BUKU TEKS DI TAHUN AJARAN BARU KHOLID A.HARRAS Di negeri ini, hampir dipastikan setiap kali tahun ajaran baru menjelang banyak para orang tua yang dibuat stress dan pusing kepala. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena tahun ajaran baru selalu identik dengan datangnya sejumlah ‗bayaran‘ baru. Ya, berbagai ‗bayaran‘ baru tersebut bukan hanya untuk memenuhi berbagai pungutan bagi anakanaknya yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tetapi juga untuk berbagai keperluan anak-anaknya yang baru saja naik kelas. Dari mulai biaya daftar ulang, pakaian seragam, sepatu, alat tulis, serta tidak ketinggalan untuk membeli buku-buku pelajaran atau buku teks yang baru. Khusus untuk keperluan yang disebutkan terakhir tersebut, khususnya bagi para orang tua yang anak-anaknya saat ini duduk di kelas I hingga III sekolah dasar (SD) mereka seharusnya bisa sedikit bernafas lega. Mengapa? Karena mulai tahun ajaran baru ini KBK mulai diberlakukan secara menyeluruh di semua jenjang persokalahan kita. pemerintah telah menyediaan buku-buku teks gratis bagi mereka. Menurut Mendiknas Malik Fadjar (Kompas, 18/3 2003), pola penyediaan berbagai buku teks gratis tersebut yakni dengan memanfaatkan sistem manajemen berbasis sekolah. Sedangkan anggarannya bisa berasal dari tiga alokasi yang telah tersedia, yakni DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), serta alokasi block grant. Besarnya block grant yang diperuntukan khusus untuk membeli buku-buku teks tersebut, baik kepada SD negeri maupun swasta sama, yakni Rp 4 juta rupiah. Kemudian dalam proses pemilihan, penentuan serta pembelian buku buku teks tersebut pihak sekolah tidak boleh seenaknya sendiri, tapi harus melibatkan Komite Sekolah. Malik Fadjar mengharapkan, lewat cara seperti itu, selain sekolah bisa memilih buku sesuai keinginannya, juga setiap siswa dipastikan mendapat buku-buku teks wajib di setiap tingkat pendidikannya tanpa harus membebani keuangan orang tuanya.*** Sebenarnya kebijakan Diknas menyuplai buku-buku pelajaran atau buku teks ke sekolahsekolah bukan merupakan hal baru. Sejak tahun 1990-an upaya semacam ini sesungguhnya sudah dilakukan lewat proyek pengadaan buku pelajaran sekolah. Saat itu hampir semua mata pelajaran pokok yang diajarkan di semua jenjang persekolahan kita, termasuk sekolah-sekolah kejuruan, secara bertahap diupayakan pengadaannya. Bahkan pada jenjang SD, semua mata pelajaran yang diajarkan, kecuali muatan lokal, buku-buku teksnya telah diproyekkan semua. Selain itu sejak tahun 1980-an Diknas juga secara rutin mengadakan tender pengadaan buku-buku bacaan penunjang, baik untuk siswa maupun untuk guru, untuk mengisi perpustakaan sekolah yang ada di seluruh Indonesia yang jumlahnya telah mencapai ribuan judul. Lewat proyek-proyek pengadaan buku sekolah tersebut semula diharapkan tercapai keseimbangan antara jumlah buku teks dengan jumlah siswa yang ada (1:1). Dengan begitu, selain akan sangat menunjang proses belajar-mengajar juga akan ikut membantu meringankan beban para orang tua. Namun seperti kita semua tahu, cita-cita luhur nan mulia tersebut ternyata hanya tertulis dalam proposal proyek. Dalam praktiknya keberadaan buku teks gratis di sekolah-sekolah kita
hanya sekedar impian belaka. Padahal dana yang dikeluarkan untuk pengadaan bukubuku teks tersebut jumlahnya mencapai trilyunan rupiah, baik dari APBN dalam bentuk rupiah murni maupun dari pinjaman lembaga donor semacam World Bank (Bank Dunia) dalam bentuk dollar AS. Besarnya dana tersebut dapat dimaklumi, karena konon kabarnya untuk menyediakan satu jenis buku teks mata pelajaran saja, biayanya tak kurang dari 70-an milyar rupiah!. Mengapa semua itu terjadi? Jawabnya apalagi kalau bukan akibat merajalelanya praktik-praktik KKN serta lemahnya pengawasan. Atau dalam bahasa seorang rekan penulis yang telah banyak berkecimpung di dunia perbukuan, penyebab kegagalan proyek pengadaan buku sekolah di masa Orba (dan juga masih terjadi hingga saat ini) akibat bercokol kuatnya ―mafia‖ perbukuan di lingkungan orang-orang Depdiknas sendiri.
Sebagai gambaran, menurut surat edaran Mendikbud tanggal 8 Mei 1987 tentang tugas Puat Perbukuan (Pusbuk), seharusnya proses pengadaan buku (mulai dari seleksi hingga tendernya) ditangani secara terpadu oleh lembaga ini. Namun karena banyak oknum orang di lingkungan Dikdasmen Diknas (waktu itu bernama Direktorat Sarana Dikbud) sebagai ―pemilik‖ proyek ingin ikut kecipratan fulus (baca: komisi dari penerbit pemenang tender) peran Pusbuk saat itu hanya sekedar pelengkap penderita saja.Dalam praktiknya, dari mulai proses seleksi hingga tender pengadaan buku-buku teks sekolah yang saat itu mengusung bendera Kurikulum 1994 tersebut, nyaris semuanya dilakukan oleh Direktorat Sarana (kini statusnya telah direstrukturisasi). Selain itu seperti dikeluhkan oleh Ketua Pusat IKAPI), Makfudin Wirya Atmaja (Kompas 23/4 2003), proses tender terhadap buku-buku teks tersebut dinilai tidak pernah transparan. Selama ini ujar Makfudin, pengadaan buku teks pelajaran dimonopoli oleh pihak Balai Pustaka yang merupakan badan penerbitan milik pemerintah sendiri, sehingga selain tidak sehat juga telah menuai kecemburuan para penerbit swasta. Di samping itu, karena kerangkanya proyek, kerap kali buku-buku teks tersebut dibuat secara instan saja. Padahal seperti dikemukakan Chaedar Alwasilah (Pikiran Rakyat 10/9 2002), sebuah buku teks supaya dapat tampil dengan mantap dan dapat dipertanggungjawabkan mutu keilmiahannya, haruslah digarap lewat proses dan urutan langkah profesional; dimulai dari penulisan naskah, telaah dan revisi naskah, uji coba (try out) di lapangan, evaluasi hasil uji coba, revisi naskah berdasar hasil evaluasi, baru kemudian diproduksi secara masal. Pada tahap evaluasi tersebut mencakup dokumentasi kesan guru dan siswa sewaktu menggunakan buku teks tersebut. Karena dibuat secara instan alias asal jadi, jelas buku-buku teks tersebut pada umumnya mengabaikan tahap-tahap tersebut. Hal lain yang juga memprihatinkan penulisnya pun kerapkali pula bukan orang-orang yang betulbetul pakar di bidang penulisan buku ajar (tidak semua pakar mampu menjadi penulis buku ajar -pen). Begitu pula penggarapannya pun umumnya dilakukan secara single fighter. Padahal kembali merujuk pendapat Chaedar Alwasilah, buku teks yang baik merupakan hasil sinerji sejumlah otak: penulis, editor, ilustrator, pakar kurikulum, pakar pendidikan bahasa, jago-jago multimedia, sejumlah konsultan dan peneliti, serta penerbit yang profesional. Akibat rangkaian dari ―keburukan‖ di atas --seperti bisa diduga-- baik kualitas (isi dan penampilan wujudnya) maupun kuantitas (tiras dan persebarannya ke sekolah-sekolah) dari buku-buku teks proyek tersebut yang tidak sesuai dengan harapan. Sekedar sebuah contoh kasus misalnya, menurut hasil penelitian Sri Winarti,dkk.(Pusat
Bahasa,1997) diketahui bahwa dilihat dari segi bahasa (struktur dan ejaannya) dari bukubuku teks IPA dan IPS di kelas VI SD yang dihasilkan oleh berbagai penerbit (termasuk terbitan Balai pustaka yang merupakan buku paket hasil proyek-pen) banyak yang memprihatinkan. Misalnya kalimat-kalimatnya banyak yang rancu serta ejaannya berantakan. Begitu pula mengenai isi dan konsep penyajian dari buku-buku tersebut. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarsih (Universitas Terbuka,2000), ternyata dari empat buah buku IPA kelas VI SD yang ia kaji hampir semuanya (termasuk buku yang berjudul Alam Sekitar Kita yang merupakan hasil proyek-pen) tidak secara maksimal mampu mengekspresikan IPA sebagai inkuiri. Dengan demikian menurutnya sesungguhnya buku-buku tersebut sesungguhnya masih belum layak digunakan sebagai buku ajar IPA di SD. Kemudian akibat adanya praktik KKN jumlah dari buku-buku teks tersebut kerap mengalami penyunatan (karena penerbit pemenang tender pengadaan buku sengaja hanya mencetak di bawah kewajiban seharusnya). Begitu pula distribusinya pun menjadi tidak merata. Juga tidak setiap sekolah menerima buku tersebut sebagaimana yang telah dijatahkan. Oleh karena itu tidak heran jika menurut sebuah hasil survei tentang ketersediaan buku teks di sekolah (Kompas, 8/4 2003) hasilnya menunjukkan persentase ketersediaannya hanya 20 persen. Artinya, satu set buku teks digunakan untuk lima siswa. Padahal, semula harapan pemerintah dari memprogramkan tersebut, rasio ketersediaan satu buku teks wajib untuk satu siswa. Kedua kondisi sebagaimana digambarkan tersebut pada gilirannya kerap dijadikan alasan pembenaran oleh sebagian oknum guru atau kepala sekolah untuk tidak menggunakan buku-buku yang dihasilkan oleh pemerintah tersebut. Kemudian dengan alasan agar terjadi keseragaman, mereka meminta kepada para siswanya untuk menggunakan buku-buku teks terbitan swasta tertentu yang jumlah nyaris tak terbatas serta kualitasnya banyak yang lebih baik. Akibatnya, kembali para orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli buku-buku teks bagi anak-anaknya setiap kali datang tahun ajaran baru. Selain akibat faktor-faktor sebagaimana dikemukakan di atas, hal lain yang juga diduga kuat ikut serta membuat program buku gratis seolah sulit diwujudkan di sekolah-sekolah kita, yakni akibat adanya sebagian oknum guru dan kepala sekolah serta para pejabat Diknas, baik di tingkat kecamatan maupun di atasnya (umumnya berupa surat sakti yang ditunjukkan kepada pihak-pihak sekolah yang berada di daerah kekuasaannya) yang tergiur oleh iming-iming rabat besar serta berbagai hadiah yang pada umumnya dijanjikan oleh para penerbit buku swasta. Hal yang semacam itu sebenarnya sudah bukan lagi rahasia. Seperti kita semua tahu hampir semua penerbit pada umumnya minimal memberikan potongan rabat 30 persen kepada pemasarannya. Bahkan menurut penuturan seorang rekan guru tidak sedikit yang mengobralnya sampai dengan 40 persen ditambah bonus aneka hadiah jika mereka mampu memasarkan hingga mencapai jumlah eksemplar tertentu.Jadi bisa dibayangkan jika seorang guru misalnya mampu memasarkan 300 eksemplar buku teks yang harganya lima belas ribu, maka keuntungan yang bisa mereka kantongi sebesar satu juta tigaratus lima puluh ribu rupiah: sebuah profit sampingan yang jumlahnya mungkin jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji yang mereka terima setiap bulannya. Akibat mentalitas sebagian oknum guru atau kepala sekolah yang seperti ini, akhirnya kendati misalnya jumlah buku-buku paket yang didistribusikan oleh pemerintah ke sekolah cukup memadai kerap tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Sebenarnya krtik pedas terhadap praktik-praktik tidak terpuji yang dilakukan oleh sebagian guru atau sekolah menjual paksa buku-buku terbitan swasta kepada para peserta didiknya ini telah
banyak disuarakan oleh masyarakat. Sebab dengan adanya praktik semacam itu selain akan menjadi beban berat para orangtua, juga telah membuat guru terjebak melakukan bisnis yang tidak jarang akan mengganggu konsentrasinya mengajar (karena boleh jadi waktu mengajar mereka banyak tersita untuk mengumpulkan uang angsuran dari muridmuridnya). Bahwa keberadaan buku-buku teks (texbooks) itu memiliki kedudukan yang cukup vital dalam mengusung proses kegiatan belajar-mengajar (KBM) yang baik, rasanya kita semua sepakat. Namun selain buku masih ada sejumlah komponen lain yang juga ikut menentukan keberhasilan suatu proses KBM, seperti kurikulum maupun metode pembelajaran. Akan tetapi banyak pakar pendidikan yang percaya, semua komponen tersebut pun sesungguhnya kembali menjadi tidak bermakna manakala guru sebagaima man behind the gun-nya tidak profesional. Di hadapan guru yang profesional betapapun jeleknya konsep kurikulum atau mutu dan minimnya buku-buku teks, tetap ia akan mampu menggelar KBM yang baik di kelas. Namun tidak demikian sebaliknya. Dengan demikian betapapun baiknya konsep sebuah konsep pelajaran sesungguhnya ia tidak akan pernah mampu menggantikan kedudukan seorang guru yang profesional. Jadi mengapa harus terpaku pada buku semata?****
Penulis adalah pensyarah pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sebuah Penyimpangan dan Salah Kaprah
MENYOAL BISA BACA-TULIS SEBAGAI SYARAT MASUK SD KHOLID A. HARRAS
Ibu Diah terpaksa harus berdebat panjang dengan panitia Penerimaan Siswa Baru (PSB) SD. Pasalnya anaknya yang bernama Hanief ditolak oleh panitia PSB SD yang hendak dimasukinya. Penyebabnya bukan karena dia tidak sanggup membayar berbagai jenis sumbangan yang jika ditotal hampir mencapai jumlah satu juta rupiah, tetapi karena saat dites ternyata anak semata wayangnya itu masih belum bisa baca-tulis. Selain itu saat mendaftar usia Hanief juga belum genap tujuh tahun. Atas dasar kenyataan tersebut, menurut penuturan ibu Diah, panitia PSB SD menyarankan agar tahun ini Hanief masuk ke Taman Kanak-kanak dahulu dan baru tahun depan masuk SD-nya. Dalam sepuluh tahun terakhir ini memang muncul kecenderungan yang kuat dari para pengelola SD, khususnya
yang telah berlabelkan ―SD pavorit atau unggulan‖,
menginginkan agar calon peserta didiknya telah memenuhi dua kriteria sebagaimana dikatakan oleh Ibu Diah, yakni sudah memiliki kemampuan baca-tulis dan telah genap berusia tujuh tahun. Untuk itu, mereka secara ―diam-diam‖ mempersyaratkan anak yang mendaftar harus melampirkan tanda lulus dari jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak
(TK) atau Raudhatul Atfal (RA). Asumsinya jika seorang anak sebelumnya telah lulus dari TK/RA tentunya kedua hal tersebut telah terpenuhi.
Salah Kaprah Sebenarnya semua pengelola SD sudah mengetahui bahwasanya berdasarkan aturan dari Diknas kemampuan baca-tulis dan faktor usia harus genap benar tujuh tahun tidak boleh dijadikan syarat --apalagi sampai menjadi syarat mutlak-- bagi seorang anak untuk memasuki jenjang pendidikan SD. Sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas, yakni pada Bab VIII Pasal 34 ayat (1) mengenai ―Wajib Wajib Belajar‖ antara lain disebutkan ―setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar‖ . Dan yang disebut program wajib belajar menurut konsep UU Sisdiknas adalah mengikuti jenjang pendidikan dasar sembilan tahun, yakni enam tahun di SD dan tiga tahun SLTP. Dengan demikian jelaslah menurut UU Sisdiknas tersebut tidak dibenarkan dengan alasan apapun, bagi para pengelola SD menolak setiap anak Indonesia yang telah berusia enam tahun yang mendaftar diri ke sekolahnya. Jika ternyata ada di antara para pengelola SD yang melanggarnya sebagaimana kasus yang dialami oleh ibu Diah di atas, masyarakat sesungguhnya dapat menuntutnya secara hukum. Tapi entah mengapa ternyata dari tahun ke tahun semakin banyak saja pihak pengelola SD yang melanggarnya, khususnya di daerah perkotaan. Dampak-dampak ikutan apakah yang akan muncul sekiranya praktik yang jelasjelas merupakan sebuah penyimpangan tersebut tidak segera dihentikan?. Pertama, akan muncul persepsi yang salah kaprah pada masyarakat bahwasanya melewati pendidikan formal prasekolah di TK/RA yang sejatinya bersifat manasuka seolah-olah menjadi sebuah keharusan bagi setiap anak. Jika sampai salah kaprah ini melekat kuat, jelas akan sangat memberatkan beban keuangan para orang tua. Seperti semua kita mafhum, biaya yang harus dikeluarkan untuk masuk ke TK/RA, apalagi yang pavorit akan berkali lipat tinimbang masuk SD. Sebagai sebuah gambaran dalam liflet yang pernah penulis baca dari sebuah TK/RA pavorit di kota Bandung, mereka mematok biaya pendaftaran dan biaya untuk berbagai keperluan seperti seragam, ATK dan biaya lain-lainnya, sebesar tiga juta rupiah. Bahkan pada TK
yang sangat pavorit
atau menamakan dirinya ―TK/RA Unggulan‖ yang umumnya
menerapkan konsep full day biayanya bisa mencapai di atas lima juta rupiah. Begitu pula biaya harian dan bulanan (SPP) yang harus dikeluarkan oleh para orang tua bagi anaknya yang bersekolah di TK pada umumnya juga akan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya anaknya yang bersekolah di SD. Selain itu mengharuskan setiap anak harus sudah lulus TK/RA sebelum mereka masuk SD juga sesungguhnya merupakan hal yang tidak realistis, mengingat jumlahnya yang masih sangat terbatas, khususnya di pedesaan. Sebagai gambaran menurut data Balitbang Diknas saat ini, dari sekitar 12,6 juta anak Indonesia yang berusia 4-6 tahun, jumlah yang tertampung di Taman Kanak-kanak (TK) baru sekitar 12,6 persen, dan yang tertampung di Raudhatul Atfal (RA) baru sekitar 3,2 persen. Ini berarti, untuk tingkat TK/RA pun di Indonesia masih tergolong eksklusif, baru dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Salah kaprah kedua, akan muncul anggapan bahwasanya lembaga pendidikan formal TK/RA dianggap sebagai satu-satunya bentuk satuan pendidikan prasekolah atau yang saat ini dikenal dengan nama PADU (Pendidikan Anak Dini Usia). Jika sampai berkembang persepsi yang semacam ini jelas akan menimbulkan sebuah penyesatan dalam masyarakat. Sebab sebagaimana termaktub pada Bab VI pasal 28 ayat (1) sampai dengan (5) UU Sisdiknas, bahwasanya PADU diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan penyelenggaraaannya dapat melalui tiga jenis jalur pendidikan, yakni jalur formal, jalur nonformal, dan/atau jalur informal. Pendidikan PADU pada jalur formal dapat berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pada jalur nonformal dapat berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pada jalur informal dapat berupa pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Salah kaprah ketiga –ini yang lebih gawat dan serius— akibat adanya tuntutan agar anak sudah harus bisa baca-tulis akan dan telah menyebabkan terjadinya disorientasi pendidikan di TK/RA, dari yang seharusnya hanya sebagai tempat anak bermain serta untuk mengembangkan sifat sosial dan pengenalan lingkungan, menjadi arena belajar dalam arti yang sebenarnya. Dan jika praktik-praktik semacam itu tidak segera diluruskan
maka usia TK yang sejatinya hanya dipergunakan untuk menikmati masa ―kekinian‖ anak-anak akan hilang atau tercerabut. Atau dengan bahasa yang lebih bombastis praktik semacam itu merupakan bentuk lain dari ―pemerkosaan‖ terhadap hak-hak anak. Ini bukan berarti bahwa pendidikan anak dini usia menjadi tidak penting. Justru sebaliknya. Menurut para pakar pendidikan dalam rangka mempersiapkan masa depan anak yang penuh tantangan, seyogyanya
pendidikan terhadap anak-anak harus
dilaksanakan sebaik-baiknya sedini mungkin. Adapun sejumlah alasanya antara lain sebagai berikut. Pertama, menurut hasil penelitian Balitbang Diknas (tahun 1999), tingginya angka mengulang di kelas awal (kelas I: 13 persen dan kelas II: 8 persen) diduga disebabkan oleh lemahnya pembinaan anak masa dini usia. Artinya, terdapat korelasi positif antara pendidikan prasekolah yang diperoleh dengan kesiapan anak memasuki sekolah. Kedua, menurut berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa masa- masa dini usia merupakan periode kritis dalam perkembangan anak sekaligus masa emas (the golden age); masa kejayaan yang hanya datang sekali seumur hidup. Menurut kajian neurologi misalnya, pada saat lahir otak bayi mengandung sekitar 100 milyar neuron yang siap melakukan sambungan antarsel. Selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang
sangat
pesat
dengan
menghasilkan
bertrilyuin-trilyun
sambungan
antarneuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan tersebut harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak diperkuat akan mengalami antrofi (penyusutan) dan akhirnya tidak berfungsi. Inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak-anak. Dalam kajian lain diungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Sekitar 50% kapabilitas kecerdasan seorang dewasa sesungguhnya telah terjadi ketika mereka berusia 4 tahun, 80% terjadi pada saat dirinya berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika dia berusia 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya, dan selanjutynya perkembangan otak akan mengalami stagnasi. Berdasarkan kenyataan ini maka sesungguhnya penanganan pendidikan anak yang baru
dimulai setelah menginjak usia TK pun sudah dinilai terlambat, karena usia empat tahun pertama justru lebih penting dan menentukan. Meskipun demikian yang harus segera dicatat bahwasanya fungsi pendidikan bagi anak dini usia harus diartikan secara luas, yakni mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal dan formal. Artinya pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri di lingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga. Selain itu pelaksanaan pembelajarannya juga harus senantiasa memperhatikan batas-batas ―kekinian‖, baik faktor usia maupun faktor perkembangan kognitif mereka masing-masing.
Sehubungan dengan hal ini maka di sejumlah negara maju
penyelenggaraan PADU terbagi dalam berbagai kelompok, yaitu toddler (0-2 tahun), nursery (2-3 tahun), play group (3-4 tahun), dan kindergarten untuk usia 4-6 tahun. Boleh saja pada usia play group atau kindergarten anak-anak dikenalkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan baca-tulis juga hitung. Namun yang harus diperhatikan pelaksanaanya baru sebatas proses pengenalan saja. Misalnya mengenal dan menuliskan berbagai jenis abjad atau angka-angka. Sama sekali mereka masih belum boleh diajari membaca sebagaimana yang dilakukan di SD. Dan itu pun harus dilaksanakan dalam kerangka belajar sambil bermain (learning by doing). Kita memang prihatin terhadap kemampuan membaca yang saat ini dicapai oleh anak-anak di negeri ini. Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan oleh Tim Program of International Student Assessment (PISA) Balitbang Diknas, menunjukkan bahwasanya sekira 37,6 persen anak usia 15 tahun Indonesia hanya bisa membaca saja tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dikoordinasikan oleh Australian Council for Educational Research tersebut telah menempatkan kemampuan membaca anak- anak Indonesia berada di urutan 39 dari 41 negara. Meski kemampuan membaca dan dan menulis seharusnya memang dimiliki oleh anak usia SD tetapi hal itu tidak boleh dijadikan
prasyarat untuk memasukinya.
Alasannya selain melanggar aturan dan hak anak-anak juga dikhawatirkan akan menimbulkan kontraproduktif. Dari berbagai literatur serta hasil penelitian mengenai
membaca yang sempat penulis kaji,
belum ada bukti bahwasanya anak-anak yang
semasa TK-nya sudah bisa membaca akan lebih baik kemampuan membacanya dibandingkan dengan mereka yang baru memulainya saat masuk SD. Sebaliknya kemahiran membaca mereka lebih banyak berkembang dikarenakan adanya penerapan metode pengajaran yang tepat dari guru-guru serta dukungan dari pihak keluarga. Jadi mengapa ia harus dijadikan prasyarat? *** Penulis adalah pensyarah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Membina matakuliah “Keterampilan Membaca”
Kebijakan Ala Bupati Indramayu Layak Ditiru UPAYA MENDORONG MINAT BACA MASYARAKAT Kholid A.Harras Sebagaimana diberitakan sejumlah media massa beberapa waktu yang lalu ( 8/4 2005), Bupati Indramayu, H.Irianto M.S Syafiuddin mendapatkan penghargaan tingkat nasional dari SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar), karena dinilai sebagai bupati yang memiliki kepedulian yang sangat besar dalam mendorong minat membaca masyarakatnya. Penghargaan bergengsi tersebut diserahkan oleh Ketua SPS Pusat, yang juga Direktur Utama dan Pemimpin Umum Pikiran Rakyat Bapak H.Syafik Umar.
Upaya-upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Kang Yance (demikian pangggilan akrab Bupati Indramayu ini) dalam mendorong minat membaca masyarakatnya sehingga dirinya diganjar penghargaan yang cukup bergengsi dari SPS tersebut? Berikut antara lain beberapa di antaranya. Seperti diketahui, selama kepemimpinannya Bupati Yance telah mengalokasikan
anggaran APBD yang cukup besar, yakni sebesar 38,7%., untuk sektor pendidikan. Dengan pengalokasian anggaran sebesar itu Pemda Indramayu memiliki energi yang cukup untuk melakukan berbagai terobosan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerahnya. Termasuk di antaranya untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas perpustakaan yang dimilikinya dengan lebih baik lagi.
Masih segar dalam ingatan penulis ketika mensurvey perpustakaan daerah milik Pemda kabupaten ini untuk keperluan penelitian mandiri sekira sepuluh tahun yang lalu. Saat itu penulis menemukan sebuah kondisi perpustakaan daerah yang betul-betul sangat memprihatinkan. Bangunan gedungnya tampak sangat kumuh dan tidak terurus. Begitu pula koleksi buku yang dimilikinya, sangat terbatas sekali; lebih banyak rak bukunya ketimbang buku-buku yang dipajangnya. Jenis bukunya pun kebanyakan terbatas berupa buku-buku khas terbitan pemerintah, seperti kumpulan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintahan. Jika saat itu kita bermaksud mencari buku-buku sastra, maka bersiap-siaplah untuk kecewa. Karena jenis buku yang semacam ini merupakan barang langka. Dengan kondisi yang semacam itu tidak heran jika saat itu penulis menemukan data jumlah rata-rata pengunjung yang mendatangi perpustakaan tersebut setiap harinya masih dapat dihitung dengan jumlah jari tangan saja. Namun kini berkat suntikan dana yang mencukupi kondisi perpustakaan Pemda Indramayu benar-benar telah berubah total. Gedungnya cukup representatif, dilengkapi fasilitas AC, serta koleksi buku-buku yang dimilikannya pun sudah cukup lengkap (tentunya untuk ukuran sebuah perpustakaan daerah tingkat kabupaten). Begitu pula manajemen pengelolaan dan pelayanannya pun sudah menggunakan komputerisasi serta dilakukan secara profesional. Dengan fasilitas yang memadai dan pelayanan yang profesional seperti itu, penulis menyaksikan setiap harinya perpustakaan ini tampak selalu ramai dikunjungi, khususnya oleh para pelajar dan mahasiswa.
Selain itu, untuk meningkatkan pelayanan kepada para pengunjungnya pihak pengelola perpustakaan daerah ini pun melakukan berbagai terobosan yang tergolong inovatif. Secara berkala atau pada momentuntum tertentu di gedung perpustakaan daerah ini diselenggarakan kegiatan pameran buku. Dalam kesempatan tersebut pihak pengelola perpustakaan mengundang para penerbit atau distributor buku semacam TB. Gramedia untuk menggelar pameran. Lewat terobosan semacam itu maka fungsi perpustakaan Indramayu bukan hanya sebatas sebagai tempat peminjaman buku, tetapi juga tempat masyarakat untuk mendapatkan buku-buku terbitan terbaru. Selain itu lewat terobosan yang semacam itu mereka juga mencoba mendekatkan masyarakat dengan dunia perpustakaan.
Kemudian karena disokong oleh dana yang memadai pula kini armada mobilmobil Perpustakaan Keliling Pemda Indramayu juga mampu beroperasi dengan lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Memang jumlahnya masih terlampau sedikit untuk menjangkau wilayah Indramayu yang cukup luas itu, yakni baru sekira 3 buah armada yang aktif beroperasi. Namun dibandingkan dengan perpustakaan keliling milik Pemda kabupaten lainnya di Jawa Barat ini, apa yang mereka lakukan tergolong sudah cukup baik. Selain itu, salah satu upaya yang juga patut diacungi jempol, untuk memberikan pelayanan perpustakaan kepada masyarakat yang tinggal di perdesaan, khususnya kalangan para pelajar, Pemda Indramayu juga telah mendirikan pospos baca, baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat desa. Kebijakan mendirikan pos-pos baca hingga sampai tingkat desa ini, sejauh pengamatan penulis juga agaknya belum dilakukan oleh Pemda kabupaten lainnya di Jawa Barat ini.
Selanjutnya, secara pro aktif pihak Pemda Indramayu juaga terus berupaya
mendekati kalangan dunia usaha swasta serta BUMN, khususnya yang ada di wilayahnya, untuk ikut serta membantu mendirikan rumah-rumah baca. Salah satu hasilnya, pada tanggal 1 Maret 2004 lalu melalui PUKK-PKBL (Program Kemitraan Bina Lingkungan) PT.Pertamina UP VI Balongan telah didirikan sebuah rumah baca yang berlokasi di SDN Balongan III, tepatnya di Blok Kesambi, Desa/Kec. Balongan.
Rumah baca yang dibangun permanen PT Pertamina (Persero) itu memiliki ukuran 105 m2 dan dilengkapi beberapa fasilitas seperti personal computer (PC), jaringan internet, meja baca, rak buku, dan ribuan buah buku yang terdiri dari 700 judul. Buku-buku tersebut meliputi bidang pendidikan, agama, dan umum. Sedangkan pengelolanya yakni yakni Yayasan Taman Bacaan Indonesia (Manca), yang diketuai Ny. Rethy Alexandra Laksamana Sukardi yang hingga saat ini ikut menggagas pendirian sedikitnya 50 rumah baca lainnya di seluruh Indonesia. Selain itu kiat lainnya yang dilakukan oleh Bupati Yance dalam upayanya memotivasi masyarakatnya memiliki kegemaran membaca yakni dengan melibatkan berbagai organisasi kemasyarakatan, pers maupun LSM. Salah satunya, bersamaan dengan pemberian penghargaan yang diterimanya, dirinya juga telah melantik kepengurusan Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Cabang Indramayu. Seperti kita ketahui KMBI merupakan salah satu LSM bentukan SPS yang secara aktif ikut mendorong menumbuhkan minat baca yang di ketuai oleh Dr. Sabarudin Taim.
*** Di tengah gonjang-ganjing politik dan sosial serta keterpurukan ekonomi yang terus mendera bangsa saat ini, kebijakan yang dilakukan Bupati Yance dalam mendorong minat membaca masyarakatnya lewat upaya nyata meningkatkan kuantitas maupun kualitas perpustakaan di daerahnya layak diberikan catatan
tersendiri, karena belum banyak Pemda lain yang melakukannya. Padahal banyak temuan hasil penelitian menyebutkan bahwa salah satu kendala terbesar yang kita hadapi dalam menumbuhkan minat membaca (reading habit) di negeri ini antara lain akibat masih sangat minimnya sarana perpustakaan yang tersedia di masyarakat.
Sebagai gambaran, menurut data Perpusnas (Republika, 21 Mei 2000), konon dari sekira 70.000 desa dan 9.000 kecamatan yang ada di Indonesia, tak lebih dari setengah persen yang sudah memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekira 316 Daerah Tingkat II yang memiliki baru 70 persen yang memiliki perpustakaan standar. Bagaiamana dengan perpustakaan sekolah? Ternyata masih belum beranjak dari kata memprihatinkan. Dari sekira 200.000 jumlah SD kita, diperkirakan cuma satu persen saja yang memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekira 70.000 unit SLTP, hanya 36 persen yang memenuhi standar. Dan dari sekira 14.000 unit SLTA, hanya 54 persen saja yang mempunyai perpustakaan standar. Sementara di perguruan tinggi yang nota bene merupakan centre of excelence, dari sekira 4.000 PT yang kita miliki hanya 60 persen saja yang memiliki perpustakaan standar. Dengan kondisi dan situasi perpustakaan kita yang semacam itu, sesungguhnya adalah sebuah mimpi di siang bolong jika pemerintah mengharapakan masyarakakatnya memiliki minat membaca yang tinggi. Sebaliknya menjadi masuk akal jika hingga setakat ini gambaran ihwal kemampuan dan minat membaca (reading habit) dari bangsa ini tidak pernah beranjak dari kata “memprihatinkan”. Sebagai gambaran, menurut data Unesco misalnya, konon dari sekira 220 juta penduduk Indonesia yang belum bisa membaca atau dikatagorikan illiterat jumlahnya masih sekira 34,5 persen. Artinya cuma 65,5 persen saja yang sudah mampu melek huruf. Dari jumlah tersebut sebagian besar mereka termasuk ke dalam katagori kelompok aliterat, yakni mereka bisa membaca tetapi memilih
untuk tidak menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari tradisi hidupnya. Sedangkan masyarakat kita yang berkatagori literat, yakni yang telah menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari kebudayaan hidupnya, menurut sebuah hasil penelitian, jumlahnya tidak sampai 10 persen dari populasi bangsa ini. Bandingkan misalnya dengan kondisi Malaysia, di mana jumlah masyarakat yang sudah melek hurufnya telah mencapai 86,4 persen yang sudah berkatagori literatnya telah mencapai 50 persen.
Begitu pula dengan kemampuan membaca dari para peserta didik kita juga juga pada umumnya masih sangat menyedihkan. Sebagaimana diinformasikan oleh hasil penelitian Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas (Republika, 4/7 2003) menyebutkan bahwa kemampuan membaca anak- anak Indonesia yang berusia 15 tahun (SLTP/SMU/SMK) berada di urutan 39 dari 41 negara. Sekitar 37,6 persen dari mereka hanya bisa membaca saja tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan saja. Artinya, masih banyak anak-anak kita yang sesungguhnya tidak mempunyai bekal hidup untuk bisa belajar mandiri karena kemampuannya untuk menyerap pengetahuan melalui bahan bacaan masih sangat rendah. *** Upaya menghadirkan minat baca seseorang, terlebih menjadikannya sebagai bagian dari tradisi masyarakat atau bangsa memang bukan persoalan sederhana. Sebab sebagaimana dikemukakan dalam banyak literatur , faktorfaktor yang menggayuti minat membaca ini memang cukup kompleks. Selain bergayut dengan aneka faktor psikologis, juga bergayut dengan faktor-faktor sosiologis, bahkan politis. Oleh karena kompleksnya faktor-faktor yang turut mempengaruhi minat baca ini, maka pengupayaannya tidak dapat hanya bertumpu pada salah satu faktor saja dan mengabaikan faktor lainnya. Misalnya hanya
mengandalkan
instutusi
persekolahan
formal
belaka..
Keluarga,
masyarakat dan terlebih pihak pemerintah mutlak dituntut peran sertanya secara
nyata. Tanpa peran serta mereka mengharapkan masyarakat dan bangsa ini berbudaya membaca hanya akan menjadi sebuah utopia saja. Kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Kang Yance merupakan contoh dari wujud peran pemerintah dimaksud. Oleh karena itu penulis sepakat dengan pernyataan Bapak Syafik Umar saat beliau memberikan penghargaan kepada Kang Yance, bahwa apa yang dilakukan oleh Bupati Indramayu ini seyogyanya dapat ditiru oleh para bupati atau walikota di di daerah-dearah lainya dalam upayanya mendorong minat dan kegemaran membaca masyarakatnya. *** Penulis adalah pensyarah pada FPBS Universitas Pendidikan Indonesia