1
Biasa Kelompok Seni Rupa ‘Jendela’, kini. The art work is, to be sure, a thing that it made, but it says something other than the mere thing itself is, allo agoreuei. In the work of art something other is brought together with the thing that is made. ~ Martin Heidegger, The Origin of the Work of Art
. . . . . ibarat air, yang tidak berbenturan dengan batu cadas namun menggenanginya dari samping kanan dan kiri, dari atas dan bawah. ~ DR. Aidh al-Qarni, Là Tahzan.
Hikayat Kelompok ‘Jendela’ Tahun 1993 adalah awal kebersamaan para anggota kelompok seni rupa ‘Jendela’(KSRJ). Di Yogyakarta, enam orang pemuda Minang yang tengah mulai belajar di ISI-Yogyakarta itu: Rudi Mantofani, Yusra Martunus, Yunizar, Jumaldi Alfi, Handiwirman, dan Mohamad Irfan, sepakat untuk belajar dan bekerja bersama-sama. Kecuali Alfi yang tumbuh di keluarga Minang yang merantau dan berpindah-pindah tempat tinggal di beberapa kota besar di pulau Jawa --meski ia sendiri terlahir di Sumatra Barat--, kelima anggota lainnya datang dari tanah Minang - Sumatra Barat (dari kota Padang dan Bukit Tinggi). Usia mereka pun tak terpaut jauh; mereka tumbuh sebagai satu generasi. Kebersamaan mereka, di Yogyakarta, dibedakan bidang yang mereka pelajari masing-masing: Alfi dan Yunizar belajar di studio lukis; Rudi dan Yusra di studio patung; Handiwirman di studio kria kayu, sedang Irfan di studio kria logam. Perbedaan itu memang tidak cukup membentuk dan mengikat mereka untuk jadi para spesialis. Toh perbedaan semacam itu, di tingkat awal, juga memberi gambaran masalah dan perkembangan seni rupa di Indonesia secara berbedabeda pada pandangan mereka —dipelajari lewat figur para pengajar, tokoh seniman profesional, maupun perkembangan isue-isue profesi yang spesifik serta berbeda. Dikemudian hari, meski tidak berlaku secara merata, perbedaan ‘pilihan’ bidang-bidang profesi itu juga turut membentuk sikap dan cara mereka masing-masing berkarya. Saat kelompok ini mulai terbentuk, kebutuhan untuk saling bantu membentuk diri masing-masing anggotanya jadi ‘seniman’ adalah alasannya. Kebutuhan itu lebih disadari berbagai alasan teknis, bukannya masalah ideologis,: bagaimana mereka bisa berbagi pengetahuan teknis untuk mengeksekusi karya, menemukan alternatif material karya, atau berembuk agar bisa merealisasikan kebutuhan mereka untuk berpameran, misalnya. Tentu saja,
2 dalam berbagai kesempatan berdiskusi, soal ihwal konsep berkarya, kritik karya, atau berbagai peristiwa seni rupa yang terjadi di Indonesia, terutama di Yogyakarta, juga jadi tema pembahasan. Tetap. Segala bentuk diskusi itu tak pernah bisa menghasilkan semacam bentuk penegasan ‘manifest estetik’ kelompok ‘Jendela’. Kelompok ini lebih berfungsi jadi semacam ‘ikatan keluarga’ bagi para anggotanya, saling mengingatkan, meringankan, dan memberikan dorongan untuk berkembang secara individual —dalam hal ini, berarti juga membuka kemungkinan untuk saling-mempengaruhi soal cara menilai dan bersikap menentukan karya seni yang dianggap ‘baik’. Nama kelompok: ‘Jendela’, seperti mereka jelaskan di suatu malam dipertengahan tahun 90’an saat untuk pertama kalinya saya bertemu mereka, adalah istilah untuk alasan kebutuhan memiliki ‘kerangka memandang ke luar’ (yang tentu dilakukan dari dalam sebuah bangunan). Ya, mereka menyebut ‘jendela’ bukan ‘pintu’. Sejak awal, mereka memang sadar menegaskan batas, semacam jarak yang memisahkan mereka dengan segala sesuatu ‘di luar sana’; rasanya, mereka juga kurang nyaman menggunakan perumpamaan istilah ‘pintu’ —sehingga orang lain bisa ‘masuk’ terlibat jauh dengan mereka. Cukup jendela. Kiasan semacam itu lah yang menjadikan seseorang penasaran. Jika mereka ada ‘di dalam sana’: ‘apa yang yang mereka pikirkan?’; ‘bagaimana mereka menilai segala sesuatu yang ada di luar sana?’; ‘apakah mereka punya manifest artistik tertentu?’, dengan demikian ‘apa ‘ideologi’ mereka?’. Jika lubang jendela itu dibayangkan memiliki kaca, sehingga cukup mengisolasi mereka yang ada di dalam, sesungguhnya mereka adalah sejenis ‘para pengintip’. Mereka memandang, atau menonton, apa yang terjadi di luar sana dalam jarak untuk kemudian memahaminya dengan cara mereka sendiri, versi mereka, dari dalam. Dengan demikian, mereka melihat segala sesuatu ‘di luar sana’ itu sebagi soal yang ‘eksotik’. Tapi jika kita menemukan, jendela itu adalah bagian dari suatu bangun rumah tradisi—tak berkaca, melainkan hanya sebuah daun jendela kayu yang selalu terbuka—, maka sebenarnya kita bisa melongok ke dalam, seperti halnya juga para penghuninya suka melongok ke luar (bahkan, sering nongkrong dan dengan ramah serta sopan menyapa kita dari lubang jendela itu). Menemukan jendela dengan persepsi terletak pada bentuk dan adat tradisi semacam itu, akhirnya bisa memberikan pemahaman pada kita secara berbeda tentang ‘jarak’ yang dimaksud para anggota kelompok ini. Memahami kelompok ‘jendela’ ibarat juga memahami atau menemukan persepsi kita tentang lubang jendela sebuah bangun rumah. Tahun 90’an saat seni rupa Indonesia, terutama di Yogyakarta, bergelora dalam tema karya berwarna kritik sosial-politik, karya-karya kelompok ‘Jendela’ justru jadi ‘eksotik’ karena dikerjakan dalam tema dan bentuk karya yang menjauh dari warna kritik sosial-politik. Bagi medan sosial seni Yogyakarta, di kalangan para seniman segenerasi kelompok ‘Jendela’, karya-karya mereka bahan terasa ‘asing’ karena cenderung non-representatif. Seorang wartawan seni dan budaya di Yogyakarta, dalam tulisannya, memposisikan karya-karya kelompok ‘Jendela’ berada di luar jalur perkembangan seni rupa kontemporer Yogyakarta yang dianggapnya mesti berciri kritik sosial (1. Tak hanya itu. Di Jakarta, saat
3 kelompok ‘Jendela’ berpameran, seorang kritikus seni rupa terkemuka pun ternyata menganggap karya-karya kelompok ini hanya sebagai “karya seni rupa yang ‘malas’, tidaksenonoh’ dan ‘menghutang’ pada seni bangsa lain”.(2. Karya-karya kelompok ‘Jendela’, pada satu masa, memang tidak banyak terpahami. Demikian halnya dengan orientasi kelompok itu: ‘apa sih maunya?’; tak heran, karya-karya mereka pun seolah punya label khas: ‘sudah tidak kontemporer, a-politik, tak punya pendapat, lalu tidak senonoh pula’. Tentu saja tidak setiap orang berpendapat seperti itu. Bagaimanapun, apa yang jadi bermakna akhirnya adalah soal penilaian yang besifat historis. Kelompok ‘Jendela’, dianggap ajeg, sebagai bentuk anti-tesis bahkan berharga ‘eksotik’ justru ‘hanya’ karena mereka dianggap ‘beda’ pada satu masa—terutama dibandingkan dengan banyak seniman di Yogyakarta, tempat mereka berkarya. Kelompok ‘Jendela’, hingga kini, memang tak pernah mengumumkan sikap dan orientasi mereka secara terbuka. Dengan demikian mereka ‘ada’ karena diposisikan, dimasalahkan, dinilai banyak pihak. Tapi, adakah kekuatan atau nilai kebersamaan yang benar-benar menggerakkan masing-masing anggotanya, selama ini ? Kelompok ‘Jendela’ memang punya sisi kemiripan dengan ‘Sanggar Dewata’, organisasi seniman Bali di Yogyakarta, karena karekternya sebagai suatu ikatan kekeluargaan. Tapi juga berbeda, karena kelompok ‘Jendela’ tak rapih sebagai organisasi yang mampu mengembangkan keanggotaan, serta tak punya dasar anggaran organisasi resmi yang bersifat mengikat —meski demikian, para anggota kelompok ini, kemudian perperan menggalang organisasi yang lebih mirip ‘Sanggar Dewata’ untuk para seniman Minang di Yogyakarta yang disebut kelompok ‘Sakato’. Kelompok ‘Jendela’ juga tidak menunjukkan sikap sebagaimana kelompok seniman yang dikenal dengan lebel kecenderungan gaya seni rupa tertentu, semisal: ‘realisme Yogya’, ‘Surrealisme Yogya’, atau ‘ekspresionisme Yogya’. Jika di sebut sebegai sebuah organisasi, kelompok dengan jumlah anggota yang terbatas ini sebenarnya juga tidak lah terlalu aktif menggalang program kegiatan pameran setiap kalinya. Mereka seperti membiarkan setiap anggotanya untuk juga membina keteguhan sikap berkarya secara indivual, berlaku cair membiarkan masingmasing diantara mereka tumbuh dan menyerap berbagai pengaruh dengan caranya yang berbeda-beda. Ibarat menempati sebuah rumah, masing-masing anggota juga punya kamarnya sendiri-sendiri. Pada kesempatan mereka menggagas pameran bersama sebagai kelompok, maka masing-masing akan segara merapat pada semacam bentuk ‘kesesuaian’ bersama. Upaya merapat semacam itu juga tak selalu mudah, seperti halnya diskusi yang terjadi pada sebuah keluarga, tak jarang mereka saling berbatah pendapat, meski tetap berusaha saling mengisi kekurangan dan berusaha berada pada suatu ‘kesesuaian’ yang sesungguhnya terbatas. Sepertinya, setiap anggota menikmati situasi yang ‘terbatas’ ini. Cara bagaimana mereka masing-masing memelihara jarak, saling menghargai dan memelihara perbedaan, menyelesaikan perbedaan, serta tetap berusaha menggali kesesuaian tertentu lah yang justru menjadi pokok persoalannya, jadi ikhtisar kebersamaan mereka. Lebih dari satu dekade kebelakang kelompok ini tetap bisa bertahan ada. Selama itu pula mereka mampu bertahan justru karena dasar sikap
4 hendak saling mengerti serta juga tetap bertahan dalam koridor pertimbangan yang berifat pragmatis, terbuka, dan lugas. Bagi saya, sikap semacam itu juga bersifat kultural. Sisa pertanyaan tetap ada: ‘Apa karakter konseptual dari karya-karya kelompok ini?’; ‘Apakah mereka adalah kelompok seni non-representatif —atau seni rupa abstrak, kalau istilah ini mau dipakai— Yogyakarta, yang beda dengan umumnya karya Yogya yang bersifat, realis, surrealis, atau ekspresionis?’; atau, ‘Apakah mereka juga seniman konseptualis yang kontekstual?’. Saya bisa menduga, pertanyaan semacam itu bisa dinggap tidak releven jika diajukan pada para anggota kelompok ini. Lho?. Lalu sikap kesenian semacam apa yang melandasi mereka bekerja selama ini?. Bagi saya, keberadaan kelompok semacam ‘Jendela’ ini justru kembali mengingatkan pada hakikat persoalannya: ‘mungkin justru kita yang harus mengubah, menemukan jenis pertanyaan, atau cara bertanya secara lain’. Kelompok ‘Jendela’ tak banyak berikrar dan beruar soal manifesto berkarya, tapi masing-masing anggotanya terus berkarya dan berpameran sambil terus memelihara keutuhan kelompok mereka. Situasi seperti ini justru mengangkat ihwal kondisi real situasi seniman kita, di Indonesia —meski, kelompok ini melakukannya dengan caranya mereka yang khas. Bukankah pertanyaan semacam di atas juga relevan diajukan pada kelompok seniman yang lainnya, pada setiap seniman? Apakah bentuk manifesto subyek(tif) sudah jadi ciri dan tanda intensi karya para seniman, secara umum? Para peneliti, kritikus, atau kurator boleh saja menduga para seniman Indonesia tengah menyatakan altar ego sang subjek —atau, mungkin tengah melakukan hal yang sebaliknya— lewat karya-karyanya. Perjalanan kelompok ini jelas menunjukkan situasi ‘altar ego subyek universal’ yang tak pernah ajeg, di sini, selain bocor dengan berbagai pertimbangan dan sikap kutural yang bersifat lokal. Kelompok ini mendemonstrasikan secara lugas dan terbuka bagaimana ‘sesungguhnya’ mereka susah payah survive dengan cara yang ‘tidak logis’, bertakik-takik dalam persoalan lokal mereka masing-masing yang tak mudah diabaikan, berjalan ‘tidak lurus’: meandering. Beberapa anggota kelompok ini, kadang nampak rela, karya-karyanya terlihat secara berbeda sebagai anggota kelompok ‘Jendela’, atau sebagai pribadi. Kelompok ini memang menunjukkan gembaran sebuah representasi. Bagi kelompok ini, sikap berkarya yang ditunjukkan adalah soal kesungguhan untuk bekerja. Kesungguhan ini terkait usaha untuk memahami setiap bentuk pertemuan antara ajaran keyakinan kultur lokal yang telah mereka pahami (sebagai awak rantau) dengan perspektif dan pola berfikir modern yang dipahami lewat cara menciptakan karya seni. Pameran kelompok ‘Jendela’: Biasa Mengandaikan kebenaran simpulan wartawan seni dan budaya di atas, yang menganggap kelompok ‘Jendela’ berada di luar perkembangan seni rupa kontemporer (Yogyakarta), maka tentu lah mereka adalah kaum modernis (sebab, disebut kaum tradisionalis pun rasanya tak masuk akal). Mengutip
5 perhatian Budayawan Nirwan Dewanto, soal sikap berkarya kaum modernis, dijelaskan: “Demikianlah si seniman tak membayang-bayangi karyanya, melainkan surut ke belakang, ke sebalik panggung. Begitu selesai mencipta — atau membuat, sebab seniman juga pengrajin— ‘matilah’ si pengarang, maka tampillah si pemandang menjadi pencipta pencipta kedua. Kreasi pun mengalami rekreasi”(3. Namun demikian, dalam wawasan Modernis semacam itu kelompok ‘Jendela’ hadir dalam situasi yang khas. Dalam medan sosial seni Indonesia, belum lah ada struktur penilaian dan tradisi kritik yang ajeg hingga setiap proses kreasi bisa merangsang proses rekreasi yang produktif hingga terus mampu memperkuat dan menyangga struktur dan tradisi kritik seni itu sendiri. Dengan demikian, dalam kelahiran dan masanya kelompok ini ‘hanya’ menerima posisi mereka sebagai ‘si liyan’ (anti-tesis dari kaum seniman kontemporer) serta penilaian tentang hasil kreasi mereka sebagai ‘kegagalan’ (yaitu karya yang ‘malas’ dan ‘tidak senonoh’ ). Saya rasa, bagi anggota kelompok ini, penilaian semacam ini bisa dianggap soal yang ‘biasa’. Sejak awal, sebenarnya, kelompok ini menunjukkan adat berkarya yang sering dianggap ‘asing’ dan ‘tidak biasa’ itu secara biasa. Saya duga, pilihan mereka untuk tidak ‘berkometar secara langsung’ (tentang berbagai soal hidup, termasuk juga hingar bingarnya issue sosial-politik) dalam karya-karya mereka adalah semacam keputusan sikap yang bernuansa kultural. Nampak, mereka lebih sering menggunakan cara betutur dengan makna dan cara kiasan. Apa yang dianggap paling penting memang bukan soal ‘apa yang dikomentari’ lewat metafor simbol, tapi ihwal ‘bagaimana menyatakannya’. Mereka memilih cara yang ‘santun’, sophisticate, dan mempersilahkan orang menangkap tanda-tanda kiasan dari cara mereka bertutur. Ini bukan hanya soal prinsip Modernisme atau formalisme tapi soal biasa, yaitu adat yang mereka pelajari secara kultural sejak kecil. Bisa saja kebetulan, sikap biasa itu beriring dengan prinsip Formalisme, yaitu pendekatan seni yang secara prinsip menekankan perhatian utama seni pada berbagai persoalan garis, nada warna, bentuk, atau massa, dengan mengesampingkan ‘harga makna’ dari subyek matter yang diangkat sebagai karya. Formalisme memang menjadikan karya seni lebih sebagai subyek bagi proses tanggapan serta evaluasi estetik. Juga, perlu kita ingat bahwa munculkanya perhatian pada kapasitas subyektif untuk manyatakan ihwal cita-rasa (sense) adalah sebentuk ideologi penting yang turut menyokong prisnip Modernisme. Sejak abad ke-18, perihal penilaian citarasa (judgement of taste) yang dipercaya didukung oleh kapisitas ‘rasa’ (feeling) yang bersifat subyektif itu sudah jadi salah satu obor pandu dan semangat manusia modern(4. Dengan demikian, rasanya tak sepenuhnya kebetulan jika kita ingat soal kemampuan ‘timbang rasa’ ini adalah juga hasil ‘kemajuan’ yang diperoleh masing-masing anggota kelompok ini hasil mereka menyerap pelajaran seni rupa modern. Kepekaan cita-rasa itu kemudian bercampur —berinteraksi, melakukan seleksi, atau bahkan kadang memunculkan keberanian untuk menyatakan kritik dan penilaian— pada segala adat kebiasaan serta pengalaman visual mereka sejak kecil tumbuh di lingkungan budaya Minang. Demikianlah. Pameran kali ini, tanpa keikutsertaan salah satu anggota
6 kelompok: Irfan, memang bermaksud menunjukan hal-hal yang biasa pada para anggota ‘Jendela’. Karya-karya pada pameran ini betapa menunjukkan tetapnya kebiasaan mereka dalam membuat karya —tentu, berikut segala jerih upaya saling berbantah diantara mereka. Apa yang jadi ‘tak biasa’, mungkin, adalah cara kita melihat keberadaan mereka saat kini. Setelah lebih dari satu dekade kelompok ini exist, masing-masing anggotanya memang telah mencerap berbagai pengalaman serta membuktikan segala keberhasilan mereka sebagai seniman, secara beragam. Dalam beberapa segi, tentu ada perubahan dan perkembangan yang ditunjukkan oleh karya masing-masing anggota kelompok. Perubahan itu tak hanya terjadi karena eksitensi kelompok ‘Jendela’ yang menerus dijadikan semacam ‘wawasan ide’ dan ruang diskusi bagi mereka, tapi juga terutama oleh pengalaman dan perjalanan karir personal dari mereka masing-masing. Mencermati kecenderungan karya-karya yang biasa dikerjakan para anggota kelompok ini, saya punya kesan kuat menyangkut persoalan bagaimana mereka menyatakan pendapat/ permasalahan. Maksud saya adalah soal ‘derajat keberhasilan’ menampakkan makna denotatif pada karya-karya mereka. Kita tahu, secara sederhana, apa yang disebut sebagai ‘makna denotatif’ adalah sebentuk tanda (petanda) yang bisa langsung menggerakan pengertian tentang sesuatu pada kita yang mencermaitinya, misalnya: makna denotatif adalah makna kata yang bisa kita temukan pada kamus, hingga pada bentuknya sebagai tanda ikon, simbol, atau gambaran ‘yang berujud realistis’. Sedangkan ‘makna konotatif’ adalah makna dari tanda (petanda) tertentu yang muncul karena penggunaannya atau pada konteksnya secara tertentu (bisa bersifat sosial atau kultural). Tentu. Seluruh karya-karya kelompok ‘Jendela’ masing-masing mengandung makna konotatif; yang saya cermati, tidak seluruh dari karya-karya tersbut berhasil menyatakan makna denotatif. Karya-karya Yusra dan Yunizar misalnya, tentu lebih sukar dikenali sebagai tanda-tanda yang mudah dipahami pada umumnya, juga jika dibandingkan karya Rudi dan Alfi. Sementara karya-karya Handiwirman menunjukkan karakter keberadaannya diantara kedua sisi kecenderungan itu. Hal lain adalah persoalan metafora yang hadir tak hanya sebagai tanda-tanda (bentuk) pada karya, tapi juga kadang berlaku dalam cara dan orientasi berkarya. Dalam pengertiannya secara liguistik umum, metafora dipahami ‘menerangkan gejala penggantian sebuah kata yang harfiah dengan sebuah kata lain yang figuratif’ (5. Dengan nuansa pembicaraan yang lebih filosfis, bersepakat dengan Roland Barthes, ST Sunardi menjelaskan makna ‘metafor’ juga berarti ‘menembus’, maksudnya menembus makna lingusitik (‘an excursion outside lingusitic’)(6. Dalam studi budaya, soal metafora dianggap memiliki efek yang dapat menyusupkan satu tanda pada tanda lainnya; sehingga metafora bisa memiliki fungsi untuk memindah-alihkan (transference) secara menarik. Sebuah metafor dalam efeknya dapat mengalihkan kualitas satu tanda, jadi tanda yang lain, yang dengan cara seperti itu, sekaligus juga ditanamkan karakter lain yang sebelumnya tidak dimiliki oleh tanda yang aslinya(7. Dengan dimikian, saat menatap karya-karya kelompok ‘Jendela’, kita tak hanya sedang melihat ujud atau raut berbagai benda-benda —semisal: nampak
7 sebagai lipatan halus, gurat dan coretan garis, kertas, kapas, batu, pohon kaktus, atau gambaran pemandangan alam— bahkan hingga sikap dan perilaku ‘menjadi tukang’, sebenarnya, bersama mereka telah disisipkan tanda-tanda (bagi) makna yang lain. Dalam ‘tingkat keberhasilan’ menanggap makna-makna denotatif lah kita melihat perbedaan; tapi kita akan bisa segara maklum memahami segi-segi persamaan karya mereka saat memperhatikan pilihan cara menyatakan makna kiasan. Sementara pada situasi kesulitan kita untuk menangkap makna denotatif, yang umumnya sering ditunjukkan karyakarya Yusra dan Yunizar, maka kita kemudian tak hanya diundang untuk berfikir selain justru melibatkan secara lebih aktif kapasitas rasa (feeling) kita. Sebaliknya, pada beberapa karya yang nampak jelas denotatif, seperti biasanya karya-karya Rudi dan Alfi, toh kita tetap sering ditunjukkan pada tanda-tanda ketidaklengkapan. Pada karya Rudi, gambaran yang nampak jelas itu lebih sering mengantar kita pada asosiasi situasi yang tak logis, sehingga kita akan merasa terus diundang untuk menaksir makna melampaui ‘bentukbentuk jelas’ yang kita lihat. Karya-karya Alfi yang tengah kembali mengalami transformasi dari ‘tanda jejak mencoret-coret lukisan’ kembali ke arah sebaliknya itu, juga tak pernah cukup hingga lengkap menyampaikan suatu gambaran tertentu. Lalu Handiwirman yang seolah-olah tengah asyik ‘melukis’, sebenarnya juga tak pernah lupa menggambarkan obyek-obyek misterius yang sebelumnya biasa ia buat sebagai karya obyek kongkrit. Karya-karya kelompok ‘Jendela’ memang tak pernah jera menebar ‘kiasan’ makna. Tentu mereka juga tahu resikonya, banyak orang bisa salah menduga atau bahkan tak mengerti juga apa yang mereka maksud. Dalam situasi terburuk, mereka pun akan menganggap kebedaan tasir itu sebagai ihwal biasa. Dalam situasi semacam itu, menurut saya, mereka justru mafhum soal ‘harga’ dari kesungguhan bekerja yang ingin mereka buktikan. Itu biasa. Bandung, Juni 2005 Rizki A. Zaelani Kurator CATATAN: 1. Di koran TEMPO Raihul Fajri menulis, menganggap apa yang dilakukan kelompok ‘Jendela’ sebagai anti-tesis seni rupa kontemporer. lht. Tulisan Agung Hujatnikajenong, ‘Wacana Benci dan Rindu’, Katalog Pameran Kelompok Seni Rupa Jendela: “Ecstaticus Mundi”, 2002, Selasar Sunaryo, Bandung dan Galeri Air, Jakarta. 2. Pendapat ini dikemukakan kritikus Agus Damawan T menilai pameran kelompok ‘Jendela’: “Membuka Kemungkinan” di ruang pamer TIM Jakarta, tahun 2000. Lebih jauh soal ini lihat tulisan Agung Hujatnikajenong, Ibid. 3. Ihwal wawasan Modernisme ini dijelaskan Nirwan Dewanto, sekilas, saat membahas contoh prakteknya yang ia lihat pada pameran patung Rita Widagdo. Lht. Nirwan Dewanto, ‘Puan Batu’, Koran TEMPO, 1 Mei 2005. 4. Lht. Pam Meecham and Julie Sheldon, ‘What is and When was Modernism’, dlm Modern Art: A Critical Introduction, Routledge, hlm. 9. 5. Kris Budiman, KOSA SEMIOTIKA, 1999, LKIS, Yogyakarta, hlm.73. 6. ST Sunardi, SEMIOTIKA NEGATIVA, 2002, Penerbit Kanal, Yogyakarta, hlm. 87. 7. Lht. Tony Thwaites, Lyod Davis, Warwick Mules, TOOLS FOR CULTURAL STUDIES: An Introduction, 1994, MacMilan, Melbourne, Australia. Hlm. 45-46.
8