BIDANG KAJIAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK 4. Good Governance (ASPGG)
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PENGANGGARAN DAERAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL (Studi Pada Masyarakat Suku Tengger Pegunungan Bromo Jawa Timur)
Penulis: Ana Sopanah Made Sudarma Unti Ludigdo Ali Djamhuri
Universitas Brawijaya Malang
0
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROSES PENGANGGARAN DAERAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL1 (Studi Pada Masyarakat Suku Tengger Pegunungan Bromo Jawa Timur)
Abstract The objective of this research is to reveal the public participation in the process of local budgeting based on the local wisdom of Tenggeresse. Public participation is the participation in the planning, implementation or accountability process of the development. An interpretive paradigm with an ethnomethodology approach was employed to reveal the existence of local values of Tenggeresse when participating in the local budgeting. The results of this study showed that the values of local wisdom of the Tenggeresse are based on the people way of life namely anteng-seger (Tenggering), meaning peaceful and welfare. Moreover, there are also consepts functionong as a basis for a tryadic relationship namely the relationship between human beings and their God, human beings and human beings and human beings and their environment. On the basis of the concept, some values of local wisdom among the Tenggeresse namely among other guyup rukun (harmonious), sanjan-sinanjan (visiting one another), friendly, consistent, obedient (setuhu), sayan (mutual cooperation), honest and open, are identified. These values of local wisdom are internalised in the planning, implementation and transparent responsibility aspects of public participation in local government budgeting. The value of the local wisdom Setuhu is internalised in the planning budgeting, the value of the local wisdom sayan is internalised in the implementation of the development, and honesty and openness are internalised in the accountability of the development.
Key Words: Public Participation Local Budgeting Local Government Local Wisdom Musrenbang Ethnomethodology Artikel ini merupakan Ringkasan dari Disertasi “ Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal" Pada Program Doktor Ilmu Akuntansi (PDIA) Universitas Brawijaya Malang 1
1
A. Latar Belakang Terjadinya perubahan paradigma dalam penyusunan anggaran sesuai dengan amanat Undang-Undang Otonomi Daerah menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran sehingga akan memperkuat pengawasan anggaran (Sopanah, 2004). Dalam UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mekanisme partisipasi penganggaran sudah diatur dan
diperjelas dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 yang sekarang di revisi menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006. Point utama dari ketiga peraturaan tersebut adalah adanya mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah. Achmadi dkk (2002) dan Sisk (2002) menegaskan, bahwa partisipasi merupakan kunci sukses dalam pelaksanaan otonomi daerah karena dalam partisipasi menyangkut aspek pengawasan dan aspirasi. Partisipasi masyarakat dalam penganggaran harus dilakukan pada setiap tahapan dalam siklus anggaran mulai dari penyusunan, pelaksanaan, sampai dengan pertanggungjawaban (Mardiasmo, 2002;70).
Fakta di lapangan
menunjukkan
bahwa, meskipun partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan perencanaan penganggaran
daerah
dianggap
sangat
penting,
namun
beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih sangat rendah (Cooper dan Elliot, 2000, Layzer, 2002, Navaro, 2002, Laurian dan Adams, 2004). Rendahnya partisipasi tersebut misalnya ditunjukkan oleh Laurian dan Adams (2004) yang rendahnya tingkat kehadiran mereka dalam berbagai temu publik. Temu publik dianggap kurang efektif sebagai alat persuasi rasional, namun demikian temu publik ini tetap berperan untuk memelihara sistem demokrasi lokal. Hasil penelitian Laurian dan Adams (2004) sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sopanah (2003, 2004, dan 2005). Penelitian ini terinspirasi oleh penelitian Sumarto (2004; 118) yang menjelaskan bahwa mekanisme non formal yang berasal dari prakarsa inovatif masyarakat sebenarnya lebih efektif dari pada mekanisme yang formal seperti Musrenbang (Waidl, dkk.ed. 2008). Selain terinspirasi penelitian Sumarto (2004), penelitian ini juga terinspirasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Muluk (2007). Muluk
(2007)
dengan
menggunakan
pendekatan
berpikir
sistem
berhasil 2
menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah mengalami peningkatan dalam era reformasi. Peningkatan partisipasi mengacu pada pola kurva S yang berarti ada peningkatan dalam tahap awal era reformasi, namun secara perlahan peningkatan ini mengalami perlambatan hingga mengalami stagnasi. Akan tetapi, partisipasi masyarakat telah berada dalam derajat yang lebih tinggi dari pada pertumbuhan partisipasi sebelumnya. Penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan anggaran telah dilakukan oleh penulis yang dimulai pada tahun 2003. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003, 2004, 2005 menunjukkan hasil bahwa partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan penganggaran sangat penting karena dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Hasil lain juga menunjukkan bahwa meskipun partisipasi sangat penting dalam realitasnya partisipasi masyarakat masih rendah. Penelitian lanjutan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009 menemukan adanya perubahan partisipasi masyarakat, yang semula rendah menjadi tinggi karena adanya dorongan dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran, baik dalam perencanaan, implementasi maupun pertanggungjawabannya dalam konteks masyarakat Suku Tengger. Masyarakat Suku Tengger mempunyai adat istiadat dan budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya di Indonesia. Perbedaan ini memungkinkan melahirkan bentuk partisipasi yang berbeda dengan desa lainnya di Indonesia. Penelitian ini akan mengkaji nilai lokalitas masyarakat Suku Tengger yang terinternalisasi dalam proses perencanaan penganggaran, implementasi pembangunan, dan pertanggungjawaban pembangunan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan gambaran yang lebih nyata tentang bagaimana mereka berpartisipasi dalam proses penganggaran daerah. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penganggaran Daerah Berbasis Kearifan Lokal di Masyarakat Suku Tengger?.
3
B. Eksplorasi Teoritis Partisipasi Masyarakat Dalam Penganggaran 1. Meraih Hak Untuk Sejahtera Melalui Anggaran Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses untuk mempersiapkan suatu anggaran (Mardiasmo, 2002; 61). Anggaran adalah suatu rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah, baik kebijakan sosial maupun ekonomi (Khan dan Hildreth 2002; Salihu, 2005; Shim dan Siegel, 2005). Menurut Henley dkk (1990), tahapan penganggaran baik sektor swasta maupun sektor publik relatif sama, terdiri dari empat yaitu, tahap penyusunan (perencanaan), pengesahan (ratifikasi), implementasi, dan pelaporan (pertanggungjawaban). Dominasi eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan ketimpangan prioritas alokasi anggaran dan menyebabkan peluang terjadinya korupsi anggaran di semua kota/kabupaten di Indonesia. Modus korupsi yang dilakukan oleh legislatif di antaranya: memperbanyak dan memperbesar mata anggaran, menyalurkan dana APBD bagi lembaga/yayasan fiktif, dan manipulasi perjalanan dinas. Sementara di lembaga eksekutif terjadi modus korupsi seperti: penggunaan sisa dana tanpa prosedur, penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah, dan manipulasi dalam proses pengadaan (Wahyudi dan Sopanah, 2004). Di tengah persoalan korupsi anggaran yang kian marak, muncul pertanyaan apakah persoalan anggaran adalah persoalan birokrasi yang rumit, ekonomi-teknokratik, ataukah persoalan besar hak asasi manusia, khususnya pemenuhan hak sosial-ekonomi rakyat?. Menurut Wiratman (2004; 4) anggaran merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) karena komitmen pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya.
Menurut Wiratraman (2004; 4), dalam upaya
pemajuan hak ekonomi, sosial dan budaya, setidaknya ada tiga elemen kewajiban negara, yaitu: 1.
Kewajiban untuk menghormati/menghargai (state obligation to respect)
2.
Kewajiban untuk melindungi (state obligation to protect)
3.
Kewajiban untuk mempromosikan dan mewujudkan hak (state obligation to promote and fulfill)
4
Berdasarkan ketiga elemen tersebut, negara melalui anggaran publiknya dapat memenuhi kesejahteraan rakyatnya dengan berbagai program dan kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam proses penyusunan anggaran partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Masyarakatlah yang lebih tahu kebutuhan pembangunan yang ada di sekitarnya. Pemikiran dasar perlunya partisipasi masyarakat menurut Mahardika (2001) adalah, bahwa proyek pembangunan akan mengalami ancaman kegagalan jika tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan dan implementasinya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sopanah (2011) yang menyatakan bahwa terjadi penolakan pembangunan karena tidak partisipatif.
2. Pentingnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Ide tentang perluasan partisipasi menjadi partisipasi politik berasal dari Habermas yang memberi inspirasi bahwa perlu adanya ruang publik yang otonom di luar dari domain negara (Cornwall, 2002; 170). Negara sebagai aktor dan institusi politik punya kewenangan dalam mengarahkan maksud dan tujuan pembangunan, dengan atau tanpa melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan dengan memanfaatkan ruang publik yang ditawarkan oleh Habermas dalam bentuk partisipasi politik. Dengan partisipasi politik maka masyarakat dapat mempengaruhi pemerintah dan meminta komitmen serta akuntabilitas pemerintah (Cornwall dan Gaventa, 2001; 127).
5
Partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri, sehingga seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut manfaat pembangunan. Krina (2003; 23) menjelaskan dalam mewujudkan partisipasi ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan diantaranya: institusi konstitusional, jaringan civil society, lokal kultur pemerintah, dan faktor-faktor lainnya, seperti transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah partisipasi dalam proses penganggaran daerah yang terdiri dari tahap penyusunan (perencanaan), tahap implementasi anggaran, dan tahap pertanggungjawaban anggaran. Partisipasi masyarakat yang terjadi di daerah berbeda-beda tergantung pada karakteristik lingkungan, ekonomi, budaya, dan politik yang terjadi di daerah tersebut. Teori yang sangat terkenal dalam menunjukkan kadar partisipasi masyarakat dikemukakan oleh Arnstein (1971) sebagai tangga partisipasi
(Ladder of
Participation). Teori ini menjelaskan tentang partisipasi sebagai kekuasaan warga dalam mempengaruhi perubahan dalam pembuatan kebijakan. Dalam teori tangga partisipasi terdapat tiga derajat partisipasi yang kemudian diperinci menjadi delapan tangga partisipasi. Derajat partisipasi yang paling rendah adalah tidak ada partisipasi yang terdiri dari dua anak tangga yaitu manipulasi dan terapi. Aktivitas partisipasi yang terjadi pada derajat ini sebenarnya merupakan distorsi partisipasi dan hanya memungkinkan pemegang kuasa untuk sekedar mendidik dan menyenangkan partisipasi. Lebih lengkap delapan tangga partisipasi Arnstein (1971; 4) dijelaskan dalam tabel di bawah ini: Tabel 1: Delapan Tangga Partisipasi Publik 8
Kontrol oleh warga
7
Pendelegasian wewenang
6
Kemitraan
5
Konsesi (penentraman)
4
Konsultasi
3
Pemberian Informasi
2
Terapi
1
Manipulasi
Partisipasi penuh Derajat kuasa warga
Partisipasi simbolik (tokenism) Tidak ada partisipasi Non partisipasi
Sumber: Arnstein (1971) 6
3. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penganggaran Daerah Siapa yang paling berkuasa untuk menentukan anggaran?. Pertanyaan ini begitu penting untuk menentukan siapa pihak yang paling berkuasa dan memainkan peran-peran politik dalam mengatur anggaran. Dalam banyak wacana dan diskusi, eksekutif mempunyai peran yang lebih dominan dalam penyusunan anggaran di bandingkan legislatif (Wiratraman, 2004; 1). Namun, sering terjadi politik bargaining (tawar menawar) anggaran antara eksekutif dan legislatif yang didasarkan bukan pada kebutuhan masyarakat, tetapi didasarkan pada kepentingan individu maupun kelompok pemain politik tersebut. Permainan politik anggaran yang terjadi di berbagai daerah jenisnya beragam. Secara umum “tawar menawar” anggaran yang sering terjadi didasarkan kepada berapa besar nilai proyek dan untuk apa proyek tersebut dilakukan. Selain “tawar menawar” nilai proyek dan daerah pelaksanaan proyek, kasus yang ramai menjadi perbincangan publik adalah “makelar proyek”. Banyaknya anggota badan anggaran (banggar) menjadi makelar proyek yang berperan dalam memuluskan program yang diusulkan oleh eksekutif. Sebagai contoh, Angelina Sondakh, Wa Ode, I Wayan Coster, Mirwan Amir, dan Zulkarnaen Djabar serta Andi Malarangeng. Berbagai kasus di atas menunjukkan bahwa anggaran sebagai instrumen pemerintah dalam menyelenggarakan roda kekuasaannya, dalam prakteknya tak terlepas dari sejumlah kepentingan yang harus diakomodasi. Kepentingan pribadi dan kelompoknya yang biasa disebut sebagai kepentingan politik seringkali memiliki bobot prioritas yang sangat besar dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Politik penganggaran yang terjadi di pemerintah pusat maupun di berbagai daerah merupakan bentuk sederhana atau miniatur dari ruwetnya politik di Indonesia secara umum. Politik anggaran dapat diartikan sebagai proses pengalokasian anggaran yang di dasarkan pada kemauan pejabat yang berkuasa. Rubin (2000) dalam bukunya The Politics of Public Budgeting mengatakan, dalam penentuan besaran maupun alokasi dana untuk rakyat senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh pejabat. Pendapat yang mendukung bahwa semua penganggaran bersifat politik, dan sebagian besar politik adalah penganggaran dikemukakan juga dikemukakan oleh Wildavsky (1964). Anggaran adalah “perjuangan merebut kekuasaan”, siapa yang berkuasa saat itu, itulah yang menentukan besarnya alokasi anggaran. 7
Berbagai persoalan politik anggaran di atas mengharuskan masyarakat berpartisipasi dalam proses penganggaran untuk memastikan bahwa anggaran digunakan untuk pembangunan yang berkeadilan (Mariana dan Edi, 2008; 2). Perencanaan dan penganggaran adalah proses yang menentukan ke arah mana anggaran publik (APBD) akan dialokasikan, apakah akan memihak kepada kepentingan rakyat (pro-poor) ataukah berpihak pada kepentingan penguasa. Anggaran yang berpihak kepada masyarakat miskin dikenal dengan istilah pro poor budgeting. Perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui pro poor budget dapat diterjemahkan sebagai praktik penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penganggaran yang sengaja (by design) ditujukan untuk membuat kebijakan, program, dan proyek yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah.
C. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Paradigma Penelitian Penelitian akuntansi sekarang ini telah berkembang dan lebih menekankan pada aspek manusia dan realitas sosial serta fungsi utama akuntansi sebagai media simbolis. Akuntansi kini dipandang sebagai suatu praktik yang menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang disebabkan oleh manusia dan konteks sosial dimana akuntansi itu beroperasi dan juga akibat interaksi akuntansi dengan organisasiorganisasi lain atau fenomena sosial (Hopwood, 1989; Birnberg dan Shield, 1989; Burgstahler dan Sundem, 1989; Caplan, 1989). Selain itu, para peneliti bidang akuntansi keperilakuan telah melakukan studi terhadap riset terdahulu sehingga terjadilah pembentukan tubuh pengetahuan/body of knowledge tentang akuntansi yang sistematis (Birnberg dan Shield, 1989; 6). Riset mereka telah memberikan dasar interpretasi pemahaman akuntansi sekaligus memberikan apresiasi terhadap manusia dan konteks sosial akuntansi. Sebagai bagian dari ilmu ekonomi dan politik, kebijakan penganggaran daerah merupakan realitas sosial yang tentunya juga dipengaruhi oleh perilaku orang atau masyarakat yang terlibat di dalamnya, di antaranya adalah eksekutif, legislatif, LSM dan masyarakat itu sendiri. Bahkan beberapa riset menjelaskan bahwa, selain dipengaruhi oleh perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya, proses penganggaran 8
daerah dipengaruhi oleh negosiasi, perubahan kekuasaan dan politik internal (Siegel dan Marconi, 1989;124, Covaleski et al., 1996, Wildavsky, 2004). Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, penelitian ini ingin mengungkap realitas sosial dalam proses penganggaran daerah berbasis kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger. Oleh karena itu, studi ini menggali dan memahami nilai-nilai lokalitas yang ada pada masyarakat Suku Tengger dan menjelaskan keberadaan nilai lokalitas tersebut dalam proses perencanaan penganggaran tersebut. Sehingga paradigma dalam penelitian ini adalah interpretif dengan pendekatan etnometodologi. Melalui studi ini diharapkan akan diperoleh jawaban atas pertanyaan:
1. Nilai kearifan lokal apakah
yang ada dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger?, 2. Bagaimana masyarakat Suku Tengger berpartisipasi dalam proses penganggaran berbasis kearifan lokal.
2. Situs Sosial Penelitian dan Informan Penelitian ini dilakukan di masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Etnometodologi sebagai sebuah pendekatan penelitian yang ingin mengungkap fenomena sosial diperlukan informan utama yang akan memberikan data, informasi, pengalaman dan lain-lain untuk menjawab permasalahan penelitian. Informan dari penelitian ini dibagi menjadi dua. Informan untuk mengungkap nilai-nilai lokalitas diantaranya dukun penditha, wong sepuh, legen dan masyarakat Suku Tengger. Sementara informan untuk mengungkap partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran diantaranya Ketua RT/RW, masyarakat yang pernah terlibat dalam proses musrenbang, Kepala Desa (Petinggi) beserta staf, Camat beserta staf, Eksekutif (Kepala Bappeda, Sekertaris Daerah, Bupati) dan DPRD. Identitas informan yang digunakan hanya inisial untuk menggantikan nama informan yang sebenarnya.
3.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data Metode pengumpulan data untuk menggali dan memahami nilai lokal diantaranya dengan menggunakan dokumentasi (foto dan video), pengamatan langsung (observasi), wawancara mendalam dengan berbagai tokoh adat pada saat upacara adat maupun informal. Sementara itu, metode pengumpulan data untuk menjelaskan 9
partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan penganggaran diantaranya juga menggunakan dokumentasi (foto dan video), pengamatan langsung (observasi), wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat, eksekutif, legislatif, dan stakeholders. Prosedur analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis data dari Miles dan Huberman (1992: 15-21). Prosedur analisis yang dilakukan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Alasan pemilihan metode ini karena
peneliti
akan
mengidentifikasi,
menganalisis,
mendeskripsikan
serta
menginterpretasikan fenomena-fenomena yang ditemukan. Seluruh hasil wawancara dan pengamatan (observasi) direkonstruksi berdasarkan ingatan menjadi berkas-berkas catatan lapangan (field note). Berdasarkan pengalaman lapangan peneliti melakukan analisis selama pengumpulan data (analysis during data collection) sedangkan setelah pengumpulan data lapangan berakhir, peneliti melakukan analisis pasca pengumpulan data (analysis after data collection).
D. Hasil Penelitian 1. Menggali Kearifan Lokal Di Suku Tengger Gobyah (2003) mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Geriya (2003) mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, caracara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Kearifan lokal atau local wisdom dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu yang berwujud nyata (tangible) dan yang tak berwujud (intangible). Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional primbon, kalender dan prasi merupakan kearifan lokal yang berwujud nyata. Selain itu ada pula yaitu bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan 10
secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Menurut Sukari et al. (2004:47-51) nilai kearifan lokal di masyarakat Suku Tengger Desa Ngadisari didasarkan pada konsep hidup masyarakat Suku Tengger yang didasarkan pada hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship). Hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan dengan ketaatan beribadah sesuai agama hindu dan melakukan berbagai upacara adat budaya. Sedangkan hubungan manusia dengan manusia diwujudkan dengan sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan (saling mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu membantu) yang didasari semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat (saling tolong menolong). Terakhir, hubungan manusia dengan alam diwujudkan dengan melakukan berbagai upacara adat yang berkaitan dengan siklus alam dan juga melakukan pemeliharaan alam. Selain konsep hidup yang dijelaskan di atas masyarakat Suku Tengger mempunyai pandangan hidup prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya; prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana; pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah; prasetya berarti setya; prayitna berarti waspada. Nilai kearifan lokal yang dapat di identifikasi dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger diantaranya: ramah tamah, kepatuhan (setuhu), guyub rukun, sanjan-sinanjan (tolong menolong), gotong royong (sayan), dan kejujuran (prasaja). Berbagai nilai kearifan lokal tersebut mewarnai seluruh kehidupan masyarakat Suku Tengger. Dalam penelitian ini, nilai kearifan lokal yang akan dijelaskan adalah nilai yang terinternalisasi dalam proses penganggaran. Nilai kearifan lokal yang terinternalisasi dalam proses penganggaran dapat teridentifikasi menjadi tiga yaitu nilai kepatuhan (setuhu), nilai kegotongroyongan (sayan), dan nilai kejujuran (prasaja). Nilai kepatuhan atau setuhune wong tengger diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme proses perencanaan penganggaran dan mengikuti jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan pemerintah meskipun sesungguhnya mekanisme tersebut sudah dilakukan. 11
Nilai kearifan lokal
kegotong
royongan
(sayan)
diwujudkan
dalam
implementasi pembangunan di wilayah Suku Tengger. Sepanjang peneliti melakukan observasi dan berada di lapangan, hampir semua pembangunan baik yang didanai oleh APBD maupun oleh swadaya masyarakat dilakukan secara gotong-royong. Gotongroyong dilakukan oleh semua masyarakat terutama bapak-bapak dan pemuda yang melakukan pembangunan, sedangkan para ibu-ibu dan pemudi bergotong royong menyiapkan makanan dan minuman. Sikap hidup gotong-royong benar-benar membumi hampir disetiap kegiatan masyarakat Suku Tengger. Nilai
kearifan
kejujuran
(prasaja)
diwujudkan
dalam
proses
pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Pertanggungjawaban anggaran yang dilakukan oleh Petinggi atau Lurah pada akhir tahun merupakan kegiatan yang tidak dilakukan oleh pemimpin desa lain. Sebagai bentuk kejujuran pemimpin kepada rakyat yang telah mempercayainya, di masyarakat Suku Tengger selalu diadakan rembug warga tengger dalam kerangka menjelaskan setiap kegiatan yang telah dilakukan selama satu tahun serta menampung berbagai masukkan untuk kegiatan tahun berikutnya. Kegiatan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh petinggi di Suku Tengger hampir tidak dijumpai di daerah lainnya di Indonesia.
2. Setuhune Wong Tengger: Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Pelaksanan musrenbang desa di wilayah Kabupaten Probolinggo secara umum hampir sama dengan di daerah lainnya. Perbedaan yang muncul di masyarakat Suku Tengger adalah selain melakukan musrenbang desa, mereka melakukan mekanisme partisipasi informal lain yang tidak dilakukan oleh masyarakat lain di Indonesia. Partispasi informal tersebut di lakukan pada bulan Desember bersamaan dengan laporan pertanggungjawaban Petinggi kepada masyarakat Suku Tengger yang disebut Rembug
Desa
Tengger.
Sedangkan
pelaksanaan
Musrenbang
kecamatan
menunjukkan fakta bahwa penyelenggaraan musrenbang kecamatan terkesan hanya sekedar “formalitas” untuk memenuhi mekanisme perencanaan pembangunan. Hal ini di dukung oleh hasil wawancara dengan beberapa informan sebagai berikut: “Musrenbang Desa menurut saya merupakan kegiatan silaturahim antar warga Tengger, jadi meskipun di akhir tahun Desa kami telah menyepakati usulan yang 12
akan didanai di tahun 2011, tetapi kami tetap melakukan Musrenbang Desa seperti yang di atur oleh Pemerintah. (K, 22 Februari, 2010) “Musrenbang Desa Ngadisari diadakan di awal Februari di Balai Desa yang hanya dihadiri oleh perangkat desa. Masyarakat Tengger telah menghadiri musyawarah tahunan di akhir Desember dan telah memberikan usulannya. Prioritas pembangunan sudah kami susun berdasarkan usulan masyarakat di musyawarah sebelumnya. Sebagian besar proyek yang kami usulkan adalah proyek fisik. (S, 22 Februari 2010). “Desa yang ada di wilayah kami semuanya melakukan musrenbang desa, hal ini dibuktikan dengan berita acara yang diserahkan ke kecamatan yang berisi rekapan usulan dari tiap-tiap bidang. Selain melakukan musrenbang desa sebagai bentuk “kepatuhan” terhadap pemerintah, Desa Tengger juga menyelenggarakan “musyawarah desa” diakhir tahun untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya selama setahun. Pada saat musyawarah desa, masyarakat mengusulkan program untuk tahun berikutnya. Mekanisme ini sebenarnya adalah partisipasi masyarakat yang sesungguhnya ada di wilayah Tengger. (A, 22 Februari 2010)
Hasil wawancara dengan Camat menegaskan bahwa mekanisme Musrenbang Desa dilakukan sebagai wujud kepatuhan wong Tengger terhadap pemerintah. Terlepas dari efektif tidaknya pelaksanaan musrenbang desa di wilayah Tengger, yang jelas Masyarakat Tengger telah melaksanakan apa yang menjadi kewajiban sebagai warga negara. Senada dengan apa yang disampaikan camat, Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten probolinggo menyatakan bahwa fenomena partisipasi dalam proses perencanaan penganggaran secara normatif terlaksana sesuai dengan mekanisme dan peraturan pemerintah meskipun di lapangan terdapat perbedaan yang disesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Probolinggo; “Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan anggaran dilakukan melalui mekanisme musrenbang. Musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten telah dilaksanakan sesuai aturan perundang-undangan sebagai bentuk kepatuhan pemerintahn daerah kepada pemerintah pusat. Di wilayah desa Suku Tengger, mereka melakukan musyawarah desa terlebih dahulu diakhir tahun, sebagai wahana menampung usulan masyarakat. Sehingga terdapat beberapa desa yang melakukan musrenbang di bulan januari sekedar bentuk kepatuhan kepada pemerintah. (GW, 22 Februari 2010)
13
Pelaksanaan Musrenbang Desa Ala masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadisari menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam tangga partisipasi yang ketiga yaitu derajat tangga partisipasi penuh. Tangga ini ditandai dengan adanya kemitraan, pendelegasian wewenang dan adanya kontrol oleh warga. Dalam derajat ini tampak bahwa partisipasi masyarakat Suku Tengger dalam proses perencanaan penganggaran berbeda dengan desa-desa lainnya di luar wilayah Suku Tengger. Pelaksanaan Musrenbang Informal Ala Tengger dengan sebutan “Rembug Desa Tengger” menjadi temuan menarik, karena partisipasi informal ini merupakan salah satu bentuk inovasi yang dilakukan oleh desa dengan memperhatikan nilai kearifan lokal. Partisipasi informal ini perlu dilembagakan yang disesuaikan dengan karakteristik daerahnya sebagaimana partisipasi formal yang telah diatur oleh pemerintah. Nilai kearifan lokal kepatuhan atau dalam bahasa Tengger “Setuhu” di wujudkan dengan tetap melakukan mekanisme musrenbang formal meskipun roh partisipasinya terdapat dalam musrenbang informal. “Setuhu” yang merupakan salah satu nilai kearifan lokal Suku Tengger tetap dipertahankan dalam konteks penganggaran merupakan bentuk kepatuhan kepada pemerintah daerah dan pusat.
3. Kegotong-Royongan Yang Membumi: Partisipasi Masyarakat Suku Tengger Dalam Pembangunan Pembangunan diartikan sebagai proses perubahan yang terencana yang melibatkan pemerintah dan masyarakat. Jika pembangunan hanya melibatkan pemerintah, maka tujuan pembangunan tidak akan tercapai, hanya sebatas menghabiskan anggaran. Penelitian yang dilakukan oleh Sopanah (2011, 1) menunjukkan bahwa terjadi fenomena penolakan pembangunan sumur bor dari dana APBD di RT 03 RW 02 Kelurahan Polowijen dengan nilai 5 juta di tolak oleh warga setempat karena dianggap prosesnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak partisipatif. Berbagai permasalahan pembangunan yang terjadi di masing-masing kota/kabupaten di Indonesia hampir sama yaitu dominannya penguasa dalam menentukan pembangunan sehingga pembangunan dianggap hanya sekedar proyek yang akan menguntungkan siapa yang berkuasa. Beberapa penelitian tentang anggaran 14
mendukung hasil bahwa penentuan alokasi anggaran untuk pembangunan banyak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi serta kekuasan dan politik internal (Hackman (1985) dalam Covaleski et al (1996) dan Wildavsky (2004). Selain Colaveski et al (1996), penelitian yang dilakukan oleh Siegel dan Marconi (1989; 24), menjelaskan adanya peran ganda dalam penganggaran yaitu berbagi kekuasaan dan sekaligus sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu banyak terjadi “tawar menawar politik” setelah kepala daerah terpilih dan dilantik maka yang terjadi berikutnya adalah pembagian kue kekuasaan kepada pihakpihak yang mendukungnya dalam bentuk bagi- bagi proyek pembangunan. Penolakan pembangunan juga banyak terjadi di negara berkembang lainnya selain Indonesia yaitu di Bolivia, Romania, Filipina, Malaysia dan Vietnam yang disebabkan tidak adanya partisipasi masyarakat
(McNeish, 2006; 228, Radu, 2009; 76., Swain dan Chee,
2004). Radu (2009) menjelaskan bahwa dominasi para elit kekuasaan sangat tinggi dalam pembangunan sehingga beberapa pembangunan mengalami penolakan karena masyarakat tidak puas dengan kebijakan tersebut. Sedangkan pembangunan Bendungan di Thailand dan Malaysia mengalamai penolakan karena tidak ada negosiasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat. Sebagaimana desa-desa lainnya di Indonesia usulan pembangunan yang disampaikan dalam musrenbang desa tidak seluruhnya didanai oleh APBD karena keterbatasan anggaran. Dari hasil pengalaman peneliti selama terlibat dalam proses penyusunan anggaran di Malang Raya rata-rata jumlah usulan yang didanai berkisar antara 10%-25%. Proses penentuan skala prioritas lebih banyak menggunakan sisi prosentase dan pembagian secara merata untuk tiap-tiap desa. Berdasarkan evaluasi APBD tahun 2011 hasil musrenbang desa Ngadisari yang di setujui atau direalisasi pada tahun 2011 sebesar Rp. 536.600.000 dari usulan sebesar Rp. 1.602.890.000 atau sebesar 36%. Jika dilihat dari usulan tiap-tiap bidang maka jumlah usulan musrenbang desa Ngadisari bidang fisik dan prasarana sebesar Rp. 855.290.000 yang direalisasi sebesar Rp. 256.600.000 atau sekitar 30%. Sedangkan untuk bidang ekonomi dan keuangan usulannya sebesar Rp. 297.000.000 yang direalisasi sebesar Rp. 130.000.000 atau sebesar 43%. Sementara untuk bidang sosbud usulannya sebesar Rp. 330.000.000 yang direalisasi sebesar Rp. 150.000.000 atau 45%. Hal ini seperti yang terlihat dalam tabel dibawah ini. Pemerintah Kabupaten 15
Probolinggo cukup baik dalam memperhatikan usulan masyarakat Suku Tengger dibandingkan dengan desa lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pejabat Bappeda Kabupaten Probolinggo. “ Sebagai suku unik yang mempertahankan nilai budaya lokal, sudah sewajarnya kalau Pemerintah Kabupaten Probolinggo memberikan anggaran yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan didaerah lainnya (H, Januari 2011). “ Saya setuju kalau pemerintah Kabupaten Probolinggo memperhatikan Suku Tengger dengan memberikan prioritas anggaran dibanding dengan desa lainnya. Karena suku Tengger menjadi andalan pariwisata di Indonesia yang tentunya akan mendatangkan devisi tersendiri (A, Januari 2011). Selain pihak eksekutif yang mendorong agar realisasi pembangunan yang diusulkan oleh masyarakat Suku Tengger lebih diperhatikan, tentunya perlu dukungan dari pihak legislatif. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa anggota DPRD yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) di kecamatan yang masyarakatnya merupakan Suku Tengger di antaranya Kecamatan Sukapura, Kuripan, Sumber, Wonomerto, Lumbang, Bantaran, Sumberasih, dan Tongas, terlihat bahwa anggota DPRD yang berasal dari dapil di Kecamatan yang dihuni masyarakat Suku Tengger lebih aktif dalam mengawal usulan. Hal ini seperti yang terungkap dalam wawancara dengan anggota DPRD dari dapil di Kecamatan Sukapura. “ Saya berusaha untuk mengawal usulan musrenbang di desa-desa Tengger. Menurut saya usulan dari desa-desa Tengger berdasarkan kebutuhan bukan berdasarkan keinginan....(M, 3 Februari 2011). “ Suku Tengger merupakan suku asing dan unik yang mempertahankan budaya lokal, saya selalu menyuarakan hal ini dalam rapat-rapat hearing dengan eksekutif...harapannya agar anggaran Suku Tengger lebih diprioritaskan....(J, 3 Februari 2011). Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa anggota DPRD dari dapil Tengger mempunyai semangat dan motivasi yang tinggi untuk mengangkat, memperhatikan, mensejahterakan Suku Tengger, sebagai salah satu suku Unik di Kabupaten Probolinggo bahkan di Indonesia. Dalam mengimplementasikan berbagai pembangunan maka masyarakat Suku Tengger selalu menerapkan nilai-nilai kegotong-royongan (sayan). Beberapa pekerjaan yang didanai oleh APBD berdasarkan hasil observasi penulis dilapangan dilakukan secara gotong royong. Sedangkan dalam kegiatan yang berupa pemberdayaan nilai 16
kegotong-royongan diwujudkan dalam bentuk rembugan atau musyawarah untuk menentukan sebuah keputusan. Sebagai contoh pada saat penentuan prioritas pembangunan ekonomi dan keuangan serta pembangunan sosial budaya. Selain mewarnai kegiatan keagamaan, nilai Sayan sangat terlihat dalam pembangunan fisik maupun non fisik di masyarakat Suku Tengger. Kegiatan non fisik biasanya dilakukan oleh ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) terkait dengan berbagai penyuluhan. Nilai kebersamaan dan kegotongroyongan menjadi bekal bagi ibu-ibu untuk bersama-sama belajar khususnya dalam hal kesehatan. Kegiatan yang pernah dilakukan adalah penyuluhan kesehatan oleh Bidan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota PKK Ibu Sri yang kebetulan berprofesi sebagai guru Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Setiap bulan ibu-ibu PKK mengadakan kumpulan di balai desa. Kegiatannya macam-macam, mulai dari penyuluhan kesehatan oleh bidan, masak memasak dan juga ketrampilan. Dulu di Tengger setiap ibu yang melahirkan hanya di tolong oleh dukun bayi, sekarang sudah ada bidan yang membantu proses persalinan...(S, 7 Februari 2011). Realitas yang saya temukan dalam setiap pembangunan yang ada di Desa Ngadisari yang masyarakatnya Suku Tengger adalah nilai kegotong-royongan yang sangat tinggi. Tiga pembangunan fisik yang saya jumpai mulai dari perbaikan gang desa, pengaspalan jalan, maupun pembangunan plengsengan menunjukkan bahwa masyarakat Suku Tengger mempunyai kesadaran yang sangat tinggi terhadap tanggung jawab pembangunan. Mereka tanpa pamrih bahu-membahu membantu menyelesaikan pembangunan. Berikut hasil wawancara dengan beberapa warga yang saya temui di lokasi pembangunan. “ Proyek pembangunan jalan ini didanai oleh APBD, sedangkan warga Tengger memberikan sumbangan berupa gotong-royong tenaga dan makanan. Sehingga dana yang dikucurkan oleh pemerintah murni untuk membeli bahan-bahan bangunan. Swadaya dari masyarakat dalam bentuk dana ada tetapi nilainya kecil.. (J, 27 Februari 2012). “Dana swadaya yang berasal dari masyarakat dapat meningkatkan hasil pembangunan, misalnya saja proyek jalan yang mestinya didanai untuk pembangunan 2 KM hasilnya bisa menjadi 2.5 KM...Dengan bergotong royong akan meningkatkan manfaat pembangunan..(P, 27 Februari 2012).
17
“Gotong-royong tidak hanya dilakukan pada saat pembangunan desa, gotongroyong juga dilakukan pada saat masyarakat ada yang mempunyai hajatan seperti sunatan ataupun mantenan yang dikenal dengan sebutan sinoman...” (S, 28 Februari 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Suku Tengger dan hasil observasi penulis dapat disimpulkan bahwa nilai kegotong-royongan atau Sayan sangat mewarnai berbagai sendi kehidupan masyarakat Suku Tengger mulai dari kehidupan bermasyarakat, kehidupan beragama, maupun kehidupan bernegara dimana masyarakat Suku Tengger mempunyai beberapa pedoman hidup yang dijadikan sebagai panutan dan pedoman meskipun arus modernisasi masuk di wilayah Tengger. Arus modenisasi tidak mempengaruhi karakter kegotong-royongan masyarakat Suku Tengger. Nilai kearifan lokal sayan yang ditemukan dalam kehidupan keseharian masyarakat Suku Tengger terinternalisasi dalam sikap hidup dan kemudian diterapkan dalam pembangunan dengan melakukan gotong-royong di setiap pembangunan yang ada di wilayah Tengger. Nilai kegotong- royongan merupakan modal sosial yang sangat baik di masyarakat Suku Tengger. Oleh karena itu nilai kegotong-royongan harus tetap dipertahankan ditengah arus modernisasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya seharusnya mulai berbenah dengan mengadopsi nilai kegotong royongan yang ada di Suku Tengger. Dengan menginternalisasi nilai kegotong royongan maka egoisme pribadi maupun kekuasaan akan terdistorsi. 4. Pertanggungjawaban Ala Rakyat “Tengger”: Membangun Kejujuran Untuk Kesejahteraan Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Probolinggo kepada DPRD merupakan mekanisme dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah, meliputi penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pada masyarakat selama kurun waktu satu tahun anggaran. Selain mekanisme formal yang diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang,
Nomor
3
Tahun
2007
tentang
Laporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban 18
Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam hal ini Bupati Probolinggo menyampaikan LKPJ secara langsung kepada rakyat di alun-laun Kraksan pada tanggal 20 Februari 2012. Pertanggungjawaban ala rakyat yang dilakukan oleh Bupati, juga dilakukan oleh Petinggi Suku Tengger. Berdasarkan hasil wawancara dengan Petinggi (kepala desa) Suku Tengger bentuk pertanggungjawaban ini merupakan bentuk kejujuran yang telah dilakukan oleh pemimpin kepada rakyatnya. Sementara dari sisi masyarakat Suku Tengger sendiri melihat bahwa rembug desa merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger yang manfaatnya sangat banyak bagi terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih serta transparan. Hal ini seperti yang diungkap pada saat wawancara sebagai berikut: “ Saya sebagai pemimpin Tengger yang telah dipilih oleh masyarakat dan tokoh adat, setiap tahunnya mempertanggungjawabkan kegiatannya secara langsung kepada masyarakat. Ini merupakan bentuk kejujuran seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya” (S, 3 Februari 2011). “ Sebagai warga Tengger saya merasa hidup damai dan tentram. Berbagai rangkaian kegiatan berjalan secara baik dan transparan. Salah satu bentuk transparansi dalam kegiatan pemerintah adalah adanya rembug desa. Semua warga masyarakat Tengger juga sangat patuh kepada pemimpinnya, baik pemimpin desa maupun pemimpin adat” (K, 3 Februari 2011) “ Kegiatan rembug warga Tengger merupakan kegiatan rutin tahunan yang sangat bagus sebagai ajang silaturhmi. Dalam kegiatan itu banyak sekali warga Tengger yang hadir untuk mendengarkan pertanggungjawaban secara langsung pak Petinggi. Pertanggungjawaban ini merupakan kejujuran pemimpin terhadap warganya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan (P, 3 3 Februari 2011)
Berbagai ungkapan di atas menunjukkan terdapat nilai kearifan lokal kejujuran yang terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan selama satu tahun. Pertanggungjawaban ala rakyat yang dilakukan oleh Kepala Desa Ngadisari selaku Petinggi Suku Tengger merupakan bentuk kejujuran yang dilakukan pemimpin kepada rakyat yang telah memilihnya. Terlepas dari motif politik di balik pertanggungjawaban ala rakyat, kegiatan ini perlu mendapatkan ruang apresiasi bahwa ada niat baik dari Bupati sebagai pemimpin untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya di depan 19
rakyat secara langsung. Dalam bentuk media apapun kepala daerah berkewajiban menyampaikan LKPJ atas kinerja pemerintahan yang tidaklah harus rigit dan kaku. Dan panggung laporan pertanggungjawaban “ala rakyat” di Kabupaten Probolinggo merupakan model pertanggungjawaban yang bisa dijadikan best practice bagi kepala daerah lainnya untuk lebih transparan dan akuntabel serta lebih dekat dengan rakyat. Dalam konteks pertanggungjawaban petinggi kepada masyarakat Suku Tengger yang dilaksanakan pada akhir tahun yaitu bulan Desember dengan sebutan “rembug desa Tengger” merupakan bentuk internalisasi nilai kearifan lokal kejujuran dan keterbukaan pemimpin atau Petinggi Tengger kepada masyarakatnya secara langsung. Bentuk pertanggungjawaban ini tidak ditemui di
desa lainnya di luar
Wilayah Tengger.
E. Kesimpulan dan Keterbatasan Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan musrenbang desa di Kabupaten Probolinggo secara umum hampir sama dengan di daerah lainnya. Sedikit perbedaannya adalah masyarakat Suku Tengger selain melakukan Musrenbangdes secara formal, mereka melaksanakan mekanisme partisipasi informal yang disebut Rembug Desa Tengger. Pelaksanaan Rembug Desa Tengger di Desa Ngadisari menurut teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1971) dikategorikan dalam partisipasi penuh. Temuan ini menarik karena partisipasi penuh hampir tidak pernah terjadi di daerah lainnya. Oleh karena itu, temuan ini perlu mendapat perhatian pemerintah daerah dan pusat untuk lebih memperhatikan karakteristik daerah dan kearifan lokal dalam proses perencanaan penganggaran dan melembagakan bentuk partisipasi informal tersebut. Kearifan lokal atau local wisdom masyarakat Suku Tengger didasarkan pada sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang berarti damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan tiga arah yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship). Berdasarkan konsep tersebut dapat di identifikasi beberapa nilai kearifan lokal di Suku Tengger diantaranya 1. setia, 20
2. guyub rukun, 3. sanjan-sinanjan, 4.ramah, 5. konsisten, 6. patuh (setuhu), 7. sayan (gotong royong), 8. jujur dan terbuka. Dalam konteks penganggaran daerah nilai kearifan lokal kepatuhan (setuhu) terinternalisasi dalam proses perencanaan, nilai kearifan
lokal
sayan
(gotong
royong)
terinternalisasi
dalam
implementasi
pembangunan, dan nilai kearifan lokal kejujuran dan keterbukaan terinternalisasi dalam pertanggungjawaban pembangunan. Nilai kepatuhan dalam masyarakat Tengger diwujudkan dengan tetap melakukan mekanisme musrenbang sesuai dengan aturan perundang-undangan sebagai mekanisme formal. Selain itu mekanisme informal dalam bentuk rembug desa juga dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger untuk menjaring aspirasi masyarakat yang kemudian akan di usulkan pada saat musrenbang formal. Pada saat pelaksanaan berbagai kegiatan musyawarah masyarakat Suku Tengger terlebih dahulu menentukan hari baik dan menyiapkan berbagai sesaji yang diperlukan sesuai dengan aturan adat masyarakat Tengger. Sementara nilai kegotong royongan atau sayan, sangat mewarnai kehidupan masyarakat yang kemudian juga terinternalisasi dalam proses implementasi pembangunan. Dalam konteks implementasi pembangunan Lesser (2000) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sebagai modal sosial yang sangat penting. Oleh karena itu nilai kegotong royongan harus tetap dipertahankan ditengah arus modernisasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya seharusnya mulai berbenah dengan mengadopsi nilai kegotong royongan yang ada di Suku Tengger. Dengan menginternalisasi nilai kegotong royongan maka egoisme pribadi maupun kekuasaan akan terdistorsi. Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Probolinggo kepada DPRD merupakan mekanisme dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas-tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah. Selain mekanisme formal yang diatur oleh pemerintah Bupati Probolinggo juga menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung ala rakyat. Dalam konteks pertanggungjawaban petinggi kepada masyarakat Suku Tengger yang dilaksanakan pada akhir tahun yaitu bulan Desember dengan sebutan “rembug desa Tengger” merupakan bentuk internalisasi nilai kearifan lokal kejujuran dan 21
keterbukaan pemimpin atau Petinggi Tengger kepada masyarakatnya secara langsung. Bentuk pertanggungjawaban ini tidak ditemui di
desa lainnya di luar Wilayah
Tengger. Kontribusi teoritis penelitian ini adalah penguatan teori tentang partisipasi masyarakat dalam proses penganggaran daerah yang lebih effektif jika memperhatikan nilai kearifan lokal. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu akuntansi sektor publik di bidang penganggaran daerah. Penelitian ini berhasil mengungkap bahwa mekanisme musrenbang yang ada sekarang, baik musrenbang desa, musrenbang kecamatan, forum SKPD, maupun musrenbang kabupaten hanyalah sekedar ceremonial budgeting dimana makna dari partisipasi yang sesungguhnya belum tampak sehingga tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum meningkat secara signifikan. Sedangkan mekanisme informal yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger dalam bentuk “Rembug Desa Tengger” lebih efektif karena sesuai dengan nilai kearifan lokal di daerahnya. Secara praktis, penelitian ini akan bermanfaat bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Probolinggo untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan
anggaran,
implementasi
pembangunan
dan
pertanggungjawaban
pembangunan. Sedangkan bagi masyarakat secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan peluang, kesempatan dan kemudahan akses untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasi, program dan kegiatan yang lebih efektif dan efisien tanpa diskriminatif. Bagi masyarakat Suku Tengger diharapkan tetap mempertahankan nilai kearifan lokal dalam proses perencanaan, implementasi pembangunan dan pertanggung jawaban pembangunan di daerahnya. Keterbatasan penelitian ini diantaranya kesulitan untuk menggali informasi yang lebih dalam dari aktor utama yaitu Bupati Probolinggo dan Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo karena kesibukan pekerjaannya, sehingga penjelasan yang diberikan hanyalah sebatas gambaran umum tentang mekanisme proses perencanaan dan penganggaran. Selain itu jangka waktu penelitian yang cukup panjang mulai tahun 2010 sampai 2012 (dua tahun) memungkinkan ada beberapa data yang tidak terekam secara baik.
22
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, A., Muslim, M., Rusmiyati, S., dan Wibisono, S. 2002. Good governance dan Penguatan Institusi Daerah. Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia. Hal. 74-75. Adams, Brian. 2004. Public Meeting and the Democratic Process, Jan/Feb 2004 Arnstein, Sherry R., 1971. “Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation” in Edgar S. Cahn and Barry A. Passet. Citizen Participation: Effecting Community Change. New York: Praegar Publishers. Birnberg, Jacob G., dan Shield, Jefferey F., (1989), Three Decades of Behavioral Research: A search for Order, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA. Burgstahler, David dan Sundem, Gary L., (1989), The Evolution of Behavioral Accounting Reseach in the United States, 1968-1987, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA. Caplan, Edwin H, 1989, Behavioral Accounting A Personal View, Behavioral Research In Accounting Volume 1, Printed in USA. Cornwall, Andrea, 2002. Making Spaces, Changing Places: Situating Participation in Development, IDS Working Paper 170, Oktober 2002 Cornwall, Andrea, dan Gaventa, John, 2001. From Users and Choosers to Makers and Shapers: Repositioning Participation in Social Policy, IDS Working Paper 127, Juni 2001. Covaleski, M.A., M. Dirsmith, dan S. Samuel. 1996. Managerial Accounting Research: The Contributions of Organizational and Sociological Theories, Journal of Management Accounting Research, Vol. 8: 1-35 Cooper L. and Elliot, J. (2000). “Public participation and social acceptability in the philippine EIA process”, Journal of Environmental Assessment Policy and Management, 2(3): pp 339-367. Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b Gobyah, I Ketut (2003) Berpijak pada Kearifan Lokal, dalam http://www.balipos.co.id, didownload 17/9/03. Hackman, J.D., (1985). Power and Centrality in the Allocation of Resources in Colleges and, Universities, Administrative Science Qaarterly, 30: pp 61-77. Henley, D., Likierman, A., Perrin, J., Evans, M. Lapsley, I., and Whiteoak, J. (1992). Public Sector Accounting and Financial Control, 4 th Ed., London: Chapman & Hall. Hopwood, A.G. 1989. Behavioral Accounting In Retrospect And Prospect, Behavioral Research In Accounting, Volume 1, pp: 1-22 23
Khan, Aman and Hildreth. (2002). Budget Theory in the Public Sector, Praeger Publisher. Krina P., Loina Lalolo. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Laurian, Lucie. 2004. Public Participation in Environmental Decision Making: Findings from Communities Facing Toxic Waste Cleanup, Winter Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI Yogyakarta Mariana and Edi, 2008, Representative democracy is Minimal Representation, Courtesy IRE http://ireyogya.org/id/flamma/flamma-32-demokrasi-perwakilan-yang-minim keterwakilan.html;download= 58521e4e2bd3d4b988cbd17d7365df3c#downloadFile Mahardika, Timur. (2001). Politic Education Empowerment of Village: Practice Book: Pustaka Utama LAPERA, Jogjakarta. McNeish, J.A. (2006). “Stones on the road: the politics of participation and the generation of crisis in Bolivia”, Bulletin of Latin American Research, 25(2): pp. 220–240. Miles, M. and Huberman, A.M. (2002). The Qualitative Researcher Companion. SAGE Publications Inc. New Delhi, India. Muluk, M.R. Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintah Daerah (Sebuah Kajian Dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Bayu Media-Lembaga Penerbitan FIA-Unibraw, Malang. Navarro, Zander. 2002. Dezentralization, Participation and Social Control of Public Resources: Participatory Budgeting in Porto Alegre, Brazil dalam seminar: Citizen Partisipation in the Context of Fiscal Decentralization: the Best practices in Municipal Administration,. Tokyo dan Kobe jepang September 2002. Radu, B. (2009). Citizen Participation in the Decision Making Process at Local and County Levels in the Romanian Public Institutions. pp 76-92. Retrieved in October 20, 2011, http://www.rtsa.ro/en/files/TRAS-31E-5-HARUTA,%20RADU.pdf Rubin, Irene S., (2000). The Politics Of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing, 4th Edition, 4 th ed. New York: Chatham House. Siegel, G. and Marconi, H.M. (1989), Behavioral Accounting, South Western Publishing Co. Ohio, USA. Sisk, T.D. (Editor) (2002). Democracy at the Local Level: International IDEA Handbook Regarding Engagement, Representation, Conflict Management and Governance, Seri 4, Internasional IDEA, Jakarta, Indonesia. 24
Sopanah, 2003. Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, dalam Proceding Simposium Nasional akuntansi VI, Membangun Citra Akuntan melalui Peningkatan Kualitas Pengetahuan, Pendidikan dan Etika Bisnis, Surabaya, 16-17 Oktober 2003 _______, Wahyudi, Isa dan Azmi, Happy. 2004. Strategi penguatan masyarakat dalam pengawasan proses penyusunan dan pelaksanaan APBD Kota Malang, Laporan penelitian tidak dipublikasikan MCW dan YAPPIKA. _______, dan Wahyudi, Isa. 2005a. Strategi Penguatan Masyarakat sipil dalam meminimalisasi Distorsi Penyusunan APBD Kota Malang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005 _______ dan Wahyudi, Isa. 2005b. Strategi Penguatan Partisipasi Rakyat terhadap Pengawasan dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Kota Malang, dalam Procesing Simposium Riset II ISEI, Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran, Surabaya 23-24 November 2005 _______. 2007. Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berprespektif Gender, dalam Proceding Konfrensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik I, Pascasarja UPN V Jatim, Surabaya, 25-26 April 2007 _______. 2008. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, Junal Akuntansi dan Keuangan, Volume 7 Edisi April, Universitas Muhammadiyah Surakarta. _______. 2009. Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, dalam Proceding Konfrensi Penelitian Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik II, Balitbang Depdagri, Jakarta, Juni 2009 _______. 2009. Studi Fenomenologis: Menguak Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD di Kota Malang, Proceding Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 12 Tanggal 4-6 November 2009 di Palembang Sopanah, A. (2011). “Refusal of a local goverment budgeting: an interpretive case study”, Asia Pacific Journal of Accounting and Finance, June, Departement of Accounting, Faculty of Economic, University of Indoensia, 1(2): pp. 165-177 Swain, A. and Chee, A.M., (2004), Political Structure and ‘Dam’ Conflicts: Comparing Cases in Southeast Asia. Retrieved October 20, 2011, http://www.worldwatercouncil.org/fileadmin/wwc/Library/Publications_and_reports/ Proceedings_Water_Politics/proceedings_waterpol_pp.95-114.pdf. Sukardi, Akhmad. 2009. Participatory Governance dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Pressindo. Yogyakarta. Sukari, et al. (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur. Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. 25
Sumarto, Hetifah, Sj. 2004. Inovasi Partisipasi dan Good Governance (20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Waidl, A., Sudjito, A., Bahagijo, S. (ed.). 2008. Mendahulukan si Miskin (Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat). Yogyakarta: LKiS-Pelangi Aksara. Wildavsky, A. 2004. The New Politics of The Budgetary Process. Fifth Edition. Pearson Education Inc. United States. Wiratraman, R.H.P., 2004, Pro-Poor Budget: Analisis Anggaran Sebagai Kerja Akar Rumput dan Strategi Merebut Sumberdaya Keputusan Yang Berpihak Bagi Rakyat Miskin, LBH, Surabaya
Peraturan Perundang-undangan : Republik Indonesia, Bappenas & Depdagri, 2002, Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, hal 20. Republik Indonesia, Penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan Daerah 2010, Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Republik Indonesia, Surat Edaran Bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Menteri Dalam Negeri No.1354/M.PPN/03/2004050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan Perencanaan Partisipatif Daerah. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
26