Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(2): 112-121
Bio-psychosocial Determinants of Quality of Life in the Elderly Roh Hastuti Prasetyaningsih1), Dono Indarto 2), Muhammad Akhyar 3) 1) School
of Health Polytechnics, Poltekkes Surakarta, Indonesia of Medicine, Sebelas Maret university, Surakarta 3)Faculty of Teaching and Educational Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta 2) Faculty
ABSTRACT Background: The quality of life of elderly people has become relevant with the demographic shift that has resulted in greying of population. In Indonesia the number of old people has been increasing rapidly. Despite longer life span, this situation poses quality of life concern. It is then of interest to study determinants of quality of life in the elderly, so that necessary measures can be taken to improve the quality of life in the elderly. This study aimed to examined bio-psichosocial factors associated with the quality of life in the elderly. Subjects and Method: This was an analytic observational study using case control design. This study was conducted in Laweyan and Banjarsari, Surakarta. A total of 141 elderly consisting of 47 elderly who lived in the nursing home and 94 elderly who lived at their own home, were selected for this study, by fixed exposure sampling. The independent variables were age, education, income, family support, residential status, and depression. The dependent variables was quality of life. The data were collected with a set of questionnaire and analyzed using path analysis model. Results: As many as 40.4% of the elderly studied had good quality of life. Higher income (b = 0.93; 95%CI = 0.06 to 1.86; p = 0.048) and education (b=0.82; 95%CI= -0.01 to 1.66; p= 0.053) is associated with better quality of life. Depression (b =-1.01; 95%CI =-1.78 to -0.23; p = 0.010) and age ≥ 60 years old (b=-0.47; 95% CI= -1.28 to 0.33; p= 0.249). Living at own home decreased depression, higher education increased income, family support increased living at home. Conclusion: Income and education increase the quality of life. Depression and older age decrease the quality of life. Key words: bio-psychosocial, quality of life, elderly Correspondence : Roh hastuti Prasetyaningsih School of Health Polytechnics, Poltekkes Surakarta, Indonesia
LATAR BELAKANG Penuaan manusia merupakan proses perubahan secara alamiah yang ditandai dengan menurunnya fungsi secara progresif dalam sistem organ (Naumova et al., 2013). Individu dengan umur panjang memiliki siklus kehidupan menuju tua yang diawali dengan proses kelahiran, tumbuh menjadi dewasa, berkembang biak, selanjutnya menjadi tua dan akhirnya akan meninggal. Lanjut usia
112
(lansia) adalah tahap akhir dari fase kehidupan manusia (Padila, 2013). Suardiman dan Partini (2011), menyatakan bahwa lansia merupakan periode dimana individu telah mencapai usia emas karena tidak semua individu dapat mencapai usia tersebut. Pertumbuhan penduduk lansia diprediksi akan meningkat cepat di masa yang akan datang. Setengah jumlah lansia di dunia (400 juta jiwa) berada di Asia dan pertumbuhan lansia di negara
Prasetyaningsih et al./ Bio-psychosocial Determinants of Quality of Life in the Elderly
berkembang lebih tinggi daripada negara maju (PBB, 2015). Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 20,24 juta jiwa atau setara dengan 8.03% dari seluruh penduduk Indonesia. Penduduk lansia di Indonesia tahun 2020 diproyeksikan mencapai 11,44% atau sekitar 28.8 juta jiwa (Kemenkes RI, 2013). Persentase penduduk lansia tertinggi di Indonesia berada di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu 14.04% diikuti dengan provinsi Jawa Tengah (11.16%) dan Jawa Timur (11.14%) (BPS Nasional, 2015). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta pada tahun 2014 jumlah lansia di Kota Surakarta yaitu 50.747 jiwa dari 510.077 penduduk atau mencapai 9.95%. Jumlah lansia yang terus meningkat pada struktur penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian pembangunan manusia secara global dan nasional. Peningkatan jumlah populasi lansia berdampak pada peningkatan Usia Harapan Hidup atau UHH (Kemenkes RI, 2013). Proyeksi UHH penduduk Indonesia sedikit lebih tinggi dari UHH dunia. Tahun 2010-2015 UHH penduduk Indonesia diprediksi mencapai usia 71.6 tahun sedangkan rerata UHH dunia diprediksi 70.5 tahun (PBB, 2015). UHH di Kota Surakarta tertinggi di Jawa Tengah dengan usia 72.75 tahun dan melampaui UHH ratarata provinsi Jawa Tengah yaitu 71.71 tahun (BPS Kota Surakarta, 2014). Proses penuaan terjadi karena interaksi antara aspek biologis, psikologis, maupun sosial. Secara biologis, lansia akan mengalami penurunan derajat kesehatan baik secara alamiah maupun akibat penyakit. Dengan bertambahnya usia, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pa-
da usia lanjut. Masalah degeneratif menurunkan daya tahan tubuh sehingga lansia mudah terkena penyakit infeksi (Henderson et al., 2006). Risiko penyakit kronis yang sering diderita lansia adalah hipertensi, diabetes melitus, arthritis, stroke, penyakit paru, penyakit jantung, kanker dan ginjal (Dewi, 2015). Dampak dari berbagai penyakit tersebut akan mengakibatkan lansia mengalami gangguan untuk melakukan Activities of Daily Living (ADL), sehingga lansia membutuhkan bantuan untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Adanya penyakit kronis pada lansia dapat menurunkan kualitas hidup khususnya dimensi kesehatan fisik (Stanley dan Beare, 2012). Selain berdampak pada kemandirian ADL, penyakit kronis merupakan stressor bagi lansia yang memerlukan suatu coping mechanism. Coping mechanism merupakan cara yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaikan masalah. Untuk mampu beradaptasi tiap individu akan berespon terhadap kebutuhan fisiologis, konsep diri yang positif, serta mampu memelihara integritas diri. Cara lansia mengatasi keluhan terhadap masalah kesehatan bersifat individual sehingga setiap lansia memiliki cara masing-masing (Suparyanto, 2013). Keadaan psikologis lansia seperti mudah marah, mudah tersinggung, kesepian, perasaan tidak berguna, cemas dan depresi ini sangat membutuhkan dukungan keluarga (Sari, 2013). Perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat mempengaruhi kondisi sosial dan psikologinya. Hal ini tentunya sesuai dengan konsep sehat WHO tahun 1948 yang mendefinisikan sehat sebagai keadaan sejahtera meliputi fisik, mental, sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau cacat secara fisik tetapi mampu merasa sejahtera, bahagia dalam kehidupan sehingga mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari. 113
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(2): 112-121
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial lansia, antara lain kehilangan pekerjaan, perubahan peran dan tugas, gangguan interaksi sosial (cenderung menarik diri dan menyendiri), kehilangan pasangan, perubahan sistem keluarga (Papalia et al., 2009). Perubahan peran dan pekerjaan menyebabkan kehilangan finansial yang akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Fenomena saat ini adalah kesempatan kerja makin sempit sehingga penghasilan minim dan membuat hidup lansia dibawah garis kemiskinan. Mahalnya tanah dan perumahan menyebabkan keluarga tinggal di rumah kecil, bahkan anak-anak tidak mampu menampung lansianya, sehingga lansia tidak mempunyai tempat tinggal. Keterlibatan pemerintah yang dirasakan oleh lansia yang benar-benar tidak mampu dan tidak punya tempat tinggal adalah dengan menampung lansia di panti werdha yang dibangun dengan standar kualitas hidup yang layak. Rasio ketergantungan penduduk di Kota Surakarta sebesar 41% yang artinya setiap 100 keluarga penduduk usia produktif mempunyai tanggungan sebanyak 41 keluarga yang belum produktif. Rasio ketergantungan penduduk lansia adalah 10%. Penyebabnya adalah penduduk di Kota Surakarta adalan pensiunan (16.46%) (BPS Kota Surakarta, 2014). Jumlah penduduk lansia di negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan perhatian dalam pelaksanaan pembangunan pemberdayaan lansia agar lansia dipandang sebagai sumber daya. Perhatian pemerintah bagi lansia di Indonesia masih sangat kurang dalam mengembangkan sistem yang menjamin kesejahteraan sosial yang mencakup kualitas hidup lansia. Dengan kualitas hidup yang baik, lansia diharapkan tetap sehat, produktif, dan mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan pemerintah serta tetap dapat 114
menjadi aset negara yang bermanfaat (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan determinan faktor biopsikososial dengan kualitas hidup lansia di Kota Surakarta. SUBJEK DAN METODE Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan case control. Penelitian dilakukan pada 18 November–7 Desember 2016 di Kecamatan Laweyan dan Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Subjek penelitian sebanyak 141 dipilih dengan fixed exposure sampling. Perbandingan kelompok kasus dan kontrol 1:2. Kelompok kasus adalah lansia yang tinggal di panti werdha (47 orang) dan kelompok kontrol adalah lansia yang tinggal di rumah (94 orang). Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan path analysis melalui program Stata 13. HASIL 1. Karakteristik subjek penelitian Tabel 1 menunjukkan jumlah subjek penelitian yang berusia >67 tahun lebih tinggi pada kelompok kasus (72.3%) daripada kelompok kontrol (53.2%). Variabel jenis kelamin lebih didominasi perempuan daripada laki-laki dan cenderung lebih tinggi di kelompok kontrol (70.2%) daripada kelompok kasus (68.1%). Sebagian besar subjek penelitian memiliki tingkat pendidikan dasar, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar berpendidikan tinggi. Pada kelompok kasus (78.7%) maupun kelompok kontrol (88.3%) cenderung menderita 2 penyakit kronis. Tingkat pendapatan subjek penelitian cenderung ≤Rp 1.800.000,00 baik pada kelompok kasus (97.9%) maupun kelompok kontrol (60.6%). Variabel du-
Prasetyaningsih et al./ Bio-psychosocial Determinants of Quality of Life in the Elderly
kungan keluarga menunjukkan adanya dukungan keluarga yang rendah, pada kelompok kasus (87.2%) menunjukkan per-
sentase yang lebih besar daripada kelompok kontrol (64.9%).
Tabel 1. Tabel karakteristik subjek penelitian No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Karakteristik Usia ≤ 66 tahun > 67 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Dasar Tinggi Penyakit kronis ≥2 <2 Tempat tinggal Panti Werdha Rumah Pendapatan ≤ Rp1.800.000 >Rp1.801.000 Dukungan keluarga Rendah Tinggi Interaksi sosial Buruk Baik Depresi Depresi Normal Coping Mechanism Buruk Baik Kemandirian ADL Tergantung Mandiri Kualitas Hidup Buruk Baik
Kasus n %
Kontrol n %
13 34
27.7% 72.3%
44 50
46,8% 53,2%
15 32
31,9% 68,1%
28 66
29,8% 70,2%
40 7
85,1% 14,9%
38 56
40,4% 59,6%
37 10
78,7% 21,3%
83 11
88,3% 11,7%
47 0
100% 0%
0 94
0% 100%
46 1
97,9% 2,1%
57 37
Mean
SD
Min-Max
66.48
4.06
60-82
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
853.19
127.24
0-4.000.000
71.65
10.82
45-91
60,6% 39,4%
41 6
87,2% 12,8%
61 33
64,9% 35,1%
1 46
2,1% 97,9%
55 39
58,5% 41,5%
19 28
40,4%
68
59,6%
26
72,3% 27,7%
17.83
24 23
51,1% 48,9%
39 55
41,5% 58,5%
5 42
10,6% 89,4%
1 93
1,1% 98,9%
47 0
100% 0%
56 38
59,6% 40,4%
Sebagian besar kelompok kasus berinteraksi sosial baik (97.9%), sedangkan sebagian besar kelompok kontrol berinte-
11-40
3.25
2.18
0-11
132.09
11.95
81-156
99.50
2.63
80-100
18.68
142.71
90-168
Sumber: Data primer, 2016. raksi sosial buruk. Sebagian kecil kelompok kasus mengalami depresi (40.4%) dan kelompok kontrol sebagian besar tidak meng115
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(2): 112-121
alami depresi (72.3%). Kelompok kasus memiliki coping mechanism buruk (51.1%) dan sebagian kelompok kontrol memiliki coping mechanism yang baik (58.5%). Pada kelompok kasus (89.4%) dan kontrol (98.9%) menunjukkan kemandirian ADL. Variabel kualitas hidup menunjukkan bahwa pada seluruh kelompok kasus dan sebagian kontrol (59.6%) cenderung memiliki kualitas hidup buruk. 2. Analisis Bivariat Variabel dalam penelitian yaitu penyakit kronis kronis, kemandirian ADL, pendapatan, tempat tinggal, interaksi sosial, dukungan keluarga, coping machanism dan depresi. Metode yang digunakan adalah uji Pearson. binomial
dukkel80
Tabel 2. Analisis bivariat Variabel Independen Penyakit kronis kronis Kemandirian ADL Pendapatan Tempat tinggal Interaksi sosial Dukungan keluarga Coping machanism Depresi
Nilai r -0.05 0.20 -0.05 0.52 -0.42 0.35 0.04 -0.36
p 0.521 0.018 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 0.628 < 0.001
Sumber: data primer diolah 2016 3. Analisis Jalur Hasil analisis jalur menunjukkan lansia yang berpendidikan tinggi memiliki logodd pendapatan 2.47 lebih tinggi daripada pendidikan rendah (b=2.47; CI 95% =1.63 hingga 3.30; p<0.001). binomial
1.3
tempatti
logit
.4
logit
-1.3
binomial
binomial
depresdi
pendidik
logit
logit
.39
-1 binomial
umur66
.83
binomial
-.47
logit
binomial
kual144
-.0078
logit
2.5
.93
incomedic
-1.9
logit
Gambar 1. Model struktural dengan estimasi Lansia yang bertempat tinggal di rumah memiliki logodd depresi 1.34 lebih rendah daripada yang bertempat tinggal di panti werdha (b=-1.34; CI 95%= -2.08 hingga -0.61; p= <0.001). Lansia yang memperoleh dukungan keluarga tinggi memiliki logodd 1.30 lebih tinggi daripada yang mendapatkan dukungan keluarga rendah (b=1.30; CI 95%=-0.35 hingga 2.26; p=0.007). Lansia yang depresi memiliki 116
logodd kualitas hidup lebih rendah 1.01 daripada lansia yang tidak depresi (b=-1.01; CI 95%=-1.78 hingga -0.23; p= 0.010). Lansia yang berpendidikan tinggi memiliki logodd kualitas hidup lebih tinggi 0.82 daripada lansia yang memiliki pendidikan rendah (b=0.82; CI 95%= -0.01 hingga 1.66; p=0.053). Lansia yang berusia lebih tua memiliki logodd kualitas hidup lebih rendah 0.47
Prasetyaningsih et al./ Bio-psychosocial Determinants of Quality of Life in the Elderly
daripada yang berumur lebih muda (b=0.47; CI 95%=-1.28 hingga 0.33; p=0.249). Lansia yang berpendapatan lebih tinggi memiliki logodd kualitas hidup tinggi 0.93 Tabel 3. Hasil analisis jalur
Koefisien jalur
Variabel Indirect effect Pendapatan ≥ Rp 1.800.000 Depresi Tempat tinggal rumah sendiri Direct effect Kualitas hidup
Log Likelihood = AIC = BIC =
daripada lansia yang tidak berpendapatan (b=0.93 ; CI 95%= 0.006 hingga 1,86; p= 0.048).
Pendidikan ≥ SMA
CI 95% Batas Batas bawah bawah
p
2.47
1.63
3.30
< 0.001
-1.34
-2.08
2.16
-0.61
1.30
0.35
2.26
0.007
Depresi Pendidikan ≥ SMA Usia ≥ 60 tahun Pendapatan ≥ Rp 1.800.000
-1.01 0.82 -0.47 0.93
-1.78 -0.01 -1.28 0.01
-0.23 1.66 0.33 1.86
0.010 0.053 0.249
-326.52 675.04 707.48
2.47 -1.34
Tempat tinggal rumah sendiri Dukungan keluarga kuat
0.048
Sumber: Data primer, 2016. PEMBAHASAN 1. Hubungan pendapatan dengan kualitas hidup lansia Berdasarkan hasil analisis jalur menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara langsung antara pendapatan dengan kualitas hidup lansia. Pendapatan berhubungan positif dan signifikan dengan kualitas hidup yang berarti bahwa apabila pendapatan mengalami peningkatan maka kualitas hidup juga akan mengalami peningkatan. Pendapatan merupakan jumlah dari penghasilan seseorang setiap bulannya. Pendapatan sebagai ukuran kemakmuran yang telah dicapai oleh seseorang sehingga merupakan faktor yang cukup dominan untuk mempengaruhi keputusan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan hidup.
Menurut Azis et al., (2010) sekitar 70% penduduk yang bekerja disektor informal tidak mempunyai penghasilan regular yang dapat diharapkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal tersebut berkorelasi dengan pendidikan yang rendah. Pendidikan yang rendah akan menghasilkan pendapatan yang rendah pula. Dengan pendapatan yang rendah maka akan terjadi kemiskinan yang akan berdampak pada suatu kondisi dimana derajat kesehatan dan kualitas perumahan yang rendah pula dan akhirnya akan berdampak pada kualitas hidup yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian Kosim et al., (2015) bahwa pendapatan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kualitas hidup. Dapat dijelaskan apabila pendapatan mengalami kenaikan, maka akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan yang pada akhirnya 117
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(2): 112-121
akan meningkatkan kualitas hidup. Hasil penelitian Farzianpour (2012) menegaskan bahwa pendidikan dan pendapatan merupakan faktor yang paling penting dari kualitas hidup. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan secara langsung antara pendapatan dengan kualitas hidup lansia. 2. Hubungan antara tempat tinggal dengan kualitas hidup lansia. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara tidak langsung antara tempat tinggal dengan kualitas hidup lansia melalui depresi. Hal tersebut berarti semakin baik tempat tinggal maka depresi menurun sehingga meningkatkan kualitas hidup lansia. Hal ini sejalan dengan penelitian Rohmah et al., (2012) yang menyatakan bahwa kualitas hidup lansia yang tinggal di panti werdha lebih rendah daripada lansia yang tinggal di rumah. Sebuah tempat tinggal biasanya berwujud bangunan rumah, tempat berteduh, atau struktur lainnya yang digunakan sebagai tempat manusia tinggal. Tempat tinggal memiliki arti yang sama dengan rumah, kediaman, akomodasi, perumahan, dan lain-lain. Kualitas hidup lansia dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana dia tinggal, sehingga perlu diketahui secara pasti sejauh mana perbedaan tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia (Putri et al., 2014). Permasalahan yang dialami lansia meliputi masalah psikis maupun fisik, pada kondisi fisik seperti terserang berbagai penyakit kronis dan kondisi psikis seperti stres, depresi, kesepian dan upaya bunuh diri. Kejadian ini mempengaruhi kualitas hidup lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Rohmah et al., (2012) menjelaskan bahwa sebagian besar lansia di Panti Werdha mengalami tingkat depresi sedang karena kurangnya aktivitas yang dilakukan oleh lansia selama di Panti Werdha. Depresi pa118
da usia lanjut akan mempunyai dampak yang cukup serius pada kehidupan sosial dan fisik dimana hal tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas hidup serta menyebabkan lanjut usia bergantung pada keluarga lain. Lingkungan tempat tinggal lansia dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan perekonomian yang memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan akan lingkungan yang layak dan memadai, di antaranya tersedianya tempat tinggal yang bersih dan sehat, ketersediaan informasi, transportasi dan keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan. Berbeda dengan lansia dipanti yang memiliki keterbatasan terhadap berbagai faktor yang dapat meningkatkan kualitas lingkungannya, baik dari segi informasi, transportasi, dan pengadaan lingkungan yang bersih dan sehat (Setyoadi dan Erna, 2010). Berdasarkan hasil penelitian Kosim et al., (2015), bahwa kondisi tempat tinggal mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kualitas hidup. Apabila kondisi tempat tinggal baik kualitasnya maka akan secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas hidup. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa apabila kondisi rumah dilihat dari fentilasi yang baik, sumber air minum yang bersih secara tidak langsung akan menciptakan suasana nyaman dan sehat yang pada akhirnya akan berimpikasi pada kualitas hidup. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tempat tinggal dengan kualitas hidup lansia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian di atas. 3. Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara tidak langsung antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup
Prasetyaningsih et al./ Bio-psychosocial Determinants of Quality of Life in the Elderly
lansia melalui tempat tinggal dan depresi. Semakin baik dukungan keluarga maka tempat tinggalnya semakin baik dan depresi semakin menurun sehingga meningkatkan kualitas hidup lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati et al., (2015) dan Soosova (2016) menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang tinggi memberikan dampak pada peningkatan kualitas hidup lansia. Dukungan keluarga merupakan dukungan yang diberikan keluarga kepada lansia, dimana dukungan ini sangat dibutuhkan lansia selama menjalani kehidupannya sehingga lansia merasa diperhatikan dan dihargai. Hal ini sejalan dengan teori Maryam (2008), bahwa keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Kualitas hidup yang dipengaruhi oleh aspek sosial dan lingkungan berkaitan erat dengan lingkungan tempat tinggal lansia. Lansia pada umumnya tinggal bersama dengan keluarga, namun tidak sedikit lansia yang tinggal di panti Werdha. Panti Werdha merupakan salah satu tempat menampung atau merawat lansia. Panti Werdha adalah salah satu bentuk pemerintah kepada masyarakat yang telah berusia lanjut. Dibanyak negara memasukkan lansia di panti jompo merupakan suatu gaya hidup, namun kita sebagai keluarga timur yang adat dan kebudayaannya masih kental, memelihara, menjaga dan merawat keluarga tua adalah suatu kewajiban. Berada dekat keluarga adalah tempat terbaik untuk menghabiskan masa tua. Panti Werdha harus dijadikan pilihan terakhir jika lansia tidak dapat merawat dirinya sendiri (Putri et al., 2014). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang secara tidak langsung antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia.
Dengan demikian hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian di atas. 4. Hubungan antara depresi dengan kualitas hidup lansia Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan secara langsung antara depresi dengan kualitas hidup. Semakin tinggi depresi maka akan menurunkan kualitas hidup. Menurut teori psikososial Erickson tahun 1968, lansia berada pada tahap integritas yang merupakan suatu keadaan di mana seseorang telah mencapai penyesuaian diri terhadap berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya (Setyoadi dan Erna, 2010). Perubahan psikologi yang terjadi pada lansia antara lain perubahan fungsi sosial, perubahan peran sesuai dengan tugas perkembangannya, perubahan tingkat depresi serta perubahan stabilitas emosi (Putri et al., 2014). Penelitian yang dilakukan Kasuma (2015) didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara tingkat depresi dan kualitas hidup lansia. Lansia dengan tingkat depresi ringan memiliki kualitas hidup yang baik sedangkan lansia dengan tingkat depresi berat memiliki kualitas hidup yang kurang baik. Dengan perkataan lain bahwa kualitas hidup yang baik dapat menurunkan tingkat depresi pada lansia. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Kathiravellu (2015) terdapat hubungan yang bermakna antara status depresi terhadap kualitas hidup lansia. Lansia yang tidak mengalami depresi memiliki kecendrungan untuk memiliki kualitas hidup baik lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan secara langsung antara depresi dengan kualitas hidup lansia. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian di atas. 119
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(2): 112-121
Dalam penelitian ini terdapat keterbatasan, yaitu kemungkinan terjadi bias informasi. Instrumen yang digunakan semuanya adalah kuesioner dan sebagian responden memerlukan pendamping dalam pengisian kuesioner sehingga informasi yang didapatkan tergantung dari jawaban yang diberikan oleh pendamping. Subjek penelitian yang digunakan sebagai kontrol yaitu hanya lansia yang tinggal di panti werdhadan terbatas jumlahnya, semantara masih ada lansia yang tinggal di bantaran sungai atau di lingkungan kumuh dengan jumlah lebih banyak yang dapat digunakan sebagai kelompok kasus. Depresi, pendidikan dan pendapatan mempunyai hubungan langsung dengan kualitas hidup lansia. Tempat tinggal dengan kualitas hidup lansia mempunyai hubungan tidak langsung melalui depresi. Dukungan keluarga berhubungan tidak langsung dengan kualitas hidup lansia melalui tempat tinggal dan depresi. DAFTAR PUSTAKA Azis IJ, Lydia MN, Arianto AP, Budy PR. (2010). Pembangunan berkelanjutan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Badan Pusat Statistik Nasional. (2015). Profil statistik kesehatan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik Kota Surakarta. (2014). Data Kependudukan. Surakarta: BPS Kota Surakarta. Dewi SR. (2015). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta: Deepublish. Farzianpour F, Mohammad A, Sayyed MH, Bakhtiar P, Shadi H. (2012). Evaluation of Quality of life the elderly population covered by healthcare center of marivan and the influencing demographic and background factor. Irani120
an Red Cresent Medical Journal. 14(11): 695-696. Henderson A, Buchwald D, Manson SM. (2006). Relationship of Medication Use to Health-Related Quality of Life Among a Group of Older American. J appl gerontol. 20(10): 1-15. Kathiravellu SC. (2015). Hubungan status depresi terhadap kualitas hidup lansia di wilayah kerja puskesmas Petang II Kabupaten Badung Bali. Intisari Saint Medis. 6(1):92-101. Kemenkes RI. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia. Buletin Jendela Data dan Informasi. X (1). Jakarta : Kemenkes RI. _____. (2013). Penyakit terbanyak pada lansia. Jakarta: Kemenkes RI. Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Profil penduduk lanjut usia 2009. Jakarta: Komisi Nasional Lanjut Usia. Kosim N, Nanik I, Siti K. (2015). Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penduduk di Desa Sentul Kecamatan Smber Suko Kabupaten Lumajang. Artikel Ilmiah Mahasiswa. Jember: UNEJ. Maryam RS. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika. Naumova E, Ivanova M, Pawelec G, Constantinescu I, Boqunia KK, Lange A, Oquz F, Ozdilli K, Franceschi C, Caruso C, Mishra M, Middleton D. (2013). Immunogenetics of aging. International journal immunogenet. 40(1): 77-81. Padila. (2013). Buku ajar keperawatan gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika. Papalia, Diane E, Olds SW, Feldman RD, Gross D. (2009). Human Development (Tenth edition). Boston: Mc Graw Hill.
Prasetyaningsih et al./ Bio-psychosocial Determinants of Quality of Life in the Elderly
PBB. (2015). World Population Ageing 2015. New York: Department of Economics and Social Affairs. Putri ST, Fitriana LA, Ningrum A, Sulastri A. (2014). Studi Komparatif: Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal Bersama Keluarga dan Panti. Tesis. Jakarta: Program Studi keperawatan FPOK Universitas Pendidikan Indonesia. Rohmah AI, Purwaningsih, Bariyah K. (2012). Kualitas Hidup Lanjut Usia. Jurnal keperawatan. 120-132. Sari KN. (2013). Status gizi, penyakit kronis, dan konsumsi obat terhadap kualitas hidup dimensi kesehatan fisik lansia. Semarang: Universitas Diponegoro. Setyoadi N, Ermawati. (2010). Perbedaan Tingkat Kualitas Hidup pada Lansia Wanita di Komunitas dan Panti. Diakses melalui http://ejournal.umm.
ac.id/index.php/keperawatan/article/ viewFile/621/641_umm_sciencetific_ journal.pdf pada 2 Desember 2016. Suardiman, Partini S. (2011). Psikologi Lanjut Usia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suparyanto. (2013). Sekilas tentang mekanisme koping. http://drsuparyanto.blogspot.co.id/2013/04/sekilastentan g-mekanisme-koping.html. Diakses 19 september 2016. Yulianti RD. (2014). Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup lansia di Desa Pogungrejo Purworejo. Tesis. Yogyakarta: STIKES Aisyiyah. Yuliati A, Baroya N, Ririanty M. (2014). Perbedaan kualitas hidup lansia yang tinggal di komunitas dengan di pelayanan sosial lanjut usia. Jurnal pustaka kesehatan. 2(1).
121