INDEKS
Gambar Kulit depan : Joko Luwarso Gambar kulit belakang : Joko Luwarso
• Catatan Redaksi : Media dan Pencitraan Capres
3
• Telisik : Hasil Pantauan KPI Mei 2009 Dari Manohara, Julia Peres Sampai Inul
4
• Telisik :Pandangan Media Cetak Tentang Debat Capres
11
• Laporan : Membawa Sastra ke Dalam Jurnalisme
16
• Kartunis : Karikatur Pemilu 2009
18
• Opini : Peran Media di Masa Kampanye
21
• Wawancara : Ahmad Fuad Afdhal : Kunci Kampanye Tidak Harus Berlebihan”
25
• Profil : Airtimes itu Milik Anak Bangsa, Diatur Oleh Negara Bukan Oleh Stasiun TV Sendiri
30
• Ensiklopedi : Neoliberal Versus Ekonomi Kerakyatan
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER
32
ISSN 1411-5220 Penerbit: Media Center/The Habibie Center Alamat Redaksi: Jl. Kemang Selatan No.98 Jakarta Selatan Telp.: (021)781-7211 Fax.: (021)781-7212 Email:
[email protected] Website:http://www.habibiecenter.or.id
Penanggung Jawab : Ahmad Watik Pratiknya, Dewan Redaksi : A. Makmur Makka (Ketua) Mustofa Kamil Ridwan, Rahimah Abdulrahim, Wenny Pahlemi, Redaktur Khusus : Afdal Makkuraga Putra, Kontributor : Intantri Kusmawarni, Teguh Apriliyanto. Sekretaris : Dewi Ratnawati Produksi: Ghazali H. Moesa. Disain Grafis : A. Mudjazir Unde.
Jurnal MW The Habibie Center adalah publikasi bulanan di bawah naungan The Habibie Center. Redaksi menerima tulisan/artikel yang sesuai dengan visi dan misi jurnal ini.
2 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
Catatan Redaksi
Media Dan
Pencitraan Capres
P
emenang Pemilu Pilpres yang baru lalu, ditenggarai karena keberhasilan pencitraan. Dengan demikian, kini terbukti lagi bagaimana keampuhan dan dampak media massa. Dalam rubtik catatan ini beberapa edisi yang lalu, sudah diungkapkan, bagaimana komunikasi melalui media sangat besar pengaruhnya untuk membentuk kelakuan pemilih. Karena itu, muncul sebuah istilah - jika tidak mau disebut “thesis” - apa yang disebut “hypodermic”. Bahwa masyarakat tidak pernah punya daya untuk menolak pesan dan persuasi yang dilancarkan dalam media. Bahkan lebih jauh diperingatkan agar hati-hati, karena bisa saja terjadi apa yang disebut “one party press”. Kecenderungan menyatunya semua media massa untuk menjagokan seorang calon. Apakah itu calon presiden dan wakilnya, calon gubernur atau bupati serta calon anggota legislatif. Memang dalam komunikasi politik juga dikenal cara personalisasi, sebuah bentuk komunikasi politik yang paling tua. Pendekatan kepada target audience dengan pendekatan perorangan, mendatangani para calon pemilih melalui door to door. Para calon Presiden Amerika ratusan tahun lalu naik kereta api menjelajahi ujung Barat Amerika ke Utara. Calon presiden kemudian berhenti dari satu kota ke kota yang lain untuk berdialog dengan calon pemilih. Cara berkomunikasi seperti ini pun sekarang masih dilakukan, tetapi tidak ada yang mengalahkan apabila komunikasi politik memakai media massa. Sifatnya sangat masif dan target bisa dipilih secara efektif. Jika melalui media elektronik tidak semua target bisa tercapai, maka bisa digunakan media lokal untuk membidik target secara parsial pula. Itulah sebabnya, hampir semua media utama di pusat dan media lokal di daerah rata-rata kebagian rezeki . Ada perkiraan jumlah dana yang diguyurkan untuk iklan di semua media pada pilpres yang lalu, berjumlah kurang lebih 3 triliun rupiah. Tetapi jangan salah sangka, pencitraan dengan tebar pesona melalui media, tidak selamanya sesuatu yang autentik. Para kaum profesional dalam komunikasi politik, sudah memiliki ilmu “poles” yang bisa membuat wajah yang jelek menjadi wajah yang cantik. Sesuatu yang kasar, menjadi halus dipandang. Ilmu bagaimana memikat hanya dengan memandang permukaan, bukan isi obyek yang sebenarnya. Para politisi juga tahu, bahwa yang mereka munculkan memang “karakter publik” mereka. Sesuatu yang dibuat-buat untuk menyenangkan, tetapi bukan yang sebenarnya. Sebuah pseudo, sesuatu yang semu. Karakter mereka yang asli sebenarnya adalah “inner character” mereka. Sesuatu yang autentik dan menjadi pembawaan alami manusia yang sesungguhnya. Tetapi media massa dan para praktisi komunikasi politik professional, bisa menyunglap semuanya menjadi yang terbaik dimata pembaca dan pemirasa. Tetapi jangan salah sangka lagi, bahwa publik semata-mata target pasif yang tidak bernyawa dan bereaksi. Komunikasi bisa menjadi sebuah “enemy” bagi pemesannya, jika akurasi dan data yang diberikan tidak benar. Sebuah umpan balik bisa menjadi negatif. Karena itu, para juru kampanye yang kebablasan dan berbicara tidak simpatik, bisa menurunkan pencitraan patron mereka. Ini Bersambung ke halaman 10 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
3
Telisik
Hasil Pantauan KPI Mei 2009
Dari Manohara, Julia Peres sampai Inul
Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Infotainment
4 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
Manohara oh Manohara. Kisah melodrama itu bagai dongeng 1001 malam yang mengharu biru. Kisah sang putri yang lepas dari “cengkraman” sang suami mewarnai infotainment selama Mei 2009. Alih-alih menampilkan kisah melodrama itu, TV terjebak menampilkan bagian tubuh Manohara yang dianggap merangsang.
Telisik
P
rogram Infotainment ternyata tidak hanya berisi gosip seputar orang ternama di Indonesia melainkan juga sarat dengan gambar perempuan seksi berpakaian minim. Program tersebut menjadikan tubuh seksi dan pakaian minim para selebriti sebagai komoditas dan andalan utama mereka. Potongan-potongan gambar perempuan seksi ini menjadi senjata untuk menarik pemirsa dan meraih rating tinggi yang pada gilirannya mendatangkan iklan yang banyak. Hasil pantauan Tim Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menunjukkan bahwa sepanjang bulan Mei 2009, dari 70 item acara atau program hiburan (Infotainment, Drama lepas/ FTV, dan Musik) terdapat 7 mata acara atau (10 %) berisi tayangan seksualitas dengan jumlah pelanggaran sebanyak 13 kali. Program infotainment sendiri melanggar 11 kali atau 85,%, Musik 2 kali (15 %) pasal Standar Program Siaran yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selama bulan Mei ini kategori Film lepas tidak melakukan pelanggaran sama sekali. (Lihat table 1)
Ini artinya, selama Mei 2009, terjadi penurunan pelanggaran sebanyak 5% (dari sebelumnya 14% pada bulan April 2009). Infotainment Kembali Dominan Melanggar Dari hasil pemantauan Tim Monitoring KPI menunjukkan bahwa kategori Infotainment kembali paling dominan melakukan pelanggaran sepanjang Mei 2009. Dari 13 frekuensi pelanggaran sebanyak 11 kali (85%) terjadi pada kategori Infotainment. Bila dibandingkan dengan April 2009, terdapat peningkatan yang fantastis sebesar 61,47% dari bulan sebelumnya yang hanya 23,53%. Peringkat kedua ditempati kategori Musik dengan frekuensi pelanggaran sebesar sebanyak 2 kali (15). Bila dibandingkan dengan bulan April terjadi penurunan sebanyak 2,65% dari sebelumnya mencapai 17,65%. Adapun peringkat ketiga ditempati oleh Film/Drama FTV. Tidak ditemukan pelanggaran pada kategori Film/Drama ini selama Mei 2009. Kembalinya Infotainment mendominasi pelanggaran di bulan Mei dengan tetap mengeksplotasi
cerita melodrama yang dialami oleh para pesohor, makin menunjukkan bahwa stasiun TV gagal membangun agenda-agenda publik yang membangun karakter bangsa (nation character). Sebelumnya, melodrama muncul dalam kisah sinetron dan telenovela. Biasanya, kisahnya berkutat pada pertentangan antara kebajikan dan kezaliman, ketidakberdayaan versus kesemena-menaan. Hampir selalu ada tokoh teraniaya dan kita digoda untuk berempati pada kisah hidupnya yang menguras air mata (Kompas, 7 Juni 2008.) Selanjutnya, pendekatan melodrama juga digunakan dalam reality show dan infotainment—yang memenuhi layar kaca sekarang ini. Melalui reality show, pemirsa, antara lain, disuguhi kisah dramatik perempuan cantik yang dihamili sang pacar dan kemudian diusir keluarganya. Di program infotainment, kita bisa menyaksikan kisah keretakan rumah tangga, perselingkuhan, hingga perebutan anak yang mengharu biru. Pendekatan macam ini ternyata menarik perhatian pemirsa dan
Tabel 1 : Nama Program yang Melakukan Pelanggaran Nama No
Acara
Stasiun
Tampil
Tanggal
Jam
Pasal SPS Yang dilanggar
Jumlah Pelanggaran
1
Hallo Slebriti SCTV
Infotainment
7 Mei 2009
09.30-10.00
2
Inbox
SCTV
Musik
9 Mei 2009
07.30-90.30
21 (4)
2
3
Inser Sore
Trans TV
Infotainment
7 Mei 2009
17.30
27 (2)
2
4
I Gosip Pagi
Trans 7
Infotainment
22 Mei 2009
07.30
27(3)
1
5
Go Show 2
TPI
Infotainment 4 Mei 2009
09.30-10.00
27(3)
1
6
Go Spot
RCTI
Infotainment
18 Mei 2009 06.30
27 (30)
3
7
Cek & Ricek
RCTI
Infotainment
19 Mei 2009 14.30
27
2
18 (1) dan 27 (3)
Jumlah
2
13
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
5
Telisik mendongkrak peringkat (rating) reality show dan infotainment, bahkan mengalahkan sinetron. Acaraacara seperti ini pun terus diproduksi dan direproduksi. Selanjutnya, demi menemukan kisah-kisah paling dramatik, pembuatnya semakin berani menerobos batas antara ruang privat dan publik. Belum selesai sampai di situ, kisah melodrama tersebut kemudian dibumbui dengan unsur atau adegan seksualitas. Perhatikan misalnya cerita Julia Perez yang hendak menikah dengan pemain sepak bola asal Argentina, Gaston Castanyo. Ide menikah ini kemudian ditentang habis-habisan oleh ibu Julia. Tayangan itu tidak hanya berhenti pada derai air mata sang Bunda, tetapi juga terdapat cukup banyak gambar-gambar seksi Julia Perez yang memang gemar berpakaian minim.
terdapat 9 kali pelangTabel 2: Jumlah Pelanggaran tiap Kategori garan atau sebanyak 69,23%. Bila dibanding No. Kategori Jumlah Pelanggaran dengan April 2009 terjadi Infotainment 11 peningkatan sebesar 1. 16,33 % (dari sebelumnya 2. Musik 2 52,94%) 1. Pasal yang Fil Lepas 0 paling banyak dilanggar 3. selanjutnya adalah pasal penurunan sebanyak 19,91% bila 18 dan 21 dengan jumlah pelanggaran dibandingkan dengan bulan April masing-masing sebanyak 2 kali atau 2009 yang sebesar 35,29%.3 15,38 %. Untuk pasal 18 terjadi Selama tiga bulan sejak Maret peningkatan sebesar 6.65% bila dibandingkan dengan April yang sampai Mei 2009, pasal 27 ini yang paling banyak dilanggar. Hal ini hanya sebesar 8,82 %.22 menunjukkan bahwa stasiun TV Pasal 18 Berbunyi: senantiasa mengeksploitasi tubuh (1) Lembaga penyiaran televisi wanita untuk menarik perhatian dilarang menampilkan adegan yang pemirsa. Stasiun TV makin kehilangan secara jelas didasarkan atas hasrat kreativitas untuk menciptakan seksual program yang berestetika, sehingga (2). Lembaga penyiaran terkesan bahwa cara cepat untuk televisi dibatasi menyajikan adegan menarik perhatian pemirsa adalah dalam konteks kasih sayang dalam dengan menyuguhi mereka dengan keluarga dan persahabatan, tayangan yang mengumbar tubuh termasuk di dalamnya: mencium seksi perempuan.
Demikian juga dengan kisah Inul Daratista. Pedangdut yang tersohor rambut, mencium pipi,mencium Akibatnya adalah muncul lewat goyang “ngobor” ini memang kening/dahi, mencium tangan, dan persepsi yang keliru bahwa sudah lama belum dikaruniai anak. sungkem. masyarakat sekarang ini adalah Beragam perjuangan telah Inul Adapun untuk pasal 21 terdapat masyarakat yang bebas dalam cara tempuh demi mendapatkan buah hati dari rahimnya sendiri. Demi Grafik 2: Jumlah Pelanggaran Tiap Kategori memenuhi impiannya itu, Inul harus merogoh kantong sebanyak 600 juta untuk program bayi tabung dan insminasi. Begitu hamil, Inul dan suami tentu merasa berbahagia. Namun cerita bahagia itu dibumbui Musik, 2,Film Lepas, 0, 0% dengan foto-foto hamil Inul yang 15% hanya meng-gunakan bra dan celana dalam. (lihat table 2 dan grafik 2) Pasal 27 Masih Paling Sering Dilanggar Hasil pantauan menunjukkan bahwa pasal 27 Standar Program Siaran (SPS) masih tinggi dilanggar oleh stasiun TV. Selama Mei 2009
6
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
Infotainment , 11, 85%
Telisik berpakaian, yakni minim, seksi, dan ketat. Hal ini pada akhirnya akan mengaburkan cara pandang seseorang mengenai mana yang pantas dan tidak pantas dalam bersosialisasi di masyarakat. Selain itu, fenomena tersebut berpotensi memunculkan perilaku disinhibition (pemudaran tabu). Studi menunjukkan bahwa khalayak setelah menyaksikan sebuah tayangan bermuatan seksualitas akan cenderung memiliki dorongan untuk mempraktikkan aktivitas seksual yang disaksikannya, meskipun sebelumnya hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap tabu. Pelanggaran didominasi RCTI Pelanggaran untuk bulan Mei didominasi oleh stasiun RCTI dengan frekuensi pelanggaran sebanyak 5 kali atau 38.46 %. Bila dibandingkan dengan bulan April, pelanggaran RCTI mengalami peningkatan yang dramatis sebesar 30,26 % dimana sebelumnya hanya 8,82%. Pelanggaran RCTI disumbang oleh program infotainment yang bertajuk Go Spot dan Cek dan Ricek. Peringkat kedua ditempati oleh SCTV dengan pelanggaran sebanyak 4 frekuensi atau 30,77%. Bila dibandingkan dengan bulan April, pelanggaran SCTV mengalami peningkatan yang cukup signifikan sebesar 13,12% dimana sebelumnya hanya 17,65%. Untuk SCTV pelanggaran disumbang oleh program Infotainment (Halo Selebriti) dan Musik (playlist). Peringkat ketiga ditempati oleh stasiun TPI dengan jumlah pelanggaran sebanyak 2 frekuensi atau 15,38%. Bila dibandingkan dengan bulan April, pelanggaran yang dilakukan stasiun yang
menyasar pemirsa kelas menengah bawah ini menurun sebesar 25,8% (dari sebelumnya 41.18%). (lihat tabel 4 dan grafik jumlah pelanggaran tiap stasiun) Dari hasil pantauan selama Mei, terungkap bahwa visualisasi adegan seksualitas dengan menampilkan pakaian minim, atau ketat yang menonjolkan bagian organ-organ seksualitas atau yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual menempati peringkat pertama dengan 9 kali pelanggaran (69,23%). Bila dibandingkan dengan bulan April terdapat sedikit peningkatan sebesar 16,29 % (dari 52,94% sebelumnya). Selama tiga bulan terakhir (Maret dan April) tayangan ini selalu menempati peringkat pertama dalam hal jumlah pelanggaran.
hanya 8,82%. Tabel Visualisasi Adegan Seksualitas Dari Manohara Sampai Inul Daratista Pantauan selama Mei 2009 menemukan bahwa kategori Infotainment menempati peringkat pertama program yang paling banyak melanggar pasal-pasal yang mengatur mengenai seksualitas yang terdapat dalam SPS. Pelanggaran itu dilakukan oleh Go Show 2, edisi 4 Mei 2009. Salah satu berita hiburan yang ditampilkan pada edisi 4 Mei 2009 adalah mengenai kasus Manohara, model cantik yang kabarnya mendapat perlakuan kasar dari suaminya, seorang pangeran Malaysia. Beberapa pekan belakangan ini, acara berita hiburan memang didominasi oleh kasus Manohara itu.
Adegan dan tarian-tarian sensual serta ciuman dengan hasrat seksual menempati peringkat kedua dengan Berita hiburan mengenai jumlah pelanggaran masing-masing 2 Manoharo lebih banyak bercerita frekensi atau 15,38%. Untuk mengenai perjuangan ibu Manohara, visualisasi adegan dan tarian-tarian Tabel 4 : Jumlah Pelanggaran Tiasp Stasiun sensual, bila dibandingkan Stasiun TV Jumlah dengan April, Pelanggaran Persen t e r d a p a t No. peningkatan 1 RCTI 5 38.46 sebesar 7,75% 2 SCTV 4 30.77 ( d a r i Indosiar 0 0.00 sebelumnya 3 35,25%), 4 TPI 2 15.38 sedangkan 5 ANTV 0 0.00 tayangan Metro TV 0 0.00 c i u m a n 6 dengan hasrat 7 Trans 7 1 7.69 s e k s u a l 8 Trans TV 1 7.69 mengalami TV One 0 0.00 peningkatan 9 sebesar 6.56% 10 Global 0 0.00 d a r i Jumlah 13 100.00 sebelumnya MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
7
Telisik
Daisy mendapatkan atau memulangkan Manohara ke Indonesia. Termasuk berita yang ditampilkan pada edisi kali ini. Program infotainment Go Show ini menampilkan Daisy yang menunjukkan video Manohara yang sedang berkaraoke. Di video itu tampak Manohara sedang duduk dan bergoyang mengikuti irama musik. Ia tampak mengenakan baju tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah sehingga terlihat payudaranya. Video bergerak ini ditampilkan sebanyak tiga kali dengan durasi masing-masing selama 3 (tiga) hingga 7 (tujuh) detik. Daisy bermaksud menunjukkan bukti bahwa Manohara sekarang ini dalam kondisi tertekan dibanding ketika ia masih bersama ibu dan kakaknya. Namun, penayangan video atau gambar bergerak ini menjadi bermasalah karena mengesankan mengeksploitasi tubuh si Perempuan dengan mempertontonkan bagian tubuh (payudara) berkali-kali (3 kali). Penonton bukan diajak untuk, misalnya, prihatin dengan kasus yang menimpa Manohara, tetapi justru diajak untuk “menikmati” tubuh atau
8
gerak-gerik si model. Penayangan ini jelas melanggar Standar Program Siaran (SPS) Pasal 27 ayat 3, yakni lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan tayangan yang mengeksploitasi (misalnya dengan pengambilan gambar close-up) bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin. Go Show 2 adalah program hiburan berita yang ditayangkan oleh stasiun televisi TPI dari Senin hingga Minggu pada pukul 12.30-13.00. Pelanggaran juga dilakukan oleh Halo Selebriti yang disiarkan SCTV tanggal 7 Mei 2009 pukul 09:30. Dalam segmen itu diceritakan kisah asmara Julia Perez yang bercerai dengan suaminya Damian Peres dan kini dekat dengan pesepak bola Gaston Castanyo. Sebagai sebuah kisah asmara sebenarnya tidak bermasalah. Bukankah memang anak anak manusia memiliki perasaan cinta. Namun, tayangan ini menjadi bermasalah ketika foto-foto mesra antara Julia Perez dengan Gaston ditampilkan di layar kaca. Misalnya, foto artis ini di atas sebuah kapal
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
dengan pakaian renang dan bikini. Foto-foto ini sekalipun diblur tetap tampak jelas. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap SPS pasal 18 (2) terkait dengan penggambaran hasrat seksual, serta pasal 27 ayat 3, mengenai tayangan yang mengeksploitasi bagian tubuh seperti dada, perut, dan paha. Pelanggaran serupa juga terjadi pada program I Gosip Pagi yang ditayangkan di Trans 7 tanggal 22 Mei 2009, pukul 07:30-08:30. Pada salah satu segmen acara itu, Melly Zamri, digosipkan sedang berbadan dua (hamil) padahal presenter ini belum menikah. Tentu saja Melly membantah berita tersebut. Melly juga membantah hubungannya dengan pria yang sudah berkeluarga bernama Arman Hasan. Tans TV menampilkan sosok Melly dengan gaun pesta malam berdada rendah, sehingga belahan dada Melly jelas terlihat. Penayangan gambar ini bermasalah dan bisa dikategorikan melanggar pasal 27 SPS. Pelanggaran juga dilakukan oleh Tans TV lewat program Insert Sore, yang ditayangkan 7 Mei 2009, pukul 17:30. Insert Sore yang ditayangkan
Telisik stasiun televisi Tans TV ini menyajikan berita mengenai kasus Antasari Azhar yang kemungkina terlibat kisah cinta segitiga. Kemudian, program berita hiburan edisi 7 Mei 2009 ini menggambarkan pejabat publik lain yang terlibat hubungan asmara dengan perempuan yang bukan istri sah mereka. Salah satu yang disebut dalam tayangan itu adalah adalah YZ (mantan Anggota DPR) yang menjalin hubungan dengan ME. Program Insert Sore ini kemudian menampilkan sebuah foto atau gambar. Kali ini gambar pejabat lain, yakni MM dengan seorang perempuan. Dalam foto itu tampak tangan kiri MM sedang memeluk si Perempuan. Keduanya tidak mengenakan pakaian atau penutup tubuh bagian atas. Karena konteks ceritanya adalah pejabat publik yang menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain, gambar itu mengesankan keduanya tengah atau baru saja melakukan hubungan lakiperempuan. Foto ini bermasalah karena melanggar aturan yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam Standar Program Siaran (SPS) KPI, lembaga penyiaran dilarang menampilkan foto atau gambar manusia telanjang atau yang mengesankan ketelanjangan, baik bergerak atau diam seperti yang terdapat pada pasal Pasal 27 ayat 2. Foto ini ditampilkan sebanyak dua kali dalam tayangan tersebut dengan durasi masing-masing dua detik. Penayangan kembali foto tersebut mampu mengingatkan kenangan publik mengenai peristiwa tersebut. Foto itu bukan hanya melanggar ketentuan yang dibuat KPI tetapi juga dinilai tidak etis karena kembali mengungkap aib kehidupan
orang. Tayangan ini selain melanggar pasal-pasal yang mengatur mengenai unsur seksualitas SPS KPI, tetapi juga tidak akurat. Sebab yang disebut atau dibicarakan oleh presenter adalah YZ, tetapi yang dimuculkan di layar adalah foto pejabat lain. Ini menunjukkan bahwa betapa infotainmen bekerja terburu-buru, kekurangan persediaan gambar sehingga memasukkan gambar seadanya lalu mengabaikan hal yang paling esensi dalam jurnalistik, yakni akurasi. Sementara itu dalam kategori musik pelanggaran dilakukan oleh program Inbox yang disiarkan di SCTV, Sabtu 9 Mei 2009 pukul 07:30. Pelanggaran dalam acara itu terkait dengan video klip milik grup band Marvells yang berjudul “Lagi Bohong”. Dalam video klip ini ditampilkan Nikita Willy yang berlenggak-lenggok neghampiri para personel band Marvells tersebut. Nikita yang masih sangat remaja dalam video kilip itu berpakaian seksi dan ketat sehingga payudaranya terlihat jelas. Adegan ini melanggar SPS pasal 21 (4) mengenai tayangan yang menjadikan anak sebagai obyek seks, dengan menampilkan remaja dalam pakaian yang minim dan seksi.
“INBOX” adalah program musik yang dipandu oleh Ivan Gunawan, Sheila Marcia, dan Andhika. Metodelogi Jumlah sampel dalam kajian Mei 2009 sebanyak 70 buah yang diambil dari 10 stasiun TV pada pukul 06:3023:00. Sampel diambil dari program hiburan yang meliputi tiga kategori yakni, Infotainment, Film Lepas (termasuk FTV), dan Musik. Pengambilan sampel dalam kajian ini dilakukan dengan teknik berlapis dan proporsional. Pertama, tim kajian menentukan bahwa populasi penelitian adalah seluruh episode progam acara yang terdiri atas beberapa genre di setiap bulannya (periode tayangan adalah mulai dari awal minggu pertama di satu bulan sampai dengan minggu keempat, dimana pelaporannya dilakukan pada minggu pertama bulan berikutnya). Kedua, kami menjadikan genregenre tersebut sebagai sub-populasi dan dari setiap kelompok genre kami mengambil sampel secara sengaja dengan kuota tertentu seusai dengan besaran masing-masing. Agar hasil kajian dapat digeneralisasi, maka pengambilan sampel betul-betul mempertimbangkan aspek-aspek
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
9
Telisik kedua ditempati oleh pasal 18 dan 21 dengan jumlah pelanggaran masing-masing sebanyak 2 kali atau 15,38 %. Untuk pasal 18 terjadi peningkatan sebesar 6.65% bila dibandingkan dengan April yang hanya sebesar 8,82 %.
keterwakilan. Besarnya sampel tidak akan bermasalah ketika tingkat keterwakilannya dianggap cukup signifikan. Dalam kajian ini yang menjadi unit analisis adalah setiap episode yang ada di setiap program di masingmasing stasiun televisi. Yang diambil menjadi sampel adalah percakapan dan adegan. Episode yang dimaksud adalah bagian dari sebuah program televisi. Sebuah episode adalah satu bagian dari serangkaian program. Sebagai perbandingan, dalam program berita episode juga sering disebut sebagai edisi. Hasil penelitian ini tidak mencerminkan semua program TV secara nasional, melainkan hanya mewakili program hiburan saja.
Sumber : 1
Kesimpulan : · Hasil pantauan selama Mei 2009, dari 70 sampel mata mata acara terdapat 7 (10%) program yang dikategorikan melakukan pelanggaran. · Dari hasil pantauan menunjukkan bahwa pasal 27 masih tinggi dilanggar oleh stasiun TV. Selama Mei 2009 terdapat 9 kali pelanggaran atau sebanyak 69,23%. Bila dibandingkan dengan April 2009 terjadi peningkatan sebesar 16,33 % (dari sebelumnya 52,94%). Peringkat
Media Dan...
· Pelanggaran untuk bulan Mei didominasi oleh stasiun RCTI dengan frekuensi pelanggaran sebanyak 5 kali atau 38.46 %. Bila dibandingkan dengan bulan April, pelanggaran RCTI ini mengalami peningkatan yang dramatis sebesar 30,26 % dimana sebelumnya hanya 8,82%. Pelanggaran RCTI disumbang oleh program infotainment yang bertajuk Go Spot dan Cek dan Ricek.
Pasal 27 berbunyi: (1) Lembaga penyiaran televisi dilarang menyiarkan gambar manusia telanjang atau mengesankan telanjang, baik bergerak atau diam.(2). Tampilan/gambar manusia telanjang atau berkesan telanjang yang hadir dalam konteks budaya tertentu atau dibutuhkan dalam konteks berita tertentu, harus disamarkan. (3). Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan tayangan yang mengeksploitasi(misalnya
dengan pengambilan gambar close up) bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi, seperti paha, pantat, payudara, dan alat kelamin pria maupun wanita. 3
Pasal 21 berbunyi:(1) Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan lagu dan klip video berisikan lirik bermuatan seks, baik secarae ksplisit maupun implisit.
(2). Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan adegan tarian dan atau lirik yang dapat dikategorikan sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat seksual atau memberi kesan hubungan seks. (3). Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan program, adegan dan atau lirik yang dapat dipandang merendahkan perempuan menjadi obyek seks. (4). Lembaga penyiaran dilarang menampilkan tayangan yang menjadikan anak-anak dan remaja sebagai obyek seks, termasuk di dalamnya adalah adegan yang menampilkan anakanak dan remaja berpakaian minim, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual.
Sambungan dari halaman : 1
terbukti pada pilpres yang lalu, betapa banyaknya juru kampanye yang terjerumus, buka citra yang yang diperoleh tetapi sebaliknya. Pencitraan melalu media, memang sebuah alat ampuh mendongkrak pepuleritas capres. Tetapi jika pencintraan menjadi sekedar pencitraan, hanya pakaian kepalsuan, akan menipu diri kita sendiri. Pencitraan memang bisa berhasil, tetapi juga bisa merugikan bangsa, karena yang akan menjadi pemimpin kita ternyata dalam kampanye pilpres, hanya memakai topeng, memperlihatkan “public character” saja, bukan “inner character” sang calon pemimpin itu yang sebenarnya. Media yang baik adalah yang bisa memberikan pencitraan sendiri terhadap seorang capres, bukan karena halaman dan slot waktunya telah diisi habis oleh iklan yang triliunan rupiah. Bagi media, memihak juga tidak masalah, selama ia “memberikan informasi yang baik mengenai seorang calon yang baik pula”.
10 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
Telisik
Pandangan Media Cetak Tentang Debat Capres
Acara debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di tengah kampanye pemilu presiden melahirkan daya tarik bagi media. Terbukti acara debat capres dan cawapres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan disiarkan oleh stasiun televisi swasta itu menjadi berita utama.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
11
Telisik
T
ulisan berikut ini mengupas pandangan media cetak mengenai penyelenggaraan debat capres dan cawapres, di tiga media nasional, yakni Kompas, Republika, dan Media Indonesia. Berita yang dikupas adalah berita penyelenggaraan debat capres Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, putaran pertama. Berita dari Kompas, Republika dan Media Indonesia yang diulas dalam tulisan berikut diambil dari tanggal 19 hingga 22 Juni 2009. Selain mengkritisi proses debat, media juga mengkritisi (KPU) yang bertanggung jawab menggelar acara debat tersebut. Beberapa hal yang dikritisi adalah transparansi dana penyelenggaraan debat dan tayangan
iklan di sela acara debat yang dinilai mengganggu netralitas.
lain dalam isu tertentu.
Kompas: Perdebatan Hilang dalam Debat Capres
Perdebatan yang ditampilkan dinilai hanya menyampaikan visi misi dan itu telah berulang kali dikemukakan di berbagai forum dan pamflet. Padahal pengujian perbedaan pendapat masing-masing calon presiden menjadi acuan publik untuk memilih pasangan capres dan cawapres tertentu.
Kompas menampilkan sejumlah berita soal debat capres ini. Salah satu judul berita yang diusung menjadi berita utama atau headline adalah “Perdebatan Hilang dalam Debat Capres”. Kompas menuliskan bahwa debat itu tak memiliki esensi dari perdebatan yang ingin menguji perbedaan satu calon dengan calon
Dalam salah satu beritanya soal debat capres ini, Kompas mewawancarai pengamat politik Yudi Latif. Menurut Yudi, terdapat beberapa syarat dalam perdebatan yang baik yaitu harus ada proposisi yang jelas mengenai isu spesifik sehingga bisa memancing adu argumentasi.
Pemilihan media oleh KPU untuk menyiarkan acara debat juga mendapatkan sorotan, sebab KPU lebih memililih stasiun televisi swasta dibandingkan stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI.
12 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
Telisik Selain itu, dalam perdebatan harus ada konfrontasi sehingga setiap kandidat harus punya kesiapan adu argumen. Karena jika tidak ada konfrontasi apalagi saling mendukung, maka esensi perdebatan hilang. Perdebatan yang tidak sesuai harapan itu dinilai juga dikarenakan faktor moderator. Ini tertulis dalam berita Kompas berikut: “.....Dalam perdebatan, seorang moderator harus punya pemikiran yang baik tentang isu-isu tertentu yang dikemukakan dalam suatu pertanyaan. Moderator harus melemparkan isu spesifik dan ditanggapi masing-masing kandidat. Sehingga publik tahu posisi si A tentang isu tertentu...” Namun demikian, selain kesalahan pada moderator, kesalahan juga terletak pada KPU yang mengambil jalan aman supaya tidak ada upaya mempermalukan calon tertentu. Hal ini karena panelis ditiadakan dan malah memilih moderator yang fungsinya hanya sekedar mengalokasikan waktu. Padahal, berdebat bukan hanya menguntungkan pemilih supaya tidak pilih kucing dalam karung, tetapi penting juga untuk kandidat. Bagi kandidat, jika diasah terus dalam perdebatan, maka ketika terpilih ada kejelasan pemahaman terhadap satu hal, bagaimana kritik dari perspektif lain sehingga dalam mengambil kebijakan clear. Perdebatan harus dibiarkan tetap tajam serta jangan mengikuti jam tayang media. Media seharusnya mengambil pilihan, serta mengambil bagian dari perdebatan yang menurut mereka layak untuk disiarkan. Beberapa judul berita soal debat capres di antaranya “ Debat Capres tidak Ada Gunanya’’,
“Debat Capres Jangan Dipotong Iklan” dan “ Anggaran Debat Capres Harus Transparan”. Republika: Iklan Debat Capres Langgar UU Pilpres Republika, mengkritisi penayangan iklan di sela acara debat capres. Dalam berita berjudul “Iklan Debat Capres Langgar UU Pilpres”, pakar Hukum Tata Negara, Irmanputra Sidin, menyatakan pemuatan iklan itu telah melanggar UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pasal 39. Acara debat capres/cawapres sepenuhnya dibiayai negara (APBN), maka seharusnya tidak boleh ada iklan dalam acara debat itu. Dalam hal ini, KPU dianggap telah menyalahi undang-undang. Acara debat adalah salah satu rangkaian kegiatan pemilu pemilihan presiden dan wakil presiden yang dibiayai negara. Dengan kata lain, tidak boleh dalam pelaksanaan rangkaian debat tersebut mengambil dana dari pihak ketiga atau membagi beban pembiayaan dengan pihak ketiga. Alasan KPU yang ingin melakukan penghematan anggaran negara, menurut Irman, tidak bisa dibenarkan secara hukum. KPU sama saja telah menggadaikan independensinya sebagai penyelenggara pemilu yang harus bersikap independen. Adanya iklan dianggap dapat menimbulkan intervensi pada acara debat capres. Menurut Irman, dengan ketersediaan dana penyelenggaraan pemilu sampai triliunan rupiah, alasan KPU untuk menghemat anggaran negara adalah alasan yang dibuat-buat. Berikut ini adalah salah satu cuplikan berita di Republika soal iklan dalam debat capres:
“…Kalaupun benar anggaran untuk penyelenggaranan debat tidak mencukupi, maka seharusnya KPU meminta tambahan dana kepada pemerintah melalui DPR. Bukannya menggandeng pihak ketiga dalam hal ini televisi swasta.’’ Irman pun meminta KPU menjelaskan permasalahan pemasangan iklan pada acara debat capres. KPU juga hendaknya tidak lagi mengulangi kesalahan dengan berbuat serupa pada acara debat yang masih tersisa dua kali lagi. “Kalau diteruskan dan dilanjutkan bisa menjadi preseden buruk, pelanggaran terhadap undang-undang ini bisa saja diikuti oleh lembaga-lembaga negara lainnya,” ucap Irman...” Republika mengutip pendapat Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ibrahim Fahmi Badoh, bahwa seharusnya KPU membeli sepenuhnya waktu siaran televisi (blocking time) untuk acara debat capres/cawapres. Sehingga tidak ada peluang permainan capres/cawapres melalui bargainning pemasangan iklan. Ia juga mempertanyakan kenapa KPU memilih menggunakan stasiun televisi swasta untuk menayangkan debat. Padahal, negara mempunyai stasiun siaran elektronik, TVRI dan RRI, yang juga bisa dimanfaatkan untuk mempublikasikan acara debat. Beberapa judul berita berkenaan dengan debat capres adalah “Garagara Iklan, Debat Capres Dinilai tak Sah”, “Iklan Debat Capres-Cawapres Segera Dibatasi”, dan “Iklan Debat Capres Langgar UU Pilpres”. Media Indonesia: Debat Capres Terus Tuai Kekecewaan Media Indonesia menampilkan
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
13
Telisik berita debat capres tentang kekecewaan masyarakat terkait paparan capres dalam debat. Media Indonesia mewawancarai Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid yang berpendapat pelaksanaan debat capres menuai kekecewaan. Dalam acara debat, capres dinilai tidak memiliki basis cita-cita dan ideologi kuat untuk memperbaiki bangsa lima tahun mendatang. Tiap kandidat hanya mengatakan akan lebih baik dari yang lain. Dari telaah HAM, kata Usman, ketiganya tidak menunjukkan keinginan dan berupaya serius menyelesaikan masalah HAM masa lalu. Ketiganya, lebih memilih pendekatan rekonsilisasi atas nama persatuan. Khusus capres SBY, menyebut bahwa di masa pemerintahannya tidak terjadi pelanggaran HAM ini bertolak belakang dengan fakta yang ada seperti kasus Lapindo. Cuplikan berita di Media Indonesia sebagai berikut: Danang Widoyoko dari ICW, menilai ketiga kandidat memiliki pemahaman dan argumentasi sempit dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. SBY dan JK masih terlihat ragu-ragu menanggapi penuntasan RUU Pengadilan Tipikor. Sementara, Megawati, dinilai sama sekali tidak memahami permasalahan tersebut. Argumentasi ketiga kandidat, bahwa akar masalah pada tingkat kesejahteraan aparat negara adalah tidak tepat. “Pemberantasan korupsi sebenarnya bukan soal besarnya gaji, tapi kemauan,”ungkap Danang. Media Indonesia juga mewawancarai mantan ketua Pansus RUU Pilpres, Ferry Mursyidan Baldan yang
mengkritik terlalu banyaknya iklan pada setiap penayangan putaran debat capres/cawapres dan hal itu bisa mereduksi tujuan acara tersebut. Penayangan iklan perlu diatur lagi. Seharusnya, tidak setiap jeda waktu diisi dengan iklan yang macammacam. Bagi anggota Komisi II DPR itu, kalau iklan kampanyenya terlalu banyak, maka penonton sebagai calon pemilih bisa saja tidak fokus dalam mengenali calonnya. Jadi perlu dibatasi frekuensi iklannya karena debatnya sendiri adalah kampanye. Ferry juga menyoroti penyelenggaraan polling melalui pesan singkat (SMS), sebagai pelengkap tayangan beberapa stasiun televisi dalam rangka debat kandidat tersebut. Ulasan Debat Capres di Media Ketiga media cetak di atas memiliki pandangan berbeda terhadap penyelenggaraan debat capres oleh KPU. Kompas lebih banyak mengkritisi jalannya proses debat capres yang dinilai hanya pemaparan visi misi kandidat. Media Indonesia, menampilkan kekecawaan masyarakat. Terutama ketika dalam perdebatan tersebut tercermin masih kurangnya komitmen kandidat dalam pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan HAM. Selain komitmen itu, para kandidat dinilai kurang ekspresif ketika berbeda pendapat sehingga nuansa debat capres dinilai hanya seperti tanya jawab atau dialog datar. Mestinya, perdebatan mengekspresikan pemikiran kandidat dan lawan bicaranya, mengutip istilah Gunawan Muhamad, debat ibarat dua pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Seorang kandidat memaparkan pendapatnya kemudian lawan-lawannya menyerapi ide
14 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
kandidat lain dan mengkritisinya. Perdebatan dapat menjadi diskusi rasional yang dapat menghasilkan sebuah konsensus. Namun, perdebatan tidak selalu demikian, hal ini dikritisi Kompas dan Media Indonesia, para kandidat seolah enggan berbeda pandangan. Di sisi lain, hal ini dinilai sebagai kesantunan berpolitik dimana para kandidat saling menghargai pendapat kandidat lain. Walaupun debat capres dua terakhir sudah mulai ada perbaikan. Hal ini terjadi karena adanya usaha Capres dan moderator untuk menambah suasana perdebatan. Sementara itu, Harian Umum Republika lebih banyak menyoroti permasalahan iklan politik dan tranparasi pendanaan debat capres. Kompas dan Media Indonesia dalam beberapa breaking news-nya juga sempat mengangkat kedua topik tersebut dalam edisi cetaknya. Dalam beberapa beritanya, Republika mengkritisi penayangan iklan-iklan politik dikhawatirkan dapat memengaruhi netralitas. Namun, media memang tidak boleh menyianyiakan acara debat capres yang mengundang penasaran masyarakat dan mendulang rating tinggi. Media tentu memanfaatkan acara debat capres itu untuk membuka space iklan dan iklan-iklan politik tersebut memang sangat relevan dengan penyelenggaraan acara debat capres. Media, membutuhkan iklan untuk membiayai semua kegiatannya meskipun dimiliki oleh para pemodal kuat. Catatan dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia mengungkapkan, tahun lalu ada sekitar Rp 48 triliun dana yang masuk ke media melalui pemasangan atau
Telisik
Benar, tahun ini iklan politik memang telah menjadi sumber pemasukan paling deras ke rekening media terutama stasiun televisi. Jumat pekan lalu, Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara mengungkapkan sudah ada sekitar Rp 3 triliun dikantongi media yang berasal dari iklan-iklan politik, hanya dalam waktu tiga minggu selama Juni 2009. Kenyataan itu berbanding terbalik dengan laporan dana kampanye dari setiap kandidat. Senin 1 Juni 2009, KPU, mengumumkan pasangan Mega-Prabowo dan Susilo Bambang Yuhoyono-Boediono melaporkan dana kampanye mereka masing-masing sekitar Rp 20 miliaran, sedangkan Jusuf Kalla-Wiranto sebesar Rp 10,25 miliar. Dalam acara debat caprescawapres beberapa media cetak mengangkat isu penayangan iklan di sela-sela acara, jika hal ini bentuk sikap kritis media terhadap pelaksanaan Undang-Undang No. 42 tahun 2008 maka media memang harus terus memantau pelaksanaan Undangundang tersebut demi suksesnya Pemilu 2009. Namun jika pemberitaan yang menyayangkan penayangan iklan di sela-sela acara debat capres karena
Gambar : www.rusdimathari.wordpress.com
penayangan iklan-iklan. Nilai itu melonjak lebih dari dua kali lipat diperbandingkan dengan pendapatan yang sama tahun sebelumnya, yang hanya Rp 15,82 triliun. Sebagian besar belanja iklan-iklan itu diterima oleh stasiun televisi (60 persen) dan sisanya terbagi untuk media cetak, radio, situs internet dan iklan-iklan outdoor. Tahun ini, belanja iklan itu ditaksir akan melebihi angka Rp 50 triliun, terutama karena didongkrak oleh maraknya iklan-iklan politik.
hanya faktor persaingan iklan media cetak-media elektronik maka hal ini sangat disayangkan. Media cetak dan media elektronik seharusnya berfungsi sebagai pemantau proses Pemilu dan menjadi pengawal proses demokrasi. Sehingga pantauan-pantauan terhadap prosesi debat, kampanye, pemilu dapat mendukung suksesnya demokrasi di bangsa ini. Media seharusnya lebih mengkritisi pendanaan penyelenggaraan kampanye dan iklan politik oleh capres serta transparasi pendaan KPU. Media perlu terus mendorong agar Bawaslu atau lembaga berwenang yang lain, untuk segera mengaudit dana belanja iklan para capres. Antara lain misalnya dengan meminta penjelasan kepada pihak televisi dan juga media cetak tentang asal-usul dana iklan kampanye yang masuk ke rekening mereka.
Bisa juga Bawaslu meminta keterangan dari biro-biro iklan yang menjadi agen pemasangan iklan para capres itu, untuk mengungkapkan bagaimana setiap kandidat membayar iklan politik mereka. Dari sana mungkin akan bisa diurai siapa saja yang telah ikut “patungan” membayar iklan-iklan itu. Republika juga memunculkan isu-isu transparasi pendanaan debat yang diselenggarakan KPU. Masyarakat menjadi sulit untuk percaya pada laporan KPU tentang jumlah dana kampanye dari tiga kandidat yang totalnya hanya berjumlah Rp 50 miliar, sedangkan belanja capres untuk iklan saja mencapai Rp 3 triliun. Media Indonesia dalam breaking news juga mengkritisi permasalahan transparasi dana debat yang diselenggarakan KPU. //Rahma Widhiasari ***
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
15
Laporan
Membawa Sastra ke Dalam Jurnalisme Oleh: Andriani S.K. Sepucuk surat elektronik yang saya kirimkan ke salah seorang anggota milis Panggung pada bulan Januari 2008 adalah awal perjalanan mengenal jurnalisme sastrawi, juga tulisan-tulisan seperti The Girl of the Year-Tom Wolfe, A Boy Who Was ‘Like a Flower; ‘The Sky Exploded’ and Arkan Daif, 14, Was Dead-Anthony Shadid dan It’s A Honor-Jimmy Breslin. Isi surat saya waktu itu, saya mencari informasi pelatihan editor yang bermutu. 16 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi/74/2009
Laporan
B
alasan datang segera. Dari anggota milis yang berada di Eropa Barat. Isi balasan surat adalah terusan postingan informasi bahwa pendaftaran pelatihan jurnalisme sastrawi semester pertama tahun 2008 yang diselenggarakan Yayasan Pantau, sedang dibuka. Biayanya 3 juta rupiah. Pelatihan dimulai Jurnalisme Sastrawi adalah sebuah genre yang diperkenalkan lewat kursus sejak tahun 2001. Diadakan Yayasan Pantau, waktu pelatihan kurang lebih dua minggu. Peserta adalah orang yang biasa menulis untuk media. Setidaknya berpengalaman sekitar lima tahun. Pelatihan yang saya ikuti adalah Angkatan ke-16.
Janet Steele, profesor dari George Washington University spesialisasi sejarah media dan mengajar narrative journalism, Janet adalah penulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. Dana dan Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia. Janet juga menulis tentang jurnalisme di Timor Leste dan Malaysia. Kami dibagikan materi kursus yang tebalnya sekitar 200 halaman. Isinya adalah silabus dan kopian bacaan materi kursus. Sempat keder juga membaca daftar bacaan yang harus dipelajari tiap hari. Pembukaan kelas dimulai dengan memperkenalkan diri masing-masing. Ada 15 peserta dari seluruh Indonesia. Dari Andreas Harsono, salah seorang pengajar, kami diberitahu bahwa seorang peserta kelas adalah aktivis Gerakan Papua Merdeka yang sedang dikejar-kejar. Seorang peserta lain, laki-laki yang
sungguh supel dan hangat bernama Yatna. Ia adalah aktivis lembaga Arus Pelangi, sebuah lembaga yang membela hak-hak kaum yang memiliki orientasi seksual berbeda. Dengannya, saya punya percakapan menarik. “Jadi, kalian menyebut diri kalian apa?” tanya saya saat kami sedang minum kopi sebelum kelas dimulai. “Kami adalah orang-orang yang punya orientasi seksual berbeda. Kami tak menyebut diri kami gay atau lesbian.” Demikian Yatna men jawab dengan ramah dan percaya diri. Setelah memperkenalkan diri, kami lalu mendiskusikan silabus. Janet memulai materi dengan sedikit penjelasan mengenai sejarah dan perbedaan antara ‘new’, literary, dan narrative Journalism. Kami juga berdiskusi tentang keperluan jurnalisme sastrawi untuk surat kabar. Hari itu, kami diminta mempelajari The Girl of the Year” oleh Tom Wolfe, Dua jam Bersama Hasan Tiro” oleh Arif Zulkifli, A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid, For Now, Indonesian Fishermen Are Forced to Abandon the Sea Officials Must Move Quickly to Revive Industry, Advocates Say oleh Ellen Nakashima, “Soldiers Face NeglectFrustation At Army’s Top Medical Facility” oleh Dana Priest dan Anne Hull, dan Violence Change Fortunes of Storied Baghdad Street” . Kelas sungguh menyenangkan. Sejuk karena ber-AC. Kursi-kursi kayu dengan bantalan warna khaki diatur melingkar. Janet duduk di tengahtengah. Ada vas putih berisi mawar segar diatas mejanya. Kami bisa belajar sambil makan cemilan dan minum kopi atau teh yang disediakan panitia di meja panjang dekat dispenser di ruang duduk. Tugas kami untuk esok, menulis
sebuah peristiwa yang disaksikan. Dimulai dengan adegan, tanpa ‘penjelasan’ berdasarkan karya Tom Wolfe The Girl of The Year . Topiknya apa saja, yang penting memikat pembaca. Tulisan diminta tak lebih 2 halaman, spasi ganda, agar seluruh peserta kebagian waktu membacakan karyanya. Hari kedua, kami diskusi tentang pekerjaan rumah. Semua kebagian membacakan karya dan mendengar pendapat-pendapat. Bacaan hari itu adalah “Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini, sebagian dari buku “In Cold Blood” karya Truman Capote dan kliping dari harian The New York Times pada 1959, sebuah tulisan berjudul Wealthy Family, 3 of Family Slain. Peserta kelas juga berdiskusi tentang immersion reporting, sebuah teknik peliputan yang diperkenalkan oleh pembela Jurnalisme Gaya Baru untuk menjawab kritik dan keraguan yang dilontarkan orang-orang mengenai kedalaman reportase. Immersion reporting adalah perluasan konsep Literary Journalism. Kedalaman reportase dibuat tanpa rekonstruksi. Wartawan mendampingi orang-orang yang hendak dilaporkan sejak awal kejadian. Oleh Norman Sims dalam The Art of Literary, perluasan konsep Literary Journalism diindikasikan melalui kedalaman reportase, teknik-teknik naratif yang bebas dari opini pewawancara dan peningkatan standar akurasi. Tugas untuk hari Jumat adalah membuat narasi dari sudut pandang orang pertama. Adegan digambarkan dengan menggunakan kata ‘saya’, ‘aku’, atau ‘gue’. Referensi bacaan sebagai contoh adalah “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” karya Amarzan Loebis. Panjang maksimal dua halaman, spasi ganda. Hari terakhir untuk kelas Janet
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • Edisi No.74/2009
17
Karikatur
KARTUNIS MENIL
K
arikatur sudah menjadi salah satu media untuk mengekspresikan perasaan, khususnya yang dikemas dalam bentuk kritik, satire dengan simbolik dan humor. Demikianlah koruptor selalu dianalogikan dengan simbol tikus, kelompok yang menganggu muncul dalam simbol nyamuk, koloborasi atau persekutuan dalam bentuk sepasang suami isteri,dll. Hal ini masih dijumpai dalam berbagai karikatur saat ini, seperti pada hasil lomba karikatur yang dipamerkan di Gedung THC dengan tema “Dinamika Pemilu 2009,” tanggal 1 s/d 7 Juli 2009. Lomba dan pameran ini, sangat tepat dengan suasana yang dialami bangsa Indonesia yang sedang menyelenggarakan pemilihan presiden tahun 2009 yang lalu.
Abdul Azis
Beberapa isu menarik yang ditampilkan pada 114 karikatur yang pamerkan ini antara lain mengenai perilaku calon legislatif (caleg) yang ditenggarai : (1). Hanya berlaku hipokrit membela rakyat dalam kampanye, (2). Menggunakan money
M. Najib
M. Najib
18 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • Edisi No.74/2009
Karikatur
LAI PEMILU 2009 politics untuk merebut jatah kursi menuju Senayan (3). Menjadikan rakyat hanya sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Isu lain yang juga menarik adalah persepsi para karikaturis terhadap KPU yang sangat negatif, berbeda halnya dengan lomba karikatur dengan tema yang sama diselenggarakan THC menjelang pemilu 2004. Isu lain yang tidak luput jadi sasaran karikaturis adalah lembaga survey yang dilukiskan bisa diatur hasilnya berdasarkan pemesanannya. Dari segi orsinilitas dewan juri menilai masih ada karya yang tidak memiliki karakter sendiri bahkan menggunakan gagasan yang sama dengan karya orang lain yang sudah pernah dipublikasikan. Namun dari sudut estetika gambar, sejumlah besar karya karikatur yang mengikuti lomba sudah patut dipuji. Kekurangan lain menurut Pramono Pramudhyo, salah seorang dewan juri adalah pengungkapan ide yang datardatar saja, jarang yang memberikan “kejutan”.
R.Sugiri
Beberapa karikatur yang mengikuti lomba tersebut, dapat dinikmati pada halaman ini.
Chaliri CH
M. Najib MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • Edisi No.74/2009
19
Laporan diisi dengan diskusi tugas dan pembahasan kata ‘saya’. Kami diminta membaca “Tikungan Terakhir” oleh Agus Sopian, sebuah tulisan berupa laporan kematian wartawan Rudi Singgih. Setelah membacanya, kami diminta memberi komentar. Ada beberapa komentar dari Janet terhadap tulisan ini. Kami juga diminta membaca It’s a Honor karya Jimmy Breslin dan “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Lobis. Janet juga menjelaskan sedikit tentang struktur narasi beserta aspekaspeknya dan bagaimana memanfaatkan narasi dalam berita hangat (breaking news). Kami juga diberikan contoh struktur film yang baik menurut Nora Efran sebagai pembanding. Sabtu semestinya libur. Tapi kami ada kelas tambahan. Diisi oleh Endy M. Bayuni, chief editor The Jakarta Post. Endy mempresentasikan tulisan berjudul “Narrative Journalism: Reinventing Newspaper Journalism.” Disela-sela materi presentasi yang ditampilkan melalui LCD projector, Endy memberi tahu bahwa tiap tahun The jakarta Post mencari sepuluh orang wartawan baru. Poin penting yang paling saya ingat dari seluruh materi Endy adalah bahwa Narrative Journalism menuntut dan mencakup ketrampilan The Art of Telling Stories. Kelas tambahan ini hanya berlangsung kurang lebih 2 jam. “Bikin 10.000 kata” Diminggu kedua, Senin-12 Januari 2009, kami diajar oleh Andreas Harsono. Ia wartawan feature service Pantau, anggota international Consortium of Investigative Journalist. Buku bacaan kami adalah The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang
sudah diterjemahkan dan dibagikan gratis sebagai bagian paket pelatihan. Kami juga diberikan penjelasan tentang bagaimana membedakan mana fakta dan mana opini dalam suatu tulisan. Oleh Andreas, kami ditantang untuk meningkatkan ketrampilan menulis dengan jalan latihan untuk mulai membuat tulisan panjang. “Tulisan panjang adalah tulisan yang
“Tulisan panjang adalah tulisan yang terdiri minimal 10.000 kata. Cara berlatihnya, bikin tulisan 1500-2500 kata dulu. Lalu tingkatkan ke 5000 kata. Setelah 5000 kata, teruskan latihan hingga bisa mencapai 10.000 kata. Biasanya orang mentok di 10.000 kata. Jika 10.000 kata sudah biasa, maka untuk menulis lebih 15.000 kata menjadi mudah.” terdiri minimal 10.000 kata. Cara berlatihnya, bikin tulisan 1500-2500 kata dulu. Lalu tingkatkan ke 5000 kata. Setelah 5000 kata, teruskan latihan hingga bisa mencapai 10.000 kata. Biasanya orang mentok di 10.000 kata. Jika 10.000 kata sudah biasa, maka untuk menulis lebih 15.000 kata menjadi mudah.” Seorang peserta, ketua program studi jurusan arsitektur Universitas Budi Luhur berkata sambil bercanda,”Bikin tugas jurnalisme sastrawi 2 halaman saja sudah mabok.” Hari itu kami mendapat tugas untuk membuat satu halaman deskripsi padat mengenai hal-hal yang ada di lingkungan sekitar dengan memanfaatkan semua indera. Tak boleh ada kalimat klise seperti “angin sepoi-sepoi” atau “nyiur melambai”.
20 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • Edisi No.74/2009
Referensi bacaan adalah Reporting is the Key to Good Journalism karya Steven A. Holmes. Rabu, 14 Januari 2009. Kelas diisi dengan diskusi lanjutan mengenai jurnalisme dan masalahnya dengan nasionalisme-agama-etnik-ideologigender. Bacaan-bacaan tambahan adalah The Ethnic Origins of Religious Conflict in North Maluku Province, 1999-2000 oleh Chris Wilson; “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik” oleh Andreas Harsono dan Douglas Kammen; Fire Without Smoke and Other Phantoms of Ambon’s Violence oleh Patricia Spyer. Kami diminta untuk mempelajari “Hiroshima” karya John Hersey, terutama menyangkut struktur narasinya. Tugas untuk besok adalah mencari orang yang menarik untuk diwawancarai. Pada hari Jumat, akan ada pendalaman mengenai teknikteknik wawancara. Setelah praktek wawancara yang dicontohkan Andreas, beberapa orang mendapat giliran untuk praktek di depan kelas, termasuk saya. Kami juga berdiskusi mengenai sumber anonim. Bacaan referensi adalah “Tujuh Sumber Anonim”; Ten Tips for Better Interview; dan “Interviewing Sources karya Isabel Wilkerson. Saya dan teman-teman bertukar alamat email. Jika mungkin, bikin acara jumpa bersama. Dua minggu terasa singkat. Namun saya pulang dengan hati gembira. Bertambah pengetahuan, bertambah teman. Pekerjaan besar saya menunggu: mengamalkan pengetahuan yang telah saya peroleh, pengetahuan tentang gaya baru jurnalisme berupa gabungan disiplin keras jurnalisme dengan daya pikat sastra. Dengan kata lain, menyampaikan fakta dengan cara bertutur. (Andriani S.K.)
Opini
Peran Media di Masa Kampanye Bangsa Indonesia telah sepakat memilih demokrasi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan lebih baik. Pemilihan Presiden secara langsung sejak 2004 menjadi bukti atas komitmen bangsa ini.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /74/2009
21
Opini
B
angsa Indonesia telah sepakat memilih demokrasi sebagai sarana untuk mencapai kehidupan lebih baik. Pemi-lihan Presiden secara langsung sejak 2004 menjadi bukti atas komitmen bangsa ini. Setelah pemilihan anggota DPR dan DPD usai, hiruk pikuk pilpres kembali berulang pada 8 Juli 2009. Sebelum tiba hari pencontrengan, “pertempuran’ pun telah dilancarkan oleh masing-masing Tim Sukses ketiga pasangan capres dan cawapres: Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono, dan Jusuf Kalla dan Wiranto (JK-Wiranto) serta Megawati dan Prabowo (Mega-Pro). Beragam upaya meraih simpati massa telah dilakukan jauh hari sebelumnya. Itu semakin masif ketika masa kampanye yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tiba. Puluhan triliunan rupiah dana berputar dari proses lima tahunan ini. Media pun bersorak dan memasuki masa panen siklus lima tahunan. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, seperti dikutip situs www.kompas. com memperkirakan, hingga minggu ketiga Juni, pendapatan iklan kampanye pemilihan presiden yang diterima media massa nasional sudah mencapai Rp 3 triliun. Suatu angka yang tidak sedikit.1 Jumlah perputaran uang ini pun akan berlipat ganda jika pemilu berlangsung dua putaran. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres tak disangsikan telah menyewa para ‘tukang plintir’ (spin doctor) sekaligus membangun Tim Sukses masingmasing untuk memenangkan opini massa. Melalui keahlian menyusun strategi komunikasi yang mereka miliki, para ‘tukang plintir’ itu akan mengeksploitasi kelebihan penyewa
yang membayar mereka seoptimal mungkin, sekaligus menyerang pesaingnya dengan isu-isu mematikan. Peran para ‘tukang plintir’ menjadi sangat strategis dalam Pilpres 2009. Pasangan peserta pemilu presiden dipastikan telah mengerahkan seluruh sumber daya mereka guna merebut simpati masyarakat. Porsi iklan di media massa terus diperbesar. Fenomena ini dapat dipahami. Leo mengungkapkan posisi media massa di masyarakat semakin dominan sebab lebih dari 80 persen penduduk Indonesia menjadi pembaca, pendengar, dan pemirsa berbagai media yang ditawarkan. Penyebaran media massa pun semakin merata. Kalau sepuluh tahun silam masih terfokus di daerah perkotaan, saat ini masyarakat desa terpencil pun sudah menikmati siaran televisi atau membaca surat kabar. Kepada ‘Media Watch,’ ahli komunikasi strategis Ahmad Fuad Afdhal menjelaskan kegiatan strategi komunikasi yang telah dirancang masing-masing tim ‘tukang plintir’ dalam Pilpres 2009 kali ini semakin kreatif dibandingkan pemilu sebelumnya. Masing-masing tim suskes telah memanfaatkan multi-media baik TV, internet, atau sms. Tidak hanya itu, mereka juga meng-kooptasi ahli politik, yang mungkin sebelumnya dianggap sebagai ilmuan sosial (baik politik, sosiolog, dan bahkan antropolog). Melalui keahlian mengkemas opini dengan dibungkus nuansa ilmiah – karena sebelumnya mereka dikenal sebagai ilmuan, mereka bertanggungjawab menyukseskan penggalangan opini publik. Para ilmuan tersebut ikut-ikutan kampanye menyusun konsep, pendapat dan pandangan untuk memengaruhi opini publik. Kecanggihan penggalangan
22 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
opini pun semakin kompleks. Para kandidat jua memanfaatkan instrumen survei termasuk mendirikan lembaga survei. “Mereka masih muda-muda. Mungkin ada target yang harus mereka kejar....,” komentar Fuad menanggapi aksi para ilmuan dan para ‘tukang plintir’ yang terjebak masuk dalam pusaran kampanye tokohtokoh politik tersebut. Namanya saja kompetisi untuk menarik hati rakyat, sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar dan sahsah saja jika para kandidat tersebut melakukan beragam strategi komunikasi untuk menarik simpati massa. Di tengah tatanan sosial masyarakat yang cenderung semakin kapitalis dan individualis, adalah sesuatu yang positif karena masih ada sosok terbaik bangsa ini yang bersedia mengabdikan hidupnya untuk memimpin bangsa ini. Mereka bersedia memberikan seluruh waktunya untuk menyatukan dan memperkokoh bangsa Indonesia dalam wadah NKRI. Di sisi lain, bangsa ini memang menantikan terpilihnya pemimpin negarawanan yang dapat mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Namun, bagaimana sesungguhnya objektivitas iklan-iklan dan upaya penggalangan opini massa oleh masing-masing Tim Sukses para Capres-Cawapres? Pertanyaan ini rasanya penting dikemukakan. Seperti iklan produk dan jasa lainnya, iklan politik para kandidat inipun tentu tidak bebas nilai. Objektifitas akan sulit ditemukan dalam isi dan kemasannya. Bahkan, kemasan iklan dan penggalangan media massa bisa ada kesan ‘mengelabuhi’ fakta objektivitas. Kooptasi media pun tidak terhindari. Leo pernah memperingatkan media agar tetap mengedepankan independensi. “Iklan diterima, tetapi
Gambar : Karikatur R. Handirin
Opini
tetap netral dalam memberitakan sebagaimana isi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik,” kata Leo. Namun, dalam kenyataannya, rasanya sulit memisahkan berita dengan iklan dari para kandidat. Di
dalam situs www.detik.com misalnya, tiap hari ada berita ‘Warta No.1’ yang berisi argumentasi kubu MegaPrabowo terhdap berbagai isu yang mereka jual. Argumentasi dan opini tersebut tidak jarang mengutip berbagai tokoh politik dan ekonomi
yang sehaluan dengan paham kubu ‘Mega-Pro.’ Memang, artikel tersebut dilaporkan oleh ‘Adv’ alias advetorial, namun format dan bentuk iklan tersebut tidak beda jauh dengan berita sebenarnya. Selain dalam bentuk iklan, kampanye berupa penggalangan
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /74/2009
23
Opini opini secara halus juga masuk dalam kolom-kolom berita. Fenomena menonjol lain adalah adanya survei yang didanai oleh kelompok Tim sukses SBY-Boediono. Penggalangan survei elektabilitas tersebut diikuti dengan gerakan politik untuk menggarahkan Pipres 2009 tersebut menjadi satu putaran. Sebagai upaya untuk menarik dukungan massa, langkah yang dipilih Tim SBY-Boediono tersebut sah-sah saja. Dengan menggandeng Denny JA yang sebelumnya dikenal sebagai ilmuan hukum dan politik, adalah upaya yang kreatif untuk mengajak rakyat memilih kandidat nomor 2. Namun, pertanyaan besar kembali muncul ketika ‘Gerakan Satu Putaran’ itu berdampingan dengan peluncuran survei elektabilitas kandidat yang menempatkan SBYBoediono meraup 70 persen suara. Komposisi yang justru lebih kuat saat Soeharto yang otoriter masih memegang kendali kekuasaan. Objektivitas pun menjadi tanda tanya besar. Kesan manipulasi dan penggunakan cara-cara yang tidak objektif untuk memenangkan hati publik sangat terasa dalam Pilpres 2009 ini. Penyebaran isu non-muslim isteri Cawapres SBY, Boediono, menjadi konsumsi publik yang mencemaskan. In dapat dimaklumi karena sudah mencakup isu SARA. Tentang beragam upaya para ‘tukang plintir’ ini, Ahmad Fuad Afdhal yakin akan ‘kebajikan sosial’ yang tumbuh di masyarakat.” Masyarakat sesungguhnya cukup bijak dan mengerti calon pemimpin yang paling mampu memimpin bangsa ini dalam lima tahun ke depan. “ Saya tidak tahu apakah cara-cara yang tidak objektif ini akan berhasil. Kita lihat saja setelah pemilu usa,. Kita lihat siapa pemenangnya,”
ujar Fuad. Penutup Pemilihan presiden secara langsung adalah cara demokrasi untuk mendapatkan pemimpin di tengah masyarakat. Bangsa ini telah memutuskan memakainya sejak 2004 lalu. Pilihan tersebut dapat dipahami sebab demokrasi telah mencatatkan kemenangan historis atas bentukbentuk pemerintahan yang lain. Dewasa ini hampir setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat. Semua rejim politik di seluruh dunia mengaku sebagai rejim demokrat.2 Melalui demokrasi, diyakini mampu mewujudkan transisi lingkungan yang lebih terbuka antar unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat (civil society) lebih dimungkinkan untuk berfungsi lebih baik. Ilmuan sosial Robert A. Dahl, 3 menguraikan demokrasi memiliki sejumlah keunggulan, antara lain: menghindari tirani; menjamin hak asasi; menjamin kebebasan umum; menentukan nasib sendiri; otonomi moral; menjamin perkembangan manusia; menjaga kepentingan pribadi yang utama; menjamin persamaan politik; menjaga perdamaian; dan mendorong kemakmuran. Sistem yang demokratis, menurut Dahl, mencakup tiga dimensi yaitu adanya kompetisi, partisipasi, dan kebebasan sipil dan politik.4 Dalam konteks pembangunan demokrasi di Indonesia itulah Pilpres 2009 memiliki peran strategis. Melalui Pilpres itulah, seluruh rakyat Indo-nesia dijamim hak kebebasan sipil dan politiknya untuk berpartisipasi menentukan pemimpinnya dalam siklus lima tahun ke depan. Demokrasi sekali lagi adalah hal penting. Namun, proses pelaksanaan demokrasi itu sendiri juga tidak kalah pentingnya. Termasuk proses peng-
24 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
galangan opini massa yang dilaksanakan oleh para ‘tukang plintir,’ yang tidak hanya melibatkan ahli komunikasi massa tetapi juga para ilmuan yang seharusnya netral dan selalu dipayungi prinsip integritas ilmiah. Berbagai praktik pembelokan isu melalui iklan dan opini massa di media yang semata-mata untuk mengeksploitasi keuntungan klien dan merusak reputasi lawan, selama masa kampanye, sedikit banyak menentukan pilihan rakyat atas kandidat Presiden yang terpilih. Berbagai praktik penggalangan opini massa yang tidak objektif dan semata-mata untuk keuntungan klien beredar keras di masyarakat selama masa kampanye. Semoga rakyat memiliki ‘kebajikan sosial’ sehingga Presiden yang terpilih untuk lima tahun ke depan benar-benar sosok terbaik dari tiga kandidat terbaik yang ada saat ini agar dapat mengawal proses transisi menuju masyrakat demokrasi yang dapat berujung pada kemakmuran rakyat secara konkrit. Jika tidak, demokrasi di Indonesia hanya menjadi ritual tanpa makna. Bangsa inipun tidak akan pernah beranjak ke mana-mana dari tempat berpijak semula. Semoga ketakutan ini tidak terjadi. (Teguh Apriliyanto) Sumber : 1
Wuih... Nilai Iklan Kampanye Pilpres Rp 3 Triliun, www.kompas.com, Jumat, 19 Juni 2009 | 13:55 WIB.
2
Randy R. Wrihatnolo, Tinjauan Kritis Atas Konsep Demokrasi Sebagai Sebuah Nilai Universal, http:// wrihatnolo.blogspot.com/2009/01/ demokrasi-tinjauan-kritis-ataskonsep.html.
3
Abd Rohim Ghazali, Mengapa Harus Demokrasi?, http:// www.unisosdem.org/
4
Randy R. Wrihatnolo
Profil Ahmad Fuad Afdhal :
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
25
Profil
P
emilu dan Pilres 2009 menandai cara baru memenangkan opini publik. Para ahli komunikasi merancang strategi lebih bervariatif. Para kandidat dan tim sukses memanfaatkan multimedia baik TV maupun internet dan termasuk sms. Kondisi public relations di Indonesia ada di persimpangan jalan. Di satu sisi menggunakan metode modern di dalam mencitrakan calon-calon Presiden dan Wakil Presiden yang menyewanya, termasuk menggunakan survei. Di sisi lain, kondisi masyarakat Indonesia cukup bervariasi. Dari masyarakat yang hidup di dunia global sampai masyarakat yang masih hidup primitif atau terbelakang. Ini yang membuat tugas ahli strategi komunikasi semakin sulit. Medannya menjadi lebih berat baik bagi kandidat dan tim pendukung. Ahmad Fuad Afdhal adalah sosok yang langka. Meraih Ph.D di bidang Farmasi, kariernya lebih banyak menangani masalah komunikasi strategis. Ia memang sosok lintas bidang. Pria kelahiran Jakarta 4 Agustus 1948 ini dikenal luas di lingkungan industri farmasi, pendidikan, pengusaha, dan komunitas Public Relations. Ia akhirnya memutuskan membangun usaha sendiri setelah mengundurkan diri sebagai Corporate Secretary PT Bimantara tahun 1995. Ia dipercaya pula menjadi salah satu komisaris PT Indofarma. CEO PT Awal Fajar Adicita (AFA Group) akhirnya membangun perusahaan konsultan PR pada 1995 untuk meningkatkan kepercayaan, citra, dan reputasi perusahaan. Penggemar sepak bola yang aktif di Center For Socio Economic Studies itu, berbincang-bincang dengan ‘Media Watch’ di Lantai V FX Senayan Jakarta, tentang kiat strategi komunikasi yang dilakukan para tim
sukses dalam mendongkrak citra para kandidat Calon Presiden dan Wakil Preseiden yang menyewa mereka. “Bahasa yang dipakai para Capres dan Cawapres hanya untuk elit Jakarta. Isu yang disampaikan tidak bervariasi,” katanya membuka pembicaraan. Mengapa Anda kurang puas dengan kualitas Debat Capres dan Cawapres kali ini? Kalaupaun ada usaha-usaha untuk menarik massa melalui debat Capres, itu masih tahap awal. Sifatnya normatif saja. Semua kandidat tidak ada yang cocok dengan gaya debat langsung yang sifatnya cross fire seperti di CNN. Di situ benar-benar ada debat. Saat pembicara sedang bicara, lawannya tidak ragu-ragu memotong. Gaya debat cross fire itu memang tidak cocok dengan masyarakat kita karena dinilai kurang sopan. Karena cross fire tidak ada, membuat debat kurang hidup Mungkin tidak harus cross fire tapi debatnya harus hidup. Jangan-jangan debat begini hanya jadi ritual saja. Bagaimana dengan kreativitas para Tim Sukses kandidat menggemas isu di TV, internet, dan media cetak untuk memobilisasi opini massa? Kita pada tahap awal. Belum terlalu matang tetapi sudah bagus. Saya hanya khawatir itu hanya untuk sasaran masyarakat kelas menegah ke atas. Saya kira pesan ini tidak sampai ke masyarakat bawah, misalnya di Kerinci, Jailolo, Tanimbar atau di pedalaman Kalimantan. Jangankan nonton TV, jaringan listrik pun belum tentu ada. Padahal, acara debat di TV adalah sarana modern untuk melihat langsung perdebatan dari A sampai Z. Melalui debat akan lebih kelihatan daripada sekedar membaca di koran. Kandidat akan lebih terlihat mimik mukanya, bahasa tubuhnya, pakaiannya dan sebagainya. Kreativitas
26 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
memang sudah muncul tetapi masih kurang tajam ya.... Memang ada pepatah; ‘Tango takes two.’ Menari tango tidak bisa sendiri saja. Harus dua-duanya. Hidup tidaknya debat juga karena kualitas kandidat. Tetapi, menurut saya, kandidat yang bertarung dan timnya saya angap lebih maju ke depan daripada mayoritas masyarakat Indonesia. Mereka ditangani orangorang sekolahan. Itu istilahnya. Mereka memakai metode-metode terbaru, memakai survei dan sebagainya. Padahal, masyarakat kita pola pikirnya masih sederhana. Tanya saja sopir taksi misalnya, apa yang dia pikir tentang pilpres. Apalagi kita tanya pemulung. Namun, sebagai satu show, debat ini kurang menarik. Semua harus dipersiapkan dengan baik, mulai dari pakaian, rambut, bahasa tubuh, bahasa yang dipakai dan gerakan. Semuanya harus dikelola dan ditata dengan dengan baik. Akankah proses pencitraan yang begitu gencar dan cenderung ‘manipulatif’ bisa menghasilkan kandadat yang kurang memuaskan ketika memegang pemerintahan? Tugas utama public relations adalah mencitrakan bagaimana kualitas yang sebenarnya. Barang busuk, ‘disemir-semir’ bagaimana pun, tetap juga busuk. Kalau barangnya kurang oke, kita bisa perbaiki sedikit. Kalau barangnya jelek sangat sulit sekali. Saya pikir dari tiga pasangan yang ada, masing-masing telah memiliki jam terbang yang tinggi. SBY sebagai incumbent. Yusuf Kalla masih Wapres. Megawati mantan Wapres dan Presiden. Prabowo mantan pejabat militer. Begitu juga Wiranto. Sedangkan Boediono adalah birokrat. Orang-orang ini sudah punya track record. Ada rekam jejak mereka. Mayarakat tahu. Namun, apa yang ada di benak masyarakat, itu bukan
Profil sesuatu yang statis tapi dinamis. Nah, ini peluang bagi orang-orang yang bergerak di belakang pencitraan. Di sinilah pertempurannya menjadi menarik. Seberapa kuat pencitraan mempengaruhi masyarakat? Ada orang-orang yang fanatik sekali. Mereka tidak akan berubah pilihannya. Orang seperti ini tidak perlu dipengaruhi iklan. Mereka kan sudah sangat fanatik. Pilihan mereka tidak akan berubah sebab sejak jaman kakek dan neneknya pilihan ideologinya sudah kelihatan. Tetapi, orang-orang yang tidak punya ideologi, jumlahnya juga tidak sedikit. Orang-orang seperti inilah yang bisa menjadi target. Apalagi, untuk mereka yang pikirannya terbuka dengan pendidikan barat atau generasi muda sebagai pemilih pemula. Mereka lebih terbuka dengan gagasan-gagasan baru. Gagasan baru inilah sebagai hasil kerja orang PR. Generasi yang lahir setelah Perang Dunia Kedua, umurnya 60-an ke atas. Banyak yang mengecap pendidikan bagus. Mereka terbuka dengan gagasan baru termasuk di kota kecil. Seberapa besar pemilih tanpa ideologi ini? Saya tidak tahu jumlahnya secara pasti namun sangat signifikan. Siapa yang dapat memenangkan kelompok inilah yang akan memenangkan Pilpres tahun ini. Dari survei yang dilakukan tim saya, untuk masyarakat umum, ketiga pasangan in berbeda tipis. Saya memang belum rilis hasilnya.. Jadi, peran komunikasi strategi sangat penting untuk membangun pencitraan? Sangat strategis. Kecanggihan tim sukses membangun program dan kegiatan untuk membuat brand sangat penting. Ada calon yang
mencoba merevitalisasi bangsa kita tetapi ada kegamanan di tengah masyarakat dalam memilih pasangan tadi. Ada yang bilang Si A, yang sekarang menjabat, tidak jelek-jelek amat. Ada yang melihat Yusuf Kalla adalah sesuatu yang baru, karena dia bukan orang Jawa. Dia memilih pasangan Wiranto yang selama ini kurang berani independen, akhirnya independen juga dengan membuat partai baru. Prabowo sering dikatakan sebagai coming from behind. Itu istilah
Generasi yang lahir setelah Perang Dunia Kedua, umurnya 60-an ke atas. Banyak yang mengecap pendidikan bagus. Mereka terbuka dengan gagasan baru termasuk di kota kecil.
kalau orang main bola. Ia dianggap: ‘new kid on the block.’ Sebagai pemain baru, energi yang dia keluarkan besar sekali. Karena dia sadar dan mulainya belakangan. Ini beda dengan SBY atau Megawati yang sudah pernah menjadi Presiden. Sementara Yusuf Kalla sudah pernah menjadi Menko Kesra dan Wakil Presiden. Wiranto pun pernah mencalonkan jadi Presiden. Kalau Prabowo kan belakangan. Ketika akhirnya memutuskan menjadi cawapres, ternyata ia kurang menggebu-gebu. Apakah ini strategi atau dia ewuh pakewuh sama Megawati. Atau sudah ada pembagian tugas dengan Mega? Saya menilai Prabowo kurang lagi agresif. Paling tidak untuk meningkatkan awareness untuk menjaring masa lebih banyak. Orang
yang tidak tahu menjadi tahu. Orang yang tahu namun tidak paham pemikirannya menjadi lebih paham pemikirannya. Atau, orang yang semula acuh sama dia, diharapkan menjadi berminat sama dia. Bagaimana dengan penggunaan lembaga survei dan mengkooptasi ilmuan politik untuk memenangkan opini publik? Kalau tindakan lembaga survei, saya malas mengomentasri. Inilah survei khas Indonesia. Ada yang pasang iklan segala. Di negara maju, tidak begitu. Inilah survei dengan Indonesia style. Ya sah-sah saja. Dengan mendorong untuk melaksanakan Pemilu satu putaran. Di tempat lain tidak ada yang begitu. Dan, inilah gaya Indonesia. Inilah Indonesia Bung. Saya kalau ditanya apa harus begitu menggalang opini publik? Apa tidak ada cara lain? Apa memang harus begitu menjadi seorang ilmuan? Itu sih perlu dipertanyakan walaupun ini memang hak mereka. Mereka yang merancang semua ini masih muda-muda. Jadi, mereka ada target dong. Menurut saya sahsah saja. Namun, kalau keadaan sudah tenang, coba mereka berpikir ulang, apa perlu mereka harus begitu? Saya tidak memvonis lah karena mereka adalah adik-adik saya dan kita lihat saja hikmahnya. Memeriahkan pesta demokrasi dan mendinamisasikan pesta demokrasi dengan membawa sesuatu yang baru. Semuanya kembali ke hukum ekonomi saja. Ada permintaan ada penawaran. Masyarakat cukup bijak untuk mengkritisi cara-cara ‘Spin doctor’ atau ‘tukang plintir seperti itu? Saya tidak tahu. Kita lihat hasil Pipres nanti. Kita lihat siapa pemenangnya. Atau menurut saya, mereka yang tidak mau memilih dengan berbagai alasan apakah
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER •No. Edisi /74/2009
27
Profil Golput atau kondisi ekonomi. Ada yang berpikir kenapa harus memilih, siapa pun presiden akan tetap sama. Yang begini jumlahnya banyak. Ini juga tantangan bagi pasangan tadi, terutama tim yang mendesain komunikasinya untuk merangsang mereka memilih. Artinya, memaksa mereka datang. Saya takut, dilakukan survei tetapi mereka justru tidak memilih. Akhirnya Presiden yang dihasilkan ditentukan oleh pemilih yang jumlahnya kurang. Di amerika pun kondisinya sama. Bagaimana dengan berita pesanan yang juga marak. Di salah satu situs internet berita tersebut dipasang sama dengan berita resmi, padahal itu iklan.... Saya kenal dengan orang-orang itu. Saya sependapat dan bingung juga. Apa yang kau cari itu? Apa sudah putus asa dan desperate untuk meningkatkan nilai jualnya karena persaingan begitu ketat? Jadi semua orang berlomba-lomba menggunakan beragam cara yang bisa dipertanyakan. Begini saja. Saya ilustrasikan dengan kondisi restouran di Food Court Senayan City, di lower ground. Banyak pelayan - pelayan dipasang di luar restoran. Mereka dengan lantang menyapa semua orang di luar: ‘Silakan!’, ‘Selamat siang, Pak!’, ‘Silakan mampir, selamat malam, Pak.’ Saya ngomong sama salah satu pemilik restroran. Anda tidak perlu lakukan itu. Kenapa? Coba Anda perhatikan, berapa persen orang masuk ke restoran itu dan berhenti dulu. Lalu, berapa orang yang berhenti dan bertanya untuk melihat menunya. Juga , berapa persen yang akhirnya duduk dan akhirnya makan. Coba teliti. Saya lihat orang yang makan ke restoran atau makan karena godaan penawaran, itu sangatsangat sedikit. Godaan promosi pelayan itu, justru menunjukkan
restoran itu ndak laku. Orang yang datang kebanyakan sudah punya rencana. Apa mau makan di ‘Warung Pojok’ atau ‘Cafe Betawi.’ Jadi, nggak perlu berdiri di depan. Langkah itu bikin degradasi. Jadi, bagaimana sebenarnya kampanye yang efektif tersebut? Saya melihat kunci kampanye tidak harus berlebihan. Ini sama berlaku untuk para konsultankonsutan tadi. Kalau sudah bagus, tidak usah berlebihan mengkampanyekan diri. Masyarakat sudah tahu kualitas mana yang berkualitas, dan mana yang tidak. Sudah tahu mana yang bagus atau biasa-biasa saja. Mana yang cocok memimpin Indonesia di masa mendatang atau tidak. Masyarakat sudah cukup banyak yang tahu walau tidak sama. Gerakan satu putaran,misalnya, itu bisa jadi bumerang yang meng-kampanyekan kampanye satu putaran. Cukup dalam hati saja. Cukup di internal partai saja ditanamkan keyakinan Pilpres satu putaran..... (Teguh Apriliyanto) Profil : Nama : Ahmad Fuad Afdhal
PT Bimantara Citra (1990 - 1991), PT Graha Tama Wisesa (1986) Karier di Bidang Pendidikan : President of The National Institute of Science and Technology (ISTN), Jakarta, Indonesia1998 - 2002 : , Dean Faculty of Mathematics and Natural Science, The National Institute of Science and Technology (ISTN), Jakarta, Indonesia (1998 – 2002), ASEAN Teachers Programme, INSEAD, Fontainebleau, Perancis (1988) Keanggotaan : Ketua Asosiasi Perusahaan Publik Relations Indonesia (APPRI) 2000-2010, International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) , Public Relations Society of America (PRSA), American Marketing Association (AMA), American Management Association, New York Academy of Sciences, American Pharmaceutical Association (APhA), American Association of Pharmaceutical Scientists (AAPS), American Public Health Association (APHA), RO CHI Pharmaceutical Students’ Honor Organization, Federation Internationale Pharmaceutique (FIP), Indonesian Pharmacist Association (ISFI), dan American Society of Health-System Pharmacist (ASHP)
Lahir : Jakarta, 4 Agustus 1948 *** Isteri : Dr. S. Fatima. Fuad Afdhal, Sp.R Karya Tulis : Pendidikan: Sarjana Farmasi Institut Teknologi Bandung (1979), M.Sc. dalam Sosial dan Administrasi Farmasi University of Minnesota, Minneapolis AS (1981), dan Ph.D dalam Sosial dan Administrasi Farmasi University of Minnesota, Minneapolis AS. Pekerjaan: CEO AFA Group PT Awal Fajar Adicita (1995 – Sekrang), Commissioner of PT Indofarma 2003 2007, Corporate Secretary of PT. Bimantara Citra (1991 - 1995 ) Assistant to the Board of Directors
28 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
· Ide Kreatif dari Kepemimpinan Hingga Motivasi, PT Grasindo (2003), Mitos-Mitos Bisnis PT Grasindo (2004), Tips dan Trik Public Relations, PT Grasindo (2005). · 2005 Farmakoekonomi: Pisau Analisa Terbaru dalam Farmasi (2005) dan
· Farmasi Sosial: Membuka Sisi baru dari Farmasi (2005) ****
Profil
Airtimes itu milik anak bangsa, diatur oleh negara bukan oleh stasiun tv sendiri Tahun 1987, Inke mendirikan usaha jasa konsultan strategi komunikasi bernama Inke Maris & Associates, biasa disingkat IM&A atau IMA. Sebelum mendirikan perusahaan sendiri, lebih dari dua dekade menahkodai IM&A Pengalaman Inke sebelumnya adalah penyiar siaran bahasa Indonesia di BBC London. Penyiar di TVRI Pusat Jakarta. Sebagai mantan spesialis pewawancara tokoh kelas tinggi, Inke maris mengetahui secara tepat bagaimana membentuk citra yang baik dalam segala aspek bagi aktivitas perusahaan. Foto : Istimewa
Inke Maris MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
29
Profil
S
aat ini, para pelaku bisnis internasional mengenal reputasi IM&A yang dibangun sebagai sebuah perusahaan PR profesional berkelas dunia.IM& A sudah menjadi mitra multinational companies, seperti Mercedes Benz, Volkswagen (VW), World Gold Council, Telkom, konglomerat Asia asal Malaysia Guthrie Berhad, proyek AustraliaIndonesia Today ’94 dan Marketing Australia ’95, BP IndonesiaTangguh LNG Project, Caltex, Conoco Indonesia, Total Indonesia Singapore Airlines, Hong Kong Tourism Board (HKTB), serta BCA, BNI, Bank Mandiri dan BII. Anda salah satu pewawancara terbaik di negeri ini, apa resepnya ? Saya tidak pernah menganggap suatu tugas dengan enteng, karena merasa sudah pengalaman, I always do my home work. Saya pelajari dulu masalah dan orang yang akan dihadapi supaya pertanyaannya “intelligent” dan informed. Bisnis atau industri pertelevisian tumbuh pesat. Hal ini tidak sebanding dengan kualitas SDMnya, seperti para jurnalisnya. Seperti ada trend menghasilkan presenter cepat saji ala Mc Donals atau KFC. Bagaimana Anda menilai penampilan para presenter sekarang. Presenters sekarang mempunyai kebebasan untuk bertanya apa saja, tapi pada akhirnya yang menilai kehandalan mereka adalah penonton. Banyak yang smart dan pandai, saya kagum dengan para presenter/ berita dan current affairs talk shows sekarang seperti acara Debat TV One, Saya tidak menilai penampilan lahiriah mereka tetapi bagaimana mereka bisa mendapatkan informasi dari nara sumbernya. Tidak semua yang bisa
menjalankan peran seperti itu. Ada pernah mewawancara sejumlah tokoh dunia, bagaimana Anda menilai penampilan host atau pewawancara, isi berita, dan nara sumber berita dulu dan sekarang? Penampilan host memang harus diperhatikan. Namun saya tidak melihat penampilan sebagai hal yang sangat penting. Host atau pewawancara cukup merasa nyaman dengan kostum dan gaya bisacaranya agar bisa lebih percaya diri berhadapan dengan nara sumber. Tidak ada kriteria khusus. Asalkan sesuai dengan situasinya saja. Saya lebih tertarik membandingkan isi berita antara dulu dan sekarang. Dulu banyak berita “pembangunan”, berita nasional hanya dari satu sumber, TVRI. Berita menjadi membosankan, tetapi memberikan kita gambaran tentang pembangunan yang memberikan sense bahwa kita mengalami kemajuan di berbagai bidang, meskipun beritanya terkontrol dari pusat dan lebih fokus kepada “berita pemerintah dengan pernyataan dari pejabat pemerintah. Harus diakui berita sekarang penyajiannya lebih mengikuti kaidah jurnalistik western style, yaitu mencari berita yang “sensasional” bersumber pada events, dan happenings, terutama kejadian yang luar biasa, seperti bencana kecelakaan, masalah penangkapan/pengadilan koruptor Kemajuannya adalah transparansi dan kebebasan yang besar untuk meliput apa saja, siapa saja. Kekurangannya adalah beritaberita yang positif yang dapat memberikan penonton harapan masa depan yang bagus, misalnya berita tentang kemajuan dibidang pendi-
30 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
dikan, kemajuan dibidang ekonomi kreatif, kesehatan yang positif. Yang patut diwaspadai dan dibatasi adalah pengambilan gambar orang orang yang sedang dirundung malang, yang cedera/luka/mati yang di -closeup; perlu ada aturan agar penderitaan orang tidak kemudian menjadi komoditi, sangat melanggar etika. Sangat tidak manusiawi terutama terhadap keluarga korban. Juga berita televisi yang menjadikan pahlawan orang-orang yang melakukan kejahatan, misalnya liputan tentang pelaku bom bali, atau tentang ratu narkoba. Anda tidak berencana mendirikan semacam sekolah atau / training center/khusus untuk host/ presenter atau tetap konsentrasi membidani IM&A. Saya sudah meninggalkan dunia itu dan hijrah ke sisi lain dari dunia komunikasi yaitu strategic communications dan memberikan service kepada perusahaan dan lembaga lembaga multinasional, internasional dan nasional. Kesibukan saya terus bertambah sejak empat lima tahun lalu, saat jasa PR mulai memasuki area baru komunikasi politik. Jasa PR dibutuhkan membantu kampanye politik untuk membangun pencitraan para politisi atau tokoh masyarakat yang berebut jabatan publik di pemerintahan atau lembaga perwakilan. Tepatnya bisa saya sebutkan yakni pada masamasa kampanye presiden tahun 2004. Itu adalah pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Dan juga saat ini perusahaanperusahaan domestik mulai menyadari betapa pentingnya PR bagi aktivitas bisnisnya. Kalau dahulu klien IM&A lebih banyak perusahaan asing yang bergerak di Indonesia, sekarang, perusahaan Indonesia sendiri sudah
Profil memahami makna komunikasi PR.
kehadiran
Siapa tokoh yang paling berkesan ketika Anda mewawancarainya. Mengapa Anda melukiskan itu sebagai hal yang sangat spesial? Yasser Arafat. Saya terkesan karena dedikasinya terhadap perjuangan Palestina yang total sejak dia berusia 17 tahun. Kata-kata terakhirnya yang saya ingat pada akhir wawancara saya dengan dia di Jakarta, dengan penuh keyakinan dia mengatakan “I will see you in Al Quds Sharif (sebutannya untuk Yerusalem). Dan ketika beliau meninggal saya menyaksikan di televisi dengan penuh sedih. Program televisi saat ini menempatkan porsi hiburan yang berlebihan. Ada komentar? Saya sepakat dengan Anda. Ruang untuk berita semakin sempit; yang wajarnya minimal 30%, sekarang hanya kurang dari 20%, di sejumlah tv station hanya 10%, tergeser oleh acara hiburan. Acaraacara informasi dan pengetahuan yang mencerahkan juga semakin sedikit dan digeser ke jam jam yang kurang populer, misalnya Liputan 6 SCTV digeser ke jam 5.30, diluar prime time. Iklan-iklan layanan masyarakat, misalnya tentang kesehatan atau pendidikan dari pemerintah harus membayar mahal untuk airtime yang mendidik masyarakat tentang bagaimana menghindari flu burung atau polio. Seharusnya semua tv station dan tidak semata tvri diberi tanggung jawab menyisihkan airtime untuk public service programming, seperti di Inggris, baik tv publik BBC maupun ATV, ITV yang swasta diwajibkan untuk menyisihkan persentase tertentu airtimenya untuk public service. Public service dalam peng-
ertian program informasi dan pendidikan (pendidikan formal, pendidikan demokrasi, kewarganegaraan) dan programa hiburan/ budaya yang sehat. Kebebasan pers terus didengungkan namun seiring dengan itu pemerintah masih juga ingin mengatur kerja pers di tanah air. Penilaian Anda?
“Yang ingin kita berikan kepada masyarakat untuk memajukan bangsa tontonan yang menghibur yang sehat yang menyemangati dan membuat kita menjadi pintar dan pandai, memandang kedepan dengan harapan, menjadi orang orang yang mandiri”. Saya bisa menyebut KPI. Komisi Penyiaran Indonesia ini mungkin harus lebih aktif lagi menegakkan aturan dan guidance yang sudah ditetapkannya seperti yang ada di website KPI. After all airtime itu kan milik anak bangsa dan diatur oleh negara bukan milik tv station sendiri. Jadi wakil wakil negara/bangsa di DPR dan executif harus ikut mengatur keluaran stasiun tv yang kita tonton sedikitnya 4-5 jam sehari, bahkan lebih. Bukan berarti kembali kepada masa kendali pemerintah atas kebebasan berekspresi, tetapi meyakinkan bahwa yang diekspresikan itu sesuatu yang menjadikan orang Indonesia lebih pintar. Yang ingin kita berikan kepada masyarakat untuk memajukan bangsa kan tontonan yang menghibur yang sehat yang menyemangati dan membuat kita menjadi pintar dan pandai, memandang kedepan dengan
harapan, menjadi orang orang yang mandiri, bukan menjadi orang-orang yang menggantungkan nasib pada dukun, dan ramalan, ketakutan hantu, berbicara kasar, yang mensterotipkan perempuan sebagai ibu yang bawel dan melotot-lotot, ataupun perempuan tidak berdaya yang hanya dapat menangis, yang menstereotipkan keluarga berada sebagai keluarga kaya yang kebarat-baratan. Bagaimanapun televisi sekarang diakui sebagai medium pendidikan yang paling ampuh. KPI sudah mulai lebih aktif seperti misalnya menganjurkan untuk mengurangi cross dressing, laki-laki berpakaian dan berperilaku perempuan yang hanya membingungkan orang tua ketika menjawab anaknya “itu oom atau tante sih ma?” Sinetron komedi di Amerika atau Eropa misalnya banyak yang lucu-lucu dari dialognya bukan karena unsur kebanci-banciannya yang sekarang memenuhi hampir semua acara hiburan tv station. Buktinya Tukul lucu, Republik Mimpi parodi yang lucu tanpa unsur banci atau cross dressing. Harapan ke depan. Televisi kita merupakan medium yang benar-benar dapat menjadi panutan orang Indonesia dan memberikan sense of hope, outlook yang positif, dan cerminan dari apa yang terbaik dari bangsa ini bukan yang terburuk. (wawancara Justin Djogo, dan berbagai sumber) Nama : Inke Maris Nama Kecil : Nyi Raden Maria Diniarti Natanegara, Lahir : Bogor, Jawa Barat, 7 Desember 1950 Jabatan : - Chief Executive Oficer (CEO) Inke Maris & Associates (IM&A) - President Director Inke Maris School of Communications (IMC) - Chairman of IMC Education Foundation.
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
31
Ensiklopedi
32 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
Ensiklopedi
N
eo-Liberal dan Kerakyatan
Mari kita tinjau konsep tentang ekonomi kerakyatan dan liberal-neo liberal yang yang dipertentangkan di media massa pada masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres). Konsep liberal/neo-liberal ini sebenarnya bisa dikaitkan dengan tidak hanya pada aspek ekonomi tapi juga aspek sosial budaya dan lainnya. Melihat perdebatan yang ada di berbagai media dewasa ini, nampak bahwa liberal/neo liberal lebih diarahkan pada masalah ekonomi yang kemudian dipertentangkannya dengan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kapitalis dengan faham liberal (ditandai dengan munculnya The Wealth of Nations di tahun 1776) yang mengandalkan pada persaingan sempurna sebenarnya juga ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Mengapa demikian, karena sistem ekonomi ini dengan kondisi tertentu akan memaksimalkan keuntungan yang bisa diperoleh oleh para pelaku ekonomi (rakyat). Faham neo-liberal muncul sekitar tahun 1980-an yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk Washington Consensus tahun 1989. Hal-hal yang mendorong munculnya faham ini diantaranya adalah melesunya pertumbuhan ekonomi dunia, perdagangan dunia dan juga lambatnya arus modal dan investasi dunia. Faham neo-liberal dalam bidang ekonomi bisa dilihat dalam beberapa hal berikut ini (Williamson, 2004): liberalisasi keuangan (financial liberalization), liberalisasi perdagangan (trade liberalization), kebebasan dalam arus modal (free capital movement), privatisasi perusahaan negara (privatization of state-owned enterprises) dan
persaingan bebas dalam industry (abolition of regulation that restricts competition). Dengan melihat poinpoin tersebut nampak bahwa sistem ekonomi kapitalis menjadi ruh dari faham neo-liberal ini. liberalization), liberalisasi perdagangan (trade liberalization), kebebasan dalam arus modal (free capital movement), privatisasi perusahaan negara (privatization of state-owned enterprises) dan persaingan bebas dalam industry (abolition of regulation that restricts competition). Dengan melihat poinpoin tersebut nampak bahwa sistem ekonomi kapitalis menjadi ruh dari faham neo-liberal ini. Lalu bagaimana dengan ekonomi kerakyatan? Ekonomi kerakyatan merupakan suatu gagasan dan dan tujuan pembangunan dengan sasaran utama adalah adanya perbaikan nasib rakyat yang kebanyakan dari mereka hidup di pedesaan (Sarbini Sumawinata, 2004; hal. 160). Tujuan dari ekonomi kerakyatan ini bisa dicapai dengan melakukan perubahan dan pendobrakan terhadap sesuatu yang membelenggu dan menghalangi sebagian besar rakyat Indonesia. Meninjau definisi ekonomi kerakyatan yang dikemukakan oleh Mubyarto (1991) sistem perekonomian didasarkan pada demokrasi ekonomi dengan tujuan kemakmuran rakyat secara maksimal bukannya kemakmuran perorangan/golongan. Menurut Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan sama dengan sistem ekonomi Pancasila. Dikatakan juga bahwa sistem ekonomi kerakyatan adalah subsistem dari sistem ekonomi Pancasila (Mubyarto, 1999; hal. 128) yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas dasar kekeluargaan. Sistem ini adalah sistem ekonomi yang
demokratis berdasarkan musyawarah (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan). Terkait dengan sistem ekonomi Pancasila, Emil Salim (1985) menggaris bawahi hal-hal berikut ini, bahwa: peranan negara dalam perekonomian besar tapi tidak dominan; hubungan antar lembaga ekonomi tidak didasarkan pada modal (kapital) maupun pada buruh (sosial); masyarakat sebagai satu kesatuan dimana mereka memegang peranan sentral dalam perekonomian. Dalam sistem ekonomi Pancasila ini negara tidak harus memiliki SDA tetapi bisa menguasainya melalui jalur pengaturan, perencanaan dan pengawasan. Sistem Ekonomi Yang Ada Sebenarnya sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia bisa dikatakan ekonomi campuran (mixed economy), yang tidak serta merta mengagungkan ekonomi pasar dengan faham liberalismenya tapi juga tidak sosialis, terpimpin dimana campur tangan/peranan negara dalam ekonomi sangat dominan atau dengan kata lain mutlak. Mixed economy ini sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman presiden pertama Indonesia, Bapak Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Soeharto (dengan trilogi pembangunan: stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan), Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati dan sekarang, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Kesemua presiden itu telah mempraktekkan apa yang disebut dengan sistem mixed economy, meski kadang sebagian
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No.Edisi /74/2009
33
Ensiklopedi mereka tidak mengakuinya/menyadarinya. Yang membedakan mereka adalah porsi peranan pemerintah didalamnya. Ada yang mengedepankan ekonomi dengan tumpuan dan berdiri di atas kaki sendiri dengan dikembangkannya industri substitusi impor (import substituted industry) yang lebih melihat ke dalam (inward looking) dan kemudian dikembangkan ekonomi dengan berbasis pada industri yang mendukung sektor perdagangan (export oriented industry). Bila dikatakan Capres-Cawapres sedang menjagokan visi-misi ekonominya dengan nama ekonomi kerakyatan, sebenarnya para presiden terdahulu dan pengikutnya juga memiliki arah yang sama, yaitu membangun ekonomi nasional untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi kerakyatan adalah suatu penerapan sistem ekonomi dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal ini bisa dilakukan oleh sistem ekonomi yang ada baik itu sosialis, mixed maupun kapitalis dengan faham liberal/neo-liberal. Mari kita lihat apa yang dipraktekkan oleh negara (yang kita anggap sebagai penganut/penyebar faham liberalism dan neo liberalism) yaitu Amerika Serikat dan Negaranegara Eropa. Bila kita tilik, apa yang dipraktekkan oleh negara-negara tersebut bukanlah murni ekonomi kapitalis dengan faham liberal yang menafikan campur tangan pemerintah pusat, akan tetapi campur tangan pemerintah berada dalam koridor yang seharusnya. Dalam arti, pemerintah pusat di negara-negara tersebut ikut campur tangan bila dirasa/dinilai bahwa campur tangan pemerintah adalah perlu/wajib. Contoh praktisnya: ekonomi liberal atau neo-liberal tidak mengenal adanya subisidi. Tapi
bagaimana praktek subsidi yang ada di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat tersebut? Subsidi ada dimanamana terutama di sektor pertanian. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa negara-negara tersebut mengumandangkan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, tapi mereka tetap menerapkan ekonomi proteksionis pada level tertentu di sektor tertentu (terutama pertanian). Para petani di negara yang bersangkutan mendapatkan proteksi/ perlindungan dari persaingan internasional. Bentuk proteksi bisa berupa subsidi pendapatan atau subsidi harga. Untuk meningkatkan produksi pertanian, pemerintah pusat menangung selisih harga antara harga domestik dan harga internasional, atau selisih harga patokan dan harga internasional. Tujuan dari pemberian proteksi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani (rakyat). Jadi pemerintah yang ada di negara-negara tersebut memikirkan nasib rakyatnya. Ekonomi kerakyatankah? Negara-negara lain yang sebelumnya menganut faham sosialisme dengan ekonomi terpimpinnya tujuan utamanya sebenarnya juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk melindungi golongan bawah/buruh/ rakyat banyak dari tindakan kesewenang-wenangan para pemilik modal, pemerintah pusat memegang kendali akan sistem ekonomi yang ada. Dengan demikian rakyat miskin yang tidak punya akses modal juga menikmati hak hidupnya dengan prinsip sama rata sama rasa. Sistem ini pernah dipraktekkan oleh negaranegara seperti bekas Jerman Timur, Uni Sovyet (dengan negara-negara bagiannya), beberapa negara di Eropa Timur, China, Viet Nam dan lainnya. Namun kesemua negara itu sekarang
34 MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
sedang menggerakkan dan mengarahkan ekonominya dengan memasuki sistem pasar dimana peran pemerintah juga masih tetap ada di sektor-sektor tertentu. Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya juga sama, bahwa semua sistem ekonomi yang pernah dilakuan di Indonesia juga ditargetkan untuk kesejahteraan rakyat, dengan berbagai cara baik itu dengan sistem terpimpin (sekitar tahun 1958-1965), kemudian di zaman Soeharto di awal tahun 70-an dengan inward-looking/ import substitution policy dan kemudian ke arah pasar ekspor (export oriented strategy). Tujuan dari itu semua adalah untuk kesejahteraan rakyat baik itu produsen dan konsumen. Perdebatan di media antara neo liberalisme dan ekonomi kerakyatan yang sekarang berkembang di masyarakat, pertentangan konsep ekonomi kerakyatan dan neoliberalisme ini begitu kuat dan dibicarakan setiap saat di mana saja. Sebenarnya pertentangan dua konsep lebih bernuansa politis. Sistem ekonomi kapitalis-liberalisme/neo liberalism adalah suatu sistem, sedangkan ekonomi kerakyatan yang didengungkan Capres-Cawapres pada hakekatnya adalah sebuah tujuan (politis) dari sistem ekonomi yang sekarang berlaku di Indonesia. Yang terjadi sekarang ini (juga di masa pemerintahan Orde Baru) adalah bahwa penjelasan konsep demokrasi ekonomi yang menjadi ruh dari ekonomi kerakyatan yang sebenarnya, juga pengejawantahan prinsip dasar dari pasal 33 UUD lebih tergantung pada kemauan politis. Ekonomi kerakyatan yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan sistem
Ensiklopedi ekonomi yang ada (yang lebih ke arah ekonomi pasar dengan campur tangan pemerintah) dengan tujuan untuk lebih menyejahterkan rakyat daripada apa yang telah dilakuan oleh pemerintahan saat ini (incumbent). Bila yang lebih didengungkan adalah untuk melindungi petani/nelayan maka itu bisa dikatakan bahwa kebijakan yang ada adalah kebijakan perlindungan (protection policy). Tujuan dari kebijakan itu adalah melindungi petani dan meningkatkan kesejahteraan petani yang selama ini memang masih terpinggirkan. Ini yang sebenarnya dianggap sebagai “ekonomi kerakyatan”. Hal Praktis Bila kebijakan proteksi ini dijalankan oleh Capres-Cawapres yang telah berjanji, dimasa kampanye tentu mereka tidak akan dengan mudah menerapkannya terutama untuk sektor-sektor yang sudah dibuka secara peuh untuk persaingan internasional. Apa yang sudah disepakati dalam kerangka organisasi perdagangan dunia - World Trade Organization (WTO)-dimana Indonesia sejak tahun 1995 sudah menjadi anggota, semisal tarif impor untuk produk tertentu sudah nol atau katakan 5%, kita tidak bisa dengan serta merta menaikkannya menjadi 6%, 10%, 20% dst. Demikian juga apa yang telah disepakati dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan bilateral FTA yang lain. Dalam kerangka WTO yang ada hanyalah menurunkan atau membiarkannya tetap pada level proteksi tertentu. Pemerintah yang akan datang (dengan janji) hanya bisa memproteksi (membiarkannya apa adanya) sektorsektor yang memang belum dibuka penuh (masih terproteksi dengan tingkat tariff tertentu). Jadi janji
“ekonomi kerakyatan” yang didengungkan hanya bisa dilakukan untuk sektor-sektor yang masih terproteksi (non-zerro tariff).1 Referensi: Emil Salim. (1985). Pokok-pokok Pikiran: Membangun Koperasi dan Sistem Ekonomi Pancasila. Dalam Sri Edi Swasono. Membangun Sistem Ekonomi Nasional: Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. UI Press. Mubyarto. (1991). Deregulasi Ekonomi dan Strategi Pengembangan Perekonomian Rakyat. P3PK UGM. ————-. (1999). Membangun Sistem Ekonomi. BPFE
Yogyakarta. Sarbini Sumawinata. (1999). Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Williamson, John (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for Development. A lecture in the series “Practitioners of Development” delivered at the World Bank on January 13, 2004. The Institute for International Economics. ( (Zamroni Salim) Penulis adalah Peneliti Ekonomi, The Habibie Centre. ***
MEDIA WATCH THE HABIBIE CENTER • No. Edisi /74/2009
35