Budidaya Ikan Napoleon oleh Masyarakat di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau: Evolusi Kegiatan, Jejaring Pembudidaya dan Kelayakan Usaha Arisetiarso Soemodinotoa, Asril Djunaidib and Jurianto M. Nurc a
The Nature Conservancy (Country Office), Graha Iskandarsyah Lantai 3, Jalan Iskandarsyah Raya No. 66C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160; email
[email protected]
b
Conservation International Indonesia (Bali Office), Jalan Dr. Muwardi No. 17, Renon, Denpasar 80235, Bali; email
[email protected]
c
Conservation International Indonesia (Jakarta Office), Jalan Pejaten Barat 16A, Kemang, Jakarta Selatan 12550; email
[email protected]
Rangkuman Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus, Ruppell 1835) terdaftar sebagai species dengan status perlindungan terancam (threatened) pada Lampiran II CITES dan terancam punah (endangered) pada Daftar Merah IUCN. Meski di Indonesia ikan ini dilindungi secara penuh dan perdagangannya dilakukan secara terbatas melalui sistem kuota, di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau, ikan Napoleon telah dibudidaya melalui pembesaran oleh masyarakat setempat untuk diekspor guna memenuhi permintaan pasar mancanegara. Kajian ini dilakukan dengan tiga tujuan: (i) merekonstruksi perkembangan kegiatan budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas sejak pertama kali dilakukan; (ii) memetakan jejaring pembudidaya setempat; dan (iii) mempelajari kelayakan usaha budidaya. Hasil menunjukkan bahwa kegiatan budidaya pembesaran ikan Napoleon sudah dilakukan sejak paruh kedua dekade 1980. Pelopor dari kegiatan budidaya ini adalah sekelompok nelayan yang memperoleh kesempatan bekerjasama dengan pemodal dari luar. Secara garis besar perkembangan kegiatan budidaya dapat dibedakan ke dalam dua periode, sebelum dan sesudah krisis moneter 1998. Jejaring budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai kaki-tangan yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan. Pembudidaya dapat dikelompokkan menjadi (i) pembudidaya bukan anggota jejaring, dan (ii) pembudidaya anggota jejaring tertutup yang dicirikan oleh hubungan patron-klien. Hanya anggota jejaring yang dijamin pembelian dan penjualan hasil budidayanya oleh para pemain besar; sementara pembudidaya bukan anggota jejaring berusaha sendiri tanpa bantuan atau dengan sedikit bantuan dari sebagian anggota jejaring. Analisis kelayakan usaha sederhana menunjukkan bahwa hanya budidaya pembesaran ikan Napoleon secara penuh saja yang layak secara finansial, sementara pembesaran benih sama sekali tidak layak, dan pembesaran ikan muda sifatnya merugi meski kerugian yang diderita tidak sebesar usaha budidaya benih. Waktu pembesaran yang lama (paling tidak 5 tahun) menunjukkan bahwa hanya pihak-pihak yang bermodal kuat saja yang mampu melakukan pembesaran ikan Napoleon sampai ukuran layak jual/ekspor. Hasil kajian ini menyarankan bahwa agar budidaya ikan Napoleon dapat berjalan sesuai aturan guna memenuhi permintaan pasar mancanegara, perlu ada perubahan kebijakan dan aturan terkait dengan pemanfaatan ikan tersebut di Indonesia. Diperlukan seperangkat kebijakan dan aturan baru yang melegalkan budidaya ikan Napoleon dan mendorong kegiatan budidaya dilakukan secara berkelanjutan dan dalam konteks mengurangi tekanan terhadap populasi di alam. Kata kunci: Ikan Napoleon, Napoleon Wrasse, perlindungan, budidaya, pasar, Anambas, Indonesia
1
Community-based ranching of Napoleon wrasse in Anambas Islands, Riau Islands Province: Its Evolution, Rancher Network, and Business Feasibility Arisetiarso Soemodinotoa, Asril Djunaidib and Jurianto M. Nurc a
The Nature Conservancy (Country Office), Graha Iskandarsyah Lantai 3, Jalan Iskandarsyah Raya No. 66C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160; email
[email protected]
b c
Conservation International Indonesia (Bali Office), Jalan Dr. Muwardi No. 17, Renon, Denpasar 80235, Bali; email
[email protected]
Conservation International Indonesia (Jakarta Office), Jalan Pejaten Barat 16A, Kemang, Jakarta Selatan 12550; email
[email protected]
Summary Napoleon wrasse (Cheilinus undulatus, Ruppell 1835) is registered as threatened species on CITES Appendix II, and endangered species on IUCN Red List. Even though this species is fully protected and its trade is regulated via quota system in Indonesia, in Anambas Islands, Riau Islands Province, this species is cultured via ranching by local people to meet overseas’ demand. This study was carried out with three objectives: (i) reconstructing the evolution of Napoleon wrasse ranching in Anambas Islands; (ii) mapping the local network of fish-ranchers; and (iii) assessing the economic feasibility of fish-ranching. Results indicated that the ranching of Napoleon wrasse has been carried out since mid-1980s. The pioneers were local fishermen who had the opportunities to collaborate with investors from outside. In general, the evolution can be differentiated into two periods: before and after monetary crises in 1998. A group of businessmen dominates network of fish-ranchers in Anambas Islands, and supported by subordinates that are widely dispersed, covering the whole islands. The fish-ranchers themselves can be categorized into: (i) those who are not network members, and (ii) those who are members of a closed-network which is characterized by patron-client relationships. Only network members are guaranteed that their products will be bought or assisted to sell (to outside and foreign buyers) by the major collectors; whereas non-network members must do their activities by themselves without or with few support from network members. Analysis suggests that only full-scale ranchings that are economically feasible; while fish seeds culture is not feasible, and so too the juvenile fish ranching although the loss is not as big as the former. The long time needed (at least 5 years) ro raise Napoleon wrasse to reach market size clearly indicated that only those who are having strong capital which able to do so. These results suggest that in order to make Napoleon wrasse ranching meeting legal requirement for export, there should be changes in policy and regulation associated with its exploitation in Indonesia. A set of new policies and regulations is needed to legalize the ranching of Napoleon wrasse, and accompanied with promotion of ranching that adopts sustanability principles in the context of reducing pressures toward its natural populations. Keywords: Napoleon Wrasse, protection, culture/ranching, market, Anambas, Indonesia
2
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Ikan Napoleon1 (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) merupakan species yang terdaftar dengan status perlindungan ‘terancam’ (threatened) pada Lampiran II CITES (CITES Appendix II) (Gillett, 2010; Sadovy et al., 2003) dan ‘terancam punah’ (endangered) pada Daftar Merah IUCN (IUCN Red List) (Colin, 2010; Sadovy & Suharti, 2008). Ikan tersebut dikategorikan terancam punah karena di banyak negara populasi alaminya semakin sulit dijumpai akibat penangkapan tak terkendali (Sadovy & Suharti, 2008). Meskipun demikian, menurut Gillet (2010), status terancam menurut Lampiran II CITES masih memberikan ruang bagi perdagangan ikan Napoleon selama kegiatan tersebut tidak berakibat buruk terhadap sintasan (survival) species tersebut di alam. Selain dikenal sebagai komoditas bernilai tinggi, Ikan Napoleon diketahui merupakan salah satu species pemangsa kunci yang memainkan peranan penting bagi proses ekologi dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Ikan Napoleon dilaporkan memangsa bintang laut berduri (Crown of Thorns starfish) yang diketahui merupakan pemangsa organisme pembangun terumbu karang (Sadovy et al., 2003). Kajian menunjukkan bahwa hilangnya ikan Napoleon dari ekosistem terumbu karang akan mendorong meledaknya populasi bintang laut berduri yang pada gilirannya memangsa organisme pembangun terumbu secara besar-besaran (CRC Reef Research Centre, 2003). Di Indonesia, penangkapan ikan Napoleon sudah sejak sejak lama dilarang melalui Keputusan Menteri Pertanian 375/1995 tentang Larangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse (secara terbatas). Meskipun demikian perdagangan secara terbatas masih diperbolehkan dengan penerapan sistem kuota yang membatasi jumlah ikan yang boleh diekspor per tahun dan pintu ekspor ke luar negeri (Sadovy & Suharti, 2008). Dengan berdirinya Kementerian Kelautan & Perikanan, fungsi pengawasan dan pengaturan pemanfaatan jenis khususnya untuk komoditas dari laut yang semula ditangani oleh Kementerian Kehutanan (yang melanjutkan fungsi pengawasan dan pengaturan perdagangan/pemanfaatan flora fauna Kementerian Pertanian) secara berangsur-angsur dialihkan kepadanya. Saat ini, Kementerian Kelautan & Perikanan, melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), sedang merencanakan usulan untuk moratorium bertahap pelarangan penangkapan ikan Napoleon dari alam di seluruh Indonesia. Karena rencana moratorium ini juga akan berlaku di kawasan Kepulauan Anambas dimana kegiatan budidaya ikan Napoleon merupakan salah satu kegiatan perikanan utama, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Anambas, telah mengirimkan surat resmi kepada Direktur KKJI untuk tidak menerapkan moratorium di Kepulauan Anambas dan mengusulkan pengecualian bagi wilayahnya. Usulan ini diajukan karena sebagian masyarakat di
1
Secara internasional dikenal dengan nama Napoleon Wrasse; sementara di Kepulauan Anambas dikenal dengan nama ketipas selama belum muncul benjolan di bagian jidat kepala ikan, dan disebut mengkait ketika benjolan tersebut muncul. Di bagian lain Indonesia, ikan Napoleon dikenal dengan nama, antara lain, maming.
3
Kepulauan Anambas hidupnya bergantung, baik langsung maupun tidak, terhadap budidaya ikan Napoleon. Keberadaan budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas, selain mencerminkan permasalahan bila ditinjau dari kebijakan peraturan yang berlaku, menjadi suatu hal yang menarik dan penting bagi kerja-kerja pemanfaatan species dan kawasan yang dilaksanakan oleh Direktorat KKJI. Pada tahun 2011, kawasan Kepulauan Anambas dicadangkan oleh Menteri Kelautan & Perikanan sebagai Taman Wisata Perairan (TWP), dimana upaya pengelolaannya menganut pendekatan yang digariskan oleh PP 60/2008 tentang Sumber Daya Ikan dan PerMen KP 30/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Mengacu kepada dua aturan ini, maka kawasan TWP akan dikelola dengan menerapkan sistem zonasi. Menurut PerMen KP 30/2010, zona-zona yang mungkin terdapat dalam suatu kawasan konservasi perairan adalah zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Di masa depan, bukan tidak mungkin budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas dapat dijadikan sebagai model acuan untuk mendukung zona perikanan berkelanjutan dan/atau zona budidaya berkelanjutan di kawasan-kawasan konservasi perairan di tempat-tempat lain di Indonesia. Keberadaan budidaya ikan Napoleon sendiri merupakan suatu tantangan yang perlu ditangani dengan bijak karena banyak penduduk setempat yang secara ekonomi bergantung kepadanya. Moratorium yang dilanjutkan dengan pelarangan budidaya tidak dengan serta merta akan memberikan dampak positif yang diinginkan; meski di satu sisi moratorium dilakukan untuk menjamin konsistensi penerapan aturan, di sisi lain hal ini dapat menimbulkan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah, maupun antara pemerintah daerah (Kabupaten) dengan pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Mengingat sejauh ini data dan informasi tentang budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas masih bersifat anekdotal, dan dalam rangka mencari titik temu agar kebijakan yang akan diterapkan tidak merugikan masyarakat pembudidaya yang notabene adalah salah-satu pemangku-kepentingan bagi kawasan TWP Kepulauan Anambas, serta untuk mempelajari apakah kegiatan budidaya ikan Napoleon, yang diklaim berbasis-masyarakat, dapat memberi umpan-balik positif agar moratorium tidak perlu dilakukan, maka kajian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi termutakhir tentang kegiatan budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas dan keterkaitannya dengan kondisi sosialekonomi masyarakat/nelayan setempat. Laporan ini menyajikan hasil kajian tersebut. Diharapkan temuan-temuan yang dipaparkan pada aporan ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi para pengambil-keputusan terkait dengan kebijakan moratorium bertahap dalam penangkapan ikan Napoleon di Indonesia. 1.2. Tujuan Kajian Merekonstruksi perkembangan kegiatan budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas sejak pertama kali dilakukan. Memetakan jejaring pembudidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas. 4
Mempelajari kelayakan ekonomi usaha budidaya ikan Napoleon. Membahas implikasi dari hasil yang diperoleh kajian terhadap kebijakan pengelolaan/pemanfaatan ikan Napoleon dan kawasan konservasi perairan (KKP) baik di Kepulauan Anambas maupun di Indonesia. 1.3. Deskripsi Tempat Kajian: Kepulauan Anambas Kepulauan Anambas (Gambar 1), terletak di antara negara-pulau Singapura di sebelah barat dan Pulau Natuna di sebelah timur. Secara administratif, Kepulauan Anambas merupakan sebuah kabupaten dengan 7 kecamatan dan 54 desa. Menurut Sensus Sosial 2010, jumlah penduduk Kepulauan Anambas sekitar 37.500 orang, dimana sekitar 77% berada pada usia produktif (20–59 tahun). Sekitar 66% bermata-pencaharian sebagai nelayan, dan selebihnya bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri sipil, atau mata-pencaharian lainnya, seperti pegawai swasta. Sebagai kawasan yang dikenal kaya akan minyak bumi dan gas alam, saat ini ada 13 perusahaan minyak baik domestik maupun internasional yang beroperasi mengeksploitasi sumberdaya minyak.
Gambar 1 – Peta Kepulauan Anambas, Provinsi Riau Kepulauan 1.4. Biologi, Sebaran dan Ancaman Yang Dihadapi Ikan Napoleon Informasi yang disajikan pada sub-bab ini disarikan dari Choat et al. (2006), Colin (2010), Sadovy et al. (2003), Sadovy & Suharti (2008), dan Tupper (2010). Ikan Napoleon merupakan salah satu species dari keluarga (familia) Labridae yang ukuran tubuhnya bisa mencapai lebih dari 2 meter dan berat 190 kg. Ikan 5
dewasa jantan bisa mencapai usia maksimum 25 tahun sementara ikan betina mencapai 30 tahun. Pertumbuhan ikan jantan lebih cepat daripada ikan betina. Ikan Napoleon merupakan species yang bersifat protogini, dimana rekrutmen ikan jantan ke dalam populasi dimulai pada usia 9 tahun dengan ambang ukuran panjang tubuh 70 cm. Perubahan kelamin menjadi jantan dicirikan dengan mulai tumbuhnya benjolan di bagian atas kepala (jidat) ikan. Pada masa selanjutnya ikan Napoleon akan berkelamin jantan. Meskipun demikian, terdapat bukti-bukti bahwa tidak semua ikan berubah menjadi jantan. Kondisi matang seksual dicapai ketika ikan berukuran panjang total antara 35–50 cm dan berusia kurang dari 5 tahun. Ikan Napoleon berkembang biak melalui pemijahan berkelompok (spawning aggregation). Pemijahan dapat terjadi sepanjang tahun dengan variasi sesuai musim atau bulan. Sebuah kajian di Palau, menunjukkan bahwa kelompok berpijah diperkirakan memiliki nisbah (ratio) antara ikan betina dengan jantan antara 6:1 dan 10:1. Untuk 100-150 ekor ikan betina diperlukan maksimum 15 ekor ikan jantan. Laiknya hewan yang dapat mencapai ukuran besar, Ikan Napoleon memiliki laju reproduksi yang rendah. Ini ditunjukkan dengan tingkat kematian yang tinggi pada saat stadium larva, dimana umumnya hanya 10–30 persen dari telur yang dipijah bisa menyintas menjadi ikan juvenil. Di alam, kerapatan jumlah ikan dewasa jarang melebihi 20 ekor ikan per 10.000 m2. Secara ekologis, setiap tahapan hidup Ikan Napoleon berasosiasi dengan habitat yang berbeda. Individu muda dan berukuran kecil biasanya berasosiasi dengan tutupan karang yang tinggi; sementara ikan-ikan berukuran lebih besar umumnya dijumpai sendirian atau berkelompok pada terumbu luar atau di kedalaman, pada miringan terumbu, atau berasosiasi dengan lamun. Pemukiman (settlement), pertumbuhan dan kehadiran ikan Napoleon dalam jumlah tinggi secara konsisten dijumpai pada species karang bercabang yang diimbuhi oleh makro-alga yang lebat. Ketika berpijah, kelompok ikan-ikan siap kawin berkumpul pada sisi terumbu karang yang menghadap laut terbuka (seaward edge). Makanan ikan Napoleon adalah hewan-hewan invertebrata berukuran besar dan ikan-ikan kecil. Ikan ini merupakan pemangsa alami dan pengendali populasi bintang laut berduri (crown-of-thorns starfish) yang sering memangsa organisme karang dalam jumlah dan skala besar. Ikan Napoleon tersebar luas di seluruh kawasan Indo-Pasifik. Di Indonesia, ikan ini dapat dijumpai di hampir semua bagian pesisir berterumbu karang dari ujung Barat sampai ujung Timur. Kondisi terumbu dengan tutupan karang hidup yang baik kelihatannya merupakan salah satu faktor penting bagi keberadaan dan keberlanjutan populasi ikan Napoleon. Disamping nilai budayanya yang tinggi di beberapa negara Pasifik, ikan Napoleon merupakan salah satu komoditas bernilai tinggi pada perdagangan ekspor ikan karang hidup (live reef food fish trade, LRFFT) yang menyebabkan
6
individu-individu mudanya (juvenile) ditangkap untuk dijual atau dibudidaya melalui pembesaran sampai mencapai ukuran layak pasar. Ikan Napoleon sangat peka terhadap tekanan akibat penangkapan. Di tempattempat dimana tekanan penangkapan tinggi, kerapatan individu per luasan dan ukuran panjang badannya menurun dengan nyata. Di negara-negara Asia Tenggara ikan Napoleon sangat diburu dan mengalami pelangkaan; di beberapa tempat bahkan nyaris punah. Meskipun status perlindungannya adalah ‘terancam’ (menurut Lampiran II CITES) dan ‘terancam punah’ (menurut Daftar Merah IUCN), di kawasan-kawasan dimana perlindungan lemah atau tidak ada, ikan Napoleon ditangkap pada malam hari dengan menggunakan tombak dan bius.
2. Metodologi 2.1. Pengumpulan data Pengumpulan data untuk laporan ini dilakukan selama bulan Mei 2012 sebagai bagian dari survei untuk mendirikan data garis dasar (baseline) tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan dan perikanan di Kepulauan Anambas secara menyeluruh. Sedikit berbeda dengan survei sosial-ekonomi yang menyasar semua kecamatan dan sebagian besar desa-desa yang ada, untuk survei tentang budidaya ikan Napoleon para pensurvei sejak awal sudah memiliki informasi tentang desa-desa dimana para nelayan budidaya dapat dijumpai. Oleh karena itu, survei tentang budidaya ikan Napoleon dipusatkan di beberapa desa yang diketahui menjadi pusat kegiatan budidaya seperti Air Sena dan Batu Belah. Sementara di desa-desa lainnya survei hanya dilakukan ketika memang dijumpai nelayan yang membudidayakan ikan Napoleon di desa-desa tersebut. Daftar nama desa-desa yang dikunjungi dan jumlah responden yang diwawancarai di setiap desa disajikan pada Tabel 1. Survei menggunakan kuesioner dengan sejumlah pertanyaan yang relevan dengan aspek-aspek budidaya. Wawancara bebas untuk memperdalam hal-hal penting terkait budidaya biasanya dilakukan setelah kuesioner terisi/terjawab penuh. Selain itu, setiap responden selalu diberi kesempatan untuk menyampaikan data dan informasi tambahan pada akhir wawancara.
7
Tabel 1 – Desa-desa yang dikunjungi dan jumlah responden di setiap desa Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nama desa Air Asuk Air Nangak Air Putih Air Sena Batu Belah Belibak Genting Pulur Kiabu Lidi Liuk Munjan Nyamuk Pesisir Timur Piabung Tebang Temburun Total
Jumlah responden 8 5 1 6 8 3 2 4 3 3 3 1 9 7 2 5 70
2.2. Analisis data 2.2.1. Rekonstruksi Perkembangan Kegiatan Budidaya Untuk merekonstruksi perkembangan kegiatan budidaya digunakan teknik ekohistoriografi, yaitu suatu cara dengan pendekatan kualitatif atau campuran kualitatif-kuantitatif untuk merekonstruksi dan mendeskripsikan sejarah ekologi atau pemanfaatan sumberdaya di suatu tempat (Soemodinoto & Wong, 2001; Soemodinoto, 2010). Dengan menggunakan cara ini, data tentang kegiatan budidaya (misalnya, jumlah keramba dan/atau orang yang berkecimpung di dalamnya) disusun secara kronologis sejak kegiatan pertama kali dilakukan berdasarkan informasi yang diberikan oleh responden, sampai kepada tahun 2011. Selanjutnya narasi yang menjelaskan kegiatan tersebut dibuat berdasarkan data dan informasi yang diberikan oleh para responden. Teknik ini telah berhasil digunakan untuk merekonstruksi evolusi atau perkembangan kegiatan pariwisata di kawasan-kawasan lindung berdasarkan jenis kegiatan pariwisata (Soemodinoto & Wong, 2001) dan pelibatan pihak swasta dan masyarakat setempat (Soemodinoto, 2010) sehingga cukup handal untuk digunakan merekonstruksi perkembangan kegiatan budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas.
8
2.2.2. Pemetaan Jejaring Pembudidaya Pemetaan jejaring pembudidaya dilakukan dengan menggunakan teknik rekonstruksi sederhana yang melibatkan informasi kualitatif dari para responden. Seperti yang disampaikan oleh Wellman (1983), pemetaan jejaring dimulai dari informasi tentang siapa pelaku utama dan pelaku tambahan yang terlibat dalam suatu kegiatan, berdasarkan pendekatan ‘siapa kenal siapa’ (Crona & Bodin, 2006). Dengan menggunakan teknik bola salju (snow ball technique) semua hubungan yang mungkin antara pelaku utama dan pelaku-pelaku tambahan dirunut sampai tidak dijumpai lagi responden yang menyatakan keterhubungan di antara mereka (cf. Soemodinoto, 2010). Dalam kasus pembudidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas, informasi tentang keberadaan beberapa orang pelopor sebagai pelaku utama usaha budidaya pembesaran dijadikan sebagai acuan awal bagi pengembangan pemetaan jejaring dimaksud. Selanjutnya, dengan menggunakan informasi yang diberikan oleh para responden, dirunut dan diidentifikasi siapa saja yang terlibat dalam jejaring untuk kemudian diterjemahkan menjadi sebuah peta kasar jejaring para pembudidaya. 2.2.3. Analisis Sederhana Kelayakan Usaha Budidaya Kelayakan usaha budidaya dilakukan dengan menggunakan tabel analisis titik impas sederhana untuk menghitung nisbah (ratio) pendapatan kotor yang diperoleh dan total biaya yang dikeluarkan seorang pembudidaya seperti yang digunakan oleh Koeshendrajana (2007). Dalam laporan ini, hanya analisis sederhana yang dilakukan karena terbatasnya data dan informasi yang dapat diperoleh sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan analisis yang komprehensif seperti yang disarankan oleh Pomeroy & Balboa (2004). Meskipun demikian kami percaya bahwa data dan informasi yang kami kumpulkan dan uraikan dalam laporan ini cukup akurat mencerminkan kelayakan usaha budidaya yang dilakukan oleh para pembudidaya. 3. Hasil 3.1. Karakteristik Responden Jumlah responden yang diwawancarai adalah 70 orang dan semuanya adalah laki-laki (Tabel 2). Hanya responden laki-laki yang diwawancarai dalam survei ini merupakan suatu hal yang tak terhindarkan mengingat, dan seperti yang sudah disinggung sebelumnya pada Sub-bab 2.1, survei ini merupakan bagian dari survei sosial-ekonomi nelayan di Kepulauan Anambas dimana responden yang dituju terutama adalah para pemimpin rumah tangga nelayan. Para responden umumnya berusia antara 21 – 40 atau berada pada usia kerja/ produktif. Sebagian besar responden adalah nelayan dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar. 9
Tabel 2 – Karakteristik responden survei budidaya Ikan Napoleon di Anambas
Gender
Usia (tahun)
Pendidikan Matapencaharian
Kategori Laki-laki Perempuan 15–20 21–30 31–40 41–50 >50 Tidak sekolah SD SMP SMA Nelayan Bukan nelayan*
Jumlah 70 0 3 21 29 10 7 8 53 3 6 67 3
Persen 100.0 0.0 4.3 30.0 41.4 14.3 10.0 11.4 75.7 4.3 8.6 95.7 4.3
Karakteristik yang terekam pada survei ini merupakan karakteristik yang kurang lebih serupa dengan karakteristik umumnya nelayan di daerah lain Indonesia. Selain hanya berpendidikan sekolah dasar, atau tidak menyelesaikan pendidikan dasar, atau sama sekali tidak sekolah, nelayan di Kepulauan Anambas dapat dikategorikan sebagai masyarakat berpendapatan rendah (MBR) (Masri, 2012). Meskipun demikian, pada beberapa kasus, rendahnya pendidikan tidak berkorelasi dengan pendapatan nelayan. Pada kasus pembudidaya dan penampung besar, pendidikan yang rendah tidak berarti bahwa pendapatan mereka juga rendah. 3.2. Perkembangan Kegiatan Budidaya Ikan Napoleon di Kepulauan Anambas Berdasarkan jumlah pembudidaya, perkembangan kegiatan budidaya dimulai sejak dekade 1980 (Gambar 2). Meski tidak ada tanggal pasti kapan usaha budidaya mulai dilakukan dan oleh siapa, cukup jelas bahwa usaha budidaya sudah ada sejak sebelum tahun 1991 dengan 6 pelopor kegiatan budidaya. Pertambahan pembudidaya dengan jumlah cukup banyak terjadi pada tahuntahun 1992 (6 orang), tahun 2002 (10 orang), tahun 2007 (9 orang), dan pada tahun 2010 (6 orang).
10
80 Jumlah Pembudidaya
70 60 50 40 30 20 10 <91 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
0 Tahun Berdiri
Gambar 2 – Evolusi budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas berdasarkan jumlah dan pertambahan pembudidaya. ‘Batang’ menunjukkan jumlah, dan ‘garis’ menunjukkan pertambahan secara kumulatif.
Meskipun demikian, bila ditinjau dari segi pertambahan jumlah keramba yang dibuat (Gambar 3), jumlah keramba tertinggi tercatat pada periode sebelum tahun 1991 (102 keramba) dan pada tahun 1992 (102 keramba). Secara umum, hasil ini menunjukkan dominasi dari beberapa orang pelopor budidaya, karena meski terjadi penambahan jumlah pembudidaya jumlah keramba yang dibuat tidak pernah melebihi 51 keramba atau setengah dari yang dibuat pada periode-periode sebelum tahun 1991 dan tahun 1992. Uraian lebih rinci tentang dominasi oleh beberapa pelaku, pelopor, budidaya dibahas lebih lanjut pada sub-bab 3.4. Ditinjau dari jumlah pembudidaya maupun keramba secara kumulatif tampaknya saat ini kegiatan budidaya sedang memasuki fase ‘jenuh’ dimana sejak tahun 2007 jumlah nelayan yang menjadi pembudidaya dan jumlah keramba yang dibuat menurun atau berkurang secara bertahap dibanding pada tahun-tahun sebelumnya.
11
500 450 Jumlah Keramba
400 350 300 250 200 150 100 50 <91 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
0 Tahun
Gambar 3 – Evolusi budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas berdasarkan jumlah dan pertambahan keramba. ‘Batang’ menunjukkan jumlah, dan ‘garis’ menunjukkan pertambahan secara kumulatif.
Sejarah perkembangan budidaya dimulai dengan kedatangan seorang pedagang ikan Napoleon dari Jakarta pada tahun yang tidak dapat ditentukan karena beragamnya informasi yang diterima. Sebagian responden yang mengaku mengetahuinya menyebutkan hal ini terjadi pada awal dekade 1980, sementara sebagian lainnya menyebutkan menjelang akhir dekade 1980 atau awal tahun 1990an. Tetapi cukup jelas bahwa pedagang tersebut memberi modal dan teknik sederhana untuk melakukan budidaya ikan Napoleon. Selanjutnya orang tersebut yang membuka akses pasar ke Jakarta dan Surabaya pada waktu itu. Sumber informasi alternatif menyebutkan bahwa kegiatan pemeliharaan membesarkan ikan Napoleon berawal dari melimpahnya ikan berukuran kecil (juvenile) sampai ukuran di bawah layak pasar (<0,4 kg) yang ditangkap oleh nelayan setempat. Para penampung kecil yang melihat peluang untuk dapat memasok dalam jumlah lebih banyak kemudian membeli ikan-ikan tersebut dan memeliharanya pada keramba sampai mencapai ukuran layak pasar (>0,5 kg). Kemudian mereka menjualnya kepada penampung besar setempat, atau pedagang yang datang dari kawasan lain Indonesia, atau pembeli langsung dari Hong Kong yang datang ke Kepulauan Anambas. Ditinjau dari segi pengadaan benih, informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa masyarakat umumnya mencari benih pada (i) musim Angin Barat (Agustus–Oktober), dan (ii) musim Angin Utara (November–Januari); sementara masyarakat Tionghoa setempat percaya bahwa pencarian benih sebaliknya mulai dilakukan pada bulan 9 penanggalan China. Pada musimmusim tersebut dilaporkan bahwa perairan di Kepulauan Anambas dilimpahi oleh alga-makro (Sargassum) yang menjadi tempat bersembunyinya benihbenih yang dapat ditangkap atau dikumpulkan dengan menggunakan serok 12
(atau tangguk, dalam bahasa setempat) dengan mata jaring sangat halus. Selanjutnya, benih dan larva ikan Napoleon dipelihara dalam keramba jaring apung sederhana berukuran (0,5 m x 0,5 m x 1 m) atau (1 m x 1m x 1m) dengan mata jaring sengat halus serupa dengan yang digunakan untuk serok. Sampai berumur 1 tahun, pakan yang diberikan adalah daging kepiting batu (Thalamita spp.) yang dihancurkan dan digantung di dalam keramba. Untuk benih yang berumur >1 tahun, pakan yang diberikan adalah campuran daging kepiting batu dan ikan rucah. Sebagai informasi, di Indonesia upaya pembudidayaan untuk menghasilkan benih ikan Napoleon dirintis dan berhasil dilakukan dalam skala laboratorium pada awal tahun 2000an di Pusat Penelitian Perikanan Air Payau Gondol, Bali (Hutapea & Slamet, 2005). Dengan semakin berkembangnya kemampuan para pembudidaya pelopor, perlahan-lahan mereka membuka sendiri akses dengan pengimpor ikan Napoleon dari mancanegara, terutama Hong Kong dan Singapura. Para pelopor ini mengakumulasi modal dan kekayaan dari ekspor ikan Napoleon hasil budidaya selama bertahun-tahun serta mendominasi usaha budidaya sampai krisis moneter menerpa pada tahun 1998, dan kelihatannya akan tetap memonopoli perdagangan ikan Napoleon setempat bila tidak terjadi krisis. Kelihatannya, krisis mendorong orang-orang untuk mencari bantuan finansial dari para pelopor ini dan mereka melihatnya sebagai peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi dan ekspor ikan hidup ke mancanegara tanpa harus membangun lagi sarana yang memerlukan biaya tidak kecil dan cukup berisiko secara ekonomi. Dari cara pelaksanaannya, budidaya pembesaran ikan Napoleon di Kepulauan Anambas dapat dikategorikan sebagai budidaya berbasis-tangkapan (capturebased aquaculture) (Tupper & Sheriff, 2008). Budidaya ini dicirikan dengan pengambilan bibit dari alam untuk kemudian dibesarkan di dalam jala-apung atau sarana serupa lainnya sampai mencapai ukuran layak pasar. Di tengah keterbatasan kemampuan teknis budidaya, melakukan budidaya berbasistangkapan merupakan pilihan terbaik dan relatif kurang berisiko secara ekonomi ketika seseorang ingin memanfaatkan komoditas hayati. 3.3. Jejaring Pembudidaya Ikan Napoleon Pembudidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas, secara umum, dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu (i) pembudidaya anggota jejaring yang terpusat pada para pembudidaya dengan skala usaha yang besar, dan (ii) pembudidaya bukan anggota jejaring (Gambar 4). Pembudidaya bukan anggota jejaring lebih jauh lagi dapat dibedakan menjadi pembudidaya benih ikan dan pembudidaya ikan muda. pembudidaya benih ikan mengumpulkan benih (disebut ‘hama’ atau ‘biji beras’ karena ukurannya yang kecil) dari alam dan memeliharanya sampai berukuran (maksimal) 2,5 cm. Pembudidaya ikan muda memelihara ikan-ikan muda (juvenile) dan membesarkannya dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk dijual kepada pembudidaya lain setelah mencapai ukuran tertentu (biasanya dengan ukuran panjang 5–10 cm). 13
Kelihatannya, kehadiran pembudidaya bukan anggota jejaring pada sepuluh tahun terakhir lebih disebabkan oleh semakin sulitnya keadaan ekonomi di Kepulauan Anambas, sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk menjadi pembudidaya benih atau ikan muda sebagai cara yang paling mudah dan tidak memerlukan modal cukup besar. Selain itu, menjadi pembudidaya juga dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk masuk ke dalam jejaring dalam rangka menangkap peluang untuk mendapatkan bantuan modal dan barang/peralatan untuk budidaya. Sementara jejaring pembudidaya dibangun oleh 4 jenis yang kurang lebih mencerminkan kekuatan modal yang dimilikinya. Kelompok pertama adalah pembudidaya yang memelihara ikan-ikan muda (juvenile) dan membesarkannya dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan (1) untuk dijual kepada pengumpul besar setelah mencapai ukuran layak pasar (0,6 – 0,8 kg per ekor; biasanya memerlukan waktu antara 3-4 tahun), dan (2) untuk dijual kepada pembudidaya lain setelah mencapai ukuran tertentu (biasanya dengan ukuran panjang 5–10 cm). Kelompok kedua adalah pembudidaya yang khusus hanya membesarkan ikan-ikan muda sampai mencapai ukuran layak pasar. Selanjutnya adalah para pembudidaya pembesar ikan yang merangkap sebagai penampung perantara. Pembudidaya ini merupakan pemasok utama bagi penampung besar. Terakhir, adalah pembudidaya-pengumpul besar yang, disamping membesarkan ikan, juga menampung beli ikan-ikan yang layak pasar/ekspor serta berfungsi sebagai penghubung dengan pembeli langsung dari Hong Kong yang datang langsung ke Kepulauan Anambas dengan menggunakan kapal besar. Sebagai catatan, tidak ada anggota jejaring yang melakukan budidaya pembesaran benih. Jejaring pembudidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas merupakan sebuah jejaring yang tertutup (eksklusif) sifatnya, dan dicirikan oleh hubungan patron-klien dimana para pembudidaya-pengumpul besar memberi modal dan barang/alat untuk melakukan budidaya, serta menjamin pembelian dan penjualan hasil budidaya. Hubungan patron-klien yang teramati di antara para pembudidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas kurang lebih mirip dengan hubungan ponggawa-sawi yang terjadi di antara para nelayan di Sulawesi Selatan (Sudarmono et al., 2010) meski ada beberapa perbedaan yang mencerminkan kekhasan masing-masing daerah dan budaya. Yang jelas, pola hubungan patron-klien yang teramati menunjukkan tingginya ketergantungan para anggota jejaring dalam hal modal dan barang/alat terhadap para pembudidaya-pengumpul besar. Disamping sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi bagi para pembudidaya-pengumpul besar dan untuk memberi kesempatan yang adil bagi anggota jejaring untuk memperoleh keuntungan finansial dari budidaya’ keberadaan jejaring dapat juga dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk berbagi atau mengurangi risiko ketika para pembudidaya-pengumpul besar berhadapan dengan peraturan yang berlaku. Sebagai informasi, semua pembudidaya-pengumpul besar berkonsentrasi kepada budidaya ikan Kerapu. Dan surat ijin ekspor resmi yang mereka milikipun mencantumkan ikan Kerapu sebagai komoditas ikan hidup yang diekspor. Semua ikan Napoleon yang 14
diekspor berasal dari para pembudidaya yang menjadi anggota jejaring. Ekspor ke mancanegara dilakukan secara legal tetapi ekspor ikan Napoleon hidup dilaporkan di bawah nama ikan Kerapu. Dan kalau dilacak oleh petugas yang berwenangpun, semuanya berasal dari anggota jejaring dan bukan dari para pembudidaya-pengumpul besar. Kentara sekali bahwa para pembudidaya-pengumpul besar dengan cermat ‘berlindung’ dari kemungkinan melanggar aturan dengan memanfaatkan anggota jejaringnya. Fakta ini diperkuat dengan apa yang terjadi ketika isu tentang moratorium berkembang di masyarakat. Isu tersebut sudah membuat panik sebagian pembudidaya dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para penampung perantara dan pembudidaya-pengumpul besar untuk menekan harga sehingga mengakibatkan keuntungan yang diperoleh para anggota jejaring berkurang. Para penampung besar, dengan kemampuannya untuk memobilisasi pembudidaya dan mengatur pembesaran dan pasok Ikan Napoleon melalui sistem rotasi, dapat sedemikian rupa mengatur agar pengiriman dapat dilakukan secara teratur, misalnya, setiap 2-3 minggu sekali (atau antara 16 sampai 24 kali dalam setahun) dengan jumlah minimum 500 ekor untuk setiap pengiriman. Analisis terhadap laporan yang diberikan oleh responden menunjukkan bahwa jumlah total ikan Napoleon yang dapat diekspor bisa mencapai lebih dari 11.000 ekor (Tabel 3). Beberapa responden melaporkan bahwa mereka melakukan sampai 4 kali penjualan untuk ekspor setiap tahun! Dari temuan ini cukup jelas bahwa jumlah ikan Napoleon yang dapat dijual untuk ekspor jauh melebihi kuota yang selama ini diterapkan oleh pemerintah (dalam hal ini Kementerian Kehutanan yang mematok kuota 500–8.000 ekor per tahun untuk seluruh Indonesia!). Padahal jumlah di atas belum memperhitungkan kemungkinan ekspor dari sumber lain seperti Pulau Natuna, misalnya, yang jumlahnya mungkin tidak kalah besarnya mengingat pulau tersebut merupakan salah satu pusat pemasok ikan Napoleon. Laporan termutakhir bahkan menyatakan bahwa untuk tahun 2012 saja, Kepulauan Anambas mengekspor 300 ton ikan Napoleon ke luar negeri dengan pasar utama Hong Kong (Naim, 2012).
15
Benih (ukuran biji beras) dari alam
Pembudidaya benih ikan
Pembudidaya ikan muda
Pembudidaya ikan muda
Pembudidaya penuh
(Pembudidaya penuh +) penampung perantara
Penampung besar (+ pembudidaya) dan eksportir ikan hidup
Gambar 4 – Jejaring budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas. Pembudidaya dalam kotak dengan garis terputus-putus merupakan jejaring tertutup dimana penampung besar memberikan modal dan menjamin pembelian dan pemasaran bagi benih, ikan muda dan ikan layak pasar. Pembudidaya yang berada di luar kotak merupakan pembudidaya bukan anggota jejaring.
16
Tabel 3 – Taksiran jumlah ikan Napoleon yang diekspor oleh pembudidaya setiap tahun Jumlah ikan diekspor setiap kali (ekor/responden)* Σresponden
Total
28 8 5 2 2 4 2 1 18 70
% 40,00 11,43 7,14 2,86 2,86 5,71 2,86 1,43 25,71 100,00
Σekspor 1x/tahun 2x/tahun 3x/tahun 4x/tahun 1x/2 tahun 1x/3 tahun 1x/4 tahun 1x/5 tahun Tidak jelas
~50
75
150
250
350
>400
3 0 0 0 0 0 2 1 --
17 4 2 1 0 2 0 0 --
6 3 1 1 1 2 0 0 --
0 0 0 0 0 0 0 0 --
1 0 0 0 0 0 0 0 --
1 1 2 0 1 0 0 0 --
Jumlah total ikan diekspor per tahun (ekor) ~3000 ~2400 ~3900 ~2500
~11.800
Catatan: *kecuali untuk jumlah ikan ~50 dan >400 ekor, untuk memudahkan penghitungan digunakan angka yang merupakan nilai tengah dari kisaran jumlah yang dilaporkan oleh responden (misal, 75 adalah nilai tengah dari 50-100; 150 adalah nilai tengah dari 101-200; dan seterusnya) 1 orang responden melaporkan ekspor ikan Napoleon 1 kali per tahun dengan jumlah total 400 ekor; 1 orang responden melaporkan ekspor ikan Napoleon 2 kali per tahun dengan jumlah total 850 ekor; 1 orang responden melaporkan ekspor ikan Napoleon 3 kali per tahun dengan jumlah total 1.950 ekor; 1 orang responden melaporkan ekspor ikan Napoleon 1 kali per 2 tahun dengan jumlah total 700 ekor.
17
3.4. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Ikan Napoleon Hasil analisis kelayakan usaha secara sederhana (Tabel 4) menunjukkan bahwa dari tiga macam kegiatan budidaya yang terekam di Kepulauan Anambas, hanya pembesaran ikan Napoleon secara penuh (yaitu, sampai ikan mencapai ukuran layak jual seberat 0,6 sampai 0,8 kg) yang menunjukkan nisbah di atas 1, yaitu 1,58. Ini berarti hanya budidaya ini yang layak dan bisa dilakukan agar pembudidaya bisa mendapatkan untung. Sementara untuk budidaya pembenihan dan pembesaran ikan muda nisbahnya kurang dari 1 atau budidaya sama sekali tidak menguntungkan. Pertanyannya kini, bagaimana mungkin para nelayan di Kepulauan Anambas yang umumnya miskin dapat melakukan budidaya dalam jangka waktu lama (5 tahun) dan penuh dengan pengeluaran? Jelas bahwa hanya pihak-pihak yang bermodal kuat saja yang mampu melakukan budidaya dengan keuntungan yang cukup menggiurkan. Adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara pembudidaya benih dan pembesaran ikan muda dengan pembudidaya pembesaran ikan secara penuh menyarankan bahwa para pembudidaya bukan anggota jejaring berada pada posisi marjinal. Dikatakan marjinal karena mereka sebenarnya hanya berusaha untuk ikut menikmati keberhasilan budidaya yang dilakukan oleh para anggota jejaring tetapi sebetulnya tidak ada manfaat dan keuntungan ekonomi yang mereka peroleh.
18
Tabel 4 – Analisis finansial sederhana tiga macam budidaya ikan Napoleon di Kepulauan Anambas No 1
Kategori Investasi: Jaring keramba: Kayu: Tali dan paku: Pondok/gudang Biaya pembuatan
Pembesaran Benih (Biji Beras) Rincian Nilai (Rp) 25 buah @ Rp. 65.000,25 buah @ Rp. 20.000,10 set @ Rp. 30.000,-
JUMLAH (1) 2
Biaya tidak tetap: Benih ikan Napoleon: Pakan (kepiting + ikan rucah)
Gaji pegawai
3 4
Biaya total (1 + 2) Pendapatan kotor
5 6
Keuntungan (4 - 3) Rasio (pendapatan kotor:biaya total)
1.000 ekor @ Rp. 15.000,Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Jumlah biaya pakan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Jumlah gaji pegawai JUMLAH (2) Mortalitas 90% = 100 ekor @ Rp. 125.000,-
1,625,000 500,000 300,000 0 500,000 2,925,000 15,000,000 821,250 0 0 0 0 821,250 0 0 0 0 0 0 15,821,250 18,746,250 12,500,000
Pembesaran Ikan Muda Rincian Nilai (Rp) 250 buah @ Rp. 65.000,300 buah @ Rp. 20.000,50 set @ Rp. 30.000,-
JUMLAH (1) 500 ekor @ Rp. 125.000,Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Jumlah biaya pakan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Jumlah gaji pegawai JUMLAH (2) Mortalitas 20% = 400 ekor @ Rp. 300.000,-
-6,246,250
16,250,000 6,000,000 1,500,000 5,000,000 3,000,000 31,750,000 62,500,000 3,285,000 6,570,000 0 0 0 9,855,000 12,000,000 12,000,000 0 0 0 24,000,000 96,355,000 128,105,000 120,000,000 -8,105,000
0.67
0.94
19
Pembesaran Secara Penuh Rincian Nilai (Rp) 250 buah @ Rp. 65.000,300 buah @ Rp. 20.000,50 set @ Rp. 30.000,-
JUMLAH (1) 500 ekor @ Rp. 125.000,Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Jumlah biaya pakan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Jumlah gaji pegawai JUMLAH (2) Mortalitas 20% selama 5 tahun = 400 ekor @ Rp. 1,200,000,-
16,250,000 6,000,000 1,500,000 5,000,000 3,000,000 31,750,000 62,500,000 3,285,000 6,570,000 13,140,000 24,637,500 41,062,500 88,695,000 24,000,000 24,000,000 24,000,000 24,000,000 24,000,000 120,000,000 271,195,000 302,945,000 480,000,000 177,055,000 1.58
3.5. Manfaat dan Tantangan Budidaya Ikan Napoleon Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan budidaya pembesaran ikan Napoleon memberikan manfaat ekonomi bagi sebagian masyarakat setempat, terutama para anggota jejaring. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa belum ditemukan bukti cukup konkret yang menunjukkan manfaat tersebut merembes ke segala lapisan masyarakat di Kepulauan Anambas. Faktanya, hanya anggota jejaring pembudidaya ikan Napoleon saja yang menikmati manfaat ekonomi, sementara anggota masyarakat lainnya yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dengan kegiatan budidaya pada dasarnya merugi daripada memperoleh keuntungan finansial. Dari segi penerimaan pajak, kelihatannya kontribusi dari budidaya ikan Napoleon pun masih belum dianggap sebagai sesuatu yang signifikan mengingat fokus pemerintah Kabupaten lebih kepada eksploitasi sumberdaya mineral. Dengan kata lain, sektor perikanan dan khususnya budidaya perikanan belum menjadi sektor andalan, kemungkinan karena kontribusinya terhadap Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang relatif kecil dibandingkan dengan yang diterima melalui kegiatan penambangan minyak dan gas. Selain manfaat ekonomis, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh budidaya ikan Napoleon. Secara sosial-budaya, kombinasi antara kebutuhan yang tinggi akan bibit/benih ikan Napoleon dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Kepulauan Anambas telah menimbulkan apa yang disebut “sindroma uang mudah” dimana dilaporkan kini banyak anak-anak yang malas pergi ke sekolah dan memilih untuk mencari, menangkap dan membesarkan benih/bibit ikan Napoleon. Dalam jangka panjang, bila kondisi ini tidak ditangani dengan seksama, akan mengulang keterbelakangan (ditinjau dari segi pendidikan) dan pemiskinan yang sudah terjadi pada generasi nelayan sebelumnya. Sementara dari segi ekologi, pengadaan pasok ikan segar untuk pakan Ikan Napoleon yang sedang dibudidaya-besarkan sangat berpotensi mengganggu kesetimbangan ekosistem di kawasan Kapulauan Anambas. Laporan yang perlu diverifikasi menyatakan bahwa ukuran ikan-ikan yang mudah ditangkap di dekat permukiman nelayan semakin kecil dan semakin sulit diperoleh. Pada saat yang bersamaan ikan-ikan inilah yang ditangkap dalam jumlah besar (dengan menggunakan pukat mayang yang dilarang) untuk memasok kegiatan budidaya. 4. Pembahasan dan Kesimpulan 4.1. Pembahasan Berkembangnya budidaya pembesaran ikan Napoleon sejak akhir dekade 1980 atau awal dekade 1990, yang kisaran waktunya kurang lebih bersamaan dengan diterapkannya peraturan pemerintah yang melarang penangkapan dan perdagangannya di luar kuota yang sudah ditetapkan, menyarankan
20
bahwa ada suatu kesenjangan yang lebar antara penerapan suatu peraturan dengan pemahaman masyarakat tentang adanya larang/peraturan tersebut. Penjelasan lainnya adalah ketika ekspor ke luar negeri melalui Jakarta dan/atau Bali dipandang sebagai suatu penghalang bagi ekspor ikan hidup dalam jumlah besar, telah mendorong para pelaku niaga/perdagangan ikan Napoleon untuk menggunakan celah-celah yang ada di daerah (karena kurangnya koordinasi dan lemahnya pengawasan) untuk melakukan budidaya untuk kebutuhan ekspor. Kegiatan budidaya bila tidak dikelola dengan bertanggungjawab juga memiliki sisi gelap yang bila tidak diantisipasi sejak dini dapat memberikan dampak negatif terhadap fungsi dari suatu kawasan konservasi perairan (KKP). Beragam tinjauan menunjukkan bahwa kegiatan budidaya dapat mengancam kegiatan perikanan lainnya karena pencemaran yang menurunkan kondisi fisika-kimia perairan yang dibutuhkan oleh populasi organisme lain agar dapat tumbuh dengan baik secara alami (Naylor & Burke, 2005). Tanda-tanda bahwa kegiatan budidaya ikan Napoleon dapat mengancam populasi ikan lain ditunjukkan oleh fakta bahwa untuk memasok pakan di salah satu fasilitas budidaya saja bisa mencapai enam ton ikan rucah yang harus diambil dari tempat yang pada saat bersamaan juga sedang mengalami penurunan panen ikan. Kajian menunjukkan bahwa kegiatan budidaya juga menyimpan paradoks dimana, meski ia berpotensi membantu mengurangi tekanan terhadap populasi ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi ternyata kegiatan budidaya juga membutuhkan subsidi pakan yang diambil dari populasi ikan lain yang tidak bernilai ekonomis tetapi memainkan peran ekologis (Naylor et al., 2000, 2001; Naylor & Burke, 2005). Rata-rata diperlukan 1,9 kg subsidi ikan sebagai pakan alami untuk memperoleh hasil 1 kg ikan hasil budidaya (Naylor et al., 2000, 2001). Selain dampak terhadap lingkungan, pengadaan pasok pakan untuk budidaya juga berpotensi menimbulkan dampak sosial negatif bagi para nelayan miskin. Laporan dari beberapa responden menunjukkan bahwa kebutuhan yang tinggi telah meningkatkan tekanan terhadap pasok ikan di luar kawasan padahal pada saat yang bersamaan banyak nelayan kecil dan miskin yang juga menangkapnya untuk dikonsumsi. Salah satu tantangan yang cukup jelas adalah kompetisi antara para nelayan miskin penangkap ikan berukuran kecil dengan usaha budidaya yang menggunakan ikan berukuran kecil sebagai pakan (ikan rucah) bagi ikan yang dibudidayakan (Naylor et al., 2001; Wijkstrom, 2009). 4.2. Kesimpulan Sebuah survei untuk mendalami aspek-aspek budidaya pembesaran ikan Napoleon telah dilakukan pada bulan Mei 2012. Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari kajian ini adalah sebagi berikut: Budidaya pembesaran ikan Napoleon di Kepulauan Anambas telah dilakukan selama tiga dekade terakhir, dimana jumlah pembudidayanya terutama 21
bertambah sejak setelah krisis moneter 1998 karena para pelopor membuka peluang bagi nelayan lain untuk turut menikmati manfaat dan keuntungan ekonomi budidaya ikan Napoleon. Untuk memelihara ketergantungan para anggota jejaring dalam hal modal dan bahan/alat, para pelopor yang kini berubah menjadi pembudidayapenampung besar menerapkan hubungan patron-klien yang juga bertujuan untuk mengamankan kepentingan usahanya (budidaya ikan Napoleon) yang sebetulnya ilegal. Budidaya pembesaran ikan Napoleon sampai ukuran layak pasar/ekspor adalah kegiatan yang memang menguntungkan. Hanya diperlukan modal ketekunan dan dana yang kuat karena panen baru dapat dilakukan setelah 5 tahun. Kecuali memiliki kedua modal tersebut lebih dari cukup barulah seorang pembudidaya dapat menikmati keuntungan ekonomi. Fakta bahwa budidaya pembesaran benih ikan Napoleon sama sekali tidak layak secara ekonomi bisa digunakan sebagai alasan yang kuat mengapa pengambilan benih biji beras (hama, dalam bahasa setempat) secara langsung dari alam sebaiknya tidak dilakukan. Tetapi hanya benih ikan muda yang berukuran antara 2,5–5 cm sajalah yang layak untuk dibudidayakan meski secara ekonomipun berpotensi merugi sifatnya. 5. Rekomendasi dan Implikasi Terhadap Kebijakan 5.1. Rekomendasi Dari kajian ini paling tidak dapat diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut: Legalisasi budidaya pembesaran, perdagangan setempat dan ekspor ikan Napoleon kelihatannya sesuatu yang tidak terhindarkan paling tidak untuk kawasan Kepulauan Anambas. Dengan legalisasi ini, tidak akan terjadi lagi inkonsistensi penegakan hukum yang tidak perlu (seperti yang terjadi selama ini) dan para pelaku budidaya dan perdagangan tidak perlu melakukan upaya-upaya tidak bijak seperti melaporkan ikan Napoleon sebagai ikan Kerapu ketika akan diekspor. Mempertimbangkan besarnya potensi dan produksi terbukti ikan Napoleon hasil budidaya, kebijakan terkait jumlah kuota dan ukuran ikan layak ekspor perlu diubah – jumlah kuota yang diberlakukan saat ini terlalu kecil dibandingkan dengan produksi terbukti yang sudah dihasilkan oleh pembudidaya di Kepulauan Anambas selama satu dekade terakhir, dan karena ikan yang diekspor berasal dari hasil budidaya ukuran layak pasar/ekspor yang berkisar 0,6–0,8 kg seyogianya dapat diakomodasi melalui kebijakan (aturan) baru. Fakta bahwa para pengimpor dari mancanegara bisa datang langsung ke para penjual/pengekspor untuk mengambil langsung ikan-ikan hidup hasil budidaya menyarankan perlunya pengawasan yang lebih baik (kalau tidak mau dikatakan lebih ketat), dan perlunya mengubah aturan untuk mengirim 22
ikan Napoleon hidup ke mancanegara hanya melalui 2 pintu ekspor (Jakarta dan Bali). Desentralisasi pemerintahan yang sudah berjalan selama ini dapat digunakan untuk memberdayakan sekaligus memperkuat kapasitas pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (yang tentunya akan selalu berkoordinasi dengan pemerintah pusat/Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui, misalnya, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan/PSDKP). Kajian lebih mendalam tentang teknis budidaya pembesaran ikan Napoleon perlu dilakukan agar dapat diperoleh bahan-bahan untuk membuat model dan panduan bagi pengembangan budidaya berkelanjutan di kawasankawasan konservasi perairan yang didirikan di daerah-daerah lain Indonesia. Kondisi jejaring pembudidaya yang diamati di Kepulauan Anambas menyarankan 2 hal yang perlu dipertimbangkan secara cermat dalam mengembangkan zona perikanan berkelanjutan atau budidaya berkelanjutan di TWP Kepulauan Anambas. Pertama, tidak layaknya usaha pembesaran benih dapat digunakan untuk menjadi alasan penghentian pengambilan bibit secara langsung dari alam sehingga dapat menjamin keberlanjutan pasok bibit dengan ukuran layak budidaya (2,5–5 cm). Kedua, tertutupnya jejaring budidaya dapat menimbulkan konflik di antara masyarakat setempat sendiri, khususnya antara para anggota dan bukananggota jejaring. Perlu dipikirkan sebuah jejaring terbuka, dengan mekanisme yang tebuka juga, yang dapat mendukung semua pihak atau anggota masyarakat di Kepulauan Anambas untuk menangkap dan menikmati manfaat sosial dan ekonomi dari budidaya tersebut. 5.2. Implikasi Terhadap Kebijakan Dari kajian ini dapat diidentifikasi paling tidak dua hal terkait kebijakan yang perlu dipertimbangkan. Adapun kebijakan tersebut adalah kebijakan-kebijakan tentang pemanfaatan jenis dan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Pertama, ditinjau dari segi pemanfaatan jenis dan pembatasan/pelarangan untuk mengeksploitasi species yang dilindungi, keberadaan budidaya ikan Napoleon di Anambas dapat dijadikan sebagai semacam acuan tentang penggunaan budidaya sebagai alternatif terbaik untuk menghadapi eksploitasi species yang dilindungi. Dalam hal ini, larangan penangkapan dari alam ikan Napoleon dapat ditanggulangi dengan melakukan budidaya ikan tersebut. Selain itu, perlu ada pengawasan yang seksama dan ketat terhadap ekspor ikan hasil budidaya tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa beberapa pihak yang kurang/tidak bertanggungjawab sering mencampur ikan hasil budidaya dengan ikan hasil tangkapan dari alam (seperti yang terjadi pada ekspor ikan Arowana dan karang batu). Untuk itu, perlu ada perangkat kebijakan yang memungkinkan budidaya tetap bisa dijalankan dan didukung penuh pelaksanaannya, sementara pada saat yang bersamaan tata-niaganya diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ekspor ikan yang diambil langsung dari alam. Tetapi, tata-niaga ini perlu 23
direncanakan dan dikelola secara seksama agar tidak menimbulkan persoalan baru karena dalam banyak kasus di Indonesia begitu suatu komoditas diatur tata-niaganya yang terjadi adalah monopoli dan penurunan produksi yang disebabkan oleh ‘teraturnya’ tata-niaga dari komoditas tersebut. Sebagai contoh, budidaya dan perdagangan cengkeh yang setelah di tata-niagakan malah mengalami kegagalan di akhir dekade 1990. Kedua, dipandang dari segi pengelolaan kawasan konservasi perairan. Keberadaan budidaya ikan Napoleon bisa dijadikan sebagai contoh kasus untuk mengembangkan kegiatan budidaya yang mendukung kegiatan pelestarian dalam kawasan. Kelak ketika dokumen perencanaan dan zonasi TWP Anambas dihasilkan, tentunya area dimana kegiatan budidaya dilakukan dapat dijadikan zona budidaya berkelanjutan. Tentunya upaya ini harus diiringi dengan pembuatan pedoman budidaya berkelanjutan yang mendukung fungsi keseluruhan kawasan sebagai taman wisata perairan. Hal ini perlu dipikirkan sejak sekarang mengingat belum cukup jelas apa yang dimaksud dengan dan diinginkan dari zona budidaya berkelanjutan bila zona ini didirikan dalam suatu kawasan konservasi perairan (KKP). Pendirian dan pemanfaatan zona budidaya berkelanjutan ini harus dirancang, direncanakan, dilaksanakan dan diawasi dengan seksama agar tidak malah menimbulkan masalah bagi kawasan konservasi dimana zona tersebut dibangun. Untuk TWP Anambas sendiri kegiatan budidaya bukan tidak mungkin menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas air yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kegiatan pariwisata. Selain itu, pengambilan ikan rucah untuk memasok pakan bagi produksi ikan budidaya juga bukan tidak mungkin mempengaruhi populasi-populasi ikan yang tidak bernilai ekonomis tetapi memiliki peran penting secara ekologis.
Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kajian ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Mairianto (Dinas Kelautan & Perikanan Kabupaten Anambas), Andriyatno Hanif (BPSPL Padang), dan M. Firdaus, Hendra, Marzuki, Supriyadi, dan Nori, serta kapten boat Sofyan dan awak boat Herman (satuan kerja pengembangan TWP Anambas), untuk bantuan dan dukungan yang diberikan selama pengumpulan data dan informasi di lapangan. AS khusus menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Tiene Gunawan, Marine Program Director, Conservation International Indonesia, Jakarta, yang telah mengundang dan mengijinkan AS untuk terlibat dalam proyek kajian ini.
Kepustakaan Choat, J.H., Davies, C.R., Ackerman, J.L. & Mapstone, B.D. (2006). Age structure and growth in a large teleost, Cheilinus undulatus, with a review of size distribution in labrid fishes. Marine Ecology Progress Series, 318: 237-246.
24
Colin, P.L. (2010). Aggregation and spawning of the humphead wrasse Cheilinus undulatus (Pisces: Labridae): general aspects of spawning behavior. Journal of Fish Biology, 76: 987–1007. CRC Reef Research Centre (2003). Crown-of-Thorns starfish in the Great Barrier Reef – Current state of knowledge. Townsville: CRC Reef Research Centre, 6 hal. Crona, B. & Bodin, Ö. (2006). What you know is who you know? Communication patterns among resource users as a prerequisite for co-management. Ecology and Society, 11(2): 7. [online] URL: http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss2/art7/. FAO (2011). Aquaculture development. 6. Use of wild fishery resources for capture-based aquaculture. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 5, Supplement 6. Rome: FAO, 81 hal. Gillett, R. (2010). Monitoring and management of the humphead wrasse, Cheilinus undulatus. FAO Fisheries and Aquaculture Circular No. 1048. Rome: FAO, 62 hal. Hutapea, J.H. & Slamet, B. (2005). Development of Napoleon Wrasse, Cheilinus undulatus, larvae. Presentation in World Aquaculture Society Conference. Tersedia pada laman http://www.was.org. Koeshendrajana, S. (2007). Production and marketing of live reef-fish for food in Indonesia. In: Johnson, B. (Ed.), Economic and market analysis of the live reef-fish trade in the AsiaPacific region, ACIAR Working Paper No. 63, hal. 105–117. Canberra: ACIAR and World Fish Center. Masri (2010). Identifikasi Karakteristik Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat Nelayan Sungai Limau di Kabupaten Padang Pariaman Dalam Penyediaan Perumahan Permukiman. Tesis Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota (tidak dipublikasikan). Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 142 hal. Naim, Y.J. (2012). Nelayan Anambas Ekspor Ikan Napoleon 300 Ton. ANTARA News Kepulauan Riau, Sabtu, 22 September 2012. Tersedia pada laman http://kepri.antaranews.com/berita/22296/nelayan-anambas-ekspor-ikan-napoleon300-ton Naylor, R., Goldburg, Rebecca J. , Primavera, J., Kautsky, N., Beveridge, Malcolm C. M., Clay, J., Folke, C., Lubchenco, J., Mooney, H. & Troell, M. (2001). Effect of Aquaculture on World Fish Supplies. Nature, 405: 1017-1024. Naylor, R., Goldburg, Rebecca J. , Primavera, J., Kautsky, N., Beveridge, Malcolm C. M., Clay, J., Folke, C., Lubchenco, J., Mooney, H. & Troell, M. (2001). Effects of Aquaculture on World Fish Supplies. Issues in Ecology Number 8, 11 hal. Naylor, R. & Burke, M. (2005). Aquaculture and Ocean Resources: Raising Tigers of the Sea. Annual Review of Environment and Resources, 30: 185-218. Pomeroy, R.S. & Balboa, C. (2004). The financial feasibility of small-scale marine ornamental aquaculture in the Philippines. Asian Fisheries Science, 17: 365-376 Sadovy, Y., Kulbicki, M., Labrosse, P., Letourneur, Y., Lokani, P. & Donaldson, T.J. (2003). The humphead wrasse, Cheilinus undulatus: synopsis of a threatened and poorly known giant coral reef fish. Reviews in Fish Biology and Fisheries, 13: 327–364. Sadovy, Y. & Suharti, S. (2008). Case Study 3: Napoleon Fish, Cheilinus undulatus, Indonesia. Non-Detriment Finding (NDF) Workshop, Mexico, 13 hal. Soemodinoto, A. & Wong, P.P. (2004). Patterns and process of tourism development on the Gili Islands, Lombok, Indonesia. ASEAN Journal on Hospitality and Tourism, 3(2): 77-89.
25
Soemodinoto, A. (2010). Relationship between Tourism, National Park and Local People: A Case Study of West Bali National Park, Indonesia. Saarbrucken, Germany: Lambert Academic Publishing, 292 hal. Sudarmono, Sulehan, J. & Abu Bakar, N.R.Hj. (2012). Patron-client relationship of urbanized fishing communities in Makassar. International Journal on Social Science Economics & Art, 2(2); 1-5. Tupper, M. (2007). Identification of nursery habitats for commercially valuable humphead wrasse Cheilinus undulatus and large groupers (Pisces: Serranidae) in Palau. Marine Ecology Progress Series, 332: 189-199. Tupper, M. & Sheriff, N. (2008). Capture-based aquaculture of groupers. In: Lovatelli, A. & Holthus, P.F. (eds), Capture-based aquaculture: Global overview. FAO Fisheries Technical Paper No. 508, hal. 217–253. Rome: FAO. Wellman, B. (1983). Network Analysis: Some Basic Principles. Sociological Theory, 1: 155-200. Wijkström, U.N. (2009). The use of wild fish as aquaculture feed and its effects on income and food for the poor and the undernourished. In M.R. Hasan and M. Halwart (eds). Fish as feed inputs for aquaculture: practices, sustainability and implications. Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 518. Rome, FAO. pp. 371–407
26