BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE)
MIA NURATNI YANTI RACHMAN A351080051
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) ” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Mia Nuratni YR NRP 351080051
ABSTRACT MIA NURATNI YANTI RACHMAN. The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Supervised by SUGENG SANTOSO and PUDJIANTO Predatory mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), is a potensial predator of a polyphagous spider mite, Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Research was conducted to study the biological characteristics of N. longispinosus, including the life table, life cycle, fecundity,functional response, numerical response, prey prefference, and the ability of individual predatory mite in suppressing the prey population. The study revealed that the life cycle of N. longispinosus was short, i. e. 3.23 days. The oviposition period was 8.76 days with maximum daily egg production was 4 eggs/female/day when the predatory mite was 6 days old. When fed with T. kanzawai, the intrinsic rate of increase (rm) of N. longispinosus was 0.44, mean generation time (T) was 4.05 days, and ner reproduction rate (R0) was 24.96 individuals. Neoseiulus longispinosus showed a type III functional response. Fecundity of N. longispinosus would increase when the prey population increased; so the numerical response of N. longispinosus was direct response. Neoseiulus longispinosus preffered to consume eggs than the other stages of T. kanzawai.
RINGKASAN
MIA NURATNI YANTI RACHMAN. Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO dan PUDJIANTO.
Tetranychus kanzawai Kishida termasuk dalam famili Tetranychidae dan merupakan spesies tungau hama yang sering menimbulkan kerugian secara ekonomis. Salah satu pengendalian tungau hama Tetranychidae adalah pemanfaatan tungau predator. Neoseiulus longispinosus merupakan agen hayati potensial untuk pengendalian tungau Tetranychidae. Tungau predator tersebut adalah predator lokal Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Penelitian ini dilakukan untuk melihat biologi dan potensi tungau predator N. longispinosus pada tungau hama T. kanzawai. Neraca hayati merupakan salah satu percobaan yang dilakukan untuk mengetahui biologi tungau predator N. longispinosus. Sedangkan potensi predasi diketahui dengan melakukan percobaan tanggap fungsional, tanggap numerik, preferensi mangsa, kemampuan menekan populasi mangsa oleh individu betina, dan potensi pemangsaan predator selama masa perkembangan pradewasa. Data neraca hayati dianalisis dengan rumus parameter demografi. Tanggap fungsional diuji dengan fungsi polinom yang akan membedakan tanggap fungsional tipe II dan III. Sementara parameter lainnya dianalisis menggunakan excel dan SPSS. Hasil analisis data neraca hayati menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari dengan laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak 24.96 kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik rm adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas λ sebesar 1.55 betina/betina/hari. Distribusi sebaran umur N. longispinosus memperlihatkan bahwa sebagian besar populasi sekitar 83.78% merupakan populasi pradewasa dan siasnya 16.22% adalah populasi dewasa. Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa realtif singkat yaitu 3.23 hari. Waktu tersebut merupakan waktu yang paling singkat karena pada umumnya tungau predator Phytoseiidae memiliki waktu perkembangan selama 4 hari. Masa oviposisi lebih singkat yaitu 8.76 hari namun keperidian yang diperoleh lebih tinggi. Nilai keperidian N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 32.78 butir telur. N. longispinosus memiliki kurva sintasan tipe I. Hal ini menandakan bahwa tingkat kematian N. longispinosus yang tinggi dialami saat N. longispinosus berumur tua. Mortalitas mulai terjadi saat imago N. longispinosus berumur 2 hari. Masa oviposisi mulai terjadi saat imago N. longispinosus
berumur 3 hari. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau predator betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4 butir. Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan perilaku pemangsaan yang tinggi. Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa. Sebagian besar imago N. longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T. kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur. N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai memiliki tanggap fungsional tipe III. Tanggap fungsional tipe III ditunjukkan oleh koefisien linear yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya proporsi mangsa yang dipredasi meningkat kemudian menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan mangsa. Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe tanggap fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama sehingga N. longispinosus berpotensi sebagai agen biokontrol yang efisien. Tanggap numerik N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai menunjukkan model respons langsung. Model respons langsung merupakan model yang menunjukkan dimana populasi predator akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah mangsa. Kemampuan individu imago betina tungau predator N. longispinosus menekan populasi tungau hama T. kanzawai selama 3 hari dengan kepadatan awal mangsa yang berbeda (4, 8, 16, 32 ekor imago betina) diuji di laboratorium. Jumlah predator pada hari terakhir pengamatan tidak berbeda nyata antar kepadatan. Jumlah mangsa terbanyak dijumpai pada kepadatan awal 32 ekor mangsa.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE)
MIA NURATNI YANTI RACHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) : Mia Nuratni Yanti Rachman : A 351080051 : Entomologi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr. Ketua anggota
Dr. Ir. Pudjianto, MSi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dr. Ir. Pudjianto, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr dan Dr. Ir. Pudjianto, MSi selaku pembimbing. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Wawan, teman-teman Entomologi 2008 (Yani, bang Dedi, kak Kiki, pak Umbu, mbak Nella, mbak Rika, pak Gatot, pak Aser), Nia, Putri, dan teman-teman Wisma Bintang (Nahrin dkk) yang membantu penulisan tesis baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Papa, Mama, suami serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas beasiswa pascasarjana yang diperoleh.
Bogor, Juli 2011
Mia Nuratni YR
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 23 September 1982 dari ayah H. Taufik Rachman dan ibu Hj. Fatmah AF. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2006, penulis menamatkan sarjana. Sebelumnya penulis bekerja sebagai guru freelance di sebuah bimbingan belajar dan membantu proyek Departemen Proteksi Tanaman. Kesempatan untuk melanjutkan ke program pascasarjana diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………...
i
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………..
ii
PENDAHULUAN…………………………………………..................
1
Latar belakang ............................................................................. Tujuan..........................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
Tungau Merah Tetranychus kanzawai ........................................ Karakter Morfologi .......................................................... Bioekologi ........................................................................ Tungau Predator Famili Phytoseiidae ......................................... Tungau Predator Neoseiulus longispinosus................................. Karakter Morfologi .......................................................... Bioekologi ........................................................................ Neraca Hayati………………………………………………… .. Tanggap Fungsional……………………………………………. Tanggap Fungsional Tipe I ............................................. Tanggap Fungsional Tipe II ............................................ Tanggap Fungsional Tipe III ........................................... Tanggap Numerik……………………………………………… Preferensi Mangsa………………………………………………
3 3 3 4 6 6 8 9 10 11 12 13 13 14
BAHAN DAN METODE .......................................................................
17
Waktu dan Tempat ...................................................................... Metode Penelitian ........................................................................ Pemeliharaan Tungau ...................................................... Neraca Hayati Tungau Predator N.longispinosus ............ Preferensi Mangsa ........................................................... Tanggap Fungsional…………………………………… Tanggap Numerik……………………………………… Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator……………………….. .
17 17 17 18 19 20 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
23
Neraca Hayati .............................................................................. Siklus Hidup dan Perkembangan ................................................ Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian ................................ Preferensi Stadia Mangsa ............................................................ Tanggap Fungsional .................................................................... Tanggap Numerik ........................................................................
23 25 28 30 31 34
22
Kemampuan Individu Imago Betina Tungau Betina Predator N.longispinosus Menekan Populasi Tungau Hama T. kanzawai
36
PEMBAHASAN UMUM .......................................................................
41
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
43
Kesimpulan.................................................................................. Saran ............................................................................................
43 43
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
45
DAFTAR TABEL
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Statistik demografi N. longispinosus............................................. Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran umur stabil .......................................................... Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai .......................................................... Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa T. kanzawai yang mangsa N. longispinosus .................................. Estimasi masa penanganan dan rataan jumlah mangsa yang dimangsa N.longispinosus…………………………………. Rataan predasi, produksi telur predator dan ratio predator:mangsa………………………………………. Predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir pengamatandi laboratorium……………………………………… Jumlah kumulatif stadia predator yang ditemukan padahariterakhirpengamatan……………………………………...
24 25 27 31 33 35 38 39
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Tetranychus kanzawai .................................................................. Bagian dorsal Phytoseiidae ........................................................... Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus ...... Tipe pola kawin N.longispinosus………………………………… N. longispinosus…………………………………………………. Grafik tanggap fungsional tipe I………………………………… Grafik tanggap fungsional tipe II……………………………….. Grafik tanggap fungsional tipe III………………………………. Potongan daun ubi kayu…………………………………………. Sintasan dan rata-rata jumlah telur harian tungau predator……… Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam………………. Kurva tanggap fungsional………………………………………... Proporsi pemangsaan pada tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus…………………………………………………... Laju rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa berbeda…………………………………. Populasi tungau hama T. kanzawai dengan predator…………….. Populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator……………….
3 5 7 8 9 12 12 13 17 29 31 33 34 36 37 37
PENDAHULUAN
Latar belakang Salah satu famili tungau yang menjadi pusat perhatian dalam pertanian adalah Tetranychidae. Sebagian besar spesies famili Tetranychidae merupakan hama yang bersifat polifag (Kalshoven 1981; Walter & Proctor 1999; Zhang 2003).
Tetranychus kanzawai Kishida merupakan salah satu spesies famili
Tetranychidae yang sangat merusak dan bersifat kosmopolit (Walter & Proctor 1999; Zhang 2003; Kasap 2005). Tungau ini dapat dijumpai di berbagai belahan dunia dan menyerang lebih dari 100 spesies tanaman termasuk tanaman pertanian dan tanaman hias (Zhang 2003). Tanaman yang terinfestasi T. kanzawai akan memiliki gejala seperti berikut: permukaan bawah daun berwarna perak kekuningan sampai kecoklatan, jaring-jaring menutupi daun dan batang serta kering dan mati bila populasi tungau sangat padat (Zhang 2003). Pengendalian hayati merupakan salah satu pengendalian yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh T. kanzawai. Pengendalian hayati menggunakan musuh alami T. kanzawai seperti tungau predator dari famili Phytoseiidae, sudah dilakukan di beberapa Negara. Beberapa tungau predator bahkan telah dibiakkan secara komersial (Driesche & Bellows 1996; Zhang 2003). Phytoseiulus persimilis dan Amblyseius californicus merupakan contoh spesies yang telah diproduksi secara komersial (Luz 2003; Cakmak et al. 2004). Di Indonesia, Yulianah (2008) melaporkan adanya tungau predator yang berasosiasi dengan T. kanzawai pada tanaman stroberi di Cisarua dan Lembang. Tungau predator yang ditemukan oleh Yulianah (2008) termasuk famili Phytoseiidae, spesies Amblyseius longispinosus. Neoseiulus (Amblyseius) longispinosus merupakan tungau predator lokal Indonesia. Tungau predator ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1952, dan dilaporkan berasosiasi dengan Tetranychus bimaculatus pada tanaman ubi kayu (Evans 1952). N. longispinosus mudah dijumpai pada tanaman yang terinfestasi tungau Tetranychidae.
Hal tersebut berkaitan dengan preferensi
mangsa dan tipe predator N. longispinosus yang termasuk dalam tipe predator II, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae (Zhang 2003;
Kongchuensin et al. 2006). Kelimpahan N. longispinosus relatif tinggi berkaitan dengan karakter spesies ini yang dapat digunakan sebagai agens hayati tungau Tetranychidae. Oleh karena itu, potensi N. longispinosus sebagai agens hayati tungau Tetranychidae di Indonesia relatif tinggi. Beberapa negara di Asia seperti Thailand, Philipina dan Taiwan telah mempelajari dan memanfaatkan N. longispinosus sebagai agens hayati pengendalian tungau. Sebaliknya, pengetahuan biologi dan ekologi tentang N. longispinosus di Indonesia masih minim,
padahal peluang penggunaan N.
longispinosus sebagai agens hayati cukup tinggi. Oleh karena itu, faktor-faktor yang berkaitan dengan bioekologi predator ini perlu dipelajari untuk mengetahui potensi tungau predator N. longispinosus dalam pengendalian tungau T. kanzawai di Indonesia.
Tujuan Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan tungau predator N. longispinosus yang meliputi neraca hayati, lama hidup, dan fekunditas; (2) preferensi mangsa; (3) tanggap fungsional; (4) tanggap numerik tungau predator; dan (5) kemampuan individu imago betina N. longispinosus dalam menekan populasi hama T. kanzawai.
TINJAUAN PUSTAKA
Tungau Merah Tetranychus kanzawai Karakter Morfologi Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi T. kanzawai berlimpah. Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan berwarna putih bening. Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002). Tungau dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002). Warna tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Tungkai berwarna kekuningan. Betina dewasa berukuran sekitar 400-500 µm dan jantan dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing. Imago T. kanzawai jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003). a
b
Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002)
Bioekologi T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang (Kishida 1927). Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder. Penggunaan pestisida kimiawi secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini. Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di seluruh belahan dunia. T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup terkenal di Asia. Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga
dikenal juga sebagai tungau merah teh. Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang lebih dari 100 spesies tanaman. Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti anggur, stroberi, dan lain-lain. Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi tergantung jenis tanamannya. Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering. Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman. Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat. Hal ini berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai yang singkat, yaitu berkisar 12-19 hari pada suhu 20-25°C (Zhang 2003). Keberhasilan hidup sampai tahap imago dapat mencapai 80 %. Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai 1:3. Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago jantan. Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu. Satu imago betina dapat bertelur sebanyak 28-76 butir pada kisaran suhu 15-30°C (Zhang 2003).
Tungau Predator Famili Phytoseiidae Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae.
Selain memakan
tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil yang berada di tanaman.
Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora
cendawan, polen, dan eksudat tanaman. Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae, Phytoseiinae, dan Typhlodrominae. Spesies tungau yang telah dikembangkan secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003). Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna bening.
Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar 90-100%, dibutuhkan untuk
penetasan telur. Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa spesies tungau predator memiliki stadium larva yang tidak makan, sementara larva
beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya.
Pada
umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk perkembangannya.
Beberapa spesies Phytoseiulus
bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari. Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999).
Oleh karena itu,
kopulasi sangat penting dalam reproduksi. Nisbah kelamin jantan:betina adalah 1:3 (Zhang 2003).
Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi
perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung ventral. Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan anal. Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau.
Beberapa
peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau. Pada gambar 2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta. Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat. Hal tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang. Olfaktori sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag (Boom et al. 2002; Zhang 2003, Nachappa 2008 ).
Gambar 2 Bagian dorsal Phytoseiidae (Zhang 2003)
Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Karakter Morfologi N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata. Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus sangat berhubungan dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika. Penampakan morfologi secara kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini. Bentuk tungau betina N. longispinosus lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi (Gerson et al. 2003). Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur seta lebih halus dan panjang pada seta S5. Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa dan dewasa. Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna putih bening.
Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat
menjelang penetasan. Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah daun. Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). Larva N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai. Pada stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa. Mobilitas larva terbilang pasif karena cenderung lebih banyak diam. Masa stadia larva pada umumnya relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam. Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa. Pada stadia ini, predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa. Nimfa berwarna putih agak keruh dan memiliki 4 pasang tungkai. Setelah memangsa, warna nimfa berubah menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal. Lama stadia nimfa biasanya berlangsung selama satu hari. Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal. Lapisan dorsal memiliki 17 pasang seta. Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003). Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa. Tungau betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm. Ukuran tungau dewasa jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina. Perbedaan tungau jantan dan betina terletak pada bagian genitalia.
Tungau jantan memiliki kaliks
spermateka berbentuk seperti botol. Lama hidup tungau jantan lebih pendek dibandingkan tungau betina.
Gambar 3 Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus (Zhang 2003) Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa. Tungau dewasa jantan akan menunggu deutonimfa betina. Saat penantian tersebut, tungau jantan akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada.
Vantornhout (2006)
menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau jantan. Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi pertarungan. Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar 4). N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus. Tipe Phytoseiulus memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara perlahan di bawah tungau betina.
Gambar 4 Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006)
Bioekologi Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali dengan nama Typhlodromus longispinosus (Evans 1952). Kongchuesin et al. (2005) menyatakan bahwa populasi N. longispinosus akan melimpah pada tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada permukaan bawah daun. Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama T. kanzawai di Indonesia (Santoso, komunikasi pribadi). Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008).
N.
longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al. 2005).
Gambar 5 N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi)
N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii, Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson et al. 2003; Kongchuensin et al. 2005; Raza 2008). Masa siklus hidup N. longispinosus dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu. Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 °C. Penelitian Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup N. longispinosus berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium. Hal ini memperlihatkan bahwa siklus hidup N. longispinosus lebih cepat dibandingkan siklus hidup tungau Tetranychidae.
Neraca Hayati Neraca hayati merupakan ringkasan pernyataan tentang kehidupan individu dalam populasi atau kelompok (Price 1997).
Lincoln et al. (1982)
mendefinisikan neraca hayati sebagai tabulasi data mortalitas lengkap dari populasi terhadap umur. Neraca hayati merupakan riwayat perkembangan cohort yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Neraca hayati berisi informasi dasar tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi dalam penjelasan statistik.
Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui dinamika populasi
suatu organisme.
Pertumbuhan populasi suatu organisme akan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Pertumbuhan populasi positif terjadi bila angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian dan migrasi bernilai 0 (angka emigrasi = angka imigrasi). Apabila terjadi sebaliknya maka akan terjadi pertumbuhan populasi negatif (Oka 1995). Neraca hayati digolongkan menjadi dua tipe yaitu neraca hayati horizontal yang lebih bersifat spesifik umur dan neraca hayati vertikal yang bersifat spesifik waktu (Bellows & Van Driesche 1992).
Neraca hayati horizontal meliputi
penghitungan berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari umur individu yang sama. Data yang berasal dari suatu kejadian tunggal yang diasumsikan bahwa semua generasinya saling lingkup dengan sempurna karena kelas umur yang secara simultan sama, merupakan neraca kehidupan vertikal. Parameter-parameter yang terdapat dalam neraca hayati meliputi laju reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (Ro), waktu generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas (λ) dan doubling time (DT) (Rauf dan Hidayat 1987).
Parameter tersebut berisi informasi dasar seperti
keperidian, kemampuan hidup harian, nisbah kelamin dan laju pertambahan suatu organisme dalam analisa dinamika populasi. Laju reproduktif kotor (GRR) adalah rata-rata jumlah keturunan betina per generasi (Σ mx). Laju reproduktif bersih (Ro) menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Waktu generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup per generasi. Laju pertambahan intrinsik (r) menggambarkan laju pertambahan populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumber daya tak terbatas serta kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948). Laju pertambahan terbatas (λ) menunjukkan nilai kelipatan populasi organisme per hari. Doubling time (DT) merupakan kemampuan organisme berkembang dalam satu generasi. Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki nilai laju pertambahan intrinsik yang berkisar dari 0.1 - 0.4 (Escudero LA & Ferragut F. 2005; Vasconcelos et al. 2008).
Tanggap Fungsional
Keberhasilan pengendalian hayati ditentukan oleh dinamika interaksi predator-mangsa.
Perubahan jumlah mangsa dapat direspons oleh predator.
Peningkatan jumlah generasi predator (tanggap numerik) dan tingkat predasi predator secara individu (tanggap fungsional) merupakan respon predator terhadap perubahan jumlah mangsa (Taylor 1984). Tanggap fungsional merupakan respon perilaku predator terhadap perubahan jumlah mangsa dalam waktu yang relatif singkat. Keefektifan predator atau parasitoid dapat dilihat dari tanggap fungsionalnya. Salah satu ciri predator yang baik adalah memiliki tanggap fungsional yang tinggi. Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dari dinamika interaksi antara predator/parasitoid dan mangsa/inang serta sangat penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola (Oaten & Murdoch 1975 dalam Wang & Ferro 1998). hubungan
antara
jumlah
Tanggap fungsional menggambarkan
mangsa/inang
yang
dikonsumsi/diparasit
per
predator/parasitoid dan kepadatan mangsa/inang (Wang & Ferro 1998; Speight 1999). Holling 1959 dalam Hassel 2000 menggolongkan tanggap fungsional menjadi tiga tipe: linier (Tipe I), hiperbolik (Tipe II), dan sigmoid (Tipe III).
Tanggap Fungsional Tipe I Tanggap fungsional tipe I memiliki grafik bersifat linier.
Hal ini
menunjukkan hubungan yang bersifat konstan. Tingkat predasi meningkat secara linier dengan peningkatan kepadatan mangsa, kemudian tingkat predasi menjadi konstan setelah predator berada dalam kondisi kenyang. Tipe I berasal dari modifikasi sederhana tanggap fungsional linier dari persamaan Lotka-Volterra. Tipe I dijumpai pada interaksi yang stabil. Tanggap fungsional tipe I biasa ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti labalaba.
Gambar 6 Grafik tanggap fungsional tipe I. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar A; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar B (Vantornhout 2006) Tanggap Fungsional Tipe II Tanggap fungsional tipe II memiliki grafik yang bersifat hiperbolik. Model tipe II berasal dari persamaan cakram Holling. Tingkat predasi meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan mangsa secara konstan pada awalnya hingga kepadatan mangsa maksimum. Penurunan tingkat predasi akan terjadi secara cepat seiring meningkatnya mangsa sehingga terjadi bentuk grafik yang hiperbolik. Pada tanggap fungsional tipe II terdapat waktu penanganan dan laju pemangsaan. Tanggap fungsional tipe II juga mudah ditemukan dalam kondisi lingkungan yang stabil. Grafik tipe II umumnya ditemukan pada predator atau parasitoid.
Gambar 7 Grafik tanggap fungsional tipe II. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar C; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar D (Vantornhout 2006)
Tanggap Fungsional Tipe III Tanggap fungsional tipe III memiliki grafik sigmoid. Tingkat predasi bersifat cekung pada kepadatan mangsa rendah, tapi akan bersifat cembung pada kepadatan mangsa tinggi.
Tanggap fungsional tipe III dapat terjadi karena
pembelajaran hal baru, perubahan kemampuan, atau hal lain yang belum diketahui yang terkadang disebut sebagai ekspresi preferensi.
Sebagian besar proses
menyertai perubahan nutrisi dari satu tipe mangsa ke tipe mangsa lainnya. Tanggap fungsional tipe III biasanya terjadi pada lingkungan sekitar kepadatan mangsa yang seimbang.
Ketika kepadatan mangsa bertambah banyak, predator
pun meningkat dan pengaruh stabilisasi lain mengakibatkan perilaku predator hilang. Stabilitas pada sistem tanggap fungsional tipe III dipengaruhi seluruh komponen dari biologi spesies dan interaksi antar spesies tersebut (Taylor 1984). Grafik tipe III umumnya terdapat pada predator yang memangsa beberapa spesies (Sharov 1996 dalam Hidrayani 2002). Model tanggap fungsional tipe III menggambarkan bentuk grafik secara sigmoid. Pada awalnya predasi terjadi secara lambat kemudian meningkat cepat seiring bertambahnya kepadatan mangsa lalu tingkat predasi akan menurun pada kepadatan mangsa yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kejenuhan.
Gambar 8 Grafik tanggap fungsional tipe III. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar E; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar F (Vantornhout 2006)
Tanggap Numerik Setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sumber daya makanan yang berlimpah akan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup tersebut. Nutrisi makanan yang berlimpah akan mempengaruhi tingkat reproduksi makhluk hidup dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap generasi berikutnya. Peningkatan populasi mangsa dapat menyebabkan perubahan laju penyerangan per individu predator. Selain itu, peningkatan populasi mangsa juga dapat mengakibatkan perubahan kepadatan populasi predator. Perubahan populasi predator ini merupakan respon atau tanggap terhadap peningkatan populasi mangsa. Respon atau tanggap ini disebut sebagai tanggap numerik. Tarumingkeng (1992) menguraikan mekanisme terjadinya tanggap numerik sebagai berikut. Pertama, peningkatan populasi predator karena imigrasi yang berasal dari daerah sekeliling. Hal ini berkaitan dengan perilaku predator yang berkelompok dan menempati daerah-daerah dengan tingkat kerapatan populasi predator yang tinggi. Sekelompok burung yang bergerombol di tempat dengan kepadatan populasi belalang yang tinggi. Kedua, peningkatan populasi predator karena peningkatan reproduksi (Ro).
Waktu generasi (Ro) predator
umumnya lebih lama daripada waktu generasi (Ro) mangsa.
Hal tersebut
menimbulkan penundaan dalam perubahan keterpautan kepadatan atau senjang waktu (lag).
Senjang waktu (lag) menyebabkan terjadinya peningkatan
reproduksi predator. Tanggap numerik dibatasi oleh waktu generasi makhluk hidup tersebut. Makhluk hidup yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek cenderung memiliki respon lebih cepat dengan tingkat fluktuasi terhadap kelimpahan sumber daya makanan.
Preferensi Mangsa Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas makanan akan berkaitan langsung dengan fisiologi makhluk hidup.
Keberadaan jumlah makanan akan
mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup. Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator. Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa.
Berdasarkan
preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003), yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2) tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae, terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies Neoseiulus californicus (McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen, dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang menghasilkan sarang yang besar contoh Iphiseius degenerans Berlese; dan 4) predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen contoh spesies dari genera Euseius. N. longispinosus termasuk predator tipe 2, yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2010 di Laboratorium Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian Asal Tungau Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus diperoleh dari tanaman ubi kayu di daerah Dramaga, dan dibiakkan di laboratorium dalam suatu arena.
Arena Percobaan Arena percobaan berupa petri dish berdiameter 8 cm. Busa (diameter ± 7 cm) diletakkan dalam arena lalu kapas diletakkan di atas busa dan diberikan air hingga jenuh. Setelah itu, potongan daun ubi kayu yang berukuran 3 cm x 3 cm diletakkan di atas kapas. Air ditambahkan pada arena percobaan apabila kapas atau busa mulai terlihat kering. Potongan daun ubi kayu dalam arena percobaan diganti setiap 3 hari.
Gambar 9 Potongan daun ubi kayu
Pemeliharaan Tungau Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus dipelihara dalam laboratorium dengan suhu 25-29°C dan RH 60-70%, menggunakan potongan daun ubi kayu dan arena percobaan.
Neraca Hayati Tungau Predator N. longispinosus Percobaan neraca hayati bertujuan untuk mengetahui parameter demografi, siklus hidup, perkembangan, sintasan dan sebaran umur tungau predator N. longispinosus. Seratus telur predator ditempatkan secara individual pada arena percobaan yang baru. Semua telur predator yang digunakan berasal dari umur yang sama. Satu hari sebelum perlakuan, tiga ekor tungau betina T. kanzawai juga ditempatkan dalam setiap arena percobaan dan dibiarkan bertelur. Telurtelur yang dihasilkan dijadikan mangsa bagi predator dalam arena percobaan. Metode pengamatan terbagi menjadi dua tahap yaitu stadia pradewasa dan dewasa. Pada stadia pradewasa, pengamatan dilakukan setiap 6 jam untuk melihat lama pergantian stadia dan jumlah predator yang masih hidup. Pengamatan pada stadia dewasa dilakukan setiap 24 jam.
Tungau dewasa jantan dan betina
dipasangkan. Setelah itu, pengamatan dilakukan dengan melihat parameter seperti fekunditas, lama hidup, masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Selama pengamatan berlangsung, tungau predator diberi mangsa berbagai stadia tungau hama yang berlimpah. Penggantian daun dilakukan setiap 3 hari. Analisis data neraca hayati tipe kohort menggunakan tabel kehidupan dan grafik klasifikasi kurva keberhasilan hidup. Data biologi dianalisis menggunakan excel. Perumusan neraca hayati merupakan langkah pertama dalam menghitung laju pertambahan intrinsik (r). Perhitungan parameter r didasarkan hanya pada populasi betina, dan diasumsikan bahwa jantan cukup tersedia di sekitarnya. Beberapa parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah sebagai berikut (Tarumingkeng 1992): 1.
x adalah kelas umur kohort (hari);
2.
ax adalah jumlah individu yang hidup pada setiap umur pengamatan;
3.
lx adalah proporsi individu yang hidup pada umur x (l : living, lx = ax/a0);
4.
dx adalah jumlah individu yang mati di setiap kelas umur (d. : death, dx = lx – lx+1);
5.
qx adalah proporsi mortalitas pada masing-masing umur (qx = dx/ax);
6.
Lx merupakan jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya, x+1 [Lx = (lx + lx+1)/2)];
7.
Tx adalah jumlah individu yang hidup pada kelas umur x = 0 …w (x = w adalah kelas umur terakhir) (
);
, T1 = T0 – L0, T2 = T1
– L1, Tx = Tx-1 – Lx-1; 8.
ex adalah harapan hidup individu pada setiap kelas umur x (ex = Tx/lx);
9.
mx adalah keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur x atau jumlah anak betina perkapita yang lahir pada kelas x;
10. lxmx adalah banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x,
lxmx
merupakan proporsi banyaknya anak (betina) dilahirkan oleh semua individu (betina) sepanjang generasi kohort dan disebut laju reproduksi bersih (R0); 11. xlxmx adalah perkalian x, lx, dan mx untuk setiap kelas umur x yang digunakan untuk mengaproksimasi lamanya generasi (Tc); 12. px (peluang survival) adalah proporsi individu yang hidup pada kelas umur x dan mencapai kelas umur x + 1 (px = Lx+1/Lx). Parameter ini digunakan dalam matriks proyeksi Leslie untuk memprediksi pertumbuhan populasi secara diskrit. Dari data neraca hayati tersebut perhitungan dilanjutkan untuk menentukan parameter-parameter demografi lainnya (Price 1997) seperti: 1. Laju reproduksi kotor (GRR) =
∑ mx
2. Laju reproduksi bersih (Ro)
=
∑ lxmx
3. Waktu generasi (Tc)
=
∑ x lxmx / ∑ lxmx
4. Laju pertambahan intrinsik
=
Log e R0/Tc
Preferensi Tungau Predator terhadap Mangsa Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui preferensi mangsa tungau predator N. longispinosus pada tingkat stadia (telur, nimfa, dan imago) tungau hama T. kanzawai. Stadia mangsa yang digunakan dalam percobaan adalah telur, nimfa, dan imago T. kanzawai. Jumlah telur, nimfa, dan imago yang digunakan berbeda berturut-turut 25 butir, 10 ekor dan 5 ekor. Perbedaan jumlah tersebut didasarkan pada jumlah maksimum pada uji tanggap fungsional.
Perlakuan
diulang sebanyak 10 kali. Tungau predator yang digunakan berumur sama yaitu imago berumur 2 hari. Tungau predator diletakkan secara individu dalam arena percobaan. Arena
percobaan dimodifikasi dalam percobaan preferensi mangsa. Tiga potongan daun ubi kayu berukuran 1.5 cm x 1.5 cm diletakkan dalam satu arena percobaan. Setiap helai daun berisi mangsa (telur, nimfa dan imago) yang berbeda dengan jumlah mangsa yang sama. Jarak antar daun berkisar 0.5-1.0 cm. Penghubung antar daun digunakan jembatan parafilm selebar 2 mm dan berbentuk T. Tungau predator diletakkan di tengah jembatan. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit selama 3 jam dengan menghitung jumlah mangsa dan keberadaan tungau predator pada tiap helai daun dalam arena percobaan. Data percobaan preferensi mangsa dianalisis menggunakan excel dengan melihat keberadaaan imago N. longispinosus pada arena percobaan setiap 30 menit selama 3 jam.
Tanggap Fungsional Percobaan tanggap fungsional merupakan percobaan yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat predasi tungau predator N. longispinosus dengan tingkat kepadatan tungau hama T. kanzawai. Mangsa yang digunakan dalam percobaan ini adalah stadia telur. Kepadatan telur yang digunakan adalah 5, 10, 20, 40 dan 80 butir telur. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Percobaan tanggap fungsional menggunakan arena percobaan seperti pada percobaan neraca hayati. Imago T. kanzawai dimasukkan dalam arena percobaan tersebut dan dibiarkan selama 24 jam agar bertelur dan telur-telur tersebut yang digunakan dalam uji tanggap fungsional. Predator yang digunakan berasal dari stadia imago yang berumur 2 hari. Predator-predator tersebut dipuasakan selama 8 jam secara individu. Pemuasaan tersebut bertujuan agar pencernaan setiap predator dalam kondisi yang sama saat dilakukan perlakuan. Setelah 8 jam, predator tersebut dimasukkan dalam arena percobaan yang berisi telur dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, telur-telur yang tersisa dihitung. Tipe tanggap fungsional diketahui dengan menggunakan regresi logistik. Regresi logistik berasal dari proporsi mangsa yang diserang (Ne/No) sebagai suatu fungsi dari kepadatan mangsa yang tersedia (No). Data tanggap fungsional
diuji sesuai pada fungsi polinom yang menggambarkan hubungan Ne/No dan No sebagai berikut: = Keterangan:
P0 = titik potong P1 = koefisien linear P2 = koefisien kuadratik P3 = koefisien kubik
Pendugaan parameter (P) dilakukan dengan prosedur PROC CATMOD SAS (SAS Institute 1989). Tanggap fungsional tipe II akan digambarkan dengan nilai P1 yang lebih kecil dari 0 atau negatif (P1 < 0). Tanggap fungsional tipe III akan ditunjukkan dengan nilai P1 yang positif (P1 > 0) namun P2 bernilai negatif (P2 < 0). Pada tanggap fungsional tipe II dan III terdapat waktu penanganan mangsa (Th) dan laju pencarian mangsa (a). Pendugaan Th dan a didapatkan dari persamaan cakram Holing untuk tanggap fungsional tipe II dan persamaan Hassel untuk tanggap fungsional tipe III (Hassel 1978).
Tanggap Numerik Percobaan tanggap numerik dilakukan hampir sama dengan percobaan tanggap fungsional, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan populasi predator dengan tingkat kepadatan hama.
Kepadatan telur yang
digunakan adalah 5, 10, 20, 40 dan 80 butir. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali. Beberapa imago T. kanzawai dimasukkan dalam setiap arena percobaan dan dibiarkan selama 24 jam. Telur-telur yang dihasilkan dihitung untuk digunakan dalam percobaan tanggap numerik dan imago dipindahkan dari arena percobaan. Predator yang digunakan adalah stadia imago yang berumur 2 hari. Setelah 24 jam, pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur predator yang dihasilkan dalam arena percobaan.
Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator Percobaan ini bertujuan mengetahui kemampuan individu tungau predator menekan populasi mangsa dengan kepadatan mangsa yang berbeda. Kepadatan imago mangsa yang digunakan sebagai berikut: 4, 8, 16 dan 32 ekor. Imagoimago mangsa dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, seekor N. longispinosus betina berumur 5-6 hari dimasukkan dalam arena percobaan yang telah berisi mangsa. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah semua stadia predator dan mangsa yang ada dalam arena percobaan. Pengamatan berlangsung selama 3 hari. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan kontrol (tanpa predator) hanya diulang sebanyak 3 kali dan pengamatan berlansung selama 96 jam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Neraca Hayati N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari dengan laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi pada tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak 24.96 kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik rm adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas (λ) sebesar 1.55 betina/betina/hari. Nilai laju pertambahan intrinsik rm tungau predator N. longispinosus adalah 0.44 betina/betina/hari. Nilai rm tersebut lebih tinggi dibandingkan rm Tetranychidae. Nilai rm Tetranychidae memiliki kisaran 0.1 - 0.3 (Wrensch 1979; Razmjou et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa populasi tungau predator N. longispinosus berkembang lebih cepat dibandingkan tungau Tetranychidae. Oleh karena itu, N. longispinosus cenderung memiliki potensi tinggi sebagai musuh alami dalam pengendalian tungau Tetranychidae.
Nilai rm diperoleh dari
persamaan Σe-rx lx mx = 1 (Carey 1993). GRR dan Ro menunjukkan tingkat reproduksi N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai. Nilai GRR adalah 32.78 individu, yang menunjukkan ratarata jumlah keturunan betina per generasi.
Ro bernilai 24.96 individu,
menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Nilai GRR dan Ro N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai lebih tinggi dibandingkan dengan mangsa lain (Puspitarini 2005; Thongtab et al 2002). Jumlah keturunan betina yang relatif tinggi berimplikasi pada jumlah telur yang dihasilkan dalam suatu populasi. Birch (1948) menyatakan bahwa makin besar jumlah telur yang dihasilkan maka makin besar nilai laju pertambahan intrinsik suatu organisme.
Krebs (1978) menambahkan bahwa makin cepat
tercapainya puncak reproduksi maka makin besar nilai r suatu spesies. Nilai r dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu reproduksi pada umur muda, jumlah telur yang dihasilkan setiap bertelur, dan meningkatnya ulangan peneluran yang berarti terjadi peningkatan panjang umur (Krebs 1978).
Perkembangan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari (λ) dapat dilihat pada tabel 1.
λ sering juga disebut sebagai laju pertambahan
terbatas, yang memiliki arti nilai perkembangan tungau predator pada lingkungan yang terbatas. Nilai λ = 1.55 per satuan hari, yang berarti bahwa perkembangan setiap individu pada setiap generasi menjadi satu individu pada keadaan lingkungan yang terbatas (Tarumingkeng 1992). Bila nilai λ > 1 maka terjadi pertambahan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari. T dan DT merupakan parameter statistik demografi yang berkaitan dengan waktu.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup N.
longispinosus per generasi (T) adalah 4.05 hari. Nilai T yang hampir sama juga ditunjukkan pada penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2002). Doubling time (DT) memiliki nilai sebesar 1.586 hari, yang mengisyaratkan kemampuan N. longispinosus berkembang dalam satu generasi.
Tabel 1 Statistik demografi N. longispinosus Parameter demografi
Nilai
Satuan
GRR
32.78
Individu
Ro
24.96
Individu/induk/generasi
rm
0.44
Individu/induk/hari
T
4.05
Hari
λ
1.55
Hari
DT
1.59
Hari
Pendugaan kelimpahan populasi suatu serangga merupakan implikasi praktis dari sebaran umur stabil terutama serangga yang memiliki stadia pradewasa yang tidak terlihat atau tersembunyi (Birch 1948). Selain itu, sebaran umur stabil suatu populasi juga dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah pertambahan populasi. Distribusi sebaran umur N. longispinosus pada percobaan ini menunjukkan bahwa 83.78% populasi pradewasa dan sisanya 16.22% merupakan populasi dewasa (tabel 2). Proporsi telur memiliki nilai paling tinggi di antara populasi pradewasa. Nilai proporsi telur adalah 36.26 %. Deutonimfa memiliki nilai proporsi paling kecil dalam populasi pradewasa.
Asumsi yang dihasilkan dari data distribusi sebaran umur N. longispinosus menunjukkan bahwa sebagian besar populasi N. longispinosus didominasi oleh populasi pradewasa. Implikasinya pada penarikan contoh di lapangan adalah jumlah imago N. longispinosus di lapangan yang relatif rendah tidak menggambarkan jumlah populasi N. longispinosus yang sebenarnya. Populasi pradewasa juga mempengaruhi jumlah populasi yang sebenarnya. Populasi telur N. longispinosus yang terkadang tersembunyi memiliki proporsi yang relatif besar dalam menentukan keadaan populasi N. longispinosus. Percobaan ini dilakukan dalam skala laboratorium maka faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi populasi dalam lingkungan yang alami tidak diperhitungkan.
Tabel 2 Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran umur stabil Fase perkembangan (stadia) Pradewasa
Proporsi (%) 83.78
Telur
36.26
Larva
23.29
Protonimfa
14.86
Deutonimfa
9.37
Dewasa
16.22
Siklus Hidup dan Perkembangan Siklus hidup N longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan dewasa yang ditunjukkan pada Tabel 3.
N. longispinosus
meletakkan telur secara acak pada permukaan bawah daun ubi kayu.
Telur
berbentuk oval dan berwarna putih transparan. Croft et al. (1999) menyatakan bahwa ukuran telur 13 tungau Phytoseiidae yang diteliti, memiliki kisaran panjang bervariasi dari 184.5–243.5 µm dan Phytoseiulus persimilis memiliki ukuran telur yang paling besar. Puspitarini (2005) menunjukkan bahwa telur N. longispinosus yang dibiakkan pada Panonychus citri memiliki panjang berkisar 330-370 µm dan lebar 280-320 µm.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran telur N.
longispinosus lebih besar dibandingkan ukuran telur P. persimilis.
Telur
membutuhkan waktu perkembangan yang paling lama yaitu 1.40 hari. Stadia larva merupakan stadia yang mudah diamati dan dibedakan dari stadia lainnya. Ciri khas stadia larva adalah 3 pasang tungkai yang dimilikinya. Pada stadia ini, larva berwarna putih dan masih bersifat pasif bergerak. Larva N. longispinosus memiliki panjang rata-rata 230 µm dan lebar rata-rata 220 µm (Puspitarini 2005). Larva sebagian besar tungau predator tidak makan sehingga pada stadia ini tidak membutuhkan mangsa (Thongtab et al.2001; Zhang 2003). Larva memiliki waktu perkembangan yang paling singkat yakni hanya 0.49 hari. Waktu tersebut tidak berbeda nyata dengan penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001). Perubahan stadia larva menjadi protonimfa dapat dilihat pada jumlah tungkai. Protonimfa memiliki 4 pasang tungkai dan berwarna putih keruh. Pada stadia protonimfa, N. longispinosus mulai aktif untuk mencari mangsa. Protonimfa N. longispinosus akan berubah warna setelah memakan mangsa, menjadi merah kecoklatan.
Masa protonimfa berlangsung selama 0.64 hari.
Setelah itu, N. longispinosus akan memasuki stadia deutonimfa. Lama masa deutonimfa berkisar 0.70 hari. Masa protonimfa dan deutonimfa N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai memiliki waktu paling singkat dibandingkan N. longispinosus yang dibiakkan pada P. citri (Puspitarini 2005) dan T. urticae (Thongtab et al. 2001). Deutonimfa memiliki morfologi badan yang lebih besar dan idiosoma yang pipih dibandingkan protonimfa. N. longispinosus bergerak aktif mencari mangsa pada stadia deutonimfa. Protonimfa dan deutonimfa dapat memangsa semua stadia mangsa yang terdapat dalam arena. Tungau Phytoseiidae dewasa memiliki ukuran berkisar 200-490 µm, Jarang sekali tungau Phytoseiidae dewasa memiliki ukuran lebih dari 500 µm. Tungau dewasa N. longispinosus jantan dan betina memiliki ukuran yang berbeda. N. longispinosus betina memiliki panjang dan lebar rata-rata berturut-turut: 400 µm dan 290 µm. Sementara panjang dan lebar rata-rata N. longispinosus jantan lebih kecil yaitu 230 µm dan 170 µm (Puspitarini 2005).
N. longispinosus
memiliki warna tubuh putih kekuningan keruh dan mengkilat serta seta-seta yang terlihat jelas pada bagian idiosoma dorsal. Warna tubuh N. longispinosus akan
mengikuti warna mangsanya. Ketika N. longispinosus diberikan mangsa imago T. kanzawai yang berwarna merah, maka warna N. longispinosus akan berwarna merah kecoklatan. Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa relatif singkat, yaitu 3.23 (Tabel 3).
Pada umumnya tungau predator famili
Phytoseiidae memiliki waktu perkembangan yang relatif lebih cepat dan singkat dari Tetranychidae (Zhang 2003). Penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001) menunjukkan bahwa lama perkembangan N. longispinosus dari telur hingga menjadi dewasa adalah 4.78 hari dan 4.23 hari. Waktu perkembangan N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai lebih cepat.
Hal ini dapat
disebabkan oleh pengalaman predator terhadap mangsa karena selama pembiakan N. longispinosus diberikan mangsa T. kanzawai.
Tabel 3 Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang dibiakkan pada T.kanzawai Durasi (hari) (mean ± SD)a
Parameter Lama perkembangan pradewasa
3.23 ± 0.41
Telur
1.40 ± 0.32
Larva
0.49 ± 0.01
Protonimfa
0.64 ± 0.21
Deutonimfa
0.70 ± 0.31
Lama hidup betina
16.78 ± 7.44
Periode praoviposisi
1.55 ± 0.57
Periode oviposisi
8.76 ± 4.68
Periode pascaoviposisi
1.92 ± 2.91
Lama hidup jantan
22.28 ± 7.02
Keperidian (butir/betina)
32.78 ± 1.31
Nisbah kelamin (♂:♀)
1: 2.13
Tabel 3 juga memberikan informasi berbagai parameter kehidupan tungau dewasa N. longispinosus.
Dewasa N. longispinosus betina memiliki masa
praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Masa oviposisi memiliki masa yang
lebih lama dibandingkan masa praoviposisi dan pascaoviposisi. Masa oviposisi N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 8.76 hari. Masa oviposisi tersebut lebih singkat dibandingkan dengan masa oviposisi N. longispinosus yang dibiakkan pada tungau merah jeruk P. citri (Puspitarini 2005) dan Eotetranychus cendanai (Thongtab et al. 2001). Namun, keperidian yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001). Keperidian N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 32.78 butir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur yang diletakkan per hari adalah 3.39 butir. Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan penelitian N. longispinosus yang dilakukan oleh Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008). Jumlah telur rata-rata N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai memiliki nilai yang hampir sama dengan N. longispinosus yang dibiakkan pada T. urticae yaitu 3.36 butir (Kongchuensin et al. 1989 dalam Thongtab et al. 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa T. kanzawai merupakan mangsa yang sesuai bagi perkembangan N. longsipinosus. Lama hidup tungau jantan lebih lama dibandingkan lama hidup tungau betina. Tungau jantan memiliki lama hidup yaitu 22.28 hari sedangkan lama hidup tungau betina hanya berkisar 16.78 hari. Nisbah kelamin N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 1:2.13. Penelitian Escudero & Ferragut (2005) menunjukkan nisbah kelamin 1:2 untuk P. persimilis yang diberikan mangsa T. urticae, T. turkestani, dan T. ludeni.
Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian Sintasan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup dari suatu populasi dalam bentuk persen.
Sintasan tungau predator N. longispinosus
dari
pengamatan harian ditunjukkan pada Gambar 9. Kurva sintasan tungau predator N. longispinosus memperlihatkan bahwa mortalitas mulai terjadi pada saat tungau predator N. longispinosus berumur 2 hari. Penurunan sintasan terus terjadi sampai semua tungau predator betina mati yang terjadi pada saat tungau predator berumur 32 hari. Kurva sintasan tungau predator N. longispinosus termasuk dalam kurva sintasan tipe I (Tarumingkeng 1992). Kurva sintasan tipe I menunjukkan bahwa tingkat kematian tungau predator N. longispinosus
yang tinggi dialami saat
tungau predator N. longispinosus berumur tua. Penelitian Puspitarini (2005) juga menunjukkan kurva sintasan tipe 1 untuk N. longispinosus yang diberikan mangsa P. citri. Namun tingkat mortalitas pada N. longispinosus yang diberikan mangsa P. citri terjadi pada umur 4 hari dan lama hidup yang lebih singkat yaitu 27 hari (Puspitarini 2005).
Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh mangsa yang
1.20 Lx mx
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
3
6
9
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
12 15 18 21 24 27 30 33
Rata-rata jumlah telur harian (mx)
Proporsi betina hidup (lx)
diberikan pada N. longispinosus.
Umur (hari)
Gambar 10 Kurva sintasan (lx) dan rata-rata jumlah telur harian (mx) tungau predator N. longispinosus Selain informasi sintasan tungau predator N. longispinosus, gambar 9 juga menunjukkan informasi tentang rata-rata produksi telur per hari yang diletakkan oleh individu betina yang hidup pada umur tertentu (mx).
Kurva mx
memperlihatkan bahwa tungau predator N. longispinosus mulai mengalami oviposisi saat berumur 3 hari. Penelitian Thongtab et al. (2001) juga menyatakan masa oviposisi N. longispinosus yang diberikan E. cendanai yaitu 3.57 hari. Produksi telur meningkat pada awal umur predator dan menurun seiring pertambahan umur predator. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau predator betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4 butir. Gambar 9 juga memberikan informasi tentang masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi.
Masa praoviposisi relatif singkat yaitu 1.55 hari.
N.longispinosus memasuki stadia dewasa saat hari ke-3.
Pada saat tungau
predator betina N. longispinosus berumur 4 hari mulai terlihat peningkatan produksi telur sehingga ini merupakan awal masa oviposisi N. longispinosus. Masa oviposisi berlangsung selama 21 hari, berawal saat N. longispinosus
berumur 4 hari hingga berumur 24 hari. Rata-rata jumlah telur harian tertinggi terjadi pada tungau predator N. longispinosus berumur 6 hari. Oleh karena itu, puncak mx terjadi pada tungau predator betina N. longispinosus umur 6 hari. Kurva mx mengalami fluktuasi setelah tungau predator N. longispinosus berumur 6 hari.
Pada saat berumur 24 hari, N. longispinosus mulai memasuki masa
pascaoviposisi. Masa pascaoviposisi terjadi saat tungau predator N. longispinosus berumur 25 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa N. longispinosus memiliki potensi relatif besar sebagai agen pengendali tungau Tetranychidae karena peletakkan telur terjadi pada awal sehingga cukup menguntungkan dari segi pengendalian tungau Tetranychidae.
Preferensi Stadia Mangsa Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa (telur, nimfa, dan imago T. kanzawai) berkaitan dengan perilaku pencarian dan pengenalan mangsa oleh predator. Perilaku N. longispinosus tersebut didukung oleh suatu stimuli dari mangsa. Stimuli tersebut dapat berupa gerakan atau tanda yang ditinggalkan oleh mangsa.
Keberadaan stimuli yang cukup tinggi dapat meningkatkan peluang
predator untuk menemukan mangsa (Dickens 1999). Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan perilaku pemangsaan yang tinggi.
Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi
perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa (Gullan & Cranston 1994). Preferensi keberadaan imago N. longispinosus pada arena percobaan selama 3 jam ditunjukkan pada gambar 11.
Sebagian besar imago N.
longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T. kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur. Bahkan mangsa dalam stadia imago tidak dikunjungi oleh N. longispinosus pada waktu pengamatan ke-2, 3, dan 6.
Jenis, stadia dan ukuran tubuh mangsa yang bervariasi memiliki
pengaruh terhadap preferensi predator (Yang & Li 2002). Semakin besar instar nimfa mangsa maka semakin kecil preferensi terhadap mangsa.
Penyebab
penurunan preferensi predator tersebut mungkin dikarenakan bentuk dan ukuran tubuh mangsa. Semakin besar bentuk dan ukuran maka semakin sulit predator
untuk memangsa.
Mekanisme pertahanan mangsa dalam bentuk karakteristik
mangsa merupakan bagian dari proses interaksi predator dan mangsa (Holling 1961). Jumlah imago N. longispinosus
10 9 8
Telur
7
Nimfa
6
Imago
5 4 3 2 1 0 1
2
3
4
5
6
Waktu pengamatan (per 30 menit)
Gambar 11 Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam Tanggap Fungsional Hasil analisis regresi logistik predasi N. longispinosus pada mangsa telur Tetranychus kanzawai diperlihatkan pada tabel 4. Hubungan kepadatan mangsa dan tingkat predasi memperlihatkan tanggap fungsional tipe III. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis regresi logistik.
Tanggap fungsional tipe III
ditunjukkan oleh koefisien linear yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya proporsi mangsa yang dipredasi meningkat kemudian menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan mangsa (Sabelis 1985). Tabel 4
Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa T. kanzawai yang dimangsa N. longispinosus Nilai Penduga
Standar Error
Pa
Titik potong
-6.0075
430.0
0.9889
Linear
2.0273
129.0
0.9875
Kuadratik
-0.1347
8.5996
0.9875
Parameter
a
P=probability
Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe tanggap fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama (Hassel 1976; Hassel 1978). Fernandez & Corley (2003) menambahkan bahwa predator atau parasitoid yang memiliki tanggap fungsional tipe III berpotensi sebagai agen biokontrol yang efisien. Tipe tanggap fungsional ditentukan oleh perilaku memburu dan menangani mangsa. Laju pencarian mangsa akan meningkat pada kepadatan mangsa yang tinggi hingga mencapai kejenuhan.
Penambahan populasi mangsa akan
menurunkan laju pencarian predator. Laju pemangsaan diduga berkaitan dengan waktu penanganan mangsa (mengenal dan memburu) dimana preferensi predator akan menentukan laju pencarian mangsa (Tarumingkeng 1992). Waktu penanganan mangsa (Th) merupakan salah satu karakter penting dalam interaksi mangsa-predator.
Waktu penanganan ini meliputi mengenal,
memburu dan menangani mangsa. Kepadatan populasi mangsa sangat berkaitan dengan waktu penanganan mangsa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5. Kepadatan populasi mangsa yang rendah membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kepadatan mangsa sebanyak 5 butir telur membutuhkan waktu yang paling lama yaitu 4.06 jam. Sebaliknya pada kepadatan populasi mangsa yang tinggi, predator membutuhkan waktu yang relatif pendek. Waktu penanganan mangsa paling pendek yaitu 1.21 jam ditunjukkan pada kepadatan mangsa 40 butir telur. Lama waktu penanganan mangsa berhubungan dengan kepadatan mangsa. Ketika kepadatan populasi mangsa rendah maka predator membutuhkan waktu yang relatif panjang.
Namun pada kepadatan populasi mangsa yang tinggi,
predator membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk memangsa satu individu. Perolehan kumulatif waktu pemangsaan diasumsikan dengan jumlah pemangsaan maksimum predator yaitu dengan menghitung 1/Th (Tarumingkeng 1992). Rataan jumlah telur mangsa yang dikonsumsi predator pada kepadatan mangsa yang berbeda dapat dilihat pada tabel 5. Tingkat pemangsaan predator akan meningkat dengan peningkatan kepadatan mangsa. Tingkat pemangsaan terendah yaitu 4.4 butir telur terjadi pada saat kepadatan mangsa hanya 5 butir telur mangsa.
Tingkat pemangsaan tertinggi yaitu 17.4 butir diraih pada saat
kepadatan mangsa berjumlah 40 butir telur.
Tabel 5 Estimasi masa penanganan dan rataan jumlah mangsa yang dimangsa N.longispinosus
5
Rataan jumlah mangsa yang dimangsa (x)a 4.4 a
Waktu penanganan mangsa/Th (jam) 4.06
10
8.7 a
2.06
20
14.9 b
1.26
40
17.4 b
1.21
80
17.1 b
1.32
Rataan
12.5
1.98
Kepadatan mangsa (butir)
a
Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)
Kurva tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus yang diberi mangsa tungau hama T. kanzawai ditunjukkan pada gambar 12.
Tingkat
pemangsaan predator akan meningkat seiring dengan penambahan kepadatan mangsa. Namun, pada kepadatan mangsa 40-80 butir mengalami kejenuhan yang mungkin disebabkan karena faktor kekenyangan sehingga kurva datar pada kepadatan 40-80 butir.
pr edasi 30
20
10
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
kepadat an
Gambar 12 Kurva tanggap fungsional Proporsi pemangsaan cenderung menurun seiring dengan peningkatan mangsa (Gambar 13). Hal ini mungkin terjadi karena faktor kekenyangan pada arena dengan kepadatan mangsa yang tinggi.
Proporsi telur yang dimangsa (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Kepadatan mangsa (butir)
Gambar 13
Proporsi pemangsaan pada tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus (%)
Tanggap Numerik Tanggap numerik menggambarkan respon populasi predator terhadap perubahan populasi mangsa. Jika predator memiliki tanggap numerik yang besar berarti predator mampu merespon perubahan populasi mangsa dengan cepat. Dengan kata lain, tanggap numerik menentukan peningkatan populasi predator sebagai akibat dari konsumsi mangsa (Hayes 1988). Perubahan populasi predator dapat terjadi melalui: (1) peningkatan reproduksi dan survival predator serta (2) agregasi predator dalam suatu tempat dimana mangsa berkumpul. Tanggap numerik memiliki 3 model yaitu: (1) respons langsung, dimana populasi predator akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah mangsa; (2) tidak ada respons, tidak ada pertambahan jumlah predator ketika jumlah mangsa meningkat; dan (3) respons yang terbalik, terjadi bilamana jumlah predator menurun ketika jumlah mangsa meningkat. Tanggap numerik N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai pada Tabel 6. Pada dasarnya produksi telur predator akan meningkat seiring dengan peningkatan densitas mangsa. Saat predator diberikan mangsa sebanyak 20 butir terlihat peningkatan jumlah produksi telur yang cukup tinggi. densitas mangsa sebanyak 40 butir terjadi penurunan produksi.
Namun, pada Peningkatan
produksi terjadi lagi pada densitas mangsa 80 butir. Hamdan (2006) menyatakan
bahwa ketika sumber daya makanan berlimpah, maka oocytes berkembang dan waktu oviposisi lebih lama. Hal tersebut mendukung dalam penambahan suatu populasi makhluk hidup. Tabel 6 Rataan predasi, produksi telur predator dan ratio predator: mangsa Kepadatan mangsa (butir) 5
Predasi (x)a
a
4.4 a
Telur predator (x)a 0.3 a
Ratio predator:mangsa 0.068:1
10
8.7 a
1.2 ab
0.138:1
20
14.9 b
1.9 b
0.128:1
40
17.4 b
1.8 b
0.103:1
80
17.1 b
2
0.117:1
b
Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)
Hubungan antara rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa yang berbeda terdapat pada gambar 14. Hubungan antara produksi telur predator dan kepadatan mangsa bersifat bertautan.
Semakin tinggi kepadatan mangsa
terdapat kecenderungan peningkatan produksi telur predator.
Jumlah telur
predator terendah ditemui pada kepadatan mangsa 5 butir yaitu 0.3 butir telur predator. Sedangkan kepadatan mangsa 80 butir memiliki produksi telur predator yang paling tinggi yaitu 2 butir. Pada kepadatan mangsa yang rendah (kurang dari 5 butir telur), tungau predator tidak meletakkan telur. Penelitian Hayes (1988) pada tungau predator Typhlodromus pyri juga menunjukkan hal yang sama. Hal ini menyatakan bahwa terdapat ambang batas konsumsi untuk memproduksi telur.
Hayes (1988)
menambahkan nutrisi harian yang berada pada ambang batas akan digunakan hanya untuk pemeliharaan metabolisme. Ketika mangsa berada di bawah ambang batas maka laju perkembangan bernilai 0 karena tidak tersedia energi untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Rataan telur predator (butir)
2.5 2 1.5
R² = 0.795
1 0.5 0 0
20
40
60
80
100
Kepadatan mangsa (butir)
Gambar 14 Laju rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa yang berbeda
Kemampuan Individu Imago Betina Tungau Predator N. longispinosus Menekan Populasi Tungau Hama T. kanzawai
Grafik populasi tungau hama T. kanzawai yang disertai satu imago betina tungau predator N. longispinosus selama 3 hari berturut-turut diperlihatkan pada Gambar 15.
Keberadaaan predator merupakan suatu faktor pembatas bagi
pertumbuhan populasi tungau hama T. kanzawai. Hal ini dapat dilihat pada gambar 15. Mulanya populasi tungau hama T. kanzawai meningkat kemudian pada hari ke-4 populasi mulai mengalami penurunan. Bahkan pada perlakuan kepadatan mangsa 4 ekor, populasi tungau hama T. kanzawai hampir mendekati nilai 0 pada hari ke-3. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa keberadaan predator dapat menekan pertumbuhan populasi tungau hama T. kanzawai. Pertumbuhan populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator bersifat linear (Gambar 16). Populasi tungau hama T. kanzawai akan terus meningkat secara linear tanpa ada faktor pembatas dalam pertumbuhan tersebut.
700
Jumlah tungau
600 500 400
4
300
8
200
16 32
100 0 1
2
3
Hari
Gambar 15 Populasi tungau hama T. kanzawai dengan predator 700
Jumlah tungau
600 500 400
4
300
8
200
16 32
100 0 1
2
3
Hari
Gambar 16 Populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator
Jumlah predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir pengamatan pada Tabel 7. Jumlah predator antar kepadatan mangsa yang berbeda tidak berbeda nyata kecuali kontrol. Jumlah predator terbanyak adalah 11 ekor predator, ditemui pada perlakuan dengan kepadatan mangsa 8 ekor. Sementara itu, mangsa yang tersisa memiliki korelasi positif dengan kepadatan mangsa.
Semakin tinggi kepadatan mangsa maka
jumlah mangsa yang tersisa semakin banyak. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kepadatan 4 dan 8 ekor mangsa tidak berbeda nyata untuk mangsa yang tersisa pada akhir pengamatan. Perbedaan nyata mangsa yang tersisa dapat dilihat pada perlakuan kepadatan mangsa 4 ekor dengan perlakuan kepadatan 16 dan 32 ekor mangsa. Kemampuan individu predator N. longispinosus menekan populasi tungau hama T. kanzawai selama 3 hari belum menunjukkan hasil yang begitu memuaskan karena jumlah mangsa yang tersisa masih cukup banyak bila dilihat pada tabel 7.
Namun, keberadaan predator N.
longispinosus mampu menekan populasi tungau hama bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa predator) pada gambar 15 dan 16. Waktu perlakuan menjadi komponen penting untuk menunjukkan penurunan mangsa karena keberadaan predator. Implikasinya di lapangan dibutuhkan waktu lebih dari 3 hari untuk menunjukkan hasil penurunan mangsa karena pelepasan predator.
Tabel 7 Predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir pengamatan di laboratorium Predator: Mangsa
Jumlah predator (x)a
Jumlah mangsa (x)a
1:4
9.20a
20.00a
1:8
11.20a
94.20a
1:16
9.80a
255.00b
1:32
8.80a
430.60b
Kontrol
0b
a Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)
Jumlah kumulatif stadia predator pada hari terakhir pengamatan juga dihitung (Tabel 8).
Pada hari terakhir pengamatan, stadia telur
merupakan stadia yang banyak ditemukan. Stadia nimfa merupakan stadia paling sedikit yang ditemukan. Hal tersebut diduga berkaitan dengan waktu perlakuan yang sebentar sehingga tidak dapat mengamati perkembangan predator. Semua perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
Tabel 8
Jumlah kumulatif stadia predator yang ditemukan pada hari terakhir pengamatan xa
Mangsa
a
Telur
Larva
Nimfa
Imago
4
7.00a
1.20a
0a
1.00a
8
7.60a
2.60a
0a
1.00a
16
5.40a
2.00a
1.40a
1.00a
32
4.80a
1.40a
1.60a
1.00a
Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)
PEMBAHASAN UMUM
Hasil percobaan neraca hayati menunjukkan bahwa parameter demografi N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai memiliki nilai yang relatif baik untuk pengembangan predator sebagai agen biokontrol T. kanzawai. Analisis neraca hayati mendapatkan laju pertambahan intrinsik (rm) adalah 0.44, waktu generasi (T) 4.05 hari, laju pertumbuhan terbatas (λ) 1.55, Doubling time (DT) 1.59 dan Ro 24.96 individu. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa N. longispinosus merupakan agen biokontrol tungau hama T. kanzawai yang cukup menjanjikan. Siklus hidup dan perkembangan N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai juga menunjukkan waktu perkembangan yang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan yang diberikan mangsa Panonychus citri dan Eotetranychus cendanai (Puspitarini 2005; Thongtab et al. 2001). Keperidian dan tipe sintasan N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai juga tidak berbeda dengan penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001). N. longispinosus merupakan tungau predator tipe 2 yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat memakan polen (Gerson, Smiley & Ochoa 2003; Zhang 2003). Walaupun N. longispinosus juga dapat memangsa tungau famili lain seperti Tarsonemidae dan Tenuipalpidae (Zhang 2003; Kongchuensin et al. 2005). Preferensi mangsa juga dipengaruhi oleh ukuran dan stadia mangsa.
Semakin besar ukuran tubuh mangsa maka
penanganannya membutuhkan waktu yang lama dan energi yang besar. Hasil percobaan preferensi mangsa menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki preferensi yang tinggi pada telur T. kanzawai. Telur merupakan stadia mangsa yang diam sehingga mudah untuk ditangani oleh predator. Oleh karena itu, hasil preferensi mangsa menjadi acuan untuk melakukan percobaan tanggap fungsional. Telur digunakan sebagai mangsa dalam percobaan tanggap fungsional untuk mengetahui hubungan antara tingkat predasi dengan tingkat kepadatan mangsa. Analisis data memperlihatkan bahwa N. longispinosus memiliki tanggap fungsional tipe III. Kurva sigmoid (tanggap fungsional tipe III) memiliki potensi kestabilan dalam menangani mangsa karena bersifat bertautan kepadatan secara langsung pada kepadatan rendah sehingga mampu menekan
populasi mangsa (Taylor 1984; McCallum 2000).
Tarumingkeng (1992)
menambahkan bahwa tanggap fungsional tipe III memiliki perilaku switching response.
Switching response merupakan peralihan respons predator untuk
memangsa beberapa spesies hama ketika hama utama tidak ada di lingkungan. Percobaan tanggap fungsional N. longispinosus yang diberikan mangsa P. citri juga menunjukkan tanggap fungsional tipe III (Puspitarini 2005). Salah satu aspek penting dalam dinamika populasi predator-mangsa adalah tanggap numerik. Tarumingkeng (1992) menyatakan bahwa tanggap numerik merupakan predasi yang menyebabkan perubahan dalam kepadatan predator pada suatu luasan pemangsaan tertentu. Tanggap numerik memiliki 3 bentuk respons yaitu (1) respons langsung; (2) tak terjadi respons; dan (3) respons terbalik. N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai memiliki bentuk tanggap numerik yang bersifat respons langsung, yaitu populasi predator akan meningkat seiring dengan penambahan kepadatan mangsa. Kemampuan predator menekan populasi mangsa dipengaruhi oleh beberapa hal seperti: jumlah predator awal, jumlah mangsa awal, waktu pengendalian yang dibutuhkan, stadia dan umur predator yang digunakan. Percobaan kemampuan individu predator menekan populasi mangsa yang berbeda selama 3 hari menunjukkan bahwa jumlah predator yang digunakan memiliki korelasi positif dengan waktu yang diinginkan untuk pengendalian.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Tungau predator N. longispinosus memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk mengendalikan tungau hama T. kanzawai. Siklus hidup, perkembangan, fekunditas, dan neraca hayati yang dihasilkan dari N. longispinosus yang dibiakkan pada mangsa T. kanzawai memiliki nilai yang relatif tinggi dan waktu yang lebih cepat.
N. longispinosus memiliki preferensi mangsa T. kanzawai
berupa telur. N. longispinosus menunjukkan tipe III tanggap fungsional. Model tanggap numerik N. longispinosus berupa model yang berespons langsung, dimana peningkatan mangsa akan meningkatkan produksi telur N. longispinosus. Kemampuan individu imago betina N. longispinosus menekan populasi tungau hama T. kanzawai dipengaruhi oleh jumlah kepadatan mangsa awal dan waktu.
Saran Penelitian ini masih dilakukan dalam skala laboratorium sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bellows TS, Van Driesche RG. 1992. Construction and analisys of field tables in the evolution of natural enemies. J Annu Rev Entomol 37: 587-614.
Boom CEM, Beek TA, Dicke M. 2002. Attraction of Phytoseiulus persimillis (Acari: Phytoseiidae) towards volatiles from various Tetranychus urticaeinfested plant spesies. Bulletin of Entomological Research 92: 539-546. Cakmak I, Baspinar H, Madanlar N. 2005. Control of carmine spider mite Tetranychus cinnabarinus Boisduval by the predatory mite Phytoseiulus persimilis (Athias-Henriot) in protected strawberry in Aydin, Turkey. Turk J Agric For (29): 259-265 [jurnal online]. http://journals.tubitak.gov.tr/agriculture/issues/tar-05-29-4/tar-29-4-5-04058.pdf [9 April 2009] Driesche RGV, Bellows JTS. 1996. Biological Control. New York: Chapman & Hall. Ehara S. 2002. Phytoseiid mites (Acari: Phytoseiidae) from with description of a new species Sumatra. Acta Arachnologica 51(2): 125-133 Escudero LA & Ferragut F. 2005. Life-history of predatory mites Neoseiulus californicus and Phytoseiulus persimilis (Acari: Phytoseiidae) on four spider mite species as prey, with special reference to Tetranychus evansi (Acari: Tetranychidae). Biological Control 32: 378-384. Evans GO. 1952. A new typhlodromid mite predaceous on Tetranychus bimaculatus Harvey in Indonesia. Annals and Magazine of Natural History 5: 413-416. Hassell M. 2000. The dynamics of arthropod predator-prey systems. Princenton University Press, Princenton, New Jersey, USA. Gerson U, Smiley RL, Ochoa R. 2003. Mites (Acari) for Pest Control. Oxford: Blackwell Science. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Kasap I. 2005. Life history traits of the predaceous mite Kampimodromus aberrans (Oudemans) (Acarina: Phytoseiidae) on four different types of food. Biological control 35: 40-45. Kongchuensin M, Charanasri V, Takafuji A. 2005. Geographic distribution of Neoseiulus longispinosus (Evans) and its habitat plants in Thailand. J. Acarol. Soc. Jpn 14 (1): 1-11. Kongchuensin M, Charanasri V, Takafuji A. 2006. Suitable host plant and optimum initial ratios of predator and prey for mass rearing the predatory mite Neoseiulus longispinosus (Evans). J. Acarol. Soc. Jpn 15 (2): 145-150 Lincoln RJ, Boxshall GA, Clark PF. 1982, A Dictionary of Ecology, Evolution and Systematicts. Cambridge: Cambridge University Press.
Luz DL. 2003. Integrated pest and disease on outdoor and indoor strawberries in Ireland. Dublin: Teagasc. [http://ronaldo.cs.tcd.ie/tmp/monitoringpublicationrgb.pdf] [7 April 2009] Nachappa P. 2008. Ecological consequences of genetic variation in foraging behaviours of predatory mite [disertasi]. Manhattan: Kansas State University. Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 210 hal. Opit GP, Jonas VM, Williams, Margolies DC, Nechols JR. 2002. Effects of cultivar and irrigation management on population growth of the twospotted spider mite Tetranychus urticae on greenhouse ivy geranium. Experimental and Applied Acarology 25: 849–857 th
Price PW. 1997. Insect Ecology. 3 ed. New York: John Wiley & Sons, Inc. Puspitarini RD. 2005. Biologi dan ekologi tungau merah jeruk, Panonychus citri (McGregor) (Acari: Tetranychidae) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Raza ABM. 2008. Biodiversity of Amblyseius Berlese and Neoseiulus Hughes (Acarina: Phytoseiidae) of Punjab Pakistan [tesis]. Faisalabad: Department of Agri. Entomology, Faculty of Agriculture, University of Agriculture, Faisalabad, Pakistan. Rauf A, Hidayat P. 1987. Statistik demografi kutu loncat lamtoro Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera: Psyllidae). Jakarta: Kongres Entomologi III, 30 September-2 Oktober 1987. Sharov, A. 1996. Functional and numerical response. Dalam : Hidrayani. 2003 Hemiptarsenus varicornis (Girault) (Hymenoptera: Eulophidae), Parasitoid Liriomyza huidobensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae): Biologi dan Tanggap Fungsional, serta Pengaruh Jenis Tumbuhan Inang dan Aplikasi Insektisida. Disertasi PPS-IPB. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects: Concepts and Applications. Oxford: Blackwell Science Tarumingkeng RC. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Taylor RJ. 1984. Predation. New York: Chapman and Hall Thongtab T, Chandrapatya A, Baker GT. 2001. Biology and efficacy of the predatory mite, Amblyseius longispinosus (Evans) (Acari, Phytoseiidae) as a biological control agent of Eotetranychus cendanai Rimando (Acari, Tetranychidae). J.Appl.Ent 125: 543-549. Vantornhout I. 2006. Biology and ecology of the predatory mite Iphiseius degerans (Berlese) (Acari: Phytoseiidae) [tesis]. Ghent: Ghent University Vasconcelos GJND, Moraes GJD, Junior ID, Knapp M. 2008. Life history of the predatory mite Phytoseiulus fragariae on Tetranychus evansi and Tetranychus
urticae (Acari: Phytoseiidae, Tetranychidae) at five temperatures. Exp. Appl. Acarol. 44: 27-36. Walter D, Proctor H. 1999. Mites : Ekology, Evolution and Behavior. New York: CABI Wang B & D. Ferro. 1998. Functional reponse of Trichogramma ostriniae (Hymenoptera: Trichogrammatidae) to Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Pyralidae) under laboratory and field conditions. Environ. Entomo. 27(3): 752-758. Watson J. 2008. New building, old parasite: Mesostigmatid mites an ever present threat to barrier rodent facilities. ILAR Journal 49 (3): 303-309 Yulianah N. 2008. Tungau pada tanaman stroberi [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zhang ZQ. 2003. Mites of Greenhouses: Identification, Biology and Control. Cambridge: CABI Publishing.