1
BUNGA RAMPAI Kumpulan tulisan Selama Bertugas Sebagai Detaser di Universitas Trunojoyo 2005
2
Hak cipta pada Tim Penulis ----------------------------------------------------------------Judul
Tim penulis
Desain sampul Penerbit
Tahun ISBN
Bunga Rampai Kumpulan tulisan Para Detaser, pada Program Detasering di Universitas Trunojoyo 2005 : Suhardjono, Eman Suparman, Francien Tomasowa, Susijahadi, Ika Rochdjatun Sastrahidayat, : Menunggu Pemenang : Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya :
: 2005 : 979-508-567-0
---------------------------------------------------------
3
Pengantar Di tahun 2005, direktorat jenderal pendidikan tinggi kembali menyelenggarakan program detasering. Suatu kegiatan penugasan dosen senior pada beberapa perguruan tinggi negeri yang relatif baru, di Indonesia dengan tujuan meningkatkan kualitas dosen dan sivitas akademika lainnya pada kemampuan pengelolaan dan pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Universitas Trunojoyo Bangkalan, merupakan salah satu dari perguruan tinggi negeri yang untuk kedua kalinya memperoleh program tersebut. Lima dosen senior yakni : (1) Prof. Dr. Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidayat, (2) Prof. Dr. Ir. Suhardjono, MPd., Dipl.HE, (3) Ir. Susijahadi, MS., (4) Dra. Francien Herlen Tomasowa, Ph.D., dan (5) Dr. Eman Suparman, SH., MH., bertugas di Unijoyo selama lima bulan mulai Agustus sampai dengan Desember 2005, sesuai dengan bidang keahlian dan pengalaman masing-masing. Banyak kegiatan telah dilakukan oleh para detaser. Di antaranya melaksanakan berbagai seminar, lokakarya dan diskusi, serta penulisan karya ilmiah para dosen. Sebagai pendukung kegiatan tersebut beberapa makalah dibuat. Timbul gagasan untuk menghimpun tulisan-tulisan tersebut. Paling tidak sebagai upaya mendokumentasikan dan mempublikasikan kegiatan. Karena itulah dibuat Bunga Rampai ini. Berbagai informasi terpaparkan. Mulai dari upaya peningkatan mutu pembelajaran, penelitian, peningkatan kompetensi berbahasa Inggris, pengabdian kepada masyarakat, masalah hukum, dan juga pertanian. Mengacu pada keanekaragaman isi tulisan itulah, buku ini disebut Bunga Rampai. Kepada Rektor Unijoyo berikut para dosen, karyawan, dan mahasiswa, khususnya Prof. Dr. Ir. Ariffin, MS, Pembantu Rektor Bidang Akademis Unijoyo yang telah memberikan kerjasama yang sangat baik selama program detesering, disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Tim detaser Unijoyo 2005 Hormat tim penulis
4
Daftar isi Pengantar Daftar isi Belajar lebih benar dan lebih menyenangkan ..................................... 5 Teori belajar dan penerapannya dalam mengajar .............................. 11 Membuat karya tulis ilmiah untuk jurnal ......................................... 25 Meningkatkan keterampilan mengajar pada kurikulum berbasis kompetensi ................................................................................... 31 Manfaat sop dan bagaimana menyusunnya ...................................... 42 Menjadi ahli hukum yang jujur, pintar, mahir, serta committed terhadap profesi ......................................................................................... 50 Tanggung jawab hukum & etika profesi tenaga kesehatan ................ 57 Arbitrase untuk keadilan ................................................................ 64 Harmonisasi hukum untuk globalisasi ............................................. 71 Beberapa tips presentasi lisan dalam bahasa inggris pada forum internasional ................................................................................. 88 Kapita selekta pembelajaran bahasa inggris anak usia sekolah dasar 102 Penjaminan mutu sebagai langkah awal untuk pengembangan program studi........................................................................................... 109 Perspektif agribisnis dan agroindustri dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat ................................................................... 113 Penanganan limbah industri hasil pertanian ................................... 127 Langkah penyusunan evaluasi diri untuk akreditasi program studi ... 133 Judul laporan .............................................................................. 144 Kebenaran ilmiah dan cara mendapatkannya ................................. 146 Proses penulisan artikel/makalah di jurnal ilmiah atau proseding..... 153 Eksplorasi dan perumusan masalah penelitian ............................... 158 Metode monitoring dan evaluasi pengembangan jurusan ................ 177
5
Belajar lebih Benar dan lebih Menyenangkan1 Menyambut Mahasiswa Baru Universitas Trunojoyo
tahun 2005
Suhardjono Salah satu kegiatan utama mahasiswa adalah belajar. Hampir setiap hari mahasiswa dituntut untuk belajar. Belajar yang benar membutuhkan keterampilan keterampilan dalam mendengar, membaca, menulis, mencari, mengolah serta menggunakan informasi. Belajar menuntut adanya kemauan dalam diri mahasiswa. Gabungan antara keterampilan belajar dan kemauan, membawa belajar menjadi lebih benar dan lebih menyenangkan.
Tantangan masa datang Bahwa di masa datang akan terjadi banyak perobahan, kita semua maklum. Berbagai referensi mengungkapkan prakiraan perobahan tersebut. Penggerak perobahan terbesar adalah laju perkembangan ilmu dan teknologi di satu pihak dan keterbatasan sumber-sumber kehidupan di lain pihak, serta adanya upaya dan kemampuan manusia dalam mensiasati perobahan. Menurut Ramelan (1990) salah satu inovasi iptek yang sangat mengagumkan adalah pengembangan dan penggunaan mikroelektronik yang berupa pengembangan peralatan yang lebih kecil, lebih murah, lebih hemat enersi, lebih handal, dan lebih berkecepatan tinggi. Dampak pemanfaatan teknologi itu antara lain adalah : a) gaya hidup teknologi canggih dengan tempo yang lebih tinggi semakin meluas akibat dari meluasnya otomatisasi dan meningkatnya pemanfaaatan komputer pribadi; b) otomatisasi dan pengendalian jarak jauh akan meningkat menjadikan globalisasi wawasan dan berbagai kegiatan akan meluas dan membawa terjadinya perubahan kebutuhan jumlah dan mutu tenaga kerjadan c) globalisasi dan saling ketergantungan baik nasional maupun internasional akan meningkat (Parapak, 1990). Untuk mampu bersaing di era globalisasi, tentu dibutuhkan manusiamanusia dengan kriteria kualitas tertentu. Tilaar (1990) menyatakan masyarakat
1
Disajikan pada kuliah umum bagi Mahasiswa Baru Universitas Trunojoyo, 30 Agustus 2005
6
global menuntut dan menghargai pada kualitas, inisiatif dan kreatifitas, kerja keras serta produktivitas. Mengacu kepada tantangan dunia usaha dan industri di masa datang, Harsono (1998) berpendapat perlunya tenaga yang: a) memiliki jiwa enterprenuer; b)mampu berbahasa Inggris dan atau bahasa internasional yang lain; c) memiliki etos kerja yang tinggi dengan ditunjang disiplin diri; d) tanggap terhadap setiap perkembangan teknologi, arus globalisasi dan informasi; serta e) berwawasan luas sehingga mampu berkiprah dalam komunitas global.
Lulusan Universitas Trunojoyo di masa datang, di samping harus berkemampuan dalam bidang keilmuannya mereka harus pula mampu menjadi “ KAKAP BESAR ” yaitu Kreatif, Analisis, Kritis, dan berkemampuan meng-Ambil Keputusan. Di samping harus pula mampu BElajar sepanjang hayat, ber-Sikap positif, Aktip-disiplin, dan Rasional, karena: a.
kreatif-analisis-kritis yang merupakan syarat dasar untuk dapat mengoptimalkan fasilitas yang tersedia dalam berbagai teknologi informatika dan komputer
b.
mampu mengambil keputusan, dengan baik, benar dan bermutu, karena itulah yang menentukan keberhasilan seorang di dalam kehidupannya.
c.
mampu dan mau membelajarkan diri sendiri sepanjang hayat; agar supaya tangguh dalam menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap perobahan
d.
bersikap positif, bermotivasi tinggi, berkemampuan dalam mendapatkan, mengolah, menggunakan dan menyalurkan informasi karena berbagai informasi iptek berobah dalam waktu yang cepat, untuk itu kemampuan berbahasa (bahasa Inggris, khususnya) dan berkomunikasi merupakan kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki;
e.
disiplin, presisi, dan bekerja keras sebagai prasyarat untuk dapat menyesuaikan diri dalam memakai teknologi dan peralatan iptekinformasi masa datang;
f.
berpikir rasional karena iptek (khususnya komputer) bertumpu pada unsur-unsur logika;
Kemudian, apa yang dapat dilakukan mahasiswa agar dapat menjadi lulusan dengan kualitas yang seperti itu?
7
Tingkatkan Kemauan Belajar Megahnya ruang kuliah, hebatnya kualitas dosen akan tidak berarti bila tidak ada kemauan belajar dalam diri mahasiswa. Belajar hanya terjadi bila mahasiswa mau belajar (artinya dalam diri mahasiswa ada kehendak, ada motivasi, ada kemauan untuk belajar). Kehendak belajar akan muncul, apabila mahasiswa mengetahui apa manfaat yang akan diperoleh dari hal yang dipelajari. Untuk itu, setiap kali akan belajar, ketahui terlebih dahulu apa untungnya mempelajari hal itu. Tanyakan manfaat matakuliah kepada dosen anda. Atau buat, ciptakan sendiri dalam pikiran Anda hal-hal yang menyenangkan yang akan Anda dapat dari belajar sesuatu. Misalnya, belajar bahasa Inggris, pikirkan manfaat yang akan dapat Anda peroleh (dapat lebih banyak manfaatkan informasi internet, sebagai modal ke luar-negeri, punya teman di Amerika, tidak lagi minder, dan lain-lain).
•
Mengetahui manfaat yang akan didapat, motivasi belajar akan meningkat.
Motivasi yang telah muncul, harus diperkuat dengan pikiran yang bersemangat. Untuk itu buatlah aktivitas fisik yang juga bersemangat. Bagaimana mungkin, pikiran akan bersemangat, bila Anda duduk loyo, bertopang dagu, bermata sayu. Semangatkan fisik Anda. “pasang” mimik muka Anda menjadi mimik muka orang paling cerdas, duduklah dengan percaya diri, berdirilah dengan tegap.
•
Semangatkan pikiran Anda melalui gerakan, sikap tubuh, dan mimik wajah yang penuh enersi.
Bersamaan dengan itu ciptakan lingkungan belajar yang membangkitkan gairah. Bila Anda menyukai, dengarkan musik lembut sambil belajar, pasang foto pacar (atau foto orang tua, atau foto Anda sendiri waktu berhasil mendaki gunung Semeru,) di meja belajar, buatlah hati Anda bangga dan gembira. Pokoknya, tatalah ruang belajar Anda semau Anda. Yang penting Anda makin krasan, gairah dan asyik untuk belajar.
•
Anda dituntut kreatif, mulailah dari tatanan kamar Anda.
Anda juga dituntut menjadi seorang yang bersikap positif. Terapkan mulai sekarang. Jangan melihat sesuatu dari segi jeleknya saja, jangan selalu mengeluh (cengeng !), jangan menarik perhatian dengan membuat orang kasihan pada diri Anda. JANGAN. Mulai berpikir dan bertindak positif. Kegagalan (yang boleh terjadi) adalah sukses yang tertunda. Setiap musibah pasti ada hikmahnya. Setiap pribadi pasti mempunyai sisi yang baik dan bermanfaaat.
8
•
Terapkanlah pikiran rasional: bahwa yang paling berperan, paling bertanggung jawab, paling mampu untuk merubah kualitas diri, adalah diri sendiri.
Jangan lupa untuk selalu memohon perkenan, bantuan, ijin dalam mencari pengetahuan dan kebijaksanaan dari Yang Maha Berpengetahuan dan Yang Maha Bijaksana.
•
Jangan lupa berdoa
Ringkasnya, belajar harus dimulai dari kemauan untuk belajar yang timbul dalam diri. Untuk memunculkan kemauan perlu diketahui apa manfaat yang akan didapat dari hal yang dipelajari. Kemudian tambahkan semangat dan kegembiraan pikiran melalui sikap, perilaku fisik yang penuh enersi dan lingkungan yang menyenangkan. Mulailah bersikap positif, jangan takut gagal, berpikirlah rasional. Dan jangan lupa selalu memohon bantuan-Nya, melalui doa dan tindakan.
Tingkatkan Keterampilan Belajar Bertinju tidak cukup bila hanya berbekal semangat (apalagi bonek) tetapi sangat dibutuhkan keterampilan. Demikian juga halnya dengan belajar. Semangat, motivasi dan stamina merupakan modal dasar yang harus dilengkapi dengan berbagai keterampilan (untuk) belajar. Apa keterampilan belajar yang seharusnya dikuasai mahasiswa? Kegiatan utama dalam belajar adalah mendengar dan membaca informasi. Untuk itu harus dipunyai keterampilan agar mampu menjadi pendengar dan pembaca yang cerdas dan efektif. Untuk itu diperlukan: keterampilan dalam membuat catatan. Saat ini, sebagian dari Anda tampak seperti membuat catatan-catatan. Bila dilihat dari hasil catatan yang Anda buat, bermacam-macam pula model. Ada yang mencacat rapi hal-hal penting, ada yang berupaya mencacat sebanyak mungkin informasi, ada pula yang catatannya seperti coretan dan penuh gambar, dan lain-lain. Model cacatan yang mana yang paling baik untuk Anda? Andalah yang dapat menjawabnya. Namun menurut DePorter dan Hernacki (1992) ada teknik mencatat yang efektif (bahkan dikatakan sebagai teknik mencacat tingkat tinggi), yaitu menggunaan peta pikiran (atau pada beberapa referensi disebut sebagai peta kognitif, concept mapping). Melalui peta pikiran dapat dibuat suatu catatan yang menyeluruh dalam satu halaman. Menggunakan berbagai simbol visual dan tanda-tanda lain, cacatan model peta pikiran mampu meningkatkan pemahaman dan ingatan.
9
Peta pikiran dapat digunakan untuk mencacat apa yang kita dengar, atau mencacat hal-hal yang kita baca. Dan sangat dianjurkan untuk menyusun ide tulisan / karangan. Di samping menggunakan model peta pikiran, ada banyak cara lain untuk melakukan cacatan, seperti misalnya model Catat:TS (lihat Quatum Learning 1992: 162-166), model tulang-ikan, model tabel, model bagan alir dan lain-lan. Keterampilan belajar lain yang sangat diperlukan adalah: keterampilan menjadi pendengar yang cerdas. Tidak sukar untuk menjadi pendengar yang baik, asal duduk tenang, tersenyum, dan sedikit membuat cacatan, kiranya telah dapat disebut pendengar yang baik. Tetapi sekedar menjadi pendengar yang baik tidaklah cukup. Anda harus menjadi pendengar yang cerdas. Ciri pendengar yang cerdas adalah (a) sikap fisiknya mengekspresikan semangat dan perhatian terhadap pembicara, (b) selama mendengar mengupayakan mengkaitkan secara bermakna informasi yang diterima dengan pengetahuan yang telah dipunyainya, (c) sambil mendengarkan membuat pertanyaan-pertanyaan terhadap informasi yang didengarnya, dan (d) berupaya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan tanya-jawab, diskusi atau demontrasi bila dilakukan. Keterampilan berikutnya adalah : keterampilan membaca cepat dan akurat. Banyak buku tentang teknik membaca, dan bagaimana meningkatkan kemampuan membaca. Upayakan membaca salah satu di antara buku-buku tersebut. Hal yang dapat dilakukan untuk menjadi pembaca yang efektif adalah: (a) jangan membaca kata-demi kata, bacalah kalimatnya, bacalah gagasangagasannya, (b) baca lebih dulu, secara selintas isi keseluruhan buku atau bab yang akan dibaca, untuk mendapat gambaran umum tentang isi bacaan, gunakan daftar isi, atau ringkasan bila tersedia, (c) gunakan jari atau benda lain sebagai penunjuk, (d) buat cacatan-catatan selama atau pada akhir membaca – gunakan misalnya model peta pikiran- dan kemudian rangkumlah isi bacaan dan gunakan ‘pengingat’ tertentu. Keterampilan berkomunikasi, mencari dan menghimpun informasi, merupakan keterampilan penting lain untuk belajar. Keterampilan ini merupakan gabungan dari (a) kemampuan memakai sumber-sumber informasi –perpustakaan, internet, CD-Rom, (b) kemampuan berbahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing, (c) kemampuan berkomunikasi baik lisan (berbincang santai, bertanya, menjawab pertanyaan, menyampaikan pidato, dll) maupun tertulis (membina sahabat pena, mengirim e-mail, dll)., (d) kerapihan dan ketertiban dalam mendokumentasi, dan menyimpan informasi, (perlunya sistem arsip, pegkodean, dll) Keterampilan mengingat sangatlah penting dalam belajar. Dalam perkuliahan banyak hal yang wajib kita ingat. Karena daya ingat kita tidak
10
sama, maka berbagai cara digunakan agar kita tidak melupakan sesuatu. Di antaranya yang paling kita kenal adalah penggunaan Singkatan-Akronim (misalnya: syarat skripsi harus APIK – yang merupakan singkatan dari Asli, Perlu, Ilmiah, dan Konsisten, ingat bagaimana cara Anda untuk menghafal warna pelangi?). Banyak cara lain untuk meningkatkan daya ingat, seperti misalnya : analogi, sistem cantol, metode lokasi, gunakan asosiasi, jembatan keledai, dll. Keterampilan bertanya, agar berhasil, perlu berani bertanya. Karena dalam perkuliahan pasti terdapat banyak hal yang dapat dipertanyakan dan terlebih lagi tidak ada pertanyaan yang jelek. Kemampuan untuk bertanya, memang harus dilatih. Untuk itu (a) biasakan membuat 1-2 buah pertanyaan, baik dalam hati, ditulis, ataupun langsung disampaikan dalam setiap kegiatan mengikuti kuliah, membaca buku, mendengarkan seminar, dll, (b) himpunlah pertanyaan dan jawaban yang pernah Anda dapat dari topik permasalahan yang dikaji, (c) cobalah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa lain (meskipun di dalam hati) Tentu saja masih banyak keterampilan belajar lain. Namun apa yang diuraikan di atas adalah keterampilan penting yang harus dipelejari dan digunakan sejak saat ini. Jangan segan untuk berlatih. Hasilnya memang tidak segera, tetapi pasti.
Rangkuman Tujuan dari presentasi ini adalah agar mahasiswa baru dapat memperoleh pengetahuan yang mampu mendorong sukses belajar mereka. Agar mereka menjadi KAKAP BESAR dan bukan TERI (tersia-sia dan rendah diri). Kunci suksesnya, sangat sederhana. Gabungkan selalu kemauan dan keterampilan belajar dalam kegiatan belajar Anda.
Daftar Bacaan : DePorter, Bobby dan Mike Hernaki (1992) Quatum Learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Alwiyah Abdulrachman Bandung : Kaifa. Harsono (1998). Pokok-pokok pikiran tentang penegmbangan kurikulum dalam upaya meningkatkan daya saing lulusan dalam komunitas global. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Profil Pendidikan Sains, Teknologi, dan Humaniora di Indonesia pada Era Insdustrialisasi dan Globalisasai, 19 Nopember 1994. Ramelan, Rahadi. 1990. Kecenderungan Teknologi dan Tantangan Bagi Indonesia, dalam Bob Widyahartono, dkk (ed). 1990. Indonesia Dalam Era Globalisasi. Jakarta : Bank Summa.
11
Teori Belajar dalam Mengajar
dan
Penerapannya
1
Suhardjono Pengantar Sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi, dosen diharapkan untuk selalu mampu dan mau secara terus menerus meningkatkan mutu dirinya sebagai dosen yang profesional. Dosen profesional di antaranya dituntut untuk dapat o
merancang perkuliahannya dengan lebih rasional
o
mengajar dengan lebih menyenangkan dan dimengerti
o
menilai hasil belajar mahasiswa dengan lebih adil
Untuk dapat merancang pembelajaran dengan rasional, tentunya dosen membutuhkan pemahaman tentang teori pengetahuan rasional yang berkaitan dengan belajar dan mengajar. Karena yang belajar adalah mahasiswa yang termasuk dalam kelompok pembelajaran usia dewasa, tentunya teori tentang bagaimana orang dewasa belajar, dan bagaimana membelajarkan orang dewasa merupakan pengetahuan yang seharusnya dipunyai oleh seorang dosen. Uraian berikut memaparkan secara singkat, beberapa teori belajar dengan penjelasan tentang karakteristiknya, serta langkah penerapannya dalam praktik mengajar. Untuk memperluas bagaimana cara melakukan perkuliahan, disajikan pula berbagai model mengajar.
1
Disajikan pada pelatihan PEKERTI Universitas Unijoyo Nopember 2005
12
Tabel berikut menyajikan secara singkat hubungan antara teori belajar dan penerapannya dalam praktik pembelajaran. Teori Belajar
Karakteristik teori
Teori Belajar Behaviorisme (tingkah laku)
Belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pada teori ini, yang terpenting adalah masukan/input yang berupa stimulus dan keluaran/output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respons itu dianggap tak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati. Yang bisa diamati hanyalah stimulus dan respons
Langkah penerapan dalam pembelajaran Menentukan tujuan-tujuan instruksional Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasikan “entry behavior” mahasiswa (pengetahuan awal mahasiswa) Menentukan materi pelajaran (pokok bahasan, topik dan sebagainya) Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik, dan sebagainya) Menyajikan materi pelajaran Memberikan stimulus yang mungkin berupa : pertanyaan (lisan atau tertulis) tes latihan tugas-tugas. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan. Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif) Memberikan stimulus baru Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar) Memberikan penguatan dan seterusnya.
13
Teori belajar kognitivisme
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya
(a) Teori perkembangan Piaget
Hanya dengan mengaktifkan mahasiswa, maka proses asimilasi/akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
Menentukan tujuan-tujuan instruksional Memilih materi pelajaran Menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh mahasiswa (dengan bimbingan minimum dari dosen) Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topik-topik yang akan dipelajari mahasiswa. (Kegiatan belajar ini biasanya berbentuk eksperimentasi, problem solving, roleplay, dan sebaianya). Mempersiapakan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreatifitas mahasiswa untuk berdiskusi atau bertanya). Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
(b) Teori Kognitif Bruner
Teori ini sangat membebaskan mahasiswa untuk belajar sendiri. Karena itu teori Bruner sangat cenderung discovery
Menentukan tujuan-tujuan instruksional Memilih materi pelajaran Menentukan topik-topik yang bisa dipelajari oleh mahasiswa Mencari contoh-contoph, tugas. Ilustrasi, dsbnya yang dapat digunakan mahasiswa untuk belajar Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu bergerak dari yang paling konkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke yang kompleks. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
14
(c) Teori Bermakna Ausubel
Dalam aplikasinya menuntut mahasiswa belajar secara deduktif (dari umum ke khusus) dan lebih mementingkan aspek struktur kognitif mahasiswa.
Menentukan tujuan-tujuan instruksional Mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, stuktur kognitif), baik melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dan lain-lian. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci Mengidentifikasinkan prinsip-prinsip yang harus dikuasai mahasiswa dari materi tersebut Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari Membuat dan menggunakan “advanced organizer” paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang menunjukkan relevansi (kerterkaitan) materi yang sudah diberikan dengan materi baru yang akan diberikan Mengajar mahasiswa medmahami konsepkonsep dan prionsip-prinsip yang sudah ditentukan, dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin antara konsep-konsep yang ada Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Teori Belajar Humanistik
Belajar adalah untuk memanusiakan manusia . Proses belajar dianggap berhasil jika si belajar telah memahami lingkungannya ddirinya sendiri. Si belajar dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran Menentukan materi pelajaran Mengidentifikasikan topik-topik yang memungkinkan mahasiswa mempelajarai secara aktif (“mengalamai”) Mendesain wahana (lingkungan, media, fasilitas, dsb) yang akan digunakan mahasiswa untuk belajar Membimbing mahasiswa memahami hakikat makna dari pengalaman belajar mereka Membimbing mahasiswa membuat konseptualisasi pengalaman tersebut Membimbing mahasiswa sampai mereka mampu mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi yang baru Mengevaluasi proses dan hasil belajar mahasiswa
15
Teori Belajar Sibernetik
Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
Menurut teori ini yang terpenting adalah “sistem informasi” dari apa yang akan dipelajari mahasiswa.
Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi tersebut
Sedangkan bagaimana proses belajar yang akan berlangsung , akan sangat ditentukan oleh sistem informasi ini.
Menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi, apakah algoritmik (menuntut mahasiswa untuk berpikur secara sistematis, tahap demi tahap, linier, lurus menuju suatu target tertentu) ataukah heuristik (menuntut mahasiswa berpikir secara divergen, menyebar ke beberapa target sekaligus)
Teori ini berasumsi, bahwa tidak ada satu pun jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi
Menentukan materi pelajaran
Menyusun materi pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasinya Menyajikan materi dan membimbing mahasiswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran. Mengevaluasi proses dan hasil belajar mahasiswa
Fungsi pembelajaran bagi orang dewasa Secara umum pembelajaran berfungsi untuk membentuk kondisi belajar, agar terjadi kegiatan belajar dalam diri mahasiswa, terhadap isi pelajaran tertentu. Gal' perin membagi fungsi pembelajaran menjadi dua, yakni fungsi khusus dan fungsi umum. Fungsi khusus yang mengacu pada upaya untuk memenuhi terjadinya proses belajar, yakni dengan melakukan empat kegiatan yaitu, Pemberian orientasi mengenai isi pelajaran dan cara penalaran yang berupa penjelasan tentang : (a) isi dan struktur mata kuliahnya , (b) hubungannya dengan bahan ajaran yang lain, (c) manfaat mata pelajaran, dan (d) pemberian contoh-contoh. Kegiatan latihan dan penerapan yang dapat berupa penjelasan teori dengan diskusi dan tanya jawab, atau memberikan tugas (mencari, menulis, menghitung, mengerjakan soal-soal, mengalisis dan memecahkan masalah), atau dengan praktikum (meneliti, mengkaji, dan menerapkan). Yang paling utama dalam latihan adalah adanya kegiatan yang dilakukan secara terstruktur dan terarah.
16
Kegiatan pemberian umpan balik dapat berupa penyampaian informasi tentang hal-hal yang telah dikerjakan dalam latihan, sampai di mana yang sudah sesuai atau belum sesuai, serta informasi tentang hal-hal yang perlu diperbaiki mahasiswa. Pemberian umpan balik ini dapat dilakukan dengan cara melihat apa yang telah dikerjakan mahasiswa, mencari sumber kesalahan yang terjadi, membantu mahasiswa menyelesaikan latihan. Perlu diingat bahwa tugas dosen dalam pelaksanaan latihan adalah mendampingi dan membimbing proses belajar. Kegiatan ke empat, adalah mengupayakan terjadinya tindak lanjut sebagai langkah kongkrit dalam proses belajar. Langkah lanjut dilakukan berdasar pada hasil latihan dan umpan balik, langkah lanjut ini dapat berupa tambahan penjelasan (atau orientasi) atau tambahah latihan. Fungsi umum pembelajaran dimaksudkan kegiatan yang harus selalu dilakukan oleh dosen. Tanpa kegiatan itu fungsi khusus pembelajaran kurang atau tidak dapat terpenuhi. Pembelajaran hendaknya berfungsi sebagai : •
pemberi motivasi kepada mahasiswa, karena tanpa motivasi tidak ada minat untuk belajar,
•
penghubung antara isi pelajaran dengan pengetahuan awal mahasiswa.
•
pemberi informasi tentang sasaran belajar yang akan dicapai, sehingga mahasiswa mengetahui dengan jelas apa sasaran belajarnya dan jelas apa yang harus dikerjakannya.
Mahasiswa sebagai orang dewasa lebih menyukai kondisi belajar yang bebas, tidak menyukai hafalan dan lebih mengutamakan pemecahan masalah dan hal-hal praktis.
Strategi pembelajaran Strategi pembelajaran adalah penetapan komponen-komponen pembelajaran utama agar penyajian isi pelajaran agar dapat mencapai sasaran belajar dan dapat dipahami mahasiswa secara efektif dan efisien. Empat komponen utama pembelajaran tersebut adalah 1.
Urutan penyajian
2.
Metode penyajian (atau metode mengajar)
3.
Media pembelajaran, dan
4.
Waktu pembelajaran.
17
berikut:
Hubungan ke empat faktor pembelajaran tersebut tersaji melalui tabel
Urutan kegiatan instruksional
Metode
Media
Waktu
Pendahuluan : Diskripsi Singkat, Relevansi, Sasaran belajar, Penyajian : Uraian, Contoh, Latihan, Penutup : Tes formatif, Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Komponen Utama Strategi Instruksional (Atwi, 1996 : 159)
1. Urutan Kegiatan Instruksional Faktor utama penentu keberhasilan pembelajaran adalah urutan penyajian pembelajaran. Gagne dan Briggs(1979) menyebut adanya sembilan urutan kegiatan pembelajaran, yakni: 1.
Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa,
2.
Menjelaskan sasaran belajar,
3.
Mengingatkan kompetensi prasayarat,
4.
Memberikan orientasi terhadap isi pelajaran
5.
Memberi petunjuk belajar (cara mempelajari isi pelajaran),
6.
Memberikan latihan,
7.
Memberikan umpan balik
8.
Memberikan penilaian, dan
9.
Menyimpulkan.
Tentu tidak semua kegiatan pembelajaran memerlukan kesembilan urutan kegiatan tersebut, hal itu tergantung pada sasaran belajar dan
18
karakteristik mahasiswa. Kesembilan urutan penyajian di atas dapat dikelompokan dalam tiga bagian: 1.
Bagian Pendahuluan umumnya berisi penjelasan singkat tentang isi pelajaran, relevasi isi pelajaran dan keterkaitannya dengan isi pelajaran yang lain, serta uraian sasaran belajar yang ingin dicapai.
2.
Bagian Penyajian menguraian isi pelajaran yang dapat berupa konsep, prinsip atau prosedur berikut sajian contoh- contoh, memberikan latihan yang diikuti dengan bimbingan dan pemberian umpan balik berupa koreksi atas kesalahan yang dilaku-kan mahasiswa.
3.
Bagian Penutup yang berupa serangkaian pengukuran kemajuan belajar setelah menyelesaikan tahap pelajaran tertentu. Di samping untuk mengukur kemajuan mahasiswa pengukuran (tes, kuis) ini juga merupakan bagian dari kegiatan siswa untuk secara aktif membuat respon. Hasil penilaian tes dikembalikan pada mahasiswa sebagai umpan balik.
2. Metode (cara) mengajar Komponen penting kedua dari strategi pembelajaran adalah metode atau cara mengajar.. Terdapat banyak metode (cara, bentuk) mengajar yang dapat dipakai untuk mencapai sasaran belajar, mulai dari ceramah, sampai melalui kegiatan seminar. Tidak setiap metode mengajar sesuai untuk sasaran belajar tertentu. Untuk itu dosen harus mampu memilih metode pembelajaran yang sesuai guna mencapai sasaran belajarnya. Berdasar pengamatan selama ini, penggunaan cara ceramah (atau lebih terkenal dengan sebutan cara kuliah) merupakan metode mengajar yang paling umum dipakai oleh para dosen. Berbagai alasan mendasari digunakannya cara mengajar ini, misalnya jumlah mahasiswa yang terlalu banyak, asumsi bahwa mahasiswa telah dewasa, dan (terutama) anggapan bahwa cara ceramah merupakan kegiatan mengajar yang paling mudah dilakukan. Apa benar cara ceramah merupakan kegiatan mengajar yang paling mudah dilakukan dosen? Apa benar cara ceramah merupakan kegiatan mengajar yang paling baik? Cara ceramah, sebagaimana cara mengajar yang lain, mempunyai keungggulan dan kerugian. Hasil penelitian terbatas dari McLeish (1966) menyatakan bahwa hanya sekitar 40% isi sajian yang masih diingat sesaat selesainya ceramah dan seminggu kemudian tingggal sekitar 20%. Selain itu cara ceramah cenderung membuat mahasiswa pasif, minat, semangat dan motivasi mahasiswa dalam mengikuti kuliah sangat tergantung pada kemampuan pribadi dosen dalam membawakan ceramahnya.
19
Di samping metode ceramah masih banyak metode lain yang dapat dipergunakan. Pemilihan metode untuk setiap komponen tersebut didasarkan atas TIK yang telah dirumuskan sebelumnya. Tabel di bawah ini menunjukkan hubungan antara macam cara mengajar dengan macam kemampuan (sasaran belajar) yang sesuai dengan metode mengajar tersebut. Hubungan antara Metode Mengajar dan Kemampuan No
Metode
Kemampuan dalam TIK
1
Ceramah
menjelaskan konsep, prinsip, prosedur
2.
Demontrasi
melakukan suatu keterampilan berdasarkan standar prosedur tertentu
3
Penampilan,
melakukan suatu keterampilan
4
Diskusi,
menanalisis/memecahkan masalah
Studi Mandiri
menjelaskan/menerapkan/menganalisis/mensintetsis/ mengevaluasi/melakukan sesuatu, baik yang bersifat kognitif maupun psikomotor
5
Kegiatan Instruksional
menjelaskan konsep, prinsip atau prosedur terprogram
6
Latihan dengan teman
melakukan suatu keterampilan
7
Simulasi,
menjelaskan,menerapkan, dan menganalisis suatu konsep dan prinsip
8
Sumbang saran
menjelaskan/menerapkan/menganalisis konsep prinsip dan prosedur tertentu
9
Studi kasus
menganalisis/memecahkan masalah
10
Computer Assisted Learning
menjelaskan, menerapkan/ menganalisis / mensintesis/mengevalusi sesuatu
11
Insiden,
menganalisis/mememecahkan masalah
12
Praktikum,
melakukan suatu keterampilan
13
Proyek
melakukan sesuatu/menyusun laporan suatu kegiatan
14
Bermain Peran
menerapkan suatu konsep/prinsip/ prosedur
15
Seminar,
menganalisis/memecahkan masalah
16
Simposium,
menganalisis masalah
17
Tutorial,
menjelaskan/menerapkan/menganalisis suatu konsep/prinsip/prosedur
18
Deduktif,
menjelaskan/menerapkan/mengnalisis suatu konsep/prinsip/prosedur
19
Induktif,
mensintesis suatu konsep,, prinsip atau perilaku
20
Model mengajar Berbagai model mengajar yang telah dikembangkan dan diuji keberlakukannya oleh pakar kependidikan, diungkapkan secara sistematik oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) dalam bukunya yang berjudul model of teaching. Model mengajar (sering disebut juga sebagai model pembelajaran) adalah kerangka konseptual tentang prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi dosen dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar-mengajarnya, agar kegiatan mengajarnya merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara rasional dan sistematis. Terdapat empat kelompok model utama mengajar, yaitu 1.
Model Pengolahan Informasi
2.
Model Personal,
3.
Model Sosial
4.
Model Sistem Perilaku.
Dari masing-masing model utama tersebut, terurai menjadi 7 model mengajar yang termasuk pada model pengolahan informasi, 4 model dalam kelompok model personal, 5 model mengajar dalam kelompok model sosial dan 4 model mengajar yang merupakan kelompok model sistem perilaku. Penjelasan hubungan antara masing-masing kelompok model mengajar utama dengan model-model mengajar disajikan pada tabel berikut.
21
No
Kelompok Model Utama
Orientasi pokok
Karakteristik
Macam model mengajar yang termasuk pada kelompok model utama
1
Model Pengolahan Informasi (Information Processing model)
Proses kognitif
Menitikberatkan pada cara memperkuat dorongan internal manusia untuk memahami dunia melalui menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan pemecahannya, serta mengungkapkannya.
Pencapaian konsep (concept attainment)
Pemahaman dunia Pemecahan masalah Berfikir induktif
Berpikir induktif (inductive thinking) Latihan Penelitian (inquiry training) Pemandu Awal (advanced organizer) Memorisasi (memorization) Pengembangan Intelek (developing intellect) Penelitian Ilmiah (scientific inquiry)
2
Model Personal (Persona l model)
Kesadaran individu Keunikan Kemandirian Pembinaan kepribadian
Beranjak dari pandangan kedirian atau “selfhood” dari individu.
Pengajaran tanpa arahan (non directive teaching)
Mengusahakan untuk dapat memahami diri sendiri dengan baik, memikul tanggung jawab untuk pendidikan, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Sinektiks (synectics model) Latihan kesadaran (awareness training) Pertemuan kelas (classroom meeting)
22
3
Model Sosial (Social model)
Semangat kelompok Kebersamaan Interaksi sosial Individu sebagai aktor sosial
Dengan kerjasama manusia dapat membangkitkan dan menghimpun tenaga (energy) secara bersama yang kemudian disebut “synergy”. Kelompok model sosial dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama.
4
Model Sistem Perilaku (Behavioral System model)
“Social Learning” Koreksi diri Terapi perilaku Respon terhadap tugas
Memusatkan perhatian pada perilaku yang terobservasi dan metode dan tugas yang diberikan dalam rangka mengomunikasikan keberhasilan.
Investigasi kelompok (group investigation) Bermain peran (role playing) Penelitian yurispridensial (jurispridential inquiry) Latihan laboratoris (laboratory training) Penelitian ilmu sosial (social science inquiry) Belajar tuntas (mastery learning) Pembelajaran langsung (direct instruction) Belajar kontrol diri (learning self control) Simulasi (simulation)
Selanjutnya untuk setiap model mengajar, dijelaskan hubungannya dengan kelompok model utamanya, pedoman langkah kegiatan yang disarankan untuk dilakukan pada model mengajar tersebut dan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh, berikut disajikan 4 (empat) buah model mengajar yang masing-masing mewakili setiap kelompok model utama. Guna mempelajari lebih lanjut tentang hal ini sangat disarankan untuk membaca tulisan Saripuddin, Udin (1997) yang berjudul Model-model Pembelajaran dalam Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran Buku 1 B Bahan Ajar Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen Muda. Jakarta : PAU-P3AI.)
23
No
Nama model mengajar
Kelompok model utama
Karakteristik model
Langkah kegiatan
Hasil pembelajaran
1
Latihan Penelitian (inquiry training)
Pengolahan Informasi
Membantu untuk melakukan penelitian mandiri dengan berdisiplin.
Strategi untuk penelitian kreatif (L) Keterampilan proses keilmuan (I) Semangat kreatif (I) Kemandirian (I) Toleransi (I)
2
Sinektiks (synectics model)
Personal
Mengembangkan kreativitas dan pemecahan masalah secara kreatif
3
Investigasi kelompok (group investigati on)
Sosial
Mengembangkan keterampilan untuk ikut serta dalam proses sosial
Menghadap-kan masalah. Mencari dan mengkaji data Eksperimenta-si dan menguji hipotesis Penarikan kesimpulan dan rekomendasi Deskripsi kondisi saat ini Proses analogi langsung Proses analogi personal Analisis konflik Analogi langsung lanjut Kajian tugas Situasi bermasalah Eksplorasi Perumusan Tugas Belajar Kegiatan Belajar Analisis Kemajuan
Kapasitas Kreatif Umum (L) Kapasitas Kreatif Bidang Studi (L) Pencapaian belajar bidang studi (I) Produktivitas kelompok (I) Proses dan keteraturan kelompok yang efektif (L) Penelitian yang berdisiplin (L) Mengormati perbedaan (I) Kehangatan dan keterikatan antar manusia (I) Komitmen terhadap penelitian sosial (I)
24
4
Simulasi (simulation)
Sistem Perilaku
Mengembangkan keterampilan dalam pengambilan keputusan
Orientasi Latihan Peran Proses simulasi Pemantapan
Konsep dan keterampilan (L) Berpikir kritis dan membuat keputusan (I) Menghadapi konsekuensi (I) Kesadaran tentang efektivitas (I) Empati (I)
Keterangan : (L)
hasil pembelajaran yang merupakan dampak langsung pembelajaran
(I)
hasil pembelajaran yang merupakan dampak ikutan
Daftar Pustaka Atwi Suparman. (1996). Desain Instruksional. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka. Irawan, Prasetya (1994) Teori Belajar dalam Teori Belajar , Motivasi dan Keterampilan Mengajar Buku 1 A Bahan Ajar Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen Muda. Jakarta : PAU-P3AI. Kratwohl, D.R., Bloom and Marsia, Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman, 1964. Merrill, M.D dan Reigeluth C.M. (1978). "A knowledge base for improving our method of instruction" Educational Psychologist Volume 13, 1978, 57-70 Reigeluth C.M. (1983). Instructional Design Theories and Model. New Jersey : Lawrence Erlbaum Ass.,Publ Suciati (1997) Taksonomi Tujuan Instruksional dalam Mengajar di Perguruan Tinggi, Bagian Satu Program Applied Approach. Jakarta : PAU-P3AI. Suhardjono, dan kawan-kawan (1993) Peningkatan Rancangan Pengajaran : 106 pertanyaan dan jawaban. Proyek Pembinaan Kurikulum Universitas Brawijaya, Malang. Soekartawi, Suhardjono, T.Hartono dan A.Ansharullah (1996), Meningkatkan Rancangan Instruksional untuk Memperbaiki Kualitas Belajar Mengajar, Jakarta : Rajawali Pres Suhardjono (1990). Teori tampilan Komponen pada Perancangan Pengajaran (Component Display Theory). Makalah pada seminar kependidikan di Malang, 13 Juli 1999.
25
Membuat Karya Tulis Ilmiah untuk Jurnal1 Suhardjono Karya Tulis Ilmiah Dosen dituntut untuk mampu berkomunikasi. Baik lisan maupun tertulis. Kemampuan berkomunikasi secara tertulis, di antaranya sangat dibutuhkan untuk dapat melaporkan hasil-hasil kegiatan ilmiah yang dilakukan. Kegiatan ilmiah yang dilakukan dosen banyak macamnya. Seperti misalnya penelitian, melakukan pengembangan/ perancangan, atau kegiatan evaluasi. Laporan kegiatan ilmiah, yang umumnya dalam bentuk tertulis, umum disebut sebagai Karya Tulis Ilmiah (selanjutnya disingkat KTI). Bentuk KTI banyak ragamnya. Ada yang berbentuk laporan penelitian yang lengkap, atau berupa tulisan ilmiah populer, atau disajikan dalam bentuk buku, atau artikel yang secara khusus ditujukan untuk dimuat dalam Jurnal Ilmiah. Jurnal Ilmiah adalah terbitan yang secara khusus mempublikasikan hasil-hasil kegiatan ilmiah (yang umumnya berupa hasil penelitian). Jurnal Ilmiah --meskipun kurang lasim ada juga yang menyebutnya sebagai majalah ilmiah atau kumpulan tulisan ilmiah—umumnya diterbitkan secara berkala (ada yang tiga bulanan, ada pula yang enam bulanan, dll), oleh perguruan tinggi, atau oleh asosiasi profesi / keilmuan. Wujud fisik KTI berbeda-beda, tergantung kepada media pemuat KTI dan tujuan KTI. Majalah, koran, warta, panitia seminar, dan juga jurnal ilmiah mempunyai pedoman dan tatacara penulisan yang spesifik bagi KTI yang diterbitkan olehnya. Meskipun tatacara menulis KTI di Jurnal berbeda-beda, namun KTI selalu mempunyai kesamaan, yaitu: • • • •
hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmuan kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan karya ilmiah
1
Bahan diskusi pada Workshop Penelitian Dosen Universitas Trunojoyo, Oktober 2005
26
Kebenaran ilmu (science) selalu berada pada kebenaran teori, kebenaran fakta, dan kebenaran analisis dari teori dan fakta yang diungkapkannya. Di samping itu KTI mempersyaratkan bentuk fisik yang tertentu. Bila KTI itu menggunakan Bahasa Indonesia maka ia harus memakai kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar dalam mengungkapan suatu karya ilmiah. KTI juga menuntut persyaratan APIK yaitu Asli, Perlu, Ilmiah dan Konsisten. Asli artinya KTI benar-benar merupakan hasil karya si penulis, dan bukan hasil memplagiat, atau menjiplak, dll. Perlu yang artinya apa yang dipermasalahkan atau yang dikaji adalah hal-hal yang memang ada perlunya, jadi tidak mengada-ada, atau mempermasalahkan hal yang sudah jelas jawabannya, atau hal itu-itu saja. Ilmiah, KTI tentu saja harus mempunyai kebenaran pada tataran ilmiah, menggunakan logika dan argumentasi ilmiah dalam mengungkapkannya. Serta konsisten, artinya apa yang ditulis harus sesuai dengan keahlian si penulis. Pada makalah ini, KTI yang dimaksudkan adalah KTI yang ditulis untuk dapat dimuat di Jurnal Ilmiah.
Syarat Penulisan di Jurnal Ilmiah Masing-masing jurnal mempunyai tatacara penulisannya sendirisendiri. Ada perbedaan di antara satu jurnal dengan jurnal yang lain. Misalnya, tentang ukuran dan macam huruf, jumlah halaman maksimum yang diperbolehkan, kerangka dan tatacara penulisan, bahkan juga cara pengirimannya naskah (ada yang harus mengirimkan dalam bentuk disket berikut printoutnya) dll. Berikut disajikan beberapa contoh sistematika penulisan: Jurnal Teknik (FT Unibraw, ISSN 0854-2139), Bagian awal : judul, nama penulis, abstrak (dalam dua bahasa). Bagian utama: pendahuluan, tulisan pokok (tujuan, metoda, tinjuan pustaka, pembahasan, dsb), kesimpulan (dan saran). Bagian akhir: ucapan terima kasih, keterangan symbol-catatan kaki (bila ada) dan daftar pustaka. Jurnal Teknologi Pendidikan (PPS IKIP Malang, ISSN 0854-7599). Setiap karangan harus disertai (a) abstrak, (b) kata-kata kunci, (c) identitas pengarang, (d) pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan dan (e) daftar pustaka. Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut (a) judul, (b)nama pengarang, (c) anstrak, (d) kata-kata kunci, (e) pendahuluan berisi pembahasan kepustakaan dan tujuan
27
penelitian, (f) metode, (g) pembahasan, (i) kesimpulan dan saran, dan (h) daftar pustaka. Jurnal Sains dan Teknologi FT UKI (FT UKI, ISSN 08539723). Sistematika penulisan : (a) abstrak, (b) pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup, metodologi), (c) isi (tinjauan pustaka, data, pembahasan) dan (d) penutup (kesimpulan, saran dan daftar pustaka). Jurnal Bisnis dan Teknologi , Bistek (Politeknik Negeri Malang, ISSN 0854-4395). Naskah hasil penelitian: (a) judul, (b) nama penulis, (c) lembaga/instansi, (d) abstrak (masalah dan tujuan, metode dan hasil) bhs Indonesia dan Inggris, (e) kata kunci dlm bhs Indonesia dan Inggris, (f) pendahuluan (latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian), (g) tinjuan pustaka, (h) metode penelitian (alat, bahan, cara dan metoda analisis), (i) hasil dan pembahasan, (j) simpulan dan saran, (k) daftar pustaka. Naskah yang termasuk kategori artikel konseptual : (a) judul, (b) nama penulis, (c) lembaga/instansi, (d) abstrak (masalah dan tujuan, metode dan hasil) bhs Indonesia dan Inggris, (e) kata kunci dlm bhs Indonesia dan Inggris, (f) pendahuluan (latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan), (g) tinjuan pustaka, (h)pembahasan, (j) simpulan dan saran, (k) daftar pustaka. KTI yang dapat dimuat di Jurnal Ilmiah dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama KTI yang berupa laporan hasil penelitian, dan kedua berupa KTI non-hasil penelitian (seperti misalnya paparan gagasan keilmuan, ulasan atau tinjauan ilmiah) Contoh sistematika penulisan untuk KTI non hasil penelitian adalah sebagai berikut: (a) abstrak, (b) pendahuluan (latar belakang masalah, tujuan penulisan), (c) pembahasan ( analisis permasalahan, tujuan yang ingin dicapai), (d) penutup (kesimpulan dan saran, (e) daftar pustaka (diambil dari Arena Hukum, Majalah FH Unibraw, ISSN 20126-0235). Contoh lain : (a) judul, (b) nama penulis, (c) lembaga/instansi, (d) abstrak (masalah dan tujuan, metode dan hasil) bhs Indonesia dan Inggris, (e) kata kunci dlm bhs Indonesia dan Inggris, (f) pendahuluan (latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan), (g) tinjuan pustaka, (h)pembahasan, (j) simpulan dan saran, (k) daftar pustaka. (diambil dari Jurnal Bisnis dan Teknologi , Bistek (Politeknik Negeri Malang, ISSN 0854-4395) Agar lebih memfokus, pada makalah ini akan membatasi pada KTI yang berupa laporan hasil penelitian yang ditulis untuk dimasukkan ke dalam jurnal.
28
Selintas Mengenati Kerja Penelitian Berbagai cara dapat dilakukan guna memenuhi hasrat ingin tahu manusia. Cara tersebut antara lain: akal sehat, prasangka, intuisi, penemuan kebetulan dan coba-coba, serta pendapat otoritas maupun pikiran kritis. Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, manusia sering pula menggunakan pendekatan ilmiah yang dilakukan melalui metode keilmuan, yang secara formal dilakukan dalam bentuk penelitian (riset) Beberapa pakar mendefinisikan penelitian sebagai suatu penelaahan melalui logika proses berpikir eksplisit dan informasinya dikumpulkan secara sistematis dan obyektif. Proses berpikir dikatakan eksplisit, artinya setiap langkahnya dilakukan secara terbuka sehingga dapat dikaji kembali, baik oleh yang bersangkutan maupun oleh orang lain. Sedangkan informasi dikatakan sistematis bila jenis, maupun jumlahnya lengkap sesuai dengan aspek masalah yang dikaji. Informasi yang obyektif bila jumlah ahli di bidang yang bersangkutan dapat mencapai kesepakatan di dalam penilaiannya terhadap informasi tersebut. Dari definisi tersebut, logika berpikir yang dipakai pada kerja penelitian juga merupakan penerapan dari metode keilmuan. Suriasumantri (1894) menyatakan peranan metode keilmuan dalam pemecahan masalah ilmiah terdiri dari langkah-langkah kegiatan sebagai berikut: •
Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empirik yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
•
Penyusunan kerangka berpikir dalam mengajukan hipotesis dalam merumuskan dalil (proposition) yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan.
•
Perumusan hipotesis yang merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan. Hipotesis ini disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam perannya sebagai suatu dugaan jawaban dari masalah yang diajukan, hipotesis akan berfungsi sebagai petunjuk jalan yang memungkinkan didapatkannya jawaban.
•
Pengujian hipotesis merupakan kegiatan pengumpulan fakta yang berkesesuaian dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
29
•
Penarikan kesimpulan berupa kegiatan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak.
Isi dan sistematika KTI laporan hasil penelitian yang diajukan untuk dimuat di jurnal, sedikitnya terdiri dari : Judul penelitian Bab I Permasalahan / Pendahuluan Latar belakang masalah / Perumusan masalah Tujuan dan Manfaat Bab II Landasan Teori Bab III Metode Penelitian Bab IV Hasil dan Analisis Hasil Bab V Kesimpulan dan Saran Perhatikan contoh sistematika penulisan yang diberlakukan oleh beberapa jurnal berikut ini : Jurnal Teknologi Pendidikan ( PPS IKIP Malang, ISSN 0854-7599). (1) pendahuluan (pembahasan kepustakaan dan tujuan penelitian) (2) metode, (3) pembahasan, (3) kesimpulan dan saran. Jurnal Sains dan Teknologi FT UKI (FT UKI, ISSN 0853-9723). (1) pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup, metodologi), (2) isi (tinjauan pustaka, data, pembahasan) dan (3) penutup (kesimpulan, saran dan daftar pustaka). Jurnal Bisnis dan Teknologi , Bistek (Politeknik Negeri Malang, ISSN 0854-4395). (1) pendahuluan (latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian), (2) tinjuan pustaka, (3) metode penelitian (alat, bahan, cara dan metoda analisis), (4) hasil dan pembahasan, (5) simpulan Judul penelitian menyatakan secara jelas namun sesingkat mungkin permasalahan yang akan diteliti, upayakan variabel penelitian tercantum pada judul tersebut. Upayakan pula agar dengan membaca judul itu, pembaca akan tertarik untuk membaca lebih jauh isi usulan penelitian. Bagian terpenting pada KTI hasil penelitian adalah ungkapan permasalahan (khususnya rumusan masalahnya). Rumusan masalah adalah pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya ingin dikaji melalui penelitian. Latar Belakang Masalah merupakan penjelasan mengapa sesuatu itu dipermasalahkan. Alasan itu diperlukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat urgensi, tujuan dan manfaat dari penelitian yang diajukan. KTI hasil penelitian harus pula menuliskan tujuan dan manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
30
Secara singkat hasil penelitian juga perlu mencantumkan pembahasan teori dari hal yang dipermasalahkan dan hipotesis yang dapat ditarik dari teori tersebut, serta akan diuji berdasar fakta empirik.Uraian tentang metode penelitian, yang terdiri dari cara pengumpulan, hasil yang diperoleh serta analisis data juga harus dituliskan dengan singkat. Akhirnya perlu disajikan diskusi singkat, yang kemudian mengasilkan beberapa kesimpulan serta (bila ada) pengajuan saran. Hal yang tidak mudah dalam menulis KTI hasil penelitian untuk jurnal adalah keterbatasan halaman. Umumnya jumlah halaman dari satu artikel yang dimuat di jurnal antara 5 – 10 halaman (untuk ukuran kertas A4, font 12, spasi dua). Karena itu kemampuan untuk memadatkan laporan, agar isinya tetap terkomunikasikan dan terjaga, dengan tetap enak dibaca dan mampu menarik minat, menjadi kemampuan yang memerlukan latihan.
Penutup Untuk mempublikasikan karya ilmiahnya, atau untuk kenaikan pangkatnya, dosen wajib menulis di jurnal. Menulis di jurnal memerlukan sistematika yang spesifik. Di samping itu, keterbatasan jumlah halaman yang disediakan memerlukan keterampilan khusus untuk menghemat kata, dan mempersingkat kalimat dengan tetap mampu memperjelas makna. Akhirnya, membuat KTI itu tidak sukar. Yang sukar adalah memulainya. Untuk itu mari kita mulai, sekarang.
Daftar Bacaan Suhardjono. (1983). Pengantar Penelitian Ilmiah : 135 Pertanyaan dan Jawaban. Malang: Bagian Penerbitan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Suhardjono. (1990). Sebuah Pengantar Tentang: Fislafat Ilmu dan Hakekat Penelitian. Makalah disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Ilmiah angkatan ke IV, Pusat Penelitian Universitas Brawijaya Malang. Tanggal 17-22 September 1990. Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. (1996). Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Guru. Jakarta : Depdikbud, Dikdasmen. Suriasumantri, Jujun S. (1984). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
31
Meningkatkan Keterampilan Mengajar pada Kurikulum Berbasis 1 Kompetensi Suhardjono Pengantar Banyak perguruan tinggi menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sayangnya, masih ada yang mengartikan KBK hanya sebagai daftar mata matakuliah, besaran sks, silabus dan pengelompokannya dari semester pertama ke semester-semester berikutnya. Terdapat berbagai kelompok kompetensi dalam KBK. Ada kompetensi yang berkait dengan bidang studinya, ada pula yang bersifat umum, seperti misalnya kompetensi untuk mampu dan mau membelajarkan dirinya sepanjang hayat (suatu kompetensi yang tentunya sangat penting bagi mahasiswa baik selama mereka belajar, maupun setelah lulus) Sebagai pedoman pelaksanaan perkuliahan, seharusnya kurikulum menjelaskan pula rancangan cara mengajar dan cara mengevalusi. Pada KBK, maka sangat perlu untuk diketahui bagaimana cara mengajar agar kompetensi yang diharapkan dapat dicapai.
Kompetensi Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. (SK Mendiknas 045/U/2002 Pasal 1). Kompetensi hasil didik suatu program studi terdiri atas (a) kompetensi utama, (b) kompetensi pendukung, dan (c) kompetensi lain yang bersifat khusus dan gayut dengan kompetensi utama (SK Mendiknas 045/U/2002 Pasal 2). Kurikulum PT terdiri atas (a) kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian-MPK, (b) kelompok mk keilmuan dan keterampilan-MKK, (c) kelompok mk keahlian berkarya-MKB, (d) kelompok mk perilaku
1
Makalah Penunjang pada pelatihan PEKERTI bagi dosen Universitas Trunojoyo Bangkalan, September 2005
32
berkarya-MPB, dan (e) kelompok mk berkehidupan bermasyarakat-MBB (Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 1(7-11)) Kompetensi (a) kepribadian dan (e) berkehidupan bermasyarakat, merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh hampir semua profesi. Karena kompetensi ini disebut sebagai kompetensi dasar bagi setiap profesi. Kompetensi (b) keilmuan dan keterampilan berbeda-beda untuk setiap profesi. Pada sistem pendidikan tinggi, kompetensi inilah yang akan membedakan antara program studi yang satu dengan yang lain. Sedangkan kompetensi (c) keahlian berkarya dan (d) perilaku berkarya untuk kelompok bidang profesi tertentu merupakan kompetensi yang bersifat umum (=kompetensi generik, kompetensi kunci). Hall, W and Mark C. Werner menjabarkan komptensi umum ini dalam 7 (tujuh) macam , yakni Macam
Kompetensi umum, generik
1
Mengumpulkan, menganalisa dan mengorganisasikan informasi
2
Mengkomunikasikan ide dan informasi
3
Merencanakan dan mengatur kegiatan
4
Bekerjasama dengan orang lain dan kelompok
5
Menggunakan ide dan teknik matematika
6
Memecahkan persoalan/masalah
7
Menggunakan teknologi
Contoh lain ditunjukkan Kendall et al. (2001) melalui bukunya Content Knowledge yang mengidentifikasi beberapa jenis keterampilan (kompetensi) umum yang mereka sebut sebagai Life Skill. Keterampilan ini terdiri atas: 1
Macam kompetensi
keterampilan untuk memahami dan menerapkan
Thinking and Reasoning
Prinsip-prinsip dasar berargumentasi Prinsip-prinsip dasar berpikir logis Identifikasi persamaan dan perbedaan Prinsip dasar menguji hipotesis dan scientific inquiry Teknik memecahkan masalah Teknik mengambil keputusan
33
2
Working with others
Berperan dalam aktivitas kelompok Menggunakan teknik resolusi konflik Bekerjasama dengan individu berbeda dalam situasi berbeda Berkomunikasi interpersonal secara efektif Menunjukkan keterampilan kepemimpinan
3
Self Regulation
Menetapkan dan mengelola tujuan Menunjukkan Self-Appraisal Mempertimbangkan resiko Mendemonstrasikan ketabahan Memelihara impulsivitas diri
4
Life Work
Menggunakan alat-alat secara efektif Menggunakan sumber-sumber informasi Menggunakan dana secara efektif Mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja Menunjukkan etika dasar bekerja dan terpercaya Bekerja efektif dalam organisasi
Kurikulum Berbasis Komptensi (KBK) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (SK Mendiknas no. 232/U/2000) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dilihat dari namanya saja diketahui bahwa kurikulum ini memberi penekanan yang dominan pada berbagai kompetensi yang harus dikuasi oleh peserta didik dalam setiap bidang studi pada setiap jenjang sekolah. Implikasinya, akan terjadi pergeseran dari penguasaan pengetahuan (kognitif) atau dominasi kognitif, menuju kepada penguasaan kompetensi tertentu. Menurut Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 8, kurikulum inti terdiri atas (a) kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian-MPK, (b) kelompok mk keilmuan dan keterampilan-MKK, (c) kelompok mk keahlian berkarya-MKB, (d) kelompok mk perilaku berkarya-MPB, dan (e) kelompok mk berkehidupan bermasyarakat-MBB, dengan uraian sebagai berikut,
34
No
Kelompok mata kuliah
Tujuan mata kuliah, untuk…..(*
Mata kuliahwajib (w) atau yang dapat diberikan(d)(**
1
pengembangan kepribadian-MPK
Mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian matap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan Pancasila (w)
2
keilmuan dan keterampilan-MKK
Memberikan landasan penguasaan ilmu dan keterampilan tertentu .
3
keahlian berkarya-MKB
Menghasilkan tenaga ahli dengan kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai.
4
perilaku berkarya-MPB
Membentuk sikap dan perilaku yang diperlukan sesorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai.
5
berkehidupan bermasyarakat-MBB
Memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan kelahian dalam berkarya.
Pendidikan Agama (w) Pendidikan Kewarganegaraan (w) Bhs Indonesia, Bhs Inggris, IBD, ISD, IAD, Filsafat Ilmu, Olah raga, dll.(dapat diberikan)
(* Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 1(7-11) (** Kepdiknas 232 /U/2000 pasal 10(1-2)).
Tujuan Pendidikan dalam rancangan kurikulum suatu program studi sering juga dinyatakan sebagai Profil Lulusan yang akan menunjukkan karakteristik lulusan suatu institusi. Oleh karena itu, langkah awal dalam perancangan kurikulum, adalah menetapkan profil lulusannya. Untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan profil yang ditetapkan, perlu diidentifikasi kompetensi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai profil lulusan itu. Institusi dapat menetapkan sendiri kompetensi yang akan dibekalkan bagi peserta didiknya atau menetapkannya berdasarkan standar profesi tertentu yang baku. Jika profil lulusan mencitrakan lulusan yang berstandar internasional, umpamanya, maka institusi perlu menetapkan
35
kompetensi yang relevan dengan standar tersebut. Sebagai contoh, pendidikan sarjana teknik menggunakan standar internasional ABET bagi peserta didiknya. Setiap kompetensi yang ditetapkan yang ditetapkan seyogyanya dielaborasi ke dalam komponen kompetensi yaitu komponen intelektual, psikomotorik, dan sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang jelas. Kompetensi yang diharapkan dapat dicapai melalui satu matakuliah merupakan tujuan pembelajaran dari mata kuliah tersebut. TUJUAN merupakan inti dari kegiatan pembelajaran. Kegiatan yang lain, seperti isi ajaran, cara mengajar, organisasi pembelajaran, dan bentuk evaluasi harus mengacu kepada tercapainya tujuan pembelajaran. Karena itu, langkah alam merancang pembelajaran adalah (1) menetapkan dan memperinci tujuan pembelajaran, (2) menentukan berbagai pokok bahasan dan tugas ajaran yang harus diberikan pada mahamahasiswa agar tujuan pembelajaran tersebut tercapai. Yang dilakukan dengan merinci pokok bahasan menjadi berbagai rincian sasaran belajar dari masing-masing pokok bahasan tersebut, (3) merancang strategi perkuliahan dan rancangan dalam mengelola kelas, dan (d) mengembangkan (penyusunan, penulisan, ujicoba) butir tes atau alat pengukuran hasil belajar yang lain, yang juga tetap mengacu kepada tujuan.
Upaya Meningkatkan Keterampilan Mengajar Mengajar, bukan hal yang mudah. Karena bukan hanya sekedar memberikan informasi. Tetapi harus mampu membuat mahamahasiswanya belajar. Memberi informasi berbeda maknanya dengan membelajarkan. Mahsiswa harus mampu dirangsang untuk belajar. Karena, belajar ada dan terjadi dalam diri mahasiswa. Mengapa mahasiswa MAU belajar? Sukses bertumpu pada dua hal : kemampuan dan kemauan. Sukses belajar mahasiswa juga sangat tergantung pada keterampilan belajar yang dimiliki dan seberapa kuat mahasiswa MAU menggunakannya. Tingkat kemauan (atau motivasi) orang berbeda-beda. karena alasan (motif) yang berkait dengan kebutuhan untuk kegiatan yang sama, dapat berbeda-beda. Motivasi memang berhubungan upaya memenuhi kebutuhan. Makin besar kebutuhan makin besar pula dorongan dalam diri seseorang untuk MAU melakukan sesuatu. Karena itu peran motivasi untuk menunjang keberhasilan sangat penting. Besar kecilnya kemauan belajar mahasiswa tergantung kepada besar kecilnya motivasinya. Tugas penting (dan sering dilupakan) dosen –dalam mengajar—adalah membangkitkan motivasi mahasiswa. Motivasi belajar
36
mahasiswa akan meningkat bila (a) mereka tahu manfaat dari kegiatan belajarnya. (b) secara fisik bersemangat, (c) kegiatannya menyenangkan, dan (d) pikirannya positif. Untuk itu para dosen, harus mampu menumbuhkan pendorong motivasi tersebut, dalam praktik mengajarnya. Mengajar dengan lebih Menyenangkan. Memberi motivasi --apalagi memotivasi orang lain--- bukanlah hal mudah.. Berikut disajikan beberapa saran praktis untuk dapat memotivasi mahasiswa agar pembelajaran lebih menyenangkan.: 1.
Bila mahasiswa mengetahui manfaat dari pelajaran yang akan didapat, motivasi belajar mereka akan meningkat. Belajar hanya terjadi bila mahasiswa mau belajar (artinya dalam diri mahasiswa ada kehendak, ada motivasi, ada kemauan untuk belajar). Kehendak belajar akan menguat, apabila mahasiswa mengetahui apa manfaat yang akan diperoleh dari hal yang dipelajari.
Yang dapat dilakukan dosen dalam merancang dan menyajikan pelajarannya 1. Jelaskan apa tujuan dan isi dari pelajaran Anda. 2. Beritahu keterkaitan isi pelajaran Anda dengan pelajaran-pelajaran lainnya 3. Berikan contoh-contoh konkrit tentang kegunaan dan manfaat dari mata ajaran itu 4. Jelaskan bagaimana cara Anda akan mengajar dan menilai keberhasilan belajar 5. Jelaskan perilaku yang Anda harapakan dari mahasiswa dalam mengikuti pelajaran 6. Dorong dan minta mahasiswa untuk menyatakan-mengekpresikan (bila perlu secara tertulis) harapan-harapan mereka terhadap pelajaran Anda, model mengajar dan cara mengevaluasi, serta harapan terhadap diri Anda.
2.
Semangatkan pikiran mahasiswa melalui gerakan, sikap tubuh, dan mimik wajah yang penuh enersi.
Kemauan belajar atau motivasi yang telah muncul, harus diperkuat dengan pikiran yang bersemangat. Untuk itu, ciptakan suasana dan aktivitas fisik para mahasiswa, yang penuh bersemangat. Rasanya sulit untuk menumbuhkan pikiran bersemangat, bila para mahasiswa duduk loyo, bertopang dagu, bermata sayu.
37
Yang dapat dilakukan dosen 1.
Salah satu kunci sukses pembelajaran afektif adalah “panutan” (modeling). Mahasiswa akan “meniru” apa yang dilakukan dosennya. Untuk menciptakan semangat belajar dalam perkuliaan Anda, yang pertama kali harus dilakukan adalah : Anda sendiri harus menunjukkan adanya semangat itu melalui gerakan, sikap tubuh, dan mimik wajah yang penuh enersi.
2.
Secara lebih khusus Anda harus menunjukkan bahwa Anda sendiri juga sangat bersemangat sangat mencitai, sangat antusias dalam pelajaran yang Anda berikan.
3.
Tunjukkan (secara tidak langsung) bagaimana pelajaran yang Anda berikan, telah mampu memberikan pengaruh positif terhadap karir, hidup dan kehidupan Anda, dan beberapa tokoh lain yang “diketahui”oleh mahasiswa.
4.
Ingatkan, dorong dan minta mahasiswa Anda untuk tidak lupa “memasang” mimik muka mereka menjadi mimik muka orang paling cerdas. Agar mereka selalu duduk, bertanya, berkomunikasi dengan percaya diri.
3.
Jadikan proses mengajar sebagai kegiatan yang menyenangkan (untuk Anda dan mahasiswa Anda) Tidak ada mahasiswa yang ingin kegiatan pembelajarannya membosankan, menakutkan, apalagi yang ditakut-takuti oleh dosennya. Proses pembelajaran yang segar, menyenangkan, pasti mampu memberikan hasil yang lebih baik. Karena sesuatu yang menyenangkan mendorong motivasi positif, dan juga membentuk sikap positif kepada banyak hal (termasuk kepada mata pelajarannya, pada dosennya, dan bahkan pada sekolahnya). Dorong selalu tumbuhnya kreatifitas mahasiswa. Kreatifitas membutuhkan adanya rasa aman, meningkatkan pengertian dan penghargaan, serta menjauhkan hukuman. Yang dapat dilakukan dosen….
1.
Senyum, jadikan senyum sebagai ciri khas kegiatan pembelajaran Anda. Jadikan diri Anda sebagai panutan dalam tersenyum. Jadikan kelas Anda, kelas senyum Anda dan senyum mahasiswa Anda.
2.
Dorong mahasiswa (dan juga Anda sendiri) untuk berani dan bangga untuk mengungkapkan pendapat, komentar, tanggapan, pokok pikiran dalam suasana yang menggembirakan.
3.
Secara kreatif, selipkan berbagai variasi, seperti misalnya (a) bentuk media pengajaran yang dipakai (kreativitas Anda dituntut untuk dapat menggunakan berbagai media pembelajaran), (b) gerakan, solah boowo, mimik, dan variasi bahasa tubuh Anda, (c) selipkan berbagai kegiatan yang dapat berfungsi pemecah ketegangan (ice breaker) seperti “jokes”, nyanyi bersama, teka teki, dan banyak yang lain. Sangat banyak bahan untuk hal ini. Bila perlu, dorong mahasiswa untuk menghimpun dan menyajikan berbagai “acara” agar pembelajaran berlangsung segar nanum tetap bertujuan .
38
4.
Terapkanlah pikiran rasional: bahwa yang paling berperan, paling bertanggung jawab, paling mampu untuk merubah kualitas diri, adalah diri sendiri.
Membentuk sikap positif terhadap mata pelajaran Anda dapat pula dilakukan melalui pendekatan rasional. Pikiran rasional mampu mengurangi halangan besar dalam belajar dan berkomunikasi. Yang dapat dilakukan dosen 1.
Jangan bosan untuk menjelaskan secara rasional berbagai kesulitan kemudahan dalam mempelajari mata pelajaran Anda
dan
2.
Dorong mahasiswa dapat mengungkapkan secara rasional hambatan yang dirasakannya dalam belajar, Beritahu mereka untuk tidak melihat sesuatu dari segi jeleknya saja, jangan selalu mengeluh. Minta mahasiswa berpikir dan bertindak positif. Kegagalan (yang boleh terjadi) adalah sukses yang tertunda. Setiap musibah pasti ada hikmahnya. Setiap pribadi pasti mempunyai sisi yang baik dan bermanfaaat
Agar pembelajaran berhasil, ajarkan pula keterampilan belajar. Bertinju tidak cukup bila hanya berbekal semangat (apalagi bonek) tetapi sangat dibutuhkan keterampilan. Demikian juga halnya dengan belajar. Kemauan merupakan modal dasar namun harus dilengkapi dengan berbagai keterampilan (untuk) belajar. Apa keterampilan belajar yang seharusnya dikuasai mahasiswa? Dan siapa yang harus mengajarkan keterampilanketerampilan penting di atas kepada mahasiswa? Bila jawabannya adalah dosen, maka keterampilan belajar juga selayaknya diajarkan. Berikut beberapa saran 1.
Keterampilan dalam membuat catatan. Ada bermacam-macam teknik/model dalam membuat catatan. Ada yang mencacat rapi hal-hal penting, ada yang berupaya mencacat sebanyak mungkin informasi, ada pula yang catatannya seperti coretan dan penuh gambar, dan lain-lain.Menurut DePorter dan Hernacki (1992) ada teknik mencatat yang efektif (bahkan dikatakan sebagai teknik mencacat tingkat tinggi), yaitu menggunaan peta pikiran (atau pada beberapa referensi disebut sebagai peta kognitif, concept mapping). Melalui peta pikiran dapat dibuat suatu catatan yang menyeluruh dalam satu halaman.
2.
Keterampilan menjadi pendengar yang cerdas. Beberapa bacaan menyatakan ciri pendengar yang cerdas adalah (a) sikap fisiknya mengekspresikan semangat dan perhatian terhadap pembicara, (b) selama mendengar mengupayakan mengkaitkan
39
secara bermakna informasi yang diterima dengan pengetahuan yang telah dipunyainya, (c) sambil mendengarkan membuat pertanyaan-pertanyaan terhadap informasi yang didengarnya, dan (d) berupaya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan tanyajawab, diskusi atau demontrasi bila dilakukan. 3.
Keterampilan membaca cepat dan akurat. Hal yang dapat dilakukan untuk menjadi pembaca yang efektif adalah : (a) jangan membaca kata-demi kata, bacalah kalimatnya, bacalah gagasangagasannya. (b) baca lebih dulu, secara selintas isi keseluruhan buku atau bab yang akan dibaca, untuk mendapat gambaran umum tentang isi bacaan, gunakan daftar isi, atau ringkasan bila tersedia, (c) gunakan jari atau benda lain sebagai penunjuk, (d) buat cacatan-catatan selama atau pada akhir membaca –gunakan misalnya model peta pikiran- dan kemudian rangkumlah isi bacaan dan gunakan ‘pengingat’ tertentu.
4.
Keterampilan berkomunikasi, mencari dan menghimpun informasi. Keterampilan ini merupakan gabungan dari (a) kemampuan memakai sumber-sumber informasi –perpustakaan, internet, CD-Rom, (b) kemampuan berbahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing, (c) kemampuan berkomunikasi baik lisan (berbincang santai, bertanya, menjawab pertanyaan, menyampaikan pidato, dll) maupun tertulis (membina sahabat pena, mengirim e-mail, dll)., (d) kerapihan dan ketertiban dalam mendokumentasi, dan menyimpan informasi, (perlunya sistem arsip, pengkodean, dll)
5.
Keterampilan mengingat . Dalam belajar banyak hal harus diingat. Karena daya ingat terbatas, maka berbagai cara dipakai untuk dapat mengingat dengan lebih baik. Di antaranya yang kita kenal adalah penggunaan Singkatan-Akronim. Banyak cara lain untuk meningkatkan daya ingat, seperti : analogi, sistem cantol, metode lokasi, gunakan asosiasi, jembatan keledai, dll.
6.
Keterampilan bertanya. Dalam pembelajaran pasti terdapat banyak hal yang dapat dipertanyakan dan terlebih lagi tidak ada pertanyaan yang jelek. Kemampuan untuk bertanya, memang harus dilatih. Untuk itu biasakan menugaskan mahasiswa untuk membuat 1-2 buah pertanyaan, baik dalam hati, ditulis, ataupun langsung disampaikan dalam setiap kegiatan mengikuti pembelajaran, membaca buku, mendengarkan seminar, dll,
40
Simpulan dan Penutup Dosen mempunyai peran yang sangat utama dalam merancang, menyajikan dan menilai proses pembelajaran, yang menentukan keberhasilan KBK. Berbagai cara mengajar yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran sudah seharusnya digunakan untuk mengganti model PBM “tradisional”. Pembelajaran berbasis pada kemampuan dalam pemecahan masalah (problem based learning) misalnya, merupakan model mengajar yang disarankan untuk tujuan tertentu dalam KBK. Di samping kompetensi yang bersifat khusus sesuai dengan bidang studinya, mahasiswa memerlukan serangkaian komptensi yang bersifat umum. Di antaranya adalah kompetensi untuk berkemampuan dan berkemauan belajar. Belajar menuntut kemauan emosional. Mau untuk selalu belajar. Itu adalah bagian yang penting dari kecerdasan emosional (EQ). Dan hal itu dapat ditingkatkan. Untuk meningkatkannya perlu kemauan dan keterampilan belajar. Karena itu dosen dituntut berperilaku “tertentu” dalam kegiatan mengajarnya, agar mampu menimbulkan kemauan mahasiswa dalam belajar. Agar sukses belajarnya, sikap positif tersebut harus dilengkapi dengan keterampilan belajar. Yaitu keterampilan dalam: (a) mencatat, (b) mendengarkan, (c) membaca, (d) mencari informasi, (e) bertanya dan (f) mengingat. Kelima keterampilan itu juga harus dilatihkan kepada mahasiswa. Karenaya, dosen berkewajiban merancang dan mengajarkannya sebagai bagian dari kegiatan perkuliahannya.
Daftar Bacaan: Balitbang Depdiknas. (2001). Kurikulum berbasis kompetensi (Kebijakan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah), Jakarta: Depdiknas. DePorter, Bobby dan Mike Hernaki (1992) Quatum Learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan Alwiyah Abdulrachman Bandung : Kaifa. Harsono (1998). Pokok-pokok pikiran tentang penegmbangan kurikulum dalam upaya meningkatkan daya saing lulusan dalam komunitas global. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Profil Pendidikan Sains, Teknologi, dan Humaniora di Indonesia pada Era Insdustrialisasi dan Globalisasai, 19 Nopember 1994. Suciati (1997) Taksonomi Tujuan Instruksional dalam Mengajar di Perdidikan Tinggi, Bagian Satu Program Applied Approach. Jakarta : PAU-P3AI. Suciati (2001) Kontrak Perkuliahan. Buku 2.05. Program Applied Approach. Jakarta : PAU-P3AI.
41
Suhardjono (1990). Teori tampilan Komponen pada Perancangan Pengajaran (Component Display Theory). Makalah pada seminar kependidikan di Malang, 13 Juli 1999. Suhardjono (1999). Peningkatan Mutu Lulusan FT Unibraw. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan dalam rangka HUT FT Unibraw 23 Oktober 1999. Suhardjono (2000). Belajar lebih Benar dan lebih Menyenangkan, Pembelajaran Umum bagi Mahasiswa Baru tahun 2000 Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia, 2 September 2000. Suhardjono (2002) Evaluasi Kurikulum di Jurusan Teknik Mesin Unibraw. Makalah pada Lokakarya Perbaikan Kurikulum FT Jurusan Mesin Unibraw, Projek SemiQUE, 2002. Sullivan, Rick, (1995). The Competency Based Approach to Training. JHPIEGO Strategy Paper, September 1995.
42
Manfaat SOP dan Bagaimana Menyusunnya1 Suhardjono Pengantar Apakan yang dimaksud SOP? Cukup beragam pendapat orang tentang kepanjangan SOP. Adanya yang menyatakan SOP adalah singkatan dari: Standard Operation Procedure, atau Standard Operating Procedure, atau juga Standard Operational Procedure bahkan sering pula diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Standar Operasi Prosedur. Padahal, bila menggunakan kaidah bahasa Indonesia, maka terjemahan yang benar adalah Prosedur Operasi Standar dan disingkat POS. Namun sering juga diterjemahkannya sebagai Prosedur Operasi Baku, atau juga Prosedur Pelaksanaan Standar, dan lain-lain.
Makna Prosedur Operasi Standar Pada makalah ini SOP diterjemahkan sebagai Prosedur Operasi Standar (POS), yang merupakan penjelasan tertulis tentang: Prosedur operasi atau urutan cara pelaksanaan yang standar (baku) dari suatu kegiatan. Termasuk di dalam penjelasan itu adalah, sajian rinci tentang apa dan siapa-siapa yang mengerjakan kegiatan tersebut, serta bagaimana cara mengerjakannya agar tujuan kegiatan dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Karena itu pada SOP juga terjelaskan dokumen-dokumen apa yang harus dipakai dalam pelaksanaan kegiatan atau yang merupakan bukti dari hasil kegiatan. Di perguruan tinggi, termasuk juga di jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Trunojoyo, terdapat berbagai kegiatan baik yang rutin maupun yang sesaat, baik yang di lakukan oleh mahasiswa, dosen maupun karyawan, untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya kegiatan rutin dalam pelaksanaan tugas akhir mahasiswa. Kegiatan tersebut, tentu melibatkan mahasiswa, jurusan, dosen pembimbing, karyawan, bahkan mungkin pula dekan. Agar supaya kegiatan tersebut dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan suatu pedoman, atau aturan tentang bagaimana cara melaksanakan kegiatan tersebut.
1
Disampaikan pada diskusi penyusunan SOP di jurusann Teknik Industri FT Universitas Trunojoyo , Agustus 2005
43
Bila pedoman tentang pelaksanaan tugas akhir tersebut disajikan dalam bentuk penjelasan rinci yang menjelaskan bagaimana prosedur operasi yang standar itu dilaksanakan, maka sajian tersebut dapat disebut sebagai SOP pelaksanaan tugas akhir. Di tingkat jurusan, atau program studi terdapat berbagai kegiatan yang spesifik yang dapat dibuat SOP-nya, mulai dari kegiatan rapat jurusan, pelaksanaan praktikum, penyelesaian tugas akhir, pelaksanaan ujuan skirpsi, dan lain-lain.
Manfaat SOP Suatu kegiatan yang dibuatkan Prosedur Operasi Standar atau SOPnya, akan mampu memberikan manfaat sebagai berikut : 1.
Mempermudah tindakan yang harus dilakukan oleh mereka yang terlibat.
2.
Memperjelas tanggung jawab dari masing-masing yang terlibat pada kegiatan tersebut.
3.
Memudahkan dalam memperkirakan waktu yang efektif untuk melaksanakan suatu kegiatan.
4.
Meningkatkan efiseiensi, dengan meniadakan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.
5.
Memberikan dukungan pada kegiatan mengkontrol jaminan mutu suatu kegiatan.
Kerangka Isi SOP Tampilan SOP dapat bervariasi. Ada yang sangat rinci ada pula yang hanya memberikan hal-hal pokok, namun tetap rinci. Suatu SOP yang lengkap umumnya terdiri dari beberapa kerangka bagian isi sebagai berikut: 1.
Header yaitu keterangan yang ada di bagian atas kertas. Pada header itu, paling tidak memberikan informasi tertulis mengenai (a) judul dari kegiatan, (b) nama institusi yang membuat SOP, (c) kode dan tanggal ditetapkan, dan (d) kode dan tanggal revisi, bila memang dilakukan revisi.
2.
Definisi dan ruang lingkup kegiatan
3.
Referensi atau peraturan-peraturan yang relevan yang wajib untuk diketahui atau dipakai sebagai acuan
44
4.
Bagan alir prosedur standar yang paling tidak menuliskan (a) nama macam kegiatan, (b) nama siapa-siapa yang terlibat, (c) urutan kegiatan yang dijelaskan melalui bagan alir, dan (d) bila ada dijelaskan pula macam dokumen atau formulir yang dipergunakan dalam kegiatan, serta waktu yang diperkirakan dibutuhkan.
5.
Penjelasan lain baik berupa catatan, atau tambahan keterangan, atau penjelasan contoh, dan lain-lain.
Diketahui bahwa jumlah kegiatan yang harus dibuatkan SOP-nya, umumnya tidak sedikit. Karena itu, dari beberapa referensi tentang SOP yang menjelaskan kegiatan di bidang pembelajaran di perguruan tinggi, jarang yang memakai kerangka isi yang sangat lengkap. Umumnya SOP kegiatan bidang administrasi akademik memakai kerangka sebagai berikut ini: 1.
Header
2.
Definisi atau ruang lingkup kegiatan
3.
Bagan alir prosedur standar yang berisi macam kegiatan, pelaksana kegiatan, urutan kegiatan, dokumen serta format yang dipakai (bila ada)
4.
Catatan atau keterangan.
Berikut disajikan contoh dari header
UNIVERSITAS TRUNOJOYO BANGKALAN
Prosedur Operasi Standar JUDUL
PELAKSANAAN KULIAH
Suhardjono, 2005
No : Tanggal dikeluarkan REVISI No : Tanggal
7
45
Contoh dari definisi.
DEFINISI • Kuliah adalah kegiatan belajar mengajar dengan cara tatap muka antara dosen dan mahasiswa yang dijadwalkan. • Satu kali tatap muka adalah 50 menit x bobot sks kuliah • Dosen adalah seseorang yang berdasarkan persyaratan pendidikan, keahlian dan kemampuannya diangkat oleh Rektor untuk menjalankan tugas pokok pendidikan. • Dosen terdiri dari Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap. • Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar secara sah pada program Diploma dan Sarjana di Universitas Trunojoyo
Suhardjono, 2005
8
46
Serta contoh dari bagan alir prosedur.
&
$+ )
%
# !
%
1
2
# # #$
"
&
1
"
'()*
,
2
2
2
" "
!
3
3
4
4
"
5
Suhardjono, 2005
9
47
Menyusun SOP : Bersama, Seksama dan Gembira Menyusun atau membuat SOP umumnya dilakukan secara bersama. Satu tim kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, seringkali lebih efektif daripada kelompok besar. Namun yang utama adalah kemampuan dan kemauan dari para anggota tim. Anggota tim hendaknya mereka yang mengetahui atau paling tidak pernah melakukan kegiatan yang akan dibuat SOP-nya. Mereka mengetahui apa manfaat SOP, apa tujuannya dan bagaimana tampilan SOP. Mereka hendaknya juga mampu bekerjasama dalam tim secara seksama dan dalam suasana yang gembira. Langkah kegiatan yang umumnya dilakukan adalah: 1.
Pilih dan tetapkan serta tuliskan JUDUL KEGIATAN yang akan dibuat SOP-nya
2.
Melalui diskusi kelompok, tetapkan batas awal dan batas akhir dari kegiatan tersebut. Harus jelas benar kapan kegiatan itu imulai dan diakhiri, bila ada tetapkan apa yang menjadi pertanda bila kegiatan tersebut telah selesai.
3.
Rinci dengan seksama macam-macam bagian kegiatan yang harus dilakukan mulai dari awal sampai akhir kegiatan. Anggota tim hendaknya dapat bekerja dengan bebas dalam mengemukakan pendapatnya, terutama dalam menentukan rincian macam kegiatan ini. Untuk itu metode curah pendapat (brain stroming) dalam menggali informasi antar anggota, sangat disarankan.
4.
Tuliskan pendapat kelompok tentang rician macam kegiatan apa, siapa, bagaimana dan dokumen apa yang diperlukan pada lembaran-lembaran kertas kecil. Agar memudahkan diskusi terutama saat menata prosedur kegiatan, atau langkah-langkah urutan kegiatan.
5.
Susunlah dalam urutan yang logis rician kegiatan tersebut. Gunakan lembaran kertas yang telah berisi tulisan macam kegiatan sebagai media untuk memudahkan menatanya. Lakukan berulang kali sehingga mendapatkan urutan kegiatan yang paling logis, paling efektif, efisien untuk mencapai tujuan kegiatan.
6.
Periksa dan evaluasi kembali urutan kegiatan, bila tim telah sepakat tuliskan dalam kertas yang baru urutan-urutan kegiatan, pelaksana kegiatan, dokumen atau formulir-formulir yang harus dikerjakan, dan lain-lain.
48
7.
Rencanakan waktu yang diperlukan untuk penyelasaian kegiatan tersebut, baik waktu tercepat yang mungkin dapat dilakukan maupun waktu paling lama.
8.
Tulis kembali dalam kerangka SOP yang telah disepakati. Misalnya menggunakan kerangka : Header, Definisi atau ruang lingkup kegiatan, Bagan alir prosedur standar yang berisi macam kegiatan, pelaksana kegiatan, urutan kegiatan, dokumen serta format yang dipakai (bila ada), dan bila diperlukan tambahan catatan atau keterangan.
9.
Evaluasi kembali, dan rayakan dengan telah selesainya satu SOP, kemudian lanjutkan untuk SOP kegiatan yang lain
10. Kemampuan untuk dapat bekerjasama dalam suasana yang gembira merupakan hal yang penting, karena umumnya tim tersebut akan menyusun SOP dari berbagai kegiatan, yang tidak jarang membawa pada kebosanan dan kekurangmenarikan
Macam kegiatan Program Studi yang perlu SOP Apa saja kegiatan yang ada di Program Studi (termasuk di Prodi Teknik Industri Unijoyo), yang perlu dibuat SOP-nya? Berikut adalah sebagian dari kegiatan tersebut 1.
Melaksanakan rapat rutin prodi
2.
Menetapkan jadual perkuliahan setiap semester
3.
Menyiapkan dan melaksanakan ujian semester, ujian tengah semester, dan ujian yang lain
4.
Melaksanakan kegiatan semester pendek
5.
Melaksanakan evaluasi hasil pembelajaran dari dosen di prodi
6.
Melaksanakan tugas akhir mahasiswa
7.
Melaksanakan ujian tugas akhir
8.
Menyelasikan transkrip dan ijazah
9.
Mengusulkan kenaikan pangkat
10. Memilih ketua prodi dan lain-lain
49
Hubungan SOP dan penjaminan mutu Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kegiatan yang kita lakukan telah berjalan dengan baik. Apakah petugas, orang-orang yang terlibat pada kegiatan tersebut telah melaksanakan tugasnya dengan baik? Semua pertanyaan itu berfokus kepada mutu, pada kulaitas dari hasil dan proses kegiatan yang dilakukan. Untuk dapat mengetahui sejauh mana mutu pelaksanaan kegiatan yang kita lakukan, diperlukan rincian yang baku tentang kegiatan itu, yang umumnya berupa SOP. Adanya SOP dapat menjelaskan secara rinci langkah kegiatan, format yang harus diisi, waktu yang diperlukan, yang kesemuanya dapat menjadi indikator terhadap mutu baik dari kegiatannya sendiri, ataupun dari para pelaksana kegiatan. Adanya SOP memungkinkan adanya penilaian yang lebih objektif pada mutu pelaksanaan kegiatan.
Penutup Meskipun statu kegiatan telah terbiasa dilakukan, perlu ada dokumen tertulis yang menjabarkan secara rinci langkah operasi yang baku. Dokumen tersebut dinamakan SOP. Manfaat adanya SOP di antara adalah : memudahkan pelaksanaan, memperjelas tanggung jawab dan evaluasi, serta mendukung pelaksanaan penjaminan mutu. Menyusun SOP, disarankan dilakukan oleh tim kecil, yang dapat bekerja secara bersama, seksama dan gembira.
Daftar bacaan: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (2001). Pedoman Admintrasi Pendidikan Suhardjono (2005) Prosedur Operasi Standar dalam kegiatan PEKERTI di Unijoyo, urun rembug awal. Institut Pertanian Bogor (2004) Kumpulan Prosedur Operasional Baku Dit. Adminitrasi dan Jaminan Mutu Pendidikan.
50
Menjadi ahli hukum yang jujur, pintar, mahir, serta committed terhadap profesi 1 Eman Suparman Alumni perguruan tinggi yang jujur, pintar, sekaligus mahir dan committed terhadap profesi dalam menerapkan ilmunya di masyarakat tentu saja menjadi harapan stakeholders. Demikian pula alumni fakultas hukum, para lulusannya sangat diharapkan tidak sekedar piawai dalam berargumentasi mempertahankan sesuatu yang dianggap benar, melainkan harus mampu membantu mencari kebenaran yang hakiki dari berbagai persoalan yang dihadapi. Terlanjur sudah kaum profesional hukum yang alumni perguruan tinggi itu dianggap kurang committed terhadap apa yang seharusnya diperjuangkan demi kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kata “jujur” di dalam judul tulisan ini penulis tempatkan pada urutan pertama, disusul dengan kata “pintar”, dan “mahir.” Adapun alasan penulis adalah karena kejujuran harus menjadi landasan utama setiap individu anggota masyarakat dalam menjalani pernak-pernik hidup dan kehidupan ini. Tanpa ada kejujuran, apa pun yang dilakukan seseorang tidak akan membawa manfaat bagi orang banyak dan tidak akan membawa keberkahan bagi dirinya sendiri dalam menjalani kehidupan ini. Kejujuran yang dimaksud tentu saja dalam artinya yang lebih makro, yakni jujur kepada Tuhannya, jujur kepada dirinya sendiri, dan jujur kepada masyarakat. Boleh jadi akibat mengabaikan faktor kejujuran itulah bangsa Indonesia sampai sekarang masih saja didera oleh berbagai persoalan yang tiada kunjung berakhir. “Pintar” harus menjadi landasan berikutnya. Artinya, agar seseorang mampu mengerjakan sesuatu pekerjaan secara profesional, maka tentu saja dia harus pintar, dalam arti memiliki bekal keilmuan yang cukup memadai untuk dirinya serta cukup pula untuk disebarluaskan demi kemaslahatan orang lain. Kepintaran seseorang idealnya diiringi dengan sikap santun dan rendah hati, tidak congkak alias angkuh, karena sikap-sikap semacam itu sama sekali bukan ciri hamba Allah Yang Maha Kuasa. Di samping jujur dan pintar, kata kunci yang ketiga adalah “mahir.” Tentu saja mahir dalam bidang ilmu yang ditekuninya selama di bangku kuliah. 1
Bahan renungan untuk para calon alumni fakultas hukum sebelum memasuki “lorong waktu” dunia profesi yang penuh liku-liku.
51
Untuk alumni fakultas hukum, “mahir” mengandung makna pintar dan piawai dalam menerapkan kaidah hukum demi menegakkan norma-norma yang berlaku tanpa mengabaikan rasa keadilan masyarakat yang lebih bermartabat. Mengapa hal itu perlu ditekankan? Seperti telah disinggung di muka, bahwa kaum profesional hukum dianggap kurang committed terhadap apa yang seharusnya diperjuangkan demi kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan sinis “maju tak gentar membela yang mbayar” tentu saja menjadi salah satu sindiran yang kurang nyaman didengar. Padahal sesungguhnya tidak semua anggota profesi hukum dapat dikenai ungkapan semacam itu. Oleh karena dalam kiprahnya sebagai ahli hukum yang profesional, banyak bidang tugas yang dapat dijalani oleh alumni fakultas hukum. Sebagai dosen, birokrat, penasihat hukum, jaksa, hakim, atau profesi-profesi lain yang langsung maupun tidak berkaitan dengan seluk beluk penerapan dan penegakan hukum. Dalam konteks penerapan dan penegakan hukum, tuntutan profesionalisme, kejujuran, kepintaran, dan kemahiran sangat diutamakan bila seorang alumni fakultas hukum hendak memilih profesi hakim, jaksa, atau penasihat hukum. Hal itu disebabkan ketiga pilar dalam penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan sungguh sangat menentukan nasib manusia lain yang duduk sebagai “pesakitan” (terdakwa). Lebih dari itu, perbuatan mengadili adalah pergulatan kemanusiaan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap suatu perkara yang semata-mata harus didasarkan kepada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Oleh sebab itu, proses mengadili atau memeriksa perkara pada umumnya memang mutlak “…harus dijauhkan dari tekanan atau pengaruh pihak mana pun, baik oknum, golongan dalam masyarakat, apalagi kekuasaan pemerintahan yang biasanya memiliki jaringan yang kuat dan luas, sehingga jangan sampai terjadi pihak yang lemah akan dirugikan”. Tentu saja kita semua sepakat bahwa tidak hanya profesi hakim yang mutlak harus jujur, pintar, mahir, dan adil dalam proses penegakan hukum, tetapi juga profesi-profesi penegak hukum lainnya, seperti penasihat hukum dan jaksa bahkan polisi. Oleh karena di dalam sistem pemidanaan yang terintegrasi (integrated criminal justice system) yang dianut Indonesia, pilar-pilar penegakan hukum itu terdiri atas Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut umum, dan Hakim di pengadilan sebagai pemutus, ditambah Advokat sebagai penasihat hukum yang mendampingi terdakwa dalam kasus pidana atau kuasa hukum dalam kasus perdata. Muara dari tugas-tugas mulia
52
profesi hukum yang empat pilar tersebut di atas berada pada kekuasaan kehakiman dengan puncak tertingginya yaitu Mahkamah Agung. 1 Sejak 29 Oktober 1999 urusan-urusan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman telah diupayakan untuk dieliminir dari lingkungan kekuasaan eksekutif. Satu di antaranya adalah mengganti nama Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Upaya itu dimaksudkan untuk mengeluarkan urusan-urusan yang berkenaan dengan organ peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dari tubuh eksekutif. Selanjutnya urusan organ peradilan dari tingkat yang paling rendah hingga yang tertinggi akan diurusi oleh lembaga yudikatif sendiri. Hampir enam dasawarsa, Departemen Kehakiman tercatat dalam skenario sejarah penegakan hukum di Indonesia telah memerankan fungsinya sebagai penguasa atas separuh sosok pribadi hakim. Sedangkan separuh bagian yang lainnya dikuasai oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Buktinya, golongan, pangkat, serta penghasilan dan sistem penggajian hakim selama itu berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif). Sementara itu, urusan yang menyangkut benar atau tidaknya, baik atau buruknya dalam memberikan pertimbangan putusan, Mahkamah Agung (sebagai yudikatif) yang kompeten untuk menilai hakim bawahan pada pengadilan rendahan. Semoga saja hal itu merupakan salah satu upaya ke arah pemurnian kembali pelaksanan pasal 24 UUD ’45 yang selama kurun waktu yang cukup lama kurang dihiraukan, sehingga terjadi penyimpangan. Sebagaimana diketahui, tuntutan UUD 1945 sudah amat jelas, yakni kekuasaan kehakiman harus merdeka. Artinya kekuasaan kehakiman harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Demikian strategisnya kekuasaan kehakiman dalam konteks kekuasaan negara dalam arti makro, sehingga para penyusun penjelasan resmi UUD ’45 menguraikan seperti itu. Upaya pemurnian pelaksaan pasal 24 dan 25 UUD ’45 sebenarnya telah dilakukan sejak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diundangkan. Di dalam pasal 1 Undang-undang tersebut telah ditegaskan cita-cita konstitusi di atas, yaitu: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan…”. Penjelasan pasal tersebut juga menegaskan bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung arti
2
Lihat Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh Undangundang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, LNRI 2004 Nomor 9.
53
kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya..”. Demikian pula ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diundangkan, upaya penegasan akan cita-cita kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diulang kembali. Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985, tegas menyebut: “Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”. Dalam hal pengangkatan Hakim Agung, Undang-undang Mahkamah Agung mengatur bahwa “Hakim Agung diangkat oleh Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat” [Pasal 8 ayat (1)]. Apakah pasal ini telah mengindikasikan bahwa pengisian lembaga tinggi negara yang bernama Mahkamah Agung itu telah sesuai dengan cita-cita konstitusi UUD 1945 atau tidak, yang pasti DPR sebagai wakil rakyat telah terlibat dalam pencalonannya. Demikian pula jika diperhatikan siapa yang mengangkat Hakim Agung, adalah Kepala Negara. Meskipun di Indonesia Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dipegang oleh satu orang, namun tugas, kewajiban, hak, dan wewenang kedua jabatan itu secara konstitusional berlainan. Selama ini Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga dianggap masih mengandung anasir-anasir pencampur-bauran kekuasaan disebabkan masih memberikan toleransi terhadap keterlibatan kekuasaan eksekutif kepada yudikatif. Akibatnya Undang-undang tersebut masih memberikan kesan yang cukup kuat tentang adanya pengaruh pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman. Buktinya, dapat disimak dari penjelasan resmi Pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 1985. Ayat (1) “Daftar nama calon Hakim Agung yang berasal baik dari kalangan Hakim karier maupun dari luar kalangan Hakim karier disusun berdasarkan konsultasi antara Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah Agung yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi lembaga masing-masing”. Kemudian ayat (2) “Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Menteri yang bersangkutan”. Dari penjelasan dua ayat di atas diperoleh gambaran betapa pengaruh pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman belum sama sekali tereliminasi. Terbukti Undang-undang tentang Mahkamah Agung masih memuat ketentuan semacam itu, lebih-lebih penjelasan ayat (2) secara tegas menyebut Pemerintah adalah Menteri yang bersangkutan. Menyimak hal itu, betapa kentalnya nuansa keterlibatan kekuasaan eksekutifnya di sana. Oleh karena yang dimaksud dengan Menteri dalam ayat itu tidak lain adalah Menteri Kehakiman, ketika itu. Bukankah persoalan campur tangan
54
kekuasaan eksekutif itulah yang menjadi isu sentral tidak merdekanya kekuasaan kehakiman selama ini? Masalah selanjutnya adalah Bagaimana mungkin Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dapat sepenuhnya merdeka, sedangkan pengisian organ-organnya saja yakni para hakim agungnya diangkat dengan keterlibatan pemerintah? Oleh karena itu, sangat beralasan jika dalam menyongsong “Era Indonesia Baru” serta mengembalikan ius constituendum (das sollen) dari para founding fathers Republik Indonesia tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undangundang Mahkamah Agung, dan Undang-undang tentang Peradilan Umum yang menunjang hal itu diubah dan diperbaharui. Hal itu menjadi conditio sine qua non untuk dilakukan agar para penyelenggara negara di masa-masa yang akan datang memiliki panduan yang jelas dalam mengembalikan kekuasaan kehakiman itu kepada porsi yang sesuai dengan das sollen-nya. Perubahan nama Departemen Kehakiman menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang dilakukan semasa Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, boleh jadi merupakan reaktualisasi gagasan lama dalam rangka memurnikan pelaksanaan pasal 24 dan 25 UUD 1945. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Masalah berat masih menghadang di depan. Mahkamah Agung ketika itu sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya diberi wewenang untuk mengawasi badan-badan lainnya dalam pemerintahan. Bahkan wewenang demikian cenderung untuk dipertahankan dan tidak pernah akan diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik. Padahal gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang diadopsi Indonesia dari konsep aslinya1 itu, sesungguhnya terkait erat dengan fungsi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Fungsi kekuasaan kehakiman yang dimaksud antara lain sebagai lembaga yang mengontrol atau mengawasi pelaksanaan hukum atau perundang-undangan (produk legislatif) oleh lembaga eksekutif (pemerintah). Mengakhiti tulisan ini, relevan kiranya jika menyimak apa yang pernah diungkapkan Daniel S. Lev bahwa “Kemandirian badan kehakiman mengandung harapan meningginya prestise dan kemampuan forum kelembagaan mereka dan bahkan akan menyebabkan para hakim lebih tanggap terhadap kepentingan profesional. Apalagi jika badan ini dapat bekerja sesuai
3
Yang dimaksud dengan konsep aslinya adalah ajaran Trias Politica dari Montesquieu.
55
dengan ketentuan formal, atau dengan kata lain jika badan kehakiman dapat dibedakan secara tajam dari birokrasi pemerintahan”.1 Lebih-lebih pada masa lalu Peradilan di Indonesia berada pada konsep dualisme birokrasi. Seperti diketahui, bahwa hakim sebagai organ kekuasaan kehakiman berada pada dua kubu. Terhadap para hakim rendahan, Mahkamah Agung memiliki tugas yang terbatas, yaitu hanya melakukan pengawasan atas hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknis yustisial. Sementara yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat administratif kepegawaian dan penggajian kewenangannya berada di bawah kendali Departemen Kehakiman (eksekutif). Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian “pihak-pihak tertentu dari kalangan eksekutif lalu memanfaatkan kekuasaan melalui sistem birokrasinya untuk mempengaruhi kebebasan hakim dalam menjalankan fungsinya. Apalagi jika kekuasaan eksekutif cenderung bersifat arogan.” Beberapa contoh kasus yang pernah menjadi isu nasional karena mengindikasikan adanya pengaruh kekuasaan eksekutif terhadap putusan hakim, di antaranya (1) Putusan Mahkamah Agung mengenai Peninjauan Kembali perkara Gugatan Warga Kedung Ombo yang lahan garapan dan miliknya tergenang atau digenangi oleh air Waduk Kedung Ombo; (2) Putusan atas gugatan tanah adat terhadap Pemerintah Propinsi Irian Jaya (Kasus Henock Hebe Ohee); dan (3) Kasus gugatan Majalah Tempo melawan Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Daftar Bacaan Kusumaatmadja, Mochtar, “Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional”; dalam Majalah PADJADJARAN, Nomor 1 September 1970, h. 516. Laoly, Yasonna H., Kolusi: “Fenomena atau Penyakit Kronis”; dalam Menyingkap Kabut Peradilan Kita Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung. Jakarta: Pustaka Adil Sejahtera, 1996, h. 17-38. Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990. Mertokusumo, R.M. Sudikno, “Sistem Peradilan di Indonesia”; dalam Jurnal Hukum, Nomor 9 Vol. 4, 1997, h.1-8. 4
Daniel S. Lev, Op. Cit., h. 398.
56
Saleh, K. Wantjik, Kehakiman dan Peradilan. Jakarta Simbur Cahaya, 1976. Siringoringo, Aldentua & Tumpal Sihite (ed), Menyingkap Kabut Peradilan Kita; Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung. Jakarta: Forum Adil Sejahtera, 1996. Soetjipto, Adi Andojo, “Uraian Secara Kronologis Terjadinya Masalah Kolusi di Mahkamah Agung”; dalam Menyingkap Kabut Peradilan Kita. Jakarta: Pustaka Forum Adil Sejahtera, 1996, h. 53-87. Subekti, R., Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Bandung: Alumni, 1980. Wisnubroto, A I., Hakim dan Peradilan di Indonesia dalam Beberapa Aspek Kajian. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 1997.
57
Tanggung Jawab Hukum & Etika Profesi Tenaga Kesehatan1 Eman Suparman Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Pendahuluan Diundang untuk ikut urun rembug menyampaikan materi berkaitan dengan aspek hukum dan etika profesi dalam pembinaan anggota Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Bangkalan dalam rangka Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada Pelayanan Kebidanan di Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan, sungguh merupakan kehormatan. Oleh karena itu, dengan perasaan tersanjung dan bangga saya sampaikan penghargaan dan terima kasih, terutama kepada Ketua LPPM Unijoyo dan juga kepada Ketua Pengurus Cabang IBI Bangkalan atas kepercayaan dan kehormatan ini. Sungguh tidak mudah untuk dapat menyampaikan dengan baik, sesuatu pandangan mengenai aspek hukum dan etika profesi di hadapan para peserta pertemuan profesi tenaga kesehatan, seperti pertemuan para bidan kali ini. Perhatian peserta tentunya lebih terfokus pada substansi pokok yakni acara Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada Pelayanan Kebidanan. Namun demikian, saya akan mencoba memaparkan sesuatu yang tidak kalah pentingnya dengan tugas-tugas sehari-hari para bidan dalam menangani pasien di tempat kerja.Oleh karena disadari maupun tidak, tugas-tugas para bidan sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan terikat oleh norma-norma baik yang berasal dari etika profesi maupun norma hukum yang berlaku dan mengikat setiap warga negara. Kedua aspek tersebut, baik etika profesi maupun norma hukum hampir tidak mungkin dihindari berlakunya dalam pelaksanaan tugas-tugas profesi apa pun di negara kita ini. Sebagai konsekuensi logis dari mengikatnya etika profesi dan hukum terhadap setiap pelaku tugas-tugas profesional, maka setiap subjek pelaku tugas profesional selalu dapat diminta pertanggungjawaban, baik secara 1 Makalah disampaikan pada Pembinaan Anggota Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dalam rangka Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada Pelayanan Kebidanan, di Kecamatan Sepulu, Bangkalan Madura, Selasa, 20 September 2005.
58
hukum maupun berdasarkan etika profesi. Tanggung jawab hukum dikenal dengan sebutan gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana. Sedangkan tanggung jawab berdasarkan etika profesi kita kenal dengan tuntutan pertanggungjawaban dari Majelis Kode Etik Profesi. Semoga paparan berikut dapat pencerahan bagi para peserta pertemuan ini.
bermanfaat
serta
memberikan
Dalam suasana yang menyenangkan ini, ijinkan saya untuk menggunakan istilah medik dalam rangka mencoba menjawab pertanyaan: Sejauhmana tenaga kesehatan dalam hal ini bidan dapat diminta pertanggungjawaban berdasarkan hukum maupun etika profesi ketika menjalankan tugasnya sebagai pemberi pelayanan kesehatan maternal dan neonatal? Sebelum memasuki uraian mengenai tanggung jawab berdasarkan hukum maupun berdasarkan etika profesi, sebagai pengantar penulis sajikan prolog berikut ini. Kesehatan merupakan salah satu yang mutlak dibutuhkan manusia. Namun ironisnya, dunia medis masih dianggap sebagai salah satu dunia yang sedikit sekali diketahui orang awam. Kelompok profesional medis dan keahliannya seakan menjadi pengetahuan yang eksklusif bagi mereka saja. Kondisi ini terjadi, bahkan saat pasien sebagai konsumen berhadapan dengan keadaan yang menyangkut keselamatan dirinya. Padahal sesungguhnya pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan perlakuan medis maupun obat yang dikonsumsinya. Dalam kesempatan acara Sosialisasi Pencegahan Infeksi pada Pelayanan Kebidanan seperti sekarang ini, sekali lagi saya minta ijin untuk mengajak para peserta memahami sekilas pengetahuan tentang hukum dalam rangka menambah wawasan serta pencerahan pengetahuan, sehingga dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan, ibu-ibu bidan dapat memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan bermartabat. Jika pelayanan kesehatan yang diberikan para bidan kepada para ibuibu hamil dan melahirkan telah sedemikian berkualitas dan bermartabat sekaligus dekat dengan masyarakat, maka pelayanan semacam itu akan terhindar dari bayang-bayang tuntutan hukum maupun tuntutan etika profesi.
Kasus Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia Dari situs inovasi online, dijumpai sebuah artikel yang menyebutkan bahwa: sampai saat ini, kematian ibu masih merupakan salah satu masalah prioritas di bidang kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Setiap satu jam dua
59
orang ibu di Indonesia meninggal saat melahirkan karena berbagai penyebab. Jika seorang ibu meninggal, maka anak-anak yang ditinggalkannya mempunyai kemungkinan tiga hingga sepuluh kali lebih besar untuk meninggal dalam waktu 2 tahun bila dibandingkan dengan mereka yang masih mempunyai kedua orang tua. Hal ini tentu hanya salah satu akibat yang sangat memprihatinkan. Republika online memuat informasi, Direktur Maternal and Neonatal Health (MNH) Dr. Abdullah Cholil MPH, menegaskan bahwa “Secara umum memang angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Dulu akhir tahun 1980-an, AKI-nya masih 800 orang per 100 ribu kelahiran. Sepuluh tahun kemudian angkanya menurun menjadi 400-450 per 100 ribu. Tetapi, setelah diamati setiap tahun ternyata AKI-nya tidak mengalami penurunan. Tetap saja sekian. Di samping itu juga keprihatinan kita disebabkan krisis ekonomi yang membuat masalah kesehatan perempuan semakin terkesampingkan. Oleh sebab itu, berbagai upaya dicoba untuk menekan dan mengurangi AKI”. Permasalahan AKI yang terdeteksi masih tinggi ini setidak-tidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama, sosio-kultural seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, adanya norma-norma tertentu dalam adat tentang perlakuan terhadap perempuan, dan lain-lain. Yang kedua, masalah lainnya yang tak kalah penting adalah sosio-teknikal, yang juga paling banyak menyebabkan AKI, yaitu karena terbatasnya perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan, tidak terampil, dana yang terbatas, perilaku budaya, kurang gender sensitive, dan lain-lain. Di samping dua faktor yang disebutkan di atas, ternyata masih ada penyebab AKI lainnya, yaitu: penyebab langsung dan tidak langsung. Untuk penyebab langsung, terungkap, sekitar 50 persen AKI terjadi oleh pendarahan waktu hamil, pada saat persalinan, dan selama proses persalinannya. Sedangkan yang menjadi sebab tak langsung diketahui karena adanya tiga terlambat, yaitu: terlambat mencari pertolongan, terlambat membawa ke tempat rujukan, dan terlambat memberi pertolongan di tempat rujukan. Hal lain yang tidak dapat diabaikan karena berisiko terjadinya AKI tinggi adalah ibu-ibu yang mengalami 5-terlalu dalam melahirkan yaitu: (1) terlalu muda, (2) terlalu tua, (3) terlalu banyak, (4) terlalu sering, dan (5) terlalu berdekatan jaraknya. Masih dari Republika online diketahui bahwa berdasarkan hasil penelitian MNH, AKI lebih banyak karena pendarahan, maka MNH mengadakan pelatihan kepada para bidan dan ibu-ibu yang akan melahirkan. Hasilnya, ternyata dengan bidan yang kompeten dan terlatih, paling tidak 50 persen pendarahan bisa dicegah. Pelatihan itu dilakukan juga melalui program Asuhan Persalinan Normal (APN) bagi para bidan dan di rumah-rumah sakit.
60
Kapan tanggung jawab hukum dan etika profesi tenaga kesehatan dipersoalkan? Maraknya kasus dugaan malpraktik belakangan ini, khususnya di bidang perawatan ibu dan anak, menjadi peringatan dan sekaligus sebagai dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas pelayanan. Melaksanakan tugas dengan berpegang pada janji profesi dan tekad untuk selalu meningkatkan kualitas diri perlu untuk selalu dipelihara. Kerja sama yang melibatkan segenap tim pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan kejelasan dalam wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang disebutkan tadi, maka konsekuensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan kewenangan atau karena kelalaian. Sebagai contoh umpamanya, terlambat memberi pertolongan terhadap pasien yang seharusnya segera mendapat pertolongan, merupakan salah satu bentuk kelalaian yang tidak boleh terjadi. Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif, misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan. Khusus berkenaan dengan wewenang bidan diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Men.Kes/Per/IX/1980 tentang Wewenang Bidan. Dari sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi. Tanggung jawab dari segi hukum perdata didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 BW (Burgerlijk Wetboek), atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Apabila tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian pada pasien, maka tenaga kesehatan tersebut dapat digugat oleh pasien atau keluarganya yang merasa dirugikan itu berdasarkan ketentuan Pasal 1365 BW, yang bunyinya sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati.” Dari segi hukum pidana juga seorang tenaga kesehatan dapat dikenai ancaman Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana tersebut dikenakan kepada seseorang (termasuk tenaga kesehatan) yang karena kelalaian atau kurang hati-hati menyebabkan orang lain (pasien) cacat atau bahkan sampai meninggal dunia. Meski untuk mengetahui ada tidaknya
61
unsur kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam tindakan seseorang tersebut perlu dibuktikan menurut prosedur hukum pidana. Ancaman pidana untuk tindakan semacam itu adalah penjara paling lama lima tahun. Tentu saja semua ancaman, baik ganti rugi perdata maupun pidana penjara, harus terlebih dahulu dibuktikan berdasarkan pemeriksaan di depan pengadilan. Oleh karena yang berwenang memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak adalah hakim dalam sidang pengadilan. Tanggung jawab dari segi hukum administratif, tenaga kesehatan dapat dikenai sanksi berupa pencabutan surat izin praktik apabila melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya. Tindakan administratif juga dapat dikenakan apabila seorang tenaga kesehatan: 1. melalaikan kewajiban; 2. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan; 3. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan; 4. melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang. Selain oleh aturan hukum, profesi kesehatan juga diatur oleh kode etik profesi (etika profesi). Namun demikian, menurut Dr. Siswanto Pabidang, masalah etika dan hukum kadangkala masih dicampur baurkan, sehingga pengertiannya menjadi kabur. Seseorang yang melanggar etika dapat saja melanggar hukum dan tentu saja seseorang yang melanggar hukum akan melanggar pula etika. Oleh karena itu, menurut Samil RS1 yang mengutip pernyataan Davis & Smith, bahwa ada hubungan antara etik kedokteran dan hukum kedokteran, yaitu: 5. sesuai etik dan sesuai hukum; 6. bertentangan dengan etik dan bertentangan dengan hukum; 7. sesuai dengan etik tetapi bertentangan dengan hukum; dan 8. bertentangan dengan etik tetapi sesuai dengan hukum.
Adakah Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kesehatan? Dari perspektif perlindungan konsumen, maraknya tuntutan pasien terhadap cara dan hasil kerja paramedis atau tenaga kesehatan sesungguhnya 2
Samil RS, Etika Kedokteran penerapan masa kini; Seminar konflik etiko-legal dan sengketa medik di Rumah Sakit. Jakarta, 2000.
62
merupakan gejala yang positif. Hal itu menandakan semakin tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat, khususnya kesadaran konsumen terhadap hakhaknya, yaitu antara lain untuk memperoleh pelayanan yang baik maupun ganti rugi, apabila tenaga kesehatan atau paramedis terbukti melakukan malpraktik (melakukan penyimpangan dari standar profesi). Artinya, pada dewasa ini telah muncul fenomena dimana pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak lagi bersikap pasrah alias nrimo seperti pada waktu-waktu yang lampau. Terlebih lagi setelah pemerintah mengundangkan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Satu di antara ketentuannya adalah bahwa: Pasien sebagai konsumen pelayanan jasa kesehatan, berhak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, informasi yang benar, jelas, dan jujur serta menuntut ganti rugi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya selama melakukan pelayanan kesehatan ternyata melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan pasien. Untuk mengantisipasi kejadian seperti yang diuraikan di atas, maka Pasal 23 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah menetapkan bahwa: “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.” Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1996, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah bentuk-bentuk perlindungan yang antara lain berupa: rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan fisik atau jiwa, baik karena alam maupun perbuatan manusia.” Perlindungan hukum akan senantiasa diberikan kepada pelaku profesi apa pun sepanjang pelaku profesi tersebut bekerja dengan mengikuti prosedur baku sebagaimana tuntutan bidang ilmunya, sesuai dengan etika serta moral yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Mengakhiri paparan ini, harapan saya semoga apa yang telah disampaikan membawa manfaat bagi para peserta sekalian sekaligus dapat memberikan pencerahan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pengabdian dan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas dan bermartabat. Lebih dari itu pelayanan yang diberikan kepada ibu hamil dan melahirkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan dan Angka Kematian Bayi (AKB). Sekian, kurang lebihnya saya mohon maaf. Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
63
Daftar Bacaan Abdullah Cholil, Keterbatasan Mengakses Pelayanan Kesehatan; dalam Online, Selasa, 15 Juni 2004.
Republika
Elsi Dwi Hapsari, Kontribusi Penting Menyelamatkan Persalinan Sehat dan Buku KIA; dalam Inovasi Online Vol.2/XVI/November 2004. Emi Dwi Hendarti, Implementasi Kewenangan Bidan Pondok Bersalin Desa (Polindes) dalam Tindakan Medis (Studi di Puskesmas Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Mojokerto); dalam JIPTUMM Online. Samil RS, Etika Kedokteran penerapan masa kini; Seminar konflik etiko-legal dan sengketa medik di Rumah Sakit. Jakarta, 2000; dalam Siswanto Pabidang & Andriana Pakendek, Etika Profesi, Hukum Kesehatan dan Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan; Makalah - IDI Cabang Pamekasan, Madura, 2005. Siswanto Pabidang & Andriana Pakendek, Etika Profesi, Hukum Kesehatan dan Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan; Makalah - IDI Cabang Pamekasan, Madura, 2005.
64
Arbitrase untuk Keadilan1 Eman Suparman Arbitrase, baik nasional maupun internasional mempunyai peran dan fungsi yang makin lama makin penting dalam kerangka proses penyelesaian sengketa. Khusus bagi Indonesia sebagai negara niaga kecil yang telah memastikan diri untuk memasuki arena ekonomi dunia yang terintegrasi, arbitrase sangat penting karena tidak ada pengadilan dunia yang dapat menangani sengketa-sengketa komersial yang terjadi dari perdagangan internasional. Arbitrase merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di antara berbagai sarana penyelesaian sengketa komersial yang tersedia. Oleh karena arbitrase diyakini sebagai forum tempat penyelesaian sengketa komersial yang reliable, efektif, dan efisien. Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional terus berlangsung dan semakin terbuka luas. Fenomena itu telah berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan sengketa. Pengadilan negeri dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian sengketa yang dihadapi, sehingga pihak-pihak dalam bisnis menganggap tidak efektif jika sengketanya diselesaikan melalui pengadilan negeri. Di lain pihak, persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental “bau formalisme-prosedural” ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga masyarakat.” Oleh sebab itu, sulit dihindari bila semakin hari semakin berkembang rasa tidak percaya masyarakat terhadap institusi pengadilan.
1
Sebagai bahan renungan para hakim pengadilan negeri yang masih berkenan memberikan keadilan yang bermartabat kepada justiciabelen.
65
Persoalannya lalu mengapa arbitrase menjadi fenomena dalam penyelesaian sengketa, sehingga orang memilih arbitrase sebagai forum bagi penyelesaian sengketanya? Benarkah karena arbitrase berproses cepat dan berbiaya murah? Ternyata bukan itu yang menjadi alasan utama. Yang menjadi andalan pihak-pihak yang memilih arbitrase adalah justru kualitas (quality) dari para arbiter berupa keahlian dalam bidang masing-masing arbiter. Keahlian merupakan salah satu jaminan terhadap kepercayaan, karena keahlian dan integritas yang dimiliki arbiter harus merujuk pada kualitas yang patut dibanggakan, sehingga arbiter dituntut harus mampu meyakinkan pihakpihak yang berperkara sebagai figur yang bebas dan tidak memihak. Tanpa ada kepercayaan dari pihak-pihak bersengketa kepada arbiter atau para arbiter, forum arbitrase tidak akan dapat berfungsi dengan baik sebab arbitrase bukan berlandaskan yuridis formal tetapi berdasarkan kebenaran dan kepatutan (ex aequo et bono). Di sinilah antara lain letak perbedaan arbitrase dengan pengadilan negeri. Selain menyangkut persoalan perolehan keadilan, keluhan terhadap lembaga peradilan juga berkaitan dengan proses peradilan yang lamban. Sebuah proses persidangan dapat berlangsung hingga enam tahun sampai dengan ada putusan hakim yang berkekuatan tetap. Padahal Mahkamah Agung sendiri sesungguhnya telah menyadari apabila penyelesaian perkara lambat dapat berakibat: (i) menenggelamkan kebenaran dan keadilan ke dalam lembah yang curam, sehingga sulit diraih oleh masyarakat pencari keadilan; (ii) menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) yang berlarut-larut di antara para pihak yang berperkara, yang membuat mereka berada dalam keresahan yang berkepanjangan; dan (iii) para pihak yang berperkara akan mengalami kerugian ekonomis yang tidak sedikit, sehingga keadaan semacam itu memberi kesan seolah-olah badan peradilan telah menjadi alat kekuasaan yang berperan menghambat laju perkembangan ekonomi sosial. Lambatnya penyelesaian perkara melalui pengadilan terjadi karena proses pemeriksaan yang berbelit dan formalistik Oleh karena itu, tidak heran jika para pelaku bisnis sejak awal sudah bersiap-siap dan bersepakat di dalam kontrak mereka apabila terjadi perselisihan, akan diselesaikan melalui forum di luar pengadilan negeri. Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting.
66
Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan. Oleh sebab itu, menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi, sehingga Marc Galanter mengungkapkan dengan sebutan “justice in many rooms.” Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun demikian, bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan substansial. Menghadapi transformasi global yang tidak mungkin dihindari, pemerintah kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Langkah tersebut tentu saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan akselerasi dan dinamika masyarakat dalam memanaje konflik komersial yang volume maupun intensitasnya semakin kompleks. Namun demikian, meskipun arbitrase pada dewasa ini telah diatur dalam sebuah undang-undang tersendiri, akan tetapi undang-undang tersebut sama sekali tidak menetapkan lembaga arbitrase sebagai peradilan negara. Arbitrase hanyalah sebuah cara yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Bahkan sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase itu pun telah secara limitatif disebutkan yaitu hanya sengketa di bidang hukum perdata dalam arti sempit. Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Sayangnya, jalur arbitrase kerap dinodai oleh pihak-pihak yang beriktikad buruk, terutama oleh pihak yang dikalahkan. Mereka yang dikalahkan kerap meminta pengadilan untuk campur tangan, terutama saat eksekusi. Padahal, arbitrase idealnya harus dibebaskan dari anasir pengadilan. Masalahnya, seringkali pengadilan malah menganggap arbitrase sebagai saingan yang mengambil lahan ketimbang sebagai mitra. Akibat persepsi yang keliru dari pengadilan terhadap arbitrase semacam itu, pengadilan tidak jarang sampai membatalkan putusan arbitrase. Memang benar, secara normatif pengadilan memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase.
67
Memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimana pun sama, hukumnya sama, dan tidak mengenal perbatasan negara. Status para pihak sama, para pihak berhak memilih arbiter, dapat memilih hukum yang akan digunakan, maupun prosedur beracaranya. Sebagai konsekuensi dari pilihanpilihan tersebut, apabila para pihak telah sepakat untuk memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dipenuhi. Oleh karena itu, meminta pembatalan putusan arbitrase kepada pengadilan negeri mengandung arti salah satu pihak melanggar janji. Pihak yang melanggar janji tentu saja diragukan itikad baiknya. Sedangkan prinsip bersengketa di hadapan arbitrase sifatnya itikad baik (good faith), nonkonfrontatif, dan kooperatif, sehingga setelah perkara diputus maka kerjasama atau bisnis yang telah ada di antara para pihak dapat dilanjutkan kembali. Dalam sistem peradilan di Indonesia, kedudukan arbitrase adalah extra judicial atau peradilan semu (quasi judicial), sedangkan pengadilan negeri (state court) berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Oleh karena itu, meskipun undang-undang memberi wewenang kepada arbitrase untuk menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status extra judicial yang melekat pada arbitrase. Akan tetapi tata cara pemeriksaan sengketa pada arbitrase memiliki kemiripan dengan tata cara di pengadilan. Adapun faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus sengketa. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi kurang sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan kepastian hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada aturan normatif yang rigid. Oleh karena itu, model penyelesaian sengketa di luar pengadilan semacam arbitrase seharusnya diberi kompetensi yang lebih luas. Artinya, arbitrase jangan hanya diakui sebagai forum pemutus sengketa, melainkan lebih dari itu, arbitrase juga seharusnya berwenang penuh untuk mengeksekusi putusan yang dibuatnya. Apabila arbitrase hanya diberi kewenangan limitatif semata-mata sebagai pemutus sengketa tanpa memiliki kompetensi melakukan eksekusi terhadap putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka dapat dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan
68
peradilan agama sebelum lahir Undang-undang tentang Peradilan Agama. Padahal sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, arbitrase telah memperoleh otoritas sebagai forum pemutus sengketa meskipun sangat limitatif. Satu pertanyaan yang masih tersisa. Apakah juga putusan arbitrase telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam sengketa? Hal itu masih merupakan persoalan. Persoalan tersebut akan sangat jelas apabila menyimak tata cara pelaksanaan putusan arbitrase sebagai berikut: (i) arbiter dan kuasanya wajib mendaftarkan asli atau salinan otentik putusan arbitrase di kantor Pengadilan Negeri, dilengkapi asli atau salinan otentik pengangkatan sebagai arbiter; (ii) pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan perintah (exequatur) Ketua Pengadilan Negeri; (iii) sebelum pemberian exequatur Ketua Pengadilan Negeri memeriksa dahulu hal-hal berkaitan dengan: a) ada atau tidaknya perjanjian arbitrase bagi pihak-pihak; dan b) apakah perjanjian arbitrase berada dalam lingkup hukum perdagangan dan mengenai hak yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersangkutan. Tidak dipenuhinya ketentuan mengenai penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan;[Pasal 59 ayat (4) Undang-undang Arbitrase]. Rangkaian normatif tentang tata cara pelaksanaan putusan yang harus dipenuhi sebelum putusan arbitrase dilaksanakan menunjukkan bahwa sesungguhnya arbitrase masih dianggap tidak mandiri serta tidak sejajar kedudukannya dengan pengadilan negeri, sehingga dianggap tidak matang untuk dapat mengeksekusi putusannya sendiri. Betapa tidak, apabila penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dipenuhi, maka akibatnya putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Kaidah tersebut pada dasarnya telah mengurangi kedudukan arbitrase seperti halnya kedudukan pengadilan agama sebelum lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena itu, untuk menjamin diperolehnya kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa pada forum arbitrase, norma yang terkesan mensubordinasikan arbitrase dari pengadilan negeri harus dihapuskan dari undang-undang arbitrase. Selanjutnya badan arbitrase seyogianya dilengkapi dengan juru sita, sehingga badan arbitrase dapat melaksanakan putusannya sendiri. Menjadikan badan arbitrase mandiri, sejajar, matang, dan kompeten melaksanakan putusannya sendiri adalah conditio sine qua non apabila hendak menjadikan badan arbitrase di Indonesia sebagai badan penyelesaian sengketa bisnis yang berprospek internasional. Oleh karena pada abad mendatang interaksi bisnis antar bangsa telah dirancang untuk tidak lagi tersekat oleh
69
berbagai rintangan (barrier), baik berupa batas-batas teritorial, norma-norma perdagangan, maupun rintangan berupa tarif. Sebagai konsekuensi dari keadaan semacam itu maka terjadinya konflik antar pelaku bisnis pun akan semakin sulit dihindarkan. Dalam konstelasi dunia bisnis seperti itu, maka telah sangat mendesak untuk memberi status mandiri dan kompeten terhadap badan arbitrase agar dapat melaksanakan putusannya tanpa bantuan kewenangan pengadilan negeri. Dalam rangka itu semua, yang harus diupayakan adalah melakukan amandemen perubahan terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terutama berkenaan dengan pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional. Pemberian status mandiri terhadap arbitrase akan membawa konsekuensi hukum yang amat luas. Arbitrase yang telah memiliki karakter berbeda dengan pengadilan negeri serta prosedur penyelesaian sengketa yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, akan menjadi lembaga penyelesaian sengketa komersial yang lebih diminati oleh para pencari keadilan dari kalangan bisnis karena akan lebih mampu memenuhi tuntutan mereka. Lebihlebih lagi kalangan bisnis atau usaha komersial internasional, karena sampai saat ini “tidak ada badan pengadilan yang dapat memeriksa sengketa komersial internasional yang dapat diandalkan dan efektif.” Apabila demikian, tidak diragukan kalau lembaga arbitrase di masamasa yang akan datang akan menjadi model penyelesaian sengketa komersial yang lebih berkeadilan, sekaligus menjamin kepastian hukum, serta betul-betul bermanfaat bagi penggunanya karena prosesnya yang cepat dan beayanya yang murah. Hal itu berarti pula arbitrase sebagai salah satu lembaga pelaksana hukum akan mampu merealisasikan ketiga unsur dalam penegakan hukum yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan secara proporsional seimbang.
Daftar Pustaka Abdurrasyid, Priyatna, “99,9 % Hakim Tidak Mengerti Arbitrase.” dalam Wawancara Hukumonline_com.htm, Jumat, 10 Januari 2003. ____________, “Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 21, Oktober-November 2002.
70
____________, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa–suatu pengantar. Jakarta: Fikahati Aneska-BANI, 2002. Ali, Achmad, “Pengadilan yang yang tak Berkeadilan;” dalam Kompas, Jumat, 08 Juni 2001. Auerbach, Jerold S., Justice Without Law? New York: Oxford University Press, 1983. Bernini, Giorgio & Albert Jan Van den Berg, “The enforcement of arbitral awards against a state: the problem of immunity from execution;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987. Berg, A. J. van den et al., Arbitrage Recht. W.E.J. Tjeenk Willink - Zwolle, 1988. ____________, "The New York Arbitration Convention of 1958 – Towards a Uniform Judicial Interpretation. The Hague: TMC Asser Institute, 1981.
1)
Rawls, John, A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971.
____________, Justice as Fairness – A Restatement; (Edited by Erin Kelly).Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2001. Saleh, Roeslan, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta: Aksara Baru, 1979. Saleh, Samir, “The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards in the states of the Arab Middle East;” dalam Julian DM Lew (ed), Contemporary Problems in International Arbitration. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987.
71
Harmonisasi globalisasi1
hukum
untuk
Eman Suparman Latar Belakang Indonesia dan bangsa-bangsa di sudut manapun di muka bumi ini, sekarang sudah terhubung dan terkooptasi ke dalam satu pola kehidupan. Akibatnya batas-batas teritorial negara nasional hampir tidak lagi menjadi penghalang bagi berkembangnya ragam aktivitas manusia, baik perniagaan maupun bukan perniagaan. Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia. Oleh karena itu terbentuknya institusi global semacam WTO (World Trade Organization), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum kerjasama ekonomi antar bangsa-bangsa se-kawasan, dan juga EEC (European Economic Council), hingga mata uang pun mereka satukan, boleh jadi merupakan beberapa contoh kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam satu kepentingan yang serupa. Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas tersebut tentu tidak diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu. Sebab kaidah hukum nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya di dalam teritorial negara tersebut. Untuk itu, pengaturan berbagai hak dan kewajiban maupun kepentingan bersama antar negara berdaulat tadi, kaidahnya akan diupayakan dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-negara yang lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional.2 Instrumen inilah 1 2
Sebagai salah satu bahan ajar m.k. harmonisasi hukum regional ASEAN.
“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.” Di dalam teori hukum internasional, perjanjian internasional dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) “law making treaties “ dan (2) “treaty contracts.” “Law making treaties” merupakan perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa, sehingga dengan demikian dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional. Sedangkan “teraty contracts” adalah perjanjian internasional yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihakpihak yang mengadakannya saja, sehingga perjanjian internasional semacam ini hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. Lagi pula treaty contracts
72
yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai persoalan transnasional yang dihadapi bersama. Pada kondisi masyarakat dunia yang digambarkan semacam itu, instrumen hukum “perjanjian internasional”, kian menjadi penting. Melalui perjanjian internasional itulah negara-negara, baik yang membuat kesepakatan maupun negara yang turut serta kemudian, dapat menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.”1
Permasalahan Bertolak dari realitas masyarakat dunia yang makin bersatu itu, beberapa hal menarik untuk dikaji, antara lain: Pertama, benarkah proses nasionalisasi2 terhadap kaidah-kaidah transnasional di Indonesia dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum akibat lambatnya proses kodifikasi hukum nasional dalam rangka memenuhi kebutuhan akan kaidah hukum di era globalisasi? Kedua, kerjasama internasional bidang hukum macam apakah yang selama ini dilakukan Indonesia dengan negara lain, sehingga patut dijadikan model kesepahaman timbal balik yang layak untuk terus diupayakan dalam rangka menciptakan suasana harmonis di masa yang akan datang?
tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Baca Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 109, 114, dan 115. Bdgk. JG Starke, Introduction to International Law. London: Butterworths, 1984, hlm. 40-44. 1
Lihat Mochd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990, hlm. 8-9.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan makna “nasionalisasi” sebagai “sebuah proses menjadikan sesuatu menjadi milik bangsa atau negara (terutama milik asing), yang biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan kompensasi.” Namun penggunaan kata nasionalisasi dalam konteks pembahasan ini, makna “nasionalisasi atas kaidah transnasional” mengandung makna konotatif. Oleh karena itu, proses nasionalisasi terhadap kaidah hukum transnasional tidak pernah dilakukan dengan penggantian yang merupakan kompensasi.
73
Kesepahaman antar Negara Bila negara-negara berdaulat hendak membuat kesepakatan tentang sesuatu berkenaan dengan kepentingan negara dan bangsa diantara mereka, lazimnya perangkat norma yang dibuat atas dasar kesepakatan bersama dengan tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, secara formal akan diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Demikian pentingnya perjanjian internasional dalam mengatur berbagai persoalan masyarakat bangsa-bangsa, sehingga perjanjian internasional tidak hanya terjadi dalam bidang hukum publik internasional, melainkan juga berlangsung dalam bidang hukum perdata internasional (HPI). Upaya yang dilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraan beberapa konperensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag, antara lain bertujuan untuk mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.1 Memang setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem HPI yang berlainan satu sama lain. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul manakala muncul persoalan perdata dan melibatkan dua negara atau lebih, maka negara-negara berupaya mengadakan kerjasama internasional dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan menciptakan unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata. Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan dimaksudkan untuk menyeragamkan seluruh sistem hukum intern dari negara-negara peserta konperensi, melainkan sekedar upaya untuk menyelaraskan kaidah-kaidah HPInya. Harapannya adalah penyelesaian persoalan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat dilakukan oleh badan-badan peradilan masingmasing negara peserta.2
1
2
Semula Konperensi Hukum Perdata Internasional (HPI) di Den Haag itu merupakan konperensi diplomatik antara negara-negara Eropa (negara-negara Eropa kontinental) dengan tujuan menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI. Akan tetapi kemudian pesertanya diperluas dengan masuknya Jepang (dari Asia tahun 1904). Kemudian seusai Perang Dunia ke II keanggotaan konperensi tersebut makin diperluas dengan masuknya Inggris (1951), Turki (1956), Israel dan RPA (1960), USA (1964), Canada (1968), dan kemudian diikuti pula oleh negara-negara dari kawasan Amerika Latin. Lihat Sudargo Gautama, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1983, hlm. 6. S. Gautama, Capita... Op. cit., hlm. 5.
74
Agaknya upaya penyelarasan kaidah hukum publik maupun privat melalui perjanjian internasional, sudah saatnya dilakukan juga oleh negaranegara di kawasan ASEAN ini. Paling tidak menyambut efektifnya kurun AFTA mendatang, kesenjangan akibat perbedaan sistem hukum yang ada pada sejumlah negara anggota ASEAN, harus diupayakan untuk diminimalkan. Untuk itu proses pembentukan pranata hukum yang dilakukan negara seperti Indonesia, tidak cukup bila semata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini. Model semacam itu dikhawatirkan akan mempersulit Indonesia sendiri dalam mengakomodasi berbagai perubahan yang berlangsung sangat cepat akibat interaksi masyarakat bangsa-bangsa yang semakin hari semakin intensif. Tak ada cara untuk mengatasi ketertinggalan norma hukum dari faktanya (het recht hinkt achter de feiten aan), hukum nasional negara-negara harus terus menerus diupayakan agar senantiasa mampu menjawab berbagai persoalan transnasional. Upaya aktualisasi kaidah hukum nasional itu harus secara simultan dilakukan, baik melalui proses kodifikasi, maupun dengan jalan melakukan nasionalisasi terhadap norma-norma transnasional dalam bentuk pengesahan atau ratifikasi (ratification) terhadap sejumlah perjanjian internasional.. Sehingga perubahan dan perkembangan masyarakat dunia macam apa pun, akan mampu diimbangi oleh tersedianya kaidah hukum. Di dalam Viena Convention on the law of Treaties 1969, "Ratifications means in each case the international act so named whereby a state establishes on the international plans its consent to be bound by a treaty", [Art 2 (1) b]. Ratifikasi merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Jadi, yang dimaksud dengan “nasionalisasi” terhadap norma hukum transnasional ini pun pada dasarnya adalah suatu proses masuk dan diterimanya norma transnasional ke dalam pranata hukum nasional suatu negara. Selanjutnya norma-norma tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara tersebut. Kekosongan dan ketertinggalan kaidah hukum acara perdata pengadilan negeri di Indonesia, telah berakibat luas terutama pada perolehan rasa keadilan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Akibatnya muncul fenomena dalam masyarakat, berupa pilihan forum untuk menyelesaikan konflik ke arah forum lain selain pengadilan negeri. Apalagi untuk sengketa-sengketa yang melibatkan pihak-pihak multinasional. Para pihak multinasional bahkan sejak awal telah bersepakat di dalam kontrak mereka, manakala kelak terjadi konflik, maka penyelesaiannya tidak akan melalui pengadilan negeri. Pengadilan negeri dihindari, karena dianggap oleh mereka prosesnya terlalu panjang, sehingga sulit sekali memperoleh kepastian dan keadilan. Menghadapi kenyataan itu, muncul “Alternative Dispute Resolution (ADR)” sampai akhirnya Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang tentang
75
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. Langkah itu tentu saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan dinamika masyarakat yang semakin kompleks. Meski kompetensi pengadilan negeri dalam menyelesaikan berbagai sengketa komersial cenderung digeserkan oleh forum lain yang dianggap lebih memuaskan para pihak, namun dalam beberapa hal kompetensi pengadilan negeri tidak mudah untuk dihindari. Buktinya, ketika putusan forum lain (sebut saja: arbitrase), tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang terkena eksekusi, maka eksekusi putusan semacam itu menjadi kompetensi pengadilan negeri. Apalagi jika putusan forum arbitrase tadi dijatuhkan di luar Indonesia, maka ketika putusan hendak memperoleh pengakuan dan eksekusi di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, terlebih dahulu putusan tersebut harus memperoleh exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.1 Menghadapi kenyataan demikian, suka atau pun tidak, Indonesia harus terus melakukan upaya pembaharuan atas sejumlah perangkat norma hukum formal yang ada. Jika tidak, di masa depan kasus-kasus sengketa komersial yang bakal muncul nuansanya semakin kompleks dibandingkan dengan sengketa di masa lalu. Demikian pula pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak hanya subjek hukum lokal, melainkan pihak-pihak multinasional. Hukum Acara Perdata untuk pengadilan negeri kaidahnya kini sudah sangat tertinggal. Betapa tidak, het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) sebagai perangkat norma hukum formal yang disusun oleh Jhr. Mr. H.L. Wichers, pada tahun 1846 2 untuk beracara di depan Land Raad, harus tetap dipertahankan untuk mampu menjawab sejumlah persoalan yang semakin kompleks pada abad 21 ini. Sungguh aneh bila upaya untuk mengganti het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang telah uzur dengan Undang-undang yang baru tidak pernah dilakukan oleh pemerintah bersama parlemen. Padahal problema penyelesaian sengketa transnasional menghadang di depan mata. Mengadakan kesepakatan bilateral atau meratifikasi berbagai perjanjian internasional multilateral menyangkut hukum acara perdata untuk 1
Lihat Pasal 66 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
2
Disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja, pada tanggal 29 September 1849, dan diumumkan dalam Staatsblad 1849 Nomor 63. Kemudian HIR diubah secara mendalam pada tahun 1941.
76
badan peradilan, adalah tindakan yang amat tepat untuk memberikan suplemen terhadap norma hukum acara perdata peninggalan kolonial itu. Bila tidak, dikhawatirkan suatu ketika HIR tidak lagi mampu menangani persoalan yang muncul. Atas dasar kenyataan semacam itu, maka membuat kesepakatan internasional untuk memperkaya kaidah hukum acara perdata pengadilan negeri, sudah saatnya untuk dipertimbangkan. Persoalannya, menghadapi berlakunya AFTA mendatang saja, setidaknya di kawasan ASEAN harus terjadi harmonisasi antar sistem hukum antar masing-masing negara-negara. Jika tidak, kesulitan demi kesulitan akan dihadapi setiap negara, tatkala tuntutan hak berupa eksekusi putusan yang dijatuhkan di suatu negara tidak dapat dilaksanakan di negara berdaulat lainnya. Keadaan ini tentu saja kurang meguntungkan dari sisi kerjasama ekonomi. Oleh karena itu, model konvensi yang pernah diupayakan untuk negaranegara di kawasan Eropa, sewajarnya bila dipertimbangkan untuk dijadikan model dalam penyusunannya, paling tidak dalam rangka harmonisasi hukum negara-negara di kawasan ASEAN menjelang AFTA berlaku. Beberapa contoh konvensi tersebut diantaranya: Convention relating to Civil Procedure, 1954. (Konvensi tentang hukum acara perdata pada badan peradilan, tahun 1954). Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang penyampaian dokumen resmi badan peradilan kepada para pihak yang berada di luar negeri di dalam perkara perdata dan dagang, tahun 1965). Konvensi ini pada dasarnya merupakan hasil revisi dari Bab pertama Konvensi 1954, yang dilakukan pada Konperensi Den Haag ke 10 tahun 1964.
1
The Hague Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters, 1971. (Konvensi Den
1
Selain diikuti oleh kebanyakan negara civil law, konvensi Service Abroad ini juga telah diratifikasi oleh Amerika Serikat (24-8-1967) dan Kerajaan Inggris (17-11-1967). Oleh karena itu menurut keadaan tanggal 1 September 1985, terdapat kira-kira 20 negara yang telah terikat oleh Konvensi ini, yaitu: Belgia (1970), Cyprus (1983), Chekoslovakia (1982), Denmark (1969), Finlandia (1969), Mesir (1968), Perancis (1972), Jerman Barat (1979), Yunani (1983), Israel (1972), Italia (1981), Jepang (1970), Luxemburg (1975), Belanda (1975), Norwegia (1969), Portugal (1973), Spanyol (penandatanganan 1976), Swedia (1969), Swiss (penandatanganan 1985), dan Turki (1972). Lihat S. Gautama, Op. Cit., hlm. 246.
77
Haag tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Hakim Asing di dalam perkara Perdata dan Dagang, tahun 1971).1 Berdasarkan tujuan pembentukannya, konvensi-konvensi di atas, selain untuk menyeragamkan kaidah-kaidah hukum perdata internasional diantara negara-negara peserta, juga dalam rangka melancarkan hubungan lalu lintas internasional khususnya di dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum perdata dan hukum perniagaan. Hal itu dipandang penting mengingat dalam masyarakat internasional tidak terdapat suatu penguasa yang berwenang menetapkan serta memaksakan ketentuan hukum, seperti halnya dalam suasana nasional. Pada dasarnya upaya mengadaptasikan norma-norma hukum lokal dengan norma-norma hukum masyarakat bangsa-bangsa telah dilakukan di Indonesia semasa Orde Baru. Ratifikasi atas sejumlah norma hukum internasional menjadi hukum positip nasional, telah dilakukan. Upaya pembangunan dan pemulihan ekonomi negara yang dilakukan rezim Orde Baru antara lain dengan jalan mengundang masuknya modal asing. Maka tak terlalu keliru bila dikatakan, sejak Orde Baru itulah era kapitalisme di Indonesia secara formal dimulai. Ditandai oleh pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang secara resmi menjadi instrumen bagi berkiprahnya investasi asing di Indonesia. Menyusul tindakan rezim Orde Baru mengundang investor asing untuk menstimulasi upaya pembangunan ekonomi rakyat Indonesia, mulailah satu demi satu proses nasionalisasi kaidah hukum internasional dilakukan. Menyusul diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA, “Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States” disahkan oleh Pemerintah Indonesia. (‘Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal). Perjanjian internasional ini tergolong paling
1
Konvensi ini menurut D. Kokkini-Iatridou & J.P. Verheul, "... has entered into force between the Netherlands and some other countries but has not become operative since there are as yet no complementary bilateral treaties in the sense of its article 21" ; Maksudnya adalah, bahwa untuk memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan hakim dari sesama negara peserta The Hague Convention tersebut, masih disyaratkan harus adanya perjanjian bilateral diantara negaranegara peserta konvensi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 21 konvensi. Lihat Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters; di dalam: Netherlands Reports to the twelfth International Congress of Comparative Law. Sydney-Melbourne,1986; TMC-Asser Institute-The Hague, 1987, hlm. 004.
78
awal disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui instrumen ratifikasi berupa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968.1 Secara substansial, Undang-undang No. 5 tahun 1968 hanya berisi 5 (lima) pasal. Ini berarti secara materiil, substansi norma yang berisi perintah, larangan, dan lain-lain yang berasal dari konvensi internasional tersebut-lah yang secara utuh diadopsi dan kemudian menjadi bagian dari hukum positip Indonesia. Sementara itu Undang-undang No.5 Tahun 1968 secara formal maupun materiil fungsinya semata-mata merupakan alat untuk mendeklarasikan sikap Pemerintah Indonesia. Dalam konteks nasionalisasi norma-norma hukum internasional, media deklarasi itu tentu saja sangat penting dalam menerima segala hak dan kewajiban serta konsekuensi dari keseluruhan norma-norma hukum yang termuat pada konvensi internasional tersebut. Persoalannya karena norma bersangkutan kelak akan berlaku dan mengikat seluruh rakyat Indonesia. Setelah melampaui satu dasawarsa lebih usia Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing menjadi instrumen pembentukan era kapitalisme di Indonesia, memasuki dekade delapan-puluhan yang lalu, intensitas hubungan niaga antar warga negara asing dengan mitranya dari Indonesia juga secara simultan berlangsung timbal balik. Intensitas hubungan dagang antar mereka tentu saja tidak selamanya mulus tanpa masalah. Munculnya friksi hingga sengketa yang lebih besar diantara para pelaku niaga yang memerlukan penyelesaian, seringkali sulit dihindari. Akibatnya muncul tuntutan baru dari mereka tatkala institusi hukum negara yang bernama pengadilan negeri kurang mampu menjawab harapan percepatan dalam menyelesaikan sengketa komersial diantara mereka. Ketika itu Pemerintah Indonesia kembali dipaksa untuk menjawab tuntutan komunitas pelaku usaha swasta, tatkala sengketa yang muncul diantara mereka enggan diselesaikan lewat pengadilan negeri. Kondisi itu pun kemudian kembali memaksa penguasa negeri ini lagi-lagi untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional multilateral yang dikenal dengan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.”2 Dengan memakai instrumen nasional untuk ratifikasi berupa Keputusan Presiden
1
Sunarjati Hartono. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia; (Disertasi). Bandung: Binacipta, 1972, hlm.122.
2
Dibuat di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959.
79
Nomor 34 tahun 1981,1 akhirnya disahkanlah konvensi di atas, sehingga menjadi bagian dari hukum positip Indonesia. Namun demikian, masalahnya tidak selesai sampai di situ, karena ketika kaidah hukum hasil nasionalisasi itu harus diuji coba dengan munculnya kasus permohonan eksekusi atas putusan arbitrase London, saat itu Mahkamah Agung (MA) RI tampak belum siap menerima kondisi semacam itu. Buktinya sengketa antara Navigation Maritime Bulgare vs PT Nizwar Jakarta, yang diputus oleh forum arbitrase di London, dengan berbagai alasan dan pertimbangan putusan arbitrase itu tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Ketika itu Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.2 MA berpendirian bahwa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981 tentang Pengesahan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” dianggap masih memerlukan peraturan pelaksanaan. Akibatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.3 Cukup lama dan berlarut-larut permasalahan seputar pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia itu. Penyebabnya antara lain sikap dan pendirian MA sendiri yang selalu diliputi keraguan. Bahkan setelah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 19904 dikeluarkan, hampir tidak ada kasus permohonan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia yang dikabulkan. MA selalu bersandar pada persoalan “ketertiban umum”. Hingga tak satu pun putusan arbitrase asing yang dianggap lolos oleh MA dan dianggap tidak bertentangan dengan ketertiban umum Indonesia. Terlepas dari permasalahan pengakuan dan eksekusi dengan berbagai liku-likunya, sisi lain yang menarik dari konvensi yang disahkan dan menjadi kaidah hukum positip ini adalah proses masuk dan diterimanya kaidah 1
Sebagai instrumen untuk mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing) yang telah ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958. KepPres tersebut ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 5 Agustus 1981.
2
Meski PN Jakarta Pusat melalui penetapannya di atas telah mengabulkan permohonan eksekusi atas putusan arbitrase London yang menghukum PT Nizwar di Jakarta untuk membayar jumlah tertentu kepada Navigation Maritime Bulgare, tetapi Mahkamah Agung berpendapat lain.
3
Periksa Putusan MA No. 2944/Pdt/1983, tanggal 29 November 1984; dalam S. Gautama, Op. Cit., hlm. 71.
4
Tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
80
transnasional itu sama sekali tanpa liku-liku, tanpa perdebatan sengit di parlemen. Bahkan melalui proses pengesahan itu seluruh substansi norma yang berasal dari konvensi langsung diterima utuh menjadi bagian dari norma hukum positip Indonesia. Keduanya tergolong kaidah hukum formal, yaitu kaidah hukum yang berisi aturan tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil dengan perantaraan lembaga (baca: pengadilan atau bukan pengadilan) dan proses (baca: beracara). Dalam bidang hukum internasional materiil, Indonesia mengesahkan beberapa konvensi diantaranya seperti berikut ini:
juga
•
Konvensi Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Convention) Nairobi, 1982, dengan instrumen nasional Undang-undang Nomor 11 tahun 1985;
•
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention the Law of the Sea) New York 1982, dengan instrumen nasional Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985;
•
Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency, Washington DC, 1986, dengan instrumen ratifikasi Keputusan Presiden Nomor 31 tahun 1986.
Disimak dari pihak-pihak yang mengadakannya, konvensi di atas tergolong perjanjian multilateral, karena dilakukan antara banyak pihak. Sedangkan berdasarkan substansinya, termasuk kategori “law making treaties”. Karena perjanjian internasional tersebut melahirkan norma hukum internasional baru, sehingga meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidahkaidah hukum bagi masyarakat internasional dalam arti keseluruhan.1 Sementara itu, apabila diamati berdasarkan negara pihak ketiga,2 yakni negara-negara yang tidak turut serta pada perundingan-perundingan ketika melahirkan perjanjian tersebut, tampaknya juga termasuk “law making treaties”. Hal itu disebabkan konvensi semacam itu selalu terbuka bagi pihak lain yang semula tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan masalah-masalah umum yang bersangkut paut dengan semua anggota masyarakat internasional.3
1
Moctar Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 114.
2 Yang dimaksud dengan negara-negara pihak ketiga (third state) dalam kaitan ini adalah negara-negara yang bukan peserta dari suatu perjanjian internasional . Lihat article 2 ayat (1-h) yang menentukan: ‘third state’ means a state not a party to the treaty. 3
Ibid., hlm. 114.
81
Kerjasama Bilateral Bidang Hukum suatu Keniscayaan Seperti telah diutarakan, menghadapi situasi global di abad mendatang penataan dan pembaharuan produk-produk hukum seyogianya dilakukan secara cepat dan tepat. Di samping melakukan kodifikasi perundang-undangan, nasionalisasi berbagai kaidah transnasional melalui pengesahan konvensi internasional, juga yang tak kalah pentingnya adalah melakukan kerjasama bilateral dengan negara-negara tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Mengoptimalkan upaya kerjasama, khususnya dalam bidang hukum di antara negara-negara, terutama di lingkungan anggota ASEAN sebagai komunitas bangsa-bangsa se kawasan tentu merupakan upaya yang sewajarnya untuk dilakukan. Kerjasama tersebut pada gilirannya akan membantu mewujudkan harmonisasi hukum di antara negara-negara anggota ASEAN itu sendiri. Harmonisasi hukum dimaksud dapat digambarkan “sebagai suatu upaya yang dilaksanakan melalui proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN memiliki prinsip serta pengaturan yang sama mengenai masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya”.1 Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan hukum yang diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain.2 Namun realisasi kerjasama hukum untuk mencapai harmonisasi hukum di antara negara-negara anggota ASEAN itu memang tidak mudah. Oleh karena setiap negara anggota ASEAN harus berusaha untuk saling memahami bahwa kesepuluh negara anggota ASEAN itu memiliki perbedaanperbedaan yang mendasar dilihat dari segi latar belakangnya baik sejarah, hukum, maupun budayanya.
1
Lihat Komar Kantaatmadja, “Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN”. Kertas Kerja Pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-negara Asean dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993, hlm. 3-4.
2
E. Saefullah, “Harmonisasi Hukum di antara Negara-Negara Anggota ASEAN”; Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi Antara Negara-Negara ASEAN dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993, hlm. 1.
82
Pluralisme sistem hukum negara-negara di kawasan ASEAN merupakan salah satu kendala dasar. Akibatnya upaya-upaya dan perkembangan yang dicapai oleh organisasi bangsa-bangsa Asia Tenggara ini tidak secerah dan secepat yang dicita-citakan. Terdapatnya prinsip-prinsip yang sama saja sudah merupakan keberhasilan, walaupun pelaksanaan pengaturannya masih bervariasi karena kondisi setempat. Berbagai upaya sebagai tindak lanjut dari sejumlah kesepakatan terus dilakukan. Ini banyak dilakukan juga semasa rezim Orde Baru masih kokoh mengendalikan negeri ini. Diantaranya, pertemuan para Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung se-ASEAN di Bali pada tanggal 11-12 April 1986, adalah salah satu contoh upaya kesefahaman yang telah menghasilkan dokumen ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangament for Cooperation in the Legal Field. Dari pertemuan itu paling tidak telah dicapai tiga aspek kerjasama bidang hukum di antara negara-negara ASEAN. Ketiga aspek tersebut adalah: (i) pertukaran bahan hukum; (ii) kerjasama di bidang peradilan; dan (iii) kerjasama di bidang pendidikan hukum dan penelitian. Sebenarnya aspek kerjasama di bidang peradilan juga telah lama dirintis oleh Indonesia dengan Kerajaan Thailand dalam bentuk perjanjian bilateral. Kerjasama bilateral itu telah dicapai jauh sebelum adanya Dokumen ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangement for Cooperation in the Legal Field of 1986, yang antara lain menghasilkan tiga aspek kerjasama tersebut di atas. Bahkan dengan amat ideal Agreement on Judicial Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand of 1978 ini telah dicanangkan sebagai suatu model bagi kesepakatan berikutnya di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya. Agreement on Judicial Cooperation between the RI and the Kingdom of Thailand of 1978 (Kesefahaman Bilateral yang cukup Monumental yang pernah dilakukan Republik Indonesia) Kerjasama dalam bidang hukum acara perdata atau bidang peradilan yang bersifat multilateral, belum banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, kalau tidak dikatakan tidak pernah ada sama sekali. Namun tanpa mengecilkan arti sebuah kerjasama, pada tingkat regional ASEAN hal itu telah lama dirintis. Dapat disebutkan satu diantara upaya untuk melakukan kesefahaman yang cukup monumental yang pernah dilakukan RI adalah: "Perjanjian Kerjasama di bidang Peradilan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand tahun 1978" ‘(Agreement on Judicial Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand) 1978’.
83
Kesepakatan kerjasama tersebut didasarkan atas ASEAN Concord of 1976 yang ditandatangani di Bali dan merupakan dasar bagi dilakukannya kerjasama dalam bidang hukum antara negara-negara ASEAN.1 Bagi Republik Indonesia, perjanjian kerjasama bilateral dalam bidang peradilan semacam itu merupakan upaya yang pertama kali dirintis di lingkungan negara-negara di kawasan ASEAN bahkan hingga saat ini. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1978 di Bangkok Thailand. Selanjutnya diratifikasi oleh kedua negara. Masing-masing negara diwakili oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Menteri Kehakiman Republik Indonesia) dan Dr. Upadit Pachariyangkun (Minister of Foreign Affairs the Kingdom of Thailand). Dilihat dari luas lingkup materi kerjasama yang disepakati, memang tidak terlalu luas. Bidang cakupannya baru meliputi beberapa hal tertentu saja, yakni menyangkut pemberian dan permintaan bantuan dalam penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta alat-alat bukti perkara perdata oleh pihak Indonesia kepada pengadilan di luar negeri dan sebaliknya. Sejak saat itu pengadilan di Indonesia memiliki kewajiban untuk melayani segala permintaan dari pengadilan di Thailand berkaitan dengan hal bersangkutan. Begitu pula sebaliknya, pengadilan di Thailand memiliki kewajiban yang sama secara bertimbal balik. Tujuan diadakannya perjanjian bilateral tersebut antara lain untuk mempermudah cara penyampaian panggilan dan pemberitahuan resmi dalam perkara perdata yang harus dilakukan apabila pihak yang bersangkutan berada di luar negeri. Di samping itu, perjanjian tersebut diharapkan dapat menjadi suatu model bagi perjanjian-perjanjian berikutnya diantara sesama negara anggota ASEAN lainnya. Oleh karena tercapainya harmonisasi hukum di antara negara-negara anggota ASEAN merupakan harapan setiap anggotanya. Kerjasama semacam itu pada hakekatnya akan mempermudah lalu lintas bidang hukum dan menghapuskan berbagai rintangan yang sering dijumpai di dalam praktik, khususnya dalam bidang peradilan. Pihak-pihak dalam perjanjian, yakni Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyampaian dokumendokumen resmi pengadilan harus dihindari agar tidak melalui saluran
1
Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional.Bandung: Alumni, 1980, hlm. 70. Bandingkan E. Saefullah, Op. Cit., hlm. 3.
84
diplomatik. Oleh karena itu, masing-masing pihak menunjuk suatu badan khusus yang dinamakan Central Authority.1 Badan itulah yang menentukan instansi yang akan mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen pengadilan dan panggilan atau surat permohonan untuk memperoleh bukti-bukti. Instansi tersebut untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman dan untuk Kerajaan Thailand adalah Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.2 Pihak Indonesia dan Thailand juga menyepakati untuk menghilangkan berbagai formalitas serta syarat legalisasi terhadap dokumen yang berasal dari luar negeri yang akan dipergunakan di hadapan pengadilan di dalam negeri.3 Persoalannya adalah, bahwa legalisasi itu seringkali justru menjadi faktor penghambat bagi perolehan dokumen resmi dari luar negeri tersebut. Khusus mengenai syarat legalisasi dokumen, Konferensi Hukum Perdata Internasional Den Haag juga telah menyepakati sebuah Konvensi yang menghapuskan syarat legalisasi. Kemudian syarat legalisasi itu diganti dengan sebuah Apostille, yaitu secarik keterangan yang ditempelkan kepada dokumen bersangkutan.4 Dengan demikian akan dapat dihindarkan segala kewajiban untuk mengadakan legalisasi yang bertele-tele, memakan biaya, dan waktu. Perjanjian kerjasama pun menetapkan bahwa permohonan penyampaian dokumen untuk memperoleh bukti-bukti dibatasi oleh asas ketertiban umum yang berlaku pada masing-masing negara. Artinya, perjanjian itu akan dilaksanakan apabila permohonan penyampaian dokumen untuk memperoleh bukti-bukti itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, atau merugikan kedaulatan atau keamanan negara yang bersangkutan.5 Seberapa jauh pelaksanaan perjanjian ini telah efektif bagi pihakpihak, tentu perlu penelitian yang seksama. Namun, Sudargo Gautama pernah menyatakan bahwa: "... dalam praktik realisasinya masih belum adanya kasus1
Lihat pasal 3 Perjanjian Bilateral RI-Thailand, Tahun 1978.
2
Pasal 3 ayat (2).
3
Pasal 6 ayat (1) menetapkan: "(1) The Authority of the party in which the documents originate shall forward the request to the Authority of the other party without any requirement of legalization or other like formality."
4
Sudargo Gautama, Pemberian dan Permintaan Bantuan dalam Penyampaian Dokumen-dokumen Pengadilan serta Alat-alat Bukti Perkara Perdata oleh pihak Indonesia kepada pengadilan luar negeri dan sebaliknya. Kertas Kerja pada Lokakarya Hukum Acara Perdata, BPHN, 6-7 Desember 1984, hlm. 8.
5
Pasal 15 ayat (1c).
85
kasus konkrit berkenaan dengan pelaksanaan dari persetujuan internasional itu...".1 Kendati demikian, paling tidak perjanjian bilateral ini akan menjadi model bagi terbentuknya Konvensi Kerjasama khusus antara negara-negara di lingkungan ASEAN. Walaupun kenyataannya kerjasama bilateral tersebut masih belum berdaya guna dan berhasil guna, tidak berarti hal itu kurang bermanfaat. Lebih jauh, dalam rangka mengakomodasi kepentingan Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang terhimpun di dalam suatu kawasan atas dasar satu atau beberapa kepentingan yang sama, seperti halnya di dalam ASEAN dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area) kemudian sebagai salah satu negara di kawasan Asia Pasifik dengan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) maka Indonesia perlu mendukung upaya harmonisasi hukum dan unifikasi kaidah hukum melalui berbagai perjanjian internasional semacam di atas. Hal itu diperlukan dengan maksud paling tidak dalam Hukum Perdata ada persamaan-persamaan mendasar yang akan memudahkan pengaturan kemudian segala sesuatu yang menyangkut hal ihwal hubungan perdata dan perdagangan.2 Munculnya sengketa-sengketa perdagangan di antara negara-negara anggota ASEAN dengan adanya AFTA maupun di antara negara-negara anggota APEC, harus diantisipasi sejak dini. Oleh karena sangat besar kemungkinan terjadi suatu sengketa dagang diputus oleh pengadilan di salah satu negara anggota perhimpunan di atas, kemudian putusan tersebut dimintakan untuk dieksekusi pada negara lainnya. Kenyataan serupa itu menuntut adanya kerjasama regional dalam bidang peradilan, khusunya menyangkut pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim asing (recognition and enforcement of foreign judgment).
Penutup Menutup paparan sekaligus menjawab permasalahan di atas, berikut ini ada dua hal yang hendak penulis kemukakan: Pertama, globalisasi bermakna berlangsungnya proses interdependensi negara-negara bangsa satu terhadap yang lainnya. Salah satu indikatornya karakteristik permasalahan yang muncul semakin kompleks. Kompleksitas 1
Sudargo Gautama, “Pemberian Permintaan Bantuan …”. Op. Cit.,. hlm. 3.
2
Lihat Mochtar Kusumaatmadja, “Sambutan Pengarahan dalam Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-Negara Asean dalam rangka AFTA”. Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993; hlm. 4.
86
permasalahan di era globalisasi menjadi suatu keniscayaan negara-negara bangsa untuk diupayakan solusinya. Solusi dimaksudkan setidak-tidaknya untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan. Kalau pun terjadi benturan kepentingan, akibat yang terjadi diupayakan untuk diminimalkan. Langkah bijaksana yang seyogianya ditempuh antara lain melalui kerjasama kesefahaman antar negara-negara dalam berbagai aspek kehidupan. Upaya semacam itu secara konkrit memiliki tujuan akhir berupa kondisi harmonis di antara negera-negara yang saling berinteraksi. Mengingat penataan dan pembaharuan kaidah hukum melalui kodifikasi acapkali dirasakan sangat lamban, maka upaya alternatif pengisian kaidah hukum yang mendesak diperlukan, seyogianya dilakukan dengan cara nasionalisasi terhadap norma-norma hukum transnasional. Upaya itu jelas dikerjakan melalui proses ratifikasi atau pengesahan atas kaidah transnasional, sehingga menjadi bagian dari hukum nasional. Mengapa kodifikasi selalu dituding lamban? Oleh karena disadari betul, bahwa untuk menyusun satu undang-undang saja, selain melibatkan proses yang tidak sederhana, juga harus melampaui tahapan yang amat panjang serta berjenjang. Lagi pula biayanya tentu tidak sedikit. Padahal ketika undangundang tersebut selesai kemudian diundangkan boleh jadi fakta dan tuntutan masyarakat yang dinamis itu sudah sangat berubah dan berbeda. Kedua, seperti telah diutarakan, bahwa upaya untuk melakukan kesefahaman yang cukup monumental yang pernah dilakukan RI adalah: "Perjanjian Kerjasama di bidang Peradilan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand tahun 1978" ‘(Agreement on Judicial Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand) 1978.’ Kerjasama bilateral semacam itu maupun kerjasama multilateral dalam mengantisipasi berbagai problema transnasional seyogianya dilakukan secara terrencana, dalam rangka upaya-upaya penyeragaman pranata hukum lewat kesepakatan antara negara-negara. Sehingga pada gilirannya berbagai kendala dalam menyelesaikan berbagai persoalan disebabkan karena perbedaan sistem hukum, diharapkan akan dapat ditanggulangi. Tindakan ratifikasi untuk mensahkan perjanjian internasional multilateral menjadi hukum nasional maupun pembuatan kesepakatan bilateral diharapkan akan mampu menjadi instrumen harmonisasi hukum di antara negara-negara meskipun berlainan sistem hukumnya.
Daftar Bacaan utama, Sudargo, Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1980.
87
--------------------------, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1983. --------------------------, “Pemberian dan Permintaan Bantuan dalam Penyampaian Dokumen-dokumen Pengadilan serta Alat-alat Bukti Perkara Perdata oleh Pihak Indonesia kepada Pengadilan Luar Negeri dan Sebaliknya”; Kertas Kerja pada Lokakarya Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 6-7 Desember 1984, hlm. 8. Iatridou, D. Kokini et al., “Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters”; di dalam Netherlands Reports to the twelfth International Congress of Comparative Law. Sydney-Melbourne, 1986; TMC Asser Institute, The Hague, 1987. Kantaatmadja, Komar, “Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN”; Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1 Februari 1993. Komar, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bahan Pelajaran Hukum Perjanjian Internasional, FH Unpad, Bandung, 1985. Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978. Kusumohamidjojo, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986. Rahardjo, Satjipto, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan PERSPEKTIF. Volume 2 Nomor 2 Edisi Juli Tahun 1997, halaman [1-10]. Saefullah, E., “Harmonisasi Hukum di antara Negara-Negara anggota ASEAN”; Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-Aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-Negara Anggota ASEAN dalam rangka AFTA. Fakultas Hukum Unpad, 1 Februari 1993. Tsani, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.
88
Beberapa Tips Presentasi Lisan Dalam Bahasa Inggris Pada Forum Internasional1 Francien Herlen Tomasowa Seringkali kita kehilangan percaya diri sewaktu ingin berpartisipasi dalam diskusi tentang bidang ilmu kita. Untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi tentang bidang ilmu kita pada forum yang formal, beberapa kunci disajikan dalam makalah ini.
Pendahuluan Dalam membahas apakah sebuah presentasi berhasil atau tidak, presentasi perlu dilihat dari segi sikap dan keterampilan bahasa penyaji.
I.
Sikap Penyaji
Dalam memikirkan tentang organisasi dan isi dari sebuah presentasi, sangatlah penting untuk membayangkan serta memperagakan “cara” anda akan membawakan presentasi anda dalam bahasa Inggris. Keberhasilan suatu presentasi ilmiah sangat tergantung baik pada penyajinya maupun isi sajiannya. Penyaji yang handal mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan akan apa yang diungkapkannya, ia akan memanfaatkan kontak mata, postur serta suaranya secara optimal. Sebuah presentasi merupakan alat untuk menyampaikan informasi, dan akan memberikan citra positif kepada pendengarnya. Presentasi akan menghasilkan citra positif tentang penyaji, institusi atau perusahaan yang diwakilinya, serta informasi atau berita yang dikomunikasikan. Bagian yang paling menentukan dalam pemberian citra positif tersebut dari suatu presentasi adalah kontak mata, postur dan suara. Suatu presentasi pada dasarnya terdiri dari dua bagian: • •
isi, yaitu apa yang akan disampaikan; serta penyampaian, yaitu cara penyaji membawakan presentasi-nya.
1
2005
Disajikan pada diskusi dengan para dosen muda Universitas Unijoyo Oktober
89
Sayangnya, banyak penyaji cenderung berkonsentrasi pada apa yang mereka akan sampaikan, dan sedikit sekali mempedulikan cara membawakan presentasinya tersebut. Mungkin saja seorang penyaji akan membicarakan suatu hal yang paling menarik di dunia ini, namun tanpa menggunakan komunikasi yang efektif, tanpa kemampuan untuk menyampaikan informasi dengan efektif, pendengarnya takkan mungkin memperhatikan apa yang akan dikemukakannya. Apa yang menjadikan seorang penyaji berhasil? Yang perlu dimiliki seorang penyaji presentasi adalah rasa percaya diri. Orang akan mudah mempercayai seorang penyaji yang tampak percaya diri, yang yakin akan apa yang dikatakannya. Seorang penyaji harus tampak percaya diri di depan pendengarnya. Rasa percaya diri tersebut dapat disalurkan kepada pendengar melalui kontak mata, postur serta suara penyaji.
I.1 Kontak Mata Kontak mata adalah salah satu cara yang dapat digunakan penyaji untuk menjalin suatu hubungan dengan pendengarnya, suatu hubungan sikap percaya. Seorang penyaji yang bukan petutur asli bahasa Inggris mungkin merasa kurang yakin akan kemampuan berbahasa Inggrisnya, dan sebagai kompensasinya ia akan mencoba menghafalkan di luar kepala apa yang akan dipresentasikannya. Cara mengatasi seperti ini perlu dihindari. Mengapa demikian? Presentasi yang merupakan hafalan akan terdengar sangat kaku dan monoton, bagaikan dibawakan oleh sebuah robot, tiada perasaan dalam katakata yang diutarakan. Apalagi jika presentasi tersebut hanya dibacakan tanpa mempedulikan nilai dari kontak mata. Tiga hal utama yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kontak mata adalah persentase, arah, dan kapan. 1.
Persentase. Penyaji perlu 50% melihat ke pendengar dan 50% membaca presentasinya. Ini adalah proporsi yang baik untuk seorang penyaji yang bukan merupakan petutur asli bahasa Inggris. Ini tentunya berarti bahwa naskah yang akan dibaca tersebut harus dibuat agar cukup mudah dibaca oleh penyaji.
2.
Arah. Pandangan mata penyaji harus mampu menyapu semua hadirin, tidak boleh hanya dipusatkan pada satu atau dua orang tertentu saja. Penyaji harus sebanyak mungkin memusatkan pandangannya pada wajah hadirin, dan tidak berusaha melihat ke langit-langit ruangan atau ke luar jendela. Dengan cara ini, semua hadirin akan merasa terlibat dalam apa yang dibicarakan penyaji.
90
3.
Kapan. Kontak mata sangat penting pada awal dan akhir presentasi dilakukan. Yang biasanya diingat oleh siapa saja adalah kesan pertama dan kesan terakhir, dan oleh karenanya, pada saat-saat itulah penyaji perlu berupaya agar hadirin merasa dekat dengan penyaji.
Pendek kata, kontak mata sangat penting, Karena kontak mata melibatkan hadirin dalam apa yang disajikan penyaji dan kontak mata sangat berperan dalam kesan percaya diri yang ditinggalkan pada hadirin. Bagi masyarakat barat, kontak mata menentukan apakah suatu hubungan percaya dapat terbentuk antara dua orang. Olehkarenanya, bagi budaya di mana kontak mata dianggap tabu atau tidak sopan, sebagaimana halnya dalam budayabudaya Asia, mungkin aspek inilah yang merupakan hal tersulit untuk diatasi dalam upaya menyajikan suatu presentasi dalam bahasa Inggris, namun ini termasuk kunci keberhasilan suatu presentasi lisan.
I.2 Postur Setidaknya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan seorang penyaji dalam kaitannya dengan postur yaitu tempat, isyarat, rilek, dan punggung, sebagaimana tersebut berikut ini: •
Tempat. Penyaji sebaiknya berdiri diam di satu tempat tertentu, dan tidak berpindah-pindah tempat sewaktu berbicara;
•
Isyarat fisik. Penyaji sebaiknya tidak menggunakan isyarat fisik sewaktu presentasi, karena dalam budaya barat hal tersebut dianggap tidak sopan ;
•
Rilek. Penyaji sebaiknya tampak tidak tegang sewaktu presentasi; dan
•
Punggung. Penyaji sebaiknya tidak pernah membelakangi hadirin sewaktu menerangkan tentang alat bantu visual yang ditayangkannya.
I.3 Suara Yang sangat perlu diperhatikan sewaktu menggunakan suara adalah berkenaan dengan volume, kecepatan, dan ragam. •
Volume. Dalam hal volume suara, penyaji sebaiknya berbicara cukup keras agar apa yang dikatakannya dapat didengar oleh semua hadirin yang ada. Penyaji perlu mengingat bahwa ia berbicara dengan hadirin, bukan dengan catatannya ataupun alat bantu visualnya.
•
Kecepatan. Berkenaan dengan kecepatan berbicara, penyaji prelu mengetahui bahwa kelemahan dari kebanyakan penyaji adalah bahwa mereka berbicara terlalu cepat. Ini mungkin disebabkan karena mereka gugup. Suatu percakapan yang terlalu cepat sukar dimengerti, dan sebaliknya suatu percakapan yang terlalu lamban akan
91
menidurkan pendengarnya. Suatu kecepatan berbicara dari seorang penyaji yang bukan petutur asli bahasa Inggris adalah sebanyak 90 kata per menit, sedangkan bagi petutur asli kecepatan ini berkisar antara 110 sampai 120 kata per menit. Ini berarti bahwa untuk waktu presentasi 20 menit, seorang penyaji yang bukan petutur asli bahasa Inggris sebaiknya menyiapkan suatu presentasi sepanjang 20 x 90 kata, yaitu 1.800 kata. •
Ragam. Keragaman suara selama presentasi sangat besar manfaatnya. Perubahan kecepatan, volume dan intonasi suara selama presentasi akan memudahkan hadirin mengerti dan akan membuat presentasi tersebut lebih menarik untuk didengarkan.
II. Keterampilan Bahasa Penyaji Dalam mempresentasikan pemikiran kita, kita dapat menggunakan isyarat bahasa untuk memberitahukan kepada hadirin apa yang akan kita katakan. Tabel di bawah ini menyajikan isyarat-isyarat bahasa yang dapat digunakan oleh penyaji dalam menyajikan presenatsinya. No.
Tujuan
1
Penyapaan dalam pembukaan
Isyarat Bahasa Good morning, ladies and gentlemen. Good afternoon, ladies and gentle-men. Good evening, ladies and gentlemen.
2
Memperkenalkan suatu topik bahasan
I’m going to talk about … The aim of this presentation is to … What I’d like to talk about is … I’m going to speak to you about …
3
Memberitahukan adanya kesinambungan
Let’s start with … Let’s first look at … After that … First … The next …
4
Mengacu pada teks atau alat visual
As you can see from the graph, … The graph shows that … The table indicates that … If we look at this transparency on the OHP, ….
5
Mengalihkan topik bahasan
Now, turning to … Now, let’s look at … Now, I’m going to talk about …
92
Now, I’d like to turn to … Now, if I can draw your attention to … I’d now like to refer back to … If I can go back to … 6
Mengakhiri presentasi bahan
Finally, … So, to conclude, … In conclusion, we can say, … Well, that is all I would like to say about …
7
Mengundang pertanyaan dan saran tentang apa yang telah disajikan
If you would like to know more, do not hesitate to ask. I would be very happy to answer any questions about this topic … Any comments, or inquiries?
Sebuah presentasi yang baik selalu terdiri dari tiga bagian utama, yaitu, •
pembuka,
•
inti, dan
•
penutup.
Beberapa penyaji menganggap bahwa hanya bagian inti presentasi sajalah yang penting, dan oleh karenanya mengabaikan bagian pembuka dan penutupnya. Sikap seperti ini tidak dapat dibenarkan. Bagian pembuka adalah bagian dari suatu presentasi di mana hadirin mendapat kesan pertama tentang penyaji presentasi dan isi yang akan disajikan. Bagian penutup adalah bagian dari presentasi yang akan tinggal paling lama dalam benak hadirin. Oleh karenanya, seorang penyaji perlu menaruh perhatian khusus pada bagian pembuka dan bagian penutup dari presentasinya.
II.1 Bagian Pembuka Dalam bagian pembuka presentasi, hadirin mengharap agar penyaji mencakup setidak-tidaknya tiga hal, yaitu: 1. 2.
topik pembicaraan, yaitu apa yang akan dibahas; pokok permasalahan, yaitu mengapa penyaji menganggap topik pembicaraannya penting untuk dibagikan dengan hadirin; dan
93
3.
alur/ kerangka penyajian, yaitu bagaimana urutan penyajian dalam mempresentasikan topik pembicaraan tersebut.
Pendek kata, dalam hal ketiga, penyaji diminta untuk menyiapkan sebuah “peta” agar hadirin dengan mudah dapat mengikuti presentasi tersebut. Di samping ketiga hal ini, penyaji dapat memperkenalkan dirinya dengan singkat dengan menyebutkan namanya, perusahaan/ instansi yang diwakili dan informasi lain yang berkaitan dengan presentasi tersebut. Sebagai contoh, sebuah bagian pembuka presentasi dapat berbunyi sebagai berikut:
Good morning, ladies and gentlemen, I’m Djumilah Zain from the Faculty of Economics, Brawijaya University, Malang.
perkenalan diri
This morning I’m going to describe the forecasts for the empowerment of woman labor in the rural areas of East Java.
topik pembicaraan
Our data show that the empowerment will continue to grow in the areas south of Malang but may level off in the areas north of Malang.
pokok permasalahan
I’ll start by looking at overall figures and then look at the four areas of East Java in turn. Finally, I’ll make recommendations for the empowerment of rural women based on these figures.
alur/ kerangka penyajian
At the end of the presentation there will be time for any questions you have.
II.2 Bagian Penutup Dalam bagian penutup, penyaji perlu menyebutkan keempat hal berikut
ini: 1. 2. 3. 4.
sebuah ringkasan dari topik pembicaraan yang telah dibahas; pengulangan dari pokok permasalahan yang telah disebutkan; pernyataan tentang kegiatan terkait terdekat yang akan dilakukan, dan menutup presentasi secara keseluruhan. Terdapat ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Inggris yang biasa digunakan untuk keempat tujuan tersebut: In summary, I’ve explained … ringkasan topik pembicaraan
In conclusion, I’ve talked about …
pengulangan pokok permasalahan
My main point was …
In conclusion, I’ve shown …
94
I, therefore, recommend … I’ve also explained … kegiatan terkait terdekat
penutupan presentasi
In the next five years we will … Thank you for your attention. Do you have any questions? Thank you for listening. Do you have any questions?
II.3 Bagian Inti Presentasi Pada saat menyajikan bagian inti presentasi, penyaji juga perlu menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu agar hadirin mengerti apa yang sedang dibicarakan. Yang juga sangat penting adalah penggunaan kata-kata penghubung seperti however, atau therefore untuk mempermudah hadirin mengikuti presentasi tersebut. Isyarat bahasa juga dapat digunakan untuk menunjukkan peralihan dalam presentasi tersebut. Coba perhatikan contoh penyajian bagian inti presentasi berikut ini.
presentasi
tujuan isyarat bahasa
First of all, let’s look at a country whose steel industry has changed a lot in recent years, the UK.
Memberitahukan adanya kesinambungan
As you can see from the bar graph, the UK’s steel production stood at 25.3 million tons in 1972. In 1981 this figure was 15.3 million tons, a difference of roughly 10 million tons.
Mengundang unttuk memperhatikan alat bantu visual
Now, if we turn to another large steel producer, France, we can see that the situation is different. French crude steel production in 1972 stood at just over 24 million tons, and the figure for 1981 was only approximately 3 million tons lower.
Memberitahukan adanya kesinambungan
Finally, let’s look at Italy, one of the countries in which production has risen. In 1981, its steel production was 24.8 million tons, in contrast to 19.8 million tons in 1972.
Memberitahukan adanya kesinambungan
In conclusion, we can observe a general fall in production, although this is not true in Italy.
Mengakhiri presentasi inti
95
II.4 Penjabaran tentang kecenderungan Terdapat ungkapan yang biasa digunakan untuk menunjukkan adanya kecenderungan gerakan meningkat atau menurun yang mungkin sangat mencolok ataupun hampir tidak mempengaruhi. Beberapa yang sangta sering digunakan adalah yang tersebut pada table berikut ini. TUJUAN menunjukkan gerakan naik
menunjukkan gerakan turun
Menunjukkan stabilitas dan fluktuasi
UNGKAPAN noun form
verb form
a rise
to rise
an increase
to increase
-
to go up
a climb
to climb
a jump
to jump
noun form
verb form
a fall
to fall
a drop
to drop
a decline
to decline
a decrease
to decrease
to level out, to level off to remain stable to fluctuate to reach a peak d
a
b
c
96
Penyaji juga dapat menggunakan ungkapan penegas ataupun pelemah untuk menerangkan sejauh mana suatu perbedaan/ perubahan terjadi, seperti yang tampak pada tabel di bawah ini. UNGKAPAN
TUJUAN
PENEGAS / PELEMAH fractionally higher
Menggambarkan < 5% beda/perubahan
fractionally lower marginally higher marginally lower
Menggambarkan 5%
10% beda/perubahan
Menggambarkan 10% < 50% beda/perubahan
slightly higher slightly lower somewhat higher somewhat lower considerably higher
Menggambarkan <50% beda/perubahan
considerably lower substantially higher substantially lower a great deal higher/ lower
Menggambarkan > 50% beda/perubahan
far higher/ lower much higher/ lower dramatically higher/ lower
97
II.5 Simbol Matematika Pelafalan dari beberapa symbol matematika dalam bahasa Inggris, adalah sebagai berikut: TANDA
PELAFALAN
3+8
three plus eight
17 – 6
seventeen minus six
8×4
eight times four
6 ÷3
six divided by three three to the power of five
35
three to the fifth power
123
twelve cubed
√7
the square root of seven
3√
the cube root of eight
three raised to the fifth power
8
3 + 7 = 10 A>B C
three plus seven equals ten A is more than B A is greater than B C is less than D C is smaller than D
II.6 Menjawab Pertanyaan Hadirin Bagi banyak pembicara yang bukan petutur asli bahasa Inggris, bagian Tanya-jawab merupakan bagian presentasi yang paling mencekam. Ini tidak boleh terjadi karena pada bagian Tanya-Jawab inilah penyaji mempunyai kesempatan untuk berdialog secara langsung dengan hadirin. Seorang penyaji yang handal akan memanfaatkan bagian ini secara optimal dengan cara selalu fokus pada: • • • •
persiapan; pengendalian diri & forum; pengecekan jawaban terkait; dan penutupan bagian ini.
Cara pertama untuk mempersiapkan diri adalah dengan selalu mengantisipasi macam pertanyaann yang akan ditanyakan. Cara kedua adalah
98
dengan mempresentasikannya terlebih dulu kepada teman-teman, lalu meminta mereka untuk menanyakan pertanyaan. Pengendalian diri sangat penting karena jika seorang penyaji kehilangan kendali, hadirin akan meremehkannya dan mereka akan tidak tertarik lagi pada presentasinya. Cara mengendalikan bagian mengendalikan waktu, bahasa, dan makna.
Tanya-Jawab
adalah
dengan
Beberapa ungkapan yang dapat digunakan untuk mengundang pertanyaan adalah: •
If you have any questions during my talk, please stop me and ask.
•
Please stop me at any time if you have any questions.
•
I’ll be happy to answer any questions you have at the end of my presentation.
•
Before I start, can I ask you to hold any questions you have until the end of my presentation?
Dalam upaya mengendalikan kecepatan bahasa, penyaji dapat mengatakan: •
I’m sorry, could you speak a little slower, please?
•
Please speak a little slower.
•
Could you speak more slowly, please?
Dalam mengendalikan volume, penyaji dapat mengatakan: •
I’m sorry, could you speak a little louder, please?
•
Could you speak louder, please?
•
I’m sorry, we can’t hear you.
Dalam upaya membuat pertanyaan lebih mudah, penyaji dapat mengatakan: •
Could you ask your question more simply, please?
•
I’m sorry, I don’t understand. Could you restate your question, please?
Cara terbaik bagi penyaji untuk mengecek apakah pertanyaan yang diajukan penanya dimengertinya adalah dengan bertanya:
99
•
Is your question … ?
•
Let me make sure I understand your question. Are you asking …?
Setelah penyaji menjawab pertanyaan yang diajukan, ia harus mengecek apakah penanya puas dengan jawaban yang diberikannya. Sebagai contoh adalah; “Does that answer your question?” Ada beberapa ungkapan yang dapat digunakan penyaji sewaktu ia merasa tidak dapat melayani penanya: •
I’m sorry, I’m not permitted to give you that information.
•
I’m sorry, I don’t have that information with me. I can try to get it to you later, if you like.
•
I’m sorry, I don’t have enough time to answer that now, can we talk about it later?
•
I’m sorry, I don’t know the answer to that question at this time.
•
I’m sorry, that information is confidential.
Untuk mengakhiri bagian Tanya-Jawab ini: Sewaktu tiada pertanyaan, penyaji dapat berkata: • If there are no questions, I’ll finish there. Thank you very much. Sewaktu tidak ada pertanyaan lagi, penyaji dapat berkata: • If there are no more questions, I’ll finish there. Thank you very much. Jika waktu tidak mengijinkan lagi untuk menjawab pertanyaan yang diajukan, penyaji dapat berkata: • I’m afraid that’s all the time we have. Thank you. •
I’m sorry to say that we’ve run out of time. Thank you.
100
Kesimpulan Dapat disimpulkan di sini bahwa agar presentasi yang dilakukan berhasil dengan baik, penyaji sebaiknya: •
Menyediakan cukup waktu untuk rencana, penulisan, pengeditan dan penulisan ulang;
•
Menyediakan cukup waktu untuk memperagakan;
•
Membatasi jumlah informasi yang akan disajikan;
•
Mengetahui sebanyak mungkin tentang pendengar sebelum presentasi berlangsung. Mengetahui sejauhmana pengetahuan mereka tentang topik pembicaraan dan apakah mereka tertarik pada topik tersebut;
•
Yakin bahwa naskah mudah digunakan: sebaiknya menggunakan kartu indeks, jangan menggunakan buku catatan ataupun lembar-lembar kertas;
•
Memeriksa keadaan alat bantu penyajian seperti OHP, dan apakah slide atau peta yang digunakan sudah berada dalam susunan yang benar;
•
Menyapu pandangan kepada sebanyak mungkin hadirin;
•
Berbicara dengan jelas dan tidak terlalu cepat;
•
Beristirahat selama lima atau sepuluh menayangkan suatu alat bantu visual;
•
Memberi waktu kepada hadirin untuk membaca sebelum melanjutkan pembicaraan;
•
Sadar waktu, karena hadirin bosan jika pembicaraan terlalu lama;
•
Menggunakan bagian Tanya-Jawab sebagai kesempatan untuk memberi informasi ekstra tentang topik pembicaraan; dan
•
Rilek.
menit
setelah
Penyaji jangan sekali-kali: •
Minta maaf untuk kemampuan bahasa Inggrisnya, karena petutur asli akan malah menganggap bahwa penyaji menyombongkan dirinya;
101
•
Melihat/ memandang ke langit-langit ruangan, ke lantai ataupun ke luar jendela;
•
Menghafalkan presentasinya;
•
Memainkan pointer, kunci atau rantai sewaktu menyajikan presentasi; dan
•
Melambai-lambaikan kertas atau kartu dalam usaha membuat isyarat fisik sewaktu presentasi.
Daftar Pustaka Butt, David, 1989 Living with English Book One. Hornsby: Literacy technologies Pty Ltd , Australia Doherty, M., Knapp, L., Swift, S. 1989 Write for Business: Skills for Effective Report Writing in English Essex: Longman Group UK Limited. Hewings, M. 1999. Advanced Grammar in Use, With Answers. Cambridge: Cambridge University Press Kerridge, David , 1988. Presenting Facts and Figures Longman Group UK Limited Martin, J. 1985. Teaching Factual Writing: A Genre Based Approach, Metropolitan East DSP – Language and Social Power Project (unpublished) O’Connor, M. and Woodford, FP 1979 Writing Scientific Papers in English, London: Pitman Medical Publishing Co Ltd Readers Digest, 1989. How to Write and Speak Better. Surry Hills: Reader’s Digest (Australia) Pty Ltd. Schor, S. and Fishman, J. 1981. The Random House Guide to Writing (Second Edition), New York: Random House Tomasowa, Francien Herlen, 2003. Oral Presentation: Seminar. Penerbitan FPUB. ISBN 979-508-507-7
Malang: Lembaga
Troyka, Lynn Quitman 1990 Handbook for Writers ,New Jersey: Prentice Hall
102
Kapita selekta pembelajaran Bahasa Inggris anak usia sekolah dasar1 Francien Herlen Tomasowa Mata pelajaran bahasa Inggris merupakan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan dasar yang berlaku. Pembelajaran bahasa Inggris pada tingkat pendidikan ini ditujukan sebagai pembekalan untuk pembelajaran bahasa Inggris di pendidikan lanjutan. Dalam tulisan ini penulis ingin menekankan betapa pentingnya peran pengajar dalam meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Inggris di tingkat pendidikan dasar.
Pendahuluan Pendidikan di Indonesia sampai beberapa dekade mendatang ditujukan pada pembentukan sumber daya manusia yang profesional, termasuk di dalamnya penguasaan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, akan membantu dalam mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang ada. Untuk dapat meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD), perlu terlebih dulu dilihat isu apa saja yang terkait dalam pembelajaran bahasa Inggris itu sendiri. Isu-isu yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah status, tujuan, kurikulum, metode pengajaran, bahan, dan pengajar.
Pembahasan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, keenam isu yang diperlukan tersebut dibahas secara berurutan berikut ini. Status. Status pembelajaran bahasa Inggris dapat dilihat dari segi kedudukannya dalam komunikasi sosial-formal, kurikulum SD, serta perannya di mata siswa dan orangtua murid. Sebagai suatu bahasa asing, bahasa Inggris di Indonesia hanya diajarkan secara formal di bangku sekolah. Bahasa Inggris tidak digunakan untuk keperluan komunikasi sosial maupun formal. Ini berbeda dengan bahasa Inggris di Hongkong, Singapura dan Filipina. Di sana bahasa Inggris tidak hanya 1
Disampaikan pada Lokakarya tentang “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Bahasa Inggris Anak Usia Sekolah Dasar” Senin, 26 September 2005 di Universitas Trunojoyo.
103
digunakan di bangku sekolah, tetapi bahasa Inggris juga digunakan untuk komunikasi sosial maupun formal. Keterbatasan lingkungan linguistik ini membatasi pembelajar dalam kesempatan untuk belajar bahasa Inggris lisan yang diperlukan dalam komunikasi secara lisan. Bagaimana statusnya dalam kurikulum SD yang berlaku? Mata pelajaran bahasa Inggris tidak diwajibkan pada tingkat pendidikan dasar. Jika sekolah merasa bahwa mata pelajaran bahasa Inggris penting bagi anak didiknya di kemudian hari, maka mata pelajaran ini boleh dimasukkan dalam kurikulum sekolah tersebut. Jadi dalam hal ini tampak pentingnya peran sekolah dalam menentukan apakah bahasa Inggris dimuat dalam kurikulumnya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Nuril Huda pada tahun 1990 (Nuril Huda,1999) ternyata bahwa kebanyakan responden orangtua murid (83,7%) mewajibkan anak mereka untuk mengikuti kursus bahasa Inggris di luar jam sekolah, dengan keyakinan bahwa dengan penguasaan bahasa Inggris yang baik anak mereka akan mendapatkan pekerjaan yang baik di kemudian hari. Sebagian besar (55,6%) dari responden siswa yang mengikuti kursus bahasa Inggris di luar jam sekolah yakin bahwa dengan menguasai bahasa Inggris dengan baik mereka akan dapat melanjutkan studi mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Melihat status pembelajaran bahasa Inggris dari berbagai segi tersebut dapat disimpulkan bahwa harapan para orangtua murid dan siswa dalam keterbatasan lingkungan linguistik yang tidak mendukung perlu mendapat perhatian serius. Karena terbatasnya dukungan dari lingkungan linguistiknya, maka sebaiknya pembelajaran bahasa Inggris dimulai sejak dini, yaitu sejak masih anak-anak. Secara formal, bahasa Inggris sebaiknya diajarkan pada tingkat SD mengingat bahwa semakin muda seseorang memulai belajar sesuatu hal, semakin baiklah hasil yang dapat diharapkan. Walaupun belum disepakati tentang periode kritis dalam proses pembelajaran bahasa, para ahli bahasa sepakat bahwa lebih mudah bagi seorang anak daripada seorang dewasa untuk belajar suatu bahasa asing dengan baik. Tujuan. Pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD harus dapat menunjang pembelajaran di tingkat SLTP nantinya (Retmono, 1992, Nuril 1999). Jika ditujukan untuk mendukung pembelajaran bahasa Inggris di SLTP, maka tujuan pembelajarannya harus seiring dengan tujuan pembelajaran bahasa Inggris di SLTP. Tujuan pendidikan bahasa Inggris di SLTP adalah untuk mengembangkan keterampilan mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Oleh karenanya, pendidikan bahasa Inggris di tingkat SD harus juga difokuskan pada pengembangan keempat keterampilan bahasa tersebut. Masalahnya kemudian adalah sejauh manakah keterampilan berbahasa tersebut harus dikembangkan. Mengingat bahwa bagi mayoritas siswa SD,
104
bahasa Indonesia, paling tidak, merupakan bahasa kedua mereka, dan mereka baru mulai diperkenalkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka pembelajaran bahasa Inggris sebaiknya jangan mengganggu proses pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Inggris di SD sebaiknya hanya bertujuan untuk memperkenalkan siswa dengan bahasa Inggris, membuat mereka merasa tidak asing lagi dan mau belajar bahasa Inggris lebih jauh. Kurikulum. Kurikulum pendidikan dasar terdiri dari muatan nasional, muatan lokal dan muatan pengayaan. Muatan nasional berisikan bahan minimal yang wajib diperlukan oleh semua sekolah dan siswa di Indonesia. Muatan lokal bersifat pilihan karena tergantung apakah sesuai dengan kebutuhan lokal dari sekolah yang bersangkutan. Sedangkan muatan pengayaan adalah bahan yang dipersiapkan bagi siswa yang telah dapat mencapai atau memenuhi persyaratan minimal yang telah ditetapkan menurut muatan nasional yang ada. Karena pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD termasuk sebagai muatan lokal saja, maka sifatnya hanya pilihan, tidak wajib. Masalahnya sekarang adalah jika sudah terpilih oleh sekolah untuk dimasukkan kurikulum yang ada, bagaimana usaha sekolah tersebut untuk menjaga kualitas pembelajarannya, agar tujuan instruksionalnya tercapai. Metode Pengajaran. Di dalam pelaksanaannya, pembelajaran bahasa Inggris memerlukan pendekatan kebermaknaan (Silabus Bahasa Inggris 1994), suatu pendekatan yang sebenarnya mengandung sejumlah sifat dari pendekatan komunikatif. Pendekatan kebermaknaan tidak mengharuskan bahasa Inggris sebagai satu-satunya bahasa pengantar; bahasa Indonesia juga dapat digunakan jika dianggap perlu untuk mencapai tujuan topik pembelajaran tersebut. Perbedaan dalam kemampuan belajar bahasa, pengetahuan bahasa, latar belakang budaya, cara belajar, sikap terhadap bahasa tersebut, bahasa ibu, intelegensi, pengetahuan umum, pengalaman belajar, pengetahuan tentang bahasa lain, usia, gender, kepribadian, percaya diri, motivasi, minat dan/atau tingkat pendidikan merupakan hal-hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses pembelajaran bahasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa tiap siswa mempunyai caranya sendiri untuk belajar, dan mempunyai kecepatannya sendiri untuk berkembang. Deniz alli – Çopur (2005) mengatakan heterogenitas pembelajar bahasa biasanya merupakan kendala dalam hal efektifnya pembelajaran, bahan ajar, partisipasi, minat dan disiplin siswa. Walau sulit bagi pengajar untuk mengenali tiap siswanya dengan seksama, dan mengikuti apa yang dilakukan masing-masing siswa selama proses pembelajaran bahasa Inggris dalam kelas sekecil apapun, pengajar tetap berkewajiban untuk memonitor tiap siswanya agar proses pembelajaran tersebut efektif.
105
Untuk mengatasi masalah-masalah karena heterogenitas tersebut di atas, maka pengajar dapat melakukan hal-hal berikut: 1.
pengajaran harus bersifat menarik dalam segala hal, harus dapat menjangkau semua cara belajar dan semua tingkat intelegensi siswa. Visualisasi selalu berguna bagi pembelajar segala umur. Penggunaan kapur atau spidol papan berwarna akan sangat berguna. Pengajar dapat menggunakan alat bantu visual untuk menarik perhatian siswa, karena seringkali siswa yang paling pasif sekalipun dapat tertarik pada poster yang berwarna-warni,
2.
pengajar perlu mempersiapkan rencana tambahan untuk mengantisipasi siswa yang menyelesaikan tugasnya lebih awal dari yang lainnya. Bahan tambahan tersebut dapat berupa suatu latihan tambahan, atau suatu bacaan. Pengajar harus jeli untuk menentukan latihan tambahan apa yang sesuai dengan topik ajaran hari tersebut,
3.
berkenaan dengan kegiatan-dalam-kelas, tidak semua siswa harus mengerjakan tugas yang sama. Kepada mahasiswa diberikan kebebasan mengerjakan tugas yang mana sesuai dengan topik ajaran hari tersebut. Mereka yang cepat selesai biasanya akan mengerjakan semua tugas sedangkan mereka yang lamban akan mengerjakan sebagian saja. Pengajar perlu yakin bahwa bahan tersebut telah sesuai dengan tujuan pembelajarannya. Siswa dapat diberi tugas yang berbeda sesuai dengan perkembangan atau minat bahasanya,
4.
pengajar sebaiknya memberikan pertanyaan/ tugas terbuka seperti menyelesaikan sebuah cerita atau kalimat. Ini adalah untuk menampung keterbatasan siswa dalam mengutarakan pendapatnya sendiri dengan lebh leluasa,
5.
pengajar perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan ataupun pengalaman mereka walaupun mereka mungkin kurang dalam hal percaya diri atau penguasaan bahasa. Melalui personalisasi tugas yaitu memberi tugas yang sesuai dengan sifat siswa, diharapkan bahwa tugas tersebut akan lebih menarik dan siswa lebih terdorong untuk menggunakan semua yang telah dikuasainya,
6.
pengajar menggunakan permainan, kompetisi dan dramatisasi, karena siswa biasanya menyukainya. Kegiatan semacam ini dapat menjaga minat siswa selama proses pembelajaran tersebut,
7.
kegiatan kelompok/ pasangan berguna tidak saja bagi pengajar dalam mengamati siswanya tetapi juga bagi siswa untuk bekerjasama dan belajar dari sesamanya. Jika siswa yang lebih kuat bekerja dengan yang lebih lemah, siswa tersebut bisa menjadi sumber bahasa atau pengetahuan dalam kelompok tersebut. Pengajar dapat membentuk kelompok berbeda untuk
106
siswa yang lebih lemah dan untuk siswa yang lebih kuat, dan memberi tugas yang berbeda sesuai kemampuan siswanya, 8.
pekerjaan rumah ekstra membantu pengajar asalkan tugas tersebut menyenangkan siswa. Olehkarenanya, tugas tersebut sebaiknya ada yang bersifat tugas perorangan maupun yang bersifat tugas kelompok,
9.
portofolio juga dapat digunakan. Baik pengajar maupun siswa sebaiknya mengumpulkan semua hasil pembelajaran mereka selama periode pembelajaran tersebut,
10. pusat belajar mandiri/ self-access center dapat meningkatkan kemampuan siswa, karena siswa dapat menggunakan pusat tersebut dalam waktu luang mereka untuk belajar mandiri. Siswa tersebut dapat belajar bersama temannya atau bersama tutor. Tujuan utama dari diadakannya pusat semacam itu adalah agar siswa dibiasakan untuk menentukan sendiri apa yang akan dipelajarinya, dan 11. komputer dapat juga dimanfaatkan pengajar, namun perlu diingat bahwa komputer hanya merupakan alat bantu dan tidak merupakan hasil akhir dari proses pembelajaran tersebut. Selain solusi bagi masalah heterogenitas di atas, pengajar juga dapat memanfaatkan beberapa kiat yang diajukan Holy Andrews (2005) yaitu bahwa sebaiknya: 1.
pengajarlah yang memulai menjalin hubungan dengan siswanya,
2.
insiden yang terjadi sewaktu mengajar digunakan sebagai momen yang baik untuk mengajar,
3.
beban kognitif para siswa dikurangi,
4.
fokus tidak hanya pada perkembangan otak tapi juga memperhatikan perut siswa,
5.
siswa disambut agar merasa nyaman dalam kelas,
6.
komunikasi dengan siswa menggunakan kecepatan yang sedang, dan penyampaian yang jelas dan secara langsung,
7.
pengulangan bahan lampau dilakukan sebelum beranjak ke bahan yang baru, dan
8.
harus pandai beranimasi.
Pendeknya, pengajar harus berusaha agar siswa merasa tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran bahasa Inggris tersebut.
107
Bahan. Kebanyakan buku ajar bahasa Inggris yang tersedia di pasar dirancang untuk lingkungan kelas homogen yang ideal. Padahal tiap siswa bereaksi terhadap buku ajarnya dengan caranya sendiri. Beberapa akan menganggap buku tersebut mudah dan menarik, sedangkan lainnya mungkin menganggapnya membosankan dan sulit ditangkap. Karena dewasa ini bahan biasanya berdasarkan silabus muatan atau silabus tematik, beberapa siswa mungkin menganggapnya membosankan, aneh atau tak bermakna. Oleh karenanya, pengajar perlu mengevaluasi dan menyesuaikan bahan ajarnya dengan mengetahui benar karakteristik siswanya. Menentukan bahan apa yang akan digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD mungkin merupakan hal yang paling sulit: apakah harus sama ataukah berbeda dengan yang digunakan di tingkat SLTP? Kalau sama, maka ada kemungkinan bahwa siswa SLTP yang sewaktu SDnya sudah mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris nantinya bosan karena terjadi pengulangan materi. Kalau berbeda, pertanyaan yang muncul adalah sejauhmana perbedaan tersebut. Apakah bahan di tingkat SD dan di tingkat SLTP berbeda dalam hal •
tingkat,
•
keterampilan bahasa yang dikembangkan, ataukah
•
fungsi bahasa dan kosakata.
Dilihat dari segi tingkat, baik bagi tingkat SD maupun tingkat SLTP, pengajaran bahasa Inggris adalah pada tingkat awal. Keterampilan bahasa yang dikembangkan dapat berbeda. Pada tingkat SD ditekankan keterampilan auraloral sedangkan pada tingkat SLTP ditekankan keterampilan aural-oral dan membaca. Fungsi bahasa dan kosakata sebaiknya berkisar pada benda dan halhal yang nyata dalam lingkungan sekitar. Untuk menghindari adanya pengulangan bahan, memang sebaiknya dirancang kurikulum bahasa Inggris untuk SD dan SLTP sekaligus, hal-hal yang akan merupakan bagian dari kurikulum SD maupun yang tidak akan termasuk dalam kurikulum SD. Pengajar. Berkaitan dengan pengajar yang bertugas dalam pembelajaran bahasa Inggris, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, guru SD tidak dipersiapkan untuk mengajar mata pelajaran bahasa Inggris di SD. Pendidikan bahasa Inggris tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan guru SD. Mereka dipersiapkan untuk menjadi guru kelas dengan tanggung jawab dapat mengajar semua mata pelajaran, kecuali pendidikan agama dan olahraga. Kedua, pengajar di SD dapat dibagi menjadi guru kelas dan guru mata pelajaran. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan, guru kelas atau guru mata pelajaran yang ditugaskan sebagai pengajar bahasa Inggris. Jika guru
108
kelas diberi tugas mengajar bahasa Inggris, maka padanya perlu diberikan pelatihan. Dan inipun tidak mudah dilaksanakan. Pelatihan singkat tidak akan berguna karena pembelajaran bahasa asing membutuhkan waktu yang tidak singkat dan perhatian yang khusus. Kemungkinan kedua adalah guru mata pelajaran, sukarelawan dan guru kursus privat (Huda,1999). Guru mata pelajaran yang pernah mengikuti pelatihan TEFL (pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing) akan merupakan solusi yang baik. Pendeknya, pengajaran bahasa Inggris sebaiknya dilaksanakan oleh pengajar yang profesional, mungkin sudah saatnya SD mempekerjakan guru bantu untuk mata pelajaran bahasa Inggris.
Kesimpulan Walaupun pembelajaran bahasa Inggris di tingkat Sekolah Dasar bersifat pilihan, tidak wajib, namun jika SD sudah memasukkan mata pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulum sekolahnya, maka pembelajarannya perlu dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tujuan instruksional dapat tercapai dengan memuaskan. Di antara keenam isu yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD, jelaslah bahwa pengajarlah yang paling menentukan keberhasilan pembelajaran kontekstual tersebut.
Daftar Bacaan Holy Andrews. 2005. Tips for Teaching ESL Beginners and Pre-Literate Adults dalam The Internet TESL Journal, vol. XI, No.8 August 2005. http://iteslj.org/ Kasihani, S. Rachmajanti. Bayumedia.
2003.
Let’s Communicate in English Book 2.
Malang:
Kelly, A.V. 1978. Mixed Ability Grouping. London: Harper & Row Publishers. Nuril Huda. 1999. Language Learning and Teaching: Issues and Trends. IKIP Malang.
Malang:
Prodomou, L. 1989. The mixed-ability class and the bad language learner, dalam English Teaching Forum, 27/4, 2-8. Retmono.
1992. Pengajaran bahasa Inggris di Sekolah Dasar di Indonesia: Asumsi Dasar, Kemungkinan Pelaksanaan dan Kendala-Kendalanya. Pidato pengukuhan sebagai Profesor. Semarang: IKIP Semarang.
R. Ybarra, T. Green. 2003. Using Technology to Help ESL/ EFL Students Develop Language Skills, dalam The Internet TESL Journal, vol. IX No.3, March 2003. http://iteslj.org/ alli – Çopur, Deniz. 2005. Coping with the Problems of Mixed Ability Classes, dalam The Internet TESL Journal, vol.XI, No.8 August 2005. http://iteslj.org/
109
Penjaminan mutu sebagai langkah awal untuk pengembangan program studi1 Susijahadi Pendahuluan Penjaminan mutu program studi sebetulnya merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan stakeholder, berupa kebutuhan kemasyarakatan, dunia kerja, serta kebutuhan professional dalam rangka untuk menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing tinggi dalam dunia kerja. Dengan demikian lulusan tersebut akan mampu beradaptasi dan bersaing dengan lulusan dari manapun, baik secara nasional maupun internasional. Pada prinsipnya penjaminan mutu tersebut adalah suatu konsep yang akan dilakukan, dengan terlebih dahulu menetapkan butir-butir mutu sebagai acuan. Beberapa butir mutu yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Perguruan Tinggi meliputi input mahasiswa, sarana dan prasarana, sistim informasi yang digunakan, sistim penganggaran, menejemen lembaga dan tata pamong.
Input mahasiswa Ada beberapa parameter yang terkait dengan input mahasiswa seperti sistem rekrutmen, kondisi akademik dan juga pelayanan mahasiswa seperti bantuan tutorial dan bimbingan karir. beberapa cara yang dipergunakan untuk merekrut mahasiswa seperti melalui jalur SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru), dan PSB (penelusuran siswa berprestasi). Agar supaya proses pembelajaran di suatu program studi terjamin kelangsungannya maka supaya diperhatikan juga keberlanjutan penerimaan mahasiswa. Apapun cara yang ditempuh oleh suatu program studi yang perlu dipertimbangkan adalah keberlanjutan input mahasiswa, sehingga akan terjamin kelangsungan proses belajar mahasiswa disuatu program studi. Tidak kalah penting untuk selalu diperhatikan agar supaya adanya keberlanjutan input mahasiswa, sehingga program studi beserta dosen dan tenaga pendukung dapat melayani mahasiswa secara optimal. Hal ini penting untuk ditekankan karena tanpa adanya 1
Disampaikan pada acara Pelatihan Pengembangan dan Peningkatan Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo, Sebagai Pelaksanaan Program SP-4, Saptu 17 September 2005.
110
pelayanan yang baik, maka proses belajar mengajar akan mengalami hambatan sehinga kurang menarik lagi bagi para calon mahasiswa.
Proses Pembelajaran Proses pembelajaran meliputi misi pembelajaran, mengajar, belajar dan penilaian kemajuan serta keberhasilan belajar. Misi pembelajaran menyangkut bagaimana pengembangan atau pelatihan kompetensi yang diharapkan, serta efisiensi baik internal maupun eksternal. Mengajar yang perlu diperhatikan diantaranya kesesuaian srategi dan metode dengan tujuan, materi dengan tujuan mata kuliah dan penggunaan teknologi informasi. Belajar perlu dilihat bagaimanaa keterlibatan mahasiswa, dan peluang bagi mahaiswa untuk dapat mngembangkan pengetahuan dan pemahamaan materi khusus sesuai bidangnya, pemahaman dan pemanfaatan kemampuan sendiri serta kemampuan belajar mandiri. Penilaian kemajuan dan keberhasilan belajar perlu dicermati apakah ada peraturan yang mengatur penilaian kemajuan dan penyelesaian studi mahasiswa, strategi dan metode penilaian kemajuan dan keberhasilan mahasiswa, serta penelaahan kepuasan mahasiswa.
Suasana Akademik Suasana akademik yang terkait dengan penjaminan mutu meliputi ketersediaan sarana untuk memelihara terjadinya interaksi dosen dengan mahasiswa, baik didalam maupun diluar kampus, dan penciptaan suatu iklim yang kondusif untuk mendorong perkembangan dan kegiatan akademik atau profesional. Selanjutnya perlu dikaji juga mutu dan kuantitas interaksi kegiatan akademik dosen, mahasiswa dan sivitas akademika lainnya. Keikutsertaan sivitas akademika dalam kegiatan akademik seperti seminar, simposium, diskusi dan eksidisi dikampus, serta pengembangan kepribadian ilmiah sangat diperlukandalam rangka menciptakan suasana akademik yang kondusip.
Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang terkait dengan penjaminan mutu didalam proses belajar mengajar meliputi tenaga dosen dan tenaga pendukung yang berupa tenaga administrasi dan teknisi. Agar sumber daya manusia memiliki kualitas yang bagus maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya sistem rekrutmen yang dilakukan, pengelolaan bagi dosen dan tenaga pendudung, profil tenaga dosen dan pendukung yang meliputi mutu, kualifikasi, pengalaman, dan ketersediaan. Agar supaya proses belajar mengajar berlangsung baik maka sistem recruitment supaya betul-betul dilaksanakan berdasarkan pada kebutuhan dan dipilih tenaga yang betul-betul mau dan dapat bekerja dengan baik. Untuk inilah maka dari pihak pemakai langsung perlu dilibatkan dalam pelaksanaan rekrutmen tenaga.
111
Karir akademik dosen meliputi hasil-hasil penelitian dan publikasi baik dalam jurnal, mupun proseding seminar juga harus diperhatikan. Para dosen seyogyanya didorong untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya baik melalui jurnal ilmiah maupun melalui seminar ilmiah dalam organisasi profesi, sehingga akhirnya hasil penelitiannya dapat dimuat dalam prosiding.Baik tenaga dosen maupun pendukung perlu diperhatikan adanya kode etik, peraturan kerja, pengembangan staf serta keberlanjutan didalam pengadaan dan pemanfaatan tenaga tersebut. Kode etik dan peraturan kerja sangat penting untuk melatih kedisiplinan serta memberi contoh yang baik terutama kepada mahsiswa.
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana pendukung proses pembelajaran yang perlu diperhatikan diataranya adalah sistem pengelolaan, pemanfaatan, pemeliharaan, ketersediaan, kualitas yang baik tentang ruang kuliah, laboratorium maupun perpustakaan, dan fasilitas komputer dan pendukung pembelajaran maupun penelitian, kesesuaian dan kecukupan, keberlajutan dalam pengadaan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Tanpa adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadahi dengan sendirinya akan sulit proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Agar dosen dapat mengajar yang baik tentunya perlu didukung dengan media pembelajaran yang memadahi seperti OHP dan OHT, LCD dan lain-lainnya.
Komunikasi Agar komunikasi dapat berjalan dengan baik, maka baik komunikasi antar dosen, lembaga dengan dosen, maupun dosen dengan para mahasiswa harus ditumbuhkan, selain itu perlu perlu adanya rancangan pengembangn sistem informasi, kecukupan dan kesesuain sumber daya, sarana dan prasarana untuk komunikasi, efisiensi dan efekifitas pemanfaaatan sisem informasi yang ada serta ada atau tidaknya sistem informasi melalui intranet dan internet. Dalam era teknologi informasi saat ini penyediaan teknologi informasi melalui jaringan internet sangat diperlukan, oleh karena dengan jaringan internet ini maka baik dosen maupun masiswa dapat mencari informasi perkembangan ilmu yang ada diluar.
Sumber Dana Agar supaya proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, maka perlu adanya kepastian sumber dana yang akan digunakan, sistem alokasinya, pengelolaan dan akuntabilitas, serta adanya jaminan keberlanjutan didalam pengadaan maupun dalam pemanfaatannya. Dengan kondisi keuangan pemerintah saat ini perlu digali sumber dana dari masyarakat, melalui
112
kerjasama dengan memungkinkan.
instansi
terkait
maupun
masyarakat
lain
yang
Tata Pamong Didalam tata pamong perlu diperhatikan bagaimana struktur dan suasana organisasi yang ada, personil yang mengisi struktur organisasi tersebut, beserta fungsi dan tugas pokoknya, sistem kepemimpinan, dan pengalihan serta akuntabilitas pelaksanaan tugas, partisipasi sivitas akademika dalam pengembangan kebijaksanaan, serta pengelolaan dan kordinasi pelaksanaan program, perencanaan program jangka pendek, jangka panjang dan monitoring pelaksanaan sesuai dengan visi, misi, sasaran dan tujuan program.
Pengelolaan Program Pengelolaan program untuk suatu program studi dapat dilihat dari adanya efisiensi dan efektifitas kepemimpinan, pelaksanaan evaluasi program yang sudah dicanangkan, dan pelacakan lulusan perlu ditanyakan pula apakah program studi sudah melakukan perencanaan dan pengembangan program dengan berbekal pada hasil evaluasi internal maupun eksternal. Selanjutnya perlu dilihat juga apakah program studi sudah melakukan kerjasama dan kemitraan, evaluasi dampak dari hasil evaluasi program terhadap pengalaman dan mutu pembelajaran mahasiswa. Agar dapat diketahui seberapa tingkat efisiensi dan efektifitas di dalam pengelolaan program studi, maka ditetapkannya target yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu oleh program studi. Karena dengan adanya target ini akan dapat diketahui dampak dari pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mencapai suatu tujuan.
Daftar Bacaan Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Pedoman Evaluasi Diri Program Studi. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Panduan Penyusunan Proposal Program HibahKompetisi Tahun 2006. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.
113
Perspektif agribisnis dan agroindustri dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat
1
Susijahadi Pendahuluan Dalam era otonomi saat ini, pemerintah telah bertekad untuk menempatkan pengembangan wawasan agribisnis pada posisi sentral di dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Dengan mengantisipasi perubahan eksternal maupun internal, tekad tersebut telah dituangkan secara sangat jelas di dalam suatu Visi Pembangunan Pertanian, yang dirumuskan sebagai pertanian modern yang tangguh dan efisien. Dengan demikian, tekad untuk mengejawantahkan pertanian modern berwawasan agribisnis merupakan wujud ideal pertanian yang akan menjadi ciri pada era mendatang. Kerangka pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis tersebut pada dasarnya mempunyai tujuan ganda, antara lain (a) menarik dan mendorong sektor pertanian; (b) menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan fleksibel; (c) menciptakan nilai tambah; (d) meningkatkan penerimaan devisa; (e) menciptakan lapangan kerja; dan (f) meningkatkan pendapatan para petani. Oleh karena itu, strategi pembangunan sektor pertanian pada masa mendatang harus dikaitkan dengan strategi pengembangan industri pertanian yang dapat dikembangkan di pedesaan, dan karenanya harus diprioritaskan pertumbuhan industri pertanian yang mampu menangkap efek ganda bagi pedesaan. Dengan demikian, perlu didorong mekanisme keterkaitan antara pembangunan pertanian dengan pembangunan industri dan jasa. Pada prinsipnya pengertian agribisnis adalah merupakan usaha komersial (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan pertanian tersebut. Bidang-bidang yang berkaitan itu adalah sbb: 1) usaha produksi dan distribusi alat-alat/mesin pertanian, sarana produksi pertanian dan input pertanian lainnya (agroindustri hulu), 2) pengolahan dan
1
Disampaikan pada Seminar dan Muswil DPW IV POPMASEPI (Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, dan Irian Jaya) Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMAGRI) Fakultas Pertanian Keluarga Mahasiswa Universitas Trunojoyo Bangkalan, Jumat, 30 September 2005.
114
manufakturing hasil pertanian serta pemasarannya (agroindustri hilir), 3) kegiatan penunjang seperti penyediaan kredit, asuransi pertanian, pelatihan, konsultasi dan transportasi. Pengertian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Davis & Goldberg, dalam bukunya A Conception of Agribusiness tahun 1957. Dia mendefinisikan agribisnis sebagai penjumlahan semua kegiatan yang berkecimpung dalam pabrik dan distribusi alat-alat maupun bahan untuk pertanian, kegiatan produksi pertanian, pengolahan, penyimpanan dan distribusi komoditas pertanian atau barang-barang yang dihasilkan (Masyhuri, 2002). Agribisnis sebagai suatu system dapat dibagi menjadi beberapa subsistem yaitu subsistem input pertanian, usaha pertanian, pengolahan, pemasaran dan penunjang. Subsistem usahatani atau pertanian sering disebut on farm sedang subsistem lainnya disebut off-farm. Dalam perekonomian Indonesia, agribisnis mempunyai peranan yang sangat penting sehingga mempunyai nilai strategis. Hal ini disebakan karena 1) mayoritas rumah tangga penduduk Indonesia yang mengusahakan agribisnis dan mayoritas angkatan kerja yang bekerja di bidang agribisnis, 2) agribisnis menyumbang pendapatan nasional terbesar, 3) kandungan impor dalam usaha agribisnis rendah, 4) agribisnis sebagai salah satu sumber devisa, karena sebagian besar devisa dari non migas berasal dari agribisnis, 5) kegiatan agribisnis lebih bersifat ramah terhadap lingkungan, 6) agribisnis off farm merupakan indunstri yang lebih mudah diakses oleh petani dalam rangka trasformasi struktural, 7) agribisnis merupakan kegiatan usaha penghasil makanan pokok dan kebutuhan lainnya. 8) agribisnis bersifat labor intensive 9) mempunyai efek multiplier yang tinggi. Disamping itu, agribisnis merupakan tumpuan utama dalam pemulihan ekonomi dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Berdasarkan visi tersebut, telah pula dirumuskan misi pembangunan pertanian, yang penuangannya adalah upaya-upaya untuk (a) melaksanakan pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis, (b) memanfaatkan sumberdaya pertanian secara optimal, (c) meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaan, dan (d) menciptakan kondisi yang menjamin pembangunan pertanian berkelanjutan. Tekad tersebut tentu menuntut segala kemampuan sumberdaya yang ada, baik infrastruktur, kelembagaan maupun sumber daya manusia (SDM)nya, untuk dapat menciptakan iklim yang kondusif, agar mampu sebagai pendorong menuju kepada visi yang telah ditetapkan di atas. Dengan perkataan lain, penciptaan iklim yang kondusif untuk merangsang pengembangan wawasan agribisnis pada hakekatnya merupakan dukungan agar kendalakendala yang masih melekat pada sektor tersebut dapat segera diatasi. Jika dilihat secara umum, banyak kendala yang masih melekat di dalam upaya pengembangan wawasan agribisnis, yaitu antara lain skala usaha di dalam sistem produksi yang relatif sangat kecil, kurangnya pengetahuan
115
terhadap perilaku pasar, kuantitas dan kualitas baik produk maupun bahan baku serta permasalahan di dalam pembentukan modal yang dirasakan masih sangat terbatas, kelembagaan pendukung dalam pengembangan agribisnis, dan masih banyak lainnya. Semua kendala tersebut jika dilihat dari sisi pengembangan agribisnis tidak dapat disangkal merupakan inti dari masih lemahnya “daya saing” bidang ini dibandingkan dengan bidang lainnya. Berkaitan dengan kondisi serta arah yang telah ditetapkan di atas, tekad untuk mencapai harapan di dalam pengembangan wawasan agribisnis mutlak memerlukan keterampilan di dalam berbagai segi, baik produksi, pemasaran, pengolahan, permodalan, distribusi maupun aspek-aspek yang berkaitan dengan rekayasa-rekayasa baik manajemen, maupun teknologi informasi dan institusi. Ini semua pada prinsipnya berkaitan dengan aspekaspek sentral dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian. Dengan perkataan lain, input intelectual dalam kandungan sumberdaya manusia merupakan faktor kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang kompetitif dalam membangun agribisnis tersebut. Ini semua merupakan landasan dalam kaitannya untuk memampukan penyediaan teknologi yang tepat, mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya alam yang berkeunggulan serta menumbuhkan iklim penunjang yang kondusif di dalam rangka mencapai keberhasilan pengembangan agribisnis.
Perspektif agribisnis dan agroindustri Untuk melihat perspektif agribisnis dapat dilihat dari kecenderungan permintaan produk agribisnis dan kemampuan menghasilkan serta mengolah produk tersebut. Permintaan produk agribisnis dapat dilihat dari pasar domestik dan internasional. Sebagai negara dengan jumlah penduduk sebesar lebih dari 200 juta, terbesar di dunia nomor 4, Indonesia merupakan pasar potensial produk agribisnis. Jumlah penduduk ini akan semakin besar lagi karena pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi. Sebagai negara yang berpenghasilan rendah, sebagian besar konsumsinya adalah makanan. Disamping itu setelah mengalami krisis beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mulai bangkit lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sudah positif. Dengan demikian akan terjadi kenaikan pendapatan per kapita. Kenaikan pendapatan ini akan meningkatkan permintaan produk agribisnis. Namun dengan adanya liberalisasi perdagangan dunia akan semakin meningkatkan produk impor masuk Indonesia misalnya buah-buahan dan bersaing dengan produk agribisnis Indonesia. Ini kalau tidak diantisipasi dengan baik akan mengurangi peluang di pasar domestik. Di pasar internasional, dengan semakin terbukanya perdagangan dunia akan meningkatkan pasar internasional produk-produk agribisnis. Pada tahun 2003, perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara sudah diberlakukan (AFTA = Asia Pacific Economic Cooperation) dan di tingkat dunia sesuai
116
dengan kesepakatan GATT ( General Agreement on Tariff and Trade) secara bertahap akan diberlakukan tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Dengan liberalisasi perdagangan internasional, proteksi terhadap semua usaha produksi dikurangi termasuk produk agribisnis, sehingga beberapa negara terutama negara pengimpor produk agribisnis akan semakin mengembangkan usaha non-agribisnis. Dengan demikian produksi agribisnis semakin menurun, sehingga import produk agribisnis semakin meningkat. Ini terjadi di negara tetangga seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dll. Ditambah lagi dengan adanya kenaikan pendapatan warganya akan meningkatkan permintaan produk agribisnis yang tergolong barang normal dan mewah atau yang mempunyai elastisitas pendapatan positif. Di samping itu dengan dikuranginya tarif dan non-tarif barier akan memperkecil margin pemasaran internasional. Dengan semakin rendahnya margin pemasaran internasional akan mengurangi harga di negara pengimpor tanpa harus menurunkan harga produk agribisnis di negara eksportir dan bahkan bisa meningkatkan harga produk yang diterima produsen di negara eksportir. Keadaan ini akan meningkatkan harga produk yang diterima produsen di negara eksportir dan ini akan meningkatkan lagi kebutuhan impor produk agribisnis dari negara-negara lain. Kalau peluang ini bisa dimanfaatkan, berarti prospek agribisnis Indonesia akan cerah. Namun demikian karena kemudahan dan liberalisasi perdagangan ini juga akan dinikmati oleh semua negara, maka akan ada persaingan yang semakin tinggi antar negara. Jadi peluang ini akan dapat terealisir atau tidak tergantung kemampuan pelaku ekonomi Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara lain. Karena disamping kebebasan itu terdapat juga persyaratan-persyaratan internasional yang tidak mudah untuk dipenuhi. Misalnya keharusan mencantumkan kandungan mineral atau zat yang ada dalam produk, ecolabelling, HACCP dll. Sudah banyak kasus bahwa ekspor produk Indonesia ke Amerika, Jepang dan Eropa harus diuji kembali oleh laboratorium yang diakui oleh negara tersebut dan bahkan ada yang ditolak sama sekali. Pengujian kembali akan sangat merugikan karena disamping menambah biaya juga akan mengurangi kualitas produk atau meningkatkan kerusakan sebagai akibat terlalu lama di perjalanan menuju pembeli di luar negeri. Dari sisi kemampuan menghasilkan produk agribisnis, Indonesia mempunyai sumber daya yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari lahan yang luas dan subur, sumber daya perairan dan kelautan yang potensial, sumberdaya manusia (SDM) yang jumlahnya cukup besar dan mempunyai pengalaman dalam mengembangkan agribisnis, keadaan iklim yang cocok untuk pertanian dalam mendukung kegiatan agribisnis. Ditambah lagi dengan banyaknya lembaga-lembaga penelitian pertanian. Indonesia mempunyai peluang
117
mengembangkan kelapa sawit, kelapa, karet dan coklat menjadi salah satu produsen terbesar di dunia pada komoditas tersebut. Krisis moneter yang dimulai tahun 1998 dengan adanya devaluasi mata uang rupiah dari Rp 2.400/$ menjadi Rp Rp 10.250/$ sekarang, sebenarnya semakin meningkatkan keunggulan kompetitif produk agribisnis, lebih-lebih untuk produk yang di ekspor ke luar negeri. Untuk produk yang diekspor, dengan devaluasi rupiah, maka meningkatkan nilai jual dalam rupiah. Untuk produk substitusi impor, dengan devaluasi rupiah berarti harga impor produk menjadi semakin mahal, sehingga produk substitusi impor tersebut semakin kompetitif. Beberapa perusahaan dan petani yang mengusahakan perkebunan dan perikanan menikmati devaluasi tersebut, tetapi sayang penegakaan hukum yang belum baik dan adanya krisis ekonomi serta bencana alam memperburuk atau meniadakan keuntungan tersebut. Teknologi yang secara potensi dapat menyebar luas tetapi masih banyak petani yang menggunakan teknologi rendah. Ini menunjukan adanya peluang mengembangkan teknologi maju dalam pengembangan agribisnis misalnya pembibitan dengan tissue culture, penggunaan rumah kaca, mekanisasi dan mengolah produk menjadi bahan jadi. Tingkat penggunaan benih bermutu yang masih rendah, membuka peluang industri perbenihan. Penggunaan benih yang bermutu akan mepermudah pengawasan kualitas produk akhir agroindustri dan pencapaian skala ekonomi industri tersebut. Produk eksport Indonesia kebanyakan masih berupa produk pertanian mentah. Seperti CPO kelapa sawit, biji kopi, biji coklat, teh hitam, karet, ikan, produk kehutanan dll. Produk tersebut dapat merupakan bahan baku yang murah bagi agroindustri hilir. Dengan demikian untuk pengembangan agroindustri hilir sudah tersedia bahan baku yang berlimpah dan relatif murah. Untuk dapat meningkatkan pendapatan petani dan devisa negara, maka sebaiknya diusahakan mengolah produk-produk pertanian menjadi bahan jadi atau setengah jadi. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah sumberdaya manusia yang ada masih perlu ditingkatkan.
Strategi Alternatif Banyak teori yang mampu menjelaskan kepada kita tentang manfaat dari pengembangan SDM melalui berbagai pendidikan terhadap perkembangan ekonomi dan produktivitas kerja. Walaupun dengan landasan pemikiran yang berbeda, Teori Fungsionalism (Burton Clark, 1962), Teori Human Capital (Theodore Schultz, 1961) dan Teori Empirisme (Blau & Duncan, 1967) pada hakekatnya memandang bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu bentuk investasi SDM. Landasan pemikiran teori-teori tersebut pada dasarnya menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana
118
bentuk-bentuk kapital lainnya (teknologi, mesin, tanah, uang, dan sebagainya) yang sangat menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Dengan demikian, titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas tenaga kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, dan semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Melalui investasi di bidang SDM tersebut, seseorang dapat memperluas alternatif untuk memilih profesi, pekerjaan atau kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat lebih mensejahterakan hidupnya. SDM semacam itu dapat diaplikasikan melalui berbagai bentuk investasi, diantaranya pendidikan sekolah (formal), pendidikan luar sekolah (pelatihan, dan sebagainya), pengalaman kerja, kesehatan dan gizi, dan sebagainya. Meningkatnya sarana usaha dan investasi pada sektor pertanian pada masa lalu diyakini telah membawa implikasi bertambahnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja baik di bidang usaha pertanian secara langsung maupun usaha penunjang yang terkait. Namun demikian, nampaknya masih terdapat permasalahan utama mengenai sumberdaya manusia di samping permasalahan lainnya seperti teknologi, permodalan, dan peraturan perundangannya. Permasalahan ini tentu bermuara pada mutlaknya keperluan dukungan SDM bagi pengembangan agribisnis baik dari segi jumlah, kualitas maupun disiplin ilmu. Rendahnya tingkat pendidikan pelaku agribisnis cenderung menghambat proses alih teknologi dan keterampilan yang berdampak pada kemampuan manajemen dan skala usahanya, yang mengakibatkan mereka sulit untuk keluar dari lingkaran permasalahan yang dihadapi tanpa adanya bantuan dari luar. Walau demikian melalui program yang dijalankan pemerintah selama ini terhadap pengembangan sumberdaya manusia telah terjadi perubahan meskipun masih jauh dari yang diharapkan. Dampak dari rendahnya jumlah dan kualitas SDM sektor pertanian menjalar di setiap segmen agribisnis. Pada usaha budidaya, petani kita umumnya masih berpendidikan rendah lagi terbatas. Hal ini mengakibatkan kurangnya kemampuan manajemen, prasarana dan teknologi, kurang lancarnya penyerapan informasi dan teknologi dan pada gilirannya kemampuan jangkauan wawasan yang terbatas. Pada usaha budidaya tertentu masih mengalami kendala yang sama, sehingga kesempatan (opportunitas) investasi banyak dimanfaatkan oleh pemodal asing. Situasi dan kondisi ini menuntut perbaikan tenaga baik kualitas maupun jumlahnya. Sedangkan pada segmen agroindustri atau pasca panen, secara umum masih memerlukan tenaga yang profesional, ditinjau dari masih rendahnya kualitas hasil produksi yang dipanen dan dipasarkan serta masih seringnya produk kita ditolak atau ditahan oleh negara-negara importir dengan alasan kualitas. Salah satu contoh di subsektor perikanan adalah dimasukkannya sebagian produk kita kedalam Block List USFDA untuk masuk
119
ke Amerika. Contoh yang lain lagi yaitu eksport biji kakao kita di Amerika dianggap sub standar, sehingga dikenakan biaya untuk meningkatkan kualitas ratusan dolar dalam setiap ton-nya. Permasalahan lain adalah kuantitas dan distribusi aparat pembuat kebijaksanaan, pembina dan pelayan serta penyuluh pada masing-masing Direktorat Teknis baik yang berada di daerah-daerah dengan status Pegawai Negeri Sipil Pusat, yang dipekerjakan dan yang diperbantukan masih sangat terbatas dan belum merata pada setiap unit kerja. Berdasarkan struktur pendidikan yang ada, menunjukkan gambaran piramida yang sangat melebar ke bawah dan menyempit keatas akan tetapi tidak meruncing, hal ini tercermin dari relatif sedikit jumlah tenaga mempunyai pendidikan tinggi. Implikasi dari masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam pengembangan agribisnis adalah kurang lancarnya adopsi teknologi sampai ke tingkat lokalita (tingkatan petani dan nelayan) sehingga tidak cepat memanfaatkan teknologi dan kurang tinggi fleksibilitasnya dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian dari signal pasar. Peranan sumberdaya manusia dalam menunjang pengembangan agribisnis dengan demikian memegang posisi sangat sentral, baik sebagai pelaku utama kegiatan maupun sebagai pembuat kebijaksanaan, pembina dan pelayan maupun para pelaku kegiatan di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan pengembangan sumberdaya manusia agribisnis secara terpadu dan berkesinambungan yang menyangkut keseluruhan struktur masyarakat agribisnis di atas.
Reorientasi Proses Transformasi SDM Agribisnis Pertanian adalah karya manusia dalam memanfaatkan biota, sumberdaya lingkungan dan iptek untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya yang sejahtera. Berangkat dari batasan ini pertanian terwujud melalui proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang spesifik lokalita. Karena ikan hidup di air tentu saja perikanan berkembang sebagai hasil interaksi yang melembaga antara manusia (komunitas masyarakat) dengan basis ekologi lahan berair dan/atau perairan. Perkembangan sejarah menghasilkan eksistensi 3 corak pertanian/perikanan, yaitu yang berwawasan tradisi, hobi dan industri. Agribisnis adalah pertanian/perikanan yang berwawasan industri. Ditinjau dari dimensi waktu, kita menyaksikan kasus adanya hubungan genesis antara pertanian tradisional dengan pertanian industrial (maju) yang berlangsung dalam suatu proses transformasi sistemik karena berubahnya paradigma berusahatani maupun perubahan iptek dan manajerial maupun spasial serta struktural. Proses inilah yang kita acu dalam membangun pertanian kita sampai dengan saat ini.
120
Dengan demikian agribisnis dapat kita bangun melalui proses transformasi pertanian tradisional yang sudah ada, maupun melalui membangun perusahaan pertanian baru yang secara khusus dirancang bangun dan direkayasa menurut kaidah dan paradigma pembangunan industri. Terkait dengan itu maka karya membangun SDM pertanian juga secara katagoristik perlu disesuaikan dengan sifat pembangunan sistem agribisnis itu. Dengan demikian dipandang sangat perlu ditarik bidang pembeda antara karya membangun sumberdaya yang mengacu kepada proses tranformasi dengan yang mengacu kepada bangunan agribisnis khusus. Dari pengalaman membangun pertanian padi untuk mencapai dan melestarikan swasembada, terlihat bahwa karya membangun SDM itu berspektrum luas sehingga mencakup keseluruhan pelaku masyarakat agribisnis, yaitu aparatur pemerintah, masyarakat/pedesaan, masyarakat profesi, masyarakat dunia usaha dan masyarakat dunia iptek. Semua antar masyarakat pertanian (masyarakat agribisnis) perlu melakoni proses perubahan perilaku yang relevan dengan kebutuhan sistem agribisnis padi yang baru. Semua itu berlangsung melalui proses belajar yang menjadi asas bekerjanya karya penyuluh pertanian, ialah asas “learning by doing”. Dalam karya membangun SDM yang mengacu kepada proses transformasi ini, lembaga pendidikan formal menunjukkan relevansi melalui penyediaan alumninya yang bekerja pada aparatur pemerintah, dunia usaha dan lembaga iptek, dan tidak banyak yang terserap sebagai petani maupun masyarakat profesi. Pengalaman dari agribisnis (perusahaan besar) perkebunan dan juga perusahaan besar perikanan, sebagai kasus bangunan agribisnis industrial yang dirancang bangun khusus untuk menjadi satu unit usaha peraih nilai tambah, menunjukkan bahwa SDM yang tersedia pada masyarakat pencari kerja tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan mereka akan tenaga terampil/profesional maupun managerial yang diperlukan oleh perusahaan. Sistem learning by doing pun belum cukup berkembang, meskipun akhir-akhir ini sudah mulai berkembang gerakan nasional untuk meningkatkan mutu terpadu (dengan sistem Gugus Kendali Mutu/GKM atau Total Quality Control/TQC). Yang banyak terjadi dalam dunia agribisnis industrial adalah transfer teknologi dan manajemen melalui penempatan tenaga luar (asing). Dalam dunia perkebunan patut disebut secara khusus peranan dari Lembaga Pendidikan Perkebunan (LP2) di Yogyakarta, yang merupakan lembaga khusus dari perusahaanperusahaan perkebunan (BUMN) untuk meningkatkan kemampuan dan mutu SDM-nya. Mengacu kepada antisipasi pembangunan pertanian berwawasan agribisnis, yang menggariskan strategi pengembangan agribisnis terpadu, maka karya membangun SDM itu perlu dirancang sesuai dengan arahan itu, yaitu harus ada keterpaduan antara perusahaan pertanian besar dengan usahatani rakyat (keluarga). Ini berarti adanya perubahan paradigma, yang
121
menyebabkan perangkat lembaga pembangunan SDM yang ada sampai sekarang perlu dirakit ulang sesuai dengan acuannya. Proses learning by doing harus kita tampilkan dalam wajah baru yang lebih sesuai dengan sistem agribisnis terpadu. Penyiapan tenaga profesional harus dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan spesifik sistem agribisnis lokalita demi lokalita. Dalam dunia agribisnis, pengalaman dan aset kelembagaan Bimas bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan petani, aparatur pedesaan dan pemerintah dalam mengembangkan agribisnis mina padi yang prospeknya cukup cerah. Perlu dirancang strategi pengembangan agribisnis untuk basis ekologi (sawah, lahan kering, pantai dan basis ekologi kelautan), yang daripadanya bisa dirancang strategi membangun SDM yang relevan dengan kebutuhannya. Dalam pada itu, bahwa katagorisasi menurut genesis dari lahirnya agribisnis seperti pada budidaya tanaman dapat dirujuk sehingga dapat dikembangkan perangkat pembangunan SDM melalui proses transformasi dan asas learning by doing, disamping karya peningkatan SDM melalui pendidikan dan pelatihan formal.
Sistem Pendidikan dan Pelatihan Agribisnis Pengembangan sumberdaya manusia diarahkan untuk menciptakan manusia Indonesia yang maju dan mandiri agar mampu menunjang upaya pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pendapatan masyarakat yang merata. Pengembangan sumberdaya manusia di tingkat pedesaan meletakkan manusia sebagai insan sekaligus sebagai sumberdaya pembangunan. Mereka perlu dibina untuk menjadi tenaga kerja yang profesional yang mampu bertindak sebagai elemen pembangunan yang mampu mengambil keputusan dan memanfaatkan setiap peluang untuk meningkatkan pendapatannya. Dalam menopang upaya tersebut di atas maka sangatlah perlu menciptakan suatu sistem pelatihan, penataran dan penyuluhan sebagai upaya transfer of agribusiness knowledge yang dapat mempercepat alur proses pemerataan di tingkat petani. Sistem pelatihan agribisnis merupakan salah satu pilihan yang dapat digunakan untuk mengejawantahkan tujuan tersebut dan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan belajar mengajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta/petani serta usaha guna merubah pola pikir mereka untuk berwawasan agribisnis. Tujuan akhir dari perubahan pola pikir ini adalah upaya untuk meningkatkan pendapatan/nilai tambah petani, perubahan pola agribisnis tradisional/ konvensional menjadi sistem yang berorientasi pasar serta menciptakan motivator-motivator baru di tingkat petani di wilayahnya. Dalam mengupayakan pelaksanaan sistem pelatihan tersebut, pada umumnya kegiatan pelatihan perlu melibatkan beberapa instansi terkait. Materi
122
yang biasanya digunakan oleh petugas perlu diarahkan kepada pengembangan pola-pola agribisnis yang digerakkan oleh berbagai instansi baik antara peneliti, penyuluh, instansi terkait, kelompok tani, petugas Pemda dan pengusaha. Dalam hal ini, pengembangan program pelatihan/penataran agribisnis perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, sehingga setiap identifikasi masalah, identifikasi potensi wilayah, pemilihan potensi/masalah untuk dipecahkan, penyajian tugas-tugas pelatihan, serta penyajian perencanaan pekerjaan dapat ditindaklanjuti dengan baik. Perluasan dan pendalaman pola pelatihan pada dasarnya mengarah pada wawasan agribisnis tersebut, mempunyai berbagai konsekuensi. Dalam kaitan ini, masalah-masalah penting yang menjadi simpul kritis yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan pola pembinaan yang berwawasan agribisnis, mencakup persoalan : (a) Mutu, yang terkait erat dengan dengan masalah-masalah standardisasi dan akreditasi, (b) Pasar, yang terkait dengan masalah informasi pasar dan inefisiensi rantai tata-niaga, (c) Iklim Investasi, yang terkait dengan masalah suku bunga, pajak dan hal-hal yang menyangkut lingkungan dan agroekosistem, serta (d) Dualisme, yang terkait erat dengan masalah-masalah kemitraan dalam hubungannya dengan kebersamaan manfaat. Bentuk pola pembinaan masyarakat agribisnis petani yang mengarah pada penerapan wawasan agribisnis selain pola PIR adalah sistem magang dan sistem pencangkokan manajer. Dalam hal ini, peran swasta akan semakin menonjol dalam menempatkan fungsinya sebagai pentransfer manajemen dan teknologi yang efektif melalui pengembangan pola-pola kemitraan. Beberapa pola kemitraan yang saat ini berkembang dapat dicontohkan adalah contract farming. Pola pembinaan manajemen dan teknologi terapan berwawasan agribisnis yang saat ini nampaknya cukup prospektif untuk dikembangkan adalah bentuk kerjasama dalam suatu kelembagaan seperti Pusat Inkubator Agribisnis maupun Pusat Pengkajian Agribisnis ataupun seperti lembagai informasi website. Institusi tersebut biasanya merupakan suatu lembaga yang bersifat non-profit dan disponsori oleh pemerintah atau swasta berfungsi melakukan bimbingan dan pengawasan fasilitas dengan biaya murah, bantuan teknik dan manajemen, penggunaan jasa bersama dengan biaya murah dan kesempatan belajar dari wiraswasta-wiraswasta lain. Faktor positif daripadanya adalah dapat memberikan aspek keamanan bagi para pengusaha pemula dan lemah (juga koperasi) atau yang baru belajar beragribisnis, sehingga pada tahap awal mereka dapat memfokuskan perhatiannya pada produk tidak perlu memikirkan mekanisme pasar dari pelaksanaan suatu bisnis.
123
Beberapa contoh pembinaan instrumentasi yang diperlukan misalnya : a.
Substansi Manajemen Mutu atau Kualitas
Pembinaan standardisasi dan akreditasi diperlukan guna menunjang upaya perbaikan mutu hasil-hasil pertanian agar mampu memenuhi tuntutan konsumen dan persaingan pasar. Pengembangan standardisasi dan akreditasi yang mendukung perbaikan kualitas antara lain dapat melalui : 1. Pembakuan standar dan sistemnya; 2. Perbaikan sistem produksi (pra-panen); 3. Perbaikan sistem panen; 4. Perbaikan sistem pasca panen, termasuk penanganan, pengalengan, pengemasan dan penyimpanan yang mengacu kepada prinsip-prinsip Good Manufacturing Practice dan Total Quality Control; 5. Akreditasi laboratorium/lembaga penelitian; 6. Pengawasan mutu yang dapat dilakukan melalui pengujian acak secara rutin oleh lembaga yang berwenang; 7. Peningkatan kesadaran konsumen akan arti penting nilai kualitas; 8. Pengembangan sistem insentif dan penalti yang jelas pada industri yang mematuhi atau melanggar ketentuan standar, termasuk ketentuan tentang pembuangan/pengendalian limbah yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. b. Substansi Manajemen Pemasaran Perbaikan sistem pemasaran perlu diarahkan pada terbentuknya mekanisme penentuan harga yang adil, yang pada gilirannya akan menyangkut pembagian keuntungan yang layak bagi produsen dan pelaku pemasaran. Kebijaksanaan yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut adalah (1) meningkatkan posisi petani dalam proses pembentukan harga melalui pembinaan asosiasi produsen termasuk koperasi dan penyempurnaan pelayanan informasi pasar di semua tingkat pasar ; (2) mendorong terciptanya struktur pasar yang lebih kompetitif dengan cara mengurangi terciptanya struktur pasar yang monopolistik ataupun monopsonistik; (3) menciptakan pusat-pusat produksi berdasarkan asas skala ekonomi pada lokasi sehamparan dan mengaitkannya langsung dengan usaha agroindustri; (4) menurunkan biaya pemasaran dengan mengupayakan terwujudnya prasarana pemasaran dan sarana
124
transportasi umum yang lebih efisien dan mampu mencapai pusat-pusat produksi di pedesaan ; (5) menciptakan kemudahan dalam proses perjalanan alur komoditas dari produsen kepada konsumen, termasuk merangsang tumbuhnya industri/fasilitas penyimpanan, pengemasan dan transportasi yang memadai; (6) pembatasan perdagangan yang bukan tarif dihilangkan secara bertahap dan tingkat tarifpun diperkecil. Untuk meningkatkan cakupan daerah pemasaran, kebijaksanaan perluasan pasar hasil pertanian dan agroindustri diarahkan untuk: (1) menyediakan fasilitas dan sarana promosi yang dapat dilakukan perorangan ataupun asosiasi pengusaha; (2) memperbaharui produk-produk lokal yang sudah diterima masyarakat maupun menciptakan produk baru yang mempunyai potensi pemasaran; (3) memperluas dan mempermudah jaringan transportasi antar pulau dan antar negara; dan (4) mengembangkan sistem penyidikan dan informasi pasar yang kuat baik untuk pasar domestik ataupun pasar internasional (Market Intelligence dan Market Information). c. Substansi Rekayasa Kelembagaan Upaya peningkatan keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri melalui percepatan pengembangan agroindustri dan pengintegrasiannya ke sektor pertanian. Dengan terjadinya peningkatan kaitan antara sektor pertanian dengan sub sektor agroindustri melalui integrasi fungsional, diharapkan tata nilai dan norma industri akan terdifusi ke kelembagaan pertanian. Dalam hubungannya dengan hal tersebut perlu adanya rekayasa kelembagaan pertanian pada tingkat desa sehingga diharapkan terjadi percepatan rekayasa kelembagaan pertanian dalam mengimbangi kecepatan tumbuh dan berkembangnya agroindustri, terutama dalam menangkap signalsignal pasar. Keperluan inilah yang seringkali kita sebut dengan rancang bangun atau arsitektur agribisnis pedesaan. Selain itu, kelembagaan pertanian dapat menyediakan bahan mentah dalam kuantitas, kualitas, kualifikasi dan waktu yang sesuai dengan permintaan pasar (agroindustri). Pada gilirannya, kelembagaan pertanian diharapkan akan dapat melakukan redistribusi manfaat ekonomi yang timbul sebagai akibat peningkatan efisiensi dan peningkatan kaitan fungsional dengan agroindustri sehingga akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat. d. Substansi Manajemen Usaha Berwawasan Lingkungan Kegiatan investasi baik yang bersumber dari modal asing maupun dalam negeri dalam kegiatan produktif sektor pertanian merupakan bagian dari upaya pembangunan pertanian yang akan terus didorong secara intensif. Orientasi yang seharusnya ditempuh adalah meneruskan upaya penyempurnaan dalam berbagai kemudahan dalam bidang perijinan maupun dalam penyediaan prasarana.
125
Dalam pada itu, orientasi pengembangan agribisnis harus tetap didudukkan pada kerangka pembangunan pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa orientasi harus tetap berlandaskan pada wawasan agroekosistem. Lebih lanjut, pembangunan agribisnis dilaksanakan dengan pendekatan berwawasan lingkungan, artinya kegiatan pertanian disamping memanfaatkan sumberdaya tetapi juga sekaligus melestarikan dan kalau mungkin meningkatkan produktivitasnya. Bersamaan dengan itu upaya-upaya pengendalian pencemaran lingkungan akibat sampingan dari kegiatan pertanian terus diupayakan agar dampak negatifnya dapat diminimalkan dan kelestaraian lingkungan hidup dapat dipertahankan. Berkaitan dengan itu, upaya-upaya yang berkaitan dengan memberikan insentif investasi bagi sektor swasta akan selalu dikaitkan dengan upaya-upaya melestarikan lingkungan.
Penutup Uraian tentang perspektif kewirausahaan di bidang pertanian di atas pada dasarnya bermuara pada bagaimana memahami persoalan peningkatan SDM, baik SDM aparat maupun pelaku agribisnis yang fungsinya tidak lagi sekedar merupakan salah satu faktor produksi saja. Dalam hal ini, konsep SDM telah merupakan konsep yang berdimensi ganda, yang pada saat bersamaan selain menjadi pekerja (petani) sekaligus juga sebagai produsen, konsumen, sumber gagasan, serta penggerak di dalam memanfaatkan seluruh peluang peningkatan produktivitas. Dalam pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis pada masa mendatang, bukan lagi sekedar bertumpu pada persoalan produksi sematamata, akan tetapi lebih berwawasan kepada peningkatan pendapatan dan mutu kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian upaya penting daripadanya adalah bagaimana sejauh mungkin menangkal ekses negatif yang ditimbulkan oleh distorsi yang dapat ditimbulkan oleh ekonomi pasar. Untuk itu, pokok pangkal dari pembangunan pertanian dalam masa mendatang adalah menumbuh-kembangkan wawasan agribisnis pada setiap pelaku-pelakunya. Segenap insiatif masyarakat dan dukungan pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan tersebut harus selalu bermuara pada keinginan untuk menterjemahkannya ke dalam sistem agribisnis, yang selain memperluas dan memperdalam peluang nilai tambah (value added) juga harus mampu meningkatkan kesempatan kerja (employment generation). Dalam pada itu, manajemen diharapkan dapat meningkatkan kepastian keberhasilan melalui pengembangan sumber daya manusia yang berwawasan agribisnis, sehingga dapat menghasilkan rekayasa-rekayasa penciptaan peluangpeluang investasi dan iklim usaha yang sehat, diantaranya dengan
126
mengembangkan manajemen substansial seperti pasar, mutu, kelembagaan (termasuk kemitraan), dan wawasan lingkungan. Agribisnis merupakan kegiatan usaha yang kompleks yang satu sama lain saling berkaitan membentuk suatu sistem yang berstruktur vertikal yang berintikan pertanian dalam arti luas. Agribisnis merupakan kegiatan ekonomi yang paling dominan di Indonesia dan memiliki posisi strategis. Pengembangan agribisnis dapat memperkokoh struktur perekonomian Indonesia dan dalam jangka pendek dapat membantu mengatasi krisis ekonomi atau membantu pemulihan ekonomi Indonesia serta dapat membantu mengatasi krisis ekonomi atau membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Dilihat dari permintaan maupun kemampuan sumberdayanya, agribisnis mempunyai peluang yang baik. Kalau SDM nya dipersiapkan dengan baik, maka peluang tersebut dapat direalisasikan sehingga agribisnis dapat berkembang. Untuk dapat meningkatkan pendapatan masyarakat atau petani maka sebaiknya diusahakan agar para petani dapat memasarkan produk-produknya minimal dalam bentuk setengah jadi, atau dengan kata lain agar supaya dirintis agribisnis produk-produk pertanian daerah hilir. Dengan demikian diharapkan bahwa negara juga mengeksport produk-produk setengah jadi atau bahkan produk-produk jadi hasil olahan industri dalam negeri.
Daftar Bacaan Masyhuri, 2002. Mengembangkan Sistem dan Usaha Agribisnis yang Berkerakyatan dalam Upaya Membantu Pemulihan Ekonomi Nasional. Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Agribisnis Hortikultura yang diselanggarakan oleh Kadin dan Departemen Pertanian, Jakarta, tanggal 14 Maret 2002. ………….,2002, Prospek Agribisnis di Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar dalam rangka pembukaan kuliah perdana Program Magister Manajemen Agribisnis Angkatan VI, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tanggal 23 maret 2002. Saragih, B. 2001. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian, Pustaka Wirausaha Muda, Bogor. ………….., 2000. Kebijakan Pertanian Untuk Merealisasikan Agribisnis Sebagai Penggerak Utama Perekonomian Negara. Centre Policy for Agro Studies Paper on Panel Discussion. Jakarta American Club. Tuesday November 14, 2000. Soetriono, 2002. Kontribusi Sektor Pertanian Melalui Agribisnis. Makalah disampaikan pada Seminar Regional Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang, 5 Agustus, 2002.
127
Penanganan limbah industri hasil pertanian1 Susijahadi Pendahuluan Limbah industri hasil pertanian adalah produk suatu proses industri yang belum mempunyai nilai ekonomis, dibatasi ruang dan waktu. Beberapa permasalahan limbah yang ada ini diantaranya (1) sikap hidup masyarakat yang kurang menghargai limbah, (2) belum semua limbah hasil industri hasil pertanian dimanfaatkan secara maksimal, (3) belum ada teknologi yang tepat untuk dilaksanakan dimasyarakat, (4) adanya pencemaran lingkungan dari limbah yang belum di manfaatkan, (5) adanya tanggapan bahwa pemanfaatan limbah hanya memberikan nilai tambah yang kecil, dan (6) kurangnya dorongan dari pemerintah kepada pengusaha untuk memanfaatkan limbah industri hasil pertanian. Beberapa bentuk limbah industri hasil pertanian yang sering dijumpai yaitu dalam bentuk padat, cair dan gas. Ketiga bentuk limbah tersebut akan memberikan konsekuensi didalam cara penangan limbah tersebut. Secara umum ada 3 cara penangan limbah yaitu : cara biologis, khemis, fisis atau mekanis. Penanganan limbah sendiri dapat dibedakan menjadi penanganan sekedar agar limbah tersebut menjadi bentuk yang tidak membahayakan atau mengganggu lingkungan dan penanganan limbah untuk dapat dimanfaatkan. Biasanya limbah industri hasil pertanian dapat dimanfaatkan menjadi pakan, pangan dan energi atau bahan bakar. Pada dasarnya limbah dapat dibuang ditanah, di air atau diudara. Apabila limbah yang terbuang limbahnya sedikit, dan lingkungan tempat membuat limbah masih mampu menetralkan, maka limbah tersebut tidak akan membahayakan lingkungan. Akan tetapi apabila jumlah limbah tersebut sudah berada diambang batas (NAB) yang diperkenankan, maka akan memberikan dampak yang merugikan dan membahayakan lingkungan disekitarnya, termasuk manusia, hewan dan tanaman. Besar tidaknya dampak limbah tergantung dari sifat dan jumlah limbah, serta daya dukung atau kepekaan lingkungan yang menerimanya. Apabila limbah tersebut memasuki lingkungan dan selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan yang merugikan, maka
1
Makalah di sampaikan pada Pelatihan Kewirausahaan Siswa SMA, kerjasama LPPM Unijoyo dengan SMA Negeri 1 Kamal dan SMA Negeri 3 Bangkalan.
128
limbah tersebut telah mencemari lingkungan. Secara umum pencemaran lingkungan meliputi pencemaran tanah, air, dan udara. Ketiga pencemaran diatas dapat disebabkan oleh masuknya limbah padat, cair maupun gas. Karena pencemaran pada dasarnya disebabkan oleh adanya limbah maka untuk mengatasi pencemaran diperlukan penanganan dan pengendalian limbah. Penanganan dan pengendalian limbah merupakan masalah yang semakin komplek karena semakin banyaknya jenis limbah yang komposisinya semakin komplek. Masalah yang sering timbul dalam penanganan limbah adalah masalah teknologi dan biaya operasi yang tinggi. Oleh karena itu perlu suatu upaya pemilihan teknologi penangan limbah yang memiliki efektifitas dan efisiensi yang tinggi sehingga cukup layak diterapkan. Di Indonesia sudah beberapa dekade yang terakhir ini digalakkan suatu upaya penanganan dan pengendalian limbah dalam rangka menanggulangi pencemaran. Telah banyak berbagai media massa dan forum-forum diskusi yang menyoroti masalah penanganan limbah. Demikian juga aspek legal berupa peraturan-peraturan mengenai lingkungan dan penanggulangan pencemaran telah banyak dibuat sebagai pedoman didalam penanganan dan pengendalian. Akan tetapi sampai saat ini ternyata masih banyak limbah buangan yang belum tertangani dengan baik dan tepat. Masih bangak terlihat limbah padat terbengkalai dimana-mana sehingga menimbulkan bau busuk dan perasaaan kotor yang sangat mengganggu pandangan mata. Di samping itu juga masih banyak kasus industri hasil-hasil pertanian yang membuang limbah hasil industrinya secara langsung ke sungai sehingga sangat mengganggu kesehatan bagi manusia maupun terhadap kondisi mikro flora yang hidup di sungai tersebut.
Limbah dan permasalahannya Limbah padat merupakan suatu bentuk limbah yang terdapat dilingkungan, dan masyarakat awam biasanya mengenal dengan nama sampah. Bentuk, jenis, dan komposisi limbah biasanya sangat tergantung dari tingkat budaya masyarakat serta kondisi alamnya. Buangan limbah industri hasil pertanian biasanya mengandung bahan organik, padatan yang mengapung, mengendap dan melarut, bahan gizi, asam, alkali, dan bahan beracun yang sering kali memiliki suhu tinggi sehingga dapat menaikkan suhu air penerima. Pembuangan bahan organik kedalam air akan menurunkan persediaan oksigen yang terlarut dalam air. Kondisi ini akan berakibat terjadinya perubahan mikroflora yang ada didalam air tersebut. Padatan yang mengapung biasanya tidak terlihat dan dapat mempengaruhi sifat-sifat perairan alam seperti pemindahan oksigen dan penetrasi cahaya kedalam air. Di samping itu juga akan dapat mempengaruhi atau menghambat pertumbuhan vegetasi air yang penting untuk kehidupan mikro flora yang ada. Bila kadar padatan tersuspensi
129
tinggi, maka untuk keperluan konsumsi manusia maupun proses industri terlebih dahulu diperlukan perlakuan khusus. Padatan yang mengendap dapat membentuk lapisan endapan yang terurai dan menghasilkan gas-gas yang berbau dan lapisan mengapung dipermukaan air. Lapisan padatan juga mempengaruhi kehidupan organisme alami yang hidup terikat pada dasar air. Penetasan ikan juga akan terganggu oleh adanya padatan yang mengendap. Sebaliknya apabila ada penambahan bahan gizi seperti pospor, nitrogen, dan komponen-komponen kecil lainnya akan dapat mempercepat pertumbuhan algae. Perubahan suhu dalam air akan dapat mengganggu kehidupan yang ada dalam air. Ikan dan organisme lain biasanya dapat hidup dengan baik dalam kisaran suhu tertentu, apabila suhu kisaran terganggu ikan atau organisme yang lain akan pindah tempat atau mati. Kadar asam dan alkali dari air limbah dapat berpengaruh cukup kritis terhadap kualitas air penerima. Air limbah yang masuk kedalam air sebaiknya dikendalikan sampai mencapai nilai keasaman mendekati titik netral. Apabila fluktuasi keasaman cukup tajam dalam waktu yang lama akan dapat merusak lingkungan akuatik. Senyawa-senyawa yang beracun atau yang bersifat toksin lazim dijumpai beberapa proses industri hasil pertanian yang pada umumnya akan dibuang kedalam air. Hanya umumnya sedikit sekali limbah industri hasil pertanian yang mengandung bahah yang beracun. Apabila bahan beracun dibuang kedalam air maka kehidupan tumbuhan dan hewan akan terpengaruh sehingga air menjadi tidak sesuai untuk tujuan konsumsi manusia.
Cara penanganan limbah industri hasil pertanian Dalam Bentuk Cairan Pada prinsipnya pengolahan air buangan industri adalah suatu usaha agar ir buangan industri tidak membahayakan dan mencemari lingkungan. Air yang digunakan untuk industri harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu disamping harus murah karena industri terutama industri kimia amembutuhkan iar dengan jumlah besar , disatu pihak air asangat terbatas sehingga seringkali harus memanfaatkan air buangan sebagai sumber air. Untuk menangani air buangan industri yang jumlahnya sangat banyak biasanya harus diketahui jenis dan jumlah zat pencemar yang ada kaitannya dengan usaha untuk mengurangi akibat buruk yang ditimbulkan. Zat pencemar dalam air buangan industri seperti telah disebutkan diatas dapat dikelompokkan menjadi yang mengapung, melayang, dan yang larut. Zat-zat pencemar yang larut dalam air dapat dikelompokkan menjadi garam-garam organik asam atau basa pembentuk busa, mikro organisme dan zat kimia beracun. Biasanya bahan pencemar yang berasal
130
dari buangan air industri mengandung banyak bahan yang tidak dapat diturunkan secara biologis. Untuk setiap kelompok industri biasanya sudah dikenal zat pencemarnya yang dinyatakan dengan parameter tertentu seperti (1) pabrik pulp dan kertas, pencemar yang penting berupa BOD, COD, bahan pelarut, bakteri, sisa cairan solfit dan ammonia, (2) pabrik amonia zat pencemar yang terpenting yaitu asam, nitrogen serta minyak, dan (3) pabrik semen secara basah zat pencemar yang paling penting berupa padatan yang larut, padatan tidak larut, asam dan panas. Untuk menghindari pencemaran lingkungan, maka air limbah industri yang akan dibuang harus dinetralkan terlebih dahulu. Penangan air buangan industri pada prinsipnya merupakan kombinasi dari proses-proses dasar dengan urutan (1) menghilangkan zat padat yang melayang dengan cara penyaringan atau pengendapan, (2) menghilangkan minyak, lemak, atau zat padat berbentuk lemak dihilangkan dengan cara flotasi yang dikombinasi dengan penambahan zat kimia, (3) menghilangkan partikel koloid dengan menambah koakulan kimia dan elektrolit sehingga dapat diendapkan dan disaring, (4) menetralkan kelebihan asam atau basa dengan menambahkan bahan kimia, (5) menghilangkan zat-zat pelarut dengan pengendapan bahan kimia dan atau proses biologi, (6) menghilangkan zat-zat pelarut dengan cara pengendapan secara kimia dan atau proses biologis, (7) menghilangkan warna dengan cara penambahan zat kimia yang diikuti dengan pengendapan atau penyaringan dan (8) mengoksidasi kembali air buangan.
Dalam Bentuk Padatan Limbah padatan industri hasil pertanian mengandung selulosa seperti bagase yang merupakan hasil limbah pengolahan tebu, Bahan limbah yang mengandung selulosa pada prinsipnya dapat dikonversi dan dimanfaatkan menjadi bentuk baru yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi. Apabila berbicara mengenai pemanfaatan limbah, pada prinsipnya bahwa limbah dapat dikonversi secara biologis, khemis dan fisis atau mekanis. Dengan menggunakan kegiatan mikroorganism limbah padatan dapat dimanfaatkan menjadi pakan, pangan, dan enersi atau bahan bakar. Untuk pemanfaatan limbah padatan yang mengandung selulosa dengan memanfaatkan mikroorganisma dapat dimanfaatkan sebagai sirup, dan protein sel tunggal. Pemecahan selulosa merupakan proses pemecahan senyawa komplek polinir anhidroglukosa kedalam molekul-molekul yang lebih kecil atau senyawa yang lebih sederhana. Pemecahan ini dapat menghasilkan oligosakarida, trisakarida, dan disakarida seperti selobiosa dan selobiosa, monomer glokosa atau produk pemecahan yang lain seperti alkohol, aldehida, asam-asam dan keton atau pada akhirnya akan menghasilkan asam arang dan air.
131
Ada beberapa cara yang mungkin dapat digunakan untuk mengkondisikan sehingga akan terjadi pemecahan selulosa oleh enzim selulase. Proses yang dikehendaki adalah pemecahan selulosa dengan menggunaka energi yang rendah, dapat menghasilkan produk akhir glukosa dan sebagian besar selulosa dapat didegradasi. Pemecahan selulosa secara biologis biasanya menggunakan beberapa enzim selulase sebagai pemecah, sedangkan proses non biologis biasanya menggunakan cara fisis atau khemis.
Produksi glukosa dari selulosa Glokosa merupakan produk akhir utama dari suatu proses hidrolisa selulosa. Ada beberapa proses yang sudah dikembangkan untuk menghidro selulosa baik secara asam maupun enzimatis. Bentuk komersial yang layak digunakan adalah proses hidrolisa asam. Proses hidrolisa selulose menggunakan enzim akan menghasilkan glukosa yang lebih homogen dan tidak mengandung produk degradasi glukosa beraldeht atau ketonik. Kelebihan lain dari proses pemecahan glukosa secara enzimatik yaitu bahwa pada proses ini hanya memerlukan suhu dan tekanan rendah serta tidak menghasilkan limbah asam. Kelemahan hidrolisa dengan enzim yaitu kecepatan hidrolisa yang rendah serta membutuhkan tempat yang lebih luas.
Pertimbangan Non Teknis Didalam Penanganan Limbah Apabila akan melaksanakan proyek pemanfaatan limbah perlu dipertimbangkan faktor kesehatan umum, ekonomis, dan budaya masyarakat. Jadi untuk melaksanakan proyek pemanfaatan limbah tidak cukup hanya mempertimbangkan factor sumber fisis dan kebutuhan. Agar implementasi suatu teknologi yang baru dapat terlaksanya dengan baik, terlebih dahulu agar supaya dilaksanakan dengan mempertimbangkan benefit atau keuntungan dan teknologi yang akan digunakan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Pemilihan teknologi baru biasanya dipetik teknologi yang menggunakaan peralatan serta tenaga akademik dan penggunaan modal yang intensif. Oleh karena itu harus dipertimbangkan juga adanya dorongan kelembagaan yang terkait dengan pelatihan, pemeliharaan dan pemantauan pelaksanaan teknologi tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah koordinasi dengan kelompok-kelompok yang dapat memberikan dorongan pelaksaan implementasi teknologi tersebut.
132
Daftar Bacaan Susihadi, 1998. Teknologi dan pemanfaatan limbah. Diktat Kuliah. Jurusan teknologi hasil pertanian, fakultas teknolgi pertanian UNEJ, Jember Harjo, S. , M.S., Indrasti, dan T. bantacut, 1989. Biokonfersi : Pemanfaatan limbah industri pertanian, Bahan pengajaran. Dep. P dan K Dirjen Dikti, PAO pangan dan gizi IPB Bogor. Mustado, D. E. G. Said, 1988 Penanganan dan pemanfaatan limbah padat, PT mediatama sarana perkasa, Jakarta. Winarno, FG, a. F.S. Budiman, T silitonga, B. Suwardi, 1985. Limbah pertanian. Monografi pertama, kator menteri muda urusan peningkatan produksi pangan, Jakarta
133
Langkah penyusunan evaluasi diri untuk akreditasi program studi1 Susijahadi Evaluasi adalah upaya sistimatik, untuk menghimpun dan mengolah data (fakta dan informasi) yang handal dan syhih, dari mana dapat disimpulkan kenyataan, yang dapat digunkan sebagai landasan tindakan manajemen untuk mengelola kelangsungan lembaga atau program. Oleh karena itu kemampuan untuk melaksanakan evaluasi adalah suatu faktor penting untuk semua institusi akademik (perguruan tinggi, fakultas, jurusan/departemen) dan program-program yang ada di dalam institusi tersebut (program sudi, program penelitian, laboratorium, dsb). Tanpa kemampuan untuk melakukan evaluasi, tidak akan ada peningkatan kualitas yang dapat dicapai. Dari banyak evaluasi yang dilaksanakan di lingkungan pendidikan tinggi, evaluasi diri dan evaluasi kesejawatan (peer review) adalah model/skema evaluasi yang paling banyak diadopsi dan direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam mengevaluasi hasil proses akademik, khususnya pendidikan.
Konsep Evaluasi Diri Salah satu model evaluasi yang penggunaannya cukup luas adalah model pencapaian sasaran atau concruency model. Pada dasarnya model ini adalah proses kuantifikasi (pengukuran secara kuantitatif). Yang membandingkan prestasi yang telah dicapai dengan tujuan yang diinginkan. Kelemahan dari model ini adalah sulitnya untuk mengukur secara tepat dampak (out comes/impact) dari suatu proses pengembangan, namun hal ini dapat dilakukan antisipasi. Secara umum, penggunaan model ini didasarkan pada penentuan tujuan/sasaran yang jelas dan terkait erat dengan penetapan “Kebutuhan minimum yang dipenuhi” (Minimum Necessary requirement / NMR). Penetapan NMR untuk masukan (input), proses dan keluaran (output) yang menjadi target evaluasi.
1 Makalah disampaikan di hadapan Task Force akreditasi program studi di Universitas Trunojoyo
134
Objective (Tujuan) Tujuan (objective) adalah sesuatu yang jelas dan spesifik menggambarkan keinginan yang akan dicapai pada akhir program. Pengambilan keputusan dalam menetapkan tujuan diuraikan secara rinci dan jelas, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tujuan perencanaan harus dirumuskan secara hati-hati dan dengan bijaksana. Tujuan dapat dikatakan baik apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : 1.
Jelas untuk semua pihak yang berkepen-tingan
2.
Hasil dapat dicapai, harus bisa diamati dan diukur atau dibuktikan.
3.
Hasilnya merupakan “Sesuatu yang berharga” (something valuable) bagi semua pihak yang berkepentingan, dan
4.
Realistis, karena ditetapkan berdasarkan sumberdaya yang dapat disediakan dan kapasitas yang dimiliki.
Tujuan yang realistik ditetapkan berdasarkan perimbangan antara harapan yang ingin dicapai dengan kepuasan dan motivasi untuk mencapai tujuan tersebut, dari semua pihak terlibat.
Kebutuhan minimal yang harus dipenuhi (Minimum Necessary Requirement/MNR) MNR adalah kebutuhan minimal dalam wujud sumber daya, kemampuan, tata aturan, peraturan, dan dukungan dari masyarakat dimana institusi berada, yang harus tersedia dan dipenuhi agar dapat menjamin keberhasilan dari suatu program. Setiap komponen tujuan, masukan, proses dan keluaran mempunyai MNR dan bisa datang dari dalam maupun dari luar organisasi. Pengamatan terhadap MNR ini sering dilupakan daalam melakukan evaluasi diri, di samping data dan informasi. Perlu disadari sepenuhnya bahwa aturan, implementasi program dan produk yang dihasilkan dari Institusi Pendidikan Tinggi dan program-programnya sangat banyak dipengaruhi oleh MNR tersebut.
Masukan (Input) Masukan (Input) adalah berbagai hal yang dapat dan akan digunakan dalam proses untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam arti sempit, masukan (input) meliputi juga (1) sumber daya yang dapat diukur (tangible), seperti dana, tenaga kerja, tanah, bangunan, peralatan, perpustakaan, dsb, dan (2) sumberdaya tidak dapat diukur (intangible) seperti pengetahuan, sikap, kreativitas, kecerdikan, dsb.
135
Proses (Process) Proses adalah usaha untuk mendayagunakan sumberdaya yang tersedia ( manusia, alat, sistem, informasi, finansial, dsb) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendistribusian, pengalokasian dan interaksi antar sumberdaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses itu sendiri. Pengumpulan data, informasi dan fakta merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembuatan Laporan Evaluasi Diri. Manajemen sumberdaya yang baik, sangat penting karena akan menghasilkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya dan peningkatan produktivitas dari proses tersebut. Pelaksanaan evaluasi diri secara berkala dan berkesinambungan dapat menjadikan suatu kebiasaan dalam manajemen sumberdaya dan pada akhirnya akan menjadi suatu tradisi yang baik dalam pengelolaan dan pengembangan institusi. Apabila tradisi sudah terbangun, maka usaha untuk perbaikan proses dan mencari berbagai alternatif proses yang lebih baik akan sangat mudah dilakukan. Pada kondisi yang sebaliknya dan ekstrem,dimana kebiasaan yang baik tidak terbentuk, maka usaha pengumpulan data, informasi dan fakta dalam rangka penyusunan laporan evaluasi diri, akan dihambat dan bahkan dihentikan karena dianggap sebagai ancaman bagi organisasi dan budaya yang ada di dalam organisasi tersebut.
Keluaran (output) dan Dampak (outcome) Keluaran adalah prestasi dan hasil akhir dari suatu proses. Pada evaluasi diri yang didasarkan pada pencapaian tujuan, hasil keluaran harus menjadi fokus perhatian. Dalam hal ini, keluaran adalah hasil dari proses yang direncanakan dan juga merupakan hasil dari manajemen dan pengendalian proses. Namun, terlalu banyak perhatian pada hasil keluaran (output), dapat mengurangi perhatian pada dampak (outcome) yang dihasilkannya dan hal ini merupakan konsekwensi naiknya resiko pada keberlanjutannya institusi pendidikan tinggi atau programnya di masa datang. Pada keadaan seperti ini, harus ada pertimbangan kembali secara hati-hati mengenai titik berat perhatian tersebut di atas. Dampak (outcome) juga merupakan bagian dari hasil proses yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasil proses yang tidak diharapkan, umumnya terjadi di luar kendali dari suatu perencanaan, namun melakukan suatu perencanaan, harus diantisipasi akan terjadinya hal tersebut.
136
Indikator Kinerja dan Kualitas Di awal suatu rencana evaluasi diri, ukuran-ukuran yang akan digunakan untuk menilai kinerja (perfomance) dan capaian kualitas harus ditetapkan terlebih dahulu daan ukuran-ukuran tersebut disebut indikator (indicator). Indikator kinerja (performance indicator) adalah data atau fakta empiris yang dapat berupa data kualitatif atupun kuantitatif, yang menandai capaian dari perkembangan suatu institusi (seperti jurusan, fakultas,dsb) dalam mencapai sasaran hasil yang telah ditetapkan. Dalam model evaluasi diri, indikator kinerja dapat digunakan untuk menggambarkan efisiensi, produktivitas dan efektivitas dan faktor-faktor yang dapat menunjukkan kesehatan organisasi (organization health) seperti: akuntabilitas, kemampuan inovatif dalam konteks menjaga keberlangsungan institusi dan kualitas yang telah diraihnya, dan suasana akademis (academic atmosphere). Dengan kata lain, kualitas dicerminkan dengan konvergensi dari seluruh indikator tersebut.
Efesiensi Efesiensi adalah kesesuaian antara masukan (termasuk sumberdaya) dengan proses yang dilaksanakan. Tingkatan efesiensi dapat diperlihatkan dengan bagaimana peran dan kinerja manajemen sumberdaya dalam pelaksanaan proses tersebut. Tingkat efesiensi dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara sumberdaya yang telah dimanfaatkan dengan sumberdaya yang dapat/ harus digunakan dalam melaksaanakan proses tersebut. Semakin kecil hasil perbandingan tersebut, maka semakin kecil tingkat efisiensinya. Penilaian tingkat efisiensi suatu aktivitas di institusi pendidikan tinggi, sulit diukur dan bahkan mungkin tidak bisa diukur, terutama apabila tidak adanya standarisasi proses.
Produktivitas Produktivitas adalah kesesuaian antara proses dengan keluaran yang dihasilkan tingkat produkvitas umumnya diperlihatkan dengan perbandingan jumlah keluaran yang dihasilkan dari suatu proses dengan memanfaatkan suberdaya dengan standar tertentu. Namun perlu diperhatikan, bahwa perubahan proses dapat mempengaruhi tingkat produktivitas.
Efektivitas Efektivitas adalah kesesuaian antara tujuan atau sasaran dengan keluaran yang dihasilkan. Tingkat efektivitas dapat diperhatikan dengan membandingkan tujuan dengan hasil dari proses (termasuk dampak yang dihasilkan)
137
Usaha untuk menentukan tingkat efektivitas secara kuantitatif dalam proses evaluasi diri dilingkungan pendidikan tinggi sangat sulit, karena tujuan atau sasaran yang ditetapkan pada pendidikan tinggi sering tidak dinyatakan secara kuantitatif.
Akuntabilitas Akuntabilitas adalah tingkat pertanggung jawaban yang menyangkut bagaimana sumberdaya yang diterima oleh institusi pendidikan tinggi tersebut dimanfaatkan dalam upaya dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pertanggung jawaban menyangkut tingkat efiensi, kesesuaian dengan norma dan peraturan yang berlaku umum. Berbeda dengan auditabilitas, akuntabilitas mempunyai arti yang lebih luas karena menyangkut hal-hal sebagai berikut : 1.
Kesesuaian antara tujuan yang ditetapkan oleh institusi pendidikan tinggi dengan falsafah, moral dan etika yang dianut secara umum dalam masyarakat.
2.
Kesesuaian antara tujuan yang ditetapkan dengan pola kegiatan sivitas akademika serta hasil dan dampak yang dicapai.
3.
Keterbukaan terhadap semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) mengenai penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan fungsionalnya seperti pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
4.
Pertanggungjawaban pemanfaatan sumber daya dalam upaya pencapaian tujuan
5.
Aktualisasi asas otonomi dan kebebasan akademik, agar tidak disalahgunakan dan menyimpang dari pengaturan dan kesepakatan yang ditetapkan sebagai rambu-rambu.
6.
Kesadaran para anggota sivitas akademika bahwa aktualisasi perilaku dan tingkah lakunya yang tidak akan mengganggu pelaksanaan kegiatan fungsional lembaga dan juga pihak masyarakat pada umumnya.
Kemampuan Inovatif Kemampuan inovatif adalah tingkat fleksibilitas institusi (jurusan/depatemen dan fakultas) atau programnya (program studi, program penelitian, dsb) untuk bereaksi terhadap perubahan sosial dalam masyarakat. Di dalam merencanakan dan implementasi aktivitas fungsionalnya, institusi pendidikan tinggi harus selalu memperhatikan dan mengacu pada perubahan– perubahan yang terjadi di masyarakat.
138
Setiap perubahan yang terjadi di masyarakat akan berdampak pada institusi pendidikan tinggi atau program-program yang sedang dilaksanakannya. Apabila institusi pendidikan tinggi tidak mempunyai kemampuan inovasi atau tidak mampu mengakomodasi maupun mengantisipasi perubahan yang terjadi di masyarakat, maka institusi tersebut akan ditinggalkan atau ditolak kehadirannya oleh masyarakat.
Suasana Akademik Secara sederhana, suasana akademik diartikan sebagai tingkat kepuasan dan motivasi dari sivitas akademika dalam menyelesaikan tugasnya untuk mencapai tujuan institusi. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menjelaskan mengenai suasana akademik. Pada tingkat individu, faktor seperti tujuan, aspirasi dan tata nilai yang dimiliki individu, sangat memegang peranan penting. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola staf, adalah bagaimana membuat cara dan suasana kerja yang didasarkan atas keterbukaan, kejelasan dan saling pengertian, yang pada akhirnya akan dapat menghasilkan komitmen yang tinggi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kesehatan organisasi (organization health), termasuk di dalamnya akuntabilitas, kemampuan inovasi dan kemampuan memelihara sistem, akan dapat ditemukan, apabila dilakukan penelitian (survei) dengan mewawancarai jajaran manajemen dan staf akademik guna melacak kondisi : 1.
Hubungan antar individu
2.
Kesadaran untuk mencapai sasaran hasil
3.
Manajemen sistem
4.
Suasana kerja, dan
5.
Kesadaran untuk meningkatkan mutu.
Langkah-langkah Umum Penyusunan Laporan Evaluasi Diri Kualitas Laporan Evaluasi Diri sangat ditentukan langkah-langkah yang dilaksanakan dalam proses penyusunan laporan tersebut. Pada dasarnya, proses evaluasi diri mengikuti alur pikir seperti yang diperlihatkan pada gambar 2 dengan menggunakan pendekatan 5i Principles (Prinsip 5i), yaitu initiation, idealism, information, identification dan inception, dalam menentukan masa depan yang diinginkan.
139
Penggunaan pendekatan 5i Principles pada umumnya dilaksanakan secara bersamaan (simultan) dengan mempertimbangkan banyak faktor. Prakarsa/inisiasi (initiation) untuk membuat rencana pengembangan suatau institusi sampai terbentuknya rencana tersebut, harus secara sungguh-sungguh mengikuti beberapa prosedur/langkah-langkah yang akan diuraikan di bawah ini. Namun demikian, tidak ada algoritma yang spesifik untuk pembuatan rencana pengembangan, sejak adanya prakarsa (inisiasi) sampai terbentuknya rencana yang diinginkan. Kerangka pikir, yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dan acuan yang bermanfaat dalam menyusun suatu rencana, adalah sebagai berikut ini: 1.
Setiap rencana, pasti dihasilkan dari suatu prakarsa (inisiasi) yang terdiri atas pemahaman terhadap beberapa persyaratan untuk pembuatan suatu rencana pengembanagan yang diinginkan. Dalam hal ini, beberapa aktor kunci (key actors/key persons), pada umumnya adalah pimpinan institusi, dapat memberikan kontribusi yang visioner (impian masa depan) dalam pembuatan suatu rencana yang diinginkan.
2.
Suatu rencana adalah idealisme (idealism). (tools) pengambilan implementasi atau diinginkan.
3.
Kualitas suatu rencana sangat ditentukan oleh adanya data dan informasi yang relevan. Data dan informasi ini akan dianalisa, disimpulkan dan digunakan untuk penyusunan rencana pengembangan.
4.
Hasil evaluasi dan analisa akan menjadi dasar/landasan untuk identifikasi isu-isu strategis, permasalahan atau program-program unggulan dan berbagai hal yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan tujuan dan sasaran pengembangan.
5.
Pada akhir proses pembuatan rencana pengembangan adalah pembuatan rencana awal (inception of plan) yang sifatnya global, ringkas dan nantinya merupakan ikhtisar/rangkuman dari jabaran rencana pengembangan yang kompleks dan rinci.
suatu pengintegrasian antara gagasan (idea) dengan Hal ini terjadi, karena rencana adalah suatu alat keputusan yang digunakan untuk memutuskan pelaksanaan pembangunan masa depan yang
Apabila Laporan Evaluasi Diri yang dihasilkan telah diterima oleh semua pihak yang terkait dan disetujui untuk ditindaklanjuti, maka rencana awal tersebut akan diuraikan (di-breakdown) lebih rinci menjadi aktivitasaktivitas yang langsung dapat dilaksanakan pada tingkat operasional.
140
1.
Kinerja Institusional, karena Indikator Kinerja Institusional diperlukan untuk melakukan analisa jarak (Gap Analysis) antara kondisi saat ini dengan kondisi masa depan yang diinginkan.
2.
Conclusion adalah pembuatan rangkuman dan kesimpulan dari hasil analisa situasional.
3.
Strategi Move dapat diartikan sebagai kegiatan identifikasi berbagai strategi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan Institusi yang telah ditetapkan. Dari banyak strategi yang telah berhasil di identifikasi, harus ditetapkan, strategi mana yang diambil, sebaiknya dilakukan Pimpinan Institusi bersama task force dan semua staf institusi
4.
Implementation Plan dapat diartikan sebagai penjabaran dari strategi yang dipilih menjadi aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan di tingkat operasional. Tujuan dan indikator kinerja untuk masing-masing aktivitas terebut harus selalu mengacu pada Tujuan Institusi dan Indikator Kinerja Insitusional. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh task force.
Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, dapat dilakukan dengan tahapan seperti yang terlihat pada gambar 4, dengan penjelasan sebagai berikut: 1.
Identifikasi data dan informasi yang dibutuhkan
Data dan informasi yang dibutuhkan, untuk menjelaskan mengenai Struktur Laporan Evaluasi Diri. Namun demikian, perlu dicermati lebih teliti bagian tersebut, karena data dan informasi yang dibutuhkan tidak hanya tercantum pada Lampiran Panduan Penyusunan Laporan Evaluasi Diri, namun juga tersirat penjelasan pada Struktur Laporan Evaluasi Diri. Selain identifikasi data dan informasi yang dibutuhkan, diperlukan juga identifikasi dimana data dan informasi tersebut bisa didapatkan (sumber data) 2.
Validasi data dan informasi
Data dan informasi yang didapatkan harus di validasi agar data dan informasi yang didapat tersebut dapat diyakini kebenarannya. 3.
Pengelompokan data dan informasi
Data dan Informasi yang didapatkan dan telah diyakini kebenarannya, maka di kelompok-kelompokkan, sehingga mudah untuk menginterpretasikan dan menganalisanya. 4.
Cek konsistensi data dan informasi
Setelah dikelompok-kelompokan, harus di cek konsistensinya antara kelompok data yang satu dengan yang lain. Apabila ada ketidak-konsistenan antar kelompok data tersebut, maka harus dilakukan pengumpulan data ulang.
141
Ketidak-konsistenan data bisa terjadi, diantaranya akibat (1) cara pengumpulan data yang tidak sistematik dan tidak teliti, (2) proses validasi data tidak dilakukan, (3) prosedur pengumpulan data yang dilakukan oleh institusi dimana data diperoleh (institusi sumber data), tidak dilakukan dengan baik dan benar. Apabila yang terjadi akibat dari butir (1) tersebut di atas, maka pengumpulan data harus diulang dengan menggunakan metode yang lebih baik. 5.
Analisa awal atau interprestasi tabel
Pada dasarnya data hanya ada 2 kategori, yaitu (1) data profil (profile data) dan (2) data kinerja (performance data). Data profil adalah data yang diambil saat itu, sedangkan data kinerja adalah data yang diambil dalam kurun waktu tertentu. Dengan perkataan lain, data kinerja adalah terdiri atas sederetan data profil yang disusun berdasarkan waktu pengambilan data profil tersebut. Untuk data profil, interpretasi dilakukan dengan membandingkan antara data tersebut dengan indikator kinerja institusional yang dapat dianggap standar yang ingin dicapai. Kesimpulan dari interpretasi tersebut, umumnya adalah gradasi buruk sampai dengan baik. Dikatakan baik, apabila data profile sesuai atau melebihi standar yang diacu, demikian juga sebaliknya. Interpretasi adalah sejauhnya jarak atau gap antara data profil dengan standar yang diacu, demikian juga sebaiknya. Intepretasi adalah sejauhnya jarak atau gap antara data profil dengan standar. Untuk data kinerja, yang harus dicermati adalah kecenderungan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Perlu di prediksi kelanjutan kecendeungan tersebut dimasa mendatang. Setelah tahapan ini selesai dilaksanakan, baru melakukan SWOT Analysis dan Root –Couse Analysis.
RAISE Pada butir A tersebut di atas, telah disinggung mengenai RAISE, namun kurang dijelaskan secara lebih rinci dan pada bagian ini akan dijelaskan mengenai makna RAISE secara lebih jelas. Pada dasarnya, RAISE merupakan isu strategis untuk menjaga keberlangsungan dan pengembangan institusi pendidikan tinggi. Sehingga, apabila RAISE ini tidak diperhatikan, tidak ditangani dengan baik dan diabaikan, maka keadaan dan kinerja institusi pendidikan tinggi tersebut akan sangat menurun, bahkan terancam keberadaannya. Penggunaan RAISE untuk menilai program pendidikan di Institusi Pendidikan Tinggi sudah mulai sejak tahun 1995. Untuk dapat menjelaskan RAISE, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana cara pengelolaan institusi pendidikan tinggi yang normatif. Agar
142
memudahkan dalam pemahaman, maka pada gambar 5 dibawah ini akan digambarkan secara skematis pola manajemen pendidikan tinggi dan keterkaitannya dengan RAISE. D bawah ini akan dijelaskan lebih rinci apa yang dimaksudkan dengan RAISE, sebagai berikut : 1.
Relevansi (Relevance)
Relevansi merupakan cerminan dari tingkat sensitivitas institusi pendidikan tinggi terhadap lingkungan di mana institusi tersebut berada. Tingkat sensitivitas dapat dilihat dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh institusi tersebut dalam memberikan respon pada lingkungannya dan sangat bergantung pada disiplin atau bidang keilmuan, bentuk-bentuk keterkaitan dan kapasitas yang dimiliki oleh institusi tersebut. Untuk program pendidikan, umumnya, relevansi ditinjau dari 2(dua) sisi yaitu (1) sisi mutu lulusan dan (2) keterserapan lulusan tersebut pada segmen dunia kerja yang menjadi target. Untuk mendapatkan data dan informasi yang terkait dengan tingkat relevansi, maka perlu dilakukan (1) pemantauan secara berkesinambungan lulusan, dengan studi pelacakan lulusan (tracer study) dan (2) membangun hubungan yang erat dan berkesinambungan dengan pengguna lulusan (employer), seperti industri, pengusaha, pemerintah. 2.
Suasana Akademik (Academic Atmosphere)
Suasana akademik adalah tingkat kepuasan dan motivasi dari sivitas akademika dalam menyelesaikan tugasnya untuk mencapai tujuan institusi.Suasana akademik yang kondusif merupakan persyaratan yang mutlak untuk terjadinya suatu interaksi yang sehat anatara dosen dan mahasiswa, antar sesama dosen, dan antar sesama mahasiswa. Suasana akademik yang sehat akan menjamin terjadinya kepuasan dan memacu motivasi dan kreativitas di kalangan sivitas akademika dalam menjalankan kegiatan akademik yang pada gilirannya akan menghasilkan produk akademik yang berkualitas. Suasana akademik yang kondusif ditandai antara lain oleh terjadinya interaksi yang optimal antara dosen dan mahasiswa baik di dalam maupun di luar ruang kuliah dan laboratorium, para dosen seyogyanya merupakan model panutan untuk penegakan nilai-nilai dan norma akademik, kebebasan mimbar, dan sistem pengambilan keputusan yang didasarkan atas azas pemilihan yang terbaik (merit system), adil dan transparan. Untuk konstitusi pendidikan tinggi yang mendidik calon tenaga profesonal, suasana akademik yang kondusif ditandai dengan kedisplinan para sivitas akademika dalam mengikuti prosedur Baku untuk Operasi (Standart Operation Procedures) yang telah ditetapkan, seperti penggunaan peralatan yang terkait dengan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di laboratorium, dan kemampuan serta kemahiran sivitas akademika dalam menggunakan alatalat keadaan darurat seperti pemadam kebakaran, dan sebagainya yang sesuai dengan standar keselamatan di industri terkait.
143
3.
Manajemen Internal dan Organisasi (Internal Management & Organization)
Banyak aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan program pendidikan yang tidak membutuhkan sumberdaya yang mahal. Komitmen untuk meningkatkan sistem manajemn sumberdaya yang mahal. Komitmen untuk meningkatkan sistem manajemen dan organisasi yang mengarah pada suatu penyelenggaraan program pendidikan yang efektif dan efisien merupakan salah satu contoh upaya yang dimaksud. Termasuk di antaranya adalah upaya peningkatan kinerja dan motivasi di kalangan staf, pembenahan sistem perencanaan dan penganggaran yang mencerminkan prioritas, pengembangan sistem dan mekanisme pengawasan internal dan evaluasi, sistem prosedur dan pengambilan keputusan yang efisien, pengurangan birokrasi, serta kiat-kiat yang menjamin terjadinya pengelolaan institusi yang transparan dan pemanfaatan sumber daya yang efisien dan efektif. 4.
Keberlanjutan (Sustainability)
Sebagai salah satu isu strategis dalam pengmbangan institusi pendidikan tinggi, pada dasarnya keberlanjutan terdiri atas 3 (tiga) yang perlu mendapatkan perhatian,yaitu (1) aspek keberlanjutan yang menjamin eksistensi institusi, (2) aspek keberlanjutan yang menjamin tingkat kualitas yang telah dicapai melalui program pengambangan dan (3) aspek keberlanjutan atas sumber daya yang telah diadakan (invested resources). Aspek keberlanjutan yang menjamin eksistensi institusi, diperlihatkan dari dana operasional yang berhasil didapatkan dari berbagai sumber, seperti dari masyarakat (SPP, sumbangan, dsb), pemerintah (DIK, DIP, dsb), industri, dsb. Aspek keberlanjutan yang menjamin tingkat kualitas diperlihatkan dari seberapa banyak praktek-praktek yang baik (good practices) yang diadopsi untuk dilaksanakan pada pelaksanaan kegiatan yang bersifat rutin dan berkesinambungan. Sedangkan aspek keberlanjutan atas sumber daya yang diadakan, diperlihatkan dari usaha yang dilakukan oleh instutusi tersebut dalam memelihara dan mempertahankan sumber daya. 5.
Efisiensi dan Produktivitas ( Efficiency and Productivity)
Secara sederhana efisiensi dapat diartikan sebagai tingkat kehematan dalam pemanfaatan sumber daya, sedangkan produktivitas diartikan sebagai tingkat kemapuan untuk menghasilkan keluaran sesuai dengan masukan dan proses yang ditetapkan . Tentu saja perlu juga dicatat bahwa efisiensi dan produktifitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep bahwa keluaran yang dihasilkan haruslah memenuhi baku mutu yang diharapkan oleh pihak pengguna keluaran tersebut.
144
Beberapa contoh aspek yang terkait dengan efisiensi dan produktifitas antara lain adalah penyelesaian program akademik yang tepat waktu, masa studi yang sesuai dengan masa kurikulum, minimalisasi angka drop out, peningkatan kualitas mahasiswa baru, dll. Disamping itu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (cost mahasiswa), sumber daya fisik (tingkat utilisasi ruangan , dan peralatan), maupun sumber daya uang (penekanan unit cost) juga merupakan aspek yang sangat relevan dengan efisiensi.
Struktur evaluasi diri Evaluasi diri adalah diskripsi, analisis dan refleksi mengenai keadaan, kinerja, dan perangkat pendidikan suatu program studi, sebagai hasil suatu kajian dan assesment yang mendalam dan bersifat internal. Pada prinsipnya evaluasi diri disusun secara komprehensif, lengkap, sistematis dan mudah dipahami sehingga pembaca dapat mengkaji dan memanfaatkan laporan tersebut seperti apa yang dimaksudkan oleh penyusunnya. Laporan evaluasi diri terutama digunakan oleh perguruan tinggi dan program studi antara lain dalam bentuk profil yang komprehensif, perencanaan dan perbaikan program studi secara sinambung, penjaminan mutu internal perguruan tinggi dan program studi serta untuk menyiapkan evaluasi eksternal atau akreditasi. Evaluasi diri biasanya diawali dengan rangkuman eksekutif, yang merupakan singkatan isi laporan lengkap evaluasi diri, dan dimaksudkan untuk memberikan gambaran menyeluruh, jelas, singkat, sehingga si pembaca laporan dapat menangkap apa yang dilaporkan, tanpa membaca keseluruhan laporan nlengkap. Oleh karena itu evaluasi diri yang terkait dengan akreditasi program studi disusun sebagai berikut : Judul Laporan • • • • •
Kata pengantar Rangkuman eksekutif Susunan tim evaluasi diri beserta diskripsi tugasnya Daftar isi Deskripsi SWOT setiap komponen evaluasi diri
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jati diri, visi, misi, sasaran dan tujuan Kemahasiswaan Dosen dan tenaga pendudung Kurikulum Sarana dan prasarana Pendanaan Tata pamong Pengelolaan program Proses pembelajaran
145
• • •
10. 11. 12. 13. 14.
Suasana akademik Sistem informasi Sisem jaminan mutu Penelitian, publikasi, tesis, dan pengabdian pada masyarakat Lulusan dan keluaran lainnya
Analisis SWOT program studi secara keseluruhan merujuk kepada diskripsi SWOT setiap komponen. Referensi Lampiran-lampiran
Daftar Bacaan Direktorat Jnderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas RI, 2005. Panduan penyusunan proposal program hibah kompetisi, Tahun 2006, Depdiknas, jakarta Badan Akreditasi Nasional Depdiknas RI, 2002 Pedoman Evaluasi Diri Program Studi, Depdiknas, Jakarta
146
KEBENARAN ILMIAH DAN CARA MENDAPATKANNYA1 Ika Rochdjatun Sastrahidayat Pendahuluan Dalam hidup sebenarnya manusia senantiasa mencari suatu nilai (value) yang akan menjadikan dirinya itu berharga (nilai guna) atau tidak, nilai tersebut bersifat universal dan bersifat objektif terhadap siapa saja yang mampu menelusurinya, yakni: kebenaran dan keadilan. Mereka yang tidak mendapatkan nilai-nilai ini umumnya akan senatiasa berada dalam dunia yang “gelap gulita” sehingga dirinya menjadi gelisah karena tidak tahu kemana hendak melangkah, ia serba salah dan merasa diri dalam kondisi tersudutkan. Syukurlah bahwa manusia diberi petunjuk (hidayah) oleh tuhan berupa perangkat lunak (software) untuk mendapatkaan kedua nilai yang essensial tersebut, yaitu: (1) insting atau naluri, (2) ilmu, (3) filsafat, (4) religi atau agama. Masing-masing software tersebut akan memberi petunjuk dengan metode yang berbeda dalam mencari kedua nilai di atas. Dalam tulisan ini tidak akan dikemukakan lebih jauh tentang semua metode dari masing-masing alat tersebut, namun akan lebih difokuskan kepada mencari kebenaran berdasarkan metode ilmiah yang menjadi acuan kebenaran para ilmuwan selama ini. Hal ini penting diketahui dengan jelas oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, penelitian, kemasyarakatan, pemerintahan, dan lain-lain kegiatan agar supaya mempunyai rujukan yang sama sehingga tidak terjadi silang pendapat yang berkepanjangan. Sungguh akan sangat sulit apabila seorang pendidik ingin menyampaikan sesuatu nilai tertentu terhadap anak didiknya atau dirinya apabila tidak didapat standar yang jelas yang berakibat terjadinya kemandegan dalam proses pembelajaran dan karier akademiknya. Sehubungan dengan itu pada uraian berikut akan dibahas mengenai pengertian, cara mendapatkan sampai menyimpulkan dan pemanfaatan mengenai kebenaran ilmiah tersebut, diharapkan dengan itu mampu menempatkan diri diposisi mana sebenarnya ia berpijak.
1
Makalah disampaikan dalam rangka penataran guru SMU Bangkalan bekerjasama dengan LPPM Trunojoyo pada tgl 11 Oktober 2005 di Unijoyo.
147
Landasan filosofis Alam semesta pada dasarnya merupakan kumpulan dari berbagai materi dan energi yang membentuk satuan bentuk tertentu yang kemudian secara bersama-sama ataupun sendirian melakukan fungsi dan tugasnya tertentu pula. Sebutir debu di udara secara kebendaan tidaklah berbeda dengan planet sebesar yupiter misalnya, ia hanyalah materi dan energi; namun secara fungsional yang satu merupakan absorbent (peresap) di udara yang satunya merupakan bagian planet yang beredar dalam system tata surya matahari. Demikian pula halnya dengan makhluk hidup antara manusia dengan babi secara kebendaan adalah sama, namun dalam fungsi tentu berbeda “sang babi” kerjanya hanya makan dan beranak, manusia masih punya fungsi lain yakni pengembangan intelektual dan kerohanian yang akan mempunyai fungsi sosial. Untuk memahami kodrat (eksistensi) dan iradat (peruntukan) suatu benda secara alamiah diperlukan basic science (ilmu dasar) tertentu agar supaya tidak salah persepsi dalam mengambil kesimpulan. Tanah bagi orang awam hanya merupakan benda tempat kuburan atau menggali sumur atau bahan tembikar; sedang bagi ahli tanah ia merupakan kumpulan dari unsur fisika, kimia, dan biologi tanah. Betapa jauhnya bukan untuk memaknai secara hakiki suatu benda? Bayangkan kalau hal seperti ini tidak mempunyai landasan berpijak yang diakui dan dipatuhi secara bersama. Syukurlah sampai saat ini telah ada kesepakatan yang diakui secara internasional mengenai paradigma mencari kebenaran yang berhubungan dengan alam semesta ini yang kita kenal sebagai metode ilmiah.
Metode ilmiah apakah itu Pada saat Issac Newton kepalanya kejatuhan buah apel (bila cerita ini benar), ia merasa kesakitan (mungkin apelnya besar sekali-kapoklah), sehingga terucaplah kata-kata: mengapa kok buah apel ini jatuh ke bawah, kenapa tidak ke atas! Kalau kita mungkin mengumpat (mesuh-bhs Jawa). Pertanyaan Newton tidak berhenti hanya sampai benjolnya kepala, namun diteruskan dengan melakukan “pelemparan” buah apel ke atas di kedua tangannya dan “menangkapnya” kembali dengan hasil yang sama bahwa apel selalu jatuh ke bawah. Cara yang dilakukan oleh Newton tersebut disebut perbuatan coba-coba atau metode coba-coba (trial and error) untuk mencari jawab mengapa apel jatuh ke bawah. Berhasilkah ia, jawabnya tentu saja tidak! Baru setelah ia melakukan percobaan dengan cara menaiki menara pisa yang miring itu dan menjatuhkan berbagai benda lain jenis tapi dengan berat yang sama, ia menyimpulkan bahwa jatuhnya benda ke bumi karena ada sesuatu yang menariknya dari bumi yang kemudian dikenal sebagai daya tarik bumi atau gravitasi. Kesimpulan diambil karena jenis benda menjadi tidak berguna
148
apabila dengan berat yang sama akan jatuh bersamaan waktunya di bumi karena ditarik daya tarik tersebut. Nah! apa yang dilakukan oleh Newton pada perbuatan kedua merupakan kebenaran ilmiah karena dilakukan dengan salah satu yang masuk dalam paradigma ilmiah atau metode ilmiah, yakni metode perlakuan atau eksperimen. Sebelum bicara lebih jauh mengenai metode yang umumnya dilakukan dalam penelusuran ilmiah sebaiknya dikemukakan dahulu mengenai kerangka bagaimana kebenaran ilmiah tersebut di dapat. Dari berbagai pustaka dapat disepakati bahwa kebenaran ilmiah hanya dapat diakui apabila mengikuti alur sebagai mana terlihat pada skema di bawah. Berdasarkan skema alur pikir tersebut maka kebenaran ilmiah merupakan alur pikir yang “berputar” yakni ia akan senantiasi berubah sesuai dengan perubahan kerangka berfikir manusia, sehingga bersifat relative. Itulah sebabnya bukan mustahil apa yang dikatakan benar hari ini, “esok” mungkin akan diperbarui oleh penemuan lain yang lebih mampu menyampaikan argumentasi ilmiah lebih maju. Selanjutnya dapat diikuti sedikit uraian mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mendapatkan kebenaran ilmiah tersebut.
1) Perumusan masalah. Betapa sulitnya sesorang untuk mencari kebenaran ilmiah apabila ia tak mampu menarik “benang merah” yang akan menjadi objek penelitiannya nanti, mengingat demikian banyaknya variabel yang ikut andil dalam suatu kasus tertentu. Seseorang harus mampu menyederhanakan topic yang menjadi permasalahannya sedemikian rupa sehingga menjadi bagian-bagian yang mudah diamati atau diukur nantinya. Kita ambil teladan hal sebagai berikut: seorang guru matematika merasa frustasi mengapa nilai matematika anak didiknya di kelas adalah yang terburuk dibandingkan nilai mata ajaran lainnya yang mengakibatkan banyak siswanya yang tak lulus dalam ujian nasional. Hanya guru yang “tolollah” yang akan berbangga diri bahwa jangan main-main dengan matematika sehingga ia merasa berwibawa dan ditakuti murud-muridnya. Hal itu menunjukkan bahwa ia bukan seorang pendidik, namun lebih cocok sebagai “drakula” pendidikan. Sebagai seorang pendidik seharusnya ia sudah mampu memprediksi bahwa dengan standar harian yang dimiliki muridnya tentang matematika akan menyebabkan kegagalan mereka, lalu dicari jalan keluar bagaimana mendongkrak kemampuan murid sebelum peristiwa terjadi. Masih banyak jalan menuju Roma. Sang guru (pendidik) akan mempelajari hal ini dengan serius, maka dikumpulkanlah berbagai informasi yang berhubungan dengan bagaimana cara meningkatkan nilai matematika murid. Ia bertanya pada teman atau yang lebih senior, ia mengikuti pelatihan, ia membaca pustaka, ia membuat alat
149
pembelajaran, bahkan sampai ia diskusi dengan anak didik dan orang tua serta lain sumber informasi. Tentu saja ia akan mendapatkan setumpuk informasi baik yang mendukung atau yang menyalahkan dirinya. Dari sekian informasi tersebut coba pilah dan pilih mana yang paling mendekati kenyataan sehingga menjadi bagaian yang sederhana dan nantinya dapat diukur, buatlah menjadi beberapa kalimat yang pendek dan jelas, inilah yang disebut sebagai perumusan dari masalah. Dari teladan di atas maka dapatlah dirumuskan sebagai misal: •
prestasi anak terhadap nilai matematika sangatlah ditentukan oleh kondisi psikologis anak didik yang bersangkutan.
•
peranan guru khususnya sikap dan cara membawakan pelajaran mempunyai andil yang besar dalam menaruh simpatik murid terhadap materi yang dibawakan.
•
pendekatan alamiah dengan out bound dalam memberikan pelajaran matematika lebih dapat diterima murid dibandingkan monoton di dalam kelas.
2) Rumusan Hipotesis Kita lihat bukan betapa sederhananya permasalahan tersebut karena benang “kusut”nya telah diuraikan dan diketahui mana benang merahnya. Apabila seseorang telah mampu sampai langkah ini ia telah mempunyai bakat sebagai ilmuwan, sebaliknya bila tak mampu sebaiknya pindah dunia lain sebagai sastrawan atau lainnya. Mari kita teruskan! Apa yang dirumuskan tersebut sifatnya masih “mentah” artinya baru dugaan yang sulit mengukurnya baik dirinya apalagi orang lain, padahal ilmu yang ilmiah harus transparan. Maka rumusan tersebut harus dirubah jadi variabel-variabel (peubah-peubah) yang dapat diukur dan mana menentukan mana; atau dengan kata lain ia harus jadi sangkaan atau dugaan awal mana sih yang sebenarnya jadi “biang kerok”nya. Dugaan ini dapat dalam bentuk verbal, rumus, model, atau pola; dugaan demikian disebut hipotesis (hypo = palsu, thesis = pendapat). Memang benar hipotesis berarti pendapat yang masih palsu atau pendapat/dugaan sementara. Mari kita simak rumusan di atas bagaimana ia bisa jadi sebuah hipotesis: •
bahwa kondisi psikologis seorang anak sangatlah menentukan minat terhadap mata pelajaran yang memerlukan penggunaan pemikiran, hal ini diduga berhubungan dengan kondisi lingkungan sekolah dimana selalu membuat dirinya gelisah sehingga sangat sulit untuk diajak berfikir serius.
•
bahwa sikap simpatik guru dan penyampaian yang tidak langsung pada mata pelajaran matematika lebih disukai murid dibandingkan penyampaian yang bersifat formal dan disampaikan secara langsung (to the point), hal
150
ini diduga disebabkan rasa takut murid akan sosok guru sehingga menimbulkan rasa benci terhadap mata pelajaran yang diasuhnya. •
bahwa mempelajari matematika di alam bebas akan lebih membantu murid dalam memahami rumus-rumus dan perhitungan tertentu dibandingkan di kelas sekalipun dengan menggunakan alat peraga, hal ini diduga bahwa usia “bermain” lebih dominan dibandingkan dengan usia berfikir.
Dari hipotesis tersebut terlihat bahwa pada masing-masing item telah ada variabel yang diukur dan mana menentukan mana. Variabel yang menentukan disebut sebagai independent variable (peubah atau variabel bebas atau yang mempengaruhi), sebaliknya variabel yang ditentukan disebut sebagai dependent variable (peubah atau variabel yang ditentukan), dalam matematika biasanya di rumuskan dalam bentuk fungsi misal: Y = a + b X atau lebih kompleks lagi (dimana Y = peubah tak bebas, X = peubah bebas). Dalam hipotesis di atas variabel-veriabel tersebut ditulis dengan huruf tebal yang bagi setiap peneliti tentu tidak sulit untuk malacak ukuran-ukuran (parameter) apa yang akan digunakan untuk mendeteksi atau mewujudkan variabel tersebut agar mudah bagi siapa saja untuk menelusurinya. Cara yang demikian ditentukan dalam langkah berikutnya yang dikenal dengan istilah pengujian hipotesis.
3) Pengujian Hipotesis Dimaksud dengan pengujian hipotesis disini adalah: bagaiman caranya hipotesis yang dikemukakan di atas akan diuji pembuktiannya, apakah yang dikemukan tersebut benar atau salah. Istilah lain dikenal sebagai metodologi penelitian (research method), yakni mengandung berbagai aspek yang berhubungan dengan pengumpulan fakta di lapangan (fakta yang terkumpul disebut data) terhadap variabel yang sudah ditentukan sebagai penduga tadi. Didalamnya termasuk tentang: penentuan sample, parameter yang digunakan, design yang tepat yang dipakai, cara pelaksanaan, bahan dan alat yang digunakan, ruang dan waktu yang dipilih, cara analisis data, uji validitas data dan signifikansi, serta kesimpulan yang didapat. Tidak dapat disangkal bahwa antara sains dan penelitian adalah laksana dua sisi mata uang; sains tak akan mempunyai nilai tanpa penelitian, demikian sebaliknya penelitian tidak akan terlaksana tanpa sains yang mendukungnya. Berdasarkan alur metode ilmiah, suatu penelitian baru bisa dilaksanakan setelah seorang peneliti mampu memformulasikan objek penelitiannya dalam bentuk hipotesis. Dengan demikian pada saat hipotesis diformulakan perlu dipikir masak-masak apakah pendekatan (metode) yang akan dilakukan nantinya sesuai. Lalu dengan cara atau rancangan yang bagaimana penelitian tersebut akan kita bangun. Dengan metode dan rancangan penelitian yang tepat akan mengurangi bias yang akan muncul. Memang cukup sulit untuk menentukan metode atau rancangan yang bersifat umum mengingat
151
begitu luasnya objek yang kita dekati; apakah itu dalam bidang sejenis apalagi lain jenis.
4) Kesimpulan Setelah melakukan serangkaian percobaan untuk membuktikan kebenaran hipotesis yang dibangun, akhirnya sampailah pada hal yang menentukan yakni suatu kesimpulan. Suatu kesimpulan hendaknya tidaklah lepas dari perumusan masalah, tujuan riset dilakukan, hipotesis, serta landasan teori yang membangunnya. Suatu kesimpulan yang hanya berpedoman pada angka-angka saja seringkali tidak informative apabila dikembalikan pada kenyataan karena bertentangan dengan teori yang ada. Dari kasus di atas kesimpulan hendaknya dapat memberikan jawaban terhadap benar tidaknya hipotesis yang dibangun, apabila sesuai maka hipotesis diterima, bila sebaliknya hipotesis tertolak. Pada hipotesis yang diterima dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini dapaat dijadikan dasar keilmuan yang bila dikembangkan lebih jauh menjadi teknologi (teknologi keras atau lunak) yang sangat berguna bagi metode pembelajaran atau pendidikan. Akan tetapi manakala hasilnya tertolak, bukanlah berarti tidak berguna, namun masih harus diuji kembali dengan membangun kerangka berfikir yang benar agar mendekati kenyataan. Langkah-langkah yang disebutkan di atas disebut metode ilmiah atau cara ilmiah yang menghasilkan karya ilmiah dengan tingkat kebenarannya pada tingkat kebenaran ilmiah (menggunakan signifikansi tertentu). Perlu ditambahkan disini bahwa untuk membuat suatu langkah-langkah penelitian seseorang harus menuangkannya dalam bentuk karya tulis yang disebut dengan proposal atau usulan penelitian, yang isinya umumnya mencakup: topic penelitian; pendahuluan yang didalamnya tercantum latar belakang, tujuan, rumusan masalah, hipotesis; tinjauan pustaka yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti; serta metodelogi bagaimana riset tersebut hendak dilaksanakan. Agar supaya dalam pelaksanaan nantinya segala hambatan dapat dikurangi (dieliminasi), maka sebaiknya proposal dikonsultasikan kepada sesame teman sejawat, seniornya, atau orang lain dalam bidang sejenis. Bentuknya dapat pendekatan pribadi, dikirim lewat pos, atau diseminarkan; yang terakhir ini paling banyak dilakukan karena lebih efisien dapat masukan dari banyak orang. Dengan demikian seminar merupakan saling tukar idea untuk kesempurnaan dan bukan “lading pembantaian” sehingga tak perlu ditakutkan. Langkah inipun merupakan ciri dari kebenaran ilmiah. Setelah penelitian dilakukan masih ada langkah lain yang umumnya harus dilakukan para peneliti, yakni bagaimana mengkontribusikan hasil penelitian tersebut kepada khalayak. Berbagai cara dapat ditempuh antara lain melalui: poster, demonstrasi, percontohan, tulisan ilmiah, serta bentuk
152
dokumentasi lain. Kebanyakan peneliti di Indonesia lemah dalam cara penyaampaian ini karena berbagai kendala seperti: dana, waktu, tak mau repot, kurang informasi, dan sebagainya. Khusus masalah tulisan ilmiah bentuknyapun berbagai ragam dari yang popular ilmiah (majalah, koran), leaflet, jurnal, saampai teksbook. Laporan penelitian itu sendiri yang tidak dipublikasikan pada dasarnya juga merupakan karya tulis ilmiah selama telah mengikuti kaedah-kaedah yang berlaku seperti: mengikuti format tertentu, ada topik, daftar isi, daftar gambar atau tabel, kata pengantar, pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, kesimpulan, daftar pustaka yang dijadikan rujukan, dan lampiran-lampiran (sebagai bukti).
Daftar Pustaka Anonim. 1989. Petunjuk penggunaan ISBN/ISSN. PDII-LIPI. 3h. Anonim. 1989. Penjelasan dan petunjuk pelaksanaan peraturan baru tentang angka kredit bagi tenaga pengajar di P.T. Fak. Pertanian Unibraw. 8 h. Gembong
Tjitrosoepomo. 1980. Tatacara laporan ilmiah UGM, Yogyakarta. 12h.
F. Rumawas. 1981. Metodologi penelitian. IPB. 71 h.
secara tulis. Fak. Biologi
153
PROSES PENULISAN ARTIKEL/MAKALAH DI JURNAL ILMIAH ATAU PROSEDING1 Pendahuluan "Apabila mati anak Adam (manusia), maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: Shodaqoh jariyah, ilmu yang dapat diambil manfaatnya, dan anak yang shaleh yang mendo' a kan kepadanya" (H.R. Muslim). Dalam banyak hal setiap langkah dan gerak manusia sangat ditentukan oleh motivasi yang melatar belakanginya, baik itu menyangkut seni, agama, filsafat maupun keilmuan. Dalam motivasi itulah terkandung harapan dan cambukan yang menyebabkan manusia menjadi dinamis dari waktu ke waktu. Kalau hal tersebut dihubungkan dengan statemen Al Hadist tersebut di atas, maka bagi ilmuwan yang religius akan meningkatkan motivasinya untuk banyak berbuat dalam keilmuannya karena selain kehidupan di dunia yang singkat ini masih ada harapan mendapatkan pahala dikehidupan akhiran kelak. Tidak banyak memang ilmuwan demikian, namun ada. Untuk menyampaikan sebuah hasil karya keilmuan diperlukan suatu alat komunikasi yang mudah dipahami oleh masyarakat secara luas dan bersifat objektif. Model alat komunikasi yang selama ini dianut oleh madzab ilmiah antara lain dalam bentuk karya tulis (buku, majalah, jurnal, abstrak, proseding, pamflet, leaflet, paper, dsb.) dan oral serta demonstrasi (masal). Dalam setiap langkah komunikasi tersebut diikuti aturan-aturan yang mengikatnya sehingga dapat dinilai sebagai karya ilmiah (bukan seni atau bentuk pengetahuan lainnya). Di dalam makalah ini tidak semua bentuk komunikasi ilmiah tersebut dikemukakan, dan hanya dibatasi dalam penulisan jurnal atau proseding.
Penulisan Jurnal Ilmiah Sampai saat ini informasi ilmiah terutama yang menyangkut hasilhasil penelitian dianggap mempunyai mutu keilmuan tertinggi dibanding yang disampaikan dengan cara-cara lainnya. Sehubungan dengan itu penghargaan terhadap karya tulis tersebut dalam penilaiannya diberikan bobot tertinggi pula yakni mencapai kredit 15 (bila sendirian, bila bersama penulis lain maka 1 Makalah penunjang pada penataran guru SMU Bangkalan bekerjasama dengan LPPM Trunojoyo pada tgl 11 Oktober 2005 di Unijoyo
154
penulis pertama 60 % sedang penulis berikutnya 40%). Hal ini nampaknya ada hubungannya dengan rangkaian kegiatan yang dilakukan si penulis sejak dari penulisan proposal, penelitian, biaya dan seleksi untuk dapatnya dimuat di dalam jurnal dan waktu. Untuk memuat suatu karya tulis di dalam suatu jurnal ilmiah, memang sampai saat ini belum didapatkan suatu standar yang sama mengenai mutu tulisan. Umumnya persyaratan tulisan dalam jurnal lebih dititik beratkan kepada keseragaman format yang meliputi banyaknya halaman ketik, jumlah kata (> 10.000 kata < 30.000 kata untuk jurnal), susunan outline, dsb. Dengan cara tersebut memang akan muncul berbagai persoalan teknis, seperti misalnya untuk ilmu-ilmu sosial relatif memerlukan halaman/jumlah kata lebih banyak dibandingkan ilmu eksakta. Memang ada beberapa pendapat bahwa suatu artikel baru dapat dimuat apabila bukan merupakan hasil penelitian satu musim atau hasil laboratorium yang dilakukan beb erapa minggu. Namun pendapat inipun sampai saat ini masih merupakan saran yang perlu mendapatkan perhatian lebih saksa ma. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut dalam bobot keilmuan suatu artikel perlu mendapatkan suatu penilaian sebagai aspek legalitas dari para pakar yang bersangkutan. Dalam etika ilmiah penilaian para pakar/akhli ini dapat dianggap sebagai suatu standar ilmiah karena yang bersangkutan telah mempunyai cukup pengalaman dan pemahaman yang mendalam terhadap masalah tersebut. Legalitas ini disebut sebagai "The statement of the authoraty". Atas dasar inilah maka bobot suatu jurnal dapat dilihat dari ada atau tidak adanya anggota penilai atau mitra bestari yang tercantum dalam jurnal tersebut yang berfungsi sebagai wasit bagi laik tidaknya suatu artikel dimuat. Setiap artikel yang masuk kepada dewan redaksi sebelum dimuat dalam suatu jurnal hendaknya dikirimkan dahulu kepada minimal dua orang akhli dalam bidangnya dan selanjutnya yang bersangkutan akan mengembalikan ke dewan redaksi hasil penilainya berupa "diterima" atau "ditolak" dan bila diperlukan dapat juga menyisipkan beberapa komentar perbaikan. Dewan redaksilah yang akan menggodog lebih lanjut yang menyangkut redaksional maupun formatnya. Selanjutnya tentunya akan muncul pertanyaan dari pembaca bagaimanakah membuat suatu jurnal yang dapat diakui mempunyai mutu ilmiah. Hal ini dimaksudkan pula dalam membantu pembaca untuk menyalurkan karya ilmiahnya lebih lancar mengingat kurangnya informasi jurnal yang sesuai, lamanya prosedur penerbitan, dsb. Dari pengamatan penulis dewasa ini ada tiga jenis jurnal yang berkembang dimasyarakat ilmiah, yakni: jurnal "bunga rampai", jurnal dalam bidang sejenis, dan jurnal profesi keilmuan. Dimaksud dengan bunga rampai karena jurnal tersebut berisi berbagai macam ilmu baik yang berupa IPTEK keras maupun IPTEK lunak menjadi satu, bahkan diisi "pidato-pidato" dan pencantuman manajemen
155
redakturnya kurang profesional. Sedangkan tipe kedua adalah jurnal yang memuat artikel dalam bidang sejenis (misal: Pertanian, Kedokteran, Peternakan, Ekonomi, dsb.). Jurnal tipe ini mempunyai bobot lebih baik dibandingkan yang pertama, karena sudah menunjukan ciri khas keilmuan tertentu. Namun jurnal yang mempunyai tipe ketiga (profesi) tertentu lebih diutamakan karena dengan demikian akan lebih mudah membantu masyarakat dalam penelusuran informasi ilmiah dalam bidang tertentu. Contoh jurnal ini antara lain Jurnal Fitopatologi, Entomologi, Geologi, dsb.). Di luar negeri jurnal tipe satu sudah lama ditinggalkan orang dan tipe ketiga justru yang mendapat perhatian dan kredibilitas utama. Sebaliknya di Indonesia ketiganya masih berkembang secara seimbang, hal ini mungkin disebabkan alasan beberapa faktor, antara lain: kurangnya informasi permasalahan jurnal, pendanaan, sumber daya manusia, birokrasi, dsb. Sampai saat ini penilain suatu jurnal memang masih belum diberlakukan secara ketat setidak-tidaknya di perguruan tinggi. Dalam Juknis yang dikeluarkan oleh Depdikbud. No. 2492/D/C/88 sebagai penjabaran dari SK. Menpan No. 59/1987 disebutkan kretarium majalah ilmiah yang dapat diakui oleh Depdikbud, sebagai berikut: a) bertujuan untuk menampung/ mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian ilmiah dana atau konsep ilmiah dan disiplin ilmu pengetahuan tertentu; b) diterbitkan oleh badan ilmiah/organisasi/ perguruan tinggi dengan unitunitnya; c) ditujukan kepada masyarakat ilmiah/ peneliti yang mempunyai disiplin keilmuan yang relevan; d) mempunyai Dewan Redaksi yang terdiri dari para ahli dalam bidangnya; e) mempunyai ISSN (International Standard Serial Number); f) diedarkan secara nasional. Untuk mendapatkan ISSN adalah tidak sulit karena setiap pengelola jurnal atau majalah yang ingin mendapatkan ISSN tinggal mengajukan permohonan kepada PDII-LIPI (Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta) dengan memberikan alasan-alasan dan contoh edisi sebelumnya. Dengan demikian jurnal atau majalah yang sudah mendapatkan ISSN berarti sudah terdaftar dalam bank data majalah dunia karena oleh PDII-LIPI akan dilaporkan kepada Pusat ISDS (International Serial Data System). Selanjutnya untuk mendapatkan akreditasi suatu jurnal diperguruan tinggi perlu didaftarkan ke Departemen P & K, Dirjen Dikti. Pengakuan suatu jurnal dipertimbangkan berdasarkan kretarium antara lain: keteraturan terbit, keajekan format, dewan redaksi, minimal tiga tahun terbit, spesifikasi keilmuan, sasaran/target, dll. Contoh jurnal yang sudah mendapatkan pengakuan adalah "Agrivita" yang dikelola oleh Fakultas Pertanian Unibraw (Format Dewan Redaksinya terlampir). Sebagai tambahan informasi bahwa ada perbedaan prinsip antara ISSN dengan ISBN (International Standard Book Number). ISBN adalah
156
nomor unik yang diberikan untuk setiap buku, satu nomor untuk setiap judul buku. Nomor ini amat besar manfaatnya terutama bagi pedagang buku. Dengan menggunakan nomor ini pesanan buku akan menjadi lebih cepat dan kesalahan penulisan judul dan identifikasi buku lainnya dapat dihindari. ISBN diberikan pada setiap: judul baru dan judul dengan edisi baru. Untuk judul yang dicetak ulang, digunakan ISBN yang ada. Akan tetapi untuk edisi baru diberikan ISBN baru. Untuk buku berjilid, setiap jilid mendapat ISBN. Di samping itu diberikan juga ISBN untuk jilid lengkap. Jadi untuk buku berjilid, terdapat dua ISBN, satu untuk setiap jilid dan satu untuk jilid lengkap. Untuk mendapatkan ISBN ini dapat dimintakan ke Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 28 A di Jakarta Pusat. Persyaratannya sama dengan untuk mendapatkan ISSN.
Penulisan dalam proseding Dalam suatu pertemuan ilmiah (seminar, lokakarya, dsb.) umumnya hasil-hasilnya akan dirangkum oleh suatu tim dalam bentuk buku yang dikenal sebagai proseding. Mengingat karya tulis ini merupakan hasil kegiatan ilmiah dalam kepanitiaan maka isinya meliputi: - Daftar Isi - Kata pengantar - Makalah lengkap peserta - Diskusi - Kesimpulan - Lampiran: Susunan panitia; Pidato/sambutan; Tanda hadir peserta. Dengan demikian proseding akan dapat memberikan informasi lengkap mengenai perkembangan keilmuan maupun lembaga (profesi). Sampai sekarang penghargaan terhadap bobot makalah yang masuk proseding relatif kecil (kreditnya 2-3), sehingga dalam seminar-seminar yang akan datang "dianjurkan" untuk tidak membuat proseding (komunikasi pribadi dengan Prof.Dr. Mien A. Rifai dari LIPI). Dengan demikian panitia akan menseleksi makalah-makalah yang berbobot untuk selanjutnya dimuat dalam majalah/jurnal ilmiah yang bersangkutan. Dalam kenyataanya beberapa permasalahan sering muncul dalam pembuatan suatu proseding yakni: •
Sering terbitnya terlambat sehingga arti kadaluwarsa.
makalah
menjadi
157
•
Kekurangan dana sehingga tidak terbit.
•
Panitia sudah bubar sehingga data-data selama tidak akurat lagi dan sulitnya koordinasi.
•
Alasan teknis lainnya.
persidangan
Daftar Pustaka Anonim. 1989. Petunjuk penggunaan ISBN/ISSN. PDII-LIPI. 3h. Anonim. 1989. Penjelasan dan petunjuk pelaksanaan peraturan baru tentang angka kredit bagi tenaga pengajar di P.T. Fak. Pertanian Unibraw. 8 h. Gembong
Tjitrosoepomo. 1980. Tatacara laporan ilmiah UGM, Yogyakarta. 12h.
F. Rumawas. 1981. Metodologi penelitian. IPB. 71 h.
secara tulis. Fak. Biologi
158
EKSPLORASI DAN PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN Ika Rochdjatun Sastrahidayat Banyak pohon buahnya tinggi Pakai gantar kalau mencari Hikmah manfaat sulit diciri Kalau ketemu dikira duri Intan dijalan diduga kaca Banyak pejalan ta' kan peduli Orang yang arif dapat membaca Orang yang bodoh sulit kenali Telah jauh dan lama daku berjalan Lorong sempit banyak kuhafal Kini kudapat cahaya iman Jangan kau umpat sebelum kenal (I.R. Sastrahidayat, Yokkaichi-Japan 8 Juli 1993) 1. Pendahuluan Seekor lumba-lumba yang telah dilatih bertahun-tahun oleh pawangnya “mengerti” apa yang harus diperbuatnya pada saat irama peluit tertentu dibunyikan, apakah ia harus menari, melompat lingkaran, mencium, jungkir balik, dan sebagainya dikolam piaraannya. Para penonton ditepi kolam bertepuk tangan memberi pujian seraya berceloteh “pinter” benar sang lumbalumba itu. Pujian yang sama sering dibrikan pada sang anak balita manakala mereka belajar merangkak, beridir, berjalan, memanjat sekalipun jatuh “gedebuk” dan menangis; pujian tetap terucap “anak mama sudah pinter”. Sama-sama kata pinter diucapkan dalam dua kejadian ketrampilan yang berbeda sudah tentu mempunyai makna yang berbeda baik bagi subjek pujian maupun makna yang terkandung didalamnya. Karena seekor lumba-lumba tak akan pinter sesungguhnya berapapun banyaknya ketrampilan yang dipunyai bahkan ia tak mengerti makna pujian; sebaliknya sang balita akan cepat merespon bahwa pujian tersebut adalah suatu reward yang menyenangkan hatinya bahwa apa yang dilakukannya berada dalam kebenaran dan menambah cakrawala pengetahuan yang selama ini belum dipunyainya. Respon yang diberikan binatang terhadap stimulus yang dilatihkannya hanya merupakan respon biologis terhadap kebutuhan makan dan perlindungan semata yang disebut instinc atau naluri. Sebaliknya pada manusia
159
respon yang diberikannya merupakan rasa penasaran atau keingintahuannya tentang sesuatu dalam lingkungan hidupnya yang disebut analysis atau penalaran. Bentuk respon pertama tak akan berkembang lebih jauh selain apa yang telah dilatihnya saja untuk mendapatkan sekedar “upah” berupa makanan; sedangkan respon yang kedua bisa terjadi lonjakan yang tak terduga oleh si ibu, hari ini merangkak, besok duduk, lusa berdiri, hari berikutnya berlari, tahu-tahu naik meja makan dan menjatuhkan segala sesuatu yang ada diatasnya, si ibu “geram” namun sayang karena harga gelas dan piring yang pecah tak sebanding dengan senangnya hati bahwa sang anak semakin pintar. Uraian di atas merupakan contoh sehari-hari yang dapat kita amati disekitar kita dan menjadi batas yang amat tipis antara manusia dan binatang. Manakala manusia dalam pembelajaran dirinya hanya berhenti pada tingkatan naluri belaka maka ia tak akan pernah menjadi manusia atau dengan kata lain identik dengan binatang, sementara binatang sampai kapanpun tak akan pernah berkembang menjadi manusia karena pada dirinya tidak dilengkapi sofware intelektual tersebut di atas. Benar sindiran Taufik Ismail bahwa otak manusia tentu sama lezatnya dengan otak kerbau kalau digulai. Daya analisis atau nalar seseorang tidak akan mampu berkembang cepat kalau tidak dilatih dan dibimbing melalui metode yang disebut pembelajaran. Otak yang jenius akan tertinggal oleh otak yang sedang-sedang saja namun dituntun cara pembelajaran yang sistematis, runtut serta berkesinambungan. Hal ini menunjukan bahwa disamping perlu adanya potensi atau modal diri berupa otak yang cerdas maka pengarahan kemana otak tersebut hendak dibimbing dan untuk apa, perlu penanganan serius. Pendidikan dan pengajaran merupakan salah satu metode agar manusia mampu mengembangkan dirinya sehingga muncul “harga kemanusiaannya” yang mempunyai nilai tawar baik bagi diri pribadi, keluarga maupun masyarakatnya. Mengingat demikian banyaknya objek yang harus dipelajari dan selalu terbarukan maka pembelajaran manusia melalui pendidikan tak akan pernah selesai sampai akhir hayat, karena pada dasarnya apa yang dikehuinya adalah merupakan awal dari ketidak tahuannya. Ah! dasar bahlul diri ini tahi kucing koq serasa coklat, kata Kus Plus. Keingintahuan manusia akan sesuatu sebagai rasa penasarannya adalah suatu karunia yang harus diarahkan dan dikembangkan untuk mendapatka apa yang disebut pengetahuan yang benar dengan itulah kemudian manusia mampu mengontrol lingkungan hidupnya. Penelusuran atau penjelajahan terhadap keingintahuannya tadi disebut sebagai eksplorasi, maka pengetahuan yang didapatnya disebut sebagai pengetahuan eksploratif. Ciri dari pengetahuan demikian bersifat deskriptif yang umumnya akan menjadi dasar penting bagi pengembangan pengetahuan berikutnya yang lebih detail atau spesifik. Dalam uraian berikutnya kita aka membahas bagaimana melakukan
160
eksplorasi kemudian merumuskan sehingga menjadi pengetahuan yang berguna.
2. Mana pengetahun dan mana sains Sebelum menjelajah lebih jauh pada dimensi penelitian maka seyogyanya kita letakan dahulu batasan-batasan penting yang sering rancu dalam pengertian saintifik. Manusia pada prinsipnya membangun jawaban dari keingintahuannya sebut saja pengetahuan tadi melalui beberapa jalur utama, yakni: a) Naluri b) Ilmu (sains) c) Filsafat d) Religi Pengetahuan yang dikembangkan melalui jalur naluri dimuka sudah dikemukakan hanya akan berkembang kearah reproduktif (seksual), pertumbuhan (makan), dan pertahanan atau perlindungan hidup. Tanpa pembelajaran ang sistematispun manusia akan mudah mengerti siapa lawan jenisnya, mana makanan yang bisa dimakan, dan bagaimana berlindung terhadap rasa takut terhadap ancaman. Ilmu atau sains atau sering dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan (artinya pengetahuan yang didapat melalui jalur ilmiah) pada prinsipnya juga untuk kebutuhan naluri biologis tersebut di atas namun didapat melalui penelitian atas dasar teori yang bersifat umum yang kemantapan dan keajegannya dapat diuji oleh siapapun dengan hasil serupa sebagai kebenaran ilmiah. Masalah ini akan kita bahas lebih jauh pada uraian berikutnya karena hal inilah yang menjadi topik kajian kita. Manakala kita mendapatkan kebenaran sebagai pengetahuan yang didapat melalui jalur sains maka timbulah pertanyaan apakah pengetahuan tersebut benar? Jawabannya tentu tidak bisa ditanyakan melalui sains itu sendiri karena ia tak akan mampu menjawab dirinya, untuk itu perlu alat lain untuk menjawabnya dan alat itu adalah filsafat. Filsafat meletakan dasar-dasar dari suatu pengetahuan tertentu, ia mencoba melompat jauh kedepan dari segala sesuatu di luar pengalaman manusia dengan analisis rasionya dan memberi makna tentang kehidupan ini. Sehingga seperti seorang penghayal yang baik alam pikirnya jauh disebrang sedangkan pijakan kakinya tak berajak ditempat, dengan demikian pengetahuan yang didapat masih bersifat apriori dan ini pula yang menyebakan terjadinya banyak aliran dalam filsafat. Pengetahuan terakhir adalah yang didapat melalui jalur religi atau wahyu atau nubuah yang bersifat mutlaq karena ia diturunkan langsung dari Sang Pencipta alam semesta yang menjadi
161
pertanyaan ilmu dan filsafat dimuka yang bersifat relatif. Pengetahuan yang diturunkan melalui jalur ini demikian luasnya baik yang menangkut alam nyata (benda) maupun alam ghaib dengan kurun waktu yang lampau, saat ini dan akan datang. Sumber wahyu dalam agama Islam yakni Al-Qur’an memebrikan informasi yang demikian luas pula tentang kebenaran yang dapat diruntut melalui jalur sains, sehingga ia bukan hanya berupa ajaran dogmatis dan ritus semata namun rasional dan berdimensi sosial. Dalam buku “Mencari cahaya iliahi yang hilang”, penulis telah mencoba memaparkan permasalah ini dengan bahasa hati, rasio dan aplikatif sehingga tak perlu diuraikan disini. Uraian di atas menerangkan mengenai bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuannya melalui jalur ilmiah. Akan tetapi ada pula cara lain dalam menapakan pengetahuan yakni melalui jalur non ilmiah. Pengetahuan yang didapat melalui jalur ini umumnya bersifat spesifik, sulit ditularkan dan mempunyai validitas yang rendah, namun perlu diakui bahwa hal ini berkembang dalam masyarakat. Beberapa jenis pengetahuan dalam kelompok ini adalah: - Akal sehat (common sense) - Prasangka - Intuitif - Penemuan kebetulan dan coba-coba - Pendapat otoritas ilmiah dan pikira kritis
3. Eksplorasi ilmiah Suatu pengetahuan disebut ilmiah sehingga menjadi kebenaran ilmiah adalah apabila ia didapat melalui koridor atau paradigma ilmiah, bukan wahyu, intuisi, seni, atau lainnya yang mempunyai paradigma sendiri. Koridor yang demikian disebut sebagai metode ilmiah, yakni suatu cara berfikir dan bertindak secara sistematik untuk mendapat kesimpulan yang mantap sebagai kebenaran baru dengan kaidah-kaidah tertentu. Cara berfikir deduktif, induktif atau gabungan keduanya merupakan cara yang menjadi landasan awal untuk mendapatkan kebenaran ilmiah yang banyak dianut oleh para ilmuwan. Dengan landasan berfikir demikian manusia dapat melakukan eksplorasi atau penjelajahan keilmuannya untuk menyingkap rahasia-rahasia diri dan alam sekitarnya. Kebenaran ilmiah terwujud oleh konsep-konsep ilmiah yang mendasarinya yakni teori ilmiah dan fakta ilmiah. Teori berfungsi untuk menjelaskan mengenai kondisi alam tentang pertanyaan mengapa? Dengan teori yang benar kita telah mampu mendeskripsi tentang sesuatu dan mampu menerangkan serta meramalnya dimasa depan. Pada saatnya teori dapat berubah
162
sesuai dengan kemajuan nalar manusia dan penemuan-penemuan baru atau fakta ilmiah. Sehigga fakta ilmiah adalah sesuatu yang apa adanya yang tidak bisa berubah, dan fakta inilah yang umumnya menjadi pokok penelitian ilmiah yang dilakukan secara induktif. Dahulu orang menganut teori planetisimal dalam menerangkan kejadian tatasurya, namun apabila teori tersebut dipraktekan maka tak akan terjadi dalam fakta sesungguhnya sehingga munculah teori baru yang disebut dengan nobular. Sampai saat ini dalam bidang biologi orang masih banyak menganut teori evolusi yang mulai dipertanyakan orang karena tidak sesuai dengan fakta bahkan belum didapat faktanya bahwa salamander merupakan suatu bentuk contoh evolusi dari ikan ke jenis kadal. Dengan kedua alat tersebut seorang ilmuwan mencoba melakukan perumusan dari demikian banyaknya permasalah teori dan tentunya fakta di lapangan nantinya menjadi sesuatu yang menurutnya dapat dilacak dengan cara tertentu yang disebut penelitian atau riset. Bentuk dan macam penelitian tersebut sangat beragam tergantung objek yang jadi kajiannya dalam rangka mendapatkan informasi yang valid (akan dikemukakan kemudian). Maka sebelum melangkah lebih jauh diperlukan kemampuan seseorang untuk merumuskan dahulu apakah sesungguhnya yang akan dijadikan objek penelitian tersebut sehingga tidak terlalu luas yang akan menambah bias permasalahan utamanya. Dengan demikian perumusan permasalahan adalah merupakan ayakan kedua setelah dibangunnya teori dan terpaparnya fakta di lapangan. Akan tetapi ayakan ini sifatnya masih kasar karena didalamnya belum dikemukakan secara gamblang mengenai variabel-variabel yang akan menjadi fokus penelitiannya serta teori yang akan dibangun oleh variabel-variabel tersebut. Dalam metode ilmiah, formulasi dari perumusan kearah penelitiannya disebut sebagai hipotesis, dengan ciri utamanya adalah berupa dugaan atau jawaban sementara (sebelum terbukti) terhadap masalah yanga akan dibuktikan atau diteliti. Dengan demikian suatu hipotesis dibangun secara deduktif atas dasar premispremis dari pengetahuan ilmiah sebelumnya yang perlu ditindak lanjuti kebenarannya. Mengenai bagaimana seharusnya hipotesis dikemukakan tidaklah ada rujukan yanga baku, sehingga ia dapat dikemukakan dalam bentuk verbal (katakata), model matematika, model dinamika, diagram, dan sebagainya. Ketidak mampuan seorang ilmuwan dalam membangun hipotesis adalah awal dari kegagalan bahwa apa yang disampaikannya termasuk berbau ilmiah. Setelah formula ini dibentuk barulah kita dapat melangkah pada tahap berikutnya yakni apa yang disebut penelitian yang merupakan tindakan untuk menguji apakah hipotesis yang dibangun tadi benar adanya. Pada tahap ini si peneliti mencoba mengumpulkan fakta-fakta di lapangan yang relevan dengan hipotesis apakah mendukung atau tidak. Fakta-
163
fakta tadi bisa saja dalam bentuk yang terukur oleh parameter tertentu sehingga bersifat objektif, disebut dengan data kuantitatif; atau sulit diukur sehingga bersifat subjektif maka disebut data kualitatif. Saat ini banyak orang mencoba melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif agar didapat kesamaan persepsi tentang sesuatu masalah, meskipun dalam kenyataanya dalam bidang tertentu seperti humaniora sulit pengukurannya, seperti bagaimana mengukur taqwa menurut Tuhan dan taqwa menurut sumpah jabatan. Setelah fakta lapangan dikumpulkan ilmuwan tidak boleh berhenti, ia harus mencoba menarik kesimpulan untuk menilai apakah hipotesis yang diajukan tadi sesuai dengan kenyataan atau bahkan tertolak. Apabila hipotesis tersebut diterima atau sesuai dengan kenyataan melalui penelitian maka kesimpulan tadi merupakan bagian dari kebenaraan ilmiah yang harus diterima sepanjang belum ada pendapat lain yang menggugurkannya. Kebenaran ini dapat menjadi teori baru setelah diuji berulang-ulang menunjukan pola yang sama dan diterima sebagai teori ilmiah yang selanjutnya dapat menjadi dasar ilmiah baru pula bahkan berkembang menjadi ilmu baru (alur metode ilmiah yang diuraikan tadi dapat disimak pada Gambar terlampir).
4. Sumber-sumber ekplorasi ilmiah Sebelum sampai pada langkah ilmiah lebih jauh tentunya seseorang akan bertanya-tanya dimanakah ekslorasi keilmuan itu didapat agar supaya tidak meraba-raba sehingga persoalan menjadi komplek dan tidak jelas. Dari pengamatan penulis banyak sumber yang dapat menjadi pijakan bagi seseorang untuk mencari inspirasi penelitian antara lain: a.
Pengalaman seseorang yang dapat pribadi atau orang lain. Cerita klasik tentang buah apel yang jatuh ke kepala Issac Newton yang diteruskan dengan penelitiannya dari menara miring Pisa dengan menjatuhkan berbagai benda dan menghitung kecepatan jatuh sehingga didapatlah hukum gravitasi menjadi bukti pengalaman seorang jenius yang bermanfaat bagi orang banyak. Maka jangan biarkan pengalaman berlalu jadikan dia guru untuk menemukan ilmu. Pantun Nasehat mengatakan: Intan dijalan diduga kaca; Banyak pejalan takan peduli; Orang yang arif dapat membaca; Orang yang bodoh sulit kenali (Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Yokkaichi-1993).
b.
Melalui penelusuran pustaka. Buku atau pustaka sebagai bahan bacaan sehari-hari sangat membantu seseorang untuk mencari atau memilah-milah tentang objek riset bahkan mungkin-tidaknya prosedur riset dilakukan. Ketrampilan seseorang untuk menguasai berbagai bahasa tentu saja menjadi faktor pemicu sekaligus pemacu “betah” tidaknya berlama-lama membaca atau mempelajari suatu naskah. Referensi melalui kepustakaan dengan tahun terbit mutakhir
164
memang diharapkan dalam rangka mendapatkan informasi baru, namun bukan berarti yang kuno sekalipun tidak mempunyai nilai guna yang tentu saja tergantung dari tujuan riset tersebut. Dengan tersedianya fasilitas elektronik saat ini hampir dapat dipastikan bahwa penelusuran pustaka bukanlah suatu kendala serius karena kita dapat keliling dunia melalui medium tersebut sekalipun berada dalam ruangan dan tak beranjak. Tentu saja dalam perpustakaan sebagai sumber pustaka kita dapat menemukan berbagai jenis informasi mulai dari yang benar-benar ilmiah, fiksi ilmiah, sihir jenis Hary Potter, sampai betaljemur bukunya orang percaya klenik. c.
Melalui eksplorasi di lapangan atau alam. Cara ini biasanya sudah dipertimbangkan masak-masak mengenai suatu objek yang akan dijadikan bahan penelitian lebih mendalam melalui metode-metode riset tertentu sehingga dia merupakan pra survey untuk mendapatkan masukan bagi survey sesungguhnya. Kejelian seseorang untuk melihat indikator-indikator bahan penelitian sangatlah membantu dalam memunculkan ide atau perumusan yang akan dikumpulkan nantinya. Sering seseorang kurang memperhatikan (cuek) terhadap suatu indikator yang dianggapnya kurang menarik padahal justru itulah yang menjadi kunci keberhasilan terhadap langkah-langkah selanjutnya. Suatu contoh yang menarik dalam bidang biologi adalah komodo, orang Indonesia khususnya akhli biologi hanya tertarik pada keunikan dari sisi “kadal raksasanya” sehingga perlu dilestarikan. Beda dengan ahli Rusia mereka tertarik pada air liur komodo yang ternyata merupakan senjata mematikan karena dengan gigitan kecil saja cukup melumpuhkan kerbau besar disebabkan sistem syarafnya terkontaminasi bakteri pelumpuh yang terkandung dalam liur tersebut. Mereka mengambil sampel air liur komodo terus diisolasi bakterinya, dikembangkan di laboratorium, jadilah senjata biologis yang mematikan. Orang Amerika tahu Rusia mengembangkan senjata biologis dari liur komodo, datanglah mereka ke pulau Komodo, bukan untuk cari air liurnya namun mencari orang yang pernah digigit komodo namun tak mati, diambilah darah orang itu, demikian pula dengan darah komodo karena bila terjadi perkelahian sesamanya mengapa komodo tak lumpuh. Sampel darah tersebut kemudian dikembangkan dan diperbanyak di laboratorium dijadikan serum yang bersifat anti bakteri liur komodo; inilah yang disebut perang biologis. Dimana kita? Dasar goblog, hanya jadi objek wisata bahkan mungkin komodo disembah jadi dunia pedukunan.
d.
Melalui ilham atau intusi. Sampai saat ini memang ilham belum banyak diteliti secara ilmiah gejala apakah itu sebenarnya, sehingga tentu saja jaranglah digunakan sebagai suatu sumber eksplorasi, bahkan cara atau metodenyapun sulit dikemukakan dengan
165
pendekatan metode ilmiah. Namun kita tak dapat menafikan bahwa banyak penemuan ilmiah terkuak karena secara tidak sengaja muncul inspirasi yang tak terduga atau ilham tadi sehingga menjawab pertanyaan yang selama ini membebaninya. Contoh ilham yang spektakuler adalah dikala tuan Archimides mencari jawab tentang bagaimana orang bisa mengapung; secara tak sengaja disaat ini berendam dalam bak mandi, tiba-tiba ia melompat dari bak mandi dan keluar kamar mandi lari ke jalan sambil berteriak “I got it..I got it” (tentu saja ia telanjang bulat). Apa yang ia dapat tersebut saat ini telah menjadi dalil Archimedes yang dipelajari sejak bangku SMP oleh anak-anak kita. Dalam pengetahuan keagamaan lebih dahsyat lagi apa yang ditemukan oleh Sidarta Gautama yang karena terusiknya kesadaran dirinya akan ketidak adilan atau ketimpangan hidup, mengapa di negerinya ada yang sakit, ada yang melarat, ada yang teraniaya, ada yang cacat sementara kehidupannya sendiri berada dalam hedonisme penuh kenikmatan dan kelezatan. Isolasi dirinya di bawah pohon boldi tidaklah membuka takbir rahasia maka hidup yang sebenarnya, hingga sampailah pada suatu waktu ketika terdengar lamat-lamat olehnya seorang guru kecapi yang berperahu dengan muridnya berujar begini: “wahai muridku apabila engkau menginginkan irama kecapi yang merdu maka kencangkanlah talinya namun jangan kencang-kencang karena nanti putus”. Mendengar itu muncullah ilham dalam diri Sidarta karena tiba-tiba ia paham apa maksudnya, inilah yang merubah sejarah kebudayaa manusia karena muncullah tokoh besar yang kemudian disebut Budha dan diadopsi menjadi nama agama. Nah! Apakah anda punya kepekaan hati seperti Sidarta, atau intelektual seperti Archimedes? Kalau tidak jangan berharap jadi orang besar!!! e.
Melalui Kitab Suci. Agak aneh memang bahwa kitab suci menjadi sumber penelusuran ilmiah, namun bagi mereka yang tartil Al-Qur’an dan melakukan analisis terhadap kandungan yang ada di dalamnya maka mata mereka akan terbeliak. Tenyata kitab suci yang satu ini nampaknya hanya bisa dipahami dengan benar oleh mereka yang mempunyai basic science tertentu, dengan kata lain ternyata selama ini umat Islam salah dalam mengimplementasikan isi kandungan kitab sucinya sehingga mereka tetap menjadi korban dari kebodohannya sendiri.
Di bawah ini beberapa contoh yang mendukung statement tersebut: 1. Metode Historis. Banyak sekali statement Al-Qur’an yang mengajak kita untuk mencoba melihat kejadian-kejadian penting yang telah lalu yang dapat dijadikan pelajaran bagi generasi saat ini maupun yang akan datang. Contoh-contoh
166
seperti Hancurnya Bani Ad, Tsamud, Aikah, Fir' aun, Luth dsb., oleh Al Qur' an diperintah untuk dipelajari; dan masih banyak contoh lainnya baik yang jadi contoh kebaikan maupun kejelekan yang pernah ada di muka bumi ini (Q.47:10; 12:109). Kajian ini dapat dipelajari melalui penulusuran sejarah dengan referensi yang ada, data geologi, arkeologi, dsb. Salah satu bukti statement Qur' an yang menjadi kenyataan dari sisi sejarah adalah yang berbunyi:
(Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu (Fir' aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami) (Q. 10:92). Ternyata hal ini benar setelah ditemukannya batu bersurat dimuara cabang sungai nil dan batang tubuh (badan) Fir' aun berupa mumi pertama kalinya pada tanggal 6 Juli 1879 oleh Emil Brugsch dan Ahmad Effendi Kamal atas petunjuk Muhammad Abder-Rasul dari Mesir. Terungkaplah namanama Fir' aun dari dinasti ke 18 (1635-1365 s.m.) dan ke 19 (1365-1235 s.m.) sebagai berikut: Dinasti ke 18, Aahmes I (1635-1610), Amenhotep I (16101590), Tehutimes (1590-1565), Tehutimes II (1565-1552), Ratu Hatshepshut (1552-1530), Tehutimes III (1530-1500), Amenhotep II (1500-1470), Tehutimes IV (1470-1455), Amenhotep III (1455-1420), Amenhotep IV (1420-1400), Saa-nekht (1400-1390), Tut-Ankh-Amen (1390-1380), AiAmen (1380-1368), Hor-em-heb (1368- 1365). Dinasti ke 19, Ramses I (1365-1355), Seti I (1355-1345), Ramses II (1345-1285), Meneptah (12851250), Seti II (1250-1235). Dari sederet nama tersebut para ahli sejarah sependapat bahwa yang tenggelam dalam laut pada pengejaran Musa adalah Ramses II.
2. Metode comparative. Cara ini sangat menonjol dalam ungkapan Al Qur' an seperti dikemukakan dalam beberapa ayat antara lain: Q. 13:4; 71:1-10; 89:1-5; 92: 1-11. Dengan cara ini kita mampu mengungkap suatu rahasia alam berdasarkan kaidahkaidah (sunatullah) yang berlaku dari dua sisi yang berlawanan. Kalau kita ambil salah satu ayat di atas, misal Q. 13:4, bunyinya sebagai berikut:
167
(Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berpasangan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tak bercabang, disirami dengan air yang sama; Kami melebihkan sebagian tanaman itu atas sebagian yang lain tentang cita-rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran (ilmu pengetahuan) bagi kaum yang mau berfikir (meneliti). Tidak diragukan bahwa tanda luar (fenotip) suatu jenis tanaman berupa bentuk batang, jumlah bulu daun dan stomata, jumlah tandan atau malai dan sebagainya; sering merupakan indikator penting yang dijadikan dasar pertimbangan ahli breeding tanaman dalam mencari varietas tanaman baru yang lebih unggul. Hal ini ternyata ada hubungannya dengan adanya faktorfaktor dominasi genetika yang senantiasa terbawa dari tetua ke zuruatnya, yang kita kenal sebagai penentu genotipnya. Cara pengujian comparative ini umum dilakukan dalam bidang pertanian dalam mencari klon-klon tanaman unggul tadi pada hamparan areal pertanaman tertentu. Varietas atau klom yang unggul tadi baik produksinya maupun kualitasnya akan menjadi perbendaharaan plasma nutfah yang tak ternilai harganya.
3.Metode Prediksi. Yaitu suatu cara untuk dapat mengungkap apa yang akan terjadi pada suatu masa didepan. Ketajaman cara ini dalam dunia sains umumnya jarang yang mencapai titik yang tepat (100%), hal ini dapat diakibatkan berbagai hal seperti kurangnya data pendukung, kurangnya pengalaman pengamat, kurang jelinya analisis, dsb. Namun prediksi yang dikembangkan Al Qur' an nampak sudah mencapai titik kepastian yang hakiki, seperti diterangkan dalam beberapa ayat: Q.81:1-14; 99:1-6; 101:1-5. Hal ini kalau diteliti dengan seksama ternyata juga ditunjukan dengan adanya contohcontoh yang berulang-ulang sebelumnya. Salah satu contoh prediksi (ramalan) yang tepat terbukti dalam Qur' an adalah mengenai kalahmenangnya perang antara Romawi dan Persia, seperti dijelaskan dalam surat Ar Ruum (30): 2-4 sebagai berikut:
168
(Telah dikalahkan bangsa Romawi; dinegeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang; dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman). Ayat ini turun jauh sebelum pertempuran itu terjadi, dikala kondisi umat Islam masih minoritas dan belum mempunyai kekuatan sama sekali. Ironisnya dalam kondisi demikian telah berani membuat ramalan terhadap kejatuhan dua negara super power yang ada saat itu. Metodologi ini telah dimanfaatkan dengan jitu oleh Abu Bakar Shiddiq dengan cara bertaruh dengan Ubbay bin Khalaf dan Ummayyah bin Khalaf (keduanya kafir Quraisy), yang kemudian dimenangkan Abubakar Shidiq dengan 100 ekor unta muda. Karena terbukti setelah Romawi kalah pertama dalam beberapa tahun kemudian (sekitar 3-9 tahun) ia mengalahkan Persia.
4. Metode Observasi. Dalam Al-Qur’an hal ini lebih banyak hubungannya dengan metode pendidikan dan pengajaran, dimana si anak didik secara langsung ditunjukan pada pengawasan objek kajiannya. Beberapa metode ini tersembunyi dalam perintah Tuhan dalam beberapa ayat berikut:
(Katakanlah: Berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibatnya orang-orang yang berdosa) (An-Naml, 27: 69). Ayat sejenis dapat dilihat pada surat Ar-Ruum, 9; Al-Ghaafir, 21 dan 82; Al-An’am, 11; dan lain-lain.
5. Metode klinis. Hal ini menyangkut cara perawatan individu maupun kelompok yang sangat intensif sekali dikembangkan oleh rasulullah, dengan dialog langsung terhadap problema yang muncul dalam masyarakat. Dengan penuh perhatian rasulullah memberikan perhatian khusus pada sosok individu, sehingga menimbulkan rasa persaudaraan khas muslim (Q. 48: 29).
169
6. Metode Trigger. Metode ini adalah suatu cara yang dikembangkan dengan menggunakan pendekatan “trigger” atau pendobrakan atau lecutan pada suatu sistem. Efektivitasnya telah terbukti oleh konsep Al-Qur’an pada suatu masyarakat jahiliyah yang pada saat itu menganggap kebudayaannya sudah standar. Pada masyarakat demikian Al-Qur’an mendobraknya dengan ayat-ayat Makiah yang dirasakan “keras” oleh kafir Quraisy seperti ayat-ayat berikut:
(Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tiada akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tiada akan menyembah apa yang aku sembah. Aku tak pernah pula menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak pernah pula menyembah apa yang aku sembah. Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku) (Al-Kafirun, 109: 1-6). Masih ada ayat-ayat pelecut lainnya yakni: Surat Al-Lahab, Al-Ikhlas, dan lain-lain. Dengan cara ini sendi-sendi budaya rapuh tersebut hancur total, tentunya dengan resiko berat bagi pendobraknya. Setelah itu barulah muncul periode pengisian dan pemeliharaan yang dijabarkan dalam bentuk surat-surat Madaniah yang kebanyakan membangun sistem sosial.
7. Metode Behaviour. Yakni menyangkut pendekatan tabiat atau adat kelakuan. Cara ini sangat menonjol dalam Islam terutama dalam mengungkap jati diri individu atau kelompok, sehingga dengan mudah dapat dilihat perbedaan mukmin, mukhlis, munafik, kafir, fasik, dst. Dengan cara ini pula dengan mudah dapat melakukan peningkatan kualitas individu atau kelompoknya. Nampaknya metodologi ini sangat efektif dalam pengembangan bidang ilmuilmu sosial. Dalam Islam pembentukan kelakuan seseorang dipraktekan langsung sejak dini, seperti perintah agar anak umur tujuh tahun sudah dikenalkan dengan shalat dan sembilan tahun mulai agak keras bila membangkang dengan pukulan lembut, dan seterusnya. Bahkan nabi menganjurkan agar mencari lingkungan yang baik dalam pendidikan tersebut karena masalah lingkungan akan merubah watak seseorang. Secara eksplisit AlQur’an membangun watak etika (sopan-santun) anak terhadap orang tua sekalipun berbeda prinsip, seperti ayat berikut:
170
(Tuhanmu memerintahkan, supaya janganlah kamu sembah, kecuali Dia dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak. Jika seseorang di antara keduanya telah tua atau keduanya, janganlah engkau katakan cis kepada keduanya dan jangan pula engkau hardik keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia (lemah-lembut). Rendahkanlah sayap kehinaan (berhina dirilah) kepada keduanya, karena kasih-sayang dan katakanlah: Ya Tuhanku! Kasihanilah keduanya, sebagaimana keduanya telah mengasuhku ketika aku masih kecil) (Surat Al-Isra’, 17: 23-24).
8. Metode deduksi/induksi. Metode ini telah dikenal secara luas dalam dunia sains moderen saat ini, terutama dalam mengungkap dunia benda mati, sedang dalam benda hidup tirainya saat ini sedang dibuka melalui rahasia DNA/RNA. Untuk mendapatkan pengetahuan, dalam dunia sains biasanya cara ini berjalan silih berganti dengan metode rasionalis/deduktif. Kalau yang pertama dalam mencari kebenaran itu berdasarkan pada data yang terkumpul dari pengalaman yang didapat menjadi pengetahuan yang cakupannya luas dan bersifat umum. Maka pada deduktif orang mendapatkan pengetahuannya melalui naluri atau penalaran akalnya sehingga didapat pemahaman yang bersifat umum menjadi pengetahuan khusus. Dalam kenyataannya kedua metodologi inipun mempunyai kelebihan dan kekurangannya sehingga penggunaan keduanya dalam dunia sains akan mengurangi tingkat kesalahan. Bagaimana besarnya tingkat kesalahan dalam dunia sains adalah apabila kita mengamati sebuah benda sebagai contoh; pada benda berdiameter 0,25 mm, harus pakai lensa; pada diameter 1/1.600 mm benda telah kehilangan warna; pada diameter seper milyar mm benda kehilangan bentuk, ukuran dan posisi. Dengan demikian semakin kecil benda tersebut maka tingkat kesalahan pengukuran atau identifikasi sains semakin besar dan dapat mencapi 100 %, atau salah sama sekali. Hal seperti inilah yang disebut dengan azas ketidak pastian menurut Dr. Wernen Heisenberg (1927) manakala ia tak dapat menentukan secara pasti letak elektron pada satu waktu serentak dengan geraknya.
171
5. Metode dan rancangan penelitian Tidak dapat disangkal bahwa antara sains dan penelitian adalah laksana dua sisi mata uang; sains tak akan mempunyai nilai tanpa penelitian, demikian sebaliknya penelitian tidak akan terlaksana tanpa sains yang mendukungnya. Berdasarkan alur metode ilmiah, suatu penelitian baru bisa dilaksanakan setelah seorang peneliti mampu memformulasikan objek penelitiannya dalam bentuk hipotesis. Dengan demikian pada saat hipotesis diformulakan perlu dipikir masak-masak apakah pendekatan (metode) yang akan dilakukan nantinya sesuai. Lalu dengan cara atau rancangan yang bagaimana penelitian tersebut akan kita bangun. Dengan metode dan rancangan penelitian yang tepat akan mengurangi bias yang akan muncul. Memang cukup sulit untuk menentukan metode atau rancangan yang bersifat umum mengingat begitu luasnya objek yang kita dekati; apakah itu dalam bidang sejenis apalagi lain jenis. Sehubungan dengan itu di bawah ini dikemukakan berbagai rancangan penelitian yang sering didapat dalam berbagai penelitian.
Penelitian Historis (Historical research) Untuk merekrostruksi kembali kejadian masa lampau secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan data, mengevaluasi serta verifikasi dan melakukan analisis terhadap data-data agar supaya didapat kesimpulan yang benar. Penelitian jenis ini biasanya mengandalkan data primer dan sekunder, yakni dengan cara mengumpulkan langsung di lapangan atau menelusuri laporan yang telah ada. Langkah yang perlu dilakukan adalah: Devinisikan permasalahan dengan mengajukan pertanyaan misal: apakah cara pendekatan ini sesuai; data penting apakah yang perlu dicari; bergunakah hasil yang akan didapat nantinya. •
Rumuskan tujuan dari penelitian tersebut dan kalau mungkin buatlah hipotesisnya.
•
Lakukan pengumpulan data dengan menjadikan data primer dan sekunder sesuatu yang berbeda.
•
Evaluasi data secara kritis baik faktor internal maupun eksternal yang terlibat di dalamnya.
• Buatlah laporan Beberapa contoh adalah: Mempelajari sistem irigasi kerajaan Saba’ dimasa lampau yang katanya menyebabkan negeri itu makmur padahal di daerah yang dikenal sebagai padang pasir. Atau mempelajari sistem bawon (bagi hasil padi dikala panen antara pemilik dan pemetik) di Jawa yang merupakan sistem gotongroyong sosial dipedesaan.
172
Penelitian Deskripsi (Descriptive research) Merupakan pencandraan (perekaman kasat mata) mengenai fakta-fakta yang ada dalam suatu populasi, daerah, benda, dan sebagainya secara sistematis, akurat dan apa adanya (faktual). Penelitian jenis ini umumnya dilakukan untuk mempelajari kondisi faktual objek riset di lapangan tanpa memilah-milah sehingga sering juga disebut sebagai penelitian survey. Langkahnya adalah sebagai berikut: •
Devinisikan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai dan fakta yang bagaimana yang mau dicari.
•
Rumuskan rancangan pendekatannya. Bagaimana data dikumpulkan; bagaimana penentuan sampel; peralatan apa yang akan digunakan serta tekniknya observasinya bagaimana; apakah si pendata sudah terlatih; dan sebagainya.
•
Lakukan pengumpulan data.
• Buat laporan Contoh: Jenis plasma nutfah apa sajakah yang dominan pada setiap kenaikan ketinggian gunung Semeru; Apakah perbedaan prilaku yang mencolok antara suku Madura yang berdomisili di pesisir pantai dan pedalaman; Apakah ciri-ciri atau perbedaan pokok dari salak Madura, Bali, Pondoh (Yogya), dan Suwaru (Malang); dan lain-lain.
Penelitian Perkembangan (Developmental research) Dimaksudkan untuk melihat suatu pola perkembangan atau pertumbuhan atau perubahan berdasarkan berjalannya waktu. Dalam penelitian jenis ini kita mempelajari variabel-variabel tertentu yang dianggap pokok bagi suatu perkembangan yang dijabarkan dalam ukuran waktu sepertu hari, bulan atau tahun. Dalam perkembangan tersebut kita dapat melihat pola yang terbentuk, kecepatan laju pertumbuhannya, serta bagaimana hubungannya dengan faktor lain. Langkah yang dilakukan sebagai berikut: •
Devinisikan masalah dan tujuan
•
Telaah pustaka dalam rangka menentukan metode, peralatan, teknik pengumpulan data.
•
Rencanakan cara pendekatannya.
•
Kumpulkan data
•
Evaluasi data
•
Buat laporan
173
Teladan: Apakah terdapat pola tertentu respon manusia terhadap rasa takut akan hantu pada kelompok umur yang berbeda (misal: tingkat SD, SLTP, SLTA, PT, di atas 50 tahun); Pengaruh umur tanaman terhadap kepekaan terhadap hama atau penyakit tertentu; dan lain-lain.
Studi Kasus dan Lapangan (Case study and field research) Mempelajari secara intensif keadaan sesungguhnya saat ini serta interaksi unit sosial tertentu di masyarakat seperti: individu, struktur sosial, pemerintah, dan sebagainya. Agak berbeda dengan metode survey yang mempelajari variabel yang kecil dari unit sampel yang besar, maka disini mencoba mempelajari unit yang kecil tetapi dalam variabel atau kondisi yang besar. Umumnya digunakan untuk kasus-kasus sosial tertentu yang hasilnya merupakan gambaran yang lengkap dan terorganisir dengan baik. Hal ini sangat berguna dalam rangka perencanaan atau tindakan kebijakan lebih lanjut yang menyangkut faktor-faktor sosial sehingga sedapat mungkin harus objektif dan dideskripsikan dalam data statistik. Langkah pokoknya adaalah: •
Rumuskan apa tujuan yang hendak dicapai.
•
Rancangan dan pendekatannya. Unit apa yang akan dipilih, sumber data apa yang tersedia, dsb.
•
Pengumpulan data
•
Pengorganisasian data dan informasi yang ada menjadi konstruksi yang utuh.
• Buat laporan dan diskusinya Teladan: Studi kasus “peristiwa sampit” terhadap rasa traumatik masyarakat Madura; Studi masyarakat baduy di Jawa Barat; dsb.
Korelasional (correlational research) Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat sejauhmana keterkaitan hubungan suatu faktor dengan faktor lain baik tunggal maupun majemuk yang bentuk keterkaitannya digambarkan dalam koefisien korelasi (r) . Penelitian cara ini memungkinkan kita bermain dengan angka-angka koefisien korelasi tanpa dapat mengintervensi data yang sebenarnya terjadi sehingga mendekati kondisi realistiknya di lapangan. Cara ini dilakukan apabila rancangan lain tak dapat digunakan karena tidak sesuai seperti eksperimental. Langkah yang dilakukan meliputi: •
Definisikan permasalahan
•
Runtut studi kepustakaan
•
Buat rancangan pendekatan terdiri dari: identifikasi variabel yang relevan, tentukan subjek, pilih peralatan yang cocok, pilih metode
174
korelasional yang sesuai (korelasi sedrhana, korelasi parsial dan berganda, path analysis, SEM, dll.) •
Kumpulkan data
•
Analisis data dan interpretasinya
• Membuat laporan Teladan: Mencari pengaruh banyaknya ponpes terhadap tingkat kriminalitas di Bangkalan; Pengaruh pendirian industri kimia di bantalan sungai terhadap kualitas air; Pengaruh tingkat pendidikan suami-istri terhadap kenakalan remaja; Pengaruh hutan kota terhadap pencemaran udara; dsb.
Kausal-Komparatif (Causal-comparative research) Untuk mempelajari hubungan timbal balik atau sebab akibat yang bentuk hubungannya biasanya dapat dilihat dalam pola tertentu dengan keeratannya digambarkan dalam koefisien determinatif (R2). Cara ini memungkinkan kita melakukan pengamatan dengan variabel yang luas yang dianggap punya hubungan terhadap faktor tertentu dengan demikian akan didapat berbagai model hubungan yang pilihannya ditentukan oleh besarnya nilai keeratan serta alasan-alasan lain yang rasional. Langkah yang perlu dilakukan adalah: •
Definisikan masalah
•
Penelaahan pustaka
•
Rumuskan hipotesis
•
Rancang cara pendekatan (Regresi linier atau non linier)
•
Kumpulkan data dan analisis data
• Laporan Teladan: Hubungan pertumbuhan tanaman terhadap pemupukan dan irigasi; Hubungan IPK mahasiswa Universitas Trunojo dengan pengalaman dosen; dsb.
Eksperimental-Sungguhan Dimaksudkan untuk melihat pengaruh suatu perlakuan atau beberapa perlakuan terhadap variabel tertentu dengan membandingkannya pada perlakuan kontrol. Penelitian cara ini banyak dikembangkan dalam bidang eksakta karena memungkinkan untuk melakukan pengontrolan terhadap faktorfaktor lain yang tidak dikehendaki. Langkah yang dilakukan: •
Studi pustaka
•
Identifikasi dan definisi masalah
175
•
Buat hipotesis
•
Devinisikan variabel-variabel kunci
•
Susun rencana eksperimen: FRD, RBD, LSqD, SSPD, dsb.
•
Lakukan penelitian
•
Atur data kasar
•
Uji signifikansi
• Buat laporan dan interpretasi Teladan: Pengaruh unsur cuaca terhadap produksi melon di rumah kaca; Pengaruh gulma air dalam mengurangi polutan buangan pabrik dalam water treatment area; dsb.
Eksperimental-Semu Pada prinsipnya sama dengan eksperimental-sungguhan namun disini dilakukan apabila variabel tertentu tidak dapat dikontrol atau sulit dikontrol karena alasan tertentu. Langkah yang dilakukan sama dengan eksperimen sungguhan namun ada catatan terhadap keterbatasan dalam mengontrol faktor internal dan eksternalnya. Teladan: Masalah kenakalan usia sekolah dengan kebiasaan merokok, bertato, rambut gondrong; dsb.
Penelitian Tindakan Dimaksudkan untuk mengembangkan ketrampilan atau inovasi baru dalam memecahkan masalah dengan penerapan atau contoh langsung di lapangan. Cara ini memang praktis serta nyata dan mampu merubah langsung perilaku atau kebiasaan masyarakat. Langkahnya adalah: •
Definisikan masalah dan tujuan
•
Telaah pustaka
•
Buat hipotesis atau strategi pendekatan yang akan dilakukan
•
Bagaimana penempatan penelitiannya
•
Buat kretarium evaluasinya dan kumpulkan data
•
Analisis data
• Buat laporan Teladan: Introduksi panca usaha tani dalam masyarakat tradisional; Contoh langsung pimpinan dalam tindakan kedisiplinan atas waktu kerja di kantor, dsb.
176
Dengan pengelompokan rancangan di atas kita dengan mudah dapat melangkah lebih jauh untuk memilah-milah penyesuaian objek, dana, waktu, instrument, dan sebagainya. Disini tidak ada istilah jenis penelitian mana yang lebih tinggi kualitasnya atau kebenarannya, mengingat masing-masingnya mempunyai kelebihan dan kekurangan, yang penting disini adalah prosedur kaidah ilmiah telah dikemukakan dengan gamblang. Bisa saja hasil yang didapat saat ini dianggapnya benar dengan kaedah yang ada akan tetapi tertempis kemudian karena pendekatan atau rancangan yang salah. Dalam bidang sosial misalnya hampir mustahil kita melakukan penelitian dengan menggunakan eksperimental sungguhan ataupun semu mengingat sulitnya mengontrol variabel yang berinteraksi di dalamnya, hal ini lebih tepat dalam bidang-bidang eksakta seperti kimia, fisika, atau biologi tertentu. Pendekatan yang dipaksakan justru akan menyebabkan interpretasi yang salah terhadap suatu masalah, sehingga pekerjaan penelitian menjadi sia-sia.
Daftar Pustaka Anonim. 1989. Petunjuk penggunaan ISBN/ISSN. PDII-LIPI. 3h. Anonim. 1989. Penjelasan dan petunjuk pelaksanaan peraturan baru tentang angka kredit bagi tenaga pengajar di P.T. Fak. Pertanian Unibraw. 8 h. Gembong
Tjitrosoepomo. 1980. Tatacara laporan ilmiah UGM, Yogyakarta. 12h.
F. Rumawas. 1981. Metodologi penelitian. IPB. 71 h.
secara tulis. Fak. Biologi
177
METODE MONITORING DAN EVALUASI PENGEMBANGAN JURUSAN1 Ika Rochdjatun Sastrahidayat
Pendahuluan Tugas utama dari perguruan tinggi adalah melakukan kegiatan yang disebut dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi: (a) pendidikan dan pengajaran; (2) penelitian; (3) dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian segala aktivitas daya dukung baik itu berupa manusia maupun perlengkapannya seharusnya diarahkan kepada ketiga kegiatan tersebut, demikian pula dengan pengembangannya. Sumber daya manusia kampus sebagai daya dukung kegiatan tadi dikenal sebagai sivitas akademika, yakni terdiri atas: tenaga dosen, mahasiswa dan tenaga administrasi termasuk di dalamnya unsur pimpinan. Potensi dari masing-masing unsur tersebut perlu terus dibina dan dikembangkan agar supaya visi dan misi yang menjadi target perguruan tinggi tertentu dapat segera dicapai atau terealisir. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut unsur dosen sangat vital mengingat peranannya yang dapat melakukakan atau mewarnai ketiga aktivitas tersebut di atas, bahkan ia bisa menjadi “lokomotif” yang bisa membawa gerbong perguruan tinggi kemana saja. Hal ini tidak lepas dari fungsi gandanya yakni selain sebagai pendidik ia dapat juga sebagai pemimpin di kampusnya (Rektor, Dekan, Kajur). Cepat atau lambatnya perkembangan perguruan tinggi sangat tergantung dari seberapa jauh para dosennya aktif dalam pengabdian tri dharmanya, sehingga motivation echievement sangatlah diperlukan bagi para dosen. Untuk melihat sampai seberapa jauh perkembangan kegiatan semua unsur tersebut dalam aktivitas tri dharmanya diperlukan adanya monitoring yang kontinyu terhadap semua variabel yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian variabel tersebut harus bisa diukur dan sebaiknya disederhanakan agar tidak nampak sulit dan membingungkan, tanpa harus mengurangi esensi keberadaan variabel tersebut dalam suatu system. Alat ukur (parameter) yang diakomodasikan secara bersama akan membatu dalam monitoring progress suatu pekerjaan sehingga mengurangi tingkat kesalah fahaman dikemudian hari. Hasil monitoring terhadap variabel yang disepakati tersebut merupakan fakta lapangan yang biasanya ditulis dalam bilangan (angka-angka) yang dikenal 1
Makalah disampaikan dalam diskusi tentang Monev di Jurusan Manajemen Fak. Ekonomi Unijoyo, tgl 14 Oktober 2005
178
dalaam dunia ilmu sebagai data. Karena monitoring berjalan menurut waktu maka data-data yang didapat akan semakin banyak dan selalu berubah atau dinamis sehingga diperlukan tenaga monitoring yang handal yang mengerti filosofis dan tujuan dari pekerjaan monitoring tersebut. Data-data yang didapat merupakan suatu bahan yang masih mentah untuk diproses lebih jauh, apakah data-data tersebut mempunyai nilai guna (added value) atau justru sebaliknya hanya merupakan sekumpulan informasi yang justru menyesatkan (rubbiesh). Pekerjaan demikian (evaluasi) hanya dapat dilakukan oleh seorang yang mempunyai kemampuan memadai sebagai evaluator, karena ia harus pula mampu memberikan saran-saran atau solusi bagaimana sebaiknya. Agar supaya seorang evaluator mampu berbuat cepat dengan tingkat legitimasi akademik yang dapat dipertanggung jawabkan, maka ia harus mempunyai alat analisis yang dikemukakan secara terbuka kepada khalayak (terutama yang akan dievaluasi) dalam rangka menjaga objektivitas. Analisis tersebut dikenal sebagai analisis data yang umumnya menggunakan pendekatan statistika baik dalam bentuk uji signifikansi, trend, pola, model, dll. Hasil analisis inilah yang menjadi bahan laporan dari perkembangan suatu system yang kemudian didiskusikan untuk mencari jalan keluar bagi tindakan tertentu (action program) terhadap perubahan system yang sedang berjalan. Dengan dasar siklus tersebut maka pada tulisan ini akan diuraikan secara lebih luas dari masing-masing elemen dalam “kotak” siklus tersebut sehingga akan lebih mudah dipahami bagaimana mekanismenya.
Sistem berjalan Sistem adalah sebuah kesatuan atau unit tertentu dengan cirri-ciri yang khas dan mempunyai pola atau model khas pula dengan dilengkapi oleh bagian system atau subsistem serta elemen system. Kita kenal sebuah system terkecil yang hidup yang disebut dengan sel (baik khewan, tumbuhan, maupun manusia), yang padanya terdapat bagian-bagian yang rumit seperti dinding sel, inti sel, protoplasma, mitochondria, dsb. Demikian khasnya sehingga antara sel makhluk hidup tersebut berjalan menurut kodrat yang diperuntukannya. Sel selama semua unsur dan “mesin”nya masih memadai ia akan tetap berjalan dan apabila terdapat kerusakan akan terjadi perbaikannya (self improvement). Oleh karena itu sebuah system yang hidup akan selalu berubah dari waktu ke waktu, system demikian disebut sebagai system yang dinamis (dynamic system). Contoh sehari-hari dari system demikian selain sel tersebut adalah lingkungan dimana manusia hidup berinteraksi dengan lingkungannya yang disebut ekosistem. Kembali hubungannya dengan dunia pendidikan di perguruan tinggi, maka dunia kampus, baik di tingkat universitas, fakultas atau jurusan pada dasarnya adalah sebuah system dinamis atau system berjalan. Dalam uraian ini
179
akan dibicarakan sebuah system pada tingkatan terkecil di perguruan tinggi yakni di tingkat jurusan, sehingga lebih sederhana dalam melakukan evaluasinya karena subsistem maupun elemen sistemya tidak luas. Kita ambil contoh jurusan Manajemen, fakultas Ekonomi, Universitas Trunojoyo. Dalam jurusan yang dimaksud system yang berjalan adalah system akademik yang dinamikannya dapat dilihat dari perubahan sub system dan elemen sistemnya. Terdapat dua subsistem penting yang ada di dalamnya yakni: factor internal dan factor eksternal. Masing-masing mempunyai elemen system yang berbeda dan sangat penting bagi dinamika system tersebut. Faktor internal terdiri atas: elemen fisik (laboratorium, kelas, kebun percobaan, ruang administrasi, peralatan dan bahan, dll.) dan elemen non fisik (dosen, mahasiswa, karyawan, pimpinan, kurikulum, peraturan, dll). Sedangkan factor eksternal juga terdiri dari factor fisik (instansi terkait, peralatan dan bahan, dll.) dan non fisik (kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, respon masyarakat, lapangan kerja, dll.). Sistem pendidikan di jurusan Manajemen Unijoyo tentu berbeda dengan di jurusan Manajemen Unibraw misalnya; dimana Unijoyo lebih berorientasi kepada manajemen ekonomi pengusaha kecil sedangkan di Unibrawa kepada pengusaha menengah. Kelangsungan dari system tersebut untuk berkembang sangat tergantung dari sejauhmana manajer yang menjadi “nakhoda” system tersebut mampu menyambungkan orientasi antara system manajemennya dengan pangsa pasarnya. Oleh karena itu bentuk atau model dari system perlu diformatkan atau digambarkan secara jelas agar mudah dalam usaha monitoringnya.
Metode Monitoring Sebelum masuk lebih jauh dalam membahas monitoring dan evaluasi (Monev) tersebut, maka ada baiknya dikemukakan dahulu beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan saksama: Harus ada tenaga monitoring yang paham benar terhadap sistem yang berjalan beserta elemen sistemnya. Jumlahnya tergantung kebutuhan namun sebaiknya ganjil agar supaya lebih objektif terhadap pengumpulan data (3 atu 5 orang). Sebaiknya dilakukan secara rutin berdasarkan kurun waktu tertentu agar supaya memudahkan ploting data untuk melihat kecenderungan trend yang sedang sedang berjalan. Adapun frekuensinya tergantung tujuan dari monitoring tersebut dilaksanakan. Dalam mengumpulkan data seyogyanya mengikuti kaedah-kaedah akademik untuk mengurangi bias yang akan muncul (seperti penentuan sampel, cara pengamatan).
180
Setelah hal-hal tersebut disepakati bersama maka langkah selanjutnya adalah berhubungan dengan bagaimana monitoring tersebut dilakukan atau bagaimana metode pelaksanaannya. Monitoring pada hakekatnya adalah merupakan tindakan seseorang atau sekelompok orang dalam mengumpulkan informasi (berupa data) dari suatu sistem yang ada atau menjadi tugasnya (relevan) untuk diproses lebih lanjut. Dalam pengumpulan data tersebut beberapa hal perlu diperhatikan adalah: (1) jenis data, (2) sumber data, (3) cara memperolehnya, (4) jumlah data yang harus dikumpulkan agar mencukupi kebutuhan (cukup, memadai, dan tepat). Jenis data Terdapat dua jenis data yakni: •
Data kuantitatif, yakni data yang dapat diselidiki secara langsung dan dapat dihitung dengan menggunakan cara sederhana.
•
Data kualitatif, yakni data yang tidak dapat diselidiki secara langsung dan hanya dapat diukur dengan cara tidak langsung, seperti misalnya tingkat intelegensia, ketrampilan, kejujuran, dan lainnya.
Sumber data. •
Ada dua sumber data yang lazim dilibatkan yakni sumber lapangan (primer) dan sumber documenter (sekunder).
Cara memperoleh data. Teknik pengumpulan data dapat diterangkan sebagai berikut: •
Teknik komunikasi. Dalam hal ini tenaga monitoring menelusuri data ke sumber data (informan) sehingga terjadi komunikasi tanya-jawab, yang biasanya dilakukan dengan metode lisan maupun tulis. Oleh karena itu perlu diusahakan agar pihak informan mau dan dapat mengerti isi dan arti dari masalah yang akan dibahas. Ada dua factor yang sangat berpengaruh, yaitu bahasa dan cara pendekatannya. Beberapa petunjuk dalam pelaksanaan teknik komunikasi tersebut antara lain: (1) perumusan masalah dan tujuan pengumpulan data sebagai arahan topic pembicaraan, (2) menggunakan alat komunikasi yang tepat dan penggunaan bahasa yang harus menari, bersikap simpati dan luwes, tapi jujur, (3) menghindari berbagai hal yang dapat menyinggung harga diri dan perasaan subjek informan serta menjunjung tinggi kerahasiaan fakta pribadi, (4) kalau mungkin diadakan percobaan atau latihan pendekatan terlebih dahulu.
181
•
Teknik observasi. Pada dasarnya teknik observasi sama dengan teknik komunikasi, perbedaannya adalah pada cara pengisian daftar isian dan daftar pertanyaan. Pada teknik komunikasi pengisian dilakukan oleh informan, sedangkan pada teknik observasi dilakukan oleh tenaga monitoring atau peneliti (dalam penelitian). Teknik inipun mengharuskan tenaga monitoring mengumpulkan data secara fisik di lapangan.
•
Studi kepustakaan. Tenaga monitoring dapat mempelajari data kuantitatif maupun kualitatif melalui sumber dokumenter (laporan, monografi, koran, peta, dll), namun demikian keabsahannya harus dicek langsung ke lapangan.
Kompilasi data. •
Setelah data cukup terkumpul atas dasar kaedah tertentu maka tahap berikutnya adalah bagaimana data tersebut disusun sedemikian rupa agar mudah dibaca, mudah dilihat kaitannya satu dengan yang lain, dan informatif. Tahap kompilasi data ini sudah mempunyai bobot “pra analisis”, artinya dari kompilasi data ini sudah dapat terbaca segala kecenderungan di masa mendatang, yang akan sangat penting peranannya dalam proses peramalan. Macam kompilasi data dipengaruhi oleh sistem analisis data yang akan digunakan, yang juga menentukan volume data yang dibutuhkan. Oleh karena itu pencatatan data harus dibuat sedemikian rupa agar bermanfaat bagi analsis data. Data mentah harus dibuat selengkap mungkin dan terinci. Kompilasi data dapat disajikan dengan berbagai cara seperti dalam bentuk tabel, peta, grafik, gambar dan bagan.
Evaluasi Antara monitoring dan evaluasi biasanya merupakan suatu kesatuan yang utuh agar supaya didapatkan kesimpulan yang bermanfaat. Namun adakalanya kedua kegiatan tersebut juga dipisahkaan agar tidak terjadi manipulatif data yang menyebabkan kesimpulan yang salah (abs). Seorang evaluator sebaiknya adalah mereka yang paham benar dengan model-model analisis data serta mampu menganalsisnya secara kritis dan objetif. Ini berarti bukan hanya menjadi “tukang” stempel atau “yes man” namun harus punya keberanian dan kemampuan untuk membuat kesimpulan dan saran serta ekstrapolasi terhadap data yang dianggap kurang memadai atas dasar akademik.
182
Sehubungan dengan itu dalam evaluasi dikenal dua model yang biasanya dikembangkan, yakni: (1) model matematika dan (2) model miniatur. Model matematika menyatakan hubungan dari aspek yang diamati dalam rumusan matematika. Hal ini dilakukan apabila masalah yang akan dianalisis mempunyai hubungan yang dapat diasosiasikan dengan hubungan fungsi matematika, seperti: garis lurus, lengkungan, model gravitasi, atau model aljabar lainnya. Contohnya: analisis perkembangan jumlah penduduk, migrasi, transportasi, input-output, analisis ekonomi, dll. Sedangkan model miniatur adalah menyatakan objek dalam skala miniatur yang tetap proposional, misalnya maket, peta, sistem nilai. Dalam tulisan ini tidak dibahas lebih jauh tentang bagaimana cara analisis data karena hal tersebut sangat tergantung dari rancangan yang dibangun atau digunakan untuk penelitian tersebut yang lebih lengkapnya dapat dipelajari dari berbagai referensi yang ada.
Tindakan. Istilah lain adalah program aksi, yakni suatu perlakuan yang harusnya dilakukan atau diintroduksikan kepada sistem berjalan setelah melalui berbagai macam pertimbangan sehingga setelah tindakan tersebut dilakukan maka sistem tersebut akan berjalan sesuai dengan tujuan atau bahkan lebih baik sebagai efek percepatan. Oleh karena itu kebijakan tindakn perlu dilakukan oleh mereka yang mempunyai legitimasi atau bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut. Misal: untuk universitas adalah Rektor, fakultas Dekan, jurusan Kajur. Dengan demikian apapun bentuk tindakan yang dilakukan seyogyanya telah melalui proses monitoring dan evaluasi yang mendalam agar tidak terjadi “kecerobohan” yang akan mengakibatkan rusaknya elemen sistem bahkan sistemnya itu sendiri. Dengan berjalannya waktu seorang pimpinan perguruan tinggi tentunya telah dapat melakukan skenario-skenario kebijakan yang akan menjadi keputusan dalam tindakan nantinya sehingga program-program pendidikan dapatlaah berjalan dengan lancer. Dari table di atas kita bisaa lihat berdasarkan analisis SWOT tentu akan terjadi empat kemungkinan yang terjadi sebagai konsekuensi dari pertemuan keempat elemen SWOT tersebut. Kebijakan mana yang akan diambil dan diterapkan dalam system yang berjalan hendaknya merupakan kebijakan yang rasional dengan mendekati kondisi sesungguhnya agar supaya tidak terjadi prediksi yang terlalu optimistis atau pesimistis yang menyebabkan beratnya tugas pelaksanaan seorang pimpinan. Kondisi lima tahun di depan atau sepuluh tahun ke depan (berdasar tabel) harusnya bukan hanya keluar dalam bentuk angka-angka kondisi yang akan terjadi namun juga dengan langkah-langkah atau kebijakan yang akan dilakukan agar supaya progres tersebut berjalan sesuai dengan skenario yang diambil. Dengan cara inilah bentuk atau warna dari sistem yang berjalan tersebut akan senantiasa
183
dinamik terhadap perubahan waktu dimana semua elemen dan unit-unit sistem lainnya akan “merasa” berada di dalam rumahnya sendiri (home sweet home). Dalam Tabel 1 dapatlah dikemukakan sebuah teladan mengenai tindakan apa yang perlu direncanakan agar supaya skenario yang diambil dapat berjalan. Peningkatan Aktifitas yang Direncanakan
Relevansi
Sumber Daya yang Dibutuhkan Infestasi Baru
Relokasi dari Sumber yang Ada
Sharing dengan Program yang Ada
Ya
-
-
Ya
-
-
Memproduksi buku panduan untuk prak-tikum, diktat, dan buku petunjuk labora-torium
-
Ya
-
Ya
-
-
Seminar/ Workshop
-
Ya
Ya
Demo lapang petani
-
Ya
Ya
Pelatihan untuk masyarakat sekitar
-
Ya
Ya
-
Ya
Ya
-
Ya
Ya
Meningkatkan ke-mampuan berbahasa inggris mahasiswa Meningkatkan ke-mampuan meng-operasikan komputer Pelatihan
Publikasi artikel il-miah oleh mahasis-wa dan dosen Memberikan reko-mendasi dan ke-yakinan pada petani di lapang
184
Atmosfer Akademis
-
-
-
-
Ya
-
-
Ya
-
Evaluasi semester untuk mahasiswa
-
Ya
-
Evaluasi 4 semester
-
Ya
-
Evaluasi 8 semester
-
Ya
-
Evaluasi akhir 7 ta-hun
-
Ya
-
Pengembalian hasil ujian kepada maha-siswa
-
Ya
-
-
Ya
-
-
Ya
-
-
Ya
-
Ya
Ya
-
-
Ya
-
Memotong garis birokrasi adminis-trasi
-
Ya
-
Menyiapkan laporan budget bulanan, tri-wulan, semester dan tahunan
-
Ya
-
Evaluasi penerimaan perkuliahan oleh Dekan atau Ketua Jurusan Peringatan oleh Dekan Kehadiran perkuliah-an mahasiswa
Pemberitahuan nilai mahasiswa Seminar ilmiah dosen dan mahasiswa setiap bulan Workshop setiap 3 bulan sekali Manajemen internal dan organisasi
Program terpadu manajemen infor-masi Memberi insentif yang sesuai dengan kerja/ bulan
Alokasi budget yang sesuai dengan aktifitas
-
Ya
-
Evaluasi sumber budget per tahun
-
Ya
-
Menyiapkan perencanaan dari unit terkecil Program Studi
-
Ya
-
185
Pendidikan, works-hop, dalam kuri-kulum
-
Ya
-
-
Ya
-
Peningkatan DRK
-
Ya
-
Efisiensi alokasi ang-garan
-
Ya
-
Rapat antar semester
-
-
-
Penentuan kredit se-mester
-
-
-
Monitoring skripsi oleh ketua program studi
-
Ya
-
Peningkatan fasilitas laboratorium, per-pustakaan, dan dana penelitian mahasis-wa
-
Ya
-
Pelayanan mahasis-wa terhadap masya-rakat sekitar
--
Ya
-
Peningkatan minat dan bakat mahasiswa
--
Ya
-
Ya
-
Ya
-
Rapat bulanan pim-pinan Jurusan dan rapat tahunan pimpinan Sekolah Ting-gi
Sustainabilitas Efisiensi dan Produktifitas
Peningkatan peng-gunaan bangunan kelas berdasarkan peningkatan aktifitas mahasiswa Peningkatan aktifitas dosen dan staf ad-ministrasi
186
Data Penulis Ika Rochdjatun Sastrahidayat, Prof. Dr.Ir. H., Lahir di Purwakarta (Jawa Barat), 9 Januari 1948. Guru Besar di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya-Malang. Pendidikan: S1 Fakultas Pertanian Unibraw tamat 1975; S3 Fakultas Pertanian UGM tamat 1984. Pendidikan tambahan: Keahlian dalam riset di Landbouw Hogeschool, Wageningan-Belanda, tahun 1977; Keahlian dalam bidang bioteknologi (riset mikoriza) di UPLB, Los Banos-Filipina, tahun 1988; Keahlian dalam bidang lingkungan di International Centre of Environment for Transfer Technology (ICETT), Yokkaichi-Jepang, tahun 1993; Keahlian tentang penangkaran bibit kentang di La Trobe University (Melbourne) dan Departemen Pertanian di Perth (Australia), tahun 2003. Jabatan yang pernah dipegang: PD III Fak. Pertanian Unibraw tahun 1980, Ketua Departemen Hama Penyakit Tumbuhan FP tahun 1979, Rektor IPM tahun 1985, Staf Ahli Bupati Kutai Timur Kalimantan Timur dan Rektor Sekolah Tinggi Pertanian Kutim tahun 2001; Ketua Umum Perhimpunan Fitopatologi Indonesia tahun 1990. Data keluarga: 1. Istri: Ir.Siti Hamidah, 2. Anak: Saintpaulia Yonantha, SE, MM., Mychelia Champaca, SE Ak., Camellia Nucivera (mhs), Renanthera Candra Nuralam (mhs), Arumdina Sadriana (siswa). Alamat rumah: Jl. Bhima Sakti 9, Tlogomas-Malang, tilp. (0341) 582047, HP. 08123389237. e-mail
[email protected] Francien Herlen Tomasowa, Dra., Ph.D., lahir di Surabaya, 4 Agustus 1948. Memperoleh gelar B.A. (1973) dan Dra. (1976) dalam Teaching English as a Foreign Language at University Level dari IKIP Malang. Mengikuti English Language Teaching Training Program (1975/1976) di IKIP Malang. Memperoleh gelar Ph.D. dalam English & Linguistics dari Macquarie University, Sydney, Australia pada tahun 1992. Semenjak 1979 mengajar bahasa Inggris di prodi Inggris dan non-Inggris di Universitas Brawijaya, Malang. Dengan berbekal pengalaman mengajar tersebut telah mencoba berbagi pengetahuan dengan menulis buku acuan untuk prodi nonbahasa Inggris di tingkat pendidikan tersier, yaitu English for Agriculture, English for Statistics, English for Computer Sciences, English for Mathematics, Oral Presentation: Seminar, dan English for Non-English Departments. Berbahagia sekali ditugaskan sebagai detaser di Universitas Trunojoyo dari bulan Agustus 2005 sampai Desember 2005. Alamat rumah: Jalan Bandulan I-L/69, Malang 65146, tilp. (0341)581683, e-mail
[email protected]
187
Susijahadi, Ir, MS, lahir di Yogyakarta, tahun 1945. Lektor Kepala dalam Mikrobiologi. Lulus Magister Sains dalam bidang Teknologi Pangan, di IPB Bogor, tahun 1983. Lulus Insinjur Jurusan Bercocok Tanam, tahun 1975, di UNEJ Jember. Pernah melakukan riset tentang flavor biji kakao di Universiti Putra Malaysia, tahun 1998. Pernah studi banding mengenai manajemen pengelolaan Program Studi dan Fakultas di seluruh Universitas di Australia Barat tahun 1990, di Universitas Kochi dan Osaka Perfecture, Jepang tahun 1971. Kursus Kepemimpinan melalui Kursus Reguler Angkatan 28, selama 9(sembilan) di Lemhanas R.I. Jakarta pada tahun 1995. Pengalaman di bidang manajemen dimulai sebagai Ketua Departemen Mikrobiologi, tahun 1979-1980. Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fak. Pertanian UNEJ tahun 1985-1987. Dekan Fak. Pertanian UNEJ tahun 1987-1990. Dekan Fak.Pertanian tahun 1987-1994. Kajur Teknologi Hasil Pertanian Fak. Tekn. Pertanian UNEJ tahun 1998-2001. Kajur Tekn. Hasil Pertanian Fak.Tekn. Pertanian UNEJ 2001-2005. Ketua Dewan Pertimbangan LPM UNEJ tahun 2003-sekarang. Menikah dengan seorang isteri, satu putri, dua putra dan seorang cucu. Pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2005 sebagai detaser di Universitas Trunojoyo, Bangkalan. Alamat rumah : Jln. Jawa II blok G no 4 Jember telp. (0331) 336 724, HP 0812345 9329 e-mail
Suhardjono, Prof. Dr. Ir. H M.Pd., Dipl.HE, lahir di Kebumen, 23 Maret 1946. Guru Besar Ilmu Metode Penelitian (2000). Tahun 1990, lulus sebagai Doktor Kependidikan bidang Studi Teknologi Pembelajaran. Menyelesaikan Magister Kependidikan tahun 1982, Diploma on Hydraulic Engineering dari International Institute of Hydraulic Engineering TH Delft, Nederland (1977), dan Sarjana Teknik Sipil Universitas Brawijaya pada tahun 1972. Ia mengikuti pendidikan tambahan, dalam bidang kependidikan dan pengembangan sumber daya air baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain di University of Newcastle, Inggris (1997), International Institute for Infrastructural, Hydraulic and Enviromental Engineering, Manila (1996), State University of New York at Albany, USA (1988), University of Southern California, Los Angeles, USA (1980). Pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Aktivitas Instruksional (P3AI) Universitas Brawijaya (19862001), Dekan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya (1982-1985 dan 2001-2005). Pada bulan Agustus 2005 sampai Desember 2005 ia ditugaskan sebagai dosen detaser di Universitas Trunojoyo. Alamat rumah: Jl. AR Hakim IV/129 Malang, telp (0341) 327 834. e-mail
[email protected]
188
Eman Suparman Dr., S.H., M.H. Lahir di Kuningan, 23 April 1959. Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Pendidikan: S1 bidang Hukum Perdata, Universitas Padjadjaran,1982; S2 bidang Hukum Acara Perdata, Universitas Gadjah Mada, 1988; S3 bidang Hukum Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Universitas Diponegoro, 2004. Pendidikan tambahan: “Sandwich Programme” untuk studi lanjutan, penelitian, dan studi perbandingan bidang Hukum Perdata Internasional dan Hukum Arbitrase di Rijksuniversiteit Leiden, The Netherlands, 1990-1991. “Visiting Scholar for the European Council Session at Strasborough, France, March 1991.” Awal 1997 kembali sebagai Visiting Scholar at “de Hoge Raad der Nederlanden”; The Hague, The Netherlands, March 1997; Visiting Academic and Research Programme, organised by The Departement of Law The University of Nottingham, United Kingdom, April 1997; Visiting Scholar at “The 7th Annual Writers” Festival Prague ’97 at Franz Kafka Centre on Prague’s Old Town Square, Prague, Czech Republic, May 1997; Participant at The SANGIS Training Programme: South East Asian Network for a Geological Information System; International Centre for Training and Exchanges in Geosciences; United Nations Buildings, Bangkok, Thailand, June 2001. Pada bulan Agustus–Desember 2004 dan AgustusDesember 2005 ditugaskan oleh Ditjen Dikti sebagai tenaga detasering di Universitas Trunojoyo Bangkalan Madura. Alamat rumah: Jalan Taruna no 104 Ujungberung, Bandung, telp. (022) 7802735, e-mail
[email protected]