0
BENTUK DAN MAKNA SIMBOL VERBAL SASALAMATE TAMO PADA UPACARA ADAT TULUDE DI MASYARAKAT KECAMATAN TABUKAN UTARA KABUPATEN SANGIHE Umiyati Tatengkeng Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Anggota Penulis Dr. H. Dakia N. Djou, M.Hum (Pembimbing I) Dr. Hj. Asna Ntelu, M.Hum (Pembimbing II) Abstrak Permasalahan dalam penelitian ini yakni: 1) bagaimana bentuk simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo? dan 2) bagaimana makna simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentukbentuk simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo dan mendeskripsikan makna simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif anlisis. Teknik analisis data digunakan langkah-langkah sebagaiberikut: 1) mentranskripsikan rekaman ke bentuk teks, 2) menerjemahkan teks Sasalamate Tamo, 3) maengklasifikasikan simbol verbal, 4) menganalisis makna simbol, 5) menyimpulkan hasil analisis. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam Sasalamate Tamo terdapat simbol verbal dalam bentuk kata yakni „wisara‟ (perkataan) sebagai simbol dari „doa‟. Simbol dalam bentuk frasa yakni „anau kawanua‟ (sanak saudara) sebagai simbol dari „penghargaan‟ dan simbol dalam bentuk kalimat yakni „nenondong pato nedarung sengkanaung‟ (bergandengan tangan dengan satu hati) sebagai simbol dari persatuan dan kesatuan. Adapun makna simbol yang terkandung dalam teks Sasalamate Tamo terdiri atas makna simbol dalam konteks religi, makna simbol dalam konteks etika dan makna simbol dalam konteks filosofi. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan dalam teks Sasalamate Tamo terdapat simbol verbal dalam bentuk kata, frasa dan kalimat. Bentuk-bentuk simbol tersebut mengandung makna simbol dalam konteks religi, etika dan filosofi. Kata kunci: Bentuk, Makna Simbol Verbal Sasalamate Tamo, Upacara Adat Tulude
1
Pendahuluan Upacara adat tulude atau menulude adalah upacara adat masyarakat Sangihe yang telah menjadi kewajiban bagi masyarakat Sangihe untuk dilaksanakan setiap tahunnya, tepatnya pada setiap tanggal 31 Januari. Upacara adat tulude dilaksanakan dengan maksud meminta perlindungan serta mensyukuri berkat dan karunia Tuhan di tahun yang lampau dan tahun yang baru. Upacara adat Tulude terdiri atas beberapa tahap, salah satunya adalah tahap „memoto tamo’ (pemotongan tamo). Tahap pemotongan Tamo (kue adat Sangihe) disertai dengan penyampaian Sasalamate Tamo. Sasalamate Tamo adalah salah satu ragam sastra lisan Sangihe berbentuk prosa. Menurut Nurgiyantoro (2007:2) istilah prosa dalam kesusastraan, juga disebut fiksi, teks naratif, atau wacana naratif. Sasalamate Tamo merupakan doa, nasehat serta permohonan keselamatan atas segala bentuk aktivitas masyarakat Sangihe. Sasalamate Tamo sangat penting untuk dipahami karena dalam Sasalamate Tamo
mengandung banyak sekali
pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang diungkapkan dalam bentuk simbol verbal. Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini akan dibahas simbolsimbol verbal yang terdapat dalam teks Sasalamate Tamo, dengan menggunakan pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Charles Sanders Pierce. Pierce (dalam Endraswara, 2003:65) membedakan tanda menjadi tiga yaitu: 1) ikon, 2) indeks dan 3) simbol. Berdasarkan ketiga tanda yang diklasifikasikan oleh Pierce, dalam penelitian ini difokuskan pada tanda yang berbentuk simbol dalam teks Sasalamate Tamo yang diformulasikan dalam judul penelitian „Bentuk dan Makna Simbol Verbal Sasalamate Tamo pada Upacara Adat Tulude di Masyarakat Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Sangihe” Bertitik tolak dari dasar pemikiran di atas rumusan maslah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bagaimanakah bentuk simbol verbal dalam teks Sasalamate tamo? (2) Bagaimanakah makna simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo?. Tujuan penelitian ini yaitu: 1) mendeskripsikan simbol verbal dalam Sasalamate Tamo dan 2) mendeskripsikan makna simbol verbal 2
Sasalamate Tamo. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah wawasan mengenai Sasalamate Tamo dan teori simbol. Bagi pembaca untuk menambah wawasan pembaca mengenai makna simbol verbal Sasalamate Tamo. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi lembaga pendidikan untuk dijadikan sebagai literatur dalam mempelajari makna simbol dalam teks Sasalamate Tamo dan bagi daerah sebagai bentuk pelestarian sastra lisan daerah Sangihe khususnya Sasalamate Tamo. Teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan di atas yakni hakikat pendekatan semiotik, hakikat simbol, bentuk simbol dan makna simbol. Pendekatan semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Pierce (dalam Endraswara, 2003:65) mengklasifikasikan tanda ke dalam tiga jenis yaitu (1) ikon (2) indeks dan (3) simbol. Menurut Tuloli (2000:51) simbol adalah hubungan antara penanda dan petandanya tidaklah alamiah. Hubungannya bersifat arbitrer (mana suka) atau berdasarkan konvensi masyarakat. Simbol terbagi atas dua jenis yaitu simbol verbal dan nonverbal. Adapun makna simbol diklasifikasikan dalam empat konteks yaitu konteks religi, konteks etika dan konteks filosofi (Dharmojo, 2005:40-41). Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan faktafakta yang kemudian disusul dengan analisis (Kutha Ratna, 2012:53). Metode ini digunakan untuk memberikan gambaran secara umum tentang Sasalamate Tamo, serta mendeskripsikan makna simbol verbal yang terdapat dalam Sasalamate Tamo berdasarkan analisis. Sumber data dalam peneltian ini terdiri atas dua sumber data: 1) sumber data primer yaitu berupa teks Sasalamate Tamo dan 2) sumber data sekunder yaitu buku-buku kepustakaan yang memuat teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan merekam tuturan Sasalamate Tamo yang dilanjutkan dengan wanwancara terstruktur dan
3
dokumentasi.
Adapun
mentranskripsikan
teknik
rekaman
analisis
dalam
data
bentuk
dianalisis
tulisan,
dengan
menerjemahkan
cara, teks
Sasalamate Tamo, mengklasifikasikan simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo, menganalisis makna dan menyimpulkan hasil analisis makna simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Berikut ini akan dipaparkan bentuk-bentuk simbol dalam teks Sasalamate Tamo. Bentuk Simbol Verbal dalam Bentuk kata 1) Upung Madelu (leluhur Madelu) dan „ana pulung’ (anak cucu) Kata „upung Madelu‘ (leluhur Mdelu) dan „ana pulung’ (anak cucu) dapat dilihat pada paragraf keempat berikut: Wade ndau kai kalu nanging. Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag. Kelangeng metetowo mededaung. Tatinganeng makawombo u rali, tawe ipelo u mata tamalahiwuang pelokang. Ore lai kai kalu niontu I Upung Madelu. Salu e kai pusaka su ana pulung nae mebebawelase Alkisah ada pohon yang rindang dan indah. Pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah. Kelihatannya bercabang dan berdaun. jika dipandang membuat orang tertarik. Pohon yang ditanam oleh leluhur bernama madelu, aliranya menjadi warisan turun temurun bagi anak cucu. Kata “I Upung Madelu” yaitu simbol dari “tahun yang lalu” dan kata “ana pulung” (anak cucu) sebagai simbol dari “tahun yang baru”. Leluhur bernama Madelu adalah merupakan leluhur masyarakat Sangihe yang diyakini pernah hidup pada zaman dahulu oleh sebab itu kata „I Upung Madelu’ disimbolkan sebagai „tahun yang lalu‟ sedangakan „ana pulung‟ (anak cucu) sebagai generasi muda yang ada di zaman sekarang yang merupakan simbol dari kehidupan yang baru atau „tahun yang baru‟. 2) Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik)
4
Kata-kata Wisaraku” (perkataan), “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) dapat ilihat pada paragraf kesepuluh berikut: Engkung I Bataha kai pia lawa peli, kai engkung I Bataha lawo, kai seng tawe apa lawa peli mesasampa lawewe melehiwusala. Ku ini datung lawe lohong hombang kai seng taku limbangeng, limbangeng taku limbangeng liwuaheng taku liwuaheng. Taku limbangeng uwera, taku liwuahengu wisara. Kai pia beraku nahegi bisaraku makahangiang. Bera I pemate lawo bisara, i pemoso hombang. Menurut leluhur bernama Bataha ada pantangan., tetapi menurut leluhur bernama Bataha Lawo tak ada lagi pantangan yang menghalangi dan merintangi. Semua yang jahat akan ku singkirkan, akan kusingkirkan akan ku singkirkan, akan ku musnakan akan ku musnahkan. Akan ku singkirkan dengan segalah perkataan. Perkataan untuk membunuh dan memetik segalah halangan. Kata “wisaraku” (perkataan) sebagai simbol dari (doa). Doa merupakan bentuk seoaran manusia terhadap Tuhanya. Permohonan-permohonan tersebut diungkapkan dengan kata-kata. oleh sebab itu kata “wisaraku” (perkataan)” dalam Sasalamate Tamo sebagai simbol dari „doa‟ Kata “pemate” (membunuh) dan “pemoso” (memetik) sebagai simbol dari “menghilangkan, menyingkirkan”. Apabila seseorang membunuh atau memetik sesuatu maka secara tidak lansung orag tersebut menghilangkan sesuatu atau menyingkirkan sesuatu. Simbol Verbal dalam Bentuk Frasa 1) Anau kawanua „sanak saudara‟ Frasa „anau kawanua’ dapat dilihat pada paragraf pertama berikut: Mebua bou lawaseng menghudingangkeng tulumang mendingangngi Ruata I amang mambeng mengentanude sutatepang. Adate isesumelung kere pinebera sukebi patiku anau kawanua naitu dorong su walang tampungang. Berawal dari permulaan yang damai, mengharapkan pertologan Tuhan yang Maha Kuasa, akan menyertai dalam setiap langkah kehidupan. Salam hormat kepada seluruh handai tolan, sanak saudara yang datang meluangkan waktu ke tempat ini. Kata „anau kawanua’( sanak saudara) merupakan simbol dari “menghargai dan menghormati‟. Kata “anau kawanua” secara leksikal berarti „sanak saudara‟. Akan tetapi, dalam Sasalamate Tamo kata “anau kawanua” yaitu ungkapan rasa saling menghargai dan menghormati. Semua masyarakat yang
5
hadir dari desa manapun, dari golongan apa saja dianggap sebagai keluarga yang harus dihargai dan dihormati sebagaimana kita saling menghargai dalam keluarga. 2) Mebebatu berang kanarang (mengikuti kebiasaan) Frasa „mebebatu berang kanarang’ (mengikuti kebiasaan) dapat dilihat pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini. Kata ‘mebebatu berang kanarang‟ (mengikuti kebiasaan) sebagai simbol dari „menjaga, melestarikan‟ sebab kata „mengikuti kebiasaan‟ berarti selalu terlibat dalam hal-hal yang sering dilakukan. Tulude merupakan upacara adat yang selalu dilaksanakan setiap tahun secara turun temurun. 3) Mekekila mesesarawelo (kilat yang memancar) Frasa „mekekila mesesarawelo’ dapat dilihat pada paragraf kelima berikut: Ku kai haungang taku haungang, sawembingang taku sawembingang. Taku haungang heming sewembingang u delage. Su limang Mawu Ruata, sembeng memeteng pelade maralending nintandang mekekila mesesarawelo. Ia tamataku u mekapura. Ku coba menghampirinya ,memperhatikannya, kuhampiri sambil tersenyum dan kuperhatikan sambil tertawa. Ditangan Tuhan yang Maha Kuasa menengadahkan tangan-Nya yang perkasa seperti kilat yang memancar sambil memberkati aku tidak gentar dan takut Frasa “mekekila mesesarawelo” (kilat yang memancar) sebagai simbol dari “kekuasaan, kekuatan Tuhan”. Kata „mekekila’ secara leksikal berarti kilat. Dalam Sasalamate Tamo kata “mekekila’ dinyatakan sebagai simbol dari kekuatan Tuhan sebab kata kilat merupakan salah satu fenomena alam yang memilki kekuatan yang besar bahkan mampu menghancurkan sesuatu. 4) Metetinena, mengengenae (berfikir mengira-ngirai) Frasa „metetinena, mengengenae’ terdapat pada paragraf keenam berikut:
6
Lumintu e ia bou baleku lisade binalaku. Mengalae baliung longso, sinangeng su wembang. Bembang tamarolong sahere. Napelo e surelahe metetinena, mengengenae bulang sulangi metetia u mandaulu mesang sude elo mapia. Kai engkung manga gagurang tawe apa elo dalai elo mang mapia kebi Bergegaslah aku berangkat turun dari rumah kediamanku, ku ambil kapak kuletakan pada pundaku dan aku tak kenal lelah. Sesampainya di halaman rumah aku berpikir sejenak mengira ngirai bulan dilangit untuk bepergian. Tetapi pesan para leluhur pendahulu, sudah tidak ada lagi hari yang malang, semua hari adalah tepat dan baik Kata “metetinena, mengengenae” secara leksikal berarti „berfikir, mengirangirai‟ sebagai simbol dari “ketelitian” sebab jika sesorang memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dia kerjakan tentunya orang tersebut sangat teliti. Simbol dalam Bentuk Kalimat 1) Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah). Kalimat ‘bulude marange niralengang, bedae masana niliuang dapat dilihat pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat „bulude marange niralengang, bedae masana niliuang’ (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam) yang merupakan simbol dari “pengorbanan, usaha”. Menjelajahi gunung yang tinggi dan melintasi lembah yang dalam merupakan sebuah perjalanan yang sangat melelahkah dan tentunya diperlukan usaha serta pengorbanan yang besar agar dapat melaluinya. Begitupun halnya usaha masyarakat untuk menghadiri tulude. 2) Nenondong pato nedaraung sengkanaung ” (bergandengan tangan dengan satu hati). Kalimat‟nenondong pato nedaraung sengkanaung’ (bergandengan tangan dengan satu hati) dapat dilihat pada paragraf kedua berikut:
7
Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat‟nenondong pato nedaraung sengkanaung’ (bergandengan tangan dengan satu hati) sebagai simbol dari „kebersamaan dan persatuan‟. Sebab bergandengan tangan dengan tujuan yang sama dapat menyatukan antara satu sama lain sehingga dapat bersama. 3) Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) Kalimat „tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa’ dapat dilihat pada paragraf ketiga berikut: Kemangang pia bawera mateti, kasihe ko dade dala, kanawo su entana, kasapua sarang langi. Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan kiranya kita terhindar darinya. Tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa. Kalimat “tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa” (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) sebagai simbol dari “kepasrahan seorang hamba” sebab jika seseorang menganggap Tuhan sebagai tempat satu-satunya tempat berlindung secara tidak lansung orang tersebut mengakui akan adanya Tuhan dan keterbatasannya sebagai sebagai seorang manusia. Secara otomatis, orang tersebut akan memasrahkan dirinya kepada Tuhan. 4) Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah). Kalimat „kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag’ dapat dilihat pada paragraf keempat berikut:
8
Wade ndau kai kalu nanging. Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag. Kelangeng metetowo mededaung. Tatinganeng makawombo u rali, tawe ipelo u mata tamalahiwuang pelokang. Ore lai kai kalu niontu I Upung Madelu. Salu e kai pusaka su ana pulung nae mebebawelase Alkisah ada pohon yang rindang dan indah. Pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah. Kelihatannya bercabang dan berdaun. jika dipandang membuat orang tertarik. Pohon yang ditanam oleh leluhur bernama madelu, aliranya menjadi warisan turun temurun bagi anak cucu. Kata “Kalu nanging, kalu nanging, kalu mekekananginag” (pohon yang indah, pohon yang indah, pohon yang sangat indah) sebagai simbol dari “kehidupan dan anugrah Tuhan” sebab kata pohon merupakan salah satu sumber kehidupan manusia yang memilki banyak manfaat. Pengulangan kata “pohon yang indah sebayak tiga kali merupakan penegasan bahwa anugrah yang Tuhan berikat begitu melimpah. B. Makna Simbol Verbal dalam Teks Sasalamate Tamo Makna Simbol dalam Konteks Religi 1) Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) Kalimat „tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa’ dapat dilihat pada paragraf ketiga berikut: Kemangang pia bawera mateti, kasihe ko dade dala, kanawo su entana, kasapua sarang langi. Tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan kiranya kita terhindar darinya. Tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa. Kalimat “tawe baline pesasiringung, ore lai pekakelungang I henggona liung kawasa” (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha Kuasa) sebagai simbol dari “kepasrahan seorang hamba” sebab jika seseorang menganggap Tuhan sebagai tempat satu-satunya tempat berlindung secara tidak lansung orang tersebut mengakui akan adanya Tuhan dan keterbatasannya sebagai sebagai seorang manusia. Secara otomatis, orang tersebut akan memasrahkan dirinya kepada Tuhan. Jika ditelaah secara semiotik kalimat
9
tersebut mengandung makna simbol sebagai seorang manusi yang memilki banyak kekurangan dan kelemahan hendaklah kita selalu memohon pertolongan serta perlindungan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Makna Simbol dalam Konteks Etika 1) Anau kawanua „sanak saudara‟ Frasa „anau kawanua’ dapat dilihat pada paragraf pertama berikut: Mebua bou lawaseng menghudingangkeng tulumang mendingangngi Ruata I amang mambeng mengentanude sutatepang. Adate isesumelung kere pinebera sukebi patiku anau kawanua naitu dorong su walang tampungang. Berawal dari permulaan yang damai, mengharapkan pertologan Tuhan yang Maha Kuasa, akan menyertai dalam setiap langkah kehidupan. Salam hormat kepada seluruh handai tolan, sanak saudara yang datang meluangkan waktu ke tempat ini. Kata „anau kawanua’( sanak saudara) merupakan simbol dari “menghargai dan menghormati‟. Kata “anau kawanua” secara leksikal berarti „sanak saudara‟. Akan tetapi, dalam Sasalamate Tamo kata “anau kawanua” yaitu ungkapan rasa saling menghargai dan menghormati. Semua masyarakat yang hadir dari desa manapun, dari golongan apa saja dianggap sebagai keluarga yang harus dihargai dan dihormati sebagaimana kita saling menghargai dalam keluarga. Jika ditelaah secara semiotik „anau kawanua’ ( sanak saudara) mengandung makna simbol bahwa seluruh masyarakat yang hadir pada upacara adat tulude sangat di hormati, dan sangat dihargai layaknya kita menghormati keluarga kita sendiri. Selain itu juga mengandung makna bahwa masyarakat Sangihe sangat menjaga kerukunan antar umat beragama. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap saling menghargai yang terkandung dalam kata “anau kawanua” (sanak saudara) Makna Simbol dalam Konteks Filosofi 1) Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam), ‘
10
Kalimat dilihat Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam), pada paragraf kedua berikut: Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang. Mebebatu berang kanarang saloba kere intang bou marau. Naramahi bou tahanusa ,mang laing nenondong pato nedaraung sekanaung naitu gihile pedaramene.” Menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lebah yang dalam. Mengkuti kebiasaan seperti itan dari jauh. Datang dari pulau yang jauh sambil bergandengan tangan dengan satu hati untuk memeriahkan acara ini.” Kalimat „Bulude marange niralengang, bedae masana niliuang’ (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam) yang merupakan simbol dari “pengorbanan, usaha”. Jika ditelaah manaknya, kalimat „bulude marange niralengang, bedae masana niliuang’ (menjelajahi gunung yang tinggi, melintasi lembah yang dalam)‟ mengandung makna simbol bahwa masyarakat sangat antusias untuk menghadiri pelaksanaan uapacara adat tulude meskipun harus menempuh perjalanan yang jauh dan melalahkan namun tidak akan meluluhkan semangat masyarakat sebagaimana semboyan daerah Sangihe yaitu “Somahe Kai Kehage”(maju pantang mundur).
Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai makna simbol verbal dalam teks Sasalamate Tamo, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) simbol-simbol dalam teks Sasalamate Tamo terdiri dari simbol dalam bentuk kata, frasa dan kalimat. Simbol verbal dalam bentuk kata terdiri atas dua simbol, simbol verbal dalam bentuk frasa Sembilan simbol dan simbol verbal dalam bentk kalimat terdiri atas sepuluh simbol. 2) Makna simbol dalam teks Sasalamate Tamo terdiri atas makna simbol dalam konteks religi, salah satunya yaitu “tawe baline pesasirungang ore lai pekakulungang I Henggona Liuang Kawasa (tidak ada tempat berlindung dan memohon pertolongan selain Tuhan yang Maha esa), makna simbol dalam konteks etika yaitu “anau kawanua” (sanak saudara) dan makna
simbol
dalam
konteks filosofi
11
yaitu “tuang-tuang neliku obe
penetembuliling” (ditebang berbalasan dari dua sisi hinggah kapak pun melinggkari batangnya) yang merupakan simbol dari kebijaksanaan. Adapun saran-saran yang disampaikan menyangkut penelitian ini yaitu: 1) Sasalamate tamo merupakan salah satu sastra lisan daerah Sangihe yang memiliki makna yang sangat penting untuk di pahami. Oleh karena itu, sebagai generasi muda kita harus selalu melestarikan serta mempelajari makna yang terkandung dalam “Sasalamate tamo”. 2) kegiatan yang berkaitan dengan pemertahanan sastra lisan khususnya di daearah Sangihe sangat perlu ditingkatkan karena sekarang ini generasi muda lebih meminati hal-hal yang bersifat modern. 3) adanya penelitian lanjutan terkait dengan Sasalamate Tamo dengan menggunakan teori yang lain.
Daftar Rujukan Dharmojo. (2005). Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Endraswara.(2003). Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Kutha Ratna, Nyoman. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurgiyantoro, Burhan. (2007). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. Tuloli, Nani. (2000). Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah
12