1
BEBERAPA KONSEP DASAR ESTETIKA SUNDA Dr Jamaludin Msn
Abstrak Studi mengenai konsep estetika yang terdapat dalam khasanah budaya Sunda dengan bersumberkan pada bahasa Sunda, khususnya ungkapan dan peribahasa Sunda. Di dalam ungkapan dan peribahasa Sunda terdapat penggunaan bentuk segi empat, segi tiga dan lingkaran yang dipakai sebagai simbol dari kesempurnaan perilaku, kesempurnaan tempat dan kesempurnaan keimanan. Segi empat terdapat dalam hirup kudu masagi, segi tiga terdapat dalam bale nyungcung dan lingkaran terdapat dalam niat kudu buleud. Di dalam Seni Rupa dan Matematika dikenal adanya bentuk dasar yaitu segi empat, lingkaran dan segi tiga. Ketiga bentuk dasar tersebut di dalam budaya Sunda memiliki memiliki makna formal dan simbolik disesuaikan dengan karakteristik bentuknya. Makna formal dan simbolik ini merupakan aspek dalam studi estetika khususnya dalam budaya rupa. Dari sudut pandang bahasa Sunda, estetika dapat dirumuskan ke dalam tiga kata kunci yaitu siga, sarupaning dan waas. Siga sebagai kualitas karya seni, sarupaning sebagai kuantias teknik dan karya seni dan waas sebangun dengan pengalaman seni atau pengalaman estetik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya lokal Sunda memiliki konsep estetika yang mandiri. Contoh temuan ini dapat dijadikan landasan di dalam proses berkarya seni khususnya di dalam pengembangan seni berbasis budaya lokal Sunda. Kata kunci: estetika, formal, simbolik, Sunda, bentuk dasar, siga, sarupaning, waas.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
2
Pendahuluan Istilah Estetika ini berasal dari bahasa Yunani, aestheta atau
‘things perceived’ atau
‘merasakan/mencerap benda-benda’ atau ‘persepsi’ dan noeta atau ‘things known’ (mengetahui benda). Istilah ‘estetika’ pertama kali dipakai dalam hubungannya dengan seni dan keindahan oleh filsuf rasionalis Jerman, Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), dalam bukunya Reflections on Poetry (1735) dan dikembangkan dalam buku berikutnya, Aesthetica (1750-1758). Baumgarten membedakan adanya tiga kesempurnaan di dunia ini, yaitu: (1) Kebenaran (das Wahre), ialah kesempurnaan yang bisa ditangkap dengan perantaraan rasio; (2) Kebaikan (das Gute), kesempurnaan yang ditangkap melalui moral atau hati nurani; dan (3) Keindahan (das Schone), yaitu kesempurnaan yang ditangkap dengan indera (perfectio cognitionis sensitivae, qua talis).
Bagi Baumgarten estetika adalah the science of perceptual cognition, ilmu untuk menjelaskan pengetahuan kognitif melalui cita rasa (Goldman dalam Lopes dan Gaut, 2002). Baumgarten menggunakan kata “aesthetic” dari bahasa Yunani Kuno “aisthetikos” yang berarti “berhubungan dengan persepsi”. Istilah estetika kemudian dipakai oleh Hogart (1753) dalam bukunya, Analysis of Beauty, dan oleh Edmund Burke (1756) dalam bukunya Essay on the Sublime and Beautiful (Djelantik, 1998). Immanuel Kant kemudian mengembangkan estetika ini ke dalam masalah penilaian
keindahan seni dan keindahan alam. Konsep estetika
berkembang sehingga mencakup tidak hanya masalah penilaian, tetapi juga properti, tingkah laku (aesthetic attitude), pengalaman (aesthetic experience) dan nilai (value) atau kesenangan (pleasure) dan aplikasinya tidak lagi hanya pada masalah keindahan semata (Goldman, dalam Gaut dan Lopes, 2000). Menurut Kattsoff (1953) estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan bidang seni.
Adapun tujuan estetika, menurut Sudjoko (2001) adalah menggali asas-asas yang diperlukan dalam urusan memahami, menilai ataupun mencipta seni. Dengan demikian konsep estetika telah mengalami perluasan makna. Bila semula hanya dimaksudkan sebagai telaah mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah keindahan, dewasa ini estetika telah meluas ke seluruh aspek seni termasuk desain sebagai bidang seni terapan. Penelitian ini akan UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
3
menggunakan kerangka estetika yang dibagi ke dalam dua kategori yaitu estetika formal dan estetika simbolik.
Istilah estetika sendiri adalah istilah lain dari filsafat keindahan yaitu kajian yang lebih mengarah pada pemahaman makna suatu objek seni. Meskipun demikian, estetika memiliki seperangkat alat, prinsip dan elemen yang dengannya suatu objek seni dan desain dibentuk dan juga ditelaah, baik secara fisik maupun dari aspek makna simbolik. Di sisi lain, pemahaman masyarakat Sunda terhadap konsep atau filsafat termasuk filsafat keindahan seperti bentuk pemahaman masyarakat Indonesia secara umum, yaitu sebagian besar tampaknya diwujudkan ke dalam bentuk filsafat praktis yang berfungsi sebagai petunjuk hidup (Sumardjo, 2006).
Dasar Filsafat Sunda Estetika adalah kajian di wilayah filsafat. Untuk itu diperlukan upaya untuk mencari konsep dasar filsafat Sunda, yaitu inti dari filsafat Sunda yang terkait dengan permasalahan ’ada’ atau being. Konsep’ada’ dalam filsafat Sunda antara lain terdapat dalam Baduy (Saputra, 1950) naskah 8 Riwayat Baduy, yang menguraikan asal-usul dunia: ”Bermula, maka jagat raya ini suwung, awang-awang uwung-uwungan belum ada. Suwung di sini kami diartikan ’ada dalam tiada’ ialah adanya itu tidak tampak oleh mata kepala karena matanya pun belum ada. Dari keadaan suwung ini, lama dan lama sekali menjadi cair. Dan dari keadaan cair ini ada bagian-bagian yang menjadi kental. Selanjutnya dari bagian yang kental ini, ada yang mula-mula keras sebesar cariu ading, di tempat yang kini disebut Sasaka Domas. Cariu ading (Schismatogootis latifolia MIQ var.rubescens, 422). Buahnya bulat pipih, garis menengahnya ± 2cm warnanya merah kekuning-kuningan. Ada pula keterangan bahwa sebelum sebesar cariu ading, bumi keras itu lebih dahulu akan sebesar ”sayap nyamuk”, tempatnya tetap di Sasaka Domas itu.” Tempat pertama yang mengeras itu disebut Sasaka Domas dan berkembang menjadi Kanekes kemudian berkembang menjadi dunia sekarang ini. Yang Maha Kuasa kemudian menciptakan wujud gaib cikal bakal manusia yang terdiri dari Keresa yang disebut Adam Keresa atau Batara Mahakresa, kemudian Batara Bima Karana dan Batara Kawasa. Kesatuan dari tiga wujud gaib keresa (tekad, kemauan), karana (ucap, ucapan) dan kawasa (lampah, tindakan) tersebut disebut Adam Tunggal atau Batara Tunggal dan bersemayam di Mandala, sedang Sasaka Domas tempat berkumpul. Batara Tunggal kemudian menciptakan putera keresa tujuh UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
4
batara yaitu: Batara Cikal, Batara Kala, Batara Brahma, Batara Wiswara, Batara Wisnu, Batara Patanjala dn Batara Mahadewa. Batara Patanjala kemudian turun di Sasaka Domas dan menjadi leluhur masyarakat Baduy.
Uraian di atas menjelaskan asal mula konsep ’ada’ dalam filsafat Sunda yaitu dari kondisi kosong kemudian ’mengada’ melalui proses menjadi ada. Tuhan menciptakan tiga batara yaitu Batara Keresa, Batara Karana dan Batara Kawasa dan menggabungkannya kembali ke dalam wujud Batara Tunggal. Ketiganya merupakan simbol dari tiga konsep mental untuk proses ’mengada’ manusia yaitu adanya tekad (kehendak), ucap (perkataan) dan lampah (tindakan). Ketiganya bergabung dalam satu kesatuan tunggal yang menjelma ke dalam diri manusia. Untuk ada, manusia harus mempunyai tekad, ucapan dan
tindakan. Dari uraian di atas
diketahui bahwa inti filsafat Sunda adalah masalah ’kosong’ dan ’isi’ atau ada dan tiada. Menurut Sumardjo (wawancara 31 Maret 2011), kosmologi Sunda adalah ”Dunia Isi” kaum peladang yang terdiri dari: a. Langit: atas, hujan, air, basah, perempuan, dengan simbol visual berupa lingkaran, bulatan. b. Bumi : bawah, tanah, kering, keras, lelaki, dengan simbol visual persegi, segi-segi. c. Manusia: tengah, antara bumi-langit, perempuan-lelaki, medium, dunia tritangtu. Dalam carita pantun Panggung Karaton, terdapat bait yang menurut Jakob Sumardjo (2004) merupakan inti dan nilai tertinggi dalam filsafat pantun Sunda. Bait tersebut menjelaskan kondisi ‘kosong’ dalam berbagai siloka.
Teras kangkung galeuh bitung Tapak meri dina leuwi Tapak soang dina bantar Tapak sireum dina batu Kalakay pare jumarum UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
Teras kangkung galih bitung Bekas itik di pusaran air Bekas angsa di bantaran sungai Bekas semut pada batu Daun padi mati seperti jarum Sisir rapat tanduk kucing Sisir besar tanduk kuda Berkemben lembayung senja Berkelambu pelangi Tulis langit gurat mega Panjangnya seluas dunia Intan sebesar labu
5
Sisir serit tanduk ucing Sisir badag tanduk kuda Kekemben layung kasunten Kurambuan kuwung-kuwung Tulis langit gurat mega Panjangna sabudeur jagat Inten sagede baligo Seluruh baris pada bait di atas ini maknanya satu yaitu kosong, nihil atau tidak ada. Bait tersebut menjelaskan konsep sajatining suwung atau ketiadaan sejati, sajatining purba dan sajatining hurip. Sajatining suwung atau ketiadaan sejati bermakna ‘kesempurnaan sejati’ yang berarti emptiness atau kekosongan adalah bagian dari eksistensi dan merupakan unsur utama dari eksistensi. Ada dan tiada, atau keberadaan dan ketidakberadaan merupakan bagian integral dari eksistensi. Sebab ‘yang ada’ dapat ‘mengada’ karena adanya ‘ketiadaan’. Simbol untuk ini adalah tempat air, yaitu konsep ‘wadah’ dan ‘isi’. Wadah menciptakan ruang kosong, dan ruang kosong ini adalah bagian penting dari adanya wadah. Bait pantun di atas tidak hanya merupakan inti dari pantun Sunda tetapi juga inti dari pandangan hidup masyarakat Sunda tradsional. Hal ini tampak dari sistem kepercayaan masyarakat Baduy dalam memformulasi penguasa alam tertinggi, kemahagaiban sejati, yang berada di alam Jati Niskala, yang tidak terkena hukum waktu.
Konsep Umum Estetika Sunda Menurut Hidayat Suryalaga (2008), dalam kebudayaan Sunda, estetika tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan sangat erat dengan etika. Etika adalah masalah ukuran salah dan benar, baik dan buruk, berhubungan dengan tatakrama dan sopan santun, moral, akhlak yang berasal dari ajaran religi. Dalam implementasinya, estetika hakikatnya dipakai sebagai “wadah” dan etika adalah “isi”. Isi harus bermanfaat bagi martabat kemanusiaan baik pribadi maupun komunal, sedang bungkus atau wadahnya harus indah agar melahirkan kenikmatan indrawi dan lahir batin manusia. Estetika adalah bahasa rasa, ungkapan yang diciptakan dan diterima/direspon dengan rasa melalui indra. Estetika tidak hanya bersifat denotatif tetapi juga konotatif. Dalam kehidupan masyarakat Sunda, estetika tergambar tidak hanya di dalam kesenian tetapi juga dalam perilaku dan bahasa. Keindahan berhubungan dengan rasa (persepsi) yang terkait dengan unsur waktu dan kondisi. UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
6
Dalam budaya sunda, estetika bersifat momentum atau keberadaannya selalu terkait dalam konteks waktu tertentu yang dalam bahasa Sunda disebut nuju pareng, atau sedang dalam kondisi pada waktunya. Keindahan tidak selalu berlaku atau dapat dirasa pada seluruh kondisi atau keadaan karena memiliki keterkaitan dengan unsur waktu. Etika yang tampak merupakan tata aturan berkehidupan, sesungguhnya juga mengandung unsur estetika. Etika dan estetika diciptakan oleh komunitas. Berdasarkan perkembangannya, estetika awalnya bersifat individual atau tergantung selera individual dan menjadi estetika umum ketika diakui oleh komunitasnya dan menjadi bersifat normatif dan dapat dipakai sebagai penanda sesuatu yang khas. Seperti halnya etika, estetika dapat bersifat tidak langsung, yaitu dengan cara menghadirkan media lain dengan cara simbolik (Suryalaga, 2008).
Dari segi pemilihan kata/istilah dalam bahasa Sunda, Sudjoko (2001) menjelaskan kecenderungan umum orang Sunda yang lebih memilih menggunakan kata alus untuk menyebut objek-objek yang indah. Sementara kata indah sendiri dalam bahasa Sunda adalah endah. Arti alus adalah bagus atau baik, istilah yang lebih umum dan dipakai secara luas. Istilah lain adalah hade. Padanan kata bagus ini dalam bahasa Inggris adalah good atau fine yang bermakna baik.
Estetika Formal dan Estetika Simbolik dalam Bentuk Dasar Dalam berbagai aktivitas penciptaan seni dan desain, salah satu tujuan dasarnya adalah estetika. Untuk memahami karakteristik pengalaman estetik (aesthetic experience), biasa dibuat perbedaan sensor interaksi pengamat dengan objek dalam istilah formal dan simbolik. Estetika formal berasal dari estetika sensorik yaitu berhubungan dengan kenikmatan sensasi yang diterima pengamat melalui indra dari suatu karya desain, sebagai hasil dari pencerapan yang multidimensi, dari warna, bunyi dan tekstur serta elemen permukaan lainnya dari suatu karya desain. Estetika formal dalam desain utamanya berkaitan dengan apresiasi terhadap wujud (shape), bentuk,, irama, kompleksitas, dan sekuensi dunia visual, sedang estetika simbolik adalah apresiasi terhadap makna asosiatif suatu karya desain (Jon Lang, dalam Nasar, 1992).
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
7
Estetika formal menurut Zuo dan Jones (2009) berhubungan dengan masalah visual
suatu
objek yaitu bentuk, warna, material, tekstur, ruang dan kombinasinya. Rupa, dalam konteks ini bentuk dan warna adalah hal yang pertama kali muncul secara visual jadi merupakan objek pertama yang dilihat dan secara langsung menjadi bagian utama dari keberadaan suatu objek. Nick Zangwill, (dalam Davies, dkk, 2009) mengutarakan karakteristik estetika formal hasil analisis Clive Bell (1914) dan Roger Fry (1920) yang menyatakan bahwa gambaran estetika formal pada lukisan adalah apa yang ditentukan oleh garis, bentuk, dan warna di dalam bingkai. Dengan kata lain, estetika formal menunjuk pada unsur permukaan dari suatu karya seni. Sebaliknya, karakteristik makna dan representasi (simbolik) tidak hanya ditentukan oleh apa yang ada dalam bingkai tetapi juga oleh sejarah pembuatan karya lukisan itu. Apa makna atau representasi dari lukisan ditentukan sebagian oleh intensi (maksud/tujuan) penciptanya. Simbol adalah objek pancaindra yang dipahami bukan semata dari apa yang tampak tetapi dengan pemahaman yang lebih luas dan umum. Terdapat dua istilah dalam simbol yaitu makna dan ekspresi. Makna adalah konsep pikiran, sedang ekspresi adalah penomena pancaindra, citraan yang mengarah pada respon indra. Dengan demikian simbol adalah tanda (sign), tetapi dibedakan dari tanda sebagaimana terdapat dalam bahasa dalam hal bahwa antara citra dan ide yang ditampilkannya, terdapat relasi yang alami, tidak bebas dan konvensional. Contohnya adalah bahwa singa adalah simbol keberanian, lingkaran adalah simbol keabadian. Sementara Susanne K. Langer mengutarakan teori ’simbolisme ekspresif’ yaitu bahwa seni sebagai penciptaan bentuk yang menyimbolkan perasaan manusia melalui abstraksi. Simbol bagi Langer bersifat ikonik, yaitu simbol yang masih menyerupai sesuatu yang ditunjukkannya (Sumardjo, 2000). Bagi Langer, karya seni menyimbolkan keadaan pikiran (perasaan) tetapi hubungan tersebut tidak untuk dijelaskan dalam istilah aturan referensi seperti yang terdapat dalam bahasa. Bagi Langer, karya seni adalah “simbol presentasional” (presentational symbols) yang berhubungan dengan objeknya murni bersifat bentuk (morfologis). Simbol dan objeknya dihubungkan semata oleh fakta bahwa keduanya mempunyai “bentuk logis” (logical form) yang sama. Bagi Langer, apa yang diungkapkan simbol tidak dapat dinyatakan dengan kata-kata. Dengan kata lain, kata-kata tidak memberikan ‘bentuk logis’ secara individu tetapi keseluruhan properti dan relasilah yang memberinya karakteristik (Liukkonen, 2008). UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
8
Bentuk dasar yaitu bujur sangkar, segitiga dan lingkaran adalah bentuk yang secara rupa (visual) umumnya dipahami dengan pendekatan estetika formal atau apa yang terlihat secara fisik. Apabila dicari sumbernya dari alam, maka segitiga merupakan bentuk abstraksi gunung dan vagina, sedang lingkaran bersumber dari bentuk bulan dan matahari serta bentuk dari alam lainnya seperti pendar lingkaran di permukaan air sebagai reaksi terhadap adanya gerakan di permukaan air dan beberapa bentuk dedaunan. Bentuk bujursangkar secara absolut tidak ditemukan di alam, tetapi alam menyediakan unsur-unsur yang memungkinkan bujursangkar dapat diciptakan manusia. Misalnya pada bentuk lingkaran, bujursangkar dapat dibuat dengan membuat garis sama sisi pada empat sisi lingkaran. Dalam estetika Sunda, ketiga bentuk dasar tersebut dipahami dengan cara mengacu kepada objek yang ada di alam dan dipakai sebagi simbol (estetika simbolik). Hal ini ditemukan di dalam ungkapan dan peribahasa Sunda dan ketiganya dipakai untuk menyimbolkan kesempurnaan. Bentuk bujur sangkar (pasagi) ini dipakai untuk menyimbolkan perilaku yang sempurna seperti terdapat dalam “hirup kudu masagi” atau “jelema pasagi”. Kesempurnaan perilaku disimbolkan dengan empat sisi yang sama ukurannya, dimaknai sebagai keseimbangan yang sempurna di dalam perilaku sosial dan spiritual. Bentuk dasar lingkaran terdapat dalam ungkapan “niat kudu buleud” (niat harus bulat). Bentuk bulat di alam terdapat antara lain pada bentuk bulan dan matahari. Dalam konteks yang lebih luas, bulan dan bintang juga dipakai sebagai simbol keagamaan.
Bentuk segitiga didapat dari makna bale nyungcung dan buana nyungcung. Bale nyungcung adalah bangunan dengan atap runcing sebagai puncak atap model limasan di puncak bangunan dan buana nyungcung adalah simbol dunia atas atau tempat Tuhan Yang Maha Esa. Bale nyungcung menunjuk pada bangunan beratap limasan di puncak bangunan yang merupakan model bangunan masjid tradisional yang umum di daerah tropis termasuk dalam lingkungan masyarakat Sunda. Secara formal bentuk di alam yang berujung runcing adalah gunung. Mengacu pada alam, bentuk nyungcung adalah bentuk umum gunung. Gunung berperan penting dalam perjalanan sejarah Sunda khususnya karena berbagai situs megalitikum dan makam keramat umumnya terdapat di gunung (Wessing, 2006). Wessing lebih jauh mengungkapkan penelitian Hidding (1933 dan 1935) bahwa pegunungan adalah perbatasan antara hunian manusia (settled area) dan wilayah asing tempat kehidupan manusia berakhir UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
9
dan kehidupan lain mulai. Misalnya situs Gunung Padang di Cianjur dan Ciwidey, Astana Gede Kawali dan Arca Domas di gunung Kendeng desa Kanekes (Baduy).
Menurut Fadillah (2001) sejumlah keramat, terutama dalam bentuk makam, meskipun tidak berada di puncak gunung tetapi merupakan representasi gunung atau dibayangkan sebagai gunung. Fadillah menggunakan contoh makam Syarif Hidayatullah di sebuah bukit bernama Sembung di Cirebon, masyarakat menyebutnya Sunan Gunung Jati. Menurut Claire Holt (1967) puncak-puncak gunung di Indonesia dipercaya secara luas sebagai tempat tinggal para dewa dan roh-roh leluhur. Juga gunung-gunung berapi dianggap memiliki kehidupan serta roh mereka sendiri, dipuja dan dihormati. Gunung dianggap sebagai jembatan dunia atas dan bawah, oleh karenanya tempat-tempat pemujaan didirikan di tempat yang tinggi atau dibuat meniru bentuk gunung (gunungan) seperti punden berundak dan candi serta piramid sebagai jembatan transendental antara dunia atas dan dunia bawah (Dharsono, 2007). Dalam pandangan Hindu-Budha, gunung dianggap berperan dalam menstabilkan jagat raya (univers), menyangga langit dan bumi, menetralkan kekuatan jahat, kekacauan, ketidakstabilan dan ketidakteraturan. Gunung adalah lambang kekuasaan tertinggi dan sebagai pengikat jagat raya (Snodgrass, 1985). Lebih jauh lagi sebagai tempat suci untuk bertranformasi dari bentuk kehidupan sebelumnya ke tahapan kehidupan berikutnya. Segitiga dengan ujung di atas menyimbolkan gunung sebagai lambang tempat suci untuk transformasi dari alam kehidupan ke alam gaib atau akhirat, sedang vagina adalah tempat suci untuk transformasi dari alam rahim ke alam dunia. Bentuk segi tiga baik memiliki makna yang relatif sama yaitu sebagai tempat suci atau tempat yang sempurna.
Masjid tradisionalPENDIDIKAN dengan atap model ‘meru’ (UPI) tiga tingkat. UNIVERSITAS INDONESIA Puncaknya berbentuk limasan tersusun dari empat segitiga perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu yang disebut nyungcung. (Foto: kitlv)
Segitiga, bentuk dasar gunung (foto: wallpaperbase.com)
10
Kata Kunci Estetika Sunda Dalam masyarakat Sunda unsur estetika formal tercermin dari ungkapan ketika melihat alam dan objek seni. Ajip Rosidi (wawancara 1 Desember 2008) menjelaskan mengenai ekspresi orang Sunda di dalam melihat alam dan lukisan. Apabila melihat pemandangan indah, maka akan dikatakan “siga lukisan” (seperti lukisan), sedang apabila melihat lukisan yang indah, responnya adalah “siga enya” (seperti kenyataan di alam). Pernyataan seperti ini menunjuk pada istilah siga. Pengertian siga menurut kamus Danadibrata adalah “siga nu sarua“ (seperti yang sama). Ungkapan keindahan dalam budaya Sunda umumnya menggunakan alam sebagai sumber acuan atau sebagai tolok-ukur dan perbandingan. Alam dipandang sebagai acuan atau kondisi sempurna bagi keindahan yang diciptakan manusia. Ungkapan siga dipakai dalam kaitan antara kedekatan rupa alam dan objek seni, atau antara ciptaan Tuhan dan ciptaan manusia. Dengan demikian istilah siga adalah kata kunci untuk menjelaskan kualitas penciptaan karya seni dalam budaya Sunda.
Pemahaman simbolik terhadap ketiga bentuk dasar tersebut dipahami secara empiris. Pengalaman mencerap objek-objek di dalam seni disebut pengalaman seni atau pengalaman estetik. Khasanah budaya Sunda memiliki istilah yang relevan dengan pengertian pengalaman estetik yaitu waas. Waas adalah rasa hati yang khas karena adanya unsur visual yang dicerap dan telah menjadi pengalaman. Ngawawaas dimaknai sebagai suatu perbuatan untuk menghadirkan rasa waas tersebut. Dalam Kamus Basa Sunda susunan Danadibrata, (2006), waas dijelaskan sebagai ”rasa dina waktu urang nenjo pamandangan,” (rasa manakala kita melihat pemandangan). Kamus Umum Basa Sunda (Lembaga Basa & Sastra Sunda, 1980) waas diartikan ”rasa hate waktu inget kana pangalaman nu matak resep patali jeung deengan, tetenjoan, jste” (Rasa hati ketika teringat pengalaman yang disukai berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, dsb). Sementara menurut kamus Sunda-Inggris paling tua, A Dictionary of The Sunda Language of Java, (Jonathan Rigg 1862) waas dijelaskan sebagai berikut: ”said when a pleasurable feeling is caused by seeing some one or something which reminds us of what we ourselves possess, but which, for the moment, is out of our UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
11
reach. A happy or pleasing remembrance or emotion regarding something which we do not at the moment see (as see a woman’s gown causes sentimental emotions). Dari definisi waas di atas tampak bahwa pengalaman yang terkandung di dalamnya tidak semata berupa pengalaman atas hal-hal yang indah di alam tetapi juga berbagai hal lainnya yang mampu menggugah perhatian indera, menggerakkan hati, memperkaya batin dan menggetarkan jiwa. Istilah waas, sebagaimana pengertian yang lebih rinci dari Jonathan Rigg di atas, memenuhi pengertian pengalaman estetik. Dengan kata lain, waas adalah apa yang dalam seni rupa atau estetika dikenal dengan istilah pengalaman estetik (asthetic experience).
Implementasi Konsep Dasar Estetika Sunda Ketiga bentuk dasar yaitu
bujursangkat atau segiempat, segitiga dan lingkaran
dapat
diterapkan ke dalam karya seni, desain dan arsitektur sesuai dengan konteks makna yang dikandungnya. Dalam arsitektur misalnya, bentuk segi empat dan turunannya seperti empat persegi panjang dapat diterapkan pada bangunan yang berfungsi sebagai tempat yang melambangkan kesempurnaan hidup terutama dalam masalah perilaku atau moral. Lingkaran dapat diterapkan pada bangunan-bangunan yang memiliki unsur atau fungsi serta simbol kesempurnaan keimanan yang kuat, spiritual dan kemuliaan. Dalam bentuk tiga dimensi lingkaran adalah bentuk kubah sebagaimana terdapat pada berbagai atap mesjid. Meskipun bentuk kubah mesjid umumnya mengacu pada model arsitektur mesjid di Timur Tengah, dengan pemahaman terhadap bentuk lingkaran atau bulat yang terdapat di dalam ungkapan dan peribahasa Sunda sebagaimana diuraikan di atas, maka konsep bentuk bulat dapat diterima di dalam khasanah budaya Sunda.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
12
Masjid Universitas Pendidikan Indonesia. Bale nyungcung dalam arsitektur kontemporer (Foto: kaskus.com)
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
13
Di sisi lain, bentuk dasar segitiga, yang berasal dari bentuk nyungcung dari gunung dan kemudian atap mesjid tradisional dapat dipakai kembali sebagai atap tempat peribadatan seperti mesjid dengan model tropis, sebagai dasar bentuk atap atau lambang dari bangunan yang menyimbolkan masalah kesempurnaan tempat dalam berbagai konteks dan fungsi bangunan. Ketiga bentuk dasar tersebut dapat dipakai bersamaan di dalam suatu bangunan sesuai dengan konteks dan fungsi bangunan.
Implementasi kata kunci estetika dapat dipakai sesuai sifatnya. Kualitas karya dinilai dengan pendekatan siga atau seperti yang sama. Makna siga secara filosofis mengandung kesadaran dan pemahaman mengenai suatu ciptaan manusia yang relatif dalam arti tidak akan pernah mampu menyamai ciptaan Tuhan. Karya seni manusia tidak akan dapat ke tahap mirip atau tiruan sedemikian rupa sehingga persis. Semuanya hanya sampai pada tahap siga. Meskipun demikian, ciptaan manusia muncul dalam berbagai bentuk (sarupaning rupa) yang menunjukkan adanya berbagai upaya (sarupaning karsa) mendekati bentuk ciptaan Tuhan dalam hal ini alam. Setiap kualitas tertinggi karya seni harus mampu membuat penikmat karya seni mengalami rasa waas. Salah satu upaya untuk itu adalah upaya mencapai siga dalam bentuk ngawawaas, atau membuat suatu karya seni sehingga mampu menghadirkan rasa waas.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
14
Daftar Pustaka
Fadillah, Moh. Ali (2006): Pengultusan Orang Suci pada Masyarakat Sunda: Sebuah Kontinuitas Unsur Budaya, prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, jilid 1, Bandung, Rosidi, Ajip, Ekadjati, Edi S., Alwasilah, A. Chaedar, Editor, Yayasan Kebudayaan Rancage, 419-432 Frank, Lawrence, K. (1966): The World as a Communication Network, dalam Gyorgy Kepes, Sign Image Symbol, Braziller, New York Gideon, S. (1966): Symbolic expression in prehistory and in the first high civilizations, dalam Gyorgy Kepes, Sign Image Symbol, Braziller, New York DJelantik, A. A. (1999), Estetika Suatu Pengantar, MSPI, Jakarta Kattsof, Louis Osgood (1953), Element of Philosophy, Ronald Press Company, New York. Lang, Jon, (1992): Symbolic Aesthetic in Architecture, toward a research agenda, dalam Nasar, Jack L., Editor, Environment Aesthetics: Theory, Research, and Application, Cambridge University Press, New York.11-26 Saputra, Surya (1950): Baduy. Terbitan independen. Sudjoko, (2001): Pengantar Seni Rupa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Sumardjo, Jakob (2000): Filsafat Seni, Penerbit ITB Bandung ............................(2004): Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Babad Pakuan/ Guru Gantangan, Kelir, Bandung Suryalaga, HR Hidayat (2008): Etika jeung Estetika anu Dikandung dina Folklor Sunda, makalah, disampaikan dalam Sawala Estetika Sunda di Pusat Studi Sunda, 15 Februari Wessing, Robert, (2006): Telling the Landscape: Place and Meaning in Sunda, prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, Bandung, Rosidi, Ajip, Ekadjati, Edi S., Alwasilah, A. Chaedar, Editor, Yayasan Kebudayaan Rancange, 450-474, jilid 1. Zangwill, Nick, (2009): Formalism, dalam Blackwell A companion to aesthetics, 2nd edition, Davies, Stephen, Higgins, Stephen, Hopkins, Robert, editor, Blackwell Publishing, West Sussex, UK. Internet Liukkonen, Petri (2008): Susanne K. Langer, http://www.kirjasto.sci.fi/slanger.htm, diunduh 5 April 2011 Zuo, Henfeng, Jones, Mark (2009) :Exploration into formal aesthetic in design: (material) texture, http://www.xymara.com/dsg-spotlight-texture-pdf.pdf. diunduh 11 november 2009
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI) perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu