Bulan Ramadhan Sebentar lagi umat Muslim akan memasuki bulan puasa, menahan diri dari makan dan minum di siang hari selama tiga puluh hari. Bulan suci Ramadhan memiliki makna khusus dalam penanggalan Muslim. Berikut ini adalah sinopsis dari serangkaian khutbah-khutbah Jum’ah dalam bahasa Urdu yang disampaikan oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad yang membahas filsafat dan pentingnya berpuasa.
“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu supaya kamu terpelihara dari keburukan. Puasa yang diwajibkan itu terdiri atas
beberapa hari yang dtentukan bilangannya maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam
perjalanan, maka hendaknya ia berpuasa sebanyak itu pada harihari lain, dan bagi mereka yang sanggup berpuasa hanya dengan susah payah diwajibkan membayar fidyah yaitu memberi makan kepada seorang miskin. Dan barangsiapa berbuat kebaikan dengan rela hati maka hal itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Bulan Ramadhan ialah bulan yang di dalamnya Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan pemisahan yang hak dari yang batil. Maka barangsiapa di antaramu hadir pada bulan ini hendaklah ia berpuasa di dalamnya. Tetapi barangsiapa sakit atau dalam perjalanan maka hendaklah ia berpuasa sebanyak bilangan itu pada hari-hari lain. Allah menghendaki keringanan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan Dia menghendaki supaya kamu menyempurnakan bilangan itu dan supaya kamu mengagungkan Allah karena Dia memberi petunjuk kepadamu dan supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, katakanlah “Sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia mendoa kepada-Ku Maka hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada Ku supaya mereka mengikuti jalan yang benar” (S.2 Al-Baqarah:184-187) Ayat-ayat di atas bisa diterjemahkan dalam berbagai cara. Sebuah sungai ketika melewati suatu palungan yang sempit, kedalamannya pasti sulit diduga, tetapi ketika telah sampai di muara yang panjang dan lebar maka kita akan menyadari betapa banyaknya air yang terkandung dalam sungai itu. Begitu juga dengan firman Tuhan dimana suatu ayat sepertinya hanya mengandung pengertian yang sempit dan terbatas, tetapi jika ditafsirkan secara tepat ternyata mencakup banyak sekali subyek bahasan. Kata bahasa Arab Yuthiqu berasal dari kata taqat atau kekuatan. Jika digunakan dalam kata kerja maka konotasinya bisa negatif dan juga positif sehingga harus ditafsirkan sejalan dengan konteks. Makna kata Yuthiqunahu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan kekuatan, sedangkan Yuthiquna adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kekuatan. Dalam konteks daripada ayat-ayat di atas, timbul pertanyaan kekuatan dan kemampuan melakukan apa? Dengan kata lain harus ditetapkan dulu apa yang dimaksud dengan penempatan preposisi „hu‟ tersebut. Hal berpuasa dan penggantinya (fidyah) disebutkan secara berdampingan, lalu apakah Yuthiqunahu akan diterapkan pada puasanya atau pada fidyahnya? Ataukah berlaku pada keduanya? Salah satu kemungkinan penafsiran ialah mereka yang memiliki kemampuan membayar fidyah agar melakukannya tetapi hal itu tidak menjadi kewajiban bagi semua orang. Fidyah merupakan tindakan yang dianjurkan tetapi tidak diwajibkan sebagaimana halnya puasa. Jika seseorang mampu maka ia sebaiknya juga membayar fidyah selain juga menjalankan puasa dimana kata Yuthiqunahu jadinya bisa diterapkan baik pada 1
puasa mau pun fidyah. Penafsiran lainnya terkait dengan puasa itu sendiri dengan pengertian mereka yang kuat agar berpuasa tetapi jika menemui keadaan dimana ia sulit berpuasa maka yang bersangkutan harus membayar fidyah. Dalam hal ini kata Yuthiqunahu hanya diterapkan pada laku puasa saja. Hazrat Masih Maud as menyatakan kalau fidyah itu memungkinkan seseorang yang tidak bisa berpuasa di bulan Ramadhan untuk bisa berpuasa di saat lain, dengan kata lain merupakan permohonan tolong kepada Allah swt dalam memenuhi kewajiban berpuasa. Begitu juga jika Yuthiqunahu dikaitkan hanya dengan puasa saja maka artinya adalah mereka yang mampu agar berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi jika mereka tidak bisa membayar fidyah maka mereka tidak diwajibkan. Sekarang tentang konotasi negatif yaitu Yuthiquna, maka dalam konteks tersebut penerapannya hanya pada puasa saja dan bukan pada fidyah. Dengan kata lain, mereka yang tidak mampu berpuasa karena sakit menahun bisa mendapat penghiburan dengan cara membayar fidyah sehingga dengan cara itu mereka tetap memperoleh berkat dari bulan Ramadhan. Kesimpulan dari semua itu tergantung pada keadaan diri yang bersangkutan ialah seseorang bisa berpuasa dan juga membayar fidyah, atau berpuasa dan tidak membayar fidyah, atau menunda puasanya ke saat lain dan membayar fidyah di bulan Ramadhan, atau karena sakit menahun ia membayar fidyah saja. Ayat di atas menyatakan „berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.‟ Konklusi dari semua hal itu berdasarkan pilihan yang ada dimana berpuasa tetap merupakan pilihan terbaik. Semua amalan lainnya tetap akan memperoleh ganjaran berlimpah dan tidak ada yang lepas dari sepengetahuan Allah swt. Namun jangan menganggap enteng puasa dan jangan mencari-cari helah guna menghindari puasa. Fidyah tidak bisa dianggap menjadi alternatif daripada puasa, kecuali seseorang menderita penyakit menahun. Allah swt menyatakan Ramadhan sebagai bulan dimana Al-Quran diturunkan. Ketika para penafsir merenungkan hal ini, mereka menjadi agak bingung karena sama mengetahui kalau Al-Quran diturunkan dalam jangka waktu beberapa tahun, bukan dalam waktu singkat selama tigapuluh hari. Pernyataan Al-Quran ini bisa ditafsirkan dari berbagai sudut. Misalnya, hal itu berkenaan dengan kenyataan bahwa Al-Quran mulai diwahyukan dalam bulan Ramadhan ketika Hazrat Rasulullah saw sedang bertafakur di gua Hira. Kemungkinan makna lain adalah dalam setiap Ramadhan malaikat Jibrail akan mengulang bacaan Al-Quran bersama Nabi Muhammad saw. Di masa awal, Al-Quran belum tercatat berbentuk buku dan bahkan sampai sekarang pun orang menghafal berdasarkan laku mengulang-ulang. Karena itu setiap Ramadhan, malaikat Jibrail akan meminta Nabi Muhammad saw untuk
mengulang
Al-Quran
sampai
batas
yang
telah
diwahyukan.
Aliran
pemikiran
lainnya
mengemukakan bahwa Ramadhan merupakan cakupan esensi ajaran-ajaran Al-Quran dan karena itu menjadi bulan yang menjadi sinopsis daripada Al-Quran tersebut. Al-Quran dalam ayat di atas digambarkan sebagai petunjuk bagi umat manusia dan karena diwahyukan dalam bulan Ramadhan, berarti ada keterkaitan erat di antara bulan suci ini dengan soal petunjuk. Hal ini menimbulkan pertanyaan menarik. Ayat-ayat di atas hanya berbicara kepada para mukminin, lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa Ramadhan merupakan petunjuk bagi umat manusia? Jawabannya bisa ditemukan dalam
ayat
itu
sendiri
dimana
dinyatakan
bahwa
generasi
manusia
sebelumnya
juga
telah
diperintahkan berpuasa. Sudah menjadi hukum bagi Allah bahwa semua bangsa yang menerima wahyu dari Allah telah diperintahkan untuk berpuasa dengan satu dan lain cara dimana perintah awalnya diturunkan dalam bulan Ramadhan. Ka‟abah sendiri juga dikatakan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Pada dasarnya seluruh umat manusia adalah penganut agama yang dibawa Nabi Ibrahim as dimana Ka‟abah menjadi tempat berkumpul mereka. Belakangan muncul perbedaanperbedaan namun 2
pada akhirnya nanti keseluruhan umat manusia ditakdirkan akan bersatu di bawah bendera Islam dan karena itu Ramadhan akan menjadi petunjuk bagi umat manusia secara keseluruhan. Al-Quran adalah petunjuk yang lengkap dan sempurna dan yang menjadi ciri unik dari bulan Ramadhan ialah karena Hazrat Rasulullah saw sudah memberikan perintah-perintah yang komprehensif berkaitan dengan perilaku manusia selama bulan suci itu. Sebelumnya, tidak ada agama yang memiliki norma perilaku berpuasa yang demikian rinci. Kitab suci Al-Quran memberikan tanda-tanda yang paling gemilang dan Ramadhan yang dinyatakan di dalamnya akan membawa manusia ke tingkat pencerahan tertinggi dan akan memberikan pembeda kepadanya dalam bentuk argumentasi yang kuat. Dengan demikian ajaran-ajaran Al-Quran dan Ramadhan sebagaimana dikemukakan dalam Al-Quran selain merupakan petunjuk umum, juga menjadi petunjuk kepada kedudukan ruhani yang lebih tinggi dan karena itulah disebut sebagai „keteranganketerangan yang nyata mengenai petunjuk‟ yang akan menjadi pembeda bagi kaum mukminin. Semua berkat itu datang secara bersamaan dalam bulan Ramadhan. Setelah mengemukakan segala argumentasi tentang kelebihan bulan Ramadhan, kembali Allah swt mengemukakan ajakan kepada manusia agar berpuasa. Seolah-olah Allah swt mengatakan „Sekarang kalian sudah mengerti betapa agungnya bulan ini, Kami mengajak lagi kalian untuk berpuasa.‟ Ada orang-orang yang memang diperintahkan untuk tidak berpuasa seperti mereka yang sedang bepergian atau sedang sakit. Mereka diperintahkan untuk menunda puasa sampai mereka kemudian mampu melaksanakannya. Filosofi kesalehan dalam hal ini ialah Allah swt tidak akan mempersulit seseorang yang sedang kesukaran hanya demi penderitaan. Selama berpuasa, seseorang tentunya akan menderita namun penderitaan itu bukan sebagai suatu amalan atau pun tujuan. Yang diarahkan sebagai amalan ialah mencari keridhaan Ilahi. Jika seseorang harus memikul kesukaran dalam upaya menggapai kebajikan maka kebajikan tersebut nilainya menjadi lebih tinggi. Berikutnya, ayat-ayat tersebut memerintahkan manusia agar mengagungkan Allah swt atas petunjuk yang telah diberikan-Nya karena hal ini menjadikan mereka bisa bersyukur kepada-Nya. Akhirnya, tujuan dari berpuasa dan segala bentuk ibadah lainnya adalah guna mencapai kedekatan kepada Tuhan. Dalam ayat di atas, Allah swt memberitahukan kepada para penyembah-Nya yang menanyakan bahwa „sesungguhnya Aku dekat.‟ Meski Allah swt berada di mana-mana, tetapi untuk mampu mengindera keberadaan-Nya maka manusia harus mengembangkan kekuatan ruhaniah tertentu. Yang pertama dan utama sekali ialah manusia harus memutuskan bahwa ia memang setulusnya ingin mendekat kepada Tuhan-nya, kemudian ia harus beribadah kepada Allah swt dengan kasih dan kerendahan hati dimana ia akan menyadari bahwa Tuhan menanggapi. Dengan cara itu akan tercipta dialog di antara manusia dengan sang Pencipta yang akan menimbulkan rasa kedekatan kepada Allah swt. Hanya saja manusia hanya boleh berhubungan dengan Allah saja, barulah Dia akan menjawab panggilannya. Dengan cara begini tujuan dari Ramadhan akan tercapai. Setelah mengemukakan pentingnya puasa dan betapa beberkatnya bulan Ramadhan, Allah swt kemudian menyatakan agar „beriman kepada-Ku.‟ Sekarang, jika semua diskusi itu nyatanya dimulai dengan ajakan kepada mereka yang beriman, lalu mengapa harus ditutup dengan ajakan seperti itu (beriman kepada-Ku)? Jawabannya ialah karena setelah menjalani kesulitan berpuasa, keruhanian seseorang memperoleh rona baru. Mula-mula seseorang mengambil langkah dalam perjalanan menuju kepada Tuhannya dimana ia untuk itu harus mengalami penderitaan demi Dia dan dalam peribadatan kepada-Nya. Kemudian tercipta dialog di antara manusia dengan Allah swt dimana manusia merasakan kedekatan dengan-Nya, dan hal ini merupakan suatu rona keimanan baru. Dengan demikian perjalanan itu dimulai dengan keimanan dan menghasilkan 3
tingkat keimanan yang lebih tinggi. Mereka yang beriman kepada Allah swt akan mendapat petunjuk dari Allah. Petunjuk ini akan meningkatkan kebijaksanaan seseorang. Karena itulah maka hanya orangorang suci yang memang benar-benar bijaksana. Kebanyakan orang duniawi bangga akan kemampuan intelek dirinya namun tidak ada dari keputusan yang diambilnya yang berdasarkan Tuhan. Keputusan yang mereka ambil terkadang sejalan dengan kehendak Allah dan ternyata lalu berhasil. Namun setiap kali kepentingan mereka bertentangan dengan kehendak Allah, mereka akan mengikuti hatinya sendiri dimana manfaat hasilnya hanya akan berumur pendek. Banyak sekali negeri yang melakukan kesalahan besar dalam pengambilan keputusan politis mereka yang hanya menjadikan mereka dikaliskan dari nur Ilahi. Banyak sekali yang ingin dicapai dalam bulan Ramadhan tetapi harinya hanya ada tigapuluh saja. Di satu sisi bulan suci itu hanya berlangsung singkat sedangkan di sisi lain kedatangannya hanya satu kali dalam setahun, karena itu jangan disia-siakan. Bulan ini merupakan kesempatan baik guna menyenangkan Allah dimana kesulitan untuk itu menjadi tidak berarti dibanding dengan keberkatan yang diterima. Mereka yang memiliki marifat dalam tentang kebajikan tentunya akan segera mendata ulang semua kelemahan dirinya dan memintakan ampunan atas semuanya. Hazrat Abdur Rahman bin Auf ra mriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda „Ramadhan memiliki kelebihan di atas semua bulan-bulan lainnya dan barangsiapa menjalani bulan ini dengan keimanan penuh serta merenungi dirinya sendiri, maka dosa-dosanya akan dihapus tanpa bekas lagi.‟ Hal ini jelas merupakan kabar gembira berkaitan dengan jumlah hari yang demikian terbatas, dimana dengan mengikuti petunjuk Rasulullah saw maka manusia akan bisa meraup berkat-berkat Ramadhan. Semua rukun iman harus dipenuhi seperti beramal saleh demi Tuhan semata dan melaksanakan shalat secara sempurna. Tafakur perenungan diri akan memelihara kebajikan yang tercapai. Menjaga kebersihan niat dari setiap tindakan akan memenuhi semangat Ramadhan. Ramadhan adalah bulan untuk mencari Tuhan, mengangkat tingkat kesalehan ke derajatnya yang tertinggi. Segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat Ramadhan akan membawa orang menjauh dari ketakwaan. Selama Ramadhan itulah amat penting berkonsentrasi pada ibadah, kesalehan dan zikir Ilahi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda kalau Medinah itu seperti tungku peleburan. Besi akan keluar dari tungku dalam keadaan bersih tetapi setelah selang sekian waktu akan muncul karat. Karena itu Hazrat Rasulullah saw menganjurkan kepada para sahabat dan Muslim lainnya agar berkunjung ke Medinah secara teratur guna melebur karat yang terbentuk karena berada jauh dari kesalehan beliau. Hazrat Masih Maud as juga sering mengundang para Ahmadi untuk berkunjung ke Qadian
dimana kebijakan yang
melandasinya sama dengan ucapan Hazrat Rasulullah saw. Umat Muslim diperintahkan untuk shalat lima kali sehari dan dari pengulangan laku ibadah itu maka seseorang bisa membersihkan kekotoran batinnya. Begitu juga dengan ibadah Haji ke Mekah. Ibadah ini merupakan kewajiban dan cukup untuk membasuh seseorang dari kekotoran seumur hidup. Adapun Ramadhan datang berulang setiap tahun dan kebijakan serta filsafat Ramadhan harus selalu diingat bersamaan dengan itu. Abu Huraira ra meriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim bahwa Hazrat Rasulullah saw bersabda kalau dalam
bulan Ramadhan tersebut, pintu gerbang surga dibuka lebar
sedangkan pintu neraka ditutup dan Syaitan dibelenggu. Ada Hadith lain yang meriwayatkan bahwa pintu-pintu rahmat dibukakan selama bulan Ramadhan. Kelihatannya memang seperti tidak ada tandatanda perbaikan dalam akhlak dunia, tetapi daripada mencari tanda-tanda kemajuan eksternal, sebaiknya kita meneliti ke dalam diri kita sendiri terlebih dahulu. Setiap manusia memiliki alam sendiri, langit sendiri dan bumi sendiri. Hadith tersebut di atas berkaitan dengan alam internal tersebut. Seseorang yang membawa perubahan ke dalam batinnya serta menerapkan kebajikan yang terkait 4
dengan bulan ini, yang karena Ramadhan lalu dimudahkan, maka pintu surganya akan dibukakan dan pintu nerakanya ditutup. Kalau hal ini tidak terjadi, bila Ramadhan tidak mempunyai dampak positif, maka Hadith itu tidak berlaku bagi alam yang bersangkutan. Lalu mengapa pintu-pintu surga dan rahmat lebih terbuka di bulan Ramadhan dibanding dengan saatsaat lain dalam suatu tahun? Alasannya karena suasana kebajikan dan kesalehan mewujud dalam bulan ini. Orang-orang lebih memperhatikan ibadahnya serta lebih rajin memberikan pengurbanan dan beramal saleh. Ramadhan merupakan saat ketika hati menjadi cenderung kepada ketakwaan. Penting bagi manusia untuk menggapai
suasana
kesalehan seperti itu. Secara berangsur pintu-pintu surga akan membuka dan pintu neraka menutup. Gerbang surga dan neraka yang dimaksud dalam Hadith tersebut adalah gerbang dari dunia batin kita sendiri. Syaitan yang terbelenggu adalah syaitan dari kalbu manusia sendiri. Hasil daripada itu ialah kemajuan ruhani yang juga dialami oleh seseorang yang memang sudah saleh. Guna mencapai kemajuan seperti itu, manusia tergantung kepada rahmat Ilahi. Manusia harus berusaha keras mencoba mengikis keburukan dari dalam batinnya dimana upaya dan ibadahnya itu akan menarik rahmat Ilahi. Abu Sayed Khudri meriwayatkan Hazrat Rasulullah saw bersabda bahwa seseorang yang berpuasa selama Ramadhan serta memenuhi segala persyaratannya dan menjaga dirinya dari segala hal yang harus dihindari (tidak melakukan dosa) maka puasa orang itu menjadi pengganti atas semua kekhilafannya di masa lalu. Ada sebuah Hadith yang menyatakan bahwa menolong seseorang ketika yang bersangkutan berbuka puasa akan membawa keselamatan (munajat). Rupanya Hadith ini sudah dipalsukan oleh para Sufi atau ulama karena merupakan kontradiksi dimana di satu pihak orang harus mengalami derita disiplin yang ketat selama bulan Ramadhan guna mencapai keselamatan, tetapi di sisi lain dikatakan keselamatan akan bisa dicapai cukup dengan memberi makan seseorang yang berbuka puasa. Hadith mana pun yang bertentangan dengan Al-Quran dan fitrat daripada Rasulullah saw sepatut nya ditolak. Berbaik hati kepada orang miskin merupakan kebajikan dan menolong seorang miskin berbuka puasa merupakan perlambang kesalehan yang tidak terbatas pada laku yang satu itu saja. Allah swt mengganjar orang yang bajik dengan memberinya kesempatan untuk melakukan lebih banyak kebajikan yang akan mengikis segala dosanya melalui suatu proses gradual. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw memang sudah biasa bersedekah tetapi dalam bulan Ramadhan, sedekah beliau menjadi demikian kencang seperti tiupan angin keras. Praktek yang dilakukan Rasulullah saw adalah dengan membantu yang miskin dan papa dengan berbagai cara, termasuk memberi makan saat berbuka puasa. Mengabaikan kebutuhan si miskin sampai saatnya berbuka puasa, lalu memberinya beberapa suap makanan dan menyatakan bahwa tindakan itu akan menuai keselamatan adalah suatu falasi (kekeliruan). Hazrat Rasulullah saw bersabda bahwa segala hal mempunyai jalannya sendiri dan sebuah pintu sedangkan pintu ibadah adalah Ramadhan. Salah satu penafsiran dari Hadith ini ialah seseorang yang tidak mampu beribadah selama Ramadhan maka ia tidak akan mampu beribadah selama tahun sisanya. Hanya setelah melewati pintu itu maka gerbang surga akan terbuka. Hanya saja setelah melewati pintu ibadah, tidak ada lagi jalan surut. Orang harus tetap istiqomah. Tanpa ibadah maka seseorang tidak akan memiliki kehidupan ruhani. Ibadah menjadi makanan dan minuman bagi kalbu dan tanpa itu tidak akan ada dunia ruhani. Cara agar bisa istiqomah dalam beribadah adalah dengan menikmatinya. Orang menjadi pencandu obat bius karena
ingin
adanya
suatu
rangsangan.
Untuk
membiasakan
diri
dalam
ibadah,
kita
harus
menikmatinya. Hal ini bisa dicapai dengan memohon pertolongan kepada Allah swt. Mula-mula orang harus istiqomah dalam shalatnya dan kemudian memohon pertolongan Tuhan untuk mendapatkan 5
kenikmatan dalam beribadah. Tanpa mengetahui hakikat daripada shalat maka kehidupan seseorang akan tetap gersang. Sebagai hasil dari ibadah yang hakiki maka hati dan seluruh kehidupan orang akan marak. Sebagaimana dinyatakan Allah swt bahwa nur mereka akan berjalan di muka mereka dan menjadi petunjuk bagi yang lainnya. Tidak peduli betapa bajiknya seseorang, tanpa kehidupan ruhani ia tidak akan mengalami kedamaian. Islam menyatakan bahwa barangsiapa tunduk dan menyembah Allah swt maka ia akan berada dalam kedamaian. Meski banyak orangorang mulia di kalangan kaum kafir, nyatanya mereka dikaliskan dari manfaat luhur ajaran Islam bertalian dengan penyerahan diri manusia kepada Allah swt. Hazrat Rasulullah saw bersabda bahwa
jika seseorang berhasil menemukan
kedamaian dalam bulan Ramadhan maka ia akan mengalami kedamaian sepanjang tahun sisanya. Tamsilnya sama dengan sebuah peluru yang dilepaskan dari laras sebuah senapan, arahnya sudah pasti sejalan dengan ke arah mana senapan ditujukan. Karena itu perlu dilakukan segala upaya agar kebiasaan saleh yang dikembangkan selama bulan puasa tetap berlanjut dan kita patut mengikuti arah yang sudah dipilih dalam bulan tersebut. Maka periode tahun yang tersisa akan menjadi damai. Hazrat Abu Huraira ra meriwayatkan Rasulullah saw bersabda bahwa Allah swt tidak butuh dengan puasa seseorang yang tidak meninggalkan kebiasaan buruk serta berdusta. Seseorang akan menihilkan arti puasanya jika melakukan suatu dosa. Orang itu sepertinya bisa menahan diri dari segala sesuatu yang halal sedangkan di sisi lain ia tidak menahan diri dari laku dosa. Itu namanya kontradiksi! Sedikit banyak penyakit ini terdapat pada semua orang, kalau bukan dosa besar, ya dosa kecil. Penyakit yang paling merusak adalah berdusta. Penyakit ini seperti larutan asam yang memunahkan semua kesalehan. Berbagai masalah besar muncul sebagai akibat ketidak-jujuran seperti perceraian, kerugian usaha dan lain-lain. Setiap orang wajib melakukan Jihad terhadap kedustaan dan mencerabut semua benih ketidak-jujuran yang ada dalam kalbu. Ada orang yang biasa jujur dalam kehidupan sehari-hari tetapi tatkala menghadapi situasi berat lalu berdusta guna menyelamatkan diri. Benih kedustaan seperti ini harus dihancurkan. Ketidak-jujuran terdapat di segala bidang kehidupan seperti penipuan dana kesejahteraan, penyalah-gunaan bantuan pemerintah, penipuan pajak dan lain-lainnya. Dusta seperti pencuri bersembunyi di hati setiap orang dan dalam realitasnya manusia lebih menyembah pencuri ini daripada menyembah Tuhan-nya. Pada saat sulit bahkan penyembah berhala pun menyeru Allah, karena itu seorang yang beriman sewajarnya berpaling kepada Allah swt dan tidak bertumpu pada dusta untuk menyelamatkan dirinya. Setiap orang patut merenungi dirinya secara mendalam, mencerabut akar ketidak-jujuran dari hati dan setelah itu barulah keimanan pada Ketauhidan Ilahi akan berakar di hatinya. Pada dasarnya, kedamaian adalah keimanan pada Ketauhidan Ilahi. Pengurbanan harta dalam bulan Ramadhan „Wahai orang-orang yang beriman,sesungguhnya kebanyakan ulama-ulama dan rahibrahib itu memakan harta benda orang dengan cara tidak benar dan mereka menghalangi orang dari jalan Allah. Dan orangorang yang menimbun mas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah maka kabarkanlah kepada mereka tentang siksaan yang pedih. Pada hari ketika mas dan perak yang ditimbun itu akan dipanaskan di dalam api neraka lalu dengannya dahi mereka dan lambung mereka dan punggung mereka dicapbakar dan akan dikatakan kepada mereka“Inilah apa yang telah kamu timbun untuk diri kamu, oleh karena itu rasakanlah sekarang apa yang telah kamu timbun.”‟ (S.9 At-Taubah:34-35) Ayat-ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan keagamaan yang katanya telah meninggalkan duniawi demi Tuhan mereka. Mereka mengasingkan diri dari masyarakat katanya untuk berzikir kepada Allah seperti halnya para ulama dan pir. Banyak dari mereka memakan harta orang 6
secara tidak sah. Salah satu ciri pokok dari orang-orang seperti itu ialah mereka menghalangi orang dari jalan kepada Allah dengan cara menempatkan berbagai penghalang di jalan itu. Juga disebutkan dalam ayat di atas tentang mereka yang amat mencintai harta mereka dimana perolehan harta, baik secara sah mau pun tidak sah, telah menjadi tujuan hidup mereka dan mereka mensia-siakan hidup mereka dalam
perburuan harta. Ciri
utama dari kelompok
ini
ialah
mereka tidak
sanggup
membelanjakan harta di jalan Allah. Kedua kelompok ini terkait dengan mereka yang menyangkal kebenaran. Al-Quran menyatakan tentang orang-orang seperti itu „Berikan mereka kabar tentang hukuman yang pedih ketika dahi mereka dicapbakar dengan besi panas dan punggung serta sisi mereka ditandai serta dikatakan kepada mereka “Inilah yang kalian timbun untuk diri kalian. Sekarang kalian akan menikmati penandaan ini dan menyadari apa yang telah kumpulkan untuk diri kalian.” Hukuman tersebut sama diterapkan pada kedua kelompok manusia di atas. Jemaat Ahmadiyah sama sekali berbeda dengan kedua jenis manusia tersebut. Anggota Jemaat tidak akan mencari harta secara tidak halal dan mereka tidak akan menaruh rintangan di jalan kepada Allah. Bahkan mereka inilah yang menyeru manusia kepada jalan Allah dan membelanjakan harta mereka dalam upaya penyeruan itu. Sebagian dari ayat di atas bisa saja berlaku pada anggota-anggota Jemaat yang lemah, dimana hal ini merupakan akibat dari hasrat mereka menumpuk harta. Jika mereka ini melakukan pengurbanan finansial, umumnya mereka tidak melakukannya sesuai kapasitas mereka, sedangkan yang miskin malah membelanjakan melampaui kemampuan mereka agar mendapatkan ridho
Ilahi.
Al-Quran
telah
memberikan
cara
kepada
kita
guna
mengenali
apakah
kita
ini
membelanjakan harta di jalan Tuhan sesuai dengan kapasitas kita atau tidak. Orang-orang yang membelanjakan harta meski hal itu akan menimbulkan kesulitan atau mengurangi harta mereka, sejalan dengan petunjuk Al-Quran, mereka inilah yang membelanjakan harta sesuai dengan kapasitas dirinya. Karena itu sewajarnya setiap Ahmadi menguji diri
mereka dengan cara ini, apakah ia tetap
memberikan pengurbanan finansial demi Allah meski sebenarnya ia tidak mampu dan ketika kecintaan akan harta mengajaknya ke arah lain? Jika memang demikian keadaannya, maka ia tidak perlu takut kepada apa pun karena ia akan menikmati perlindungan Allah. Masalah ini terkait erat dengan Ramadhan serta masuknya seseorang ke dalam surga. Di tempat lain dalam Al-Quran, Allah berfirman: swt „Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan dengan sombongnya berpaling daripadanya, tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit ruhani dan tidak pula mereka akan masuk surga sebelum unta masuk ke lubang jarum. Dan demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berdosa.‟ (S.7 Al-Araf:41) Yesus mengungkapkan hal ini as dengan cara yang lain dimana dikatakan kepada para muridnya : „Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan surga. Sekali lagi aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.‟ (Matius 19:23-24) Dalam hal ini sebagai pengganti kata arogan atau takabur seperti yang ada dalam Al-Quran, Injil menggunakan kata kaya. Para murid itu menjadi gempar dan berkata: „Jika demikian siapakah yang dapat diselamatkan? Yesus memandang mereka dan berkata “Bagi manusia hal ini tidak mungkin tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”‟ (Matius 19:25-26)
7
Contoh-contoh yang diberikan dalam Injil mau pun Al-Quran adalah sama yaitu Kalimatullah. Ketika agama telah
encapai kesempurnaan dan meterai Khataman Nabiyyin yaitu Muhammad telah saw
ditegakkan di dunia, kembali tamsil yang sama muncul di hadapan kita tetapi dalam bentuk yag lain. Faktor yang sama dalam kedua contoh itu adalah arogansi atau ketakaburan yang merupakan ciri buruk yang menggambarkan seseorang yang tidak mempunyai keterkaitan dengan realitas. Ego manusia menjurus kepada pengelabuan diri yang akan menuntunnya untuk meyakini bahwa ia lebih besar dari fakta realitas dirinya. Apa yang dicoba disampaikan oleh Yesus adalah menunjukkan as bahwa orang kaya cenderung menggelembungkan dirinya. Kecintaannya akan kekayaan sedemikian rupa sehingga ia menghabiskan umur untuk mengumpulkan harta. Selama ia bisa meningkatkan perolehan finansial dan menambah pada kepemilikan benda duniawi, selama itu ia pun merasa puas. Jika perolehannya itu dihentikan maka ia akan berada dalam penderitaan. Bagi orang seperti ini yang namanya surga adalah perolehan uang. Yesus Kristus menyatakan bahwa orang seperti itu tidak akan bisa masuk surga. Subyek yang sama juga dibahas dalam ayat-ayat Al-Quran tersebut di atas. Mengapa orang yang mengumpulkan harta dicegah masuk surga? Alasannya adalah karena jalan masuk ke surga harus melalui jalan kejujuran dan realitas dimana seseorang yang telah memposisikan dirinya di tempat yang salah pasti tidak akan bisa masuk ke lorong sempit yang bernama realitas. Namun ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang hal ini mengandung mutiara hikmah yang lebih tinggi. Yesus menyatakan as bahwa lebih mudah bagi seekor unta untuk melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk dalam kerajaan langit. Yang jelas semua orang tahu bahwa mustahil unta bisa melewati lubang jarum sehingga tamsil ini menjadikan orang-orang kaya kehilangan harapan karena tidak ada jalan keselamatan baginya. Sedangkan tamsil yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan ketakaburan dengan menyatakan „sebelum unta masuk ke lubang jarum.‟ Dengan kata lain, masih ada kemungkinan unta itu bisa lewat dan orang harus mencari sarananya guna mencapai hal itu. Jalan menuju keselamatan adalah dengan berlaku rendah hati, memahami situasi dirinya. Sekali orang sudah mampu menanggalkan ketakaburan dan mengembangkan kerendahan hati, akhirnya ia menyadari dan merasa dirinya hanya sebagai cacing hina yang mudah masuk dari lubanglubang yang sempit. Sebagaimana yang diungkapkan Hazrat Masih Maud „Aku ini tidak lebih dari as cacing tanah yang dilecehkan oleh orang-orang duniawi.‟ Kalau saja manusia mau meninggalkan sifat takabur, pasti ia bisa melewati lubang jarum. Firman-firman dalam Al-Quran mengandung makna rhetorika dan elokuensi yang dalam serta menjadi pencerah kebijaksanaan bagi kita. Selama bulan Ramadhan, jika orang-orang kaya memang berhasrat masuk ke dalam surga, maka sesuai pesan Ramadhan patuhilah Rasulullah Muhammad saw. Mereka harus lebih banyak berkurban finansial dan merendahkan diri mereka serta mengekang nafsu mereka. Jika seseorang tidak bisa melepaskan diri dari sifat serakah maka ia tidak akan bisa merendahkan hati untuk mengurangi beban yang dipikulnya. Dengan demikian Ramadhan membawa pesan bagi setiap orang. Di segi phisikal, Ramadhan memberikan kesempatan mengurangi lemak dari tubuh dan mereka yang terbiasa makan makanan berlemak bisa memanfaatkan periode ini untuk membuang kelebihan lemak. Di sisi spiritual, Ramadhan merupakan kesempatan untuk memupus kesalahan-kesalahan ruhani. Diriwayatkan oleh Abu Hurairara bahwa Rasulullah bersabda: „Guna saw mensucikan semuanya adalah dengan sedekah sedangkan sedekah daripada tubuh adalah berpuasa.‟ Tentu saja berpuasa juga merupakan sedekah daripada jiwa namun dalam hal ini beliau khusus menyinggung sedekah daripada tubuh phisikal.
8
Dalam hadith lain Rasulullahsaw bersabda „Jika kalian ingin sehat, berpuasalah.‟ Berpuasa mencairkan lemak yang kelebihan sehingga tubuh terasa menjadi lebih ringan. Kemudian selanjutnya dikatakan „Puasa Ramadhan akan mengikis fitrat tidak menghormati Tuhan dari dalam hati.‟ Bagaimana caranya puasa mengikis perasaan tidak hormat demikian? Dari sudut pandang medikal, kolesterol tubuh akan berkurang. Jika urat-urat darah tersumbat maka aliran darah akan berkurang dengan akibat orang akan menderita rasa sakit yang panas. Ada yang menyebutnya sebagai „jantung yang panas‟ dan ada juga yang menyebutnya sebagai angina. Banyak dari penyakit yang diderita manusia adalah karena sifat pemalasnya. Rasulullah menyatakan saw „ketika kalian melewati tungku api Ramadhan maka lemak berlebih di tubuh kalian akan terbakar dan kalian akan menikmati keselesaan kesehatan dan spiritual.‟ Beliau menyatakan bahwa sedekah bisa mensucikan segala hal dimana Ramadhan merupakan sedekah dari kalbu dan jasmani sendiri. Begitu pula sebagaimana kebiasaan Rasulullah kita diminta untuk saw meningkatkan pengurbanan finansial yang akan menjadi obat bagi penyakit-penyakit ruhani. Manusia bisa mengikis penyakit ruhani dan jasmani yang telah menumpuk selama bulan Ramadhan. Sebagian ada yang tetap memelihara kemaslahatan tersebut sepanjang tahun, dan sebagian lain, patut disayangkan, ada juga yang kembali kepada pola hidup lama mereka. Jemaat ini harus berupaya memanfaatkan
Ramadhan
sepenuhnya
dengan
membelanjakan
harta
di
jalan
Allah
dengan
menggunakan berbagai metoda. Yang penting niatnya harus benar dan sehat dimana apa pun yang dibelanjakannya adalah semata-mata karena Allah. Sebagai contoh, mereka yang terbiasa enggan memberikan uang kepada isteri dan anak-anak mereka, dalam bulan Ramadhan bisa mengupayakan keridhaan Ilahi dengan bermurah hati kepada keluarganya. Hazrat Rasulullah bersabda bahwa saw „misalnya pun kalian memberi makan isteri kalian dengan seketul makanan tetapi dengan niat mencari keridhaan Ilahi maka tindakan tersebut sama dengan amal saleh.‟ Mulailah laku amal di rumah kalian sendiri. Beres urusan rumah sendiri, perhatikan kini lingkungan kalian, tetangga dan orangorang yang menderita di dunia. Kalian harus bersedekah dan membayar zakat bagi mereka dan berupaya meringankan penderitaan mereka. Kalian harus memberikan zakat dengan keseluruhan tubuh, hati dan jiwa kalian. Setelah membayarkan zakat demikian maka sebagaimana terkandung dalam arti katanya, beban manusia akan berkurang dan kekuatannya bertambah. Sampai dengan akhir Ramadhan, umat Muslim seharusnya sudah bisa melepaskan segala beban dirinya serta meningkatkan kekuatan jasmani mau pun ruhaninya, dengan akibat kecepatan mereka akan bertambah dan mereka bisa melaju ke jalan kemajuan dengan langkah yang lebih lebar. Hazrat Abdullah bin Abbas diriwayatkan meng- ra ungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang paling saw murah hati dimana kemurahan hati beliau akan meningkat lebih tinggi lagi selama bulan Ramadhan. Selama periode ketika malaikat Jibrail mengunjungi beliau guna mengulang Al-Quran, Rasulullah saw membelanjakan harta bersedekah lebih dahsyat daripada angin yang kuat. Pentingnya shalat Hazrat Masih Maud as ketika sedang membahas tentang semangat Ramadhan, menyatakan bahwa Ramadhan adalah panasnya mentari. Selama Ramadhan tiap orang akan mengendalikan nafsu badaniah dan pada saat yang bersamaan menunjukkan hasrat untuk mendekat kepada Allah. Terbakarnya jasmani dan ruhani itulah yang menjadikan Ramadhan. Arti kata Ramadh adalah panas, sehingga Ramadhan berarti dua panas. Hazrat Masih Mauud as menyatakan bahwa perlu kiranya kedua panas itu bercampur untuk menjadi Ramadhan. Tiap orang harus memberikan zakat jasmani mau pun ruhani, maka barulah Ramadhan akan tercipta dalam artinya yang hakiki. Beberapa orang beranggapan bahwa kedua panas itu merujuk pada panasnya cuaca di Arabia digabung dengan panasnya puasa, 9
namun Masih Mauud as membantah teori tersebut. Beliau menyatakan bahwa Ramadhan ruhaniah menggambarkan hasrat atas keberkatan ruhani. Hal itu menjadi signifikasi jenis pembakaran yang meluluhkan hati yang paling keras sekali pun. Hazrat Masih Mauud as mengingatkan bahwa keluhuran Ramadhan ditandai oleh fakta bahwa Al-Quran diturunkan dalam bulan ini. Kaum sufi mengatakan kalau bulan ini baik bagi pencerahan hati. Shalat akan mensucikan manusia dan Ramadhan akan meningkatkan kemampuan kasafnya. Apa yang dimaksud dengan pencerahan hati? Seseorang yang hatinya telah dicerahkan akan mengalami banyak pengalaman kasaf, seperti mimpi yang benar, dan juga wahyu. Namun Masih Mauud as menyatakan bahwa manusia tidak bisa mencipta pencerahan kalbu itu tanpa mensucikan dirinya melalui shalat. Bagaimana caranya shalat mensucikan batin manusia? Shalat mensucikan dengan cara memasang jarak dengan nafsu karnal jasmaniah seseorang. Tanpa memperbaiki kesalahan diri dan meninggalkan dosa, hati tidak akan mungkin dicerahkan dan perbaikan tidak akan terjadi tanpa shalat. Selama bulan Ramadhan perlu diberikan perhatian khusus bagi shalat. Sehingga tiap orang bisa menyaksikan dosa-dosa meluruh jatuh dari tubuhnya dan jiwanya menjadi ringan tanpa beban. Dengan merenungi arti kata shalat dan menselaraskan perilaku dengan kata-kata itu akan menimbulkan transformasi akbar (perubahan besar) dalam perilaku seseorang. Sebagai contoh, Surat Al-Fatihah mengandung doa :„Tuntunlah kami pada jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang kemudian dimurkai dan bukan pula yang kemudian sesat.‟ Doa akbar demikian pasti memiliki persyaratan tertentu. Siapakah mereka yang telah diberi kenikmatan tersebut? Apakah diri kita memiliki fitrat mereka? Siapa kelompok yang dimurkai Allah? Apakah kita memiliki kesamaan dengan mereka? Perenungan dan analisis diri seperti itu akan meningkatkan kesadaran diri. Pada awalnya kita disadarkan pada satu atau dua kekurangan saja. Hal ini karena kalbunya masih diselimuti kegelapan, samanya seperti seseorang yang memasuki ruang terang dari kegelapan, ia pada awalnya hanya akan melihat sedikit. Pada awalnya yang terlihat adalah dosa-dosa besar dan untuk itu mohonkan doa dimana niat yang tulus akan membantu dalam pengabulan doa. Hasilnya ialah lebih mudahnya pengikisan kelemahan diri. Tentu saja akan ada pergulatan namun dengan berkat Allah dan bantuan-Nya, segala dosa itu bisa ditanggalkan. Kemudian ketika nur cahaya bertambah terang dan kegelapan tersisihkan, tiap orang akan menyadari kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Kembali proses shalat dan pensucian harus diulang. Kitab suci Al-Quran berulangkali mengingatkan bahwa Rasulullah beserta saw ajaran-ajaran beliau telah membawa para pengikut keluar dari kegelapan kepada cahaya dan ini hanya bisa dicapai melalui shalat yang tulus. Begitu seseorang telah disucikan,
pencerahan
kalbu pasti menyusul. Kebenaran dan kedustaan tidak bisa eksis bersamaan dalam diri seorang manusia dan cahaya hanya akan datang jika kegelapan telah disingkirkan. I’tikaf Beberapa orang memilih untuk menghabiskan sepuluh hari terakhir dari Ramadhan dalam sebuah mesjid dimana mereka bisa mengkhususkan waktu mereka guna zikir Ilahi. Bertempat tinggal di mesjid dalam rangka zikir Ilahi tersebut dinamakan I‟tikaf. I‟tikaf dilakukan untuk sepuluh hari terakhir, tetapi karena tidak selalu mudah menetapkan apakah Ramadhan berlangsung dua puluh sembilan atau tiga puluh hari maka sebagai penjagaan, Hazrat Rasulullah biasa memulai I‟tikaf saw satu hari lebih awal. Kapan I‟tikaf mulai dijalankan dan bagaimana awalnya dan sampai kapan Nabi Suci Muhammad saw melaksanakannya adalah beberapa topik yang akan dibahas sekarang. Sejak terciptanya dunia, I‟tikaf telah terjalin erat dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah. Konsep I‟tikaf sudah ada pada rumah pertama yang dibangun untuk penyembahan Allah swt yaitu Ka‟abah. Semua agama di dunia mengenal 10
I‟tikaf dengan satu dan lain bentuk tetapi dalam Islam konsep itu kemudian menguat dan mencapai format penuh. Biasanya I‟tikaf berarti memutus hubungan dengan ikatan duniawi guna pendedikasian waktu sepenuhnya bagi zikir Ilahi. ada beberapa agama, pelaksanaannya bisa berbentuk ekstrim. Contohnya seperti rahib-rahib Kristiani dan pertapa Hindu yang membuang diri mereka dari dunia secara permanen. Al-Quran tidak
menganjurkan praktek
mengasingkan diri
sepanjang umur.
Monastikisme seperti yang terdapat dalam agama Kristiani bukan ajaran Tuhan dan merupakan hasil interpolasi generasi berikutnya sehingga ajaran yang mestinya baik malah dibawa ke suatu titik dimana tidak setiap orang bisa melaksanakannya. Al-Quran adalah ajaran universal yang erat kaitannya dengan Ka‟abah sebagai tempat pertama yang dibangun untuk ibadah kepada Tuhan yang Maha Esa. Karena itu bisa
diasumsikan
bahwa
ajaran
Al-Quran
sudah
sejalan
dengan
kegiatan
I‟tikaf
pada
awal
pelaksanaannya. Mengenai ini Hazrat Rasulullah saw telah memberikan teladan perilaku yang tidak ada tandingannya yang menjelaskan tujuan hakiki dari kebajikan. Seluruh hidup Nabi Muhammad merupakan teladan saw bagaimana menciptakan hubungan dengan Allah . Memutus hubungan swt dengan dunia bisa disebut escapisme, melepaskan diri dari cobaan dan musibah. Adapun perilaku Rasulullah saw adalah sedemikian rupa dimana beliau tetap menjalani hidup secara aktif namun berada di atas daya tarik keduniawian, tidak pernah membiarkan diri beliau hanyut dikuasai olehnya. Inilah yang dimaksud dengan Jihad hakiki yaitu seorang yang tetap berjihad di segala bentuk. Meski banyak cobaan namun ia tetap istiqomah di jalan yang lurus dan tidak membiarkan dirinya disesatkan. Inilah jalan aktual guna mencipta ikatan dengan Allah swt sebagaimana tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad saw. Istilah Shiraathaal Mustaqiim atau jalan yang lurus
adalah jalan tengah yang
direkomendasikan Tuhan kepada manusia. Mereka harus memenuhi semua kewajiban mereka tetapi mereka juga harus istiqomah sambil memelihara hubungan dengan Allah. Konsep dasar dari I‟tikaf adalah menarik diri dari dunia untuk satu jangka waktu pendek. Rasulullahsaw malah tidak menganggap I‟tikaf sebagai tingkat kesalehan yang tinggi karena beliau menyebutnya sebagai suatu pengurbanan. Di awal sejarah Islam, Rasulullah saw mulai melakukan I‟tikaf di pertengahan Ramadhan dan berlangsung sampai malam ke dua puluh satu. Praktek ini berjalan cukup lama dan secara gradual para sahabat ikut melaksanakannya bersama beliau. Kenyataannya beberapa isteri beliau juga lalu mendirikan kemah di dalam mesjid. Suatu ketika Hazrat Aisyah ra memasang kemah di mesjid dengan izin Rasulullah saw. Ketika isteri-isteri beliau yang lain mengetahui hal ini, mereka juga ingin ikut ambil bagian dalam laku kesalehan itu dan ramai-ramai memasang tenda di mesjid. Izin untuk itu tidak didapat dari beliau sendiri tetapi berdasarkan izin Hazrat Aisyah ra . Saat Rasulullah saw tiba di mesjid, beliau heran melihat semua tenda-tenda itu dan diberitahu bahwa semua itu adalah tenda isteri-isteri beliau. Rasulullahsaw bertanya „Apakah ini yang menjadi konsep kesalehan mereka?‟ Beliau memperlihatkan ketidaksenangan karena kebajikan hakiki datang dari dorongan batin sendiri dan bukan dengan cara meniru-niru orang lain. Beliau begitu jengkel sehingga dalam Ramadhan tersebut beliau tidak melakukan I‟tikaf di mesjid tetapi kemudian menggantinya pada bulan Syawal berikutnya. Inilah teladan agung dari perilaku Rasulullah ! saw Beliau tidak memerintahkan para isteri itu membongkar tenda mereka karena beliau telah mengizinkan wanita berdiam di mesjid sebagaimana izin yang diberikan kepada Hazrat Aisyah . Karena itu tidak ada ra alasan mengkaliskan perkenan itu pada isteri-isteri yang lain. Namun beliau merasa bahwa mereka saling berlomba supaya tampil lebih baik dari yang lain. Karena itu keputusannya adalah beliau yang menarik diri. Beliau tidak menegur mereka namun memperlihatkan pandangan beliau sedemikian rupa sehingga bisa dirasakan semua tetapi hak mereka tidak dilanggar. Hanya diri beliau saja yang menderita karena tidak jadi melaksanakan I‟tikaf. Lalu kapan I‟tikaf berubah menjadi
sepuluh hari 11
terakhir dari Ramadhan? Suatu ketika Hazrat Rasulullah bersabda bahwa beliau saw melihat malam Lailatul Qadar pada tanggal dua puluh satu Ramadhan ketika I‟tikaf dianggap telah selesai. Sejak saat itu beliau memutuskan untuk tinggal di mesjid dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pada tahun itu ada dua I‟tikaf
yang dilaksanakan, yang pertama pertengahan sepuluh hari di tengah dan
kemudian sepuluh hari terakhir. Sejak itu Rasulullah saw istiqomah dalam kebiasaannya untuk tinggal di mesjid selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Ketika sedang melaksanakan I‟tikaf, orang tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang tidak perlu, baik di dalam mau pun di luar mesjid. Orang hanya boleh meninggalkan mesjid manakala sangat perlu saja. Merias diri dan memakai perhiasan tidak diizinkan. Hazrat Sofiyah meriwarayatkan bahwa suatu ketika saat Hazrat Rasulullah saw sedang I‟tikaf di mesjid, ia berkunjung untuk membicarakan beberapa hal yang penting, hal mana tidak bertentangan dengan semangat I‟tikaf. Ketika ia selesai dan beranjak pulang, Nabi Muhammad saw mengantar dirinya sampai ke pintu. Betapa agungnya perilaku demikian. Saat itu Rasulullah saw untuk sementara waktu telah menjadikan mesjid sebagai tempat tinggalnya. Karena itu dalam rangka menunjukkan penghormatan kepada tamu, beliau mengantar sejauh mungkin untuk kemudian menyampaikan salam perpisahan. Pada saat itu kebetulan lewat dua orang Anshar yang melihat mereka. Mereka memberi salam kepada beliau. Rasulullah saw meminta mereka untuk berhenti sejenak dan menjelaskan kepada mereka bahwa beliau tadi ditemani oleh Sofiyah. Kedua sahabat ini merasa pedih dan berkata „Ya Rasulullah, apakah engkau fikir kami ini mempunyai fikiran buruk terhadap engkau? Mengapa engkau harus menjelaskan ini?‟ Rasulullah menjawab „Syaitan saw itu beredar seperti darah dalam tubuh manusia dan aku Khawatir untuk satu dan lain alasan ia akan membuat kalian tergelincir. Karena itulah aku memberikan penjelasan demikian.‟ Inilah I‟tikaf yang dilakukan Nabi Muhammad. Beliau saw biasa beribadah dalam bentuk yang terkonsentrasi. Konsentrasi beliau pada shalat selalu besar sekali dalam bulan Ramadhan dan tambah tinggi pada sepuluh hari terakhir. Hal demikian berlangsung sampai tahun terakhir dari umur beliau. Pada tahun itu beliau tinggal di mesjid untuk I‟tikaf selama dua puluh hari. Mungkin beliau sudah mendapat firasat akan datangnya maut, namun tidak mengumumkan agar tidak menjadikan para sahabat bersedih. Hadith Berkaitan dengan perilaku Nabi Muhammad saw dalam bulan Ramadhan, terdapat berbagai riwayat yang akan kita tinjau kini. Hazrat Abdullah bin Abbas meriwayatkan ra dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah saw adalah orang yang paling murah hati dan dalam bulan Ramadhan, kemurahan hati itu malah meningkat lagi. Ketika Jibrail menampakkan diri guna mengulang Al-Quran, kemurahan hati beliau laiknya angin topan. Hazrat Abdullah bin Abbas ra
meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw
bersabda tentang ada satu saat pada waktu berbuka puasa dimana doa-doa selalu dikabulkan. Karena itu pada saat berbuka puasa sepatutnya orang tidak melakukan hal-hal yang iseng. Ini adalah saatnya Allah mengabulkan doa, jangan sampai kita kehilangan saat itu. Saat khusus untuk berdoa itu merupakan titik kebijakan sepanjang hari karena demi Allah seseorang telah menahan diri dari segala hal yang halal untuk kemudian mengkonsumsi makanan halal itu dengan nama-Nya. Allah swt memperlihatkan penghargaan-Nya atas pengurbanan yang dilakukan atas nama-Nya dan untuk itu Dia mengabulkan doa mereka yang memohon. Pada saat demikian ajukanlah doa bagi kemaslahatan di akhirat. Namun tidak berarti bahwa doa orang berpuasa otomatis akan dikabulkan. Hanya mereka yang berpuasa dengan cara yang disukai Allah saja yang mendapat karunia yang dimaksud dalam hadith itu.
12
Dalam Kitabul Tauhid, Abu Huraira ra meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw meneruskan firman Tuhan yang berbunyi „Puasa adalah untuk-Ku dan Aku adalah ganjaran bagi yang berpuasa.‟ Kedekatan kepada Tuhan bisa dicapai melalui puasa. Allah berfirman „Hamba-hamba-Ku telah meninggalkan segala yang halal demi Aku‟ dan puasa adalah perlindungan terhadap dosa dimana ada dua kenikmatan yang dianugrahkan kepada para hamba. Kenikmatan yang pertama diberikan di dunia ini juga ketika yang bersangkutan berbuka puasa dimana setiap hari pada akhir hari ia menikmati rasa kepuasan. Kenikmatan lainnya akan diberikan di akhirat ketika hamba itu bertemu dengan Tuhan-nya dan Tuhan ridha dengan hamba-Nya.‟ Rasulullah saw juga mengungkapkan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih berharga bagi Allah daripada harum kesturi. Dalam bentuk ibadah yang
lain, orang tidak
menahan diri dari segala kegiatan yang halal. Tetapi saat puasa, beberapa kegiatan yang halal malah dilarang. Allah tidak membutuhkan makan dan minum sedangkan manusia tergantung sepenuhnya. Maka sebagai hasil dari pengurbanannya itu sang hamba akan mendekat kepada Allah, dan hal itu juga yang menyebabkan Allah berfirman bahwa „Aku sendiri menjadi ganjaran karena hamba ini telah berupaya mendekat.‟ Kata bahasa Arab untuk Abd berarti hamba, seseorang yang tidak memiliki apa pun. Dalam Al-Quran digunakan kata Abd karena manusia pada dasarnya adalah hamba-hamba Allah. Mereka tidak memiliki apa-apa atas namanya sendiri, kemudian Allah memberikan kepemilikan sementara, tetapi itu pun dituntut agar mereka secara sukarela membelanjakan miliknya di jalan-Nya. Inilah hakikat ibadah yang diajarkan kepada manusia, bahwa ia datang ke dunia bertangan kosong, kemudian ia diberikan harta dengan apa yang bersangkutan menciptakan keterikatan. Kemudian dengan sukarela ia harus menjalani laku mati dimana ia menyerahkan kembali kepemilikannya, tidak semua memang dan hanya sebagian, jika bukan untuk jangka waktu panjang mungkin juga untuk jangka waktu pendek. Dalam konsep Abudiat (yang berasal dari kata Abd) manusia dipaksa untuk tunduk kepada kehendak Ilahi, tetapi dalam pengertian Abadat manusia melakukannya secara sukarela sehingga tercipta hubungan dengan Allah dan segala keterkaitan dengan dunia menjadi terputus. Allah dalam hal ini menjadi titik pusat dari hasrat kalbu manusia. Apakah semua ini bersifat mental, phisikal atau pun spiritual, yang jelas merupakan hijrah ke arah Allah. Puasa menjadi sarana pendukung dalam hijrah tersebut. Adalah tindakan suportif dalam mempersembahkan diri kepada Allah dengan cara sedemikian rupa sehingga orang seperti merasa mendekati maut. Ramadhan dengan demikian berarti melakoni kesulitan yang terkadang serasa membawa manusia ke tebing maut dan untuk itulah Allah berfirman „Aku-lah yang menjadi ganjarannya.‟ Rasulullah saw menganggap bahwa meninggalkan segala urusan dunia selama bulan Ramadhan merupakan bentuk pengurbanan. Beliau berujar bahwa barangsiapa memutus hubungan dengan dunia dan tinggal di mesjid maka segala amal saleh yang biasa ia kerjakan di luar mesjid tetap akan tercatat dalam bukunya oleh Allah, seolah-olah ia masih tetap melakukannya sendiri. Melalui I‟tikaf manusia menjadi lekat dengan Allah. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menyatakan ada sebuah pintu surga yang bernama Rayyan yaitu gerbang pemenuhan harapan. Pada Hari Penghisaban, hanya orangorang yang melaksanakan puasa saja yang diizinkan masuk surga melalui gerbang tersebut, sedangkan mereka yang tidak berpuasa tidak diizinkan melaluinya.
Saat itu akan diumumkan „Siapa saja yang
melakukan puasa?‟ dan mereka akan dipanggil satu per satu dan dibimbing melalui gerbang tersebut yang kemudian ditutup setelah mereka semua sudah lewat. Hadith ini memberikan gambaran tentang surga yang bisa dipahami oleh kelima indera. Seseorang yang mempunyai kemampuan penglihatan, jelas akan mengalami dunianya dengan cara yang tidak sama dengan mereka yang penglihatannya rusak. Bicara secara figuratif, ada lima gerbang melalui mana manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Jika salah satu gerbang itu ditutup maka dunia tersebut akan berhenti eksis bagi 13
dirinya, ia tidak lagi mempunyai kaitan dengan indera khusus itu dan pengalamannya menjadi terbatas. Seseorang yang penglihatannya rusak tidak bisa merasakan kenikmatan penglihatan. Orang-orang yang tidak mampu berpuasa bisa saja tetap masuk surga karena mereka masih memiliki kebajikan lainnya. Yang dimaksud disini ialah indera khusus yang akan dikaruniakan kepada mereka yang dengan senang hati telah mengurbankan hak dirinya demi Allah. Indera khusus ini akan memungkinkan mereka menikmati karunia surga dengan cara yang unik. Gerbang inilah yang dimaksud dalam hadith tersebut. Dalam Shahih Bukhari, Hazrat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda „Wahai umat Muslim, makanlah sahur sebelum fajar karena hal itu berberkat.‟ Beberapa orang berupaya mencapai tingkat kebajikan yang lebih tinggi dengan cara tidak sahur karena beranggapan dengan tambah kencangnya rasa lapar maka akan bertambah besar kebajikannya. Ketika orangorang ini mengemukakan hal tersebut kepada Rasulullah , beliau saw malah menegur mereka. Seseorang hanya bisa menyenangkan Tuhan kalau ia mengikuti jalan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Dia telah memerintahkan agar kita makan sahur sebelum fajar, melanggar perintah tersebut bukanlah laku saleh namanya. Makan sahur merupakan bagian esensial dari puasa. Dalam Tirmidhi diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda „Tuhan kalian saw telah berfirman “Untuk setiap amal baik ganjarannya adalah dua kali sampai tujuh ratus kali, tetapi puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjar orang yang berpuasa. Puasa itu perlindungan dari api neraka.” Dalam Al-Quran disinggung tentang benih yang tumbuh dan menghasilkan tujuh bonggol jagung yang setiap bonggolnya mengandung seratus biji. Inilah konsep tentang bagaimana amal baik bisa tumbuh dan berkembang. Konsep itu tidak berarti bersifat matematis yang menghitung segala sesuatu dalam proporsinya, karena Al-Quran menggunakan ilustrasi ini hanya agar manusia memahami dan mendorong mereka melakukan amal baik. Meski mereka hanya melakukan amal baik dalam bilangan sedikit, ganjarannya akan berlipat ganda. Ganjaran itu sendiri sebenarnya tidak terbatas. Karena itulah Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa ganjaran itu bisa ditingkatkan lebih dari tujuh ratus kali sampai suatu titik dimana Allah sendiri yang menjadi ganjarannya.
14