Demam Tifoid Fadel Muhammad Garishah, S.Ked Dokter Muda, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi Semarang Pendahuluan Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh infeksi Salmonella enterica serotipe Typhi. Pada beberapa kasus dikenal pula demam paratiofid, merupakan jenis yang lebih ringan, disebabkan oleh S. Paratyphi A, S. Paratyphi B (Schotmulleri), dan S. Paratyphi C (Hirschfeldii).1 Manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam tinggi (>38 C) selama 7-‐14 hari dengan rentang 3-‐30 hari. Demam disertai berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, diare, konstipasi, maupun mual dan muntah.2 Sebagai salah satu penyakit infeksi yang endemis di negara-‐negara berkembang, demam tifoid berkaitan erat dengan kondisi sanitasi tempat tinggal maupun hygiene makanan yang dikonsumsi, lingkungan yang kumuh, kurangnya kebersihan tempat makan umum (rumah makan, restoran), serta perilaku makan makanan yang dibeli di pinggir jalan.3, 4, 5 Angka rata-‐rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai 500/100.000 penduduk dengan angka kematian antara 0,6 – 5%.4 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-‐14 tahun (1,9%), usia 1-‐4 tahun (1,6%), usia 15-‐24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-‐anak (0-‐18 tahun; WHO) merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di Indonesia.6 Data Dinas Kesehatan Kota Semarang jumlah penderita demam tifoid di Semarang menunjukkan peningkatan. Penderita demam tifoid di rumah sakit tahun 2006 terdapat 7564 orang, sementara di tahun 2007 meningkat menjadi 8708 penderita.7 Pendekatan diagnosis demam tifoid di Indonesia adalah meliputi diagnosis klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) untuk mendapatkan sindroma klinis dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan definisi kasus.4,8 Case definition diagnosis demam tiofid berdasarkan guideline World Health Organization (WHO),
confirmed case bila pasien demam (> 38 C) selama minimal 3 hari dengan hasil kultur darah, bone marrow atau cairan usus yang positif Salmonella Typhi. Probable case apabila pada kasus demam tersebut didapatkan positif serodiagnostik maupun deteksi antigen tanpa dilakukan isolasi bakteri.9 Kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan demam tifoid 4A yaitu mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Kompetensi 4A berarti dicapai pada saat lulus dokter.10 Dokter umum diharapkan mampu mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan paripurna hingga tuntas, sehingga dokter muda diharapkan dapat mempelajari dan memperoleh pembelajaran baik dari perkuliahan maupun praktek klinik di bangsal. Penatalaksanaan demam tifoid yang tepat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi yang ditimbulkan Etiologi Demam Tifoid Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh infeksi Salmonella enterica serotipe Typhi. Pada beberapa kasus dikenal pula demam paratiofid, merupakan jenis yang lebih ringan, disebabkan oleh S. Paratyphi A, S. Paratyphi B (Schotmulleri), dan S. Paratyphi C (Hirschfeldii). Faktor Risiko Demam Tifoid Dari penelitian faktor risiko yang dilakukan di Semarang (2001) dan Jakarta (2004) beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian demam tifoid antara lain tidak mencuci tangan sebelum makan, makan/jajan di luar minimal seminggu sekali, makan di penjaja makanan pinggir jalan, minum es batu 2 minggu sebelumnya, kualitas air dan lingkungan tinggal yang buruk, tidak memakai air dari PDAM, dan selokan rumah yang tidak tertutup.3, 5 Patogenesis dan Patofisiologi Demam Tifoid Bakteri Salmonella (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi) memasuki tubuh inang melalui rute fekal-‐oral menuju lokasi infeksi pada usus halus (ileum).14 Pada usus halus pars ileum ini didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang memperantarai sistem imunologi mukosa dikenal sebagai Plak Peyeri. Port d’entree
bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel Mkifrofold (sel M) yang merupakan struktur khusus pada permukaan Plak Peyeri, berfungsi menyaring antigen yang akan memasuki plak payeri. Penelitian pada subjek sukarelawan didapatkan dosis infeksi (infecting dose) sekitar 105-‐106 organisme dengan Salmonella yang ditangkap oleh sel M akan mentranslokasikannya ke basal sel, lokasi dimana makrofag yang merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan memfagosit Salmonella untuk dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada Sel T helper maupun Sel B spesifik.1,2,9
Gambar 1. Selayang Pandang Patogenesis Demam Tifoid11 Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan menggagalkan fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan menggandakan diri dan menginfeksi makrofag-‐makrofag, dan ikut terbawa ke nodus limfatik mesenterium, dan keluar ke aliran darah menyebabkan bakteremia primer. Setelah itu, Salmonella memasuki organ retikuloendotelial seperti sumsum tulang, hepar dan lien dan bereplikasi kembali di dalam makrofag organ-‐organ tersebut sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag, menyebabkan hepatomegali dan splenomegali. Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut akibat pendesakan organomegali, mual dan muntah sebagai manifestasi hepatomegali yang mendesak saluran pencernaan. Pasca organomegali, bakteri kembali memasuki aliran darah menyebabkan bakteremia sekunder yang mengawali munculnya gejala demam akibat dilepaskannya endotoksin ke peredaran darah,
menginduksi pirogen endogen yang mempengaruhi temperature set di hipothalamus sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.11,12 Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem bilier, dan mengikuti siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer terjadi fokus-‐fokus infeksi Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila nekrosis ini menembus tunika serosa maka akan terjadi perforasi ileum yang dapat berakibat peritonitis.13 Karier Kronik Salmonella
Gambar 2. Koloni Salmonella Typhi membentuk lapisan biofilm pada permukaan batu empedu13 Seseorang dikatakan karier bakteri kronik apabila didapatkan ekskresi Salmonella Typhi di feses atau urin (atau hasil positif kultur cairan empedu atau duodenum) selama lebih dari satu tahun setelah onset demam tifoid akut.9 Karier kronik merupakan sekuele pasien-‐pasien yang tidak mendapatkan pengobatan adekuat, sehingga sisa bakteri masih bertahan di dalam kandung empedu. Dari penelitian didapatkan gambaran biofilm Salmonella Typhi pada permukaan batu empedu manusia (gambar a). Flagel bakteri berinteraksi dengan dinding kolesterol, menyebabkan perlekatan koloni membentuk lapisan biofil (gambar b). Mekanisme lain yang diteliti adalah adanya replikasi bakteri dalam epitel kandung empedu, yang
pada akhir tahapan diakhiri dengan pelepasan bakteri ke cairan empedu yang akan mengikuti aliran pencernaan (gambar c).13 3.6. Manifestasi Klinis Masa inkubasi demam tifoid rata-‐rata adalah 7 – 14 hari, dipengaruhi oleh dosis infeksi dengan rentang waktu 3 – 30 hari. Manifestasi klinis meliputi tifoid ringan dengan demam derajat ringan, malaise, sedikit batuk kering hingga manifestasi klinis yang berat seperti gangguan gastrointestinal, roseola spot dan berbagai komplikasi. Kondisi ini sangat dipengaruihi oleh virulensi bakteri, usia, daya tahan tubuh, waktu pengobatan dan drug of choice yang diberikan. Sebuah penelitian di Karachi, Pakistan menggunakan sampel sebanyak 2000 anak dengan demam tifoid didapatkan presentase gejala klinis yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan sindroma klinis. Tabel 1. Gejala/Tanda Klinis Demam Tifoid Anak2 Gejala/Tanda Klinis Umum Demam Tifoid pada Anak Gejala/Tanda
Presentase %
Demam tinggi (>380C)
95%
Lidah Tifoid
76%
Anoreksia
70%
Vomitus
39%
Hepatomegali
37%
Diare
36%
Tampak toksik
29%
Nyeri perut
21%
Pucat
20%
Splenomegali
17%
Konstipasi
7%
Ikterus
2%
Delirium
2%
Ileus
1%
Perforasi usus halus
0,5%
3.7. Diagnosis Banding Diagnosis banding demam tifoid pada daerah tropis meliputi gastroenteritis, ricketsiosis, demam dengue, infeksi saluran kemih, leptospirosis, influenza, pneumonia, meningitis, pielonefritis.2,14,15,16 3.8. Komplikasi Demam Tifoid Komplikasi yang dapat dialami seseorang yang terinfeksi Salmonella Typhi secara sistemik meliputi hepatitis, ikterik, kolesistitis, perdarahan intestinal (<1%), dan perforasi usus (0,5 – 1%). Secara umum kondisi tersebut jarang ditemukan pada kasus tifoid anak.2, 14 Perforasi usus dan peritonitis dicurigai bila didapatkan peningkatan nadi, hipotensi, nyeri perut serta palpasi perut yang rigid dan keras seperti papan. Pemeriksaan hitung jenis didapatkan shift to the left dan Foto Polos Abdomen didapatkan free air.14 Komplikasi lain yang jaran antara lain miokarditis, delirium/ensefalopati tifoid, psikosis tifoid, dan Sindroma Guillain-‐Barre. Kondisi karier kronik juga merupakan salah satu outcome pada pasien tifoid. 3.9. Penatalaksanaan Demam Tifoid Tanpa Komplikasi 3.9.1. Diagnosis Klinis Diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan sindroma klinis tifoid dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat demam (>380C) lebih dari 3 hari, disertai malaise, nyeri abdomen difusm, diare dan atau konstipasi. Demam muncul di sore hari, terus menetap hingga malam hari dan menurun di pagi hari. Demam yang muncul mencapai puncaknya 39-‐400C. Pada pagi hari anak masih dapat beraktivitas secara normal. Pada minggu pertama muncul gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, mual dan muntah diakibatkan pendesakan hepatomegali dan peregangan saluran pencernaan. Inflamasi pada Plak Peyeri usus halus menyebabkan obstruksi saluran pencernaan sehingga terjadi konstipasi. Nyeri kepala, gangguan kesadaran delirium hingga sopor dapat terjadi akibat demam yang
sangat tinggi. Pada akhir minggu pertama akan muncul makulopapul merah muda di trunkus (roseola spot) yang umumnya hilang dalam 2 – 5 hari. Papul tersebut berisi emboli bakteri yang terdeposit ke dermis.2,14,15,16 Pada minggu kedua masih dijumpai gejala-‐gejala gastrointestinal, dan abdomen mengalami distensi akibat hepatomegali/splenomegali. Pada minggu ketiga penderita dapat mengalami diare tifoid yang berbau, warna kuning kehijauan (Pea soup diarrhea), kondisi ensefalopati tifoid dapat dialami mulai dari apatis, delirium hingga psikosis tifoid. Nekrosis Plak Peyer yang terjadi dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna dan peritonitis. Pada minggu keempat demam dan kondisi delirium bisa membaik, beberapa penderita menjadi karier kronik bakteri. 3.9.2. Diagnosis Penunjang Kultur Kultur merupakan diagnostik gold standar demam tifoid. Sampel yang digunakan adalah darah, sumsum tulang, cairan empedu maupun duodenum didapatkan pada saat 7 hingga 10 hari pertama. Hasil kultur positif mengindikasikan pemeriksaan serologi tidak diperlukan.14 Widal Widal merupakan pengukuran antibodi aglutinasi melawan antigen somatik O (LPS) dan antigen flagel H dari bakteri. Diagnosis melalui paired sera peningkatan 4 kali lipat titer dengan jarak hari (antibodi fase akut dan konvalesen) mengendikasikan infeksi akut. Kondisi seperti malaria, tifus dan bakteri enterik lain dapat menyebabkan hasil false positif.14 Cut off titer menyesuaikan setiap center, umumnya > 1/160 titer O pada infeksi aktif, titer H >1/160 pada infeksi di masa lalu atau orang yang kebal. Di RSUP Dr. Kariadi/FK UNDIP cut off point yang digunakan adalah 1/200.
IgM Spesifik
Gambar 3. Skala Warna Tubex-‐TF Beberapa tes serologi spesifik seperti Tubex-‐TF (imunoglobulin M spesifik antigen O9), Typhidot-‐M (imunoglobulin M spesifik antigen 50-‐kD) dan IgM dipstick test (spesifik antigen LPS) dapat pula digunakan. Pada Tubex TF skor <= 2 negatif, 3 borderline, 4-‐5 indikasi infeksi dan >=6 merupakan indikasi kuat infeksi Salmonella Typhi.14 3.9.3. Penatalaksanaan Pasien memerlukan tirah baring dan umumnya dapat dilakukan di rumah bila kondisi secara umum baik, dapat makan dan minum. Pasien memerlukan pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sesuai UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, obat lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol 100 mg/KgBB/hari dibagi menjadi 4 dosis diberikan selama 10-‐ 14 hari atau 5 – 7 hari setelah demam turun. Pada kasus malnutrisi diberikan hingga 21 hari. Ampisilin dapat diberikan dengan dosis 200 mg/KgBB/hari dibagi menjadi 4 dosis secara IV. Trimetoprim Sulfametoksazol masing – masing 50 mg/KgBB/hari dan 10mg/KgBB/hari dibagi menjadi 2 dosis. Ceftriaxon 100mg/KgBB/hari dalam 1-‐2 dosis (maksimal 4g/hari) selama 5 – 7 hari.8, 17 Pada kondisi delirium, sopor dan koma diberikan deksamethason IV (3 mg/KgBB dalam 30 menit awal, dilanjutkan maintenance 1mg/KgBB per 6 jam hingga 48 jam).17 Penatalaksanaan tambahan pada perdarahan antara lain resusitasi cairan, transfusi darah dan peritonitis karena perforari diperlukan laparotomi eksplorasi.
Pencegahan kasus karier kronik dapat diberikan amoksisilin 40mg/kg/hari
dalam 3 dosis atau TMP-‐SMZ selama 4-‐6 minggu dapat memberikan kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. 3.10. Vaksinasi Tifoid Vaksinasi yang tersedia diberikan peroral Ty-‐21a dan Vi capsular yang diberikan secara intramuskuler. Vaksin peroral diberikan pada usia >2 tahun, sebanyak 3 dosis dan memberikan perlindungan 6 tahun. Vaksin Vi capsular memberikan perlindungan 60-‐70% selama 3 tahun.17 DAFTAR PUSTAKA 1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347:1770-‐1782 2. Bhutta ZA Enteric Fever (Typhoid Fever) in Nelson Textbook of Pediatrics 19th Edition. 2012. Elsevier: 954-‐58 3. Gasem MH, Dolmans WM, Keuter M, Djokomoeljanto RR. Poor food hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang Indonesia. Trop Med Int Health. 2001;6(6):484-‐90 4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 365/Menkes/SK/v/2006 Pedoman Pengendalian Demam Tifoid 5. Volaard AM, Ali S, van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, et al. Risk factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta Indonesia. J Am Med Assoc. 2004;291:2607-‐15 6. Demam Tifoid Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Depkes 2007 7. Demam Tifoid Data Dinas Kesehatan Kota Semarang Tahun 2006 dan 2007 8. Pudjiadi AH et al editor. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Edisi II. 2011 9. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Communicable Disease Surveillance and Response Vaccines and Biologicals. World Health Organization. 2003. Geneva Switzerland 10. Standar Kompetensi Dokter Umum Indonesia Tahun 2012. Konsil Kedokteran Indonesia
11. Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the interface of the pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol 2004;(2):747-‐65 12. Mastroeni P, Grant A, Restif O, Maskell D. A dynamic view of the spread and intracellular distribution of Salmonella enterica. Nat Rev Microbiol 2009;(7):73-‐80 13. Escobedo GG, Marshall JM, Gunn JS. Chronic and acute infection of the gall bladder by Salmonella Typhi: understanding the carrier state. Nat Rev Microbiol 2011;(9):9-‐14 14. Jong EC Enteric Fever in Netter’s Infectious Diseases. 2012. Philadelphia Elsevier Saunders;394-‐98 15. Feasey NA, Gordon MA (Enteric fever) in Farrar J et al. Manson’s Tropical Diseases 23rd Edition. 2014. Elsevier Saunders; 338-‐43 16. Brusch JL, et al. Typhoid Fever. [updated April 4 2014] Available from http://emedicine.medscape.com/article/231135-‐clinical 17. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi ke-‐2. 2008. UKK Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta