TINJAUAN PUSTAKA
Cabe Jawa (Piper refrofracfum Vahl) Menurut Januwati dar! Dedi (1992) cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.) termasuk tanaman obat di daerah tropis. Bagian yang dapat digunakan sebagai bahan obat dari tanaman ini adalah daun, akar dan buah. Cabe jawa adalah salah satu tanaman obat yang dijumpai di Jawa, Bali dan Maluku pada ketinggian 0 m - 600 m dpl. Pengembangbiakkan cabe jawa dapat dilakukan dengan stek batang dengan ukuran panjang stek 30 cm
-
40 cm
sepanjang lebih kurang tiga ruas. Cabe jawa merupakan tumbuhan dengan batang memanjat, melilit atau melata. Untuk tiang panjatan dipakai tanaman hidup antara lain kelor (Moringa oleifera), gamal (Glyricidia spec), kelapa dan lain-lain. Tanaman ini perlu dipangkas setinggi 1,5 m dari tanah agar dapat berbunga (Depkes RI, 1977).
Sistematika =be
jawa adalah divisio : spermatophyta, subdivisio :
angiosperms, kelas : dicofyledonae, ordo : piperales, famili : piperaceae, genus : piper dan spesies :piper retr~fracturnVahl. Steenis-Kruseman (1953) dalam Sudiarto (1992) menyatakan bahwa bagian tanaman yang dipanen dan banyak dipakai dalam industri obat tradisional maupun
*
ekspor adalah buahnya. Buah yang belum masak dipakai dalam campuran obat yang berkhasiat karminatit buah juga digunakan dalam ramuan minuman bandrek. Hama dan penyakit yang menyerang tanaman ini rnenurut penga-laman petani belum ada, baik pada tanaman maupun hasil panen setelah disimpan. Hasil yang baik dari pohon yang sudah menutup penuh pohon panjatan adalah 2 kg - 3 kg buah basah per pohon sekali panen. Proses pengeringan umumnya dijemur dan dari setiap 3 kg buah basah diperoleh 1 kg buah kering. Dari segi varietas di Jawa
Timur ada 3 macam yaitu cabe kerbau, cabe kacang dan cabe lenguk. Setijati (1978) menyatakan bahwa percabangan cabe jawa terjadi pada pangkal batang yang keras dan menyerupai kayu. Di Jawa Tengah khususnya, pada tahun 1978 tercatat kebutuhan cabe jawa 84 tonlth. Pengembangan budidaya cabe jawa ini patut rnendapat perhatian karena: tanaman cabe jawa berbuah sepanjang tahun (memberikan tambahan pendapatan), tahan terhadap naungan (dapat mengisi bagian pekarangan yang ternaungi pohon besarlbuah), mudah pemeliharaannya, serangan hama dan penyakit tergolong rendah dan penanganan pasca panen mudah. Secara visual tanaman dan buah cabe jawa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bentuk tanarnan dan buah cabe jawa. Heyne (1980) menyatakan bahwa sari cabe jawa yang belum tua terdapat dalam jamu yang digunakan untuk perut kernbung dan peiuruh keringat. Selain itu, sari cabe jawa terdapat pula dalam ramuan jamu pegal linu, rematik, neuralgia dan pencuci bisul.
Akar pelekat (hechtworfels) cabe jawa dapat dikunyah untuk
mengobati sakit gigi dan air rebusan daunnya untuk berkumur bagi orang yang menderita saki gigi. Orang Bali, Jawa dan Melayu mencampur cabe jawa dengan obat lain untuk menyembuhkan kejang perut dan kena angin (windergheid) serta berbentuk salep untuk beri-beri dan sebagai &at kuat (aphrodisiacum). Menurut Hasskarl dalam Heyne (1980) cabe jawa yang ditumbuk halus dengan aluin, pulasari dan bangle merupakan obat yang dioleskan pada perut wanita nifas (kraamvrouwen). Nurendah (1983) menyatakan bahwa larutan buah cabe jawa dalam larutan fyrode dapat menaikkan kontraksi uterus marmut in vitro. Hal ini mendukung pemakaian bahan tersebut untuk obat sukar bersalinl jamu pengatur haid. Masih menuru: Nurendah (1983) kemungkinan terdapat efek abortif dan teratogenik, yang ditunjukkan dengan terjadinya resorpsi janin yaitu hilangnya janin dalam kandungan. Menurut Lewis (1977) dalam Sa'roni dkk. (1992) bahwa sifat abortif ini disebabkan oleh piperin yang bersifat toksik seperti nikotin atau mungkin adanya minyak atsiri yang mempunyai efek melumpuhkan otot uterus atau bersifat stimulan kontraksi otot uterus. Frazer dalam Sa'roni dkk. (1992) menambahkan bahwa bahan yang bersifat abortif tersebut kemungkinan potensial bersifat teratogenik. Dari penelitian toksisitas akut pada tikus dapat disimpulkan bahwa infus buah cabe jawa termasuk golong% relatively harmfess atau arnan untuk dikonsum (Dzulkarnain, 1975). Dengan demikian pemakaian buah cabe jawa ini sebagai obat dalarn bentuk seduhan dapat dikatakan cukup aman. Hargono (1992) menyatakan bahwa senyawa kimia yang dikandung buah cabe jawa adalah beberapa jenis alkaloids, senyawa lain dan minyak atsiri.
Alkaloids utarna yang terdapat dalam buah cabe jawa adalah piperin (3%). Rasa pedas cabe jawa disebabkan oleh piperin dan piperanin.
Hasil identifikasi
komponen utama minyak atsiri dengan meng-gunakan teknik kromatografi gascairan (GLC) terdapat dalam Tabel 2. Tabel 2. Kadar kandungan air, piperin, dan minyak atsiri cabe jawa Jenis Komponen Cabe Jawa :
Nilai (%)
1 Air Piperin
I
0,75
I
1,05
I
Minyak atsiri I
I
4
I
Sumber : Hargono (1992)
Pengeringan Beku Slade (1967) menyatakan bahwa pengeringan beku rnerupakan suatu teknik pengeringan pada bahan dalam keadaan beku yang dilakukan pada tekanan rendah. Berbeda dengan cara pengeringan biasa, dalam pengeringan beku bahan pangan terlebih dahulu dibekukan dan pada keadaan hampa, air langsung dikeluarkan dari bahan secara sublimasi. Proses sublirnasi ini akan terjadi bila suhu dan tekanan yang digunakan berada di bawah titik friple (0°C dan 610 Pa). King (1971) menyatakan bahwa pengeringan beku dapat mernpertahankan bentuk kaku (rigid) bahan yang dikeringkan, sehingga menyebabkan bahan berpori dan tidak mengkerut dalam keadaan kering. Keadaa ini mengakibatkan terjadinya proses rehidrasi yang cepat dan sempurna bila produk kering ditambahkan air. Juga, selama proses pengeringan berlangsung hampir tidak terdapat cairan, sehingga dapat mencegah transpor zat-zat yang dapat larut dalam air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi. Sedangkan menurut W~rakartakusumahdkk. (1989) pengeringan beku menghasilkan produk yang berbentuk seperti spon dan mempunyai ukuran seperti bahan asal (bahan beku) yang memiliki keunggulan dalam menjaga stabilitas tekstur
dan aroma. Pengeringan beku dapat mempertahankan hampir seluruh sifat awal produk seperti bentuk, cita rasa, aroma, warna dan aktivitas biofogik karena proses pengeringan beku berlangsung di bawah titik tripel bahan. Heldman dan Singh (1981) rnenyatakan bahwa proses pembekuan bahan pada pengeringan beku ini akan menentukan hasil akhir produk yang dikeringkan. Pembekuan cepat akan menghasilkan produk kering beku yang mempunyai pori lebih kecil sedangkan penibekuan lambat akan menghasilkan produk kering beku dengan pori yang besar. Menurut Fennema dan Powrie (1964) ada 4 faktor yang mempengaruhi laju pembekuan bahan pangan vaitu (1) beda suhu antara produk dengan medium pendingin, semakin kecil perbedaan suhunya maka semakin cepat laju pembekuannya (2) cara pindah panas dari dalam produk dan di dalam produk, semakin sederhana cara pindah panasnya rnaka akan semakin cepat laju pembekuannya (3) ukuran, bentuk dan tipe kemasan, semakin kecil ukuran dan semakin seder-hana bentuk dan tipe kemasan maka akan semakin cepat laju pembekuannya dan (4) ukuran, bentuk dan sifat terrnofisik bahan yang dibekukan, semakin kecil ukuran dan sederhana bentuk dan sifat termofisiknya maka akan semakin cepat laju pembekuannya. Menurut Everington (1973) dalam Heldman dan Singh (1981) ada 3 metode r(
pembekuan yang dikenai yaitu
(1) air blast freezing, bahan yang dibekukan
diielakkan dalam ruangan yang ditiupkan udara beku di dalamnya dengan blower yang kuat, (2) contact plate freezing, bahan yang dibekukan diletakkan diantara pelat-pelat yang direfrigerasi, (3) immersion freezing, bahan yang dibekukan berada dalam larutan garam (air) yang direfrigerasi.
Sedang
Brennan dkk. (1974)
menambahkan lagi 2 metode lain yaitu sharp freezing, bahan yang dibekukan diletakkan diatas liiitafl pipa evaporator dan cryogenic freezing, bahan yang
dibekukan disemprot dengan bahan kriogen, rnisalnya C o p cair dan Np cair. Dari kelima metode tersebut, hanya metode sharp freezing yang berlangsung lambat. Metode cryogenic freezing merupakan metode pembekuan yang mahal dan biasanya untuk bahan yang bernilai ekonomi tinggi, misalnya udang. Brennan (1981) menyatakan bahwa proses pembekuan terjadi secara be~tahapdari permukaan sampai pusat bahan. Pada permukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada bagian yang lebih dalarn proses pembekuan berlangsung lebih lambat. Menurut Holdworth (1968) pada awal proses pembekuan akan terjadi fase precooling dimana suhu bahan diturunkan dari suhu awal ke suhu titik beku. Pada tahap ini semua kandungan air bahan berada dalam keadaan cair. Ramaswamy dan Tung (1984) menyatakan bahwa pada hakekatnya proses pembekuan baru dirnulai pada saat suhu permukaan mencapai sekitar -I0C, yaitu pada saat dimulainya pembentukan kristal es. Long (1955) dalam Heldman dan Singh (1981) menggunakan konsep TAR (Thermal Arrest Time) dalam pengukuran laju pembekuan ikan. Menurut konsep TAR lajc pembekuan dinyatakan sebagai perbandingan antara ketebalan bahan terhadap waktu yang dibutuhkan titik yang paling lambat membeku pada bahan
*
untuk menurunkan suhu dari O°C sampai -5°C. Heldrnan dan Singh (1981) menyatakan laju pembekuan sebagai perbandingan antara ketebalan bahan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu bahan pada titik yang paling lambat rnenjadi beku, dihitung dari saat tercapainya titik beku awal sampai tercapainya tingkat suhu yang diinginkan di bawah titik beku bahan. Lembaga Refrigerasi lnternasional (1971) dalam Heldman dan Singh (1981) mendefinisikan laju pembekuan suatu massa pangan sebagai rasio perbandingan
jarak minimal antara permukaan bahan dan titik pusat panas dengan waktu yang diperlukan oleh produk pangan mulai tercapai suhu 0°C pada permukaan bahan sampai tercapai -5°C pada pusat panas bahan. Laju pembekuan dinyatakan dalam cmljam. Menurut Ramaswamy dan Tung (1984) lama pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan oleh bahan pangan untuk membeku, dimulai dari saat suhu permukaan mencapai 0°C sampai pusat bahan mencapai suhu tertentu. Ramaswamy dan Tung (1984) merumuskan laju pembekuan rata-rata sebagai : w = Dl2T dimana w laju pembekuan rata-rata (cmjjam), D diameter silinder (cm) dan T lama pembekuan (jam). Proses pernbekuan lambat jika w c 1 cm/jam, pembekuan sedang w antara 1-5 cmljam dan pembekuan cepat jika w > 5 cmljam. Zaitsev (1962) dalam llyas (1963) mengklasifikasikan laju pembekuan cepat sebagai pembekuan yang memiliki laju pembekuan tidak kurang dari 3,3 cmljam. King (1971) membagi laju pembekuan ke dalam 3 golongan yaitu (1) pembekuan lambat, jika waktu pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm tebal bahan yang dibekukan, (2) pembekuan sedang, jika waktu pembekuan adalah 20
- 30
menit untuk Icm tebal bahan yang dibekukan dan (3) pembekuan cepat, jika waktu pembekuannya kurang dari 20 menit untuk 1 cm tebal bahan yang dibekukan.
a
Fadey (1958) dalam Desrosier (1988) menyatakan bahwa jumlah air bahan yang terbekukan pada pembekuan daging sapi akan mendekati 100% pada suhu bahan mencapai - 19,5" C, sedang pada pembekuan jahe, menurut Yudistira (1999) tercapai pada suhu -29°C. Setelah bahan dibekukan, maka proses selanjutnya pada pengeringan beku adalah peristiwa yang dikenal dengan istilah sublimasi atau liofilisasi, dimana kandungan air bahan yang berupa es akan fangsung menjadi uap. Proses sublimasi ini
terjadi pada suhu dan tekanan di bawah titik tripel, yaitu pada suhu di bawah 0°C dan tekanan di bawah 610 Pa atau 4,58 mm Hg. Hubungan antara tekanan uap air dengan suhu pada diagram P-T dapat dilihat pada Gambar 2.
0
Suhu, "C
Gambar 2. Hubungan Antara Suhu dan Tekanan Uap Air (Fennema, 1975) Tujuan sublimasi adalah untuk menurunkan kandungan air bahan pangan hingga mencapai 5% - 10%. Setelah mencapai kadar air tersebut suhu bahan akan dinaikkan lebih tinggi untuk mendesorbsi air terikat, sehingga akan diperoleh bahan pangan dengan kadar air di bawah 5% (Considine (1974) dalam Syafridawaty 1991). Proses sublimasi membutuhkq panas sebesar panas laten sublimasi sekitar 666 kallgram es. Arsdel dan Copley (1963) dalam Yudistira (1999) mengungkapkan bahwa keberhasilan pengeringan beku sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan tekanan uap di sekitar substansi yang sangat kering dengan tekanan uap air pada bagian dalam substansi yang masih membeku sehingga uap air secara terus-menerus ditransportasikan dari bahan pangan tanpa terjadinya pelelehan es pada bahan
pangan tersebut. Hal ini mengakibatkan permukaan bahan tetap tegang tanpa terjadinya pengerutan selama proses pengeringan berlangsung.
Mellor (1978)
menyatakan bahwa pergerakan lapisan sublimasi mempunyai ketergantungan yang sangat erat dengan perbedaan tekanan uap bahan, sehingga secara teoritis perbedaan tekanan uap dapat dinyatakan sebagai variasi tekanan di dalam bahan dan berhubungan erat dengan laju sublimasi. Lama pengeringan beku dipengaruhi oleh kandungan air bahan, ketebalan bahan, dan suhu yang digunakan. Menurut King (1971) suhu ditentukan berdasarkan ketahanan bahan terhadap panas, misalnya kandungan gula, asam, dan komponen volatilnya dan ukuran produk yang akan dikeringbekukan. Dengan demikian, penggunaan suhu pengeringan ditetapkan pada jangkauan suhu yang dapat mencegah atau meminimumkan kehilangan kandungan gula, asam dan komponen volatilnya.
Penyubliman es akan berakhir setelah kadar air bahan di
bawah 5%, saat mana diperoleh sebaran suhu yang konstan dan bersamaan dengan itu diperoleh bobot sampel yang konstan. Terdapat 2 faktor yang mengatur kecepatan pengeringan beku yaitu adanya sumber panas (heat source) dan penerima uap air (condensor/moisture sink).
*
Adanya perbedaan suhu karena sumber panas akan nienyebabkan keluarnya uap air yang akan diterima oleh kondensor. Sumber panas menyebabkan adanya perpindahan panas dan kondensor akan menerima sejumlah pindah massa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
lapisan kehng berpori
Gambar 3. Perpindahan panas (pp) dan massa (pm) selama proses pengeringan beku (King, 1971) Menuru: Brennan dkk. (1974) kecepatan pengeringan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu kecepatan pergerakan uap air dari permukaan es melaluI lapisan kering berpori dan kecepatan perpindahan panas ke permukaan es. Pada Tabel 3 dapat dilihat perbedaar, metode dan mutu produk antara pengeringan konvensional dan pengeringan beku.
Proses Pindah Panas Dan Massa Pengeringan beku merupakan salah satu metode pengawetan pangan yang melibatkan proses pindah
dan massa. Pindah panas yang dominan terjadi
dalam pengeringan beku adalah pindah panas secara radiasi dan konduksi, sedangkan pindah panas secara konveksi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Pindah panas secara radiasi terjadi aari plai pemanas ke permukaan bahan yang dikeringkan dan pindah panas secara konduksi terjadi pada lapisan kering ke permukaan sublimasi.
Tabel 3. Perbedaan metode dan mutu produk antara pengeringan konvensional dan pengeringan beku
1 Pengeringan konvensional
1
Pengeringan beku I
-hanya berhasii diierapkan pada produk-
I
produk
memuaskan untuk kebenyakan produk yang sulit
dikeriqkan
dengan
mdode
yang mudah dikeringan, seperti sapr-sapfan dan
biaaanya
biji-bijian
pengeringan lainnya
-tidak memuaskan untuk pengeringan daging
- c u b p memuaskan untuk daging
-suhu pengeringan relatif tinggi (37°C-93°C)
-suhu pengeringan dibawah tiiik beku produk
-berlangsung pada tekanan atmosfir
-proses pada tekanan rendah
-penguapan air dari permukaan bahan
-sublimasi air dari permukaan bahan
-peluang terjadinya kerak pada perrnukaan bahan
dapat menghindari terladin~akerak pads permuban
relatif besar
bahan
-warna produk kering relatif gelap
-warna produk kering mendekati asalnya
-aroma produk kering tidak normal -produk kering biasanya relatif banyak kehilangan
( ndrisi
I
I -cubcup
-biaya operasional relatif rendah
I
Sumber : Fellow (1990)
I I/ I
I
-aroma produk kering normal -kehilangan
n ~ t r i s i secara
1 I
besar-besaran
dapat
dihindari -biaya operasional relatif tinggi
I I I
Heldrnan dan Singh (1981) menyebutkan pindah panas radiasi rnerupakan proses pindah panas dimana panas secara langsung dipancarkan dari satu bagian ke bagian yang lain yang terpisah rnelalui radiasi elektromagnetik. Sedangkan pindah panas konduksi rnerupakan proses pindah panas di dalam suatu bahan /antara bahan yang satu dengan bahan yang lain karena perubahan energi kinetik diantara molekul-molekulnyatanpa melibatkan perpindahan molekul tersebut. Selama pengeringan beku, bahan akan terbagi dalam dua lapisan yaitu lapisan beku yang terdapat pada bagian dalam bahan dan lapisan kering berpori yang terdapat pada bagian permukaan bahan. Kedua lapisan tersebut dibatasi oieh permukaan sublimasi seperti terlihat pada Gambar 3 di atas. Selama proses
pengeringan beku, permukaan sublimasi akan bergerak ke bagian dalam dan lapisan kering yang berada pada bagian luar akan sernakin tebal. Pada proses pindah panas konduksi akan terjadi 2 kondisi yaitu kondisi aliran mantap (steady state) dimana suhu pada beberapa titik di dalam bahan pangan (kandungan panas pada bahan) tidak tergantung pada waktu dan sejumlah panas yang masuk dalarn bahan pangan sama dengan jumlah panas yang keluar, dan kondisi aliran tidak mantap (un-steady sfate) dimana kandungan panas pada bahan berubah terhadap v~aktudan panas yang rnasuk tidak sarna dengan panas yang keluar. Panas yang digunakan untuk sublimasi rnerarnbat rnelewati lapisan kering berpori menuju perrnukaan sublimasi secara konduksi. Jika suhu lapisan beku dan suhu permukaan bahan tetap, maka laju panas yang masuk ke dalam bahan akan seirnbang dengan laj~luap air yang keluar dari bahan. Laju aliran panas yang besar akan dapat rnenaikkan suhu lapisan beku sarnpai tekanan uapnya cukup besar untuk rneningkatkan aliran uap air keluar sampai ke permukaan lapisan kering. Pada proses pengeringan dan dehidrasi, pindah panas dan pindah rrlassa terjadi secara sirnultan. Menurut Wirakartakusumah dkk. (1989) pindah massa adalah suatu perpindahan yang terjadi karena pergerakan molekul meialui suatu lapisan batas dari sistem. Pawah massa dapat terjadi juga karena perbedaan konsentrasi, dimana massa akan mengalir dari konsentrasi tinggi Ice konsentrasi yang lebih rendah.
Fellow (1990) rnenyatakan bahwa ada 3 faktor yang rnempe-
ngaruhi laju pindah massa pada pengeringan beku yaitu tekanan ruang pengering, suhu kondensor dan suhu es pada permukaan sublimasi. Agar berhasil secara kornersil, tekanan ruang pengering dan suhu kondensor harus diatur serendah rnungkin. Tekanan ruang pengering diberikan sekitar 13 Pa dan suhu kondensor mendekati -35°C. suhu permukaan es diatur setinggi mungkin tetapi rnasih di
bawah suhu kritis. Yang dimaksud dengan suhu kritis adalah suhu dimana terjadi kesetimbangan tekanan pada permukaan es. Pada suhu yang sarna, perpindahan uap air dari bahan akan lebih cepat pada tekanan yang lebih rendah. Pada proses pengeringan bekg digunakan tekanan vakum. Menurut King (1971) total tekanan untuk rnengontrol perubahan pindah panas sampai terjadinya
perubahan pindah massa adalah 1349,45
- 2698,90
Pa untuk daging.
Untuk
makanan cair yang mengandung padatan terlarut tinggi, diperlukan tekanan yang lebih rendah dengan srlhu pembekuan yang juga harus lebih rendah. Pengeringan beku juga dapat dilakukan dengan tekanan yang lebih tinggi, dengan syarat tekanan parsial uap air harus dibuat lebih rendah sehingga memungkinkan terjadinya suatu pindah massa. Tetapi, pengeringan beku dengan tekanan yang lebih tinggi ini tidak efektif karena diperlukan waktu pengeringan yang jauh lebih lama.