BELAJAR DARI DĀTU ŚRĪWIJAYA: BANGKITLAH KEMBALI BANGSA BAHARI Bambang Budi Utomo
Pengantar Śrīwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari pelayaran dan perdagangan. Sebagian besar para pakar menempatkan lokasi wilayah kerajaan atau kadātuan2 ini di Pulau Sumatera. Dalam hal pelayaran dan perdagangan, tidak lepas kaitannya dengan pelabuhan. Karena itulah para pakar menduga
bahwa pusat pemerintahan
negara ini harus terletak di tepi pantai pada sebuah teluk yang terlindung. Tanpa memperdebatkan kembali di mana lokasinya, dalam makalah ini saya menempatkan Śrīwijaya pada awal berdirinya (16 Juni 682 Masehi) di Palembang. Sebagai negara yang hidup dari perdagangan tentu tidak lepas dari sumberdaya alam yang dapat menjadi komoditi perdagangan. Sumatera dikenal kaya akan sumberdaya alam yang merupakan komoditi perdagangan berupa hasil hutan, hasil tambang, dan hasil bumi dan banyak digemari oleh bangsa asing, seperti Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Mereka datang ke
Makalah yang disampaikan pada Seminar Satu Abad Kebangkitan Nasional pada tanggal 2729 Mei 2008 di Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta Pusat. Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional 2 Bentuk institusi pemerintahan pada masa lampau umumnya berbentuk kerajaan. Untuk Śrīwijaya bentuknya adalah Kadātuan yang berarti “kumpulan dari para dātu”. Penyebutan bentuk institusi pemerintahan ini untuk pertama kalinya disebutkan di dalam Prasasti Kota Kapur °mamrakşa yam kadātuan Śrīwijaya° yang berarti “yang melindungi Kadātuan Śrīwijaya” [Cœdès, George, 1989, “Prasasti berbahasa Melayu Kerajaan Sriwijaya”, dalam G. Cœdès & L-Ch. Damais (ed.) Kedatuan Sriwijaya Penelitian tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 63-64.]
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
60
Swarnnabhūmi untuk membeli sumberdaya alam yang banyak tersedia, dan Śrīwijaya menjadi makmur. Keberadaan Śrīwijaya di Sumatera dengan sumberdaya alamnya yang melimpah tentu saja menjadikan kerajaan ini kuat. Pada kurun waktu abad ke8-12 Masehi kadātuan ini menguasai Selat Melaka yang pada waktu itu merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan yang ramai. Boleh jadi Śrīwijaya menjadi penguasa di perairan belahan barat Nusantara. Dengan cara mengkoordinasi kelompok-kelompok masyarakat yang sekarang dikenal sebagai Suku Laut, Śrīwijaya berhasil membentuk angkatan laut yang kuat. Meskipun pada awal berdirinya Śrīwijaya “berlumuran darah”, namun setelah itu Śrīwijaya dikenal sebagai sebuah kadātuan yang menjadi pusat pengajaran agama Buddha, di mana ajaran agama ini penuh dengan perilaku welas asih terhadap sesama mahluk hidup. Hal ini mengindikasikan bahwa di kadātuan Śrīwijaya kelompok masyarakat atau perorangan yang beragama lain dapat hidup berdampingan. 1. Politik dan Ekonomi di Asia Tenggara Data tertulis baik yang berupa prasasti dan berita asing, mengenai keadaan politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara daratan dan kepulauan pada sekitar pertengahan millenium pertama masehi yang sampai kepada kita sangat sedikit. Di Nusantara pada pertengahan millenium pertama masehi, tercatat ada dua kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India. Kedua kerajaan itu adalah Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dan Kerajaan Tarūmanāgara di Jawa Barat. Kedua kerajaan ini meninggalkan bukti tertulis berupa prasasti. Adanya suatu institusi yang berbentuk kerajaan, merupakan suatu bukti bahwa di tempat tersebut masyarakat telah mengenal peradaban dan telah mengadakan hubungan dengan kerajaan lain yang tempatnya cukup jauh. Di Kalimantan Timur dikenal Kerajaan Kutai yang rajanya bernama Kunduņga. Raja yang memakai nama “lokal” ini berputra Aśwawarman yang dikatakan
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
61
seperti Anśumān (=dewa matahari), dan Aśwawarman sendiri berputra tiga orang. Seorang di antaranya adalah Mūlawarmman. Beberapa pakar beranggapan bahwa pada masa pemerintahan Kunduņga, kerajaan ini telah mengadakan hubungan agama dengan kerajaan di India. Nama-nama anak dari Kunduņga serta nama dewa yang disebutkan dalam prasastinya mengindikasikan telah masuknya unsur budaya India ke Kerajaan Kutai. Prasasti-prasasti yang dipahatkan pada tujuh buah yūpa (=tugu batu) berbahasa Sansekerta dan beraksara Pallawa serta tidak menyebutkan pertanggalan. Berdasarkan bentuk hurufnya, diduga prasasti ini berasal dari sekitar abad ke-5 Masehi.3 Berita Tiongkok yang menyebutkan Kerajaan Kutai dapat dikatakan tidak ada. Demikian juga mengenai jalur pelayaran dan perdagangan. Peta rekonstruksi jalur perdagangan dan pelayaran yang dibuat oleh Wolters berdasarkan berita Tiongkok, tidak menunjukkan adanya kontak dagang dengan Kalimantan Timur. Daerah Kalimantan Timur pada sekitar tahun 430-610 Masehi hanya dikunjungi oleh para pelaut/saudagar lokal yang berasal dari P’o-li (Jawa Timur). 4 Pengaruh budaya asing, dalam hal ini budaya India mungkin hanya terdapat di kalangan terbatas, misalnya kalangan kerajaan dan pendeta (Brahmana). Ramainya lalu-lintas perdagangan dan pelayaran di Asia Tenggara daratan dan kepulauan ternyata hanya terjadi di belahan barat Nusantara yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Kalimantan Barat. Dengan Kalimantan Barat, berita Tiongkok menyebutkan adanya perdagangan dan pelayaran lokal dengan Kerajaan Chin-li-p’i-shih (Wijayapura), tidak langsung berhubungan dengan Tiongkok. 5 Pelayaran dan perdagangan utama dilakukan dari Kanton – Śrīwijaya – Kedah – India, sedangkan pelayaran/perdagangan menengah dilakukan pada jalur Śrīwijaya – Wijayapura; Śrīwijaya – Ho-lo-tan; Ho-lo-tan – Po-li (Lihat Peta Jalur Pelayaran tahun 695).
Poerbatjaraka, R. Ng., 1952, Riwajat Indonesia I. Djakarta: Pembangunan, hlm. 3 Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, 5 Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 174-176 3
4
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
62
Di Pulau Sumatera, sebelum kelahiran Śrīwijaya, menurut berita Tiongkok terdapat Kerajaan Kan-da-li atau Kan-to-li (Kuntala) yang letaknya di sekitar Jambi. Kerajaan ini pada sekitar tahun 441 hingga terakhir tahun 520 Masehi telah mengirim utusan ke Tiongkok. Setelah tahun 520 kerajaan tersebut tidak lagi mengirim utusan ke Tiongkok. Sampai sejauh ini belum ada data tertulis lain yang menguraikan hubungan antara kerajaan ini dengan Tiongkok. Kerajaan ini terletak di salah satu pulau di Laut Selatan. Adat kebiasaannya serupa dengan adat kebiasaan Kamboja dan Champa. Kerajaan ini menghasilkan bahan pakaian berbunga, katun, dan pinang yang bermutu tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan kerajaan lain. Pada masa pemerintahan Kaisar Hsiau-wu (454-464 Masehi), raja dari kerajaan Kan-to-li, Sa-pa-la-na-linda mengirimkan seorang pejabat tinggi yang bernama Ta-ru-da sambil membawa upeti berupa barang-barang emas dan perak untuk dipersembahkan kepada kaisar Tiongkok.6 Sementara itu di Jawa Barat hadir sebuah kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India, yaitu Kerajaan Tarūmanāgara dengan rajanya Pūrnnawarman. Berdasarkan prasasti tinggalannya, diketahui bahwa kerajaan Tarūma sebagian masyarakatnya menganut agama Hindu Waisnawa. Berita Tiongkok yang ditulis oleh Fa-hien menyebutkan bahwa pada tahun 414 Masehi dalam pelayarannya kembali dari India ia terdampar di Jawa. Ia terpaksa tinggal di situ sambil menunggu angin baik untuk melanjutkan perjalanannya ke Tiongkok. Fa-hien hanya mencatat bahwa di Jawa hanya sedikit umat Buddha.7 Berita lain menyebut negeri To-lo-mo (Tarūma) yang dalam tahun 528 dan 535 Masehi, dan di antara tahun 666 dan 669 Masehi mengirimkan utusan ke negeri Tiongkok. Di Asia Tenggara daratan pada sekitar abad ke-7 Masehi terdapat tiga kerajaan besar, yaitu Lin-yi (Vietnam), Chen-la (Kamboja), dan Dwārawatī Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malay Archipelago Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, hlm. 60 7 Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malay Archipelago Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, hlm. 6 6
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
63
(Myanmar). Kerajaan-kerajaan ini mempunyai hubungan dagang dengan Tiongkok dan India. Di Chen-la (Kamboja) yang memerintah pada saat itu adalah
Jayawarman
I
(650-681
Masehi). Dari
prasasti-prasasti
yang
dikeluarkannya, diketahui bahwa Jayawarman I adalah seorang raja yang ahli dalam peperangan. Sumber Tiongkok menyebutkan bahwa antara tahun 650 dan 656 Masehi Chen-la menduduki Laos utara dan Laos tengah. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Chen-la diketahui menguasai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan dan perairan Asia Tenggara. Kota pelabuhan Chen-la yang banyak disinggahi kapal-kapal dari berbagai penjuru pada waktu itu adalah Oc-eo. Jayawarman I berusaha merebut hegemoni perdagangan di Asia Tenggara, tetapi usahanya tidak tercapai karena meninggal pada tahun 681. Sebaliknya, sepeninggal Jayawarman I keadaan politik dan ekonomi Kerajaan Chen-la merosot tajam.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
64
Peta Jalur Pelayaran tahun 695 menunjukan jalur pelayaran utama yang menghubungkan Kanton – Śrīwijaya dan Śrīwijaya – Kedah - India (garis .........) serta jalur pelayaran lokal yang menyeberang selat dan teluk (garis _____ ) (Wolters 1974, Map 3)
Di sebelah timur Chen-la, di Semenanjung Indo China, sejak sekitar abad ke-3 Masehi telah berdiri Kerajaan Lin-yi yang dikemudian hari berkembang menjadi
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
65
Kerajaan Champa. Pada tahun 572 Masehi kerajaan ini diperintah oleh Śambhuwarman. Pada masa pemerintahannya, terjadi usaha memerdekakan diri dari kekuasaan Tiongkok. Usahanya tidak berhasil, bahkan ibukota Champa
diserbu
dan
diduduki
Tiongkok.
Akibatnya
Champa
harus
mengirimkan utusan dan upeti ke Tiongkok sampai tahun 628 Masehi. Sementara itu ia menjalin hubungan persahabatan dengan Chen-la yang pada waktu itu diperintah oleh Mahendrawarman. Buah dari hubungan persahabatan ini, Champa dapat memegang hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan.8 Hegemoni pelayaran dan perdagangan di Laut Tiongkok Selatan berlangsung hingga
tahun
767
Masehi.
Ketika
itu
Champa
diperintah
oleh
Prthiwindrawarman. Menurut tradisi Sejarah Vietnam, pada tahun 767 Masehi Champa diserbu oleh penyerang-penyerang dari K’un-lun dan Da-ba atau Chőpo (Jawa).9 Serangan terakhir yang cukup menghancurkan terjadi tahun 787 Masehi, sebagaimana dituliskan pada Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman.10 Di daerah sekitar Tanah Genting Kra (Myanmar dan Thailand), pada sekitar abad ke-6-7 Masehi orang Mon mendirikan kerajaan Dwārawati yang di dalam berita Tiongkok disebut T’o-lo-po-ti. Pada mulanya kerajaan ini adalah kerajaan vasal dari Kerajaan Funan (Kamboja). Ketika keadaan Kamboja sedang lemah, Kerajaan Dwārawati melepaskan diri dari kekuasaan Kamboja. Karena letaknya yang strategis di daerah Tanah Genting Kra yang di sebelah barat berbatasan dengan Selat Melaka, dan di sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bandon, maka kerajaan ini menduduki posisi penting bagi jalur-jalur perekonomian.
Hall, D.G.E., 1960, History of Southeast Asia. London: Macmillan & Co Ltd., hlm. 159 Cœdès, G., 1970, The Making of Southeast Asia Trans. From the French: Les peuples de la peninsule Indochinoise by H.W. Wright, Paris, hlm. 78 10 Majumdar, R.C., 1933, “Les rois Sailendra de Suvarnadvipa”, dalam BEFEO 33: hlm. 121-141. 8 9
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
66
2. Lahirnya Śrīwijaya Tinggalan budaya masa lampau (prasasti, arca batu dan logam, dan bata dalam ukuran besar) yang ditemukan di daerah Palembang oleh beberapa sarjana dikaitkan dengan tinggalan masa Śrīwijaya, bahkan di antaranya beranggapan bahwa pusat Kadātuan Śrīwijaya terletak di Palembang. Sarjana-sarjana yang beranggapan demikian, misalnya Samuel Beal, 11 Cœdès, 12 Yamin,
13
Sartono, 14 Wolters,15 dan Slametmulyana. 16 Pemikiran
bahwa Śrīwijaya awal berlokasi di Palembang didasarkan atas penemuan Prasasti Kedukan Bukit di tepi Sungai Kedukan, Palembang. Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang berangka tahun yang ditemukan di Indonesia. Bahkan dalam prasasti ini terdapat tiga pertanggalan dalam satu angka tahun 682 Masehi. Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti Śrīwijaya I, dan sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor D.146. Berikut ini adalah terjemahan Prasasti Kedukan Bukit setelah diinterpretasikan kembali —terutama pada unsur pertanggalan baris ke-8— oleh de Casparis.17 dan Boechari.18
Beal, S., 1883-1886, Some remarks respecting a place called Shi-li-fo-tsai frequently named in the works of the Chinese Buddhist pilgrim I-tsing, c. 672. Livre des merveilles d l’Inde atc., trans. by Marcel Devic texte arabe et notes by P.A. van der Lith. Leiden, hlm. 251-253. 12 Cœdès, George, 1989, “Kerajaan Sriwijaya”, dalam G. Cœdès & L-Ch Damais (ed.) Kedatuan Sriwijaya; Penelitian tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 1-46. 13 Yamin, Mohamad, 1958, “Penyelidikan sejarah tentang negara Sriwijaya dan Rajakula Syailendra dalam kerangka kesatuan ketatanegaraan Indonesia”, dalam Laporan KIPN I, 5D. Djakarta: Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, hlm. 129-241. 14 Sartono, 1979, “Pusat-pusat Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Interpretasi Paleogeografi”, dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hlm. 43-73. 15 Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 335. 16 Slametmulyana, 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Idayu 17 Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Bandung: Masa Baru 18 Boechari, “Harijadi kota Palembang berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit”. Makalah dalam Seminar Harijadi Kota Palembang yang ke-1307. Palembang, 17 Juni 1989. 11
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
67
1. Selamat! Tahun Śaka telah lewat 604, pada hari kesebelas 2. paro-terang bulan Waiśākha Dapunta Hiyaŋ naik di 3. perahu "mengambil siddhayātra". Pada hari ketujuh paro-terang bertolak dari 4. bulan Jyestha Dapunta Hiyaŋ Mināńa 5. sambil membawa dua laksa tentara dengan perbekalan 6. sebanyak dua ratus (peti) berjalan dengan perahu dan yang berjalan kaki sebanyak seribu 7. tiga ratus dua belas datang di Mukha --p8. dengan sukacita. Pada hari ke lima paro-terang bulan Āsādha 9. dengan cepat dan penuh kegembiraan datang membuat wanua 10. Śrīwijaya menang, perjalanan berhasil dan menjadi makmur senantiasa Boechari, yang pada mulanya membaca mukha upaŋ sebagai mukha –p- dan melokalisasikannya di daerah Batanghari, 19 kemudian melokalisasikannya di daerah Delta Upang sekarang. 20 Di daerah itu ada sebuah kampung yang bernama Upang yang letaknya sekitar 45 km ke arah timur dari kota Palembang. Menurut peta kuna nama Upang telah ada.
21
Berdasarkan
pembacaan dan tempat ditemukan Prasasti Kedukan Bukit Boechari menduga bahwa wanua (=perkampungan) Śrīwijaya terletak di kota Palembang sekarang. Berdasarkan telaah tersebut jelas bahwa wanua Śrīwijaya yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit berlokasi di daerah Palembang sekarang. Secara garis besar Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tanggal 16 Juni 682 Masehi berisi tentang keberhasilan perjalanan Dapunta Hiyaŋ .22 Ceritera tentang perjalanan ini kemudian diabadikan di dalam prasasti tersebut. Ini berarti bahwa prasasti ini dikeluarkan setelah perjalanan itu selesai dilakukan, dan diperkirakan setelah Dapunta Hiyaŋ tiba kembali di pusat
Boechari, 1986, “New Investigations on the Kedukan Bukit Inscription”, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 11. 20 Boechari, “Harijadi kota Palembang berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit”. Makalah dalam Seminar Harijadi Kota Palembang yang ke-1307. Palembang, 17 Juni 1989. 21 Obdeyn, V., 1942, ”De Oude zeehandelsweg door de Straat van Melaka in verband met de geomorfologie der Selat-eilanden”, dalam TAG 56, Peta 6 22 Ronkel, Ph. S. van, 1924, “A Preliminary Note Concerning Two Old Inscriptions in Palembang, dalam Acta Orientalia 2: 12-21, 19
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
68
kadātuan-nya. Jika demikian, besar kemungkinan prasasti itu dibuat di ibukota kadātuan-nya. Boechari mengajukan suatu interpretasi sehubungan dengan isi Prasasti Kedukan Bukit dan fragmen prasasti D.161. Kedua prasasti ini saling melengkapi. Menurut Boechari, fragmen prasasti No. D.161 merupakan fragmen dari sebuah prasasti yang memuat naskah yang sama dengan Prasasti Kedukan Bukit, ditambah dengan keterangan tentang sebuah wihara.
23
Selanjutnya dikatakan bahwa dalam memperingati perjalanan
Dapunta Hiyaŋ dan pembangunan wanua itu, orang mula-mula menulis pada sebuah batu kali yang diratakan sedikit, yaitu pada Prasasti Kedukan Bukit (No. D.146) dan setelah pembangunan wanua selesai dan ditambah wihara untuk para bhiksu, orang kemudian menuliskan kembali apa yang telah ditulis pada Prasasti Kedukan Bukit dengan tambahan tentang wihara itu pada batu yang dipahat dan diratakan dengan baik (No. D.161). Dengan demikian, seharusnya ada sebuah prasasti lain yang pecahannya bernomor D.161 yang mungkin bentuk fisiknya lebih bagus dan isinya lebih lengkap daripada isi Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti lain yang menguatkan dugaan bahwa Palembang merupakan pusat Kadātuan Śrīwijaya adalah Prasasti Talang Tuo dan Prasasti Telaga Batu. Prasasti Talang Tuo berisi tentang pembangunan Taman Śrīksetra atas perintah Dapunta Hiyaŋ Śrī Jayanāśa pada tanggal 23 Maret 684 Masehi. Logikanya, taman yang dibangun oleh Dapunta Hiyaŋ itu adalah taman kerajaan dan seharusnya ditempatkan dekat pusat kadātuan-nya. Prasasti Telaga Batu, seperti halnya prasasti-prasasti lain yang ditemukan di luar Palembang (Prasasti Karangberahi dari Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Pulau Bangka, serta Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk dari Lampung) adalah prasasti persumpahan. Kalau di dalam prasasti lain dari luar Palembang isinya hanya persumpahan, tanpa menyebutkan pejabat-pejabat
23
Boechari, “Harijadi kota Palembang berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit”. Makalah dalam Seminar Harijadi Kota Palembang yang ke-1307. Palembang, 17 Juni 1989.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
69
dan pegawai kadātuan, maka di dalam Prasasti Telaga Batu disebutkan namanama jabatan dan pegawai pemerintah dalam struktur birokrasi Kadātuan Śrīwijaya. Pejabat-pejabat dan pegawai pemerintah inilah yang disumpah oleh Dātu Śrīwijaya dengan tujuan agar tidak melakukan pemberontakan. Sudah sepantasnya prasasti ini ditempatkan di pusat pemerintahan, karena di pusat itulah tinggal para pejabat dan pegawai kadātuan. Tindakan ini dimungkinkan agar mereka itu mudah dikontrol oleh penguasa kadātuan.24 Bukti-bukti arkeologi banyak ditemukan di situs-situs yang ada di daerah aliran sungai Musi, mulai dari daerah hulu sampai hilir. Beberapa situs yang ditemukan di sepanjang daerah aliran sungai itu mempunyai indikator pertanggalan dari sekitar abad ke-8--10 Masehi.25 Di Kota Palembang benda tinggalan budaya masa Śrīwijaya banyak ditemukan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Meskipun demikian, tinggalan budaya yang berupa monumen masa Śrīwijaya di Palembang tidak banyak ditemukan. Kebudayaan merupakan usaha manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan alam, dan untuk menghadapi tantangan-tantangan yang dialaminya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok seperti pencarian makanan, perlindungan dari cuaca dan sebagainya. Sekelompok masyarakat agraris akan mencari jenis tanah yang baik bagi pertanian serta cenderung memilih tempat dekat air (sungai), dan masyarakat saudagar akan memilih lokasi yang Tindakan serupa dilakukan juga pada masa yang kemudian di pusat kerajaan Majapahit (abad ke-14-15 Masehi). Dalam Kakawin Nāgarakĕrtāgama antara lain disebutkan bahwa para pembesar kerajaan termasuk juga para pendeta dari berbagai agama dan alirannya tinggal di sekeliling keraton raja. 25 Dari Situs Bingin, di hulu Musi, ditemukan sebuah arca Buddha yang dibuat dari batu andesit tampaknya belum selesai dikerjakan. Menurut Satyawati Suleiman, arca Buddha ini termasuk arca Hināyana yang dibuat di tempat, dan mungkin telah ada ketika I-tsing bermukim di Śrīwijaya. Dari tempat yang sama ditemukan juga sebuah arca Lokeśwara yang dibuat dari batu andesit. Di bagian belakang (punggung) terdapat satu baris prasasti yang ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno yang berbunyi //daŋ ācāryya syuta//. Menurut Satyawati Suleiman, arca ini adalah arca Mahāyana yang dibuat setelah keluarga Śailendra bertahta di Jawa pada sekitar abad ke-7-9 Masehi (Suleiman, Satyawati, 1983, “Artinya penemuan baru arca-arca klasik di Sumatera untuk penelitian Arkeologi Klasik”, dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 201-221), sedangkan Boechari menduga berasal dari abad ke-8 Masehi (Boechari, 1979, “Report on Research on Srivijaya”. dalam Final Report SPAFA Workshop on Research Project on Srivijaya, Appendix a: 1-7. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit. hlm. 28). Dugaan Boechari didasarkan atas bentuk huruf. 24
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
70
strategis untuk memasarkan barang dagangannya. Dalam hal menentukan lokasi wanua Śrīwijaya, Dapunta Hiyaŋ telah memilih tempat yang strategis, yaitu di daerah sekitar pertemuan Sungai Musi dengan Kramasan dan Ogan. Lokasi wanua Śrīwijaya terletak di meander sebelah utara Sungai Musi, di muka muara Kramasan dan Ogan. Melalui tempat ini dapat diawasi lalu-lintas perdagangan dari dan menuju daerah pedalaman. Berdasarkan hal tersebut manusia telah memanfaatkan kearifan lingkungan yang ada di sekelilingnya. Beberapa waktu kemudian Dapunta Hiyaŋ membangun sebuah taman yang diberi nama Śrīksetra seperti yang ditulis pada Prasasti Talang Tuo (23 Maret 684 Masehi). Taman Śrīksetra yang dibangun oleh Dapunta Hiyaŋ Śrī Jayanāśa ditujukan untuk kesejahteraan semua mahluk. Lokasi taman Śrīksetra diduga berada di daerah sebelah barat kota Palembang, di daerah rawa Putih Kuku, Kecamatan Talang Kelapa. Kota merupakan hasil perkembangan bentuk pemukiman. Mulai dari pemukiman yang sederhana sampai ke pemukiman yang komplek. Suatu bentuk pemukiman dapat disebut kota apabila memiliki kriteria-kriteria tertentu. Namun untuk menentukan kriteria-kriteria itu sangat tidak mudah, sehingga sering menimbulkan perbedaan pendapat. Gordon Childe 26 mengajukan pendapat mengenai beberapa kriteria sebuah kota, yaitu: 1. Ukuran kota lebih luas dan jumlah penduduk lebih padat jika dibandingkan dengan pemukiman sebelumnya; 2. Komposisi dan fungsi penduduk kota sudah berbeda dengan penduduk desa; 3. Produser-produser primer harus membayar pajak pada raja; 4. Adanya monumental public building; 5. Adanya kelas-kelas penguasa (pendeta, pemimpin sipil dan militer, serta pengawal) 6. Telah dikenal tulisan;
26
Childe, V. Gordon, 1979, “The Urban Revolution”, dalam Gregory L. Possehl (ed.), Ancient Cities of the Indus. Durham, North Carolina: Carolina Academic Press, hlm.12-17
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
71
7. Telah dikenal pencatatan (administrasi); 8. Banyak spesialis, antara lain artis, tukang, pengrajin, dan pemahat. 9. Mengenal perdagangan jarak jauh; dan 10. Banyak ahli. Meskipun kriteria-kriteria ini bukan merupakan ketentuan yang berlaku mutlak, akan tetapi apa yang diajukan oleh Gordon Childe ini dapat memberikan gambaran mengenai pengertian kota kuna (awal). Ukuran kota masa awal Śrīwijaya tidak dapat diketahui dengan tepat. Namun, berdasarkan sebaran tinggalan budayanya (prasasti, arca, dan keramik) dapat diperkirakan luas kota Śrīwijaya. Berdasarkan hasil penelitian yang mutakhir, tinggalan budaya masa Śrīwijaya ditemukan mulai dari daerah 1 Ilir di sebelah timur hingga daerah 36 Ilir (Karanganyar) di sebelah barat; mulai dari tepi utara Musi hingga daerah Talang Kelapa di sebelah utara. Sementara itu, di sisi selatan Musi hingga penelitian mutakhir dilakukan, tidak ditemukan indikator yang menunjukkan berasal dari masa Śrīwijaya. Berdasarkan data tersebut, untuk sementara dapat diduga bahwa luas kota Śrīwijaya kira-kira separuh dari kota Palembang sekarang (sekitar 250 kilometer persegi) dan menempati areal sisi utara Sungai Musi. Di dalam Ying-yai Sheng-lan yang ditulis oleh Ma-Huan (1416 Masehi) dari masa Dinasti Ming diceritakan: “Chiu-kang (=Pelabuhan lama), nama kunanya ialah San-fo-ch'i (=Śrīwijaya), nama aslinya ialah Po-lin-pang (=Palembang) berada di bawah kekuasaan Chao-wa (=Jawa). Di sebelah timur berbatasan dengan Chao-wa, di sebelah barat berbatasan dengan Man-la-chia (=Malaysia), di sebelah selatan terdapat gunung-gunung tinggi, di sebelah utara dekat dengan lautan besar. Jika datang kapal-kapal dari berbagai tempat, maka terlebih dahulu sampai di Selat P'eng-chia (=Selat Bangka) kemu-
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
72
dian baru memasuki Tan-kang (mungkin yang dimaksud dengan Sungai Musi). Kemudian para saudagar memasuki sungai dengan menggunakan perahu kecil, dan tibalah mereka di negeri itu. Para saudagar kemudian mengikat perahunya di pantai tepian sungai. Di pantai terdapat banyak pagoda (=candi atau stupa) yang terbuat dari bata” 27 Gambaran berita Tiongkok ini sesuai dengan keadaan di Palembang, apabila kita berasumsi ibukota Kadātuan Śrīwijaya terletak di sebelah barat kota Palembang. Apabila melayari Sungai Musi dari arah muara, maka yang mulamula terlihat adalah Gedingsuro, kemudian menuju ke arah hulu barulah daerah Kedukan Bukit. Berita Tiongkok ini memang tidak cukup relevan untuk melihat gambaran kota Śrīwijaya abad ke-7 Masehi. Pagoda yang dimaksud dalam berita Tiongkok itu adalah komplek percandian Gedingsuro abad ke-14 Masehi. Bekas kota Śrīwijaya di daerah Kedukan Bukit mungkin masih dipakai pada masa yang kemudian, dan gambaran kota Śrīwijaya itu mirip dengan konsep kosmos walaupun pelaksanaannya kurang tepat. Bangunan-bangunan pagoda, seperti yang ditulis oleh Ma-huan, telah diindikasikan dalam potongan prasasti D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu. Berdasarkan petunjuk dari prasasti tersebut, Boechari merekonstruksikan bahwa setelah Dapunta Hiyaŋ membangun wanua orang menuliskan kisah itu dalam Prasasti Kedukan Bukit (D.146), dan setelah pembangunan wanua selesai ditambah dengan wihara untuk para bhiksu orang kemudian menuliskan kisah itu dalam prasasti D.161.28 Daerah Palembang dan sekitarnya merupakan suatu daerah yang mempunyai ekosistem rawa. Sebagai suatu daerah yang berawa-rawa, untuk membuat suatu ibukota kerajaan diperlukan tenaga kerja yang banyak, terutama untuk Oei Soan Nio, 1972, Beberapa Catatan tentang W.P. Groeneveldt: Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 16. 28 Boechari, “Harijadi kota Palembang berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit”. Makalah dalam Seminar Harijadi Kota Palembang yang ke-1307. Palembang, 17 Juni 1989. 27
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
73
mengeringkan rawa-rawa dan menjadikannya daerah pemukiman yang layak. Sumber bahan yang dipakai untuk membuat rumah tinggal dapat diperoleh dari hutan sekitarnya. Karena Palembang terletak di dataran aluvial dan di sekitarnya terdapat hutan tropis yang masih luas, maka bahan yang mudah didapat adalah kayu. Bahan batu mungkin dibawa dari daerah pedalaman. Karena itu bahan batu hanya dipakai untuk membuat arca dan hiasan bangunan suci. Kebanyakan kota terletak di persimpangan jalan pengangkutan darat atau sungai, atau persimpangan antara dua jalan darat. Di tempat-tempat persimpangan jalan itu terdapat gudang-gudang, tempat penginapan, rumah makan, kantor-kantor urusan pajak, dan pasar. Di tempat itu terdapat juga segala macam kegiatan yang menyangkut perdagangan. Sebagai hasilnya kota itu lama kelamaan tumbuh menjadi sebuah kota yang besar. Berdasarkan anggapan itu, apabila dilihat dari segi ekonomi Palembang cukup memenuhi syarat sebagai kota dagang. Palembang terletak di persimpangan jalan pengangkutan, yaitu di tepi sungai Musi dan di muara sungai Ogan dan Kramasan serta di persilangan jalan laut antara Jawa dan daratan Asia. Melalui sungai-sungai ini barang-barang komoditi dibawa dari daerah pedalaman untuk dipasarkan di Palembang. Kemudian barang-barang tersebut dibawa oleh kapal-kapal yang singgah di Palembang ke daerah lain. Dengan majunya volume perdagangan, lama kelamaan Palembang tumbuh dan berkembang, mulai dari pembangunan wanua oleh Dapunta Hiyaŋ pada tahun 682 Masehi dengan bangunan-bangunannya yang dibuat dari kayu dan bambu hingga masa Kesultanan Palembang-Darussalam dengan bangunan-bangunan istana, benteng, dan masjid dari bahan batu, bata yang dilekatkan dengan semen. Sebuah kota setidak-tidaknya harus ada bangunan untuk kepentingan umum (public building), misalnya bangunan peribadatan dan bangunan pengairan untuk pertanian ataupun untuk pengendali banjir. Sebagai sebuah kota pusat Kadātuan Śrīwijaya, persyaratan itu cukup memadai. Beberapa buah situs memberikan
petunjuk
adanya
aktivitas
keagamaan.
Situs-situs
yang
merupakan sisa public building adalah Bukit Siguntang, Pagaralam, Candi
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
74
Angsoka, Lemahabang, dan Gedingsuro. Sesuai dengan fungsinya, bangunanbangunan ini ditempatkan pada sebuah lokasi yang lebih tinggi, di daerah yang jauh dari lokasi pemukiman. Bukit Siguntang (+26 meter d.p.l.) adalah tempat tertinggi di Palembang. Di puncak bukit itu dulunya mungkin ditempatkan sebuah arca Buddha yang tingginya hampir 4 meter. Di sekeliling arca Buddha itu, berdiri beberapa buah stūpa yang dibuat dari bata. Di daerah kaki bukit mungkin terdapat bangunanbangunan para pemelihara dan pengelola bangunan suci tersebut. Survei yang dilakukan oleh Westenenk, Schnitger dan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berhasil menemukan petunjuk tersebut. Pada waktu Westenenk dan Schnitger melakukan survei tahun 1930-an, mereka berhasil menemukan sisa-sisa bangunan stūpa dari bata di sekitar puncak Bukit Siguntang. Ekskavasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1989/1990 berhasil menemukan sisa fondasi bangunan di kaki sebelah barat Bukit Siguntang di Situs Tanjung Rawa. Pusat pengajaran agama Buddha yang terbesar pada masa itu adalah Nālanda. Namun, beberapa sumber Tiongkok juga menyebutkan bahwa di Śrīwijaya juga terdapat perguruan tinggi agama Buddha. Mengenai perguruan tinggi agama Buddha di Śrīwijaya, I-tsing dalam kitabnya yang berjudul Ta T'ang si-yu-ku-fakao-sheng-chuan (= Biografi pendeta-pendeta mulia dari T’ang yang mengajar di India) dan ditulis tahun 688-695 memberitakan: “Di ibukota Śrīwijaya yang dikelilingi benteng, ada lebih seribu orang
bhiksu
Buddha;
semuanya
tekun
mencurahkan
perhatiannya kepada pengetahuan agama dan mengamalkan ajaran Buddha. Mereka melakukan penelitian dan mempelajari ilmu yang ada pada waktu itu, tidak berbeda dengan di Madhyadesa di India. Upacara dan peraturan agama di kedua tempat itu sama. Oleh karena itu bhiksu-bhiksu Tiongkok yang ingin pergi ke India untuk menuntut ilmu agama dan membaca teks-teks asli, sebaiknya menetap di Śrīwijaya dahulu selama dua
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
75
atau tiga bulan. Di situ menjalani latihan sebelum berangkat ke India. Lagi pula di situ ada bhiksu Buddha yang masyhur dan telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya, bernama Sakyakirti” 29 Keberadaan wihara dan asrama untuk para pendeta Buddha di kota Śrīwijaya mungkin dapat ditelusuri sisanya pada situs-situs arkeologi yang terdapat di sebelah timur kota Palembang. Petunjuk itu ditemukan di Situs Lemahabang dan Situs Gedingsuro. Di kedua lokasi ini ditemukan sejumlah besar arca Buddha dan Bodhisattwa dalam ukuran yang kecil (8-10 cm). Arca perunggu dan kadang-kadang dilapis emas ini, biasa ditempatkan di sebuah wihara atau asrama tempat tinggal para pendeta. Selain itu ditemukan juga stūpika yang dibuat dari bahan tanah liat yang di bagian dalamnya terdapat tablet tanah liat dengan tulisan mantra-mantra Buddha. Ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1973 di Situs Lemahabang berhasil menemukan lebih dari 400 buah stūpika tanah liat, di samping sebuah arca Bodhisattwa Awalokiteśwara.30 Tablet-tablet tanah liat tersebut ada yang menunjukkan tulisan-tulisan dalam huruf preNāgari yang isinya pada umumnya menunjukkan tentang ajaran-ajaran Buddha (dharmma text). Berdasarkan langgam seni arca dan bentuk tulisan pada tablet tanah liat menunjukkan pertanggalan sekitar abad ke-7-10 Masehi. Bendabenda ini biasa ditempatkan di dalam komplek wihara dan asrama. Dengan bahan apa bangunan wihara dan asrama ini dibuat, belum dapat diketahui dengan pasti. Kalau bangunan-bangunan itu dibuat dari bata, tentu masih meninggalkan sisanya. Temuan bata di Situs Lamahabang tidak ada. Dengan demikian dapat diduga bahwa wihara atau asrama yang ada di daerah sekitar Lemahabang itu dibuat dari bahan kayu yang tidak meninggalkan sisanya.
Takakusu, J., 1896, A Record of Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671-695) by I-tsing, Oxford, hlm. 38 30 Bronson, Bennet & Jan Wisseman, 1976, “Palembang as Srivijaya: The lateness of early cities in Southern Southeast Asia”, Asian Perspective 19 (2). The University Press of Hawaii, hlm. 220-239. 29
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
76
Stūpika dan cetakannya (kiri), dan tablet mantra dari dalam stūpika (kanan)
Berbeda halnya dengan temuan di Situs Lemahabang. Temuan di Situs Gedingsuro menunjukkan adanya sisa bangunan dari bahan bata. Sisa bangunan yang sejaman dengan masa Kadātuan Śrīwijaya, ditemukan sekitar 200 meter ke arah utara dari Situs Percandian Gedingsuro. Situs Percandian Gedingsuro sendiri tidak dapat diidentifikasikan sejaman dengan masa Kadātuan Śrīwijaya. Komplek bangunan ini berasal dari sekitar abad ke-14-15 Masehi. Di sebelah utara Situs Percandian Gedingsuro, pada sebidang tanah yang agak tinggi (kira-kira 5 meter) dibandingkan dengan permukaan tanah Situs Percandian Gedingsuro, pada tahun 1988 ditemukan lebih dari 40 buah arca logam perunggu dan perunggu dilapis emas. Selain itu ditemukan juga bata dalam jumlah yang cukup besar. Ukuran bata dari situs ini lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran bata dari Situs Percandian Gedingsuro. Jika demikian, dapat diduga bahwa di tempat ini dulunya terdapat sekelompok bangunan yang dibuat dari bata. Setidak-tidaknya bata dipakai untuk bagian bawah atau lantai bangunan. Bagian atas bangunan dibuat dari bahan kayu. Komplek bangunan di lokasi ini mungkin merupakan wihara atau asrama para pendeta dengan beberapa buah bangunan suci yang lebih kecil untuk keperluan mereka beribadah sehari-hari. Bangunan untuk kepentingan umum yang lain adalah bangunan taman Śrīksetra. Taman ini dibangun atas perintah Dapunta Hiyaŋ Śrī Jayanāśa untuk kemakmuran semua mahluk. Lokasi taman yang dibangun Dapunta Hiyaŋ ini
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
77
ada di sebelah baratlaut kota Palembang, di sebuah tempat dengan bentang alam yang berbukit dan berlembah. Untuk seluruh kota, tempat ini cukup memberikan kenyamanan. Apalagi di dalam taman itu terdapat pohon buahbuahan yang buahnya dapat dinikmati oleh semua mahluk. Dengan dibangunnya taman ini lengkaplah sudah isi sebuah kota. Kitab Ying-yai Sheng-lan yang ditulis pada tahun 1416 oleh Ma-huan menguraikan tentang rumah tinggal penduduk di daerah tepian sungai: “Rumah tinggal penduduk seperti bangunan bertingkat yang tinggi dan tidak berlantai kayu, tetapi batang pohon pinang dan kelapa dibelah menjadi potongan-potongan yang diikat dengan tali rotan. Di atas lantai ini dihamparkan tikar yang dibuat dari rotan. Tinggi bangunan delapan kaki (2,86 meter). Orang-orang tinggal di dalamnya. Di tempat yang tinggi juga dibuat pagar. Di tempat ini banyak perahu orang-orang pribumi yang datang membawa barang dagangan dari dalam negeri”.31 Kitab Chau Ju-kua yang ditulis oleh Chu-fan chi pada abad ke-14 Masehi menyebutkan sebuah negara yang cukup kuat bernama San-fo-tsi (Śrīwijaya). Negara
ini
menguasai
15
negara
jajahan,
antara
lain
Pa-lin-fong
(Palembang).32 Gambaran mengenai ibukota San-fo-tsi seperti yang diuraikan dalam Chau Ju-kua adalah sebagai berikut:
Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malay Archipelago Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, hlm. 87; Oei Soan Nio, 1972, Beberapa Catatan tentang W.P. Groeneveldt: Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 19. 32 Hirth, Friederich dan W.W. Rockhill (eds.), 1911, Chau Ju-Kua. His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press, hlm 65. 31
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
78
“…Ibukotanya terletak di tepi air; penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan daun alangalang. Jika rajanya keluar, ia naik perahu dengan dilindungi oleh payung sutra dan iringan tentaranya yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat pandai dan tangkas di dalam peperangan, baik di air maupun di darat. Keberaniannya tidak ada tandingannya…” Gambaran permukiman penduduk di kota Śrīwijaya tidak jauh berbeda dengan gambaran
pemukiman
masa
sekarang.
Pada
umumnya,
permukiman
(kampung) yang lokasinya ada di daerah tepian sungai berupa rumah tinggal yang dibuat dari kayu atau bambu. Rumah-rumah ini dibangun di atas air atau di tepian sungai berupa rumah bertiang atau rumah rakit. Rumah rakit ditambatkan pada tepian sungai. Bangunan rumah semacam ini tidak lain dimaksudkan untuk menjawab tantangan alam. Daerah tepian sungai selalu tergenang air, terutama pada musim hujan. Pemilihan lokasi di daerah tepian sungai dimaksudkan agar dekat dengan jalan lalu-lintas air. Bukti arkeologi yang menunjukkan keberadaan permukiman kuna di tepian sungai ditemukan petunjuknya di bawah runtuhan Keraton Kuta Gawang, di tengah kota Palembang. Di tempat ini ditemukan deposit pecahan keramik dari berbagai periode, mulai dari abad ke-8 sampai pecahan keramik abad ke-18 Masehi. Pecahan keramik yang tertua ditemukan pada suatu lapisan di kedalaman lebih dari 2 meter. Lokasi ini jaraknya sekitar 50 meter dari tepi Sungai Musi yang sekarang. Mungkin dulunya tepian sungai sampai ke lokasi ini, terbukti pada kedalaman sekitar 3 meter terdapat endapan sungai. Karena proses pengendapan yang berlangsung lama, akibatnya terjadi proses pendangkalan. Daerah yang semula merupakan air dan tepian sungai, kini menjadi tanah darat.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
79
Peta Rekonstruksi kota Śrīwijaya berdasarkan tinggalan budayanya. Bangunan-bangunan suci tampak mengelompok di beberapa tempat Petunjuk permukiman kuna di atas air ditemukan di Situs Talang Kikim. Di lokasi ini pecahan keramik yang merupakan indikator permukiman ditemukan di daerah rawa-rawa di tepian Sungai Kikim dan Sungai Lambidaro. Daerah ini pada awalnya ditemukan sebagai situs, pada sekitar tahun 1980-an, masih merupakan rawa-rawa yang cukup dalam. Di beberapa tempat terdapat tanah darat. Akan tetapi, temuan pecahan keramik hanya terdapat di tanah basah yang merupakan rawa, terutama di tepian Sungai Kikim. Pecahan-pecahan keramik di sini merupakan pecahan keramik tua yang berasal dari masa dinasti T’ang (abad ke-8-10 Masehi). Adanya deposit pecahan keramik di daerah rawa, memberikan gambaran kepada kita bahwa pada masa lampau di lokasi tersebut terdapat permukiman yang dibangun di atas rawa. Bentuk permukiman di situ mungkin berupa rumah tinggal dari kayu yang berdiri pada tiang-tiang kayu di atas rawa. Bahan kayu sudah hilang, dan yang tersisa berupa alat-alat rumah tangga yang berupa keramik.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
80
Pengelompokan pemukiman tidak hanya mengambil lokasi di daerah tepian sungai saja, tetapi juga ada yang di tanah darat. Berita Tiongkok menyebutkan bahwa para penguasa tinggal di darat (maksudnya mungkin tidak di atas air). Bukti arkeologis menunjukkan bahwa ditemukannya indikator pemukiman di tanah darat menunjukkan pemukiman di darat, seperti yang ditemukan di Situs Ladangsirap, Tanjung Rawa dan Kambang Unglen. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di wilayah Pelembang menunjukkan kepada kita bahwa pada masa Śrīwijaya telah dikenal pengelompokanpengelompokan. Pengelompokan yang tampak dari bukti-bukti tersebut adalah kelompok bangunan permukiman dan kelompok bangunan keagamaan. Kelompok bangunan permukiman mengambil lokasi di dataran rendah dan dekat dengan air (sungai dan rawa) yang sisa-sisanya dapat ditemukan pada situs-situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Ladangsirap, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan beberapa tempat yang mengandung indikator sisa permukiman kuna di tepian sungai. Kelompok bangunan keagamaan mengambil lokasi di dataran yang tinggi dan jauh dari tepian Sungai Musi, misalnya Situs Gedingsuro, Lemahabang, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang. Tidak tertutup kemungkinan, di luar lingkungan bangunan sakral terdapat juga sisa permukiman. Diduga, permukiman di lokasi ini biasa dihuni oleh para pengelola bangunan suci dan para pendeta/bhiksu, misalnya sisa permukiman di luar lingkungan Situs Gedingsuro.
3. Terbentuknya Kerajaan Bahari Setelah menetapkan pusat pemerintahannya pada suatu tempat, dimulailah politik perluasan wilayah. Beberapa buah prasasti yang ditemukan di beberapa tempat di Sumatera menunjukkan bukti adanya perluasan wilayah, seperti di Jambi (Karangberahi), Bangka (Kota Kapur), dan Lampung (Bungkuk dan Palas Pasemah). Kecuali Prasasti Kota Kapur, prasastiprasasti kutukan lain yang berkaitan dengan perluasan wilayah, ditemukan
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
81
di daerah pedalaman dekat dengan aliran sungai. Prasasti Kota Kapur ditemukan di daerah muara sungai Menduk, tidak jauh dari Selat Bangka. Semua prasasti kutukan tersebut ditemukan di daerah tepian sungai dan di muara sungai, seperti pada Prasasti Karangberahi, Prasasti Palas Pasemah, dan Prasasti Bungkuk. Bahkan Prasasti Kota Kapur yang letaknya di tepi sungai Menduk, untuk mencapainya dari Palembang harus menyeberang Selat Bangka. Hal ini mengindikasikan bahwa sungai pada waktu itu memegang peranan penting bagi lalu-lintas pelayaran dari dan ke pedalaman. Tentu saja alat angkutnya yang penting adalah perahu atau kapal. 3.1 Struktur Kadātuan dan Birokrasi Śrīwijaya Salah satu indikator kelompok masyarakat yang telah mengenal peradaban adalah dikenalnya suatu institusi yang berbentuk kerajaan. Śrīwijaya adalah suatu kerajaan yang berbentuk Kadātuan (= kelompok dātu), dan di dalam kadātuan itu terdapat suatu sistem birokrasi. Dalam struktur birokrasi kadātuan ini telah tampak nafas kebaharian dari Śrīwijaya, misalnya jabatan kapten bahari (pūhavam). Dalam telaah ini data yang dipakai sebagai acuan adalah Prasasti Telaga Batu dan situs-situs arkeologis yang sejaman yang diduga merupakan daerah lungguh para dātu. Mengenai kata dātu, Cœdès menginterpretasikan sebagai “gubernur provinsi” dan kadātuan sebagai “kantor dari dātu”. 33 Interpretasi Cœdès ini dapat diterima oleh de Casparis, sebab kadātuan adalah kerajaan sebagai keseluruhan. Selain itu mungkin kerajaan ini dibagi menjadi sejumlah mandala yang masing-masing diperintah oleh seorang dātu.34
Cœdès, George, 1989, “Prasasti Berbahasa Melayu Kerajaan Sriwijaya”, dalam G. Cœdès & LCh Damais (ed.) Kedatuan Sriwijaya; Penelitian tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 47-110 34 de Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Bandung: Masa Baru, hlm. 18 catatan 10. 33
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
82
Sebuah kota yang telah matang, seperti kota Śrīwijaya,
tentunya
penguasa
atau
tinggal
para
kelas-kelas
birokrat
kadātuan.
Informasi mengenai adanya kelas-kelas ini dapat diperoleh dari Prasasti Telaga Batu. Prasasti itu menyebutkan para pejabat dan pegawai
kadātuan
yang
disumpah
oleh
Dapunta Hiyaŋ dengan tujuan agar tidak melakukan pemberontakan. Mereka yang disumpah antara lain, putra mahkota, putra-putra dātu, pemimpin, komandan tentara, nāyaka, pratiaya, hakim, para pemimpin, pengamat para buruh, para pengamat kasta-kasta yang rendah, pembuat pisau, kumārāmātya, cāţabhaţa, adhikarana, juru tulis, pemahat, kapten bahari, saudagar, tukang cuci, dan pelayan istana. Mereka tinggal di sekitar keraton tempat tinggal dātu. Menurut de Casparis, dengan berpatokan pada Prasasti Telaga Batu, Kadātuan Śrīwijaya dapat dibagi dalam beberapa mandala (semacam propinsi) dan setiap mandala dikuasai oleh seorang dātu.35 Jabatan ini mungkin sama seperti Rake atau Rakay dalam hierarki Kerajaan Matarām (Mdaŋ) di Jawa, dan masing-masing Rake mempunyai daerah lungguh (daerah kekuasaan). Seseorang yang menjadi dātu harus dari kalangan putra raja atau bangsawan. Di bawah dātu ada seorang pembesar yang bergelar parvvanda yang bertugas sebagai ketua hulubalang dan bertanggung jawab dalam hal ketentaraan. Dalam tingkatan sosial dan pemerintahan terdapat empat kelas putra-putra raja. Putra raja yang paling utama adalah yang dikenal sebagai yuvarāja yang berperan sebagai putra mahkota atau raja muda. Tingkatan di bawahnya ialah pratiyuvarāja yang dapat naik ke tingkat di atasnya sebagai yuvarāja apabila yuvarāja berhalangan atau mangkat. Tingkatan berikutnya adalah rājakumāra yang dapat menggantikan dua tingkat di atasnya. Namun pada tingkat yang ke-
35
de Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Bandung: Masa Baru, hlm. 18
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
83
empat dengan gelar rājaputra, tidak berhak menuntut tahta mahkota karena mereka adalah anak raja dari istri kedua atau selir. Dalam organisasi sosial dan politik, tampak jelas bentuk dua tingkatan yang utama. Tingkatan pertama adalah tingkat dātu yang di dalamnya terdapat kaum kerabat dātu, putra, dan putri dātu. Kedudukan status dalam tingkatan bergantung pada kedudukan seseorang dalam tingkatan itu. Tingkatan kedua terdiri dari berbagai golongan pejabat Kadātuan senāpati, nāyaka, pratyaya, hāji pratyaya dan dandanāyaka. Senāpati adalah kepala hulubalang dan mungkin memiliki fungsi serta kekuasaan seperti seorang panglima perang. Nāyaka adalah ketua bendahara yang bertugas mengurusi perbendaharaan kadātuan, hāji pratyaya adalah tumenggung kadātuan, dan dandanāyaka adalah hakim. Śrīwijaya adalah suatu negara yang kelangsungan hidupnya tergantung dari perdagangan. sumberdaya
Ini
berarti,
alam
yang
para penguasa merupakan
Śrīwijaya
komoditi
harus
perdagangan,
menguasai jalur-jalur
perdagangan darat dan air (sungai dan laut), dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang komoditi ditimbun sebelum dipasarkan. Penguasaan tempat-tempat tersebut dengan sendirinya memerlukan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh sebab itu tidak heran kalau dātu Śrīwijaya tidak dapat membenarkan sikap tidak setia, meskipun hanya sedikit, termasuk dari anaknya sendiri. Agar memudahkan pengawasan, para pejabat yang mempunyai daerah kekuasaan harus tinggal di pusat pemerintahan. Sebagaimana halnya kota-kota lain di dunia maupun di Nusantara, di kota Śrīwijaya tinggal bermacam-macam orang yang mempunyai keahlian tertentu. Prasasti Telaga Batu menyebutkan adanya vāsikarama (pande besi), kāyastha (juru tulis) dan pemahat. Sebagai sebuah negara bahari dan perdagangan, di kota Śrīwijaya juga terdapat puhāvam (nahkoda kapal) dan vaniyāga (saudagar).
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
84
Sthāpaka (arsitek) diperlukan untuk merencanakan bangunan-bangunan keagamaan, para pemahat diperlukan untuk membuat arca-arca, dan para pande diperlukan untuk membuat senjata, arca, dan barang-barang lain yang dibuat dari logam. Sisa-sisa kegiatan para ahli ini masih tertinggal di beberapa lokasi di wilayah kota Palembang ini. Situs Kambang Unglen dan Talang Kikim menunjukkan sisa kegiatan industri manik-manik kaca dan manik-manik batu. Situs Talang Kikim dan Gedingsuro menunjukkan sisa kegiatan pertukangan logam, dan Situs Candi Angsoka serta Situs Lemahabang menunjukkan sisa kegiatan para pemahat arca. Dalam kenyataannya, apabila diperhatikan secara seksama, arca dari kedua situs tersebut tampak belum selesai dikerjakan. Di Candi Angsoka lebih jelas menunjukkan bahwa bangunan candi belum selesai dikerjakan. Indikator ini nampak pada hiasan bangunan yang berupa kala. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhannya (arca dan hiasan bangunan) dibuat di tempat. 3.2 Kehidupan Keagamaan di Śrīwijaya Śrīwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari, tetapi dikenal juga sebagai salah satu pusat penyebaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta. Karena itulah Śrīwijaya banyak dikunjungi oleh para bhiksu dari mancanegara. Namun, akibat dari hubungannya dengan kerajaan lain, tidak mustahil di Śrīwijaya juga ada kelompok masyarakat yang beragama lain (Hindu, Tantris, dan bahkan Islam). Untuk telaah kehidupan agama di Śrīwijaya data yang dipakai sebagai acuan adalah prasasti, berita asing, dan data arkeologis. Śrīwijaya bukan saja menjadi pusat kekuasaan yang besar, melainkan menjadi pusat kebudayaan, peradaban, dan pusat ilmu pengetahuan agama Buddha. Para bhiksu yang melawat ke Śrīwijaya mempunyai tempat yang khusus. Mereka sangat dihormati oleh para penguasa dan rakyat Śrīwijaya. Bhiksu yang datang ke Śrīwijaya bukan hanya untuk sekadar singgah untuk beberapa saat, melainkan mereka tinggal untuk waktu yang lama dan mempelajari agama Buddha. Ada pun para bhiksu Buddha bangsa Tionghoa, seperti misalnya I-tsing, datang ke Śrīwijaya untuk mempelajari tata-bahasa Sansekerta dan
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
85
menterjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Tionghoa. I-tsing sendiri datang dari Nālanda membawa sekurangkurangnya 500.000 stanza dari kitab suci agama Buddha yang bernama Tripitaka. Dari tujuh bhiksu yang datang ke Śrīwijaya bersamaan waktunya dengan kedatangan I-tsing, ada seorang bhiksu yang tetap tinggal di Śrīwijaya. Pendeta yang tinggal itu adalah Śakyakīrti. Ia dikenal sebagai seorang bhiksu yang menulis kitab suci Hastadaņdaśāstra.36 Pada tahun 711 Masehi kitab suci ini diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa oleh I-tsing.
Bodhisttwa Maitreya (kiri) dan Buddha (tengah), dan Bodhisattwa (kanan) dari Palembang.
Dalam agama Buddha terdapat bermacam-macam mazhab, antara lain Mahāyāna dan Hīnayāna. Sumber tertulis dan arca-arca yang ditemukan mengindikasikan bahwa agama Buddha yang berkembang di Śrīwijaya bermazhab Mahāyāna. Akan tetapi, para bhiksu Buddha yang mempelajari agama Buddha di Śrīwijaya bukan saja mempelajari agama Buddha Mahāyāna saja, melainkan agama Buddha dari mazhab lain. Dalam sebuah sumber 36
Poerbatjaraka, R. Ng., 1952, Riwajat Indonesia I. Djakarta: Pembangunan, hlm. 35
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
86
menyebutkan bahwa I-tsing sendiri mengakui bahwa ia dapat manfaat dari pergaulannya dengan guru-gurunya yang berbeda-beda mazhab. Tentu saja kitab yang dipelajari, terutama kitab suci agama Buddha aliran Mahāyāna. Agama Buddha yang mula-mula berkembang di Sumatera dan juga di Nusantara adalah agama Buddha mazhab Hīnayāna. Sementara itu di Semenanjung Tanah Melayu dan Asia Tenggara daratan, agama Buddha yang berkembang adalah agama Buddha Mahāyāna. Sebuah sumber menyebutkan bahwa ada seorang bhiksu yang terkenal pada masa itu yang bernama Dharmapala dan berasal dari Kañci (India). Pendeta ini mengajarkan agama Buddha mazhab Mahāyāna di Sumatera. Pada mulanya ia mengajar di perguruan tinggi agama Buddha di Nālanda. Setelah itu barulah ia mengajar di Swarnnadwīpa (=Pulau Emas). Selanjutnya sumber itu menyebutkan bahwa Dharmapala lebih dulu 50 tahun datang di Swarnnadwīpa daripada I-tsing. Dengan demikian dapat diduga bahwa yang menyebarkan mazhab Mahāyāna di Śrīwijaya adalah Dharmapala. Bukti keberadaan agama Buddha Mahāyāna dapat diketahui dari isi Prasasti Talang Tuo (23 Maret 684 Masehi) yang menunjukkan doa dan harapan untuk keselamatan segala mahluk.37 Menolong keselamatan semua mahluk adalah merupakan
tujuan
utama
seseorang
yang
sudah
mencapai
tingkat
kebudaannya. Seorang Bodhisattwa mempunyai kewajiban moral untuk menolong sesamanya dan mahluk lain agar terbebas dari reinkarnasi. Di samping Prasasti Talang Tuo yang menunjukkan ciri Mahāyāna, di Śrīwijaya juga ditemukan sejumlah besar arca Bodhisattwa. Dalam agama Buddha mazhab Hīnayāna tidak dikenal Bodhisattwa. Para penganut Hīnayāna hanya mengenal Buddha. Pusat pengajaran agama Buddha yang terbesar pada masa itu adalah Nālanda. Namun, beberapa sumber Tiongkok juga menyebutkan bahwa di Śrīwijaya juga terdapat suatu perguruan tinggi agama Buddha yang cukup baik. Mengenai 37
Cœdès, George, 1989, “Kerajaan Sriwijaya”, dalam G. Cœdès & L-Ch Damais (ed.) Kedatuan Sriwiaya; Penelitian tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 1-46.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
87
perguruan tinggi agama Buddha di Śrīwijaya, I-tsing dalam kitabnya yang berjudul Ta T'ang si-yu-ku-fa-kao-sheng-chuan (= Biografi pendeta-pendeta mulia dari T’ang yang mengajar di India) dan ditulis tahun 688-695 memberitakan: “Di ibukota Śrīwijaya yang dikelilingi benteng, ada lebih seribu orang
bhiksu
Buddha;
semuanya
tekun
mencurahkan
perhatiannya kepada pengetahuan agama dan mengamalkan ajaran Buddha. Mereka melakukan penelitian dan mempelajari ilmu yang ada pada waktu itu, tidak berbeda dengan di Madhyadesa di India. Upacara dan peraturan agama di kedua tempat itu sama. Oleh karena itu bhiksu-bhiksu Tiongkok yang ingin pergi ke India untuk menuntut ilmu agama dan membaca teks-teks asli, sebaiknya menetap di Śrīwijaya dahulu selama dua atau tiga bulan. Di situ menjalani latihan sebelum berangkat ke India. Lagi pula di situ ada bhiksu Buddha yang masyhur dan telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya, bernama Sakyakirti”.38 Hingga permulaan abad ke-11 Masehi, Kadātuan Śrīwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha. Pada waktu itu yang menjadi raja di Śrīwijaya adalah Śrī Cūdāmaniwarman yang masih ada kaitannya dengan keluarga Śailendra. Dikenalnya Śrīwijaya sebagai pusat agama Buddha tidak lain adalah peranan dari seorang bhiksu Buddha yang pengetahuannya cukup luas. Bhiksu yang hidup di Śrīwijaya pada masa itu adalah Dharmakŗti. Ia adalah salah seorang bhiksu tertinggi di Śrīwijaya yang menyusun kritik atas isi kitab Abhisamayālamkāra.39 Demikian dikenalnya hingga pada tahun 1011 hingga 1023 Masehi, seorang bhiksu
Takakusu, J., 1896, A Record of Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago (A.D. 671-695) by I-tsing, Oxford, hlm. 38 39 Cœdès, G., 1964, The Indianized States of SoutheastAsia. Honolulu: East-West Center, hlm. 141 38
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
88
dari Tibet yang bernama Atīsa (Dīpamkaraśrījñāna) datang ke Swarnnadwīpa untuk belajar agama pada Dharmakŗti.40 Pada tahun 1003 raja Sê-li-chu-lo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua (Śrī Cūdāmaniwarmadewa) mengirimkan dua utusan ke Tiongkok dengan membawa upeti. Mereka mengatakan bahwa di negaranya sedang dibangun sebuah kuil Buddha untuk memuja agar kaisar (Tiongkok) panjang umur dan mereka juga memohon agar kaisar berkenan memberikan nama dan genta kepada kuil tersebut. Selanjutnya disebutkan bahwa kuil di Śrīwijaya itu diberi nama Ch'êng-t'ienwan-shou yang artinya kira-kira "langit yang panjang umur" dan sekaligus diberikan lonceng yang diminta. 41 Aktivitas keagamaan pada masyarakat di wilayah Kadātuan Śrīwijaya bukan hanya agama Buddha Mahāyāna saja, agama lain juga berkesempatan untuk berkembang. Bukti-bukti arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris, juga ditemukan di wilayah Kadātuan Śrīwijaya. Di Palembang, selain ditemukan arca Buddha juga ditemukan arca Hindu yang berupa arca Ganeśa (abad ke-9 Masehi) 42 dan arca Śiwa. Ini membuktikan bahwa di Śrīwijaya terdapat juga kelompok masyarakat pemeluk agama Hindu yang hidup di antara kelompok masyarakat pemeluk agama Buddha. Jauh di pedalaman Sungai Musi, di tepi sungai Lematang terdapat sebuah kompleks percandian yang mempunyai latar belakang agama Hindu dan Tantris. Gambaran aktivitas keagamaan di kompleks percandian Bumiayu dapat diduga bahwa pada mulanya masyarakat yang memuja di kompleks candi ini memeluk agama Hindu. Aktivitas ini berlangsung pada sekitar abad Yamamoto, Tatsuro, 1983, “Reexamination of Historical Texts Concerning Srivijaya” dalam SPAFA Consultative Workshop on Archaeological and Environmental Studies on Srivijaya (T-W3), hlm. 171-180. 41 Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malay Archipelago Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, hlm. 65. 42 Berdasarkan gaya seninya arca Ganeśa ini berlanggam Jawa Tengah yang berkembang pada sekitar abad ke-9-10 Masehi. Robert L. Brown mengemukakan pendapat bahwa arca Ganeśa ini kemungkinan besar dibuat pada sekitar abad ke-8 Masehi. Mengenai asalnya, ada dua kemungkinan, yaitu 1) diimport langsung dari India, dan 2) dibuat di “Palembang” oleh pemahat lokal yang dilatih di India atau oleh pemahat asing yang didatangkan dari India. (Brown, Robert L., 1987, “A Note on the Recently Discovered Ganesa Image from Palembang, Sumatera”, dalam Indonesia 43, hlm. 95-100). 40
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
89
ke-9-10 Masehi yang indikatornya dapat diketahui dari gaya seni arca yang ditemukan di Candi 1. Candi ini dan juga Candi 3, sekurang-kurangnya telah mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama pembangunan Candi 1 dan Candi 3 di Bumiayu ditengarai dengan temuan arca-arca hinduis serta komponen-komponen bangunan seperti kemuncak, relief kakaktua, arca-arca singa, yang pengaruh budayanya mungkin dibawa oleh Bālaputradewa dari Kerajaan Matarām (Mdaŋ) di Jawa Tengah. Menurut Brandes temuan arca di Bumiayu berasal dari masa Jawa Tengah Akhir.43
Fragmen arca Camundi dari Candi 3, Bumiayu Sumatera Selatan. Arca ini dibuat dari terrakota.
Aktivitas selanjutnya berlangsung pada sekitar abad ke-10-12 Masehi, yaitu mulai masuknya aliran Tantris. Bukti masuknya aliran ini dapat diketahui dari prasasti yang digoreskan pada lembaran emas suwarnnapattra yang bertuliskan mantra-mantra Tantrik yang berbunyi //bajra ri pritiwi// pada sisi 1, recto; dan //pagani (paganu) carmani (camani) //tan kuwu om myam// pada sisi 2, verso.44 Dari segi paleografis, tulisan itu berasal dari sekitar abad ke-10-12 Masehi, jadi jauh lebih muda apabila dibandingkan dengan tulisan prasasti Śrīwijaya (abad ke-7 Masehi).
Brandes, J.L.A., 1904, “Toelichting op het Rapport van den Controleur der Onderafdeeling Lematang Ilir dan de in die Streek Aangetroffen Oudheden”, dalam NBG 42 Bijlage VI, 44 Soekarto Karto Atmodjo, M.M., 1993, “Om yam”, dalam Kadatuan Sriwijaya dalam Perspektif Sejarah dan Arkeologi, Palembang: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Sumatera Selatan, hlm. C6-3--5 43
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
90
3.3 Perkembangan Kebaharian Berbicara mengenai Śrīwijaya, rasanya kurang lengkap kalau tidak membicarakan kebaharian. Berdasarkan berita-berita tertulis yang sampai kepada kita, kerajaan ini telah malang melintang di perairan Asia Tenggara sampai ke daerah Madagaskar di selatan benua Afrika. I-tsing, seorang pendeta agama Buddha dari Tiongkok, banyak mencatat perkembangan Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar abad ke-7 Masehi. Ia mengatakan bahwa pelayaran ke negeri Tiongkok dilakukan oleh kapal-kapal Śrīwijaya. Sebuah kajian pelayaran masa lampau juga memperoleh bukti bahwa banyak nama-nama tempat di pantai Campa dan Annam (Vietnam sekarang) berasal dari bahasa Melayu. Hal ini mendukung pendapat bahwa pelayaran orang-orang Mālayu ke negeri Tiongkok memang dilakukan oleh pelaut-pelaut Mālayu dengan menggunakan perahunya sendiri. Telaah Wolters mengenai abad-abad pra-Śrīwijaya pun membawa kita pada kesimpulan bahwa “the shippers of the ‘Persian’ trade” adalah orang-orang Mālayu. 45 Orang-orang Mālayu memang pelaut ulung, sehingga
orang-orang
Portugis
membuat
buku
pandu
laut
(roteiros)
berdasarkan petunjuk-petunjuk dari pelaut Mālayu. Ketangguhan bangsa Mālayu sebagai pelaut ulung hingga sekarang masih tersisa, misalnya seperti yang masih dapat disaksikan pada suku bangsa Melayu di daerah Kepulauan Riau. a. Pelayaran dan Perkapalan Bukti tertulis mengenai penggunaan perahu sebagai sarana transportasi pada masa Śrīwijaya diperoleh dari prasasti, Berita Tiongkok, dan Berita Arab. Prasasti Śrīwijaya yang menyebutkan penggunaan perahu adalah prasasti Kedukan Bukit yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Dapunta Hiyaŋ berangkat dari Minańa dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 buah peti perbekalan yang diangkut dengan perahuperahu. Apabila kita bandingkan dengan perahu Pinisi yang dapat mengangkut
45
Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 129-138
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
91
500 orang, maka perahu yang dibutuhkan Dapunta Hiyaŋ dalam ekspedisinya sekurang-kurangnya 40 buah perahu yang seukuran dengan perahu Pinisi. Entah sejak kapan nenek moyang bangsa Indonesia mengenal pembuatan perahu. Hanya sedikit data arkeologi maupun data sejarah yang berhasil mengungkapkan tentang hal itu. Satu-satunya data arkeologi yang sedikit mengungkapkan teknologi pembangunan perahu adalah dari lukisan gua. Di situ kita dapat melihat bagaimana bentuk perahu pada masa prasejarah. Bentuk perahu pada masa itu dapat dikatakan masih sangat sederhana. Jika dibandingkan dengan teknik pembuatan perahu pada masyarakat yang masih sederhana, mungkin ada kesamaannya. Sebatang pohon yang mempunyai garis tengah batang cukup besar mereka tebang. Kemudian bagian tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, seperti beliung dari batu. Nampaknya mudah, tetapi dalam kenyataannya cukup sulit. Dinding perahu harus dapat diperkirakan tebalnya. Tidak boleh terlampau tebal atau terlampau tipis. Jangan sampai badan perahu mudah pecah atau bocor apabila terantuk karang atau kandas di pantai yang keras. Apabila bentuk dasar sudah selesai, kemudian barulah diberi cadik di sisi kiri dan kanan badan perahu. Perahu jenis ini dinamakan perahu lesung atau sampan. Ukuran panjangnya kira-kira 3-5 meter dan lebar sekitar 1 meter. Contoh membangun perahu dengan teknologi yang masih sederhana ini dapat dilihat pada suku-suku bangsa yang masih sederhana yang bermata-pencaharian dari menangkap ikan di sungai, danau atau di laut dangkal. Pada jaman prasejarah, perahu bercadik memainkan peranan yang besar dalam hubungan perdagangan antarpulau di Indonesia dan antara kepulauan di Indonesia dengan daratan Asia Tenggara. Karena adanya hubungan dengan daratan Asia Tenggara, maka terjadilah tukar menukar informasi teknologi dalam segala bidang, misalnya dalam pembangunan candi, pembangunan kota, dan tentu saja pembangunan perahu. Akibat ada hubungan dengan daratan Asia Tenggara, dalam pembangunan perahu pun ada suatu kemajuan. Di seluruh perairan Nusantara, banyak
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
92
ditemukan runtuhan perahu/kapal yang tenggelam atau kandas. Dari runtuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan teknologi pembangunan perahu. Para pakar telah merumuskan teknologi tradisi pembangunan perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu Wilayah Budaya Asia Tenggara dan Wilayah Budaya Tiongkok.46
Foto kiri adalah papan kayu yang merupakan bagian lambung sebuah perahu yang ditemukan di Situs Samirejo, Sumatera Selatan. Pertanggalan karbon papan kayu ini berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi.Tonjolan-tonjolan segi empat pada permukaan papan adalah kupingan pengikat. Foto sebelah kanan adalah relief kapal pada dinding Candi Borobudur abad ke-8 Masehi. Kapal ini dibuat dengan teknik tradisi Asia Tenggara.
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain badan (lambung) perahu berbentuk seperti huruf V sehingga bagian lunasnya berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya, dalam seluruh proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, dan kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan
46
Manguin, P.Y. & Nurhadi, 1987, “Perahu karam di Situs Bukit Jakas, Propinsi Riau: Sebuah Laporan Sementara” dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan Ecole française d’Extrême-Orient (EFEO), Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 47-48
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
93
untuk masa kini, adalah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, cara menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya dengan tali ijuk. Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini, diberi lubang yang jumlahnya 4 buah menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak kayu/ bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug technique). Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo dan Kolam Pinisi, juga sisa perahu yang ditemukan di tempat lain di Nusantara dan negara jiran, ada kesamaan umum yang dapat kita cermati, yaitu teknologi pembuatannya. Teknologi pembuatan perahu/kapal yang ditemukan itu, antara lain a) teknik ikat, b) teknik pasak kayu/bambu, c) teknik gabungan ikat dan pasak kayu/bambu (teknik papan ikat dan kupingan pengikat), dan d) perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi. Melihat teknologi rancang-bangun perahu/kapal tersebut, dapat kita ketahui pertanggalannya. Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak kayu/bambu dalam pembuatan perahu/kapal di Nusantara berasal dari sumber Portugis awal abad ke-16 Masehi. Dalam sumber itu disebutkan bahwa perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa yang disebut Jung dibuat tanpa sepotong besipun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut masih tetap ditemukan di Nusantara, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton. Kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi Tiongkok mempunyai ciri-ciri khas antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu/ kapal dibuat berpetak-petak dengan dipasangnya sekat-sekat yang strukturil, antara satu papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, dan mempunyai kemudi sentral tunggal.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
94
Dari sekian banyak perahu kuna yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Keturunan dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal Pinisi dan beberapa perahu tradisionil di berbagai daerah di Nusantara. Pada perahu Pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang agak modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara. Tidak ada satu-pun sukubangsa yang berkebudayaan lebih bahari daripada suku bangsa Orang Laut dan Bajau. Sukubangsa ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur Pulau Sumatera, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai selatan, serta muara-muara sungai di Kalimantan.47 Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka ‘orang laut’ dalam arti yang sesungguhnya. Sebuah berita Tiongkok yang berasal dari tahun 1225 menguraikan tentang rakyat di kerajaan Swarnnabhūmi. Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tangkas dalam peperangan, baik di darat maupun di laut. Dalam peperangan dengan negara lain, mereka berkumpul. Berapa pun keperluannya, dipenuhi. Mereka sendiri yang memilih panglima dan pemimpinnya. Semua pengeluaran untuk persenjataan dan perbekalan ditanggung oleh mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsabangsa lain sukar dicari tandingannya. b. Bandar-bandar Penting Sejauh-jauhnya kapal berlayar, ia akan berlabuh juga di sebuah bandar atau pelabuhan. Pelabuhan atau bandar yang baik biasanya terletak di sebuah teluk yang dalam dan terlindung dari angin kencang dan ombak yang besar. Atau kadang kala pelabuhan terletak di muara sebuah sungai yang besar dan agak masuk ke pedalaman. Aktivitas yang dilakukan pada sebuah bandar adalah
47
Lapian, A.B., 1979, “Pelayaran dalam Periode Sriwijaya”, dalam Pra-seminar Penelitian Sriwijaya, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hlm. 95-103
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
95
perdagangan dan pengisian bekal perjalanan, misalnya bahan makanan dan air yang diperlukan selama pelayaran. Maju dan tidaknya sebuah bandar biasanya ada hal yang menjadi daya tarik dari bandar tersebut, misalnya tersedianya bahan komoditi perdagangan. Pada milenium pertama dan awal milenium kedua masehi, di Sumatera terdapat beberapa bandar penting. Lahirnya bandar-bandar ini antara lain disebabkan karena daya tarik pasar yang ada di bandar tersebut dan dekat dengan jalur pelayaran yang ramai. Bandar-bandar tersebut antara lain Barus di pantar baratlaut Sumatera, Kota Tiongkok di pantai timurlaut Sumatera, Jambi dan Palembang di pantai tenggara Sumatera. Masing-masing bandar tersebut mempunyai daya tarik tersendiri. Barus, sebagaimana diberitakan oleh Ptolomeous, merupakan sebuah bandar kuna yang telah ada pada abad pertama Masehi. Dalam bukunya Geographyke Hyphegesis Barus disebut dengan nama Barousai.48 Beberapa penulis asing seperti penulis Arab menyebutkan bahwa pada abad ke-10 Masehi, Barus sudah menjadi bagian dari Śrīwijaya. Ada kepastian bahwa Barus pada masa lampau merupakan sebuah pelabuhan yang terletak di pantai baratlaut Sumatera dan sering dikunjungi saudagar asing, terutama saudagar yang datang dari arah barat (India, Persia, dan Timur Tengah). Di bandar ini diperdagangkan barang-barang komoditi dari Tiongkok, antara lain keramik dan manik-manik kaca, dan dari Timur Tengah antara lain gelas kaca dari Persia dan Irak.49 Dari Barus sendiri dihasilkan kapur barus yang pada waktu itu menjadi komoditi perdagangan yang populer dan digemari oleh konsumen dari Timur Tengah. Saudagar Arab Ibn al-Faqih pada tahun 902 Masehi dalam catatannya menyebutkan bahwa Fansur (Barus) merupakan pelabuhan besar di pantai barat Ambary, Hasan Muarif, 1990, “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 Masehi dalam Jalur Jalan Darat Melalui Lautan”, dalam Kalpataru 19. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. hlm. 51-63. 49 Ambary, Hasan Muarif, 1979, “Catatan tentang Penelitian Beberapa Situs Masa Sriwijaya”, dalam Pra-Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hlm. 7-18. 48
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
96
yang menghasilkan cengkih, kapur barus, kayu cendana, dan pala. Sulaiman al-Mahri, juga seorang saudagar Arab, melokasikan Fansur di pantai barat Sumatera di antara pelabuhan Singkel dan Pariaman, di seberang Niha (Nias) dan sedikit ke arah selatan Pulau Banyak. Berita Tiongkok menyebut tempat ini dengan nama Po-lu. Kapur Barus (camphor) adalah suatu produk alamiah dalam bentuk kristal yang dihasilkan oleh sejenis pohon yang tumbuh di hutan tropis Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu. Produk alamiah ini sudah lama dikenal dan diperdagangkan sebagai barang komoditi yang eksklusif. Bilamana hasil hutan ini mulai diperdagangkan orang tidak ada satupun sumber tertulis yang menyebutkan. Catatan tertua mengenai barang komoditi ini berasal dari masa dinasti Tiongkok selatan (abad ke-6 Masehi). Catatan itu menyebutkan bahwa salah satu produk dari Lang-ya-shiu di wilayah semenanjung adalah parfun Po-lu. Para pakar mengidentifikasikan Po-lu sebagai terjemahan dari Barus, sebuah toponim terkenal yang lokasinya terletak di pantai barat Sumatera Utara.50 Berita tertulis lain yang menyebutkan tentang kapur barus berasal dari abad ke-9 Masehi, yaitu kitab yang bernama Yu-yang-tsa-tsu menyebutkan Ku-pup'o-lu (=kapur barus). Kitab Chau-ju-kua (abad ke-13 Masehi) menulis, ada dua tempat yang menghasilkan kapur, yaitu P'o-ni yang diidentifikasikan sebagai Kalimantan, dan Pin-su yang diidentifikasikan sebagai Barus. 51 Berdasarkan berita Tiongkok, para saudagar Tiongkok menamakan kapur barus dengan sebutan Na-tsi. Salah satu yang menarik perhatian dari perdagangan kapur di wilayah Barus adalah penemuan sebuah prasasti yang berbahasa Tamil di sebuah desa yang
Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 122 51 Hirth, Friederich dan W.W. Rockhill (eds.), 1966, Chau Ju-Kua. His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press, hlm. 194 50
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
97
bernama Lobu Tua, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.52 Tempat ditemukannya prasasti ini berupa sebidang tanah yang agak tinggi dan di sekelilingnya terdapat benteng tanah, sekitar 3 km. dari pantai. Sebenarnya ada prasasti Tamil lainnya di Lobu Tua, tetapi pada tahun 1795 prasasti tersebut diledakkan oleh Raja Barus.53 dan sisanya sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Prasasti yang berangka tahun 1088 Masehi itu secara ringkas menyebutkan tentang adanya persekutuan dagang yang disebut "Yang kelima ratus dari seribu arah". Mereka adalah orang-orang Tamil (India) yang diduga tinggal di daerah Barus dan membeli komoditi hutan dari penduduk setempat. Adapun komoditi yang disebutkan dalam prasasti itu, antara lain adalah batu mulia (saphir, batu bulan, jambrut, mutiara dan koral), hasil hutan (kapur, kemenyan, kapulaga, kunyit, cengkeh, dan cendana), dan komoditi dari jenis binatang.54 Dalam sejarah kebaharian, Selat Melaka merupakan jalan pelayaran dan perdagangan yang sangat penting sebagai jalan lintas para saudagar yang akan melintasi bandar-bandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia. Selat ini merupakan jalan laut yang menghubungkan Arab dan India di sebelah baratlaut Nusantara dengan Tiongkok di sebelah timurlaut Nusantara. Itulah sebabnya jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama "jalur sutra". Penamaan ini disebabkan karena sejak abad-abad pertama masehi hingga abad ke-16 kain sutra merupakan komoditi dagang penting yang dibawa dari Tiongkok untuk diperdagangkan di wilayah lain. Akibat dari ramainya lalu lintas pelayaran, di sekitar jalur sutra ini timbul beberapa bandar penting, antara lain Samudra Pasai, Melaka, dan Kota Cina (Deli, Sumatera Utara). Kota Cina dan Paya Pasir merupakan situs pelabuhan kuna yang sangat penting dalam rangka perdagangan Asia Tenggara pada abad ke-11-14 Sastri, K.A. Nilakanta, 1932, “A Tamil Merchant Guild in Sumatera”, dalam TBG 72, hlm. 314-327 53 Deutz, G.J.J., 1885, “Baros”, dalam TBG 22, hlm. 156-163 54 Sastri, K.A. Nilakanta, 1932, “A Tamil Merchant Guild in Sumatera”, dalam TBG 72, hlm. 314 52
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
98
Masehi. Letaknya di lembah sungai Deli pantai timur Sumatera Utara, sekitar 16 km dari kota Medan. Kota Cina telah diduduki oleh orang-orang Tamil pada masa itu, dan di Kota Cina diduga terdapat jaringan dagang perserikatan besar saudagar Tamil yang bernama Ayyavole ainnuarruvar dan Mannikiram yang melakukan kegiatan di wilayah Asia Tenggara. 55 Orang Tamil juga telah bermukim disini dan mereka membangun tempat ibadah dengan arca yang dipujanya Buddha dan Wisnu. Melihat ciri arcanya, arca-arca tersebut berlanggam Tamilnadu Pedesaan. Rupa-rupanya orang-orang Tamil ini pernah berjaya di wilayah Sumatera bagian utara, mulai dari Barus, Banda Aceh, Kota Cina, dan Sumatera Barat. Jambi merupakan salah satu bandar penting yang mungkin lahir pada pertengahan milenium pertama Masehi. Letaknya belum dapat diketahui dengan pasti, mungkin di salah satu tempat di tepi Batanghari, atau di kota Jambi sekarang. Di beberapa tempat di tepi Batanghari terdapat beberapa buah situs yang mengindikasikan keberadaan sebuah bandar, antara lain Suakkandis dan Jambi. Akan tetapi, di beberapa tempat di sepanjang tepian Batanghari banyak ditemukan situs yang tinggalan budayanya berupa keramik yang berasal dari sekitar abad ke-11-13 Masehi. Temuan ini mengindikasikan bahwa Batanghari di masa lampau merupakan jalur pelayaran sungai yang cukup ramai yang menghubungkan daerah Jambi dan Tiongkok atau tempat lain di luar Jambi. Suakkandis merupakan suatu tempat di daerah pertemuan sungai Kumpeh dan Batanghari. Daerah pertemuan sungai ini merupakan tempat yang ideal untuk sebuah bandar. Ukuran lebar sungai lebih dari 500 meter dan kedalamannya cukup untuk kapal berlayar (tidak kandas pada dasar sungai). Di daerah pertemuan sungai ini tinggalan budaya masa lampau tersebar di beberapa tempat, antara lain di Gedungkarya, Ujung Plancu, Sematang Pundung, dan Suakkandis. Seluruh tinggalan budaya yang ditemukan di tempat-tempat tersebut dapat dipastikan berasal dari luar daerah, misalnya keramik Tiongkok dan tembikar. Pecahan-pecahan keramik yang ditemukan di sekitar lokasi ini 55
McKinnon, E. Edwards, 1993-1994, “Arca-arca Tamil di Kota Cina”, dalam Kalpataru 10. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 53-79.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
99
berasal dari sekitar abad ke-11-13 Masehi. Barang tembikar yang ditemukan di Gedungkarya berupa kendi. Jumlahnya cukup banyak dan terkonsentrasi pada satu tempat. Melihat bentuk dan bahannya, kendi-kendi yang ditemukan ini berasal dari daerah Trowulan, Jawa Timur. Tempat yang bernama Suakkandis sudah lama dikenal, dan pada abad ke-18 tempat ini dimanfaatkan kembali oleh Belanda. Menurut catatan Belanda, pada tahun 1707 Muara Kumpeh (Suakkandis) terpilih sebagai benteng pertahanan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Benteng tersebut pada tahun 1724 ditinggalkan, yang disebabkan karena pemberontakan melawan Belanda. Kemudian pada tahun 1834 di Muara Kumpeh ditempatkan pos militer, dan pada tahun 1847 dibuka pos untuk perdagangan umum.56 Menuju ke arah hulu dari Suakkandis, di suatu tempat yang sekarang bernama Jambi terdapat tinggalan budaya masa lampau. Di tengah kota Jambi ditemukan runtuhan bangunan yang berdasarkan pertanggalan pada sebuah makara diduga berasal dari sekitar abad ke-11 Masehi, tetapi temuan keramiknya dari sekitar abad ke-10 Masehi. Namun, jauh sebelum adanya bangunan candi, Jambi telah lama dihuni manusia. Sebuah lokasi yang diduga merupakan lokasi pemakaman dari masa prasejarah ditemukan di tengah kota Jambi. Pemakaman dari masa ini berupa kubur tempayan. Adanya tinggalan budaya ini mengindikasikan bahwa Jambi telah lama dihuni orang, jauh sebelum masa sejarah. c. Pelayaran dan Perdagangan Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orangorang Tionghoa, Arab, India, dan Persia menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, disebabkan oleh dorongan pertumbuhan dan perkembangan emporiumemporium besar di ujung barat dan ujung timur benua Asia. Di ujung barat 56
Encyclopædie van Nederlandsch Indie Vol II, 1917, Leiden: E.J. Brill, hlm. 608-614, 672
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
100
terdapat emporium muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660749 Masehi) dan kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi),57 serta di ujung timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang (618-907 Masehi).58 Bisa jadi kedua emporium itu yang mendorong majunya pelayaran dan perdagangan Asia, namun tidak bisa dilupakan peranan Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11 Masehi. Śrīwijaya merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan perdagangan. Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia, dan sering pula diceriterakan sama-sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K’uo yang biasa diidentifikasikan sebagai Arab. Po-sse dapat juga dimaksudkan dengan orang-orang Persia, yaitu orang-orang Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi —orang-orang muslim asli Iran— yang dapat pula digolongkan sebagai orang-orang yang disebut Ta-shih atau orang-orang Arab. 59 Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus yang merupakan mayoritas penduduk Iran setelah pengislaman.
Hourani, George Fadlo, 1951, Arab Sea-Faring in the Indian Ocean in Ancient and Early Mediaval Times. Princeton New Jersey: Princeton University Press, hlm. 61-62 58 Uka Tjandrasasmita, 1978, “The Introduction of Islam and Growth of Moslem Cities in the Indonesian Archipelago”, dalam Dynamics of Indonesian History (eds. Haryati Soebadio, Carine A du Marchie Sarvas). Amsterdam: North-Holland Publishing Company, hlm. 143. 59 Tibbetts, G.R., 1957, “Early Muslim Traders in South-East Asia”, dalam JMBRAS 30(1), hlm. 10-11. 57
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
101
Muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon dapat menunjukkan asalnya, genta, ujung tongkat pendeta, wajra, dan arca mungkin dari India. Benda-benda ini merupakan alat-alat upacara yang dimiliki oleh kelompok pemeluk agama Buddha (dok. Imam, DKP).
Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama-sama dengan orang-orang Ta-shih di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka, pantai barat Sumatra, dan pantai timur Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok Selatan diketahui sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Mereka dikenal sebagai saudagar dan pelaut ulung. Sebuah catatan harian Tionghoa menceriterakan perjalanan pendeta Buddha I-tsing yang pada tahun 671 Masehi menumpang kapal Po-sse dari Kwang-tung/Kwang-chou (Kanton) ke arah selatan, yaitu ke Fo-shih (Śrīwijaya). Catatan harian itu mengindikasikan kehadiran orang-orang Persia di bandar-bandar di pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara. Kemudian pada tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka ke Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse,60 tetapi pada tahun 720 Masehi kembali lagi ke Kanton karena kebanyakan dari kapal-kapal tersebut mengalami kerusakan. Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara 60
Poerbatjaraka, R. Ng, 1952, Riwajat Indonesia I. Djakarta: Jajasan Pembangunan, hlm. 3132
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
102
kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah Umar b. ̀ Abd Al-̀ Aziz (717-720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan,
juga
permintaan
agar
mengirimkan
mubaligh
untuk
61
mengajarkan Islam ke Śrīwijaya.
Beberapa benda atribut orang-orang dari Timur Tengah yang ditemukan di antara runtuhan kapal yang tenggelam, seperti hulu pedang dari emas, tasbih dengan tulisan Allah, dan hulu pisau dari Kristal (dok. Imam, DKP).
Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Po-sse di Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatera Utara) 62 dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatang-
Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, hlm. 28-29. 62 Guillot, Claude, 2002, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Jakarta: EFEO, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor. 61
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
103
kan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi dan hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah kemenyan dan kapur barus. Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian menimbulkan proses islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada abad ke-13 Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultannya yang pertama adalah Malik as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan hanya kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini semakin mempererat hubungan antara Sumatera dan negara-negara di Arab dan Persia. Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa Sultan adalah seorang penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama dan dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi yang datang ke Samudera Pasai dan juga ke Melaka dimana para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-Kamil” mungkin sekali dari Persia. Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai, di wilayah Aceh sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Peurlak. Kerajaan ini berdiri pada tahun 225 Hijriah atau 845 Masehi dengan rajanya Sultan Sayid Maulana Abdal-Aziz Syah keturunan Arab-Quraisy yang berpaham Syi’ah.63
63
Saya meragukan kalau penguasa ini keturunan Arab-Quraisy karena di bagian belakang namanya memakai gelar Syah. Gelar ini biasa dipakai oleh para penguasa Persia atau oleh penguasa yang berasal dari Persia.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
104
Tingginya intensitas hubungan perdagangan antara Persia dan kerajaan di Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil di beberapa tempat yang dikunjungi pedagang Persia, tinggal dan menetap pula orang-orang Persia. Di tempat ini timbul juga kontak budaya antar dua budaya yang berbeda, dan tidak mustahil ada juga penganut Islam Syi’ah. Hal ini dapat dideteksi dari adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah. 4. Ekspansi Śrīwijaya dalam Abad ke-7-8 Masehi Palembang, sebagai tempat
yang dipilih oleh Dapunta
Hiyaŋ untuk
membangun wanua Śrīwijaya, merupakan tempat yang baik karena faktor setempat berupa jaringan komunikasi dan kegiatan lalu-lintas, tukar menukar informasi dan bahan dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu, dan sudah berhasil mendorong manusia setempat untuk maju.
64
Setelah
menetapkan Palembang sebagai kota Śrīwijaya, Dapunta Hiyaŋ meluaskan kekuasaannya ke wilayah-wilayah jauh dari Palembang. Mungkin juga wilayahwilayah yang menjadi wilayah taklukan Śrīwijaya telah lebih dahulu ditaklukan sebelum Dapunta Hiyaŋ membangun wanua Śrīwijaya. Wilayah-wilayah yang menjadi taklukan Śrīwijaya adalah Karangberahi (daerah hulu Batanghari), Kota Kapur (Pulau Bangka), Palas Pasemah dan Bungkuk (Lampung). Di tempat-tempat ini terdapat prasasti persumpahan yang dikeluarkan oleh Śrīwijaya agar penduduk dan penguasa di tempat itu tidak melakukan pemberontakan. Daerah yang pertama kali diduduki oleh Śrīwijaya pada awal masa berkembangnya adalah daerah Kerajaan Mālayu.65 Penguasaan atas Mālayu dianggap penting, karena kerajaan ini menguasai beberapa pelabuhan di sekitar Selat Melaka. Salah satu tempat yang ideal di sekitar Selat Melaka adalah pelabuhan Mālayu. Bahwa Mālayu benar-benar ditaklukan Śrīwijaya, terbukti dengan adanya Prasasti Karangberahi serta pernyataan I-tsing ketika Miksic, John N., 1984, “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatera Selatan”, dalam Berkala Arkeologi 5(1). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hlm. 8-24. 65 Wolters, O.W., 1974, Early Indonesia Commerce: A Study of the Origins of Śrivijaya, Ithaca & London: Cornell University Press, hlm. 241. 64
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
105
kembali dari India tahun 685 Masehi: “Mo-lo-yeu (=Mālayu) sekarang sudah menjadi bagian dari Fo-shih (=Śrīwijaya)”. Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka menginformasikan penyerangan bhūmi jāwa. 66 Di lain pihak, keberadaan prasasti ini di Kota Kapur juga mengindikasikan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah yang juga diduduki Śrīwijaya. Hal yang menarik dalam Prasasti Kota Kapur
adalah
kalimat:
"pemahatannya
berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk
kepada
Śrīwijaya".
67
Kalimat
ini
memberikan informasi kepada kita bahwa setelah menundukkan
Kota
Kapur,
Dapunta
Hiyaŋ
melakukan ekspansi lagi ke daerah lain, yaitu bhūmi jāwa. Hal yang menjadi pertanyaan adalah di mana lokasi bhūmi jāwa seperti yang dimaksud oleh Prasasti Kota Kapur. Apakah yang dimaksud itu adalah salah satu kerajaan di Tanah Jawa atau di tempat lain di Sumatera. Menurut Boechari, yang dimaksud dengan bhūmi jāwa adalah Bumijawa yang ada di daerah Kabupaten Lampung Selatan, bukan Pulau Jawa seperti yang banyak dianggap oleh para peneliti sejarah dan arkeologi lain.68 Sementara itu, Satyawati Suleiman mengajukan pendapat bahwa Prasasti Kota Kapur
Kern, H., 1913, “Inscriptie van Kota Kapur (Eiland Bangka; 608 Çaka)”, dalam BKI 67, hlm. 393-400; VG, hlm. 205-214. 67 Poerbatjaraka membacanya //…, sumpah ini dipahat di batasnya kekuasaan Śrīwijaya, yang sangat berusaha menaklukkan bhūmi jāwa yang tidak tunduk kepada Śrīwijaya// (1952: 33). 68 Boechari, 1986, “New Investigations on the Kedukan Bukit Inscription”, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 33-56. 66
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
106
merupakan bukti usaha Śrīwijaya untuk pertama kalinya menundukkan Jawa yang sudah ada sejak abad ke-5 Masehi.69 Satyawati Suleiman dalam salah satu makalahnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bhūmi jāwa dalam Prasasti Kota Kapur adalah Kerajaan Tarūmanāgara. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh Moens. 70 Moens menyamakan bhūmi jāwa dalam Prasasti Kota Kapur dengan "jawabhumi" dalam Prasasti Nālanda dan mengidentifikasikannya dengan Tarūmanāgara di Jawa Barat. Kedua pendapat itu masih ada kelemahannya, karena Kerajaan Tarūmanāgara diduga telah runtuh pada pertengahan abad ke-7 Masehi.71 Sementara itu Kadātuan Śrīwijaya baru muncul pada tahun 682 Masehi. Pada sekitar abad ke-5 Masehi, di Jawa Barat telah berdiri sebuah kerajaan yang bercorak Hindu, yaitu Kerajaan Tārumanāgara. Sumber tertulis mengenai kerajaan ini berupa prasasti yang seluruhnya berjumlah 7 buah dan ditemukan di daerah Jawa Barat. Berdasarkan sumber tertulis tersebut, dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarūmanāgara adalah sebuah kerajaan yang sebagian besar penduduknya, atau setidak-tidaknya keluarga kerajaan, telah memeluk agama Hindu yang memuja Dewa Wisņu sebagai dewa utama. Namun tidak tertutup kemungkinan di kerajaan ini terdapat juga kelompok masyarakat yang memeluk agama lain, misalnya agama Buddha dan kepercayaan asli yang memuja arwah nenek moyang. Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan yang “rawan” akan pengaruh asing, khususnya yang datang dari India dan Tiongkok. Keadaan ini disebabkan karena letaknya di daerah pesisir. Kawasan bandar perdagangan di pesisir utara Jawa Barat mungkin dapat dijadikan tolok ukur sebagai “wilayah hulu” dari perkembangan kebudayaan (penyebaran agama Hindu dan Buddha)
Suleiman, Satyawati, 1980, “The History and Art of Srivijaya”, dalam M.C. Subhadradis Diskul (ed.) The Art of Srivijaya, Kuala Lumpur: Oxford University Press, hlm. 3. 70 Moens, J.L., 1937, “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77, hlm. 317-487. 71 Hall, D.G.E., 1960, History of Southeast Asia. London: Macmillan & Co Ltd., hlm. 34. 69
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
107
di Pulau Jawa. 72 Kedua pengaruh agama yang berasal dari India itu dalam sumber-sumber sejarah kuna hampir dapat dikatakan berkembang secara berdampingan. Sebuah Berita Tiongkok yang berasal dari sekitar abad ke-5 Masehi yang ditulis oleh Fa-hien, menyebutkan bahwa di tempat yang dikunjunginya
terdapat
kelompok
masyarakat
yang
menganut
agama
Brahmana dan agama Buddha. Adanya prasasti persumpahan Kota Kapur, merupakan petunjuk bahwa daerah tersebut termasuk dalam wilayah kekuasaan Śrīwijaya. Daerah ini perlu ditaklukkan karena kalau tidak ditaklukkan ia akan menjadi penghalang pintu masuk pusat Śrīwijaya di Palembang. Namun belum dapat diketahui penguasa mana yang berkuasa di daerah Kota Kapur. Apakah Kota Kapur merupakan suatu tempat yang merupakan suatu pusat kekuasaan, atau berada di bawah kekuasaan lain. Di duga di wilayah Kota Kapur pada masa lampau tinggal sekelompok masyarakat yang tempat tinggalnya dikelilingi benteng tanah. Kelompok masyarakat ini beragama Hindu yang memuja Dewa Wisņu. Terbukti dengan ditemukannya beberapa buah arca Wisņu (sedikitnya 3 buah arca). Kelompok masyarakat inilah yang ditaklukkan oleh Dapunta Hiyaŋ dari Kadātuan Śrīwijaya. Setelah Dapunta Hiyaŋ menaklukan Kota Kapur, barulah ia meneruskan ekspansinya ke bhūmi jāwa yang mungkin letaknya jauh di seberang lautan, dan yang dimaksud dengan bhūmi jāwa adalah Kerajaan Tarūmanāgara sebagaimana yang dikemukakan oleh Moens,73 Wolters,74 dan Satyawati Sulaiman.75 Dengan dikuasainya tempat-tempat yang setidaknya tempat yang terdapat prasasti persumpahan, wilayah Kadātuan Śrīwijaya meliputi kawasan belahan barat
Nusantara
termasuk
perairannya.
Śrīwijaya
dapat
menguasai
Anwar Falah, 1995, “Kaki Candi SEG V (Unur Blandongan) di Situs Batujaya Karawang: Satu Tafsiran Penjajagan Konteks Arkeologi Kesejarahan”, dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2. Bandung: Balai Arkeologi Bandung, hlm. 14-22. 73 Moens, J.L., 1937, “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77, hlm. 317-487. 74 Wolters, O.W., 1979, “A Note on Sungsang Village at the Estuary of the Musi River in Southeastern Sumatera: A Reconsideration of the Historical Geography of the Palembang Region”, dalam Indonesia 27, hlm. 33-50 75 Suleiman, Satyawati 1980, “The History and Art of Srivijaya”, dalam M.C. Subhadradis Diskul (ed.) The Art of Srivijaya, Kuala Lumpur: Oxford University Press, hlm. 3; Suleiman, Satyawati, 1983, “Artinya penemuan baru arca-arca klasik di Sumatera untuk penelitian Arkeologi Klasik”, dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 201-221 72
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
108
perdagangan di sekitar Selat Melaka. Kapal-kapal dagang yang melalui Selat Melaka terpaksa harus singgah di Palembang dan pelabuhan-pelabuhan Śrīwijaya. Daerah-daerah yang dikuasai Śrīwijaya mungkin menghasilkan komoditi tertentu yang laku di pasaran India dan Tiongkok. Dengan singgahnya kapal-kapal asing di pelabuhan Śrīwijaya, terjadilah kegiatan ekonomi. Dari luar Śrīwijaya
diperdagangkan
keramik,
wangi-wangian,
manik-manik
dan
sebagainya, sedangkan dari Śrīwijaya diperdagangkan kemenyan, kapur barus, damar, lada, emas, perak, dan lain-lain. 5. Hubungan Politik dan Ekonomi. Politik dan ekonomi kaitannya sangat erat. Śrīwijaya sebagai kerajaan bahari yang sebagian besar kehidupan masyarakatnya dari perdagangan, banyak menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia, misalnya dengan Tiongkok, India, Persia, dan Arab. Hubungan politik ditujukan untuk kemajuan dan keamanan dalam perdagangan. Hubungan antarkerajaan lebih intensif
dilakukan
dengan
kerajaan-kerajaan
di
Tiongkok
dan
India
dibandingkan dengan kerajaan di Timur Tengah. Keeratan hubungan ini diduga karena persamaan dalam kehidupan beragama. Kerajaan-kerajaan di daerah Persia dan Timur Tengah sebagian besar masyarakat dan rajanya beragama Islam. Sumber-sumber Arab menyebut nama Śrībuza (=Śrīwijaya) dalam kaitannya dengan barang komoditi perdagangan. Juga disebutkan jalur-jalur pelayaran para pelaut/saudagar Arab dari Oman dan Siraf ke Kalāh (=Kedah). Orangorang
Arab
(Ta-shi)
mungkin
hanya
sampai
di
Kalāh.
Selanjutnya
perdagangan/pelayaran di selat dilakukan oleh para pelaut/saudagar Mālayu. Seorang saudagar Arab bernama Ibn Khurdādhbih yang berkunjung ke Śrīwijaya pada tahun 844—848 Masehi menulis bahwa raja Zābaj disebut mahārāja, kekuasaannya meliputi pulau-pulau bagian timur, dan hasil utama dari negerinya adalah kapur barus. Saudagar Arab lainnya adalah Sulaimān yang berkunjung ke Zābaj tahun 851 Masehi dan Ibn al-Faqīh yang berkunjung tahun 902 Masehi. Mereka menyebut bahwa di Zābaj ada gunung berapi.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
109
Barang dagangan dari Zābaj adalah kapur barus, cengkeh, kayu cendana, dan pala. Pelabuhannya yang besar ada di pantai barat, namanya Fansūr (=Barus). Berita Arab lain ditulis oleh Ibn Rostih (903 Masehi) dan Abū Zaid (916 Masehi). Mereka menyebutkan kekayaan dan hasil negeri Mahārāja Zābag.76 Mahārāja Zābag sangat kaya dan kekayaannya melebihi kekayaan Mahārāja India. Demikian kayanya, Mahārāja Zābag setiap hari melemparkan segumpal emas ke kolam di dekat istananya. Hasil hutan dari Zābag adalah kapur barus, berbagai macam kayu (gaharu, cendana, dan sapan), dan gading gajah, hasil tambang seperti emas dan timah, dan rempah-rempah. Selain para saudagar, yang singgah di Zābag terdapat juga seorang ahli geografi bangsa Arab yang terkenal pada masa itu adalah Mas’udi. Ia berkunjung ke Zābag pada tahun 955 Masehi. Dalam catatannya ia menguraikan bahwa Mahārāja Zābag menguasai banyak pulau, rakyat dan tentaranya banyak serta kuat. Hasil bumi dari negeri Zābag adalah kapur barus, cengkeh, kayu gaharu, cendana, pinang, pala, kapulaga, dan pinang. Dari Fansur di pantai barat dihasilkan kapur barus, sedangkan dari Kalah dihasilkan emas dan
timah. Selanjutnya disebutkan bahwa Mahārāja Zābag juga
menguasai perdagangan dari Siraf dan Oman. Daerah Semenanjung Tanah Melayu merupakan tempat yang penting, terutama pelabuhan-pelabuhannya di Sungai Mas (Kedah, Malaysia) dan di Nakhon Si Thammarat (sekitar Tanah Genting Kra). Sebuah bukti keberadaan Śrīwijaya di daerah ini ditemukan di Ligor (Nakhon Si Thammarat, Thailand) berupa sebuah prasasti batu yang kedua sisinya bertulisan. Prasasti yang dikenal dengan Prasasti Ligor ini pada sisi A.77 menyebutkan nama seorang dātu Śrīwijaya yang membangun trisamaya caitya untuk Padmapāņi, Śākyamuni, dan Wajrapāņi pada tanggal 15 April 775 Masehi. Pada sisi B tidak terdapat angka tahun, tetapi menyebut nama seorang raja yang bernama
76 77
Tibbetts, G.R., 1957, “Early Muslim Traders in South-East Asia”, dalam JMBRAS 30: 17-19. Majumdar, R.C., 1933, “Les rois Sailendra de Suvarnadvipa”, dalam BEFEO 33, hlm. 121-141
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
110
Wisņu dengan gelar sarwwārimadawimathana atau “pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa”.78
Prasasti Ligor A dan Ligor B yang menyebutkan nama seorang raja dinasti Sailendra yang membangun Trisamaya Caitya (kiri), arca Bodhisattwa dari Chaiya (tengah), dan Bodhisattwa dari Bidor, Malaysia (kanan). Kedua arca ini berlanggam Sailendra yang berkembang pada abad ke-8-9 Masehi, sama seperti arca-arca dari Jawa Tengah dan Sumatra bagian selatan.
Dengan ditemukannya Prasasti Ligor di daerah Nakhon Si Thammarat, banyak sarjana yang menduga bahwa wilayah kekuasaan Śrīwijaya sampai di tempat ini. Namun tidak demikian keadaannya karena isi Prasasti Ligor, baik Ligor A maupun Ligor B, tidak memberi petunjuk bahwa Śrīwijaya menduduki daerah Ligor. Śrīwijaya hanya membuat bangunan suci trisamaya caitya yang maksudnya mungkin sebagai tanda persahabatan. Karena tidak terdapat unsur pemaksaan pada penduduk Ligor, maka di daerah ini gaya seni Śrīwijaya atau dikenal juga dengan gaya seni Śailendra (abad ke-8-9 Masehi) dapat berkembang. Banyak arca-arca yang gaya seninya mirip dengan gaya seni yang ditemukan di Sumatra dan Jawa.
78
Cœdès, George, 1989, “Kerajaan Sriwijaya”, dalam G. Cœdès & L-Ch Damais (ed.) Kedatuan Sriwiaya; Penelitian tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 29-31
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
111
Hal yang sama juga dilakukan raja Śrīwijaya di India. Di daerah Bihar, India Timur, ditemukan sebuah prasasti batu yang dikenal dengan nama Prasasti Nālanda. Prasasti ini tidak berangka-tahun, tetapi berdasarkan bentuk tulisannya, prasasti ini berasal dari sekitar abad ke-9 Masehi. Isinya tentang pembangunan wihara di Nālanda oleh Bālaputradewa, seorang dātu Śrīwijaya yang menganut agama Buddha. Selain itu disebutkan juga permintaan kepada raja Dewapāladewa untuk memberikan tanah-tanahnya sebagai sīma (“tanah bebas
pajak”)
guna
pemeliharaan
kelangsungan
wihara
tadi.
Selain
menyebutkan nama dātu Śrīwijaya, prasasti ini juga menyebutkan kakek Bālaputradewa
yang
dikenal
sebagai
raja
Jawa
dengan
gelar
Śailendrawańśatilaka Śri Wirawairimathana (=permata keluarga Śailendra pembunuh musuh-musuh yang gagah perwira). Tokoh Bālaputra yang dirajakan di Śrīwijaya ini adalah salah seorang anak raja Jawa yang bernama Samaratuńga, adik laki-laki Prāmodāwarddhanī. Karena berseteru dengan kakak iparnya (Pikatan) dan mengalami kekalahan di perbukitan Ratu Boko, kemudian ia mengikuti ibunya ke Sumatera dan menjadi penguasa di sana. Kekuasaannya diperoleh karena kakek dari pihak ibunya yang bernama Dharmasetu adalah dātu Śrīwijaya. 79 Pengaruh Śailendra yang dibawa oleh Bālaputra ke Sumatera, demikian kuat. Arca-arca berlanggam Śailendra di Sumatera hanya ditemukan di wilayah Sumatera bagian selatan. Arca-arca berlanggam Śailendra yang ditemukan di wilayah Semenanjung Tanah Melayu berasal dari masa yang lama setelah Bālaputra meninggalkan Jawa, yaitu ketika mereka telah berkuasa di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan disebut sebagai raja-raja dari Kataha dan Śrīwijaya dalam prasasti-prasasti Cōla abad ke-11 Masehi. 80 Mungkin keluarga Śailendra ini membawa serta para pemahat dari Jawa.
Krom, N.J., 1938, “Het Hindoe Tijdperk”, dalam F.W. Stapel (ed.) Geschiedenis van Nederlandsch-Indie Vol. I, Amsterdam, hlm. 162 80 Suleiman, Satyawati, 1981, Sculptures of Ancient Sumatera. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 55 79
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
112
Setelah
berkuasa
di
Śrīwijaya
ia
menjalin
hubungan
dengan
raja
Dewapāladewa dari India.81 Pada saat itu Dewapāladewa adalah seorang raja yang dikenal sebagai pelindung agama Buddha, dan di Nālanda terdapat perguruan tinggi agama Buddha yang banyak menarik minat para bhiksu dari Asia Tenggara dan Tiongkok untuk belajar di sana. Di Nālanda para bhiksu tidak hanya belajar agama, mereka juga mempelajari seni pahat dan arsitektur. Setelah mereka kembali ke tanah airnya, kepandaiannya kemudian dimanfaatkan untuk membuat arca dan bangunan-bangunan keagamaan yang disesuaikan dengan keadaan setempat. Meskipun mereka sudah menyesuaikan karyanya dengan keadaan setempat, namun pengaruh tempat asal mereka belajar masih terasa. Oleh sebab itulah banyak arca dan bangunan arsitektur yang berlanggam India Selatan yang ditemukan di Nusantara. Pada waktu Śrīwijaya diperintah oleh Śrī Mārawijayottuńgawarmadewa, raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Tiongkok dan India (Cōla). Berita Tiongkok menyebutkan bahwa raja Sê-ri-ma-la-p’i pada tahun 1008 mengirimkan tiga utusan untuk menyampaikan upeti kepada kaisar Tiongkok.82 Kemudian di dalam prasasti yang disimpan di Leiden, Belanda disebutkan bahwa raja Mārawijayottuńgawarman dengan bantuan raja Cōla yang bernama Rājakeśariwarman Rājarāja I mendirikan sebuah kuil agama Buddha di Nāgipattana (Nālanda) yang diberi nama Cūdāmaniwarmawihāra.83 Rupa-rupanya hubungan baik dengan Kerajaan Cōla tidak berlangsung langgeng. Prasasti Rājarāja I dari Tañjore yang berangka tahun 1030/31 Masehi menyebutkan penaklukan Śrīwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar
Selat
Melaka.
Śrīwijaya
ditaklukkan
dan
rajanya
Śańgrāmawijayottuńgawarman berhasil ditawan oleh tentara Cōla. Meskipun rajanya berhasil ditawan, namun Śrīwijaya tetap ada. Terbukti pada tahun 1079
de Casparis, J.G. de, 1956, Inscriptie uit de Çailendra-tijd (Prasasti Indonesia I). Bandung: Masa Baru, hlm. 280-330 82 Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malay Archipelago Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, hlm. 65. 83 Bambang Soemadio, 1984, “Jaman Kuna”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosoesanto (ed.) Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: P.N. Balai Pustaka, hlm. 69 81
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
113
raja Śrīwijaya memperbaiki kuil Tao yang bernama Tien Qing di dekat Kanton sebagaimana tertulis dalam sebuah tugu batu yang ditemukan di Kanton. Prasasti Kanton (disebut demikian) ditemukan tahun 1959 di sebuah halaman sekolah. Prasasti ini berisi tentang pembangunan kembali kuil agama Tao yang telah dirusak oleh Lang, seorang penjahat dari luar Kanton. Pelaksanaan pembangunan berlangsung selama beberapa tahun dan selesai pada tahun 1079.
84
Sebelum dilakukan pekerjaan pembangunan kembali, Mahārāja
Śrīwijaya mengutus beberapa orang untuk melihat keadaan. Utusan ini kemudian melaporkannya. Setelah diketahui keadaan kerusakannya, barulah dimulai pekerjaan pembangunan kembali. 6. Masa Akhir Śrīwijaya Pada masa kejayaannya, Śrīwijaya menguasai Selat Melaka yang pada masa itu merupakan jalur perdagangan penting. Barangsiapa yang dapat menguasai selat itu, maka ia dapat menguasai perekonomian. Karena itulah banyak kerajaan yang berusaha untuk menguasai jalur perdagangan itu, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Cōla dari India Selatan. Penguasa kerajaan ini merupakan pelindung dari Perserikatan Dagang Tamil “Sang Limaratus” (Manikkaram dan Ainnurruvar). Indikasi campur tangannya kerajaan dalam hal perdagangan, disebutkan di dalam prasasti-prasasti berbahasa Tamil dan beraksara Grantha yang ditemukan di beberapa tempat di Sumatera.
84
Tan Yeok Seong, 1964, “The Śri Wijayan Inscription of Canton (A.D. 1079)”, dalam Papers on Early South-East Asian History (Colin Jack-Hinton, eds), hlm. 17-24. Singapore: The Journal of Southeast Asian History.
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
114
Prasasti yang beraksara Grantha dan berbahasa Tamil ditemukan di Lobu Tua,85 Bandar Bapahat (Tanah Datar, Sumatera Barat), Naesu (Baiturrahman, Banda Aceh), dan mungkin di Kota Cina (Deli, Sumatera Utara). Dari empat nama tempat tersebut, dua tempat di antaranya cukup menarik perhatian untuk dibicarakan dalam diskusi ini. Kedua nama tersebut adalah Barus dan Kota Cina. Kota
Cina,
selain
lokasinya
dekat
dengan
jalur
perdagangan (Selat Melaka), di sekitarnya hingga kini masih tinggal komunitas-komunitas Tamil. Bahkan di Medan hingga kini masih ada kuil peribadatan orangorang Tamil.
Dari Situs Lobu Tua pada tahun 1872 ditemukan sebuah prasasti batu yang ditulis dalam aksara Grantha (Pallawa) dan berbahasa Tamil. Isinya menyebutkan bahwa pada bulan Māsi (Februari-Maret) tahun 1010 Śaka (1088 Masehi), “Yang kelima ratus dari seribu arah” telah menyuruh memahat dan menancapkan batu (prasasti) ini.
Situs Barus dan Situs Kota Cina dikenal secara terbatas pada kalangan sejarahwan dan arkeolog sebagai situs pelabuhan kuna yang banyak berhubungan dengan kerajaan asing di luar Nusantara. Kerajaan asing yang banyak berhubungan dengan kedua situs ini terutama kerajaan-kerajaan di India dan kemudian Tiongkok. Data tertulis yang sampai kepada kita dari kedua situs ini menunjukkan bahwa di tempat ini pernah tinggal para saudagar dari India, khususnya saudagar Tamil. Dalam hal perekonomian dan perdagangan pengaruh mereka demikian kuat. Suatu saat mereka berhimpun membentuk perserikatan dagang yang bernaung di bawah lindungan Kerajaan Cōla di India Selatan. Sebelumnya, pada tahun 1017 Masehi Rājendracōla dari Kerajaan Cōla telah menyerang Śrīwijaya dan kerajaan lain di sekitar selat, dan serangan berikutnya dilakukan pada tahun 1025 Masehi. Mereka memandang 85
Hultzsch, E.H., 1891-1892, “Supplementary note on a Tamil inscription in Siam”, dalam JRAS. hlm. 397-398; Subbarayalu, Y, 2002, “Prasasti perkumpulan pedagang Tamil di Barus suatu peninjauan kembali" dalam Claude Guillot (ed.) Lobu Tua sejarah awal Barus. Jakarta: École française d’Extrême-Orient, hlm. 17-26
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
115
perlu membentuk perserikatan dagang. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mau tunduk kepada Śrīwijaya yang pada waktu itu menguasai pelayaran dan perdagangan di selat. Orang-orang Tamil diketahui telah lama menyebar di daerah Asia Tenggara sejak akhir milenium pertama Masehi dan awal milenium kedua Masehi.86 Hal ini dapat diketahui dari persebaran prasasti berbahasa Tamil yang ditemukan di Sri Lanka, Burma, Muangthai, Tiongkok, dan Indonesia. Prasasti Tamil yang ditemukan di Indonesia ada di Lobu Tua (Barus) berangkatahun 1088 Masehi, 87 Neusu (Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh), dan di Bandar Bapahat (Tanah Datar, Sumatera Barat). Prasasti batu beraksara dan berbahasa Tamil yang ditemukan di Neusu pada tahun 1990 (berukuran 16 x 40 x 173 cm), sampai sekarang belum dapat diidentifikasi dan dibaca, dan juga belum dapat dipastikan apakah semasa dengan temuan prasasti Tamil di Lobu Tua. Data sejarah menunjukkan bahwa kelompok saudagar Tamil telah mulai memasuki wilayah Asia Tenggara pada abad ke-9 Masehi. Di Takuapa (Muangthai Selatan), kelompok saudagar Tamil yang bernama Mannikiram telah membangun pemukiman dan membuat prasasti yang ditulis dalam bahasa Tamil yang menyebutkan nama Avaninarayana. Dengan ditemukannya prasasti-prasasti yang berbahasa Tamil di wilayah sebelah utara Sumatera, dapat diduga bahwa di Sumatera pernah hadir anggota perserikatan Tamil Ainnuarruvar yang disebutkan sebagai "Yang kelima ratus dari seribu arah" dalam Prasasti Lobu Tua. Mereka telah bergerak dan menguasai jalur-jalur pelayaran Asia Tenggara, khususnya daerah belahan barat Nusantara, jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa (Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis). 88 Diduga, para saudagar Tamil ini tinggal permanen di tempat-tempat sekitar Selat Melaka. Kedatangan orang-orang
Abraham, Meera, 1988, Two Mediaval Merchant Guilds of South India. New Delhi: Monohan, 87 Ambary, Hasan Muarif, 1979, “Catatan tentang Penelitian Beberapa Situs Masa Sriwijaya”, dalam Pra-Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, hlm. 7-18 88 Mckinnon, E. Edwards, 1994, “Arca-arca Tamil di Kota Cina”, dalam Kalpataru 10. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 53-79. 86
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
116
Tamil di wilayah Sumatera Utara diduga jauh sebelum prasasti tersebut ditulis secara resmi. Sekurangnya bersamaan waktu dengan penyerangan Kerajaan Cōla pada tahun 1025 Masehi. Prasasti Rājendracōla dari Tañjore (1030/1031 Masehi) menyebutkan: "(Rājendra) setelah mengirim banyak kapal ditengah laut bergelombang dan setelah menawan Sańgramavijayottuńgavarman, Raja Kadaram, bersama dengan gajah-gajah dalam pasukannya yang perkasa (mengambil) tumpukan besar harta benda berharga, yang telah dikumpulkan secara benar (oleh raja itu) dicekam oleh bunyi ribut Vidhyadharatorana di pintu gerbang ibukotanya yang luas, Śrīwijaya, dengan pintu gerbang kecil bertatahkan permata sangat indah, dan pintu gerbang besar penuh permata; Pannai dengan air di kolam mandi; Malaiyur dengan bukit yang kuat dengan bentengnya; Mayirudingam yang dikelilingi laut dalam seperti oleh parit; Ilangkasokam yang sangat berani dalam peperangan yang kejam; Mappapalam penuh dengan air sebagai pertahanannya; Mevilimbangan dijaga oleh tembok-tembok yang indah; Valaippanduru .....; Talaittakkolam .....; Tamralingga yang mampu untuk melakukan tindakan kuat dalam peperangan yang berbahaya; Ilamuridesam kekuatannya yang dahsyat; Manakkavaram....; dan Kadaram yang kekuatannya dahsyat, yang dilindungi oleh lautan dalam".89
Di antara tempat-tempat yang disebutkan, yaitu Śrīwijaya, Pannai, Malaiyur dan Ilamuridesam, berada di wilayah Sumatera. Śrīwijaya adalah Kadātuan Śrīwijaya yang lokasinya di Palembang (di sekitar Sungai Musi), Pannai adalah Kerajaan Pannai yang lokasinya ada di wilayah Sumatera Utara (di sekitar Sungai Barumun, Batang Pane, dan Sungai Sirumambe), Malaiyur adalah Kerajaan Mālayu yang lokasinya di wilayah Jambi dan Sumatera Barat (di sekitar Batanghari), dan Ilamuridesam adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Beberapa pakar beranggapan bahwa raja-raja Cōla sering menjalin kerjasama dengan para saudagar Tamil yang telah mulai masuk ke daerah Asia Tenggara dan Tiongkok. Akibat dari kerjasama ini para penguasa Cōla bertindak sebagai pelindung dari para saudagar Tamil ini. Oleh sebab itu, mengapa Rājendracōla memerintahkan pasukannya untuk menyerang daerah-daerah tersebut, diduga 89
Cœdès, G., 1968, The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center, hlm. 142-143; Hall, History, 57
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
117
karena alasan ekonomi. Mungkin pajak añcu-tunt-āyam yang ditarik dari para nahkoda kapal dan kēvi dipakai sebagai upeti dengan imbalan keamanan para saudagar selama di laut. Dengan membayar pajak/upeti ini Rājendracōla “berkewajiban” melindungi para saudagar/pelaut Tamil, kapal dan muatannya yang beroperasi di sepanjang jalur perdagangan/pelayaran. Seperti telah diketahui, wilayah Selat Melaka dikuasai oleh Śrīwijaya. Setiap kapal niaga yang melalui selat tersebut harus membayar cukai kepada penguasa selat yang pada masa itu adalah Śrīwijaya. Dalam kasusnya dengan Kerajaan Cōla, Śrīwijaya mungkin mengutip cukai terlampau tinggi terhadap saudagar Tamil yang melewati Selat Melaka. Akibatnya, Kerajaan Cōla yang melindungi para saudagar Tamil ini mengambil tindakan dengan menyerang Śrīwijaya. Setelah serangan tahun 1025 tersebut, Śrīwijaya tidak lagi menguasai Selat Melaka seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Selain menyerang Śrīwijaya, Kerajaan Cōla juga menyerang beberapa kerajaan lain di sekitar selat dan juga di kawasan Asia Tenggara. Mengenai kapan runtuhnya Kadātuan Śrīwijaya tidak ada satu pun data yang menyebutkan secara jelas. Prasasti Rājarāja I dari Tañjore yang berangka tahun 1030/31 Masehi menyebutkan penaklukan Śrīwijaya dan kerajaankerajaan lain di sekitar Selat Melaka. Śrīwijaya ditaklukkan dan rajanya Śańgrāmawijayottuńgawarman berhasil ditawan oleh tentara Cōla. Dalam serangan ini Śrīwijaya ditaklukkan tetapi tidak diduduki. Berita Tiongkok mencatat masih adanya utusan dari Śrīwijaya yang datang ke Tiongkok, yaitu Se-li-tieh-hwa, pada tahun 1028 Masehi. Dātu Śrīwijaya ini diduga anak dari Śańgrāmawijayottuńgawarman yang berhasil ditawan pada penyerangan tahun 1025. Dalam Sejarah Dinasti Ming dikatakan bahwa San-bo-tsai (San-fo-tsi) pada tahun 1376 ditaklukkan oleh Jawa (Majapahit). Setelah San-bo-tsai jatuh, kerajaan Jawa sendiri juga mulai mendekati kehancurannya sehingga tidak dapat mengawasi daerah yang ditaklukkannya itu. Akibat dari kurangnya pengawasan, para bajak laut Tiongkok berhasil menguasai daerah itu dan
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
118
menyusun semacam pemerintahan di bawah pimpinan Liang-tau-ming, seorang bajak laut dari Nan-hai (Kanton). Setelah bajak laut ini, bajak laut lainnya memerintah Palembang, yaitu Ch’en Tsu-yi. Para bajak laut ini masih menguasai kedaulatan Majapahit. Dalam kakawin Nāgarakěrtāgama disebutkan beberapa negara yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Hampir seluruh daerah dan kerajaan di Sumatera berada di bawah pengaruh Majapahit, lebih lagi Kerajaan Mālayu pada masa pemerintahan Ādityawarmman (sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-14 Masehi). Pada waktu itu nama dan eksistensi Kadātuan Śrīwijaya sudah tidak terdengar lagi. 7. Akhirul Kalam Masa Śrīwijaya merupakan salah satu masa dalam babakan sejarah Indonesia. Banyak kelompok masyarakat di belahan barat Nusantara ini yang selalu membanggakan masa tersebut. Mungkin termasuk saya tentunya ! Namun apalah
artinya
suatu
kebanggaan
masa
lampau
jika
kita
tidak
memanfaatkannya untuk pembangunan masa sekarang dan masa depan bangsa ini. Para Dātu Śrīwijaya telah membuktikan kemampuannya untuk mengamankan perairan kawasan barat Nusantara, khususnya Selat Melaka. Mereka telah membangun suatu kekuatan laut yang kuat dan amanlah perairan yang dikuasainya. Tentu saja keamanan selat dapat terjamin selama berada di bawah perlindungannya. Dalam konteks kekinian, masalah keamanan Selat Melaka sangat merisaukan para pelaut yang berlalu. Singapura merasa risau karena mulai dari Pulau Pisang di Tenggara hingga ke Baratlaut, sudah berada di daerah perairan Malaysia dan Indonesia, bukan di perairan Singapura. Mereka menganggap para teroris yang hendak mengacaunya dapat saja melalui Selat Melaka, sehingga ingin mengundang kekuatan asing untuk ikutserta mengawasi Selat Melaka. Sebetulnya, yang seharusnya dirisaukan adalah keamanan dari
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
119
perompak laut yang sejak dulu sudah beroperasi di selat, bukan ancaman dari teroris! Kerisauan Singapura tidaklah beralasan, bahkan lebih cenderung melecehkan kekuatan laut negara tetangganya. Kalau mau risau, mengapa Singapura tidak memikirkan keamanan perairan yang ada di sebelah timurnya, yaitu perairan Laut Tiongkok Selatan. Dalam hal ini Singapura merasa perairan itu sebagian berada di wilayahnya dan sekaligus merasa kekuatan lautnya cukup memadai untuk mengawasi perairan itu. Kalau memang ada teroris yang hendak mengacau dan mengundang kekuatan asing untuk mengamankannya, dapat saja tindakan ini malah mengundang para teroris tersebut untuk mencoba mengacau. Dalam masalah ini coba kita berkaca kepada Irak ketika “mengundang” Amerika untuk menumbangkan rezim Sadam Husein. Setelah rezim tumbang dan Amerika menunjukkan tindakannya yang arogan, mulailah timbul masalah yang bermula dari ketidak-sukaan rakyat Irak terhadap Amerika. Sekarang rakyat Irak berbalik melawan Amerika, dan ini akan terus berkelanjutan sampai Amerika pergi meninggalkan bumi Irak. Ini berarti, apabila Singapura mengundang kekuatan asing untuk mengamankan selat, maka ia sekaligus mengundang masalah yang akan jauh lebih besar daripada masalah keamanan selat itu sendiri. Pemecahan masalah ala Singapura ini mungkin dapat disamakan dengan kehadiran Kerajaan Cōla di Selat Melaka, di mana pihak pengundangnya adalah para saudagar Tamil yang bergabung dalam Ainnuarruvar "Yang kelima ratus dari seribu arah". Tanggal 28 Juli – 1 Agustus 2004 yang baru lalu, di Tanjung Pinang ada perhelatan budaya yang mengambil tema “Revitalisasi Budaya Melayu”. Perhelatan semacam ini diselenggarakan setiap tahun di tempat yang sama dan dihadiri oleh para pakar dan petinggi pemerintahan. Revitalisasi Budaya Melayu hendak menghidupkan kembali sesuatu yang pernah ada, tetapi sudah lama dilupakan masyarakat. Taufik Ikram Jamil berpendapat, upaya merevitalisasi budaya Melayu tidak lain memberi pemaknaan kembali atau mereposisi
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
120
kebudayaan Melayu dalam konteks kekinian. Di sini saya melihat dalam konteksnya dengan pengamanan Selat Melaka di mana termasuk dalam lingkung budaya Melayu, berarti bahwa untuk menanggulangi keamanan selat seyogyanya dilakukan dengan pendekatan ala Melayu dan dilakukan juga oleh orang-orang Melayu. Apalagi, orang Melayu dikenal juga sebagai pelaut tangguh yang setidaknya menguasai wilayah perairannya. Sejarah telah mencatat antara lain bahwa Roteiros (Buku Panduan Laut Portugis) dibuat berdasarkan “buku panduan laut” orang Melayu, dan kerajaan-kerajaan Melayu ikut ambil bagian dalam mengamankan Selat Melaka. Festival Melayu yang setiap tahunnya diadakan di Riau mungkin dapat dijadikan ajang mengikat tali persaudaraan di antara saudara serumpun Malayu. Melalui diskusi yang intensif yang membahas berbagai persoalan di antara sesama saudara serumpun, diharapkan dapat dipecahkan masalah keamanan Selat Melaka. Diskusi tidak hanya berakhir sampai akhir seminar, tetapi hendaknya sampai diimplementasikan dalam bentuk aksi/tindakan yang positif. Kehadiran
para
petinggi
hendaknya
dapat
dijadikan
jembatan
untuk
menelurkan suatu kebijakan yang bermanfaat dan operasional, bukan untuk gaya-gayaan yang mengarah kepada gengsi. Hal lain yang patut diteladani dari Śrīwijaya adalah pembangunan sebuah perkampungan yang pada akhirnya menjadi sebuah kota. Kala itu, disadari atau tidak Dapunta Hiyaŋ telah memanfaatkan lingkungan alamnya secara bijaksana. Kota Śrīwijaya dibuat sedemikian rupa sesuai dengan konsep keagamaan. Bangunan-bangunan keagamaan ditempatkan di tempat yang tinggi, sedangkan permukiman penduduk ditempatkan di tepian sungai pada rumah-rumah rakit dan rumah-rumah kolong. Sebuah taman negara dibuat ditempat yang tinggi jauh dari kota. Adanya kolam pada taman tersebut mungkin dimaksudkan untuk penyediaan air bersih. Pohon-pohon yang ditanam kebanyakan pohon yang buahnya dapat dimakan. Sebagai penutup dari makalah sederhana ini, dapat ditarik pelajaran bagi kita yang mendiami sebuah negara kepulauan (Archipelagic States):
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
121
Sebagai sebuah Negara Kepulauan diperlukan ketahanan laut yang kuat untuk menangkal serangan atau inviltrasi pihak luar yang mudah masuk, karena seluruh penjuru tanah air “terbuka”. Bukti sejarah dan arkeologis menunjukkan kepada kita, bahwa ketahanan laut yang lemah dapat “mengundang” kekuatan asing.
Beberapa sukubangsa yang mendiami Kepulauan Riau merupakan suku-bangsa yang berlatar belakang budaya bahari. Mereka ini dapat diberdayakan sebagai kekuatan laut “alami” yang dapat mencegah infiltrasi dari luar. Dalam konteks teritorial, sukubangsa orang laut dapat dimanfaatkan untuk bela negara.
Masalah keamanan di Selat Melaka maupun di laut sekitarnya harus diselesaikan dengan cara Melayu. Terbukti pada waktu Inggris berkuasa di Melaka, keamamanan di selat tidak terpelihara. Gangguan lanun sering terjadi, padahal angkatan laut kerajaan Inggris pada masa itu merupakan yang terkuat di dunia.
Banjir, tanah longsor, dan kekurangan air di musim kemarau adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Pada masa Śrīwijaya, disadari atau tidak manusia dengan bijaksana telah mengeksploitasi lingkungan alam tempatnya hidup. Meskipun dibungkus dengan ketentuan agama, tata kota Śrīwijaya ditentukan berdasarkan keadaan lingkungan alam setempat.
Samudera luas tepinya indah Beragam suku mendiami nusa Pabila nafsu menginjak kaidah Cerai sudah anak bangsa
Kumpulan Makalah Seminar & Bedah Buku Satu Abad Kebangkitan Nasional, 27—29 Mei 2008
122