Berapapun Rakaatnya, Asal Ikut Tarawih-an Oleh: Fikri Mahzumi Dalam Sejarah, sholat tarawih memang dilakukan Nabi Muhammad Saw. di masanya dalam beberapa versi menurut sumber hadits yang diriwayatkan, baik terkait jumlah rakaat ataupun tempat dan tata cara pelaksanaannya. Ini dapat dilihat dari riwayat Sayidah „Aisyah, Ibnu „Abbas, al-Mirwazi dan sahabat lain. Akan tetapi akar ritual ibadah ini sudah ada sejak diturunkannya ayat pada permulaan surat al-Muzammil, dimana disebutkan: 1. Hai orang yang berselimut (Muhammad), 2. bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), 3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Qiyâm al-Layl pada ayat di atas secara umum dimaknai sebagai ritual tahajjud (umum dikenal sholat malam) yang sebelumnya sudah dilakukan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi Nabi, sebagai bentuk ritual ibadah pra-kerasulan. Dan setelah ayat tersebut turun, maka Qiyâm al-Layl menjadi wajib sampai kemudian turun ayat turun ayat ke 20 dalam surat ini. setelah turunnya ayat ke 20 ini hukumnya menjadi sunat. Berdasarkan sumber riwayat terkait jumlah rakaat sholat tarawih pada masa Nabi saw. disimpulkan oleh „Athiyah Muhammad Salim dalam kitab “al-Tarâwîh Akthar min Alf „A<m fî Masjid al-Nabî” sebagai berikut: 1. Berdasarkan nas hadits riwayat Ibn Jabir bahwa jumlah rakaat sholat tarawih yang dilakukan Nabi saw. adalah empat rakaat. 2. Berdasarkan sebagian nas hadits menyebutkan bahwa jumlah rakaat sholat tarawih yang dilakukan Nabi saw. adalah delapan rakaat. 3. Berdasarkan nas hadits dengan predikat dha‟îf disebutkan bahwa jumlah rakaat sholat tarawih yang dilakukan Nabi saw. adalah 20 rakaat. 4. Berdasarkan nas hadits menunjukkan adanya penetapan mutlak bahwa penambahan rakaat sholat tarawih tanpa ada batas tertentu oleh Nabi saw. 5. Berdasarkan nas hadits menunjukkan adanya beberapa siklus terkait waktu pelaksanaan sholat tarawih, yakni sampai sepertiga, setengah dan dua pertiga malam dengan penambahan dalam kuantitas rakaat atau memperpanjang surat dan bacaan dalam sholat. Memang dalam jumlah rakaat tidak ada batasan pasti yang disepakati oleh ulama merujuk sumber hadits yang menjelaskan terkait sholat tarawih yang dilakukan oleh Nabi saw. Melainkan hanya penetapan bahwa tarawih dilakukan oleh Nabi saw. Ibnu Taimiyah melansir pendapat para mazhab fikih, bahwa mashur di kalangan Syafi‟iyyah dan Hambaliyyah rakaat sholat tarawih berjumlah 20 rakaat yang dilakukan oleh Nabi saw. sedangkan di kalangan Malikiyyah berjumlah 36 rakaat. Dan ada juga yang berpendapat 11 dan 13 rakaat, Nabi saw. melaksanakan tarawih. Senada dengan pendapat Ibnu Taimiyyah tentang 20 rakaat sholat tarawih, K.H
Ahmad Dahlan dalam kitab “ Fiqh Muhammadiyyah” memberi tuntunan bahwa sholat tarawih dilaksanakan 20 rakaat sebagimana yang ditulis dalam bahasa Arab Pegon, “sholat tarawih yo iku sholat rong puluh rakaat, saben rong rakaat kudu salam...”. Mirip dengan kesimpulan di atas, Ibnu Hajar memberikan penjelasan dalam kitab “Fath al-Bârî Sharh S{ahîhal-Bukhârî” terkait jumlah rakaat sholat tarawih beserta dalil-dalil penguatnya dengan hitungan rakaat sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Berjumlah 11 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir. Berjumlah 13 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir. Berjumlah 21 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir. Berjumlah 23 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir. Berjumlah 39 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir. Berjumlah 41 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir. Berjumlah 49 rakaat beserta 3 rakaat sholat witir.
Menyikapi perbedaan rakaat tarawih dari beberapa sumber di atas, posisi mengambil keutamaan merupakan langkah arif untuk menghidupkan malammalam di bulan Ramadlan baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas ibadah (termasuk sholat tarawih). Sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh alBukhârî dari jalur Mâlik ra. :
َم َم ْم ُم َم َم َم ًن َم . َم ْم ا َماا َم َم َم اا ِم ْم َم ا ا َم ْما ِم َم ًن ا ِم َم ا ُم ا َم ا َّد َماا ِم ْم ا ا ِم ِم
“Barang siapa yang mendirikan sholat pada bulan Ramadlan, semata-mata karena keyakinannya kepada Allah dan mengharap ridlo-Nya, maka ia akan mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa yang telah lalu”. Dalam riwayat lain dalam Musnad Ahmad:
ْم َم َم َم ُم َم َم ُم َم ّم َم َم ْم ُم ْم ُم ْم ْم َم َم َم ُم َم َم ًن اف َم ْم َم، اص َم ُم ا َم َم ُم ا ِم ْم َم ا ا ا ِم ِمنياسننتا ِم ل ِمل ِم ياا ِم ي، اصي ترضاهللا ِم ُم. ا ُّذل ُما ْم ا َم َمي ْم اا َم َم َم ْما ُم ا ُم ُّذ ٍم ِم
َم َم َم َّد اا َم َم ااِمش ْمه ٌ ا ِم َم ْم َم ًن َم َم َم ا ِم ا ا ا ِم
“Sesungguhnya Ramadlan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasa di dalamnya, dan sungguh aku telah mensunahkan bagi orang-orang muslim medirikan sholat di dalamnya. Maka barang siapa yang mendirikan sholat pada bulan Ramadlan, semata-mata karena keyakinannya kepada Allah dan mengharap ridlo-Nya, ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya”. „Athiyah membuat kesimpulan melalui logika Umar ra. ketika berijtihad melaksanakan sholat tarawih sebanyak 21 rakaat dengan menggabungkan sumber hadits yang diriwayatkan Ibn „Abbâs sejumlah 13 rakaat, „Aisyah 6 rakaat dan 2 rakaat yang biasa dilakukan Nabi saw. sebelum melaksanakan sholat malam, maka penjumlahan yang dihasilkan adalah 21 rakaat. Dalam persoalan jumlah rakaat sholat tarawih ini, tidak dibenarkan apabila terjadi saling klaim pembenaran
mengikuti sunah Nabi saw. berapapun jumlah rakaat tarawih yang dilaksanakan, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Memahami tarawih menurut siklus periodik Terlepas dari perbedaan rakaat sholat tarawih. Penting kiranya memahami ritual ibadah tarawih mulai dari pengertian istilah. Menurut akar bahasa, kata tarâwîhmerupakan istilah dari bahasa Arab dalam bentuk plural (jamak) tarawîhah. Makna istilah dari kata tersebut digunakan untuk ritual sholat yang dilaksanakan pada seluruh malam di bulan Ramadlan. Digunakan kata tarâwîh, sebab ritual sholat ini dilakukan dengan menggunakan waktu setelah salam pada setiap dua rakaat untuk beristirahat. Pendapat ini disandarkan kepada al-Hafidz Ibnu Hajar. Istilah lain yang dikenal untuk menyebut tarâwîhdengan qiyâm ramâdlân. Dari segi hukum pelaksanaannya, sebagaimana yang dikatakan Imam Nawawi dalam kitab “Sharhal-Muhaz}ab”, tarawih dalam fikih ditetapkan oleh mayoritas mazhab sunah bagi setiap muslim dewasa (mumayyiz). Sedangkan hukum jama‟ah dalam melaksanakan sholat tarawih berdasarkan riwayat dari Ibnu „Abbâs dan Abû Ishaq lebih utama (afd}al) dari pada melaksanakannya secara sendirian (munfarid) sebagaimana kesepakatan yang diambil oleh para sahabat dan para ulama di berbagai daerah. Selanjutnya, bahwa dalam sejarah tercatat sholat tarawih mengalami remodeling (perubahan bentuk) menurut konteks ritual pelaksanaannya. Disebutkan oleh „Athiyah, setelah masa Nabi saw. khulafâ‟ al-râshidûn melakukan ijtihad terkait pelaksanaan tarawih, di mulai dari masa Abu Bakar ra., dikuti Umar bin Khottob ra., Utsman bin „Affan ra., Ali bin Abu Tholib ra. Remodeling tata cara pelaksanaan tarawih juga terjadi pada periode-periode selanjutnya sampai pada masa raja Sa‟ud. Perubahan yang terjadi dalam sholat terawih pada masa Abu Bakar ra. tidak signifikan, sebab masa ini masih berdekatan dengan masa Nabi saw. sehingga tidak ada sumber yang menjelaskan bentuk baru dari ritual tarawih pada masa ini. Menurut penjelasan dari riwayat Abu Hurairah ra., Nabi saw. memberi anjuran untuk melaksankan tarawih bagi umat muslim pada waktu itu tanpa memberikan penekanan terkait perintah pelaksanaanya. Kemudian pasca Nabi saw. wafat, pelaksanaan terawih pun demikian adanya. Riwayat ini disambung oleh Baihaqi ra. dengan perkataannya bahwa Ahmad bin Mansur al-Ramâdî ra. menambahkan keterangan dalam riwayatnya, tarawih tetap pada kondisinya sebagimana ketika masa Nabi saw. sampai zaman Abu Bakar ra. dan awal kepemimpinan Umar ra. Senada dengan Baihaqi ra., Malik ra. dengan sanad Ibnu Shihâb pun mengatakan demikian. Tetapi, dalam riwayat Baihaqi ra. dengan sanad Aisyah ra. disebutkan, “kita menyertakan anak-anak dari „kuttâb‟ (tempat belajar membaca, menulis dan menghafal al-Quran bagi anak-anak) dalam pelaksanaan tarawih, kemudian kami membagikan „qaliyyah‟ (roti warna coklat) kepada mereka.” Nas ini menjelaskan pada masa Abu Bakar ra. terdapat pembaharuan terkait tradisi tarawih-an yang tidak ada di masa Nabi saw. selain itu pada masa ini juga terdapat riwayat dari Malik ra. dari Abdullah bin Abu Bakar ra. mengatakan, “saya mendengar bapakku berkata, „di bulan
ramadlan kita bergegas menyiapkan makanan untuk sahur selesai melaksanakan tarawih karena takut keburu datang fajar”. Nas ini ditafsirkan bahwa surat yang dibaca ketika sholat tarawih sangat panjang, sehingga butuh waktu yang lama dalam pelaksanaannya. Dua hal yang disebutkan dari riwayat tadi tidak terjadi di masa Nabi saw. Maka, kesimpulan yang tepat adalah shalat tarawih pada masa Abu Bakar ra. mengalami perubahan seperti yang disebutkan sebelumnya, yakni dalam pelibatan anak-anak dan bacaan surat yang panjang dalam pelaksanaan tarawih. Selajutnya pada masa Umar ra. yang paling dimaklumi oleh umat muslim pada saat ini adalah pelaksanaan tarawih secara berjamaah, baik di rumah ataupun di masjid. Ada dua riwayat yang menjadi dasar yaitu athar dari Iyâs al-Haz}lî dan „Abd alRahmân. Dari riwayat ini disebutkan alasan ijtihad Umar ra. terkait pelaksanaan sholat tarawih berjamaah yang erat hubungannya dengan kualitas bacaan surat di antara para qurrâ‟ (para ahli baca al-Quran) yang menyebabkan persaingan di antara mus}allî untuk ber-imam kepada hanya qâri‟ yang bagus dalam bacaan suratnya ketika melaksanakan sholat tarawih atau melaksanakan tarawih secara sendiri dan terpisah, sehingga muncullah kesenjangan, kelompok-kelompok, tidak mencerminkan kebersatuan umat muslim dan mengarah untuk saling pamer kemerduan dan lagu di antara qurrâ‟. Maka Dengan dasar “taqdîm „alâ dar‟i almafsadah „ala jalb al-mas}lahah” dalam situasi itu, Umar ra. memutuskan agar sholat tarawih dilaksanakan secara berjamaah di masjid dan dengan satu imam yang paling bagus bacaan al-Qur‟an-nya, yakni „Ubay bin Ka‟ab. Bahkan dengan ijtihadnya itu, Umar ra. berkata “in kânat haz}ihi bid‟ah, fani‟mat al-bid‟ah”. (jika yang demikian ini –tarawih berjamaah- adalah bidah, maka ini termasuk bidah yang nikmat). Tentang perkataan „bidah‟ Umar ra. tersebut, „Athiyah mengulasnya secara panjang dengan menyimpulkan yang dimaksud adalah bukan bidah dalam syariat, melainkan hanya diartikan sebagai pemula dalam melakukan reform tarawih dengan berjamaah dan menentukan rakaat tarawih sejumlah 21. Masa Utsman ra., tarawih tidak mengalami perubahan yang signifikan dari masa Umar ra., hanya beberapa riwayat yang menjelaskan pada masa Utsman ra. ini, Ali ra. menjadi imam dalam tarawih selama 20 malam selama bulan ramadlah. Dan penambahan doa hatam al-Quran setalah bacaan surat penutup dalam tarawih, sebagaimana yang dimaktubkan oleh Ibnu Qudâmah dalam kitab “al-Mughnî” dalam pasal “khatm al-Qur‟âm”¸ “berkata Fadlal bin Ziyâd, „saya bertanya kepada Abu Abdillah, saya akan menghatamkan al-Quran, apakah saya melakukannya di witir atau tarawih? lakukan saja di dalam tarawih, sehingga kita mendaptkan dua doa. Sayapun bertanya, bagaimana saya melakukannya? Ia menjawab, setelah kamu menyelesaikan membaca surat al-Quran terakhir, maka angkatlah kedua tanganmu sebelum kamu ruku, berdoalah bersama kami dalam sholat, dan berlama-lamalah dalam berdiri. Saya pun bertanya, apa yang saya baca dalam doa? Ia menjawab, terserah kamu. Saya pun melakukan sesuai perintahnya dan ia pun bedoa sambil berdiri dan mengangkat kedua tangannya bersamaku”. Di Masa Ali ra., tarawih juga tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam tata pelaksanaannya, melainkan hanya Ali ra.memberikan ruang bagi wanita untuk menjadi imam bagi jamaah wanita, demikian juga jamaah laki-laki juga di imami
oleh laki-laki dan untuk sholat witir, Ali ra. sendiri yang menjadi imam bagi jamaah laki-laki dan wanita. Jumlah rakaat tarawih sama dengan yang dilaksanakan di masa Utsman ra. dan Umar ra. yakni 20 rakaat dan membaca doa hatam al-Quran pada rakaat sholat tarawih sebagaimana yang sudah biasa dilakukan di masa Utsman ra. di antara imam wanita yang ditunjuk pada saat itu adalah „Arfajah alThaqafî, sebagaimana yang diriwayatkan al-Mirwazî, „Arfajah al-Thaqafî mengatakan, “Ali ra. memerintahkanku untuk menjadi imam pada sholat tarawih”. Demikianlah siklus periodik pelaksanaan sholat tarawih di masa Nabi saw. sampai masa „Ali ra., remodeling tata cara pelaksanaan sholat tarawih diwarnai oleh ijtihad yang tidak merubah esensi syar‟inya. Hal demikian, dijelaskan juga oleh „Athiyah pada masa-mas berikutnya setelah khulafâ‟ râshidûn sampai pada masa maz}âhib.