CATATAN PEMERHATI FALAK, SEBUAH KUMPULAN TULISAN Oleh: Manshur Mu’thy A Kafy Copyright © 2015
Penulis
: Manshur Mu’thy A Kafy
Website : manshuralkaf.wordpress.com Email
:
[email protected]
Facebook : facebook.com/manshuralkaf Editor
: Fathul Yasir Fuadi
Diterbitkan melalui nulisbuku.com, Pemesanan dapat dilakukan melalui website nulisbuku.com
DAFTAR ISI
ARAH KIBLAT Belajar Menjadi Nahkoda, Mencari Koordinat Satu Tempat di Laut ..........................................
10
Di Muzdalifah Mencari Arah barat ...................
19
Hari-hari Meluruskan Arah Kiblat ......................
22
Salah Kaprah ‘Mujur Ngalor’ dan ‘Madep Ngulon’ ............................................................
29
Pemikiran Syeikh Nawawi Banten tentang Arah Kiblat ................................................................
34
Rashdul Ka’bah di Riyadh .................................
43
Serba Serbi Arah Kiblat: Dari Theodolit, Hingga Gelang Karet .....................................................
48
Menebak Penemuan Drs. A. Hambali tentang Arah Kiblat .......................................................
55
HILAL Terkesima (Belajar Ngotak Atik) ........................
64
Hisab Alternatif dalam Menentukan Posisi Hilal Pada Lokasi Rukyat Non-Ideal ..........................
74
Koreksi Koreksi Atas Hisab Hilal Awal Bulan Qomariyah .......................................................
83
Kritik Terhadap ‘Hisab Modern’ ........................
93
Mengkritisi Kitab Sulam Nayirain ......................
99
Menyingkap ‘Kewalian’ Para Ahli Falak .............
107
Kenapa Bulan Sabit? ..........................................
112
Upaya penyatuan kalender Qomariyah .............
119
Wilayatul Hukmi dan Waliyul Amri (Dharuri bi Syaukah) ...........................................................
124
HISAB ’URFI Bulan Kabisat atau Tahun yang Kabisatnya Satu Bulan? .......................................................
136
Candra Sangkala ala Syekh Nawawi al Bantani ..
140
Mengkritisi Hisab Tradisional ‘Petang Wilujengan’ ......................................................
148
Merajut Lorong Waktu .....................................
159
Melacak Asal Usul Pranoto Mongso ..................
167
Sedikit Tentang Hisab Urfi .................................
175
BENCET DAN JADWAL WAKTU SHALAT Menjenguk Bencet/ Jidar di Masjid Agung Demak Jawa Tengah .........................................
192
Melengkapi Bencet Dengan Garis Awal Ashar
203
Interpolasi Bukan Interpelasi .............................
211
Ikhtiati, Dulu, Sekarang Dan Masa Datang .........
216
Melengkapi Jadwal Waktu Shalat, Menurut Syeikh Zakaria Al Anshary .................................
227
Konsep Islam Tentang Malam dan Siang ...........
236
Di Muzdalifah Mencari Arah Barat
T
anggal 23 Desember 1974 malam, atau lebih tepatnya menjelang tengah malam, kami para mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga yang bertugas sebagai pramugara dan pramugari haji sedang
melaksanakan mabit di Muzdalifah. Dengan waktu yang cukup singkat karena kami adalah bukan jamaah haji regular melainkan petugas pelayan haji, kami mencoba mengoptimalkan waktu dengan cara nanti begitu lewat tengah malam kami akan segera berangkat menuju Mina. Di sana kami akan segera melaksanakan shalat subuh dan kemudian langsung melaksanakan Jumrah Aqabah, bercukur (tahallul) dan sah untuk melepas baju ihram berganti menjadi baju biasa. Selanjutnya kami berangkat menuju Makkah, melaksanakan tawaf ifadhah
dan terakhir melaksanakan sa’i. Syukur-syukur kami bisa ikut Shalat Idul Adha di Masjidil Haram. Rencana sudah disusun dan setelah selesai mencari batu untuk jumrah kami menunggu waktu tengah malam dengan santai. Ada yang sekedar rebahan ada juga yang duduk berbincang bermacam-macam hal. Kemudian salah seorang teman ada yang nyeletuk, ‘kalau di sini kita shalat menghadap ke mana?’ Jawaban teman-teman bermacam-macam. Saya menjawab bahwa karena kita tahu shalat menghadap Ka’bah dan menurut peta Muzdalifah ada di timur Makkah, jadi kita shalat menghadap ke arah barat. Semua sepakat tapi permasalahan yang jauh lebih pelik adalah, dimana barat itu? Sama sekali kami tidak mempunyai petunjuk. Di antara kami tidak ada yang membawa kompas. Penunjuk arah dari pemerintah Arab Saudi pun tidak tersedia juga. Teman-teman
mempunyai
bermacam-macam
jawaban atas ‘persoalan pelik’ itu. Persamaannya mereka semua menebak hanya
berdasar feeling saja
tanpa
argumentasi logis. Lain halnya dengan saya. Pandangan
saya terarah menuju bulan yang tampak cukup jelas di langit Muzdalifah. Bulan tanggal sepuluh belum bulat benar. Bagian bulan yang paling bulat dan terang adalah bagian yang menghadap ke arah matahari. Saat itu matahari pukul delapan malam berada pada posisi beberapa derajat dibawah ufuk barat dan posisi bulan belum lama berkulminasi. Karena matahari bulan Desember ada sekitar 23 derajat lintang selatan, maka dari arah menghadapnya bulatan bulan, kita geser ke kanan sekitar 23 derajat itulah arah barat. Bagi yang ingin berdoa dengan menghadap ke arah Ka’bah, silahkan hadapkan wajah kita kearah itu. Karena saya berbicara dengan penuh keyakinan maka tak seorangpun yang membantah. Dengan kata lain, saya lah yang memenangi kompetisi mencari arah kiblat di antara teman-teman pramugara. Nah tahukah anda, bahwa lapangan tennis out door, juga bisa jadi petunjuk, lapangan tennis yang baik tentu tidak akan membujur dari timur ke barat, pasti dari utara ke selatan. Wallahu a’lam. [Purwokerto, 15 Maret 2011]
Salah Kaprah ‘Mujur Ngalor’ dan ‘Madep
Ngulon’
D
i manapun dia berada, seorang ‘Muslim Jawa’ yang akan shalat dan tidak tahu arah pasti bertanya kepada temannya di mana
arah barat. Berbeda dengan ‘Muslim Non Jawa’ yang kebanyakan akan bertanya dimana arah Kiblat. Orang Jawa memang sangat akrab dengan mata angin dan selalu punya feeling tentang arah mata angin walau tentu terkadang salah total. Namun walaupun salah, feeling itu tidak boleh salah dan lingkungannyalah yang salah. Maka tak jarang kita dengar ketika matahari terbit tidak sesuai dengan feeling-nya, ia bisa berkata matahari kok terbitnya di selatan misalnya.
Keakraban orang Jawa terhadap mata angin juga bisa dilihat di primbon. Misalnya disebutkan bahwa ada pantangan mengambil menantu perempuan yang arah rumahnya di arah tenggara. Kalau ada yang mencuri pada malam apa, maka mengejarnya sebaiknya ke arah mana yang merupakan arah sial bagi si pencuri dan seterusnya. Arah barat bagi orang Jawa sering diidentikkan dengan arah kiblat, sehingga di masa muda saya tidak heran kalau ada teman yang bertanya “Kamu sudah madep ngulon (menghadap ke barat) apa belum?”. Maksudnya tentu saja dia bertanya saya sudah shalat apa belum. Ada juga ungkapan “Keinginan seseorang hanya akan habis kalau sudah mujur ngalor (terbujur arah ke utara). Artinya ungkapan itu adalah sudah mati dan dikubur. Karena kubur selalu searah dengan shaf shalat, kalau shalatnya menghadap ke barat, berarti janazah di kuburkan membujur ke utara. Memang ada kesan umum bahwa Makkah ada di arah barat walaupun yang benar adalah barat laut. Tentang ini, ada pemahaman fiqih yang sangat moderat yang mengatakan bahwa untuk daerah yang jauh dari
Ka’bah, sholat cukup ke arah Ka’bah, tidak perlu tepat ke fisiknya Ka’bah secara tepat. Syekh Nawawi bahkan mentolerirnya sampai penyimpangan maksimal 30 derajat sehingga arah kiblat untuk daerah Jawa yang berkisar sekitar 26 derajat dari barat arah ke utara masih bisa mentolerir orang shalat yang menghadap ke barat persis. Bangunan Masjid di Jawa pada umumnya berupa kotak segi empat panjang dan letaknya disesuaikan dengan jalan di dekatnya agar tampak harmonis. Bila jalan berada di samping masjid, bangunan diusahakan sejajar dengan jalan, dan bila jalan ada di timur masjid, bangunan dibuat persis menghadap ke timur. Jarang ada masjid terletak di timur jalan. Sebagian dari kita yang shalatnya berhati-hati, setelah menghadap ke barat, badan bergeser sedikit ke kanan sekedar bahu kirinya berada di depan bahu kanan temannya yang disebelah kiri. Mudahnya orang itu jadi menghadap menyerongi imam. Ketika kemudian banyak timbul kesadaran pengurus masjid untuk meluruskan shaf tanpa harus mengubah bangunan Masjid, maka muncullah
garis garis shaf di dalam masjid dan di pojok kanan depan biasanya menjadi kosong tanpa ada garis shafnya. Setelah ada garis shaf tadi maka tentu shalat di masjid tidak perlu lagi menggeser hadapan tubuh kita ke kanan. Cukup ikuti saja garis shaf yang ada. Namun bukan hal yang aneh masih saja ada orang yang terlanjut terbiasa memiringkan tubuhnya ke kanan jadi walaupun posisi shaf sudah miring, tetap dia miringkan lagi. Bahkan sebagai contoh ada teman saya yang pernah jadi ketua Pengadilan Agama, ketika shalat di Masjidil Haram sesudah berdiri lurus menghadap Ka’bah, beliau hampir saja memiringkan tubuhnya ke kanan. Untung segera ingat, bahwa lurus di hadapannya dan sangat dekat ada Ka’bah yang merupakan kiblat seluruh umat Islam waktu shalat. Buat apa lagi memiringkan tubuh ke kanan. Tentang makam, saya jadi teringat model makam di Kalimantan Timur, tempat saya dulu pernah bertugas. Beberapa kali saya lihat, di tengah komplek makam yang luas pasti ada panah penunjuk arah kiblat. Ini sangat penting karena masyarakat sana tidak akrab dengan mata
angin. Cara mereka menentukan arah hanya dengan istilah darat, laut, hulu, hilir dan sebagainya. Di Jawa pada umumnya tidak ada panah penunjuk tersebut dan biasanya kuburan otomatis dibuat membujur arah utara selatan. Tetapi saya sempat melihat satu makam yang arahnya persis seperti arah shaf shalat dan tidak sejajar dengan sebelahnya. Setelah saya cari tahu, ternyata itu adalah makam mantan Ketua Pengadilan Agama Purwokerto
pertama pasca kemerdekaan
Almaghfurlah
KH Muhammad Bunyamin. Selagi hayatnya beliau berpesan agar kuburnya betul-betul menghadap kabah. Pesan itu ternyata benarbenar dijalankan ahli warisnya. Mungkin ada yang penasaran ingin melihat, makam beliau terdapat di TPU Kebon Dalem Purwokerto. [Jogjakarta, 04 April 2011]