bib yang pandai disini, luka Sumoay ini asalkan dia sendiri yang turun tangan mengobatinya, apakah yang dikuatirkan tidak menjadi sembuh? Hanya dikuatirkan yang tabib ini akan timbul penyakit lamanya pula.” Dengan tertawa Cu-kat Beng lalu menjawab : "Sekalipun orang ini tabiatnya sangat aneh, tapi terhadapku dia mempunyai perhubungan dan kesan-kesan yang baik, asal saja aku pergi menjumpainya dan memohon bantuannya, dia pasti akan meluluskannya.” Begitulah kedua orang ini lalu naik kuda, sedangkan Souw Eng Swat dibawa dengan naik kereta. Mereka melakukan perjalanan siang malam, untuk memburu waktu pergi kekota Keng-san, dipropinsi Ouw-pak, untuk menjumpai dan meminta bantuan Sun-ie atau tabib sakti yang bernama Louw Ciang, yang tinggal diluar kota tersebut. Tabiat Louw Ciang ini sesungguhnya sangat aneh sekali, jika orang yang tidak berjodoh untuk diobatinya, sekalipun mati dihadapannya, dia tak mau menolongnya. Tabib itu mempunyai ilmu pengobatan, juga mempunyai kepandaian silat pula, yaitu ilmu silat biasa saja. Tapi dalam hal
mengobati orang sakit, ia harus dipuji luar biasa sekali pandainya, gembong-gembong ternama dikalangan Kangouw yang telah berhutang budi kepadanya, boleh dikatakan tidak sedikit jumlahnya. Tapi juga tidak sedikit orang yang tidak menyukai tindak-tanduknya, meski dalam hal itu mereka tidak berdaya sama sekali terhadapnya. Cu-kat Beng yang menunggang kuda lalu menghampiri kereta yang dinaiki Sumoaynya. Pada saat itu matahari sudah hendak kembali
keperaduannya diarah Barat. Malam tiba, hawa dimusim semi sekalipun tidak terlampau panas, tapi karena mereka melakukan perjalanan secara tergesa-gesa, muka mereka basah penuh dengan keringat. Sebentar-bentar mereka mengeluarkan saputangan untuk menyeka keringat itu. Waktu mereka sampai pada sebuah hutan bambu, ditengah-tengah mana tampak sebuah pekarangan yang dikitari dinding bilik, tidak terasa lagi semangat mereka jadi terbangun. Ie It Hui lalu menunjuk dengan perasaan yang girang sekali dan berkata : "Nun disana disebelah muka kita, adalah rumah si tabib itu.” Cu-kat Beng pun lalu menganggukkan kepalanya sambil berkata : "Benar.” Kedua orang ini lalu menarik tali les kudanya sambil berkata pada kusir kereta : "Lekas jalan.” Begitulah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu lalu mempercepat jalannya menuju kehutan bambu tersebut. Waktu mereka sampai dimuka hutan itu, kereta dan kuda lalu dihentikan. Cu-kat Beng berkata : "Baiklah kita masuk dengan berjalan kaki saja, untuk menghindarkan kumatnya tabiat orang tua yang aneh itu.”
Ie It Hui pun lalu turun dari kudanya, kemudian dari dalam kereta itu dia memboyong keluar tubuh Souw Eng Swat. Pada saat itu wajah nona itu yang sangat cantik telah berubah menjadi pucat sekali. Pipinya yang biasanya sangat montok dan berwarna merah dadu, kini sudah cekung. Dalam hatinya Ie It Hui merasa sangat kasihan sekali, hingga dia sudah ingin sekali memeluk dan merangkulnya saja. Cu-kat Beng disebelah sanapun buru-buru menghampiri dan mengulurkan tangan kanannya untuk memegang
tangan kiri Souw Eng Swat. Dengan terpaksa Ie It Hui tertawa, begitulah mereka berdua dengan masing-masing memegang sebelah tangan sang Sumoay berjalan masuk kehutan bambu tersebut. Dalam hutan itu jalannya terbuat daripada batu-batu, terus langsung menuju kerumah Tabib Sakti yang tinggal dalam beberapa rumah yang dibuat daripada alang-alang. Keadaan disekitarnya sangat sunyi, hingga disitu hanya terdengar suara kicauan burung-burung dan bunyi kutukutu saja. Waktu kaki mereka menginjak batu dari jalanan tersebut, lalu menerbitkan suara keresekan. Diatas dinding rumah yang dibuat daripada bambu itu, debu-debu menempel sangat tebalnya, sedangkan diatas debu-debu tersebut terdapat binatang-binatang yang merayap, kelihatannya sangat tak sedap dipandang mata. Lalu mereka mengetuk pintu rumah tersebut perlahanlahan. Tiga sampai lima puluh kali ketukan pintu telah dilakukan mereka, tapi dari dalam rumah itu tak terdengar suatu suarapun yang menyahut. Ie It Hui lalu berkata : "Apakah barangkali Louw Sinshe sedang keluar berpergian ?”
Cu-kat Beng menggelengkan kepalanya sambil berkata : "Tidak mungkin, selama sepuluh tahun ini, aku belum pernah mendengar dia keluar berpergian.” Lalu mereka memandang keadaan sekelilingnya. "Kau tengoklah, pintu besar ini sama sekali tidak dikunci, sekalipun benar dia sudah pergi, dalam rumah tersebut pasti ada orang yang menjaganya,” kata Cu-kat Beng lagi. Oleh karena itu, mereka lalu mengetok kembali pintu tersebut. Setelah mengetuk beberapa kali lagi, pintu besar tersebut
barulah terdengar terkuak. Tampaknya pintu besar itu memang tidak dikunci orang. "Loo Jie, bagaimana kiranya jika kita masuk saja untuk melihat-lihat ?” Cu-kat Beng coba menanyakan pikiran adik seperguruannya. Tapi meski Ie It Hui menyatakan mupakat berjalan sampai dipekarangan rumah tersebut, tetap saja tak terdengar suara orang sama sekali, hingga Cu-kat Beng lalu berteriak dengan suara nyaring : "Apakah Louw Loo Sinshe ada dirumah ?” Tapi, kecuali suara burung yang berkicau, tidak ada suara lainnya yang menjawab pertanyaannya. Tidak terasa lagi dia mulai merasa curiga, sambil memandang pada Ie It Hui dia berkata : "Kau dan Sumoay boleh tunggu disini dahulu, aku akan pergi melihat keadaan disebelah dalam. Aku harap kau dapat menjaga Sumoay dengan sempurna, sehingga tak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh kita sekalian.” Perkataan ini belum lagi habis diucapkan Cu-kat Beng, ketika dengan sekonyong-konyong dari dalam rumah tersebut terdengar suara yang menyeramkan dari seorang yang membentak : "Enyahlah kalian dari sini !”
Sekalipun hanya empat patah kata saja yang dikatakan orang tersebut, tapi suaranya jelas mengandung penghinaan bagi mereka. Cu-kat Beng yang mendengar suara orang tersebut, ternyata beda sekali dengan suara Tabib Sakti yang berbahasa daerah provinsi Ouw Pak itu, maka ia lalu berkata : "Tuan siapa gerangan ? Kami 'Kong Tong Sam Coat Kiam', sengaja datang kesini untuk mengunjungi Louw Sinshe.” Dia mengira, dengan menyebutkan gelar 'Kong Tong
Sam Coat Kiam' itu akan dapat menarik perhatian orang tersebut, tidak disangka-sangka bahwa orang itu malah berlaku semakin adem dan membentak pula : "Telah kukatakan supaya kalian segera angkat kaki dari sini, apakah kalian tidak mendengar ?” Kemudian disusul dengan suara "brak” dari terpentangnya pintu jendela yang dekat pekarangan tersebut, dari mana segera kelihatan muncul kepala orang yang tidak tampak darahnya, sehingga muka orang itu tampak sangat pucat melebihi kepucatan muka Souw Eng Swat. Melihat wajah orang tersebut, Ie It Hui dan Cu-kat Beng tidak terasa lagi menjadi menggigil dan dengan serentak mereka berseru : "Kau siapa ?” Orang itu lalu tertawa dengan suara yang panjang dan nyaring, sinar matanya yang sangat tajam disapukan kearah mereka dan kemuka Souw Eng Swat, kemudian dengan penuh keangkuhan dia berseru : "Sungguh cantik sekali si nona itu !” Cu-kat Beng dan Ie It Hui menjadi gusar sekali melihat sikap orang tersebut yang tidak memandang sebelah matapun pada mereka. Dan setelah melihat muka Souw Eng Swat sekilas lagi, lalu dia berkata pula : "Kalian yang
berdiri disana mau menunggu apa lagi ? Sekarang Louw Loo-thauw-cu tidak mempunyai waktu untuk mengobati kamu. Enyahlah kamu sekalian !” Sudah tiga kali berturut-turut dia mengusir mereka pergi, maka dengan penuh kemarahan Ie It Hui lalu berkata : "Kawan ini orang dari golongan mana ? Silahkan kau suka menerangkan namamu pada kami.” Tapi orang itu lalu tertawa mengejek dan berkata kaku : "Akan kuhitung sampai sepuluh. Jika kalian masih belum
juga pergi, aku tak akan berlaku segan-segan pula terhadap kalian !” Sejurus kemudian dengan bersikap seolah-olah disampingnya tidak ada orang, dia segera mulai menghitung dengan lambat-lambat: "Satu, dua, tiga ..….” Muka Ie It Hui jadi beringas, tapi karena memandang pada Souw Eng Swat yang sedang menyenderkan badannya ditangannya, dengan suara yang perlahan dia berkata pada kakak seperguruannya : "Suheng, marilah kita keluar segera.” Cu-kat Beng pun sambil memandang pada luka yang sedang diderita oleh Souw Eng Swat dan demi menjaga keselamatan adik seperguruannya, buru-buru mereka meninggalkan tempat itu. Baru saja mereka sampai diluar pekarangan, orang tersebut habis menghitung sampai sepuluh. Sehabis menghitung, kedengaran orang tersebut tertawa terbahak-bahak. Cu-kat Beng dan Ie It Hui selama hidupnya belum pernah menerima penghinaan sebesar demikian.
Kemudian Ie It Hui berkata : "Siauw-tee akan pergi sebentar melihat keadaan disebelah dalam.” Dia yakin bahwa orang yang berada didalam rumah itu, pastilah seorang lawan yang tangguh, maka dia segera mencabut pedangnya, yang telah dia gunakan untuk melatih diri selama beberapa puluh tahun lamanya. Apa lagi ia telah mahir dalam gaya 'Siauw-yang-kiu-it-sek' dari
jurus partai Kong Tong, yang sudah terkenal dan menjagoi dengan itu diseluruh dunia Kang-ouw. Dengan adanya pedang ditangan, semangatnya menjadi bertambah besar, maka sambil melompat sekali saja badannya sudah memasuki kembali pekarangan tersebut. Tenaga dalamnyapun kuat, maka waktu badannya jatuh ketanah, tidak terdengar suara apapun. Tak disangkasangka dalam sekejap mata saja, orang yang menyuruhnya pergi itu sudah meloncat keluar melalui jendela. Kepandaian ilmu meringankan tubuh orang tersebut tampaknya jauh melebihi kepandaian Ie It Hui sendiri. It Ie Hui menjadi amat terkejut. Orang itu sambil tertawa dibuat-buat lalu berkata : "Apakah kau pernah dengar ada lawan yang meloloskan dirinya dari tangan Thian-mo Kim Ie dengan masih bernyawa ?” Tian-mo Kim Ie ini benar-benar telah membuat Ie It Hui menjadi tertegun, maka dia berpikir pada dirinya sendiri : "Ternyata orang ini adalah Tian-mo Kim Ie !” Kemudian mukanya tampak berubah menjadi sangat gugup. Tian-mo Kim Ie berkata lagi : "Karena aku sangat memandang, maka hari ini baru kaulah orang pertama yang masih bernyawa dan dapat berlaku tanpa cedera dari hadapanku. Sekarang segeralah kau pergi dari sini !” perintahnya.
Sekalipun Ie It Hui terkenal dengan sifat sombongnya selama ini, tapi pada saat berhadapan dengan orang ini, dia merasa agak kuatir juga. Setelah berpikir-pikir sejurus lamanya, lalu dengan terpaksa dia berlari juga keluar dari situ. Dimuka Tian-mo Kim Ie mengucur terlalu banyak keringat, karena ia menderita kesakitan yang sangat.
Kemudian sambil balik kembali kejendela dengan pergerakan badannya yang sangat lamban itu, ia menghapus keringat dengan tangannya. Diatas sebuah bangku panjang dalam rumah itu, tampak seorang tua yang bermuka amat pucat sekali, tidur bersandar pada bangku itu. Dan orang ini tampaknya sedikitpun tidak menghiraukan peristiwa yang baru saja terjadi diluar rumah tempat ia berbaring itu. Tian-mo Kim Ie menghampiri orang tua itu dan lalu berkata kepadanya : "Orang she Louw, kau harus berlaku sedikit lebih cerdik. Kau tentu mengetahui bagaimana letaknya jalan darah 'Pek-hwee-hiat'. Didunia tidak ada orang lain yang dapat membuka totokanku ini. Jika kau belum juga mau meluluskan permintaanku, hidupmu akan kutamatkan dalam waktu beberapa jam lagi, sekalipun aku orang she Kim sendiri akan menemui ajalku pula !” Ternyata Tian-mo Kim Ie yang telah menggunakan kesempatan melarikan diri selagi orang bermain kucingkucingan dengan Thio Ceng, dengan dibelakangnya Tong Pin, Tong Leng dan Tong Yan masih terus-menerus mengejarnya. Tapi karena Tong Pin dan kawan-kawannya tak dapat menandingi ilmu meringankan tubuh Tian-mo Kim Ie ini, maka dalam waktu sedetik saja Tian-mo Kim Ie telah berhasil melenyapkan diri dari kejaran lawanlawannya.
Tian-mo Kim Ie setelah melarikan diri sebentar, terasa bagian dada dan perutnya sangat
sakit, bahkan pernapasannyapun menjadi tidak teratur dan tidak sempurna jalannya. Ternyata dadanya yang terkena pukulan Lie Siauw Hiong, pada saat itu sakitnya mulai terasa, apa lagi ia telah menderita luka-luka pula. Karena dia telah berlari sedemikian pesatnya, maka dalam tempo yang tidak berapa lama pula membuat luka-lukanya menjadi lebih parah keadaannya. Sejurus antaranya dalam larinya itu, sesekali ia coba menoleh kebelakang, tapi ternyata keluarga Tong itu sudah tidak berhasil mengejarnya. Pada sebuah pohon besar ia berhenti untuk beristirahat sebentar, sambil menoleh kekirikanan dan bersembunyi disitu. Setelah mengatur jalan pernapasannya, tulang-tulang persambungan antara kaki dan tangannya terasa seperti hendak terlepas satu sama lainnya, dia menjadi sangat terkejut sekali, dalam hatinya diam-diam dia berpikir : "Ternyata pukulan bocah she Lie ini bukan main lihaynya.” Ia insyaf bahwa pukulan Lie Siauw Hiong ini adalah pukulan seorang ahli tenaga dalam, maka bila tidak lekaslekas diobati, dikuatirkan untuk selama-lamanya dia tak akan dapat sembuh lagi. Dalam kegugupannya ini, tiba-tiba dia terpikir akan seorang tabib pandai, yaitu Louw Ciang. Tanpa membuang-buang tempo lagi, dia lalu berangkat dengan tergopoh-gopoh ke Keng-san untuk memohon pertolongan tabib itu. Waktu tabib ini mendengar nama Kim Ie, dengan tegas dia berkata bahwa dia tidak mau mengobatinya. Tian-mo Kim Ie tentu saja menjadi sangat geram, hingga akhirnya mereka berdua bertempur dengan amat serunya. Sekalipun Tian-mo Kim Ie bertarung dengan badan sedang
menderita luka-luka, tapi tabib sakti itu bukanlah
tandingannya yang setimpal. Maka dalam tiga atau lima jurus saja dia sudah berhasil menotok jalan darah 'Pekhwee-hiat ditubuh tabib tersebut, hingga kemudian dia mendudukkan tabib itu diatas pembaringannya. Tian-mo Kim Ie ingin menggunakan pengaruhnya untuk memaksa tabib itu akan mengobatinya, tapi sitabib hanya duduk diam saja, sepatah katapun tidak dia ucapkan. Oleh sebab itu, tidaklah heran jika Kim Ie semakin geram. Dalam pada itu, 'Kong Tong Sam Coat Kiam' pun datang pula kesitu, hingga diam-diam Tian-mo Kim Ie menghela napas, karena dia tahu benar, bahwa pada saat menderita luka-luka yang parah itu dia bukan lawan yang setimpal dari 'Kong Tong Sam Coat Kiam'. Bila sampai terjadi dia harus turun tangan terhadap mereka, luka-luka dalam tubuhnya pasti akan bertambah parah lagi. Begitulah ketika dengan sepatah dua kata dia telah berhasil mengusir pergi Ie It Hui, barulah dalam hatinya diam-diam dia merasa girang sekali. Tapi tabib she Louw ini biar apapun yang Kim Ie katakan, namun dia tidak mau juga mengobatinya. Oleh karena itu, Tian-mo Kim Ie jadi semakin bingung. Kalau lukanya itu hanya luka didalam yang biasa saja, dia bisa mengobati sendiri, tapi luka yang dia derita sekarang, kekuatannya jauh melebihi tenaga pukulan biasa. Maka dari itu, tak sembarangan orang dapat menyembuhkannya. Ie It Hui yang sudah berlari keluar pagar pekarangan rumah Tabib Sakti itu, lalu berkata pada Cu-kat Beng : "Orang itu adalah Tian-mo Kim Ie, Suheng, coba kau katakan, kita harus berbuat bagaimana baiknya ?” Cu-kat Beng berdiam sejurus, kemudian ia lalu berkata :
"Tian-mo Kim Ie hari ini datang mencari Tabib Sakti untuk
keperluan apakah. sebenarnya ? Aku kira dia sendiripun luka pula.” "Loo Jie, baik kita letakkan dulu Sumoay dalam hutan bambu, kemudian kita berdua masuk kembali kedalam rumah untuk menyelidiki Tian-mo Kim Ie. Karena meski dia mempunyai tiga kepala dan enam tangan, mustahil amat kita berdua tak mampu melawannya ?” sambung Cukat Beng. Ie It Hui menyatakan mupakat dan lalu meletakkan Souw Eng Swat diatas rumput tebal dekat sebuah rumpun pohon bambu yang besar sekali. Cu-kat Beng lalu memberi isyarat dengan tangannya, untuk mengajak adik seperguruannya masuk kembali kedalam pekarangan rumah tabib she Louw tersebut. Dengan melalui jendela rumah itu mereka melongok kedalam. Tampak oleh mereka, Tian-mo Kim Ie sedang duduk diatas sebuah kursi sedang berpikir. Setelah itu Cu-kat Beng lalu melontarkan batu Hui-hongciok pada lawannya. Kong Tong adalah salah satu pemimpin dikalangan Kang-ouw, Li Gok tidak suka menggunakan senjata rahasia. Diantara murid-murid partai Kong Tong yang dapat menggunakan senjata rahasia, boleh dikatakan sedikit sekali, sedangkan senjata yang dipergunakannya hanya sebangsa batu Hui-hong-ciok saja. Hal itu membuktikan bahwa partai tersebut sangat menjunjung tinggi nama partainya. Dikalangan Kang-ouw Hui-hong-ciok hanya termasuk senjata rahasia yang sangat umum, oleh karena itu, sambitan tersebut tentu saja tak dapat mengenai Tian-mo
Kim Ie yang sudah termasuk seorang ahli jempolan dalam
kalangan rimba persilatan. Dengan hanya mengibaskan sedikit saja tangannya, ia dapat memukul hingga batu Huihong-ciok itu terpental ketempat yang jauh sekali. Tapi pergerakannya itu sama sekali tidak menandakan bahwa badannya bergerak barang sedikitpun dari tempat duduknya semula. Sesaat kemudian perasaan sakit yang amat telah menyerang pada dadanya, hingga bernafas pun dirasakannya agak sukar. Cu-kat Beng yang melepaskan batu Hui-hong-ciok ini, tidak mengharapkan batu tersebut betul-betul menemui sasarannya. Dan jika ia berbuat juga begitu, ialah sematamata untuk mengagetkan dan memancing Tian-mo Kim Ie, agar dia dapat keluar melalui jendela rumah itu. Tapi ketika menyaksikan lawan itu tidak menunjukkan aksi sesuatu, mereka menjadi bertambah heran. Hati Ie It Hui tiba-tiba bergerak, maka dengan perlahanlahan dia lalu berkata pada Cu-kat Beng : "Kenapa setan ini rupanya datang kemari untuk mencari si Tabib Sakti, berhubung dia sendiripun telah dilukakan oleh pihak lawannya. Dia bergerakpun tampaknya tidak mampu, maka bila kita ingin mengalahkan kepadanya, saat ini adalah waktu yang paling tepat. Tapi bagaimana pendapat Suheng pribadi ?” Cu-kat Beng berpikir sejurus dan lalu berkata lagi : "Tampaknya hari ini kita tak dapat tidak turun tangan melakukan suatu pertempuran yang menentukan. Keadaan luka Sumoay kita sangat mengkhawatirkan dan harus mendapat pengobatan secepat mungkin. Tidak perduli apakah dia itu terluka ataupun tidak, kesemuanya adalah sama saja, hanya ..….”
"Hanya kenapa ?” tanya Ie It Hui tiba-tiba.
"Hanya bila kita harus melangsungkan pertempuran dalam rumah tersebut, aku kuatirkan dapat membuat kejadian perbuatan kita ini menyinggung perasaan si tabib itu, dengan sendirinya diapun tidak mau pula mengobati Sumoay kita, bukan ? Dengan begitu tidakkah berarti kita membuat keadaan menjadi lebih kacau saja ?” jawab Cu-kat Beng pula. Mendengar kakak seperguruannya berkata demikian, Ie It Hui pun merasa hal itu memang masuk diakal juga. Maka sekalipun dia sendiri tidak kenal dengan tabib tersebut, tapi dia memang pernah mendengar tentang adat tabib yang sangat aneh dan luar biasa itu. Pendeknya, orang yang berdekatan dengannya pasti baru mengetahui benar sifat-sifat tabib itu. Setelah berdiam diri sejurus lamanya, Ie It Hui berkata pula : "Bila demikian halnya, cara bagaimana kita barus bertindak sebaiknya ? Kita meninggalkan Sumoay seorang diri dalam hutan bambu itu, apakah ini tidak berbahaya ?” Ie It Hui sangat memperhatikan keselamatan Souw Eng Swat, maka pada waktu mendengar perkataan Suteenya ini, dalam hati Cu-kat Beng timbul rasa cemburunya. Dengan berpura-pura menunjukkan sikap yang besar hati ia menjawab : "Aku kira tidak akan terjadi sesuatu yang boleh dikhawatirkan, tapi bila kau tidak merasa tenteram, pergilah kau mengawasinya.” Ie It Hui merasa tidak enak, maka didalam hatinya ia berkata : "Mengapa kau harus mencemburui aku ?” "Kalau begitu baiklah,” sahutnya kemudian. "Silahkan Suheng menunggu disini. Bila keadaan mengijinkan, barulah kau campur tangan. Aku akan pergi keluar dulu
melihat Sumoay.” Sehabis berkata begitu, lalu Ie It Hui pergi keluar.
Tiba-tiba Cu-kat Beng menyesalkan dirinya sendiri, mengapa dia mengijinkan Ie It Hui pergi seorang diri saja menengok Souw Eng Swat, Ia dan Ie It Hui memang sedang berlomba-lomba untuk memperebutkan sang Sumoay ini. Pada hal Souw Eng Swat tidak barang sedikitpun mencintai mereka, bahkan kadang-kadang dia merasa jemu terhadap Ie It Hui dan Cu-kat Beng ini. Justeru disinilah letak keanehan seorang gadis. Bila seseorang senantiasa gampang saja menunjukkan rasa cintanya, maka sigadis menganggap bahwa orang yang menyatakan cintanya dengan terang-terangan itu sebenarnya tidak bersungguh-sungguh cinta terhadapnya. Tapi bila seseorang itu pura-pura tidak mencintainya, maka dia akan berbalik menyukai orang itu. Tian-mo Kim Ie merasakan keadaan badannya mulai tidak sempurna, hingga napasnyapun sudah mulai tidak teratur lagi. Maka waktu dia melihat tabib tersebut masih saja duduk diatas ranjangnya, sudah barang tentu pertolongan yang diharapkannya takkan berhasil, dan hal itu akan merupakan harapan yang sia-sia belaka. Sudah itu, sekarang ditambah lagi dengan 'Kong Tong Sam Coat Kiam' yang tampak menghadang dihadapannya. Hatinya yang memang
sangat kejam itu, diperlihatkannya bila dia hendak mengerjakan sesuatu. Bila belum tercapai maksudnya, dia tidak akan berhenti sampai disitu saja. Sedangkan ayah dan ibu kandungnya senjri dia sampai hati membunuhnya, apalagi terhadap jiwa orang lain, dimanalah dia mau memandang sebelah matapun ? Pada saat itu nafsu membunuhnya telah mulai memuncak pula, maka dengan diam-diam dia berpikir : "Sitabib bangsat ini rupanya tidak mau mengobatiku, dari itu, akan kubikin dia tidak mampu pula mengobati orang untuk selama-lamanya !”
Begitulah setelah mengambil suatu ketetapan, lalu dia tertawa kecut. Yang menjadi tertawaannya itu ialah karena dia yakin, bahwa tindakan liarnya itu pasti menggagalkan juga segala maksud kedatangan 'Kong Tong Sam Coat Kiam'. Kemudian dia bayangkan bahwa dikemudian hari orangorang dikalangan Kang-ouw yang menjadi cidera tentu tak akan ada orang yang dapat menyembuhkannya. Oleh karena itu, maka hatinya menjadi girang dan puas sekali dengan rencananya ini. Diam-diam dia berkata pada dirinya sendiri : "Bila aku berbuat demikian, sudah pasti dapat mengakibatkan banyak orang turut merasakan juga akibatnya.” Begitulah sambil menahan sakit yang dideritanya, dia lalu bangun berdiri, dengan cepat sekali dia menghampiri ranjang dimana tabib itu berbaring, kemudian terdengar suara 'pak' yang nyaring sekali. Suara itu adalah suara sesuatu yang dipukulkannya kearah batok kepala tabib
tersebut. Sesudah melakukan perbuatan kejam itu, Tian-mo Kim Ie lalu meloncat keluar melalui jendela dan bayangannyapun dalam seketika saja hilang lenyap entah kemana perginya. Cu-kat Beng dari luar jendela tiba-tiba tidak melihat pula Kim Ia selain tabib itu yang tampak lagi berbaring diatas pembaringan. Setelah berselang sejurus, dengan perasaan yang sangat terkejut dia bertanya : "Louw Loo-sinshe, kau kenapa ?” Dengan lemah sekali tabib tersebut membuka matanya, pandangannya pada saat itu sudah sangat kabur sekali, maka dengan memaksakan diri dia berkata : "Lekas kau tolong ambilkan obat yang terletak dipara-para sebelah kanan, botol ketiga yang berwarna hijau itu. Lekas, lekas !”
Cu-kat Beng buru-buru pergi kepara-para sebelah kanan dan mengambil botol hijau yang bentuknya sudah sangat kuno dan menyerahkannya kepada tabib itu. Sekalipun pukulan Kim Ie dikepala Tabib Sakti akan membawa kematiannya, tapi hal itu justeru telah membuka jalan darahnya. Namun dia masih dapat berbicara, sedang kaki dan tangannyapun masih dapat bergerak-gerak. Sejurus kemudian Louw Ciang menyuruh Cu-kat Beng mengambil 3 butir pil dan memasukkan kedalam mulutnya. Cu-kat Beng lalu membuka tutup botol obat itu dan mengambil tiga butir pil yang bening dan harum baunya, lalu diberikannya pada tabib itu. Dalam hatinya ia berpikir : "Obat ini tentu obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan luka-luka didalam tubuh yang bernama Tui-hun-tan itu.” Obat 'Tui-hun-tan' dari Tabib Sakti ini, adalah obat istimewa untuk menyembuhkan luka-luka dibahagian
dalam tubuh yang khasiatnya sangat mujarab sekali. Orangorang dikalangan Kang-ouw banyak yang mengetahui, bahwa obat buatan tabib she Louw ini bukan main mustajabnya. Juga obat ini bukanlah sembarangan orang dapat memintanya. Setelah Cu-kat Beng memasukkan tiga butir 'Tui-hun-tan' itu kemulut tabib tersebut, lalu dengan diam-diam dia memasukkan botol pil tersebut kedalam saku baju didadanya. Setelah obat pil ini ditelan semangat tabib tersebut tampak menjadi lebih baik, maka dengan segala daya dia telah memaksakan dirinya untuk duduk dengan mata dipejamkan. Sesaat kemudian sambil menarik nafas panjang dia membuka matanya.
Dengan perasaan simpati Cu-kat Beng segera bertanya : "Apakah Louw Loo-sinshe merasa baikan ?” Tabib Sakti itu lalu menarik nafas panjang dan menggelengkan kepalanya sambil berkata : "Tian-mo Kim Ie adalah seorang ahli silat yang sangat tangguh, dalam segala hal ini terbukti setelah menderita luka-luka berat, dia masih mempunyai tenaga pukulan yang demikian kuatnya.” Kemudian dia menarik nafas lagi berulang-ulang dan lalu berkata pula : "Kepalaku telah dipukulnya satu kali dengan pukulan yang membahayakan sekali, maka pada saat ini walaupun aku menggunakan obat dewa, tidak urung jiwaku sukar dapat ditolong pula !” Cu-kat Beng lalu menghiburnya sambil berkata : "Tidak mungkin ..….” Sekonyong-konyong dengan amat marahnya tabib itu telah membentaknya : "Apa yang tidak mungkin, akulah
yang lebih tahu daripadamu !” Begitu dia marah, serta merta keadaan badannya menjadi tergoncang. Tiba-tiba dia batuk-batuk panjang selama beberapa menit. Setelah batuknya berhenti, dia melanjutkan perkataannya : "Aku tidak ..…. tidak mungkin, ai, hanya disayangkan yang ilmu tabibku ini tidak ada ..….” Baru saja dia habis mengucapkan perkataannya 'da', tiba-tiba kedua matanya terbalik, sedangkan pernafasannya pun berhenti seketika itu juga. Ternyata dia telah menghembuskan napasnya yang penghabisan ! Rupanya pukulan Tian-mo Kim Ie yang mengenai kepala tabib ini, betul-betul menggegerkan otaknya sehingga ia mendadak jatuh semaput. Tak seorang pun dapat menahan tenaga pukulan Kim Ie yang sangat luar biasa ini. Tabib Sakti itu hanya
dapat mempertahankan dirinya hingga beberapa menit saja lamannya. Dia sendiri sehari-harian selalu merawat dirinya dengan sempurna, dan meski tenaga dalamnya bagaimana hebat sekalipun, juga biarpun ia menelan tiga butir 'Tuihun-tan' yang seperti obat dewa itu, tidak urung tak dapat menolong jiwanya sendiri. Begitu dia mati, Cu-kat Beng menjadi sangat gugup sekali, hingga diam-diam dia berpikir pada dirinya sendiri : "Tidak disangka begitu aku sampai, jiwanya pun lantas melayang. Sungguh sial sekali !” Cu-kat Beng betul-betul mempunyai kepribajan yang sangat tipis sekali. Melihat matinya Tabib Sakti tersebut, sedikitpun dia tak mempunyai perasaan sedih atau simpati, bahkan sebaliknya dia hanya merasa dirinya saja yang bernasib malang ! Pada saat itu diluar rumah terdengar suara ketrikan jari
orang yang datangnya dari dalam hutan bambu. Mendengar hal itu, Cukat Beng sadar bahwa Ie It Hui tentu memanggilnya karena timbul sesuatu yang tidak diharapkan. Sebelum ia meninggalkan rumah itu, ia menoleh kearah para-para obat tersebut. Disebelah kanan para-para itu masih terdapat beberapa botol yang berwarna hijau. Waktu dia hendak pergi, dia ingin mengambil botol-botol obat itu, tapi tiba-tiba dia berpikir : "Sekalipun aku ambil obat-obat ini, aku tidak tahu obat-obat ini untuk menyembuhkan penyakit apa. Lagi pula aku tak tahu cara bagaimana untuk menggunakannya.” Oleh karena itu, dia tidak jadi mengambilnya dan lantas dia lari keluar menuju kehutan bambu tersebut. Baru saja dia melewati pagar rendah yang terbuat daripada bambu, hatinya menjadi sangat terkejut sekali,
karena didapatinya diluar pagar dihutan bambu tersebut selain Ie It Hui dan Souw Eng Swat, tampak pula tiga orang yang lainnya. Dua orang diantaranya memakai jubah Toosu yang berwarna biru, sedangkan yang seorang lagi memakai baju biasa, tampak menyandarkan tubuhnya kebadan kedua orang Too-su yang tampaknya dalam keadaan luka. Oleh karena itu, dengan segera dia melompat keluar menuju kearah Ie It Hui. Waktu matanya memandang, ternyata pihak lawannya itu adalah Leng Hong Tojin dari
Bu-tong-pay, dan yang satu lagi ialah murid keturunan kesembilan dari partai tersebut, sedangkan yang terluka itu adalah Sin-ho Tam Peng. Ternyata Sin-ho Tam Peng yang kena pukulan Ie It Hui, keadaan lukanya cukup berat, sekalipun dia sudah lama beristirahat digunung Bu-tong-san dan menelan entah berapa banyak obat yang manjur-manjur, tapi keadaan lukanya sedikitpun tidak berubah. Oleh karena itu, mereka datang kesitu untuk meminta pertolongan dan pengobatan dari Tabib Sakti ini. Pada saat itu dan ditempat yang sama, mereka kedua belah pihak bertemu pula, hati masing-masing sangat benci dan dendam. Begitupun masing-masing pihak sama-sama mengetahui, bahwa kedatangan mereka kesana pun sematamata untuk meminta obat. Setelah masing-masing pihak saling memandang sesaat lamanya, Leng Hong Too-jin tanpa mengucapkan sepatah katapun, lalu membimbing tangan Sin-ho Tam Peng masuk kerumah Tabib Sakti tersebut, maka tiba-tiba Cu-kat Beng berkata dengan suaranya yang bernada rendah : "Mari kita segera pergi.”
Ie It Hui melihat wajah Cu-kat Beng bersungguhsungguh, dia yakin telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan, maka sambil buru-buru mendukung Souw Eng Swat, lekas-lekas ia pergi keluar dari hutan bambu itu. Dia merasakan bahwa nafas Souw Eng Swat sangat berat sekali, tampaknya sudah kembung-kempis saja, maka tidak terasa lagi dia bertanya dengan gugup : "Luka Sumoay bagaimana dirawatnya ?” Cu-kat Beng menjawab : "Jangan khawatir, aku telah mengambil satu botol obat mujarab dari Tabib Sakti
tersebut.” Ie It Hui dengan perasaan ragu-ragu lalu berpikir pada dirinya sendiri : "Kenapakah Tabib Sakti ini sekarang dengan secara tiba-tiba menjadi begitu dermawan sekali dan mau menyerahkan obat 'Tui-hun-tan'-nya pada Cu-kat Beng ?” Sekonyong-konyong dia berseru : "Sumoay !” Lalu dia ulurkan tangannya meraba hidung Souw Eng Swat, dan dengan perasaan kaget sekali dia berkata : "Celaka, pernafasan Sumoay agaknya sudah berhenti menghembus !” Pada saat itu mereka sudah melampaui hutan bambu tersebut. Sambil berjalan disamping kereta mereka. Cu-kat Beng lalu memandang kebelakang sambil mengeluarkan sebotol obat yang berwarna hijau dan berkata : "Tui-hun-tan ini baik ditelankan kemulut Sumoay sebanyak tiga butir, obat ini pasti akan menolongnya.” Belum lagi perkataan ini habis diucapkannya, dari dalam hutan bambu tersebut berkelebat satu bayangan manusia, yang sekonyong-konyong berhenti dimuka mereka. Dengan tertawa dingin orang tersebut berkata : "Sungguh kejam
sekali kamu 'Kong Tong Sam Coat Kiam' ! Ternyata kalian telah membunuh mati Tabib Sakti itu !” Lalu dengan ekor matanya dia melirik kearah botol obat yang sedang dipegang oleh Cu-kat Beng, dengan mana ia melanjutkan perkataannya : "Bahkan kalian telah mencuri juga obat 'Tui-hun-tan' pula. Hmmm ! Ternyata ahli pedang seluruh jagat telah menghasilkan murid yang sangat baik sekali !” Waktu Ie It Hui mendengar bahwa Tabib Sakti itu sudah meninggal dunia, dia menjadi sangat terkejut juga. Cu-kat
Beng pun sambil tertawa hambar lalu berkata : "Too-su dari Bu-tong-pay pun ternyata lihay juga, ya ? Tanpa membedakan hijau merah ataupun putih lagi, lalu sembarangan saja menuduh orang !” Leng-Hong Tojin tertawa pula sambil berkata : "Bagus, aku telah menuduhmu.” Sehabis berkata begitu, lalu dia kembali masuk kedalam hutan bambu itu. Kemudian Cukat Beng memandang pada Ie It Hui, yang tampaknya sangat curiga terhadapnya dan berkata : "Lekas naik kereta, sebentar lagi akan aku jelaskan duduknya perkara yang sebenar-benarnya.” Ternyata para too-su dari Bu-tong-pay sekalipun ribut mulut dengan Cu-kat Beng, tapi masing-masing pihak mementingkan untuk menolong kawannya lebih dahulu, oleh karena itu, lalu mereka mengambil jalan sendirisendiri. Hal ini, baiklah untuk sementara kita tinggalkan dahulu. Sekarang kita balik meninjau pemuda Lie Siauw Hiong. Pada saat dia ditawan musuhnya, ternyata dia tidak kehilangan ingatan.
Dia tidak bisa berbicara ..…. kaki dan tangannyapun tidak dapat digerakkannya, karena ia dikempit dan dibawa pergi oleh Biu Chit Nio. Hanya disamping badannya, dia merasa angin menghembus amat kencangnya. Pada saat itu lawannya melarikannya dengan amat cepatnya. Tadinya dia merasa bahwa ilmu kepandaian meringankan tubuhnya, 'Am-eng-pu-hiang' sudah terlatih sempurna, tapi tak disangka-sangka kepandaian lawannya ini jauh melebihi kepandaiannya sendiri. Kini ia insyaf, bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipelajari sampai pada sesuatu batas tertentu, karena bila seseorang mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi, maka pasti ada lain orang yang dapat melebihi kepandaiannya. Begitulah orang didunia ini dalam menuntut ilmu selalu atas mengatasi tanpa habis-habisnya. Kemudian Lie Siauw Hiong berpikir tentang keselamatan dirinya, maka diam-diam dia berpikir : "Apakah kesalahan yang telah kuperbuat terhadap orang aneh dan luar biasa ini ? Mengapa dia secara mendadak sekali mengancamku ?” Lie Siauw Hiong hanya dapat mengeluh saja, tapi pada saat itu bernafaspun dirasakannya agak sulit. Kaki dan tangannya mulai merasa agak kesemutan. Penderitaannya pada saat itu adalah suatu pengalaman pahit getir yang tak dapat dilukiskannya dengan kata-kata. Begitulah untuk pertama kalinya Lie Siauw Hiong merasa dirinya terkena totok orang, maka dalam kegugupan serta kemarahannya, membuat perasaan membenci lawannya tidak terhingga besarnya. "Sekali ini bila aku dapat melarikan diri, aku akan berlatih lebih giat lagi, kemudian setelah sempurna, akan kupertunjukkan hasil godokan ilmuku itu pada Biu Chit Nio ini.” Tapi tak tahu ia siapakah orang yang telah menotoknya itu. Laki-lakikah, atau perempuankah ia itu ?
Tapi hidungnya segera menangkap bebauan yang harum
sekali. Bau itu bersumber dari badan Biu Chit Nio. Begitu dia menyedot dalam-dalam hawa tersebut, diam-diam dia berpikir : "Bau ini ternyata tidak jauh bedanya dengan bau yang dipancarkan oleh Leng Moay-moay.” Kembali dia menghisap hawa tersebut sambil memikirkan diri Kim Bwee Leng : "Sekarang mungkin Kim Bwee Lang sudah mati karena menanggung perasaan kesal.” Karenanya, pikiran Lie Siauw Hiong menjadi gundah gulana dan kacau-balau. Tiba-tiba ia merasa angin disamping badannya berbenti berhembus, cepat dia memusatkan seluruh perhatiannya. Sambil memandang keempat penjuru, ternyata dia sudah berada dalam satu ruangan dari sebuah kapal pula. Hatinya bertambah gusar, akhirnya dia berpikir : "Mengapa kini aku berada didaerah perairan ? Dan diatas kapal siapakah aku gerangan ?” Biu Chit Nio telah membantingkan tubuh Lie Siauw Hiong dilantai kapalnya. Si pemuda yang dibantingkannya itu tulang tubuhnya merasa seakan-akan hancur luluh dan tak terperikan sakitnya. Nafasnya sengal-sengal. Pada saat itu selain kehilangan kebebasannya, diapun tak bisa bergerak. Tubuhnya terbaring dilantai kapal tersebut, berkeluk berpangku lutut, hingga amat tak sedap dipandang mata. Bu Heng Seng yang sudah banyak mengerahkan tenaganya itu, kelihatan dipantai tersebut bulak-balik dua kali, membuat air sungai tersebut bergolak-golak, tapi ia tak juga berhasil menemukan bayangan orang yang sedang dicari-carinya itu. Maka dengan penuh kemarahan dan kemendongkolan lalu kembali kekapalnya. Sewaktu dia tiba
kekapalnya, ternyata orang yang sedang dicari dan hendak
ditangkapnya itu sudah berada disitu. Biu Chit Nio sambil tertawa berkata pada Bu Heng Seng : "Biasanya kau mengatakan aku seorang bodoh, tapi sekarang justeru adalah giliranku untuk menyebut kaulah yang bodoh, bukan ?” Sambil tertawa getir Bu Heng Seng menyahut : "Anak ini ternyata sangat cerdik sekali.” Thio Ceng waktu melihat 'pemuda yang bermata besar ini' kena tertangkap oleh ibunya, kembali hatinya kaget bercampur gembira, kagetnya ialah entah apa gerangan yang hendak dilakukan terhadap pemuda ini oleh ayah dan ibunya, gembiranya ialah karena dia dapat berjumpa kembali dengan pemuda ini. Biu Chit Nio lalu berkata kepada Bu Heng Sang : "Apakah kau sudah menanyakan dengan sejelas-jelasnya mengenai saputangan itu ?” Bu Heng Seng menjawab : "Saputangan itu benar kepunyaannya, dan dia sendiripun telah mengakuinya.” Biu Chit Nio dengan suara yang sangat benci dan gemas lalu berkata : "Aku ingin membawanya pulang kepulau kita, untuk membawa dia kemakam Kiu Moay, kemudian barulah aku membunuh dia untuk dijadikan barang sajian, sebagai balasan atas kekejamannya dahulu.” Dengan gugup Thio Ceng berkata : "Kenapakah kita harus kembali kepulau ?” Kemudian dengan suaranya yang perlahan dia berkata pula : "Aku tidak mau turut ! Bukankah ayah pernah meluluskan permintaanku, untuk bermain-main sepuas-puasnya ditempat ini ? Sekarang belum lagi aku dapat bermain-main dengan puas, tapi mengapa mendadak sontak hendak pulang kembali kepulau
kita yang amat kecil itu ? Sungguh-sungguh membuat aku
mati berulam jantung karena kesal dan kesepian disana !” Dengan tertawa Bu Hang Seng berkata : "Apa yang kau katakan, pulau Bu-khek-too kita tidak enak untuk bermainmain ? Orang-orang dikalangan Kang-ouw diseluruh dunia ingin pergi kepulau kita itu, dan orang-orang biasa kesana sengaja untuk berparawisata.” Dengan perasaan yang amat terkejut, Lie Siauw Hiong berpikir : "Ternyata orang ini adalah pemilik dari pulau Bukhek-too, kenapakah aku hendak dibawanya kesana ? Dan apakah kesalahan yang telah kuperbuat terhadap Tong Hay Sam Sian (Tiga Dewa dari Lautan Timur) ini ?” Segala-galanya ini hanya Yang Maha Esalah yang tahu. Sambil memonyongkan mulutnya dan dengan suara yang amat merdu, Thio Ceng lalu berkata : "Mereka ingin datang adalah urusan mereka sendiri, aku ..….” Sambil mengerutkan keningnya Bu Heng Seng membentak : "Jangan kau banyak cakap ! Jika ingin pergi bermain-main di Tiong-Goan, waktunya masih banyak dikemudian hari. Tapi kini kita harus kembali kepulau sekarang juga.” Mata Thio Ceng menjadi merah, air matanya mulai jatuh berderai-derai. Biu Tihit Nio lalu memeluk anaknya Thio Ceng ini kedadanya sambil berkata dengan lemah-lembut : "Anak goblok, kau mengapa harus berlaku begitu kesusu ? Ayah dan ibumu tentu saja tidak hendak memaksa kau berdiam seumur hidup dipulau Bu-khek-too. Dikemudian hari kau
harus menikah dan bila kau sudah menikah, kau boleh pergi kemana kau suka untuk bermain-main. Coba kau katakan, benar tidak ?”
Saking merasa malu, muka Thio Ceng menjadi merah saga. Tanpa disadarinya apa sebabnya, dia selalu terkenang pada 'pemuda bermata besar' yang sedang terbaring dilantai kapalnya ini. Dia berpikir : "Asal saja dikemudian hari dia dapat menemani aku bermain-main, alangkah baiknya. Tapi bila mereka sudah kembali kepulau, dia pasti akan dihukum oleh ayah dan ibuku.” Oleh karena berpikir begitu, tidak terasa lagi hal ini menjadi pukulan bathinnya yang sangat hebat. Biu Chit Nio lalu mengusap-usap rambut anaknya yang sangat bagus itu, dan sambil menunjuk kearah tubuh Lie Siauw Hiong dia berkata : "Tapi kau dikemudian hari jangan sekali-kali menikah dengan orang semacam dia ini. Dia adalah she Bwee, namanya San Bin. Ah-iepun justeru karena kesal terhadapnya, sehingga menyebabkan dia sampai meninggal dunia. Ibumu akan membunuhnya, untuk membalaskan sakit hati Ah-iemu !” Pada saat itu Lie Siauw Hiong merasa sangat terkejut, setelah mendengar ibu Thio Ceng yang menjelaskan halnya tadi. Barulah sekarang dia insyaf, apa maksud orang ini sebenarnya menangkapnya mati-matian. "Oh, ternyata urusan ini bersangkut-paut dengan urusan Siok-siok. Ia menganggap aku Bwee San Bin, alangkah malang dan celakanya nasibku ini. Tapi sebaliknya bila tidak ada Bwee Siok-siok, aku mana bisa mempunyai hari depan seperti hari ini ? Tentu lama sebelumnya mungkin aku sudah mati dipuncak gunung Ngo-hoa-san. Sekarang aku mewakilkan
dia untuk mati. Hal itu aku tidak berkeberatan untuk sekedar guna membalas budinya.” Kemudian dia melanjutkan perasaan hatinya : "Tapi cara kematianku ini sungguh-sungguh terlampau tidak berharga
dan keterlaluan. Apakah yang telah diperbuat Bwee Sioksiok terhadap 'Kiu Ah-ie' ini ? Dan apakah barangkali Bwee Siok-siok telah menganiaya Kiu Ah-ie ini, sehingga akhirnya dia mengalami kematiannya ?” Sekonyong-konyong dia teringat pada hari pertama waktu pertama kalinya dia tiba dirumahnya Bwee San Bin. Pada saat itu dirungan depan dia mendengar 'Hauw Jie Siok'-nya pernah mengatakan hal itu kepadanya, tapi pada waktu itu dia sama sekali tidak mengerti persoalannya. Tetapi sekarang hal ini sudah menjadi terang benderang baginya, hingga diam-diam dia berpikir : "'Kiu Ah-ie' ini mungkin juga setelah mendengar Bwee Siok-sioknya telah meninggal dunia, lantas dia pergi menuntut balas, tapi akhirnya diapun binasa, entah kenapa tidak diketahui. Apa lagi pemilik pulau Bu-khek-too ini mempunyai ilmu kepandaian silat yang sangat tinggi sekali, tapi meskipun demikian orangnya sangat sembrono. Karena belum lagi dia menyelidiki duduk perkara sebenarnya mengenai kematian Ah-ie ini, dan belum pula bertanya secara cermat pada orang yang bersangkutan, dia mengira Lie Siauw Hiong adalah Bwee Siok-sioknya sendiri yang telah mencelakai dia. Ai, bukankah hal ini merupakan satu kekeliruan yang besar sekali ?” Kendatipun hatinya berpendapat demikian, tapi ia tak dapat mengatakannya. Dan saking gugupnya, dahinya menjadi basah dengan keringat. Dengan tertawa dingin Biu Chit Nio lalu berkata : "Kau
ternyata takut mati juga, ya ?” Lalu Biu Chit Nio bertepuk tangan, kemudian datang dua pemuda yang berbadan tegap. Mereka ini adalah kelasikelasi.
Biu Chit Nio lalu memerintahkan mereka sambil berkata : "Putar haluan ke Timur, kita akan pulang kembali.” Kedua kelasi tersebut dengan berlaku hormat sekali menyatakan menurut perintah. Dan bersamaan dengan itu, Biu Chit Nio pun berkata lagi : "Lekas bawa orang ini ketempat simpanan barang-barang dibagian belakang dari ruangan kapal kita ini. Setiap hari beri dia makan sedikit bubur, jangan biarkan dia mati kelaparan ditengah perjalanan.” Karena marahnya, dari tujuh anggota badan Lie Siauw Hiong seolah-olah mengeluarkan asap. Dia dapat membedakan orang dengan baik sekali. Tidak perduli apakah orang itu berbudi ataukah bermusuhan dengan dia, dia pandang hal tersebut dengan sama pentingnya. Bagi orang yang baik terhadapnya, dia akan berusaha untuk membalas kebaikan terhadap orang itu, dan jika orang itu berlaku jahat terhadapnya, diapun akan berikhtiar pula untuk membalasnya. Maka disaat itu kebenciannya mencapai puncaknya terhadap Biu Chit Nio. "Asal saja aku tidak mati, aku akan memberi pelajaran terhadap perempuan itu,” pikirnya. Setelah dia mengambil keputusan ini, diapun akan
berdaya-upaya untuk membalasnya. Kemudian dia merasakan tubuhnya seakan-akan sehelai papan saja, dilemparkan kesana-kemari seenaknya dilantai kapal. Tapi waktu tubuhnya hendak dibawa keluar, dia melihat muka gadis cilik yang berbaju putih itu tengah memandang kepadanya dengan pandangan yang menunjukkan rasa kasihan terhadapnya. Hal ini membuat hatinya merasa terharu sekali.
Namun pandangan Lie Siauw Hiong ini sebentar saja, karena tubuhnya sudah dibawa keluar. Kedua kelasi ini memperlakukannya sangat kasar sekali, dia tidak menganggap Lie Siauw Hiong seperti orang, melainkan seperti barang saja. Dia melihat dilangit sebuah sinar terkilas, sewaktu dia dilemparkan keruangan kapal yang amat gelap gulita itu. Dia seperti orang yang sudah mati saja, berbaring diruangan kapal yang gelap itu. Sekian kali badannya dilemparkan agak jauh, sekian kali pula dia merasa badannya semakin sakit. Diruangan kapal dimana terakhir ia dilemparkan, ia mencium bau busuk yang sangat menusuk hidung dan sukar dapat ditahan hingga kepalanya dirasakan sangat pusing sekali. Sedikitpun Lie Siauw Hiong tidak pernah menduga,
bahwa dirinya akan mengalami peristiwa sepahit itu. Saking marahnya, seakan-akan dia hendak muntahkan darah saja rasanya. Tapi biar bagaimanapun ia tidak berdaya sama sekali, apalagi ilmu totokkan pemilik pulau Bu-khek-too ini dapat membikin orang yang tertotok sukar bernafas. Ilmu totokan tersebut ternyata lebih lihay daripada totokan partai Tiam Cong yang disebut ilmu 'Chit-coattiong-ciu'. Sekarang baru dia tahu bahwa dirinya telah mengalami kekalahan, hingga kini terpaksa dia berlaku tenang dan tidak ingin melakukan pergerakan apa-apa. Entah sudah berapa lama waktu sudah berlalu, kelasi yang kasar itu berjalan masuk, lalu dengan menggunakan mangkok besar yang berisikan bubur mereka membuka
mulut Lie Siauw Hiong, kemudian menuangkan semua isi bubur itu ketenggorokan si pemuda. Bubur itu sedang panas-panasnya, sehingga tenggorokan Siauw Hiong terasa melepuh. Penderitaannya ini membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk dan diiris-iris dengan sembilu. Karena bila dia tidak mau, dia tidak berdaya sama sekali, maka orang-orang tersebut merasa lebih senang lagi dapat memperlakukan pemuda ini dengan cara demikian berulang-ulang, dan tidak lama kemudian dia datang lagi dengan membawa pula sebuah mangkok berisikan bubur panas. Begitulah dalam waktu yang pendek sekali, dia sudah memberi makan bubur pada pemuda itu beberapa kali. Akhirnya Lie Siauw Hiong merasa perutnya sudah kembung, sehingga dia tidak berdaya untuk mencegahnya. Setelah menelan bubur itu sebanyak enam atau tujuh mangkok, dia sesungguhnya sudah tidak tahan lagi.
Perbuatan ini lebih kejam daripada hukuman apapun jua, apa lagi bubur tersebut masih panas sekali. Waktu masuk kekerongkongannya, terasa olehnya sakit sekali, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaannya lahir-batin yang ditanggungkannya dewasa itu. Kesemuanya ini membuat dia semakin bertambah benci saja terhadap Biu Chit Nio. Sekonyong-konyong terdengar suara langkah kaki orang yang mendatangi lagi. Mendengar ini Lie Siauw Hiong tambah mengeluh. Dia mengira bahwa mereka yang sedari tadi bertubi-tubi memberi makan bubur panas kepadanya, kini mendatangi lagi. Ia terpaksa memejamkan matanya rapat-rapat. Pada saat itu dirasakannya ada sebuah tangan yang licin dan halus mengusap-usap mukanya. Tangan tersebut bukanlah tangan yang berbulu, tapi licin dan putih halus
melebihi batu giok layaknya. Lagi pula orang tersebut membawa bau badan yang sangat harum sekali. (Oo-dwkz-oO)
Jilid 13 Lie Siauw Hiong lalu membuka matanya. Selama sepuluh tahun dia melatih diri dikamar batunya, dia sudah biasa melihat barang-barang ditempat gelap dengan tak ubahnya seperti disiang hari saja, maka pada saat itu tentu saja dia dengan mudah dapat melihat sebuah wajah yang
sangat cantik jelita. Wajah yang dilihatnya itu lalu tertawa, sehingga dikedua pipinya kelihatan lesung pipitnya yang manis menggiurkan, seakan-akan sekuntum bunga yang sedang mekar. Perasaan hatinya menjadi sangat sedap. Bahkan sejak lahir, dia sudah mempunyai perasaan yang sangat berkesan dan memuji akan 'kecantikan', apa lagi dibawah pimpinan Bwee San Bin yang sedemikian lamanya, maka perasaan ini dengan sendirinya semakin berkembang segar saja. Perasaan mana, bukanlah setiap orang dapat mangertinya. Hal itu baru didapatkannya setelah mangalami banyak hal-hal yang bersangkutan dengan kecantikan yang sangat mahal sekali nilainya ini. Pada saat itu ketika melihat kecantikan yang luar biasa ini, dalam hati Siauw Hiong tidak pernah timbul perasaan yang bukanbukan, selain merasa dirinya lebih dekat kepada orang yang bersangkutan itu. Waktu Thio Ceng merasa dirinya dipandang begitu rupa oleh Lie Siauw Hiong, diapun lalu tertawa dengan manisnya dan dalam hatinya dia telah mengambil
keputusan yang pasti, yaitu : "Melepaskan Lie Siauw Hiong
supaya dia dapat melarikan diri.” Sekalipun dalam hatinya dia merasa serba salah, tapi dia tahu asal saja dia dapat melepaskan 'pemuda bermata besar ini' untuk melarikan dirinya, maka dikuatirkannya dikemudian hari dia tak mempunyai kesempatan lagi untuk saling berjumpa kembali dengannya. Tapi dia tak sampai hati akan ayah dan ibunya sampai membunuh pemuda ini, sekalipun pemuda ini telah membuat kesalahan, yang menurut perkiraannya, kesalahan Lie Siauw Hiong itu belum patut mendapat ganjaran hukuman mati. Gadis yang masih murni ini sangat besar sekali perasaan kasihnya terhadap pemuda ini. Perasaan 'cinta' dan 'benci' dari pemuda ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan perasaan 'benar' dan 'salah', perasaan mana dirasakan juga Thio Ceng pada saat itu. Dengan suara yang perlahan dia berkata : "Aku akan melepaskan kau. Kapal ini berjarak dekat sekali dengan pantai, kau pasti dapat melarikan dirimu. Kau harus lekaslekas melarikan diri, bila tidak ingin diketahui oleh orang tuaku.” Jempol kanannya lalu menekan jalan darah 'Bun-hianghiat' dibawah hidungnya, lantas tangannya dengan cepat menepuk dua kali didada dan perut pemuda itu, maka pada saat itu juga tubuh Lie Siauw Hiong yang kaku itu segera dapat bergerak kembali dengan leluasa. Kini dengan sedikit gerakan saja, ia lalu berdiri dihadapan Thio Ceng, yang pada saat itu juga hidungnya dapat menangkap bau-bauan yang wangi dari tubuh pemudi itu.
Pada saat itu seakan-akan dunia ini penuh oleh wangi-
wangian yang semerbak baunya. Mereka merasakan bahwa dunia ini seolah-olah tiada berpenghuni, selain mereka berdua saja. Mereka seakan-akan dapat mendengar debaran jantung masing-masing. Lie Siauw Hiong berdiri terpaku seketika, otaknya terasa sangat kosong, hingga dia tidak tahu lagi perkataan apa yang baik yang harus diucapkannya dihadapan pemudi itu. Setelah berselang lama juga dengan penuh kegugupan, Thio Ceng berkata : "Kau lekas lari, kalau sampai ketahuan oleh ayah, pasti hal ini tidak mungkin dapat kau lakukan !” Dimulut ia berkata begitu, tetapi dalam hati sebenarnya dia tak ingin ditinggalkan oleh pemuda yang bermata besar ini. Lie Siauw Hiong sambil menekan perasaan hatinya yang rindu, segera menggerakkan kaki dan tangannya mencelat keluar dari dalam kapal bagaikan seekor burung kepinis gesitnya. Sementara Thio Ceng lalu mengantarkan bayangan Lie Siauw Hiong dengan didalam hatinya berpikir : "Perpisahan pada kali ini, bilamanakah kiranya dapat berjumpa lagi ?” Diluar kapal yang sedang berlabuh dengan tenangnya itu, keadaan sangat gelap sekali. Jarak kapal dari pantai tak seberapa jauh, tepat seperti apa yang dikatakan oleh Thio Ceng tadi, yang kalau diukur jaraknya, kurang lebih tujuh atau delapan tombak jauhnya. Jarak sejauh itu bagi Lie Siauw Hiong bukanlah merupakan suatu halangan yang sulit. Maka dengan sekali mencelat saja, tubuhnya sudah melayang sejauh lima tombak lebih, kemudian lalu digerakkannya tubuhnya kembali, untuk dapat melayang mencapai daratan.
Keadaan disana-sini sunyi-senyap, hingga hanya suara
air mengalir saja yang terdengar, tapi dalam kesunyian malam itu tiba-tiba terdengar suara dingin yang berkata : "Bagus !” Sekalipun suara itu kaku, tetapi gemanya jelas terdengar diudara. Sewaktu baru saja kakinya menginjak pantai, sekonyongkonyong dari sampingnya berkelebat satu bayangan orang, ternyata dihadapannya berdiri seorang yang memakai pakaian yang berwarna putih. Dalam waktu sekejap itu saja, hatinya tiba-tiba berpikir : "Mustahilkah dia tidak mengijinkan aku melarikan diri, lalu dia datang mengejar lagi ?” Ketika dia menatapkan matanya memandang dengan cermat, tidak terasa lagi semangatnya melayang keudara. Orang yang berdiri dimukanya adalah seorang anak sekolah yang berpakaian putih, yaitu pemimpin pulau Bukek-too. Tadinya Lie Siauw Hiong menduga, bahwa orang tersebut adalah gadis Thio Ceng adanya. Dengan suara yang dingin Bu Heng Seng berkata : "Apakah kau pikir kau akan dapat melarikan diri ?” Lie Siauw Hiong tahu kekuatan dirinya sendiri dan dia tahu pula bahwa dirinya pasti tidak dapat melarikan diri dengan bebas, karena biar bagaimanapun dia tidak dapat memenangkan orang ini, maka dia berkata : "Tuan telah menduga banyak hal-hal yang keliru terhadap diriku, aku ..….” Dengan suara tertawanya yang tajam dia memutuskan perkataan pemuda itu, lalu dia mengulurkan sepuluh jarinya yang mirip sepit itu. Dari tangan kanannya yang terdiri dari jari telunjuk, tengah, dan jempol menotok jalanjalan darah 'Tian-cong', 'Kian-ceng' dan 'Giok-cin' ditubuh lawannya. Sedangkan jari-jari tangan kirinya menotok jalan
darah 'Su-pek', 'He-kwan', 'Tee-cong', 'Sim-hiang' dan 'Tonghian'. Dengan menggunakan seluruh perhatiannya lalu dia melancarkan serangan yang dahsyat diarahkan disebelah bawah tubuh lawannya. Serangannya ini dilakukan dengan latihannya yang telah dia latih selama sepuluh tahun. Belum lagi suara dingin Bu Heng Seng berhenti, badannya sudah ditarik mundur kebelakang, sedangkan bayangan Lie Siauw Hiong lalu mengikuti maju, dengan menggunakan segala kemampuannya dia balas melancarkan serangannya terhadap lawannya, tapi sekalipun serangannya ini sangat terukur dan terlatih, tapi tidak berdaya menemui sasarannya. Kemudian dalam waktu yang singkat, kedua orang ini sudah mundur kebelakang sampai beberapa puluh tombak jauhnya, pada saat mana napas Lie Siauw Hiong sudah tidak beraturan lagi jalannya. Bu Kek Toocu badannya sedikit berputar, lantas dari tempat yang dekat sekali dia menotok jalan darah 'Houw-kee' dituhuh Lie Siauw Hiong. Pergerakan Bu Heng Seng yang cepat bukan buatan ini justeru adalah salah satu tipu 'Hut-hiat' yang sudah lama lenyap dari kalangan Kang-ouw, yaitu pergerakan tangan diantara lengan baju yang tertutup ini dengan sendirinya tidak terlihat nyata cara pergerakannya itu. Pergerakan yang cepat dari Bu Heng Seng ini dapat
dibuktikan dengan tubuh Lie Siauw Hiong yang belum lagi sempat berkelit, tahu-tahu tubuhnya sudah tertotok oleh lawannya, sehingga dia berdiam seperti sebuah patung batu saja. Kepandaian Lie Siauw Hiong sudah mencapai tingkat yang tinggi, tapi bagaimana dia dapat dengan sekali totok saja sudah kena ditotok lawannya, hal ini sebenarnya disebabkan karena Lie Siauw Hiong yang sangat marah itu
dia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya lebih lanjut, maka dengan cara yang jitu dan licin sekali dirinya sudah kena tertotok oleh lawannya. Lagi pula ilmu totokan lawannya ini sangat luar biasa sekali, hingga cara pergerakannya itu belum pernah dilihatnya dikalangan Kang-ouw. Begitulah dengan banyak faktor yang mempengaruhinya ini, Lie Siauw Hiong dengan sekali bergebrak saja telah dibikin tidak berdaya oleh pihak musuh, hingga dalam hatinya tidak putus-putusnya dia menyesalkan dirinya dan berpikir : "Tidak diangka-sangka ilmuku yang sudah sangat tinggi ini, dengan satu serangan saja dari pihak lawan aku sudah tak berdaya untuk meloloskan diri !” Suara tertawa Bu Heng Seng berhenti dan tangannya lantas bergerak, ternyata tubuh Lie Siauw Hiong sudah dikempitnya. Pada saat itu, hati Thio Ceng sangat berduka. Sambil berdiri diatas geladak kapalnya, dia memandang pada air sungai yang mengalir perlahan-lahan. Diatas langit tampak bintang-bintang berkelap-kelip, dan ditempat yang jauh disana bumi sudah ditelan oleh kegelapan malam hari. Perasaan Thio Ceng yang sangat sedih dan kesepian ini, baru dia rasakan untuk pertama kalinya sejak dia dilahirkan
didunia ini. Sekonyong-konyong dari arah daratan tampak berkelebat satu bayangan orang yang berwarna putih, cepat sekali pergerakan orang tersebut. Melihat cara pergerakan itu, tanpa disangsikan lagi sudah pasti adalah ayahnya sendiri, maka dalam hatinya diam-diam ia berpikir dengan heran : "Ayah turun kedarat demi kepentingan apakah ? Apakah barangkali dia telah memergokinya ?” Begitu pikiran ini terlintas dikepalanya, kenyataan telah membuktikannya.
Bu Kek Toocu dengan mengempit Lie Siauw Hiong diketiaknya lantas naik keatas kapalnya, dan dengan matanya yang tajam dia melirik kearah anak daranya yang sedang memandang kepadanya dengan perasaan heran. Lantas tangan kanannya terangkat dan tubuh Lie Siauw Hiong lagi-lagi dilemparkan kedalam ruangan gudang kapal itu. Perasaan hati Thio Ceng sangat terkejut. Perasaan takut dan tercengang bersarang dalam hatinya. Bu Kek Toocu lalu berjalan menghampirinya sambil berkata : "Kau telah melakukan suatu pekerjaan yang sangat bagus sekali. Mari kau turut aku !” Mukanya tampak dingin sekali, melihat hal itu teranglah yang ayahnya sedang marah besar. Ternyata lagi-lagi Lie Siauw Hiong telah mengalami kesengsaraan seperti pertama kalinya dia kena tertotok, yaitu kedua tangannya terjulur kemuka dengan jari-jarinya terpentang lebar, sedangkan kakinya separuh membengkok. Pada saat ini dengan cara demikian juga dia terbaring dilantai ruangan kapal. Pemuda kasar yang memberinya bubur itu selalu datang dengan tidak putus-putusnya, setiap hari asal saja matahari
mulai menyingsing, pasti pemuda kasar itu datang menyiksanya dengan memberi dia makan bubur yang sebanyak-banyaknya. Dengan cara demikianlah dia dapat menghitung lewatnya hari. Lima-enam hari telah lewat, selama mana diapun telah dipermainkan pula tidak keruan oleh pemuda kasar itu. Sekalipun dia tidak dapat bergerak dengan leluasa, tapi otaknya masih tetap dapat bekerja dengan normal.
Oleh karena itu, kebenciannya terhadap lawannya bertambah besar saja dan sebaliknya terhadap orang yang dikasihinya, perasaan cintanya semakin bertambah besar dan berkobar-kobar, dan justeru pada saat inilah baru disadarinya, bahwa perasaan 'cinta' lebih hebat daripada perasaan 'benci'. Karena otaknya terbayang dengan nyata bahwa orang yang dikasihinya jauh lebih banyak daripada orang yang dibencinya, demikianlah dia menilai sesuatu perkara didunia ini dengan cara selayang pandang. Kim Bwee Leng dengan sendirinya adalah orang yang paling dalam melekat disanubarinya, hingga setiap waktu bayangannya senantiasa memenuhi ruang matanya. Dia mendadak sontak teringat akan Kim Bwee Leng, waktu dia bersama-sama melewati penghidupan mereka yang penuh kesunyian disuatu daerah yang liar dan sepi. Dia teringat betapa mereka telah melewati waktu satu hari satu malam disana. Terhadap pengorbanan yang diberikan oleh Kim Bwee Leng ini, dia merasa sangat bangga sekali. Dan terhadap Pui Siauw Kunpun dia tidak dapat melupakannya pula. Tapi pada saat ini yang paling segar dalam otaknya adalah bayangan Thio Ceng yang begitu
cantik dan suci. Diam-diam Lie Siauw Hiong berpikir pada dirinya sendiri : "Mengapa dia tidak nampak muncul-muncul ? Setelah beberapa hari berselang, aku kira ayah dan ibunya sudah memberi peringatan keras kepadanya.” Pada saat itu dia telah melupakan sama sekali keadaan dirinya sendiri yang sangat berbahaya itu, malahan dia telah melupakan pula kebenciannya yang sangat besar ini. Adapun Thio Ceng yang telah dimaki habis-habisan oleh ayah dan ibunya, sambil berbaring didalam kamarnya
sendiri, tidak dapat dia melupakan 'pemuda bermata besar ini'. Kapalnya pada saat itu dari pulau Cong-beng-too berlayar kearah selatan, keluar dari mulut sungai Tiangkang dan menuju kelaut. Bu Kek Toocu lalu memandang jauh sekali keluar dari jendela kapalnya, dimana tampak laut yang tak bertepi dihadapannya. Air dan langit seakan-akan menjadi satu saja, sedangkan Laut Timur (Tong Hay) tampak terbentang dengan angkernya, dimana airnya bergelombang sangat dahsyatnya. Hatinya dirasakannya bergolak-golak, maka sambil menoleh pada Biu Chit Nio ia tertawa dan berkata : "Kita akan segera kembali kekampung balaman kita.” Biu Chit Nio hanya mengganda tertawa. Bu Heng Seng dengan mengerutkan keningnya berkata : "Kembalinya kita kekampung halaman kita sekali ini, kita harus mengajar anak kita itu baik-baik,” Biu Chit Nio masih saja tinggal tetap tertawa. Bu Heng Seng dengan perasaan penuh keheranan lalu bertanya : "Apa yang kau tertawakan ?” "Aku sedang menertawakan para perompak yang tampaknya sudah bosan hidup ingin merompak kapal kita.”
Biu Chit Nio berkata sambil menunjuk dengan jarinya keluar jendela kapal mereka. "Selama dua hari ini kita sesungguhnya terlampau kesal sekali, sekarang justeru saatnya untuk melenyapkan kekesalan kita sudah sampai.” Dengan mengikuti arah tudingan tangan isterinya ini, lalu Bu Heng Seng memandang keluar. Benar saja dari jarak yang sangat jauh sekali tampak tiga titik hitam, tadi karena hatinya sedang memikirkan sesuatu, maka dia tidak memperhatikan keadaan disekelilingnya.
Oleh karena itu dengan keheranan dia berkata : "Hal ini sesungguhnya adalah aneh sekali, tak mungkin perompak dari daerah Tong Hay tidak mengenali kita.” Dengan tertawa Biu Chit Nio menjawab pertanyaan suaminya : "Mungkin juga bukan mereka.” Angin laut menghembus sangat keras sekali, sehingga ketiga kapal tersebut melaju pesat sekali, tidak sampai satu jam lamanya, bentuk kapal tersebut sudah tampak dengan nyata. Ketiga kapal tersebut membentuk sudut segi tiga datang menghampiri kekapalnya, tapi sambil tertawa Bu Kek Toocu berkata : "Melihat kedatangan mereka sungguh sangat berarti sekali.” Karena kepandaian silatnya sendiri cukup tinggi, maka dia tak gentar menghadapi lawan-lawan yang merupakan perompak-perompak ini. Begitu dengan laku yang tenang dia tetap duduk dibawah jendela sambil memandang kesebelah luar, tidak perduli kapal tersebut mengelilingi kapalnya, sedikitpun dia tidak mengambil pusing. Kemudian diatas masing-masing kepala kapal tersebut muncul seseorang yang berpakaian ketat. Tampaknya mereka ini adalah ahli-ahli berenang dan menyelam. Tiap-
tiap orang ini memegang tanduk kerbau yang lalu ditiupnya keras-keras, yang lantas mengeluarkan suara 'uuung uuuuung', suaranya sangat menusuk kuping dan memecah angkasa disekitar lautan tersebut. Dengan tertawa Biu Chit Nio berkata : "Perompak-perompak ini ternyata pandai juga mengatur barisannya, hanya tidak diketahui mereka ini berasal dari golongan mana.” Perkataannya ini terang mengandung penghinaan. Setelah meniup terompet tanduk kerbau itu, orang-orang tersebut lalu pada menepi disebuah pinggiran dan dari
dalam kapal mereka lantas muncul anak buah kapal yang banyak jumlahnya dan juga memakai pakaian ringkas. Begitu keluar mereka membentuk dua barisan seperti juga sayap saja layaknya. Walaupun mereka terdiri dari jumlah yang banyak, tapi sedikitpun tidak kedengaran suara. Pada saat itu Bu Kek Toocu merasa heran juga. "Aku belum pernah menampak perompak yang ingin merampas barang orang dengan cara seaneh mereka ini,” kata Biu Chit Nio. Belum perkataannya ini habis diucapkannya, dari tiaptiap kapal muncul sepuluh orang yang berpakaian kuning, hingga dengan keheran-heranan Biu Chit Nio berkata lagi : "Kau tengoklah, mengapa mereka memakai pakaian macam begini ?” Perompak-perompak yang memakai pakaian panjang seperti mereka ini biasanya memang belum pernah tampak dimana-mana. Sambil menggaruk-garuk kepalanya Bu Kek Toocu berkata : "Perompak ini apakah mungkin perompak yang datang dari Oey Hay (laut kuning), tapi ..….” Ia berpikir sesaat
lamanya, kemudian melanjutkan pembicaraannya : "Sesungguhnya, bila mereka ini adalah perompak-perompak dari Tong Hay (laut timur), pasti sekali mereka tidak mempunyai niat untuk merampok kita.” Biu Chit Nio lalu mencampuri berkata : "Coba kau tanyakan, apakah mereka ini dari golongan 'Kim-jie-see', 'Oey-jie-see' ataukah dari 'Twa-see' dan 'Pak-see'. Aku dengar yang memimpin mereka ini adalah 'Giok-kut-moo' (Hantu tulang kumala), tapi mengapa mereka dapat keluar dan ingin merampok kita ?” Sekalipun perkataannya itu kedengaran tidak menunjukkan kekuatiran, tapi perkataannya ini jelas sekali tidak mengandung penghinaan pula.
Belum lagi perkataannya ini habis diucapkannya, dari ketiga kapal tersebut mulai terdengar pula suara tiupan terompet yang terbikin dari tanduk kerbau, dari mana tampak sehelai bendera hitam yang ditengah-tengahnya terlukis tengkorak putih dikibarkan diatas tiang kapal mereka masing-masing. Bu Kek Toocu sambil tertawa lalu berkata pada Biu Chit Nio : "Niat perompak ini benar-benar tidak kecil tampaknya.” Biu Chit Nio pun lalu menjawab perkataan suaminya : "Para perompak ini yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip matanya, sekarang mereka dapat berbaris
sedemikian rapinya, hingga mereka ini tampaknya sudah dilatih lebih dahulu oleh 'Giok-kut-moo' itu. Tahukah kau sebenarnya, 'Giok-kut-moo' itu orangnya macam apakah ?” "Hei, kau setahuku tak pernah berkeliaran kemanamana, bagaimana kau dapat mengetahui, bahwa dia benar mempunyai kepandaian pula ?” tanya Biu Chit Nio kepada suaminya ragu-ragu. "Mula-mula akupun memang tidak mengetahuinya, hanya beberapa tahun berselang aku dapat dengar dari Lo Lauw si tukang kebun dipulau kita. Dia yang kembali dari membeli pohon Tho Hoa memberitahukan kepadaku, bahwa para perompak disepuluh pesisir dari Laut Kuning telah digulung oleh 'Giok-kut-moo' ini, sampai pun perompak dari golongan Kun-hay-kim-go Bang Su Sim dari But Lam See telah digulungnya pula. Pada waktu aku mendengar cerita tersebut, mula-mula aku merasa sangat heran, tapi didalam hati, aku tidak pernah memikirkan mereka, tidak disangka-sangka hari ini malah mereka sendiri yang datang menyatroni kita,” jawab Bu Kek Toocu pula.
Dengan tertawa Biu Chit Nio menyambung perkataan suaminya : "Kalau demikian halnya,” dengan melirik kearah para perompak itu, "Mereka dari Laut Kuning datang kelaut Timur, apakah mereka khusus ingin mencegat kapal kita belaka ? Bila demikian halnya, aku ingin sekali menyaksikan sampai dimana kelihayan mereka ini.” Bu Kek Toocu sambil tertawa lalu berkata : "Kau bila dibandingkan dengannya, tentu saja
jauh sekali perbedaannya, bila kau ingin menjadi perompak, dikuatirkan sampaikan orang-orang dari Laut Selatan akan tergulung semua olehmu.” Mereka suami-isteri ini berkatakata sambil tertawa-tawa, seakan-akan terhadap penyerangan para perompak ini mereka tidak memandang sebelah matapun. Pada saat itu ketika kapal tersebut sudah datang dekat sekali dengan kapalnya, segala gerak-gerik dari kapal perompak-perompak ini jelas kelihatan. Perlahan-lahan ketiga kapal ini datang menghampiri kapal Bu Kek Toocu. Waktu kapal mereka mencapai jarak kurang lebih dua sampai tiga puluh tombak jauhnya, dari kepala sebuah kapal terdengar seorang yang meniup terompet tanduk kerbau, dan bersamaan dengan itu, anak buah kapal itupun lantas menurunkan layar mereka, sehingga jalan kapal itu agak perlahan. Bu Heng Seng yang melihat ketiga kapal tersebut sesungguhnya juga menuju pada kapalnya, tidak terasa ini tampak seorang orang yang sebagai pemimpinnya dan segera meniup pula terompet tanduk kerbaunya. Para
anak buahnya dengan laku yang sangat menghormat sekali berdiri dikedua pinggirannya, lantas dari tengah-tengah kapal tersebut muncul seorang laki-laki, yang umurnya kurang lebih empat-puluh tahun, mukanya
kekuning-kuningan mengenakan pakaian kuning yang tampaknya sangat aneh sekali. Melihat anak buahnya sangat menghormat terhadapnya, Bu Heng Seng segera mengetahui, bahwa orang ini pastilah pemimpin dari ketiga kapal tersebut. "Hiii, perompak busuk ini ternyata masih mampu mengatur barisannya sedemikian rupa,” desis Biu Chit Nio cekikikkan. Orang bermuka kuning itu lalu berjalan kekepala kapalnya, lalu memberi hormat pada Bu Kek Toocu sambil berkata : "Oey Cu See Ceecu Seng It Ceng menerima perintah untuk menanyakan kesehatan Bu Kek Toocu.” Pada saat itu kapal mereka sudah keluar dari muara sungai menuju kelautan nan bebas, terpisah dalam jarak kurang lebih dua atau tiga puluh tombak jauhnya, tapi suara Seng It Ceng ini dapat terdengar dengan jelasnya ditelinga Bu Kek Toocu. Hal itu terang menunjukkan bahwa dia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi juga. Bu Heng Seng pun tidak mau
menunjukkan kelemahannya dan lalu berkata : "Silahkan Tuan kembali dan memberitahukan pemimpinmu, bahwa aku Tong Hay Bu Kek Toocu sudah lama mengagumi namanya, hanya tidak ada waktu yang terluang untuk menyambanginya.” Biu Chit Nio yang melihat ilmu dalam dari Seng It Ceng sekalipun berada disebelah bawah dari 'Giok-kut-moo', tapi dia dapat mengira yang 'Giok-kut-moo' sendiri pasti luar biasa sekali. Oleh karena itu, diapun tidak berani lagi memandang ringan terhadap lawannya. Perompak tersebut melihat Bu Heng Seng bergerakpun tidak dari tempat duduknya semula, dia menjadi marah sekali. Segera Seng It Ceng melambaikan tangannya, kemudian anak buahnya menjadi diam.
Seng It Ceng lalu berkata lagi : "Pemimpin kami telah memerintahkan aku untuk menyuguhkan pada Tuan arak untuk diminum, maka sekarang silahkan Tuan datang kekapal kami untuk mencicipinya.” Diam-diam Bu Heng Seng merasa heran, lalu dia menjawab : "Terhadap maksud baik pemimpinmu, aku suami-isteri merasa berterima kasih sekali, hanya disayangkan yang saat ini aku mempunyai urusan penting hendak segera kembali kepulau kami. Oleh karena itu, kuharap kau beritahukan saja hal ini pada pemimpin kalian.” Bu Kek Toocu sebagai salah seorang yang sangat
terkenal dikalangan Kang-ouw, tapi dia waktu bercakapcakap dengan perompak tersebut demikian sopansantunnya, maka dari sini dapat ditarik kesimpulan, betapa lihaynya dan besarnya kekuasaan dari Giok-kut-moo ini. Seng It Ceng lalu menjawab pula : "Sekalipun demikian, aku ingin sekali kau suami-isteri minum secawan arak kami untuk mengikat tali persahabatan.” Lantas dia mengeluarkan tiga cawan arak yang segera diisi penuh, lalu dia mengeluarkan arak yang berwarna hijau, setelah terlebih dahulu dia pegang secangkir untuknya sendiri, yang dua cangkir lainnya lagi lalu dilemparkannya kearah Bu Heng Seng. Cangkir arak tersebut sangat indah sekali dan sinarnya terang menyolok, sedangkan araknya sendiri berwarna kehijau-hijauan sebagai batu giok saja. Dua buah sinar hijau lantas melayang keatas kapal Bu Kek Toocu, sedangkan arak yang berada dalam cangkir tersebut setetespun tidak bertumpah keluar. Dalam pada itu jarak antara kedua kapal tersebut sudah amat dekat, hingga sudah kira-kira berjarak antara dua
puluh tombak lebih saja jauhnya. Seng It Ceng yang sudah dapat melemparkan arak tersebut tanpa setetes araknyapun tertumpah keluar, tidak perduli dalam kepandaian silat maupun tenaga-dalam, dia sudah tergolong dalam tingkat yang tertinggi. Bu Kek Toocu hanya tertawa dingin saja, diantara waktu
dia mengebutkan lengan bajunya lantas ada tenaga dalam yang tidak kelihatan keluar dari lengan bajunya untuk menahan majunya cangkir arak tersebut, sehingga dua cangkir arak tersebut tertahan ditengah-tengah udara untuk sesaat lamanya, kemudian barulah dengan perlahan-lahan jatuh tepat diatas meja. Gerakan tangan yang sempurna ini telah membuat para perompak melongo dan berdiri terpaku disitu. Seng It Ceng tanpa berubah mukany