Bintang buat Bunda Yuni Purbo
M
alam telah larut, suasana kampung Asem sangat sepi.Lampu-lampu rumah sudah terlihat dimatikan oleh penghuninya.Tinggallah penerangan jalan kampung masih menyala. Suara katak dan jangkrik terdengar bersahutan membelah kesunyian.Wahyu masih terlihat tekun membaca buku pelajarannya, di bawah penerangan lampu teplok. Sesekali matanya menyapu ruang depan yang berdinding ayaman bambu tempat dia belajar sambil menghapal pelajaran. Senyum terpoles di sudut bibir kala terkejut mendengar dengkuran ayahnya yang keras dari kamar sebelah yang bersekat kain usang sebagai pintunya.
Parman, adalah seorang ayah yang sangat keras dan egois bagi Wahyu, gadis kecil dengan kecerdasan yang patut dibanggakan oleh setiap orang tua. Dalam usia dua belas tahun Wahyu telah duduk di bangku kelas enam tanpa pernah sekalipun predikat ranking umum terlepas dari tangannya. “Wahyu, kok belum tidur, Nak?Sudah tengah malam, ingat jangan sampai subuhnya kesiangan,” tegur Yatemi yang terbangun hendak ke belakang. “Sebentar lagi, Bun nanggung,” jawab Wahyu yang bernama lengkap Wahyuningtyas. Nama yang diberikan Yatemi pada anak yang kehadirannya telah dinanti lebih dari sepeluh tahun.
Lamanya menanti kelahiran buah hati, membuat keluarganya hampir saja berantakkan.Setiap hari selalu saja terdengar bisik-bisik tetangga yang memvonis mereka berdua sebagai orang-orang yang mandul.Yatemi bisa bersabar menerima kenyataan yang Tuhan berikan, tetapi Parman suaminya, dia tidak bisa menerima keadaan itu.Setelah tujuh tahun pernikahan, tabiat Parman mulai berubah kasar, suka judi dan mabuk-mabukan.Shalat sudah tidak lagi dia utamakan bahkan sering ditinggalkan. Ketika Yatemi mulai hamil Parman bukannya senang dan bersyukur, tapi sebaliknya jadi curiga kalau anak dalam kandungan Yatemi bukanlah anak dia. Karena itulah Parman sangat membenci Wahyu, dia memperlakukan anak itu tak semestinya. “Wahyu, jangan lupa, nanti sepulang sekolah bawa karung pupuk di bawah meja dapur ke sawah Pak Seno!Bapak dan ibu bekerja di sana, kamu kuatkan cuma sedikit,” perintah Parman sebelum Wahyu berangkat sekolah. “Baik, Yah,” sahut Wahyu sambil berpamitan mencium tangan Parman. Pernah suatu hari Minggu, Parman mengajak Wahyu membersihkan ulat-ulat di daun tembakau di sawah seseorang yang mengupahnya, mulai pagi hingga matahari condong ke barat. “Cepat kasih makan anakmu, tadi pinsan di sawah! Bikin repot saja,” gerutu Parman sambil menaruh capingnya di meja panjang yang ada di dapur sepulang dari sawah. “Wahyu, kamu sakit, Nak?”Yatemi sangat cemas meraba kening anaknya kemudian membantu menurunkan bakul berisi tempat makan dan teko air yang telah kosong dari gendongan Wahyu. “Maaf ya, Nak.Ibu juga baru saja pulang dari rumah Pak Seno membantu memasak, besok di rumahnya ada hajatan, jadi tidak bisa menyusul dan membantu kalian.” “Nggak apa-apa, Bunda ..., Wahyu cuma kehausan saja kok tadi. Sekarang sudah segar kembali,” jawab gadis kecil itu tersenyum ceria sambil mengambil gelas lalu membasahi tenggorokannya yang kering sepuasnya. Meskipun Parman ayahnya sangat buruk memperlakukan dia, Wahyu tetap saja jadi anak yang patuh dan berbakti pada orang tua.Dia tidak
pernah punya waktu bermain dengan teman sebaya, sepulang sekolah waktunya habis untuk membantu orang tuanya yang bekerja sebagai buruh tani. Ketika tiba saat perpisahan di sekolah, seperti biasa Wahyu selalu mendapatkan ranking pertama dan mendapatkan hadiah berupa bingkisan.Tapi sayang saat yang bertabur kebahagiaan itu hanyalah dinikmatinya sendiri dengan hati kecewa. Ayahnya yang janji datang pada acara perpisahan itu, sama seperti tahuntahun kemarin, selalu berbelok arah tak pernah sampai di sekolahan. “Sebelum acara dilanjutkan ke babak seni tari yang akan dibawakan oleh putra-putri kita, seperti biasa di Sekolah Dasar Sukamaju kita ini, akan memberikan bingkisan pada para siswa-siswi yang berpretasi di kelas empat, lima, dan enam. Baiklah akan segera saya panggil putra-putri kita yang mendapat juara, saya harap para wali murid mendampingi buah hatinya naik ke panggung!” suara Bu Retno guru bahasa Indonesia sebagai pembawa acara membuat jantung Wahyu jadi deg-degan. Ada rasa bangga, bahagia, sekaligus kecewa berdentang di sana. Mata Wahyu menyapu satu demi satu kursi yang sudah dipenuhi para undangan, tapi sosok ayahnya tak terlihat ada di antara mereka. Dia pun duduk lagi dan mengamati jalanan berharap Parman melenggang di sana, tapi semua nihil. Hatinya sangat kecewa. “Untuk selanjutnya kita panggil Srikandi SD Sukamaju yang selalu sanggup mempertahankan ranking umum mulai kelas satu sampai kelas enam, ‘Wahyuningtyas’!” silahkan naik ke panggung beserta Bapak Parman sebagai orang tua yang sangat beruntung, memiliki putri sangat hebat!” suara Bu Retno diiringi tepuk tangan riuh para undangan. Wahyu dengan tubuh gemetar berusaha tersenyum ceria naik ke panggung. Tubuhnya yang agak kurus berbalut busana muslim berwarna coklat serasi dengan kulitnya yang kuning langsat, terlihat cantik meskipun hanya mengenakan gaun usang. “Bapak Parman, silahkan naik ke panggung mendampingi putrinya!” dua kali panggilan tidak membuat ayah Wahyu naik ke panggung. “Maaf, Bu Retno, ayah saya tidak bisa hadir karena ada kepentingan lain.”
Dengan sekuat tenaga Wahyu menahan agar air bening yang sudah menghias pelupuk matanya tidak terjatuh.Kata-kata Wahyu membuat para orang tua menggerutu perbuatan Parman yang seharusnya dengan bangga mengutamakan hadir mendampingi putrinya.Akhirnya bapak wali kelas Wahyu yang mendampinginya. Wahyu berjalan pulang dengan wajah berseri, bingkisan dari kepala sekolah didekap erat.Beberapa teman yang kebetulan searah berjalan bersama sambil bersendagurau. “Wahyu, coba sini lihat hadiahnya!” seru Parman yang sedang main kartu bersama teman-temannya di pos ronda kampung, menghentikan langkah dan canda Wahyu. Dia pun lalu menghampiri ayahnya. “Ini, Yah.” Dengan agak ketakutan Wahyu menyerahkan bingkisan merah jambu bercorak boneka hello kity.Parman merobek bungkusan itu dengan kasar.Hati Wahyu sangat sedih, dia ingin menyimpan bungkus kado yang bergambar boneka idolanya itu, tapi ayahnya telah merobekrobek menjadi lembaran kecil. “Mana amplopnya? Biasanya kan ada uangnya juga,” seru Parman sambil melempar isi bingkisan yang berupa buku dan alat tulis menulis ke arah Wahyu yang ketakutan. “Ini, Yah.” Dengan tangan gemetar Wahyu mengambil amplop di saku bajunya lalu diserahkan pada Parman. “Dasar anak sundal! Kecil-kecil mau makan uang kamu ya, sudah sana pulang!” bentak Parman membuat Wahyu tak bisa membendung air matanya. Tangannya gemetaran mengumpulkan isi bingkisan yang berserakan di tanah. Wahyu pun lalu berlari pulang, air mata mengucur deras membuat dadanya terasa amat sesak. Sampai di depan rumah Wahyu berhenti menata perasaannya, serta menghapus air mata dengan ujung kerudung yang dipakainya. Dia ambil napas dalam-dalam lalu diembuskan kembali seakan ingin membuang sesak yang menghimpit dadanya, kemudian dengan seulas senyum di bibir dia melangkah masuk rumah. Dia letakkan hadiahnya di atas meja dan duduk di kursi mengamati sobekan-sobekan kertas bergambar hello kity kesukaannya.Hatinya sangat terluka, apalagi uang yang seharusnya buat
memperingan biaya sekolah di SMP telah berada di tangan ayahnya.Wahyu jadi merasa bersalah melanggar pesan ibunya sebelum berangkat ke sekolah tadi. “Ingat, Wahyu, jangan sampai uang hadiahmu nanti kau berikan ayahmu! Uang itu untuk biaya sekolah ke SMP, Nak.” kata-kata ibunya masih segar dalam ingatan Wahyu. “Maafkan, Wahyu bunda, Wahyu sangat takut pada ayah, Wahyu tidak bisa menjaga uang itu,” ratap gadis kecil itu sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja.Air matanya kembali menitik, hingga akhirnya ketiduran. Yatemi yang pulang dari rumah Pak Seno majikannya tersenyum mendapati putrinya terlelap masih menggunakan kerudung.Dengan hati-hati dia bangunkan anaknya. “Wahyu, bangun, Nak! Sudah shalat Asar belum?” “Bunda, maafkan, Wahyu tidak bisa mempertahankan uang hadiah itu, Wahyu sangat takut sama ayah, Bunda,” sahut Wahyu dengan suara parau, matanya terlihat sembab dan memantulkan kesedihan yang sangat dalam.Hati Yatemi sakit melihat keadaan Wahyu diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri.Dia peluk putrinya punuh kasih. “Sudah, Nak tidak apa-apa, tadi ibu sudah pinjam sama Bu Seno untuk biaya masuk sekolah SMP. Nanti kalau mau membayar baru kita minta uangnya agar tidak ketahuan ayahmu,” hibur Yatemi membuat lega hati Wahyu. “Bunda, nanti di SMP, Bunda saja ya yang
menghadiri rapat atau undangan lainnya! Wahyu janji akan selalu mempersembahkan bintang buat, Bunda,” rajuk Wahyu manja sambil mencium pipi ibunya, membuat hati Yatemi semakin pedih. “Ya, Sayang, ibu yang akan selalu hadir ke sekolahanmu nanti,” jawab Yatemi sambil membelai dan mencium rambut putri semata wayangnya. Akhirnya Wahyu benar-benar bisa menjadi siswi di SMP 1, Wahyu sangat bahagia dan penuh semangat bisa menimba ilmu di sekolahan paling terkenal di daerahnya karena kemajuan dan kedisiplinan sekolahan tersebut. Apalagi dia berada di kelas favorit, yang hanya dihuni oleh sebelas orang murid perempuan dari jumlah empat puluh lima siswa per kelas. Sekolah itu memiliki sepuluh kelas mulai kelas A sampai kelas J, dan Wahyu berada di kelas D yang letaknya persis di depan ruang loboratorium. Tiada siswa dari kelas lain yang berani masuk kelas itu. Mereka lebih memilih berputar bila ada kepentingan datang ke laboratorium, meskipun waktu istirahat. Tak ada siswa seangkatan yang tidak nengenal Wahyu. Banyak teman-teman dari kelas lain mengajak belajar bersama karena kepandaian dan keramahannya. Para guru, kepala sekolah, dan semua setap sangat hapal padanya. Hari begitu cepat berlalu, tidak terasa sampailah di penghujung waktu yang sangat mencemaskan Wahyu, karena persaingan yang sangat berat dengan teman-teman sekelas yang semuanya tidak bisa dipandang remeh.Di SMP itu dia tidak lagi selalu jadi nomer satu, tapi masih tetap sanggup mengantongi bintang untuk dipersembahkan pada ibunya meskipun hanya berada di urutan dua ataupun tiga. Pagi itu suasana tampak sangat cerah, secerah suasana hati Wahyu yang lagi dirias oleh ibunya.Kebaya merah bermotif bunga mawar dengan putik-putik berwarna keemasan, berpadu kain panjang bermotif batik sido mukti berwarna coklat kekuning-kuningan yang dipinjam dari tetangga sebelah rumah, sungguh serasi membalut tubuh langsing Wahyu yang kuning langsat. “Sungguh cantik kamu, Nak! Lihatlah kalau berdandan seperti ini, siapa sangka kamu hanyalah putri seorang buruh tani,” puji Yatemi sambil mengamati buah hatinya di pantulan cermin. “Coba kalau salon yang meriasmu, pasti
kecantikanmu akan lebih terlihat lagi, Wahyu,” sambungnya sambil mengemasi peralatan make up-nya. “Bunda, mungkin salon tak akan bisa merias, Wahyu seperti yang, Bunda lakukan. Bunda meriasku dengan hati dan kasih sayang, makanya hasilnya sangat istimewa! Makasih , Bunda,” sergah Wahyu lalu memeluk ibunya. “Ya sudah sana, kamu ke rumah Pak Seno! Tadi, Mas Edo janji akan mengantarmu ke sekolah, ibu nanti nyusul naik kendaraan umum,” perintah Yatemi yang kemudian mempersiapkan diri untuk menghadiri wisuda putrinya. Wahyu berangkat ke sekolah diantar Edo putra bungsu Pak Seno. Sampai di sekolah suasana sudah sangat ramai penuh dengan kebahagiaan, apalagi seratus persen siswa kelas tiga lulus semua. Setelah kata sambutan oleh bapak kepala sekolah dan beberapa guru yang lain, tibalah saat wisuda dan pengumuman siapa saja yang berhak menyabet juara. Wahyu terlihat sangat gelisah, belum pernah ibunya terlambat menghadiri undangan dari sekolah.Dia selalu tepat waktu karena merasa bangga putrinya selalu mendapatkan juara. Namun hari itu, sampai acara wisuda dan pengumuman juara usai, Yatemi belum juga kelihatan hadir di antara para tamu undangan. Wahyu sangat cemas, dia pun melangkah keluar dari aula sekolahannya tempat acara berlangsung. Hatinya bergetar saat dia memandang ke luar pintu gerbang, disana terlihat Edo duduk di atas sepeda motornya yang terpakir.Wahyu segera menghampiri dengan perasaan penuh khawatir. “Mas Edo, kok masih di sini?Masuk aja, Mas!” “Tumben bunda terlambat datang,” sambung Wahyu gusar. “Duh, cantiknya pakai baju toga! Acaranya belum kelar ya?” goda Edo, menyembunyikan kekhawatiran akan berita yang dibawanya, kemudian memberi kabar dengan hati-hati kalau ibunya kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit belum sadarkan diri. Tubuh Wahyu menjadi lemas seakan-akan tak bertulang, dia pun jatuh terduduk. Tak ada air mata yang terjatuh, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya yang indah, semua isi otaknya seakan malayang,hanya tatapan kosong yang tersisa jelas tergambar di bola matanya yang sayu. Edo segera turun
dari sepedanya lalu membantu Wahyu berdiri dan memapahnya duduk di bangku panjang milik penjual minuman juga makanan ringan di sebelah pintu gerbang sekolah. “Mas Edo antarkan, Wahyu ke rumah sakit sekarang!” hanyalah itu kata yang terucap ketika Wahyu telah bisa menata kembali perasaannya. Dua minggu sudah Yatemi berbaring belum sadarkan diri, setiap hari Wahyu membantu keluarga Pak Seno menjaga toko kelontong di pasar selama belum mulai masuk sekolah, dan sepulang dari menjaga toko, Wahyu terus ke rumah sakit menemani ibunya. “Bunda, sudah dua minggu berbaring di sini. Tolong buka mata, Bunda, Wahyu ingin, Bunda melihat piagam penghargaan, Wahyu! Lihatlah, Bunda, Wahyu berhasil meraih juara satu, Wahyu telah menepati janji pada, Bunda. Hadiah dari sekolah belum, Wahyu buka, Bun, juga piagam ini selalu ada di bawah bantal, Bunda. Bukalah mata, Bunda! Lihatlah bintang yang dengan susah payah, Wahyu raih, semua demi dan buat, Bunda,” rintih Wahyu sambil merebahkan kepalanya di tangan ibunya, air matanya mengalir membasahi jari-jemari Yatemi untuk beberapa saat, lalu Wahyu pun segera mengelapnya dengan sapu tangan. Kemudian dia hapus air matanya dan mencoba tersenyum memandangi wajah wanita yang paling dia sayangi, seakan Wahyu tak ingin ibunya melihat butiran air ada di pelupuk matanya. “Bunda, kemarin saat bapak kepala sekolah menjenguk, Bunda, beliau bilang akan memberi beasiswa buat, Wahyu sekolah ke SMA, bahkan sampai ke perguruan tinggi, bila, Wahyu tetap sanggup mempertahankan gelar juara. Bunda juga telah mendengar sendiri kan? Wahyu akan tetap berusaha meraih bintang buat, Bunda. Jadi untuk urusan sekolah, Wahyu, Bunda tidak perlu khawatir lagi, juga mengenai biaya rumah sakit, pihak desa telah memberikan surat keterangan tidak mampu pada pihak rumah sakit, Bunda, sehingga kita mendapatkan keringanan, dan mengenai biaya sisanya akan ditanggung keluarga Pak Seno, Bun,” cerita Wahyu dengan penuh semangat sambil membelai rambut hitam ibunya. “O ... Iya, Bunda! Ayah belum juga pulang sampai sekarang sejak pergi waktu itu, tapi ada yang pernah lihat ayah bekerja di pelabuhan,
Bun. Bunda jangan khawatir, Wahyu juga selalu berdoa buat ayah agar selalu diberi kesehatan, dimudahkan segala urusan, juga dilancarkan rezekinya, biar ayah punya uang banyak dan cepat pulang.Wahyu ingin kita bertiga berkumpul lagi, Bunda,” sambung wahyu sambil mencium kening ibunya. Demikianlah, setiap hari, Wahyu menghabiskan sisa waktunya setelah menjaga toko, untuk menemani ibunya dan selalu menceritakan apa saja yang terjadi untuk merangsang pendengaran dan ingatan ibu yang sangat dikasihinya. Sementara Yatemi hanya sanggup merespon cerita buah hatinya dengan air bening yang menetes dari sudut matanya yang masih terpejam.***