LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
C. Jenis Bahan Penyamak
Bahan penyamak adalah bahan aktif alami/kimia/mineral yang dapat mengubah kulit mentah yang labil menjadi stabil (awet). Adapun sifat-sifat teknis dari kulit jadi, yaitu selain ditentukan oleh bahan penyamaknya juga dipengaruhi oleh bahan-bahan tambahan lain yang digunakan dalam proses penyamakan (Jayusman, 1991). 1. Zat Penyamak/Pengawet/Pewarna Alami Zat warna alam yang digunakan untuk kulit sebagian besar berasal dari kayu keras (dye-wood) dan kulit kayu (dye-bark) yang dikenal sebagai wood dyes. Zat warna alam dari bahan kayu merupakan zat warna mordan (mordant dyestuffs). Mordan berfungsi sebagai sarana atau pelekatan untuk penyerapan warna dan sebagai jembatan (ikatan) kimia antara molekul warna dengan molekul jaringan serta dapat membuat warna menjadi permanent. Mordan juga dikenal dengan istilah striker dan beitz. Mordan yang digunakan untuk pewarnaan kulit umumnya berasal dari garamgaram metal (chrome, aluminium, copper, timbal, zink, ferro sulfat, dan lain sebagainya). Mordan yang ramah lingkungan adalah aluminium/tawas dan ferro sulfat. Zat warna alam dengan pengaruh mordan akan menghasilkan warna bervariasi, tergantung pada jenis mordan yang digunakan. Penggunaan zat warna alam dari kayu untuk pewarnaan kulit mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah mempunyai efek menyamak pada kulit, meningkatkan daya isi (fullness), serta dengan garam metal yang berbeda akan memberikan warna bervariasi dan dapat memberikan shade yang sama pada bagian daging (flesh) dan rajah (nerf) serta ramah lingkungan. Kerugiannya adalah apabila digunakan dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan sifat kulit yang keras. Zat warna alam dari ekstrak kayu (dye-wood) yang telah digunakan untuk pewarnaan kulit dapat dilihat pada Tabel 4-1. Tanaman tersebut jarang dijumpai di Indonesia karena sumber zat warna alam sangat luas dan tiap-tiap bagian di dunia ini mempunyai contohnya sendiri tentang tumbuhan penghasil zat pewarna alam. Tabel 4-1. Zat penyamak/pewarna/pengawet alami (dye-wood) kulit No 1
Jenis Zat Fustic
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Dengan Garam Metal Titanium potassium oxalate Potassium bichromate Copper sulfat Iron lactate Kapur
Page 11
Warna yang Terbentuk Kuning dan oranye Coklat Olive Dark olive Oranye Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
2
Red-wood
3
Loog-wood
4
Hypernic
Alum Titanium potassium oxalate Potassium bichromate Titanium potassium oxalate Potassium bichromate Copper sulfat Iron lactate Kapur Alum -
Kuning terang Coklat tua Violet Coklat muda Coklat tua Bluish black Biru-hitam Ungu gelap Ungu-merah Merah, violet, coklat
Pewarnaan kulit dengan zat warna alami itu telah dikenal sejak lama, namun pekerjaan tersebut tetap harus dikerjakan secara khusus dan serius. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang tahapan proses yang harus dilakukan, seperti pemilihan bahan zat warna alami yang cocok dan mudah diperoleh serta mempunyai ketahanan warna yang baik, persiapan kulit sebelum diwarnai, aplikasi zat warna yang tepat, penggunaan mordan dan alat yang diperlukan. Pewarnaan menggunakan zat warna alamii untuk serat kulit berbeda dengan serat dari selulosa seperti katun maupun untuk sutera dan kain wool. Kadang zat warna alami cocok untuk pewarnaan kulit dan tekstil, tetapi kadang hanya cocok untuk pewarnaan tekstil, sutera dan wool tetapi kurang cocok untuk kulit. Pewarnaan untuk kulit relatif lebih sulit dari pada pewarnaan untuk serat selulosa karena serat kulit daya absorbsinya berbeda antara bagian punggung, bahu, perut dan leher, sedangkan untuk serat selulosa dapat mengabsorbsi warna secara rata. Zat warna alami yang berasal dari sumber tanaman yang tumbuh di Indonesia, belum banyak dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai bahan pewarna kulit karena bahan pewarna yang digunakan selama ini berupa zat warna sintetis. Zat warna sintetis penerapannya memang lebih praktis dengan aneka macam warna pilihan, sehingga menyebabkan zat warna alami yang dulu pernah digunakan kini tergeser dan sudah dilupakan manfaat dan cara penggunaannya karena kurang praktis penggunaannya. Namun seiring dengan perkembangan Ipteks, dirasakan dampaknya bahwa penggunaan bahan-bahan kimia termasuk beberapa zat warna sintetis berpotensi mencemari lingkungan, sehingga penggunaan bahan penyamak ramah lingkungan mulai menjadi suatu pilihan sehingga lingkungan disekitar tidak tercemar. Selama ini penggunaan bahan dari tanaman yang dimanfaatkan oleh industri kulit, baru terbatas pada penggunaan sebagai bahan penyamak (vegetable tannin) seperti kulit kayu dari tanaman akasia (Acacia decurus wild), bakau (Rhizophoraceae sp.), buah pinang (Areca catechu) dan ekstrak daun gambir (Uncaria gambir). Efek sekunder dari hasil penyamakan kulit menggunakan bahan penyamak tersebut dapat memberikan warna coklat dominan pada kulit.
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 12
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
2. Tannin (Senyawa Aktif Bahan Penyamak Nabati ) Tannin adalah nama generik yang tersebar pada bagian tanaman, seperti: daun, kayu, kulit kayu, ranting, akar dan buah. Tannin adalah zat aktif penyamak dari tumbuhtumbuhan yang pertama kali digunakan untuk menyamak kulit hewan yang dikenal sebagai bahan penyamak nabati (vegetable tannin). Tannin mempunyai beberapa sifat seperti amorf (berisi), astringent (mengencangkan) dan mengawetkan kulit dari serangan mikrobia serta dapat memberikan warna pada kulit yang disamak yaitu sebagai efek sekunder dari tannin. Fungsi tannin selain untuk menyamak kulit hewan dapat untuk menyamak jala, untuk pembuatan tinta dan untuk obat. Sumber tannin yang penting untuk penyamakan kulit adalah seperti Tabel 4-2. Tabel 4-2. Sumber & kandungan tannin pada bahan alami (tumbuh-tumbuhan) No
Jenis Tannin
1 2 3 4 5 6
Avaram bark Babul bark Konam bark Goran bark Myrobalan Wattle bark/mimosa
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kahua Ashan bark Divi-divi Chesnut Quebracho Cutch Gambir Sumac Valonia Pinang Oak Mangrove
Jenis Tanaman
Sumber Tannin
Kandungan (%)
Cassia auriculata Acasia Arabica Cassia fistula Ceriops roxburghiana Terminalia chebula Acacmollissiama & Acacia decurrens Acacia arjuna Terminalia tomentosa Caesalpinia coriaria Castanea vesca Quebrachia lorentzi Acacia catechu Nauclea gambir native Rhus coriraria Quercus aegilops Areca catechu
Kulit kayu Kulit kayu Kulit kayu Kulit kayu Buah Kulit kayu
17 – 18 12 11 – 14 26 – 36 30 – 40 30 – 40
Kulit kayu Kulit kayu Pod Kayu Hati kayu Hati kayu Ranting dan daun Hati kayu Cupula Buah Kayu
16 12 35 – 45 10 20 35 25 25 – 30 13 – 27 3 – 10
Rhizophoraceae
3. Tanaman Penghasil Zat Pengawet/Pewarna/Penyamak Alami di Indonesia a. Secang (Caesalpinia sappan, Linn) Caesalpinia crista, Caesalpinia braziliensis, dan Caesalpinia echinata Lamk ditemukan pertama kali oleh Kimichi (seorang bangsa Spanyol) di Brazil. Sesuai dengan tempat asalnya, tanaman ini disebut “ kayu Brazil” (Brazil wood). Pada tahun 1902 Chevreul telah mengisolasi zat warna yang terdapat di dalam kayu Brazil, dan zat warna tersebut dikenal dengan nama Brazilin. Zat warna yang dihasilkan pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama botaninya yaitu Caesalpinia braziliensis. Jenis tanaman tumbuh subur & tersebar di Eropa dan Amerika. Pemakaian kayu ini sebagai zat warna sudah lama dikenal oleh orang-orang Jepang dan Tionghoa dalam pembuatan cat, tinta Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 13
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
merah dan kertas merah, serta untuk mewarnai anyam-anyaman dari pandan serta pakaian. Manfaat lain dari kayu brazil adalah untuk obat luka memar, obat batu, antiseptik. Di Asia, tanaman ini merupakan jenis tanaman tropis yang dikenal dengan nama Caesalpinia sappan, Linn atau kayu secang (sappan wood), banyak tumbuh & tersebar di seluruh Indonesia, baik di hutan, di daerah rawa dengan ketinggian sampai 1700 meter dpl maupun sebagai tanaman pagar. Tanaman secang termasuk famili Leguminosae. genus Caesalpinia, spesies Caesalpinia sappan, nama sinonim Bianceae . Nama daerah: Indian (red wood), Indonesia (kayu secang), Jawa (soga jawa), Madura (Kalici, tenglur), Sunda (Matahiang, secang), Philipina (sibukao), Burma (teing-nyet), Kamboja (sbaeng), Laos (fang deeng), Thailand (faang). Asal tanaman secang tidak pasti ada yang mengatakan dari India melalui Birma, Thailand, Indo China sampai Malaysia dan penyebarannya ke Indonesia, Philipina, India, Srilangka, Taiwan, Hawai. Tinggi secang dapat mencapai 5–10 meter, batangnya keras dan disekujur batang dan percabangannya terdapat banyak duri tempel yang berbentuk bengkok dan letaknya tersebar. Diameter batang 5–15 cm, termasuk jenis kayu sangat keras dan mempunyai serat yang halus. Pada waktu dipotong berwarna pucat, tetapi karena pengaruh udara warnanya menjadi lebih tua. Makin dekat dengan empulur makin tua warnya dengan merah jingga sampai ungu. Daun berbentuk sirip ganda, panjang 25–40 cm dengan jumlah anak daun 10–20 pasang yang letaknya berhadapan. Anak daun tidak bertangkai, bentuknya lonjong, ujungnya bulat, tepi rata dan hampir sejajar, panjang10 – 25 mm, lebar 3 – 11 mm. daunnya mengandung tannin dan alkaloid. Bunganya berkarakter majemuk, berbentuk malai berwarna kuning, berkelamin 1, berumah 2, bertangkai pendek dalam tandan yang bercabang atau tidak, dengan panjang 7–35 cm. Daun mahkota 7–10 mm panjangnya. Bunga jantan, benang sari 10, putik rudimenter, kecil berambut. Bunga betina, kepala sari kosong, bakal buah berambut sikat rapat. Buahnya berupa polong, panjang 8–10 cm, lebar 3–4 cm, ujung seperti paruh berisi 3–4 biji. Buahnya yang matang berwarna hitam. Bentuk biji bulat memanjang, panjang 15–18 mm, lebar 8–11 mm, tebal 5–7 mm, & berwarna kuning kecoklatan. b. Tegeran (Maclura chocinensis) Tanaman tegeran berasal dari Himalaya, Nepal, India, sampai Jepang dan melalui kepulauan Melayu sampai Bismarck, Archipelago, New Caledonia dan Australia Timur. Sekarang banyak tumbuh di hutan-hutan Jawa, Sumatra, Kalimantan sampai Irian. Nama Indonesia yaitu kayu kuning/tegeran/soga tegeran (Jawa), kederang/kedrae (Malaysia), kokompusa (Philipina), khlae (Kamboja), kae kong (Thailand). Kayu Tegeran merupakan salah satu komponen warna soga Jawa pada batik halus yang memberi warna Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 14
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
ke arah kuning. Campuran dari kayu Tegeran, kulit kayu Tingi dan kulit kayu Jambal dengan perbandingan tertentu sesuai warna yang diinginkan, biasanya digunakan sebagai warna tradisional soga Jawa. Proses mordanting pada akhir pewarnaan akan merubah arah warna dari warna kuning sampai ke hijau lumut, tergantung pada modifier color yang dipakai, seperti alum/tawas, kapur dan tunjung (ferro sulfat). c. Nangka (Artocarpus heterophyllus) Tanaman nangka merupakan famili Moraceae, genus Artocarpus, species Heterophyllus, kelas Decosyledoneae, devisi Spermatophyta. Nama Indonesia : nangka, nama daerah jawa : nongko. Tanaman nangka berasal dari Nusa Tenggara dan kini banyak tumbuh tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia dan merupakan jenis pohon berumah satu dengan getah yang rekat. Cara tumbuh tegak dengan tinggi 10–25 meter. Kayu nangka termasuk kayu yang keras (kuat), bersifat padat, halus dan banyak digunakan sebagai bahan bangunan, mebel dan kerajinan karena harganya relative lebih murah dibandingkan dengan kayu keras jenis jati (Tectona grandis), sehingga banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan di Indonesia. d. Tingi (Ceriops tagal) Tanaman ini tidak diketahui dari mana asalnya, tetapi sekarang tumbuh subur dan tersebar mulai dari Afrika Timur sampai India dan juga ada di daerah Tropis Asia, Australia, & Pasifik. Tanaman Tingi juga banyak tumbuh di hutan-hutan tropis di seluruh Indonesia. Di Brunei dan Malaysia, tanaman tingi dikenal dengan nama tengar, tanggala tutu (Gorontalo), tangal (Philipina) dan prong (Thailand). Tinggi tanaman mencapai 40 meter, Φ 40 cm, kulit batangnya merupakan salah satu komponen warna tradisional soga Jawa (coklat) pada batik halus, yang memberi arah warna coklat kemerahan. Kandungan tannin tinggi (20 - 40%). Daunnya juga dapat digunakan sebagai pewarna karena masih mengandung tannin ±15%. Proses fiksasi pada akhir pewarnaan akan merubah arah warna dari warna merah maroon muda sampai ke gelap, tergantung pada modifier color yang dipakai. e. Mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) Tanaman mahoni mempunyai nama botani Swietenia sp. Terdapat 2 spesies yang cukup dikenal yaitu : Swietenia macrophylla, King, yang berdaun lebar & Swietenia macrophylla, King berdaun kecil. Mahoni tergolong divisi Spermathophyta, sub devisi Angiospermae, kelas Dycotyledoneae, ordo geranialis, famili Meliaceae, genus Swietenia. Mahoni berdaun lebar mempunyai kadar tannin 16,9% & kadar non tannin 4,5 %, sedangkan mahoni berdaun kecil kadar tannin 17,8% & kadar non tannin 4,4 %. Warna kayu mahoni adalah coklat muda kemera-merahan atau kekuning-kuningan Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 15
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
sampai coklat tua ke merah-merahan, dan lambat laun menjadi tua dan dapat digunakan sebagai zat warna. f. Jambal (Peltophorum pterocarpum DC) Tanaman jambal termasuk famili Caecalpiniaceae, genus peltophorum, species pterocarpum. Tanaman ini tersebar luas, mulai dari Srilangka, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Filipina, & Indonesia. Nama lain dari kayu jambal adalah yellow flame, nama jawa = kayu soga, nama sunda = kayu timur, & nama madura = sgha. Tanaman ini banyak tumbuh di kawasan pantai. Tinggi tanaman jambal >30 m (bisa mencapai 50 m), dengan Φ > 70 cm, tebal kulit batang >15 mm. Kulit kayu jambal juga merupakan salah satu komponen warna soga jawa, dengan bentukan warna coklat kemerahan. Kandungan senyawa tannin 11– 21%, lebih kecil kulit kayu tingi. Komposisi dalam soga jawa menempati jumlah terbesar. Proses fiksasi pada akhir pewarnaan akan merubah arah warna dari warna merah sampai coklat keabu-abuan, tergantung pada modifier colour yang dipakai (seperti alum/tawas, kapur dan tunjung/ferro sulfat).
4. Jenis Bahan Penyamak Kulit a. Mimosa Bahan penyamak nabati adalah zat penyamak yang berasal dari tumbuhtumbuhan, dapat larut dalam air, dan dapat mengubah kulit mentah menjadi tersamak (Jayusman, 1991). Bahan penyamak nabati dalam perdagangan terdapat dalam bentuk babakan yang masih utuh, babakan yang telah digiling menjadi ekstrak cair, ekstrak kering padat maupun kering bubuk (Anonim, 1999). Mimosa merupakan sari kulit kayu akasia, yaitu hasil penyaringan dari babakan kulit kayu akasia (Purnomo, 1997). Adanya zat penyamak nabati dalam tumbuhan dapat diketahui dari rasanya yang kelat (sepet) dan menjadi biru hitam bila bersentuhan dengan pisau besi. Secara laboratoris, jika sari rebusan bahan penyamak nabati ditetesi dengan pereaksi gelatin (larutan gelatin 1% ditambah 10% garam dengan pH 4,7) dan bila timbul endapan berarti mengandung zat penyamak. Makin banyak endapan yang ada berarti makin banyak terdapat zat penyamak (Jayusman, 1991). Penyamakan nabati adalah proses penyamakan kulit mentah menjadi kulit samak dengan menggunakan zat penyamak dari tumbuh-tumbuhan yaitu tannin. Menurut Purnomo (2001) kulit yang disamak menggunakan bahan nabati umumnya berwarna coklat muda dan kulitnya agak kaku. Mimosa (mimosa ekstrak) adalah sari kulit kayu
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 16
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
akasia (Acasia deoureus) yang sudah diproses dengan bahan-bahan kimia. Kulit kayu akasia merupakan salah satu bahan penyamak nabati yang mengandung 35% tannin dalam bentuk babakan kulit, sedangkan dalam bentuk ekstrak padat mengandung 63% tannin. Dalam sari akasia terkandung beberapa macam bahan antara lain 63% zat penyamak, 16% zat bukan penyamak, 19.5% air, dan 1% ampas (Purnomo 2001). Mimosa adalah ekstrak/sari kulit kayu akasia (Acasia deoureus) yang diolah melalui proses penguapan atau secara kimiawi. Kulit yang disamak menggunakan bahan nabati umumnya menghasilkan kualitas kulit yang lebih padat dan kompak dengan warna natural coklat (Purnomo, 2001). Menurut Purnomo (2001), sifat-sifat zat penyamak kulit kayu akasia adalah: (1) zat penyamaknya mudah disarikan (mudah larut dalam air), (2) mempunyai daya menyamak yang baik, (3) baik untuk menyamak segala macam kulit, (4) mudah bercampur dengan semua bahan penyamak nabati lainnya, dan (5) Sifat kulit yang disamak dengan babakan akasia lebih berisi (padat), warnanya cokelat muda, cukup lemas, dan kekuatan tariknya cukup tinggi). Mimosa dipasarkan dalam bentuk babakan, mengandung tannin rata-rata 35% atau dalam bentuk ekstrak yang padat mengandung 63% tannin. Dalam sari akasia terkandung beberapa macam zat antara lain adalah zat penyamak (± 63%), non zat penyamak (± 16%), air (± 19,5%), dan ampas (± 1%) (Judoamidjojo, 1982). Reaksi bahan penyamak nabati diketahui dari banyaknya pengikatan hidrogen yang terjadi selama proses penyamakan (Gambar 4-10). Tanin yang terdapat pada penyamak nabati mungkin berkoordinasi dengan gugus –CO-NH-, gugus guanidyl arginin, gugus karboksil dari aspartat dan asam glutamat, gugus ionik lisin NH2, dan grup hidroksi dari serine dan hidroksiprolin (Sarkar, 1995). Menurut Orgunay et al. (2004), pada umumnya bahan penyamak nabati berikatan dengan protein kulit dengan dua cara: (1). Co-ordination: didasarkan pada pengikatan hidrogen struktur fenolik tanin penyamak nabati pada grup peptida protein kulit. (2). Saline bonding: ikatan antara tanin penyamak nabati dengan gusus amino protein kulit. (a).
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 17
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
(b) .
Gambar 4-10a, b. Mekanisme reaksi protein kolagen dengan mimosa
Gambar 4-10a menunjukkan bahwa ikatan hidrogen terjadi antara O- yang terdapat pada fenolik dengan atom H yang terdapat pada kolagen atau H+ pada fenolik dengan atom N atau atom O pada kolagen. Ikatan hidrogen adalah ikatan antar molekul antara atom H dengan atom yang memiliki keeloktronegatifitasnya tinggi, misalnya atom F, O, dan N (Lehninger, 1997). Ikatan garam (saline bonding) terbentuk antara senyawa bermuatan negatif dengan senyawa bermuatan positif. Dalam reaksi ini OH- pada fenolik berikatan dengan atom H+ pada kolagen dan benzen yang bermuatan positif akan berikatan dengan senyawa COO- pada kolagen (lihat Gambar 4-10). b. Formalin Formalin adalah kelompok senyawa aldehyde dengan rumus kimianya adalah CH2O (rumus bangun H-CH=O), berat molekul 30,03, serta dalam suhu kamar berbentuk gas (Anonim, 1988). Formaldehyde mampu untuk bereaksi dengan asam amino yang terdapat dalam protein kulit sehingga mampu merubah sifat-sifat protein. Ikatan silang yang terjadi diefektifkan dengan prinsip ikatan covalensi antara gugus aldehyde dengan gugus NH2 colagen. Untuk mendapatkan ikatan silang yang sempurna, reaksi tergantung pada beberapa faktor, antara lain konsentrasi formaldehyde yang digunakan, pH larutan, dan temperatur. Pada praktek penyamakan, biasanya pH awal diatur 5 dan pH akhir 7-8 (Anonim, 1988). Menurut Purnomo (1997), kulit yang disamak dengan formalin mempunyai ketahanan panas ±80 0C. c. Krom Krom yang digunakan untuk bahan penyamak adalah dalam bentuk garam Cr yang bervalensi 3. Sebagian besar bahan penyamak krom komersil memiliki basisitas 33,3% yang sebanding dengan ukuran partikel optimum untuk penyamakan. Perbandingan antara jumlah OH terikat dengan jumlah maksimum Cr dapat mengikat OH disebut basisitas. Bila bahan penyamak krom diendapkan didalam substansi kulit
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 18
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
maka kenaikkan basisitas selanjutnya terhadap larutan ini berakibat naiknya pengikatan bahan penyamak oleh pergeseran ukuran partikel sehingga meningkatkan ikatan kimianya (Purnomo, 1997). Menurut Purnomo (1997), bahan penyamak krom merupakan bahan penyamak mineral yang paling penting. Hal ini disebabkan oleh kualitas-kualitas khusus terkait dengan struktur molekuler dari chromium yang memungkinkan garam-garam chromium trivalen membentuk bahan-bahan yang memiliki daya tarik kompleks yang kuat untuk bahan kulit. Menurut Untari (2005), kulit domba yang disamak dengan bahan penyamak krom mempunyai kekuatan tarik dan kemuluran yang lebih tinggi dibanding dengan yang disamak nabati. Sedangkan menurut Raharjo dkk. (1990), bahan penyamak krom menghasilkan kematangan penyamakan kulit yang lebih baik. Menurut Lutfie dkk. (1993), kulit yang disamak dengan bahan penyamak krom akan memberikan nilai yang tinggi pada uji kekuatan tarik dan kemuluran. Hal itu karena krom memiliki daya samak tinggi yang diperlihatkan melalui ikatannya dengan dengan gugus karboksil kulit sehingga struktur kulit menjadi lebih kompak dan kuat. d. Syntan Bahan penyamak syntan menghasilkan kulit cukup berisi dan lemas. Warna yang cocok digunakan untuk kulit hasil penyamakan dengan bahan penyamak syntan adalah warna terang kuning, biru muda, merah. Menurut Sarphause (1983) cit Untari (2001), penggunaan syntan antara 10 – 20% dalam proses penyamakan akan diserap dengan baik karena sifat ionisasi syntan yang tinggi terhadap kolagen kulit dan mempunyai kekuatan daya ionik tarik-menarik melalui penyusutan air yang stabil, akibatnya kulit yang dihasilkan akan padat dan stabil. Jenis syntan yang digunakan adalah Novaltan PF, jenis bahan penyamak yang larut air, stabil terhadap semua jenis bahan kimia, bekerja baik pada semua kisaran pH dan tidak memberi warna terhadap kulit yang disamak. Kulit yang disamak dengan Novaltan PF bersifat lemas, lembut, warna kulit yang terang, tahan terhadap air, dan menghasilkan kulit tersamak yang ringan (Anonim, 2010). Syntan adalah bahan penyamak sintetis yang didalamnya terdapat komponenkomponen aktif zat penyamak yang sangat kompleks yang terdiri dari poly hydroxy benzoles atau polimerida sejenis. Kelarutan dan kemampuan syntan dalam menyamak secara prinsip sama dengan zat penyamak lainnya yaitu pada ketersediaan grup hidroksi fenolik (Gambar 4-11) (Mc Laughlin, 1945)
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 19
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM
LAPORAN PERKEMBANGAN HIBAH PEMBELAJARAN e-Learning Pusat Pengembangan Pendidikan (PPP) UGM, 2011
Gambar 4-11. Mekanisme reaksi protein kolagen dengan syntan
Dari Gambar 4-11, terlihat bahwa reaksi syntan terhadap kolagen hampir mirip dengan bahan penyamak nabati yaitu terbentuknya ikatan hidrogen. Perbedaannya, syntan memiliki jumlah gugus hidroksi yang lebih banyak daripada mimosa, sehingga memungkinkan banyak terjadi pengikatan hidrogen. Syntan jenis Novaltan yang digunakan dapat bekerja baik pada kisaran pH apapun. Oleh karena itu, novaltan memiliki gugus negatif (-) dan gugus positif (+) yang bisa bereaksi dengan kolagen. Pada pH tinggi, gugus yang aktif bereaksi dengan kolagen adalah gugus (-), sebaliknya gugus (+) bekerja pada pH rendah.
Prodi Teknologi Hasil Perikanan
Page 20
Jurusan Perikanan, Fak. Pertanian UGM