Proceeding of Seminar on Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2002) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, May 7th, 2002
Blind Adaptive Multi-User Detection pada Sistem Komunikasi DS-CDMA dengan Kanal AWGN Muladi*, Suwadi**, Achmad Affandi** *Mahasiswa Program Pasca Sarjana Telekomunikasi Multimedia **Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) (e-mail:
[email protected])
ABSTRAK Pada paper ini akan dibahas mengenai deteksi multiuser adaptif blind pada sistem direct sequence-code division multiple access (DS-CDMA) dengan kanal additive gaussian white noise (AWGN). Bit-bit informasi dari pengguna di-spreading dengan menggunakan kode Gold dengan panjang 31 dan metode transmisi sinkron. Algoritma blind adaptive yang digunakan dalam detektor ini didasarkan pada deteksi linier mean square error (MSE) dan ditunjukkan bahwa deteksi ini sama dengan deteksi pada minimum output energy (MOE). Simulasi dilakukan dengan nilai step yang bervariasi dan dengan signal to noise ratio (SNR) yang beragam. Kinerja detektor adaptif blind ini dibandingkan dengan detektor MMSE (minimum mean square error) linier dan detektor adaptif dengan menggunakan algoritma least mean square (LMS). Hasil simulasi menunjukkan bahwa baik untuk algoritma LMS maupun adaptif blind, step size yang besar menyebabkan algoritma cepat menuju konvergen dengan ripple yang besar di sekitar nilai optimal dan step size yang kecil menyebabkan algoritma lambat menuju konvergen tetapi dengan ripple yang kecil. Step size 0,001 pada algoritma LMS menunjukkan kinerja BER yang hampir sama dengan step size 0,05 pada algoritma adaptif blind. Kemudian kedua detektor tersebut dibandingkan dengan detektor linier MMSE dengan SNR 10 dB, kanal AWGN, dan jumlah pengguna 2. Kata-kata Kunci: DS-CDMA, multiuser detection, MAI, MMSE, LMS, blind adaptive. I. PENDAHULUAN Deteksi multiuser diperuntukan bagi demodulasi sinyal termodulasi digital dan dengan terjadinya interferensi multiakses (multiple access interference, MAI). Deteksi multiuser ini banyak digunakan dalam desain penerima code division multiple access (CDMA). Rintangan terbesar dalam teknologi sistem CDMA adalah problem near-far: laju kesalahan bit dari penerima konvensional begitu sensitif terhadap perbedaan antara energi yang diterima dari pengguna yang diinginkan dan pengguna penginterferensi yang menjadikan demodulasi tidak mungkin dilakukan kecuali adanya kontrol daya yang keras. Detektor multiuser optimum yang digunakan pada multiple akses asinkron melalui kanal Gaussian menunjukkan bahwa problem near-far yang terjadi pada penerima CDMA konvensional dapat diatasi dengan menggunakan penerima yang sesuai yang dapat mengatasi adanya interferensi yang lain dari kanal. Penerima dapat menjaga kinerjanya jika penerima mengetahui [9]: 1. Deretan kata kode dari pengguna yang diinginkan.
2.
Deretan kata kode dari pengguna penginterferensi. 3. Pewaktuan dari pengguna yang diinginkan. 4. Pewaktuan dari setiap pengguna penginterferensi. 5. Amplitudo dari pengguna penginterferensi yang diterima (relatif terhadap pengguna yang diinginkan). Penerima konvensional hanya membutuhkan informasi 1 dan 3, tetapi kadang-kadang dibatasi oleh problem near-far, dan pemakaian kontrol daya yang sempurna menyebabkan laju kesalahan bit sebagai fungsi amplitudo jauh dari optimal. Detektor decorrelating (zero forcing) menunjukkan bahwa penerima linier (modifikasi matched filter orthogonal untuk MAI) cukup untuk memperoleh resistansi yang optimal dalam mengatasi problem near-far (untuk SNR tinggi). Penerima ini juga tidak membutuhkan pengetahuan informasi 5. Deteksi multiuser adaptif membutuhkan pengetahuan informasi 2, 4 dan 5. Beberapa penelitian terakhir berusaha untuk menekan kebutuhan dari ketiganya, karena jika pengetahuan tersebut tersedia maka komputasi yang terjadi menjadi intensif dan komplek.
Proceeding of Seminar on Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2002) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, May 7th, 2002
Detektor multiuser adaptif blind hanya memerlukan informasi 1 dan 3, seperti halnya detektor konvensional, tetapi bekerja seperti halnya detektor adaptif tanpa memerlukan deretan training. Pembahasan detektor adaptif blind dalam paper ini bertujuan untuk menguji kinerja detektor tersebut dan membandingkannnya dengan detektor linier MMSE dan detektor adaptif menggunakan algoritma LMS. II. DETEKSI MULTIUSER Pada sistem komunikasi digital pengguna tunggal, matched filter digunakan untuk menghasilkan statistik untuk mendeteksi sinyal. Sedangkan pada sistem multiuser, detektor terdiri dari beberapa matched filter yang masing-masing matched dengan signature waveform dari dari pengguna yang diinginkan. Sinyal yang tiba pada penerima dapat dinyatakan [2, 7]: K r (t ) = A (t ) s (t − τ )b (t − τ ) + n(t ) …... (1)
∑
k
k =1
k
k
k
k
dimana Ak = amplitudo, sk = signature code waveform, bk = deretan bit informasi dan n(t) adalah noise dengan zero-mean, white, random gaussian dengan power spectral density No/2 W/Hz. Untuk mode transmisi sinkron τk=0, maka sinyal yang diterima dapat dinyatakan dengan: K r (t ) = A (t ) s (t )b (t ) + n (t ) ……….….. (2)
∑
k
k =1
k
k
Output dari matched filter untuk pengguna ke-k adalah: yk =
1 Tb
Tb
∫ r (t )s
k
(t )dt
0
= Ak bk +
K
∑ρ
i =1,i ≠ k
i ,k
Ai bi +
1 Tb
Tb
∫ n(t )s
k
(t )dt
….…
(3)
0
= Ak bk + MAI k + n k
dimana ρi,k adalah korelasi silang antara signature code waveform pengguna ke-i dan ke-k. T 1 …….……….….. ρ i ,k = (4) ∫ si (t ) s j (t )dt b
Tb
0
Untuk menekan MAI dan deteksi pengguna yang diinginkan maka signature code waveform dibuat saling orthogonal sehingga korelasi silangnya sama dengan nol dan korelasi dirinya sama dengan 1. Kode yang paling banyak digunakan adalah kode Gold, dan dalam paper ini digunakan kode Gold dengan panjang 31. Persamaan (3) dapat dituliskan kembali dalam bentuk matriks: (5) y = RAb + n ……………….……….…... Walaupun y secara statistik cukup untuk mendeteksi b, tetapi yk secara statistik tidak cukup untuk mendeteksi bk. Maka detektor konvensional melakukan kesalahan dengan menganggap MAI
sebagai noise sehingga kinerja detektor semakin buruk jika jumlah pengguna bertambah. III. DETEKTOR MMSE LINIER Penerima MMSE memboboti sinyal yang diterima y dengan vektor bobot w untuk melakukan keputusan statistik. Struktur penerima ini ditunjukkan pada Gambar 1. Bobot w = [w1, w2, …, wK] ditentukan sehingga diperoleh MSE antara sinyal yang diterima dan bit yang dikirimkan menjadi minimal. Fungsi obyektif untuk pengguna 1 dapat dinyatakan: (6) Ψ (w ) = E{(b1 − w T y ) 2 } ……………..…... y1 y2 yK
w1 w2
Σ
^ bm
wK
Gambar 1 Struktur Penerima MMSE [3] Dengan menggunakan sifat linieritas dan bit dari pengguna 1 adalah iid (identically and independent distributed) sehingga E{b12}=1, maka: (7) Ψ(w) = 1 − 2wT E (b1y) + wT E{yyT }w ...…... dengan y pada (5), diperoleh: Ψ (w ) = 1 − 2w T [ ρ11 A1 ρ 21 A1 Λ ρ K 1 A1 ]T + w T (RA 2 R + N 0 R )w
…...
(8)
Nilai minimal dari ruas sebelah kanan persamaan (8) diperoleh dengan diferensial terhadap w1 pada kedua sisi sama dengan nol. Bobot optimal wopt diproleh: w opt = (RA 2 R + N 0 R ) −1[ ρ11 A1 ρ 21 A1 Λ ρ K 1 A1 ] (9) atau secara umum dituliskan: w opt = (R + N 0 A −2 ) −1 ……………….…... (10) dimana …….…... N 0 A − 2 = N , N ,Λ , N (11)
{
0 2
A1
0 2
A2
0 2
AK
}
Persamaan (10) menjelaskan kerja dari detektor MMSE. Gambar 2 menunjukkan kinerja detektor MMSE linier dengan jumlah pengguna 2 dan 10 pada sistem DS-CDMA dengan kanal AWGN. Kode signature menggunakan kode Gold 31. IV. DETEKTOR ADAPTIF LMS Operasi inversi matriks pada detektor MMSE linier akan semakin kompleks jika jumlah pengguna semakin besar. Meskipun R-1 dapat dihitung sebelumnya tetapi hal ini menjadi tidak efektif jika digunakan pada sistem asinkron dan detektor MMSE memerlukan informasi SNR sehingga komputasi awal tidak berguna. Untuk menghindari komputasi inversi matriks maka digunakan algoritma adaptif. Pada bagian ini akan dibahas algoritma adaptif least-mean-square (LMS) yang
Proceeding of Seminar on Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2002) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, May 7th, 2002
membutuhkan deretan training. Sedangkan algoritma adaptif blind yang tidak membutuhkan deretan training akan dibahas pada bagian berikutnya. Algoritma LMS adalah kasus khusus dari algoritma penurunan stokastik. Algoritma penurunan gradien digunakan untuk mengoptimasi fungsi penalti konveks [4]. (12) Ψ (u ) = E{g ( X, u)} ….……….…... Pembaruan bobot mengikuti persamaan berikut: .……….…... u j +1 = u j − µ∇Ψ (u j ) (13) dimana µ adalah besarnya step. Jika X tidak diketahui maka persamaan (12) dan gradiennya tidak dapat dihitung. Tetapi jika observasi independen pada X tersedia, maka estimasi terhadap distribusi X dapat dihitung dan juga fungsi penaltinya. Sehingga pada setiap iterasi, fungsi ∆Ψ = E{∇ g ( X, u )} diganti oleh ∇g ( X j +1 , u ) . Algoritma ini disebut penurunan gradien stokastik. Untuk deteksi MMSE pada sistem CDMA, fungsi penalti konveks dinyatakan oleh (6). g ( X, w ) = (b1 − w T y ) 2 …..….……….…... (14) dimana X = (b1, w). didiferensialkan terhadap w: ∇g ( X, w ) = −2(b1 − w T y ) y ….…….….… (15) Jika Xj = (b1(j), y(j)), pembaruan bobot mengikuti persamaan berikut. w[ j ] = w[ j − 1] − µ (w T [ j − 1]y[ j ] − b1[ j ])y[ j ] (16) Terlihat bahwa diperlukan b1 dalam penerapanan algoritma LMS, artinya dibutuhkan deretan training untuk algoritma ini. Panjang deretan training yang dikirimkan menentukan optimalnya bobot (10) dan efisiensi bandwidth yang digunakan. V.
DETEKTOR ADAPTIF BLIND Konvergensi algoritma LMS tergantung pada amplitudo yang diterima, korelasi silang dan kondisi kanal yang konstan. Jika salah satu parameter tersebut berubah secara mendadak (misal munculnya pengguna lain dengan daya yang cukup besar atau fading yang berat pada kanal) maka bobot-bobot tidak lagi optimal. Sehingga keputusan yang dibuat menjadi salah dan diperlukan deretan training lagi untuk mengatur nilai bobot agar optimal. Dalam hal ini detektor harus dapat mendeteksi perubahan yang tiba-tiba dari lingkungan sistem dan kemudian meminta deretan training lagi. Prosedur operasi ini membutuhkan overhead yang besar sehingga diperlukan prosedur operasi adaptif tanpa perlu mengetahui data yang dikirimkan. Algoritma yang bekerja tanpa perlu mengetahui data yang dikirimkan disebut dengan algoritma blind, yang diperkenalkan pertama kali oleh Honig dkk pada tahun 1995 [1]. Menurut Proakis [5], algoritma blind dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) berdasar kriteria maximum likelihood, (2) gradien stokastik, (3) Orde kedua
atau lebih dari statistik sinyal. Pada paper ini digunakan algoritma gradien stokastik. Untuk menjelaskan algoritma blind, berikut diberikan representasi kanonik dari deteksi multiuser linier. Pendekatan MUD blind didasarkan pada penguraian respon filter dalam dua komponen yang orthogonal. Salah satu komponen adalah signature waveform dari pengguna yang diinginkan. Deteksi linier dari pengguna pertama ditentukan oleh respon filter c1, (17) bˆ 1 = sgn < y, c1 > ….……….….………… Representasi kanonik dari c1 adalah: c1 = s1 + x1 ….……….….……………... (18) dimana <s1, x1> = 0 s1 pada kedua persamaan diatas adalah signature waveform dari pengguna 1. Komponen orthogonal x1 diberikan oleh: 1 x1 = d1 − s1 ….…………….…... (19) < s1 , d1 >
dimana d1 adalah linier transformasi dari komponen orthogonal. Maka persamaan (17) dapat dinyatakan: bˆ 1 = sgn < y , s1 + x1 > K = sgn A1b1 + ∑ Ak bk ( ρ1k + < sk , x1 >) + n1 k =2
(20)
Variance dari persamaan (20) adalah:[6, 8] E{(< y, s1 + x1 >) 2 } = K
A1 + ∑ Ak ( ρ1k + < sk , x1 >) 2 + N 0 (1 + x ) 2
2
2
(21)
k =2
Persamaan (21) menyatakan ouput energi. Bit-bit dari pengguna 1 tidak berkorelasi dengan bit-bit dari pengguna lain dan noise. Suku pertama ruas kanan persamaan (21) menyatakan energi sinyal, suku kedua menyatakan MAI dan suku ketiga adalah noise. Dari representasi kanonik terlihat bahwa energi sinyal tergantung dari pemilihan x1. Sehingga x1 dapat dipilih sehingga diperoleh energi output minimum yang berarti juga meminimalkan energi interferensi. Jenis detektor demikian dikenal sebagai detektor energi output minimum (minimum output energy, MOE). Energi output minimum dinyatakan sebagai: ….….…... (22) MOE( x1 ) = E{(< y , s1 + x1 >)2 } Sedangkan MSE minimum dinyatakan: MSE ( x1 ) = E{( A1b1 − < y , s1 + x1 >) 2 } K
= ∑ Ak ( ρ1k + < s k , x1 >) 2 +N 0 (1 + x ) 2
2
(23)
k =2
Jadi: MSE ( x1 ) = MOE( x1 ) − A1
2
….……….…... (24) Terlihat bahwa MOE dan MSE hanya dibedakan oleh sebuah konstanta, sehingga minimalisasi keduanya merupakan hal yang sama. Dari hasil ini maka jika MOE diminimalkan (sama dengan meminimalkan MSE) maka tidak lagi diperlukan
Proceeding of Seminar on Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2002) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, May 7th, 2002
2
A1 K
∑ A (ρ k =2
2
k
1k
(
+ < sk , x1 > ) + N 0 1 + x 2
2
)
10
10
10
-1
-2
-3
2 pengguna
10
10
10
-4
-5
-6
0
2
4
6
8
10 SNR(dB)
12
14
16
18
20
Gambar 2 Kinerja detektor MMSE Gambar 3 menunjukkan konvergensi vektor bobot dari algoritma adaptif LMS dengan step size 0,01. Semakin besar step size maka algoritma semakin cepat menuju konvergen tetapi ripple yang terjadi cukup besar di sekitar nilai optimal. dari grafik terlihat bahwa dengan 1000 bit training, vektor bobot sudah dapat mencapai konvergen tetapi jika diinginkan nilai optimal maka deretan bit training yang dikirimkan harus semakin besar. Nilai MSE yang bersesuaian dengan perubahan vektor bobot ditunjukkan pada Gambar 4 yang diperoleh dengan menggunakan persamaan (10). Nilai MMSE mencapai nilai minimum pada iterasi ke-400 dan stabil setelah iterasi ke-500. Sehingga panjang bit training untuk detektor MMSE adaptif dengan algoritma LMS ini adalah 500 bit.
(31)
Dari persamaan (21) diperoleh bahwa meminimalkan energi output sama dengan meminimalkan penyebut pada persamaan (31). Maka seperti halnya detektor MMSE, detektor MOE juga memaksimalkan SIR.
0
10 pengguna
1.3 1.2
w1
SIR =
10
BER
deretan training untuk mengimplementasikan algoritma penurunan gradien (jika MOE tidak tergantung pada data). Algoritma steppest descent digunakan untuk memperbarui bobot adaptasi. Minimum MOE diperoleh dengan memperbarui komponen orthogonal dari s1 dengan merubah x1. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil gradien MOE dan mengarahkannya pada orthogonal subspace dari s1. Gradien MOE adalah: (25) ∇MOE( x1 ) = 2 < y , s1 + x1 > y ……….…... Komponen orthogonal dari s1 adalah y -
s1. Gradien dari orthogonal subspace dari s1: (26) 2 < y , s1 + x1 > [y − < y , s1 > s1 ] ……….…... Algoritma adaptif diperbarui satu kali dalam setiap interval T dimana T adalah periode bit. Jika didefinisikan: ……….……….….…. (27) zMF [i] =ˆ < y[i], s1 > ….……….…... (28) z[i] =< y[i ], s1 + x1[i − 1] > Maka perbaruan pada algoritma blind adalah: x1[i] = x1[i − 1] − µz[i ]( y[i ] − zMF [i]s1 ) ….…... (29) Untuk menghindari nilai x1 keluar dari orthogonalitas maka pembaruan x1 diarahkan pada: x1[i]− < x1[i ], s1[i] > s1 ……….……….…... (30) Suku pertama ruas kanan persamaan (21) menyatakan energi sinyal dan suku kedua ruas kanan persamaan (22) menyatakan energi interferensi. Maka signal to interference ratio (SIR) untuk pengguna 1 dapat dinyatakan:
1.1 1 0.9 0
100
200
300
400
500 600 Bit training
700
800
900
1000
0
100
200
300
400
500 600 Bit training
700
800
900
1000
1
w2
VI. CONTOH SIMULASI Pada bagian ini diberikan contoh simulasi dari detektor MMSE, adaptif LMS dan adaptif blind. Pengguna yang diinginkan mempunyai daya 10 dB dengan jumlah penguna 2. Signature waveform menggunakan kode Gold 31. Gambar 2 menunjukkan kinerja detektor MMSE untuk pengguna berjumlah 2 dan 10. Dari gambar tersebut terlihat bahwa kinerja detektor MMSE linier akan turun jika jumlah pengguna bertambah; sama dengan hasil pada [3].
0.8 0.6 0.4 0.2
Gambar 3 Konvergensi vektor bobot dengan step size 0,01
Proceeding of Seminar on Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2002) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, May 7th, 2002
data yang dikirimkan sebanyak 100000 dilakukan sebanyak 4 kali. Kinerja ketiga detektor blind lebih baik daripada detektor MMSE maupun detektor adaptif LMS.
0.35
0.3
0.25 0.08 0.2
step size=0.01
0.04
x1[i]
MSE
0.06
0.15
0.02 0
0.1
-0.02 0
500
1000
1500
2000
0.05
2500
3000
3500
4000
4500
5000
3500
4000
4500
5000
Bit training step size=0.001
0.15 0 100
200
300
400
500 600 Bit training
700
800
900
1000
Gambar 4 Variasi nilai MSE dengan 1000 bit training dengan step size 0,01
0.1
x1[i]
0
0.05 0 -0.05 0
500
1000
1500
2000 2500 3000 Bit training
Gambar 5 Konvergensi 1 komponen dari x1 9.5 9 8.5
step size=0.01
8 7.5
SIR
Pada Gambar 5 ditunjukkan konvergensi dari komponen x1[i] pada algoritma blind dengan step size 0,01 dan 0,001 dan data yang dikirimkan sebanyak 5000 bit. Pada step size 0,01, nilai x1 konvergen setelah iterasi ke-4000. Sedangkan dengan step size 0,001, nilai x1 konvergen pada iterasi ke-1000. Namun demikian step size yang besar mengakibatkan ripple yang kecil pada nilai x1 dan sebaliknya step size yang besar akan menyebabkan ripple yang besar pada nilai x1. Dengan membandingkan Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat bahwa algoritma adaptif blind steppest descent mencapai konvergen setelah iterasi ke-3000 sedangkan algoritma adaptif LMS mencapai konevergen pada iterasi ke-500. Jadi detektor adaptif blind lebih lambat menuju konvergen dibandingkan dengan detektor adaptif LMS. Tetapi karena detetor adaptif blind tidak memerlukan deretan training maka konvergensi yang lambat tidak menaikkan overhead (tidak memboroskan bandwidth). Sebaliknya detektor adaptif LMS memerlukan deretan training yang berarti adanya penambahan overhead.. Dua aspek penting ini dapat menjadikan dasar dari pemilihan detektor multiuser yang akan digunakan. Nilai SIR pada tiap iterasi dari detektor adaptif blind dengan step size 0,01 dan 0,001 ditunjukkan pada Gambar 6. Dengan step size 0,01, SIR maksimum dicapai setelah iterasi ke-1500 tetapi dengan step size 0,001, SIR maksimum dicapai setelah iterasi ke-4000. Semaikin besar step size maka SIR akan cepat mencapai maksimum tetapi akan terjadi ripple yang cukup besar dan sebaliknya jika step size kecil maka SIR akan lambat mencapai maksimum tetapi dengan ripple yang kecil. Pemilihan step size didasarkan pada panjang signature code yang digunakan, semakin panjang signature code maka step size semakin kecil. Pada Gambar 7 ditunjukkan perbandingan kinerja dari detektor MMSE, adaptif LMS dengan step size 0,01 dan adaptif blind dengan step size 0,05 dan
7
step size=0.001
6.5 6 5.5 5 4.5 0
100
200
300
400
500 Iterasi
600
700
800
900
1000
Gambar 6 Nilai SIR pada tiap iterasi KESIMPULAN Pada paper ini telah dibahas mengenai masalah deteksi multiuser linier MMSE yang membutuhkan komputasi inversi matriks yang cukup kompleks. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan algoritma adaptif LMS sehingga diperoleh detektor adaptif yang membutuhkan deretan bit-bit training. Detektor adaptif blind menghilangkan kebutuhan deretan bit training dan pengetahuan atas data yang dikirimkan. Sehingga sesuai untuk lingkungan time varying. Simulasi menunjukkan bahwa konvergensi dalam adaptasi blind lebih lambat daripada algoritma LMS, tetapi dengan step size yang berbeda diperoleh kinerja BER yang lebih baik.
VII.
Proceeding of Seminar on Intelligent Technology and Its Applications (SITIA 2002) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, May 7th, 2002
10
[9]
0
MMSE LMS Blind 10
-2
BER
10
-1
10
10
10
-3
-4
-5
0
2
4
6 8 SNR (dB)
10
12
14
Gambar 7 Perbandingan kinerja detektor MMSE, adaptif LMS dan adaptif blind Dari hasil yang diperoleh maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam lingkup detektor adaptif blind, dengan menggunakan berdasarkan algoritma LMS (blind LMS-based) maupun dengan algoritma adaptif blind lainnya. untuk sistem CDMA asinkron. Tujuan yang ingin dicapai adalah kinerja yang lebih baik dan konvergensi yang lebih cepat dari hasil yang telah diperoleh pada sistem yang lebih luas. VIII. DAFTAR ACUAN [1] Michael Honig, Upamanyu Madhow, dan Sergio Verdu. 1995. Blind Adaptive Multiuser Detection. IEEE Transaction on Information Theory, Vol. 41, No. 4, July 1995. [2] Stefano Buzzi, Marco Lops, dan Antonia M. Tulino. 2001. Blind Adaptive Multiuser Detection for Asynchronos Dual-Rate DS/CDMA System. IEEE Journal on Selected Area In Commnications. Vol. 19. No. 2. February 2001. [3] Arun Avudainaygam. 2001. Linear and Adaptive Linear Multiuser Detection in CDMA Systems. Project report of the course Spread Spectrum and CDMA. [4] Simon Haykin. 1996. Adaptive Filter Theory. Third Edition, New Jersey: Prentice Hall. [5] John G. Proakis. 1995. Digital Communications, McGraw-Hill, Inc. [6] Anders Host-Madsen. 2001. Multiuser Detection for CDMA. TR Labs & University of Calgary. [7] Shimon Moshavi. October 1996. Multi-User Detection for DS-CDMA Communications. IEEE Communications Magazine. [8] Peter Ang. June 2001. Performance Comparison of Multiuser Detectors for Synchronous CDMA with Short Code. Research Report on Faculty of Electrical Engineering, Stanford University.
Shimon Moshavi. 1996. Multi-user Detection for DS/CDMA Commnications. IEEE Communications Magazine. October 1996.