TESIS
PEMBERIAN ALPHA LIPOIC ACID PER ORAL MENGHAMBAT GANGGUAN FOLIKULOGENESIS PADA MENCIT (Mus musculus) BALB/c BETINA YANG DIPAPAR ASAP ROKOK
PATRICIA SILPIANI KANDAR
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PEMBERIAN ALPHA LIPOIC ACID PER ORAL MENGHAMBAT GANGGUAN FOLIKULOGENESIS PADA MENCIT (Mus musculus) BALB/c BETINA YANG DIPAPAR ASAP ROKOK
PATRICIA SILPIANI KANDAR NIM 1190761003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PEMBERIAN ALPHA LIPOIC ACID PER ORAL MENGHAMBAT GANGGUAN FOLIKULOGENESIS PADA MENCIT (Mus musculus) BALB/c BETINA YANG DIPAPAR ASAP ROKOK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
PATRICIA SILPIANI KANDAR NIM 1190761003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK NIP.194606191976021001
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And,FAACS NIP.194612131971071001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And,FAACS. NIP.19461213197107001
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP.1959021511985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 8 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 1886 /UN 14.4/HK/2014 Tanggal: 26 Juni 2014
Ketua:
Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
Anggota: 1.
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS
2.
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, Sp.And.,FAACS
3.
Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes
4.
Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kepada Bapa di Surga, karena atas penyelenggaranNya, maka tesis “Pemberian Alpha Lipoic Acid per Oral Menghambat Gangguan Folikulogenesis pada Mencit (Mus musculus) Balb/c Betina yang Dipapar Asap Rokok”, ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan, dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof.Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD, sebagai Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister di Universitas Udayana.
2.
Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas Udayana dan sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis.
3.
Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, sebagai pembimbing I yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
4.
Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.Sc.Sp.And., sebagai penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
v
5.
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes., sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penyusunan tesis ini.
6.
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK, sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukkan selama penyusunan tesis ini.
7.
Drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes., atas bantuan dan bimbingan dalam pengamatan histopatologi jaringan
8.
Gede Wiranatha, S.Si., dan asisten di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi FK. Udayana, atas bantuan teknis selama penelitian berlangsung.
9.
Drs. I. Ketut Tunas, M.Si., atas bimbingan dan bantuan dalam analisis statistik data hasil penelitian.
10. Para Dosen pengajar Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas Udayana, teman-teman sependidikan dan para staf bagian Ilmu Biomedik, yang telah membantu selama pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis ini. 11. Keluarga tercinta yaitu suami, orang tua dan adik-adik yang selalu memberikan dukungan dan doa selama penulis menempuh pendidikan. Kepada tiga Malaikatku di Surga, tesis ini kupersembahkan untuk kalian. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Anti Aging Medicine. Denpasar, Juli 2014 Penulis vi
ABSTRAK PEMBERIAN ALPHA LIPOIC ACID PER ORAL MENGHAMBAT GANGGUAN FOLIKULOGENESIS PADA MENCIT (Mus musculus) BALB/C BETINA YANG DIPAPAR ASAP ROKOK Gangguan folikulogenesis menyebabkan penurunan hormon seks dan sistem reproduksi perempuan yang mempercepat penuaan. Stres oksidatif yang diakibatkan paparan asap rokok terbukti menyebabkan gangguan folikulogenesis. Alpha Lipoic Acid (ALA) merupakan antioksidan poten yang selain menetralisir radikal bebas, meregenerasi antioksidan endogen dan bersifat amfipatik. ALA dapat memperbaiki perkembangan folikel secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ALA per oral dalam menghambat gangguan folikulogenesis, yang ditandai oleh hambatan penurunan jumlah folikel sekunder dan jumlah folikel de Graaf serta hambatan peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit Balb/c betina yang dipapar asap rokok. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan post test only control group design, dilaksanakan di Animal Unit Laboratory bagian Farmakologi FK.Universitas Udayana. Sebanyak 32 ekor mencit (Mus musculus) Balb/c betina usia 12-13minggu, berat 20-25 gr, dibagi secara acak dalam 4 kelompok, kelompok kontrol (P0) diberi aquadest 0,5 cc; kelompok perlakuan I (P1) diberi ALA 0,34 mg; kelompok perlakuan II (P2) diberi ALA 1,02 mg, dan kelompok perlakuan III (P3) diberi ALA 2,04 mg. Semua mencit dipapar asap rokok 2 jam per hari selama 7 minggu perlakuan. Setelah 7 minggu perlakuan, semua mencit diambil ovariumnya, lalu dihitung jumlah folikel sekunder, jumlah folikel de Graaf dan jumlah folikel atresia. Hasil uji one way anova menunjukkan perbedaan bermakna pada rerata jumlah folikel setelah pemberian ALA. Rerata jumlah folikel sekunder P0 adalah 22,25 2,375, rerata P1 adalah 30,50 1,773, rerata P2 adalah 43,00 1,309, dan rerata P3 adalah 53,50 2,070. Rerata jumlah folikel de Graaf P0 adalah 1,25 0,463, rerata P1 adalah 1,62 0,744, rerata P2 adalah 2,62 1,061, dan rerata P3 adalah 3,25 0,707. Rerata jumlah folikel atresia P0 adalah 4,25 1,035, rerata P1 adalah 3,75 0,463, rerata P2 adalah 0,88 0,835, dan rerata P3 adalah 0,50 0,756. Hasil uji LSD, menunjukkan perbedaan bermakna hanya terdapat pada rerata jumlah folikel sekunder antara tiap kelompok. Tidak ada perbedaan bermakna pada rerata jumlah folikel de Graaf dan rerata folikel atresia antara P0 dengan P1, juga antara P2 dengan P3. Kesimpulan penelitian yaitu pemberian ALA oral dapat menghambat gangguan folikulogenesis akibat paparan asap rokok. Dosis 1,02mg adalah yang paling efektif. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek prooksidan ALA. Kata kunci: Alpha Lipoic Acid, gangguan folikulogenesis, asap rokok, mencit (Mus musculus) Balb/c betina. vii
ABSTRACT ORAL ADMINISTRATION OF ALPHA LIPOIC ACID INHIBIT THE FOLLICULOGENESIS DISRUPTION IN FEMALE BALB/C MICE (Musmusculus) EXPOSED TO CIGARETTE SMOKE Impaired folliculogenesis has been linked to a decrease in sex hormones level as well as the female reproductive system, that accelerates aging. It is proven to be generated from oxidative stress which is a result of exposure to cigarette smoke. Alpha Lipoic Acid (ALA) is a form of potent antioxidant that neutralize free radicals, regenerate endogenous antioxidants and also is an amphipathic antioxidant. ALA enables the in vitro development of follicles. The purpose of this study is to examine the impact of ALA in inhibiting impaired folliculogenesis, which is characterized by the detention in decreasing number of secondary follicles and Graafian follicles, also the detention in increasing number of atretic follicles, in female Balb/c mice that exposed to cigarette smoke. This study was an experimental study using post test only control group design, conducted in Animal Unit Laboratory of Pharmacology section of Udayana University Faculty of Medicine. In total of 32 female Balb/c mice (Mus musculus) aged 12-13 weeks, weight 20-25 g, were randomly divided into 4 groups. Control group (P0) were given 0.5 cc of distilled water; treatment group I (P1) were given 0.34 mg of ALA; treatment group II (P2) were given 1.02 mg of ALA, and the treatment group III (P3) were given 2.04 mg of ALA. All mice were exposed to cigarette smoke for 2 hours per day within 7 weeks of treatment. After 7 weeks of treatment, all mice’s ovaries were taken out to examine the number of secondary follicles, Graafian follicles and atretic follicles. The result of one way Anova test, showed significant differences in the average number of follicles after administration of ALA. The average number of secondary follicles of P0: 22,25 ± 2,375 P0, P1: 30,50 ± 1,773, P2: 43,00 ± 1,309, and P3: 53,50 ± 2,070. The average number of Graafian follicles of P0: 1,25 ± 0.463, P1: 1,62 ± 0,744 P1, P2: 2,62 ± 1,061, and P3: 3,25 ± 0,707. The average number of atretic folliclesof P0: 4,25 ± 1,035, P1: 3,75 ± 0,463, P2: 0,88 ± 0,835, P3 and P3: 0,50 ± 0,756. On the other hand the results of LSD test, only showed significant differences in the average number of secondary follicles between each group. There were no significant differences in the average number of Graafian follicles and atretic follicles between P0 and P1, as well as between P2 and P3. Based on the research, the conclusion was that the oral administration of ALA could inhibit impaired folliculogenesis due to exposure to cigarette smoke. Dose of 1,02 mg ALA is more effective compared to dose 0,34 and 2,04 mg. Further study need to be conducted to examine the prooxidant effect of ALA. Key words: Alpha Lipoic Acid, impaired folliculogenesis, cigarette smoke, female Balb/c mice (Mus musculus).
viii
DAFTAR ISI
Hal SAMPUL DALAM ………………………………………………………………….... i PRASYARAT GELAR …………………………………...…………………….…… ii LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………….… iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………………….... iv UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………………….... v ABSTRAK ………………………………………………………………………….. vii DAFTAR ISI ……………………………………………………………...…………. ix DAFTAR TABEL …………………………………...………………..…………..... xiv DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….………….… xv DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………...………….... xvi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………....... xviii BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2.
Rumusan Masalah.............................................................................................. 7
1.3.
Tujuan Penelitian ............................................................................................... 8
1.3.1. Tujuan Umum…………………………………………………………………. 8 1.3.2. Tujuan Khusus ……………………………………………………………….. 8 1.4.
Manfaat Penelitian ............................................................................................10
1.4.1. Manfaat Ilmiah ................................................................................................ 10 ix
1.4.2. Manfaat Aplikasi ............................................................................................... 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 11 2.1.
Penuaan (Aging) ..............................................................................................11
2.1.1. Teori Proses Penuaan ………………………………………………...…….. 11 2.2.
Radikal Bebas ............................................................................................... 13
2.2.1. Definisi........................................................................................................... 13 2.2.2. Sifat Radikal Bebas ....................................................................................... 14 2.2.3.
Senyawa Oksigen Reaktif ………….............................................................. 14
2.2.4.
Dampak SOR …………………..………………...…………………..…… 16
2.3.
Antioksidan ……………………………………………………………....... 17
2.3.1.
Definisi ……………………………….…………………………………… 17
2.3.2.
Klasifikasi Antioksidan ………………………………………………….... 17
2.4.
Stres Oksidatif ……………………………………………………..…….... 18
2.5.
Folikulogenesis ………………………………………………………...…. 19
2.5.1.
Folikel Primer …………..…………………………………………...…….. 20
2.5.2.
Folikel Sekunder ………………..…………………………………………. 21
2.5.3.
Folikel Tersier …………………………………………………..…………. 21
2.5.4.
Folikel Antral ……………………………………………………………… 22
2.5.5.
Folikel de Graaf ………………………………………………………….... 23
2.6.
Rokok ……………………………………………………………..….……. 23
2.6.1.
Kandungan Kimia Berbahaya dalam Asap Rokok ……………...………… 25
2.6.2.
Radikal Bebas dalam Asap Rokok …………….……...…...……...………. 32 x
2.6.3.
Efek Asap Rokok terhadap Folikulogenesis .………………………….…... 33
2.6.4.
Mekanisme Gangguan Folikulogenesis Akibat Asap Rokok ……......……. 34
2.7.
Alpha Lipoic Acid (ALA) ……………………………...…….……………. 35
2.7.1.
ALA Sebagai Antioksidan ……………………………………..….……… 37
2.7.2.
Suplemen Antioksidan ALA …………………………………………..….. 39
2.7.3.
Penggunaan ALA ……………………………………………………......… 41
2.7.4.
Manfaat ALA pada Gangguan Folikulogenesis Akibat Asap Rokok ……... 42
2.8.
Mencit …………………………………………………...………………… 42
2.8.1.
Biologis Mencit …………………………………………………….…...… 42
2.8.2.
Anatomi Alat Kelamin Mencit Betina ………………………………..…… 43
2.8.3.
Histologi Ovarium Mencit Betina ………...………………………………. 44
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS …………...… 46
3.1.
Kerangka Berpikir ……………………………………………………….... 46
3.2.
Konsep ………………………………………………..…………………... 48
3.3.
Hipotesis Penelitian …………………………………...…………………... 48
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………………… 50 4.1.
Rancangan Penelitian …………………………………………………….... 50
4.2.
Sampel Penelitian …………………………………………………….….... 51
4.2.1.
Sampel ……………………………………………………………….……. 51
4.2.2.
Kriteria Sampel ………………………………………………………….… 51
4.2.3.
Besar Sampel …………………… ……………………...………………… 52
4.2.4.
Tehnik Penentuan Sampel …………………………...………………….… 52 xi
4.3.
Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………….... 52
4.4.
Variabel Penelitian ……………………………………………………...…. 53
4.4.1.
Klasifikasi Variabel …………………………………………...……..……. 53
4.4.2.
Definisi Operasional Variabel ……………………………………...…...… 53
4.5.
Bahan, Alat Penelitian dan Hewan Percobaan ………………………........ 56
4.5.1. Bahan …………………………………………………………………….... 56 4.5.2. Alat ……………………………………………………………………...… 56 4.5.3.
Hewan Percobaan………………………………………………………….. 57
4.6.
Prosedur Penelitian ……………………………………………………...… 57
4.6.1.
Persiapan Hewan Coba …………………………..……………………....... 57
4.6.2.
Pemberian Perlakuan………………………...…………………………..… 58
4.6.3.
Sesudah Perlakuan ……………………..……………………………….…. 60
4.6.4.
Pembuatan Preparat / Sediaan Histologi …………………………………... 60
4.6.5.
Pengamatan ………………………………………………………………... 61
4.7.
Alur Penelitian …………………………………………………………..… 62
4.8.
Analisis Data ………………………………………………………….…… 63
BAB V HASIL PENELITIAN ……………………………………………..……. 64 5.1.
Uji Normalitas Data ……………………………………………………….. 64
5.2.
Uji Homogenitas Data Antar Kelompok ……………………………….…. 65
5.3.
Uji Komparasi …………………………………………………………..…. 66
5.3.1.
Jumlah Folikel Sekunder ………………………………………………….. 66
5.3.2.
Jumlah Folikel de Graaf ………………………………………………….... 69 xii
5.3.3.
Jumlah Folikel Atresia …………………………………………………….. 72
BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………………...... 76 6.1.
Subjek Penelitian ………………………………………………………...... 76
6.2.
Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian ………………………………. 77
6.3.
Efek Pemberian ALA terhadap Gangguan Folikulogenesis Akibat Paparan Asap Rokok …………………………..…………………………….…...… 77
6.3.1.
Jumlah Folikel Sekunder …………...……………………..……...……..… 79
6.3.2.
Jumlah Folikel de Graaf ……………………................................................ 81
6.3.3.
Jumlah Folikel Atresia …………………………………………………….. 83
6.4.
Manfaat ALA dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging Medicine ………….. 86
6.5.
Keterbatasan Penelitian ………………………………………………........ 86
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….... 88 7.1.
Simpulan ………………………………………………………………...… 88
7.2.
Saran …………………………………………………………………….… 89
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 90 LAMPIRAN ….......................................................................................................... 98
xiii
DAFTAR TABEL Hal 5.1 Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Folikel Sekunder, de Graaf, dan Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan …………………….........................……. 65 5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Folikel Sekunder, de Graaf, dan Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ………………………..………………… 66 5.3 Rerata Jumlah Folikel Sekunder Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ……..… 66 5.4 Analisis Komparasi Jumlah Folikel Sekunder Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ……………...………….....……………………………….………... 67 5.5 Rerata Jumlah Folikel de Graaf Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ………... 69 5.6 Analisis Komparasi Jumlah Folikel de Graaf Antar Kelompok Sesudah Perlakuan …………...……………………………………………………......... 70 5.7 Rerata Jumlah Folikel Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan …………. 72 5.8 Analisis Komparasi Jumlah Folikel Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan …………………………………………………………………….... 73
xiv
DAFTAR GAMBAR Hal 2.1. Kandungan Kimia dalam Rokok ….…………………………….………….… 32 2.2. Struktur Kimia ALA ………………………………………………..…......….. 36 2.3. Aktivitas Antioksidan ALA …………………………………………………... 39 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian ……….……...………………………….. 48 4.1. Skema Rancangan Penelitian ……………...…………………………..…...…. 50 4.2. Hubungan Antara Variabel Bebas dan Terkendali ……………………....….... 53 4.3. Alur Penelitian ……………………………………………...………..……….. 62 5.1. Rerata Jumlah Folikel Sekunder Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ............. 69 5.2. Rerata Jumlah Folikel de Graaf Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ……...... 72 5.3. Rerata Jumlah Folikel Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ……….... 75
xv
DAFTAR SINGKATAN
ALA : Alpha Lipoic Acid ATP
: Adenosine Triphosphate
BAP
: Benzo(a) Pyrene
DHLA : Dyhydrolipoic Acid FSH
: Follicle Stimulating Hormone
GSH : Glutation HSP
: Heat Shock Protein
IACR : International Agency for Cancer Research LH
: Luteinizing Hormone
MDA : Malondialdehid mtDNA : Mitocondria Deoxyribonucleic Acid NDEA : N-Nitrosodiethylamine NDMA : N-Nitrosodymethylamine NF-B : Nuclear Factor Kappa B NO
: Nitrogen Oxides
PAH
: Polycyclic Aromatic Hydrogenase
xvi
SNR
: Senyawa Nitrogen Reaktif
SOD
: Superoksida Dismutase
SOR
: Senyawa Oksigen Reaktif
UV
: Ultra Violet
VNA
: Volatile N-Nitrosamine
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1. Foto-Foto Pemberian Perlakuan Hewan Percobaan ………………...... 98 Lampiran 2. Foto-Foto Sediaan Histopatologis ……………………………………. 99 Lampiran 3. Hasil Perhitungan Jumlah Folikel Sekunder, de Graaf dan atresia …. 104 Lampiran 4. Hasil Analisis Deskriptif …………………………………….……… 107 Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas Data dan Homogenitas Data …………..……... 108 Lampiran 6. Hasil Uji One Way Anova dan LSD ………………..……….........… 109 Lampiran 7. Konversi Perhitungan Dosis untuk Berbagai Jenis Hewan Uji ……... 111
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penuaan merupakan suatu proses alamiah yang terjadi pada setiap mahluk hidup. Manusiapun tidak dapat menghindari penuaan, cepat atau lambat semua akan mengalaminya. Sejak dahulu kala, manusia menganggap proses penuaan sebagai proses yang selayaknya terjadi, sehingga penuaan diterima sebagai suatu takdir. Penuaan selalu menjadi hal yang ditakuti oleh semua orang, sehingga berbagai macam cara dilakukan untuk dapat terlihat awet muda dan hidup lebih lama. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran khususnya Ilmu Anti Aging Medicine telah membawa konsep baru bagi ilmu kedokteran. Konsep baru tersebut mengemukakan bahwa proses penuaan dapat diperlambat bahkan dapat dihambat. Proses penuaan sebenarnya sama dengan penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati. Hasilnya adalah tubuh yang sehat, sehingga meskipun usianya terus bertambah, seseorang masih dapat melakukan berbagai aktivitas tanpa harus merepotkan orang lain, bahkan masih dapat menjadi produktif. Usia boleh terus bertambah, namun manusia dapat menua secara berkualitas (Pangkahila, 2007). Penuaan disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi radikal bebas, berkurangnya hormon, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, penurunan sistem kekebalan tubuh dan genetik. Faktor eksternal meliputi gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan 1
2
kemiskinan (Pangkahila, 2011). Kedua faktor ini saling mendukung satu sama lainnya dalam menyebabkan proses penuaan. Organ reproduksi merupakan salah satu penghasil hormon-hormon yang berperan dalam proses penuaan. Ovarium merupakan organ reproduksi pada perempuan yang menghasilkan hormon estrogen, progesteron dan testosteron. Penurunan hormon-hormon tersebut akan menyebabkan timbulnya tanda dan gejala penuaan (Zjačić-Rotkvić et al., 2010). Hormon-hormon tersebut dihasilkan dalam folikel-folikel pada berbagai tahap pembentukan folikel (folikulogenesis) dalam ovarium. Folikulogenesis adalah pertumbuhan dan perkembangan folikel di korteks ovarium, yang bertujuan untuk mematangkan oosit. Selama proses ini berlangsung, selain terjadi pematangan oosit, juga dihasilkan hormon-hormon. Sel-sel teka interna akan menghasilkan androstenedion, testosteron dan dehidrotestosteron, sedangkan sel-sel granulosa akan menghasilkan estradiol dan progesteron (Ponomban, 2006). Gangguan folikulogenesis akan menyebabkan gangguan produksi hormon estrogen, progesteron dan testosteron, sehingga dapat mempercepat proses penuaan pada perempuan. Keadaan
stres
oksidatif
folikulogenesis dalam ovarium (
merupakan
salah
satu
penyebab
gangguan
, 2012). Stres oksidatif terjadi bila terdapat
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Senyawa oksigen reaktif (SOR) merupakan jenis oksidan terbanyak. Mitokondria merupakan organel penyumbang SOR terbanyak dikarenakan fungsinya sebagai organ respirasi sel dan penghasil energi untuk berbagai proses metabolisme dalam sel. Reaksi fosforilasi oksidatif yang
3
berlangsung secara fisiologis dalam mitokondria, selain menghasilkan adenosine triphosphate (ATP), juga menghasilkan SOR seperti anion superoksida (O2-•), radikal hidroksil (• OH), dan hidrogen peroksida (H2O2) (Winarsi, 2007). Mitokondria juga menghasilkan antioksidan enzimatis seperti, superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase, glutation reduktase dan katalase yang bertujuan untuk menetralisir SOR (Winarsi, 2007). Meskipun SOR dalam jumlah tertentu dibutuhkan juga dalam proses fisiologis dalam tubuh, namun bila jumlah SOR menjadi lebih banyak dari antioksidan, akan terjadi keadaan stres oksidatif yang dapat menimbulkan kerusakan molekul dan organel sel. Beberapa penelitian melaporkan, penurunan SOR dan peningkatan antioksidan dalam cairan folikel meningkatkan daya hidup embrio (Sharma et al., 2013). Pentingnya keseimbangan oksidan dan antioksidan dalam mitokondria menyebabkan beberapa ahli menyimpulkan disfungsi mitokondria berperan dalam patogenesis sejumlah penyakit dan proses penuaan, termasuk proses penuaan organ reproduksi (Jornayvaz and Shulman, 2010; Bentov et al., 2011). Kerusakan molekul dan organel sel akan mengaktifkan mekanisme pertahanan sel seperti heat shock protein (hsp), apoptosis dan autofagi (Gannon, 2013). Aktifnya mekanismemekanisme tersebut merupakan upaya sel untuk mempertahankan nutrisi dan kelangsungan hidup sel-sel lainnya yang masih normal (Gannon, 2013). Pola hidup yang tidak sehat menyebabkan peningkatan stres oksidatif (Paine et al., 2013). Merokok merupakan salah satu pola hidup yang dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif dalam tubuh. Asap rokok merupakan salah satu polutan
4
yang dapat meningkatkan SOR dalam tubuh (
, 2012). Asap rokok
merupakan polutan penyumbang radikal bebas terbesar di antara polutan lainnya. Asap rokok menghasilkan sekitar 4000 bahan kimia, di antaranya nikotin, tar, karbonmonooksida, nitrogen dan zat-zat berbahaya lainnya. Lingkungan asap rokok dapat menyebabkan timbulnya berbagai jenis penyakit pada perokok aktif maupun perokok pasif (Ahsan et al., 2009). Merokok merupakan penyebab 1 dari 10 kematian orang dewasa dan menyebabkan 5,4 juta kematian di tahun 2006. WHO memperkirakan di tahun 2020 akan terjadi peningkatan dua kali lipat kematian akibat merokok (Arief, 2010). Sangat disayangkan pula karena jumlah perokok perempuan justru semakin meningkat dibanding perokok laki-laki. Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa pada tahun 2009 sudah terjadi peningkatan jumlah perokok perempuan 5 kali lipat dari tahun sebelumnya. Diperkirakan jumlah perokok perempuan akan semakin meningkat setiap tahunnya (Adzilah, 2013). Gangguan organ reproduksi merupakan salah satu gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap rokok. Asap rokok mengandung zat-zat berbahaya seperti nikotin, polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) dan kadmium, yang terbukti mempengaruhi berbagai tahapan fungsi organ reproduksi, salah satunya adalah folikulogenesis (Dechanet et al., 2011). Pemaparan asap rokok pada mencit betina selama 7 minggu, terbukti menyebabkan gangguan folikulogenesis (Marhaeni, 2009). Stres oksidatif yang disebabkan oleh rokok menyebabkan malfungsi molekul-molekul dan organel-organel penting dari sel seperti DNA, lipid, protein dan mitokondria (Paszkowski et al., 2002). Mitokondria yang mengalami kegagalan mekanisme
5
perbaikan diri, akan memicu terjadinya proses autofagi sel-sel granulosa pada folikel. Hal ini mengakibatkan jumlah folikel ovarium berkurang dan pada akhirnya menghambat proses folikulogenesis (Gannon, 2013). Keseimbangan antara SOR dan antioksidan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya stres oksidatif agar tidak terjadi gangguan folikulogenesis (Gupta et al., 2011). Berbagai jenis antioksidan seperti glutation (GSH), melatonin, vitamin C, vitamin E, -karoten, koenzim Q10, likopen, flavonoid, isoflavon, antosianin, asam lipoat/alpha lipoic acid (ALA) serta substansi lainnya, dapat diperoleh dari makanan maupun suplemen (Winarsi, 2007, Hamid et al., 2010). Sejak tahun 1980, para ahli menemukan ALA sebagai antioksidan yang sangat kuat (Cherniack, 2006). ALA dapat berfungsi sebagai antioksidan dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi serta memiliki beberapa kelebihan antara lain; menetralisir SOR, meregenerasi antioksidan endogen seperti glutation, koenzim Q10, vitamin C dan vitamin E, memusnahkan ion-ion logam berbahaya, memperbaiki protein yang teroksidasi, berperan dalam regulasi transkripsi gen, dan menghambat aktivasi nuclear factor kappa B (NF-B) (Golbidi et al., 2011). Selain itu ALA 6 juga bersifat hidrofilik dan lipofilik (molekul amfipatik) yang membuatnya dapat mencapai tiap bagian sel termasuk mitokondria, sehingga ALA dapat melindungi sel dari kerusakan oleh SOR (Goraca et al., 2011). Kemampuannya sebagai antioksidan yang poten, menjadikan ALA banyak digunakan sebagai suplemen antioksidan, selain itu ALA juga telah digunakan
sebagai obat untuk penyakit diabetes dan polineuropati diabetik (Ziegler, 2006; Goraca et al., 2011). Suplemen ALA tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul mulai dari dosis 50 mg, 100 mg, 250 mg, 300 mg sampai 600 mg, serta bentuk injeksi 600 mg per ampul (Wanwimoruk et al., 2013). ALA sebagai suplemen antioksidan dapat diberikan mulai dari dosis 50 – 600 mg per hari, disesuaikan dengan kondisi kesehatan tiap orang (Goraca et al., 2011). Dosis rekomendasi ALA untuk terapi diabetes dan polineuropati diabetik adalah 1-3 kali 600 mg per hari (Cherniack, 2006; Smith, 2010; Golbidi et al., 2011). Berbagai penelitian in vivo maupun in vitro telah dilakukan untuk menguji efek proteksi dan kualitas ALA sebagai antioksidan pada penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stres oksidatif dan proses penuaan (Bilska and Wlodek, 2005; Tabassum et al., 2010; Atukeren et al., 2010). Penelitian in vitro pada kultur folikel pre antral dari ovarium tikus, membuktikan ALA dapat memperbaiki perkembangan folikel yang disertai penurunan kadar SOR dan peningkatan kapasitas total antioksidan (Talebi et al, 2012). Berdasarkan data di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai efek pemberian suplemen ALA terhadap gangguan folikulogenesis pada mencit betina yang dipapar asap rokok. Paparan asap rokok bertujuan untuk menciptakan keadaan stres oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan folikulogenesis. Gangguan folikulogenesis akan menyebabkan penurunan kadar hormon estrogen, progesteron dan testosteron sehingga mempercepat proses penuaan pada perempuan. Gangguan
7
folikulogenesis dinilai dari jumlah folikel sekunder, folikel de Graaf dan folikel atresia sesuai dengan kemudahan identifikasi mikroskopiknya.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dibuat rumusan masalah : 1. Apakah pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 2. Apakah pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 3. Apakah pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 4. Apakah pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 5. Apakah pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok?
8
6. Apakah pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 7. Apakah pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 8. Apakah pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok? 9. Apakah pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pemberian ALA menghambat gangguan folikulogenesis pada mencit betina yang dipapar asap rokok. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok.
9
2. Untuk mengetahui pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 3. Untuk mengetahui pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 4. Untuk mengetahui pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 5. Untuk mengetahui pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 6. Untuk mengetahui pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 7. Untuk mengetahui pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 8. Untuk mengetahui pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok.
10
9. Untuk mengetahui pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek ALA dalam menghambat gangguan folikulogenesis akibat paparan asap rokok. 1.4.2. Manfaat Aplikasi Hasil penelitian dapat diaplikasikan sesudah melewati tahapan clinical trial, namun perlu pertimbangan etika untuk melibatkan manusia dalam penelitian ini.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penuaan (Aging) Penuaan merupakan keadaan dimana tubuh secara bertahap kehilangan kemampuan memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya karena terjadi kehilangan fungsi jaringan dan koordinasi sel-sel secara progresif. Penurunan fungsi normal tubuh ini berbeda-beda pada tiap-tiap individu. Awal penuaan terdeteksi dari penurunan kemampuan tubuh untuk mempertahankan homeostasis dalam keadaan stres (Zjačić-Rotkvić et al., 2010). Penuaan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apotosis, sistem kekebalan yang menurun, dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007). 2.1.1. Teori Proses Penuaan Teori proses penuaan dibagi atas dua kelompok yaitu, teori wear and tear dan teori program. a).
Teori Wear and Tear Teori ini menyatakan bahwa tubuh dan selnya menjadi rusak karena sering
digunakan dan disalahgunakan. Teori wear and tear meliputi:
12
1.
Teori
Kerusakan Kerusakan
DNA 11
DNA dapat berupa strand breaks,
covalent modification maupun chromosomal rearrangements. Penuaan terjadi saat terjadi ketidakseimbangan antara kerusakan DNA dan mekanisme perbaikan DNA (Pangkahila, 2007). 2.
Teori Glikosilasi Glikosilasi adalah reaksi non enzimatik antara senyawa glukosa dengan senyawa protein, menghasilkan glikotoksin atau Advanced Glycation End Product (AGEs), yang merupakan radikal bebas yang akan merusak jaringan tubuh. Proses ini semakin sering terjadi saat kita menua dan terjadi tanpa bantuan enzim spesifik, yang menyebabkan glikosilasi menjadi sangat berbahaya (Roizen and Oz, 2009).
3.
Teori Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan. Radikal bebas merupakan senyawa yang reaktif karena bersifat menyerang elektron di sekitarnya. Radikal bebas terbentuk dari proses-proses metabolisme dalam tubuh. Radikal bebas akan menyebabkan kerusakan fungsi seluler (Pangkahila, 2007).
b).
Teori Program
13 Teori ini menganggap bahwa tubuh manusia sejak proses konsepsi sampai pada kematian telah diatur oleh jam biologis. 1.
Teori Terbatasnya Replikasi Sel Pada ujung pita kromosom terdapat struktur khusus yang disebut telomer. Setiap terjadi pembelahan sel, terjadi pemendekan telomer. Setelah sejumlah pembelahan sel, telomer telah dipakai dan pembelahan sel berhenti. Menurut
Hayflick, mekanisme telomere
tersebut menentukan rentang usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2007). 2.
Proses Imun Interleukin merupakan zat yang berperan penting dalam sistem imun tubuh. Semakin bertambahnya usia, kemampuan sel-sel T untuk memproduksi interleukin semakin berkurang. Akibatnya tubuh lebih mudah diserang penyakit, yang berujung pada kematian (Pangkahila, 2007).
3.
Teori Neuroendrokin Hormon berperan mengendalikan fungsi organ-organ tubuh, melalui poros hipotalamus – hipofise - organ. Penuaan mengganggu kadar hormon, sebaliknya gangguan hormon yang terjadi saat seseorang belum menua, akan memunculkan gejala-gejala penuaan (Pangkahila, 2007; Zjačić-Rotkvić et al., 2010).
2.2. Radikal Bebas
2.2.1. Definisi
14
Radikal bebas (free radical) adalah atom atau molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron tidak berpasangan/unpaired electron. Radikal bebas punya kemiripan sifat dengan oksidan, namun keduanya tidak dapat disamakan. Oksidan adalah senyawa yang menarik atau menerima elektron, sedangkan reduktan adalah senyawa yang dapat melepaskan atau memberikan elektron. Radikal bebas merupakan oksidan, namun tidak semua oksidan adalah radikal bebas (Winarsi, 2007). 2.2.2. Sifat Radikal Bebas Reaktivitas radikal bebas sangat tinggi, ditunjukkan oleh sifatnya yang tidak stabil serta mudah menyerang dan menarik elektron di sekitarnya. Oksidan non radikal juga memiliki kemampuan menarik elektron di sekitarnya, namun tidak seagresif radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dari oksidan non radikal sebab reaktivitasnya dapat menghasilkan senyawa radikal baru. Senyawa radikal baru tersebut bila bereaksi dengan molekul lain, juga akan membentuk senyawa radikal baru lagi. Proses ini akan terjadi terus menerus seperti reaksi berantai dan akan berhenti bila diredam oleh senyawa yang bersifat antioksidan (Devasagayam et al., 2004). 2.2.3. Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) Radikal bebas sering disebut sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR). SOR terbentuk secara endogen (metabolisme intrasel dan ekstrasel, proses peradangan) dan
eksogen (polusi, makanan, obat-obatan, radiasi, sinar ultraviolet (UV)), melalui jalur enzimatik maupun metabolik (Winarsi, 2007).
15
Sel-sel menggunakan oksigen dalam proses fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan energi berupa ATP. Proses ini mereduksi 1 molekul oksigen menjadi 2 molekul air, dengan memindahkan 4 elektron. Pemindahan 4 elektron tersebut dapat berlangsung secara kurang sempurna, sehingga terbentuk senyawa oksigen reaktif berupa radikal superoksida (O2-•), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil (•OOH), dan radikal hidroksil (•OH) (Winarsi, 2007). Berikut uraian beberapa SOR:
1. Radikal Superoksida (O2∙ ) Radikal ini disebut juga anion superoksida. Radikal superoksida dihasilkan dari bagian-bagian sel yang memiliki rantai transport elektron seperti mitokondria, mikrosom, glikosom, peroksisom dan sitosol (Devasagayam et al., 2004). 2. Radikal Peroksil (∙OOH) Radikal ini bersifat sangat reaktif. Berasal dari kerusakan oksidatif pada lemak, protein, gula dan DNA (Devasagayam et al., 2004). 3. Radikal Hidrogen Peroksida (H2O 2) Hidrogen peroksida (H2O2) terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase yang mengkatalisis reaksi dalam retikulo endoplasmik (mikrosom) dan peroksisom. Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidan yang sangat kuat dan dapat mengoksidasi berbagai senyawa dalam sel, seperti glutation (Winarsi, 2007).
Hidrogen peroksida juga dapat membentuk radikal bebas bila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe++ dan Cu+ dalam reaksi Fenton. Selain itu radikal ini mampu membentuk ion hipoklorit (ClO-) melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim
16
mieloperoksidase dalam sel-sel inflamasi, seperti granulosit, monosit, dan makrofag (Devasagayam et al., 2004). 4. Radikal Hidroksil (∙OH) Radikal hiroksil merupakan senyawa yang paling reaktif dan berbahaya, karena bukan merupakan produk primer proses biologis, melainkan berasal dari H2O2 dan O2∙- . Radikal ini terbentuk saat kadar ion logam berlebihan dalam tubuh (Devasagayam et al., 2004). 5. Singlet Oksigen (1O2) Singlet oksigen merupakan bentuk oksigen yang memiliki reaktivitas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen bentuk ground state. Senyawa ini terbentuk melalui reaksi yang dikatalisis oleh enzim monooksigenase, enzim prostaglandin endoperoksida sintetase dan enzim mieloperoksidase (Winarsi, 2007). 2.2.4. Dampak SOR Dampak Negatif SOR SOR merusak sel, komponen sel, dan jaringan, yang berdampak pada timbulnya penyakit autoimun, penyakit degeneratif, hingga kanker. Radikal hidroksil merupakan SOR yang paling berbahaya. Radikal hidroksil merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel, yaitu:
a. Asam lemak tak jenuh ganda seperti asam linoleat, linolenat dan arakidonat yang menyusun membran sel. Radikal hidroksil
17
menyebabkan reaksi rantai peroksidasi lipid. b. DNA, berupa hidroksilasi basa timin dan sitosin, pembukaan inti purin dan pirimidin serta pemutusan rantai fosfodiester DNA. DNA mitokondria (mtDNA) merupakan DNA yang paling sering diserang. c. Protein, yang berperan penting sebagai enzim, reseptor, antibodi dan penyusun matriks serta sitoskeleton. Ikatan Sulf-Hidril (SH) merupakan asam amino yang paling sering diserang karena sifat ikatannya yang lemah (Winarsi, 2007). Dampak Positif SOR SOR dalam tubuh, tidak selamanya merugikan. Pada keadaan tertentu, SOR dihasilkan oleh granulosit, makrofag dan monosit untuk membunuh bakteri atau organisme patogen (Gannon, 2013). 2.3. Antioksidan 2.3.1. Definisi Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron’s donor) atau reduktan. Antioksidan akan memberikan atau mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa oksidan, sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat. Antioksidan dapat mencegah kerusakan sel yang disebabkan radikal bebas (Winarsi, 2007). 2.3.2. Klasifikasi antioksidan
Secara umum antioksidan dibagi atas antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis. 1.
18
Antioksidan enzimatis yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh, misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Antioksidan ini dapat memutuskan reaksi berantai polimerisasi (chain breaking antioxidant) sehingga terbentuk produk yang lebih stabil. Enzim katalase dan glutation peroksidase mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen. SOD mengkatalisis reaksi dismutase anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (Devasagayam et al., 2004; Hamid et al., 2010).
2.
Antioksidan non enzimatis yang berperan dalam sistem pertahanan preventif tubuh. Antioksidan ini menangkap radikal bebas lalu mencegah amplifikasi reaktivitasnya melalui pemotongan reaksi oksidasi berantai radikal bebas dengan komponen seluler, sehingga antioksidan ini disebut juga free radical scavenger. Antioksidan ini meliputi : a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin. b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme (Winarsi, 2007; Hamid et al., 2010).
2.4. Stres Oksidatif Tubuh secara fisiologis menghasilkan antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas. Antioksidan ini disebut juga antioksidan endogen. Apabila jumlah radikal bebas melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, maka radikal bebas akan
merusak sel-sel terutama sel-sel biomolekuler. Keadaan ini disebut sebagai stres oksidatif (Devasagayam et al., 2004).
19
2.5. Folikulogenesis Ovarium adalah organ yang selain berfungsi untuk menghasilkan oosit matang atau ovum, juga menghasilkan hormon-hormon seks pada perempuan. Dalam ovarium terdapat folikel-folikel, yang merupakan unit fungsional dasar dari ovarium, dimana dalam tiap folikel terdapat satu oosit. Folikel merupakan sel-sel epitel gepeng (dari korteks ovarium) yang mengelilingi oosit. Folikulogenesis adalah pertumbuhan dan perkembangan folikel di korteks ovarium. (Mader, 2004; Gannon, 2013). Sejak berada dalam kandungan, perempuan memiliki sekitar dua juta folikel yang berangsur-angsur berkurang jumlahnya. Semua folikel di korteks ovarium berada dalam fase folikel primodial sebelum perempuan mencapai masa pubertas. Seluruh folikel primordial dibentuk pada saat fetus berumur 6-9 bulan. Folikel primordial mengandung satu oosit primer berukuran kecil (diameter25m) dikelilingi satu lapis sel granulosa gepeng atau skuamosa dan lamina basalis. Oosit primer berada dalam tahap profase dan tidak menyelesaikan pembelahan meiosis pertamanya sebelum mencapai masa pubertas. Jumlah folikel primordial dalam ovarium perempuan berhubungan dengan masa reproduksi wanita atau ovarian reserve (OR). Sebelum masa pubertas, tersisa sekitar 300.000-400.000 folikel pada korteks ovarium dan
hanya sekitar 400 folikel yang matang karena perempuan hanya memproduksi satu telur setiap bulan selama masa reproduktifnya (Sadler, 2002; Anwar, 2005).
20
Folikulogenesis secara garis besar terbagi dalam dua fase yaitu fase preantral dan fase antral. Fase preantral atau gonadotropin-independent phase ditandai dengan pertumbuhan dan diferensiasi oosit yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan melalui sistem autokrin/parakrin. Terdiri atas tiga stadium utama yaitu, stadium folikel primodial, primer dan sekunder. Fase antral atau fase gonadotropin-dependent ditandai dengan peningkatan pesat dari ukuran folikel itu sendiri (sampai kira-kira 25 mm). Fase antral diatur oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) serta faktor-faktor pertumbuhan lainnya. Faktor-faktor pertumbuhan ini akan merangsang proliferasi sel dan mempengaruhi aktivitas gonadotropin (Anwar, 2005; Gannon, 2013). Folikulogenesis dimulai dengan diambilnya folikel primordial ke dalam suatu kumpulan yang berisi folikel-folikel yang sedang tumbuh berkembang dan dapat diakhiri dengan ovulasi maupun atresia. Folikulogenesis pada perempuan merupakan proses yang sangat panjang, butuh waktu kira-kira 1 tahun bagi folikel primordial untuk tumbuh dan berkembang mencapai stadium ovulasi (Mader, 2002). Folikulogenesis terbagi atas tahap-tahap sebagai berikut : 2.5.1. Folikel primer Folikulogenesis dimulai pada tahap ini, dimana oosit juga mulai bertumbuh. Folikel primer terdiri dari oosit yang dikelilingi oleh satu lapis (unilaminer) sel granulosa skuamosa, atau lebih dari satu lapis (multilaminer) sel granulosa kuboidal.
Sel granulosa terletak di atas suatu membran basalis yang memisahkannya dari
21
sel stroma di sekelilingnya yang membentuk teka folikuli. Sel-sel granulosit dan oosit akan mengeluarkan lapisan glikoprotein yang mengelilingi oosit, yang disebut zona pellusida. Proses utama yang terjadi pada folikel primer yaitu ekspresi reseptor FSH dan pertumbuhan serta diferensiasi oosit (Bulun and Adhasi, 2002; Anwar, 2005). 2.5.2. Folikel sekunder Perubahan utama yang terjadi selama perkembangan folikel sekunder adalah peningkatan jumlah sel granulosa dan penambahan sel teka. Pada tahap ini juga terjadi transisi sel granulosa dari epitel selapis kuboid menjadi epitel berlapis kolumnar. Karena folikel terus berkembang, sel-sel teka folikuli tersusun menjadi satu lapisan dalam sel sekretorik, teka interna dan satu lapisan luar jaringan ikat yang mengandung sel-sel mirip fibroblas, teka eksterna. Perkembangan sel teka menyebabkan kapiler-kapiler memasuki teka interna sehingga folikel mendapat suplai darah sendiri, namun lapisan sel granulosa tetap avaskular. Sel-sel granulosa mengaktifkan dan meningkatkan jumlah reseptor follicle stimulating hormone (FSH), estrogen dan androgen. Proses aktif pengaturan autokrin/parakrin dan faktor-faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh oosit akan menghasilkan folikel sekunder yang sempurna (Anwar, 2005; Wiknjosastro, 2005). 2.5.3. Folikel tersier / fase antral dini (early antral phase) Pembentukan ruang (kavitas) atau antrum dalam folikel, menandai fase antral dini. Antrum mengandung cairan yang disebut cairan folikuler atau liquor folliculi
yang berasal dari eksudat plasma. Cairan folikuler merupakan hasil sekresi dari oosit dan sel granulosa, yang mengandung steroid, elektrolit dan proteoglikan. Residu sel granulosa dan molekul-molekul regulator harus melewati cairan ini untuk keluar
22
dari membran folikel. FSH merangsang sel-sel granulosa berdiferensiasi membentuk membran periantral, kumulus ooforus dan lapisan korona radiata. Sel granulosa menghasilkan aktivin dan meningkatkan ekspresi p450 aromatase akibat stimulus FSH. P450 aromatase berperan dalam konversi androgen menjadi estrogen. Aktivin akan meningkatkan ekspresi gen reseptor FSH di sel granulosa dan mempercepat folikulogenesis. Sel granulosa juga menghasilkan inhibitin yang berperan dalam umpan balik negatif untuk menghambat hipofise mensekresi FSH (Anwar, 2005; Wiknjosastro, 2005). FSH berperan penting dalam proses mitosis sel granulosa pada fase ini. Kekurangan FSH pada fase ini akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan folikel sehingga folikel menjadi atresia. Dalam sel teka interna terbentuk sel-sel teka interstisial. FSH dan estrogen menstimulus sel-sel teka interstisial agar meningkatkan jumlah reseptor LH dan meningkatkan aktivitas enzim-enzim steroidogenesis untuk sintesis androstenedion dan testosteron. Androstenedion mengalami aromatisasi menjadi estrogen, dengan bantuan enzim p450. Estrogen akan meningkatkan jumlah reseptor FSH pada sel granulosa sehingga sel tersebut berproliferasi (Gartner and Hiatt, 2000; Wiknjosastro, 2005). 2.5.4. Folikel antral Tahap ini ditandai pertumbuhan folikel yang sangat cepat karena pengaruh
gonadotropin. FSH merangsang sel-sel teka interna terus berproliferasi dan mensekresi androstenedion, sehingga estrogen yang dihasilkan semakin banyak. Peningkatan estrogen menyebabkan mekanisme umpan balik negatif ke hipofise
23
untuk menghambat sekresi FSH. Puncak FSH merangsang munculnya reseptor LH yang adekuat di sel-sel granulosa untuk terjadinya luteinisasi (Wiknjosastro, 2005). 2.5.5. Folikel de Graaf Pada tahap ini terjadi seleksi satu folikel dominan yang akan berovulasi. Penurunan kadar FSH, menyebabkan folikel-folikel antral yang lebih kecil mengalami atresia, sedangkan folikel dominan terus bertumbuh. Penurunan FSH juga menyebabkan lonjakan LH. LH merangsang sintesis progesteron dalam sel-sel granulosa. FSH, LH dan progesteron merangsang enzim-enzim proteolitik untuk menghancurkan kolagen di dinding folikel sehingga mudah ruptur. Prostaglandin akan menyebabkan otot polos ovarium berkontraksi untuk membantu pelepasan ovum (Wiknjosastro, 2005). Setelah ovulasi, sel-sel stratum granulosa, jaringan ikat dan pembuluh darah kecil di ovarium mulai berproliferasi. Sel-sel granulosa membesar dan mengandung lutein dengan banyak kapiler dan jaringan ikat sehingga disebut korpus luteum. Korpus luteum mensekresi progesteron dan akan dipertahankan mulai dari fertilisasi sampai terbentuknya plasenta. Apabila tidak terjadi fertilisasi, sel-sel korpus luteum mengalami atropi sehingga terbentuk korpus albikans (Wiknjosastro, 2005). 2.6. Rokok
Rokok merupakan gulungan kertas berisi cacahan daun tembakau kering, berukuran panjang 70-120 mm dan diameter 10 mm. Rokok dikonsumsi
24
dengan cara membakar salah satu ujung rokok dan mengisap asapnya melalui ujung lainnya. Rokok kretek adalah rokok yang diberi bahan tambahan berupa cengkeh. Rokok putih adalah rokok tanpa tambahan cengkeh. Kadar nikotin dan tar juga berbeda-beda dalam rokok ultramild, mild dan light (Susanna et al., 2003; Marhaeni, 2009). Rokok mungkin hanya sebuah gulungan sederhana dengan harga jual yang terjangkau oleh semua kalangan, namun berdaya bunuh tinggi. Rokok masih memegang peranan penting sebagai penyebab kematian di dunia. Sejumlah masalah kesehatan masih sering dilaporkan terjadi karena asap rokok. WHO melaporkan pada tahun 2008 lebih dari 5 juta orang meninggal akibat penyakit yang disebabkan rokok. Lembaga Demografi FEUI tahun 2010 melaporkan kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 427.948 orang per tahun, 1172 orang per hari (Ahsan et al., 2009; Arief, 2010). Ketergantungan pada rokok telah lama menjadi epidemi global, namun kesadaran untuk berhenti merokok masih sulit dilakukan. Usia perokok cenderung menurun, sekarang banyak dijumpai anak SD yang merokok. Jumlah perokok di negara-negara berkembang semakin meningkat, sementara di negara-negara maju malah menurun. WHO pada tahun 2000 melaporkan jumlah perokok meningkat 2.1% per tahun di negara berkembang, sedangkan di negara maju menurun sekitar 1.1% per tahun. Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara pengkonsumsi rokok
terbesar di dunia setelah Cina dan India, dengan persentase 28% per penduduk atau sekitar 65 juta perokok. Data Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI tahun 2009, jumlah perokok laki-laki di
25
Indonesia sebanyak 65,9% dan perempuan sebanyak 4,5%, jumlah tersebut terus naik terutama perokok perempuan. Data Susenas 2004, di Indonesia jumlah perokok pasif perempuan usia >15 tahun yaitu 36,7 juta orang sedangkan perokok pasif perempuan semua umur yaitu 65 juta orang (66%) (Ahsan et al., 2009; Adzilah, 2013). Seiring perkembangan jaman, perempuan kini mendapat kesetaraan hak dan kebebasan untuk memilih. Hal ini menjadi peluang bagi industri tembakau untuk membidik perempuan sebagai konsumen baru mereka, bahkan pada tahun 1920-an industri tembakau mulai memproduksi rokok khusus perempuan. Iming-iming palsu akan kelangsingan, modernitas, emansipasi, kecanggihan, dan daya tarik seksual, menjadikan rokok khusus perempuan laku di pasaran. Saat ini sekitar 250 juta perempuan di dunia adalah perokok harian, sekitar 22% di negara-negara maju dan 9% di negara-negara berkembang (Adzilah, 2013). Lingkungan asap rokok bukan saja menyebabkan gangguan kesehatan pada perokok aktif, namun juga pada perokok pasif. Merokok menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, mulai dari kanker, gangguan pembuluh darah, penyakit jantung, dan gangguan pada organ-organ tubuh lainnya termasuk organ reproduksi (Ahsan et al., 2009). 2.6.1 Kandungan Kimia Berbahaya dalam Asap Rokok
Asap rokok merupakan kombinasi proses destilasi dan proses pirolisa. Proses destilasi merupakan reaksi pembakaran yang terjadi pada temperatur tinggi, >800oC. Proses ini berlangsung pada ujung atau permukaan rokok yang berkontak
26
dengan udara. Proses pirolisa merupakan reaksi pemecahan struktur kimia rokok menjadi senyawa kimia lainnya akibat pemanasan dan ketiadaan oksigen. Reaksi ini berlangsung pada suhu < 800oC dan menghasilkan ribuan senyawa kimia yang beracun dan dapat berdifusi ke dalam darah (Ghosh and Ionita, 2007). Pembakaran sebatang rokok akan menghasilkan sekitar 4.000 senyawa kimia dan 69 di antaranya bersifat karsinogenik, seperti nikotin, tar, benzo(a)pyrene (BAP), kadmium, nitrogen oxides, hidrogen sianida, amonia, akrolein, benzene, etanol dan lain-lain (Fowles and Bates, 2000). Beberapa senyawa kimia berbahaya dalam rokok, seperti : 1. Tar Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket. Tar berasal dari pembakaran tembakau dan tanaman lainnya dalam rokok. Kadar tar dalam rokok antara 0.5 – 35 mg/ batang. Tar menyebabkan gigi dan gusi perokok berwarna kehitaman, juga mengurangi sensitifitas indera pengecap. Tar bersifat karsinogenik, sehingga dapat merusak saluran napas dan paru-paru (Fowles and Bates, 2000). 2. Nikotin Nikotin merupakan alkaloid parasimpatetik yang terkandung dalam daun tembakau. Nikotin yang masuk dalam peredaran darah, akan melewati sawar darah
otak dan menimbulkan efek euforia dan relaksasi. Nikotin juga merangsang hormon adrenalin yang memacu kerja jantung sehingga terjadi peningkatan tekanan
27
darah. Kandungan nikotin dalam rokok mulai dari 0.5 sampai 3 nanogram, dan semuanya diserap ke dalam darah, jadi tiap 1 ml darah perokok, terdapat 40-50 nanogram nikotin. Hasil pembusukan panas dari nikotin seperti dibensakridin, dibensokarbasol, dan nitrosamine bersifat karsinogenik (Fowles and Bates, 2000). 3. N- nitrosamina Pembakaran bahan-bahan organik dalam rokok akan menyebabkan nitrosisasi amina sehingga terbentuk N - nitrosamina. Asap rokok mengandung 3 jenis Nnitrosamina, yaitu Volatile N- nitrosamina (VNA), Non Volatile N-nitrosamina dan Tobacco Specific N- nitrosamina. VNA akan bertahan dalam sistem pernapasan saat asap rokok terhirup oleh kita. Tobacco Specific N-nitrosamina (TSNA) terbagi atas empat senyawa, N-nitrosoanabasine (NAB), N-nitrosoanabatine (NAT), 4(methylnitrosamin)-1-(3-pyridil)-1 butanone (NNK) dan Nitrosonornicotine (NNN). Nitrosamin non spesifik yang terbentuk dalam asap rokok meliputi, Nnitrosodimethylamine
(NDMA),
N-nitrosodiethylamine
(NDEA),
N-
nitrosoethylmethylamine, N-nitrosodiethanolamine, N-nitrosopyrolidine (NP) dan Nnitroso-n-butylamine (NBA). Nitrosamin dapat menyebabkan mutasi DNA dan bersifat karsinogenik (Fowles and Bates, 2000; Rodgman and Perfetti, 2009). 4. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) PAH disebut juga Fused Ring System, merupakan senyawa hidrokarbon aromatik yang memiliki cincin. Asap rokok mengandung beberapa PAH yaitu,
Benzo(a)Pyrene (BaP), Dibenz(a,h)anthracene, dan Benz(a)anthracene. PAH bersifat reaktif dan cenderung membentuk epoksida yang metabolitnya bersifat
28
genotoksik sehingga dapat menyebabkan tumor. PAH dikategorikan sebagai karsinogen kelompok I oleh IACR (International Agency for research on Cancer). PAH juga dapat berasal dari pembakaran arang, pembakaran sampah rumah tangga dan asap kendaraan bermotor (Fowles and Bates, 2000). 5. Nitrogen Oxides (NO) NO terbentuk saat proses pembakaran materi yang mengandung Nitrogen dalam rokok, pada suhu tinggi. Asap rokok mengandung sekitar 100-900 g NO. NO merupakan gas yang tidak berwarna, bila terhirup dalam jumlah banyak dapat menghilangkan rasa nyeri. NO dahulu digunakan sebagai obat bius saat melakukan operasi. NO menyebabkan perokok rentan terhadap infeksi saluran napas, sehingga mudah terkena iritasi hidung dan tenggorokan, juga bronkitis.
NO dapat
menghambat transfer oksigen dalam darah dan bersifat karsinogenik dalam jumlah yang berlebihan (Rodgman and Perfetti, 2009). 6. Kadmium Kadmium merupakan logam berat yang sering digunakan untuk mencegah karatan pada industri kendaraan bermotor, baterai, dan kuningan. Satu batang rokok mengandung 1-2 g kadmium dan sekitar 10% dari jumlah tersebut yang terhirup oleh perokok. Kadmium dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh seperti ginjal dan paru-paru, juga merusak tulang (Rodgman and Perfetti, 2009).
7. Amonia Amonia merupakan senyawa yang terbentuk dari nitrogen dan hidrogen. Amonia pada suhu ruang, berbentuk gas yang tidak berwarna serta berbau tajam yang khas. Amonia menyebabkan peningkatan akut pH, sehingga menghambat
29
fosforilasi oksidatif dan memicu glikolisis anaerob. Amonia yang terhirup dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti kerusakan paru-paru hingga penurunan kesadaran (Fowles and Bates, 2000; Fiddian-Green, 2004). 8. Hidrogen Sianida (HCN) HCN merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak memiliki rasa, sangat ringan, dan mudah terbakar. HCN sangat beracun dan mudah merusak saluran pernapasan dan kardiovaskular. Sifat-sifat inilah yang membuat gas ini digunakan sebagai senjata genosida pada perang dunia kedua. HCN merupakan senyawa kimia yang digunakan dalam industri tekstil, kertas dan plastik, juga digunakan sebagai pestisida (Fowles and Bates, 2000). 9. Formaldehida atau Formalin Formaldehida merupakan senyawa tak berwarna, mudah terbakar dan berbau tajam. Formaldehida digunakan dalam bahan bangunan, campuran lem, pengeras kertas, pengawet kosmetika, pengeras kuku, campuran parfum dan pengawet mayat. Formaldehida juga digunakan sebagai insektisida, fungisida dan desinfektan. Formaldehida berbahaya bagi tubuh karena dapat mengganggu ekspresi genetik yang normal dan bersifat karsinogenik (Fowles and Bates, 2000). 10. Fenol
Fenol merupakan zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Industri menggunakan fenol dalam pembuatan obat, germisida dan desinfektan. Fenol berbahaya karena dapat terikat pada protein sehingga menghalangi aktivitas enzim. Fenol dapat merusak paru-paru dan sistem saraf pusat (Fowles and Bates, 2000).
30
11. Aseton Aseton merupakan zat yang tidak berwarna dan berbentuk cair pada suhu ruang. Umumnya aseton digunakan sebagai pembersih cat kuku dan pembersih lem super. Aseton yang terhirup dapat menyebabkan iritasi paru-paru. Aseton dalama dosis tinggi dapat menimbulkan sakit kepala, pusing, merusak hati dan ginjal (Rodgman and Perfetti, 2009). 12. Hidrogen Sulfida (H2S) Hidrogen sulfida merupakan adalah gas beracun, tidak berwarna, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. Zat ini dapat menghalangi oksidasi enzim. Paparan oleh gas H2S dapat menyebabkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan, juga dapat memicu serangan asma (Rodgman and Perfetti, 2009). 13. Piridin Piridin merupakan cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini digunakan sebagai bahan untuk membuat pelarut dan pestisida. Piridin dapat menyebabkan iritasi mata dan saluran napas atas, juga meningkatkan produksi platelet darah. Paparan piridin dalam waktu lama dapat menimbulkan gejala mual, sakit kepala, insomnia, gelisah dan rasa tidak nyaman dalam perut (Rodgman and Perfetti, 2009). 14. Metil Klorida
Gas metil klorida terbentuk dari pembakaran bahan organik dalam rokok. Pembakaran kayu dan batu bara juga dapat menghasilkan gas ini. Jumlah metil klorida yang berlebihan dalam tubuh, dapat menjadikannya bersifat karsinogenik. (Fowles and Bates, 2000).
31
15. Metanol Metanol disebut juga metil alkohol atau spiritus. Pada keadaan atmosfer berbentuk cairan ringan yang mudah menguap dan terbakar, tidak berwarna, beracun dan berbau khas. Metanol banyak digunakan sebagai bahan kimia dalam industri plastik, cat, tekstil dan peledak, juga digunakan sebagai bahan bakar roket. Asap rokok merupakan penyumbang terbanyak metanol dalam bentuk gas. Paparan terhadap metanol dalam waktu singkat akan menimbulkan iritasi mata, pusing dan sakit kepala. Paparan dalam waktu lama dapat menganggu sistem saraf pusat (Fowles and Bates, 2000). 16. Karbon Monooksida (CO) CO merupakan gas tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, berasal dari pembakaran senyawa karbon yang tidak sempurna. Sekitar 3-6 % dalam asap rokok, mengandung gas CO. Gas CO yang terhirup dan masuk ke paru-paru, dengan cepat akan masuk ke dalam aliran darah. CO terikat pada hemoglobin dalam darah, dan kemampuannya mengikat hemoglobin 200 kali lebih kuat dibanding oksigen. Akibatnya sel-sel dalam tubuh menjadi kekurangan oksigen, yang berdampak pada kerusakan organ dan jaringan tubuh (Fowles and Bates, 2000).
32
Gambar 2.1 Kandungan Kimia dalam Rokok (Sumber: http://teknikdiet.com/wp-
content/uploads/2013/11/02-ROKOK-KETERANGAN.jpg) 2.6.2. Radikal Bebas dalam Asap Rokok Senyawa-senyawa kimia dalam rokok akan menghasilkan berbagai radikal bebas yang pada akhirnya memicu terjadinya stres oksidatif dalam tubuh. Tar menghasilkan radikal superoksida (O2-•), radikal hidrogen peroksida (H2O2), dan
radikal hidroksil (•OH). Logam kadmium memicu terjadinya reaksi Fenton yang menghasilkan radikal hidroksil. Oksidasi senyawa PAH menghasilkan radikal superoksida. Oksidasi NO menghasilkan radikal senyawa nitrogen reaktif (SNR) (Wooten and Chouchane, 2006; Rodgman and Perfetti, 2009; Valavanidis et al., 2009). Radikal-radikal bebas dari asap rokok juga dapat merusak vitamin dan
33
antioksidan enzimatis dalam tubuh. Hal ini semakin mempermudah terjadinya stres oksidatif dalam sel. Produk hasil peroksidasi lipid seperti malondialdehid (MDA) dan F2 isoprostan meningkat pada perokok. MDA dan F2 isoprostan merupakan biomarker stres oksidatif (Dietrich et al., 2002; Chavez et al., 2006; Valavanidis et al., 2009; Somwanshi et al., 2013). 2.6.3. Efek Asap Rokok Terhadap Folikulogenesis Radikal bebas yang dihasilkan asap rokok akan masuk dalam peredaran darah, sehingga dapat mengganggu semua sel dan jaringan dalam tubuh, termasuk gangguan folikulogenesis dalam ovarium. Pemaparan asap rokok pada mencit betina selama 7 minggu, terbukti menyebabkan gangguan folikulogenesis (Marhaeni, 2009). Gangguan folikulogenesis dapat menyebabkan penurunan produksi hormon-hormon seks pada perempuan, yang pada akhirnya mempercepat proses penuaan (ZjačićRotkvić et al., 2010). Berbagai penelitian telah membuktikan adanya gangguan folikulogenesis yang disebabkan oleh senyawa-senyawa kimia dalam asap rokok, seperti :
Nikotin mengurangi daya hidup sel-sel teka dan granulosa pada folikel bison (Sanders et al., 2002). Nikotin mengurangi perkembangan kompleks kumulus oosit pada folikel babi dan bison (Vrsanska et al., 2003; Liu et al., 2008). Nikotin menghambat pertumbuhan folikel pada ovarium marmut (Bordel et al., 2006). Kadmium, pada penelitian Pasky et al. di tahun 1997, diketahui menyebabkan retraksi sitoplasma pada media kultur sel-sel granulosa folikel manusia
34
(Dechanet et al., 2011). Kadmium mengurangi pertumbuhan folikel dan menambah jumlah oosit yang atresia pada ovarium katak Afrika (Lienesch et al., 2000). Percobaan in vitro pada sel-sel granulosa folikel tikus membuktikan kadmium juga menghambat aktivitas SOD (Nampoothiri et al., 2007). Benzo(a)pyrene (BaP) dan metabolit-metabolitnya mengurangi jumlah folikel di semua fase dan mengurangi berat ovarium mencit pada penelitian oleh Mattison et al., di tahun1989 (Dechanet et al., 2011). BaP menghambat pertumbuhan folikel tikus pada media kultur (Neal et al., 2007). Penelitian pada kompleks kumulus oosit manusia, diketahui bahwa BaP menghambat pertumbuhan folikel dan mengurangi sintesis estradiol (Neal et al., 2007). BaP juga menurunkan jumlah folikel pada media kultur ovarium mencit (Mulligan Tuttle et al., 2009). 2.6.4. Mekanisme Gangguan Folikulogenesis Akibat Asap Rokok
Mitokondria merupakan organel sel yang penting dalam menjaga kehidupan sel karena berfungsi sebagai penghasil energi/ATP bagi sel melalui proses fosforilasi oksidatif . Mitokondria juga berperan dalam proses metabolisme seperti siklus Krebs dan oksidasi asam lemak. Proses metabolisme dalam mitokondria akan menghasilkan SOR, namun mitokondria dapat menghasilkan antioksidan untuk menetralisir SOR. Mitokondria juga dapat melakukan proses fusion dan fission sebagai bentuk mekanisme perbaikan diri (Westermann, 2010). Autofagi adalah proses dimana komponen-komponen dalam sitoplasma termasuk makromolekul (protein, glikogen, lipid dan nukleotida) dan organel
35
(mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasma) didegradasi oleh enzim-enzim lisosom (Mizushima and Levine, 2010). Terdapat 3 macam autofagi yaitu makroautofagi, mikroautofagi dan chaperone-mediated autophagy. Autofagi terjadi dalam keadaan sel kekurangan nutrisi, stres oksidatif, hipoksia, maupun terpapar organisme patogen. Autofagi bertujuan untuk mempertahankan homestasis sel dan menjaga kelangsungan hidup sel-sel lainnya yang masih sehat. Selain sebagai mekanisme pertahanan sel, autofagi juga dianggap sebagai suatu mekanisme kematian sel (Kanzawa et al., 2003; Mizushima et al., 2010; Gannon, 2013). Asap rokok mengandung banyak senyawa kimia yang menghasilkan radikalradikal bebas sekaligus merusak antioksidan endogen sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif dapat mengganggu mekanisme perbaikan diri pada mitokondria. Mitokondria yang gagal memperbaiki diri akan memicu proses autofagi yang berkepanjangan. Autofagi yang terjadi terus menerus akan menyebabkan kematian
sel-sel granulosa, dan berdampak pada gangguan folikulogenesis (Valavanidis et al., 2009; Westermann, 2010; Gannon, 2013). 2.7. Alpha - Lipoic Acid (ALA) Alpha Lipoic Acid (ALA) atau 5-(1,2-dithiolan-3-yl) pentanoic acid, juga dikenal dengan sebutan thioctic acid, 6,8-thioctic acid, 6,8-dithioctane acid dan
36
1,2- dithiol-3-valeric acid (Goraca et al., 2011).
Gambar 2.2 Struktur Kimia ALA (sumber: http://themedicalbiochemistrypage.org/images/alpha-lipoicacid.jpg)
Struktur kimia ALA seperti terlihat di gambar, tersusun atas delapan karbon dan dua sulfur, dengan satu pusat chiral dan satu karbon asimetrik, sehingga memungkinkan terbentuknya dua isomer optik, R-ALA dan S-ALA. Bentuk R-ALA dapat disintesis tubuh dan terikat pada protein, sedangkan bentuk S-ALA berasal dari suplemen. Tekanan pada ikatan S-S-C dalam rantai disulfida heterosiklik menyebabkan ALA bersifat sangat reaktif (Cherniak, 2006; Carlson et al., 2007).
Rumus molekul ALA adalah C8H14O2S2 dengan berat molekul 206,33 g/mol. Lipoic acid merupakan molekul kecil yang mengandung dua gugus tiol, dalam bentuk teroksidasi dan tereduksi. Bentuk teroksidasi disebut -lipoic acid (ALA) atau lipoic acid dan bentuk tereduksi disebut Dyhydrolipoic acid (DHLA). Dalam mitokondria, saat terjadi reduksi nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) oleh lipoamide
37
dehidrogenase, ALA juga ikut tereduksi menjadi DHLA (Wollin and Jones, 2003; Singh and Jialal, 2008). ALA pertama kali diisolasi dari organ hati bison oleh Lester Reed et al. pada tahun 1951 dan dianggap sebagai vitamin. Penelitian-penelitian selanjutnya menemukan bahwa ALA bukan vitamin dan selain ditemukan dalam mitokondria hewan, juga ditemukan dalam mitokondria tumbuhan. ALA dalam tubuh dibentuk oleh asam lemak dan sistein. ALA berikatan kovalen dengan gugus -amino lisin dan berfungsi sebagai kofaktor enzim-enzim mitokondria dalam mengkatalisis reaksi dehidrogenase piruvat (dekarboksilasi piruvat menjadi asetil koA), dehidrogenase ketoglutarat (dekarboksilasi -ketoglutarat menjadi suksinil koA), dan dehidrogenase reaksi berantai -ketoacid (Cherniak, 2006; Goraca et al., 2011). 2.7.1. ALA Sebagai Antioksidan ALA selain berfungsi sebagai koenzim, juga dapat menjadi antioksidan. ALA berfungsi sebagai antioksidan baik dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi, sehingga mendapat julukan antioksidan universal. DHLA yang dihasilkan saat ALA tereduksi dalam menetralisir SOR, dapat diubah kembali menjadi ALA. Bahkan
DHLA mempunyai kemampuan antioksidan yang lebih kuat dibanding ALA. ALA secara langsung dapat memusnahkan SOR dan SNR, yang mencakup radikal hidroksil, radikal peroksil, hypoclorous acid (HOCL), oksigen singlet dan peroksinitrit. Hanya hidrogen peroksida yang tidak dapat dinetralisir oleh ALA dan DHLA (Bast and Haenen, 2003; Woolin and Jones, 2003; Goraca et al., 2011).
38
ALA mampu meregenerasi dan memperpanjang masa aktif antioksidan glutation, koenzim Q10, vitamin C dan vitamin E. DHLA mampu meregenerasi vitamin C dan E yang teroksidasi. DHLA mengurangi dehidro-askorbat yang terbentuk saat vitamin C teroksidasi, dengan demikian DHLA juga mengurangi radikal -tokoferol (tokoferol teroksidasi). DHLA juga mampu mengurangi bentuk teroksidasi dari koenzim Q10. ALA dijuluki antioksidannya antioksidan, karena kemampuannya untuk meregenerasi antioksidan lain (Cherniak, 2006; Carlson et al., 2007). ALA dapat menekan respon inflamasi dengan menghambat jalur sinyal molekuler yang teraktivasi oleh sitokin proinflamatori seperti tumor necrosis factor- (TNF-). TNF- mengaktifkan jalur nuclear factor-B (NF-B), yang merupakan mediator respon-respon inflamasi dan pengaktif enzim-enzim gene encodings. Hal ini menjadikan ALA mulai banyak digunakan dalam penelitian anti kanker (Cherniak, 2006; Goraca et al., 2011). Sebagai contoh, pada penelitian in vitro, dimana sel normal mencit dirangsang menjadi sel kanker dengan pemberian BaP, diketahui
pemberian ALA dapat mencegah sel kanker tersebut menjadi invasif (Bernasconi et al., 2002). Selain menetralisir radikal bebas, ALA juga dapat mengikat dan menonaktifkan logam berat seperti besi bebas (free iron), kadmium, magnesium, tembaga, merkuri, zink, nikel, kobalt, arsenik, mangan, dan timbal. Baik ALA maupun DHLA, secara bersamaan bersifat hidrofilik dan lipofilik (amfipatik), yang membuatnya dapat mencapai tiap bagian sel termasuk mitokondria. Banyaknya kemampuan ALA sebagai antioksidan, menjadikan ALA dianggap sebagai antioksidan poten (Cherniak, 2006; Hajoway, 2010; Goraca et al., 2011).
39
Gambar 2.3 Aktivitas Antioksidan ALA (Sumber: www.openi.nlm.nih.gov-487-488)
2.7.2. Suplemen Antioksidan ALA ALA endogen dihasilkan dalam organ hati dan jaringan lainnya dalam tubuh. ALA eksogen diperoleh dari diet daging merah, jantung, hati dan ginjal hewan serta sayur-sayuran seperti bayam, brokoli, tomat, kentang, kacang dan beras. Namun ALA yang
diperoleh
secara
alamiah
jumlahnya
kurang
optimal
untuk
fungsi
antioksidannya. Asupan suplemen ALA dibutuhkan untuk mendapat efek ALA
40
sebagai antioksidan (Goraca et al.. 2011). Suplemen ALA merupakan bahan serbuk kristal berwarna kekuningan yang larut dalam etanol, natrium klorida maupun air. Dalam bentuk padat ALA cenderung stabil, namun akan berpolimerisasi bila dipanaskan di atas titik didihnya (47.5°C ) atau terpapar cahaya saat ALA dilarutkan dalam larutan netral. ALA dapat dikonsumsi per oral maupun intravena dalam rentang dosis 50 - 600 mg. Sebagian besar ALA dimetabolisme di hati melalui reaksi -oksidasi mitokondrial. ALA yang dikonsumsi per oral akan diabsorbsi seluruhnya di usus halus dalam waktu 30 sampai 60 menit. ALA yang terabsorbsi di usus halus, akan masuk dalam sirkulasi dan dibawa ke hati melalui sirkulasi portal, lalu dibawa ke seluruh jaringan tubuh, intraselular, intramitokondrial dan ekstraselular. ALA bahkan dapat melewati sawar darah otak. Waktu paruh ALA dalam plasma adalah 30 menit. Selain cepat diserap, ALA juga tidak bertahan lama dalam sirkulasi dan cepat diekskresi. Makanan dapat mengurangi penyerapan ALA, maka sebaiknya ALA dikonsumsi 30 menit sebelum makan atau 2 jam setelah makan (Shay et al., 2009; Pasley, 2010; Goraca et al.. 2011; Mignini et al., 2012). ALA memiliki efek samping yang sedikit dan berdaya toksik rendah. LD (Lethal Dose) 50 pada mencit jantan adalah 405 mg/kg berat badan dan pada mencit betina adalah 277 mg/kg berat badan (Goraca et al.. 2011). Penelitian pada tikus yang diberi ALA sampai dosis 2000 mg/kg berat badan, menghasilkan gejala apatis, sedasi, piloerecion dan posisi membungkuk dan menutup mata pada tikus (Cremer et al.,
2006). Percobaan klinis dengan pemberian ALA sampai 2400 mg/hari, tidak ditemukan efek samping yang berarti bila dibandingkan dengan plasebo (Ghibu
41
et al., 2009; Shay et al., 2009). Pemberian ALA per intravena dengan dosis 600 mg/hari selama 3 minggu, tidak menunjukkan efek samping yang berarti. Konsumsi ALA 1800 mg per oral oleh manusia, selama 6 bulan, juga tidak menunjukkan efek samping yang bermakna (Goraca et al.. 2011). 2.7.3. Penggunaan ALA ALA dengan kemampuannya sebagai antioksidan yang poten, menjadikannya banyak digunakan sebagai suplemen antioksidan (Goraca et al., 2011). Suplemen ALA tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul mulai dari dosis 50 mg, 100 mg, 250 mg, 300 mg sampai 600 mg, serta bentuk injeksi 600 mg per ampul (Wanwimoruk et al., 2013). ALA kini juga telah digunakan sebagai obat untuk penyakit diabetes dan polineuropati diabetik (Ziegler, 2006). Banyak penelitian telah membuktikan hubungan Diabetes Melitus dengan peningkatan radikal bebas dan penurunan potensi antioksidan, yang berujung pada kerusakan sel-sel akibat stres oksidatif (Bashan et al., 2009). Hiperglikemia merupakan keadaan yang memicu terbentuknya radikal bebas yang berlebihan dalam mitokondria. Radikal bebas tersebut mengaktifkan jalur intraselular (protein kinase C dan jalur heksosamin) dan menyebabkan kerusakan endotel dan saraf (Clavreul et al., 2006). Stres oksidatif yang berlebihan pada sel-sel endotel meningkatkan level sitokin proinflamatori (TNF-a, Interleukin-1b) dan merusak reseptor-reseptor insulin (Andreozzi et al., 2004).
ALA maupun DHLA, keduanya berperan dalam produksi insulin. ALA memperbaiki pengambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan resistensi insulin dan meningkatkan sensitifitas insulin. Kemampuan ALA untuk meningkatkan
42
pengambilan glukosa dapat mencegah kerusakan sel-sel beta pankreas (Eason et al., 2002; Ghibu et al., 2009. Dosis rekomendasi ALA untuk terapi diabetes dan polineuropati diabetik adalah 1-3 kali 600 mg per hari (Cherniack, 2006; Smith, 2010; Golbidi et al., 2011). 2.7.4. Manfaat ALA pada Gangguan Folikulogenesis Akibat Asap Rokok Stres oksidatif yang disebabkan asap rokok dapat mengganggu mekanisme perbaikan diri pada mitokondria dan memicu proses autofagi yang berkepanjangan dalam sel-sel granulosa. Hal ini menyebabkan kematian sel-sel granulosa, dan berdampak pada gangguan folikulogenesis (Gannon, 2013). Berbagai penelitian in vivo maupun in vitro telah dilakukan untuk menguji efek proteksi dan kualitas ALA sebagai antioksidan pada penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stres oksidatif dan proses penuaan (Bilska and Wlodek, 2005; Tabassum et al., 2010; Atukeren et al., 2010). Penelitian in vitro pada kultur folikel preantral dari ovarium tikus, membuktikan ALA dapat memperbaiki perkembangan folikel. Perbaikan perkembangan folikel diduga karena adanya penurunan kadar SOR dan peningkatan kapasitas total antioksidan dalam folikel (Talebi et al., 2012).
2.8
MENCIT
2.8.1 Biologis Mencit
Data biologis mencit laboratorium adalah sebagai berikut
43
Mangkoewidjojo, 1988) : Lama hidup
(Smith and
: 1-2 tahun, bisa mencapai 3 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan Lama hamil
: 19-21 hari
Kawin sesudah beranak
: 1-24 jam
Umur disapih
: 21 hari
Umur dewasa
: 35 hari
Umur dikawinkan
: 8 minggu
Siklus kelamin
: poliestrus
Lama estrus
: 12-24 jam
Ovulasi
: dekat akhir periode estrus
Berat badan dewasa
: 20-40 gram (jantan), 18-35 gram (betina)
Jumlah anak
: rata-rata 6 ekor, bisa mencapai 15 ekor
Uterus
: dua kornu, bermuara sebelum serviks
Perkawinan kelompok
: 4 betina dan 1 jantan
2.8.2 Anatomi Alat Kelamin Mencit Betina Alat kelamin mencit betina dibagi menjadi tiga bagian: 1. Gonad atau ovarium yang menghasilkan sel telur 2. Saluran reproduksi betina, yaitu: oviduct, uterus, serviks dan vagina 3. Alat kelamin luar, terdiri atas vulva dan klitoris
Mencit betina memiliki sepasang ovarium yang letaknya dekat ginjal. Pertumbuhan dan perkembangan ovarium selama masa reproduksi diatur oleh hormon yang berasal dari hipofisis. Gonad mencit betina akan matang saat berumur 50-60 hari (Davis et al., 1999). 44
2.8.3 Histologi Ovarium Mencit Betina Ovarium tersusun atas folikel-folikel dalam berbagai fase perkembangan, mulai dari folikel yang dikelilingi satu lapis sel epitel kuboid sampai yang dilapisi sel-sel epitel kolumnar. Ovarium juga terdiri atas jaringan interstisial dan jaringan stromal yang berisi pembuluh darah, saraf dan limfe (Davis et al., 1999). Folikel mencit diklasifikasikan menjadi 3 jenis, berdasarkan ukuran oosit, ukuran folikel dan morfologinya, yaitu: 1. Folikel primer/folikel kecil Folikel-folikel fase ini memiliki ukuran oosit kurang dari 20 m tanpa dilliputi sel-sel granulosa. Namun dapat juga ditemukan sel oosit yang diliputi beberapa sel granulosa, bahkan sampai dikelilingi sel granulosa (Davis et al., 1999). 2. Folikel sekunder/folikel sedang Folikel-folikel fase ini memiliki ukuran oosit 20-70 m yang dikelilingi satu lapisan sel granulosa (21 sel granulosa) hingga dua lapisan sel granulosa (101-200 sel granulosa) (Davis et al., 1999).
3. Folikel de Graaf/folikel besar Folikel-folikel pada fase ini menunjukkan perkembangan penuh dari oosit, diselimuti 200-600 sel granulosa, mulai terlihat antrum bahkan kumulus ooforus yang merupakan bagian folikel preovulasi (Davis et al., 1999). Folikel yang tidak berkembang akan mengalami atresia. Tahap awal atresia 45 ditandai dengan sel teka dan sel granulosa yang intak, beberapa sel mulai terlepas dan masuk dalam antrum. Kumulus ooforus tampak tidak utuh dan degenerasi oosit sudah pada tahap lanjut. Terlihat di dalam antrum, sisa oosit dikelilingi zona pelusida tebal. Atresia tahap lanjut ditandai dengan sel teka interna yang hipertrofi, tidak ditemukan sel granulosa, membran viteal menebal, jaringan ikat dari stroma telah mengisi sebagian rongga folikel yang mulai mengecil namun masih mengandung cairan. Pada atresia tahap akhir, seluruh folikel telah digantikan oleh jaringan ikat (Eroschenko, 2003).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Berpikir Ilmu Anti Aging Medicine membawa konsep baru yaitu bahwa penuaan dapat dan harus dicegah atau diobati. Penuaan disebabkan oleh berbagai faktor seperti, radikal bebas, penurunan hormon, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, penurunan sistem kekebalan tubuh, faktor genetik, pola hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan. Berbagai faktor ini saling mendukung satu sama lainnya dalam menyebabkan proses penuaan. Organ reproduksi merupakan salah satu penghasil hormon-hormon yang berperan dalam proses penuaan. Ovarium merupakan organ reproduksi pada perempuan yang menghasilkan hormon estrogen, progesteron dan testosteron.
Hormon-hormon ini dihasilkan selama proses folikulogenesis. Folikulogenesis merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan folikel untuk mematangkan oosit dan
menghasilkan
menurunkan
kadar
hormon-hormon
seks.
Gangguan
hormon-hormon
tersebut,
yang
folikulogenesis secara
tidak
dapat
langsung
mempercepat proses penuaan. Gangguan
folikulogenesis
merupakan
terhambatnya
tahapan
47
perkembangan folikel. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah folikel-folikel yang sedang berkembang dan peningkatan jumlah folikel yang rusak (atresia). Penelitian ini menilai gangguan folikulogenesis dari penurunan jumlah folikel sekunder dan folikel de Graaf, disertai peningkatan Pengamatan
jumlah
folikel
sekunder,
jumlah 46
folikel
atresia.
folikel de Graaf dan folikel
atresia berdasarkan pertimbangan kemudahan identifikasi secara mikroskopik. Stres oksidatif merupakan keadaan yang dapat menyebabkan gangguan folikulogenesis. Asap rokok merupakan polutan penyumbang SOR yang dapat memicu terjadinya stres oksidatif. ALA merupakan antioksidan poten yang terbukti memiliki efek proteksi terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan stres oksidatif. ALA dapat menetralisir radikal bebas, meregenerasi antioksidan endogen dan bersifat amfipatik sehingga dapat bekerja di semua bagian sel. ALA terbukti dapat memperbaiki perkembangan in vitro folikel, dengan menurunkan kadar SOR dan meningkatkan kapasitas total antioksidan.
48
3.2. Konsep
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Konsep Penelitian 3.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas ditetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 2. Pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat penurunan
49
jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 3. Pemberian ALA 0,34 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 4. Pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 5. Pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 6. Pemberian ALA 1,02 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok.
7. Pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 8. Pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 9. Pemberian ALA 2,04 mg per oral dapat menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Post Test Only Control Group Design (Marczyk et al., 2005). Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4. 1 Skema Rancangan Penelitian Keterangan : S
= Sampel
RA = Random alokasi, proses pembagian sampel menjadi 4 kelompok P0 =
Kontrol (dipapar asap rokok dan diberi aquadest 0,5 cc)
P1 = Perlakuan I (dipapar asap rokok dan diberi ALA 0,34 mg per oral) P2 = Perlakuan II (dipapar asap rokok dan diberi ALA 1,02 mg per oral) P3 = Perlakuan III (dipapar asap rokok dan diberi ALA 2,04 mg per oral)
51
O1 = Jumlah folikel sekunder, de Graaf dan atresia pada kelompok kontrol setelah perlakuan. O2 =
Jumlah folikel sekunder, de Graaf
dan atresia pada kelompok P1 50
setelah perlakuan
O3 = Jumlah folikel sekunder, de Graaf dan atresia pada kelompok P2 setelah perlakuan
O4 = Jumlah folikel sekunder, de Graaf dan atresia pada kelompok P3 setelah perlakuan 4.2. Sampel Penelitian 4.2.1. Sampel Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) betina dewasa strain balb/c. 4.2.2. Kriteria Sampel 1. Kriteria Inklusi -
Mencit betina (Mus musculus) dewasa strain balb/c
-
Pernah beranak
-
Sehat dan sedang tidak bunting
-
Usia 9-10 minggu
-
Berat badan 20-25 gram
2. Kriteria Eksklusi -
Bunting
3. Kriteria Drop Out -
Mencit mati selama penelitian berlangsung
4.2.3. Besar Sampel Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus Federer tahun 2011 : (n-1) x (t-1) ≥ 15
52
n : jumlah replikasi, sedangkan t : jumlah perlakuan Perhitungannya sebagai berikut : (n-1) x (4-1) ≥ 15 (n-1) ≥ 15 : 3 (n-1) ≥ 5 n = 6 Jumlah sampel per kelompok adalah 6 ekor mencit. Tiap kelompok ditambah 20% dari jumlah sampel sebagai cadangan, sehingga menjadi 6+1,2 = 7,2, dibulatkan menjadi 8 ekor mencit. Total mencit yang digunakan untuk 4 kelompok adalah 32 ekor mencit. 4.2.4. Tehnik Penentuan Sampel Semua sampel yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian, selanjutnya dikelompokkan menjadi empat kelompok; satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan aquadest, tiga kelompok sebagai kelompok perlakuan yang diberikan ALA per sonde. 4.3. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Penelitian dimulai dengan persiapan hewan coba, sejak tanggal 20 Januari sampai 9 Februari 2014 di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pemberian perlakuan pada hewan coba, sejak tanggal 10 Februari sampai 30 Maret 2014 di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
53
Pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi dimulai sejak tanggal 31 Maret sampai 7 April 2014 di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan oleh Dokter Ahli Histopatologi Hewan bersama peneliti. 4.4. Variabel Penelitian 4.4.1. Klasifikasi Variabel 1. Variabel bebas
: ALA dengan tiga dosis berbeda
2. Variabel tergantung : jumlah folikel sekunder, de Graaf dan atresia 3. Variabel kendali
: usia mencit, jenis mencit dan diet
Variabel bebas: Dosis ALA
Variabel tergantung: Jumlah folikel sekunder, de Graaf dan atresia
Variabel Kendali: Usia mencit, jenis mencit, berat mencit, diet Gambar 4.2 Hubungan antara variabel bebas dan terkendali
4.4.2. Definisi Operasional Variabel 1. Paparan asap rokok adalah asap rokok yang dipaparkan ke mencit betina 2 jam per hari selama 7 minggu. Pemaparan dilakukan dengan smoking
54
machine. 2. ALA atau Alpha Lipoic Acid adalah 5-(1,2-dithiolan-3-yl) pentanoic acid,
atau thioctic acid, 6,8-thioctic acid, 6,8-dithioctane acid dan 1,2- dithiol-3valeric acid, berupa suplemen berbentuk kaplet produksi pabrik farmasi Indonesia nomor registrasi BPOM: SD061527471 tanggal 13-10-2011, dengan komposisi Alpha Lipoic Acid 600 mg. ALA diberikan per oral, satu kali pemberian (dosis tunggal dalam 0,5 cc aquadest) setiap hari selama 7 minggu, 30 menit sebelum makan pagi. Dosis ALA dihitung berdasarkan konversi dosis manusia ke hewan. 3. Pemberian per oral (force feeding) adalah pemberian dengan menggunakan sonde lambung berupa jarum suntik yang ujungnya tumpul. 4. Folikulogenesis adalah pertumbuhan dan perkembangan folikel di korteks ovarium. Folikulogenesis terbagi atas tahap folikel primer, folikel sekunder, folikel tersier, folikel antral dan folikel de Graaf. Paparan asap rokok akan menyebabkan gangguan folikulogenesis. Gangguan folikulogenesis terlihat dari penurunan jumlah folikel sekunder dan folikel de Graaf, dan peningkatan jumlah folikel atresia. Pada pemeriksaan mikroskopik, folikel primer sulit ditemukan karena ukurannya yang sangat kecil, sehingga peneliti memilih folikel sekunder karena lebih mudah diidentifikasi. Folikel tersier dan folikel antral juga mempunyai gambaran mikroskopik yang mirip, sehingga peneliti memilih folikel de Graaf yang lebih mudah diidentifikasi. 5. Jumlah folikel sekunder adalah jumlah folikel-folikel dengan gambaran mikroskopik berupa; sel granulosa lebih dari satu lapis yang mengelilingi oosit tanpa adanya akumulasi cairan folikuli di antara sel granulosa serta
55
ditemukannya sel teka. Jumlah folikel sekunder dihitung pada pengamatan sediaan histopatologis ovarium kanan dan kiri. 6. Jumlah folikel de Graaf adalah jumlah folikel-folikel dengan gambaran mikroskopik berupa; oosit yang telah berkembang penuh dan dikelilingi lapisan sel granulosa yang menebal disertai adanya antrum. Jumlah folikel de Graaf dihitung pada pengamatan sediaan histopatologis ovarium kanan dan kiri. 7. Jumlah folikel atresia adalah jumlah folikel-folikel dengan gambaran mikroskopik berupa; dinding sel telur mengecil, membran nukleus mengecil dan kehilangan sitoplasma dengan disertai degenerasi sel granulosa. Jumlah folikel atresia dihitung pada pengamatan sediaan histopatologis ovarium kanan dan kiri. 8. Mencit adalah mencit (Mus musculus) strain Balb/c, betina, usia 9-10 minggu, berat 20-25 gram, pernah beranak, sehat dan sedang tidak bunting. Usia mencit dihitung sejak mencit tersebut dilahirkan. Sehat apabila mencit tidak menderita kelainan dan penyakit. Mencit betina yang baru kawin mempunyai ciri-ciri terdapat sumbatan vagina /vaginal plug. Sumbatan ini berasal dari air mani mencit jantan, yang dapat bertahan dalam vagina mencit betina selama 16-48 jam dan tidak mudah jatuh keluar. Mencit betina bunting ditetapkan 1056 14 hari setelah sumbatan vagina ditemukan, dengan cara meraba perut mencit.
4.5. Bahan , Alat Penelitian Dan Hewan Percobaan
4.5.1. Bahan 1. ALA kaplet dengan nama dagang Mecola Forte, produksi PT. Lapi Laboratories, dengan nomor registrasi BPOM: SD061527471 tanggal 13-102011, dengan komposisi Alpha Lipoic Acid 600 mg. 2. Aquadest sebagai plasebo. 3. Rokok Gudang Garam Merah, berkomposisi tar 38 mg dan nikotin 2,7 mg. 4. Bahan kimia untuk pewarnaan preparat histologi ovarium berupa, larutan neutral buffer formalin 10%, alkohol 70 %, 95%, 96%, 100%, parafin cair, xylol, permount, larutan Harris-Hematoxylin dan larutan Meyers albumin. 4.5.2. Alat Alat yang digunakan adalah: -
Kandang mencit
-
Sarung tangan karet
-
Masker
-
Timbangan gram
-
Spuit 1 cc
-
Sonde
-
Smoking machine
-
Pipet
-
Perangkat alat bedah dan microtome
-
Kaca obyek
-
Kaca penutup
57
-
Mikroskop elektrik
4.5.3. Hewan Percobaan Penelitian ini menggunakan hewan percobaan mencit Balb/c betina usia 9-10 minggu dan berat badan 20-25 gram yang memenuhi kriteria penelitian. Mencit diperoleh dan dipelihara di Laboratorium Animal Unit Bagian Farmakologi FK Universitas Udayana Denpasar dengan persyaratan sesuai dengan penelitian eksperimental. 4.6. Prosedur Penelitian 4.6.1. Persiapan Hewan Coba 1. Tiga puluh dua mencit Balb/c betina usia 9-10 minggu yang sudah pernah beranak, dimasukkan ke dalam kandang, masing-masing kandang berisi dua ekor mencit. 32 mencit betina ini diisolasi dari mencit jantan selama 3 minggu sampai mencit berusia 12-13 minggu. 2. Kandang terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm dengan alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat yang kuat, tahan gigitan dan tidak mudah rusak, sehingga hewan tidak mudah lepas. 3. Kandang diberi lampu, ditempatkan pada ruangan dengan ventilasi yang baik, cukup cahaya, tenang, tidak bising, suhu diatur pada suhu kamar 25C dengan kelembaban berkisar 50 % dan dibersihkan tiga hari sekali. 4. Mencit diberi makanan dan minuman secara ad libitum. Setiap harinya seekor mencit dewasa diberi makan pakan kering berbentuk pelet, merk Pokphand
58 HPS 511, sejumlah 3-5 gram per ekor dan diberi minum air aquadest 4-8 ml per ekor. 4.6.2. Pemberian Perlakuan 1. Seluruh mencit betina (32 ekor) yang telah diisolasikan dari mencit jantan selama 3 minggu, sejak usia 9-10 minggu sampai usia 12-13 minggu, lalu dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, setiap kelompok terdiri atas 8 ekor mencit. Masing-masing mencit diberi label pada ekornya sesuai kelompoknya, menggunakan spidol tahan air. 2. Kelompok I adalah kelompok kontrol, yang diberi paparan asap rokok 2 jam per hari selama 7 minggu dan mendapat aquadest 0,5 cc sebagai plasebo. 3. Kelompok II adalah kelompok perlakuan I, yang diberi paparan asap rokok 2 jam per hari selama 7 minggu dan mendapat ALA 0,34 mg dalam 0,5 cc aquadest. 4. Kelompok III adalah kelompok perlakuan II, yang diberi paparan asap rokok 2 jam per hari selama 7 minggu dan mendapat ALA 1,02 mg dalam 0,5 cc aquadest. 5. Kelompok IV adalah kelompok perlakuan III, yang diberi paparan asap rokok 2 jam per hari selama 7 minggu dan mendapat ALA 2,04 mg dalam 0,5 cc aquadest. 6. ALA diberikan per sonde, dengan dosis tunggal yaitu satu kali pemberian setiap hari, 30 menit sebelum makan pagi, selama 7 minggu. Dosis ALA untuk penelitian ini diperoleh dari perhitungan konversi dosis pada manusia
59
ke mencit (Paget and Barnes, 1964). Dosis ALA untuk manusia berat 60 kg (berat orang Indonesia rerata 60 kg) adalah 100 mg, maka untuk berat 70 kg, dosis ALA 70/60 x 100 mg = 116,6 mg. Konversi ke dosis mencit 20 gr 0,0026 x 116,6 mg = 0,303 mg. Maka untuk mencit rerata berat 22,5 gr 22,5/20 x 0,303 = 0,304 mg. Dosis ALA 300 mg pada manusia 60 kg bila dikonversi ke dosis mencit rerata 22,5 gr 70/60 x 300 x 0,0026 x 22,5/20 = 1,02 mg. Dosis ALA 600 mg pada manusia 60 kg bila dikonversi ke mencit rerata 22,5 gr 70/60 x 600 x 0,0026 x 22,5/20 = 2,04 mg. 7. Paparan asap rokok diberikan selama 2 jam selama 7 minggu. Pada saat perlakuan, kandang ditutup dengan plastik tebal yang diberi dua lubang, satu lubang untuk memasukkan rokok ke dalam kandang dan lubang lainnya untuk aliran udara. Pangkal rokok dihubungkan dengan aerator melalui selang dengan diameter sama dengan diameter rokok. Hal ini agar rokok tetap menyala selama perlakuan. 8. Selama penelitian, mencit diperlakukan sebaik-baiknya, diusahakan agar bebas stres, leluasa bergerak dan diberikan makanan dan minuman tiap hari secara ad libitum. Setiap harinya seekor mencit dewasa diberi makan pakan kering berbentuk pelet, merk Pokphand HPS 511, sejumlah 3-5 gram per ekor dan diberi minum air aquadest 4-8 ml per ekor. 9. Kandang ditempatkan di ruangan yang tenang, cukup cahaya, diatur suhu dan kelembaban yang sesuai. Kandang dijaga kebersihannya dan sekam diganti
tiga hari sekali.
60
4.6.3. Sesudah Perlakuan 1. Setelah 7 minggu pemberian perlakuan, mencit dieutanasia dengan injeksi barbiturat dosis berlebih (200 mg/kgBB) secara intraperitoneal. Mencit yang telah dieutanasia lalu dibedah untuk diambil ovarium kanan dan ovarium kiri, untuk dibuat sediaan histopatologinya. 2. Mencit yang telah dieutanasia dan diambil ovariumnya, lalu dikuburkan. 4.6.4. Pembuatan Preparat / Sediaan Histologi 1. Sediaan histopatologis dibuat dengan metode parafin, sesuai pedoman penanganan bahan pemeriksaan untuk histopatologi IAPI tahun 2008. 2. Sediaan ovarium difiksasi dengan larutan formalin bufer netral 10 % dibiarkan pada suhu kamar selama 48 jam. 3. Proses dehidrasi menggunakan alkohol selama 4-6 jam. Dehirasi dilakukan bertahap, mulai dari alkohol 70 %, 95 %, 100 % sebanyak empat kali lalu diakhiri dengan alkohol 100 % - xylol. 4. Proses clearing organ dilakukan dengan merendam organ dalam larutan xylol 1 dan 2 selama 3 jam. 5. Proses infiltrasi dilakukan dengan menginkubasi jaringan dalam parafin cair lalu dimasukkan dalam oven atau inkubator bersuhu 55 - 57 selama 12 jam.
6. Selanjutnya dibuat blok parafin/embedded block, yaitu penanaman organ dalam parafin padat dan disimpan pada suhu 20 - 25.
61
7. Blok parafin yang berisi organ ovarium diiris 6 m di bagian tengah menggunakan mikrotom. Irisan ditempel pada kaca obyek yang telah diolesi Mayers albumin, dibiarkan selama 24 jam agar menempel kuat. 8. Staining dan mounting dilakukan dengan memulas sediaan dengan Hematoxylin Ehrlich-Eosin dengan urutan: xylol I selama 5 menit, xylol II selama 5 menit, xylol III selama 5 menit, alkohol 100 % I selama 5 menit, alkohol 100 % II selama 5 menit, aquadest beberapa celup, HarrisHematoxylin selama 15 menit, aquadest selama 1 menit celup naik-turun, acid alcohol 1 % sebanyak 5-7 celupan (jangan sampai pucat), aquadest I selama 1 menit, aquadest II selama 1 menit, eosin selama 2 menit, alkohol 96 % I selama 3 menit, alkohol 96 % II selama 3 menit, alkohol 100 % I selama 3 menit, alkohol 100 % II selama 3 menit, xylol IV selama 5 menit, xylol V selama 5 menit. Sediaan yang telah dipulas lalu ditutup dan direkatkan menggunakan permount. 4.6.5. Pengamatan 1. Preparat diambil dari ovarium kanan dan kiri dan setiap preparat diamati 10 lapangan pandang (5 lapangan pandang pada ovarium kanan dan 5 lapangan pandang pada ovarium kiri). 2. Jumlah folikel sekunder, folikel de Graaf dan folikel atresia dihitung melalui
mikroskop elektrik dengan pembesaran 100 x dan 400 x. 3. Hasil perhitungan
yang diperoleh adalah hasil perhitungan 5 lapangan
pandang per sediaan ovarium, dijumlahkan lalu dibagi dua. 62
4.7. Alur Penelitian Random 32 ekor mencit betina usia 9-10 minggu
Isolasi dari mencit jantan selama 3 minggu mingguminggu Mencit betina usia 12-13 minggu
P0
P1
8 mencit dipapar asap rokok 2 jam/hari selama 7 minggu dan diberi aquadest 0,5 cc/hari, 30 menit sebelum makan pagi. Setelah perlakuan, mencit dieutanasia, dibedah untuk diambil ovarium dan dibuat sediaan histopatologis
8 mencit dipapar asap rokok 2 jam/hari selama 7 minggu dan diberi ALA 0,34 mg/0,5cc/hari, 30 menit sebelum makan pagi. Setelah perlakuan, mencit dieutanasia, dibedah untuk diambil ovarium dan dibuat sediaan histopatologis
P2
P3
8 mencit dipapar asap rokok 2 jam/hari selama 7 minggu dan diberi ALA 1,02 mg/0,5cc/hari, 30 menit sebelum makan pagi. Setelah perlakuan, mencit dieutanasia, dibedah untuk diambil ovarium dan dibuat sediaan histopatologis
8 mencit dipapar asap rokok 2jam/hari selama 7 minggu dan diberi ALA 2,04 mg/0,5cc/hari, 30 menit sebelum makan pagi. Setelah perlakuan, mencit dieutanasia, dibedah untuk diambil ovarium dan dibuat sediaan histopatologis
Menghitung jumlah folikel sekunder, jumlah folikel de Graaf dan jumlah folikel atresia
Analisis Data
Kesimpulan Penelitian
63
Gambar 4.3 Alur Penelitian
4.8. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Analisis Deskriptif. Semua data dianalisis secara deskriptif.
2.
Analisis Normalitas. Uji Normalitas menggunakan Uji Saphiro-Wilk, karena sampel < 50, diperoleh data yang berdistribusi normal karena p > 0,05.
3.
Uji Homogenitas Uji homogenitas dengan Levene’s test (Uji F), diperoleh varian data bersifat homogen karena p > 0,05.
4.
Uji Komparasi. Karena data berdistribusi normal dan homogen, maka digunakan analisis One
Way Anova untuk menguji hipotesis. Dan selanjutnya dengan Least Significant Different test (uji LSD) untuk menguji efek perlakuan. 5.
Data diolah dengan program SPSS Version 16 for windows.
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Post Test Only Control Group Design. Penelitian menggunakan sampel 32 ekor mencit (Mus musculus) betina dewasa strain balb/c, sehat, usia 9-10 minggu, berat badan 20-25 gram, yang terbagi atas 4 kelompok, tiap kelompok berjumlah 8 ekor. Kelompok kontrol dipapar asap rokok dan diberi aquadest 0,5 cc. Kelompok perlakuan I dipapar asap rokok dan diberi ALA 0,34 mg. Kelompok perlakuan II dipapar asap rokok dan diberi ALA 1,02 mg. Kelompok perlakuan III dipapar asap rokok dan diberi ALA 2,04 mg. Berikut ini akan diuraikan hasil uji normalitas, uji homogenitas data dan uji efek perlakuan.
5.1. Uji Normalitas Data Data jumlah folikel sekunder, folikel de Graaf dan folikel atresia sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok, diuji normalitasnya dengan uji ShapiroWilk. Hasil uji menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), yang disajikan pada tabel 5.1.
65
Tabel 5.1
64
Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Folikel Sekunder, de Graaf dan Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok perlakuan
N
p
Keterangan
Jumlah folikel sekunder kontrol
8
0,139
Normal
Jumlah folikel sekunder perlakuan I
8
0,095
Normal
Jumlah folikel sekunder perlakuan II
8
0,857
Normal
Jumlah folikel sekunder perlakuan III
8
0,408
Normal
Jumlah folikel de Graaf kontrol
8
0,052
Normal
Jumlah folikel de Graaf perlakuan I
8
0,067
Normal
Jumlah folikel de Graaf perlakuan II
8
0,366
Normal
Jumlah folikel de Graaf perlakuan III
8
0,056
Normal
Jumlah folikel atresia kontrol
8
0,408
Normal
Jumlah folikel atresia perlakuan I
8
0,072
Normal
Jumlah folikel atresia perlakuan II
8
0,067
Normal
Jumlah folikel atresia perlakuan III
8
0,054
Normal
5.2. Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data jumlah folikel sekunder, folikel de Graaf dan folikel atresia sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok, diuji homogenitasnya dengan uji Levene. Hasil uji menunjukkan data homogen (p>0.05), yang disajikan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Folikel Sekunder, de Graaf dan Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Variabel
F
p
Keterangan
Jumlah folikel sekunder
1,456
0,248
Homogen
Jumlah folikel de Graaf
2,169
0,114
Homogen
Jumlah folikel atresia
1,500
0,236
Homogen
5.3. Uji Komparasi
66
5.3.1. Jumlah Folikel Sekunder Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah folikel sekunder antar kelompok sesudah diberi perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada tabel 5.3 berikut. Tabel 5.3 Rerata Jumlah Folikel Sekunder Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
n 8
Rerata Jumlah Folikel Sekunder 22,25
Kontrol
SB 2,375
Perlakuan I
8
30,50
1,773
Perlakuan II
8
43,00
1,309
Perlakuan III
8
53,50
2,070
F
p
409,528
0,001
Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa rerata jumlah folikel sekunder
67
kelompok Kontrol adalah 22,25 2,375, rerata kelompok Perlakuan I adalah 30,50 1,773, rerata kelompok Perlakuan II adalah 43,00 1,309, rerata kelompok Perlakuan III adalah 53,50
2,070. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova,
menunjukkan bahwa nilai F = 409,528, dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah folikel sekunder keempat kelompok sesudah diberi perlakuan, berbeda secara bermakna (p<0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol, perlu dilakukan uji lanjut dengan Least Significant Difference (LSD). Hasil uji disajikan pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Analisis Komparasi Jumlah Folikel Sekunder Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
p
Interpretasi
Kontrol dan Perlakuan I
Beda Rerata Jumlah Folikel Sekunder 8,25
0,001
Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan II
20,75
0,001
Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan III
31,25
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan I dan Perlakuan II
12,50
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan I dan Perlakuan III
23,00
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan II dan Perlakuan III
10,50
0,001
Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjut di atas menunjukkan bahwa: 1. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok kontrol berbeda secara bermakna 68 dengan kelompok perlakuan I (rerata kelompok kontrol lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan I). 2. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan II (rerata kelompok kontrol lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan II). 3. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok kontrol lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan III).
4. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok perlakuan I berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan II (rerata kelompok perlakuan I lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan II). 5. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok perlakuan I berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok perlakuan I lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan III). 6. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok perlakuan II berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok perlakuan II lebih 69 rendah daripada rerata kelompok perlakuan III).
Gambar 5.1 Rerata jumlah folikel sekunder antar kelompok sesudah perlakuan
Gambar 5.1 di atas menunjukkan adanya perbedaan rerata jumlah folikel sekunder antar kelompok sesudah perlakuan. Jumlah folikel sekunder kelompok P1, P2 dan P3 lebih tinggi dibanding kelompok P0. 5.3.2. Jumlah Folikel de Graaf Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah folikel de Graaf antar kelompok sesudah diberi perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Rerata Jumlah Folikel de Graaf Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek Kontrol
n 8
Rerata Jumlah Folikel de Graaf 1,25
SB 0,463
Perlakuan I
8
1,62
0,744
Perlakuan II
8
2,62
1,061
Perlakuan III
8
3,25
0,707
F
P
11,214
0,001
Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa rerata jumlah folikel de Graaf kelompok Kontrol adalah 1,25 0,463, rerata kelompok Perlakuan I adalah 1,62 0,744, rerata kelompok Perlakuan II adalah 2,62 1,061, rerata kelompok Perlakuan III adalah 3,25
0,707. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova,
menunjukkan bahwa nilai F = 11,214, dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah folikel de Graaf keempat kelompok sesudah diberi perlakuan, berbeda secara bermakna (p<0,05).
70
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol, perlu dilakukan uji lanjut dengan Least Significant Difference (LSD). Hasil uji disajikan pada tabel 5.6. Tabel 5.6 Analisis Komparasi Jumlah Folikel de Graaf Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
Kontrol dan Perlakuan I
Beda Rerata Jumlah Folikel de Graaf 0,37
p
0,341
Interpretasi
Tidak Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan II
1,37
0,001
Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan III
2,00
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan I dan Perlakuan II
1,00
0,015
Berbeda Bermakna
Perlakuan I dan Perlakuan III
1,63
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan II dan Perlakuan III
0,63
0,117
Tidak Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjut di atas menunjukkan bahwa: 1. Rerata jumlah folikel de Graaf kelompok kontrol tidak berbeda bermakna dengan kelompok perlakuan I.
71
2. Rerata jumlah folikel de Graaf kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan II (rerata kelompok kontrol lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan II). 3. Rerata jumlah folikel de Graaf kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok kontrol lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan III). 4. Rerata jumlah folikel de Graaf kelompok perlakuan I berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan II (rerata kelompok perlakuan I lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan II). 5. Rerata jumlah folikel de Graaf kelompok perlakuan I berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok perlakuan I 72 lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan III). 6. Rerata jumlah folikel de Graaf kelompok perlakuan II tidak berbeda bermakna dengan kelompok perlakuan III.
Gambar 5.2 Rerata jumlah folikel de Graaf antar kelompok sesudah perlakuan
Gambar 5.2 di atas menunjukkan adanya perbedaan rerata jumlah folikel de Graaf antar kelompok sesudah perlakuan. Jumlah folikel de Graaf kelompok P1, P2 dan P3 lebih tinggi dibanding kelompok P0. 5.3.3. Jumlah Folikel Atresia Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah folikel atresia antar kelompok sesudah diberi perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada tabel 5.7 berikut. Tabel 5.7 Rerata Jumlah Folikel Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek Kontrol
n 8
Rerata Jumlah Folikel Atresia 4,25
Perlakuan I
SB 1,035
8
3,75
0,463
F
P
46,650
0,001 73
Perlakuan II
8
0,88
0,835
Perlakuan III
8
0,50
0,756
Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa rerata jumlah folikel atresia kelompok Kontrol adalah 4,25 1,035, rerata kelompok Perlakuan I adalah 3,75 0,463, rerata kelompok Perlakuan II adalah 0,88 0,835, rerata kelompok Perlakuan III adalah 0,50 0,756. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova, menunjukkan bahwa nilai F = 46,650, dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah folikel
atresia keempat kelompok sesudah diberi perlakuan, berbeda secara bermakna (p<0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol, perlu dilakukan uji lanjut dengan Least Significant Difference (LSD). Hasil uji disajikan pada tabel 5.8. Tabel 5.8 Analisis Komparasi Jumlah Folikel Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan Kelompok Subjek
Kontrol dan Perlakuan I
Beda Rerata Jumlah Folikel Atresia 0,50
p
0,221
Interpretasi
Tidak Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan II
3,37
0,001
Berbeda Bermakna
Kontrol dan Perlakuan III
3,75
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan I dan Perlakuan II
2,87
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan I dan Perlakuan III
3,25
0,001
Berbeda Bermakna
Perlakuan II dan Perlakuan III
0,37
0,356
Tidak Berbeda
74
Bermakna
Hasil uji lanjut di atas menunjukkan bahwa: 1. Rerata jumlah folikel atresia kelompok kontrol tidak berbeda bermakna dengan kelompok perlakuan I.
2. Rerata jumlah folikel atresia kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan II (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok perlakuan II). 3. Rerata jumlah folikel atresia kelompok kontrol berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok kontrol lebih tinggi daripada rerata kelompok perlakuan III). 4. Rerata jumlah folikel atresia kelompok perlakuan I berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan II (rerata kelompok perlakuan I lebih tinggi daripada rerata kelompok perlakuan II). 5. Rerata jumlah folikel atresia kelompok perlakuan I berbeda secara bermakna dengan kelompok perlakuan III (rerata kelompok perlakuan I lebih tinggi daripada rerata kelompok perlakuan III). 6. Rerata jumlah folikel atresia kelompok perlakuan II tidak berbeda bermakna dengan kelompok perlakuan III.
75
Gambar 5.3 Rerata jumlah folikel atresia antar kelompok sesudah perlakuan
Gambar 5.3 di atas menunjukkan adanya perbedaan rerata jumlah folikel atresia antar kelompok sesudah perlakuan. Jumlah folikel atresia kelompok P1, P2 dan P3 lebih rendah dibanding kelompok P0.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Subjek Penelitian Pengujian efek ALA terhadap gangguan folikulogenesis akibat paparan asap rokok menggunakan mencit betina. Subjek penelitian yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) strain balb/c betina dewasa, sehat, usia 9-10 minggu dengan berat badan 20-25 gram. Mencit yang digunakan adalah mencit betina dewasa usia 9-10 minggu, karena mencit betina sudah dapat bereproduksi pada usia 8 minggu. Mencit betina yang dipilih adalah mencit yang sudah pernah beranak karena dianggap tidak mengalami gangguan sistem reproduksi. Berat badan 20-25 gram merupakan berat badan dalam rentang normal bagi mencit betina. Penelitian menggunakan 32 ekor mencit betina dewasa, dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan I, kelompok II dan kelompok perlakuan III. Kelompok kontrol (P0) dipapar asap rokok dan diberi aquadest 0,5 cc. Kelompok perlakuan I (P1) dipapar asap rokok dan diberi ALA 0,34 mg. Kelompok perlakuan II (P2) dipapar asap rokok dan diberi ALA 1,02 mg. Kelompok perlakuan III (P3) dipapar asap rokok dan diberi ALA 2,04 mg. Pemaparan asap rokok dilakukan selama 7 minggu, berdasarkan hasil penelitian Marhaeni (2009), dimana
76
77
pemaparan asap rokok selama 7 minggu pada mencit betina, telah menyebabkan gangguan folikulogenesis. Paparan asap rokok bertujuan untuk memicu stres oksidatif dalam folikel dan suplemen ALA diberikan sebagai antioksidan. Selama penelitian berlangsung, tidak ada sampel yang mengalami drop out. 6.2. Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian Data hasil penelitian berupa data jumlah folikel sekunder, folikel de Graaf dan folikel atresia dari keempat kelompok, sebelum dianalisa, terlebih dahulu diuji ditribusi dan variannya. Hasil uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk, menunujukkan data berdistribusi normal (p>0,05). Uji homogenitas data dengan uji Levene, menunjukkan data yang homogen (p>0,05). 6.3. Efek Pemberian ALA terhadap Gangguan Folikulogenesis Akibat Paparan Asap Rokok Folikulogenesis merupakan proses perkembangan folikel untuk mematangkan oosit dan menghasilkan hormon-hormon seks pada perempuan. Folikulogenesis dimulai dari folikel primordial yang tumbuh dan berkembang menjadi folikel primer, folikel sekunder, folikel tersier sampai folikel de Graaf. Selama folikulogenesis berlangsung, sel-sel granulosa dalam folikel, menghasilkan hormon-hormon seperti estrogen, progesteron dan testosteron juga menyediakan nutrisi bagi perkembangan oosit (Sadler, 2002; Anwar, 2005). Folikulogenesis dapat berlangsung dengan baik apabila terdapat nutrisi yang cukup dalam sel-sel penyusun folikel dan terdapat keseimbangan antara oksidan dan antoksidan (Talebi et al., 2012). Banyak penelitian yang membuktikan hubungan
78
antara pola hidup tidak sehat dengan kerusakan organ reproduksi, termasuk gangguan folikulogenesis (Paine et al., 2013). Merokok adalah salah satu pola hidup tidak sehat yang dapat menyebabkan kerusakan organ reproduksi. Penelitian yang dilakukan Marhaeni (2009), menemukan bahwa paparan asap rokok pada mencit betina selama 7 minggu, mengakibatkan gangguan folikulogenesis. Telah banyak penelitian yang membuktikan keterlibatan zat-zat kimia berbahaya dalam rokok pada hambatan perkembangan folikel ovarium (Lienesch et al., 2000; Vrsanska et al., 2003; Neal et al., 2007; Liu et al., 2008; Mulligan Tuttle et al., 2009; Dechanet et al., 2011). Asap rokok mengandung sekitar 4.000 senyawa kimia dan 69 di antaranya bersifat karsinogenik (Fowles and Bates, 2000). Senyawa-senyawa kimia tersebut akan menghasilkan berbagai radikal bebas seperti superoksida, hidrogen peroksida, hidroksil dan senyawa nitrogen reaktif. Radikal-radikal bebas tersebut dapat merusak vitamin dan antioksidan enzimatis dalam sel. Kerusakan antioksidan endogen dan peningkatan jumlah radikal bebas dalam sel menyebabkan stres oksidatif (Rodgman and Perfetti, 2009; Valavanidis et al., 2009). Mitokondria sebagai penghasil ATP merupakan organel yang penting untuk kelangsungan hidup sel. Mitokondria menghasilkan antioksidan endogen untuk menetralisir radikal bebas dalam sel. Mitokondria juga melakukan proses fusion dan fission sebagai mekanisme perbaikan diri untuk mencegah kerusakan mitokondria (Westermann, 2010). Radikal-radikal bebas yang dihasilkan oleh asap rokok, menyebabkan stres oksidatif dalam mitokondria sel-sel granulosa folikel ovarium. Stres oksidatif
79
menyebabkan kegagalan mekanisme perbaikan diri mitokondria, yang memicu autofagi dalam sel. Autofagi yang berkelanjutan dalam sel, menyebabkan kematian sel-sel granulosa folikel, berdampak pada gangguan folikulogenesis, yang terlihat dari penurunan jumlah folikel (Gannon, 2013). Pencegahan stres oksidatif dalam sel-sel penyusun folikel dapat mencegah kerusakan folikel dan mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan folikel. ALA merupakan antioksidan yang mampu menetralisir radikal bebas (hidroksil, superoksida dan SNR), mengikat logam berat, dan meregenerasi antioksidan endogen. ALA juga berfungsi sebagai antioksidan dalam bentuk tereduksi dan dapat bekerja di semua bagian sel, termasuk mitokondria (Goraca et al.. 2011). Kemampuan ALA yang banyak ini, dapat berguna untuk mencegah stres oksidatif dalam folikel, akibat paparan asap rokok. Penelitian ini membuktikan kemampuan ALA dalam mencegah kerusakan folikel akibat stres oksidatif. Hal ini terlihat dari perbedaan jumlah folikel sekunder, folikel de Graaf dan folikel atresia antara kelompok kontrol dan perlakuan. 6.3.1. Jumlah Folikel Sekunder Hasil penelitian didapatkan rerata jumlah folikel sekunder kelompok P0 adalah 22,25 2,375, rerata kelompok P1 adalah 30,50 1,773, rerata kelompok P2 adalah 43,00 1,309, dan rerata kelompok P3 adalah 53,50 2,070. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova, menunjukkan bahwa rerata jumlah folikel
sekunder keempat kelompok sesudah diberi perlakuan, berbeda secara bermakna (p<0,05).
80
Hasil uji lanjutan antar keempat kelompok menggunakan uji LSD juga menunjukkan perbedaan bermakna antara tiap kelompok. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok P0 lebih rendah dari P1. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok P0 lebih rendah dari P2. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok P0 lebih rendah dari P3. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok P1 lebih rendah dari P2. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok P1 lebih rendah dari P3. Rerata jumlah folikel sekunder kelompok P2 lebih rendah dari P3. Diketahui bahwa, jumlah folikel sekunder di kelompok P0 paling sedikit dibanding kelompok P1, P2 dan P3. Jumlah folikel sekunder di kelompok P3 merupakan yang terbanyak di antara kelompok lainnya. Paparan asap rokok menyebabkan stres oksidatif dalam folikel. Stres oksidatif menyebabkan kerusakan mitokondria sel-sel granulosa akibat kegagalan mekanisme perbaikan diri mitokondria (Gannon, 2013). Kerusakan mitokondria memicu proses autofagi yang terus menerus dalam sel, dan berakhir pada kematian sel granulosa. Semakin banyak sel granulosa yang mengalami kematian, menyebabkan jumlah folikel berkurang (Gannon, 2013). Penurunan jumlah folikel primer akan menyebabkan penurunan jumlah folikel sekunder. Hal ini terlihat pada rerata jumlah folikel sekunder yang paling rendah pada kelompok P0 yang dipapar asap rokok dan hanya mendapat aquadest. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Marhaeni
(2009), dimana paparan asap rokok selama 7 minggu menyebabkan penurunan jumlah folikel sekunder mencit betina. Hasil penelitian menunjukkan jumlah folikel sekunder pada kelompokkelompok yang diberikan ALA, lebih banyak dibandingkan pada kelompok
81
yang diberi aquadest. Semakin tinggi dosis ALA, semakin banyak jumlah folikel sekunder, dimana rerata jumlah folikel sekunder kelompok P3 adalah yang paling tinggi di antara semua kelompok. Hal ini membuktikan kemampuan ALA dalam melindungi kerusakan sel-sel granulosa folikel dari stres oksidatif. ALA yang amfipatik karena bersifat hidrofilik sekaligus lipofilik, dapat mencapai semua bagian sel termasuk mitokondria. ALA selain menetralisir radikal bebas, juga dapat meregenerasi antioksidan endogen dalam mitokondria sehingga mencegah stres oksidatif (Goraca et al., 2011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Talebi et al (2012), dimana pemberian ALA memperbaiki perkembangan folikel in vitro, dengan mengurangi SOR dan meningkatkan kapasitas total antioksidan dalam folikel. 6.3.2. Jumlah Folikel de Graaf Hasil penelitian didapatkan rerata jumlah folikel de Graaf kelompok P0 adalah 1,25 0,463, rerata kelompok P1 adalah 1,62 0,744, rerata kelompok P2 adalah 2,62 1,061, dan rerata kelompok P3 adalah 3,25 0,707. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova, menunjukkan bahwa rerata jumlah folikel de
Graaf keempat kelompok sesudah diberi perlakuan, berbeda secara bermakna (p<0,05). Hasil uji lanjutan antar keempat kelompok menggunakan uji LSD, menunjukkan bahwa hanya terdapat perbedaan bermakna pada rerata jumlah folikel de Graaf antara kelompok P0 dengan P2, antara kelompok P0 dengan P3, antara kelompok P1 dengan P2, dan antara kelompok P1 dengan P3. Sedangkan antara
82
kelompok P0 dengan P1 dan antara kelompok P2 dengan P3, tidak ada perbedaan bermakna. Perlu diperhatikan bahwa, jumlah folikel de Graaf di kelompok-kelompok yang mendapat ALA, lebih banyak dibanding kelompok yang hanya mendapat aquadest. Stres oksidatif akibat paparan asap rokok menyebabkan kerusakan mitokondria sel-sel granulosa akibat kegagalan mekanisme perbaikan diri mitokondria (Gannon, 2013). Kerusakan mitokondria memicu proses autofagi yang terus menerus dalam sel, dan berakhir pada kematian sel granulosa. Semakin banyak sel granulosa yang mengalami kematian, menyebabkan jumlah folikel berkurang (Gannon, 2013). Penurunan jumlah folikel primer menyebabkan penurunan jumlah folikel yang dapat berkembang menjadi folikel sekunder, yang kemudian menjadi folikel de Graaf. Terlihat pada rerata jumlah folikel de Graaf yang rendah pada kelompok P0, dimana penurunan ini sejalan dengan penurunan jumlah folikel sekunder pada kelompok P0. Hasil ini sesuai dengan penelitian Marhaeni (2009), dimana paparan asap rokok selama 7 minggu dapat menurunkan jumlah folikel de Graaf.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah folikel de Graaf pada kelompokkelompok yang diberikan ALA, lebih banyak bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat aquadest. Hal ini membuktikan bahwa ALA dapat mencegah kerusakan folikel dari stres oksidatif akibat paparan asap rokok. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Talebi et al (2012) yang membuktikan ALA dapat memperbaiki perkembangan folikel in vitro, dengan mengurangi SOR dan
83
meningkatkan kapasitas total antioksidan dalam folikel. ALA yang bersifat amfipatik, dapat masuk ke dalam mitokondria sel granulosa untuk menetralisir radikal bebas dan meregenerasi antioksidan endogen sehingga mencegah stres oksidatif (Goraca et al., 2011). Semakin banyak folikel sekunder yang dilindungi oleh ALA, maka semakin banyak pula folikel yang dapat berkembang menjadi folikel de Graaf. Namun tidak ada perbedaan bermakna pada rerata jumlah folikel de Graaf antara kelompok yang mendapat aquadest dan kelompok yang mendapat ALA 0,34 mg. Ini menunjukkan bahwa ALA pada dosis 0,34 mg belum dapat memberikan efek perlindungan dari paparan asap rokok bagi folikel de Graaf. Keadaan ini diduga karena sifat ALA yang cepat diserap namun tidak bertahan lama dalam sirkulasi, sehingga tidak semua ALA mencapai sel target (Shay et al., 2009). Stres pada mencit akibat pemberian force feeding juga diduga berperan dalam mempengaruhi efek ALA dosis 0,34 mg. Rerata jumlah folikel de Graaf antara kelompok yang mendapat ALA 1,02 mg dan kelompok yang mendapat ALA 2,04 mg, juga tidak ada perbedaan bermakna. Ini menunjukkan bahwa dosis 2,04 mg tidak lebih efektif dari dosis 1,02 mg dalam mencegah penurunan folikel de Graaf akibat paparan asap rokok. Selain
sebagai antioksidan, ALA ternyata dapat menjadi prooksidan (Moini et al., 2002). Hasil penelitian tidak menunjukkan perbedaan rerata jumlah folikel de Graaf antara dosis 1,02 mg dan 2,04 mg, diduga karena pada dosis tinggi sebagian ALA menjadi prooksidan. 6.3.3. Jumlah Folikel Atresia Hasil penelitian didapatkan rerata rerata jumlah folikel atresia kelompok
84
P0 adalah 4,25 1,035, rerata kelompok P1 adalah 3,75 0,463, rerata kelompok P2 adalah 0,88 0,835, rerata kelompok P3 adalah 0,50 0,756. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova, menunjukkan bahwa rerata jumlah folikel atresia keempat kelompok sesudah diberi perlakuan, berbeda secara bermakna (p<0,05). Hasil uji lanjutan antar keempat kelompok menggunakan uji LSD, menunjukkan bahwa hanya terdapat perbedaan bermakna pada rerata jumlah folikel atresia antara kelompok P0 dengan P2, antara kelompok P0 dengan P3, antara kelompok P1 dengan P2, dan antara kelompok P1 dengan P3. Sedangkan antara kelompok P0 dengan P1 dan antara kelompok P2 dengan P3, tidak ada perbedaan bermakna. Perlu diperhatikan bahwa, jumlah folikel atresia di kelompok-kelompok yang mendapat ALA, lebih sedikit bila dibanding kelompok yang hanya mendapat aquadest. Paparan asap rokok menyebabkan stres oksidatif dalam folikel-folikel. Stres oksidatif menyebabkan kerusakan mitokondria sel-sel granulosa akibat kegagalan
mekanisme perbaikan diri mitokondria (Gannon, 2013). Kerusakan mitokondria memicu proses autofagi yang terus menerus dalam sel, berakhir pada kematian sel granulosa. Semakin banyak sel granulosa yang mengalami kematian, menyebabkan peningkatan jumlah folikel yang rusak/atresia (Gannon, 2013). Hal ini terlihat pada rerata jumlah folikel atresia yang banyak pada kelompok yang hanya mendapat
85
aquadest. Hasil ini sesuai dengan penelitian Marhaeni (2009), dimana paparan asap rokok selama 7 minggu dapat meningkatkan jumlah folikel atresia. Hasil penelitian menunjukkan folikel atresia pada kelompok-kelompok yang diberikan ALA, lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat aquadest. Hal ini membuktikan efek proteksi ALA terhadap kerusakan folikel akibat stres oksidatif. ALA yang bersifat amfipatik mampu mencapai mitokondria untuk menetralisir radikal bebas dan meregenerasi antioksidan endogen sehingga mencegah stres oksidatif (Goraca et al., 2011). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Talebi et al (2012) yang membuktikan ALA dapat memperbaiki perkembangan folikel in vitro, dengan mengurangi SOR dan meningkatkan kapasitas total antioksidan dalam folikel. Semakin banyak folikel yang dilindungi perkembangannya, maka semakin sedikit jumlah folikel yang mengalami atresia. Namun dari hasil penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan bermakna pada rerata jumlah folikel atresia antara kelompok yang mendapat aquadest dan kelompok yang mendapat ALA 0,34 mg. Ini menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis 0,34 mg belum menunjukkan efek perlindungan bagi folikel dari paparan asap rokok.
Keadaan ini diduga karena sifat ALA yang cepat diserap namun tidak bertahan lama dalam sirkulasi, sehingga tidak semua ALA mencapai sel target (Shay et al., 2009). Stres pada mencit akibat pemberian force feeding juga diduga berperan dalam mempengaruhi efek ALA dosis 0,34 mg. Rerata jumlah folikel atresia antara kelompok yang mendapat ALA 1,02 mg dan kelompok yang mendapat ALA 2,04 mg, juga tidak ada perbedaan bermakna. Ini menunjukkan bahwa dosis 2,04 mg tidak lebih efektif dari dosis 1,02 mg dalam mencegah penurunan folikel atresia akibat paparan asap rokok. Selain sebagai antioksidan, ALA ternyata dapat menjadi 86 prooksidan (Moini et al., 2002). Hasil penelitian tidak menunjukkan perbedaan rerata jumlah folikel atresia antara dosis 1,02 mg dan 2,04 mg, diduga karena pada dosis tinggi sebagian ALA menjadi prooksidan. 6.4. Manfaat ALA dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging Medicine Gangguan folikulogenesis dapat mengurangi kadar hormon seks dan mengganggu sistem reproduksi perempuan. Penurunan kadar hormon seks dan gangguan sistem reproduksi merupakan salah satu tanda proses penuaan (Pangkahila, 2011).
Radikal
bebas
dan
stres
oksidatif
dapat
menyebabkan
gangguan
folikulogenesis (Talebi et al., 2012). ALA merupakan antioksidan poten dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi yang mampu bekerja di semua bagian sel (Goraca et al., 2011). Penelitian ini membuktikan bahwa ALA dapat menghambat gangguan folikulogenesis akibat paparan asap rokok pada mencit betina. ALA dapat menjadi pilihan antioksidan untuk mengatasi keadaan stres oksidatif yang dapat memicu
proses penuaan. Hal ini sesuai dengan prinsip ilmu Anti Aging Medicine, yaitu proses penuaan dapat dihambat bahkan dapat dicegah (Pangkahila, 2011). Hasil penelitian ini dapat menambah informasi tentang efek antioksidan ALA, yang dapat berguna dalam penelitian-penelitian selanjutnya bagi perkembangan Anti Aging Medicine. 6.5. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 7 minggu, namun belum ditemukan tanda87 tanda dan gejala-gejala efek samping pada hewan percobaan selama penelitian. Perlu dilakukan penelitian dalam waktu yang lebih lama, untuk mengetahui efek pemberian ALA jangka panjang dalam menghambat gangguan folikulogenesis. Penelitian ini melakukan pemberian ALA secara force feeding, sehingga cara pemberian seperti ini dapat menimbulkan stres pada mencit. Hal ini diduga ikut mempengaruhi hasil penelitian, dimana dosis ALA 0,34 mg menjadi tidak efektif dalam menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf dan peningkatan folikel atresia. Penelitian ini hanya melihat stres oksidatif akibat paparan asap rokok sebagai penyebab gangguan folikulogenesis dan tidak mempertimbangkan faktor lain seperti kelainan genetik, hormon FSH dan LH, juga faktor-faktor pertumbuhan lainnya dikarenakan keterbatasan biaya penelitian. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan bermakna pada jumlah folikel de Graaf dan jumlah atresia antara kelompok yang mendapat ALA 1,02 mg dan yang mendapat ALA 2,04 mg. Kemungkinan hal ini disebabkan karena ALA pada dosis 2,04 mg dapat menjadi prooksidan. Hal ini menjadi tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ALA merupakan
antioksidan poten, sehingga perlu penelitian lebih lanjut mengenai ALA sebagai prooksidan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pemberian ALA per oral pada mencit (Mus musculus) strain Balb/c betina yang dipapar asap rokok selama 7 minggu, didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Pemberian ALA 0,34 mg per oral menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 2. Pemberian ALA 0,34 mg per oral tidak menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok.
3. Pemberian ALA 0,34 mg per oral tidak menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit(Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 4. Pemberian ALA 1,02 mg per oral menghambat penurunan jumlah folikel sekunder pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap
89
rokok. 5. Pemberian ALA 1,02 mg per oral menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 6. Pemberian ALA 1,02 mg per oral menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit(Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 7. Pemberian ALA 2,04 mg per oral penurunan jumlah folikel sekunder
menghambat 88
pada
mencit
(Mus
musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 8. Pemberian ALA 2,04 mg per oral tidak menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf pada mencit (Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 9. Pemberian ALA 2,04 mg per oral tidak menghambat peningkatan jumlah folikel atresia pada mencit(Mus musculus) Balb/c betina yang dipapar asap rokok. 7.2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek ALA dalam menghambat gangguan folikulogenesis dengan memperhitungkan faktor-
faktor lain selain stres oksidatif, seperti kelainan genetik, FSH, LH dan faktorfaktor pertumbuhan. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai ALA sebagai prooksidan, dikarenakan pada penelitian ini dosis yang paling tinggi ternyata tidak menghambat penurunan jumlah folikel de Graaf dan peningkatan jumlah folikel atresia.
DAFTAR PUSTAKA
Adzilah, N. 2013. Wanita Dan Rokok. Kompasiana, cited 2013 Aug. 27. Available at http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/08/12/wanita-danrokok 583041.html Ahsan, A., Wiyono, Soerojo, W., Wibisana, W. 2009. Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI.hal.4-80. Andreozzi, F., Laratta, E., Sciacqua, A., Perticone, F., Sesti, G. 2004. Angiotensin II Impairs the Insulin Signaling Pathway Promoting Production of Nitric Oxide by Inducing Phosphorylation of Insulin Receptor Substrate 1 on Ser 312 and Ser 616 in Human Umbilical Vein Endothelial Cells. Circulation Research, 94: 1211–1218. Anwar, R. 2005. Morfologi dan Fungsi Ovaium. Subbagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unpad. [cited 2013, Jul.17]. Available at http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved= 0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fpustaka.unpad.ac.id%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2010%2F05%2Fmorfologi_dan_fungsi_ovarium.pdf& ei=tirmUa3DYHKrAfHl4DQBA&usg=AFQjCNGbD58leDJILOxRjwDmovw-EzVug&sig2=4t7ZCwwgY3QO_5WG8Uv0CQ&bvm=bv.49405654,d.bmk
Arief, I. 2010. Bahaya Rokok Bagi Kesehatan. National Cardiovaskular Center Harapan Kita, [cited 2013, Sept.06]. Available at: http://www.pjnhk. go.id/content/view/2931/33/ Atukeren, P., Aydin, S., Uslu, E., Gumustas, M. K., and Cakatay, U. 2010. Redox Homeostasis of Albumin in Relation to Alpha Lipoic Acid and Dihydrolipoic Acid. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 3(3): 206-213. Bashan, N., Kovsan, J., Kachko, I., Ovadia, H., Rudich, A. 2009. Positive and Negative Regulation of Insulin Signaling by Reactive Oxygen and Nitrogen Species. Physiological Reviews, 89: 27–71. Bast, A. and Haenen, G.R. 2003. Lipoic Acid: A Multifunctional Antioxidant. 91 BioFactors, 17: 207–213. Bentov, Y., Yavorska, T., Esfandiari, N., Jurisicova, A., and Casper, R.F. 2011. The Contribution of Mitochondrial Funcion to Reproductive Aging. Journal of Assisted Reproductions and Genetics, 28: 773-783. Bernasconi, E., Cabri, W., Colacci, A., Vaccari, M. 2002. The Use of Alpha Lipoic Acid in The Antimetastatic Treatment. Free Patents Online IP Research 90 & Communities, [cited 2014, Jul.09]. Available at: http://www.freepatentsonline.com/EP1173166 Bilska, A., and Wlodek, L. 2005. Lipoic Acid-The Drug of The Future. Pharmacological Reports, 57: 570-577. Bordel, R., Laschke, M.W., Menger, M.D., Vollmar, B. 2006. Nicotine Does Not Affect Vascularization, But Inhibits Growth of Freely Transplanted Ovarian Follicles by Inducing Granulosa Cell Apoptosis. Human Reproduction, 21:610– 617. Bulun, S.E. and Adashi, E.Y. 2002. The Physiology and Pathology of The Female Reproductive Axis. In: Larsen, Kronenberg, Melmed, Polonsky, editors. Williams Textbook of Endocrinology. 10th. Ed. Philadelphia: Saunders.p.587608. Carlson, D.A., Smith, A.R., Fisher, S.J., Young, K.L., Packer, L. 2007. The Plasma Pharmacikinetics of R(+) Lipoic Acid Administered as Sodium (R+) Lipoate to Healthy Human Subjects. Alternative Medicine Review, 12(4):343-351. Chavez, J., Cano, C., Souki, A., Bermudez, V., Medina ,M., Ciszek, A., Amell, A.,
Vargas, M.E., Reyna, N., Ramirez, I., Cano, R., Suarez, G., Contreras, F. and Velasco, M. 2006. Effect of Cigarette Smoking on The Oxidation/Antioxidation Balance in Healthy Subject. Revista Latinoamericana de Hipertension, Vol.1(1): 33-37. Cherniack, P.E. 2006. Alpha Lipoic Acid. Alternative Medicine Review,Vol.11(3): 232-237, [cited 2013 Jul.14]. Available at: http://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&vedCEIQFjAC&url=http%3A%2 F%2Fwww.lifetimeweightloss.com%2Fstorage2dtoxdocs%2FDetoxKit%2FSolv entRemover%2FAlpha%2520Lipoic%2520Acid220Monograph.pdf&ei=GY7iUf odi4yuB7O_gKgP&usg=AFQjCNF9bNltchbePjcU_aSaF_bYW5Q&sig2=q4Zab buM303qP4pAr1yDkA&bvm=bv.4805608,dmk Clavreul, N., Bachschmid, M.M., Hou, X., Shi, C., Idrizovic, A., Ido, Y., Pimentel, D. 2006. S-Glutathiolation of p21 Ras by Peroxynitrite Mediates Endothelial Insulin Resistance caused by Oxidized Low Density Lipoprotein. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 26: 2454–2461. 92 Cremer, D.R., Rabeler, R., Roberts, A., and Lynch, B. 2006. Long Term Safety of ALipoic Acid (ALA) Consumption: A 2 years Study. Regulatory Toxicology and Pharmacology, 46: 193–201. Davis, B.J., Dixon, D., Herbert, R.A., 1999. Ovary, Oviduct, Uterus, Cervix and Vagina. In: Maronpot, R. R., Boorman, G.A., Gaul, B.W. editors. Pathology of The Mouse-Reference and Atlas, Vienna, Illinois: Cache River Press 16. p.409-444. Dechanet, L., Anahory, T., Daude, Mathieu, J.C., Quantin, X., Reyftmann, L., Hamamah, S., Hedon, B., and Dechaud, H. 2011. Effects of Cigarette Smoking on Reproduction. Human Reproduction Update Vol.17, No.I: 76-95. Devasagayam, T.P.A., Tilak, J.C., Boloor, K.K., Sane, K.S., Ghaskadbi, S.S., and Lele, R.D. 2004. Free Radicals and Antioxidants in Human Health: Current Status and Future Prospects. Journal of The Association of Physicians of India, Vol.52: 794-804. Dietrich, M., Block, G., Hudes, M., Morrow, J.D., Norkus, E.P., Traber, M.G., Cross, C.E. And Packer, L. 2002. Antioxidant Supplementation Decreases Lipid Peroxidation Biomarker F2-isoprostanes in Plasma of Smokers. Cancer Epidemiology, Biomarkers and Prevention, vol.11:6-13. Eason, R.C., Archer, H.E., Akhtar, S., and Bailey, C.J. 2002. Lipoic Acid Increases Glucose Uptake by Skeletal Muscles of Obese Diabetic ob/ob Mice. Diabetes Obesity and Metabolism, 4: 29–35.
Eroschenko, V.P. 2003. Atlas Histologi de Fiore Dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9. Jakarta : EGC.hal.58-65. Federer, W.T. 2011. Statistical Design and Analysis for Intercropping Experiments. New York: Springer. p.30-33. Fiddian-Green, R.G. 2004. Ammonia in Cigarette Smoke: Cause of Addiction and Associated Diseases. BMJ Article, Oct., [cited 2014 Jun.12]. Available at: http://www.bmj.com/rapid-response/2011/10/30/ammonia-cigarette-smokecause-addiction-and-associated-diseases Fowles, J. and Bates, M. 2000, The Chemical Constituents in Cigaretes and Cigarette Smoke: Priorities for Harm Reduction. Epidemiology and Toxicology Group ESR: Kenepuru Science Center. Porirua. New Zealand Gannon, A.M. 2013. “Expossure To Cigarette Smoke And Its Impact On The Ovarian Follicle Population: Mechanisms Of Follicle Loss” (thesis). Canada. McMaster 93 University. Gartner, L.P. and Hiatt, J.L., 2001. Color Textbook of Histology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 20: 461-469. Ghibu, S., Richard, C., Vergely, C., Zeller, M., Cottin, Y., Rochette, L. 2009. Antioxidant Properties of an Endogenous Thiol: Alpha-Lipoic Acid, Useful in the Prevention of Cardiovascular Diseases. Journal of Cardiovascular Pharmacology. 54: 391–398. Ghosh, M. and Ionita, P. 2007. Investigation of Free Radicals in Cigarette Mainstream Smoke. 3rd Biennial Meeting of The Society for Free Radicals Research – Asia, 49-55. Golbidi, S., Badran, M. and Laher, I. 2011. Diabetes and Alpha Lipoic Acid. Review Article, [cited 2013 Jul.14]. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC3221300/ Goraca, A. and Aslanowicz-Antkowiak, K. 2009. Prophylaxis With Alpha-Lipoic Acid Against Lipopolisaccharide-Induced Brain Injury in Rats. Archivum Immunologiae et Therapiae Experimentalis (Warsz), 57: 141–146. Goraca, A., Huk-Kolega, H., Piechota, A., Kleniewska, P., Ciejka, E., Skibska, B. 2011. Lipoic Acid–Biological Activity and Therapeutic Potential. Pharmacological Reports, 63: 849-858.
Gupta, S., Choi, A., Yu, H.Y., Czerniak, S.M., Holick, E.A., Paolella, L.J., Agarwal, A., Combelles, C.M.H. 2011. Fluctuations In Total Antioxidant Capacity, Catalase Activity, And Hydrogen Peroxide Levels of Follicular Fluid During Bovine Folliculogenesis. Reproduction, Fertility and Development, 23(5): 673680. Hajoway, M. 2010. Alpha Lipoic Acid, A True Antioxidant. [cited 2013 Oct.10]. Available at: URL:http://www.bodybuilding.com/fun/ala2.html12 Hamid, A.A., Aiyelaagbe, O.O., Usman, L.A., Ameen, O.M., and Lawal, A. 2010. Antioxidants: It’s Medicinal And Pharmacological Applications. African Journal of Pure and Applied Chemistry Vol.4(8): 142-151, [cited 2013 Sept.09]. Available at: http://www.academicjournals.org/AJPAC Jornayvaz, F.R. and Shulman, G.I. 2010. Regulation of Mitochondrial Biogenesis. Essays in Biochemistry, 47:1-10. Kanzawa, T., Kondo, Y., Ito, H., Ito, S., Germano, I. 2003. Induction of Autophagyc Cell Death in Malignant Glioma Cells by Arsenic Trioxide. Cancer Research, 94 63:2103-2108. Lienesch, L.A., Dumont, J.N., Bantle, J.A. 2000. The Effect of Cadmium on Oogenesis in Xenopuslaevis. Chemosphere. 41:1651–1658. Liu, Y., Li, G.P., Rickords, L.F., White, K.L., Sessions, B.R., Aston, K.I., Bunch, T.D. 2008. Effect of Nicotine on In Vitro Maturation of Bovine Oocytes. Animal Reproduction Science, 103:13-24. Mader, S.S. 2002. Human Biology. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.p.325327 Mader, S.S. 2004. Biology. Eighth Edition. New York: McGraw-Hill.p.781-782. Marczyk, G.R., DeMatteo, D., Festinger, D. 2005. Essentials of Research Design and Methodology, Hoboken-New Jersey: John Wiley & Sons, [cited 2013 Sept.9]. Available at : http://www.google.com/books?hl=id&lr=&id=IhLlSGy JwcwC&oi=fnd&pg=PT15&dq=Essentials+of+Research+Design+and +Methodology&ots=_P6BMWaAgd&sig=eIfZs58Uahp41NE0W7W8 MB39ZlI#v=onepage&q&f=false Marhaeni, G.A. 2009. “Paparan Asap Rokok Menghambat Folikulogenesis Dan
Perilaku Seksual Mencit”(tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Mignini, F., Nasuti, C., Gioventu, G., Napolioni, V., and Di Martino, P. 2012. Human Bioavailibility and Pharmacokinetic Profile of Different Formulations Delivering Alpha Lipoic Acid. Open Access Scientific Reports, Vol.(8):1-6, [cited 2013 Sept.12]. Available at: http://dx.doi.org/10.4172/scientificreports. 418 Mizushima, N. and Levine, B. 2010. Autophagy in Mammalian Development and Differentiation. Nature Cell Biology, 12(9): 823-830. Moini, H., Packer, L., Saris, N.E.L. 2002. Antioxidant and Prooxidant Activities of -Lipoic Acid and Dihydrolipoic Acid. Toxicology and Applied Pharmacology, 182: 84-90. Mulligan Tuttle A.M., Stampfli, M., Foster, W.G. 2009. Cigarette Smoke Causes Follicle Loss in Mice Ovaries at Concentrations Representative of Human exposure. Human Reproduction, 24:1452-1459. Nampoothiri, L.P., Agarwal, A., Gupta, S. 2007. Effect of Co-Exposure to Lead and Cadmium on Antioxidant Status in Rat Ovarian Granulose Cells. Archives of Toxicology, 81:145–150. 95 Neal, M.S., Zhu, J., Holloway, A.C., Foster, W.G. 2007. Follicle Growth is Inhibited by Benzo-[a]-pyrene, at Concentrations Representative of Human Exposure, in an Isolated Rat Follicle Culture Assay. Human Reproduction, 22:961–967. Paget, G.E. and Barnes, J.M. 1964. Pharmacometrics. In. Lawrence, D.R., Bacharach, A.L., Editors. Evaluation of Drug Activities. Vol.1. New York: Academic Press. p.161. Paine, M.A., Ruder, E.H., Hartman, T.J., Blumberg, J., Goldman M.B. 2013. Chapter 4. Oxidative Stress, Oogenesis and Folliculogenesis. In: Agarwal, A., Aziz, N., Rizk, B. editors. Studies on Women’s Health. Oxidative Stress in Applied Basic Research and Clinical Practice. New York: Springer Science+Business Media. p.75-76. Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. p.13-28. Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging : Tetap Muda dan Sehat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. p.33-61.
Pasley, M. 2010. Nutrient Compendium. Energy Healing, [cited 2013 Sept.10]. Available at www.red-spirit-energy-healing.com Paszkowski, T., Clarke, R.N., Hornstein, M.D. 2002. Smoking Induces Oxidative Stress Inside The Graafian Follicle. Human Reproduction Vol.17, No.4: 921925 Ponomban, S.S. 2006. “Ekstrak Akar Telor (Moringa oleifera Lamk) Memperpanjang Siklus Ovulasi Pada Mencit (Mus musculus)” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Rodgman, A. and Perfetti, T.A., 2009. The Chemical Components Of Tobacco And Tobacco Smoke. Florida: CRC Press.p.1235-1250. Roizen, M. F. and Oz, M. C. 2009. Staying Young. Jurus Menyiasati Kerja Gen Agar Muda Sepanjang Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Qanita-PT.Mizan Pustaka. p.163-186. Sadler, T.W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 13-14 Sanders, S.R., Cuneo, S.P., Turzilo, A.M. 2002. Effects of Nicotine and Cotinine on Bovine Theca Interna and Granulosa Cells. Reproductive Toxicology, 16:795800. 96 Sharma, R.K., Reynolds, N., Rakhit, M., Agarwal, A. 2013. Methods For Detection of ROS in The Female Reproductive System. In: Agarwal A., Aziz N., Rizk B., editors. Studies on Woman’s Health, Oxidative Stress in Applied Basic Research and Clinical Practice. New York: Springer.p.33-60. Shay, K.P., Moreau, R.F., Smith, E.J., Smith, A.R., Hagen, T.M. 2009. Alpha-Lipoic Acid as a Dietary Supplement: Molecular Mechanisms and Pherapeutic potential. Biochimica et Biophysica Acta, 1790: 1149–1160. Singh, U. and Jialal, I. 2008. Alpha-Lipoic Acid Supplementation and Diabetes. Nutrition Reviews, 66: 646–657. Smith, J.B. and Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. p.10-36. Smith, M. 2010. Alpha Lipoic Acid Aiding the Treatment of Diabetes. Health Points
Article, cited 2013 Jul.16. Available at: tyh.com/cscart/Health... PDFs/Alpha-Lipoic_Diabetes.pdf
https://www.e-
Somwanshi, S.D., Madole, M.B., Ghuge, S., Bikkad, M., Ingle, S.B. 2013. Effect of Cigarette Smoking on Lipid Peroxidation in Semen. International Journal of Basic and Applied Medical Sciences, vol.3(2):289-294. Susanna, D., Hartono, B., Fauzan, H. 2003. Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap Rokok. Makara Kesehatan, Vol.7.No.2: p.37-41. Tabassum, H., Parvez S., Pasha S.T., Banerjee B.D., Raisuddin S. 2010. Protective Effect of Lipoic Acid Against Methotrexate-Induced Oxidative Stress in Liver Mitochondria. Food and Chemical Toxicology: an International Journal Published for The British Industrial Biological Research Association, 48(7): 1973-1079. Talebi, A., Zavareh, S., Kashani, M.H., Lashgarbluki, T., Karimi, I. 2012. The Effect of Alpha Lipoic Acid on The Developmental Competence of Mouse Isolated Preantral Follicles. Journal of Assisted Reproduction and Genetics, 29:175-183. Valavanidis, A., Vlachoggiani, T., Fiotakis, K. 2009. Tobacco Smoke: Involvement of Reactive Oxygen Species and Stable Free Radicals in Mechanisms of Oxidative Damage, Carcinogenesis and Synergistic Effects with Other Respirable Particles. International Journal of Environmental Research and Public Health, 6: 445-462. Vrsanska, S., Nagyova, E., Mlynarcikova, A., Fickova, M., and Kolena, J. 2003. Components of Cigarette Smoke Inhibit Expansion of Oocyte-Cumulus 97 Complexes from Porcine Follicles. Physiological Research, 52:383-387. Wanwimolruk, S., Prachayasittikul, V., Alexander, M.A. 2013. Variation in Lipoic Acid Content in Different Brands of Dietary Supplement Lipoic Acid and It’s Effect on Human CYP1A2 Enzyme. Biomedical and Applied Technology Journal, 1: 9-15. Westermann, B. 2010. Mitochondrial Fusion and Fission in Cell Life and Death. Nature Reviews Molecular Cell Biology, 11:872-884. Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Ina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.p.45-54. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami Dan Radikal Bebas : Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Wollin, S.D. and Jones, P.J.H. 2003. -Lipoic Acid and Cardiovascular Disease. The Journal of Nutrition, 133: 3327-3330. Wooten, J.B. and Chouchane, S. 2006. Tobacco Smoke Constituents Affecting Oxidative Stress. In : Halliwell, B.B., Poulsen, H.E., editors. Cigarette Smoke and Oxidative Stress. New York: Springer.p. 6-47. Ziegler, D. 2006. Alpha-Lipoic Acid Improved Polyneuropathy Symptoms. Diabetic Microvascular Complications Today,cited 2013 Jul.16. Available at: www.pdrhealth.com/drug_info/nmdrugprofiles/ nutsupdrugs/alp_0159.shtml. Zjačić-Rotkvić, V., Kavur, L., Cigrovski-Berković, M. 2010. Hormones and Aging. Acta Clinica Croatica, 49: 549-554. r, L. 2012. The Role of Oxidative Stress in Female Reproduction and Pregnancy. Intech, [cited 2013 Des.15]. Available at: http://ccf.org/reproductiveresear chcenter/docs/agradoc217.pdf
LAMPIRAN Lampiran 1 Foto-Foto Pemberian Perlakuan pada Hewan Percobaan
99
Lampiran 2 98
Foto-Foto Sediaan Histopatologis
100
101
102
103
104
Lampiran 3 Hasil perhitungan jumlah folikel sekunder, jumlah folikel de Graaf dan jumlah folikel atresia No
1 2 3 4 5 6 7
No
1 2 3 4 5 6 7
No
1 2
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan aquadest kanan Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 11 1 3 13 2 13 1 3 10 2 12 1 2 9 1 10 1 2
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan aquadest kiri Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 12 3 10 1 2 13 1 2 11 1 3 13 2 11 1 3 10 1
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan Ala 0,34 mg kanan Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 14 1 2 16 1 2
3 4 5 6 7 8
14 14 13 15 16 15
No
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan Ala 0,34 mg kiri Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 17 1 2 16 1 2 15 1 17 1 2 14 2 1 15 1 2 16 1 17 2
1 2 3 4 5 6 7 8
No
1 2 3 4 5 6 7 8 No
2 1 1 1
2 2 2 2 3 2
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan Ala 1,02 mg kanan Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 21 1 20 1 22 2 1 21 2 23 1 1 22 1 1 21 1 22 2 Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan Ala 1,02 mg
105
1 2 3 4 5 6 7 8
No
1 2 3 4 5 6 7 8
No
1 2 3 4 5 6 7 8
Folikel sekunder 23 21 20 23 22 20 22 21
kiri Folikel de Graaf 2 2 1 1 1 2 2
Folikel atresia 1 1 1 -
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan Ala 2,04 mg kanan Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 26 2 27 2 1 27 2 25 2 26 1 28 1 27 1 26 2 1
Jumlah folikel ovarium pada perlakuan asap rokok dan Ala 2,04 mg kiri Folikel sekunder Folikel de Graaf Folikel atresia 29 1 2 26 1 28 2 29 2 24 2 28 1 27 2 25 2 -
106
107
Lampiran 4 Hasil Analisis Deskriptif Data Jumlah Folikel Sekunder, Jumlah Folikel de Graaf dan Jumlah Folikel Atresia Sesudah Perlakuan. Descriptives 95% Confidence Interval for Mean N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimu Maximu m m
Folik Asap rokok+aquades el_se Asap rokok + ALA 0,34 mg kunde Asap rokok + ALA 1,02 mg r
8
22.25
2.375
.840
20.26
24.24
20
26
8
30.50
1.773
.627
29.02
31.98
27
32
8
43.00
1.309
.463
41.91
44.09
41
45
Asap rokok + ALA 2,04 mg
8
53.50
2.070
.732
51.77
55.23
50
56
32
37.31
12.241
2.164
32.90
41.73
20
56
8
1.25
.463
.164
.86
1.64
1
2
8
1.62
.744
.263
1.00
2.25
0
2
8
2.62
1.061
.375
1.74
3.51
1
4
Total Folik Asap rokok+aquades el_de Asap rokok + ALA 0,34 mg _graa Asap rokok + ALA 1,02 mg f Asap rokok + ALA 2,04 mg
8
3.25
.707
.250
2.66
3.84
2
4
32
2.19
1.091
.193
1.79
2.58
0
4
Folik Asap rokok+aquades el_atr Asap rokok + ALA 0,34 mg esia Asap rokok + ALA 1,02 mg
8
4.25
1.035
.366
3.38
5.12
3
6
8
3.75
.463
.164
3.36
4.14
3
4
8
.88
.835
.295
.18
1.57
0
2
Asap rokok + ALA 2,04 mg
8
.50
.756
.267
-.13
1.13
0
2
32
2.34
1.860
.329
1.67
3.01
0
6
Total
Total
108
Lampiran 5 Uji Normalitas Data Jumlah Folikel Sekunder, Jumlah Folikel de Graaf dan Jumlah Folikel Atresia Sesudah Perlakuan dengan uji Shapiro-Wilk dan Uji Homogenitas data dengan Levene’s test Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok Folikel_sekunder Asap rokok+aquades
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
*
.866
8
.139
.203
8
.200
Asap rokok + ALA 0,34 mg
.236
8
.200*
.850
8
.095
Asap rokok + ALA 1,02 mg
.152
8
.200*
.965
8
.857
.220
8
.200*
.917
8
.408
.455
8
.142
.821
8
.052
.443
8
.132
.835
8
.067
.222
8
.200*
.912
8
.366
.263
8
.109
.827
8
.056
.220
8
.200*
.917
8
.408
Folikel_de_graaf
Asap rokok + ALA 2,04 mg Asap rokok+aquades
Folikel_atresia
Asap rokok + ALA 0,34 mg Asap rokok + ALA 1,02 mg Asap rokok + ALA 2,04 mg Asap rokok+aquades
Asap rokok + ALA 0,34 mg
.455
8
.121
.866
8
.072
Asap rokok + ALA 1,02 mg
.228
8
.200*
.835
8
.067
Asap rokok + ALA 2,04 mg
.371
8
.132
.824
8
.054
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
Folikel_sekunder
1.456
3
28
.248
Folikel_de_graaf
2.169
3
28
.114
109 Folikel_atresia
1.500
3
28
.236
Lampiran 6 Hasil Uji Efek Perlakuan dengan uji one way Anova dan Uji Komparasi Jumlah Folikel Sekunder, Jumlah Folikel de Graaf dan Jumlah Folikel Atresia Antar Kelompok Sesudah Perlakuan dengan uji LSD. ANOVA Sum of Squares Folikel_sekunder
Between Groups Within Groups Total
Folikel_de_graaf
Folikel_atresia
df
Mean Square
4541.375
3
1513.792
103.500
28
3.696
4644.875
31
Between Groups
20.125
3
6.708
Within Groups
16.750
28
.598
Total
36.875
31
Between Groups
89.344
3
29.781
Within Groups
17.875
28
.638
F
Sig.
409.528
.000
11.214
.000
46.650
.000
ANOVA Sum of Squares Folikel_sekunder
Between Groups
3
1513.792
103.500
28
3.696
4644.875
31
Between Groups
20.125
3
6.708
Within Groups
16.750
28
.598
Total
36.875
31
Between Groups
89.344
3
29.781
Within Groups
17.875
28
.638
107.219
31
Total
Folikel_atresia
Mean Square
4541.375
Within Groups Folikel_de_graaf
df
Total
F
Sig.
409.528
.000
11.214
.000
46.650
.000
110
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons LSD Dependent Variable (I) Kelompok
(J) Kelompok
Folikel_sek Asap rokok+aquades Asap rokok + ALA 0,34 mg under
Mean Difference (IJ) Std. Error
95% Confidence Interval Sig.
Lower Bound Upper Bound
*
.961
.000
-10.22
-6.28
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-20.750*
.961
.000
-22.72
-18.78
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-31.250*
.961
.000
-33.22
-29.28
*
.961
.000
6.28
10.22
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-12.500*
.961
.000
-14.47
-10.53
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-23.000*
.961
.000
-24.97
-21.03
Asap rokok+aquades
20.750
*
.961
.000
18.78
22.72
Asap rokok + ALA 0,34 mg
12.500*
.961
.000
10.53
14.47
Asap rokok + ALA 2,04 mg
*
.961
.000
-12.47
-8.53
Asap rokok+aquades
31.250*
.961
.000
29.28
33.22
Asap rokok + ALA 0,34 mg
23.000*
.961
.000
21.03
24.97
Asap rokok + ALA 1,02 mg
10.500*
.961
.000
8.53
12.47
Folikel_de_ Asap rokok+aquades Asap rokok + ALA 0,34 mg graaf
-.375
.387
.341
-1.17
.42
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-1.375
*
.387
.001
-2.17
-.58
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-2.000*
.387
.000
-2.79
-1.21
Asap rokok + ALA 0,34 mg
Asap rokok + ALA 1,02 mg
Asap rokok + ALA 2,04 mg
Asap rokok + ALA 0,34 mg
Asap rokok+aquades
8.250
-10.500
.375
.387
.341
-.42
1.17
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-1.000*
.387
.015
-1.79
-.21
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-1.625*
.387
.000
-2.42
-.83
Asap rokok+aquades
1.375
*
.387
.001
.58
2.17
Asap rokok + ALA 0,34 mg
1.000*
.387
.015
.21
1.79
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-.625
.387
.117
-1.42
.17
Asap rokok+aquades
2.000
*
.387
.000
1.21
2.79
Asap rokok + ALA 0,34 mg
1.625*
.387
.000
.83
2.42
Asap rokok + ALA 1,02 mg
.625
.387
.117
-.17
1.42
Folikel_atre Asap rokok+aquades Asap rokok + ALA 0,34 mg sia
.500
.399
.221
-.32
1.32
Asap rokok + ALA 1,02 mg
3.375
*
.399
.000
2.56
4.19
Asap rokok + ALA 2,04 mg
3.750*
.399
.000
2.93
4.57
Asap rokok + ALA 1,02 mg
Asap rokok + ALA 2,04 mg
Asap rokok + ALA 0,34 mg
Asap rokok + ALA 1,02 mg
Asap rokok + ALA 2,04 mg
Asap rokok+aquades
-8.250
Asap rokok+aquades
-.500
.399
.221
-1.32
.32
Asap rokok + ALA 1,02 mg
2.875*
.399
.000
2.06
3.69
Asap rokok + ALA 2,04 mg
3.250*
.399
.000
2.43
4.07
Asap rokok+aquades
-3.375*
.399
.000
-4.19
-2.56
Asap rokok + ALA 0,34 mg
-2.875*
.399
.000
-3.69
-2.06
Asap rokok + ALA 2,04 mg
.375
.399
.356
-.44
1.19
Asap rokok+aquades
-3.750*
.399
.000
-4.57
-2.93
Asap rokok + ALA 0,34 mg
-3.250*
.399
.000
-4.07
-2.43
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-.375
.399
.356
-1.19
.44
Multiple Comparisons LSD Dependent Variable (I) Kelompok
(J) Kelompok
Folikel_sek Asap rokok+aquades Asap rokok + ALA 0,34 mg under
Mean Difference (IJ) Std. Error
95% Confidence Interval Sig.
Lower Bound Upper Bound
*
.961
.000
-10.22
-6.28
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-20.750*
.961
.000
-22.72
-18.78
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-31.250*
.961
.000
-33.22
-29.28
*
.961
.000
6.28
10.22
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-12.500*
.961
.000
-14.47
-10.53
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-23.000*
.961
.000
-24.97
-21.03
Asap rokok+aquades
20.750
*
.961
.000
18.78
22.72
Asap rokok + ALA 0,34 mg
12.500*
.961
.000
10.53
14.47
Asap rokok + ALA 2,04 mg
*
.961
.000
-12.47
-8.53
Asap rokok+aquades
31.250*
.961
.000
29.28
33.22
Asap rokok + ALA 0,34 mg
23.000*
.961
.000
21.03
24.97
Asap rokok + ALA 1,02 mg
10.500*
.961
.000
8.53
12.47
Folikel_de_ Asap rokok+aquades Asap rokok + ALA 0,34 mg graaf
-.375
.387
.341
-1.17
.42
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-1.375
*
.387
.001
-2.17
-.58
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-2.000*
.387
.000
-2.79
-1.21
Asap rokok + ALA 0,34 mg
Asap rokok + ALA 1,02 mg
Asap rokok + ALA 2,04 mg
Asap rokok + ALA 0,34 mg
Asap rokok+aquades
8.250
-10.500
.375
.387
.341
-.42
1.17
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-1.000*
.387
.015
-1.79
-.21
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-1.625*
.387
.000
-2.42
-.83
Asap rokok+aquades
1.375
*
.387
.001
.58
2.17
Asap rokok + ALA 0,34 mg
1.000*
.387
.015
.21
1.79
Asap rokok + ALA 2,04 mg
-.625
.387
.117
-1.42
.17
Asap rokok+aquades
2.000
*
.387
.000
1.21
2.79
Asap rokok + ALA 0,34 mg
1.625*
.387
.000
.83
2.42
Asap rokok + ALA 1,02 mg
.625
.387
.117
-.17
1.42
Folikel_atre Asap rokok+aquades Asap rokok + ALA 0,34 mg sia
.500
.399
.221
-.32
1.32
Asap rokok + ALA 1,02 mg
3.375
*
.399
.000
2.56
4.19
Asap rokok + ALA 2,04 mg
3.750*
.399
.000
2.93
4.57
Asap rokok + ALA 1,02 mg
Asap rokok + ALA 2,04 mg
Asap rokok + ALA 0,34 mg
Asap rokok + ALA 1,02 mg
Asap rokok + ALA 2,04 mg
Asap rokok+aquades
-8.250
Asap rokok+aquades
-.500
.399
.221
-1.32
.32
Asap rokok + ALA 1,02 mg
2.875*
.399
.000
2.06
3.69
Asap rokok + ALA 2,04 mg
3.250*
.399
.000
2.43
4.07
Asap rokok+aquades
-3.375*
.399
.000
-4.19
-2.56
Asap rokok + ALA 0,34 mg
-2.875*
.399
.000
-3.69
-2.06
Asap rokok + ALA 2,04 mg
.375
.399
.356
-.44
1.19
Asap rokok+aquades
-3.750*
.399
.000
-4.57
-2.93
Asap rokok + ALA 0,34 mg
-3.250*
.399
.000
-4.07
-2.43
Asap rokok + ALA 1,02 mg
-.375
.399
.356
-1.19
.44
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
111
Lampiran 7 Tabel Konversi Perhitungan Dosis untuk Berbagai Jenis (Species) Hewan Uji (Paget and Barnes, 1964)
Mencit 20 gr
Tikus 200 gr
Marmut 400 gr
Kelinci 1,5 Kg
Kucing 2 Kg
Kera 4 Kg
Anjing 12 Kg
Manusia 70 Kg
Mencit 20 gr
1,0
7,0
2,25
27,8
29,7
64,1
142,2
387,9
Tikus 200 gr
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
Marmut 400 gr
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
Kelinci 1,5 Kg
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
Kucing 2 Kg
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
Kera 4 Kg
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
Anjing 12 Kg
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,018
0,013
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
Manusia 70 Kg 0,0026