BERBONCENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAM (Perspektif Bahtsul Masa’il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) Se-Jawa Timur)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy)
ASMAHADY NIM: 108043100016
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semuasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudianhari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan darikarya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta: 08 08
Mei Rajab
Asmahady
2014 M 1435 H
ABSTRAK
Asmahady. NIM:108043100016. Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur). Perbandingan Mazhab Fiqih, Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, 54 hal. Skripsi ini merupakan upaya menjelaskan pemasalahan terkait berboncengan selain mahram, penulis menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), menjelaskan apa mahram itu sendiri, batasan batasan mahram, pendapat para ulama-ulama terdahulu, dasar-dasar hukum yang digunakan oleh para ulama tersebut. Yang menjadi focus penulis ialah, Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Terkait jenis penelitian yang di gunakan dalam skripsi ini ialah deskriptif analisis dan penelitian pustaka (library research). Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini ialah analisis fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur dan pendapat para ulama-ulama terdahulu. Kata kunci : mahram, batasan-batasan mahram ,larangan berboncengan selain mahram, bahtsul masa’il, metode istinbat bahtsul masa’il.
ii
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum. Wr. Wb. Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada kita semua. Salawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhamad SAW berserta semua keluarganya dan para sahabatnya dan juga para pengikut sunnahnya sampai akhir zaman. Banyak hal yang ingin penulis sampaikan dalam kata berupa ungkapan terima kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah membantu penulis secara materil maupun moril untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah yaitu penyusunan karya tulis ilmiah (skripsi). Demikian juga kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Olehnya pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis mengungkapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta jajaranya. 2.
Dr. H. Muhammmad Taufiki, M.Ag selaku Kepala Jurusan Pebandingan dan Mazhab Hukum.
iii
3.
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum.
4.
Bapak Drs. H. Ahmad Yani, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi Penulis yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan do’a, waktu, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5.
Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis. Semoga ilmu yang telah Bapak atau Ibu berikan, bermanfaat dan berguna untuk penulis.
6.
Kepala dan Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta Perpustakaan
Utama
yang
telah
memberikan
fasilitas-fasilitas
dalam
penyelesaian skripsi penulis. 7.
Kepada orang tua penulis, ayahanda H. Ma’asan Dinuk (Alm) dan ibunda Umiyati yang telah melahirkan dan membesarkan ananda. Tiada kata yang dapat ku ucapkan selain ucapan terima kasih yang tak terbatas untuk semua pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini. Karena ku yakin kasih sayang, cinta suci, dan pengorbanan kalian takkan tertandingi adanya, oleh karena itu aku akan selalu berusaha membuat kalian tersenyum bangga. Ucapan ribuan terima kasih atas do’a-nya tak henti-hentinya penulis lantunkan di setiap do’a.
iv
8.
My best Friends, Suhendra, Budi, Hasan Aziz, Fauzan, Riadi, Syafi’i, M Rifqi Azis dan Humaidah yang selalu ada disaat penulis membutuhkan bantuannya serta selalu memberikan masukan kepada penulis dalam membuat skripsi ini.
9.
Teman-teman seperjuangan penulis angkatan 2008 jurusan perbandingan hukum dengan semangat perjuangan dan solidaritas yang telah diberikan kepada penulis dengan segala hormat dan terima kasih penulis sampaikan semoga kisah persahabatan ini akan tetap terjalin selamanya.
10. Juga kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini. Dengan ini penulis sampaikan dengan perasaan rendah hati dan penuh hormat rasa terima kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah ini. Semoga jasa dan amal baiknya mendapat balasan yang lebih baik dan berkah di dunia dan akhirat. Amin. Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
Jakarta: 08 08
Mei Rajab
Asmahady
v
2014 M 1435 H
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii DAFTAR ISI ........................................................................................................... vi BAB I
: PENDAHULUAN .................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Identifikasi masalah .........................................................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .........................................................
6
D. Review Studi Terdahulu ...................................................................
7
E. Metodelogi Penelitian ......................................................................
8
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13 BAB II : PANDANGAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
BATASAN
MAHRAM ............................................................................................. 14 A. Pengertian Mahram .......................................................................... 14 B. Dasar Hukum Batasan Mahram ....................................................... 16 C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan ..................................... 24 BAB III : PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3), DAN BATSUL MASA’IL ........................................ 31 A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) ........... 31 B. Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il ......................................... 35
vi
BAB IV : ANALISA TENTANG
TERHADAP
HASIL
PELARANGAN
BAHTSUL
BERBONCENGAN
MASA’IL DENGAN
LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA ............................ 41 A. Pandangan Ulama Terhadap Larangan Boncengan Yang Bukan Mahram ............................................................................................ 41 B. Pandangan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ...................... 45 C. Analisa Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ............................................................................................ 48 BAB V : PENUTUP ............................................................................................. 51 A. Kesimpulan ...................................................................................... 51 B. Saran-saran ....................................................................................... 53 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55 LAMPIRAN ............................................................................................................. 57
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring perkembangan zaman, manusia memiliki ketergantungan terhadap kendaraan dalam untuk memenuhi kebutuhan mobilitas, baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, di darat, di laut maupun di udara. Dewasa ini masyarakat cenderung memilih kendaraan yang murah, fleksibel, dan cepat untuk mencapai tujuan. Kendaraan alternatif yang dipilih dan diminati oleh mayoritas masyarakat di Indonesia adalah sepeda motor. Sepeda motor mempunyai kompatibilitas tinggi dalam memenuhi kebutuhan masyarat. Hal ini terbukti karena kendaraan sepeda motor dapat mencangkup berbagai sudut pemukiman di kota-kota maupun di daerah terutama daerah padat penduduk. Menurut UU di Indonesia kendaraan ini hanya berkapasitas dua orang.1 Di Indonesia, baik pengendara maupun penumpang itu tidak mengenal adanya perbedaan kelamin, usia, maupun SARA. Dalam pelaksanaannya di lapangan, karena tidak adanya perbedaan jenis kelamin, maka banyak pengendara sepeda motor yang saling berboncengan dengan lawan jenis. Akibat hal tersebut
1
Menurut pasal 106 ayat 9 UU 22 Tahun 2009, yaitu: Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.
1
2
maka timbullah berbagai dampak termasuk diantaranya dapat menimbulkan fitnah. Oleh karena itu, tepatnya pada 14 Januari 2010 Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah Fatwa Haram, salah satunya Fatwa Perempuan Tukang Ojek Atau Perempuan Naik Ojek. Fatwa tersebut di keluarkan oleh FMP3 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, yang diikuti oleh 258 peserta yang berasal dari 46 Pondok Pesantren di Jawa Timur dan dua pondok pesantren di Jawa Tengah. Fatwa (opini hukum dalam Islam) tersebut tentu saja menimbulkan banyak pendapat, terlebih pada isu haramnya perempuan menjadi tukang ojek dan haram naik ojek. Pro dan kontra fatwa ini belum lagi usai, pada Agustus 2010 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lebak, Banten, Jawa Barat pun mengeluarkan fatwa sejenis yakni berboncengan sepeda motor berbeda jenis kelamin dengan bukan mahramnya haram hukumnya, karena dianggap mengundang pornografi maupun pergaulan bebas.2 Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa
2
http://lestarin.wordpress.com/2012/02/21/tanggapan-perempuan-terhadap-fatwa-haramforum-musyawarah-pondok-pesantren-putri-fmp3-se-jawa-timur-di-ponpes-lirboyo-studi-padaperempuan-akar-rumput-di-jawa-barat-dan-jawa-timur-terhadap-fatwa/ (diakses pada tanggal 22 Mei 2013 Jam 12.15)
3
dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi). Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:
“
… ”.
Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.”3 (H.R.Bukhari)
Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan. Dari penjelasan di atas, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya itu diperbolehkan. Hal ini dapat terwujudkan apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:
3
Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, (Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah Qohiroh, 1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224
4
1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) 2. Tidak terjadi khalwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan) 3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara‟ 4. Tidak terjadi persentuhan kulit 5. Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain menurut satu pendapat diperbolehkan, meski tidak disertai mahram apabila aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan).4 Dalam masalah ini perbandingan antara alat yang dikendarakan pada jaman nabi dan kendaraan pada zaman sekarang ini. Pada masa nabi kendaraan yang digunakan adalah onta sedangkan pada jaman sekarang ini adalah motor yang dimana sangat jauh berbeda diantara keduanya. Perbedaan antara keduanya adalah onta memiliki punuk yang bisa dijadikan sebagai pembatas antara pengendara dan penumpangnya, sehingga antara keduanya tidak dapat saling bersentuhan. Sedangkan semua jenis motor tidak memiliki halangan antara pengendara dan penumpangnya sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya sesuatu yang tidak dibolehkan seperti bersentuhannya badan yang bisa saja menimbulkan syahwat.
4
http://m.life.viva.co.id/news/read/121832-_wanita_juga_dilarang_naik_ojek_ (diakses pada tanggal 22 Mei 2013 jam 12:58)
5
Oleh karena itu, tinjauan bahtsul masa`il yang dikeluarkan oleh Forum Musyawarah
Pondok
Pesantren
Putri
(FMP3)
se-Jawa
Timur
tentang
pengharaman berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya menurut penulis sangat penting sekali sehingga umat Islam dapat mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai hukum mengendarai dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang “Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur)”.
B. Identifikasi Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi penelitiannya pada analisa larangan wanita berboncengan dengan bukan mahramnya terkait fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Penulis akan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa tersebut dan dampaknya. 2. Perumusan Masalah Untuk mengetahui pembahasan ini lebih lanjut dan mendalam penulis perlu membatasi dan merumuskan pokok-pokok masalah tersebut agar tidak terjadi pandangan yang terlalu luas dan tumpang tindih dalam pernulisan skripsi ini:
6
a. Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya? b. Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Manfaat Penulisan Pada dasarnya tujuan adalah merupakan suatu alasan penting bagi kita dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap batasan yang bukan mahram. b. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab larangan terhadap pengendara yang berboncengan dengan selain mahramnya. c. Untuk mengetahui apa saja dampak yang dihasilkan pada masyarakat terhadap fatwa pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya. 2. Manfaat Penulisan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya ilmu pengetahuan
7
hukum Islam serta sebagai bahan pertimbangan bagi instansi-instansi terkait terutama: a. Bagi penulis sendiri, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas khususnya di bidang hukum Islam sehingga dapat diterapkan di lingkungan masyarakat. b. Bagi program studi Perbandingan Mazhab Fiqih semoga hasil penelitian ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan memberikan informasi yang berharga mengenai fatwa majelis ulama tentang pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya. c. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam semoga hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan mengenai hukum islam secara mendalam.
D. Review Studi Terdahulu Sebelum membuat proposal skripsi ini, penulis melakukan beberapa studi pada penelitian sebelumnya, sehingga mendapat beberapa ide dan wawasan baru dalam mendukung penyusunan proposal skripsi ini. Dalam beberapa penelitian ada banyak yang selanjutnya agar lebih jelas penulis sudah mencatat beberapa penelitian dibawah berikut ini : -
Muhammad Gusmakin, (102044225097) dengan judul “Kemitrasejajaran Perempuan Dan Laki-laki Dalam Perspektif Hukum Islam” penelitian ini membahas masalah ke sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian
ini,
Saudara
Gusmakin
menjelaskan
tentang
bagaimana
8
menghadapi
kesejajaran
laki-laki
dan
perempuan
dalam
pandangan
masyarakat Islam, serta kebebasan perempuan dala berekspresi menurut pandangan islam, dan juga kedudukan perempuan dalam islam. Perbedaan yang mendasar bagi penulis adalah aspek kajian penelitian. Skripsi di atas mendeskripsikan aspek kesejajaran antara laki-laki menurut hukum isam serta kedudukan perempuan dalam pandangan Islam dan juga kebabasan perempuan dalam berekspresi, sedangkan penulis ingin membahas lebih spesifik lagi yaitu mengenai. larangan wanita berboncengan dengan bukan mahramnya terkait hasil Bahtsul Masa‟il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Serta mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa tersebut dan dampaknya.
E. Metode Penelitian Paradigma menurut Robert A. Friedrichs adalah suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin.5 Paradigma
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
paradigma
fenomenologis. Paradigma fenomenologis yaitu berusaha memahami fenomena atau kenyataan sosial maupun perilaku manusia dari segi berfikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri.6
5
Imam S dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 91. 6 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 31.
9
Dalam hal ini, peneliti berusaha memahami suatu kenyataan tentang hasil Bahtsul Masa‟il, yaitu: pelarangan berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif, karena berupaya untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).7 -
Jenis Penelitian Dilihat dari segi penelitian yang berdasarkan bahan-bahan tertulis atau bahan pustka, maka. Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode penelitian normatif8, yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur dan bahan pustaka yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara nyata mengenai situasi tertentu atau keterkaitan hubungan antara berbagai fenomena secara aktual dan teratur. Dalam hal ini peneliti berusaha memberikan gambaran secara nyata mengenai batasan non muhrim dalam Islam.
7
Ibid, hlm. 3. Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, ( Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet 1, h.10. 8
10
-
Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data 1. Sumber Data Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam suatu penelitian. Yang dimaksud sumber data dalam suatu penelitian adalah dari mana data diperoleh.9 Dalam penelitian ini peneliti
subjek
menggunakan tiga sumber yaitu : a. Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan dalam hal ini, yaitu Al-quran dan hadis, kaidah-kaidah fiqih, pendapat Ulama-ulama Terdahulu dan Kontemporer, FPM3 se-Jawa Timur.10 b. Sumber Data Sekunder adalah data yang didapat dari sumber kedua. Data ini merupakan data pelengkap yang nantinya akan dikorelasikan dengan sumber data primer, antara lain berwujud buku-buku, jurnal dan majalah, maupun catatan pribadi.11 c. Sumber Data Tersier adalah data penunjang, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus dan ensiklopedi.12
9
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm.114. 10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm.12. 11 Ibid, hlm. 12. 12 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 114.
11
2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research)13, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang diperlukan dalam hal ini adalah Alquran, Al-hadis, pendapat ulama terdahulu dan kontmporer, Fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Sebagai rujukan utama dan buku yang berkaitan tentang masalahmasalah kejahatan narkotika dan yang ada relevansinya dengan skripsi ini. 3. Metode Pengolahan Data Sebelum data di analisis, perlu dilakukan proses pengolahan data terlebih dahulu untuk memisahkan data yang relevan dengan tujuan penelitian dan mana yang tidak, dengan proses sebagai berikut: a. Editing (pemeriksaan ulang), dengan tujuan data yang dihasilkan berkualitas baik.14 Dalam hal ini peneliti membaca kembali data atau keterangan yang telah dikumpulkan dengan, buku catatan, daftar pertanyaan (interview guide) jika masih ada hal-hal yang salah dan meragukan. b. Analyzing (analisis), proses ini merupakan yang terpenting dalam penelitian kualitatif yang selalu harus disandingkan dengan upaya
13 14
ibid., h.12. LKP2M, Research Book for LKP2M (Malang: UIN-Malang, 2005), 60-61.
12
interpretatif. Karena prinsip pokok penelitian jenis ini adalah menemukan teori dari data. c. Concluding (penarikan kesimpulan) yaitu dengan cara menganalisis data secara komprehensif serta menghubungkan makna data yang ada dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. -
Teknik Analisis Data a. Teknik yang digunakan adalah deskriptif komparatif.15 Tahap analisis deskriptif adalah tahap penyajian data terhadap berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Sedangkan
tahap
analisis
komparatif
dilakukan
dalam
upaya
membandingkan antara prinsip-prinsip hukum Islam, para ulama terdahulu dan hasil keputusan bahtsul masa‟il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)se-Jawa timur. Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Pres, 2007 yang merupakan Pedoman dari Penulisan karya ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umunya, khususnya Mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum.16
15
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif ini ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu. 16 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2007), Cet 1, h.36.
13
F. Sistematika Penulisan Untuk sistematika penulisan, seluruh skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut: BAB I
Berisikan latar belakang masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penulisan, Studi Pendahuluan, dan Sistematika Pembahasan.
BAB II
Membahas tentang pengertian mahram serta pandangan hukum Islam tentang batasan yang bukan mahram.
BAB III
Untuk mendeskripsikan profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), dan Metode Istinbat Bahtsul Masa‟il.
BAB IV
Analisa
terhadap
hasil
Bahtsul
Masa‟il
tentang
pelarangan
berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya dan implikasinya di masyarakat. BAB V
Penutup; Kesimpulan dan Saran.
BAB II PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATASAN MAHRAM
A. Pengertian Mahram Penyebutan istilah muhrim, dalam makna saudara di kalangan masyarakat sering kita jumpai. Akan tetapi penggunaan istilah muhrim disini adalah salah, karena istilah yang mereka maksud adalah mahram. Secara definisi arti ke-dua istilah tersebut sangatlah berbeda. Walaupun kata muhrim dan mahram berasal dari bahasa Arab tetapi kata muhrim berasal dari kata muhrimun, (mimnya di dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram berasal dari kata mahramun, (mimnya di-fathah). Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain lelaki ini boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dll., sesuai dengan hukum-hukum mahram. Mahram
secara
bahasa
adalah
seseorang
yang
diharamkan
menikah
dengannya.17 Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang
diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti
17
Imam Rozi‟, Mukhtar as-Shihah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), Cet 1, h.
77-78
14
15
hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan. Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 23.
(السورة ) :ألنساء
Artinya: “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudarasaudara perempuan bapak kalian, saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan iteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteriisteri ank kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (An-Nisa‟ ayat 23).
16
Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani memberikan definisi: “Mahrom adalah seseorang yang tidak boleh dinikahi selamanya”.18 Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah memberikan definisi: “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.”19 Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus yaitu: haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi‟i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.
B. Dasar Hukum Batasan Mahram. Karena ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) ini sudah menjadi suatu hal yang biasa terjadi di lingkungan kita terutama di Negara kita yang tidak menggunakan hokum islam secara kaffah. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena ikhtilat tersebut, sebagai seorang muslim kita harus mengetahui dasar hokum batasan-batasan mahram yang telah Allah tentukan, baik itu yang berasal dari Al-Quran maupun AsSunnah. Berikut ini beberapa dasar hokum tentang batasan mahram : 1. Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32: ) :االسراء 18
(السورة
Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul bari, ( t.t., :Al Makhtabah Salafiyah, t.th.), juz 9, h.
332. 19
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, Al Mughni, (Riyadh : Darul Alamul Khutub, t.th.), juz 9, h. 493.
17
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32) Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wata‟ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.”20 Asy-Syaikh As-Sa‟di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.”21 2. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 23.
20 21
Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55 Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457
18
) : (السورة ألنساء
Artinya : “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudarasaudara perempuan bapak kalian, saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-isteri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang.”(An-Nisa‟ ayat 23). Surat An-Nisa ayat 23 menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah (pernikahan), maupun karena jam' (menggabung dua pereempuan bersaudara). Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi. Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara kita yang laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan masing-masingnya nanti. Selain yang disebutkan itu halal dinikahi (uhilla
19
lakum maa waraa'a dzaalikum) seperti puteri paman dari bapak ('amm) dan puteri bibi dari bapak ('ammah), demikian pula puteri paman dari ibu (khaal) maupun puteri bibi dari ibu (khaalah). Dengan demikian, sepupu halal dinikahi. Yang diharamkan karena sepersusuan–yang disebutkan dalam ayatadalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena dalam hadits disebutkan,
Artinya : Diriwayatkan dari Aisyah berkata Rasulullah SAW. "Karna Sesungguhnya persusuan itu mengharamkan seperti juga haramnya keturunan22." (HR. Bukhari dan Muslim) Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi: 1. Wanita yang menyusuinya (karena dianggap sebagai ibunya), 2. Ibu wanita yang menyusuinya (karena ia neneknya), 3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya (ia neneknya juga), 4. Saudari ibu yang menyusuinya (khaalahnya), 5. Saudari suami wanita yang menyusui („ammahnya), 6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.
22
Imam Bukhari dan Imam Muslim, Shahih Bukhari dan Muslim, (Bandung, Jabal, 2011), cet, h 261, no 835
20
7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri si wanita yang menyusui dst. ke bawah. Yang diharamkan karena mushaharah (pernikahan), jumlahnya ada 4, yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai ahli waris maupun terhalang (mahjub), ibu istri kita dst. ke atas (seperti neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita.
3. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata: Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi).
“
… ”.
Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw.
21
berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.”23 (H.R.Bukhari) Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.
4. Dari Ibnu „Abbas r.a.
Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW. Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram”.Tiba tiba berdiri seorang laki-laki, lalu dia bertanya: “istriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan untuk 23
Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, (Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah Qohiroh, 1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224
22
berperang kesana dan kesitu; bagaimana itu ya Rasulullah?” jawab Rasulullah SAW. “Pergilah kamu haji bersama isterimu!”24(H.R. Muslim) Imam nawawi mensyarahkan hadis ini, bahwa hadis ini menjadi dasar dari madzhab syafi‟i dan jumhur ulama bahwasanya keharusan seorang wanita untuk keluar bersama mahram, baik itu muahram dari persusuan, maupun muhrim dari nasab seperti anak, saudara, keponakan dan paman.25 Pada akhirnya, beliaupun menyimpulkan bahwa setiap perjalanan yang dilakukan oleh seoarang wanita, baik itu tiga hari, 2 hari maupun satu hari itu dilarang bagi wanita kecuali bersama mahramnya.26 5. Dari „Uqubah bin „Amir r,a.
Artinya:
24
Dari „Uqubah bin „Amir r.a., katanya Rasulullah SAW, bersabda: “Hindarilah olehmu masuk kerumah-rumah wanita!” lalu bertanya Anshar, “Ya, Rasulullah! Bagaimana pendapat anda tentang alHamwu (keluarga dekat bagi suaminya27). jawab Rasulullah SAW., “Bahkan itu lebih berbahaya.”28 (H.R. Muslim).
HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Haji, Bab Safarul Mar‟ah Ma‟a Mahram (Bandung: Sirkah Ma‟arif,1978) , Juz.1, h. 563. 25 Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarah Shahih Suslim, (t.t., :darrul afkar dauliah, t.th.,), h. 839 26 Ibid, h. 839 27 Al Hamwu, keluarga dekat bagi suami, seperti paman suami, saudaranya, anak saudaranya, dan sebagainya. 28 HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Salam, Bab Tahrim Khalwat Bil Ajnabi (Bandung: Sirkah Ma‟arif, 1978), Juz. 2, h. 270.
23
Di jelaskan oleh hadits di atas bahwa keluarga dari suami berpotensi untuk menimbulkan fitnah dan dilarang untuk berkhalwat. Dikarnakan kerabat atau keluarga dekat sering berada dalam satu rumah atau satu temapat jika sedang bertamu yang bisa menimbulkan pitnah.
6. Dari Abu Hurairah r.a.
Artinya :
“Dari Abu Harairah r.a., katanya Rasulullah SAW bersabda:”Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam, melainkan harus bersama muhrim.”29(H.R. Muslim).
Pada keterangan hadits diatas keharusan seorang wanita untuk bersama mahramnya pada saat selama perjalanan terlebih dalam perjalanan yang menempuh waktu selama sehari semalam, oleh sebab itu hadis diatas mengharuskan jika seorang wanita ditemani mahramnya selama perjalanan agar terhidar dari hal-hal yang tidak di inginkan.
29
Ibid.,Juz.1, h.563.
24
7. Dari Jabir r.a.
Artinya: Dari Jabir r.a : Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda:”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah tidak berhalwat dengan wanita yang tidak di dampingi dengan mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan.”30(H.R. Ahmad)
Hadis ini menunjukan bahwa kholwat antara laki-laki dan perempuan baik itu dalam sebuah perjalanan maupun hal-hal lain yang berbentuk halwat itu dialarang oleh syari‟at.
C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan Islam menetapkan beberapa kriteria syar‟i pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya. Kriteria syar‟i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Diantaranya, Islam mengharamkan ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) dan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan), memerintahkan adanya sutrah (pembatas) 30
yang
syar‟i
dan
menundukkan
pandangan,
meminimalisir
Al Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad: Darul Ibni Afan, 2005) cet.1, Juz.7, h. 542.
25
pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan kriteria lainnya. Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan semuanya. Sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dan realita. Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya, bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan. Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab terjadinya banyak kerusakan dan keburukan. Wajib berhati-hati, karena setan terkadang menipu seseorang dengan merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan. Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang menentang petunjuk Nabi SAW dengan melanggar larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan. Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada suatu kebutuhan yang mendesak, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan sesuai ketentuan syar‟i, di antaranya:
26
1. Ghadlul Bashar (menundukkan pandangan) Allah Ta‟ala berfirman,
) : (السورة النور Artinya: “Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30). Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta‟ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”31
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
(السورة )13:النور
31
Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, „Azhim,(Beirut: Al Makhtabah Al Asriyah.2000), jilid3, h. 265
Tafsir Al Qur‟an Al
27
Artinya: “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. AnNuur: 31).
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, ”Firman Allah “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka
menundukkan
pandangan
mereka‟
yaitu
hendaklah
mereka
menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.32 Berdasarkan hal ini ditetapkan nya keharaman tentang melihat aurat lawan jenis yang bukan muhrim. 2. Tidak berduaan atau berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram dan bukan istrinya). Dalam Shahihul Muslim, dari Ibnu Abbas radliyallah „anhu, Nabi shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
32
Ibid., h. 265-266
28
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali bersama mahramnya.”33(H.R. Muslim)
Dijelaskan pula, dari Amir Bin Rabi‟ah,
Artinya : Dari Amir Bin Rabi‟ah, ia berkata, Rasulullah SAW “Jangan lah seorang lelaki berduan dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yangketiga adalah setan.kecuali ditemani mahramnya.”34)HR. Ahmad)
3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan gadis yang bisa menyebabkan fitnah. Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:
) :(السورة االسراء Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32) Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al-Qur‟an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta
33
HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim,Kitab Haji, (Bandung: Sirkah Ma‟arif,2007)cet.8 Juz.3, Hal. 27, No. 1281 34 Al Imam Asy- Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah (Riad: Darul Ibni Afan,2005), Juz7, hlm 543
29
sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, ber-khalwat, tabarruj dan lain-lain.” Allah Ta‟ala berfirman guna melarang hamba-hambanya dari perbuatan zina, mendekatinya, dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat menimbulkan atau menyeret kepada perzinaan. “Dan janganlah kamu mendekati perzinaan. Sesungguhnya perzinaan itu adalah perbuatan keji, “yakni dosa yang besar“, dan satu jalan yang buruk” yakni perzinaan itu merupakan jalan dan perilaku yang terburuk.35
4. Tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, karena diharamkan. Dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir milik Imam Ath-Thabrani, dari Ma‟qil bin Yasar berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:
Artinya : Telah memberikan hadits kepada saya Abdan bin Ahmad Sana Nasar bin Ali beliau berkata: saya Abi sana Sadad bin Said dari Abi Ala telah mebberikan hadis kepada saya Ma‟qul bin Yasar, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Andaikata kepala salah seorang
35
Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,(Zedah: Al Haramain, TT), Juz3, h. 38
30
laki-laki ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”36
5. Allah telah memerintahkan beberapa adab yang agung kepada para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan segenap wanita muslimah yang masuk di dalamnya. Allah berfirman di dalam al-Quran surat Al-Ahzab ayat 32 :
) :(السورة االحزاب Artinya:
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”(QS. Al-Ahzab: 32)
Imam ibnu katsir lebih lanjut menafsirkan ayat ini bahwa tidak diperbolehkan bagi wanita berbincang dengan ajanib lawan jenis seperti berbincang dengan suami atau mahram nya37. Begitu juga, Imam Qurthubi dalam ayat ini beliau menafsirkan bahwa disunnahkan bagi wanita untuk merendahkan suaranya ketika berbincang dengan lawan jenis yang bukan mahram38
36
Al Hafidz Ahmad Athobary, Mu‟jam Alkabir, (t.t., Maktabah Ibnytaimiyah,1991),cet.1 , juz 20, h. 211-212. 37 Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (t.t., Darrul Kutub Ilmiah, t.th.), juz 6, h.362. 38 Imam Qurthubi, Jami‟ ahkam Qur‟an Tafsir Qurthubi, ( t.t., darrul kutub mishriyah, 1964), cet. 2, jilid 5, juz 14.
BAB III PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3), DAN BATSUL MASA’IL
A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) FMP3 adalah sebuah acara pengkajian yang dilakukan oleh pondok pesantren putri se-Jawatimur dan Madura. FMP3 itu sendiri adalah Forum aspirasi Pondok pesantren Putri untuk membahas permasalahan-permasalahan yang ada dimasyarakat, nantinya akan dibahas pada forum tersebut. Akan menghadirkan tutor-tutor dari kalangan dunia pesantren yang sudah mumpuni dibidangnya masing-masing. FMP3 diadakan pertama kali di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'at al-Qur'aniyyah (HMQ) Lirboyo - Kediri - Jatim. Acara ini biasa dilakukan di tiaptiap pondok pesantren yang telah di pilih menjadi penyelengara acara. Pada acara tersebut, biasanya panitia FMP3 se-Jawa dan Madura mengundang ratusan pondok pesantren salaf putri, tetapi yang tercatat sebagai peserta yang hadir ada sekitar lima puluhan pondok pesantren. Dalam acara tersebut, seluruh perwakilan pesantren melaksanakan diksusi yang dikemas dalam bingkai Bahtsul Masail. Bahtsul Masail yang dilaksanakan santri putri merupakan suatu pergerakan progresif yang baik di lingkungan pesantren, mengingat pesantren selama ini terlihat sebagai sub kultur yang mengesampingkan suara perempuan dalam mengambil keputusan/hukum baik
31
32
keagamaan maupun sosial. Selain itu, bahtsul masail tersebut secara tidak langsung telah mengajak para santri untuk terus membuka dasar hukum berupa kitab-kitab kuning sebagai landasan berideologi. Agar santri putri terus melakukan aktualisasi zaman dengan tetap merujuk pada kitab kuning, karena sekarang ini sudah jarang santri yang mempelajari kitab kuning sebagai landasan hukum mereka. Sedangkan Tujuan bahtsul masa‟il menurut Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Lirboyo yaitu: Pertama, bahtsul masa‟il bisa dijadikan sebagai mediator dalam rangka mensosialisasikan gagasan-gagasan baru pemahaman ajaran Islam kepada masyarakat. Kedua,
bahtsul masa‟il dapat difungsikan sebagai ajang penempaan ketrampilan, kreatifitas dan kualitas intelektual santri di pesantren, pemupukan jiwa kritis dan inovatif terhadap berbagai disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya fikih.
Ketiga,
melalui bahtsul masa‟il dapat dipersiapkan sejak dini kaderkader
yang
mumpuni
dalam
mengakomodir
beragam
perbedaan pemikiran yang berkembang di kalangan umat, untuk kemudian memberikan formulasi terbaik secara arif dan bijaksana.39
39
http://www.lirboyo.net/17/12/2013. Lajanah Bahtsul Masail
33
FMP3 ( Forum Musyawarah Pondok Pesantren ) putri se-jawa timur. Berikut susunan kepengurusan. -
PELINDUNG :
1.
KH. Ahmad Idris Marzuqi
P3TQ. Lirboyo Kota Kediri
2.
KH. M.Anwar Manshur
P3HM. Lirboyo Kota Kediri
3.
KH. M.Abdul Aziz Manshur
PP. Tarbiyatunnasyiaat Paculgowang Jombang
4.
KH. Abdulloh Kafabihi Mahrus P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri
5.
KH. Nurul Huda
PP. Al Falah Ploso Kediri
6.
KH. Zainuddin Jazuli
PP. Al Falah Ploso Kediri
7.
KH. Anwar Iskandar
PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri
8.
KH. Muhammad Subadar
PP. Roudlotul „Ulum Besuk Pasuruan
9.
KH. Miftahul Akhyar
PP. Miftahussunnah Surabaya
10. KH. Masrukhin
PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trenggalek
11. KH. Masbukhin Faqih
PP. Mambaussholihin Suci Manyar Gresik
12. KH. Sadid Jauhari
PP. As Sunniyyah Kencong Jember
13. KH. Imam Yahya Malik
PP. Al Ma‟ruf Bandar Lor Kota Kediri
14. KH. Masyhudi
PP. Hidayatut Thullab Kamulan Trenggalek
15. KH. Mujib Imron
PP. Al Yasini Areng-areng Sambisirah Pasuruan
16. Ibu Hj. Badriyah Jazuli
PP. Al Badriyah Ploso Mojo Kediri
17. Ibu Hj. Qoni‟atuz Zahro Sa‟id
PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri
18. Ibu Hj. Lilik Nur Kholidiah
PP. Al Badriyah Al Hikmah Purwoasri
19. Ibu Hj. Roikhanah Faqih
PP. Darussalam Sumbersari Pare Kediri.
34
20. Ibu Hj. Azzah Nuur Laila
P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri
-
PENASEHAT :
1.
KH. Atho‟illah Sholahuddin
PP. Lirboyo Kota Kediri
2.
KH. Asyrofi Abi Yusa
PP. Darussalam Sumbersari Pare Kediri.
3.
KH. Dliyauddin
PP. Manba‟ul Hikmah Mantenan Blitar
4.
KH. Muhibbul Aman Ali
PP. Roudlotul „Ulum Besuk Kejayan Pasuruan
5.
KH. Ibnu Shodiq
PP. Hidayatul Mubtadi-in Ngunut Tulungagung
6.
KH. Bahrul Huda
PP. An Nur Gondanglegi Malang
7.
Agus H. Reza Ahmad Zahid
PP. Al Mahrusiyah Lirboyo Kota Kediri
8.
Agus Anang Darunnaja
PP. As Sa‟idiyah Jamsaren Kediri
9.
Agus Fauzi Hamzah
PP. Miftahul „Ulum Pare Kediri
10. Agus H. Abdul Mu‟id Shohib
PP. Mambaul Ma‟arif Denanyar Jombang
11. Agus H. Ibrahim Abdul Hafidz PP. Hidayatus Sholihin Turus Kediri 12. Agus H. Dahlan Ridlwan
PP. Roudlotul Huffazh Kodran Mojo Kediri
13. Agus H. Huda
PP. Suci Manyar Gresik
14. Agus Jamil
PP. Wali Songo Cukir
-
DEWAN HARIAN:
Ketua Umum
: HM. Adibussholeh (P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Ketua Satu
: Ma‟adzallah
(P3.Darussalam Sumbersari Kediri)
Ketua Dua
: M. Fadloli
(P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Ketua Tiga
: H. Muhammad
(P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri)
Ketua Empat
: Muzammalah
(P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
35
Sekretaris Umum : Yusuf Nur
(P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Satu
: Teten Rustendi
(P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Dua
: Qurrotu A'yunin
(P3HMQ. Lirboyo Kota Kediri)
Sekretaris Tiga
: Tri Fina F.
(P3TQ. Lirboyo Kota Kediri)
Berndahara
: M. Najib Yasin
(P3HM. Lirboyo Kota Kediri)
Wakil bendahara : Ria Mustika Sari
(PP. Al
Mahrusiyyah
Lirboyo
Kota
Kediri)40
B. Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il 1. Bahtsul Masail Bahtsul Masa‟il secara harfiah berarti pembahasan berbagai masalah yang berfungsi sebagai forum resmi untuk membicarakan Al-Masa‟ilud Diniyah (masalah-masalah keagamaan) terutama berkaitan dengan alMasa‟ilul Fiqhiyah (masalah-masalah fiqh). Dari perspektif ini Al-Masa‟ilul Fiqhiyah termasuk masalah-masalah yang khilafiah (kontroversial) karena jawabannya bisa berbeda pendapat. Nahdlatul Ulama dalam setiap mengambil keputusannya senantiasa didasarkan pada permusyawaratan para ulama, termasuk di dalamnya keputusan hukum Islam yang diambil oleh Nahdlatul Ulama terlebih dahulu digodok dalam forum bahtsul masa‟il (pembahasan berbagai permasalahan hukum). Sedangkan untuk melaksanakan bahtsul masa‟il tersebut, diperlukan 40
[email protected]. Dikirim /28/11/2013 Forum jawa timur.
36
tata cara pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam system pengambilan hukum Islam. Dalam struktur organisasi NU, bahtsul masa‟il dilaksanakan oleh lembaga yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan namanya, bahtsul masa‟il, yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah keagamaan. Tugas LBM adalah menghimpun, membahas dan memecahkan masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU, sebagai forum diskusi alim ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi sebagai bimbingan warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan paham Ahlussunah Waljamaahmenurut salah satu madzhab empat dan mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kesejahteraan umat. K.H. Syansuri Badawi, salah seorang kiai NU, mengatakan bahwa ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.
37
Ketika menghadapi masalah serius kekinian yang dimasa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada ahlinya. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning.41 Walaupun LBM merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagi NU, Namun masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan: a. Kelemahan yang bersifat teknis (kaifiyatul bathsi), yakni belum ada ketegasan yang bersifat jama‟i mengenai pola bermahzhab antara manhaj dan qauli. b. Kelemahan organisatoris, yakni belum terkondisikanya dan belum bakunya
hirarhi
(martabat)
keputusan
bahtsul
masa‟il
yang
diselenggarakan diberbagai tingkatan, mulai dari tingkat muktamar sampai tingkat ranting serta dipesantren-pesantren. c. Kelemahan komitmen dan kesadaran untuk mensosialisasikan dan melakukannya secara baik hasil putusan bahtsul masail.42 Masail Diniyah yaitu permasalahan yang sedang berkembang untuk dicarikan solusi dari sisi agama. NU mempunyai tiga Komisi Masail Diniyah: a. Masail Diniyah Waqi‟iyah, yakni permasalahan kekinian yang menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang Islam meresmikan gereja? 41
Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008), h. 35-36 Busyairi Harits, Islam NU: Pengawal Trasisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010), h. 57-58. 42
38
b. Masail Dinniyah Maudhu‟iyah, yakni permasalahan yang menyangkut pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi. c. Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.43 2. Metode Istinbath Hukum Islam di Lajnah Bahtsul Masail. Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama. Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi‟i, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi‟i tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat (Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi). 43
Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008), h. 77
39
Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun
kondisi
masyarakat
selalu
dijadikan
pertimbangan
dalam
penerapannya.44 3. Adapun Metode Istinbath Bahtsul Masail. a. Mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. b. Ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas. c. Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi (Maraji') berupa kitabkitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: Ibadah, Mua'amalah, Munakahah (hukum keluarga) dan Jinayah atau Qadla (pidana atau peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada Aqwal Al-Mujtahidin (pendapat para 44
Ibid., h. 35-36
40
mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan Qaul Manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul Mukharraj (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan Hajjiyah Tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).
BAB IV ANALISA TERHADAP HASIL BAHTSUL MASA’IL TENTANG PELARANGAN BERBONCENGAN DENGAN LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA
A. Pandangan Ulama Terhadap Larangan Boncengan Yang Bukan Mahram Berikut pendapat para ulama beserta dasar hukumnya, baik itu yang memperbolehkan maupun melarangnya: 1. Menurut pandangan Dr. Abdul Karim Zaidan dalam karyanya Mufasal Fi Ahkami Mar‟ah. Sesungguhnya asal hukum dalam masalah berkumpulnya seorang laki-laki dan wanita adalah haram. Namun dibolehkan berikhtilat antara laki laki dan perempuan jika memang terdapat dhorurah sariyah, hajat sariyah, maslahah sariyah atau karena hukum adat dalam beberapa keadaan berikut: a. Ikhtilat yang di bolehkan sebab darurat: Seorang laki-laki yang menolong seorang wanita padasaat wanita tersebut di kejar oleh seseorang yang akan menganiayanya. Seorang laki-laki yang menemukan seorang wanita yang tesesat di jalan kemudian berjalan bersama ketempat yang di tujunya. b. Ikhtilat yang di bolehkan sebab hajat sar‟iyah Berikhtilatnya laki-laki dan wanita untuk bermualah sariyah seperti jual beli, gadai, dan lainnya. Berikhtilatnya laki-laki dan wanita untuk menghormati tamu. Berikhtilatnya laki-laki dan wanita di dalam kendaraan umum untuk memenuhi hajat (kebutuhan hidup sehari-hari seperti berbelanja dan sebagainya). c. Ikhtilath yang sudah menjadi sebuah hukum adat atau kebiasan masyarakat yangg bersifat positif : Berihktilatnya lelaki dengan wanita di salah satu tempat berkumpul seperti lapangan upacara, auditorium atau saat mengunjungi salah seorang sahabat dengan catatan pakaian dan adab harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat islam dan hukum syari‟at,
41
42
pandangan antara para lelaki dan wanita-wanita tersebut tidak terdapat syahwat dan tidak ada kholwat antara seorang lelaki dan seorang wanita.45 2. Menurut jumhur ulama dalam kitab Mau‟suah Fiqih Kuwait tentang hukum berboncengan: Boleh hukumnya berboncengan seorang lelaki dengan seorang istrinya karena nabi pernah membonceng istrinya Sofi‟ah r.a.h. Sedangkan hukum seorang lelaki yang membonceng seorang wanita “ajnabiy” atau sebaliknya (bukan dalam keadaan dhorurat dan ada hajat positif ) itu adalah dilarang berdasarkan hukum “saddu dziro‟i” dan untuk menjaga dari syahwat terhadap lawan jenis yang bukan muhrim.46 Dasar hokum pelarangannya berdasarkan hadis Rasulullah SAW . Dijelaskan pula dari Amir bin Rabi‟ah,
Artinya: Dari Amir Bin Rabi‟ah, ia berkata, Rasulullah SAW “Jangan lah seorang lelaki berduan dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yangketiga adalah setan.kecuali ditemani mahramnya.”47)HR. Ahmad)
3. Menurut imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimyati ulama dari mazhab Syafi‟i dalam karyanya “Hasyiah I‟anah Tholibhin” beliau mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut :
45
Dr.Abdul Karim Zaidan, Mufashol Fi Ahkamil Mar‟ah, (t.t, Mu‟assasah Arrisalah, 1993) cet.1, juz 3, h. 328-330 46 Kementrian dan Urusan Agama Kuwait, Mausu‟ah Fiqh Kuwair, (t.t., dzatu tsalazil, 1983) cet.2, juz 3, h. 91 47 Al Imam Asy- Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah (Riad: Darul Ibni Afan,2005), Juz7, hlm 543
43
Adapun hukum berkumpulnya seorang wanita dan seorang lelaki pada perayaan yang tidak melanggar hukum syar‟iyah diakhir romadhon (perayaan malam takbiran) adalah makruh Selama tidak terdapat persentuhan badan antara lawan jenis yang ajnaby secara sengaja dan tanpa kebutuhan dhorurot. maka jika terjadi persentuhan yang disengaja dan tidak dalam kebutuhan dhorurat adalah haram hukumnya.48
4. Menurut imam Nawawy dalam karyanya Majmu Syarah Muhadzab berpendapat sebagai berikut : Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita berjalan sendirian untuk melaksanakan ibadah sunnah, berdagang dan selainya kecuali bersama mahromnya. Namun sebagian dari sahabat kami (ashabul wujuh dalam mazhab Syafi‟i) berpendapat bahwa: boleh hukumnya seorang wanita berpergian tanpa di temani wanita-wanita lain jika perjalan nya di anggap aman.49
5. Menurut Syaikh Ibnu Ibrahim Menaiki kendaraan berupa mobil atau motor bersama sopir lebih dari sekedar berduaan di rumah, karena bisa berpergian kemana saja baik karena samasama senag atau karena dipaksa. Kerusakan yang mungkin timbul bisa lebih besar dari pada hanya berduan saja. Fitnah yang ditimbulkan wanita karna berduaan tidak di sangsikan lagi. Dalam hadits disebutkan.
Artinya : Dari Usamah bin Zaid r.a,Nabi SAW, beliau bersabda. “Aku tidak meninggalkan fitnah sesudahku yang lebih berbahaya atas laki-laki dari pada fitnah perempuan.50”(H.R. Muslim) 48
Abi Bakar Usman Adhimyathi, I‟anah Tholibhin, (Beirut-Libanon:Darrul Khutub Ilmiyah, 1995) cet.1, juz 1 h. 272 49 Al Imam Nawawi, Majmu Syarah Muhadzab, (Beirut-Libanon: Darrul Khutub Ilmiyah, 2001) cet.2, Juz.8, h.421 50 HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Riqaq, (Bandung: Sirkah Ma‟arif, 1978), Juz.2, h.487-488 .
44
Yang menjadi kewajiban bagi kita semua, adalah melarang setiap wanita naik taksi hanya bersama sopir taksi saja, tanpa ditemani mahramnya atau temanteman yang di percaya dan sudah dikenal. Wajib pula menasehati para wanita dan wali-wali mereka dan mengingatkan dengan ancaman-ancaman.51
6. Menurut Syaikh Aziz bin Baz Tidak di perbolehkan bagi wanita untuk pergi bersama orang asing meski hanya sebagai sopir tanpa ditemani orang lain, karena ini merupakan khalwat (berduaan). Telah diriwayatkan dalam hadis nabi SAW beliau bersabda
Artinya: Dari Jabir: Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda:”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah tidak berhalwat dengan wanita yang tidak di dampingi dengan mahramnya. Karna sesungguhnya yang ketiga adalah setan.”52(H.R. Ahmad) Namun jika ia bersama laki-laki lain atau lebih, atau dengan satu wanita lain atau lebih, maka tidak apa-apa, jika tidak ada keraguan yang timbul, karena hukum khalwat hilang dengan adanya orang ketiga atau lebih. Ini apabila bukan dalam kondisi berpergian, maka tidak dibolehkan bagi wanita untuk berpergian tanpa di temani mahromnya berdasarkan hadits nabi :
51
Syaikh Muhammad bin Yahya Al-Wazan.. [et al.],Fatwa-fatwa Tentang Wanita, Penerjemeh Ahmad Amin Sjihab, (Jakarta: Darul haq, 2001),jil.3, h.129 52 Al Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad:Darul Ibni Afan,2005), cet.1, Juz.7, Hlm.542.
45
Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW. Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram.53”(H.R. Muslim) Tidak ada perbedaan, apakah berpergian dengan mengunakan kendaraan darat, laut, dan udara.54
B. Pandangan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram Setelah kita mengetahui pendapat-pendapat para ulama berikut adalah ketetapan forum musyawaroh pondok pesantren putri se-Jawa Timur terhadap larangan boncengan antara pria dan wanita yang bukan mahrom. Dalam ketetapan tersebut FMP3 menetapkan Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti: 1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) 2. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)
53
HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Haji ,(Bandung: Sirkah Ma‟Arif,1978) ,Juz.1, Hal. 563. 54 Syaikh Muhammad bin Yahya Al-Wazan.. [et al.],Fatwa-fatwa Tentang Wanita,Penerjemeh Ahmad Amin Sjihab,(Jakarta: Darul haq,2001),jil.3, h.131
46
3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara 4. Tidak terjadi persentuhan kulit Forum musyawarah ini mengambil rujukan dari beberapa kitab ulama klasik dan modern berikut sandaran dalili nash hadisnya. Adapun dalil dari refensi yang di kemukakan oleh mereka sebagai berikut: 1. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:
…”. Artinya: Dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata: Pada suatu hari aku membawa buah kurma yang kujunjung dikepalaku. Di tengah jalan aku bertemu Rasulullah saw. Beserta beberapa orang dari sahabatnya, “Ikh!Ikh!” kata beliau menghentikan dan menyuruh unntanya berlutut, untuk memboncengku dibelakangnya.“tetapi aku malu55” (H.R. Bukhari)
55
Al Imam Bukhory, Shahihh Al Bukhari, (Al Azhar Mesir,Maktabah Salafiyah Qohiroh,1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224
47
Artinya: “Di dalam penjelasan hadis ini (hadis asma) terdapat kebolehan membonceng seorang wanita yang mana wanita tersebut bukanlah muhrimnya, hal tersebut dibolehkan jika wanita tersebut ditemukan di jalan dan dalam keadaan kelelahan, terlebih lagi membonceng wanita yang bukan mahram bersama kumpulan lelaki sholeh, tidak ada keraguan di dalam kebolehan masalah yang seperti ini.”56
“
Artinya : “Pengertian irdaf, Irdaf secara bahasa adalah bentuk isim masdar dari bentuk fiil madhi lafaz ardafa yang berarti membonceng.Adapun hukum ijmali dari berboncengannya seorang laki-laki lain atau seorang perempuan dengan perempuan lain selama tidak mendatangkan kerusakan atau sahwat maka hukumnya boleh. Begitu pula hukum seorang laki-laki yang membonceng isterinya,seorang isteri yang membonceng suaminya atau memboncengi wanita yang mempunyai ikatan saudara yaitu dibolehkan selama terjaga dari syahwatnya.Sedangkan seorang laki yang membonceng wanita 56
Al Imam Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shoheh Muslim: Salam. (Riyadh: Baitul afka ridauliyah, 2001) Kitab ke-15,h. 1364
48
ajnabiy begitu pula sebaliknya hukumnya adalah haram berdasarkan hukum saddu dziro‟i dan untuk menjaga dari sahwat yang diharamkan”. Dalam kajian forum bahtsul masail yang dilaksanakan oleh para ulama se-Jawa Timur atas adanya jasa angkutan umum berupa motor yaitu ojek yang dimana mayoritas pengendaranya adalah laki-laki sedangkan penumpangnya adalah seorang wanita karena keterbatasan kemampuan seorang wanita yang tidak bisa mengendarai kendaraan pribadi. Hal tersebut juga dijadikan dasar kebolehan oleh para ulama se-Jawa Timur dari hasil putusan basul masail.
C. Analisis Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram. Dalam pemasalahan di atas terkait berboncengan selain mahram penulis menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) dan oleh ulama terdahulu. Atas dasar- dasar hukum yang digunakan oleh para ulama di atas terkait masalah tersebut penulis mendapatkan ada dua hukum, ada yang membolehkan dan ada juga yang melarang secara terang-terangan. Menurut pandangan Dr. Abdul Karim Zaidan, jumhur ulama, Menurut imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimyati (ulama dari mazhab Syafi‟i) memperbolehkan apabila hal tersebut tidak menimbulkan: 1. Tidak terjadi ikhtilath yang dilarang, 2. Tidak terjadi kholwat yang dilarang,
49
3. Tidak terlihat aurot antara lelaki dan wanita, 4. Tidak terjadi persentuhan kulit yang bukan karena dhorurot. Sedangkan Imam Nawawy, Syaikh Ibnu Ibrahim dan Syaikh Aziz bin Baz melarang secara jelas jika wanita berpergian sendirian tanpa ditemani oleh mahromnya. Adapun hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh FMP3 pada tanggal 27–28 Muharram 1431/13–14 Januari 2010, di Pondok Pesantren Putri Tahfizhil Qur‟an, Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, memutuskan Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (halhal yang diharamkan) seperti : a. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) b. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan) c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara d. Tidak terjadi persentuhan kulit Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari hasil bahtsul masa‟il di atas bukanlah bagaimana Islam memandang suatu permasalahan dari satu sisi saja. Seperti kasus di atas, hasil bahtsul masail tersebut tidak benar-benar melarang atau mengharamkan berboncengan dengan bukan mahramnya, akantetapi tujuannya yaitu mencegah terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan yang ada di masyarakat. Sedangkanyang diberitakan oleh media baik itu media
50
masa elektronik maupun media social tidak sepenuhnya sesuai dengan hasil putusan bahtsul masail. Media social dalam pemberitaannya dapat membuat perpecahan antar umat Islam, karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja yaitu pengharaman tanpa melihat sebab dan akibatnya berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahromnya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan dari skripsi diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan. Bahwa hukum berboncengan yang bukan mahram serta metode istibat bahtsul masa‟il ialah, 1. Hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren putri) se-Jawa Timur, pada tanggal 27–28 Muharram 1431/13–14 Januari 2010 di Pondok Pesantren Putri Tahfizhil Qur‟an, Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, memutuskan Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti : a. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan). b. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan). c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara. d. Tidak terjadi persentuhan kulit.
51
52
2. Adapun Metode Istinbath Bahtsul Masail, d. Mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. e. Ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul (pendapat) para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas. f. Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi (Maraji') berupa kitabkitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: Ibadah, Mua'amalah, Munakahah (hukum keluarga) dan Jinayah atau Qadla (pidana atau peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada Aqwal Al-Mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan Qaul Manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul Mukharraj (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka
53
diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan Hajjiyah Tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer). 3. Yang harus diketahui bahwa tujuan dari hasil bahtsul masa‟il
bukanlah
bagaimana Islam memandang suatu permasalahan dari satu sisi saja. Seperti kasus di atas, hasil bahtsul masail tersebut tidak benar-benar melarang atau mengharamkan berboncengan dengan bukan mahromnya, akan tetapi tujuannya yaitu mencegah terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan yang ada di masyarakat.
B. Saran-saran 1. Mengingat bahwa berboncengan selain mahrom itu tidak di perbolehkan maka dalam hal berboncengan, yang paling jelas adajika kendaraan tersebut (ojek) di atasnya menggunakan, seperti pelana (semacam tempat duduk tersendiri, dengan pegangannya), atau yang sejenis, dimana kalau wanita tersebut naik di belakangnya, dia tidak akan menyentuh pemboncengnya, dan rute perjalanannya di dalam kota, dengan kata lain tidak melintasi kawasan terpencil, seperti: a. wanita tersebut naik di belakangnya, sementara dia tidak menyentuh pemboncengnya.
54
b.
tidak membawanya, kecuali pada rute dimana mata orang bisa melihatnya.
2. Mengingat hukum berboncengan selain mahram tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti : a. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) b. Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan) c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara d. Tidak terjadi persentuhan kulit. Penulis menghimbau kepada masyarakat khususnya perempuan untuk lebih memperhatikan hal-hal yang telah penulis sampaikan di atas dan untuk lebih berhati-hati lagi agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
S, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003). Moleong, Lexy.J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). Ahmadi, Fahmi Muhammad. Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, ( Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998). Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005). Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). LKP2M. Research Book for LKP2M (Malang: UIN-Malang, 2005). Fakultas Syari‟ah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2007). Rozi‟, Imam. Mukhtar as-Shihah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994). Al Asqolani, IbnuHajar.Fathulbari, ( t.t., :Al MakhtabahSalafiyah, t.th.). Ibnu Qudamah, Imam. Al Mughni, (Riyadh :DarulAlamulKhutub, t.th.). Bukhari, Imam. Shahih Bukhari, (Al Azhar Mesir: Maktabah Salafiyah Qohiroh, 1400 H). Ismail, Abi Fida‟I bin Katsir. Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim, (Beirut: Al Makhtabah Al Asriyah. 2000). Athabrany, Ahmad. Mu‟jam Alkabir, (t.t., Maktabah Ibnitaimiyah, 1991). Ismail, AbiFida‟I bin Katsir. Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,(Zedah: Al Haramain, TT). Muslim, Imam.Shahih Muslim, (Bandung: SirkahMa‟arif,1978). Asy-Syaukani, Imam. Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad:DarulIbniAfan,2005).
55
56
Fedeli, Soeleiman dan Moh.Subhan. Antologi NU, (Khalista: Surabaya,2008). Harits, Busyairi. Islam NU: Pengawal Trasisi Sunni Indonesia, (Khalista: Surabaya, 2010). Zaidan, Abdul Karim. Mufashol Fi Ahkamil Mar‟ah, (t.t, Mu‟assasah Arrisalah, 1993). Kementrian dan Urusan Agama Kuwait. Mausu‟ah Fiqh Kuwair, (t.t., dzatutsalazil, 1983). Adhimyathi, Abi Bakar Usman. I‟anah Tholibhin, (Beirut-Libanon: Darrul Khutub Ilmiyah, 1995) . Nawawi Imam. Majmu Syarah Muhadzab, (Beirut-Libanon: Darrul Khutub Ilmiyah, 2001). Muhammad, Syaikh bin Yahya Al-Wazan. [et al.], Fatwa-fatwa TentangWanita, Penerjemeh Ahmad Amin Sjihab, (Jakarta: Darul haq, 2001). Nawawi, Imam. Al-Minhaj Syarah Shoheh Muslim: Salam. (Riyadh: Baitul Afkaridauliyah, 2001). Nawawi, Imam, Al Minhaj Syarah Shahih Suslim, (t.t., :darrul afkar dauliah, t.th.,). Bukhari, Imam dan Muslim, Imam, Shahih Bukhari dan Muslim, (Bandung, Jabal, 2011). Ismail, AbiFida‟I bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (t.t., Darrul Kutub Ilmiah, t.th.). Qurthubi Imam, Jami‟ ahkam Qur‟an Tafsir Qurthubi, ( t.t., darrul kutub mishriyah, 1964). http://m.life.viva.co.id/news/read/121832-_wanita_juga_dilarang_naik_ojek_ (diaksespadatanggal 22 Mei 2013 jam 12:58). http://lestarin.wordpress.com/2012/02/21/tanggapan-perempuan-terhadap-fatwaharam-forum-musyawarah-pondok-pesantren-putri-fmp3-se-jawa-timur-diponpes-lirboyo-studi-pada-perempuan-akar-rumput-di-jawa-barat-dan-jawatimur-terhadap-fatwa/ (diaksespadatanggal 22 Mei 2013 Jam 12.15).
[email protected]. Dikirim /28/11/2013 Forumjawatimur. http://www.lirboyo.net/17/12/2013. LajanahBahtsulMasail.
LAMPIRAN
57
Hasil Keputusan Bahtsul Masa`il Ke-XII (FORUM MUSYAWAROH PONDOK PESANTREN PUTRI SE-JAWA TIMUR) Di Pon-Pes Putri Tahfizhil Qur’an LIRBOYO KOTA KEDIRI JAWA TIMUR TELP (0354)771856-780805 27 – 28 Muharram 1431 H. / 13 – 14 Januari 2010 M. Hasil Keputusan BAHTSUL MASA’IL KE – XII FMP3 SE – JAWA TIMUR DI PON-PES PUTRI TAHFIZHIL QUR’AN LIRBOYO KOTA KEDIRI JAWA TIMUR TELP (0354)771856-780805 MUSHOHHIH PERUMUS MODERATOR 1. KH.Atho’illah S. Anwar 2.KH. ‘Ainur Rafiq 3. K. Bahrul Huda 4. Agus H. Shobich al-Muayyad 5. K. Munir Akromin 6. Ust. Zahro Wardi 1. Ust. Thohari Muslim 2. Ust. HA. Adibuddin 3.Ust. Bahrul ‘Ulum 4. Ust. Fathul Bari 5. Ust. Fathul Bari 6. Ust.Mas Mazruhan Ustdzh.Nusroh Diniyah NOTULEN Ustdzh. Istiqomah 2. NAIK OJEK KE MAKAM DAN MAJLIS TA’LIM Kerangka Analisis Masalah Profesi tukang ojek menjadi jasa yang cukup bermanfaat bagi masyarakat. Karena dinilai menolong masyarakat pedesaan yang belum mendapatkan sarana transportasi untuk mempermudah mereka menjangkau perkotaan, pusat perdagangan, majlis ta’lim dan lain-lain. Pasca pengembangan obyek wisata religi, puluhan bahkan ratusan tukang ojek di Muria, Giri, dan beberapa lokasi ziarah lain mendapatkan angin segar. Bahkan gelombang kesetaraan gender telah menyulap profesi ini menjadi tidak hanya digeluti kaum pria, tetapi juga kaum hawa. Abang tukang ojek tidak lagi dianggap aneh mengantar ibu-ibu, atau wanita-wanita muda ke pasar, majlis ta’lim, atau ke tempat-tempat ziarah. (PP.Aris Sari Baru Krajan Kulon Kaliwungu Kendal ) Pertanyaan a. Bagaimana hukum naik ojek bagi kaum wanita saat ziarah, berangkat ke pasar atau majlis ta’lim? Jawaban
Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (halhal yang diharamkan) seperti : Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan) Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan) Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara’ Tidak terjadi persentuhan kulit Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain menurut satu pendapat diperbolehkan meski tidak disertai mahram apabila aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) Pertanyaan b. Bolehkah tukang ojek laki-laki melayani jasa ojek penumpang wanita? Jawaban Tidak diperbolehkan apabila memenuhi persayaratan dalam sub a. REFERENSI 2.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. III hal.91 3.Syarh Muslim vol. XIV hal.164-166 4.I’ânah at-Thâlibîn vol.I hal.272 5.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. II hal.290-291 6.Al-Mufashal fi Ahkâm al-Mar’ah vol. III hal.421 7.Al-Bujairamy ala al-Manhaj vol. III hal.328 8.Al-Qamus al-Fiqhy vol.I hal.122 9.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. IXX hal.267 10.Bughyah al-Mustarsyidin hal.199-200 11.Is’ad ar-Rafiq vol. II hal.102 12.I’ânah at-Thâlibîn vol. III hal.261 13.Al-Majmu’ vol. VIII hal.311 14.Tarsyih al-Mustafidin hal. 352 1. 19 خ اٌدؿء اٌثبٌث يسـ١ز٠ٛخ اٌى١ٙػخ اٌفمٛقٌّٛا “ ُ “اٌسىٕٝبء ػٓ ٘ػا اٌّؼٙطؽج اقزؼّبي اٌفم٠ الٚ ٗأؼظفٗ أؼوجٗ ضٍفٚ – اإلؼظاف ًِعؼ أؼظف9 ”ف٠إؼظاف اٌزؼؽ ًُؾ إؼظاف اٌؽخً ٌٍؽخً ٌٍفٛد٠ – 2 ”ٌٟاإلخّبيٛح إلؼظاف اٌؽقٛٙ إثبؼح نٚ فكبظ أٌٝؤظ إ٠ ٌُ اٌّؽأح ٌٍّؽأح إغاٚ ٓث إؼظاف اٌؽخً ٌٍّؽأح غادٚ بٕٙ اهلل ػَٟخ ؼ١خزٗ يفٌٍٚؿٛب إلؼظاف اٌؽقٙخٚاٌّؽأح ٌؿٚ ٗؾ إؼظاف اٌؽخً الِؽأرٛد٠ٚ اٌؼجبـ ارمبءٚ ع قعا ٌٍػؼائغِّٕٛ ٛٙخ ف١اٌؽخً ٌٍّؽأح األخٕجٚ ٟأِب إؼظاف اٌّؽأح ٌٍؽخً األخٕجٚ حٛٙاٌؽزُ اٌّسؽَ خبئؿ ِغ أِٓ اٌه ح اٌّسؽِخٌٍٛٙه 2. 911-911 ِكٍُ اٌدؿء اٌؽاثغ ػهؽ يسـٍٝ ػٌٕٞٚٛنؽذ ا ( ٌٝرؼدٓ ) –إٚ اٌّبءٝركزمٚ ٗرؼٍفٚ ٗ ٌٕبَسٌٕٛرعق اٚ ٗقٛركٚ ٗٗ ِؤٔز١رىفٚ ؽ١ب اٌؿثٙخٚب وبٔذ رؼٍف فؽـ ؾٙٔػٓ أقّبء أ ٗ ضٍفٍّٕٝس١ٌ لبي إش إشٚ ٟٔ ِؼٗ ٔفؽ ِٓ أيسبثٗ فعػبٍٝ ػٌٜٕٛاٚ ِبٛ٠ ( فدئذ-أْ لبي ذ١١فبقزسٌٍٙي اٛذ ؼق١ فٍمٝؼأق ث٠ ٘ػا اٌسعٝفٚ جؽن١ٌ ؽ١ وٍّخ رمبي ٌٍجؼٝ٘ٚ اقىبْ اٌطبء اٌّؼدّخٚ ّؿحٌٙ ثىكؽ اٟٙؽره ) أِب ٌفظخ إش إش ف١ػؽفذ غٚ ٓ١ِٕ اٌّؤٍٝب ِٓ اٌهفمخ ػٙاَؼِٛ ٝب فٙٔب١ر قجك ث١ اًٌسٝؽح ف١ٌٗ ٔظبئؽ وثٚ مخ١ِٓ اٌعاثخ اغا وبٔذٍٝاؾ االؼظاف ػٛخ ُٙاقبرِٛٚ ُٙؼزّزٚ اٌّؤِٕبدٚ ك٠ ْؽٝخعد فٚ كذ ِسؽِب اغا١ٌ ٝاؾ اؼظاف اٌّؽأح اٌزٛٗ خ١فٚ ّٕٗب أِى١فٙ١ٍٗ ِب وبْ ػ١فٚ ِٓ ؽٖ فمع أِؽٔب ثبٌّجبػعح١ ثطالف غَٟلبي اٌمبٚ اؾ ِثً ٘ػاٛ خٝال نه فٚ ٓ١ّب ِغ خّبػخ ؼخبي يبٌس١ذ ال ق١لع أػ أٔفبـ اٌؽخبيخ١يًٛأّب وبٔذ ٘ػٖ ضٚ ثٗ أِزٗ لبيٜمزع١ٌ ّٓٙجبػعرٜبٌ ٘ػا ضبو ٌٍٕج١ػ بٍٙٔٛٗ ٌىٙوبٔذ ػبظرٚ إٌكبءٚ ًأِب اؼظاف اٌّسبؼَ فدبئؿ ثالضالف ثىٚ ٗٔكبئٗ أٔٗ أٍِه الؼثٚ ٍٗ٘ أٜؽ فىبٔذ وبزع١اِؽأح اٌؿثٚ أضذ ػبئهخٚ ثىؽٝثٕذ أث زبيِٗغ ِب ضى ث 3. 272 :ي وٚٓ اٌدؿء األ١إػبٔخ آٌبٌج
ِٕٗٚاًٌالح ٌٍ١خ اٌؽغبئت أٚي خّؼخ ِٓ ؼخت ٍ١ٌٚخ إًٌف ِٓ نؼجبْ ِٕٗٚاٌٛلٛف ٌٍ١خ ػؽفخ أ ٚاٌّهؼؽ اٌسؽاَ ٚاالخزّبع ٌ١بٌ ٟاٌطز َٛآضؽ ؼُِبْ ًٔٚت إٌّبثؽ ٚاٌطٓت ػٍٙ١ب ف١ىؽٖ ِب ٌُ ٠ىٓ ف ٗ١اضزالِ اٌؽخبي ثبٌٕكبء ثنْ رزُبَ أخكبِ ُٙفئٔٗ زؽاَ ٚفكك اٌّٛقٛػخ اٌفم١ٙخ اٌدؿء اٌثبٔ ٟيسـ 4. 219- 212 اضزالِ اٌزؼؽ٠ف – 9 :االضزالِ َُ اٌهٟء إٌ ٝاٌهٟء ٚ ,لع ّ٠ىٓ اٌزّ١١ؿ ثّٕٙ١ب وّب ف ٟاٌسٛ١أبد ٚ ,لع ال ّ٠ىٓ وّب فٟ اٌّبئؼبد ف١ىِ ْٛؿخب ٚ .ال ٠طؽج اقزؼّبي اٌفمٙبء ٌٗ ػٓ ٘ػا اٌّؼٕ . ٝاألٌفبٔ غاد اًٌٍخ – 2 :االِزؿاج ٘ ٛأُّبَ نٟء إٌ ٝنٟء ثس١ث ال ّ٠ىٓ اٌزّ١١ؿ ثّٕٙ١ب ٠ٚ ,طزٍف ػٕٗ االضزالِ ثنٔٗ أػُ ; ٌهِّ ٌٗٛب ّ٠ىٓ اٌزّ١١ؿ فِٚ ٗ١ب ال ّ٠ىٓ –إٌ ٝأْ لبي -اضزالِ اٌؽخبي ثبٌٕكبء ٠ – 1 :طزٍف زىُ اضزالِ اٌؽخبي ثبٌٕكبء ثسكت ِٛافمزٗ ٌمٛاػع اٌهؽ٠ؼخ أ ٚػعَ ِٛافمزٗ ,ف١سؽَ .االضزالِ إغا وبْ ف : ٗ١أ – اٌطٍٛح ثبألخٕج١خ ٚ ,إٌظؽ ثهٛٙح إٌٙ١ب .ة – رجػي اٌّؽأح ٚػعَ اززهبِٙب .ج – ػجث ٌٛٙٚ ِٚالِكخ ٌألثعاْ وبالضزالِ ف ٟاألفؽاذ ٚاٌّٛاٌع ٚاألػ١بظ ,فبالضزالِ اٌػ٠ ٞى ْٛفِ ٗ١ثً ٘ػٖ األِٛؼ زؽاَ ٌّ ,طبٌفزٗ ٌمٛاػع اٌهؽ٠ؼخ –إٌ ٝأْ لبي -وػٌه ارفك اٌفمٙبء ػٍ ٝزؽِخ ٌّف األخٕج١خ ,إال إغا وبٔذ ػدٛؾا ال رهز ٝٙفال ثنـ ثبًٌّبفسخ ٠ٚ .مٛي ألْ ; اثٓ فؽز : ْٛف ٟاألػؽاـ اٌزّ٠ ٟزؿج فٙ١ب اٌؽخبي ٚإٌكبء ,ال رمجً نٙبظح ثؼٌُ ُٙجؼٍ إغا وبْ فِ ٗ١ب زؽِٗ اٌهبؼع ثسُٛؼ٘ٓ ٘ػٖ اٌّٛاَغ ركمّ ػعاٌز٠ٚ . ٓٙكزثٕ ِٓ ٝاالضزالِ اٌّسؽَ ِب ٠م َٛثٗ آٌج١ت ِٓ ٔظؽ ٌّٚف ألْ غٌه َِٛغ ٠ٚدٛؾ االضزالِ إغا وبٔذ ٕ٘بن زبخخ ِهؽٚػخ ِغ ِؽاػبح لٛاػع اٌهؽ٠ؼخ – َ. 5ؽٚؼح ٚ ,اٌُؽٚؼاد رج١ر اٌّسظٛؼاد ٌٚػٌه خبؾ ضؽٚج اٌّؽأح ًٌالح اٌدّبع ٚيالح اٌؼ١ع ٚ ,أخبؾ اٌجؼٍ ضؽٚخٙب ٌفؽُ٠خ اٌسح ِغ ؼفمخ ِنِٔٛخ ِٓ اٌؽخبي . وػٌه ٠دٛؾ ٌٍّؽأح ِؼبٍِخ اٌؽخبي ثج١غ أ ٚنؽاء أ ٚإخبؼح أ ٚغ١ؽ غٌه ٌٚ .مع قئً اإلِبَ ِبٌه ػٓ اٌّؽأح اٌؼؿثخ اٌىج١ؽح رٍدن إٌٝ اٌؽخً ,ف١مٌٙ َٛب ثسٛائدٙب ٕ٠ٚ ,بٌٙٚب اٌسبخخ ً٘ ,رؽ ٜغٌه ٌٗ زكٕب ؟ لبي :ال ثنـ ثٗ ١ٌٚ ,عضً ِؼٗ غ١ؽٖ أزت إٌٌٛٚ , ٟ .رؽوٙب إٌبـ ٌُبػذ ,لبي اثٓ ؼنع ٘ :ػا ػٍِ ٝب لبي إغا غٍ ثًؽٖ ػّب ال ٠سً ٌٗ إٌظؽ إٌٗ١ اٌّفًً ف ٟأزىبَ اٌّؽأح اٌدؿء اٌثبٌث يسـ 5. 129 االضزالِ إلخؽاء اٌّؼبِالد اٌهؽػ١خ ٚوّب ٠دٛؾ االضزالِ ٌٍُؽٚؼح ٠دٛؾ ٌٍسبخخ أُ٠ب ِٓٚزبالد اٌسبخخ ِب ٠كزٍؿِٙئخؽاء اٌّؼبِالد اٌّبٌ١خ اٌدبئؿح ٌٙب ِٓ ث١غ ٚنؽاء ٚغ١ؽّ٘ب ألْ إخؽاء ٘ػٖ اٌّؼبِالد ٠كزٍؿَ ػبظح اخزّبػٙب ِغ اٌؽخً ٌٍّكبِٚخ ٚؼؤ٠خ ِسً اٌؼمع ثُ أثؽَ اٌؼمع ٌٚىٓ ٠هزؽِ ػعَ اٌطٍٛح ثبٌؽخً ألٔٙب ِسؽِخ وّب غوؽٔب وّب ٍ٠ؿِٙب أْ ال رطؽج ِجزػٌخ ٚأْ رٍزؿَ زعٚظ اٌهؽع ٚأزىبِٗ فٌ ٟجبقٙب ٚف ٟوالِٙب ٚيٛرٙب ِغ ا٢ضؽ ٓ٠ػٍ ٝإٌس ٛاٌػ ٞثٕ١بٖ ِٓ لجً زبن١خ اٌجد١ؽِ ٟػٍ ٝإٌّٙح اٌدؿء اٌثبٌث يسـ 6. 823 َٚبثّ اٌطٍٛح اخزّبع ال رؤِٓ ِؼٗ اٌؽ٠جخ ػبظح ثطالف ِب ٌ ٛلٓغ ثبٔزفبئٙب ػبظح فال ٠ؼع ضٍٛح ع ل ػٍ َ ٝؼ ِٓ وزبة اٌؼعظ اٌمبِٛـ اٌفم ٟٙاٌدؿء األٚي يسـ 7. 922 اٌطٍٛح ِىبْ االٔفؽاظ ثبٌٕفف أ ٚثغ١ؽ٘ب نؽػب أْ ٠طٍ ٛاٌؽخً ثبِؽأرٗ ػٍٚ ٝخٗ ال ّٕ٠غ ِٓ اٌِٛء ِٓ خٙخ اٌؼمً وسُٛؼ أزع ِٓ إٌبـ أ ِٓ ٚخٙخ اٌهؽع وّكدع اٌّٛقٛػخ اٌفم١ٙخ اٌدؿء اٌزبقغ ػهؽ يسـ 8. 217 ِٓٚاٌّجبذ أُ٠ب اٌطٍٛح ثّؼٕ ٝأفؽاظ ؼخً ثبِؽأح فٚ ٟخٛظ إٌبـ ثس١ث ال رسزدت أنطبيّٙب ػٕ , ُٙثً ثس١ث ال ٠كّؼْٛ خبءد اِؽأح ِٓ األًٔبؼ إٌ ٝإٌج ٟيٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١قٍُ فطال ثٙب } ٚػٕ ْٛاثٓ زدؽ { :والِّٙب فمع خبء ف ٟيس١ر اٌجطبؼٞ ٌٙػا اٌسع٠ث ثجبة ِب ٠دٛؾ أْ ٠طٍ ٛاٌؽخً ثبٌّؽأح ػٕع إٌبـ ٚ ,ػمت ثم : ٌٗٛال ٠طٍ ٛثٙب ثس١ث رسزدت أنطبيّٙب ػٕ , ُٙثً ثس١ث ال ٠كّؼ ْٛوالِّٙب إغا وبْ ثّب ٠طبفذ ثٗ وبٌهٟء اٌػ ٞركزس ٟاٌّؽأح ِٓ غوؽٖ ث ٓ١إٌبـ ٚرى ْٛاٌطٍٛح زؽاِب وبٌطٍٛح ثبألخٕج١خ ػٍِ ٝب ق١نر ٟرفًٚ . ٍٗ١لع رى ْٛاٌطٍٛح ثبألخٕج١خ ٚاخجخ ف ٟزبي اٌُؽٚؼح ,وّٓ ٚخع اِؽأح أخٕج١خ ِٕمٓؼخ ف ٟثؽ٠خ ٠ٚطبف ػٍٙ١ب اٌٙالن ٌ ٛرؽوذ , ثغ١خ اٌّكزؽنع ٓ٠يسـ 9. 911 -222 ِكنٌخ) :لبي ف ٟاٌزسفخٚ :إّٔب زٍَذ ضٍٛح ؼخً ثبِؽأر٠ ٓ١سزهّّٙب ثطالف ػىكٗ ,ألٔٗ ٠جؼع ٚلٛع فبزهخ ثبِؽأح ِزًفخ ثػٌه ( ِغ زُٛؼ ِثٍٙب ٚال وػٌه اٌؽخً٠ ِٕٗٚ ,ؤضػ أٔٗ ال رسً ضٍٛح ؼخً ثّؽظ ٠سؽَ ٔظؽُ٘ ٍِٓمبً ثً ٚال أِؽظ ثّثٍٗ ِ ٛ٘ٚزدٗ, ٚال ردٛؾ ضٍٛح ؼخً ثغ١ؽ ٔكبء ثمبد ٚإْ وثؽْٚ ,ف ٟاٌزٛقّ ػٓ اٌمفبي ٌٛ :ظضٍذ اِؽأح اٌّكدع ػٍ ٝؼخً ٌُ رىٓ ضٍٛح ألٔٗ ٚإّٔب ٠زدٗ غٌه فِ ٟكدع ِٓؽٚق ال ٕ٠مٓغ ْبؼل ٖٛػبظحِٚ ,ثٍٗ ف ٟغٌه آٌؽ٠ك أ ٚغ١ؽٖ آٌّؽٚق وػٌه ٠.عضٍٗ وً أزع ا٘ـ إقؼبظ اٌؽف١ك اٌدؿء اٌثبٔ ٝيسـ ِ 922ىزجخ ” اٌٙعا٠خ ” قٛؼاث١ب 10. ِٕٙٚ .ب ٌّف خؿء ِٓ ثعْ اٌّؽأح األخٕج١خ إغا وبْ غٌه ػّعا ٚثغ١ؽ زبئً ٍِٓمب ثهٛٙح أ ٚثغ١ؽ نٛٙح إػبٔخ آٌبٌج ٓ١اٌدؿء اٌثبٌث يسـ 11. 219 ٚز١ث زؽَ ٔظؽٖ زؽَ ِكٗ ثال زبئً ألٔٗ أثٍغ ف ٟاٌٍػح ٔؼُ ٠سؽَ ِف ٚخٗ األخٕج١خ ٍِٓمب لٚ ٌٗٛز١ث زؽَ ٔظؽٖ زؽَ ِكٗ ) أ ٞوً َِٛغ زؽَ ٔظؽٖ زؽَ ِكٗ فسؽَ ِف األِؽظ وّب ٠سؽَ ٔظؽٖ ِٚف اٌؼٛؼح وّب (
٠سؽَ ٔظؽ٘ب ٚلع ٠سؽَ إٌظؽ ظ ْٚاٌّف ونْ أِىٓ آٌج١ت ِؼؽفخ اٌؼٍخ ثبٌّف فمّ ٚلع ٠سؽَ اٌّف ظ ْٚإٌظؽ وّف ثٓٓ اٌّسؽَ أ ٚظٙؽ٘ب وّب ػٍّذ إغا ػٍّذ غٌه فبٌمبػعح اٌّػوٛؼح ِٕٓٛلب ِٚفِٛٙب أغٍج١خ ( ل ٌٗٛثال زبئً ) لبي ف ٟاٌزسفخ ٚوػا ِؼٗ إْ ضبف فزٕخ ثً ٚإْ إِٔٙب ػٍِ ٝب ِؽ ثً اٌّف أ ٌٝٚاٖ ( ل ٌٗٛألٔٗ اٌص ) ػٍخ ٌزؽرت زؽِخ اٌّف ػٍ ٝزؽِخ إٌظؽ أٚ ٌّمعؼ أ ٞزؽَ ِف ثبأل ٌٝٚألٔٗ اٌص ٚل ٌٗٛأثٍغ ف ٟاٌٍػح أٚ ٞإثبؼح اٌهٛٙح ٚإّٔب وبْ أثٍغ أ ِٓ ٞإٌظؽ ألٔٗ ٌ ٛأٔؿي ثٗ أفٓؽ ثطالف ِب ٌ ٛأٔؿي ثبٌٕظؽ فال ( لٔ ٌٗٛؼُ ٠سؽَ ِف ٚخٗ األخٕج١خ ٍِٓمب ) أٚ ٞإْ زً ٔظؽٖ ٌٕس ٛضٓجخ أ ٚرؼٍ ُ١أ ٚنٙبظح ٚػجبؼح اٌزسفخ ِٚب أف ّٗٙاٌّزٓ أٔٗ ز١ث زً إٌظؽ زً اٌّف أغٍج ٟأُ٠ب فال ٠سً ٌؽخً ِف ٚخٗ أخٕج١خ ٚإْ زً ٔظؽٖ ٌٕسٛ ضٓجخ أ ٚنٙبظح أ ٚرؼٍٚ ُ١ال ٌك١عح ِف نٟء ِٓ ثعْ ػجع٘ب ٚػىكٗ ا٘ـ اٌّدّٛع اٌدؿء اٌثبِٓ يسـ 12. 899 ٚزبيٍٗ أٔٗ ٠دٛؾ اٌطؽٚج ٌٍسح اٌٛاخت ِغ ؾٚج أِ ٚسؽَ أ ٚاِؽأح ثمخ ٚ ,ال ٠دٛؾ ِٓ غ١ؽ ٘ؤالء ٚ ,إْ وبْ آٌؽ٠ك إِٓب , ٚفٚ ٗ١خٗ َؼ١ف أٔٗ ٠دٛؾ إْ وبْ إِٓب ٚ .أِب زح اٌزٓٛع ٚقفؽ اٌؿ٠بؼح ٚاٌزدبؼح ٚوً قفؽ ٌ١ف ثٛاخت فال ٠دٛؾ ػٍٝ اٌّػ٘ت اًٌس١ر إًٌّٛو إال ِغ ؾٚج أِ ٚسؽَ ٚ ,ل٠ : ً١دٛؾ ِغ ٔكٛح أ ٚاِؽأح ثمخ وبٌسح اٌٛاخت ٚ ,لع قجمذ ٘ػٖ اٌّكنٌخ ِطزًؽح ف ٟأٚي وزبة اٌسح ف ٟغوؽ اقزٓبػخ اٌّؽأح ٚاهلل أػٍُ ( .فؽع ) لع غوؽٔب رفًِ ً١ػ٘جٕب ف ٟزح اٌّؽأح , ٚغوؽٔب أْ اًٌس١ر أٔٗ ٠دٛؾ ٌٙب ف ٟقفؽ زح اٌفؽٌ أْ رطؽج ِغ ٔكٛح ثمبد .أ ٚاِؽأح ثمخ ٚ ,ال ٠هزؽِ اٌّسؽَ ٚال ٠دٛؾ ف ٟاٌزٓٛع ٚقفؽ اٌزدبؼح ٚاٌؿ٠بؼح ٔٚسّ٘ٛب إال ثّسؽَ ٚ .لبي ثؼٍ أيسبثٕب ٠ :دٛؾ ثغ١ؽ ٔكبء ٚال اِؽأح إغا وبْ آٌؽ٠ك إِٓب ٚ .ثٙػا لبي اٌسكٓ اٌجًؽٚ ٞظاٚظ 352رؽن١ر اٌّكزف١ع ٓ٠يسـ 13. لِ ٌٗٛغ اِؽأح ثمخ ) ٌ١ف ثم١ع وّب ف ٟاٌّغٕٚ ٟغ١ؽٖ ف١دٛؾ ٌٙب اٌطؽٚج ٌفؽٌ اإلقالَ وىً ٚاخت ٚ ٌٛٚزع٘ب اغا إِٔذ لبي ( ف ٟثهؽ ٜاٌىؽ ِٓٚ : ُ٠اٌٛاخت ضؽٚج اٌّؽأح اٌِ ٝسً زؽاثزٙب ألْ ٍْت اٌسالي ٚاخت ٌٛٚنبثخ إ٘ـ ?c. Bagaimana pula hukum wanita berprofesi sebagai tukang ojek Jawaban Tidak diperbolehkan karena sulitnya menghindar dari hal-hal yang diharamkan seperti tasyabbuh dan hal-hal yang menimbulkan fitnah. REFERENSI 1.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. III hal.91 2.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. VII hal.82 3.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. IXX hal.108 4.Raudlah at-Thalibin vol. X hal.224 5.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. VII hal.83-84 6.Al-Mufashal vol. IV hal. 265 اٌّٛقٛػخ اٌفم١ٙخ اٌى٠ٛز١خ اٌدؿء اٌثبٌث يسـ 1. 19 إؼظاف اٌزؼؽ٠ف” – 9اإلؼظاف ًِعؼ أؼظف ٚأؼظفٗ أؼوجٗ ضٍفٗ ٚال ٠طؽج اقزؼّبي اٌفمٙبء ػٓ ٘ػا اٌّؼٕ“ ٝاٌسىُ “ ثٓ ٚاٌّؽأح ٌٍّؽأح إغا ٌُ ٠ؤظ إٌ ٝفكبظ أ ٚإثبؼح نٛٙح إلؼظاف اٌؽقٛياإلخّبٌ٠ – 2 ”ٟدٛؾ إؼظاف اٌؽخً ٌٍؽخً ٌٍفًُ اٌؼجبـ ٠ٚدٛؾ إؼظاف اٌؽخً الِؽأرٗ ٚاٌّؽأح ٌؿٚخٙب إلؼظاف اٌؽقٌٍٛؿٚخزٗ يف١خ ؼَ ٟاهلل ػٕٙب ٚإؼظاف اٌؽخً ٌٍّؽأح غاد اٌؽزُ اٌّسؽَ خبئؿ ِغ أِٓ اٌهٛٙح ٚأِب إؼظاف اٌّؽأح ٌٍؽخً األخٕجٚ ٟاٌؽخً ٌٍّؽأح األخٕج١خ فِّٕٛ ٛٙع قعا ٌٍػؼائغ ٚارمبء ٌٍهٛٙح اٌّسؽِخ اٌّٛقٛػخ اٌفم١ٙخ اٌدؿء اٌكبثغ يسـ 2. 38 أقؽرٙب ٚرؽث١خ أثٕبئٙب اٌّؽأح ؼاػ١خ ف ٟث١ذ { ٘ـ – زك اٌؼًّ – 91 :األيً أْ ٚظ١فخ اٌّؽأح األ ٟ٘ ٌٝٚإظاؼح ث١زٙب ٚؼػب٠خ ٚزكٓ رجؼٍٙب ٠ ,مٛي إٌج١ؿٚخٙب ِٚكئٌٛخ ػٓ ؼػ١زٙب } ٟ٘ٚ .غ١ؽ ِٓبٌجخ ثبإلٔفبق ػٍٔ ٝفكٙب ,فٕفمزٙب ٚاخجخ ػٍ ٝأثٙ١ب أٚ ؾٚخٙب ; ٌػٌه وبْ ِدبي ػٍّٙب ٘ ٛاٌج١ذ ٚ ,ػٍّٙب ف ٟاٌج١ذ ٠كب ٞٚػًّ اٌّدب٘عِٚ . ٓ٠غ غٌه فبإلقالَ ال ّٕ٠غ اٌّؽأح ِٓ ١ٌٚف ألزع ِٕؼٙب ِٓ غٌه ِب ظاِذ ,اٌؼًّ فٍٙب أْ رج١غ ٚرهزؽٚ , ٞأْ رٛوً غ١ؽ٘ب ٛ٠ٚ ,وٍٙب غ١ؽ٘ب ٚ ,أْ رزبخؽ ثّبٌٙب ِؽاػ١خ أزىبَ اٌهؽع ٚآظاثٗ ٌٚ ,ػٌه أث١ر ٌٙب وهف ٚخٙٙب ٚوفٙ١ب ,لبي اٌفمٙبء :ألْ اٌسبخخ رعػ ٛإٌ ٝإثؽاؾ اٌٛخٗ ٌٍج١غ ٚاٌهؽاء ٚ ,إٌ ٝإثؽاؾ اٌىف ٌألضػ ٚاإلػٓبء ٚ .ف ٟاالضز١بؼ :ال ٕ٠ظؽ اٌؽخً إٌ ٝاٌسؽح األخٕج١خ إال إٌ ٝاٌٛخٗ ٚاٌىف; . . ٓ١ ألْ ف ٟغٌه َؽٚؼح ٌألضػ ٚاإلػٓبء ِٚؼؽفخ ٚخٙٙب ػٕع اٌّؼبٍِخ ِغ األخبٔت ; إللبِخ ِؼبنٙب ِٚؼبظ٘ب ٌؼعَ ِٓ ٠م َٛثنقجبة ِؼبنٙب ٚ .إًٌٛو اٌعاٌخ ػٍ ٝخٛاؾ ػًّ اٌّؽأح وث١ؽح ٚ ,اٌػّ٠ ٞىٓ اقزطاليٗ ِٕٙب ,أْ ٌٍّؽأح اٌسك ف ٟاٌؼًّ ثهؽِ إغْ
خبء ف . ٟاٌؿٚج ٌٍطؽٚج ,إْ اقزعػ ٝػٍّٙب اٌطؽٚج ٚوبٔذ غاد ؾٚج ٠ٚ ,كمّ زمٗ ف ٟاإلغْ إغا اِزٕغ ػٓ اإلٔفبق ػٍٙ١ب ٔٙب٠خ اٌّسزبج :إغا أػكؽ اٌؿٚج ثبٌٕفمخ ٚرسمك اإلػكبؼ فبألظٙؽ إِٙبٌٗ ثالثخ أ٠بَ ٌٙٚ ,ب اٌفكص يج١سخ اٌؽاثغ ٌٍٚ ,ؿٚخخ – ٚإْ وبٔذ غٕ١خ – اٌطؽٚج ؾِٓ اٌٍّٙخ ٔٙبؼا ٌزسً ً١إٌفمخ ثٕس ٛوكت ١ٌٚ ,ف ٌٗ ِٕؼٙب ألْ إٌّغ فِ ٟمبثً إٌفمخ ٚ .فٟ إغا أػكؽ اٌؿٚج ثبٌٕفمخ ض١ؽد اٌؿٚخخ ث ٓ١اٌفكص ٚث ٓ١اٌّمبَ ِؼٗ ِغ ِٕغ ٔفكٙب ,فئْ ٌُ رّٕغ ٔفكٙب ِٕٗ ِٕ:ز ٝٙاإلؼاظاد ;ٚال ٠سجكٙب ِغ ػكؽرٗ إغا ٌُ رفكص ألٔٗ إَؽاؼ ثٙب ٚقٛاء وبٔذ غٕ١خ أ ٚفم١ؽح ِٚ ,ىٕزٗ ِٓ االقزّزبع ثٙب فال ّٕ٠ؼٙب رىكجب ٚوػٌه إغا وبْ اٌؼًّ ِٓ فؽ ٌٚاٌىفب٠بد .خبء ف ٟفزر .ألٔٗ إّٔب ٍّ٠ه زجكٙب إغا وفب٘ب اٌّئٔٛخ ٚأغٕب٘ب ػّب ال ثع ٌٙب ِٕٗ اٌمع٠ؽ :إْ وبٔذ اٌّؽأح لبثٍخ ,أ ٚوبْ ٌٙب زك ػٍ ٝآضؽ ,أ٢ ٚضؽ ػٍٙ١ب زك رطؽج ثبإلغْ ٚثغ١ؽ اإلغْ ِٚ ,ثً غٌه ف ٟزبن١خ قؼع ٞخٍج ٟػٓ ِدّٛع إٌٛاؾي .إال أْ اثٓ ػبثع ٓ٠ثؼع أْ ٔمً ِب ف ٟاٌفزر لبي ٚ :ف ٟاٌجسؽ ػٓ اٌطبٔ١خ رم١١ع ضؽٚخٙب ثبإلغْ ; ألْ زمٗ ِمعَ ػٍ ٝفؽٌ اٌىفب٠خ ٘ .ػا ٚ ,إغا وبْ ٌٙب ِبي فٍٙب أْ رزبخؽ ثٗ ِغ غ١ؽ٘ب ,ونْ رهبؼوٗ أ ٚرعفؼٗ ُِبؼثخ ظْٚ إغْ ِٓ أزع .خبء ف ٟخٛا٘ؽ اإلوٍ : ً١لؽاٌ اٌؿٚخخ أ ٞظفؼٙب ِبال ٌّٓ ٠زدؽ ف ٗ١ثجؼٍ ؼثسٗ ,فال ٠سدؽ ػٍٙ١ب ف ٗ١ارفبلب ; ألٔٗ ِٓ اٌزدبؼح –إٌ ٝأْ لبيٚ -إغا ػٍّذ اٌّؽأح ف١دت أْ ٠ى ْٛف ٟزعٚظ ال رزٕبفِ ٝغ ِب ٠دت ِٓ ي١بٔخ اٌؼؽٌ ٚاٌؼفبف ٚأال ٠ىِ ْٛؼ١جب ِؿؼ٠ب رؼ١ؽ ثٗ أقؽرٙب ّ٠ٚ , .ىٓ رسع٠ع غٌه ثّب ٠نر ) 9 ( : ٟأال ٠ى ْٛاٌؼًّ ِؼً١خ وبٌغٕبء ٚاٌٍٚ . ٛٙاٌهؽف ٚف ٟاٌّثً ,إغا آخؽد اٌّؽأح ٔفكٙب ثّب ٠ؼبة ثٗ وبْ ألٍ٘ٙب أْ ٠طؽخ٘ٛب ِٓ رٍه اإلخبؼح :خبء ف ٟاٌجعائغ ٚاٌفزب ٜٚإٌٙع٠خ اٌكبئؽ :ردٛع اٌسؽح ٚال رنوً ثثعٙ١٠ب ٚ ,ػٓ ِسّع ؼزّٗ اهلل رؼبٌ ٝف ٟاِؽأح ٔبئسخ أ ٚيبزت ْجً أِ ٚؿِبؼ اوزكت ِبال فٛٙ أال ٠ى ْٛػٍّٙب ِّب ٠ى ْٛف ٗ١ضٍٛح ثنخٕج . ٟخبء ف ٟاٌجعائغ :وؽٖ أث ٛزٕ١فخ اقزطعاَ اٌّؽأح ٚاالضزالء ثٙب ; ٌّب ) ِؼً١خ 2 ( . لع ٠ؤظ ٞإٌ ٝاٌفزٕخ ٛ٘ٚ ,لٛي أثٛ٠ ٟقف ِٚسّع ,أِب اٌطٍٛح ; فألْ اٌطٍٛح ثبألخٕج١خ ِؼً١خ ٚ ,أِب االقزطعاَ ; فألٔٗ ال ٠ؤِٓ إٌجّ١غ ال ٠طٍ ْٛؼخً ثبِؽأح إال وبْ اٌهٓ١بْ ثبٌثّٙب } ٚألٔٗ ال ٠ؤِٓ { ِؼٗ االْالع ػٍٙ١ب ٚاٌٛلٛع ف ٟاٌّؼً١خ ٚ .لع لبي اٌطٍٛح ِٛالؼخ اٌّسظٛؼ ) 8 ( .أال رطؽج ٌؼٍّٙب ِزجؽخخ ِزؿٕ٠خ ثّب ٠ث١ؽ اٌفزٕخ ,لبي اثٓ ػبثعٚ : ٓ٠ز١ث أثسٕب ٌٙب اٌطؽٚج فئّٔب ٠جبذ ثهؽِ ػعَ اٌؿٕ٠خ ٚرغ١١ؽ اٌ١ٙئخ إٌِ ٝب ٠ى ْٛظاػ١خ ٌٕظؽ اٌؽخبي ٚاالقزّبٌخ ,لبي اهلل رؼبٌٚ { : ٝال رجؽخٓ رجؽج اٌدبٍ٘١خ األٚ } ٌٝٚلبي رؼبٌٚ { : ٝال ٠جع ٓ٠ؾٕ٠ز ٓٙإال ِب ظٙؽ ِٕٙب } ٚ ,ف ٟاٌسع٠ث { :اٌؽافٍخ ف ٟاٌؿٕ٠خ ف ٟغ١ؽ أٍ٘ٙب وّثً } .ظٍّخ َٛ٠اٌم١بِخ ال ٔٛؼ ٌٙب اٌّٛقٛػخ اٌفم١ٙخ اٌى٠ٛز١خ اٌدؿء اٌزبقغ ػهؽ يسـ 3. 923 ٚػٕع اٌسبخخ وؿ٠بؼح ا٢ثبء ٚ ,األِٙبد ٚ ,غ ٞٚاٌّسبؼَ ٚ ,نٛٙظ ِٛد ِٓ غوؽ ٚ ,زُٛؼ ػؽقٗ ٚلُبء زبخخ ال غٕبء ٌٍّؽأح ػٕٙب ٚال ردع ِٓ ٠م َٛثٙب ٠دٛؾ ٌٙب اٌطؽٚج ( . )8إال أْ اٌفمٙبء ٠م١ع ْٚخٛاؾ ضؽٚج اٌّؽأح ف٘ ٟػٖ اٌسبالد ثمٛ١ظ أّ٘ٙب أْ رى ْٛآٌؽ٠ك ِنِٔٛخ ِٓ رٛلغ – – 9:2أْ رى ْٛاٌّؽأح غ١ؽ ِطه١خ اٌفزٕخ ,أِب اٌز٠ ٟطه ٝاالفززبْ ثٙب فال رطؽج أيال اٌّفكعح ٚإال زؽَ ضؽٚخٙب – 8أْ ٠ى ْٛضؽٚخٙب ف ٟؾِٓ أِٓ اٌؽخبي (ٚ )8ال ٠فُ ٟإٌ ٝاضزالْٙب ث ; ُٙألْ رّى ٓ١إٌكبء ِٓ اضزالْ ٓٙثبٌؽخبي أيً وً ثٍ١خ ٚنؽ ِٓ ٛ٘ٚ ,أػظُ أقجبة ٔؿٚي اٌؼمٛثبد اٌؼبِخ ,وّب أٔٗ ِٓ أقجبة فكبظ أِٛؼ اٌؼبِخ ٚاٌطبيخ ٚ ,اضزالِ اٌؽخبي ثبٌٕكبء قجت ٌىثؽح اٌفٛازم ٚاٌؿٔ ِٓ ٛ٘ٚ , ٝأقجبة اٌّٛد اٌؼبَ ,ف١دت ػٍ ٌٟٚ ٝاألِؽ أْ ّٕ٠غ ِٓ اضزالِ اٌؽخبي ثبٌٕكبء ف ٟاألقٛاق ٚ ,اٌفؽج ِٚ ,دبِغ اٌؽخبي ٚ ,إلؽاؼ إٌكبء ػٍ ٝغٌه إػبٔخ ٌ ٓٙػٍ ٝاإلثُ ٚاٌّؼً١خ ٚ ,لع ِٕغ أِ١ؽ اٌّؤِٕ ٓ١ػّؽ ثٓ اٌطٓبة ؼَ ٟاهلل ػٕٗ إٌكبء ِٓ اٌّه ٟفْ ٟؽ٠ك اٌؽخبي ٚاالضزالِ ث ُٙفٟ آٌؽ٠ك – 1أْ ٠ى ْٛضؽٚخٙب ػٍ ٝرجػي ٚركزؽ ربَ لبي اٌؼ٠ : ٟٕ١دٛؾ اٌطؽٚج ٌّب رسزبج إٌ ٗ١اٌّؽأح ِٓ أِٛؼ٘ب اٌدبئؿح ثهؽِ أْ رى ْٛثػح اٌ١ٙئخ ,ضهٕخ اٌٍّجف ,رفٍخ اٌؽ٠ر ِ ,كزٛؼح األػُبء غ١ؽ ِزجؽخخ ثؿٕ٠خ ٚال ؼافؼخ يٛرٙب لبي اثٓ لُ١ اٌدٛؾ٠خ ٠ :دت ػٍ ٌٟٚ ٝاألِؽ ِٕغ إٌكبء ِٓ اٌطؽٚج ِزؿٕ٠بد ِزدّالد ِٕٚ ,ؼ ِٓ ٓٙاٌث١بة اٌز٠ ٟىٓ ثٙب وبق١بد ػبؼ٠بد ,وبٌث١بة اٌٛاقؼخ ٚاٌؽلبق ٚ ,إْ ؼأ ٌٟٚ ٜاألِؽ أْ ٠فكع ػٍ ٝاٌّؽأح – إغا ردٍّذ ٚضؽخذ – ث١بثٙب ثسجؽ ٔٚس , ٖٛفمع ؼضى ف ٟغٌه ثؼٍ اٌفمٙبء ٚأيبة ٘ٚ .ػا ِٓ أظٔ ٝػمٛثز ٓٙاٌّبٌ١خ فمع أضجؽ إٌج ٟيٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١قٍُ أْ اٌّؽأح إغا رٓ١جذ ٚإغا ٚ :ضؽخذ ِٓ ث١زٙب ف ٟٙؾأ١خ – 5أْ ٠ى ْٛاٌطؽٚج ثئغْ اٌؿٚج ,فال ٠دٛؾ ٌٙب اٌطؽٚج إال ثئغٔٗ لبي اثٓ زدؽ اٌ١ٙزّٟ آَؽد اِؽأح ٌٍطؽٚج ٌؿ٠بؼح ٚاٌع ضؽخذ ثئغْ ؾٚخٙب غ١ؽ ِزجؽخخ –إٌ ٝأْ لبيٚ -أضػ اٌؽافؼٚ ٟغ١ؽٖ ِٓ والَ إِبَ اٌسؽِ ٓ١أْ ٌٍؿٚخخ اػزّبظ اٌؼؽف اٌعاي ػٍ ٝؼَب أِثبي اٌؿٚج ثّثً اٌطؽٚج اٌػ ٞرؽ٠عٖ ٔ ,ؼُ ٌ ٛػٍُ ِطبٌفزٗ ألِثبٌٗ ف ٟغٌه فال رطؽج اٌّٛقٛػخ اٌفم١ٙخ اٌى٠ٛز١خ اٌدؿء اٌكبثغ يسـ 4. 31-38 ثُ إٔٙب ٌ ٛػٍّذ ِغ اٌؿٚج وبْ وكجٙب ٌٙب .خبء ف ٟاٌفزب ٜٚاٌجؿاؾ٠خ :أفز ٝاٌمبَ ٟاإلِبَ ف ٟؾٚخ ٓ١قؼ١ب ٚزًال أِٛاال أٔٙب ٌٗ ; ألٔٙب ِؼٕ١خ ٌٗ ,إال إغا وبْ ٌٙب وكت ػٍ ٝزعح فٍٙب غٌه ٚ .ف ٟاٌفزب : ٜٚاِؽأح ِؼٍّخ ٠ ,ؼٕٙ١ب اٌؿٚج أز١بٔب فبٌسبيً ٌٙب , ٚف ٟاٌزمبِ اٌكٕجٍخ إغا اٌزمٓب ف ٛٙثّٕٙ١ب أًٔبفب وّب أْ ٌألة أْ ٛ٠خٗ اثٕزٗ ٌٍؼًّ :خبء ف ٟزبن١خ اثٓ ػبثعٌ : ٓ٠ألة أْ ٠عفغ اثٕزٗ الِؽأح رؼٍّٙب زؽفخ وزٓؽ٠ؿ ٚض١بْخ ٚإغا ػٍّذ اٌّؽأح ف١دت أْ ٠ى ْٛف ٟزعٚظ ال رزٕبفِ ٝغ ِب ٠دت ِٓ ي١بٔخ اٌؼؽٌ ٚاٌؼفبف ٚاٌهؽف ّ٠ٚ .ىٓ رسع٠ع غٌه ثّب
٠ :نرٟ أال ٠ى ْٛاٌؼًّ ِؼً١خ وبٌغٕبء ٚاٌٍٚ , ٛٙأال ٠ىِ ْٛؼ١جب ِؿؼ٠ب رؼ١ؽ ثٗ أقؽرٙب .خبء ف ٟاٌجعائغ ٚاٌفزب ٜٚإٌٙع٠خ :إغا ) ( 1 آخؽد اٌّؽأح ٔفكٙب ثّب ٠ؼبة ثٗ وبْ ألٍ٘ٙب أْ ٠طؽخ٘ٛب ِٓ رٍه اإلخبؼح ٚ ,ف ٟاٌّثً اٌكبئؽ :ردٛع اٌسؽح ٚال رنوً ثثعٙ١٠ب , ٚػٓ ِسّع ؼزّٗ اهلل رؼبٌ ٝف ٟاِؽأح ٔبئسخ أ ٚيبزت ْجً أِ ٚؿِبؼ اوزكت ِبال فِ ٛٙؼً١خ أال ٠ى ْٛػٍّٙب ِّب ٠ى ْٛف ٗ١ضٍٛح ثنخٕج . ٟخبء ف ٟاٌجعائغ :وؽٖ أث ٛزٕ١فخ اقزطعاَ اٌّؽأح ٚاالضزالء ثٙب ; ٌّب لع ٠ؤظ( 2 ) ٞ إٌ ٝاٌفزٕخ ٛ٘ٚ ,لٛي أثٛ٠ ٟقف ِٚسّع ,أِب اٌطٍٛح ; فألْ اٌطٍٛح ثبألخٕج١خ ِؼً١خ ٚ ,أِب االقزطعاَ ; فألٔٗ ال ٠ؤِٓ ِؼٗ )(2االْالع ػٍٙ١ب ٚاٌٛلٛع ف ٟاٌّؼً١خ ٚلع لبي إٌج ٟيٍ ٝاهلل ػٍٚ ٗ١قٍُ :ال ٠طٍ ْٛؼخً ثبِؽأح إال وبْ اٌهٓ١بْ ثبٌثّٙب ٚ .ألٔٗ ال ٠ؤِٓ ِغ اٌطٍٛح ِٛالؼخ اٌّسظٛؼ ٚز١ث أثسٕب ٌٙب اٌطؽٚج فئّٔب ٠جبذ ثهؽِ ػعَ اٌؿٕ٠خ :أال رطؽج ٌؼٍّٙب ِزجؽخخ ِزؿٕ٠خ ثّب ٠ث١ؽ اٌفزٕخ ,لبي اثٓ ػبثع( 3 ) ٓ٠ ٚرغ١١ؽ اٌ١ٙئخ إٌِ ٝب ٠ى ْٛظاػ١خ ٌٕظؽ اٌؽخبي ٚاالقزّبٌخ ,لبي اهلل رؼبٌٚ { : ٝال رجؽخٓ رجؽج اٌدبٍ٘١خ األٚ )1( } ٌٝٚلبي ٚ ,ف ٟاٌسع٠ث :اٌؽافٍخ ف ٟاٌؿٕ٠خ ف ٟغ١ؽ أٍ٘ٙب وّثً ظٍّخ َٛ٠اٌم١بِخ ال ) } (5رؼبٌٚ { : ٝال ٠جع ٓ٠ؾٕ٠ز ٓٙإال ِب ظٙؽ ِٕٙب ٛٔ) .ؼ ٌٙب (1 )ؼَٚخ آٌبٌج( – ٓ١ج / 92و 5. 221 ٚإّٔب ٠زٛخٗ فؽٌ اٌىفب٠خ ف ٟاٌؼٍُ ػٍ ِٓ ٝخّغ أؼثؼخ نؽ ٟ٘ٚ ِٚأْ ٠ىِ ْٛىٍفب ٠ ِّٓٚزمٍع اٌمُبء ال ػجعا ٚال اِؽأح ٚأْ ٠ى ْٛثٍ١عا ٚأْ ٠معؼ ػٍ ٝاالٔمٓبع إٌ ٗ١ثنْ رى ٌٗ ْٛوفب٠خ ٠ٚعضً اٌفبقك ف ٟاٌفؽٌ ٚال ٠كمّ ثٗ ألٔٗ ال رمجً فزٛاٖ ٌٍّكزفزٓ١ ٚف ٟظضٛي اٌّؽأح ٚاٌؼجع ٚخٙبْ ألّٔٙب أً٘ ٌٍفز ٜٛظ ْٚاٌمُبء اٌّفًً اٌدؿء اٌؽاثغ يسـ 6. 215 اٌّؽأح ٚزؽ٠خ اٌؼًّ” لٍٕب إْ اٌسىّخ فِ ٟهؽٚػ١خ اٌؼًّ اٌّهؽٚع رسً ً١اإلٔكبْ ِب ٛ٠فؽ ٌٗ أقجبة اٌؼ١م ِٓ ْؼبَ “ ٚنؽاة ٌٚجبـ ٚقىٓ ٔٚس ٛغٌه فئغا رٛافؽ ٌإلٔكبْ غٌه وٍٗ وبْ اٌؼًّ ف ٟزمٗ ِجبزب ٌٗ أْ ٠ؼًّ ٌ١ؿظاظ وكجب ٌٗٚأْ ال ٠ؼًّ فبٌؼًّ إغْ ف ٟزك اٌّؽأح ِجبذ “ال ٠ؿازُ ِجبذ اٌّؽأح -ألْ ػٕعٖ ِب ٠ىفٌ ٟكع ِزٍٓجبد ِٚمزُ١بد ِؼ١هزٗ –إٌ ٝأْ لبي ٚاخجٙب” ٚإغا وبْ اٌؼًّ ٌالوزكبة ٚاٌؽؾق ٚرسً ً١أقجبة اٌؼ١م ِجبزب ف ٟزك اٌّؽأح فئْ ٘ػا اٌّجبذ ٠دت أْ ال ٠ؿازُ ِب ٘ٚ ٛاخت ػٍٙ١ب ألْ فؼً اٌٛاخت آوع ِٓ فؼً اٌّجبذ ثً ٚال ٠ؿازُ ٘ػا اٌّجبذ ِب ِٕ٘ ٛعٚة ٌٍّؽأح