19
Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ... (Evi Tahapari)
INTENSIFIKASI PEMUPUKAN PADA PEMELIHARAAN LARVA/BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus) YANG DILAKUKAN SECARA OUTDOOR DI KOLAM TANAH Evi Tahapari, Sularto, dan Ika Nurlaela Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar Jl. Raya 2 Sukamandi, Subang, Jawa Barat 41256 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Teknologi pembenihan khususnya pemeliharaan larva ikan patin siam di Indonesia masih dilakukan secara indoor hatchery. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi pemeliharaan larva/benih ikan patin siam secara outdoor di kolam tanah yang dipupuk. Ruang lingkup kegiatan meliputi beberapa tahapan pelaksanaan yaitu persiapan kolam, pengecekan induk, pemijahan, penetasan telur dan pemeliharaan larva di kolam. Sebagai perlakuan adalah 3 jenis pemupukan kolam yang berbeda: A. Pupuk anorganik + organik, B. Pupuk anorganik + organik + probiotik dan C. Pupuk anorganik + organik yang difermentasi + Probiotik. Kolam yang digunakan untuk pemeliharaan larva berukuran masing-masing 400 m2/kolam. Padat tebar larva yang digunakan adalah 100 ekor/m2. Larva yang ditebar berumur 20 jam setelah menetas. Pakan buatan dalam bentuk serbuk dengan kadar protein pakan 40% diberikan mulai hari ke-11. Parameter yang diamati meliputi: pertumbuhan (bobot dan panjang) ikan, sintasan ikan, analisis pakan alami kolam, analisis isi saluran pencernaan ikan, dan analisis kualitas air kolam. Hasil penelitian selama 40 hari pemeliharaan menunjukkan bahwa pemupukan kolam dengan bahan organik (kotoran ayam) yang difermentasi (perlakuan C) memberikan pengaruh yang nyata terhadap keragaan benih ikan. Secara berturut-turut didapatkan hasil pertambahan bobot dan panjang untuk masing-masing perlakuan: A. 0,27±0,08 g dan 3,19±0,31 cm; B. 0,42±0,12 g dan 3,74±0,37 cm; C. 16,60±10,51 g dan 11,49±1,26 cm. Sifat fisika dan kimia air masih dalam kisaran layak untuk pemeliharaan ikan. Sintasan pada penelitian ini untuk ketiga perlakuan sangat rendah yaitu 4,5%-9,7% rendahnya sintasan ini diduga karena adanya faktor hama, predator yaitu antara lain: Ikan liar (gabus, belut, betok, nila, sepat, udang liar) serta jenis serangga air, Noktoneta (bebeasan) yang dapat menurunkan pertumbuhan dan sintasan ikan.
KATA KUNCI:
intensifikasi pemupukan, patin siam, outdoor
PENDAHULUAN Ikan patin siam (Pangasionodon hypophthalmus) merupakan salah satu ikan introduksi yang telah lebih dulu memasyarakat di Indonesia dibanding ikan patin lokal. Budidaya ikan patin siam mulai berkembang pada tahun 1980 sejak keberhasilan teknik produksi massal benih secara buatan (Hardjamulia et al., 1981). Selama satu dasa warsa sejak keberhasilan teknik pembenihannya, terjadi proses perkembangan usaha sejalan dengan proses penyerapan teknologi pembenihan oleh UPR yang dipicu pula oleh perkembangan usaha pembesarannya. Dalam perjalanannya terjadi segmentasi usaha sesuai kondisi wilayah. Usaha pembenihan berkembang dengan pesat terutama di Jawa Barat (Bogor dan Sukabumi) serta Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan sentra pembesarannya terutama di wilayah Sumatera bagian selatan seperti Lampung, Palembang, Jambi, Bengkulu, dan Riau serta sebagian Kalimantan. Usaha pembesaran ikan patin siam di Pulau Jawa berjalan relatif lebih lambat dibanding Sumatera dan Kalimantan. Lahan-lahan potensial untuk budidaya di Pulau Jawa seperti KJA di Saguling, Cirata, dan Jatiluhur didominasi untuk pembesaran ikan mas dan nila. Namun semenjak terjadinya wabah Koi Herves Virus (KHV) yang menyerang ikan mas pada tahun 1999 sampai sekarang, maka mulai terjadi pergeseran budidaya dari ikan mas ke ikan patin. Hal ini menyebabkan usaha pembesaran ikan patin di Pulau Jawa pun mulai berkembang dengan pesat. Kebutuhan benih ikan patin di Sumatera Selatan pada tahun 1990 berada pada kisaran di bawah 1 juta benih per bulan, sedangkan pada tahun 1995-1997 kebutuhan benih di daerah tersebut mencapai lebih dari 2 juta per bulan (Sadili, 1998). Sampai dengan saat ini, kebutuhan benih ikan patin terus meningkat terutama untuk kegiatan budidaya di kolam Karamba Jaring Apung (KJA). Menurut Dirjen Perikanan Budidaya (2005), kebutuhan benih ikan patin siam secara nasional diperkirakan mencapai 55 juta benih pada tahun 2005. Jumlah tersebut diperlukan untuk mencapai
20
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Jumlah produksi benih (x 1000)
target produksi sebesar 16.500 ton. Dari jumlah tersebut hampir seluruhnya, yaitu 15.675 ton, untuk menyuplai kebutuhan ikan patin dalam negeri. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan benih ikan patin untuk usaha budidaya cukup besar sehingga peluang bisnis usaha pembenihan masih merupakan usaha yang cukup menjanjikan. Selanjutnya berdasarkan data kebutuhan benih ikan patin beberapa tahun terakhir, estimasi kebutuhan benih ikan patin selama 5 tahun ke depan dapat dilihat pada Gambar 1. 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 1. Estimasi kebutuhan benih ikan patin siam di Indonesia tahun 2005-2009 (Dirjen Perikanan Budidaya, 2005) Teknologi pembenihan khususnya pemeliharaan larva ikan patin siam di Indonesia dilakukan dalam indoor hatchery. Pakan awal larva adalah nauplii Artemia. Ketergantungan akan Artemia sangat dirasakan oleh para pembudidaya. Perubahan kualitas dan kenaikan harga Artemia sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan kelangsungan suatu usaha pembenihan. Sebagai contoh pada saat krisis moneter pada tahun 1997, harga satu kaleng artemia dengan bobot 425 g bernilai Rp 600 000,-–Rp 700.000,-. Hal tersebut menyebabkan banyaknya pengusaha hatcheri patin yang berhenti berproduksi atau mengurangi kebutuhan Artemia yang diberikan, sehingga konsekuensinya akan berpengaruh terhadap kualitas dan sintasan larva. Untuk mengurangi ketergantungan akan Artemia pada pemeliharaan larva ikan patin perlu dicari alternatif teknologi pemeliharaan larva tanpa mengurangi kualitas produk benihnya. Secara alami pakan awal ikan patin adalah pakan alami, baik fitoplankton maupun zooplankton. Indonesia yang memiliki iklim tropis merupakan tempat yang subur dengan beranekaragamnya plankton dan benthos. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi pemeliharaan larva ikan patin siam secara outdoor di kolam tanah. BAHAN DAN METODE Pemijahan Induk Patin Pemeliharaan induk ikan patin siam secara intensif dilakukan di kolam percobaan LRPTBPAT Sukamandi. Pakan yang digunakan dalam pemeliharaan induk adalah pakan buatan dengan kandungan protein kasar 28% dengan feeding rate 2%-3%/bobot badan/hari. Induk yang sudah mencapai ukuran atau umur dewasa kelamin diamati perkembangan tingkat kematangan gonadnya, untuk yang jantan (M) dilakukan pengambilan sperma (dengan cara stripping) dan untuk yang betina (F) dilakukan pengambilan telur (dengan cara kanulasi). Dilakukan Induksi stimulasi hormonal induk betina dan jantan ikan patin siam yang matang gonad kemudian dilakukan Stripping (pengurutan) untuk mendapatkan sperma dan telur patin siam. Fertilisasi dilakukan dengan metode basah dengan mengambil telur yang telah dibuahi (difertilisasi), kemudian ditetaskan secara massal. Setelah telur
21
Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ... (Evi Tahapari)
menetas dilakukan pengukuran panjang dan bobot larva. Pemeliharaan larva dilakukan secara outdoor di kolam tanah yang dipupuk. Kolam yang digunakan untuk pemeliharaan larva adalah 3 buah kolam dengan ukuran masing-masing 400 m2/kolam dengan padat tebar larva yang digunakan adalah 100 ekor/m2. Cara Pembuatan Pupuk Fermentasi Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme atau segala macam metabolisme yang (enzim, jasad renik secara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau reaksi kimia lainnya) melakukan perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk akhir (Pujaningsih, 2005). Cara pembuatan fermentasi pupuk organik (kotoran ayam) dalam penelitian ini adalah dengan cara pembuatan larutan aktivator yaitu mencampur ¼ sendok makan gula pasir dan 4 mL larutan probiotik kedalam 300 mL air. Larutan ini digunakan untuk 10 kg bahan, kemudian larutan tersebut dicampurkan dengan pupuk organik dan diaduk secara merata. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam plastik tertutup selama 5 hari. Pemeliharaan Larva di Kolam Larva yang ditebar adalah larva yang telah aktif yakni berumur ± 20 jam setelah menetas (Hung, 2000). Penebaran dilakukan pada malam hari pukul 19.00-20.00, hal ini bertujuan agar larva langsung aktif berenang. Padat penebaran larva 100 ekor/ m2. Sebagai perlakuan adalah 3 jenis pemupukan kolam yang berbeda: A. Pupuk anorganik + organik, B. Pupuk anorganik + organik + probiotik, dan C. Pupuk anorganik + organik yang difermentasi + probiotik. Pupuk organik yang digunakan adalah feses ayam petelur yang sudah dikeringkan. Dosis pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan sebanyak 200 g/m2 dan pupuk anorganik (urea 3 g/m2 dan TSP 1,5 g/m2). Probiotik diberikan dengan dosis 1 cc/m2. Pemberian pupuk dan probiotik di kolam pemeliharaan dilakukan 5 hari sebelum penebaran larva. Persiapan kolam sebelum penebaran larva harus dilakukan, mencakup: Pengeringan, pemberantasan hama dengan saponin dengan dosis 20 mg/L, pengapuran dengan dosis 100 g/m2 dan pemupukan sesuai dengan dosis perlakuan yang digunakan. Pakan buatan dengan kadar protein 40% diberikan mulai hari ke-11 secara ad libitum dengan waktu pemberian 3 kali/hari. Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali selama 40 hari pemeliharaan. Penebaran Larva Untuk mengetahui kelimpahan plankton digunakan metode “Lackey Drop Microtransect Counting” (APHA, 1989) dengan rumus sebagai berikut:
N = n x di mana: N = n = A = B = C = D = E =
A C 1 x x B D E
Jumlah total plankton (ind./L) Jumlah rataan individu per lapang pandang (1/20) Luas gelas penutup(mm2). (22 mm x 22 mm = 484 mm2) Luas satu lapang pandang (mm2) (2,405 mm2) Volume air terkonsentrasi (mL) (25 mL) Volume satu tetes (mL) di bawah gelas penutup (0,05 mL) Volume air yang disaring (L) (5 L)
Sedangkan untuk mengetahui kelimpahan benthos disetiap kolam pemeliharaan digunakan rumus:
X = di mana: X = Xi = N = X = X =
Kelimpahan Jumlah individu ke-i Luas bukaan mulut ekman grab Xi/(20 cm x 20 cm) (cm2) Xi/400 cm2
Xi N
22
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 X X X X
= = = =
Xi/400 cm2 Xi/400 cm2/10.000 (konversi ke m2) Xi * 10.000/400 (onversi m2) Xi * 25 (konversi ke m2)
Untuk mengetahui isi saluran pencernaan ikan dilakukan pembedahan, makanan yang terdapat pada saluran pencernaan ikan uji dianalisis dengan menggunakan metode Index of Preponderence, yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan volumetrik. Pemeriksaan saluran pencernaan ikan menggunakan metode frekuensi kejadian bertujuan untuk mengetahui jenis makanan secara fisik, sedangkan metode volumetrik merupakan metode untuk mengetahui jenis makanan secara kuantitatif. Pengukuran Index of Preponderance ini dilakukan dengan mengambil sampel ikan kemudian dibedah untuk diambil saluran pencernaannya kemudian diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10%. Isi Saluran pencernaan dikeluarkan lalu jenis makanan yang berukuran besar dan kecil dipisahkan. Untuk jenis makanan yang berukuran besar diidentifikasi dan diukur volumenya. Sedangkan makanan yang berukuran kecil diamati di bawah mikroskop. Index of Preponderence dihitung menggunakan rumus (Effendi, 1979):
IP = di mana: Vi Oi ∑(VixOi) IP
= = = =
Vi x Oi x 100% Σ (Vi x Oi)
Persentase volume makanan jenis ke-i Persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i jumlah VixOi dari semua macam makanan Index of Preponderence
Parameter yang diamati meliputi: Pertumbuhan (bobot dan panjang) ikan, sintasan, analisis pakan alami kolam, analisis isi saluran pencernaan ikan, dan analisis kualitas air kolam HASIL DAN BAHASAN Pemupukan, Fermentasi, dan Aplikasi Probiotik Kualitas pupuk dapat ditingkatkan terutama kandungan C-organik dan N-organik dengan cara pengomposan atau fermentasi. Fermentasi pada pupuk melibatkan bahan aktivator yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan organik. Menurut Gaur (1983), aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui 2 cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif dalam menghancurkan bahan organik, cara kedua yaitu meningkatkan kadar N yang merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme. Ada beberapa aktivator (probiotik komersial) yang dapat dipakai untuk meningkatkan kualitas pupuk, salah satu aktivator yang digunakan dalam proses fermentasi ini adalah EM4 (Effective Microorganisms4). EM4 adalah suatu larutan yang terdiri atas kultur campuran mikroba yang bermanfaat dan berfungsi sebagai bioinokulan. Adapun organisme utama yang terkandung dalam kultur EM4 di antaranya: Bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, actinomycetes, dan jamur fermentasi (Hardianto, 2004). Tabel 1. Hasil analisis laboratorium terhadap kotoran ayam sebelum dan sesudah fermentasi Kondisi kotoran ayam Basah Kering Fermentasi Sumber: Fadilah (2004)
Hasil analisis laboratorium (%) Kadar air
N-organik
C-organik
60,35 39,4 34,19
0,947 1,44 1,84
4,45 6,768 9,396
23
Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ... (Evi Tahapari)
Dalam akuakultur, probiotik dianggap menguntungkan karena menghambat kolonisasi intestinum oleh mikroba yang merugikan, produksi senyawa-senyawa antimikroba, serta kompetisi terhadap nutrien dan inang. Probiotik menguntungkan inangnya antara lain karena memperbaiki nutrisi seperti produksi vitamin-vitamin, detoksikasi pangan serta melalui aktivitas enzimatis (Fuller, 1992; Smoragiewicz et al., 1993). Menurut Salminen et al. (1999), probiotik merupakan segala bentuk preparasi sel mikroba (tidak selalu harus hidup) atau komponen sel-sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi kesehatan dan kehidupan inang. Secara dasar ada 3 model kerja probiotik, yaitu: 1. Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikroba atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum. 2. Merubah metabolisme mikrobial dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas enzim. 3. Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar antibodi atau aktivitas makrofag (Irianto, 2003). Pada penelitian ini perlakuan kolam yang diberi aplikasi probiotik (perlakuan B dan C) memberikan keragaan pertumbuhan (panjang dan bobot) yang lebih baik dibanding dengan yang tanpa probiotik (Tabel 2 dan 3). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widanarti (2004) menyatakan larva udang windu yang diberi pakan berupa artemia yang telah diperkaya dengan probiotik (bakteri Vibrio alginolyticus) pertumbuhannya mengalami peningkatan dibandingkan dengan kontrol yang tanpa pengkayaan. Pemeliharaan ikan pada awal kehidupannya secara intensif memiliki masalah berupa komunitas mikroba di lingkungannya, yang dapat menyebabkan mortalitas tinggi dan keragaan hewan yang rendah. Tabel 2. Bobot awal rata-rata dan bobot setiap sampling (g) selama empat puluh (40) hari pemeliharaan di kolam yang dipupuk
Sampling bobot ikan (g)
Perlakuan
Bobot awal (g)
10 hari
20 hari
30 hari
40 hari
A B C
0,0035±0,0 0,0035±0,0 0,0035±0,0
0,01±0,00 0,02±0,00 0,14±0,02
0,04±0,02 0,06±0,02 0,51±0,14
0,10±0,03 0,16±0,05 3,44±0,88
0,27±0,08 0,42±0,12 16,60±10,51
Tabel 3. Panjang awal rata-rata dan panjang setiap sampling (cm) selama empat puluh (40) hari pemeliharaan di kolam yang dipupuk Perlakuan A B C
Panjang awal (cm) 0,39±0,20 0,39±0,20 0,39±0,20
Sampling panjang ikan (cm) 10 hari
20 hari
30 hari
1,21±1,98 1,13±2,61 1,45±3,21
1,97±0,16 2,13±1,78 3,78±0,34
2,42±0,20 2,78±0,29 6,65±0,63
40 hari
Sintasan (%)
3,19±0,31 3,74±0,37 11,49±1,26
4,5 9,7 8,2
Pertambahan Bobot dan Panjang Benih Pertambahan bobot dan panjang tertinggi selama pemeliharaan 40 hari dicapai pada perlakuan C (pupuk anorganik + pupuk organik yang difermentasi + probiotik) sebesar 16,60±10,51 g dan 11,49±1,26 cm kemudian diikuti perlakuan B sebesar 0,42±0,12 g dan 3,74±0,37 cm dan perlakuan A. Sebesar 0,27±0,08 g dan 3,19±0,31 cm. Benih ikan yang dipelihara di kolam perlakuan A dan B sampai dengan umur 20 hari belum terlihat muncul ke permukaan, sedangkan pada kolam perlakuan C benih ikan sudah mulai muncul ke permukaan pada saat benih berumur 15 hari. Terlihat pada saat sampling pertama terdapat perbedaan pertambahan bobot dan panjang yang sangat mencolok antara perlakuan C dengan perlakuan A dan B. Terjadinya perbedaan pertumbuhan pada benih ikan pemeliharaan diduga karena adanya pengaruh kesuburan pakan alami di masingmasing kolam pemeliharaan yang berbeda (Tabel 4, 5, 6, dan 7). Kemudian berdasarkan hasil analisis kelimpahan plankton di kolam pemeliharaan, kolam perlakuan A, B, dan C didominasi oleh fitoplankton dari kelas Chlorophyceae sebanyak 78.468, 119.714, dan
24
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Tabel 4. Kelimpahan fitoplankton di kolam pemeliharaan benih ikan patin siam Kolam pemeliharaan (ind./L)
Kelas dan genus Chlorophyceae
A
Actinastrum sp. Ankisthrodesmus sp. Arthrodesmus sp. Chlorella sp. Coelastrum sp. Cosmarium sp. Crucigenia sp. Dictyosphaerium sp. Eudorina sp. Oocystis sp. Pandorina sp. Pediastrum sp. Penium sp. Radiococcus sp. Scenedesmus sp. Sorastrum sp. Staurastum sp. Tetraedron sp. Volvox sp. Jumlah
Cyanophyceae
11.066 4.024
5.030
7.042 6.036 7.042 10.060
9.054 25.150 8.048 4.024
9.054
12.072 10.060
7.042 24.144
31.186
44.264 31.186
13.078 3.018 14.084 115.690
9.054 41.246 77.462
16.096 72.432
47.282 29.174
127.762
88.528
76.456
0
0
0
8.048
6.036 19.114
9.054
8.048
25.150
9.054
3.018 5.030
21.126 6.036 16.096
5.030
Jumlah
8.048
43.258
5.030
Jumlah fitoplankton
222.326
276.650
206.230
Anabaena sp. Merismopedia sp. Microcystis sp. Oscillatoria sp. Polycystis sp Spirullina sp.
Asterionela sp.
Ceratium sp. Peridinium sp. Mallomonas sp. Jumlah
Euglenaphyceae
18.108
119.714
Jumlah Dinophyceae
C
78.468
Jumlah Bacillariophyceae
B
Euglena sp. Phacus sp. Trachelomonas sp.
25
Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ... (Evi Tahapari) Tabel 5. Kelimpahan zooplankton di kolam pemeliharaan benih ikan patin siam Kelas dan genus Zooplankton Copepoda Cyclops sp.
Kolam pemeliharaan (ind./L) A
B
17.102 Jumlah
Cladocera Bosmina sp. Daphnia sp. Nauplius sp.
17.102
7.042 0
5.030 Jumlah
5.030
C
7.042
13.078 0
13.078
3.018
11.066 10.060 8.048
11.066
11.066 10.060
6.036
6.036
6.036
56.336
Rotifera
Asplanchna sp. Brachionus sp. Filinia sp. Heterocypris sp. Hexarthra sp. Keratella sp. Monommata sp. Rotifera sp. Tricocercha sp. Jumlah
0
Bacteria
Micrococcus sp.
12.072 Jumlah
0
12.072
0
Jumlah zooplankton Jumlah fitoplankton dan zooplankton
22.132 244.458
18.108 294.758
76.456 282.686
115.690, dari kelas Cyanophyceae sebanyak 127.762, 88.528, dan 76.456, dari kelas Dinophyceae sebanyak 8.048, 25.150, dan 9.054, dari kelas Euglenaphyceae sebanyak 8.048, 25.150, dan 9.054 dan kelimpahan zooplankton secara berturut-turut pada perlakuan A, B, dan C didominasi kelas Copepoda sebanyak 17.102, 0, dan 7.042, kelas Cladocera sebanyak 5.030, 0, dan 13.078, kelas rotifera sebanyak 0, 6.036, dan 56.336. Hasil analisis kelimpahan benthos pada masing-masing perlakuan bahwa pada kolam perlakuan A terdapat jenis benthos: Batillaria multiformis sebanyak 17 individu, Campeloma decisium sebanyak 2 individu, Littorina sebanyak 4 individu, dan Tubifex tubifex sebanyak 3 individu, dengan total benthos 26 individu. Kolam perlakuan B: Limnaea auriculata sebanyak 2 individu, dan Terebia granifera sebanyak 52 individu dengan total 54 individu serta pada kolam perlakuan C: Batillaria multiformis sebanyak 7 individu dan Tubifex tubifex sebanyak 16 individu dengan total 23 individu. Larva/benih ikan yang dipelihara di kolam perlakuan C memperlihatkan pertumbuhan (bobot dan panjang) yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan yang dipelihara di kolam perlakuan A dan B. Adanya perbedaan keragaan benih di antara perlakuan tersebut diduga karena kelimpahan zooplankton pada kolam perlakuan C lebih dominan dan dimanfaatkan oleh ikan dibandingkan dengan kolam perlakuan A dan B kelimpahannya lebih sedikit (Tabel 4) dan terlihat dari hasil analisis food
26
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Tabel 6. Food habit (jenis plankton) benih ikan patin siam yang dipelihara di kolam dan nilai Index of Preponderence (IP) Kolam
Jenis ikan patin Kolam A Kolam B Kolam C
IP
Ukuran panjang badan/bobot (cm/g) 2,2/0,091 2,2/0,096 6,7/3,7 Jenis pakan 1 2 3 Fitoplankton (ind.) Chlorophyceae Chlorella sp. Coelastrum sp. Pediastrum sp. Scenedesmus sp.
100,00 43,61 0,93 0,66
12,00 47,11 0,33 0,47
Cyanophyceae
Merismopedia sp. Microcystis sp. Oscillatoria sp.
0,10 20,44 6,28
0,04 22,07 6,78 0,00
0,19
0,03
Euglena sp. Phacus sp.
0,46 4,46
0,17 4,01
Zooplankton Rotifera Brachionus sp.
3,70
2,67
Bacillariophyceae Dinophyceae Peridinium sp. Euglenophyceae
Crustaceae 0,00
Cladocera Copepoda Cyclops sp.
1,11
0,00
Ostracoda Larva serangga Detritus Total
0,20
100,00
15,00 3,07
2,70 1,41
100,00
100
habit benih pada perlakuan C jauh lebih banyak memanfaatkan pakan alami yang ada di kolam (plankton dan benthos) dibandingkan dengan benih perlakuan lainnya. Selama 40 hari pemeliharaan benih ikan patin perlakuan C telah mencapai ukuran bobot 16,60±10,51 g dengan panjang total 11,49±1,26 cm, sedangkan benih perlakuan A bobot 0,27±0,08 g dan panjang 3,19±0,31 cm dan benih perlakuan B. bobot 0,42±0,12 g, panjang 3,74±0,37 cm Hasil penelitian yang dilakukan Tahapari et al. (2008) bahwa patin siam yang dipelihara selama 4 minggu pemeliharaan dengan bobot awal benih 0,37 g dan panjang 2-3 cm (umur benih 21 hari) menghasilkan bobot benih sebesar 13,50±1,20 g dengan panjang benih 7,40±0,18 cm, jika dihitung total umur benih ikan mulai dari menetas menjadi 49 hari. Kemudian penelitian yang dilaporkan Sularto et al. (2008) bahwa pemeliharaan larva patin siam di kolam selama 30 hari menghasilkan
27
Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ... (Evi Tahapari)
Tabel 7. Kelimpahan benthos pada kolam pemeliharaan ikan 2
Spesies
Batillaria multiformis Campeloma decisium Littorina Limnaea auriculata Tubifex tubifex Terebia granifera
Famili Potamididae Viviparidae Lymnaeidae Tubificidae Pleuroceridae
Total Kelimpahan untuk 1x pengambilan (ind./m2 ) Substrat dasar kolam
Kolam pemeliharaan (ind./cm ) A
B
17 2 4
C 7
2 3
16 52
26
54
23
650 1350 575 Lumpur hitam halus, Lumpur kasar, Lumpur hitam halus, pasir halus cadas akar-akaran lapuk
pertambahan panjang 4,42±1,12 cm dan pertambahan bobot 2,97±0,76 g. Pada penelitian ini umur benih ikan sampai akhir penelitian menjadi 40 hari dan ternyata bobot dan panjang benih ikan masih jauh lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan sebelumnya (Tabel 2). Hasil analisis kotoran ayam (Tabel 1) memperlihatkan bahwa kotoran ayam hasil fermentasi menunjukkan kandungan Norganik dan C-Organik meningkat ± 100% dibanding kandungan N-organik dan C-Organik sebelum difermentasi. Meningkatnya kandungan N-organik dan C-Organik dalam pupuk tersebut diduga dapat meningkatkan kesuburan pakan alami air pemeliharaan yang merupakan sebagai pakan awal larva/ benih patin. Sehingga hal ini berakibat pada meningkatnya pertumbuhan ikan. Hasil di atas memberikan gambaran bahwa pemeliharaan larva ikan patin siam yang dipelihara secara outdoor di kolam yang dipupuk dengan kotoran ayam yang difermentasi dapat mempercepat pertumbuhan dan mempersingkat masa pemeliharaan. Keuntungan lain dari pemeliharan larva di kolam ini dapat mengatasi ketergantungan terhadap artemia yang relatif mahal harganya. Pakan Alami Pakan alami merupakan pakan awal yang utama bagi larva ikan patin siam. Larva ikan patin siam akan memakan pakan alami sesuai dengan bukaan mulutnya. Sintasan Benih Pemeliharan larva selama 40 hari menghasikan sintasan antara 4,5%-9,7%. Hasil ini jauh lebih rendah dibanding dengan yang dilaporkan oleh Sularto et al. (2008) sintasan mencapai 15,4%-31,2% pada pemeliharaan larva patin siam di kolam selama pemeliharaan 30 hari. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian ditemukan adanya beberapa ekor ikan gabus, betok, nila, sepat, udang liar, dan predator jenis serangga, Nototekna (bahasa sunda “bebeasan”) yang merupakan pemangsa/ pengganggu dan sekaligus dapat menurunkan sintasan larva/benih ikan peliharaan. Menurut Trong et al. (2002), kematian larva yang dipelihara disebabkan oleh kanibalisme, infeksi bakteri (Aeromonas hydrophilla), dan tingkat kepadatan penebaran yang terlalu tinggi. Penelitian yang dilaporkan oleh Royce (1973), bahwa mortalitas dipengaruhi oleh faktor dalam yang meliputi umur dan daya penyesuaian diri terhadap lingkungan, sedangkan faktor luar meliputi kondisi abiotik, kompetisi antar spesies, tingginya jumlah populasi dalam ruang gerak yang sama, predator, parasit, kurangnya makanan yang tersedia, serta akibat penanganan yang kurang baik. Berdasarkan hasil ini masih ada peluang untuk meningkatkan sintasan benih dengan cara manajemen persiapan dan pemeliharaan yang lebih baik, dan perlu diupayakan agar terhindar masuknya hama/predator ke kolam pemeliharaan. (NRC, 1983) menyatakan bahwa sintasan ikan terutama dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia air media dan kualitas pakan. Nilai peubah fisika-kimia air media selama penelitian masih berada pada
28
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
kisaran yang baik bagi sintasan ikan dan pertumbuhan benih ikan, kecuali kandungan oksigen terlarut dalam air pada saat pagi hari terlihat rendah (Tabel 8) walaupun kemudian naik kembali menuju siang hari. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap nilai sintasan yang rendah pada penelitian ini. Dari hasil analisis parameter kualitas air selama penelitian menunjukkan, bahwa suhu air, pH air, karbondioksida, dan amoniak cukup ideal dan masih dalam batas-batas toleransi untuk mendukung pertumbuhan secara optimum. Hal ini sesuai dengan berbagai pendapat mengenai dukungan kualitas air untuk lingkungan budidaya terhadap pertumbuhan ikan. Wardoyo (1981) menyatakan bahwa untuk dapat mengelola sumberdaya perikanan dengan baik, maka salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah kualitas airnya. Tabel 8. Analisis kualitas air pemeliharaan larva/benih di kolam Parameter Suhu (°C) DO (mg/L) pH Konduktivitas (us)
Turbidity Nitrat (mg/L) Nitrit (mg/L) Amonia (mg/L)
Sebelum pemupupukan 28,2-32,6 0,30-6,08 8,59-8,61 0,538-0,395 5,0-10,0 0,7-1,7 0,04-0,08 0,02-0,05
Setelah pemupukan Kolam A
Kolam B
27,7-33,1 27,8-32,60 0,81-4,73 0,93-6,08 8,20-8,90 8,15-8,97 0,327-0,336 0,323-0,345 22-40 19-42 5,529-7,529 2,353-13,471 0,177-0,209 0,1725-0,272 0,075-0,121 0,0704-0,1588
Kolam C 27,3-32,4 0,46-8,03 7,8-9,15 0,395-0,484 24-39 6,765-16,382 0,212-0,4073 0,123-0,209
Pemanenan Benih Pemanenan benih dilakukan setelah benih berumur 40 hari. Pemanenan dilakukan dengan menjaring menggunakan jaring tangkap (waring hitam) dengan ukuran mata jaring 0,5 cm secara hati-hati agar ikan tidak stres dan tidak rusak. Benih ikan segera dipindahkan ke dalam wadah penampungan yang telah disediakan. KESIMPULAN 1. Pemeliharaan larva ikan patin siam umur 1 (satu) hari dapat dilakukan secara outdoor di kolam yang dipupuk dengan tingkat sintasan (SR) 4,5%-9,7 %. 2. Pertumbuhan tertinggi selama 40 hari pemeliharaan mencapai ukuran bobot 16,60±10,51 g dan panjang 11,49±1,26 cm. 3. Pemeliharaan larva secara outdoor dapat menekan biaya produksi yakni dapat menghilangkan ketergantungan Artemia dan cacing sutra, sehingga dapat menekan biaya produksi. 4. Umur larva 20–24 jam setelah menetas cocok untuk dtebarkan di kolam. Saran 1. Pemeliharaan larva ikan patin secara outdoor sebaiknya dilakukan pada daerah perkolaman yang bebas dari hama/predator yang dapat menurunkan sintasan dan pertumbuhan ikan. 2. Persiapan kolam pemeliharaan larva (pengeringan, pengangkatan lumpur, pemberantasan hama/ predator, pengapuran, dan pemupukan) merupakan kegiatan yang harus dilakukan sebelum penebaran larva dilakukan. DAFTAR ACUAN APHA. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and wastewater. 17th Edition, American Public Health Association, Washington. D.C. Ariyanto, D., Tahapari, E., & Gunadi, B. 2008. Optimasi Padat Penebaran Larva Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) Pada Pemeliharaan Sistem Intensif. J. Perikanan. J. of Fisheries Sciences. ISSN: 0853-
29
Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ... (Evi Tahapari)
6384. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, X(2): 158-166. Dirjen Perikanan Budidaya. 2005. Kebijakan dan program prioritas tahun 2006 pembangunan perikanan budidaya. Rakernas Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 25-27 Mei 2005, 31 hlm. Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor, 112 pp. Fadillah, R. 2004. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra (Limnodrilus) pada Media yang Dipupuk Kotoran Ayam Hasil Fermentasi. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, hlm. 40. Fuller, R. 1992. Histiry and development of probiotics. In: Fuller, R. (Ed.). Probiotic: The Scientific Basis. Chapman & Hall. London, p. 1-8. Gaur, A.C. 1983. A. Manual of Rural Composting. Food and Agricultural Organization, Rome. Hadiah, S. 2003. Kualitas kompos dari kotoran domba dan sisa pakan dengan menggunakan tiga macam aktivator. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, hlm. 51. Hardianto, R. 2004. Petunjuk Teknis Rakitan Teknologi BPTP Karangploso. http:/www.tanindo.co./ abdi8/hal3402.htm. [2 Agustus 2004] Hardjamulia, A., Djajadiredja, R., Atmawinata, S., & Idris, D. 1981. Pembenihan ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi) dengan Suntikan Ekstrak Kelenjar Hipofisa Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Bulletin Penelitian Perikanan Darat, 1(2): 183-190. Hung, V.P. 2000. Report on status in seed production, growing-out and advance technologies applied in culturing of basa fish P. bocourti, In: National inception workshop of aquaculture of indigenous fish species in the Mekong basin, Ho Chi Minh City, Vietnam. Pujaningsih, R.I. 2005. Teknologi Fermentasi dan Peningkatan Kualitas Pakan. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNDIP, 38 hlm. Royce, W.P. 1973. Introduction to The Fisheries Sciences. Academic Press. New York, 315 pp. Salminen, S., Ouwehand, A., Benno, Y., & Lee, Y.K. 1999. Probiotics: How should be defined?. Trends in food Science and Technology, 10: 107-110. Sularto, Hafsaridewi, R., & Tahapari, E. 2008. Pemeliharaan Larva Ikan Patin ( Pangasionodon hypophthalmus) Secara Outdoor di Kolam Tanah. Prosiding Teknologi Perikanan Budidaya. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta, hlm. 67-68. Smoragiewiez, W., Bielecka, M., Babuchowski, A., Boutard, A., & Dubeau, H. 1993. Les Probiotiques. Canadian J. of Microbiology, 39: 1089-1095. Tahapari, E., Ariyanto, D., & Gunadi, B. 2008. Optimasi Pemberian Pakan Buatan Pada Pendederan Ikan Patin (Pangasianodon hypophthalmus) di Kolam Yang Dipupuk. J. Perikanan. J. of Fisheries Sciences, ISSN: 0853-6384., Februari 2008. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, X(1): 45-52. Trong, Quoc, T., Van Hao, N., & Griffiths, D. 2002. Status of Pangasiid aquaculture in Vietnam. MRC Technical Paper No. 2, Mekong River Commission, Phnom Penh, 16 pp. ISSN: 1683-1489 Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria kualitas air untuk keperluan pertanian dan perikanan. Training analisa dampak lingkungan. PPLM – UNDP PsiPB. Bogor, 41 hlm. Widanarti. 2004. Penapisan Bakteri probiotik untuk Biokontrol Vibriosis pada Larva Udang Windu. Konstruksi Penanda Molekuler dan Esei Pelekatan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, 268 hlm.