2
Terlambat Suara air jatuh menghantam lantai dengan volume dan debit yang sepertinya belum akan berhenti dalam waktu dekat terdengar dari luar hingga membuatnya penasaran mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada kejengkelan juga dalam hatinya apalagi kalau sampai mendapati kenyataan bahwa air itu terus mengalir menghabiskan persediaan air di bak penampungan sengaja dibiarkan begitu ataukah karena alasan lupa dimatikan. Dengan langkah tergesa-gesa dia pun menuju ke kamar mandi dan seketika telah berada didalamnya dan menemukan sebongkah tubuh tak
berpakaian sedikitpun dengan posisi duduk menekuk lututnya dengan sikap sempurna dengan wajah menghadap ketubuhnya sendiri dengan air yang terus mengaliri dan membasahi tubuhnya seperti tanpa ampun. Kejengkelan yang dari tadi memenuhi dirinya kemudian berubah menjadi heran. Keheranan yang luar biasa serta kebingungan dengan apa yang harus dia lakukan dengan sebongkah tubuh yang ditemukannya. Lama dia hanya memandangi tubuh telanjang tersebut. Tubuh telanjang yang dengan jelas memperlihatkan lekukan seperti terpahat dengan sempurna tanpa celah. Hasrat dan gairah yang mungkin saja timbul pada seorang wanita yang mendapati seorang pria dengan tubuh tegap bersih terawat tanpa sehelai benang pun yang menutupi badannya tidak dia rasakan saat itu. Sedikitpun. Hanya terdiam. Sementara air yang awalnya sangat dia khawatirkan terbuang percuma dan bertentangan dengan tekad penghematannya dimasa-masa kampanye penghematan yang gencar ditayangkan diberbagai media massa dibiarkan terus mengalir, mengaliri tubuh telanjang itu dengan sempurna. Malam itu hanya ada mereka berdua di rumah itu. Yang satu telanjang tak bergerak tapi juga tidak dalam keadaan hilang kesadaran sementara yang satu berpakaian lengkap juga tak lagi bergerak namun tiba-tiba seperti kehilangan kesadarannya.
2
Kejadian itu berlangsung lama bahkan dirasakan lebih lama oleh mereka sehingga jika saja ada orang yang tiba-tiba datang dan menyaksikan mereka kemungkinan besar orang itu akan beranggapan bahwa mereka tiba-tiba terserang stroke tak bisa bergerak ataukah ada penyihir atau mungkin pendekar yang membuat mereka mematung dengan totokan sakti ala film-film silat negeri tirai bambu di era tahun 90an. Tubuh telanjang itu akhirnya bergerak. Mungkin menyadari kehadiran seseorang yang dari tadi sudah berada dihadapannya tanpa mengeluarkan suara dan sepatah kata. Dia mengangkat kepalanya dalam gerakan lambat hingga posisinya kini dengan leluasa melihat siapa yang ada dihadapannya. Mereka masih dalam kebisuan yang entah kapan akan berakhir atau siapa diantara mereka yang akhirnya akan memecah kebisuan itu yang sedari tadi dikuasai oleh suara air yang mengalir jatuh dari shower. Kini mereka telah saling menatap. Masih dalam kebisuan yang sama. “Terlambat.” Akhirnya itu menjadi kata pertama yang tercipta dari komunikasi unik mereka. Pria itu mengatakannya dengan keputusasaan yang amat terasa dalam intonasinya tanpa lagi memusingkan keadaannya yang tanpa sehelai kain dengan kulit yang mulai mengkerut kelamaan terkena air. *** 3
Tidak ada lagi tubuh telanjang dan kebisuan serta suara air yang terus mengalir. Yang ada kini dua orang yang telah dalam pakaian yang memadai duduk saling berdampingan diatas kasur dengan kepala pria kini direbahkan pada pangkuan si wanita. “Bagaiana itu bisa terjadi?” Wanita itu berkata sambil mengusap lembut kening sang pria. “Kanker. Bekerja jauh lebih cepat dari obat apapun yang dia minum.” “Maaf. Maaf membuat ini terjadi. Maaf atas kebodohanku, atas keterlambatanku, atas keegoisanku. Maaf.” Untuk paling tidak hingga sepuluh menit kedepan mereka diam tak bergerak dari posisi terakhir mereka tanpa ada lagi gerakan mengusap kening. “Aku akan bercerita.” Kembali pria itu yang akhirnya memecahkan keheningan mereka. “Kau yakin?” “Itu yang ingin kulakukan sekarang.” “Ceritalah.”
& 4
3
Bernilai Tapi Tidak Selalu Tentang Kemahalan Aku gelisah. Tidak karuan. Jantungku berdetak keluar dari pakemnya. Tidak seperti biasanya. Banyak orang yang dalam posisi sama denganku malam itu, duduk diam entah apa yang mereka pikirkan. Mungkin saja sama dengan apa yang aku pikirkan, mungkin juga tidak sama sekali. Beberapa kali kucoba mengalihkan pikiran menjauh dari kegelisahan dan rasa gugup dengan memikirkan hal-hal lucu atau bahkan memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang ada disekitarku satu persatu. Detail. Dari atas sampai bawah. Dari ujung 5
rambut hingga ujung kaki yang tidak sedikit dari kaki mereka yang tertutup tak terlihat sedikitpun oleh kilap sepatu kulit yang baru saja disemir. Tepat dihadapanku sepasang muda-mudi dengan ekspresi sumringah berkomunikasi verbal dan non-verbal seakan hanya mereka yang berada di ruangan ini. Sesekali kudengar apa yang mereka perbincangkan yang dipenuhi dengan satu kata magic universal. Cinta. Mereka hanya memesan satu menu. Satu piring dengan dua buah garpu ditambah dua gelas jus berbeda warna. Spaghetti. Makanan khas Italia itu seakan menjadi saksi bisu keromantisan mereka. Satu-satunya hal diluar diri mereka yang dibiarkan menjadi bagian yang terhubung langsung dengan mereka dan malam itu. Lama aku memandangnya tidak berkedip dengan guratan senyum simpul yang tanpa kusadari tergambar di ekspresi wajahku. Pandanganku kemudian teralihkan oleh gelak tawa sekumpulan pria dan wanita dalam balutan busana khas pekerja kantoran yang kelihatannya meluangkan waktu bersantai setelah kepenatan urusan kantor mereka. Mereka tertawa lepas, sangat lepas seakan semua beban mereka selama seminggu kerja terangkat keluar bersamaan dengan gelak tawa mereka. Mereka berlima terlihat sangat menikmati waktu mereka dengan guyonan dan umpatan. Pria hitam gendut dengan kacamata diwajahnya kuduga menjadi sosok sentral dari keceriaan mereka. Dia bercerita dengan semangat sambil memperagakan 6
obyek yang sedang dibicarakannya dengan tawa geli yang sulit ditahannya. Sementara teman-temannya terbahak-bahak tak kuasa menahan tawa melihat pria hitam gendut itu dengan semua cerita dan peragaan obyeknya. Tidak jarang mereka menarik perhatian pengunjung lain di kafe itu bukan hanya suara tawanya tapi juga suara bising yang refleks mereka timbulkan dengan memukul-mukul meja didepan mereka saat tertawa lepas. Sesekali kualihkan pandangan ke arah dua pasangan yang dilanda romantisme tepat dihadapanku. Mereka sama sekali tidak terganggu dengan kegaduhan yang ditimbulkan sekumpulan orang kantoran diseberang kiri mereka. Bukan hanya aku yang duduk sendiri di sebuah meja di kafe malam itu. Seorang pria berkulit putih bersih dengan badan tegak menggunakan kemeja superketat hingga kita bisa melihat lekuk tubuhnya dengan jelas tengah duduk dalam posisi yang sama denganku. Sendiri. Tidak ada ekspresi macam-macam yang dia tampilkan dari raut wajahnya. Datar. Wajahnya indah bak lukisan. Kontur wajahnya terlukis dengan baik dengan pewarnaan yang sulit mengatakannya biasa. Pilihan warna minumannya pun sulit untuk memberinya penilaian biasa. Dia sama sekali tidak terganggu dengan kegaduhan yang ada, pandangannya lurus kedepan sementara bibirnya yang sebenarnya lebih cocok dimiliki seorang wanita tengah beradu elegan dengan sedotan yang menghubungkannya dengan 7
cairan merah muda yang berada di dalam gelas. Dia mungkin sedang menunggu seseorang, atau mungkin juga tidak. Entahlah. Aku masih memandangi pria itu ketika seseorang berjalan masuk melewati pintu berjalan anggun ke arahku. Rambutnya diurai indah mempertegas keindahannya. Tidak ada aksesoris macam-macam berlebihan yang menempel di tubuhnya. Tidak ada bubuhan make-up tebal yang menutupi wajahnya. Dia menampilkannya dengan begitu alami dan natural hanya dengan bubuhan riasan super simpel. Dia tampil begitu anggun malam itu hingga beberapa pasang mata kemudian mengarahkan pandangan kagum kearahnya dengan berbekal aura yang dimilikinya ditambah dengan gaun malam yang simpel tapi sempurna. Kini dia berdiri tepat dihadapanku dengan senyum yang perlahan tapi pasti menghiasi wajahnya. Sempurna. “Sudah lama?” Dia bertanya padaku lalu mengambil posisi duduk berhadapan denganku. Romantis. “Sebandinglah.” Jawabku terpesona. Semua perasaan gugup dan kegelisahan yang dari tadi betah tinggal dalam diriku menghilang pergi tak kuasa akan pesona Dia. Wanita yang kini duduk tepat dihadapanku, wanita yang dari tadi kunantikan kehadirannya, wanita yang hingga beberapa detik
8
yang lalu seakan memaksaku berpikir keras tentang prosesi ini. Kami saling berpandangan. Tanpa kata. Serasa senyuman cukup mewakili setiap kata yang akan terucap. Sekilas kualihkan pandangan ke arah waiter yang dari tadi sudah bersiap dengan kode dariku. Tidak lama menu yang sudah kurencanakan pun terhidang dihadapakan kami mengurangi kekosongan bidang di atas meja yang sebelumnya hanya dihiasi setangkai bunga dan lilin-lilin penghias ala candlelight dinner. “Kau benar-benar mempersiapkannya.” Aku merogoh kantung celanaku mencari kotak merah kecil mirip dadu jumbo yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Kugapai. Kugenggam. Erat. “Dia…would you be mine.” Ada getaran yang tidak mampu kukendalikan dalam kalimat itu, natural. Sementara tanganku refleks mengeluarkan kotak merah kecil yang dari tadi mantap dalam genggamanku. Kuarahkan tepat dihapannya. Dalam posisi yang tidak lagi berbentuk kotak kecil karena telah terbuka sehingga benda kecil berbentuk lingkaran yang tersembunyi didalamnya kini jelas terlihat. Berkilau. Dia tersenyum. Senyum yang sungguh kuinginkan. Senyum yang selalu kuinginkan. “Kalau ini kau maksudkan untuk melamarku dan menikah denganku…” Dia mengambil kotak 9
kecil merah dari genggamanku. “ Cobalah dengan lebih baik.” “Maksudnya?” Aku bingung. Penolakankah ini? pikirku. “It’s too ordinary.” Menunjuk ke arah cincin itu. “Aku memimpikan dilamar dengan sesuatu yang berbeda. Bernilai tapi tidak selalu tentang kemahalan.” Dia tersenyum padaku. Lalu beranjak pergi menjauh dan akhirnya meninggalkanku kembali dalam kesendirian seperti saat pertama datang ketempat ini.
& “Dia penasaran.
menolakmu?”
Tanya
wanita
itu
“Tidak. Tapi caraku.” “Tapi kenapa? Bukankah dia seharusnya bersyukur kau melakukan itu dan mengingat kondisinya?” Masih dalam nada yang penasaran. “Tidak juga.” Aku melakukan banyak hal dan upaya memenuhi keinginannya hingga membuatku stress lalu kemudian ketakutan menghampiriku. Takut pada 10
kenyataan bahwa aku mungkin tidak akan bisa memilikinya. Hingga akhirnya aku menyerah dalam keputusasaan karena tidak mampu menemukan cara memenangkannya. Memenangkannya dengan cara yang sungguh dia inginkan. “Lalu apa yang kau lakukan?” “Tidak ada.” Mereka masih dalam posisi terakhir tanpa saling memandang satu sama lain. “Kemudian pikiranku dipenuhi dengan kata KEJUJURAN. Klise. Kejujuran apa yang akan kuberikan padanya? Toh dia juga telah mengetahui diri dan hidupku.” “Lalu?” “Aku membuatkannya Buku.” Kali ini dia beranjak dari tempatnya untuk kemudian kembali lagi ke posisinya dengan membawa sebuah buku yang langsung diberikan pada wanita itu.
11