1
BURNOUT DENGAN KINERJA PERAWAT DI RUMAH SAKIT METROPOLITAN MEDICAL CENTRE JAKARTA Neli Suharti ˡ , Novy Helena Catharina Daulima ² 1. Program Studi Sarjana Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Jl. Prof. Bahder Djohan, Depok 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Perawat merupakan salah satu pekerjaan yang sangat beresiko mengalami burnout. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan burnout dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre Jakarta. Desain penelitian ini adalah deskripsi korelasi dengan responden sebanyak 110 orang yang dipilih dengan metode simple random sampling. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner modifikasi Maslach Burnout Inventory (MBI) dan kuesioner Rivai. Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara Burnout dengan Kinerja Perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (p value = 0,018; α = 0,05). Tingkat burnout yang dialami perawat termasuk kategori sedang, dan kinerja yang dicapai oleh perawat dalam kategori kinerjanya baik, menggambarkan bahwa perawat bekerja secara profesional meskipun mengalami burnout tingkat sedang. Penelitian ini menyarankan rumah sakit agar memperhatikan tingkat kejenuhan untuk menghindari pengaruh terhadap kinerja perawat. Kata kunci: burnout, kinerja, MBI, perawat Abstract Nurses are one of the professions vulnerable to burnout. This study aim is to determine the relationship between burnout and nurses work performance at Metropolitan Medical Centre Hospital, Jakarta. The research design of this study was descriptive-correlation with 110 samples selected using simple random sampling technique. Research instrument was modified Maslach Burnout Inventory (MBI) and Rivai Questionnaire. Study result showed a significant relationship between burnout and the work performance of nurses at Metropolitan Medical Centre Hospital (p value = 0,018; α = 0,05). Burnout level of nurses was moderate, and nurses showed good work performance. This finding suggested nurses work professionally despite the level of burnout was moderate. It is recommended to hospitals to regard the level of burnout to avoid influence on nurses work performance. Keywords: burnout, work performance, MBI, nurse
Pendahuluan Perawat merupakan garis depan layanan kesehatan yang berperan penting dalam menghadapi masalah kesehatan pasien selama 24 jam secara terus-menerus. Data yang tercatat di World Health Organization (WHO) tahun 2009 melaporkan bahwa jumlah perawat dan bidan ada sekitar 7,8 juta perawat di 198 negara. Data Kemenkes, 2009 jumlah perawat di seluruh rumah sakit berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS tahun 2000) sebanyak 107.029 orang
sedangkan jumlah perawat yang bekerja di Puskesmas berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2009 berjumlah 52.753 orang. Perawat adalah tenaga profesional di bidang perawatan kesehatan yang terlibat dalam kegiatan perawatan. Penelitian Hawes (2009) faktor lingkungan, kepemimpinan, dan otonomi dalam praktek klinis menyebabkan stres pada perawat pada dimensi kelelahan emosional. Selain itu beban kerja dan masalah dengan supervisor merupakan stres perawat yang paling signifikan.
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
2
Ketidakpastian dalam pengobatan, konflik dengan dokter, masalah dengan teman kerja, pasien dan keluarga pasien bisa mempengaruhi kepuasan di ruang perawatan. Perawat merupakan tenaga profesional untuk melayani masyarakat, memberi perawatan dan perlindungan bagi pasien yang membutuhkan pertolongan. Peranan perawat dalam melaksanakan layanan keperawatan harus berkolaborasi dengan profesi lain yang memerlukan keahlian dan keterampilan khusus sehingga mencerminkan sebuah kemitraan dalam memberikan layanan keperawatan kepada pasien, karena bersinggungan dengan profesi lain seringnya muncul masalah dalam komunikasi sehingga membuat peningkatan emosi dan stress yang dialami oleh perawat. Begitu banyaknya tanggung jawab dan tuntutan yang harus dijalani oleh perawat menunjukkan bahwa profesi perawat rentan sekali mengalami burnout terhadap pekerjaannya. Burnout merupakan istilah populer untuk kondisi penurunan energi mental atau fisik setelah periode stres kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan pekerjaan, terkadang dicirikan dengan pekerjaan atau dengan penyakit fisik (Potter & Perry, 2005). Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (RS MMC) adalah rumah sakit swasta yang mempunyai misi untuk mengembangkan insan rumah sakit yang etikal dan professional dengan mengutamakan mutu dan pelayanan, konsep tersebut merupakan tuntutan perawat untuk bekerja yang profesional sesuai dengan bidang kerja yang dilakukan. Berdasarkan analisa tersebut peneliti ingin mengetahui gambaran burnout, gambaran kinerja perawat serta hubungan karakteristik perawat dengan burnout, hubungan antara burnout dengan kinerja perawat di Rumah sakit Metropolitan Medical Centre.
Metode Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif kolerasi dengan pendekatan crosssectional. Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Metropolitan Medikal Center dengan
melibatkan 110 perawat yang bekerja di bagian UGD, Unit Operasi, ICU, Unit Rawat Jalan dan Unit Rawat Inap dengan metode simple random sampling. Penelitian ini mengunakan analisis univariat mengacu pada instrumen data demografi meliputi jenis kelamin, umur, status perkawinan, jumlah anak, pendidikan dan masa kerja, faktor burnout serta pada kinerja. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variebel dengan menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan variabel katagorik dengan katagorik dan uji ANOVA untuk melihat hubungan variabel katagorik dengan numerik (Hastono, 2007)
Hasil penelitian dan Pembahasan Analisis Univariat Karakteristik perawat dalam penelitian ini didapatkan rata-rata umur adalah 37,08 tahun dengan standar deviasi 9,819 tahun. Umur termuda 22 tahun dan umur tertua 56 tahun. Jumlah anak yang dimiliki perawat paling sedikit adalah belum mempunyai anak dan jumlah anak paling banyak 3 orang anak. Masa kerja rata-rata 13,59 tahun dengan standar deviasi 8,579 tahun. Masa kerja paling rendah adalah 1 tahun dan masa kerja yang paling tinggi adalah 26 tahun. Kemudian sebagian besar perawat pendidikannya D3 Keperawatan sebanyak 81 orang, berstatus menikah sebanyak 83 orang. Selain itu dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami Burnout sedang sebanyak 98 orang dan memiliki kinerja baik sebanyak 106 orang. sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 104 orang. Pada penelitian sebelumnya oleh Etzion & Pines, 1986 (dalam Cooper et al., 2003) digambarkan bahwa perempuan mengalami burnout dengan tingkat yang lebih tinggi dari pria. Namun, penelitian Greenglass, 1991 (dalam Cooper et al., 2003) menunjukkan pengaruh gender berubah terkait dengan peran dalam pekerjaan dan posisi hirarki. Sedangkan penelitian yang dilakukan Anderson & Iwanicki, Birmingham, dalam Farber (1991) menunjukkan burnout lebih
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
3
mudah terjadi pada pria dibandingkan wanita. Menurut Farber (1991) menggambarkan suatu penelitian yang menunjukkan bahwa burnout pada guru lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, pada umur 40 tahun atau diatas 40 tahun dan mereka adalah guru yang mengajar pada SMP atau SMA. Selain itu, ditemukan pula bahwa pada guru laki-laki dengan rentang usia 30 tahun sampai 39 tahun, yang mengajar di Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah Menengah Atas menyatakan menyesal dengan keputusannya berkarir sebagai guru. Fakta tersebut menunjukkan bahwa faktor seperti jenis kelamin, usia dan tingkat kelas menjadi latar belakang yang diprediksi menyebabkan level burnout pada guru. Menurut peneliti berdasarkan penelitian sebelumnya dan hasil analisis data responden pada kategori jenis kelamin ditemukan lebih banyak perawat perempuan dibandingkan laki-laki. Dalam hal ini peran pekerjaan dan posisi hirarki perawat antara laki-laki dan perempuan pada level yang sama dalam melaksanakan tugas dan fungsi pekerjaannya dalam melayani pasien sesuai standar operasional prosedur yang dimiliki oleh rumah sakit.
Analisis Bivariat Hubungan Umur dengan Burnout
Rata-rata umur pada mereka yang mengalami burnout rendah adalah 45,00 tahun, burnout sedang rata-rata umurnya adalah 36,41 tahun, burnout tinggi rata-rata umurnya adalah 35,33 tahun. Hasil Uji Statistik didapat p=0,035, berarti pada alpha 5% dapat
disimpulkan ada perbedaan umur diantara tingkatan burnout. Analisis lebih lanjut membuktikan bahwa kelompok yang berbeda signifikan adalah burnout rendah dengan sedang. Pada penelitian Mizmir (2011) yang mengkategorikan umur berdasarkan 4 kelompok dan hanya menggambarkan persentase jumlah responden berdasarkan umur sehingga tidak terlihat pengaruh umur terhadap burnout itu sendiri. Umur berpengaruh terhadap kemampuan mengatasi masalah dalam pekerjaan yang berpengaruh terhadap burnout seperti yang di kemukakan oleh Maslach (1982 dalam Caputo 1991) mengatakan orang usia muda memiliki kemungkinan mengalami burnout lebih besar daripada orang usia lebih tua. Di Amerika Serikat (USA) burnout paling sering terjadi pada karyawan muda dengan usia dibawah 30 tahun, yang mempunyai pengalaman pekerjaan yang relatif sedikit oleh Maslach (1996 dalam Cooper et al., 2003). Para pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis. Menurut Peneliti dari gambaran penelitian tersebut dan hasil analisa responden berdasarkan umur didapatkan bahwa umur responden yang berbeda signifikan menunjukan perbedaan sehingga menghasilkan burnout rendah dengan burnout sedang. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa faktor umur pada perawat yang berusia muda lebih burnout dibandingkan dengan perawat berumur dewasa. Faktor yang menjadi penyebab ada hubungan umur dengan burnout dikarenakan perawat yang memiliki usia yang muda masih minim pengalaman, emosional, harapan yang tinggi terhadap cita-cita, idealisme, terlalu banyak tuntutan, sehingga dalam bekerja mereka terkadang masih memerlukan adaptasi dengan lingkungan pekerjaan yang menjadikannya lebih rentan mengalami gejala burnout. Seiring dengan
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
4
pertambahan usia pada umumnya individu pengaruh dukungan sosial terhadap burnout pada Perawat menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistis.
Hasil Analisis Data Jumlah anak dengan Burnout
Rata-rata jumlah anak pada perawat yang mengalami burnout rendah adalah 1,56 (2 orang), burnout sedang rata-rata anaknya adalah 1,41 (1 orang), burnout tinggi ratarata anaknya adalah 1,67 (2 orang). Hasil Uji Statistik didapat p= 0,866, pada alpha 5% dapat disimpulkan tidak ada perbedaan jumlah anak diantara tingkatan burnout. Menurut peneliti dari gambaran jumlah anak yang dimiliki responden, menandakan bahwa dukungan sosial dari keluarga para perawat sangat mempengaruhi pada kenyamanan, kepedulian, harga diri atau segala bentuk bantuan lainnya yang diterima dari pasangan hidupnya. Oleh karena itu, adanya dukungan sosial dari anak-anak membuat perawat merasa yakin bahwa dirinya dicintai, dihargai sehingga dapat mengurangi gejala kejenuhan yang dialaminya dalam melaksanakan pekerjaan rutin tersebut dan dengan adanya anak-anak akan semakin membuat para perawat termotivasi dan bebas dari kejenuhan pekerjaan rutin. Kehadiran anak-anak yang memberikan dukungan berupa perhatian dan kepedulian ketika perawat merasa marah, kesal, atau jenuh ketika melayani pasien dapat mengurangi burnout yang dialami perawat tersebut. Menurut Purba, dkk (2007) hubungan interpersonal sangat berarti bagi
individu dalam usahanya mengatasi situasi yang tidak diinginkan. Hal tersebut penting untuk mencegah individu mengalami burnout. Jaringan hubungan interpersonal yang dimiliki seseorang yang memungkinkan memperoleh dukungan.
Hasil Analisis Data Masa Kerja dengan Burnout
Rata-rata masa kerja pada perawat yang mengalami burnout rendah adalah 20,56 tahun, burnout sedang rata-rata masa kerjanya adalah 13,04 tahun, burnout tinggi rata-rata masa kerjanya adalah 10,67 tahun. Hasil Uji Statistik didapat p= 0,034, berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan ada perbedaan masa kerja diantara tingkatan burnout. Analisis lebih lanjut membuktikan bahwa kelompok yang berbeda signifikan adalah burnout rendah dengan sedang. Penelitian Mizmir (2011) mengungkapkan orang usia muda memiliki kecenderungan mengalami burnout lebih besar daripada orang yang berusia lebih tua, hal ini dapat disebabkan karena jenis pekerjaan yang dilakukan setiap harinya tidak bervariasi. Sedangkan menurut Maslach (2008) kejenuhan kerja (Burnout) ini cenderung dirasakan pada karyawan dengan lama kerja yang dini, karena semakin lama karyawan bekerja ia akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya, sedangkan untuk karyawan yang baru memulai menguasai pekerjaannya dan mulai belajar menguasai pekerjaan secara tidak langsung dapat menjadi beban dan
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
5
stress pada pegawai baru yang pada akhirnya dapat menyebabkan kejenuhan dalam bekerja. Menurut peneliti dari gambaran dan analisis data responden tersebut menjelaskan bahwa ditemukan perbedaan berarti pada masa kerja dengan burnout, hal itu terjadi karena pengaruh lamanya masa kerja rata-rata responden yang mencapai 11 sampai 15 tahun sehingga ada kemungkinan para perawat mengalami kejenuhan dalam pekerjaan rutin, tidak ada pola pengembangan karir yang baik, promosi yang diharapkan tidak tercapai, minimnya reward dari pimpinan terhadap pegawai yang sudah lama bekerja, gaji pegawai yang lama dan yang baru masuk perbedaanya yang tidak proporsional.
Hasil Analisis Data Status Perkawinan dengan Burnout
Hasil analisis hubungan antara status perkawinan dengan burnout diperoleh bahwa ada sebanyak 26 orang perawat yang belum menikah mengalami burnout sedang, dari 83 responden berstatus menikah terdapat 72 orang mengalami burnout sedang, burnout tinggi berstatus menikah terdapat 3 orang. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,357, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan burnout. Pada penelitian yang digambarkan Wills (dalam Ogden, 2004) dan Maslach & Jackson, 1985 (dalam Cooper et. al., 2003) menunjukkan bahwa individu berstatus single mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
mengalami burnout dibandingkan mereka yang memiliki pasangan. Bagi mereka yang single, ketidakhadiran pasangan mengurangi kemungkinan untuk mendapatkan dukungan ketika menghadapi masalah. Sebaliknya mereka yang menikah, pasangan hidup merupakan pribadi yang dipandang paling banyak memberi dukungan ketika menghadapi masalah. Menurut Farber (1991) pada penelitian Guru yang berstatus belum menikah cenderung lebih tinggi mengalami burnout dibandingkan dengan yang berstatus menikah. Hal ini dapat dikaitkan dengan dukungan sosial yang diperoleh guru. Pada mereka yang menikah, adanya dukungan dari pasangan akan membantu mengurangi burnout yang dialami. Menurut peneliti dari gambaran dan hasil analisis data responden yang menyatakan tidak ditemukan perbedaan berarti pada status perkawinan dengan burnout itu menandakan bahwa dukungan sosial dari pasangan hidup para perawat sangat mempengaruhi pada kenyamanan, kepedulian, harga diri atau segala bentuk bantuan lainnya yang diterima dari pasangan hidupnya. Oleh karena itu, adanya dukungan sosial dari pasangan hidup membuat perawat merasa yakin bahwa dirinya dicintai, dihargai sehingga dapat mengurangi gejala kejenuhan yang dialaminya dalam melaksanakan pekerjaan rutin tersebut.
Hasil Analisis Data Pendidikan dengan Burnout
Status
Hasil analisis hubungan antara pendidikan terakhir dengan burnout diperoleh bahwa ada sebanyak 9 orang yang berpendidikan SPK
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
6
mengalami burnout sedang dan 2 orang mengalami burnout rendah, dari 81 responden berpendidikan D3 terdapat 72 orang mengalami burnout sedang. Sedangkan diantara responden yang burnout sedang berpendidikan S1 terdapat 17 orang. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,600, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir dengan burnout. Pada penelitian pada tingkat pendidikan guru menunjukkan perbedaan burnout. Guru dengan pendidikan tinggi mengalami burnout yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru lainnya. Kemungkinan hal ini terjadi karena faktor kepribadian individu yaitu self esteem. Mereka yang berpendidikan tinggi, memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dihargai. Ketika kebutuhan tersebut tidak diperoleh, mereka akan lebih mudah mengalami burnout. Menurut Maslach, 1986 (dalam Cooper et al. 2003) burnout juga berhubungan dengan tingginya tingkat pendidikan. Sedangkan menurut Fletcher, 1988 (dalam Cooper et al. 2003) stres yang sering terjadi pada para pekerja terkait dengan lemahnya pendidikan dan status yang rendah. Pada penelitian Sahin (2012) hubungan signifikan terdeteksi antara tingkat burnout personil dapur yang bekerja dengan tingkat pendidikan mereka, tingkat pendapatan, tugas, mingguan dan jam kerja setiap hari, tingkat kepuasan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka dan keinginan mereka untuk mengubah pekerjaan mereka. Menurut peneliti dari gambaran dan analisis data responden tersebut menjelaskan bahwa tidak ditemukan perbedaan berarti pada pendidikan terakhir dengan burnout hal itu terjadi karena adanya kesetaraan jenjang pendidikan rata-rata responden yang menunjukan bahwa para perawat adalah orang-orang yang kompeten dalam melakukan pekerjaannya. Dengan tidak ditemukannya perbedaan jenjang pendidikan perawat tersebut menjadikan para perawat tidak merasa memerlukan penghargaan yang tinggi, tidak terlalu diremehkan dengan teman sejawatnya maupun teman lingkungan kerja serta tidak memerlukan persaingan pendidikan yang tinggi untuk melaksanakan pekerjaan rutinnya.
Hasil analisis data Burnout dengan Kinerja
Hasil analisis hubungan antara burnout dengan kinerja diperoleh bahwa ada sebanyak 9 orang responden dengan burnout rendah yang kinerjanya baik. Sedangkan diantara responden yang burnout sedang yang kinerjanya baik, terdapat 95 orang. Kemudian diantara responden yang mengalami burnout tinggi yang kinerjanya baik terdapat 2 orang (66,7%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,018, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara burnout dengan kinerja. Pada penelitian Maharani (2005) yang menggambarkan hubungan burnout dan kinerja Perawat dalam Pemberian Asuhan Keperawatan di Instalasi Rawat Inap (IRNA) Rumah Sakit Baptis Kediri didapatkan sebagian besar perawat memiliki kejenuhan kerja ringan sebanyak 45 perawat (85%). Sedangkan dari hasil uji statistik dinyatakan bahwa tidak ada hubungan kejenuhan kerja (Burnout) dengan kinerja, karena semua perawat memiliki kinerja yang baik dan cukup walau memiliki kejenuhan kerja. Burnout merupakan sindrom kelelahan fisik dan emosional akibat stress kerja yang melibatkan konsep pengembangan diri negatif, dan hilangnya kekhawatiran dan perasaan untuk klien. Pines dan Maslach (1979 dalam Kandusin, 2002) mengidentifikasi burnout merupakan sebuah proses multidimensi dengan tiga konsep yaitu emotional exhaustion, depersonalisasi dan reduced sense of accomplishment. Burnout dipengaruhi faktor-faktor penyebab yang
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
7
berasal dari lingkungan kerja maupun diri individu. Masclah (dalam Farber, 1991) menyatakan sumber utama burnout karena adanya stress yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan penerima pelayanan dalam jangka panjang. Perawat yang sifat pekerjaannya selalu berada dalam situasi yang menyangkut hubungan antarmanusia, terjadi proses interaksi yang dalam praktik keperawatan senantiasa dituntut meningkatkan mutu pelayanan profesinya, melakukan peran fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan. Perawat memiliki resiko burnout yang akan mempengaruhi terhadap kinerja perawat dalam memberikan layanan kesehatan pada pasien. Penelitian Guntur (2012) didapatkan kepuasan kerja dan komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja perawat di rumah sakit Islam Klaten secara stimulant dan parsial. Menurut peneliti didapatkan responden burnout dalam kategori sedang, disebabkan karena beban kerja yang kurang sesuai seperti perbandingan jumlah pasien dan perawat yang bekerja dalam shift kurang proporsional, beban kerja perawat tinggi, gaya kepemimpinan kepala ruangan yang membuat perawat kurang mampu mengekspresikan kemampuan dan keahliannya, kurangnya pengakuan terhadap keahlian yang dimiliki oleh perawat, kurangnya komunikasi yang intens antar perawat, perawat dan profesi lain sehingga seringnya terjadi konflik. Perawat selalu disalahkan ketika ada kesalahan, kontrol terhadap layanan keperawatan yang rendah, selain itu reward belum proporsional diberikan kepada perawat dengan tidak melihat beban kerjanya, terbatasnya kesempatan belajar yang dimiliki oleh perawat, pengembangan karir yang kurang jelas. Walaupun tingkat burnout termasuk kategori sedang tapi kinerja yang dicapai oleh perawat dalam kategori kinerjanya baik itu menggambarkan bahwa perawat bekerja
profesional sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Perawat mampu mengendalikan dimensi burnout dalam melayani pasien sesuai dengan standar operasional prosedur yang ditetapkan oleh rumah sakit, perawat mampu beradaptasi terhadap alur kerja dalam melayani pasien, perawat mampu berperan sesuai dengan tuntutan profesi dan tuntutan organisasi serta tuntutan masyarakat dan perawat mampu melakukan aktualisasi diri dalam melaksakan pekerjaan yang diterimannya seperti yang diungkapkan oleh Mathis & Jackson (2000 dalam mizmir 2011) menyatakan “job satisfaction is a positive emotional state resulting one’s jobs experience“ yang bermakna bahwa kepuasan kerja merupakan pernyataan emosional yang positif dan merupakan hasil evaluasi dari pengalaman kerja, sedangkan Sopiah (2008) menyatakan bahwa karyawan yang berkomitmen tinggi pada organisasi akan menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, sehingga dengan komitmen yang dimiliki oleh perawat dalam memberikan layanan keperawatan yang komprehensif dan profesional.
Kesimpulan Berdasarkan teori, hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan burnout dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre, maka dapat diambil kesimpulan: Perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre sebagian besar rata-rata umur responden adalah 37,08 tahun, jumlah anak yang dimiliki perawat paling sedikit adalah belum mempunyai anak dan jumlah anak paling banyak 3 orang. Sebagian besar pendidikannya D3 Keperawatan sebanyak 81 orang. Perawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre masa kerja ratarata adalah 13,59 tahun. Sebagian besar berstatus menikah sebanyak 83 orang. Sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 104 orang, sebagian besar mengalami Burnout sedang sebanyak 98 orang dan memiliki kinerja baik sebanyak 106 orang. Ada hubungan antara umur, masa kerja perawat RS Metropolitan Medical Centre dengan burnout. Tidak ada hubungan berarti antara jumlah anak, status perkawinan
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
8
dan pendidikan Perawat RS Metropolitan Medical Centre dengan burnout. Ada hubungan antara burnout dan kinerja Perawat RS Metropolitan Medical Centre, dengan uji statistik diperoleh nilai p=0,018.
Saran Bagi Rumah Sakit hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk membuat kebijakan bagi rumah sakit agar tugas pokok dan fungsi perawat lebih jelas, beban kerja perawat disesuaikan secara proposional antara jumlah perawat dengan jumlah pasien, diberikan reward kepada perawat yang proporsional sehingga perawat mampu bekerja lebih profesional dan memberikan layanan yang optimal. Bagi Pendidikan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi seperti jurnal-jurnal penelitian untuk dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya. Penelitian selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan pengembangan dimensi burnout, burnout dengan gaya kepemimpinan dan mampu memperluas area penelitian dengan metode penelitian yang berbeda, seperti menggunakan studi perbandingan maupun studi korelasi. Menambahkan dan mengidentifikasi variabel tambahan terkait karakteristik lain seperti gaya kepemimpinan kepala ruangan, bentuk organisasi, perbedaan burnout antar ruang kerja perawat, kebijakan organisasi.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1) Ibu Dewi Irawati, M.A., Ph.D., selaku Dekan FIK UI; 2) Ibu Novy Helena C.D., S.Kp., M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini sampai selesai; 3) Ibu Kuntarti, S.Kp., M.Biomed, selaku koordinator mata ajar Tugas Akhir yang
telah memberikan arahan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini; 4) Bapak/Ibu Dosen Pembimbing FIK UI yang telah memberikan arahan dalam perbaikan skripsi penulis, serta senantiasa memberikan masukan dan semangat selama penulis menjalani perkuliahan; 5) Dr. Adib A. Yahya, MARS selaku direktur utama beserta Direksi Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre; 6) Kedua orang tua peneliti Bapak Dahrodji Marthawijaya dan Ibu Encum Kulsum yang selalu memberikan dukungan tiada henti, menyempatkan waktu untuk selalu mendoakan putri-putrinya, adik-adikku Linda Luningrum dan Hesa Mastupah Widyawati; 7) Suami tercinta Vidi Januardani yang selalu memberikan semangat, doa dan dorongan yang tiada henti sehingga penulis mampu menyelesaikan proses perkuliahan dan penulisan tugas akhir ini dengan baik, serta putri-putri cantikku Anna Zahirah Masyudah dan Adzra Laila Nurizzah yang harus kehilangan banyak waktu untuk bermain dengan mama, dan dengan senyuman, candanya membuat mama kembali bersemangat untuk menjalani perkuliahan; 8) Rekan-rekan Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre yang telah memberi dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. 9) Rekan-rekan FIK UI program ekstensi 2011 yang telah memberikan dukungan, masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10) Semua pihak yang telah membantu menyumbangkan tenaga dan pemikirannya dalam penyusunan skripsi ini.
Referensi Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta Caputo, J.S. (1991). Stres and Burnout in Library Service. Phoenix: Oryx Press.
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
9
Cherniss, C. (1980). Staff burnout: Job stress in the human services. Beverly Hills, CA: Sage Publications Cooper, C. L., Schabracq, M. J. & Winnubst, J. A. M. (2003). The Handbook of work and health psychology. Second Edition. United States: John Wiley & Son Ltd.
Kadushin, A. & Harkness, D. (2002). Supervision in Social Work. Fourth edition. United States of America: Columbia University Press.
Farber, B. A. (1991). Crisis and education: stress and burnout in the American teacher. San Fransisco Jossey-Bass
Kemenkes RI. (2009). Perawat Mendominasi Tenaga Kesehatan. 6 Mei 2011. http://www.bppsdmk.depkes.go.id/ind ex.php?option=com_content&view=a rticle&id=199:perawat-mendominasitenagakesehatan&catid=38:berita&Itemid=8 2
Fauziah. (2012) Burnout pada Pelayan Restoran Kapal Pesiar. E-Journal Psikologi. Universitas Gunadarma.
Kusnanto (2004). Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC
George, J. M. & Jones, G. R. (2005). Understanding and managing organizational behavior. New Jersey: Pearson Education
Lapau,
Guntur W. P. (2012). Pengaruh Person – Organization Fit, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Perawat. Management Analysis Journal, 1, 1-7.
Maharani, P.A. (2012). Kejenuhan kerja (burnout) dengan kinerja perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Jurnal STIKES, 5, 2, 167-178.
Greenberg, J. S. (2002). Comprehensive: Stress Management. Seventh edition. New York: McGraw-Hill.
Maslach, C., Jackson, S. E., & Leiter, M. (1996). Maslach Burnout Inventory: Manual. Third Edition. Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Hasan, M.I. (2005). Pokok-pokok materi statistik 1 (statistik deskriptif). Edisi kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Hastono, S. P. (2007). Basic Data Analysis for Health Research Training. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hastono, S. P. & Sabri L. (2011). Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hawes, K. (2009). Nurse job stress, burnout, practice environment and maternal satisfaction in the neonatal intensive care unit. Doctor’s Dissertation, University of Rhode Island, Providence, USA.
B. (2012). Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Miller, D. (2000). Dying to care? Work, Stress and Burnout in HIV/AIDS. New York: Routledge. Mizmir (2011). Hubungan Burnout dengan Kepuasan Kerja Pustakawan di Pusat Jasa Perpustakaan Nasional RI. Depok: Skripsi Program Sarjana UI Nasional Safety Council. (2004). Manajemen stress. Jakarta : EGC Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Noveria, P. S. (2008). Dampak Penatalaksanaan Pasien Adiksi
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013
10
NAPZA terhadap Burnout Syndrome pada Petugas di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta. Buletin Ilmiah Populer RSKO: 43-48.
Schaufeli. W. B. & Peeters, M. C. W. (2000). Job Stress and Burnout among Correctional Officers. International Journal of Stress Manajement, 7, (1), 19-48.
Ogden, J. (2004). Health Psikologi: A Textbook, Third edition. England: Open University Press McGraw-Hill Education.
Simanjuntak, P. J. (2005). Manajemen dan Evaluasi Kerja. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Perry
& Potter. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik. Alih bahasa, Yasmin Asih (et al). Jakarta: EGC
Potter, B. A. (2005). Symptoms of Burnout.
. diakses 19 Desember 2012 Purba, J., Yulianto, A. & Widyanti, E. (2007). Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Burnout Pada Guru. Jurnal Psikologi, 5,1, 77-87. Rai, I G. A. (2008). Audit Kinerja pada Sektor Publik: Konsep, Praktik, dan Studi Kasus. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Rivai, V. & Sagala, E. J. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: dari Teori ke Praktik. Edisi kedua. Jakarta: Rajawali Pers Sahin, H. (2012). The Level of Burnout of Kitchen Personnel in Accommodation Facilities. International Journal of Business and Social Science, 3, 7, 116-120. Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2011). Dasardasar Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Sopiah. (2008). Perilaku Yogyakarta: Andi
Organisasi.
Sutjipto. (2001). Apakah anda mengalami burnout, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Suhaemi, M.M. (2004). Etika Keperawatan: aplikasi pada praktik. Jakarta: EGC. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta. -----------. (2000). Pengantar Statistik. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tawale, E. N., dkk. (2011). Hubungan antara Motivasi Kerja Perawat dengan Kecenderungan mengalami Burnout pada Perawat di RSUD Seruai-Papua. Journal Insani,13, 2. Taylor, S. E. (1999). Health Psychology. (4th ed). United States of America: The MacGraw-Hill Companies, Inc. WHO. (2009). Global Health Observatory Data Repository. 16 November 2012 http://apps.who.int/gho/data/?vid=920 00 Wibowo. (2009). Manajemen Perubahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schaufeli W. & Enzmann D. (1998). The Burnout Companion to Study and Practise: A Critical Analysis. United Kingdom: T. J. International Ltd.
Hubungan Burnout ..., Neli Suharti, FIK UI, 2013