Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4, Juli 2011
Bias Gender Dalam Prestasi Akademik Siswa: Studi tentang Perbandingan Prestasi Akademik Siswa Laki-laki dan Perempuan di SMA 12 Bekasi Rakhmat Hidayat E-mail:
[email protected], Universitas Negeri Jakarta Abtsrak: Artikel ini memiliki dua tujuan penulisan. Pertama, menjelaskan perbedaan prestasi akademik antara siswa laki-laki dan perempuan pada mata pelajaran Fisika, Sosiologi dan Bahasa Indonesia? Kedua, menjelaskan kecenderungan perbedaan prestasi akademik antara siswa laki-laki dan perempuan pada mata pelajaran Fisika, Sosiologi dan Bahasa Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa pada mata pelajaran Fisika, perempuan mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Pada mata pelajaran Sosiologi dan Bahasa Indonesia, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir atau perubahan nilai-nilai yang dianut masyarakat berkaitan posisi perempuan dalam masyarakat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan metode analisis data sekunder (ADS). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. Perlu dilakukan sosialisasi gender sejak dini kepada pelajar tentang kesetaraan gender dalam upaya meminimalisir terjadinya bias gender. Kata kunci: gender, prestasi, dan sosialisasi Abstract : This article has two purposes for writing. Firstly, explain the differences in academic achievement between students of men and women on the subjects of Physics, Sociology and Indonesian? Secondly, to explain the tendency of academic achievement differences between boys and girls on the subjects of Physics, Sociology and Bahasa Indonesian. It can be concluded that the subjects of Physics, women have higher grades than men. On the subject of Sociology and the Indonesian language, there were no significant differences between men and women. The results of this study was influenced by developments or changes in the mindset that embraced the values of society regarding women’s position in society. This study use a quantitative approach with secondary data analysis methods (ADS). Data collection method used is the method of documentation. It should be done early gender socialization to students about gender equality in an effort to minimize the occurrence of gender bias. Key words: gender, achievement, and socialization
Pendahuluan
memimpin. Akibatnya, terjadi subordinasi terhadap
Ketimpangan perempuan dan laki-laki terjadi
perempuan dalam berbagai bidang dalam kehidupan
dalam berbagai bidang. Masalah ini merupakan
masyarakat.
masalah yang selalu terjadi di negara-negara yang
Hal itu pula yang terjadi di Indonesia. Meskipun
masih memegang teguh struktur sosial patriarkis.
secara formal dalam UUD 1945 hak laki-laki
Patriarki secara harfiah berarti kekuasaan bapak
dan perempuan tidak dibedakan tetapi dalam
atau patriach yang pada mulanya berkembang
kenyataannya sangat berbeda. Berbagai studi
dalam keluarga yang berada dibawah perlindungan
yang pernah dilakukan menjelaskan bagaimana
sang bapak, seperti yang terdapat dalam extended
ketimpangan dalam berbagai aspek selalu dialami
family atau dalam kelompok-kelompok masyarakat
kaum perempuan Indonesia. Sebagai gambaran
di tempat laki-laki menjadi pemimpinnya (Suyanto
saja, ketimpangan tersebut terjadi di antaranya
dalam Bemmelen, et.al, 2000: 432). Dia (laki-
dalam bidang politik. Studi yang dilakukan Cetro
laki) mempunyai kedudukan yang sentral pada
(2002) tentang keterwakilan perempuan di Indonesia
saat seluruh kehidupan serta kegiatan anggota
dalam partai politik dan lembaga legislatif mencatat
kelompok ditentukan oleh si pemimpin yang laki-
bahwa perempuan masih berada dalam subordinasi
laki tersebut. Laki-laki dianggap orang yang patut
laki-laki. Hal itu terlihat dalam Tabel 1.
472
Rakhmat Hidayat, Bias Gender Dalam Prestasi Akademik Siswa
Hal yang sama dapat dilihat dalam keterwakil-
bawah angka laki-laki. Persentase laki-laki yang
an perempuan sebagai anggota legislatif. Dalam
telah berhasil menamatkan SLTP dan tingkat
catatan politik Indonesia, keterwakilan kaum
pendidikan yang lebih tinggi sebesar 9,2 persen
perempuan di DPR belum pernah mencapai kuota
pada tahun 1971 menjadi 34,5 persen pada tahun
Tabel 1. Keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga politik formal
Sumber: Cetro, 2002 30 persen anggota Dewan. Sejak reformasi bergulir
dijumpai. Misalnya, masalah buta huruf masih saja
sebelas tahun lalu, keterwakilan perempuan jauh
dialami kaum perempuan. Bemmelen, misalnya,
dari memuaskan. Pada pemilu tahun 1999, jumlah
menyatakan bahwa pada tahun 1991 lebih dari
perempuan yang duduk di DPR hanya 44 orang,
40 persen perempuan di Asia Tenggara yang
sementara pada Pemilu 2004 meningkat menjadi
berusia 25 tahun atau lebih mengalami buta huruf
61 orang atau hanya 11,7 persen dari jumlah
(Bemmelen dalam Ihromi, 1995: 197). Ketimpangan
keseluruhan anggota Dewan (Sawitri, 2010). Pada
itu juga dijelaskan dalam studi yang dilakukan Asia
Pemilu 2009 pun, keterwakilan kaum perempuan tak
Development Bank (ADB) tentang Kebijakan ADB
jauh beda. Secara kuantitatif jumlah tersebut tentu
dalam Gender dan Pembangunan (1998). Dari
masih jauh dari harapan.Para aktivis perempuan
empat aspek yang dikaji yaitu: 1) harapan hidup
menilai, keterwakilan kaum perempuan dengan
pada kelahiran; 2) angka melek huruf dewasa;
jumlah yang memadai tentu akan sangat berimbas
3) semua tingkat pendidikan, angka pendaftaran
pada kebijakan negara.Angka-angka tersebut,
kotor; dan 4) bagian pendapatan yang diperoleh
sebenarnya sangat tidak sebanding dengan besarnya
menunjukkan bahwa ketimpangan yang dialami
jumlah perempuan yang turut berpartisipasi dalam
perempuan dibanding-kan laki-laki masih jauh
Pemilu. Angka keterwakilan perempuan tersebut
terjadi. Lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel 3.
dapat dilihat dalam Tabel 2.
Di sisi lain, berdasarkan studi Soemardi (dalam
Keterwakilan perempuan di parleman untuk
Bemmelen, et.al., 2000: 510) meski persentase
Indonesia, ternyata paling rendah jika dibanding-
perempuan Indonesia (usia 10 tahun ke atas)
kan negara lain, yaitu hanya berjumlah 11,3
yang telah berhasil menamatkan SLTP dan tingkat
persen. Bidang pendidikan juga mengalami hal
pendidikan yang lebih tinggi meningkat, yaitu naik
yang sama. Secara de jure akses warga negara
dari 4,5 persen pada tahun 1971 menjadi 27,9
terhadap pendidikan formal dijamin negara. Namun
persen pada 1998. Kenaikannya hampir enam kali
dalam praktiknya, berbagai ketimpangan selalu
lipat. Namun demikian, angka ini masih jauh di
473
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4, Juli 2011
Tabel 2. Perbandingan angka keterwakilan perempuan Indonesia dalam DPR
Sumber: Cetro, 2002 Tabel 3. Populasi dan Kesehatan; Pendidikan oleh Laki-laki/Perempuan di Indonesia
Sumber: (Anonim, 1998)
1998, yaitu hanya berlipat ganda 3,75 kali (Tabel 4).
menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang
Meskipun akses pendidikan perempuan semakin
berusia 10 tahun ke atas yang buta aksara adalah
meningkat tetapi persentasenya masih di bawah
sebesar 15.533.271 penduduk. Jumlah tersebut
laki-laki. Menurut Soemardi (Bemmelen, 2000:
terdiri atas penduduk perempuan sebanyak
511), proyeksi hingga 2010 tingkat pencapaian
10.643.823, atau 67,9 persen dan sisanya adalah
tamat SLTP dan lebih tinggi dapat mencapai 59,9
penduduk laki-laki sebanyak 5.042.338 atau hanya
persen untuk perempuan dan 62,1 persen untuk
32,1 persen. Di daerah pedesaan, menurut BPS,
laki-laki.
kondisinya lebih parah lagi. Jumlah perempuan di
Data dari BPS tahun 2003 yang dikutip Sasmita (Jurnal Perempuan Nomor 44, 2005: 15),
pedesaan yang melek huruf sebesar 19,2 persen dan sisanya, 9,63 adalah penduduk laki-laki.
Tabel 4. Pencapaian Tingkat Pendidikan SLTP ke atas (Penduduk 10 tahun ke atas)
Sumber: Soemardi dalam Bemmelen (2000: 511)
474
Rakhmat Hidayat, Bias Gender Dalam Prestasi Akademik Siswa
Berdasarkan data dan temuan lapangan itulah
dalam pendidikan dapat dikaji melalui teori
menjadikan tema ini tak pernah usang untuk
struktural fungsional. Secara umum, para analis
dikaji. Berbagai kajian sejenis yang dilakukan
fungsional, melihat fungsi serta konstribusi yang
pada dasarnya berupaya membongkar sekaligus
positif lembaga pendidikan dalam memelihara
menawarkan berbagai solusi dan cara pandang
atau mempertahankan keberlang-sungan sistem
baru terhadap ketimpangan yang ada. Studi yang
sosial (Haralambos, 2004: 692). Para penganut
akan dilakukan ini juga hendak mendiskusikan
teori ini menyatakan bahwa pendidikan merupakan
bagaimana ketimpangan yang terjadi dalam dunia
pelatihan guna meningkat-kan modal manusia
pendidikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa,
secara individual, yakni keahlian dan kecakapan
dalam pencapaian prestasi akademik siswa, ternyata
yang kita peroleh.
juga terjadi ketimpang-an. Perempuan, hampir
Sekolah, menurut Durkhiem (Haralambos,
selalu mempunyai prestasi akademik yang lebih
2004), mempunyai tugas dan fungsi untuk
rendah dari laki-laki.
menanamkan nilai-nilai yang bermanfaat guna
Secara lebih spesifik artikel ini akan menjelas-
mempertahankan sistem sosial. Sekolah adalah
kan terjadinya ketimpangan gender melalui
representasi (miniatur) dari masyarakat. untuk
perbedaan prestasi akademik antara perempuan dan
itu, norma-norma yang berlaku di masyarakat juga
laki-laki di SMA 12 Bekasi. Artikel ini ini mengkaji
ditanamkan di sekolah melalui proses sosialisasi.
terjadinya bias gender di sekolah melalui perbedaan
Sebagaimana kita ketahui, di dalam masyarakat,
prestasi akademik siswa laki-laki dan perempuan.
perempuan diposisikan sebagai “orang kedua” dalam
Prestasi akademik tersebut tidak dilihat secara
struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
keseluruhan, namun dilihat melalui perbedaan
Perempuan diharuskan untuk selalu tampil cantik,
nilai UAS siswa laki-laki dan perempuan pada tiga
lemah lembut, halus, sedangkan laki-laki diposisikan
mata pelajaran, yaitu Fisika, Sosiologi dan Bahasa
sebagai “makhluk” yang kuat sehingga mampu
Indonesia. Ketiga mata pelajaran tersebut sengaja
melindungi perempuan. Perempuan tidak dihargai
dipilih guna mewakili karak-teristik mata pelajaran,
melalui otak atau kecerdasannya, melainkan dari
yaitu Fisika (untuk mata pelajaran eksakta);
segi fisiknya. Sebaliknya, laki-laki, lebih dihargai
Sosiologi (untuk mata pelajaran noneksakta); dan
dari otak atau kecerdasannya. Oleh karena
Bahasa Indonesia (untuk mata pelajaran umum).
itulah, tidak banyak perempuan yang menempuh
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini
pendidikan sampai tingkat tinggi, karena masih
yaitu: 1) Apakah ada perbedaan prestasi akademik
banyak masyarakat yang menganggap “untuk apa
antara siswa laki-laki dan perempuan pada mata
perempuan sekolah tinggi-tinggi, jika nantinya
pelajaran Fisika, Sosiologi dan Bahasa Indonesia? 2)
akhirnya kembali ke rumah?”. Dengan kata lain,
Bagaimanakah kecenderungan perbedaan prestasi
masyarakat menganggap bahwa perempuan
akademik antara siswa laki-laki dan perempuan
pada dasarnya hanya bertugas untuk mengurusi
pada mata pelajaran Fisika, Sosiologi dan Bahasa
masalah sumur, dapur dan kasur (mengurus rumah,
Indonesia?
memasak dan melayani suami).
Pe n u l i s a n a r t i k e l i n i b e r t u j u a n u n t u k
Image dan konstruksi yang dibentuk masyarakat,
menjelaskan: 1) perbedaan prestasi akademik
ternyata juga disosialiasikan melalui proses
antara siswa laki-laki dan perempuan pada mata
pendidikan. Beberapa stereotype yang “merugikan”
pelajaran Fisika, Sosiologi, dan Bahasa Indonesia;
perempuan tersebut, pada akhirnya menghiasi
2) menjelaskan kecenderungan perbedaan prestasi
pola pikir perempuan dalam proses pendidikan.
akademik antara siswa laki-laki dan perempuan
Pada minat pemilihan mata pelajaran, misalnya,
pada mata pelajaran Fisika, Sosiologi, dan Bahasa
perempuan tidak begitu unggul pada bidang studi
Indonesia.
yang bersifat eksakta, karena mereka menganggap, itu adalah bidang studi yang “berat” dan milik lelaki1.
Kajian Pustaka
Perempuan lebih banyak menyukai mata pelajaran
Konstruksi Perempuan dalam Kesetaraan
yang memerlu-kan “kehalusan”, misalnya mata
Gender
pelajaran kesenian (menari), keterampilan tangan
Permasalahan perbedaan laki-laki dan perempuan
dan bahasa, sehingga kedua mata pelajaran ini
475
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4, Juli 2011
dianggap mata pelajaran milik perempuan.
seolah-olah dianggap dan dipahami sebagai kodrat
Teori struktural fungsional, pada perkem-
laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, perbedaan
banganya, melahirkan satu aliran feminis, yang
gender dapat menghasil-kan bentuk-bentuk
dinamakan aliran Feminisme Liberal. Feminisme
marginalisasi, ketidakadilan (gender inequalities),
Liberal berasal dari paradigma fungsionalisme
subordinasi, pembentukan stereotipe, beban
struktural yg dikembangkan oleh Merton dan
kerja ganda (double burden) serta bentuk-bentuk
Parsons. Aliran ini pada awalnya muncul untuk
kekerasan. Kaum perempuan adalah pihak yg paling
mengkritik teori politik liberal yang
menjunjung
sering dirugikan dalam praktek-praktek gender
tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral serta
differences ini, maka konsep bias gender dapat
kebebasan individu, namun di saat yang
diartikan pembentukan sifat atau karakter laki-laki
sama
dianggap mendiskriminasi kaum perempuan.
dan perempuan secara
sosial dan kultural yang
Asumsi dasar feminisme liberal adalah
menguntungkan kaum laki-laki dan merugikan
kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) yang
kaum perempuan (Fakih, 2004: 3-24). Bias gender
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara
ini terjadi pada semua bidang kehidupan, termasuk
dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminisme
pendidikan.
liberal adalah memperjuangkan kesempatan dan
Pendidikan di sekolah merupakan sebuah issue
hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di
signifikan bagi wanita sekarang, karena mereka
dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan.
makin banyak terlibat dalam sejumlah tingkatan
Kaum perempuan harus dipersiapkan agar bisa
dan aneka ragam lingkungan. Mereka mulai dari
bersaing dalam suatu dunia yang penuh dengan
pendidikan prasekolah dan taman kanak-kanak,
persaingan bebas. Sebagian dari usaha ini dapat
hingga sekolah menengah dan barangkali perguruan
dilihat dalam program-program perempuan
tinggi dengan bergerak melalui struktur yang
dalam pemba-ngunan (women in development)
sama seperti murid-murid laki-laki. Dalam setiap
yakni dengan menyediakan program intervensi
situasi pendidikan tersebut, murid wanita dan pria
guna meningkat-kan taraf hidup keluarga seperti
sama-sama terbuka untuk buku-buku kelas dan
pendidikan, keterampilan serta kebijakan yang dapat
bahan-bahan dan sikap guru yang secara halus
meningkatkan kemampuan kaum perempuan agar
dapat mempengaruhi penilaian mereka tentang
dapat terlibat dalam proses pembangunan (Fakih,
diri mereka sendiri serta masyarakat. Wanita
2004: 71-83). Dengan kata lain perubahan yang
berpartisipasi dalam bidang studi yang berbeda
ingin dicapai oleh aliran ini adalah emansipasi kaum
(seperti lebih banyak mengambil ilmu sastra dan
perempuan di seluruh bidang kehidupan, misalkan
ekonomi rumah tangga daripada eksakta).
pendidikan yang setara, keterampilan yang setara
Dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas,
serta membuka akses pekerjaan yang sebelumnya
perempuan biasanya identik dengan keterampilan
hanya dapat dimasuki oleh kaum laki-laki. Pada titik
“pekerjaan ibu rumah tangga”. Mereka dituntut
inilah kaum perempuan dapat mengembangkan
untuk bersikap tenang, bersifat menghargai, penuh
dirinya di dalam ranah publik dengan menjadi
perhatian, dapat dipercaya, serta mau bekerja
profesional di bidang masing-masing sama halnya
sama. Untuk laki-laki harapan lebih didasarkan
dengan laki-laki sebagai mitra kerja yang sejajar
pada kriteria kemampuan akademik seperti
dengannya (Tong, 1998: 15-65).
pengetahuan, kecakapan intelektual, dan kebiasaan kerja (Sucahyono dan Sumaryana, 1996: 150-160).
Definisi Bias Gender dalam Pendidikan
Beberapa hasil penelitian yang relevan antara
Pengertian gender adalah suatu sifat yang melekat
lain: Logdson (dalam Muthali’in, 2001: 7), dengan
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
judul “General Roles in Elementary School Texts in
dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sejarah
Indonesia”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
perbedaan gender (gender differences) antara
buku-buku teks yang digunakan di SD mengan-dung
laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses
konsep gender, sekaligus berperan membakukan
yg sangat panjang, contohnya melalui proses
peran-peran gender yang harus dilakukan siswa.
sosialisasi, ajaran keagamaan serta kebijakan
Astuti dkk. (dalam Muthali’in, 2001: 6) dengan
negara, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut
judul “Bias Gender dalam Buku Pelajaran Bahasa
476
Rakhmat Hidayat, Bias Gender Dalam Prestasi Akademik Siswa
Indonesia”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
ADS merupakan suatu metode penelitian dengan
bahwa terdapat pembedaan gender dalam buku-
memanfaatkan data sekunder sebagai sumber
buku Bahasa Indonesia yang dipergunakan di SD,
data utama. Data sekunder tersebut diharapkan
SMP maupun SMA. Peran publik perempuan, dalam
mampu memberikan informasi yang diperlukan
buku-buku tersebut, lebih rendah daripada laki-laki
guna menjawab pertanyaan penelitian. Metode
serta akses kontrol wanita terhadap kepemilikan
pengumpulan data yang digunakan adalah metode
barang dan pengambilan keputusan lebih rendah
dokumentasi. Dokumentasi yang diper-gunakan
daripada laki-laki.
dalam penelitian ini berupa daftar nilai hasil Ujian
Soemardi dengan judul “Disparitas Jender
Akhir Semester (UAS) mata pelajaran Fisika,
dalam Pencapaian Tingkat Pendidikan 1971-1998
Sosiologi dan Bahasa Indonesia tahun 2007 di
dan Proyeksi 2010” (1998). Studi ini menjelaskan
SMA N 12 Bekasi. Metode analisis data yang akan
ketimpangan perempuan dan laki-laki yang ber-
digunakan dalam penelitian ini adalah metode
usia diatas 10 tahun yang berhasil menamatkan
analisis data sekunder. Adapun alat analisis yang
SLTP dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
akan digunakan adalah tabel distribusi frekuensi
Rekomendasi yang dihasilkan adalah pentingnya
dan tabel silang.
pemberdayaan (anak) perempuan terutama di
Pengolahan data menunjukkan hasil yang
pedesaan merupakan prioritas untuk meningkat-kan
berbeda dengan teori maupun hasil studi-
akses pendidikan perempuan.
studi terdahulu. Dalam beberapa literatur juga
Suleeman (dalam Ihromi, 1995), mengkaji
menunjukkan bahwa dominasi laki-laki masih sangat
posisi perempuan Indonesia dalam pendidikan
kental diberbagai sektor publik diban-dingkan
dengan judul “Pendidikan Wanita di Indonesia”.
perempuan. Fenomena tersebut tidak terlepas
Dalam analisanya, Suleeman banyak mengung-
dari pengaruh faktor agama, budaya etnis dan
kapkan berbagai fakta dan data tentang ketimpangan
peraturan pemerintah (Muthali’in 2001: 44-49).
dan perbedaan jender antara perempuan dan
Sehingga, pola pikir masyarakat terbentuk oleh
laki-laki dalam dunia pendidikan. Salah satu
faktor-faktor tersebut yang menyebabkan terjadinya
kesimpulan pentingnya adalah kemiskinan dianggap
bias gender. Seiring perkembangan zaman, pola
sebagai faktor yang dapat menghambat seseorang
pikir (nilai-nilai) masyarakat mulai berubah. Kini,
bersekolah, khususnya bagi perempuan.
mereka sadar bahwa bias gender yang terjadi di
Hasil General Certificate of Education (GCE) di Amerika, ternyata menghasilkan data sebagai
lingkungan masyarakat selama ini dapat melahirkan ketidakadilan pada perempuan.
berikut: 1) Sampai usia 11 tahun. Laki-laki dan
Di Eropa, kesadaran terhadap ketidakadilan
perempuan pada umumnya mempunyai tingkat
terhadap perempuan, sudah terjadi sejak lama yang
prestasi yang sama; 2) Perbandingan jumlah siswa
kemudian melatarbelakangi munculnya gerakan
laki-laki dan perempuan yang memperoleh nilai “A”,
feminisme. Menurut Bashin dan Khan (Muthali’in,
pada beberapa mata pelajaran, menunjukkan hasil:
2001: 45), munculnya gerakan feminisme
Fisika: 6:1; Matematika: 4:1; Kimia: 3:1; Biologi:
merupakan suatu kesadaran akan penindasan dan
9:8; Menggambar: 200:1; Bahasa: 1:2; 3) Jumlah
pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat.
laki-laki yang belajar menjadi calon guru, lebih
Kesadaran tersebut nampak terlihat jelas terutama
sedikit dibandingkan dengan perempuan, karena
dalam lingkungan masyarakat kota yang lebih
profesi guru dianggap profesi perempuan.
kosmopolitan.
Metode Penelitian
berada di Kota Bekasi. Sebagai kota satelit DKI
Obyek penelitian ini adalah data sekunder berupa
Jakarta, masyarakat Bekasi mengalami perkem-
daftar nilai hasil ujian mata pelajaran, yaitu
bangan yang cepat. Perkembangan ini selanjutnya
Fisika, Sosiologi dan Bahasa Indonesia. Data
mempengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga
nilai yang digunakan adalah hasil UAS tahaun
beberapa pandangan yang mengandung bias gender
pelajaran 2006-2007 di kelas X SMA 12 Bekasi.
mulai ditinggalkan. Masyarakat sudah menerima
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan,
dengan metode analisis data sekunder (ADS).
baik dalam sektor publik maupun privat. Sekolah
Berkaitan dengan itu, lokasi penelitian ini
477
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4, Juli 2011
sebagai miniatur masyarakat, pada akhirnya juga
Liberal yang menuntut kebebasan (freedom) dan
merespon dengan jalan mengadopsi nilai-nilai yang
kesamaan (equality). Feminisme menganggap
berkembang di masyarakat sekitar. Pengadopsian
bahwa kaum perempuan harus dipersiapkan agar
ini diwujudkan melalui proses pembelajaran yang
bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh
berbasis gender. Misalnya, ketua atau pemimpim
dengan persaingan bebas. Sebagian dari usaha ini
organisasi intra sekolah tidak lagi harus dijabat
dapat dilihat dalam program-program perempuan
oleh seorang laki-laki. Atau sebaliknya jabatan
dalam pembangunan (women in development)
sekretaris dan bendahara tidak harus dipegang oleh
yakni dengan menyediakan program intervensi
perempuan. Sekarang, laki-laki maupun perempuan
guna meningkatkan taraf hidup keluarga seperti
mendapat kesempatan yang sama dalam hal;
pendidikan, keterampilan serta kebijakan yang
megemukakan pendapat, kesempatan untuk lebih
dapat meningkatkan kemampuan kaum perempuan
berprestasi, diberi kebebasan untuk memilih bakat
agar dapat terlibat dalam proses pembangunan
dan sebagainya.
(Fakih, 2004: 71-83).
Selain itu, peran media massa juga turut membantu dalam mensosialisasikan mengenai
Simpulan dan Saran
kesetaran gender. Akibatnya, para orang tua mulai
Simpulan
mempunyai kesadaran untuk menyekolahkan anak
Pada mata pelajaran Fisika, perempuan mem-punyai
perempuannya, sampai ke tingkat yang lebih tinggi
nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Pada mata
dengan tidak memilah-milah jurusan tertentu.
pelajaran Sosiologi dan Bahasa Indonesia, tidak
Misalnya, Fakultas Teknik yang dulu diyakini sebagai
terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki
fakultas bagi laki-laki, sekarang banyak dipilih oleh
dan perempuan. Hasil penelitian ini dipengaruhi oleh
perempuan. Jurusan bahasa dan FKIP, yang dulu
perkembangan pola pikir atau perubahan nilai-nilai
banyak diminati oleh perempuan, kini diminati juga
yang dianut masyarakat berkaitan posisi perempuan
oleh laki-laki. Profesi sebagai wartawan, insinyur,
dalam masyarakat. Sekolah sebagai miniatur
hakim, dan berbagai cabang olahraga seperti tinju,
masya-rakat, pada akhirnya juga merespon dengan
sepak bola, angkat besi, bela diri bahkan supir bus
jalan mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di
way pun mulai disandang oleh perempuan. Di sisi
masyarakat sekitar. Pengadopsian ini diwujudkan
lain, profesi guru (terutama guru TK), juru masak,
melalui proses pembelajaran yang berbasis gender.
tata rias, penjahit juga sudah digeluti oleh laki-laki.
Media massa turut mensosialisasikan perlunya
Sementara itu, media massa juga memberi
kesetaran gender, sehingga orang tua mulai
sumbangan yang besar dalam mendombrak pola
mempunyai kesadaran untuk menyekolah-kan anak
pikir masyarakat. Diberbagai tayangan televisi,
perempuannya, sampai ke tingkat yang lebih tinggi
sosok perempuan digambar sebagai wanita karir
dengan tidak memilah-milah jurusan tertentu.
yang mandiri. Mereka juga mulai memiliki kesadaran untuk tidak lagi memposisikan dirinya sebagai
Saran
“manusia kedua” dalam struktur hubungan laki-laki
Berdasarkan pembahasan diatas perlu dilakukan
dan perempuan yang pada akhirnya mampu tampil
sosialisasi secara intensif sejak dini kepada pelajar
di ruang publik yang selama ini didominasi oleh
tentang kesetaraan gender baik melalui kurikulum
laki-laki. Hal tersebut selaras dengan Teori Nurture,
formal maupun melalui kegiatan-kegiatan diluar
dimana teori ini tidak setuju bahwa pemilihan
kurikulum formal. Misalnya, kegiatan sejak dini
posisi dan peran antara laki-laki dan perempuan
tersebut dapat dilakukan melalui pelajaran-
merupakan kodrat alam (Muthali’in, 2001: 24).
pelajaran kepada siswa Sekolah Dasar. Kegiatan
Selain teori Nerture, teori kebudayaan dengan
di luar kurikulum antara lain dengan penyuluhan,
perspektif materialis menjelaskan bahwa terjadinya
pemutaran film, permainan yang menarik dan
keunggulan laki-laki terhadap perempuan, karena
edukatif dengan tetap menyampaikan pesan
dokontruksi oleh budaya.
Perempuan memiliki
kesetaraan gender kepada pelajar terutama pelajar
hak dan kontribusi yang sama dalam memenuhi
sekolah dasar. Kegiatan ini dapat melibatkan
kebutuhan ekonomi.
pihak eksternal seperti Perguruan Tinggi, lembaga
Hal senada juga dijelaskan aliran Feminisme
478
swadaya masyarakat (LSM), organisasi kepemudaan
Rakhmat Hidayat, Bias Gender Dalam Prestasi Akademik Siswa
dan organisasi kemahasiswaan (seperti Badan
dan Lembaga Legislatif, 1999 –2001
Eksekutif Mahasiswa).
(Executive Summary).Tidak dipublikasikan
Pustaka Acuan Anonim. 1998. Kebijakan ADB mengenai Gender dan Pembangunan Asian Development Bank (dokumen tidak diterbitkan). Bemmelen, Sita Van, Setyawati, Lugina, Habsjah Atashendartini, 2000. Benih Bertumbuh: Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi. Jakarta: Kelompok Perempuan Pejuang Perempuan Tertindas. Cetro. 2002. Data dan Fakta: Keterwakilan
Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haralambos and Holborn. 2004. Sociology: Themes and Perspectives (Sixth Edition). London: Harper Collins Publisher. Ihromi, T.O (Penyunting).1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Muthali’in, 2001. Bias Gender dalam Pendidikan.
Perempuan Indonesia di Partai Politik
Surakarta: Muhammadiyah University Press. Sawitri, Karuni Ayu, 2010. Perempuan Meretas Hak Politik artikel dalam Harian Suara Karya Sucahyanto, Budi dan Sumaryana, Yan., 1996. Sosiologi Wanita (Terjemahan). Jakarta: Rineka Cipta Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought (terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Jala Sutera. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
479