PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO
Pendahuluan Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan perlunya pemberdayaan
perekonomian
di
daerah-daerah.
Semangat
pemberdayaan
perekonomian pada umumnya sudah cukup terdengar di beberapa kawasan di NTT, sebut saja pengolahan potensi pariwisata Taman Nasional Riung, KAPET Mbay, Industri pembekuan Ikan di Labuan Bajo, serta Kawasan Industri Bolok dan beberapa lainnya, walaupun terdapat beberapa diantaranya yang belum terdapat realisasinya atau realisasi masih sangat minim seperti pada kasus KAPET Mbay. Pemberdayaan perekonomian daerah, secara khusus di Kabupaten Rote Ndao dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya kelautan yang ada. Pengoptimalan tersebut dilakukan dengan budidaya rumput laut yang secara intensif dilakukan di wilayah Kecamatan Rote Timur, Rote Barat Laut, dan Rote Barat Daya. Dibandingkan dengan usaha kelautan lainnya, usaha ini banyak memiliki keunggulan yaitu : Usaha ini tidak membutukan biaya yang besar baik dalam investasi maupun opersionalnya Teknologi yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini cukup sederhana Masa
panen
yang
relatif
singkat
hanya
45
hari
yang
artinya
tingkat
pengembaliannya cukup cepat Permintaan pasar akan komoditas ini sangat tinggi dan cenderung meningkat. Potensi Budidaya Rumput Laut di Rote Dengan memperhitungkan keuntungan budidaya rumput laut dan luasnya daerah pantai yang belum dimanfaatkan, sebagian warga pesisir telah menjadikan usaha budidaya sebagai mata pencarian utama. Tercatat pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Rote mencapai 2.714,98 ha, tersebar di 6 kecamatan dan 31 desa. Dari total lahan yang dimanfaatkan pada tahun 2003 dihasilkan 1.935 ton rumput laut kering, dan meningkat pada tahun 2004 menjadi 3.964 ton.
BANK INDONESIA KUPANG
36
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
Pemanfaatan daerah pantai pada tahun 2004 yang seluas 2.714,98 ha tersebut hanya sebesar 8,30% dari total luas pantai yang ideal untuk digunakan sebagai lahan budidaya yang seluruhnya mencapai 32.700 ha. Sementara untuk tahun 2005 terjadi peningkatan pemanfaatan lahan budidaya sebesar 1,8%, menjadi 3.298 ha atau seluas 10,1%. Sehingga luas daerah potensial mencapai 89,9%, hal tersebut menunjukan besarnya potensi ekonomi yang masih belum dimanfaatkan. Selain itu, angka tersebut juga menggambarkan tantangan bagi petani dan pemerintah serta instansi lain untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada. Produktivitas Pada tahun 2005 produksi rumput laut kering dari ke 48 desa pantai tersebut mencapai 5.086 ton atau rata-rata 103,80 ton per desa. Sementara penyerapan tenaga kerja adalah sebesar 7.146 jiwa atau rata-rata 146 jiwa per desa pantai.
Namun
demikian tingkat produksi rumput laut masing-masing desa pantai pada umumnya tidak cukup merata, terdapat beberapa daerah yang mampu menghasilkan rumput laut dalam jumlah besar dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak. Sementara beberapa daerah hanya mampu berproduksi dalam jumlah yang relatif sedikit. Faktor yang sangat mempengaruhi tingkat produktivitas budidaya rumput laut adalah jumlah tenaga kerja. SDM Tak kurang dari 2.691 KK atau 7.146 jiwa pada tahun 2005 terlibat dalam usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Rote. Selain penduduk pesisir pantai, petani rumput laut yang terdapat di beberapa desa pantai juga berasal dari luar daerah. Pada umumnya petani pendatang ini sebelumnya adalah penggarap ladang atau penggembala yang bertempat tinggal di bagian tengah pulau. Pada umumnya pengerjaan budidaya rumput laut dilakukan dalam sistem kekeluargaan, dimana pengerjaannya dilakukan oleh orang tua dan anak-anaknya. Jumlah kepala keluarga yang melakukan budidaya adalah sebanyak 2.691 KK, sehingga rata-rata dalam satu keluarga atau KK terdapat 2 sampai 4 orang yang melakukan usaha budidaya rumput laut. Jenis dan Metode Budidaya Spesies rumput laut yang dibudidayakan di perairan Rote adalah Eucheuma
cottonii, dari divisio algae merah dan marga eucheuma. Jenis ini umumnya tumbuh di
BANK INDONESIA KUPANG
37
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
daerah pasang surut (intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan. Selain itu persyaratan lain untuk tumbuhnya jenis ini adalah adanya gerakan air, cahaya yang cukup untuk terjadinya variasi suhu dan memperoleh aliran air laut yang tetap. Kondisi tersebut sangat ideal untuk perairan Rote yang memiliki pantai dengan daerah pasang surut yang relatif luas dengan pasokan aliran air yang tetap, sehingga pada saat surut daerah pantai tidak mengalami kekeringan. Selain itu pantai-pantai Rote juga memiliki tingkat pencahayaan matahari yang sangat banyak yang memungkinkan adanya variasi suhu yang cukup untuk kebutuhan budidaya jenis eucheuma tersebut. Teknik budidaya rumput laut yang paling umum digunakan NTT yaitu teknik rakit apung dan teknik long line. Metode budidaya long line disamping paling murah dalam investasi juga paling sederhana dalam penggunaannya. Selain itu metode tersebut juga relatif aman terhadap beberapa predator seperti bulu babi. Namun demikian selain beberapa keunggulannya metode tersebut juga memiliki kekurangan yaitu, rentan terhadap gelombang dan angin yang cukup keras, akibatnya pada saat musim gelombang atau angin cukup kencang produktivitas petani cenderung mengalami penurunan. Walaupun metode ini cukup rentan terhadap gelombang dan angin namun tetap menjadi metode yang paling dominan digunakan petani karena selain keunggulan-keunggulan di atas, juga karena sebagian pantai tempat budidaya berada di belakang pulau-pulau kecil yang terletak di depan pulau utama (Pulau Rote), akibatnya arus gelombang di daerah pantai tersebut relatif tidak terlalu besar. Tingkat Produksi Secara kuantitas hasil budidaya rumput laut dari tahun ke tahun selama 3 tahun terakhir terus mengalami peningkatan, dari produksi 1.935 ton pada tahun 2003 meningkat menjadi 3.964 ton pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 produksinya menjadi 5.086 ton. Peningkatan jumlah produksi dari tahun ke tahun, selain disebabkan oleh bertambahnya areal budidaya dan jumlah petani rumput laut, juga disebabkan oleh semakin meningkatnya kemampuan atau kompetensi petani dalam budidaya, mulai dari pemililihan dan pemeliharaan bibit, penanaman, perawatan dan perlakuan terhadap rumput laut pasca panen. Tingkat produktivitas budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh steril atau tidaknya lingkungan budidayanya, yang dimaksud adalah lingkungan tersebut terbebas dari hama yang meliputi parasit dan binatang predator. Dibandingkan dengan
BANK INDONESIA KUPANG
38
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
binatang predator, hama parasit jauh lebih merugikan bagi petani. Saat ini hama yang paling sering menyerang tanaman rumput laut adalah hama ais-ais. Hama ini menjadi sangat mengganggu karena sampai saat ini petani Rote belum dapat menemukan cara untuk memberantasnya. Selain itu rumput laut sangat sensitif dan mudah terserang hama ini. Hama tersebut menyebabkan batang-batang rumput laut patah akibatnya rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga sangat menurunkan produkstivitas petani. Selain hama, budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Cuaca yang buruk (berangin dan gelombang besar), akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas petani. Namun demikian walaupun secara kuantitas tingkat produksi jauh menurun, tingkat kerugian yang dialami petani masih dapat ditoleransi. Hal ini terjadi karena cuaca dapat diperhitungkan atau diramalkan sehingga pada musim angin dan ombak petani cenderung menurunkan tingkat produksi atau memindahkan lokasi tanam ke daerah-daerah yang terlindung. Berbeda dengan hama yang datangnya tidak dapat diprediksi sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar. Prospek Usaha Budidaya Rumput Laut Usaha budidaya rumput laut di Indonesia pada umumnya dan NTT khususnya menunjukkan adanya peningkatan yang berlangsung secara kontinu, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (tahun 2000 sampai tahun 2004) permintaan terhadap bahan baku rumput laut kering, baik dari dalam maupun luar negeri cenderung mengalami peningkatan terutama permintaan dari pasar Cina dan Korea. Selain permintaan yang terus mengalami permintaan nilai jual (harga jual) juga cenderung mengalami peningkatan, dari sekitar Rp 600/kg pada tahun 1998 menjadi berkisar anatara Rp 4.500 sampai Rp 5.000/kg pada tahun 2006. Demikian pula usaha budidaya rumput laut di Pulau Rote, jumlah produksinya masih belum dapat memenuhi permintaan pasar. Sementara dalam hal nilai jual, walaupun lebih dipengaruhi oleh posisi pengumpul dimana posisi petani lemah, namun harga tetap cenderung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari ke dua aspek tersebut dapat dikatakan bahwa prospek usaha budidaya rumput laut masih sangat terbuka dan sangat menjanjikan. Menyikapi prospek dan peluang tesebut terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pengusaha atau petani, antara lain pemasaran, biaya produksi dan kendala produksi.
BANK INDONESIA KUPANG
39
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
Kendala Produksi Selain menjadi usaha yang sangat profitable, usaha budidaya rumput laut tidak terlepas dari permasalahan yang menjadi kendala untuk peningkatan skala usaha. Kendala yang umum dialami oleh petani di Kabupaten Rote antara lain adalah pemahaman petani tentang teknik budidaya yang benar masih kurang, mutu produk masih kurang diperhatikan dan yang paling dominan adalah masalah harga, dimana harga ditentukan oleh pembeli atau pengumpul. Saat ini kemampuan petani dalam beberapa hal dapat dikatakan masih kurang memuaskan, hal ini dapat dilihat dari penanganan hama rumput laut yang kadang tidak tepat sehingga hama dapat menyebar dan menyerang seluruh areal produksi. Selain pada periode tanam, kemampuan petani dalam penanganan pasca panen juga masih sangat kurang. Beberapa pengumpul masih mengeluhkan teknik penjemuran petani yang dilakukan di atas pasir yang menyebabkan rumput laut kering banyak tercampur dengan butiran pasir dan kotoran lain. Hal ini menunjukkan bahwa petani belum sepenuhnya sadar akan tuntutan mutu produk yang dihasilkan. Sebagai akibatnya posisi petani akan selalu lemah dalam transaksi jual beli produk. Permasalahan yang paling dominan dihadapi petani adalah masalah harga dimana petani hanya bisa menerima berapapun tingkat harga yang ditawarkan oleh pembeli atau pengumpul. Pada kondisi ini petani akan kesulitan dalam memperhitungkan tingkat laba yang akan diperoleh dalam beberapa kurun waktu yang akan datang, sebab sangat dimungkinkan sewaktu-waktu harga komoditi tersebut akan jatuh atau meningkat tajam tanpa sepengetahuan petani. Hal yang sangat tidak diharapkan adalah terjadinya penuruhan harga dimana biaya produksi yang dikeluarkan tetap dan cenderung mengalami peningkatan, namun demikian hal ini sangat mungkin terjadi. Lain halnya apabila pembentukan harga dilakukan oleh kedua pihak (petani dan pengumpul) maka petani akan lebih bisa memprediksikan fluktuasi harga karena mereka terlibat didalamnya. Pada kondisi tersebut petani dapat mengambil keputusan untuk menahan atau menjual produknya untuk mengoptimalkan keuntungannya.
BANK INDONESIA KUPANG
40