier yang cepat menanjak di tempat kerja.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 5
Masa depan karir di tempat kerja, ditentukan oleh keterampilan yang kita miliki dan dapat kita “jual” pada perusahaan. Para pencari kerja yang memiliki keterampilan seperti yang diinginkan oleh perusahaan pencari kerja itulah, yang akan lebih cepat mendapatkan pekerjaan. Mengingat masa kuliah adalah masa persiapan diri untuk mencari kerja, maka lebih baik Anda mengutamakan untuk dapat memiliki keterampilan yang berguna untuk peningkatan karir Anda setelah selesai kuliah.
CB : Spiritual Development - Binus University - 2010
Page 6