BUKU PETUNJUK PRAKTIKUM
BIOFARMASETIKA
Disusun oleh: Dwi Nurahmanto, S.Farm., M.Sc., Apt. Eka Deddy Irawan, S.Si., M.Sc., Apt. Lusia Oktora R.K.S., S.F., M.Sc., Apt. Lina Winarti, S.Farm., M.Sc., Apt.
BAGIAN FARMASETIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena anugrahNya buku petunjuk Praktikum Biofarmasetika Semester VII Tahun ajaran 2013/2014 Fakultas Farmasi Universitas Jember dapat terselesaikan. Penulis mengharapkan dengan diterbitkannya buku Petunjuk Praktikum Biofarmasetika, praktikan dapat mempelajari dan memahami tentang uji bioavailabilitas, uji penetrasi transdermal, uji absorbsi in situ dan modeling menggunakan WinSAAM. Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam Buku Petunjuk Praktikum Biofarmasetika dan sangat berharap akan kritikan yang membangun dari berbagai piak atas kekurangan tersebut. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada personil yang telah membantu penyusunan dan penerbitan Buku Petunjuk Praktikum Biofarmasetika ini.
Jember, 23 September 2013 PJMP Biofarmasetika
Dwi Nurahmanto, S. Farm., M.Sc., Apt
ii
TATA TERTIB PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA 1.
Praktikan harus datang 10 menit sebelum praktikum dimulai, jika terlambat maka harus melapor kepada Dosen Pengampu atau Laboran.
2.
Sebelum masuk laboratorium praktikan diwajibkan memakai jas praktikum.
3.
Selama praktikum berlangsung praktikan dilarang :
4.
a.
Makan-minum di laboratorium
b.
Merokok
c.
Membuat keributanan
d.
Melakukan hal-hal yang dapat mengganggu kegiatan praktikum
e.
Memakai sandal
Pada jam praktikum dilarang meninggalkan laboratorium kecuali untuk kepentingan yang diperbolehkan.
5.
Praktikan wajib mengembalikan alat-alat yang digunakan dalam keadaan lengkap, bersih dan kering.
6.
Praktikan yang memecahkan alat wajib mengganti dengan jenis dan kualitas yang sama.
7.
Praktikan wajib menjaga kebersihan laboratorium.
8.
Praktikan yang tidak dapat mengikuti praktikum sesuai dengan jadwal dikenakan inhal atas seizin dosen pengampu dengan membawa surat keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan.
9.
Praktikan yang tidak mengikuti praktikum 2 kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas dianggap mengundurkan diri.
10. Evaluasi praktikum harian dilakukan melalui : praktikum harian dan hasil ujian akhir praktikum (responsi) a. Diskusi+pretest
20 %
b. Kerja
10 %
c. Laporan
30 %
d. Ujian
40 % Jember, 23 September 2013 PJMP Biofarmasetika
Dwi Nurahmanto, S. Farm., M.Sc., Apt
iii
MATERI PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
1. 2.
No.
Pertemuan Minggu I Minggu II
3. 4.
Minggu III Minggu IV
Mata Praktikum Absorbsi Obat Per oral Secara In Situ Uji Perbandingan Bioavailabilitas Sediaan Tablet Parasetamol Secara In Vitro menggunakan Uji Disolusi Penetrasi Natrium Diklofenak Secara Transdermal Modeling menggunakan WinSAAM (Dry Lab)
iv
IDENTITAS MAHASISWA PRAKTIKUM
NAMA
: _______________________________________
NIM
: _______________________________________
KELAS
: _______________________________________
KELOMPOK
: _______________________________________
v
PERCOBAAN 1. ABSORBSI OBAT PER ORAL SECARA IN SITU
TUJUAN PERCOBAAN •
Mempelajari pengaruh PH terhadap absorbsi obat, yang diabsorbsi melalui difusi pasif dan percobaan dilakukan secara in situ
DASAR TEORI Percobaan absorbsi obat secara in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan hilangnya obat dari lumen usus halus setelah larutan obat dengan kadar tertentu dilewatkan melalui lumen usus halus secara perfusi dengan kecepatan tertentu. Cara ini dikenal pula dengan nama teknik perfusi, karena usus dilubangi untuk masuknya ujung kanul, satu kanul di bagian ujung atas usus untuk masuknya sampel cairan percobaan dan satu lagi bagian bawah untuk keluarnya cairan tersebut. Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa obat yang dicobakan stabil, tidak mengalami metbolisme dalam lumen usus, sehingga hilangnya obat dari lumen usus akan muncul dalam darah atau plasma darah, atau dengan perkataan lain hilangnya obat dari lumen usus tersebut adalah karena proses absorbsi. Bagi obat-obat yang berupa asam lemah atau basa lemah, pengaruh PH terhadap kecepatan absorbsi sangat besar, karena PH akan menentukan besarnya fraksi obat dalam bentuk tak terionkan. Bentuk ini yang dapat terabsorbsi secara baik melalui mekanisme difusi pasif. Metode ini dapat digunakan untuk mempelajari berbagai factor yang dapat berpengaruh pada permeabilitas dinding usus dari berebagai macam obat. Pengembangan lebih lanjut dapat digunakan untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorbsinya melalui pembentukan prodrug, khususnya untuk obat-obat yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorbsi. Melalui metode ini akan dapat diungkapkan pula besarnya permeabilitas membran usus terhadap obat melalui lipoid pathway, pori, dan aqueous boundary layer. Metode Trough and Trough merupakan salah satu cara pengobatan in situ. Cara ini dilakukan dengan menentukan fraksi obat yang terabsorbsi, setelah larutan obat dialirkan melalui lumen intestine yang panjangnya tertentu dan kecepatan alirnya tertentu pula. Dalam keadaan tunak proses absorbsi dapat dinyatakan dengan persamaan :
1
Dimana, C(0) = Kadar larutan obat mula-mula C(1) = Kadar larutan obat setelah dialirkan melalui intestine sepanjang 1 cm. r
= jari jari usus
l
= Panjang usus dalam cm = Kecepatan alir larutan obat dalam mL menit -1
ALAT Satu set Kanula, Cutter listrik, Timer/jam, Gelas piala besar (untuk tempat anastesi), Spektrofotometer, Alat/perlengkapan operasi (meja operasi, gunting, pinset, benang, penggaris), Pompa peristaltik, Alat-alat gelas, Timbangan hewan percobaan
BAHAN Cairan lambung buatan (CLB) tanpa enzim, cairan usus buatan (CUB) tanpa enzim, Larutan PCT pada CLB dan CUB tanpa enzim, Tikus putih jantan dengan berat 150-170 gram, Larutan eter, Larutan natrium klorida 0,9 % b/v.
METODE PENELITIAN
Lakukan percobaan absorbsi in situ parasetamol per oral. Percobaan dilakukan dalam dua kondisi uji yaitu pada kondisi asam menggunakan CLB tanpa enzim dengan pH 1,2 dan
2
kondisi normal-basa menggunakan CUB tanpa enzim pH 7,4. Kadar parasetamol di ukur menggunakan metode spektrofotometeri UV. 1. Buatlah larutan CLB tanpa enzim dan CUB tanpa enzim masing masing sebanyak 1 liter (petunjuk pembuatan CLB dan CUB silahkan cari dalam farmakope Indonesia edisi IV) 2. Buat kurva baku parasetamol dalam CLB dan CUB tanpa enzim dengan kadar 0,2 mg/mL, 0,4 mg/mL, 0,6 mg/mL, 0,8 mg/mL dan 1 mg/mL.(sebelumnya lakukan pencarian panjang gelombang maksimum parasetamol dalam CLB dan CUB tanpa enzim) 3. Larutkan 500 mg parasetamol masing masing dalam larutan CLB dan CUB tanpa enzim 500 mL. 4. Tetapkan kadar parasetamol dalam CLB dan CUB sebagai konsentrasi awal (C0). a) Pipet masing masing-masing 2,0 mL larutan parasetamol dari larutan parasetamol dalam CLB dan CUB tanpa enzim (point 3) b) Ukur absorbansi masing masing menggunakan panjang gelombang maksimun yang sudah dicari (point 2) c) Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kaliberasi yang didapat dari pekerjaan point 2. 5. Percobaan Absorbsi pada tikus teranastesi. a) Gunakan dua ekot tikus putih jantan, tikus pertama digunakan untuk uji menggunakan CLB dan tikus kedua digunakan untuk uji menggunakan CUB. b) Tikus dipuasakan selama 24 jam, hanya boleh diberi minum c) Lakukan anastesi tikus menggunakan eter. d) Sepanjang linea medina perut tikus dibedah sampai jelas terlihat bagian ususnya e) Cari bagian lambung, ukur 15 cm dari lambung ke arah anal menggunakan benang, dengan hati-hati dibuat lubang dan kanul dimasukkan dan ditali dengan benang. Pemasangan kanul sedemikian rupa sehingga ujungnya mengarah ke bagian anal.Kanul dihubungkan dengan selang infus menuju labu infus berisi CLB dan CUB. f) Dari ujung kanul ini usus diukur lagi dengan pertolongan benang ke arah anal sepanjang 20 cm, dan disitu dibuat lubang kedua, selanjutnya dipasang pula kanul kedua dengan ujung kanul mengarah ke bagian oral dari usus dengan benang. Kanul berhubungan dengan selang infus menuju gelas kimia. 3
g) Buka kran infus dan biarkan CUB atau CLB mengalir melalui usus dan keluar sampai ke gelas kimia, sampai cairan yang keluar jernih h) Ganti labu infus menggunakan CUB atau CLB yang mengandung parasetamol i) Aliri usus selama 30 menit j) Catat volume CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia dan tentukan kecepatan alirnya (Q) = volume terukur / 30 menit k) Potong usus tikus antara kedua ujung dan ukur panjangnya menggunakan penggaris. Data yang terukur sebagai l l) Ikat ujung usus dan masukkan aquades melalui ujung yang lain sampai usus menggelembung m) Ukur diameter usus menggunakan jangka sorong dan tentukan jari-jarinya (r) 6. Penetapan kadar parasetamol dalam CUB atau CLB yang tertampung sebagai konsentrasi akhir (C1) a) Pipet sebanyak 2,0 mL CUB atau CLB yang tertampung dalam gelas kimia b) Ukur absorbansi masing masing menggunakan panjang gelombang maksimun yang sudah dicari (point 2) c) Hitung kadar parasetamol menggunakan persamaan kurva kaliberasi yang didapat dari pekerjaan point 2. 7. Perhitungan Papp a) Hitung Papp (CUB) dan Papp (CLB) menggunakan data yang telah didapat dengan memasukkan pada persamaan yang tertera pada teori dasar. b) Bandingkan kedua Papp tersebut c) Analisis data tersebut
DATA PERCOBAAN Kurva kaliberasi parasetamol dalam CLB tanpa enzim Kadar Parasetamol (ppm)
Absorbansi
0,2 0,4 0,6 0,8 1
4
Panjang gelombang maksimum =......... Rumus Y = bx +a à Y = .............................
Kurva kaliberasi parasetamol dalam CUB tanpa enzim Kadar Parasetamol (ppm)
Absorbansi
0,2 0,4 0,6 0,8 1 Panjang gelombang maksimum =......... Rumus Y = bx +a à Y = .............................
Perhitungan Kadar parasetamol awal Larutan
Absorbansi
Kadar PCT (C0)
CLB CUB
Perhitungan Kadar parasetamol akhir (setelah 30 menit) Larutan
Absorbansi
Kadar PCT (C1)
CLB CUB
Panjang Usus : ........................ Jari jari usus : .......................... Q larutan : ......................... Papp : ................
5
PERCOBAAN 2 UJI PERBANDINGAN BIOAVAILABILITAS SEDIAAN TABLET PARASETAMOL SECARA IN VITRO MENGGUNAKAN UJI DISOLUSI
TUJUAN PERCOBAAN •
Mahasiswa dapat melakukan uji disolusi sediaan obat sesuai dengan Farmakope Indonesia ED IV
•
Mahasiswa dapat membandingkan bioavailabilitas antara obat paten dan bukan paten
DASAR TEORI Laju disolusi atau waktu yang diperlukan bagi obat untuk melarutkan dalam cairan pada tempat absorpsi, merupakan tahap yang menentukan laju proses absorbsi. Uji ini digunakan untuk obat-obat yang diberikan secara oral bentuk padat seperti tablet. Akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intesitas, dan lama respons, serta kontrol bioavailaibilitas obat tersebut keseluruhan dari bentuk sediaannya. Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi. Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagaipengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation). Kinetika uji disolusi in vitro memberiinformasi yang sangat penting untuk meramalkan availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo. Komponen yang penting dalam melakukan perubahan disolusi adalah wadah, pengadukan, suhu, dan medium. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi, kenaikan suhu medium yang tinggi akan semakin banyak zat aktif terlarut. Suhu harus konstan yang biasanya pada suhu tubuh (37oC). Medium larutan 6
hendaknya tidak jenuh obat, yang biasa dipakai adalah cairan lambung yang diencerkan, HCl 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung sifat-sifat lokasi obat akan larut. Ukuran dan bentuk wadah akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan, untuk mengamati pelarutan dari obat sangat tidak larut dalam air menggunakan wadah berkapasitas besar. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutannya seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu merupakan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat, sedangkan obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat. Berdasarkan
proses yang dialami sediaan tablet/kapsul
maka
salah satu yang
menentukan kecepatan zat aktif mencapai sirkulasi sistemik adalah kecepatan disolusi. Oleh karena itu salah satu studi biofarmasetik suatu sediaan tablet/kapsul adalah dengan melakukan uji disolusi.
Disolusi
(Kecepatan pelarutan)
adalah suatu ukuran yang
menyatakan banyaknya zat terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan waktu. Hubungan yang menggambarkan proses pelarutan suatu zat padat dikembangkan oleh Noyes and Whitney dalam persamaan berikut:
dM/dt = Kecepatan pelarutan D = Koefisien Difusi S = luas permukaan zat Cs = kelarutan zat C = Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu t h = tebal lapisan difusi.
Beberapa obat dibuat dan dipasarkan oleh lebih dari satu pabrik farmasi. Dari studi biofarmasetik memberi fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan formulasi dengan nyata mempengaruhi
bioavailabilitas obat tersebut. Karena kebanyakan produk-produk obat
mengandung jumlah bahan obat aktif yang sama, maka dokter, farmasis dan orang lain yang menulis resep, menyalurkan atau membeli obat harus memilih produk yang memberikan efek terapetik yang ekivalen. Untuk memudahkan mengambil keputusan tersebut, suatu pedoman telah dikembangkan oleh US Food and Drug Administration (FDA), dimana setiap produk harus memenuhi uji secara iv vivo dan in vitro untuk produk-produk tertentu untuk memastikan produk tersebut bioekivalen dan siap diedarkan. 7
Dua produk disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan. Jika bioavailabilitasnya tidak memenuhi kriteria bioekivalen maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen. Istilah-istilah lain yang berhubungan dengan bioekivalensi yaitu ekivalensi farmasetik, alternatif farmasetik, ekivalensi terapetik. Alasan utama dilakukannya studi bioekivalensi karena produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita. Dalam suatu studi bioekivalensi, satu formulasi obat dipilih sebagai standar pembanding dari formulasi obat yang lain. Menurut Shargel suatu syarat pembanding hendaknya:
1. Mengandung obat aktif terapetik dalam formulasi yang paling banyak berada pada sistemik (yakni larutan atau suspensi) dan dalam jumlah sama seperti formulasi lain yang dibandingkan. 2. Pembanding hendaknya diberikan dengan rute sama seperti formulasi yang dibandingkan kecuali kalau suatu rute lain atau rute tambahan diperlukan untuk menjawab masalah farmakokinetik tertentu. 3. Merupakan produk yang diterima oleh profesi kesehatan dan mempunyai sejarah penggunaan klinik yang panjang. 4. Biasanya merupakan produk inovator atau produk dari pabrik yang pertama memproduksi obat tersebut.
Perbandingan dua produk atau formulasi atau bentuk sedian adalah secara in vitro menggunakan disolusi terbanding. Perbandingan in vitro disolusi profil dapat menggunakan faktor persamaan dan faktor perbedaan . Faktor Kesamaan f2 dihitung menggunakan rumus :
8
Faktor perbedaan f1 di hitung menggunakan rumus :
Keterangan : f2 : Similarity factor ( Faktor persamaan ) toleransi = 50 – 100 f1 : Difference factor (Faktor perbedaan) toleransi Rt : Dissolution value of the reference batch at time t ( % rata-rata zat terlarut dalam waktu t untuk sedian pembanding ). Tt : Dissolutin value of test batch at time t ( % rata-rata zat terlarut dalam waktu t untuk sedian uji ). n : jumlah titik sampel
ALAT Dissolution tester, spektrofotometer UV, kuvet ,pipet volume, pro pipet, Labu takar, gelas beaker
BAHAN Tablet parasetamol generik 500 mg (bentuk kaplet), Panadol® tablet 500 mg, dapar fosfat, akuades.
9
METODE PENELITIAN A. Pembuatan dapar fosfat pH 5,8 (Farmakope Indonesia Edisi IV) 1. Pembuatan kalium fosfat monobasa 0,2 M dengan melarutkan 27,22 g kalium fosfat monobasa dalam air dan diencerkan hingga 1000 mL. 2. Ambil 50 mL kalium fosfat monobasa 0,2 M, masukan ke dalam labu takar 200 mL. 3. Tambahkan 3,6 mL natrium hidroksida 0,2 M sampai tanda. 4. Buat dapar fosfat ph 5,8 sebanyak 6 Liter.
B. Pembuatan kurva kaliberasi kadar parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 1. Buat larutan induk parasetamol 1000 ppm sebanyak 50,0 mL dalam dapar fosfat pH 5,8. 2. Buat larutan dengan seri kadar 2,4,6,8,10,12 ppm sebanyak 10,0 mL yang dibuat dari pengenceran larutan induk. 3. Ukur absorbansi 6 larutan tersebut pada panjang gelombang maksimum 243 nm dengan menggunakan dapar fosfat pH 5,8 sebagai blanko. 4. Tentukan persamaan kurva kaliberasi yang digunakan menggunakan regresi linear ( y = bx + a )
C. Uji disolusi tablet parasetamol 1. Masukkan masing-masing 900 mL dapar posfat ke dalam enam chamber disolusi dan turunkan pengaduk Alat tipe 2 (dayung) sampai jarak antara dasar chamber dengan batas bawah dayung 25 mm ± 2 mm. 2. Biarkan sampai suhu medium disolusi mencapai 37 ± 0,5 º C 3. Masukkan satu tablet ke dalam masing-masing chamber, dan hilangkan gelembung udara dari permukaan sediaan jika ada, kemudian nyalakan rotor pengaduk dengan kecepatan 50 putaran per menit (toleransi 4%) 4. Ambil larutan disolusi dari dalam chamber sebanyak 5 mL menggunakan pipet volume pada menit ke 5, 10, 20 dan 30. 5. Setiap selesai pengambilan larutan disolusi, ditambahkan larutan dapar fosfat pH 5,8 yang baru sebanyak 5 mL ke dalam chamber. 6. Tentukan serapan larutan disolusi dengan hasil sampling pada waktu tertentu tadi menggunakan alat spektrofotometer UV panjang gelombang maksimum 243 nm, lakukan pengenceran jika diperlukan 10
7. Hitung nilai Q (%), DE, f2,dan f1 8. Analisis data.
D. Monografi sediaan tablet parasetamol untuk uji disolusi dalam farmakope edisi IV (hal 650) Media disolusi
: 900 mL larutan dapar posfat pH 5,8
Alat
: tipe 2 kecepatan 50 rpm
Waktu
: 30 menit
Prosedur
:
Lakukan penetapan jumlah parasetamol yang terlarut dengan mengukur serapan filtrate larutan uji, jika perlu diencerkan dengan Media disolusi dan serapan larutan baku Parasetamol BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 243 nm Toleransi
:
Dalam waktu 30 menit harus larut tidak kurang dari 80% (Q) parasetamol dari jumlah yang tertera pada etiket
DATA PERCOBAAN Kurva kaliberasi parasetamol dalam dapar fosfat pH 5,8 Kadar Parasetamol (ppm)
Absorbansi
2 4 6 8 10 12
Rumus Y = bx +a à Y = .............................
11
Hasil uji disolusi tablet Panadol® 500 mg Waktu
Absorbansi
Rerata
(mnt)
Kadar PCT
Q(μg)
Fk
Qtot
% terlepas
DE
(μg/mL) Cʹ A1
A2
A3
A4
A5
Cʹ = (Y-A)/B
A6
Cʹ x 900
Q + Fk
Qtot/dosis
5 10 20 30
Hasil uji disolusi tablet ...............................500mg Waktu
Absorbansi
Rerata
(mnt)
Kadar PCT
Q(μg)
Fk
Qtot
% terlepas
DE
(μg/mL) Cʹ A1
A2
A3
A4
A5
A6
Cʹ = (Y-A)/B
Cʹ x 900
Q + Fk
Qtot/dosis
5 10 20 30
12
Hasil uji disolusi tablet ...............................500mg Waktu
Absorbansi
Rerata
(mnt)
Kadar PCT
Q(μg)
Fk
Qtot
% terlepas
DE
(μg/mL) Cʹ A1
A2
A3
A4
A5
A6
Cʹ = (Y-A)/B
Cʹ x 900
Q + Fk
Qtot/dosis
5 10 20 30
Hasil perhitungan faktor kemiripan (f2) dan faktor perbedaan (f1) uji disolusi tablet Panadol 500 mg dengan tablet ........................500mg Waktu
% pelepasan R
% pelepasan T
R-T
(R-T)2
5 10 20 30
13
Hasil perhitungan faktor kemiripan (f2) dan faktor perbedaan (f1)uji disolusi tablet Panadol 500 mg dengan tablet ........................500mg Waktu
% pelepasan R
% pelepasan T
R-T
(R-T)2
5 10 20 30
14
PERCOBAAN 3. PENETRASI NATRIUM DIKLOFENAK SECARA TRANSDERMAL TUJUAN PERCOBAAN •
Agar mahasiswa dapat memahami proses difusi pasif yang terjadi pada kulit.
DASAR TEORI
Rute transdermal merupakan salah satu cara pemberian obat melalui kulit yang dapat memberikan efek sistemik. Dibandingkan terhadap pemberian obat secara parenteral, cara pemberian transdermal lebih nyaman bagi pasien. Penghalang ulama pemberian obat melalui kulit sesuai dengan fungsinya sebagai pelindung organ dalam tubuh adalah lapisan stratum korneum yang mempunyai struktur yang kompak yang sulit ditembus. Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya. Setelah obat kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk dalam sirkulasi sistemik secara difusi pasif. Difusi pasif adalah proses perpindahan massa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah. Perbedaan konsentrasi itu merupakan daya dorong sebagai penyebab terjadinya perpindahan massa. Untuk difusi dengan melewati membran molekul obat harus masuk dan melarut dulu dalam membran itu. Selanjutnya, obat berdifusi meninggalkan membran dan masuk ke dalam medium reseptor. Difusi pasif mengikuti hukum Fick, yaitu teori yang menggambarkan hubungan antara Fluks obat melewati membran sebagai fungsi perbedaan konsentrasi, yaitu:
J = (K D/h) (Cs - C) Dimana: J = fluks persatuan Iuas K = koefisien partisi obat dalam membran dan pembawa h = tebal membran D = koefisien difusi obat 15
Cs = konsentrasi obat dalam pembawa C = konsentrasi obat dalam medium reseptor
Bila harga Cs jauh Iebih besar dari C make persamaan di atas dapat disederhanakan Menjadi
J = (K D/h) Cs
Kondisi Cs jauh Iebih besar dari C sering disebut sebagai kondisi sink (KD/h) sering disebut sebagai koefisien permeabilitas (P).
ALAT Franz Diffusion Cell,Hot plate magnetic stirrer, PH meter, Buret, Statif dan klem, Pipet volume, labu takar , baker glass, stopwatch.
BAHAN Na diklofenak, alcohol, NaCI, KCI, natrium fosfat dibasic, kulit hewan coba, kalium fosfat monobasik,
METODE PENELITIAN 1. Buat larutan Phosphate Buffered Saline pH 7,4 sebanyak 1 liter. 2. Natrium diklofenak disuspensikan dengan sedikit larutan dapar kemudian dioleskan pada permukaan kulit hewan coba dengan diameter tertentu. 3. Kompartemen reseptor pada Franz Diffusion cell diisi dengan Phosphate Buffered Saline sebanyak 100 ml. 4. Kulit hewan coba dipasangkan pads Franz Diffusion Cell. 5. Masukkan Franz Diffusion Cell ke dalam beaker glass berisi air dan tempatkan di atas hot plate magnetic stirrer. 6. Nyalakan hot plate magnetic stirrer, atur temperatur pada 37C dan kecepatan putar 500 rpm. 7. Pasang buret diatas kompartemen donor dari Franz Diffusion Cell. 8. lsi buret dengan Phosphate Buffered Saline. 9. Buka penutup buret dan nyalakan stopwatch. 16
10. Ambil sampel dari kompartemen receptor sebanyak 5,0 ml tiap selang waktu 15 menit. Pengambilan sampel dihentikan pada jam ke-2. 11. Tetapkan kadar natrium diklofenak dalam sampel
DATA PERCOBAAN. Data pembuatan dapar : Komposisi dapar : No.
Bahan
Penimbangan
Volume dapar yang dihasilkan : pH dapar :
Data Pembuatan Kurva Baku Pembuatan baku induk Na diklofenak ditimbang : ......... Dilarutkan dengan ...................................hingga volume ................mL sehingga diperoleh larutan baku induk dengan konsentrasi...........ppm Panjang gelombang maksimum Na diklofenak: ........... Data kurva baku : No.
Kadar Na diklofenak (ppm)
Absorbansi
17
Persamaan kurva baku :..................... Koefisien korelasi (r) : .........
Data penetrasi Na diklofenak menembus membrane/kulit : No.
Menit Pengambilan sampel
1.
15
2.
30
3.
45
4.
60
5.
75
6.
90
7.
105
9.
120
Absorbansi
Konsentrasi Na
Jumlah Na diklofenak
diklofenak
tertransport
Gambar profil transpot Na diklofenak menembus membrane (t vs mg) :
18
PERCOBAAN 4 MODELING MENGGUNAKAN WINSAAM® (DRY LAB) TUJUAN PERCOBAAN • Mempelajari modeling WinSAAM untuk memprediksi parameter parameter dalam proses absorbsi obat DASAR TEORI Sebelumnya kita perlu tahu terlebih dahulu apakah itu pengertian simulasi?. Simulasi merupakan suatu usaha Mencontoh atau mempergunakan gambaran sebenarnya dari suatu sistem kehidupan nyata tanpa harus mengalaminya pada keadaan yang sesungguhnya. Simulasi merupakan suatu penyederhanaan dari suatu realitas yang kompleks. Suatu simulasi dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Sebagai contoh, boneka adalah model dari bentuk manusia; boneka yang dapat tertawa, menangis, dan berjalan adalah model manusia yang lebih lengkap, tidak hanya mewakili bentuk tetapi juga beberapa perilaku manusia. Model memegang peranan penting di bidang ilmu pengetahuan. Biasanya dari segi ekonomi untuk menghemat (waktu,biaya) ataupun komoditi berharga lainnya. Pemodelan bisa juga dilakukan untuk menghindari resiko kerusakan sistem nyata. Dengan demikian sebuah model diperlukan bilamana percobaan dengan sistem nyata menjadi terhalang karena mahal, berbahaya ataupun merupakan sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan. Taha (1992) bahwa asumsi sistem nyata diwujudkan dari sistem nyata dengan menentukan faktorfaktor dominan (variabel, kendala, dan parameter) yang mengendalikan perilaku dari sistem nyata. Phillips (1976) dalam operation research, yang dimaksudkan dengan model adalah representasi sederhana dari sesuatu yang nyata. Dengan pengertian ini menunjukkan bahwa model selalu tidak sempurna. Adakalanya lingkungan nyata terlalu rumit sehingga sekedar untuk memahaminya ataupun untuk mengkomunikasikan dengan orang lain diperlukan sebuah model yang representatif
Pada umumnya simulasi ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang memiliki kendala sebagai berikut: Ø Sangat sulit diselesaikan dengan cara analisis, misal dynamic programming, rangkaian listrik kompleks, dll. Ø Memiliki ukuran data dan kompleksitas yang tinggi, misal travellingsalesman problem, assignment, schedulling, dll. Ø Sangat sulit diimplementasikan secara langsung, karena biaya yang sangat tinggi,misal optimasi Radio Base Station atau optimasi channel assignment
19
PERCOBAAN PENDAHULUAN (TUGAS MANDIRI) Sebelum melakukan percobaan dry lab, mahasiswa diharapkan mempelajari penghitungan menggunakan komputer (exel atau open office) tentang penghitungan Kabs dan Kel. Pelajari perhitungan secara komputasi dengan mendownload file pada : • •
http://goo.gl/KOhuKY http://goo.gl/HGGJhx
DATA HASIL PERCOBAAN
Waktu 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 5 6 7 9 11 15
Cp 0 3 5,2 6,5 7,3 7,6 7,75 7,7 7,6 7,1 6,6 6 5,1 4,4 3,3
20
METODE PENELITIAN 1. Buka jendela WinSAAM
2. Buka edit, WinSAAM working file
21
3. Masukan parameter farmakokinetik (ikuti pola tulisan angkanya terserah perkiraan kita) L(0,2)
L(2,1)
1
2
IC (1) Dosis Obat : 100 mg L(2,1) => Ka prediksi 0,5 kisaran 0 – 10 L(0,2) => Ke prediksi 0,2 kisaran 0 – 10 P(2) => Vd prediksi 10 kisaran 0 – 10000 Perhatikan penggunaan “titik” dan “koma”, serta gunakan tombol tab untuk memisahkan antar nilai parameter.
22
4. 5. 6. 7.
Save WinSAAM working file, tutup (hanya working file) Ketik “deck”, tekan enter Ketik ‘solve” tekan enter Ketik “iter”,tekan enter àberulang kali hingga muncul tulisan *NO ITERATIONS ARE POSSIBLE WITH THIS SOLUTION YOU ARE EITHER TOO CLOSE OR TOO FAR AWAY FROM A FIT. 8. Ketik “plot q(1)” tekan enter 9. Lihat bentuk kurva, ▲adalah prediksi WinSAAm , sedangkan yang berupa garis adalah data milik kita. Jika belum salng berhimpitan, berarti data kita masih berbeda dengan prediksi WinSAAM.(gambar dibawah ini)
23
10. Kembali ke WinSAAM working file, ubah ketiga nilai parameter tadi, yang dimungkinkan mempengaruhi bentuk kurva, save datanya, tutup kembali working file, kembali ke halaman utama.
24
11. Ketik “deck”, tekan enter 12. Ketik “solve”, tekan enter 13. Ketik“iter”,tekan enter àberulang kali hingga muncul tulisan *NO ITERATIONS ARE POSSIBLE WITH THIS SOLUTION YOU ARE EITHER TOO CLOSE OR TOO FAR AWAY FROM A FIT. 14. Ketik “plot q(1)” tekan enter 15. Lihat bentuk kurva, ▲adalah prediksi WinSAAm , sedangkan yang berupa garis adalah data milik kita. Jika belum salng berhimpitan, berarti data kita masih berbeda dengan prediksi WinSAAM
25
16. Jika kurva sudah saling berhimpit, berarti data kita sudah menghampiri data yang di prediksi oleh WinSAAM. 17. Simpan gambar kurva, klik “file”, “save plot as”, pilih format jpg, OK 18. Tutup gambar 19. Pada halaman utama pilih output, pilih spreadsheet. 20. Pada WS output spreadsheet pilih parameter pada tab bawah, current value adalah nilai prediksi dari Ka, Ke dan Vd
21. Simpan halaman utama WinSAAM”file”, “save”beri nama, OK
26