Musdalifah
BUILDING FAMILY COMPETENCE (Studi Kasus Membangun Keluarga Kompak Analisa Pendekatan Teori Stuktural, Teori Komunikasi, dan Teori Behavioral Parent) Oleh: Musdalifah∗ Abstrak ∗ Keluarga ideal bukanlah kehidupan keluarga tanpa riak, gelombang, ombak dan pasang surut. Melainkan keluarga yang mampu mengenali riak, gelombang, dan pasang surut tersebut. Sebagaimana keluarga tersebut dapat mengenali masalah yang terjadi, mengelola masalah kemudian menyelesaikannya dengan tetap mengandalkan kekompakan anggota keluarga. Sehingga keluarga yang ideal terlihat dalam kekompakan masing-masing anggota keluarga. Nilai kekompakan dapat dilihat dengan berfungsinya struktur keluarga secara sinergi dan dinamis melalui komunikasi yang dibangun oleh masing-masing anggota. Komunikasi yang dibangun pun akan semakin efektif dan lebih kuat dengan perilaku orang tua yang secara langsung menjadi teladan bagi anak-anaknya, di samping fungsi sebagai suami dan istri. Kata Kunci: Family Competence Pendahuluan Seringkali orang memadankan pengelolaan keluarga dengan pengelolaan tim olah raga. Tim yang berpadu, sebut saja seperti tim sepak bola, hanya dapat lahir berkat kerja sama yang kompak antara pelatih dengan pemainnya. Begitu pula halnya dengan sebuah keluarga. Agar semua anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dapat menciptakan keluarga yang bahagia, maka dibutuhkan kerja sama yang baik. Sebagai “pelatih kepala”, ayah harus pandai menjalin kekompakan dengan mitranya yang juga sesama “pelatih” keluarga, yakni ibu. Barulah setelah keduanya kompak, mereka dapat membentuk sebuah keluarga yang kompak. Di dalamnya, masing-masing saling memperhatikan, saling menolong, saling menghormati, dan saling bertenggang rasa. Sekadar memberikan analogi keluarga kompak dapat dilihat pada tayangan keluarga The Cosby Show atau tayangan lokal Keluarga Cemara. Kedua keluarga ini memberikan gambaran bagaimana membangun komunikasi dan relasi di antara anggota keluarganya. Saat aturan harus ditegakkan, penerapannya tidak selalu mengedepankan sikap keras. Saat timbul persoalan, penyelesaiannya mampu memuas-kan semua orang. Orangtua tetap dapat terlihat tegas dan berwibawa, sementara anak pun tidak tersakiti perasaannya dan tetap senang. Mengapa sebuah keluarga harus kompak? Tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Pada tim sepak bola, misalnya, tentu mengincar gelar juara Begitu pula halnya dengan sebuah keluarga. Bila ∗
Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam STAIN Manado, alumni Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Program Studi Psikologi.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 67
Musdalifah ditilik dari sudut pandang orangtua, tentu kekompakan itu menjadi bukti bahwa mereka berhasil menjadi orangtua. Selain itu dengan keluarga yang kompak diharapkan akan tercipta keluarga yang sehat emosionalnya, mampu menghadapi segala persoalan, dan terciptanya lingkungan yang sehat untuk anak. Analisis Kasus 1. Deskripsi Keluarga Afifah anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Mustakim (68 tahun) dengan Syarifah (65 tahun). Dua kakaknya, Afif (34 tahun) dan Arifah (31 tahun), masing-masing bekerja sebagai wiraswastawan dan guru SMP, sedangkan dua kakaknya yang lain Azizah dan Aqilah juga berprofesi sebagai guru SMK dan staf pengajar di sebuah Universitas Negeri di daerahnya. Afifah sendiri berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi. Afifah beserta kakak-kakaknya adalah alumni perguruan tinggi yang berbeda dengan konsentrasi jurusan yang berbeda pula. Pernikahan orangtua Afifah menurut cerita ibunya adalah pernikahan lazimnya pernikahan orang-orang dulu yang tidak saling mengenal apalagi sampai proses “pacaran“.. Kakek dan nenek dari pihak ayah maupun ibunya adalah keluarga yang tergolong sederhana, tetapi sangat mengedepankan pendidikan anak-anaknya. Hal ini pula yang menjadi pola bagi kedua orangtuanya dalam memelihara dan mendidik Afifah dan saudara-saudaranya. Ibu Afifah mengawali karirnya sebagai guru SD dan bekerja sambilan sebagai tukang jahit. Lambat laun karir ibunya meningkat hingga menjadi kepala sekolah sampai menjadi penilik sekolah SMU tingkat propinsi, dan inilah karir terakhir yang disandangnya hingga pensiun. Ayah Afifah bekerja sebagai wiraswasta yang sukses, bahkan usahanya berkembang hingga lintas propinsi. Di tengah perjalanan karir ibunya dan kemajuan usaha ayahnya saat Afifah berumur 8 bulan dalam kandungan, ayahnya tergoda dengan salah satu pegawainya. Di tengah guncangan perkawinan ayahnya, ibu Afifah dengan tegar mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Suatu ketika saudarasaudara ibu Afifah urun-rembuk dan tiba pada kesimpulan untuk menyarankan agar ibunya mengajukan cerai. Beberapa hari setelah musyawarah, ibu Afifah memutuskan untuk tidak mengajukan cerai. Sejak ayah Afifah menikah lagi, secara otomatis roda kehidupan rumah tangga dinahkodai ibunya sebab ayahnya selama sepuluh tahun waktunya lebih banyak tercurah pada keluarga barunya. Ibu Afifah dalam mejalani hari-harinya dihabiskan untuk anak-anaknya dan pekerjaannya, bahkan ia menjadi wanita ekstrasibuk dengan setumpuk aktivitas yang diungkapkannya sebagai “amanah umat“ dengan memimpin berbagai organisasi kewanitaan dan keagamaan dan beberapa ormas lainnya. Keaktifan ibu Afifah memberi keistimewaan bagi anak-anaknya karena Afifah bersama saudarasaudaranya mengikuti jejak ibunya aktif dalam berbagai organisasi. Ketika Afifah menginjak tahun kedua di perguruan tinggi, ayahnya mengirim telegram untuk menjemputnya di propinsi di mana ia membangun keluarga dengan istri keduanya beserta lima orang anaknya. Ayahnya berkeinginan pulang karena ia merasa sudah tua dan sakit-sakitan sementara usaha yang dilakoninya telah dijalankan oleh istri dan anak-anak dari perkawinan keduanya. Enam bulan setelah kepulangan ayahnya, terdengar kabar bahwa usaha yang ditinggalkan ayahnya untuk istri dan anak-anaknya mengalami kemerosotan dan lebih parah lagi adik-adik Afifah sudah tidak mau sekolah dengan alasan tidak ada ayah serta ibunya kembali mejalin hubungan dengan teman kencannya saat ayahnya masih ada. Ayah Afifah mengemukakan persoalan yang terjadi dengan ibu Afifah dan mereka mengambil kesepakatan namun harus melalui persetujuan Afifah dan kakak-kakaknya. Walhasil, adik-adik Afifah dari perkawinan kedua ayahnya dijemput dan
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 68
Musdalifah disekolahkan di tempat ibu Afifah mengajar. Namun, hanya anak pertama dan ketiga yang diizinkan ibunya dengan alasan anak kedua dan keempat adalah perempuan dan yang bungsu laki-laki masih sangat kecil. Waktu berjalan, kedua adik Afifah telah menamatkan sekolah SMU dan SMP. Tanpa diduga bersamaan dengan selesainya mereka dari masing-masing bangku sekolah terdengar kabar kalau istri kedua ayah Afifah telah tinggal serumah dengan teman kencannya di rumah ayahnya. Kegusaran dan kekecewaan ayah Afifah berdampak pada kesehatannya, hal itu terjadi sebab ayah Afifah sudah bersalah sehingga ia memendamnya. Hal ini dipahami oleh ibu Afifah, kakak-kakak Afifah dan Afifah sendiri. Akhirnya mereka bersepakat untuk membicarakan hal tersebut dengan ayahnya. Awalnya, ayah Afifah keberatan dengan alasan akan merepotkan mereka. Namun, bujukan ibu Afifah dan anak-anaknya meluluhkannya dengan alasan mereka adalah anak-anak perempuan dan yang lakilaki masih kecil sementara lingkungannya sangat buruk untuk perkembangan mereka ke depan. Setelah bersepakat, maka kakak laki-laki Afifah (Afif) yang ditunjuk untuk membicarakannya dengan ibu adik-adiknya sekaligus menjemput mereka. Istri kedua ayah Afifah merasa bahagia kerena menurutnya ia tidak mampu lagi membiayai dan mengurus adik-adik Afifah, sekaligus ia menitipkan pesan pada Afif untuk menyampaikan permintaan cerai pada ayahnya yang pada akhirnya dikabulkan oleh ayahnya. Semula adik-adik Afifah tinggal bersama ayah dan ibu Afifah. Berhubung semua kakak Afifah telah berkeluarga dan masing-masing memiliki rumah maka adik-adiknya dibawa oleh masing-masing kakaknya dengan kesepakatan hari Sabtu dan Ahad mereka berkumpul bersama ayah dan ibu. Mengenai urusan pemeliharaan, pembiayaan, dan pendidikan mereka diserahkan pada masing-masing kakak Afifah dengan tidak mengabaikan bahwa jika ada permasalahan yang ditemui berkaitan dengan mereka akan dibicarakan dan diselesaikan bersama. Saat ini adik-adik Afifah tetap melanjutkan sekolah dan mendapatkan pendidikan formal maupun informal yang layak dari “keluarga barunya“. Sebagai nahkoda keluarga, ayah dan ibu Afifah tetap memperbolehkan anak-anak dari perkawinan yang kedua untuk berhubungan dengan ibunya dan bahkan memberi keleluasaan untuk mengunjunginya kapan saja mereka suka asalkan tidak mempengaruhi pendidikan dan perilaku mereka. Ayah Afifah meskipun sudah tua tetap menjadi kepala keluarga didampingi istrinya yang sudah pensiun. Kadang di saat-saat berkumpul bersama (anak-anak dari dua ibu disertai kelima cucunya dan keempat menantunya dari anak-anak hasil perkawinan pertama), ibu dan ayah Afifah mengungkapkan keinginan mereka untuk dipanjangkan umurnya agar mereka tetap dan dapat melihat, menyaksikan dan mengantarkan anak-anaknya kepintu kebahagiaan setidaknya menurut ukuran kebahagiaan yang mereka pahami dan rasakan. Selintingan komentar menyertai perjalanan kehidupan keluarga Afifah. Ada yang menganggap ibunya sebagai perempuan yang mau saja diperdaya dan menganggapnya lemah, ada yang beranggapan ayahnya orang ’tegaan’ namun itu ditanggapi ringan oleh Ibu, Ayah, Afifah dan kakak-kakaknya sebagai hak subjektivitas siapa saja. Tetapi, komentar itu tidak seimbang bahkan tertutupi dengan kekaguman orang banyak akan kebahagiaan mereka yang perpijak pada komitmen pernikahan yang tetap kompak dalam keharmonisan, baik saat bermasalah maupun saat tanpa masalah. 2. Identifikasi Keluarga Berdasarkan gambaran keluarga di atas, dapat diidentifikasi sumber-sumber kekompakan dalam keluarga yang perlu untuk dipelajari dan dikembangkan dalam membangun keluarga yang ideal, khususnya subsistem hubungan yang dibangun oleh masing-masing subyek dalam keluarga.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 69
Musdalifah a.
b.
c.
d.
Syarifah Sebagai istri, Syarifah sosok wanita yang mampu memberikan pengakuan positif pada suaminya dengan sikap memaafkan, keterbukaan, kesetiaan. Hal ini terbukti dengan sikap ‘legowo’ yang diperlihatkan-nya saat suami dan ‘anak-anak barunya’ masuk dalam kehidupannya. Sifat dan sikapnya yang demikian tidak lepas dari pendidikan yang diterima dari orangtuanya serta pengaruh eksistensi dirinya dalam berkarir dan bermasyarakat. Pribadi Syarifah adalah pribadi yang menjadikan pengalaman hidup sebagai gurunya. Ia sosok istri yang selalu mengembangkan keintiman afeksional dan rasa percaya pada suami melalui relasi, interaksi, dan komunikasi yang dinamis dan harmonis. Ia sosok ibu yang mengerti dan memahami keinginan anak-anaknya. Mustakim Sebagai seorang suami, Mustakim adalah suami yang bertanggungjawab, pekerja keras dan pada dasarnya ia adalah pribadi yang terbuka. Sekalipun ia pernah tergelincir pada sebuah ”kesalahan”, namun dia tetap berusaha menjadi ayah sekaligus suami yang baik bagi istri dan kesepuluh anaknya. Terbukti dengan sikap dan keinginannya untuk berkomitmen membangun keluarganya menjadi lebih baik. Afif, Arifah, Azizah, Aqilah, dan Afifah Mereka adalah anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kasih sayang, sehingga mengajarkan mereka untuk juga berbagi kasih-sayang. Mereka dibesarkan dalam pendidikan formal dan informal yang memadai. Dalam keluarga, mereka sejak kecil diajarkan untuk menunjukkan kemampuan diri dan keinginan mereka, hingga mereka membangun keluarga masing-masing melalui nilai-nilai kebersamaan dan kekompakan tetap terjalin. Adik-adik Afifah Mereka pada dasarnya adalah anak yang baik, namun lingkungan nyaris menyeret mereka pada keburukan. Mereka menyadari bahwa lingkungan keluarga yang dulu mereka tempati berbeda jauh dari yang mereka dapatkan dan rasakan sekarang. Harapan mereka adalah tidak kembali pada kehidupan sulit dan suram yang sempat mereka rasakan sekalipun hanya ‘sesaat’.
Membangun Keluarga Kompak dengan Berbagai Pendekatan 1. Pendekatan Teori Struktural Pendekatan struktural dalam membangun keluarga lebih ditekankan pada konsep bahwa keluarga itu lebih dari sekedar individu-individu biopsychodinamic dari anggota keluarga. Dimana para anggota keluarga saling berhubungan sesuai dengan susunan yang jelas dan pasti untuk menentukan transaksinya. Susunan tersebut meskipun tidak tegas diakui namun secara keseluruhan merupakan struktur keluarga. Teori pendekatan struktural meman-dang bahwa mekanisme berjalannya sebuah keluarga dapat dilihat pada bagaimana komponen-komponen dalam suatu sistem keluarga berinteraksi dan saling mempengaruhi, bagaimana keseimbangan dapat dicapai atau adanya homeostatis, bagaimana keluarga menjalankan mekanisme timbal balik atau feedbacknya, bagaimana mengembangkan pola jika terjadi disfungsi komunikasi. Selain itu, perhatian dalam pendekatan ini juga ditujukan pada bentuk transaksi dalam keluarga yang memberikan petunjuk dan saran dalam pengaturan keluarga, bagaimana boundaries atau batasan subsistem dalam keluarga, bagaimana eksistensi dan mekanisme alignments dalam melaksanakan tugas keluarga, dan bagaimana membangun serta menempatkan power masing-masing anggota keluarga dalam berhubungan secara aktif atau pasif dalam mengkombinasikan kekuatannya.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 70
Musdalifah Rosenberg1 menyimpulkan bahwa ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan, maka dapat diasumsikan bahwa keluarga tersebut mengalami disfungsi struktur. Diharapkan keluarga dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya, dapat memasukkan dinamika perkembangan baru atau melakukan negosiasi dengan baik jika terjadi lingkaran krisis dalam keluarga. Secara teoritis, Minuchin2 beranggapan bahwa keluarga sebagai sistem sosial yang berbeda akan dapat mengembangkan identifikasi pola transakasi yaitu, bagaimana, kapan, dan siapa anggota keluarga yang saling berhubungan. Pada dasarnya suatu sistem keluarga disusun berdasarkan pola transaksi, sistem tersebut mengurus dan mempertahankan dirinya sendiri dalam ruang lingkup yang sempit, membangun kembali tindakan-tindakan yang menyimpang agar menjadi mekanisme yang homeostatis dengan cara membiasakan diri dangan pola yang baru. Dengan kata lain dalam struktur keluarga selalu terbuka peluang perubahan-perubahan interaksi yang dinamis dan harmonis menuju arah perbaikan dan peningkatan yang lebih positif. Orangtua yang ingin berhasil dalam keluarganya, haruslah : (1) menjelaskan secara umum batasan-batasan secara bersama untuk membentuk sebuah subsistem yang kuat, (2) alingments antara orangtua dengan pokok permasalahan, seperti penerapan disiplin, (3) adanya peraturan yang berhubungan dengan kekuasaan dan authority (hak-hak untuk bertindak), di mana mengindikasikan bahwa orangtua akan bertindak atau berlaku jika mereka tidak setuju dan orangtua akan menunjukkan atau mengemukakan harapan-harapannya ketika mereka setuju. Pada sistem keluarga yang simbang, aturan yang menentukan sistem keluarga terkait dengan bagaimana orangtua mencapai keberhasilan dan mempertahankan harga dirinya. Aturan ini selanjutnya membentuk konteks dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan perasaan harga dirinya. Hal pokok dalam keluarga adalah bagaimana membantu setiap anggota keluarga dalam mengembangkan kondisi yang baik (wellness) dan menjadi seutuh mungkin dengan membangun self esteem, meningkatkan self worth, membongkar dan membenahi ketidaksesuaian relasi, interaksi dan komunikasi dalam keluarga. Keintiman dari masing-masing anggota keluarga berperan penting dalam hubungan keluarga sebagai sarana tumbuh bagi seluruh individu anggota keluarga. Virginia Satir, menyebutkan bahwa kriteria kesehatan psikologis individu meliputi kemampuan untuk menerima diri sendiri dan orang lain serta merasa nyaman dalam penerimaan yang sedemikian, menyadari kebutuhan dan perasaannya sendiri, kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan kemampuan untuk menerima perbedaan dan sudut pandang orang lain.3 2. Pendekatan Teori Komunikasi Menurut teori komunikasi, semua perilaku adalah komunikasi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Setiap komunikasi memiliki isi yang akan disampaikan dan perintah (pada umumnya tersirat ). Komunikasi dapat berbentuk gerakan, isyarat, bahasa tubuh, tekanan suara, postur, intensitas atau tekanan terhadap apa yang dibicarakan. Kadang-kadang dalam setiap harinya seseorang mengirim pesan berkali-kali baik verbal maupun non-verbal, dan setiap pesan diubah dan diganti melalui pesan lainnya dalam abstraksi yang berbeda. Dengan demikian seseorang dapat 1
L’Abate, Luciano, Building Family Competence: Primary and Secondary Prevention Strategies I (USA: Sage, 1990), h. 19 2 Lihat, L. Abate: h. 20 3 Guman, A. S. & Fraenkel P, 2002. The History of Couple Therapy : A Millenial Review. Family Process, Summer, h. 34
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 71
Musdalifah memikirkan satu hal dan hal lainnya, mengubah, melebihkan atau bahkan membantah apa yang telah pernah dikatakannya. Sehingga komunikasi lebih dari sekedar menyampaikan pesan, namun yang lebih penting adalah perintah di balik informasi yang disampaikan tersebut; dengan kata lain tidak hanya pesan yang tersurat tetapi lebih dari itu pesan yang tersirat. Suatu hubungan didifinisikan dengan pesan-pesan tersebut. Pesan inilah yang akan menentukan apakah suatu hubungan dapat stabil atau tidak, atau menentukan peran anggota keluarga dalam keluarga tersebut dalam kondisi yang homeostatis atau tidak. Dalam keluarga, pola komunikasi dibentuk oleh hubungan antara pemberi dan penerima pesan. Bila hubungan didasarkan pada kesetaraan (equality), maka pola ini bersifat simetris. Pola simetris memungkinkan kedua belah pihak untuk saling terbuka dan dapat memunculkan ‘persaingan’. Sedangkan bila salah satu pihak berada dalam posisi superior dan pihak yang lain dalam posisi inferior, maka pola hubungan tersebut bersifat komplementer. Dalam pendekatan lain, komunikasi dipandang sebagai serangakaian perilaku dan menentukan hubungan antar anggota keluarga. Bila suami memiliki suatu pandangan bahwa berdiskusi dengan istri dilakukan pada waktu tertentu saja, maka suami menerapkan sistem konvensional. Namun bila istri memiliki pandangan bahwa berdiskusi akan lebih efektif dilakukan sambil makan pagi maka istri menerapkan hubungan yang bersifat lebih hangat. Agar tidak terjadi interaksi atau pola komunikasi yang tidak sehat maka diperlukan adanya identifikasi yang sistematis pada perilaku dalam hal perbedaan, hubungan, cara anggota keluarga memahami dan menanggapi perilaku tersebut, serta pola hubungan antar anggota keluarga yang akan menjadikan sistem keluarga tersebut imbang (balance). Menurut Satir dalam Goldenberg 4 , cara yang tepat dalam berkomunikasi adalah dengan membantu memulihkan kembali penggunaan perasaan dan kemampuan untuk berhubungan dengan perasaan dan menerima perasaan itu sebagai perasaan yang sesungguhnya. Dengan kata lain individu (dan keluarga) membangun kembali perasaan berharga (self worth), membuka kemungkinankemungkinan membuat pilihan dan perubahan dalam relasinya. Membentuk pola interaksi dalam keluarga dimulai dengan memahami pola komunikasi, dan pola komunikasi akan berjalan dengan baik jika: 1) mengenali adanya perbedaan individual pada setiap anggota keluarga, 2) menerima perbedaan pendapat dan perbedaan persepsi dari situasi yang sama, 3) bagaimana melihat, berpikir, menilai, dan merasakan suatu permasalahan. Keluarga sebagai lembaga dibangun dari relasi, berkembang melalui proses dalam komunikasi dan dapat runtuh karena komunikasi yang tidak terjalin. Permasalahan yang kadang terjadi dalam keluarga ciri utamanya dengan adanya hambatan komunikasi dalam keluarga. Masalah yang terjadi pada pasangan suami istri, orangtua dan anak berakar dari relasi yang tidak terbuka antara pasangan sehingga mereka saling mengembangkan asumsi-asumsi yang keliru tentang pasangan atau dengan anak tanpa dikomunikasikan secara efektif sehingga membuka konflik yang tidak jarang berakhir dengan percekcokan bahkan perpisahan. Bagi anak-anak permasalahan kerap muncul karena konstribusi relasi orangtua yang tidak dekat, tidak konsisten dan tidak memberikan kesempatan berkomunikasi secara terbuka dari hati ke hati dengan anak. Komunikasi yang berjalan
4
Goldenberg, Irene & Goldenberg, Herbert, Family Therapy: an Overview, 2nd Edition (Brook/Cole Publishing Company, 1985), h. 187.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 72
Musdalifah hanya searah dan difahami sebagai instruksi pada anak tanpa penjelasan yang tepat sehingga menimbulkan luka bagi anak-anak dan menjauhkan anak dari orangtua dan keluarga. Sepasang suami istri dalam sebuah keluarga diharapkan mampu saling mempercayai, secara finansial, seksual dan emosional bukan hanya karena kualitas pribadi masing-masing melainkan karena menikah berarti sebagian besar milik pribadi menjadi milik bersama. Menikah bukan hanya menegaskan hubungan cinta yang sudah terjalin sebelumnya. Perkawinan sebenarnya mengubah tujuan dan perilaku seseorang sedemikian rupa dalam cara yang akan meningkatkan kualitas hidup. 5 Lebih khusus lagi, menurut Satir dalam Guman & Frankel bahwa bagaimana relasi yang dibangun dalam keluarga menunjukkan bagaimana pola interaksi yang dilakukan dalam keluarga. Pola interaksi yang sehat menuntut anggota keluarga belajar untuk saling memahami dan mempercayai satu sama lain, sehingga jika ada kesalahan komunikasi yang telah lalu dapat dimunculkan dan diperbaiki. Terkait dengan hal tersebut, ada tiga bagian yang membentuk pola interaksi pasangan, yakni : 1) Persepsi seseorang atas dirinya sendiri dan pasangannya. 2) Bagaimana seseorang dalam berpikir, merasakan dan memperlihatkan atau memanifestasikan pengalamannya itu. 3) Bagaimana seseorang bereaksi terhadap pasangannya6. Ketiga pola interaksi di atas memberi gambaran bahwa pola interaksi antar pasangan dipengaruhi oleh persepsi terhadap perilaku pasangan. Sikap istri dipengaruhi oleh bagaimana istri mempersepsi perilaku suaminya dan sebaliknya. Demikian pula halnya terhadap anak-anak, sikap anak dipengaruhi oleh bagaimana orangtua mempersepsi perilaku anak demikian pula sebaliknya. Hubungan antara suami istri adalah hubungan yang bergerak dalam siklus, hubungan saling pengaruh-mempengaruhi, dan hubungan saling timbal-balik. Wieselquist, dkk 7 mengemukakan bahwa interaksi pernikahan adalah mutual cylclical growth, yaitu hubungan di mana: 1) Ketergantungan pada pasangan menumbuhkan komitmen yang kuat, 2) Komitmen dari setiap individu meningkatan kecenderungan terhadap perilaku-perilaku menjaga hubungan (prorelationship), 3) Individu yang berperilaku pro-relationship merasa diterima oleh pasangannya (perceived by the partner), 4) Adanya persepsi terhadap perilaku pro-relationship pasangan memperkuat rasa percaya (trust), 5) Timbulnya rasa percaya (trust) antar pasangan memperbesar ketergantungan pasangan (dependence) pada hubungan mereka berdua. Pola siklus yang terjalin dengan mantap berfungsi menghasilkan kepekaan setara, saling komitmen, dan tindakan yang sama untuk mewujudkan keinginan yang baik. Hubungan siklus di atas menunjukkan proses dyadic yaitu adanya interaksi antar pasangan serta proses dynamic yaitu proses yang berlangsung selama interaksi. Berjalannya kedua proses ini dapat menjadi sumber berlanjutnya hubungan yang sehat serta vitalitas yang berlangsung terus menerus, serta dua proses ini terlihat jelas dalam interaksi dalam wujud komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Sebuah keluarga dalam kacamata ideal tidak lepas dari konstribusi komunikasi yang memainkan peran penting, sehingga ketrampilan berkomunikasi merupakan faktor yang seyogyanya 5
Waite, L. J., Gallagher & Maggie, Selamat Menempuh Hidup Baru: Manfaat Perkawinan dari Segi Kesehatan, Psikologi, Seksual dan Keluarga (Bandung: Qanita, 2003), h. 37. 6 Guman, A. S. & Fraenkel P, The History of Couple Therapy: A Millenial Review. Family Process, Summer, 2002. 7 Wieselquist, J., dkk. Commitment, Pro-Relationship Behavior, and Trust in Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 77. No. 5, 942-966, 1999.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 73
Musdalifah dikembangkan dalam keluarga. Burleson & Denton 8 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterampilan berkomunikasi pasangan dengan kepuasan pernikahan. Menurut keduanya bahwa, kemampuan berkomunikasi adalah suatu kemampuan untuk mewujudkan tujuan yang melibatkan kemampuan seperti menginterpre-tasikan dan menggunakan simbol komunikasi yang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tentunya tidak luput memperhatikan dengan “siapa” salah satu pihak berinteraksi. Simbol komunikasi yang digunakan antara suami istri tentu akan berbeda dengan simbol yang diterapkan antara ayah atau ibu dengan anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Bobcock, et.al9 menunjukkan bahwa pola interaksi dimana suami sebagai pihak dominan dan istri yang cenderung menarik diri berhubungan dengan kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga. Hal ini terjadi karena tidak adanya komunikasi timbal-balik melainkan hanya komunikasi satu arah. Membangun keluarga kompak harus melalui kerja keras yang dilakukan dalam pembiasaan dengan beberapa metode yang dapat menumbuhkan kekuatan rasa kebersamaan, baik dengan pasangan maupun dengan anak, serta menumbuhkan komunikasi yang baik diantara berbagai pihak terkait dalam keluarga. 3. Pendekatan Teori Behavioral Parent Penerapan metode behavior dalam keluarga adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip berupa proses belajar individu (human learning) dalam meningkatkan perilaku yang lebih baik maupun dalam merubah perilaku seperti maladaptif, perilaku disfungsional dan problem-problem yang terjadi pada setiap anggota keluarga (Goldenberg, 1985) 10. Pendekatan ini tidak lain adalah pendekatan perilaku yang lebih ditekankan pada bagaimana perilaku orang tua menjadi sumber keteladanan bagi anak. Tujuan utama dari behavioral parent adalah menyarankan bagi para orang tua untuk mengubah perilaku anak yang bermasalah dan meningkatkan perilaku yang baik, dengan terlebih dahulu dimulai dari orangtua. Pada perkembangan beberapa dekade ini, telah banyak dikembangkan pelatihan-pelatihan yang bagi orangtua melalui teknik dan prinsip-prinsip behavioral sehingga dapat diterapkan di rumah melalui aktivitas sehari-hari orangtua dengan anak-anak akan dapat mengubah perilaku dalam usaha memodifikasi tingkah laku anak-anak yang tidak menyenangkan dan meningkatkan perlaku yang menyenangkan ungkap Berkowitz & Graziano (dalam Goldenberg, 1985)11. Keteladanan orangtua dalam aktivitas hidup sehari-hari dapat ditunjukkan dengan perilaku yang positif dengan beberapa cara seperti : saling bertenggang rasa, saling maaf-memaafkan, membudayakan tolong-menolong dan ‘terima-kasih’, saling menghargai, menyiasati pertengkaran, memumbuhkan kepercayaan dan sebagainya. 8
Burleson, Bran R. & Denton, Wayne , “The Relationship Between Communication Skill and Marital Satisfaction: Some Moderating Effects”, Journal of Marriage and The Family. Vol. 59., 1997, h. 884-902. 9 Babcock, Julia C., Waltz, Jennifer, Jacobson, Neil S & Gottman, John M., Power & Violence: The Relation Between Communication Patterns, Power Discrepancies & Domestic Violence. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 16. No.1., 1993, h. 40-45. 10 Goldenberg, op. cit., h. 192. 11 Ibid., h. 193
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 74
Musdalifah Darlene Powel Hapson, Ph. D. dan Derek S. Hapson, Ph. D., pasangan psikolog klinis dan penulis buku Team Spirited Parenting; 8 Essential Principles for Parenting Succes, menyimpulkan bahwa inti dari metode pendidikan rasa kebersamaam membangun kekompakan dalam keluarga adalah memberi keteladanan. Orangtua tidak hanya menjadi ahli memerintah melainkan juga memberi contoh atas apa yang diperintahkannya.12 Behavioral parent diarahkan pada dinamisasi interaksi anggota keluarga yang pada akhirnya akan membangun kompetensi bagi orangtua dan juga bagi anak-anak. Melatih kekompakan pada anak tidak akan mungkin terwujud bila tidak dimulai dari orangtua. Secara universal, melatih kekompakan pada anak tidak jauh beda dengan menumbuhkan sikap persaudaraan, apakah itu terhadap kakak/adik atau teman sebayanya. Orangtua dapat melatih kekompakan anak melalui learning berbagi, tolong-menolong, menghibur atau meminta maaf . 13 Analisis Keidealan Keluarga 1. Adanya Fungsi Struktural Mengamati deskripsi singkat keluarga di atas, menggambarkan keberfungsian struktur dalam keluarga, adanya keseimbangan keluarga dalam menjalankan hubungan timbal balik (antara Mustakim dan Syarifah sebagai suami istri dan begitu pun terhadap anak-anak mereka). Mustakim sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya menjalankan peran sebagaimana layaknya seorang kepala keluarga dengan tidak mengesampingkan istrinya (Syarifah) sebagai pendamping yang setara dalam menahkodai rumah tangga. Tidak ada yang berperan superior maupun imperior, sebab pengurusan rumah tangga dikelola bersama-sama, termasuk memutuskan sebuah keputusan. Pola transaksi dalam sistem keluarga yang dibangun berjalan sehat. Hal tersebut menciptakan dinamisasi dan harmonisasi kehidupan dalam keluarga, utamanya pendistribusian kasih sayang, adanya kelekatan yang mendalam antara orangtua dengan anaknya, dan antara sesama anak. Selain itu, gambaran keluarga di atas memiliki batasan keluarga yang sehat dan kuat. Hubungan dyadic antara Mustakim dan Syarifah sebagai suami istri begitu dinamis dan harmonis terlihat pada penerimaan pada pribadi masing-masing, keterbukaan, keintiman, dan kebersamaan yang mereka kembangkan. Kondisi ini berpengaruh positif pada anak-anak mereka dimana merekapun menjalin kelekatan antara satu dengan yang lainnya (terhadap saudara kandung maupun saudara seayah). Batasan fungsi masing-masing individu diperankan dengan jelas, Mustakim menjalankan fungsinya sebagai suami dan ayah, Syarifah sebagai istri dan ibu serta anak-anak memposisikan diri bagaimana semestinya sebagai anak. Merujuk pada model hubungan yang dikemukakan oleh Wieselquist 14 tentang mutual cyclical growth, maka pasangan Mustakim dan Syarifah terlihat dalam: 1. Hubungan yang masing-masing memiliki persepsi, pemikiran, dan sikap yang memperlihatkan saling ketergantungan sehingga memperkuat komitmen suami istri. 2. Kuatnya komitmen tersebut mengarah pada munculnya perilaku pro-relationship suami istri. 3. Adanya perilaku prorelationship memuncul-kan perasaan diterima oleh pasangan. 12
Hopson, D. P. & Hopson, D. S. Menuju Keluarga Kompak: 8 Prinsip Praktis Menjadi Orangtua Sukses (Bandung: Kaifa, 2002.), h. 18 13 Ibid. 19 14 Wieselquist, J., dkk., Commitment, Pro-Relationship Behavior, and Trust in Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 77. No. 5, 1999, h. 955.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 75
Musdalifah 4. Karena msing-masing merasa diterima oleh pasangannya memunculkan rasa trust (saling mempercayai) diantara mereka semakin kuat. 5. Menguatnya trust akan memaksimalkan rasa saling ketergantungan diantara suami istri. Mantapnya hubungan melalui pola dan siklus di atas menjadikan berfungsinya hubungan secara penuh. Hal ini ditandai dengan adanya kepekaan yang setara antara Mustakim dan Syarifah, komitmen yang kuat, dan tindakan yang sama untuk berkeinginan yang lebih baik. Relasi ini menjadi lebih kuat dan harmonis dengan keterlibatan anak-anak mereka dalam menyikapi keinginan orangtunya. 2. Adanya sistem komunikasi yang baik Komunikasi yang dibangun dan dikembangkan dalam Keluarga Mustakim-Syarifah adalah komunikasi yang fleksibel, kongruen, mengedepankan keterbukaan, serta menghargai aspirasi dan apresiasi masing-masing individu dalam berkomunikasi. Pola komunikasi ini terlihat jelas ketika sebuah masalah muncul, ayah dan ibu Afifah sebagai kendali biduk rumah tangga berembuk, namun tidak serta merta mengambil keputusan begitu saja melainkan kembali mengkomunikasikan-nya dengan anak-anak mereka. Begitu pula saat ayah Afifah berusaha menyembunyikan kegalauannya, kepekaan seorang istri untuk menyikapi sinyal adanya masalah pada suaminya segera muncul. Kekompakan mereka dalam komunikasi begitu jelas ketika harus mengambil keputusan yang mungkin menurut orang lain “langka“ dengan memutuskan bersama untuk memelihara dan mendidik adik-adik Afifah. Melalui gaya komunikasi yang kongruen masing-masing pihak sebagai komunikator dalam keluarga tampak realis, mampu mengekspresikan diri secara jujur dan tidak justru menambah kebingungan (masalah) karena didasari keterbukaan, pemahaman dan penerimaan pada masing-masing individu sebagai bukti negosiasi yang sehat. 3. Adanya proses belajar (dari pengalaman dan perilaku) Proses belajar didapatkan dari dua hal yaitu melalui pengalaman dan perilaku. Belajar dari pengalaman mendidik anak dari orangtuanya, orangtua Afifah berusaha mendidik anaknya sebaik mungkin. Mustakim sebagai suami belajar dari kegagalannya pada perkawinan kedua berusaha untuk memperbaiki kembali perkawinan pertamanya yang pada prinsipnya ’patut disesalinya’ karena sempat memutuskan kebahagiaannya. Syarifah sebagai istri belajar dari pengalaman sesaat sebagai single parents hingga menjadi lebih bijak menyikapi utuhnya kebersamaan keluarga yang sempat “terputus“. Penerimaan Afifah beserta kakak-kakaknya pada kembalinya sang ayah dan hadirnya adik-adik baru berangkat dari pengalaman mereka menjalani masa-masa sulit tanpa figur ayah dan pengalaman hidup mereka yang tergolong sukses dalam pendidikan dengan keinginan menjadikan adik-adik mereka setidaknya seperti pendidikan yang telah mereka dapatkan. Proses belajar juga didapatkan dari adanya keteladanan. Keteladanan Afifah pada kedua orangtuanya dibuktikan dengan kekompakan mereka dalam menyikapi permasalahan yang ada dalam keluarga. Kekompakan itu dipelajari dari kedua orangtuanya yang juga begitu kompak dalam menyikapi permasalahan. Afifah dan kakak-kakaknya beranggapan mengapa mereka tidak bersikap yang sama sementara kedua orangtunya sendiri memperlihatkan kekompakan itu. Ibarat sebuah tim olahraga, pemain menjadi lebih baik karena dimulai dari pelatih yang baik. Adanya perilaku keterbukaan, berbagi, saling menghargai, saling menolong, saling memaafkan dan saling mempercayai yang dicontohkan dan ditanamkan orangtua mereka memperkuat eksistensi kekompakan mereka.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 76
Musdalifah Penutup Inti dari sebuah keluarga yang ideal tidak berarti sepanjang perjalanan hidup berkeluarga dilalui tanpa hambatan permasalah. Melainkan keidealan itu muncul karena adanya ability dan power dalam menyelesaikan permasalahan. Ability dan power tersebut dibangun diatas kerjasama, kebersamaan, keterbukaan, pengertian, dan komitmen. Masing masing pihak dalam keluarga (ayah, ibu, dan anak-anak serta pihak keluarga lainnya) menyadari bahwa harmonisasi dalam keluarga tidak akan dicapai tanpa interaksi yang sehat melalui komunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. Menerima keberadaan masing-masing individu dengan keterbatasan dan perbedaan (individual differences) adalah kunci kedinamisan keluarga. Tercapainya Homeostatis atau equilibrium dalam keluarga dibangun dari mekanisme hubungan timbal-balik dari komponen-komponen dalam sistem keluarga melalui interaksi dan komunikasi, batasan subsistem dalam keluarga, penempatan peran masing-masing dalam keluarga dan membangun serta menempatkan power masing masing sehingga kekuatannya dapat dikombinasikan baik dalam berhubungan secara aktif maupun pasif sehingga tidak terjadi superioritas dan inferioritas, melainkan hubungan setara dalam kebersamaan. Layaknya sebuah tim olahraga, kekompakan harus dimulai dari pelatihnya. Suami dan istri harus terlebih dahulu menjadi rangtua (pasangan) yang memiliki satu pandangan (visi). Tidak ada anggapan membesarkan anak hanyalah tugas salah satu orang. Hubungan yang harus dibangun adalah bekerjasama sehingga tidak ada satu pihak yang merasa berat. Membangun keluarga ideal tidak dalam waktu singkat, karena keidealan itu sendiri akan teruji oleh waktu dan keadaan. Dalam berproses, sebuah keluarga ideal berkaca pada apa yang telah dialami (exsperience) untuk menjadi pelajaran. Melalui proses learning sebuah keluarga akan belajar untuk meningkatkan perilaku yang lebih baik. Peningkatan perilaku ditekankan pada bagaimana perilaku orang tua menjadi cermin belajar bagi anak-anak dalam bentuk keteladanan. Predikat ideal tidak didapatkan diawal pernikahan melainkan setelah melalui beberapa fase. Berikut beberapa gambaran inti keluarga ideal yang dibangun Syarifah dan Mustakim beserta anak-anaknya: 1. Pola interaksi: equilibrium, harmony, komitmen yang kuat, dan kemantapan interaksi mutual cyclical growth. 2. Pola komunikasi: kongruen, gaya komunikasi fleksibel, dan komunikasi dua arah. Melalui pola-pola yang harus dimiliki dalam membangun sebuah keluarga yang kompak, maka ada beberapa hal yang dapat menjadi implikasi, di antaranya adalah: pertama, bagi mereka yang sudah berkeluarga, jadilah sahabat bagi pasangan hidup dengan mengembangkan berpikir realitis, menjalin komunikasi, dialog yang bersahabat dan mendengar aktif untuk memahami pasangan; kedua, mereka yang sudah memiliki anak, menjadi seorang ibu atau ayah yang baik tidak cukup hanya dengan menjalankan peran sebagai orangtua, tetapi jadilah sahabat, teman, dan teladan yang baik bagi anak, dan ketiga, mereka yang belum berkeluarga, bersegeralah untuk berkeluarga sebab sebagian pahit manisnya hidup belum dirasakan sebelum berkeluarga. Memulai keluarga tidak dengan ketakutan akan masalah sebab berkeluarga justru mengenalkan pada masalah dan mengajarkan bagaimana menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Daftar Pustaka
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 77
Musdalifah Babcock, Julia C., Waltz, Jennifer., Jacobson, Neil S & Gottman, John M., 1993. Power & Violence : The Relation Between Communication Patterns, Power Discrepancies & Domestic Violence. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 16. No.1. 40-45. Burleson, Bran R. & Denton, Wayne H., 1997. “The Relationship Between Communication Skill and Marital Satisfaction: Some Moderating Effects”. Journal of Marriage and The Family. Vol. 59. 884-902. Goldenberg, Irene & Goldenberg, Herbert. 1985. Family Therapy : an Overview. 2nd Edition. Brook/Cole Publishing Company. 187-203. Guman, A. S. & Fraenkel P, 2002. The History of Couple Therapy : A Millenial Review. Family Process, Summer. Hopson, D. P. & Hopson, D. S. 2002. Menuju Keluarga Kompak : 8 Prinsip Praktis Menjadi Orangtua Sukses. Kaifa: Bandung. L’Abate, Luciano. 1990. Building Family Competence: Primary and Secondary Prevention Strategies I. Sage: USA. Sunarjo, J. M. Tj., 2003. Keluarga : Suatu Sejarah Kehidupan. BASIS. No. 05-06. tahun 52. Mei-Juni. Yogyakarta. Waite, L. J., Gallagher & Maggie. 2003. Selamat Menempuh Hidup Baru : Manfaat Perkawinan dari Segi Kesehatan, Psikologi, Seksual dan Keluarga. Qanita : Bandung Wieselquist, J., dkk. 1999. Commitment, Pro-Relationship Behavior, and Trust in Close Relationship. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 77. No. 5, 942-966.
Volume 3 Januari - Juni 2007
IQRA’ 78