Cakrawala Ganda Esei pengantar
Karya seni rupa Rudi Mantofani yang kita saksikan dalam pameran ini meliputi serangkaian medium yang tidak tunggal: cat, kayu, kanvas, triplek, semen, batu, kaca, kaca-serat, besi, baja, plastik, guntingan koran. Bahkan Rudi juga mengusung jarum, sekrup, baut, paku, kawat, benang, botol bekas, gelas, akuarium -- lalu apa lagi?-- sebagai obyekobyek perupaan yang mengandung kepekaan tertentu dalam karyanya. Pendek kata, seni rupanya bersekutu dengan pelbagai kemungkinan medium serta rupa-rupa obyek seperti lazimnya pelukis niscaya bekerja dengan horison warna yang tak terbatas di depan hidungnya. Tetapi keniscayaan pada karya Rudi lebih mengingatkan kita akan pelbagai segi pertukangan ketimbang aspek pelukisan: menata, menyusun maupun merakit barang lebih tampil ketimbang memanipulasi dan menggubah bidang datar. Rudi --belajar di Jurusan Seni Patung, ISI, Yogyakarta-- mula-mula bertekun dengan dua kecenderungan artistik sekaligus; katakanlah melukis dan bekerja dengan obyek-obyek bermatra tiga seperti yang kita kenal dalam khasanah seni rupa kontemporer. Tetapi dua jalur itu dapat dikatakan tidak mengukuhkan pengucapan bahasa estetik yang idiosinkratik, paradigmatik dan akhirnya "terjajah" habis di tangan Rudi. Pekerjaan melukisnya tidak serta-merta dan tanpa syarat, melahirkan bidang datar "lukisan"; bekerja dengan obyek bermatra tiga tidak begitu saja menyembulkan seonggok karya patung. Idiom-idiom dalam seni lukisnya dan obyek-obyek dalam karya tiga dimensinya --tak jarang kedua pekerjaan itu dilakukan serentak, seperti dalam pameran ini -- selalu saja bergerak, berpindah dan akhirnya saling "bertukar" konteks di sana-sini: seperti "sistem apriori" tanpa titik pusat di satu tempat. Dalam lukisan Rudi tak jarang kita melihat sejenis gubahan khayal yang bertaut dengan obyek-obyek dalam seni rupanya, kontradiksi dalam bahasa visual dwimatra yang membayangkan pertentangan atau kontras medium, ilusi yang tampak muskil, susunan yang mengacu pada sifat ambivalensi seperti tampil pada karya tiga dimensinya. Sebaliknya obyek dalam seni rupanya tidak memupus cat dalam lukisan, struktur nyata dalam karya tiga dimensinya tidak sepenuhnya menampik gubahan ilusi dan puitika bidang datar. Keduanya mengalami secara samar atau terangterangan, semacam redefinisi subject matter dalam lukisan dan kontaminasi setengah ilusi atau setengah metafora dalam obyek-obyek real. Karena itu, karya Rudi tidak serta-merta dapat menunjukkan kepada kita sejenis acuan kepada paradigma tunggal di balik tampilnya satu atau dua kategori spesifik. Kecenderungan berkaryanya selalu majemuk atau melibatkan pencampuran banyak segi. Dalam hal begini, Rudi bukanlah perupa-pewaris yang tegas-tegas mempraktikkan begitu saja paradigma seni lukis dan seni patung yang kita kenal selama ini seperti dalam tradisi modernisme --kecenderungan yang masih dominan dalam seni rupa kita-- tanpa ikut terlibat menimbangnya atau memain-mainkannya dengan atau tanpa sadar. Sebaliknya, di sana-sini ia tampak cenderung menyimpang, mangkir, menentang dan menungganginya untuk memunculkan horison bahkan intrik penciptaan yang pluralistik. Tentu saja, belakangan sudah jamak perupa bekerja dengan pelbagai bahan atau medium, mencampurnya, menyambung-nyambungnya kalau tidak menjejerkannya begitu saja untuk menemukan sebuah konteks yang lain yang
melampaui batas maupun horison medium itu sendiri. Kekhasan atau imanensi medium itu sendiri kemudian hilang dan tidak lagi dipersoalkan. Interaksi dan proses bekerja seniman --kecenderungan antropomorfisme -- dalam hal itu sering dianggap lebih penting, sifat kejutan dan kesementaraannya lebih tampil dalam batas-batas ruang dan lingkup tertentu yang terus berubah-ubah. Karya-karya demikian kita kenal sebagai karya seni rupa instalasi. Dalam halnya Rudi, medium itu sendiri merupakan teks yang tetap penting untuk dimaknai dalam horison dan sifat hurufiah atau "abc"nya, dalam gubahan dan batas ungkapan literalnya. Batu, kayu, cor semen, kaca-serat, lempengan besi atau baja merupakan medium utama Rudi untuk menghasilkan karya-karya tiga dimensi, bergabung dengan cat atau warna yang selama ini tersingkir dalam paradigma seni patung moderen. Sebaliknya kita melihat kecenderungan Rudi untuk menambahkan obyek-obyek dalam bidang dua dimensi yang digantung di dinding, unsur-unsur tactile yang mengundang atau terkadang terasa melahirkan "kondisi minimalis". Demikianlah terjadi semacam intrik horison pada dua jalur karya Rudi Mantofani: sensibilitas lukisan yang terkadang tampak pada karya tiga dimensi dan subversi obyek nyata pada bidang lukisan yang kini menjadi serupa wadah (container ) dan kehilangan "esensi" nya sebagai lukisan. ++ + LIHATLAH, ia membuat lukisan berjudul "Tarik Mimpi" (2002) mirip kompisisi bendera, dengan menampilkan permukaan cat yang rata dan sempurna pada kanvas seakan kita boleh merabanya, mencoretnya atau cukup merasakannya seperti halnya dinding kosong, untuk membedakan diri dengan segala macam intrik torehan dan tulisan (image-teks) di sisi bawah. Dinding cat agaknya telah bersaing dengan dinding nyata tempat lukisan disandarkan. Ia juga mengubah bidang segi empat kanvasnya mirip selembar buku putih bergaris dengan garis yang nyata-nyata "garis" ("Menghembus Angin", 2002). Subject matter pada sebuah lukisannya adalah titik-titik putih beraturan, di atas bidang yang juga putih, tak lain adalah irama susunan ketukan pada paku-paku yang menancap di atas permukaan kanvas ("Kekuatan Alam 1", 2002). "Obyek" lukisan Rudi: bidang cekung segi empat yang menjorok sepi ke dalam kanvas luas, bidang putih di atas putih, terhimpit bidang transparan dengan empat buah sekrup kecil di sudut-sudut, tempat "lukisan" (baca: potongan benang) membentuk garis lengkung berada ("Rekaan Rasa", 2002). Pada lukisan yang lain ia membubuhkan semacam cadar kain nilon, sehingga kita seakan dapat mengkhayalkannya: mencopot dan memasangnya kembali, memisahkannya atau menggabungkannya lagi dengan "lukisan" , untuk mempengaruhi cara kita sendiri menikmati sensibilitas optik gambar-gambar seronok yang mengekploatir daging perempuan ("Tumpah Hawa", 2002). Dapatkah kita bertanya: cadar itu bagian lukisan atau bukan? Baiklah, itulah lukisan. Bidang menekuk bidang, bidang menutup bidang, bidang merobek bidang. Betapa pun, lukisan mengandung nalar bidang segi empat yang cenderung masih tampak mati-matian mempertahankan sifat dan nilai permukaannya yang bergayut pada dinding. Rudi maju beberapa sentimeter dari bidang bernama dinding itu, tempat lukisan berada, "ideologi" yang seakan-akan cukup netral yang selama ini telah melahirkan kegemasan dan kecurigaan para seniman pembuat "obyek-obyek spesifik". Sekarang ia menghadirkan obyek-obyek tiga dimensi yang bergantung di tengah-tengah atau menjebol bidang kanvas, menghadirkan lukisan yang dapat disimak dari dua sisi, sebagai ruang real, tidak lagi menyandarkan hidupnya di dinding. Di tengah lukisan itu ada sebuah bola bundar bernama peta dunia yang dapat berputar pelan ("Salam dari
Yogya", 2002) , sebuah rumah di awang-awang, sepasang tangga ("Di Awang-Awang", 2002) . "Lukisan" adalah juga pernyataan berupa kotak segi empat yang menyediakan ruang untuk merentang "garis" dan menggantungkan botol sungguhan yang dapat kita pegang ("Tepian Rasa,1999) Dengan kata lain, "lukisan" juga telah bersaing dengan obyek yang nyata hadir dalam lukisan itu sendiri. Ya, bukankah obyek-obyek seperti botol, paku, kawat dan rumah-rumahan itu terlampau mencolok untuk sekadar dianggap sebagai bagian dari "lukisan", yang dibatasi oleh bidang segi empat yang rata itu? Lukisan menjadi seakan atau mengambil alih fungsi dinding. Bahkan, dinding tak jarang muncul secara literal ke dalam lukisan kalau kita cermat melihat karya Rudi. Dengan demikian, kita dapat mengatakan mengenai "lukisan" Rudi: lukisan tak lebih adalah obyek segi empat yang bereaksi terhadap dinding itu sendiri, latar yang --sekali lagi--selama ini telah menjadikannya hidup dan eksis di depan hidung kita. Kalau tidak beralih rupa dan fungsi sekaligus berpura-pura sebagai dinding, lukisan menjadi lebih maju, menjauh atau seolah-olah undur dari dinding. Masihkah kita ngotot mengatakan "lukisan" yang bergerak menjauh dari dinding sebagai lukisan? Rudi Mantofani telah menunjukkan bagaimana membuat "lukisan": mula-mula membuatnya datar, kemudian mengurungnya, mencadarinya, melubanginya, menjebloskannya, menonjolkannya, menyurutkannya dan kemudian meninggalkan kungkungan horisonnya. +++ SENI rupa Rudi Mantofani adalah seni rupa yang meninggalkan teleologi penciptaan seorang pelukis yang (hanya ) melukis dan pematung yang (hanya) sibuk dengan paradigma seni patung. Yang pertama menghasilkan hanya ilusi, kecenderungan ilusionisme di atas permukaan yang selama ini kanvas: yang tampak pada lukisan seolah-olah (ke) nyata (an). Yang kedua terbatas pada upaya produksi dan representasi mimetik atau tiruan nyata dan terbatas dari realitas. Melukis, seperti yang kita lihat kebanyakan tentang lukisan, kata Rudi tidaklah mesti "melukiskan" sesuatu, sehingga upaya pelukisan akan selalu berakhir pada hasil lukisan yang meyakinkan di atas bidang yang di lukis, apa pun. Tetapi melukis dalam praktik yang dikerjakannya lebih berkenaan dengan "tentang kebentukan kita sendiri". Yang dimaksudkannya tentunya adalah kepekaan akan obyek-obyek nyata, sifat atau bobot tertentu sebuah barang yang dapat kita raba secara nyata (tactile) yang hadir dalam lukisan. Pernyataan itulah yang mendorong munculnya rasa ambigu kalau kita mengamati lukisan Rudi. Kesalahan utama pada sebuah lukisan sebenarnya terletak pada bidang segi empat itu sendiri yang ditempatkan secara datar pada dinding," kata Donald Judd, seniman yang untuk pertamakalinya memperkenalkan istilah "karya seni rupa trimatra" untuk melenyapkan jarak antara paradigma ilusionisme seni lukis dan representasionalisme seni patung. Medium tiga dimensi yang lebih dikenal dengan minimalisme itu tidak lagi menganggap seni lukis dan seni patung itu adalah medium yang representatif untuk menampung gagasan baru para seniman, konvensi seni rupa yang tidak dapat dielaborasi lebih jauh lagi. Karya seni rupa trimatra menentang bentuk segi empat lukisan yang selama ini mendominasi bahkan membatasi
susunan apa saja yang harus tampil di atasnya atau di dalamnya. Bukankah dengan cara seperti itu bentuk segi empat tak bisa lain kecuali menjadi akhir lukisan, akhir gambaran? tanya seniman ini. Maka perlulah untuk mengedepankan segi empat itu sendiri, bukan lagi sebagai batas atau "akhir" lukisan, tetapi berhubungan lebih nyata dan masuk akal dengan obyek-obyek di dalamnya. Penggunaan trimatra dalam karya seni rupa, ujar Judd, bukanlah berarti penggunaan bentuk-bentuk yang pasti (given form), sebaliknya bentuk apa saja, material apa saja dan proses apa saja bisa digunakan. Dengan kata lain, "sebuah karya seni hanya perlu menjadi menarik". Menimbang gagasan berkarya semacam itu --yang langka kita persoalkan-- kita dapat memahami bagaimana seni lukis dan seni patung merupakan jalur dua arah yang bersilangan dan bertemu pada satu atau lebih titik dalam proyek karya Rudi. Maka kita dapat mengajukan, bahwa "batas" antara lukisan dwimatra dan karya trimatra pada kecenderungan berkarya Rudi bukanlah batas kepekaan seniman atau sensibilitas, melainkan hanya batas matra maupun horison medium yang tidak terlampau tegas. Bukankah kanvas telah berubah menjadi serupa dinding, tembok yang sarat paku, tempat gantungan kawat atau benang, landasan obyek yang tidak dapat sepenuhnya diserap oleh dan menjadi lukisan, menjadi ilusif? Bukankah kita juga melihat Rudi mengecat obyeknya, membiaskan kepekaan warna pada berbagai sifat medium, seperti ingin melukis? Maka ilusi dalam karyanya adalah sesuatu yang tampak aneh atau ganjil: tidak meyakinkan sebagai gagasan tentang ilusionisme itu sendiri. Sebuah lukisan apel yang mencuat dari bidang kotak-kotak seperti ubin dalam temaran plastik adalah sebuah upaya pelukisan yang sungguh ganjil ("Sebuah Keinginan", 2001) Atau lukisan sebuah pohon yang rendah di antara langit bertumpuk seperti kilat metal ("Tumbuh di Atas Batu", 2002) Perhatikan percobaan Rudi Mantofani berikut ini. Ia membuat dua buah karya tentang gunung. Sebuah lukisan tentang sepasang gunung yang tampak ragu untuk tampil sebagai gunung dalam langit datar dan bayangan di air ("Bayangan dan Gunung", 2002). Sebuah karyanya lagi adalah "obyek" gunung dari balok padat berbentuk kubus yang terbelah persis di tengah oleh warna merah dan biru. Obyek kubus itu terjepit di antara sepasang kaca bundar setebal 12 milimeter dengan garis tengah satu meter yang dapat bergulir di atas rel sepanjang 21/2 meter dari semen cor yang memanjang ke arah batas dinding ("Gunung dan Bayangan", 2001-02). Yang kita tangkap bukanlah sebuah gagasan visual yang menarik perihal gunung. Ide itu tampak terlampau sederhana. Tetapi bongkahan materialistik dalam kubus (kecenderungan yang memang mengingatkan karya seni rupa minimalisme) yang perfek dan berwarna serta "metafora" air dalam kaca bulat itulah yang meledak dalam karyanya dengan pengertian atau pemaknaan yang tak terbayangkan. Maka yang mungkin dapat dibayangkan adalah, bahwa Rudi sebenarnya bekerja dengan horison ganda: subversi obyek yang selalu terasa pada ideologi ilusionisme, dan muatan setengah ilusi atau bahkan setengah metafora pada sifat literal medium itu sendiri. Ia membaurkannya, mengkhayalkan yang kongkrit dalam ilusi dan ilusi dalam yang nyata. "Bahan-bahan itu bersuara," ujarnya suatu kali. "Mereka utuh dan hidup dalam penciptaan bentukku. Bentuk dalam karyaku bukan bentuk mati seperti kursi, misalnya. Bentuk O (baca: bulat) sebagai O adalah bentuk mati. Bentuk hidup
adalah "O" (baca: dengan tanda petik). Bahkan tak jarang susunan bahan juga dapat dibaca sebagai "organisme" bertingkat dalam karya seni rupa Rudi selama ini. Bahan-bahan seperti kayu, batu dan tanah, misalnya dalam sebuah karyanya adalah susunan yang dapat dibaca --menurutnya-- sebagai "hidup", "setengah hidup atau setengah mati" dan "mati". Akhirnya Rudi memang membawa kita kepada sesuatu yang lebih kongkrit berupa kotak segi empat bernama akuarium: tempat kita melihat yang hidup dan yang mati, cahaya yang menembus dan memantul kembali pada kaca, bintik udara dan kilasan warna ("lukisan") yang selalu berubah dalam empat sisinya. Sebuah medium tempat kita dapat menyaksikan berbagai intrik organisme, dalam ruang dan waktu nyata, tetapi juga sesuatu yang dibatasi oleh sebuah kotak segi empat mati ("Kekuatan Alam 2", 2002). Bukankah ini upaya untuk --meminjam gagasan kaum minimalis-- "mengatasi dualisme metafisis subyek dan obyek", "perumitan kemurnian konsepsi dengan kontingensi (sifat kebetulan) persepsi" yang kita alami dalam ruang dan waktu yang khas? Rudi tidak meyakinkan kita dengan satu pendekatan atau cara. Ilusinya selalu terbentur kepada bentuk intuitif gemoterik yang sederhana seperti para perupa minimalis, yang dibayangkannya sebagai ruang atau bidang datar. Khayalnya tertumbuk kepada kenyataan materi. Tetapi ia meyakinkan kita hanya akan cakrawala ganda: medium yang menampilkan batas dan horisonnya sendiri dan pada saat yang sama berupaya melampaui "paradigma"nya sendiri. "Fantasi seseorang bisa pergi kalau melihat sesuatu yang bening," cerita Rudi. Kemungkinan horison ganda itulah yang membuatnya "melukis" dan "mematung" kalau kita dapat menyederhanakannya.+++ (Hendro Wiyanto)
Biodata Rudi: Rudi Mantofani; lahir 21 April 1973, belajar di Jurusan Seni Patung Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Alamat: Kersan No 211 Rt 08 Rw 05, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, 55181, Yogyakarta.