Bualan Kepausan karena Merubah Kalender Gereja Katolik selalu sangat terbuka mengenai perannya dalam mengubah kalender. Banyak pemelihara Sabat moderen telah berasumsi bahwa hari Sabtu adalah hari Sabat yang Alkitabiah, tetapi Gereja Katolik sendiri tidak pernah membantah peran yang dia mainkan dalam menolak Hari Sabat luni-solar yang Alkitabiah dan malahan mempromosikan peribadatan pada dies Solis, hari dewa Matahari [hari Minggu]. Keputusan Konsili Nicea untuk meninggalkan penanggalan Alkitab telah dikonfirmasi oleh Konstantin yang tertuang di dalam dekrit kerajaan. Para uskup ingin menghancurkan hubungan dengan agama Yahudi. Gerakan Anti-paham semitis berperan, seperti yang dapat dilihat dalam pernyataan yang dikutip sebelumnya oleh Konstantin: "Janganlah sampai kita mempunyai kesamaan dengan orang-orang najis ini [kaum Yahudi]. . . . "(1) Patrick Madrid, dalam sebuah wawancara radio pada tanggal 5 Januari 2006, membuat sebuah acuan pada perihal ini: Ada pemisahan yang kontras antara tuntutan-tuntutan Perjanjian Lama: ritual-ritual dan tuntutantuntutan perjanjian Musa berhadapan dengan ibadah Hari Sabat dan pengorbanan binatang, dan hal semacamnya. Dan mereka ingin menunjukkan Kekristenan yang berbeda dari agama Yahudi. Itu berasal dari agama Yahudi, tetapi itu berbeda darinya.(2) Dalam upaya untuk menunjukkan perbedaan ini, bukan hanya pemeliharaan Sabat hari ketujuh yang dipindahkan ke hari Minggu kalender Julian, tapi juga semua perayaan tahunan yang, sampai saat itu masih dirayakan, digantikan dengan perayaan kafir yang populer, dan memberikannya sebuah nama-nama Kristen yang telah diserong dan digabung dengan Kekristenan. “Untuk mendamaikan para penyembah berhala dengan Kekristenan yang sedikit, Roma, mengusahakan kebijakan umum, mengambil tindakan-tindakan untuk menggabungkan perayaan penyembah berhala dan perayaan Kristen, dan melalui penyesuaian kalender yang sulit namun terampil, tidak lagi ditemukan masalah, secara umum, untuk mengabungkan penyembahan berhala dengan Kekristenan – sekarang sudah jauh tenggelam dalam penyembahan berhala . . . untuk bekerja sama”.(3) T. Enright, Uskup Gereja St. Alfonsus, dengan jelas menyatakan: Gereja Katoliklah yang telah membuat peraturan yang mewajibkan kita untuk menguduskan hari Minggu. Gereja membuat aturan ini lama setelah Alkitab ditulis. Oleh karena itu aturan ini tidak ada di dalam Alkitab. Gereja Katholik bukan hanya menghapuskan hari Sabat, tetapi juga semua perayaan umat Yahudi lainnya.(4) Dalam surat yang sama, Enright menawarkan $1.000 "untuk setiap orang yang dapat membuktikan kepada saya dari Alkitab sendiri bahwa saya terikat, di bawah dosa besar, untuk menguduskan hari Minggu". Tidak ada penyangkalan bahwa Gereja Katolik bertanggung jawab pada perubahan ini: Sepuluh Perintah, atau Dekalog. . . Ditulis oleh jari-jari Tuhan pada dua loh batu, kode Ilahi ini telah
diterima dari Yang Maha Kuasa oleh Musa di tengah-tengah halilintar yang bergemuruh di Gunung Sinai. . . Kristus menyimpulkan Sepuluh Perintah ini dalam dua ajaran amal - kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama; Dia menyatakan keduanya sebagai perintah yang mengikat berdasarkan Perjanjian Baru di dalam kitab Matius xix dan pada Khotbah di Bukit (Matius v). Dia juga meneguhkan atau menerangkan keduanya,. . . Gereja, di sisi lain, setelah mengubah hari istirahat dari hari Sabat Yahudi, atau hari ketujuh dalam sebuah minggu, dengan hari yang pertama, membuat Perintah Ketiga menyebut hari Minggu sebagai hari yang harus dikuduskan sebagai Hari Tuhan. Konsili Trent (ses. vi, can. xix) mengutuk orang-orang yang menyangkal bahwa Sepuluh Perintah masih mengikat orang-orang Kristen.(5) Adalah sungguh benar-benar tidak adil untuk menuduh ketidakjujuran Katolik Roma sepanjang mereka telah mengatakan bahwa gereja mereka telah mengubah hari ibadah ke hari Minggu. Berikut ini adalah sebuah contoh dari berbagai pernyataan yang dibuat oleh umat Katolik yang dengan jujur menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap perubahan kalender yang memindahkan hari ibadah ke dies Solis [hari Minggu]: "Hari Minggu ... adalah murni ciptaan Gereja Katolik". American Catholic Quarterly Review, Januari 1883. "Hari Minggu ... adalah aturan Gereja Katolik sendiri ..." American Sentinel (Catholic), Juni 1893. "Hari Minggu adalah ketetapan Katolik dan pengakuan untuk mentaatinya hanya dapat dipertahankan dengan menggunakan prinsip-prinsip Katolik ... Kitab Suci dari awal sampai akhir tidak mengandung satu ayatpun yang mengijinkan pemindahan hari ibadah umum mingguan dari hari terakhir ke hari pertama". Catholic Press, Sidney, Australia, Agustus 1900. "Mereka [umat Protestan] menganggap kewajiban mereka untuk menjaga kekudusan hari Minggu. Mengapa? Karena Gereja Katolik memberitahu mereka untuk melakukannya. Mereka tidak memiliki alasan lain. . . pengudusan hari Minggu menjadi sebuah aturan gerejawi yang sama sekali berbeda dengan hukum Sabat Ilahi. . . Pembuat hukum hari Minggu. . . adalah Gereja Katolik." Ecclesiastical Review, Februari 1914. Karena perubahan ini telah terjadi begitu lama di masa lalu, orang-orang saat ini telah melupakan fakta sejarah. Adalah mustahil untuk menemukan Sabat Alkitab melalui sebuah kalender kafir; Oleh karena itu, hari Sabtu tidak bisa menjadi Sabat yang sejati. Dengan tidak mengetahui hal ini, para pemelihara Sabat Sabtu telah mengasumsikan bahwa hari Sabtu adalah hari Sabat dari mana ibadah yang sebelumnya telah pindahkan. Memang benar bahwa ada banyak kutipan dari penulis Katolik yang merujuk pada hari Sabtu sebagai "hari Sabat": "Tentu saja Gereja Katolik mengakui bahwa perubahan itu [sabat sabtu ke hari minggu] adalah tindakannya ... ini adalah tanda kekuasaan gereja dan otoritasnya dalam urusan agama." HF Thomas, Kanselir dari Kardinal Gibbons. "Hari Minggu ditetapkan, bukan berdasarkan kitab suci, tetapi berdasarkan tradisi, dan jelas itu adalah ketetapan Katolik. Karena tidak ada perintah dalam kitab suci untuk memindahkan hari istirahat dari hari terakhir ke hari pertama dalam minggu itu, umat Protestan harus menguduskan hari Sabat mereka pada hari Sabtu dan dengan demikian membiarkan umat Katolik sepenuhnya memiliki hari Minggu." Catholic Record, 17 September, 1893 . "Agama Protestan, dalam membuang otoritas Gereja [Katolik Roma], tidak memiliki alasan yang baik untuk teori hari Minggunya, dan seharusnya secara logis memelihara hari Sabtu sebagai hari Sabat". John Gilmary Shea, American Catholic Quarterly Review, Januari 1883.
"Mungkin hal paling berani, perubahan paling revolusioner yang perna dilakukan oleh Gereja, telah terjadi pada abad pertama. Hari suci, hari Sabat, diubah dari hari Sabtu ke hari Minggu. "Hari tuhan" telah dipilih, bukan dari aturan manapun di dalam Alkitab, tetapi dari kekuasaan Gereja sendiri ... Orang-orang yang berpikir bahwa Alkitab harus menjadi otoritas tunggal, harus secara logika menjadi penganut Adven hari ke-7, dan menguduskan hari Sabtu". St. Catherine Church Sentinel, Algonac, Michigan, 21 Mei 1995. "Bukankah setiap orang Kristen wajib untuk menguduskan hari Minggu dan tidak melakukan pada hari itu pekerjaan berat yang tidak perlu? Bukankah ketaatan hukum ini adalah salah satu yang paling menonjol dari tugas suci kita? Tapi anda dapat membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, dan anda tidak akan menemukan satu barispun yang membenarkan pengudusan hari Minggu. Alkitab menetapkan ketaatan pengudusan hari Sabtu, hari yang kita tidak pernah kuduskan". James Cardinal Gibbons, The Faith of Our Fathers (edisi 1917), hal. 72-73 (Edisi ke-16, hal 111;. Edisi ke-88, hal 89). Fakta-fakta sejarah itu yang telah dilupakan oleh kebanyakan orang, banyak penulis Katolik yang telah menggunakan terminologi mingguan planetari (yaitu, "Hari Sabtu"), yang dapat dianggap sebagai tipuan. Hal ini juga kemungkinan karena banyak penulis Katolik itu sendiri yang tidak mengetahui sejarah lengkap di balik mingguan moderen. Meskipun para sarjana Katolik selalu mengetahui kebenaran itu. Sebagai sarjana dan pembela Katolik konservatif Patrick Madrid menyatakan: Kalender yang kita ikuti, termasuk yang diikuti oleh umat Advent Hari Ketujuh, bukan hanya kalender yang dibuat oleh Gereja Katolik, tetapi juga merupakan kalender yang didasarkan pada tahun matahari, bukan tahun lunar. Dan kalender Yahudi yang digunakan pada masa Kristus. . . mengikuti kalender lunar, yang beberapa hari lebih pendek dari tahun matahari. Jadi ironi besarnya adalah bahwa bahkan orang-orang Advent Hari Ketujuh sendiri tidak beribadah pada hari Sabat yang tepat yang sama dengan hari yang dikuduskan oleh orang-orang Yahudi pada zaman Kristus.(6) Selama berabad-abad, ketika fakta sejarah telah dilupakan, hari Sabtu telah diasumsikan sebagai Sabat hari ketujuh yang Alkitabiah. Namun, ketika kalender Julian sedang diberlakukan pada orang-orang Kristen untuk penggunaan gerejawi, tidak ada satu orangpun pada saat itu yang bingung membedakan antara dies saturni denganSabbato. Semua orang tahu bahwa keduanya adalah dua hari yang berbeda dari dua jenis sistem kalender yang berbeda. Sebuah contoh yang sangat baik dari "hari Sabtu" yang disadari atau tidak disadari telah ditukar dengan "hari Sabat" ditemukan dalam kanon dari Konsili Laodikia. Setelah dekrit Nicea, umat Kristen kerasulan masih terus beribadah menggunakan kalender lunisolar. Konsili Laodikia diadakan sekitar 40 tahun kemudian untuk memaksakan penerimaan "Hari Tuhan" menggantikan hariSabat lunar. Oleh karena itu, untuk memenuhi tujuan aslinya, sekarang menjadi penting bagi gereja untuk mengamankan peraturan yang akan membungkam semua pengecualian, dan melarang pengudusan hari Sabat untuk membungkam para pemprotes kuat [melawan ibadah pada hari Minggu]. Dan sekarang. . . perintah Konstantin dan konsili Nicea yang "benar-benar ilahi" menetapkan bahwa "tidak ada" apapun yang boleh dilakukan "yang sama dengan orang-orang Yahudi", telah dijadikan dasar dan kewenangan hukum, yang benar-benarmenghancurkan pengudusan hari Sabat Tuhan , dan untuk menetapkan pengudusan hari Minggu saja sebagai gantinya.(7)
Kanon 29 Konsili Laodikia menuntut: Umat Kristen tidak boleh menjadi seperti orang Yahudi dan menganggur pada hari Sabtu, tetapi harus bekerja pada hari itu; tapi hari Tuhan mereka harus hormati secara khusus, dan, sebagai orang Kristen, harus, jika mungkin, tidak melakukan pekerjaan pada hari itu. Namun jika, mereka ditemukan menjadi seperti orang Yahudi, mereka akan dikucilkan dari Kristus. Uskup Katolik Roma, Karl Josef von Hefele (1809-1893), menyatakan bahwa kata "Hari Sabtu" dalam teks ini ditambahkan dalam terjemahan moderen. Von Hefele adalah seorang otoritas yang sangat kredibel pada pilihan kata asli yang digunakan di Konsili Laodikia. Dia adalah seorang sarjana Jerman, teolog dan profesor sejarah Gereja, dia dididik di Universitas Tϋbingen. Salah satu karya terbesarnya adalah History of the Councils of the Church from the Original Documents. Sebagai seorang uskup dan teolog, dia pasti memiliki akses pada dokumen-dokumen asli dalam arsip Vatikan! Menurut von Hefele, kata asli yang digunakan baik di dalam bahasa Yunani dan bahasa Latin adalah sebenarnya "Hari Sabat". Kata "anathema" (dikutuk) yang digunakan telah diganti dengan "dikucilkan". Versi bahasa Latin terlihat jelas tidak mengandung rujukan dies saturni (Hari Sabtu) tetapi menggunakan kata Sabbato, atau "Hari Sabat": Quod non oportet Christianos Judaizere et otiare in Sabbato, sed operari in eodem die. Preferentes autem in veneratione Dominicum diem si vacre voluerint, ut Christiani hoc faciat; quod si reperti fuerint Judaizere Anathema sint a Christo. Hal ini mengandung pengulangan: Umat Kristen pada masa perubahan kalender tidak bingung mengenai hari Sabtu yang menjadi hari Sabat. Semua orang tahu bahwa dies saturni baru saja pindah dari hari pertama minggu kafir ke hari terakhir minggu kafir, sementara Sabbato adalah hari ketujuh pada kalender luni-solar Yahudi yang tak seorang pun yang berkuasa ingin mengaitkannya. Sekali lagi, ini adalah dua hari yang berbeda pada dua sistem kalender yang berbeda. Eusebius dari Kaisarea, seorang sejarawan gereja kontemporer dengan Konstantin dan bersama dengan para penjilatnya, sering mengutip mengenai pengundang-undangan hari Minggu pada masa itu. Secara umum dipercaya bahwa dia adalah Imam yang akhirnya membaptis Konstantin tidak lama sebelum kematiannya. Pada upacara pembukaan Konsili Nicea, Eusebius duduk di sebelah kanan Konstantin dan memberikan pidato pembukaan.(8) Eusebius dengan sangat jelas menyatakan bahwa penghormatan pada dies Solis adalah atas SabbatoYahudi dan bukan atas dies saturni kafir. Semua hal apapun yang diwajibkan untuk dilakukan pada hari Sabat, itu telah kita pindahkan ke hari Tuhan, sebagai hari yang lebih tepat, dan utama, dan pertama, dan lebih terhormat daripada hari Sabat orang Yahudi.(9) Pada saat inilah, di masa itu ketika Sylvester I, Uskup Roma selama Konsili Nicea, berusaha untuk mengubah nama-nama hari dalam mingguan kafir dengan nama-nama hari dalam mingguan Alkitab. "Ini adalah era Konstantinus Agung, saat posisi resmi Gereja begitu sangat meningkat, perubahan yang harus dipastikan sudah sangat terlihat di Roma"(10) Katolik, mengetahui dengan sangat baik bahwa tidak ada alasan yang Alkitabiah untuk beribadah pada hari Minggu, telah menunjukkan bagaimana telah tidak konsistennya orang-orang Protestan.
"Hal ini juga untuk mengingatkan Presbiterian, Baptis, Metodis, dan semua denominasi Kristen lainnya, bahwa Alkitab tidak mendukung mereka sama sekali dalam menguduskan hari Minggu. Hari Minggu adalah ketetapan Gereja Katolik Roma, dan mereka yang menguduskan hari ini melakukan perintah dari Gereja Katolik". Imam Brady, dalam sebuah pidato yang dilaporkan di dalam The News, Elizabeth, New Jersey, 18 Maret 1903. "Siapa yang Kita Hormati dan Kepada Siapa Kita Menyatakan Kesetiaan dengan Menguduskan Hari Minggu? Dari sini kita dapat memahami betapa besar kewenangan gereja dalam menafsirkan atau menjelaskan kepada kita perintah-perintah Allah - otoritas yang diakui oleh praktek universal seluruh dunia Kristen, bahkan orang-orang dari sekte yang mengaku menjadikan Kitab Suci sebagai satu-satunya pengatur iman mereka, merekapun memelihara hari istirahat yang bukan hari ketujuh dalam sebuah minggu seperti yang dituntut oleh Alkitab, tetapi hari pertama. Yang kita tahu bahwa itu harus dikuduskan, hanya dari tradisi dan ajaran Gereja Katolik". Henry Gibson, Catechism Made Easy, # 2, edisi 9, vol. 1, hlm. 341-342. "Gereja Katoliklah yang . . . telah memindahkan hari istirahat ini ke hari Minggu untuk memperingati kebangkitan Tuhan kita. Jadi pengudusan hari Minggu yang dilakukan oleh umat Protestan adalah memberikan penghormatan mereka, meskipun berat bagi mereka, kepada otoritas Gereja [Katolik Roma]". Monsignor Louis Segur, Plain Talk About the Protestantism of Today, 1868, hlm. 213. "Umat Protestan ... menerima hari Minggu dan bukannya hari Sabtu sebagai hari untuk ibadah umum setelah Gereja Katolik membuat perubahan ... Tapi pikiran umat Protestan tampaknya tidak menyadari bahwa ... dengan menguduskan hari Minggu, mereka menerima otoritas juru bicara gereja, Paus". Our Sunday Visitor, 15 Februari 1950. "Gereja [Katolik Roma] mengubah hari Sabat ke hari Minggu dengan hak ilahi, otoritas mutlak diberikan kepadanya oleh pendiri-Nya, Yesus Kristus. Umat Protestan mengklaim Alkitab menjadi satu-satunya pedoman iman, yang tidak memiliki surat perintah untuk menguduskan hari Minggu". The Catholic Universe Bulletin, 14 Agustus 1942, hlm. 4. Seorang Katolik yang percaya bahwa Kristus dibangkitkan pada hari Minggu jauh lebih konsisten daripada umat Protestan pemelihara hari Minggu yang mengaku mendasarkan semua keyakinannya pada Alkitab dan hanya Alkitab saja. Umat Katolik menempatkan tradisi dan ketetapan-ketetapan paus mereka di atas Alkitab, sehingga mereka tidak memiliki ketidakkonsistenan dalam meyakini bahwa hari Minggu adalah hari kebangkitan. Bagi mereka, kebenaran adalah apapun yang tradisi dan keputusan Paus telah buat. Namun, bagi umat Protestan yang mencela umat Katolik karena lebih mengikuti tradisi daripada Alkitab, namun masih beribadah pada hari Minggu, adalah sungguh sangat tidak konsisten. Selanjutnya, bagi orang Yahudi dan para pemelihara Sabat Sabtu yang bersikeras bahwa hari yang tepat dan benar adalah masalah penting bagi Yahuwah, dan kemudian menguduskan hari ketujuh berdasarkan kalender planetari kafir adalah sangat tidak konsisten! Jika penting untuk beribadah pada hari Sabat yang benar, maka kalender asli, yang ditetapkan oleh Yahuwah pada masa penciptaan, harus digunakan untuk menghitung kapan hari Sabat tiba. Ketika fakta-fakta sejarah kalender Julian dipahami, itu telah jelas menetapkan bahwa hari Minggu bukanlah satu-satunya hari ibadah yang didasarkan pada penanggalan kafir. Hari Sabtu, die saturni, yang aslinya adalah hari pertama dalam mingguan planetari adalah bentuk palsu dari Sabat hari ketujuh Alkitab.
Sebuah pepatah kuno menyatakan: "Dia yang mengendalikan kalender, mengontrol dunia". Siapa yang mengontrol anda? Hari di mana kamu beribadah, yang ditetapkan dengan kalender yang anda gunakan, mengungkapkan Pribadi berkuasa/dewa mana yang anda sembah.
Artikel Terkait:
Sarjana Katholik Membenarkan Bahwa Sabtu dan Minggu Bukanlah Sabat yang Alkitabiah
(1)
Heinrich Graetz, History of the Jews, (Philadelphia: The Jewish Publication Society of America, 1893), Vol. II, hal. 563-564. (2)
Patrick Madrid, comments on “Open Line,” EWTN, Global Catholic Radio Network, 5 Januari, 2006. (3)
Alexander Hislop, The Two Babylons, (New Jersey: Loizeaux Brothers, 1959), hal.105, penekanan diberikan. (4)
Surat dari T. Enright, Uskup Gereja St. Alphonsus, St. Louis, Missouri, Juni, 1905, penekanan diberikan. (5)
Charles George Herbermann, Knights of Columbus Catholic Truth Committee, The Catholic Encyclopedia, (Harvard University: Encyclopedia Press, 1908), hal. 153, penekanan diberikan. (6)
Patrick Madrid on “Open Line,” EWTN, Global Catholic Radio Network, 5 Januari, 2006. Untuk membaca atau mendengar komentar-komentar Madrid secara keseluruhan, tolong kunjungi: 4angelspublications.com/articles/catholic_scholar.php. (7)
A. T. Jones, The Two Republics, (Ithaca, Michigan: A. B. Publishing, Inc., n.d.), hal. 321, penekanan diberikan. (8)
Catholic Encyclopedia, “Eusebius of Caesarea,” www.NewAdvent.org.
(9)
Eusebius, Commentary on the Psalms, Psalm 91 (Psalm 92 in the A.V.), in J. P. Migne, Patrologia Graeca, Vol. 23, column 1172, terjemahan penulis, seperti yang dikutip dalam R. L. Odom, Sunday Sacredness in Roman Paganism,Review & Herald Publ. Assoc., 1944, hal. 141. (10)
“Paus Sylvester I” (31 Desember, 335), Catholic Encyclopedia, www.newadvent.org.