HAK-HAK PEKERJA/BURUH DALAM PRAKTEK OUTSOURCING MENURUT UU KETENAGAKERJAAN (STUDI KASUS DISNAKERTRANS PROPSU) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
AISYAH KHAIRANI LUBIS 050200041
Departemen Hukum Keperdataan BW
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
HAK-HAK PEKERJA/BURUH DALAM PRAKTEK OUTSOURCING MENURUT UU KETENAGAKERJAAN (STUDI KASUS DISNAKERTRANS PROPSU) Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
AISYAH KHAIRANI LUBIS 050200041
Departemen Hukum Keperdataan BW
Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Keperdataan
(Prof. Dr. H. Tan Kamello , SH, MS) N I P. 131 764 556
Dosen Pembimbing I
(Prof. Dr. H. Tan Kamello , SH, MS) N I P. 131 764 556
Dosen Pembimbing II
(Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum) N I P. 131 961354
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
ABSTRAK HAK-HAK PEKERJA/BURUH DALAM PRAKTEK OUTSOURCING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 OLEH AISYAH KHAIRANI LUBIS NIM. 050200041 HUKUM KEPERDATAAN BW
Problematika mengenai Outsourcing cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Metode pengumpulan dan analisis data yang dilakukan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelusuri undang-undang dan buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi dan penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara dengan pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan tugas-tugas di bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada organisasi ini dapat diketahui sejauh mana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan Outsourcing serta hubungan hukum antara karyawan Outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa Outsourcing.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Pertama sekali penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah merahmati hambaNya dalam berbagai usaha dan kegiatan, serta dengan hidayah dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Demikian juga Shalawat dan beriring salam ditujukan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing manusia ke arah yang lebih cerah dan penuh kebenaran. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul Skripsi “HAK-HAK PEKERJA/BURUH DALAM PRAKTEK OUTSHOURCING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (PENELITIAN PADA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI SUMATERA UTARA)” Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan arahannya selama kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.HUM Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan dan Dosen Pembimbing 1. 3. Ibu Rosnidar
selaku pembimbing 2 yang telah memberikan waktunya untuk
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
4. Pimpinan dan seluruh staf Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara yang membantu penulis memberikan data-data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini. 5. Orang tua dan seluruh keluaga yang telah mendukung saya dalam penulisan skripsi ini. 6. Seluruh teman-teman saya yang telah banyak mendukung saya dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat dan TaufiqNya kepada kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan,
Agustus 2009 Penulis
Aisyah Khairani Lubis
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
RIWAYAT HIDUP PENULI SKRIPSI Nama
:
Aisyah Khairani Lubis
NIM
:
050200041
Tempat/Tgl. Lahir
:
Medan/30 Januari 1987
Alamat
:
Jln. Suka Adil no.1 Medan Johor 20146
Pekerjaan
:
Mahasiswi
Agama
:
Islam
Status Pribadi
:
Belum Kawin
Tamat SD
:
Tahun 1999
Tamat SMP
:
Tahun 2001
Tamat SMU
:
Tahun 2005
Nama Orang Tua Laki-Laki
:
Drs. H. Imran Lubis, MM
Nama Orang Tua Perempuan
:
Hj.Saidah Ariyani.Simanjuntak
Anak Ke
:
1 (satu) dari 2 bersaudara
Tahun Masuk Fakultas ini
:
Tahun 2005
Penyusun
Aisyah Khairani Lubis
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
DAFTAR ISI
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Permasalahan
3
C. Tujuan Penelitian
4
D. Kegunaan Penelitian
4
E. Metode Penelitian
5
F. Landasan Teori
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
9
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
11
A. Gambaran Umum Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara B. Pengaturan Outsourcing dalam Undang-Undang
11 11
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan C. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan
14
Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
D. Perjanjian dalam Outsourcing
18
E. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya)
20
dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing. F. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya) BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
23 25
A. Kesimpulan
25
B. Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production)1. Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan 2. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak 3.
Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Pengaturan hukum outsourcing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 1
Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm 2 ibid 3 Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang Outsourcing
ini sendiri masih dianggap
pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab terjadinya perubahan sosial, termasuk di Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
bidang hukum Ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya: Social Change and History., bahwa dengan timbul perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan Buruh. Pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh. 4
Dalam perspektif hukum, menurut Satjipto Rahardjo, bahwa: Pemilik barang hanya terikat kepada barangnya saja. Ia hanya mempunyai kekuasaan atas barang yang dimilikinya, tetapi apa yang semula merupakan penguasaan serta kontrol atas barang, atas pekerja upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu berubah fungsinya menjadi kapital. Orang yang disebut sebagai pemilik, membebani orang lain dengan tugas-tugas, menjadikan orang itu sebagai sasaran dari perintah-perintahnya dan setidak-tidaknya pada masa awal-awal kapitalisme mengawasi sendiri pelaksaan dari perintah-perintahnya. 5
B. Rumusan Masalah Problematika mengenai Outsourcing cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan Outsourcing dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang 4 5
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 97. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal.205
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan Outsourcing. Guna membatasi permasalahan dan membentuk
alur
pikir
yang
sistematis
berikut
dikemukakan
beberapa
permasalahan yaitu: 1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan
penunjang perusahaan (non core bussiness) yang
merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing ? 2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa Outsourcing ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulis dalam meneliti permasalahan yang dikemukakan di atas adalah : 1.
Untuk mengetahui sejauh mana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan
penunjang perusahaan (non core
bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing. 2.
Untuk mengetahui hubungan hukum antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa Outsourcing.
Skripsi ini diharapkan dapan memberikan faedah atau manfaat sebagai berikut 1. Secara Teoritis
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan Hukum Ketenagakerjaan. 2. Secara Praktis a. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga pemerintah, penegak hukum, praktisi hukum. b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan berkaitan dengan hukum Ketenagakerjaan. c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan dalam bidang hukum.
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil buah pemikiran sendiri. Skripsi yang dibuat ini belum pernah ada pihak yang membuatnya. Jikalaupun memang ada, sudut pembahasannya pasti berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Sebagai bahan pemikiran, Aloysius Uwiyono menegaskan bahwa dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah semakin berkurang dan peranan swasta menjadi semakin besar 6. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan dimana
6
Aloysius, Uwiyono, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA, Jurnal Hukum Bisnis, Vo1.22, Jan-Feb 2003, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 41
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
peran pengusaha sangat berpengaruh dalam dalam menyusun syarat-syarat kerja dalam hubungan kerja. Kondisi di atas ternyata sangat tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, dimana Indonesia menerapkan sistem sistem hukum sipil (Civil Law). Karakteristik dari hukum sipil adalah besarnya peran Pemerintah sebagai legulator dibandingkan dengan pihak swasta. Selain itu keadaan ini tentunya harus mengacu kepada prinsip negara kesejahteraan (welfare state), dimana tujuan negara kesejahteraan adalah untuk kesejahteraan umum. Untuk tujuan tersebut, Pemerintah harus mampu menyusun norma-norma hukum yang dapat ditaati dalam konteks pelaksanaan Outsourcing dan sedapat mungkin hukum harus dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Disini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan
yang
dikehendaki,
menghapuskan kebiasaan
yang
dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kebaikan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrumen. Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,yang dimaksud dengan Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 angka 1 adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,selama dan sesudah masa kerja.
Dalam Pasal 3 UUK, menegaskan bahwa pembentukkan Ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
sektoral pusat dan daerah. 7 Asas pembangunan ketenagakerjaan, pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional,khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan Ketenagakerjaan menyangkut multi dimensional dan terkait dengan berbagai pihak yaitu antara Pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/Buruh.
Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata dan dapat bersifat publik. Dikatakan sifat perdata oleh karena sebagai mana kita ketahui bahwa hukum perdata mengatur kepentingan orang perorangan dalam hal antara tenaga kerja dengan pengusaha yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja. Sedangkan mengenai hukum perjanjian terdapat/diatur dalam KUHPerdata, Buku III,disamping bersifat perdata juga bersifat publik, alasannya adalah : a. Dalam hal-hal tertentu Negara/Pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah Ketenagakerjaan,misalnya dalam masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). b. Adanya sanksi-sanksi/aturan-aturan didalam setiap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. 8 Dengan mengutip istilah dalam ilmu teknik, penggunaan hukum secara sadar untuk mengubah masyarakat itu sebagai social engineering atau lengkapnya social engineering by law 9.
7
Pasal 3 UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ,Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39 8 Sendjun W.Manullang, Loc.cit. 9 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.208. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
F. Metode Penelitian a. Lokasi Penelitian Untuk mendukung penelitian penulis sekaligus juga untuk mendapatkan data yang akurat, maka yang diperlukan suatu lokasi penelitian sebagai tempat untuk mengambil dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian dan pembahasan skripsi ini. Sebagai lokasi yang ditentukan dalam melakukan penelitian skripsi ini adalah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara, Jl. Asrama No. 143 Medan.
b. Spesifikasi Penelitian dan Metode Pendekatan a. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah termasuk deskriptif 10, sebab hanya menggambarkan objek yang menjadi pokok permasalahan. Dalam hal ini penulis akan mencoba menggambarkan tentang hak-hak pekerja/buruh dalam praktek aoutshorucing menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
b. Metode Pendekatan Metode pendekatan peneliti ini mempergunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pendekatan yuridis normatif 11 dipergunakan dengan cara melihat bahan-bahan pustaka seperti Undang-undang dan literatur-literatur tentang pokok permasalahan yang
10
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian, artinya menggambar objek PT. Gramedia, Jakarta, 1985 hal 10 11 Ibid hal 15. artinya Undang-undang yang berlaku Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
di teliti. Sedangkan metode yuridis empiris 12 diperoleh dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara dengan cara melakukan wawan cara kepada pimpinan dan staf pada dinas tersebut.
c. Metode Pengumpulan Data dan Analisa Data a. Jenis dan Sumber data Untuk terlaksananya penelitian dan penulisan ini diperlukan sejumlah data yang dikelompokkan pada : a) Data primer, merupakan satu bentuk data yang akan diperoleh secara langsung melalui opservasi terhadap objek peneliti. b) Data sekunder, dimana data sekunder di dalam penelitian ini bersumber didasari : 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa peraturanperaturan ketenagakerjaan. 2) Bahan
hukum
sekunder,
yakni
bahan-bahan
yang
erat
hubungannya dengan bahan hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. 3) Bahan hukum tersier, yakni yang memberi informasi lebih lanjut mengenai hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum.
b. Tehnik Pengumpulan Data.
12
Ibid hal 17. artinya berdasarkan data yaitu buku-buku
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pengumpulan data ini merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi dan menggunakan metode penelitia sebagai berikut : a) Penelitian kepustakaan (library research) Dalam hal ini penulis membaca literatur berupa peraturan perundangundangan, buku-buku ilmiah dan dokumentasi lainnya seperti koran, majalah serta sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. b) Penelitian lapangan (field research) Dalam hal ini penulis melakukan obeservasi dan wawancara kepada pimpinan dan staf pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara.
c. Analisis Data Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian dan penulisan skripsi ini
melalui suatu pengamatan yang teruji, guna mendapatkan
gambaran tentang pemecahan masalah, pengajuan analisa sangat diperlukan, sehingga studi ini memenuhi syarat untuk dijadikan bahan masukan bagi pihak terkait. Maka penelitian ini mempergunakan analisa kualitatif, yang dijabarkan dan disajikan labih lanjut dalam pembahasan yang disajikan secara tuntas tentang permasalahannya
G. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I : Pendahuluan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Dalam bab pendahuluan ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Umum tentang Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia Dalam bab ini penulis akan membahas tentang pemahaman akan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia seperti pengertian hukum ketenagakerjaan, Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan, Sifat Hukum Ketenagakerjaan, Subjek hukum
Ketenagakerjaan,
Perlindungan
tenaga
kerja
menurut
Hukum
Ketenagakerjaan.
Bab III : Pendekatan Teoritis Perjanjian Pemborongan melakukan Pekerjaan. Pada umumnya yang meliputi teori-teori serta bahan pokok dalam pembahasan penulisan skripsi ini yang terdiri dari 6 bab yaitu : A. Pengertian
Pemborongan
Pekerjaan,menjelaskan
pengertian
“Perjanjian”yang dirumuskan dari hubungan:”Perikatan yang diatur dalam buku III BW (KUHPerdata) dan membedakan pengertian perjanjian antara KUHP pasal 1601 b dengan UUKT dalam Pasal 64,UU Nomor 13/2003 secara umum B. Subjek dan Objek Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yang terbagi lagi menjadi 2 sub bab yaitu: Subyek Perjanjian Pemborongan Pekerjaan,yang menjadi subyek hukum dari suatu perjanjian menjelaskan syarat sahnya suatu perjanjian Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif dari suatu perikatan. Obyek Perjanjian Pemborongan Pekerjaan,menjelaskan syarat tertentu agar suatu hal dapat menjadi obyek perjanjian berdasarkan KUHP C. Jenis-jenis
Perjanjian
Pemborongan
Pekerjaan,
menjelaskan
Jenis
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dibuat dalam bentuk tertulis berdasarkan Pasal 64-66 yaitu UU Nomor 13/2003 D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Pemborongan Pekerjaan, yang terbagi menjadi 2 sub bab yaitu : Hak Pihak Pemborong, dan Hak Pihak Yang Memborongkan Kewajiban Pihak Pemborong, dan Kewajiban Pihak Yang Memborongkan E. Proses Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yang terbagi menjadi 2 sub bab yaitu : Jaminan dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Sifat dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan F. Resiko dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yaitu persoalan resiko mengacu pada buku III KUHPerdata, Pasal 1237 yang menjelaskan “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang.” G. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, menjelaskan alasanalasan berakhirnya perjanjian pemborongan pekerjaan berdasarkan KUHPerdata. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Bab IV : HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas dan menganalisa tentang hak-hak Pekerja/Buruh dalam praktek Outsourcing, Pengaturan Outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, Penentuan pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang (non core business) dalam perusahaan sebagai dasar pelaksanaan outsourcing, Perjanjian dalam outsourcing, Hubungan hukum antara karyawan Outsourcing (alih daya) dengan perusahaan, Penyelesaian perselisihan dalam Outsourcing (alih daya).
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan kesimpulan akhir dari keseluruhan analisa penulis yang dalam menjawab pertanyaan yang telah ditentukan dalam bab pertama. Saran terhadap permasalahan dalam penulisan ini akan dibahas dalam bab ini.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BURUH
A. Sejarah Hukum Perburuhan di Indonesia Berbicara tentang sejarah hukum perburuhan tidaklah dapat dipastikan tentang tanggal yang pasti tentang pembentukan hukum tersebut karena pada saat itu walaupun dalam prakteknya rakyat Indonesia telah mengenalnya tapi masih saja dilakukan secara berbeda-beda menurut daerahnya masing-masing ditambah lagi belum adanya kesepakatan untuk mengkodifikasikannya pada saat itu.
Karena itu kita tidak dapat memastikan pada tahun manakah riwayat hukum perburuhan itu dimulai, kita hanya dapat mengatakan dimulai dengan jaman perbudakan yaitu pada saat orang memiliki budak dan menyuruh budak itu melakukan pekerjaan untuk kepentingan dan dibawah pimpinan si pemilik tersebut sampai pada masa sekarang ini.
A.1. Perbudakan Pada zaman perbudakan ini, orang yang melakukan pekerjaan dibawah pimpinan orang lain yaitu para budak tidak mempunyai hak apapun bahkan hak atas hidupnya pun tidak. Yang mereka miliki hanyalah kewajiban melakukan pekerjaan, kewajiban melakukan semua perintah menurut semua aturan yang ditetapkan pemilik budak. Pemilik budak ini merupakan satu-satunya pihak antara hubungan antara pekerja dengan pengusaha. Hak untuk memberikan kesehatan, hak untuk memberikan kehidupan yang layak, hak untuk yang lainnya yang untuk Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
kepentingan budak tersebut tidak ada lagi bagi budak tersebut, yang ada hanyalah kewajiban yang mutlak dari budak tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, walaupun perbudakan dipandang dengan suatu hal yang sangat menguntungkan, perlindungan dan pengawasan terhadap nasib mereka sudah mulai diperhatikan walaupun masih jauh dari yang diharapkan, sebagai bukti bahwa dalam praktek perlakuan terhadap para budak itu sangat mengerikan, ialah ketika pemerintah Hindia Belanda dahulu memulai ikut mengatur soal perbudakan ini pada tahun 1817 yang mengadakan larangan mengenai memasuki budak ke Pulau Jawa.
Peraturan-peraturan lain yang dibuat pada jaman Hindia Belanda ini adalah sebagai berikut : a. Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1819 b. peraturan tentang pajak atas kepemilikan budak yang masih kanakkanak dari tahun 1629 c. Peraturan tentang pendaftaran budak dari tahun 1833 d. Peraturan tentang penggantian nama para budak dari tahun 1834 e. Peraturan tentang pembebasan perbudakan bagi pelaut yang dijadikan budak dari tahun 1848. 13
Persoalan hubungan antara para budak dengan pemiliknya itu, tidak terletak pada peraturan yang baik mengenai hubungan itu, tetapi terletak pada hakekat perbudakan itu sendiri. Satu-satunya penyelesaian adalah penundukan
13
Prof.Imam Soepomo,SH, Penghantar Hukum Perburuhan, Hal 11
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
para budak itu pada kedudukan manusia merdeka, baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis.
A.2. Pekerjaan Rodi Selain bentuk kerja perbudakan, sehingga digambarkan diatas ini, sejak dahulu kala dari para penduduk, anggota suku/anggota desa, dimintakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka bersama dan untuk suku/desa sebagai satu kesatuan.
Pada kerajaan-kerajaan di Jawa, rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepala dan pegawai serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dan sebagainya.
Setelah Indonesia dikembalikan pada Nederland (1816), rodi diperhebat untuk kepentingan Gubernemen. Rodi digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu a. Rodi Gubernemen yaitu rodi untuk kepentingan Gubernemen dan para pegawainya ( herendienst) b. Rodi Perorangan yaitu rodi untuk kepentingan kapal-kapal dan pembesarpembesar Indonesia (Persoonlijks diensten) c. Rodi Desa yaitu rodi untuk kepentingan desa (Desa diensten)
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
B. Pengertian Buruh Hukum Perburuhan merupakan hukum tertulis yang telah terkodifikasi dalam KUH Sipil dan sebagian lagi yang belum terkodifikasi, dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Buruh bukanlah hal yang baru di Indonesia, masyarakat Indonesia sejak dulu telag mempraktekkannya didalam kehidupan, hanya saja namanya atau istilahnnya yang berbeda-beda di setiap tempat atau daerah. Menurut Prof.Imam Soepomo,SH, Buruh adalah seseorang yang menjalankan pekerjaan untuk majikan, dalam hubungan kerja dengan menerima upah. 14
Sedangkan menurut UU Kecelakaan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 pengertian buruh adalah tiap orang yang bekerja pada majikan diperusahaan yang diwajibkan memberikan tunjangan, dengan mendapat upah
Dari pengertian diatas dapatlah ditarik hakikat dan sifat buruh tersebut dimana : a. Secara yuridis, buruh adalah memang bebas, oleh karena prinsip negara kita adalah bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak b. Secara sosiologis adalag tidak bebas, sebab sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain daripada tenaganya, ia terpaksa bekerja untuk orang lain. Dan majikan itulah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. 15 14 15
Ibid, Hal 28 Ibid, Hal 03
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
C. Jenis-Jenis Buruh Buruh
atau
tenaga
kerja
yang
ada
di Indonesia
mengalami
perkembangan yang sangat besar, nama yang digunakan untuk membedakan jenis buruh pada dasarnya sudah ada sebelumnya, hanya saja pada saat itu masih menggunakan kata-kata yang sederhana yaitu buruh.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, buruh juga mengalami perkembangan yang sama pula, sehingga lahirlah beberapa jenis buruh atau tenaga kerja antara lain : 1. Buruh / Tenaga Kerja Biasa 2. Tenaga Harian Lepas 3. Tenaga Kerja Borongan 4. Tenaga Kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Menurut Prof.Imam Soepomo,SH pengertian buruh biasa adalah buruh yang bekerja pada orang lain atau dibawah perintah orang lain dengan menerima upah. Buruh atau tenaga kerja ini biasanya bekerja pada satu perusahaan yang didasari atas perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang dimaksud adalah perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha yang telah disepakati oleh tenaga kerja.
Penetapan upah biasanya didasari atas satuan kerja per satuan bulanan yang besarnya telah disepakati semula pada awal perjanjian kerja masuk kerja.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Sedangkan pengertian buruh harian lepas dan buruh borongan dapat dengan jelas dilihat pada Keputusan Menteri Nomor 150/1999 dan Keputusan Menteri Nomor 196/1999 yaitu : Buruh atau Tenaga Kerja Harian Lepas adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu maupun kontuinitas pekerjaan dengan menerima upah didasarkan atas kehadiran yang secara harian. 16
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja harian lepas dalam pemberian upah didasari dengan berapa banyak pekerja tersebut masuk bekerja, jadi upah yang didasari atas jumlah atau volume harian.
Tenaga Kerja Borongan adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima upah yang didasarkan atas jumlah atau volume pekerjaan satuan hasil kerja. 17
Dalam hal jumlah upah sebulan sebagaimana dimaksud kurang dari upah minimum bulanan yang berlaku, maka sebagai dasar penetapan iuran dihitung secara proporsional dari upah minimum bulanan yang berlaku.
Tenaga Kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima
16 17
Keputusan Menteri Nomor 150/MEN/1999, hal 3 Ibid Hal 3
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
upah yang didasarkan atas kesepakatan dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu dan atau selesainya pekerjaan tertentu. 18
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja perjanjian kerja waktu tertentu, upah sebulan yang dipergunakan, sebagai dasar penetapan bagi tenaga kerja waktu tertentu ditetapkan sebesar yang tercantum dalam perjanjian kerja, maksudnya ditetapkan sebesar yang tercantum dalam perjanjian kerja adalah perjanjian atau kesepakatan yang dibuat atau disepakati pada saat tenaga kerja tersebut melamar pekerjaan pada perusahaan yang menerimanya. Jadi sudah ada kesepakatan upah dalam perjanjian kerja yang dibuat.
D. Hak dan Kewajiban Buruh Seseorang sebelum melakukan hubungan kerja dengan orang lain, terlebih dahulu akan diadakan suatu perjanjian kerja baik dalam bentuk yang sederhana yang pada umumnya dibuat secara formal yaitu dalam bentuk tertulis. Semua upaya tersebut dibuat untuk maksud perlindungan dan kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Menurut Sendjun W,Manullang,SH dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa ada 3 faktor yang menentukan hubungan kerja yaitu : a. adanya pekerjaan yang harus dilakukan b. adanya perintah (bekerja atas perintah atasan/pengusaha)
18
Ibid Hal 3
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
c. adanya upah tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur tersebut maka tidak ada hubungan kerja.
Hubungan kerja sebagai realisasi dari perjanjian kerja, hendaknya menunjukkan kedudukan masing-masing pihak yang pada dasarnya akan menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap pekerja secara timbal balik. Hak dan kewajiban antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya merupakan suatu kebalikan jika disuatu pihak merupakan suatu hak, maka dipihak lainnya adalah merupakan kewajiban. Hak adalah sesuatu yang harus diberikan seseorang kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status seseorang.
Kewajiban tenaga kerja merupakan hak para pengusaha, demikian pula sebaliknya bahwa kewajiban para pengusaha merupakan hak para tenaga kerja. Kewajiban merupakan suatu prestasi baik berupa benda yang didapat atas jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya. Jika masing-masing para pengusaha dan tenaga kerja akan hak dan kewajiban maka tidak banyak terjadi kasus-kasus hingga terbentuk anarki.
Dilihat dari kedudukan para tenaga kerja/buruh maka yang menjadi hakhak dari para tenaga kerja/buruh antara lain : 1. Setiap tenaga kerja/buruh memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
2. Pekerja/Buruh berhak mendapatkan waktu istirahat dan cuti 3. Setiap pekerja/Buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja b. moral dan kesusilaan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama 4. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 5. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK) 6. Setiap Pekerja/Buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh 7. Pekerja/Buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan a) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh b) membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan c) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. d) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjiakn kepada pekerja/buruh e) memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang diperjanjikan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
f) memberikan pekerjaan
yang
membahayakan
jiwa,
keselamatan,
kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Kewajiban yang harus dipenuhi serta hak yang bisa mereka nikmati, bagi mereka yang membuat perjanjian kerja, bisa dirumuskan sebagai saling berlawanan antara yang satu dengan pihak yang lainnya yaitu pihak pekerja/buruh berlawanan dengan pihak pengusaha dan atau majikan. Isi yang tertuang didalam perjanjian kerja menunjukkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pekerja, maka sebaliknya kewajiban tersebut bagi pengusaha adalah merupakan haknya dan begitu pula sebaliknya.
Didalam KUHPerdata, ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603 adalah yaitu : 1. Si buruh diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya yang sebaik-baiknya. Sekedar tentang sifat luasnya pekerjaan harus dilakukan tidak dijelaskan dalam reglemen, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan; 2. Si buruh diwajibkan melakukan sendiri pekerjaannya, tidak bolehlah ia selain dengan izin si majikan dalam melakukan pekerjaannya itu digantikan dengan orang ketiga; 3. Si buruh diwajibkan menaati aturan-aturan tentang hal melakukan pekerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan pada perbaikan tata tertib dalam perusahaan si
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
majikan didalam batas-batas aturan undang-undang atau perjanjian maupun reglemen atau jika itu tidak ada, menurut kebiasaan; 4. Si buruh yang tertinggal pada si majikan, harus bertingkah laku menurut tertibnya rumah; 5. Si buruh pada umumnya diwajibkan melakukan, maupun untuk berbuat segala apa yang didalam keadaan yang sama, patut dilakukan atau tidak diperbuat oleh seorang buruh yang baik.
Disamping itu yang menjadi kewajiban-kewajiban para tenaga kerja/buruh dalam melakuka tugasnya menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu dalam melakukan hubungan industrial, para pekerja/buruh
wajib
menjaga
ketertiban
demi
kelangsungan
produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya
dan
jika
ingin
melakukan
mogok,
pekerja/buruh
wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha atau instansi yang bertanggung jawab dibidang Ketenagakerjaan sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari sebelum mogok dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan Jaminan sosial tenaga kerja, masing-masing pihak yaitu pekerja dan perusahaan/pengusaha memiliki hak-hak dan kewajibankewajiban yang harus dipenuhi. Yang menjadi hak-hak daripada pekerja menurut pedoman pelaksanaan program Jamsostek adalah : 1. menerima kartu Jamsostek dan kartu pemeliharaan kesehatan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
2. menerima jaminan dan santunan.
Jaminan dan santunan dapat berupa uang, terdiri dari jaminan kecelakaan kerja (JKK), Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua sedangkan yang berupa pelayanan yaitu jaminan pemeliharaan kesehatan kewajiban-kewajiban tenaga kerja menurut pedoman pelaksanaan program Jamsostek ialah memberikan data pribadi dengan jelas dan benar pada saat didaftarkan serta bagi tenaga kerja yang sudah menjadi peserta, bila pindah pekerjaan harus melaporkan nomor peserta Jamsostek kepada perusahaan yang baru.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KETENAGAKERJAAN
A.Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Dalam kehidupan manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan terhadap manusia dituntut untuk bekerja. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja kepada orang lain. Pekerjaan yang diusahakan sendiri maksudnya adalah bekerja atas usaha modal dan tanggung jawab sendiri. Sedangkan bekerja pada orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan mengutusnya, karena ia harus tunduk pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut.
Karena ketentuan ini sangat luas maka diadakan pembatasan-pembatasan tentang macam pekerjaan yang tidak tercakup dalam hukum ketenagakerjaan/ Perburuhan, yakni
“Hukum Perburuhan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaannya, mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.”19
19
G.Karta Sapoetra dan R.G.Widianingsih, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Penerbit Armico, Bandung, Cetakan I,1982, hal 2. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Hukum Ketenagakerjaan atau perburuhan merupakan spesies dari genus hukum pada umumnya. Sebagai bagain dari hukum pada umumnya atau memberikan batasan pengertian hukum ketenagakerjaan atau perburuhan tidak terlepas dari pengertian hukum pada umumnya. Berbicara tentang batasan hukum, para ahli saat ini belum ada menemukan batasan yang baku serta memuaskan semua pihak tentang hukum. Hal ini dikarenakan hukum memiliki bentuk dan cakupan yang sangat luas. Bentuk dan cakupan yang luas ini menjadikan hukum dapat diartikan dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. 20
Untuk memberikan pengertian dari hukum ketenagakerjaan, kita harus kembali kepada pendapat para sarjana.Imam Soepomo dalam bukunya “Penghantar Hukum Perburuhan” mengemukakan pendapat beberapa ahli mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan yaitu :
1. Menurut M.G.Levenbach Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
2. Menurut Moleenaar Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht) adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara Tenaga Kerja dan
20
Lalu Husni,2003, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.Hal 20. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pengusaha, antara Tenaga Kerja dengan Tenaga Kerja dan antara Tenaga Kerja dengan Pengusaha.
3. Menurut N.E.H.Van Esveld Hukum Ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. 21
Imam
Soepomo
sendiri
memberikan
pengertian
hukum
perburuhan
(Ketenagakerjaan) adalah himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. 22 Mengkaji pengertian yang diberikan Imam Soepomo tampak jelas bahwa hukum perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur: 1. Himpunan peraturan (baik tertulis dan tidak tertulis) 2. berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa 3. seseorang bekerja pada orang lain 4. Upah
21
Sendjun W.Manullang, 1988, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka CIpta, Jakarta, Hal.1 22
Imam Soepomo, 1999, Penghantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, Hal 3
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Dari unsur-unsur diatas terlihat bahwa substansi hukum perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum seseorang yang disebut buruh dan pekerja pada orang lain yang disebut majikan (bersifat keperdataan), dimana tidak ada diatur hubungan hukum diluar hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian Buruh dalam Undang-Undang 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dalam Undang-undang ini buruh diartikan sebagai barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah, sedangkan Majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.
Jika
kita
meneliti
Undang-Undang
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, maka kita tidak akan mendapati satu pasal pun yang memberikan definisi mengenai Hukum Ketenagakerjaan atau Perburuhan.Tetapi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Ketenagakerjaan adalah hal yang berhubungan dengan Tenaga Kerja pada waktu sebelum selama dan sesudah masa kerja.Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan ini dapat kita ambil batasan bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan dengan Tenaga Kerja baik sebelum bekerja (pre employment), pada saat bekerja (during employment) dan sesudah bekerja (post employment).Jadi pengertian Hukum Ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama ini kita kenal ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan hubungan hukum antara Buruh dengan Majikan dalam hubungan kerja saja. 23
23
Lalu Husni, 2003.Op.Cit. Hal.23-24
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
F. Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai Hukum Ketenagakerjaan Pada era reformasi sekarang ini,pemerintah bersama DPR banyak melakukan perubahan ataupun amandemen terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak layak bagi untuk digunakan sekarang ini. Banyak diantara peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan itu adalah UU mengenai Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan dianggap berbagai kalangan sudah layak bagi yang mengakomodir berbagai permasalahan Ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah bersama DPR telah membuat sebuah UU baru yang mengatur tentang masalah Ketenagakerjaan,yaitu UU No.13 Tahun 2003. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan ini merupakan UU yang merumuskan pokok-pokok untuk menjamin kedudukan sosial ekonomi Ketenagakerjaan yang harus ditempuh dalam mengatur kebutuhan sosial ekonomi tenaga kerja sesuai dengan cita-cita reformasi. UU ini terdiri dari 18 bab dan 1938 Pasal yaitu : a. Bab I mengatur tentang pengertian-pengertian yang berkaitan dengan istilah Ketenagakerjaan. 24
b. Bab II mengatur tentang landasan,asas dan tujuan. Menurut UU ini bahwa pembangunan
Ketenagakerjaan
berlandaskan
pancasila
dan
UUD
1945,pembangunan Ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
24
Pasal 1 UU 13 tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah serta bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi,mewujudkan pemerataan kesempatan kerja,memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. 25
c. Bab III mengatur tentang kesempatan dan perlakuan yang sama. Dimana dalam hal ini setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. 26
d. Bab IV mengatur tentang perencanaan tenaga kerja dan informasi Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pemerintah wajib menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Kerja. Ketentuan tentang tata cara memperoleh informasi Ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. 27
e. Bab V mengatur tentang pelatihan kerja yang diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,produktifitas dan kesejahteraan. 28
f. Bab VI mengatur tentang penempatan Tenaga Kerja yang mencakup pengaturan penempatan Tenaga Kerja didalam negeri dan diluar negeri serta penempatan
25
Pasal 2-4 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 5-6 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 27 Pasal 7-8 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 28 Pasal 9-30 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 26
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Tenaga Kerja yang dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas dan obyektif,adil dan tanpa diskriminasi. 29
g. Bab VII mengatur tentang perluasan kesempatan kerja dimana hal ini pemerintah
dan
kesempatan kerja
masyarakat baik
diharapkan
didalam
dapat
maupun diluar
mengupayakan
perluasan
hubungan kerja
yang
pelaksanaannya diatur didalam peraturan pemerintah ini. 30
h. Bab VIII mengatur tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing. Secara umum Tenaga Kerja Asing yang akan bekerja di Indonesia wajib memiliki izin tertulis dari Menteri (pejabat
yang ditunjuk),alasan penggunaan Tenaga Kerja
Asing,jangka waktu penggunaan Tenaga Kerja Asing dan sebagainya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah ini. 31
i. Bab IX mengatur tentang hubungan kerja. Secara umum,hal ini berkaitan dengan perjanjian kerja yang dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak,kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan telah bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan perundang-undangan yang berlaku. Juga diatur mengenai jangka waktu,pokok dan ketentuan tentang penyedia jasa Tenaga Kerja. 32
29
Pasal 31-38 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 39-41 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 31 Pasal 42-45 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai ketenagakerjaan 32 Pasal 50-56 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 30
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
j. Bab X mengatur tentang perlindungan,pengupahan dan kesejahteraan 33
k. Bab XI mengatur tentang hubungan industrial seperti pembentukan serikat pekerja/buruh, organisasi Pengusaha,lembaga kerjasama Tripartit/Bipartit 34
l. Bab XII mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi dibidang usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan,milik persekutuan atau milik Badan Hukum baik milik swasta maupun milik negara,maupun usaha-usaha sosial dan usahausaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain 35
m. Bab XIII mengatur tentang pembinaan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan Ketenagakerjaan 36
n. Bab XIV mengatur tentang pengawasan. Pengawasan dalam hal ini dilakukan oleh pegawai pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen
guna
menjamin
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
Ketenagakerjaan 37
o. Bab XV mengatur tentang penyidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan juga kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan 33
Pasal 67-101 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 102-149 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 35 Pasal 150-171 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 36 Pasal 172-175 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai ketenagakerjaan 37 Pasal 176-181 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 34
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
yang dapat diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 38
p. Bab XVI mengatur tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif 39
q. Bab XVII mengatur tentang ketentuan peralihan 40
r. Bab XVIII mengatur tentang penutup. 41
Didalam pelaksanaannya secara operasional,UU ini terbagi dalam 3 (tiga)tahap yaitu I. Pra Employment (sebelum memasuki hubungan kerja), aturan pelaksanaannya: 1. UU No.07 tahun 1981 tentang wajib lapor Tenaga Kerja dengan kualitas dan kuantitas yang memadai serta untuk memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada para pencari kerja termasuk penempatan kerja yang tepat guna,maka diperlukan data mengenai Ketenagakerjaan dari setiap perusahaan,yaitu mengenai identitas perusahaan, hubungan Ketenagakerjaan, perlindungan Ketenagakerjaan dan kesempatan kerja. 2. Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1980 tentang wajib lapor lowongan pekerjaan. Setiap Pengusaha/Pengurus perusahaan wajib segera melaporkan secara tertulis setiap ada atau akan ada lowongan pekerjaan kepada menteri/pejabat yang ditunjuk
38
Pasal 182 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 183-190 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 40 Pasal 191 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 41 Pasal 192-193 UU 13 tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 39
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
3. Peraturan Menteri Nomor 4 tahun 1970 tentang pengesahan Tenaga Kerja. Tujuannya agar setiap orang mengadakan perjanjian kerja yang akan dipekerjakan baik didalam maupun diluar negeri dalam berbagai kegiatan ekonomi atau sebagai seniman,olahragawan atau tenaga ilmiah.Pengarahan Tenaga Kerja dari suatu daerah, atau dari luar negeri dengan memindahkannya dari daerah yang kelebihan Tenaga Kerja. 4. Latihan kerja, tugas, wewenang dan tanggung jawab penyelenggaraan latihan kerja yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972 dan instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1974.Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Tenaga Kerja adalah melalui latihan kerja baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. 5. Penempatan Tenaga Kerja. Sasaran utama peningkatan perluasan kesempatan kerja diarahkan pada usaha penanggulangan pengangguran sebagai akibat tingkat pertumbuhan
angkutan
kerja
yang
cukup
tinggi
dibandingkan
tingkat
pertumbuhan ekonomi yang masih belum seimbang. Atas dasar itulah, penanganan masalah Ketenagakerjaan dititikberatkan kepada upaya penempatan kerja melalui jalur-jalur kesempatan kerja.
II. During Employment (dalam hubungan kerja) meliputi : a) Hubungan kerja Sejak adanya campur tangan dari pemerintah dalam masalah hubungan kerja maka hukum Ketenagakerjaan yang mengatur semua aspek hubungan Ketenagakerjaan yang bergeser arahnya dari hubungan privat menjadi hubungan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
publik, akan tetapi menjamin kebebasan Tenaga Kerja dalam bidang Ketenagakerjaan, seperti memilih bidang kerja yang sesuai. Perjanjian kerja antara Pekerja dengan Pengusaha ini sangat diperlukan untuk memberikan landasan bagi jiwa dan falsafah pancasila,memberikan pekerjaan agar perjanjian kerja benar-benar menciptakan kondisi yang lebih mantap dalam hubungan kerja serta pihak-pihak yang bersangkutan dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban umum yang berintikan keadilan.
b) Syarat-syarat kerja Kesepakatan Kerja Bersama adalah merupakan peraturan induk bagi anggota serikat Pekerja satu pihak dengan Pengusaha atau perkumpulan Pengusaha dipihak lain baik yang telah atau yang akan dilaksanakan. Kesepakatan kerja bersama pada umumnya yang memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian kerja dikemudian hari. Disamping kesepakatan kerja bersama, setiap perusahaan yang mempekerjakan 25 orang tenaga kerja atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan. Hal ini tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri No.2 Tahun 1978 yang berbunyi :”Setiap perusahaan yang mempekerjakan sejumlah 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.”
c) Pengawasan Ketenagakerjaan Keberhasilan pengawasan Ketenagakerjaan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terciptanya keserasian hubungan kerja antara para
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pengusaha dan Tenaga Kerja. Adapun pengawasan Ketenagakerjaan ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu: a. UU Nomor 31 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan No.23 Tahun 1948 untuk seluruh Indonesia b. UU Nomor 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja c. Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1984 tentang pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu
d)
Perselisihan
Penyelesaian
Ketenagakerjaan/Pemutusan
Hubungan
Kerja
mengenai
Perselisihan Perburuhan yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun
1957.Pengusaha yang akan mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap tenaga kerjanya harus mendapat izin dari P4 Daerah/P4 Pusat.
III. Post Employment (sesudah bekerja) Yang dimaksud dengan post employment ini antara lain tabungan hari tua/pensiun yang merupakan bagian dari program Jamsostek. Program Jamsostek ini secara keseluruhan meliputi asuransi kecelakaan kerja, tabungan hari dan asuransi kematian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jaminan pensiun adalah usia,masa kerja dan lama kepesertaan mengikuti program jaminan. Sehingga jaminan pensiun ini tidak hanya tergantung dari usia,tetapi juga dapat diberikan dalam hal peserta telah mencapai masa kerja tertentu atau lama kepesertaan tertentu,meskipun belum mencapai usia pensiun. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
B.Asas dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan Pasal
3
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
menegaskan
bahwa
pembangunan Ketenagakerjaan diselenggarakan atas dasar keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.Asas pembangunan Ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi,asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan Ketenagakerjaan menyangkut multi dimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/Buruh. Oleh karenanya, pembangunan Ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung. Jadi, asas Hukum Ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui asas koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. 42
Adapun yang menjadi tujuan Hukum Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu: “Tujuan Pembangunan Ketenagakerjaan yaitu:” 1. memberdayakan dan mendayagunakan Tenaga Kerja secara optimal dan manusiawi; 2. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan Tenaga Kerja sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 3. memberikan perlindungan kepada Tenaga Kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan 4. meningkatkan kesejahteraan Tenaga Kerja dan keluarganya. Menurut Bahder Johan Nasution: 42
Abdul Khakim, 2003, Penghantar Hukum Ketenagakerjaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 6-7
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
“Tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan industrial adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan cara menciptakan ketenangan bekerja dan berusaha yang dilandasi dengan prinsip kemitraan dan keseimbangan, berasaskan kekeluargaan dan gotong royong serta musyawarah untuk mufakat.” 43
C. Sifat Hukum Ketenagakerjaan Menurut Sendjun W.Manullang, Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privaat) dan dapat bersifat publik. Dikatakan Hukum Perburuhan bersifat perdata karena dalam Hukum Ketenagakerjaan hubungan antara para pihak yaitu Pengusaha untuk dan Pekerja/Buruh bersifat privat. 44 Hubungan ini bersifat privat dimana mereka para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian yang kita kenal dengan nama perjanjian kerja. Perjanjian kerja itu sendiri tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga tentang Hukum Perikatan (Verbintenisenrecht).
Disamping bersifat privat, Hukum Ketenagakerjaan atau Perburuhan juga bersifat publik. Ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan Hukum Ketenagakerjaan atau Perburuhan bersifat publik. Pertama,dalam hal-hal tertentu negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah Ketenagakerjaan, misalnya masalah-masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kedua, adanya
43
Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan:Kebebasan Berserikat bagi Pekerja, CV.Mondar Maju, Bandung, Hal 165. 44 Sendjun W.Manullang, 1988,Op.cit hal 2 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
sanksi atau hukuman didalam setiap peraturan perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan. 45
Tujuan campur tangan pemerintah dalam bidang perburuhan ini adalah untuk mewujudkan hubungan industrial yang adil karena peraturan Perundangundangan Ketenagakerjaan memberikan hak-hak bagi Buruh/Pekerja sebagai manusia yang utuh sehingga harus dilindungi baik yang menyangkut keselamatannya,kesehatannya, upah yang layak dan sebagainnya. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan Pengusaha/Majikan yakni kelangsungan hidup perusahaan.
Sifat publik dari Hukum Perburuhan dapat dilihat dari : 2. adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dibidang Perburuhan atau Ketenagakerjaan 3. ikut campur tangannya pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum)
D.Subjek dan Objek Hukum Ketenagakerjaan Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan sangat luas tidak hanya Pengusaha dan Pekerja/Buruh saja tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait.Luasnya para pihak ini terjadi karena masing-masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam menghasilkan barang dan atau jasa. 46 45 46
Lalu Husni, 2003, Op.cit.hal 11-12 Maimun, 2003, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Penghantar, Pradnya Paramita, Jakarta, Hal 13
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Adapun yang menjadi subjek dalam Hukum Perburuhan antara lain: 1) Pekerja/Buruh Semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada perorangan maupun pada badan hukum disebut sebagai Buruh. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) a Undang-Undang 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.Dalam pasal ini Buruh diartikan sebagai barang siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah Buruh disandingkan dengan istilah Pekerja. Istilah Pekerja dan Buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Kedua kata tersebut dipergunakan dalam UUK, dimana kedua istilah ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat Pekerja/Buruh. Pasal 1 butir 3 UUK menyebutkan “Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Dalam definisi Pekerja/Buruh yang diberikan UUK ini terdapat 2 (dua)unsur yaitu orang yang bekerja dan unsur menerima upah/imbalan dalam bentuk lain.
2) Pengusaha Dalam Undang-Undang 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan Buruh. Dalam perkembangannya, istilah Majikan ini tidak sesuai dengan konsep hubungan industrial pancasila karena istilah Majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan/kelompok penekan Buruh. Adanya konotasi negatif seperti ini membuat konsep Majikan kurang diterima secara Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
yuridis Pekerja/Buruh dan Majikan adalah mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Oleh karena itu istilah Majikan lebih terdapat jika disebut dengan Pengusaha. 47
Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan yang lahir belakangan seperti Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1992 tentang Jamsostek,UndangUndang Nomor 25 Tahun 1957 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1 angka 5 UUK menjelaskan:
“Pengusaha adalah:” a. orang perseorangan,persekutuan/badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri b. orang perseorangan, persekutuan/badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya c. orang perseorangan, persekutuan/badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia
Selain pengertian Pengusaha,UUK juga memberi pengertian pemberi kerja yaitu “orang perseorangan, Pengusaha, badan hukum/badan-badan lainnya yang mempekerjakan Tenaga Kerja dengan membayar upah/imbalan dalam bentuk lain. 48 Pengaturan istilah pemberi kerja ini muncul untuk menghindari orang yang 47 48
Lalu Husni, 2003. Op.cit. hal 74 Lihat pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai Pengusaha khususnya sektor informal.
3) Serikat Pekerja/Buruh Dasar hukum pembentukan serikat Pekerja/Buruh diatur dalam Pasal 103 ayat (1) UUK. Dalam pasal ini disebutkan bahwa “setiap Pekerja/Buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat Pekerja/serikat Buruh.”Hak berserikat bagi Pekerja/Buruh ini secara global diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 87/1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dan Berunding Bersama Convention Concorning Freedom of Asociation and Protection of The Right to Organise). Karena kondisi dalam negeri kita yang sering dilanda berbagai gejolak pada saat pertama kali konvensi ini diterbitkan, pemerintah pada awalnya meratifikasi konvensi ini dalam bentuk peraturan dibawah UU yaitu Kepres No.83/1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No.87/1948. Konvensi ini pada hakekatnya memberikan jaminan yang seluas-luasnya kepada organisasi Pekerja/Buruh untuk mengorganisasikan dirinya dan untuk bergabung dengan federasi-federasi, konfederasi,dan organisasi apapun dan hukum negara tidak boleh menghalangi jaminan berserikat bagi Pekerja/Buruh. Hak ini jugalah yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 ini kemudian dijabarkan dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang serikat Pekerja/Buruh yang mulai berlaku sejak ditetapkan pada tanggal 4 Agustus 2000. 49
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.21 tahun 2000 tentang serikat Pekerja atau Serikat Buruh: Serikat Buruh atau biasa juga disebut dengan serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja atau buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas,terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan pekerja atau buruh dan keluarganya. 50
Fungsi utama serikat Pekerja/Buruh adalah sebagai sarana untuk memperjuangkan,
melindungi
dan
membela
hak
dan
kewajiban
serta
meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Di dalam serikat buruh, semua buruh menghimpun persatuannya dengan rapi, terorganisir dan bekerja secara demokratis. 51
4) Asosiasi Pengusaha Dalam UUK tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi mengenai pengertian asosiasi Pengusaha. Demikian pula dalam berbagai literatur-literatur
49
Bahder Johan Nasution, 2004, Op.cit. hal 74. Disusun oleh Divisi Kampanye dan pembelaan Kelompok Pelita Sejahtera, Kebebasan Berserikat di Indonesia, Medan : Kelompok Pelita Sejahtera, 2006, hal 1. 51 Ibid, Hal.2 50
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Hukum
Perburuhan,
tidak
ada
ditemukan
mengenai
definisi
asosiasi
Pengusaha.UU Ketenagakerjaan hanya mengisyaratkan bahwa Pengusaha dapat membentuk dan menjalankan asosiasi Pengusaha. 52
Namun demikian, kita dapat memberikan definisi asosiasi Pengusaha adalah dari Pasal 1 angka 5 UUK. Dalam pasal ini disebutkan: “Pengusaha adalah” a. orang perseorangan, persekutuan/badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri b. orang perseorangan, persekutuan/badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya c. orang perseorangan, persekutuan/badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia
Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan: “Perusahaan adalah” a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum/tidak,milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan Pekerja/Buruh dengan membayar upah/imbalan dalam bentuk lain b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mem
52
Lihat Pasal 105 UU Ketenagakerjaan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pekerjakan orang lain dengan membayar upah/imbalan dalam bentuk lain
Dari 2 batasan yang telah diberikan oleh UUK diatas,dapat kita ambil kesimpulan bahwa asosiasi Pengusaha adalah kumpulan/gabungan dari beberapa orang, persekutuan/badan hukum, yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri/ bukan milik sendiri ataupun mewakili perusahaan yang berkedudukan diluar negeri.
Organisasi Pengusaha di Indonesia sebenarnya telah tumbuh sejak zaman penjajahan Belanda, beberapa organisasi Pengusaha yang telah ada pada saat itu misalnya Nederlandsche Indische Matschappij voor Nijverheid didirikan tahun 1853, Indische Landboow Genootschap didirikan pada tahun 1871 dan kamers van koophandel en Nijverheid in Nederlandsche Indische,tahun 1863,sejalan dengan pertumbuhan ekonomi setelah proklamasi kemerdekaan,organisasi Pengusaha tumbuh dan berkembang sangat pesat. Pada sektor atau bidang-bidang tertentu selalu dibentuk organisasi Pengusaha secara sendiri-sendiri. Keseluruhan organisasi Pengusaha itu kemudian beratilasi menjadi bagian dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN).
Organisasi Pengusaha yang bergerak dibidang sosial ekonomi untuk Ketenagakerjaan juga dibentuk, sekarang ini dikenal dengan nama Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Semula APINDO adalah organisasi dibidang sosial ekonomi yang bernama Stichting Centraal Social Wekgevers Overleg (SCSWO)
yang
kemudian
namanya
diubah
menjadi
Yayasan
Badan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Permusyawaratan Urusan Sosial Pengusaha Indonesia. Melalui Munas Pertama di Yogyakarta tanggal 15-16 Januari 1982, nama ini kemudian diganti dengan “Perhimpunan Urusan Sosial Ekonomi Pengusaha Seluruh Indonesia (PUSPI)”. Lalu pada Munas Kedua di Surabaya tanggal 29-31 Januari 1985 nama PUSPI diganti dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). 53
Pada saat sekarang ini organisasi Pengusaha yang kita kenal adalah: a) Kamar Dagang Indonesia (KADIN) KADIN pada awalnya dikenal dengan nama kamers van koophandel en Nijverhaid in Nederlandsche Indie yang dibentuk berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 29 Oktober 1863. Setelah Indonesia merdeka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11/1956 tentang Dewan dan Majelis Perniagaan dan Perusahaan. Selanjutnya untuk meningkatkan peran serta Pengusaha Nasional dalam kegiatan pembangunan nasional,maka pemerintah melalui UU 49/1973 membentuk Kamar Dagang Indonesia (KADIN).KADIN bagi Pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian. 54
b) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) APINDO merupakan organisasi Pengusaha yang khusus mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan.APINDO lahir didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka turut serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.APINDO merupakan wakil Pengusaha dalam lembaga kerjasama Tripartit yaitu sebuah wadah antara 53 54
Maimun, 2003.Op.cit.hal 21-22 Lalu Husni, 2003.Op.cit.hal 45
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pemerintah, Pengusaha dan Pekerja/Buruh yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah sosial ekonomi terutama dalam bidang Ketenagakerjaan. KADIN dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya urusan-urusan yang berkaitan dengan Ketenagakerjaan dengan hubungan industrial kepada APINDO. Hal ini kemudian diatur melalui Surat Keputusan Menakertranskop No.22243/MEN/7345 yang mengatur bahwa APINDO merupakan wakil Pengusaha dan lembaga Tripartit.
Kegiatan-kegiatan APINDO antara lain memberikan advokasi kepada anggota, pembinaan dan pengembangan Sumber daya alam manusia, khususnya dibidang Ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Dalam menjalankan aktivitasnya, APINDO juga menjalin kerjasama dengan mitranya baik didalam maupun di Undang-Undang. 55
c) Asosiasi-Asosiasi Pengusaha bersifat Sektoral Asosiasi Pengusaha bersifat sektoral ini berkonsentrasi pada bidang usaha masing-masing sesuai sektornya dan bukan mengurusi bidang sumber daya manusia dan hubungan industrial, sebagaimana APINDO, organisasi sektoral ini antara lain:
1. Sektor Kehutanan Industri Pengelolaan Hasil Hutan,dibawah naungan masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) yaitu : a.Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia(APHI)
55
Maimun, 2003.Op.cit.hal 22
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
b.Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) c.Indonesia Sawmill and woodworking (ASIMINDO)
2. Sektor Pertanian dan Perkebunan yaitu : a.Asosiasi Gula Indonesia (AGI) b.Asosiasi The Indonesia (ATI) c.Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
3. Sektor Peternakan dan Perikanan yaitu: a.Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (GAPPINDO) b.Himpunan Pengusaha Peternakan Indonesia (HIPPERINDO) c.Himpunan Pengusaha Perikanan Indonesia (HPPI)
4. Sektor Pertambangan dan Energi yaitu : a.Himpunan
Wiraswasta
Nasional
Minyak
&
Gas
Bumi
(MISWANAMIGAS) b.Asosiasi Pemboran Minyak dan Gas Bumi c.Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia
5. Sektor Jasa Perhubungan yaitu : a.Organisasi Angkutan Darat (ORGANDA) b.Indonesia National Stipowers Association (INSA)
5) Pemerintah Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pemerintah selaku Penguasaan negara berkepentingan untuk ikut campur tangan dalam hukum Ketenagakerjaan. Di negeri Belanda,orang mengatakan bahwa justru karena campur tangan negara,”arbeidrcht”menjadi hukum perburuhan yang adil. 56 Hal ini dikarenakan jika hubungan antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha yang sangat berbeda secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk mencapai keadilan dalam hubungan Perburuhan atau Ketenagakerjaan akan sulit untuk tercapai, karena para pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah.
Dalam bidang Ketenagakerjaan, Pemerintah melalui Depnakertrans mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a. Pembinaan Pembinaan dilakukan pemerintah terhadap unsur-unsur dan kegiatankegiatan berhubungan dengan Ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi
dengan
mengikutsertakan
Organisasi
Pengusaha,
Serikat
Pekerja/Buruh dan Organisasi Profesi terkait, baik melalui kerjasama nasional maupun
kerjasama
Internasional.
Pembinaan
yang
dimaksud
dilakukan
pemerintah melalui kebijakan-kebijakan sesuai wewenang yang telah diberikan undang-undang sehingga tujuan pembinaan Ketenagakerjaan dapat tercapai.
b. Pengawasan
56
Abdul KHakim, 2003, Op.cit.hal 139-141
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pengawasan kesepakatan
untuk
dilakukan menjamin
Ketenagakerjaan.Dalam
pemerintah pelaksaan
melalui
Depnakertrans
peraturan
prakteknya,pengawasan
dalam
perundang-undangan
dilakukan
oleh
pegawai
pengawas Ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh menteri/pejabat yang ditunjuk sebagai pegawai Ketenagakerjaan dalam menjalankan tugasnya wajib untuk : a) merahasiakan segala sesuatu menurut sifatnya wajib dirahasiakan b) tidak menyalahgunakan kewenangannya
Pengawasan biasanya dilakukan ditempat kerja dengan melihat dan memeriksa langsung syarat-syarat kerja, waktu kerja, waktu kerja lembur, Pekerja/Buruh wanita/anak, serta aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Bagi
pekerja/Buruh
penguasaan
ini
menjamin
terlaksananya
hak-hak
Pekerja/Buruh yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dan bagi Pengusaha, pengurusan merupakan sarana untuk memperoleh penjelasan dari pihak berwenang dan kompeten tentang kewajibannya menurut aturan yang berlaku.
c.Penyidikan Peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan menurut ketentuan pidana bagi setiap yang melanggarnya.Guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran pidana dibidang Ketenagakerjaan maka ditunjuk pegawai/badan yang berwenang dan kesempatan melakukan penyidikan.Pasal 182 UUK memberikan
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
wewenang kepada pejabat polisi Negara RI dan pegawai Ketenagakerjaan selaku Penyidik PNS (PPNS). 57
E.Perlindungan Tenaga kerja Menurut Hukum Ketenagakerjaaan Perlindungan adalah perbuatan yang melindungi. 58 Secara hukum pengertian itu dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak. Menurut Undang-Undang atau peraturan lain adalah untuk mengatur pergaulan hidup dimasyarakat dan pengetahuan/filsafat mengenai hal itu. 59
Pengertian perlindungan Tenaga Kerja terdiri dari 2 kata yaitu perlindungan dan tenaga. Perlindungan yang berasal dari kata dasar lindung dapat diartikan penjagaan memberi pertolongan. Sedangkan tenaga adalah orang yang bekerja/mengerjakan sesuatu pekerjaan,pegawai dan sebagainya, orang yang mampu melakukan pekerjaan,baik didalam maupun diluar hubungan kerja. 60 Menurut Payaman Sirait dalam bukunya “Penghantar Ekonomi Sumber Daya”, Tenaga Kerja (Man power)adalah penduduk yang sudah/sedang bekerja,yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan yang lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga
61
57
Maimun, 2003.Op.cit.Hal 33-34 W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka,Jakarta,1985,hal 600 59 Ibid, hal 363 60 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta, Pustaka Amani, Jakarta, 1997 61 Sendjun W.Manullang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka cipta,Jakarta, 1990, hal 3. 58
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Dengan demikian maksud perlindungan Tenaga Kerja disini adalah perlindungan bagi Buruh dengan jalan memberikan santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan HAM, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi, melalui norma yang berlaku dalam lingkungan kerja tersebut. 62
Perlindungan Tenaga Kerja bertujuan untuk menghindarkan Buruh dari tindakan sewenang-wenangnya yang bisa saja dilakukan oleh majikannya serta untuk memberikan perlindungan kepada pihak Buruh baik terhadap pihak Majikan maupun terhadap tempat dimana Buruh/Pekerja serta terhadap alat-alat kerjanya. 63
Perlindungan terhadap Tenaga Kerja harus dijalankan setiap perusahaan. Tanpa adanya Pekerja, tidak akan mungkin perusahaan itu bisa jalan dan berpartisipasi dalam pembangunan. 64 Menyadari akan pentingnya Pekerja bagi perusahaan, pemerintah dan masyarakata maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat menjaga keselamatan dalam menjalankan pekerjaannya. Demikian pula perlunya diusahakan ketenangan dan kesehatan Pekerja agar apa yang dihadapinya dalam pekerjaan dapat diperhatikan semaksimal mungkin, sehingga kewaspadaan dalam menjalankan pekerjan itu tetap terjamin. Pemikiranpemikiran itu merupakan program perlindungan kerja, yang dalam praktek seharihari berguna untuk dapat mempertahankan produktivitas dan kestabilan perusahaan. 65
62
Ibid P.Nainggolan, Hukum Perburuhan, FH USU Medan, Januari,1989, hal 88 64 Lalu Husni , Op.cit.Hal 95 65 Ibid, hal.96 63
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Secara garis besar perlindungan Tenaga Kerja ini secara umumnya akan mencakup sebagai berikut :66 1.Norma Keselamatan Kerja; Meliputi keselamatan kerja yang bertalian dengan mesin pesawat,alat-alat kerja bahan dan proses pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta caracara melakukan pekerjaan. 2.Norma Keselamatan Kerja dan Heigiene Kesehatan Kerja Perusahaan; Meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan kerja,dilakukan dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan Tenaga Kerja yang sakit 3.Tenaga Kerja mendapat kecelakaan dan atau menderita penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitas akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli warisnya berhak mendapat ganti kerugian.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Imam Soepomo yang membagi perlindungan Pekerja ini menjadi 2 (dua) macam antara lain: 67 1.Perlindungan ekonomis yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada Pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal Pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar; 2.Perlindungan teknis yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga Pekerja dari bahaya kecelakaannya yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat/alat kerja lainnya/oleh bahan yang diolah atau
66
G.Kartasapoetra dan Rience Indraningsih,Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armiro Bandung, Cet I, 1982, hal 43-44 67 Lalu Husni, Op.cit.Hal 76 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dikerjakan perusahaan. Didalam pembicaraan selanjutnya, perlindungan jenis ini disebut dengan keselamatan kerja.
Dengan demikian, mengingat pentingnya suatu perlindungan bagi Tenaga Kerja, serta mengingat sedemikian besarnya peranannya dalam pembangunan serta dalam mewajarkan produktifitas dari perusahaan, sehingga sudah sewajarnya apabila kepada para Tenaga Kerja diberikan perlindungan penuh pemeliharaan dan pengembangan terhadap kesejahteraan
F. Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai Hukum Ketenagakerjaan Pada era reformasi sekarang ini,pemerintah bersama DPR banyak melakukan perubahan ataupun amandemen terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak layak bagi untuk digunakan sekarang ini. Banyak diantara peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan itu adalah UU mengenai Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan dianggap berbagai kalangan sudah layak bagi yang mengakomodir berbagai permasalahan Ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah bersama DPR telah membuat sebuah UU baru yang mengatur tentang masalah Ketenagakerjaan,yaitu UU No.13 Tahun 2003. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan ini merupakan UU yang merumuskan pokok-pokok untuk menjamin kedudukan sosial ekonomi Ketenagakerjaan yang harus ditempuh dalam mengatur kebutuhan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
sosial ekonomi tenaga kerja sesuai dengan cita-cita reformasi. UU ini terdiri dari 18 bab dan 1938 Pasal yaitu : a. Bab I mengatur tentang pengertian-pengertian yang berkaitan dengan istilah Ketenagakerjaan. 68
b. Bab II mengatur tentang landasan,asas dan tujuan. Menurut UU ini bahwa pembangunan
Ketenagakerjaan
berlandaskan
pancasila
dan
UUD
1945,pembangunan Ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah serta bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi,mewujudkan pemerataan kesempatan kerja,memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. 69
c. Bab III mengatur tentang kesempatan dan perlakuan yang sama. Dimana dalam hal ini setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. 70
d. Bab IV mengatur tentang perencanaan tenaga kerja dan informasi Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pemerintah wajib menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Kerja. Ketentuan tentang tata cara memperoleh informasi Ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. 71
68
Pasal 1 UU 13 tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Ketenagakerjaan Pasal 2-4 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 70 Pasal 5-6 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 71 Pasal 7-8 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 69
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
e. Bab V mengatur tentang pelatihan kerja yang diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,produktifitas dan kesejahteraan. 72
f. Bab VI mengatur tentang penempatan Tenaga Kerja yang mencakup pengaturan penempatan Tenaga Kerja didalam negeri dan diluar negeri serta penempatan Tenaga Kerja yang dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas dan obyektif,adil dan tanpa diskriminasi. 73
g. Bab VII mengatur tentang perluasan kesempatan kerja dimana hal ini pemerintah
dan
kesempatan kerja
masyarakat baik
diharapkan
didalam
dapat
maupun diluar
mengupayakan
perluasan
hubungan kerja
yang
pelaksanaannya diatur didalam peraturan pemerintah ini. 74
h. Bab VIII mengatur tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing. Secara umum Tenaga Kerja Asing yang akan bekerja di Indonesia wajib memiliki izin tertulis dari Menteri (pejabat
yang ditunjuk),alasan penggunaan Tenaga Kerja
Asing,jangka waktu penggunaan Tenaga Kerja Asing dan sebagainya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah ini. 75
i. Bab IX mengatur tentang hubungan kerja. Secara umum,hal ini berkaitan dengan perjanjian kerja yang dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah
72
Pasal 9-30 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 31-38 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 74 Pasal 39-41 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 75 Pasal 42-45 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai ketenagakerjaan 73
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pihak,kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum,adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan telah bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan perundang-undangan yang berlaku. Juga diatur mengenai jangka waktu,pokok dan ketentuan tentang penyedia jasa Tenaga Kerja. 76 j. Bab X mengatur tentang perlindungan,pengupahan dan kesejahteraan 77
k. Bab XI mengatur tentang hubungan industrial seperti pembentukan serikat pekerja/buruh, organisasi Pengusaha,lembaga kerjasama Tripartit/Bipartit 78
l. Bab XII mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi dibidang usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perorangan,milik persekutuan atau milik Badan Hukum baik milik swasta maupun milik negara,maupun usaha-usaha sosial dan usahausaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain 79
m. Bab XIII mengatur tentang pembinaan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan Ketenagakerjaan 80
n. Bab XIV mengatur tentang pengawasan. Pengawasan dalam hal ini dilakukan oleh pegawai pengawas Ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan 76
Pasal 50-56 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 67-101 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 78 Pasal 102-149 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 79 Pasal 150-171 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 80 Pasal 172-175 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai ketenagakerjaan 77
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
independen
guna
menjamin
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
Ketenagakerjaan 81
o. Bab XV mengatur tentang penyidikan yang dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan juga kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang dapat diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 82
p. Bab XVI mengatur tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif 83
q. Bab XVII mengatur tentang ketentuan peralihan 84
r. Bab XVIII mengatur tentang penutup. 85
Didalam pelaksanaannya secara operasional,UU ini terbagi dalam 3 (tiga)tahap yaitu I. Pra Employment (sebelum memasuki hubungan kerja), aturan pelaksanaannya: 1. UU No.07 tahun 1981 tentang wajib lapor Tenaga Kerja dengan kualitas dan kuantitas yang memadai serta untuk memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada para pencari kerja termasuk penempatan kerja yang tepat guna,maka diperlukan data mengenai Ketenagakerjaan dari setiap perusahaan,yaitu mengenai identitas
81
Pasal 176-181 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan Pasal 182 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 83 Pasal 183-190 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 84 Pasal 191 UU 13 tahun 2003 tentang ketentuan pokok mengenai Ketenagakerjaan 85 Pasal 192-193 UU 13 tahun 2003 tentang Ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan 82
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
perusahaan, hubungan Ketenagakerjaan, perlindungan Ketenagakerjaan dan kesempatan kerja. 2. Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 1980 tentang wajib lapor lowongan pekerjaan. Setiap Pengusaha/Pengurus perusahaan wajib segera melaporkan secara tertulis setiap ada atau akan ada lowongan pekerjaan kepada menteri/pejabat yang ditunjuk 3. Peraturan Menteri Nomor 4 tahun 1970 tentang pengesahan Tenaga Kerja. Tujuannya agar setiap orang mengadakan perjanjian kerja yang akan dipekerjakan baik didalam maupun diluar negeri dalam berbagai kegiatan ekonomi atau sebagai seniman,olahragawan atau tenaga ilmiah.Pengarahan Tenaga Kerja dari suatu daerah, atau dari luar negeri dengan memindahkannya dari daerah yang kelebihan Tenaga Kerja. 4. Latihan kerja, tugas, wewenang dan tanggung jawab penyelenggaraan latihan kerja yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972 dan instruksi Presiden Nomor 15 tahun 1974.Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Tenaga Kerja adalah melalui latihan kerja baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. 5. Penempatan Tenaga Kerja. Sasaran utama peningkatan perluasan kesempatan kerja diarahkan pada usaha penanggulangan pengangguran sebagai akibat tingkat pertumbuhan
angkutan
kerja
yang
cukup
tinggi
dibandingkan
tingkat
pertumbuhan ekonomi yang masih belum seimbang. Atas dasar itulah, penanganan masalah Ketenagakerjaan dititikberatkan kepada upaya penempatan kerja melalui jalur-jalur kesempatan kerja. II. During Employment (dalam hubungan kerja) meliputi : Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
a) Hubungan kerja Sejak adanya campur tangan dari pemerintah dalam masalah hubungan kerja maka hukum Ketenagakerjaan yang mengatur semua aspek hubungan Ketenagakerjaan yang bergeser arahnya dari hubungan privat menjadi hubungan publik, akan tetapi menjamin kebebasan Tenaga Kerja dalam bidang Ketenagakerjaan, seperti memilih bidang kerja yang sesuai. Perjanjian kerja antara Pekerja dengan Pengusaha ini sangat diperlukan untuk memberikan landasan bagi jiwa dan falsafah pancasila,memberikan pekerjaan agar perjanjian kerja benar-benar menciptakan kondisi yang lebih mantap dalam hubungan kerja serta pihak-pihak yang bersangkutan dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban umum yang berintikan keadilan.
b) Syarat-syarat kerja Kesepakatan Kerja Bersama adalah merupakan peraturan induk bagi anggota serikat Pekerja satu pihak dengan Pengusaha atau perkumpulan Pengusaha dipihak lain baik yang telah atau yang akan dilaksanakan. Kesepakatan kerja bersama pada umumnya yang memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam membuat perjanjian kerja dikemudian hari. Disamping kesepakatan kerja bersama, setiap perusahaan yang mempekerjakan 25 orang tenaga kerja atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan. Hal ini tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri No.2 Tahun 1978 yang berbunyi :”Setiap perusahaan yang mempekerjakan sejumlah 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.” c) Pengawasan Ketenagakerjaan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Keberhasilan pengawasan Ketenagakerjaan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terciptanya keserasian hubungan kerja antara para Pengusaha dan Tenaga Kerja. Adapun pengawasan Ketenagakerjaan ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu: a. UU Nomor 31 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan No.23 Tahun 1948 untuk seluruh Indonesia b. UU Nomor 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja c. Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1984 tentang pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu
d)
Perselisihan
Penyelesaian
Ketenagakerjaan/Pemutusan
Hubungan
Kerja
mengenai
Perselisihan Perburuhan yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun
1957.Pengusaha yang akan mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap tenaga kerjanya harus mendapat izin dari P4 Daerah/P4 Pusat.
III. Post Employment (sesudah bekerja) Yang dimaksud dengan post employment ini antara lain tabungan hari tua/pensiun yang merupakan bagian dari program Jamsostek. Program Jamsostek ini secara keseluruhan meliputi asuransi kecelakaan kerja, tabungan hari dan asuransi kematian. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaminan pensiun adalah usia,masa kerja dan lama kepesertaan mengikuti program jaminan. Sehingga jaminan pensiun ini tidak hanya tergantung dari usia,tetapi juga dapat diberikan dalam hal peserta
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
telah mencapai masa kerja tertentu atau lama kepesertaan tertentu,meskipun belum mencapai usia pensiun.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 bahwa pembangunan ketenagakerjaan ditujukan untuk menyediakan lapangan kerja dan lapangan usaha bagi setiap angkatan kerja sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan sesaui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Organisasi Dinas-Dinas Daerah Provinsi maka pada tanggal 18 Juni 2002 terbentuklah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara yang beralamat Jalan Asrama No. 143 Medan.
Selanjutnya ditetapkan Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara melalui Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 061.1-443.K/Tahun 2002 tanggal 18 Juni 2002.
Salah satu tugas pokok dan fungsi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara adalah pembinaan dan pemberdayaan, serta sosialisasi, evaluasi dan pengendalian penerapan standar pelaksanaan persyaratan kerja.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Salah satu persyaratan kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 64 adalah penyerahan sebagai pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau penyedia jasa Pekerjaan/Buruh yang dibuat secara tertulis (Outsourcing).
B. Pengaturan Outsourcing
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan.
Di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari Outsourcing. Tetapi pengertian dari Outsourcing ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa Outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara Pengusaha dengan Tenaga Kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan
kepada
perusahaan
lainnya
melalui
perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, Outsoucing disamakan dengan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Sehingga pengertian Outsourcing adalah suatu perjanjian dimana Pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada Pihak Pemborong dengan bayaran tertentu.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai Outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan Tenaga Kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B. 86
Dalam pengertian umum, istilah Outsourcing diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:87 “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary).
Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu. Maurice F. Greaver II memberikan definisi outsourcing sebagai berikut: 88. “Outsourcing is the act of transferring some of a company’s recurring internal activities and decision rights to outside provider, as set forth in a contract.
86
Richardus Eko Indrajat dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourching, Grasindo, Jakarta, 2003, hal. 2. 87 Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56 88 Ibid Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Because the activities are recurring and a contract is used, outsourcing goes beyond the use of consultants. As a matter of practise, not only are the activities transferred, but the factor of production and decision rights often are, too. Factors of production are the resources that make the activities occur and include people, facilities, equipment, technology, and the other asset. Decision rights are the responsibility for making decisions over certain elements of the activities transferred”.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang Outsourcing yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing di Indonesia, membagi outsourcing menjadi dua bagian, yaitu: Pemborongan Pekerjaan dan penyediaan jasa Pekerja/Buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Outsourcing mengenai Pemborongan Pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan Tenaga Kerja.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan Outsourcing perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan Outsourcing dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UUK, yang
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
menyangkut Outsourcing (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), Pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Dalam pasal 64 adalah merupakan Outsourcing. Pasal tersebut
dasar yang dibolehkannya
menyatakan bahwa: suatu perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja/Buruh yang dibuat secara tertulis.”
Dalam Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah: 1. penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1) ; 2. pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a)
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b)
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c)
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d)
tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
3. perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
4. perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4); 5. perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5); 6. hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan Pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6). 7. hubungan kerja antara perusahaan lain dengan Pekerja/Buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
8. bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Dalam Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa Pekerja/Buruh dari perusahaan penyedia jasa Tenaga Kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
untuk Tenaga Kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1. adanya hubungan kerja antara Pekerja dengan perusahaan penyedia jasa Tenaga Kerja; 2. perjanjian kerja yang berlaku antara Pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak; 3. perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh; 4. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa Pekerja/Buruh dan perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh dibuat secara tertulis. 5. Penyedia jasa Pekerja/Buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara Pekerja/Buruh dan perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
C.
Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 Outsourcing dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa : “Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”89 .
Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan UUK Outsourcing hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business.
Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa : ”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan
di
luar
usaha
pokok
(core
business)
suatu
89
R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan Pekerja/Buruh.”
Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan Outsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis 90. Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah : 91. 1. Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan. 2. Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis. 3. Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang. 4. Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
90 91
Ibid, hal. 6. Ibid, hal. 7.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana Outsourcing dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan
kompetitif
untuk
menghadapi
persaingan
dalam
rangka
mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
Outsourcing untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.
Dalam hal Outsourcing yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli, sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan Ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan Outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi Ketenagakerjaan setempat.
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan Outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut : 1. Sebagai
bentuk
kepatuhan
perusahaan
terhadap
ketentuan
tentang
ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat; 2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan Outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan; 3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak Pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;serta 4. Meminimalkan
risiko
perselisihan
dengan
Pekerja,
Serikat
Pekerja,
Pemerintah serta Pemegang Saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang Outsourcing di Perusahaan.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
D. Perjanjian dalam Outsourcing Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa Outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam Outsourcing dapat berbentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa Pekerja/Buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1.
Sepakat, bagi para pihak;
2.
Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Sebab yang halal.
Perjanjian dalam Outsourcing juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan Ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam penyediaan jasa Pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu: 1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia Pekerja/Buruh ; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. Dalam hal penempatan Pekerja/Buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia Pekerja/Buruh. 2. Perjanjian
perusahaan
penyedia
Pekerja/Buruh
dengan
karyawan
Penyediaan jasa Pekerja atau Buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan satus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Adanya hubungan kerja antara Pekerja atau Buruh dan perusahaan penyedia jasa Pekerja atau Buruh; b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak; c. Perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa Pekerja/Buruh.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa Pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Perjanjian kerja antara karyawan Outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa Outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa Outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan Outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan Outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam Outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa Outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan Outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan Outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna Outsourcing. Apabila Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
perjanjian kerjasama antara perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa Outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan Outsourcing dengan karyawannya.
E. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing. Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan Pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna Outsourcing. Karyawan Outsourcing
menandatandatangani
perjanjian
kerja
dengan
perusahaan
Outsourcing sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna Outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan Outsourcing
dalam penempatannya pada perusahaan pengguna Outsourcing
harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna Outsourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.
Hal yang mendasari mengapa karyawan Outsourcing harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah : 1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja; 3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan Outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan Pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa Pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa Pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa Pekerja (user).
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan Outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara Pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing
dengan perusahaan
pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau
dari terminologi hakikat
pelaksanaan Peraturan
Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan Outsourcing karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan Outsourcing, sehingga seharusnya karyawan Outsourcing menggunakan peraturan perusahaan Outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa Pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna Outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna Outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan
Outsourcing
selama
ditempatkan
pada
perusahaan
pengguna
Outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna Outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan Outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan Outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna Outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
disosialisasikan kepada karyawan Outsourcing oleh perusahaan Outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan Outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa Outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna Outsourcing.
F. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya). Dalam pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan Outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa Pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa Pekerja.
Membahas perselisihan identik dengan membahas masalah konflik. Secara sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana-mana, di lingkungan rumah tangga, di sekolah, di pasar,di lingkungan kerja dan sebagainya. Secara
psikologis
perselisihan
merupakan
luapan
emosi
yang
mempengaruhi seseorang dengan orang lain. Jadi, masalah perselisihan merupakan hal yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia itu sendiri.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Dalam hal ini perusahaan Outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan Outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan Outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1.
Outsourcing
sebagai suatu penyediaan Tenaga Kerja oleh pihak lain
dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. 2.
Dalam melakukan Outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama
dengan
perusahaan
outsourcing,
dimana
hubungan
hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama Outsourcing.
B. Saran 1.
Untuk menjamin kepastian hak Pekerja/Buruh dalam pelaksanaan outsourcing, disarankan dibuat perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan Pekerja dan harus didaftarkan ke kantor instansi ketenagakerjaan wilayah domisili perusahaan penyedia jasa Pekerja.
2.
Para Pekerja yang bekerja dalam pelaksanaan Outsourcing (PKWT) harus menerima hak yang sama dengan Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Terten
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku 1.
Soepomo, Iman, Pengantar hukum Perburuhan, Jakarta, Djambatan, 2003.
2.
J. Pareira Mandalangi, Dari Hukum Perburuhan Ke Hukum Kerja Dan Hukum Sosial.,Dalam : Percikan Gagasan Tentang Hukum, Fakultas Hukum Unpar, Bandung, 1988.
3.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.
4.
..........................., Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Banrung, 2000.
5.
Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, Grasindo, Jakarta, 2003.
6.
Manullang, Sendjun H., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.
7.
Suwondo, Chandra, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta.
8.
Djokopranoto, R., Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005
9.
Djumaldi F.X.,SH, Perjanjian Pemborongan, Bina Aksara, Jakarta, 1978
10. Soedibyo, Ir.,”berbagai jenis kontrak pekerjaan, Pradnya paramita, Jakarta, 1984.
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Perundang-Undangan 1.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Bagian Hukum dan KLN Setditjen PHI dan Jamsos, 2004.
2.
Kepmenakertrans No. 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa, Bagian Hukum dan KLN Setditjen PHI dan Jamsos, 2004.Dahara Prize, Semarang, 2003.
3.
Kepmenakertrans No. 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, Bagian Hukum dan KLN Setditjen PHI dan Jamsos, 2004.Dahara Prize, Semarang, 2003.
Situs Internet www.google.co.id =) perjanjian pemborongan pekerjaan http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil wawancara dengan pimpinan dan staf Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara tertanggal 11 Februari 2009 2. Surat riset Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Nomor : 350/H5.2.1.2/PPM/2009 tanggal 05 Februari. 3. Surat keterangan dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara Nomor : 218-1/DTK-TR/2009 tanggal 13 Februari 2009
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan; d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha; e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 5. Pengusaha adalah : a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 6. Perusahaan adalah : a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 7. Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. 8. Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan. 9. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. 13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai halhal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. 20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 22. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. 24. Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan. 25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. 27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00. 28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam. 29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari. 30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. 32. Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan. 33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. BAB II LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN Pasal 2 Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Pasal 4 Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan : a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. BAB III KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA Pasal 5 Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6 Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. BAB IV PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN Pasal 7 (1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja. (2) Perencanaan tenaga kerja meliputi : a. perencanaan tenaga kerja makro; dan b. perencanaan tenaga kerja mikro. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(3) Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 8 (1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi : a. penduduk dan tenaga kerja; b. kesempatan kerja; c. pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja; d. produktivitas tenaga kerja; e. hubungan industrial; f. kondisi lingkungan kerja; g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan h. jaminan sosial tenaga kerja. (2) Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta. (3) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PELATIHAN KERJA Pasal 9 Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. Pasal 10 (1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. (3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang. (4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 11 Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. Pasal 12 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja. (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri. (3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bi-dang tugasnya. Pasal 13 (1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta. (2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. (3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta. Pasal 14 (1) Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan. (2) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. (4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 15 Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan : a. tersedianya tenaga kepelatihan; b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja. Pasal 16 (1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi. (2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 17 (1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam pelaksanaannya ternyata : a. tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan. (3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15. (4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan. (5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan. (6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 18 (1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. (2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompe tensi kerja. (3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman. (4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang inde penden. (5) Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan. Pasal 20 (1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor. (2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 21 Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. Pasal 22 (1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang di buat secara tertulis. (2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan. (3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan. Pasal 23 Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. Pasal 24 Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Pasal 25 (1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 26 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan : a. harkat dan martabat bangsa Indonesia; b. penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan c. perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya. (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 27 (1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan. (2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara. Pasal 28 (1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional. (2) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 29 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan. (2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas. (3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional. Pasal 30 (1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional. (2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah. (3) Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. BAB VI Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
PENEMPATAN TENAGA KERJA Pasal 31 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Pasal 32 (1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. (2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. (3) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Pasal 33 Penempatan tenaga kerja terdiri dari : a. penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan b. penempatan tenaga kerja di luar negeri. Pasal 34 Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. Pasal 35 (1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. (2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja (3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Pasal 36 (1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja. (2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur : a. pencari kerja; b. lowongan pekerjaan; c. informasi pasar kerja; d. mekanisme antar kerja; dan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
e. kelembagaan penempatan tenaga kerja. (3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan tenaga kerja. Pasal 37 (1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari : a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan b. lembaga swasta berbadan hukum. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 38 (1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja. (2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu. (3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. BAB VII PERLUASAN KESEMPATAN KERJA Pasal 39 (1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. (4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja. Pasal 40 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna. (2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja. Pasal 41 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja. (2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING Pasal 42 (1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. (3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. (4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. (5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. Pasal 43 (1) Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan : a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. (4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing diatur dengan Keputu san Menteri. Pasal 44 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 45 (1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib : a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris. Pasal 46 (1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu. (2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Pasal 47 (1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. (2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pendidikan. (3) Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. (4) Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48 Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. Pasal 49 Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden. BAB IX HUBUNGAN KERJA Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 51 (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pasal 52 (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. (3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. Pasal 53 Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Pasal 54 (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat : a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurangkurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. Pasal 55 Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Pasal 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas : a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pasal 57 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. (3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Pasal 58 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. Pasal 59 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 60 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Pasal 61 (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 62 Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Pasal 63 (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. (2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan : a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah. Pasal 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (2) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (3) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (5) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (6) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (7) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (8) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). Pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. (3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. BAB X PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN Bagian Kesatu Perlindungan Paragraf 1 Penyandang Cacat Pasal 67 (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. (2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Paragraf 2 Anak Pasal 68 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 69 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan : a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Pasal 70 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. (2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 71 (1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat : a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. (3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Pasal 73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 (1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaanpekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliput i : a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. (3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 75 (1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. (2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Perempuan Pasal 76 (1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. (4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Paragraf 4 Waktu Kerja Pasal 77 (1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau peker-jaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat : a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 79 (1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. (2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu. (5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 80 Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Pasal 81 (1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 82 (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83 Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Pasal 84 Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh. Pasal 85 (1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. (4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 86 (1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. (2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 87 (1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. (2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pengupahan. Pasal 88 (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. (3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional; j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. (4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pasal 89 (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas: a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. (4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 90 (1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. (2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. (3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 91 (1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 92 (1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. (2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 93 (1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila : a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya; f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. (3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut : a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah; b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. (4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut : a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. (5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 94 Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Pasal 95 (1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. (2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. (3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah. (4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya. Pasal 96 Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Pasal 97 Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 98 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. (2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar. (3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden. Bagian Ketiga Kesejahteraan Pasal 99 (1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. (2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 100 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. (2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. (3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 101 (1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan. (2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 (1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. (3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan. Pasal 103 Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana : a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi pengusaha; c. lembaga kerja sama bipartit; d. embaga kerja sama tripartit; e. peraturan perusahaan; f. perjanjian kerja bersama; g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bagian Kedua Serikat Pekerja/Serikat Buruh Pasal 104 (1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Bagian Ketiga Organisasi Pengusaha Pasal 105 (1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. (2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keempat Lembaga Kerja Sama Bipartit Pasal 106 (1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. (2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. (3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Kelima Lembaga Kerja Sama Tripartit Pasal 107 (1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. (2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari : a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. (3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan seri-kat pekerja/serikat buruh. (4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Peraturan Perusahaan Pasal 108 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Pasal 109 Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Pasal 110 (1) Peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Pasal 111 (1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat : a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban pekerja/buruh; c. syarat kerja; d. tata tertib perusahaan; dan e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. (2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku. (3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. (4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani. (5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya. Pasal 112 (1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. (2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan. (3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. (4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 113 (1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. (2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 114 Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. Pasal 115 Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan Keputusan Menteri. Bagian Ketujuh Perjanjian Kerja Bersama Pasal 116 (1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. (2) Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musya-warah. (3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 117 Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 118 Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan. Pasal 119 (1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. (3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 120 (1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha. (3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 121 Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota. Pasal 122 Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha. Pasal 123 (1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun. (2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh. (3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 124 (1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat : Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
a. hak dan kewajiban pengusaha; b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. e. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 125 Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku. Pasal 126 (1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada da-lam perjanjian kerja bersama. (2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh. (3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan. Pasal 127 (1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama. Pasal 128 Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. Pasal 129 (1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh. (2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. Pasal 130 (1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119. (2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional. (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3). Pasal 131 (1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh. (3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pasal 132 (1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut. (2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 133 Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 134 Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundangundangan ketenagakerjaan. Pasal 135 Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. Bagian Kedelapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Paragraf 1 Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 136 (1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undangundang. Paragraf 2 Mogok Kerja Pasal 137 Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Pasal 138 (1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum. (2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Pasal 139 Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Pasal 140 (1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. (3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. (4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara : a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. Pasal 141 (1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima. (2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang. (5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. Pasal 142 (1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah. (2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 143 (1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai. (2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 144 Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang : a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
kerja. Pasal 145 Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah. Paragraf 3 Penutupan Perusahaan (lock-out) Pasal 146 (1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. (2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. (3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 147 Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. Pasal 148 (1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out). (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pasal 149 (1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan. (2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. (4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. (6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila : a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Pasal 150 Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 151 (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 152 (1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Pasal 153 (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan : a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja/buruh menikah; e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Pasal 154 Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal : a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia. Pasal 155 (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Pasal 156 (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut : a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 157 (1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas : a. upah pokok; b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. (2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir. Pasal 158 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut : a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. (2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut: a. pekerja/buruh tertangkap tangan; b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). (4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 159 Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 160 (1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut : a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Pasal 161 (1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pasal 162 (1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. (3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat : a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. (4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 163 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Pasal 164 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pasal 165 Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pasal 166 Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pasal 167 (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha. (3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 168 (1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturutturut tanpa Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. (2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. (3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 169 (1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. (2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3). Pasal 170 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. Pasal 171 Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya. Pasal 172 Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4). BAB XIII PEMBINAAN Pasal 173 (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketena-gakerjaan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan organisasi pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi. Pasal 174 Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundangundangan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
yang berlaku. Pasal 175 (1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pem-binaan ketenagakerjaan. (2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya. BAB XIV PENGAWASAN Pasal 176 Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pasal 177 Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 178 (1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. (2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 179 (1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 180 Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 181 Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 176 wajib : a. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan; b. tidak menyalahgunakan kewenangannya. BAB XV PENYIDIKAN Pasal 182 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenaga-kerjaan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. (3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 184 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 185 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 186 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Pasal 187 (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Pasal 188 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. Pasal 189 Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh. Bagian Kedua Sanksi Administratif Pasal 190 (1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : a. teguran; b. peringatan tertulis; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran; g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin. (3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 191 Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang undang ini. BAB XVIII Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
KETENTUAN PENUTUP Pasal 192 Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka : 1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); 2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); 4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); 5. 5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); 7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); 8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598a); 9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8 ); 10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); 15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 193 Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN I. UMUM Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hakhak Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang dicita-citakan. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah : • Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8); • Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); • Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); • Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); • Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
• Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak
(Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); • Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); • Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a); • Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8); • Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); • Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); • Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); • Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); • Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan • Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undang-undang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti. Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan dimulainya era reformasi tahun 1998. Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu : • Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); • Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111); • Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan • Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ). Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undangundang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut. Undang-undang ini antara lain memuat : • Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; • Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; • Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/ buruh; • Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan. • Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja; • Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan; • Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi; • Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisih-an hubungan industrial; • Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja; • Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksana-kan sebagaimana mestinya. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Pasal 2 Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangun-an manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. Pasal 3 Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. Pasal 4 Huruf a Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya. Huruf b Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 5 Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Pasal 6 Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Pasal 7 Ayat (1) Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung pertum-buhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh. Huruf b Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada instansi atau perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau kabupaten/kota. Ayat (2) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi atau kabupaten/ kota. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan kerja. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan sektor terkait. Ayat (3) Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi pekerjanya. Ayat (2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh. Ayat (3) Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan, sarana dan prasarana pelatihan dapat berdayaguna dan berhasilguna secara optimal. Ayat (4) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau internasional. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program. Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan. Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja. Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan. Ayat (3) Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 23 Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan bila programnya bersifat khusus. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las spesialis dalam air. Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti teknologi budidaya tanaman dengan kultur jaringan. Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara, maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti keahlian membuat alat-alat pertanian modern. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan. Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan. Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu. Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah. Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga kerja di luar negeri tetap berlaku. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri. Ayat (2) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi. Pasal 42 Ayat (1) Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja (IKTA). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-badan internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Huruf a Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya. Huruf b Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Ayat (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut. Pasal 52 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Ayat (1) Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 60 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Ayat (1) Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 61 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan. Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Ayat (1) Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Huruf d Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 67 Ayat (1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Ayat (1) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Ayat (1) Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait. Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 76 Ayat (1) Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut adalah pengusaha. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 78 Ayat (1) Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undangundang ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 80 Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. Pasal 81 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Pasal 82 Ayat (1) Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 83 Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 87 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 89 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang besarannya ditetapkan oleh Menteri. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pasal 90 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Ayat (1) Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 93 Ayat (1) Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
dilaksanakan apabila : a. negara tidak melakukan pembayaran; atau b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. Huruf e Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 94 Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya. Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Cukup jelas Pasal 98 Cukup jelas Pasal 99 Cukup jelas Pasal 100 Ayat (1) Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 101 Ayat (1) Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 102 Cukup jelas Pasal 103 Cukup jelas Pasal 104 Ayat (1) Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 105 Cukup jelas Pasal 106 Ayat (1) Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pasal 109 Cukup jelas Pasal 110 Cukup jelas Pasal 111 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 112 Cukup jelas Pasal 113 Cukup jelas Pasal 114 Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh. Pasal 115 Cukup jelas Pasal 116 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain. Ayat (3) Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 117 Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 118 Cukup jelas Pasal 119 Cukup jelas Pasal 120 Cukup jelas Pasal 121 Cukup jelas Pasal 122 Cukup jelas Pasal 123 Cukup jelas Pasal 124 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 125 Cukup jelas Pasal 126 Cukup jelas Pasal 127 Cukup jelas Pasal 128 Cukup jelas Pasal 129 Cukup jelas Pasal 130 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Pasal 131 Cukup jelas Pasal 132 Cukup jelas Pasal 133 Cukup jelas Pasal 134 Cukup jelas Pasal 135 Cukup jelas Pasal 136 Cukup jelas Pasal 137 Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. Pasal 138 Cukup jelas Pasal 139 • Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. • Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. Pasal 140 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 141 Cukup jelas Pasal 142 Cukup jelas Pasal 143 Ayat (1) Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara : a. menjatuhkan hukuman; b. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau c. melakukan mutasi yang merugikan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 144 Cukup jelas Pasal 145 Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan normatif. Pasal 146 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh. Pasal 147 Cukup jelas Pasal 148 Cukup jelas Pasal 149 Cukup jelas Pasal 150 Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Cukup jelas Pasal 151 Ayat (1) Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 152 Cukup jelas Pasal 153 Cukup jelas Pasal 154 Cukup jelas Pasal 155 Cukup jelas Pasal 156 Cukup jelas Pasal 157 Cukup jelas Pasal 158 Cukup jelas Pasal 159 Cukup jelas Pasal 160 Ayat (1) Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah isteri/suami, anak atau orang yang sah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pasal 161 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua. Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan. Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 162 Cukup jelas Pasal 163 Cukup jelas Pasal 164 Cukup jelas Pasal 165 Cukup jelas Pasal 166 Cukup jelas Pasal 167 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Contoh dari ayat ini adalah : Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh perseratus), maka : Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/ buruh adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00 Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00 Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah : Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha) Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha) Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh) _______________________________________________________________ _+ Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah) Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Ayat (6) Cukup jelas Pasal 168 Ayat (1) Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasar-kan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 169 Cukup jelas Pasal 170 Cukup jelas Pasal 171 Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk mengajukan gugatan. Pasal 172 Cukup jelas Pasal 173 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Pasal 174 Cukup jelas Pasal 175 Cukup jelas Pasal 176 Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain. Pasal 177 Cukup jelas Pasal 178 Cukup jelas Pasal 179 Cukup jelas Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.
Pasal 180 Cukup jelas Pasal 181 Cukup jelas Pasal 182 Cukup jelas Pasal 183 Cukup jelas Pasal 184 Cukup jelas Pasal 185 Cukup jelas Pasal 186 Cukup jelas Pasal 187 Cukup jelas Pasal 188 Cukup jelas Pasal 189 Cukup jelas Pasal 190 Cukup jelas Pasal 191 Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undangundang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan asas legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini. Pasal 192 Cukup jelas Pasal 193 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279
Aisyah Khairani Lubis : Hak-Hak Pekerja/Buruh Dalam Praktek Outsourcing Menurut UU Ketenagakerjaan (Studi Kasus Disnakertrans Propsu), 2010.