Beberapa Catatan Penting terkait Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian* oleh Andri G. Wibisana** Daftar Isi 1. 2.
Pendahuluan ..................................................................................................... 1 Sekilas tentang Sketsa Pilihan Gugatan ........................................................ 4 2.1. Penggugat................................................................................................... 4 2.2. Objek Gugatan dan Pilihan Pengadilan ................................................... 12 3. Dasar Pertanggungjawaban Perdata: PMH vs Strict Liability .................. 13 3.1. Pengantar Singkat tentang PMH .............................................................. 14 3.2. Strict Liability di Indonesia...................................................................... 19 3.3. Beberapa Catatan Kritis ........................................................................... 22 3.3.1. Strict Liability di AS: Sebuah Perbandingan Singkat .......................... 23 3.3.2. Strict Liability dalam Sistem Eropa Kontinental ................................. 31 3.3.3. Strict Liability dan Pembuktian Terbalik ............................................. 33 3.3.4. Format Gugatan Strict Liability: Belajar dari Praktek di AS ............... 37 4. Pembuktian..................................................................................................... 43 4.1. Pembuktian Kesalahan dan Strict Liability .............................................. 43 4.2. Pembuktian Kausalitas antara Perbuatan (atau Kegiatan) dengan Kerugian............................................................................................................... 45 4.3. Ketidakpastian Pencemar dan Pertanggungjawaban Perdata .................. 51 4.3.1. Pertanggungjawaban Bersama-sama (Joint and Several Liability) ..... 51 4.3.2. Pertanggungjawaban Alternatif (Alternative Liability) ....................... 52 4.3.3. Pertanggungjawaban Industri (Industry-wide Liabilty) ....................... 53 4.3.4. Pertanggungjawaban Berdasarkan Pasar (Market Share Liability) ..... 54 4.3.5. Pertanggungjawaban Proporsional (Proportional Liability) ............... 56 4.3.6. Pembuktian Terbalik mengenai Kausalitas .......................................... 57 4.4. Pembelaan yang Lazin dalam Kasus Perdata........................................... 58 4.3.1. Bencana Alam ...................................................................................... 59 4.3.2. Kesalahan Penggugat ........................................................................... 61 4.3.3. Perbuatan Pihak Ketiga ........................................................................ 62 5. Penutup ........................................................................................................... 63
1. Pendahuluan Secara teoritis, fungsi gugatan dan pertanggungjawaban dapat dilihat secara ex ante (sebelum terjadinya kerugian) dan ex post (setelah terjadinya kerugian). Secara ex ante, gugatan/pertanggungjawaban memiliki fungsi pencegahan.
Adanya
kemungkinan bahwa seseorang harus bertanggungjawab, baik berdasarkan PMH atau strict liability (kedua hal ini akan dibahas pada Bagian 3), akan mendorong orang tersebut untuk bertindak hati-hati. Sebaliknya, jika seseorang tidak akan bertanggung
1
jawab akan hasil perbuatannya (secara teoritis disebut no liability), maka ia akan kehilangan insentif untuk bertindak secara hati-hati. Dalam kondisi no liability ini, korban adalah satu-satunya pihak yang harus bertindak secara hati-hati.1 Di
samping
melalui
ganti
rugi,
fungsi
pencegahan
dari
sebuah
gugatan/pertanggungjawaban ini dapat pula dicapai melalui permohonan injunctions (perintah pengadilan). Dalam fungsi inilah Wilkinson menyatakan bahwa “[t]he most important preventative aspect of the law of nuisance is the ability of a person whose property is threatened by pollution, or the risk of pollution, to apply for an order—an injunction—requiring the polluter to halt or modify the offending activity.”2 Dengan demikian, seseorang dapat meminta perintah pengadilan agar pencemar menghentikan atau memperbaiki kegiatannya sebelum pencemaran benar-benar terjadi.
Karena
itulah maka perintah pengadilan seperti ini memiliki fungsi pencegahan yang lebih besar dibandingkan dengan fungsi pemberian ganti rugi. Secara teoritis, permohonan injuction yang bersifat pencegahan dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe injunction. Pertama, perintah pengadilan yang bersifat pelarangan (prohibitory injunction).
Ini adalah injunction yang berisi
perintah pengadilan agar pencemar menghentikan perbuatan yang dapat merugikan penggugat.
Prohibitory injunctions dianggap terkait erat dengan pemulihan
kepentingan properti (proprietary interests) dari penggugat. Meski demikian, untuk meminta prohibitory injunctions, penggugat tidak perlu membuktikan bahwa kerugian fisik atas properti penggugat benar-benar telah terjadi. 3 Kedua, adalah perintah pengadilan yang bersifat quia timet.
Perintah pengadilan ini didasarkan pada
kekhawatiran bahwa apabila tindakan tergugat diteruskan, kerugian pada penggugat menjadi tidak terelakkan.4 Permohonan quia timet injuction mensyaratkan adanya kemungkinan yang cukup tinggi bahwa kerugian penggugat akan terjadi apabila *Disampaikan pada Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, PUSDIKLAT MA, Bogor, 8 April 2016. Hanya untuk kepentingan Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup MA. **Pengajar Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum UI. Memperoleh SH dari Fakultas Hukum UI (1998), LLM dari Master Program on Law and Economics, Utrecht University (2002), dan Dr dari Maastrict Univeristy (2008). Dapat dihubungi di:
[email protected]. 1 Menurut Cooter dan Ulen, “the rule of no liability causes the victim to internalize the marginal costs and benefits of precaution, which gives the victim incentives for efficient precaution”. Sebaliknya, “the rule of strict liability with perfect compensation causes the injurer to internalize the marginal costs and benefits of precaution, which gives him or her incentives for efficient precaution”. Lihat: Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, 6th ed. (Addison-Wesley, 2012), hal. 201204. 2 David Wilkinson, Environment and Law (Routledge, 2002), hal. 108. 3 Mark Wilde, Civil Liability for Environmental Damage: A Comparative Analysis of Law and Policy in Europe and the United States (Kluwer Law International, 2002), hal. 97-98. 4 Ibid., hal. 98.
2
tergugat meneruskan perbuatannya. Ukuran kemungkinan ini ternyata berbeda-beda di antara satu kasus dengan kasus lainnya (atau antara satu negara dengan negara lainnya).
Di Inggris, dalam kasus Redland Bricks Ltd. V. Morris, Lord Upjohn
mensyaratkan adanya probabilitas yang sangat tinggi bahwa kerugian akan terjadi. Dalam hal ini, Lord Upjohn menyatakan bahwa “the plaintiff shows a very strong probability on the facts that grave damage will accrue to him in the fufure”—[garis bawah dari penulis],5 sehingga permohonan perintah quia timet dikabulkan. Berbeda dengan di Inggris, pengadilan di Australia meminta syarat bahwa “there must be a fairly high degree of probability that the nuisance will occur”.6 Dalam hal ini, syarat di Inggris tampaknya lebih sulit dibandingkan dengan di Australia, karena syarat bahwa “kerugian hampir pasti terjadi” (atau bahwa “kerugian sangat mungkin akan terjadi”) merupakan syarat yang lebih sulit bagi penggugat dibandingkan dengan syarat “adanya kemungkinan yang cukup tinggi bahwa kerugian akan terjadi”. Di AS, injunction semacam quia timet pun dimungkinkan, dengan syarat adanya “kemungkinan yang membahayakan” (dangerous probability) bahwa kerugian akan terjadi.7 Dari sisi ex post, gugatan/pertanggungjawaban perdata memiliki dua fungsi. Pertama, memberikan kesempatan kepada korban agar kerugiannya diganti oleh mereka yang menyebabkan kerugian tersebut. Atas dasar ini, Coleman menyatakan bahwa secara struktural pertanggungjawaban perdata terkait dengan pertanyaan siapakah di antara korban dan pelaku (injurer) yang harus memikul kerugian; sedang secara substantif, pertanggungjawaban perdata terkait dengan adanya kewajiban bagi mereka yang menyebabkan kerugian pada korban untuk mengganti kerugian tersebut.8 Singkatnya, gugatan/pertanggungjawaban perdata akan memberikan dasar hukum yang mewajibkan pencemar untuk membayar kompensasi kepada korban.
Dikutip dari: Alastair Mullis dan Ken Oliphant, Torts, 2nd ed. (Macmillan Press, 1997), hal. 340. Wilkinson menafsirkan bahwa persyaratan dalam Redland Bricks Ltd. V. Morris meminta penggugat untuk menunjukkan bahwa kerugian hampir pasti (near certainty) terjadi jika perbuatan tergugat diteruskan. Lihat: David Wilkinson, op cit., hal.109. Pendapat Wilkinson ini mirip dengan pandangan pengadilan tinggi di Irlandia dalam Attorney General (Boswell) v. Rathmines and Pembroke Joint Hospital Board, yang menyamakan antara kemungkinan yang tinggi (strong probability) dengan hampir pasti. Dalam hal ini, pengadilan menyatakan bahwa “[t]o sustain the [quia timet] injunction the law requires proof by the plaintiff of a well founded apprehension of injury, proof of actual and real danger—a strong probability, almost amounting to a moral certainty...” Dikutip dari: Mark Wilde, op cit., hal. 99. 6 David Wilkinson, loc cit. 7 Mark Wilde, op cit., hal. 100. 8 Jules Coleman, Risks and Wrongs (Cambridge University Press, 1992), hal. 198. 5
3
Kedua,
gugatan/pertanggungjawaban
perdata
pun
dapat
memberikan
kesempatan kepada korban untuk meminta perintah pengadilan. Dalam literatur, perintah pengadilan semacam ini disebut sebagai mandatory injunction (perintah pengadilan wajib), yaitu perintah pengadilan yang mewajibkan tergugat untuk melakukan pemulihan kerugian (rectification of physical damage) yang telah terjadi.9 Tulisan ini secara garis besar akan memperlihatkan kemungkinan gugatan yang dapat diajukan untuk kasus pencemaran. Setelah Pendahuluan ini, Bagian 2 akan memperlihatkan sketsa alternatif gugatan yang dapat diajukan untuk kasus lingkungan. Dalam hal ini akan didiskusikan siapa saja yang dapat mengajukan gugatan, siapa yang dapat menjadi tergugat, dan ke pengadilan mana gugatan tersebut dapat ditujukan. Bagian 3 akan mendiskusikan secara panjang lebar mengenai dasar pertanggungjawaban perdata. Bagian ini akan membandingkan pertanggungjawaban berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan strict liability. Bagian ini akan memperlihatkan pula beberapa catatan kritis atas penerapan dan penafsiran atas strict liability di Indonesia. Bagian liability.
4 akan mendiskusikan aspek pembuktian, tertutama terkait strict
Bagian
ini
akan
pula
mendiskusikan
beberapa
teori
terkait
pertanggungjawaban ketika terdapat ketidakjelasan mengenai pihak mana yang sebenarnya telah menyebabkan kerugian penggugat. Bagian ini akan ditutup dengan diskusi terkait pembelaan (defense), terutama terkait strict liability. Catatan penutup akan diberikan dalam Bagian 5. 2. Sekilas tentang Sketsa Pilihan Gugatan 2.1. Penggugat Di Indonesia, hak gugat dapat diberikan kepada: 1. Perorangan Gugatan perorangan merupakan gugatan yang paling konvensional. Gugatan ini didasarkan pada adanya kepentingan dari pihak penggugat.
Dalam gugatan
perorangan, penggugat adalah korban, dan tergugat adalah pihak yang didalilkan telah menyebabkan kerugian pada penggugat. Gugatan ini dapat ditujukan pada
9
Mark Wilde, op cit., hal. 101-102.
4
semua pihak, baik itu pencemar ataupun pemerintah. Dalam gugatan perorangan, penggugat dapat meminta ganti rugi dan perintah pengadilan (injunction).
2. Organisasi Lingkungan Hak gugat organisasi lingkungan diberikan kepada organisasi lingkungan yang memenuhi syarat sebagai berikut:10 a. berbentuk badan hukum; b. merupakan organisai lingkungan, yang menurut UU No. 32 tahun 2009 adalah organisasi yang “menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”; c. merupakan organisasi yang bonafide, yang ditunjukkan dengan “telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun”. Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, bukti bahwa organisasi lingkungan telah melaksanakan kegiatan nyata dapat ditunjukkan, antara lain, bahwa organisasi telah “melakukan kegiatan seminar atau advokasi lingkungan yang dibuktikan dengan misalnya laporan kegiatan, laporan tahunan, foto, kliping koran.” Organisasi lingkungan tidak bisa meminta ganti rugi, melainkan hanya “tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil”.
11
Pembatasan ini dibuat karena organisasi
lingkungan bukanlah korban, dalam arti pihak yang secara langsung mengalami kerugian. Dengan demikian, organisasi lingkungan hanya bisa meminta perintah pengadilan (injunction). 10
UU No. 32 tahun 2009, Pasal 92 ayat 3. UU No. 32 tahun 2009, Pasal 92 ayat 2. Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, tindakan tertentu adalah “tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.” Sedangkan yang biaya atau pengeluaran riil adalah “biaya atau pengeluaran yang secara riil dikeluarkan oleh penggugat dalam pengajuan gugatan, misalnya biaya analisa laboratorium, biaya ahli, biaya transportasi dll (harus dibuktikan dengan bukti pengeluaran yang sah)”. 11
5
3. Masyarakat melalui gugatan perwakilan Masyarakat yang menderita kerugian dapat pula mengajukan gugatan berdasarkan gugatan perwakilan (class action).
UU No. 32 tahun 2009
menyatakan bahwa “[m]asyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.” 12 Dengan demikian penggugat dalam class action sama dengan penggugat dalam gugatan perorangan, yaitu sama-sama merupakan korban. banyak.
Bedanya adalah di dalam class action, penggugatnya berjumlah 13
Di dalam class action, penggugat terdiri dari wakil kelas/kelompok, yaitu mereka yang maju di pengadilan, dan anggota kelas/kelompok. Di antara wakil kelas dan anggota kelas haruslah memenuhi syarat “terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.” 14 Dengan demikian, wakil kelas dan anggota kelas haruslah sama-sama merupakan korban dari sebuah tindakan tergugat yang sama. Selain persyaratan di atas, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menentukan pula syarat formil dari sebuah surat gugatan class action, yang harus memuat: 15 a). Identitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok; b). Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, tanpa perlu menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu; c). Keterangan umum terkait anggota kelompok guna memudahkan pemberitahuan kepada para anggota 12
UU No. 32 tahun 2009, Pasal 91ayat (1). Inilah yang disebut sebagai syarat numerousity. Dalam hal ini, jumlah anggota kelas penggugat haruslah banyak, sehingga gugatan perorangan menjadi tidak mungkin. Lihat: Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, 7th ed., cetakan ke-12 (Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 402. UU Lingkungan Indonesia tidak menentukan jumlah tertentu untuk dapat dikatakn “banyak”. Guna mendorong kepastian hukum yang lebih baik, maka Sugiarto mengusulkan adanya ketentuan mengentai batas minimum jumlah penggugat agar dapat dikatakan “banyak” sehingga gugatan dapat diajukan melalui gugatan class action. Lihat: Indro Sugianto, Class Action: Konsep dan Strategi Gugatan Kelompok untuk Membuka Akses Keadilan bagi Rakyat (Malang: Setara Press, 2013), hal. 126. 14 UU No. 32 tahun 2009, Pasal 91 ayat (2). Syarat inilah yang disebut sebagai commonality (kesamaan dasar hukum dan fakta) dan typicality (kesamaan tuntutan). Dalam literatur, syarat class action ditambah dengan kelayakan dari wakil kelas (adequacy of representation). Lihat: Koesnadi Hardjasoemantri, loc cit. Lihat pula: Indro Sugianto, op cit., hal. 125. 15 Peraturan MA No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Pasal 3. 13
6
tersebut; d). Posita secara jelas dan terperinci dari seluruh kelompok; e). Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;16 f). Tuntutan atau petitum secara jelas dan rinci, serta memuat pula usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Syarat mengenai
petitum di atas memerlihatkan bahwa di dalam gugatan class action, penggugat dapat meminta ganti rugi dan perintah pengadilan. Selama proses pemeriksaan persyaratan gugatan, hakim dapat memberikan nasehat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan.17 Selanjutnya, apabila hakim menganggap gugatan tidak memenuhi persyaratan, hakim akan mengeluarkan putusan untuk menghentikan pemeriksaan.18 Sebaliknya, apabila gugatan dianggap memenuhi persyaratan class action, hakim akan mengeluarkan penetapan pengadilan,19 dan selanjutnya memerintahkan kepada penggugat untuk mengusulkan model pemberitahuan guna memperoleh persetujuan hakim.20 Dalam gugatan class action, pemberitahuan (notifikasi) kepada anggota kelas merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anggota kelas untuk menentukan sikap apakah akan ikut serta di dalam gugatan (menjadi anggota kelas) atau tidak. Secara teoritis terdapat dua mekanisme bagi anggota untuk bereaksi atas sebuah gugatan class action. Pada mekanisme opt in (pernyataan masuk), hanya anggota kelas yang melakukan pernyataan sebagai anggota kelas lah yang akan dianggap sebagai anggota kelas. Mereka yang tidak membuat pernyataan (mereka yang 16
Hal ini berarti merupakan penjelasan yang cukup fleksibel atas syarat kesamaan tuntutan (typicality), karena dengan demikian Perma mengizinkan adanya tuntutan yang berbeda-beda dari anggota kelompok. Dalam hal ini, perbedaan tuntutan—yang memang sangat mungkin terjadi karena adanya perbedaan besar dan sifat dari kerugian anggota kelompok—diatasi dengan adanya sub kelompok, yang masing-masing akan merepresentasikan sifat dan besaran kerugian (dan karenanya juga tuntutan) tertentu. 17 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (2). 18 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (5). 19 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (3). 20 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 5 ayat (4).
7
diam saja), dianggap bukan sebagai anggota kelas, meskipun mereka mengalami kerugian yang sama dengan wakil kelas.
Sebaliknya, pada sistem opt out
(pernyataan keluar), hanya mereka yang menyatakan diri keluar dari kelompok lah yang akan dianggap sebagai bukan anggota kelompok. Sebaliknya, mereka yang diam saja, apabila memang memenuhi kesamaan sebagai anggota kelas, akan dianggap sebagai anggota kelas. 21 Beberapa negara seperti Canada dan Australia menerapkan mekanisme opt out. Demikian pula dengan sistem pada tingkat federal dan negara bagian di Amerika Serikat, kecuali negara bagian Pennsylvania, juga menerapkan mekanisme opt out.
Pada negara bagian
Pennsylvania, sistem yang berlaku adalah campuran, di mana pengadilan diizinkan untuk berpindah dari sistem opt out ke opt in jika menghadapi kasus tertentu.22 Seperti akan dijelaskan pada bagian di bawah, Indonesia menganut sistem opt out. Menurut Peraturan MA, pemberitahuan dilakukan melalui media massa, kantorkantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok sesuai dengan persetujuan hakim.
23
Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan segera setelah hakim
mengeluarkan penetapan pengadilan mengenai sahnya gugatan class action, dan pada saat tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi jika gugatan dikabulkan.24 Di samping memuat cara pernyataan keluar,25 pemberitahuan juga harus memuat informasi mengenai:26 a). nomor gugatan dan identitas penggugat, wakil kelompok, serta tergugat atau para tergugat; b). penjelasan singkat tentang kasus; c). penjelasan tentang pendefinisian kelompok; d). penjelasan tentang akibat dari keturutsertaan sebagai anggota kelompok; e). penjelasan tentang dimungkinkannya anggota kelompok (yaitu mereka yang termasuk ke dalam definisi kelompok) untuk menyatakan diri keluar dari keanggotaan kelompok; f). penjelasan tentang kapan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan; g). penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar; 21
Lihat, misalnya: Susanti Adi Nugroho, Class Action dan Perbandingannya dengan Negara Lain (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 210-211. 22 Ibid., hal. 215. 23 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (1). 24 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (2). 25 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (3). 26 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 7 ayat (4).
8
h). informasi mengeni siapa dan tempat yang tersedia untuk penyediaan informasi tambahan; i). formulir isian tentang pernyataan keluar; dan j). penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang diajukan. Menurut Peraturan MA No. 1 tahun 2002, setelah adanya pemberitahuan, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim memiliki kesempatan untuk menyatakan diri keluar dari keanggotaan kelompok. Pernyataan ini haurs dituangkan di dalam formulir yang telah ditentukan di dalam Peraturan MA ini.27 Mereka yang melakukan pernyataan keluar (opt out) ini dengan demikian tidak lagi tidak terikat dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang sedang diadili.28 Hal penting lainnya yang perlu diketahui di dalam gugatan class action adalah mekanisme pendistribusian ganti rugi. Dalam hal ini, Peraturan MA menyatakan bahwa apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, maka hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, menentukan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, menentukan pula mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.29 Karena sistem yang dianut di Indonesia adalah opt out, yang memungkinkan adanya ketidakjelasan dalam penentuan siapa saja individu yang menjadi anggota, maka mekanisme pembagian ganti rugi harus ditentukan secara jelas dan tegas. Di samping itu, perlu pula adanya jaminan bahwa mekanisme itu akan dijalankan oleh para pihak. 4. Warga negara Hak gugat warga negara (citizen suit) sebenarnya tidak dikenal di dalam perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi hak gugat ini diakui di dalam prakteknya semenjak putusan Kasus Nunukan. 30
Dalam kasus lingkungan,
27
Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 8 ayat (1). Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 8 ayat (2). 29 Peraturan MA No. 1 tahun 2002, Pasal 9. 30 Lihat: Pengadilan Jakarta Pusat No. 28/PDT.G/2003/PN.JKT.PST, I. Sandyawan Sumardi, dkk v. Negara Republik Indonesia cq. Kepala Negara, Presiden RI, cq. Megawati Soekarnoputri, dkk (2003). 28
9
gugatan ini dapat dilihat dalam kasus gugatan warga Samarinda terhadap Pemerintah RI.31 “ Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, persyaratan dari gugatan warga negara meliputi: "a). "b). "c). "d).
Penggugat adalah satu orang atau lebih WNI, dan bukan badan hukum; Tergugat adalah pemerintah dan/atau lembaga negara; Dasar gugatan adalah untuk kepentingan umum;32 Obyek gugatan adalah pembiaran atau tidak dilaksanakannya kewajiban hukum; "e). Notifikasi/somasi wajib diajukan dalam jangka waktu 60 hari kerja sebelum adanya gugatan dan sifatnya wajib. Apabila tidak ada notifikasi/somasi gugatan wajib dinyatakan tidak diterima;33 "f). Notifikasi/somasi dari calon penggugat kepada calon tergugat dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. "g). Jangka waktu 60 hari kerja bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Pemerintah melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diminta atau dituntut oleh calon penggugat.” Dalam gugatan warna negara di Indonesia, pihak tergugat hanyalah terbatas pada Pemerintah.
Lebih jauh lagi, tuntutan dalam gugatan ini pun terbatas pada
permohonan perintah pengadilan, dan tidak boleh adanya permintaan ganti rugi.34 Praktek gugatan warga negara tersebut sepertinya sedikit berbeda dengan apa yang dipraktekkan di Amerika Serikat. Perbedaan tersebut setidaknya meliputi dua hal. Pertama, di AS, gugatan warga negara tidak hanya diajukan kepada 31
PN Samarinda, Putusan No. 55/Pdt.G/2013/PN Smda., Komari, dkk v. Walikota Samarinda, dkk (2014). 32 Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah “kepentingan lingkungan dan kepentingan makhluk hidup yang potensial atau sudah terkena dampak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan”. 33 Menurut Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, pemberitahuan singkat/notifikasi/somasi dibuat secara tertulis dan antara lain berisi: informasi pelaku pelanggaran dan lembaga yang relevan dengan pelanggaran; jenis pelanggaran; peraturan perudang-undangan yang telah dilanggar. 34 Lihat: Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Selain tidak boleh meminta ganti rugi, Nugroho juga menambahkan bahwa gugatan warga negara tidak boleh meminta pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara dan tidak boleh pula berupa permohonan pembatalan UU (karena ini adalah kewenangan MK) dan pembatalan peraturan di bawah UU (karena ini adalah kewenangan judicial review melalui MA). Lihat: Susanti Adi Nugroho, op cit., hal. 394-395.
10
pemerintah (atas kegagalannya menerapkan hukum), tetapi juga kepada sesama warga negara atau badan usaha yang gagal menaati kewajiban hukumnya. Dalam hal ini, kita bisa merujuk misalnya pada Clean Water Act § 505(a) [33 U.S.C. § 1365(a)], yang menyatakan bahwa: “any citizen may commence a civil action on his own behalf— (1) against any person (including (i) the United States, and (ii) any other governmental instrumentality or agency....) who is alleged to be in violation of (A) an effluent standard or limitation... or (B) an order issued by the Administrator or a State with respect to such a standard or limitation, or (2) against the Administrator where there is alleged a failure of the Administrator to perform any act or duty.... The district courts shall have jurisdiction, without regard to the amount in controversy or the citizenship of the parties, to enforce such an effluent standard or limitation, or such an order, or to order the Administrator to perform such act or duty, as the case ma be, and to apply any appropriate civil penalties under section 1319(d) of this title.” Dari kutipan di atas terlihat bahwa gugatan warga negara tidak hanya dapat ditujukan kepada pemerintah yang dianggap gagal melakukan kewajibannya (a failure of the Administrator to perform any act or duty), tetapi juga kepada siapa pun (any person) yang dianggap telah melanggar baku mutu efluen (baku mutu air limbah) atau perintah dari pejabat pemerintah terkait baku mutu ini. Karena itu lah, maka petitum dalam dalam gugatan warga negara tidak hanya terkait dengan pelaksanaan kewajiban oleh Pemerintah, tetapi juga dapat meminta siapa pun yang telah melanggar hukum (dalam hal ini baku mutu efluen) untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Kedua, seperti kutipan terlihat dari kutipan Clean Water Act § 505(a) di atas, gugatan warga negara juga dapat meminta adanya “civil penalties”, yaitu semacam uang paksa yang dalam hal ini dibebankan atas setiap keterlambatan penghentian pelanggaran baku mutu. Menurut Clean Water Act § 309(d) [33 U.S.C. § 1319(d)], besarnya “civil penalties” ini paling tinggi adalah US$25.000 per hari untuk tiap pelanggaran, yang akan dibayarkan kepada negara. Selain dari “civil penalties”, penggugat dalam gugatan warga negara juga dapat meminta tergugat untuk membayar biaya pengadilan (litigation costs), termasuk honor pengacara dan saksi ahli.35 35
Clean Water Act § 505(d) [33 U.S.C. § 1365(d)].
11
5. Gugatan pemerintah UU No. 32 tahun 2009 menyatakan bahwa:36 “Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.” Dengan demikian, gugatan Pemerintah ini memungkinkan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK atau Dinas Lingkungan, dapat meminta ganti rugi dan perintah pengadilan.
Khusus mengenai ganti rugi, UU No. 32 tahun 2009
membatasi ganti rugi ini hanya untuk kerugian lingkungan hidup, yaitu “kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.”37 Contoh dari Gugatan Pemerintah dapat dilihat dalam kasus perdata Kalista Alam, di mana Pemerintah berhasil memenangkan gugatan melawan PT. Kalista Alam atas kasus kebakaran hutan yang terjadi di daerah perkebunan milik tergugat. Dalam kasus ini, tergugat (PT. Kalista Alam) diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah sebanyak Rp. 114,3 milyar dan melakukan pemulihan dengan biaya sebesar Rp. 251,7 milyar.38 2.2. Objek Gugatan dan Pilihan Pengadilan Objek gugatan, terutama apabila terkait dengan gugatan terhadap Pemerintah, sangat terkait erat pilihan pengadilan. Apabila yang digugat adalah sebuah ketetapan seorang pejabat pemerintah (beschikking), maka gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila yang digugat adalah tindakan nyata dari seseorang atau
36
UU No. 32 tahun 2009, Pasal 90 ayat (1). UU No. 32 tahun 2009, Penjelasan Pasal 90 ayat (1). 38 PN Meulaboh, Putusan No. 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO, Menteri Negara Lingkungan Hidup v. PT. Kalista Alam (2014). 37
12
Pemerintah, atau kebijakan Pemerintah, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri sebagai gugatan perdata biasa. Dengan demikian, untuk kasus lingkungan kita bisa melihat beberapa kemungkinan gugatan, yaitu: − Gugatan ke PTUN atas izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Izin ini bisa merupakan izin usaha/kegiatan maupun izin lingkungan atau izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (izin PPLH) menurut PP No. 27 tahun 2012. − Gugatan perdata kepada pemegang izin.
Hal ini dilakukan jika kegiatan
pemegang izin telah merugikan penggugat, atau berpotensi akan merugikan penggugat. − Gugatan perdata kepada pemerintah. Gugatan ini didasarkan kepada perbuatan melawan hukum oleh pemerintah.
Dalam beberapa kasus lingkungan,
Pemerintah dilibatkan karena kebijakan atau perbuatannya dianggap gagal untuk melindungi masyarakat dan/atau lingkungan hidup, gagal melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Atas dasar ini maka pemerintah dianggap telah gagal menunaikan kewajiban hukummnya.39 Pertanyaan selanjutnya adalah atas dasar apa sebuah gugatan diajukan? Pertanyaan ini terkait dengan dasar pertanggungjawaban seseorang, terutama, secara perdata. Inilah yang akan dibahas dalam bagian di bawah ini. 3. Dasar Pertanggungjawaban Perdata: PMH vs Strict Liability Di Indonesia, gugatan perdata dapat diajukan atas dua hal: wanprestasi dan PMH. Apabila wanprestasi didasarkan pada adanya pelanggaran perjanjian, maka PMH merupakan pertanggungjawaban yang tidak terkait dengan pelanggaran perjanjian (non-contractual liability). Dalam konteks lingkungan, PMH dapat dilihat dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 32 tahun 2009, yang menyatakan bahwa: “[s]etiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan 39
Dalam kasus perubahan iklim Samarinda, kebijakan pemerintah (termasuk pemberian izin) dan kurangnya pengawasan dan penegakan hukum dianggap merupakan indikasi adanya perbuatan mewalan hukum oleh Pemerintah. Lihat: PN Samarinda, Putusan No. 55/Pdt.G/2013/PN Smda., Komari, dkk v. Walikota Samarinda, dkk (2014). Sementara itu, dalam kasus Mandalawangi, kurangnya pengawasan oleh pemerintah dianggap sebagai indikasi perbuatan melawan hukum oleh pemerintah. Lihat: Mahkamah Agung RI, Putusan No. 1794 K/Pdt/2004, Dedi, dkk v. Direksi Perum Perhutani, dkk (2007).
13
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu—[italics dari penulis].” Sementara itu, strict liability, yang diartikan sebagai tanggung jawab mutlak, dapat dilihat dalam Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009, yang menyatakan: “[s]etiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Penegasan bahwa tanggung jawab mutlak adalah strict liability dapat dilihat dari Penjelasan Pasal 88 UU No. 32 tahun 2009, yang menyatakan bahwa “[y]ang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.” 3.1. Pengantar Singkat tentang PMH Pada umumnya, pertanggungjawaban perdata baik di dalam civil law ataupun common law didasarkan pada aturan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Dalam kaitannya dengan civil law, Tunc menyatakan dasar dari pertanggungjawaban perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan bahwa "[e]very act whatever of man that causes damage to another, obliges him by whose fault it happened to repair it.”40 Aturan inilah yang di Indonesia dikenal dengan sebuatan perbuatan melawan hukum (PMH). Sedangkan dalam kaitannya dengan common law, Peck menyatakan bahwa pertanggungjawaban perdata yang paling umum dan dominan adalah negligence.41 Lalu apakah negligence itu? Menurut Galligan, Jr., terdapat beberapa unsur yang harus dibuktikan di dalam negligence, yaitu: a). adanya kewajiban (duty), b). adanya pelanggaran terhadap kewajiban tersebut (breach of duty); c). adanya kerugian 40
André Tunc, “Fault: A Common Name for Different Misdeeds”, Tulane Law Review, Vol. 49, 1975, hal. 279. 41 Dalam hal ini, Peck menyatakan bahwa secara tradisional, mahasiswa fakultas hukum diajarkan bahwa “…the principles of negligence comprise the field of tort law, and that fault is the most common basis for determining liability for harmful conduct. The space devoted in most law school torts casebooks suggests to students and future lawyers that negligence is the dominant principle of tort law”. Lihat: Cornelius J. Peck, “Negligence and Liability without Fault in Tort Law”, Washington Law Review, Vol. 46(2), 1971, hal. 225. Dalam tulisan tersebut, Peck sebenarnya bermaksud membantah pandangan di atas, dan ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya strict liability lah yang lebih sering digunakan dibandingkan dengan negligence. Terlepas dari benar tidaknya temuan Peck ini, kutipan di atas setidaknya memperlihatkan bahwa dalam pandangan mayoritas ahli hukum, negligence biasanya dianggap sebagai aturan hukum yang dominan di dalam tort.
14
pada diri penggugat; dan d). hubungan kausalitas antara perbuatan negligence dari tergugat (berupa pelanggaran terhadap kewajiban) dengan kerugian yang diderita penggugat.42 Menurut Galligan, duty adalah kewajiban dari tergugat untuk bertindak secara patut dan hati-hati (reasonable care). Pelanggaran terhadap kewajiban ini terjadi ketika tergugat tidak melakukan tindakan yang patut dan hati-hati yang secara hipotetis akan dilakukan oleh orang lain (diistilahkan dengan “reasonable man”) jika berada dalam situasi yang sama dengan tergugat.
Artinya, tergugat dianggap
melanggar duty of care jika ia tidak melakukan apa yang akan dilakukan oleh “reasonable man”. Jika seluruh unsur negligence tersebut terbukti, maka tergugat dinyatakan bertanggungjawab atas dasar fault (dalam hal ini negligence). Dengan demikian, fault bukanlah sebuah unsur tersendiri yang harus dibuktikan dalam negligence. Dari penjelasan di atas, sebenarnya tampak adanya kemiripan antara negligence dengan PMH yang di antaranya juga mensyaratkan adanya pembuktian mengenai unsur perbuatan melawan hukum (berupa pelanggaran hak, pelanggaran kewajiban, atau pelanggaran kepatutan/kehati-hatian), kerugian, dan kausalitas. Sepintas kita bisa menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara negligence dan PMH, karena pada PMH penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan.43 Namun demikian, apabila kita menelusuri lebih dalam makna “kesalahan” ini, maka sebenarnya pembuktian “kesalahan” tersebut tidak berbeda dengan pembuktian tentang adanya perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya, sama seperti dalam negligence, kesalahan tidaklah menjadi salah satu unsur yang harus dibuktikan secara tersendiri. Dalam hal ini, kita dapat merujuk pada salah satu penafsiran tentang makna “kesalahan” yang juga sebenarnya telah dikemukakan oleh Djojodirdjo. Menurutnya, sebenarnya pembuat undang-undang juga membuka kemungkinan untuk mengartikan “kesalahan” sebagai “melawan hukum” itu sendiri. Dalam hal ini, “[s]eseorang yang telah melakukan sesuatu secara keliru sudah tentu melakukannya karena salahnya. Maka kesalahan (schuld) memperkirakan adanya tindak-tanduk yang keliru”.44 Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Agustina pada saat mendiskusikan pandangan Vollmar mengenai kesalahan secara subjektif (abstrak) dan secara objektif 42
Thomas C. Galligan, Jr., “A Primer on the Patterns of Negligence”, Lousiana Law Review, Vol. 53, 1993, hal. 1510. 43 Moegni A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hal. 65-73; juga: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hal. 117. 44 Moegni A.M. Djojodirdjo, op. cit., hal. 69.
15
(konkret). Menurut Agustina, apabila kesalahan diartikan sebagai kesalahan secara objektif (konkret), maka kesalahan dianggap ada apabila pelaku melakukan perbuatan secara lain dari apa yang seharusnya ia lakukan. Dalam hal ini, “kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu”.45 Pandangan Djojodirdjo dan Agustina terkait kesalahan objektif inilah yang pada saat ini tampaknya dianut oleh banyak negara di Eropa. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan van Schilfgaarde berikut ini. Menurut van Schilfgaarde, Nieuw BW (KUHPerdata Baru—selanjutnya disebut NBW) menyatakan bahwa PMH mensyaratkan adanya bukti bahwa tergugat: a). melakukan perbuatan yang melawan hukum; dan b). bahwa perbuatan tersebut secara hukum dapat dibebankan (attributed) kepada tergugat. Dengan demikian, dalam PMH di Belanda, terdapat dua pengujian: pertama, bahwa perbuatan tergugat adalah perbuatan yang salah, dan kedua, bahwa tergugat bersalah.46 Bahwa perbuatan tergugat adalah perbuatan yang salah, ditunjukkan dengan adanya pelanggaran hak, pelanggaran terhadap kewajiban, atau perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan menurut hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat.
Menurut
van
Schilfgaarde, pelanggaran hak terjadi ketika perbuatan seseorang terkait dengan hak orang lain untuk tidak dirugikan, atau hak orang lain atas propertinya. Sementara pelanggaran terhadap kewajiban dapat berupa pelanggaran terhadap kewajiban yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau perizinan.
Sedangkan
pelanggaran terhadap hukum tidak tertulis adalah pelanggaran terhadap apa yang menurut masyarakat merupakan kehati-hatian atau kepatutan (societal care).47 Selanjutnya van Schilfgaarde menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum (unlawful act) memiliki pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang digunakan
di
dalam
sistem
common
law,
yaitu
“kurangngya
kehati-
hatian/kercermatan” (“lack of due care”), atau “pelanggaran terhadap standar kehatihatian/kercematan” ("violation of the standard of care"). 48
Seperti dijelaskan
sebelumnya, bukti bahwa perbuatan seseorang adalah perbuatan yang salah (wrongful), dalam artian merupakan perbuatan yang melanggar hukum, belum lah cukup untuk membuat orang tersebut bertanggung jawab. Dengan demikian, secara 45
Lihat: Rosa Agustina, op cit., hal. 47. Elizabeth van Schilfgaarde, “Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic Analysist”, California Western International Law Journal, Vol. 21, 1991, hal. 272. 47 Ibid., hal. 273. 48 Ibid., hal. 276. 46
16
teoritis penggugat masih harus menunjukkan bahwa tergugat adalah pihak yang salah, sehingga pertanggungjawaban bisa diatribusikan kepadanya. Terkait atribusi pertanggungjawaban ini, van Schilfgaarde menyatakan bahwa berdasarkan NBW seseorang bertanggungjawab atas sebuah perbuatan melawan hukum, jika perbuatan ini dapat diatribusikan kepada orang tersebut berdasarkan: a). kesalahan orang tersebut; atau b). undang-undang; atau c). pandangan yang hidup dalam masyarakat. 49 Unsur kesalahanlah yang merupakan bagian paling relevan dalam pembahasan ini. Terkait unsur kesalahan tersebut, van Schilfgaarde berpendapat bahwa meskipun kesalahan secara subjektif merupakan hal yang penting dalam mengatribusikan sebuah pertanggungjawaban kepada seseorang, tetapi kurangnya kesalahan subjek tidaklah menghilangkan pertanggungjawaban seseorang. Karena itulah maka van Schilfgaarde berpandangan bahwa kesalahan objektif-lah, dan bukan kesalahan
secara
pertanggungjawaban.
subjektif, 50
yang
menjadi
syarat
cukup
bagi
atribusi
Jika terdapat bukti bahwa tergugat melakukan perbuatan
melawan hukum dengan sengaja, maka dengan mudah kita dapat menyatakan bahwa tergugat bersalah, dan karenanya ia harus bertanggung jawab. Namun demikian, jika bukti kesengajaan tersebut tidak ada, maka tergugat tidak lantas terbebas dari pertanggungjawaban, sebab ia bisa bertanggung jawab karena lalai. Bagaimana kelalaian ini ditunjukkan? Hal ini bisa kita kaitkan dengan bagaimana kesalahan secara objektif dibuktikan. Kees van Dam, segaimana dikutip oleh van Schilfgaarde, mengutarakan bahwa kesalahan secara objektif memiliki dua karakter yang harus dibuktikan. Pertama adalah kemungkinan adanya pengetahuan (possibility of knowledge) tentang resiko, yaitu pengetahuan bahwa sebuah perbuatan dapat menimbulkan akibat tertentu.
Pengetahuan ini sifatnya umum, dalam arti
pengetahuan umum yang tidak harus merupakan pengetahuan yang benar-benar dimiliki oleh pelaku (tergugat) pada saat ia melakukan perbuatannya. Kedua, adalah kemampuan untuk menghindari resiko tersebut.
Seseorang tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban atas sebuah akibat yang tidak bisa ia hindari.51 Dari kedua syarat ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa seseorang dianggap bersalah atas perbuatan melawan hukum yang ia lakukan, jika orang tersebut telah 49
Ibid., hal. 280. Ibid., hal. 282-284. 51 Ibid., hal. 284. 50
17
mengetahui (dianggap mengetahui) resiko dari perbuatannya, tetapi dia tidak melakukan pencegahan atas resiko tersebut. Dengan demikian, maka bukti adanya kesalahan secara objektif adalah tidak dilakukannya upaya-upaya yang seharusnya dilakukan untuk mencegah terjadinya kerugian. Atas dasar inilah maka van Schilfgaarde menyatakan bahwa ukuran kesalahan objektif ini mirip dengan standar kehati-hatian (standard of optimal level of care) yang ada dalam sistem common law. 52
Karena itu pula, maka menurut van
Schilfgaarde, ketika meneliti ada-tidaknya kesalahan pada diri tergugat, yang akan dilihat oleh hakim biasanya bukanlah kondisi pikiran (state of mind) dari si tergugat pada saat ia melakukan perbuatannya, tetapi pengetahuan umum tentang kemungkinan munculnya bahaya dan upaya yang akan diambil oleh orang lain yang berhati-hati (prudent person) untuk mencegah bahaya tersebut. Dengan cara ini, maka sebenarnya ukuran yang digunakan hakim ketika menilai ada-tidaknya kesalahan adalah sama ukuran yang dipakai untuk menilai ada-tidaknya perbuatan melawan hukum.
Atas dasar ini, maka van Schilfgaarde menyimpulkan, bahwa
“[s]ince unlawfulness or carelessness of the act are established by the same factors as fault of the actor, and since both require an inquiry into what a person in general would know and be capable of, unlawfulness and fault are really the same. Once unlawfulness is established, fault can be established”—[garis bawah dari penulis].53 Dengan tegas van Schilfgaarde
menyimpulkan bahwa di dalam hukum
Belanda, kesalahan (fault) bukanlah sebuah persyaratan tersendiri untuk menentukan pertanggungjawaban.
Pada saat seseorang terbukti telah melanggar hukum (due
care), maka ia dianggap bersalah dan bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum. Kesalahan secara subjektif, karenanya, tidaklah merupakan syarat adanya pertanggungjawaban.54 Apabila unsur kesalahan (pelanggaran atas duty of care) telah terbukti, maka penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan adanya kausalitas antara kerugian dengan kesalahan tergugat.
Pembahasan mengenai kausalitas ini akan
dijelaskan pada Bagian 4.
52
Ibid., hal. 285. Ibid. 54 Ibid., hal. 288. 53
18
3.2. Strict Liability di Indonesia Di Indonesia sendiri, strict liability untuk kegiatan berbahaya masuk pertama kali melalui konvensi internasional. Konvensi yang bertanggungjawab atas masuknya strict liability ini adalah Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage tahun 1969,55 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978. Setelah itu, strict liability muncul dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UU tentang lingkungan hidup56 dan UU tentang ketenaganukliran.57 Beberapa putusan di Indonesia memperlihatkan percobaan penerapan strict liability di dalam beberapa kasus kongkret. Perlu disampaikan di sini, bahwa di Indonesia, gugatan strict liabity dianggap sebagai bagian dari gugatan perbuatan melawan hukum (PMH). Hal ini berimplikasi pada bentuk gugatan, dan juga pada putusan. Misalnya, dalam beberapa kasus, di dalam posita-nya penggugat berusaha menunjukkan unsur-unsur PMH, guna membuktikan bahwa tergugat telah melakukan PMH.
Sementara itu, di dalam petitunya, penggugat menunjukkan meminta bahwa
tergugat dinyatakan bersalah dan karenanya bertanggungjawab berdasarkan PMH. Semua ini dilakukan oleh penggugat meskipun di dalam positanya dinyatakan pula bahwa penggugat menggunakan strict liability sebagai dasar gugatan. Hal tersebut misalnya terlihat di dalam kasus
Walhi v. Freeport (2001).
Dalam kasus ini, penggugat menggunakan dasar gugatan PMH dan strict liability.58 Tetapi di dalam fakta-fakta yang diajukannya, penggugat hanya menunjukkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. 59 Lebih jauh lagi, di dalam petitumnya penggugat meminta agar majelis hakim “[m]enyatakan bahwa Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum”, tanpa sedikitpun menyinggung mengenai strict liability.60 Gugatan seperti ini tidak dipermasalahkan oleh tergugat, 55
1969 Brussels Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 9 ILM 45 (1970). UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN tahun 1982 N. 12, TLN No. 3215, Pasal 21. UU ini kemudian diganti oleh UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memuat strict liability dalam Pasal 35. UU ini kemudian diganti lagi oleh UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memuat ketentuan tentang strict liability dalam Pasal 88. Lihat: UU No. 23 tahun 1997, LN tahun 1997 No. 68, TLN No.3699, Pasal 35; dan UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88. 57 UU No. 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, LN tahun 1997 No. 23, TLN No. 3676, Pasal 28-32. 58 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 11-12. 59 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 3-11. 60 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 14. 56
19
dan bahkan kemudian disetujui oleh hakim yang juga menyatakan bawha tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.61 Gugatan yang sama juga dapat dilihat dalam kasus Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007). Dalam kasus ini pun penggugat menggunakan PMH dan strict liability sebagai gugatan. 62 Akan tetapi, di dalam fakta hukum yang diajukan penggugat memfokuskan dirinya untuk membuktikan bahwa tergugat telah melakukan PMH. Lebih dari itu, penggugat menempatkan pembahasan mengenai strict liability di dalam bagian tentang pembahasan unsur-unsur PMH.
Dalam hal ini, penggugat
kemudian menyatakan bahwa sesuai dengan doktrin strict liability, “unsur kesalahan” dari tergugat tidak perlu dibuktikan.63 Penggugat kemudian berusaha menunjukkan bagaimana tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.64 Dan kemudian meminta agar pengadilan menyatakan bahwa “Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya pengrusakan lingkungan hidup di wilayah Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo”, tanpa sekalipun meminta agar Para Tergugat (atau beberapa di antara Para Tergugat) dinyatakan bertanggungjawab berdasarkan strict liability. 65
Gugatan seperti ini
tidaklah dipersoalkan oleh Para Tergugat dan juga Majelis Hakim.
Pengadilan
memang menolak gugatan penggugat, tetapi penolakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa semburan lumpur Lapindo tidak disebabkan oleh kesalahan pihak Lapindo, melainkan karena faktor bencana alam. 66 Majelis Hakim sama sekali tidak menyinggung dan membahas dasar gugatan lainnya yang diajukan oleh penggugat, yaitu strict liability. 61
PN Jakarta Selatan, Putusan No. 459/PdtG/2000/PN.Jnk.Sel., Walhi v. PT. Freefort Indonesia Company (2001), hal. 55. 62 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas, dkk (2007), hal. 5. 63 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas, dkk (2007), hal. 8. 64 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas, dkk (2007), hal. 8-17. 65 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas, dkk (2007), hal. 21. 66 PN Jakarta Selatan, Putusan No. 284/PdtG/2007/PN.Jak.Sel., Walhi v. PT. Lapindo Brantas, dkk (2007), hal. 193 dst. Untuk analisa kritis atas putusan ini, lihat: Andri G. Wibisana, “Tangan Tuhan di Pengadilan: Dalih Bencana Alam dan Pertanggungjawaban Perdata dalam Kasus Lingkungan”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun, Vol. 41(1), 2011, hal. 102-152. Lihat pula: Andri G. Wibisana, “The Myths of Environmental Compensation in Indonesia: Lessons from the Sidoarjo Mudflow”, dalam: Michael Faure dan Andri G. Wibisana (eds.), Regulating Disasters, Climate Change and Environmental Harm: Lessons from the Indonesian Experience, (Edward Elgar, 2013) hal. 277–354.
20
Beberapa pengarang buku hukum lingkungan di Indonesia sepertinya mengartikan strict liability dalam pengertian yang mirip dengan penggugat dalam Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas dkk (2007). Di dalam beberapa literatur hukum lingkungan di Indonesia, unsur “tanpa kesalahan” dari strict liability diartikan sebagai tanpa adanya kesalahan dalam arti subjektif, seperti kesengajaan, kelalaian, atau mens rea.
Siahaan, misalnya, berpendapat bahwa
“[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab karena pada saat peristiwa itu timbul ia sudah memikul suatu tanggung jawab”. 67 Dari kutipan ini terlihat bahwa Siahaan mengartikan istilah “kesalahan” sebagai “mens rea”, yang merupakan unsur subjektif dari perbuatan seseorang. Dengan demikian, jika kita mengikuti pandangan ini, maka “tanpa kesalahan” di dalam strict liability sama dengan “tanpa mens rea”. Sementara itu, penerapan strict liability yang sedikit berbeda dapat ditemukan di dalam putusan Mandalawangi (2003). Dalam hal ini, majelis hakim menggunakan asas kehatian-hatian (the precautionary principle) sebagai dasar penentuan pertanggungjawaban perdata. Pengadilan Bandung mengadopsi prinsip 15 Deklarasi Rio yang menyatakan bahwa apabila ada ancaman yang serius atau tidak bisa dipulihkan (serious or irreversible threats), maka kurangnya kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan. 68 Menurut Pengadilan Bandung, “Menimbang, bahwa bagaimana bentuk/tanggung jawab terhadap lingkungan serta siapa yang harus diberikan tanggung jawab, maka dengan penerapan ini pembuktian unsur kesalahan (liability base [sic!] on fault) seperti dalil gugatan Penggugat agar supaya para Tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip “precautionary principle” pertanggung jawaban menjadi ketat/mutlak “Strict Liability”, yang paling penting disini adalah penentuan siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya dampak longsornya beberapa sudut di belahan Gunung Mandalawangi, dan karena secara “notoir feit” telah menimbulkan kerugian, maka bagaimana pemulihan atas adanya kerugian tersebut.”69 67
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Erlangga, 2004), hal. 317. The 1992 Rio Declaration on Environment and Development, UN Doc. A/CONF.151/26 (vol. I) / 31 ILM 874 (1992) [selanjutnya disebut Deklarasi Rio], Prinsip 15. Untuk lebih jelasnya mengenai asas ini, lihat misalnya: Andri G. Wibisana, “Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehati-hatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004”, Jurnal Konstitusi, Vol. 8(3), Juni 2011, hal. 207-256. 69 PN. Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 102. 68
21
Dengan demikian, di dalam Kasus Mandalawangi terlihat bahwa fungsi dari asas kehati-hatian adalah mengubah pertanggungjawaban dari PMH menjadi strict liability. Dengan kata lain: PMH + asas kehati-hatian = strict liability. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka hakim dalam Kasus Mandalangi benar-benar
menghilangkan
pertanggungjawaban.
unsur
“melawan
hukum”
sebagai
dasar
Hal ini terlihat dari amar putusan Kasus Mandalawangi.
Petitum dari gugatan Para Penggugat dalam Kasus Mandalawangi sebenarnya meminta agar tergugat dinyatakan “telah melakukan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya patutlah dihukum untuk membayar ganti rugi”; 70 namun di dalam amar putusannya, Majelis Hakim secara tegas menyatakan bahwa para tergugat “bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor di kawasan hutan Gunung Mandalawangi”.71 Melawan hukum telah hilang di dalam amar putusan Kasus Mandalawangi, dan inilah yang menurut penulis merupakan bentuk pengadopsian strict liability a la Indonesia.72 3.3. Beberapa Catatan Kritis Bagian ini akan memberikan catatan kritis tentang penerapan strict liability di Indonesia.
Pertama-tama, bagian ini akan memberikan gambaran perbandingan
dengan penerapan strict liability di AS. Gambaran ini berguna untuk menunjukkan bahwa strict liability sebagaimana diterapkan di Indonesia ternyata tidak sepenuhnya merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).
Pada
bagian ini juga akan diperlihatkan bahwa strict liability tidaklah sama dengan 70
PN. Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 10. 71 PN. Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 107. 72 Putusan tersebut diperkuat oleh Mahkamah Agung RI. Menurut MA pengadilan judex factie tidak salah menerapkan strict liability. Akibatnya, menurut MA tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penggugat berdasarkan fakta bahwa kegiatan tersebut telah terbukti menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan, yang kemudian menimbulkan kerugian kepada penggugat. Di sisi lain, MA pun menyatakan bahwa pengadilan judex factie tidak salah dalam menerapkan asas kehati-hatian (precautionary principle). Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa asas kehati-hatian telah memiliki status “ius cogen”, yaitu sebuah asas hukum yang memiliki kekuatan norma paling kuat, sehingga asas-asas atau aturan lain yang bertentangan dengannya akan dianggap batal. Lihat: Mahkamah Agung RI, Putusan No. 1794K/Pdt/2004, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 84).
22
pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur sebagaimana diyakini oleh beberapa literatur dan putusan di Indonesia. 3.3.1. Strict Liability di AS: Sebuah Perbandingan Singkat Pada umumnya, pertanggungjawaban perdata baik di dalam civil law ataupun common law didasarkan pada aturan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Dalam kaitannya dengan civil law, Tunc menyatakan dasar dari pertanggungjawaban perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan bahwa "[e]very act whatever of man that causes damage to another, obliges him by whose fault it happened to repair it.”73 Aturan inilah yang di Indonesia dikenal dengan sebuatan perbuatan melawan hukum (PMH). Sedangkan dalam kaitannya dengan common law, Peck menyatakan bahwa pertanggungjawaban perdata yang paling umum dan dominan adalah negligence.74 Lalu apakah negligence itu? Menurut Galligan, Jr., terdapat beberapa unsur yang harus dibuktikan di dalam negligence, yaitu: a). adanya kewajiban (duty), b). adanya pelanggaran terhadap kewajiban tersebut (breach of duty); c). adanya kerugian pada diri penggugat; dan d). hubungan kausalitas antara perbuatan negligence dari tergugat (berupa pelanggaran terhadap kewajiban) dengan kerugian yang diderita penggugat.75 Menurut Galligan, duty adalah kewajiban dari tergugat untuk bertindak secara patut dan hati-hati (reasonable care). Pelanggaran terhadap kewajiban ini terjadi ketika tergugat tidak melakukan tindakan yang patut dan hati-hati yang secara hipotetis akan dilakukan oleh orang lain (diistilahkan dengan “reasonable man”) jika berada dalam situasi yang sama dengan tergugat.
Artinya, tergugat dianggap
melanggar duty of care jika ia tidak melakukan apa yang akan dilakukan oleh “reasonable man”.
Terkait kausalitas, Galligan menyebukan bahwa dalam
prakteknya, unsur kausalitas ini akan dibuktikan dalam bentuk “cause-in-fact” dan 73
André Tunc, “Fault: A Common Name for Different Misdeeds”, Tulane Law Review, Vol. 49, 1975, hal. 279. 74 Dalam hal ini, Peck menyatakan bahwa secara tradisional, mahasiswa fakultas hukum diajarkan bahwa “…the principles of negligence comprise the field of tort law, and that fault is the most common basis for determining liability for harmful conduct. The space devoted in most law school torts casebooks suggests to students and future lawyers that negligence is the dominant principle of tort law”. Lihat: Cornelius J. Peck, “Negligence and Liability without Fault in Tort Law”, Washington Law Review, Vol. 46(2), 1971, hal., 225. Dalam tulisan tersebut, Peck sebenarnya bermaksud membantah pandangan di atas, dan ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya strict liability lah yang lebih sering digunakan dibandingkan dengan negligence. Terlepas dari benar tidaknya temuan Peck ini, kutipan di atas setidaknya memperlihatkan bahwa dalam pandangan mayoritas ahli hukum, negligence biasanya dianggap sebagai aturan hukum yang dominan di dalam tort. 75 Thomas C. Galligan, Jr., “A Primer on the Patterns of Negligence”, Lousiana Law Review, Vol. 53, 1993, hal. 1510.
23
“proximate cause”.76 Jika seluruh unsur negligence tersebut terbukti, maka tergugat dinyatakan bertanggungjawab atas dasar fault (dalam hal ini negligence). Dengan demikian, fault bukanlah sebuah unsur tersendiri yang harus dibuktikan dalam negligence. Dari penjelasan di atas, sebenarnya tampak adanya kemiripan antara negligence dengan PMH yang di antaranya juga mensyaratkan adanya pembuktian mengenai unsur perbuatan melawan hukum (berupa pelanggaran hak, pelanggaran kewajiban, atau pelanggaran kepatutan/kehati-hatian), kerugian, dan kausalitas. Sepintas kita bisa menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara negligence dan PMH, karena pada PMH penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan.77 Namun demikian, apabila kita menelusuri lebih dalam makna “kesalahan” ini, maka sebenarnya pembuktian “kesalahan” tersebut tidak berbeda dengan pembuktian tentang adanya perbuatan melawan hukum itu sendiri. Artinya, sama seperti dalam negligence, apabila kesalahan diartikan secara objektif, maka kesalahan dan perbuatan melawan hukum adalah hal yang sama, sehingga kesalahan tidaklah menjadi salah satu unsur yang harus dibuktikan secara tersendiri.78 Grey, yang mendasarkan padangannnya pada Holmes, menyatakan bahwa struktur pertanggungjawaban perdata pada dasarnya adalah negligence. Peyimpangan terhadap negligence terjadi melalui dua cara. Pada satu sisi, penyimpangan dilakukan melalui “objective negligence”; sedang pada sisi lain dilakukan melalui strict liability. 79
Dengan cara melihatnya dari struktur seperti ini, maka kita bisa
76
Ibid., hal. 150-155. Penjelasan lebih lanjut mengenai cause-in-fact dan proximate cause lihat pada bagian 5.3. di bawah. 77 Moegni A.M. Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), hal. 69-70. 78 Lihat misalnya penjelasan van Schilfgaarde, infra. Van Schilfgaarde menunjukkan bahwa di dalam pembuktian PMH Belanda unsur melawan hukum dengan kesalahan (fault) sebenarnya hal yang sama. Kesalahan tergugat dianggap terbukti begitu perbuatannya terbukti sebagai perbuatan yang melawan hukum. 79 Thomas C. Grey, “Accidental Torts”, Vanderbilt Law Review, Vol. 54(3), 2001, hal. 1279. Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam tulisannya ini Grey bermaksud membantah pandangan umum yang menyatakan bahwa Holmes adalah salah seorang ahli hukum AS yang menentang pemberlakuan strict liability. Dalam pandangan Grey, yang ditolak oleh Holmes bukanlah strict liability, tetapi pemberlakuan strict liability sebagai prinsip dasar (umum) pertanggungjawaban yang berlaku bagi setiap kasus. Ibid. Objective negligence adalah istilah yang membedakan negligence dengan kesengajaan (intentional tort). Dalam intentional torts kesalahan ditunjukkan dengan adanya kesengajaan atau pengetahuan subjektif dari tergugat untuk menciptakan kerugian pada orang lain. Sedangkan dalamm objective negligence kesalahan cukup ditunjukkan dengan adanya pelanggaran terhadap ukuran kehatihatian yang layak (reasonable care). Pengetahuan subjektif dari tergugat terhadap kehati-hatian tersebut tidaklah menjadi ukuran dari kesalahan di dalam objective negligence. Untuk diskusi tentang kegua hal ini lihat, misalnya: Alan Calnan , “The Fault(s) in Negligence Law”, Quinnipiac Law
24
mengatakan bahwa strict liability berbeda (menyimpang) dari aturan umum pertanggungjawaban, yaitu negligence.
Melalui pembagian seperti ini, Cantu
membagi pertanggungjawaban perdata ke dalam dua kelompok besar yaitu faultbased liability, dan liability without fault. Kelompok fault-based liability, terdiri dari intentional tort dan negligence. Fault di dalam intentional tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak tergugat untuk menghasilkan kerugian pada penggugat, sedangkan fault pada negligence dituntukkan dengan pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam masyarakat. Sedangkan liability without fault, yaitu strict liability, merupakan pertanggungjawaban yang tidak berdasarkan pada fault dalam kedua bentuk tersebut. 80 Tentu saja terdapat beberapa pengamat, bahkan termasuk Grey dan Cantu sendiri, yang melihat bahwa di antara pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan sebenarnya tidak ada garis pemisah yang tegas. Dalam hal ini, negligence dan strict liability saling mempengaruhi dan bercampur satu dengan yang lainnya.81 Ketika kita berbicara strict liability, maka kita tidak bisa menganggapnya sebagai satu aturan pertanggungjawaban, melainkan sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa aturan pertanggungjawaban yang berbeda dari negligence. Dalam pandangan ini, strict liability bukanlah species, tetapi genus dari beberapa pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dapat berupa “pure, mixed, and hybrid forms”.82 Karena itu lah maka sepintas lalu kita bisa memaklumi adanya perbedaan antara penerapan strict liability di Indonesia, dengan strict liability di AS, Inggris, atau bahkan Belanda sekalipun. Namun demikian, seperti yang akan ditunjukkan di bawah ini, penulis berpendapat bahwa apabila strict liability diterapkan dengan jalan seperti para sarjana hukum Indonesia menerapkannya selama ini, maka sebenarnya
Review, Vol. 25, 2007, hal. 706-707. Dalam diskusi ini, Calnan menilai bahwa batasan antara objective negligence dan intentional torts pada satu dengan strict liability pada sisi lain sebenarnya tidaklah begitu jelas. Meski demikian, perlu diutarakan di sini bahwa tidak semua pengarang menyetujui adanya dikotomi antara objective negligence dan subjective negligence. Lihat misalnya: Warren A. Seavey, “Negligence- Subjective Or Objective?”, Harvard Law Review, Vol. 41(1), 1927, hal. 3-5. 80 Charles E. Cantu, “Distinguishing the Concept of Strict Liability in Tort from Strict Products Liability: Medusa Unveiled”, The University of Memphis Law Review, Vol. 33, 2003, hal. 826. 81 Lihat misalnya, Thomas Grey, op cit., hal. 1280-1281. Lihat pula: Alan Calnan, op cit., hal. 747-748. 82 Vernon Palmer, “A General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62, 1988, hal. 1311.
25
kita hanya memiliki strict liability yang ompong, yang bahkan sudah bisa diterapkan tanpa perlu merujuk pada teori atau dasar hukum tentang strict liability. Seperti telah diutarakan pada bagian sebelumnya, beberapa kasus telah mencoba menerapkan strict liability. Meski demikian, dari kasus tersebut terlihat bahwa meskipun penggugat menyatakan akan menggunakan strict liability di samping juga PMH, namun penggugat tampaknya lebih fokus pada upaya untuk menunjukkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. memisahkan PMH dari strict liability.
Penggugat gagal
Lebih jauh lagi, gugatan-gugatan strict
liability di Indonesia secara jelas masih meminta agar penggugat dinyatakan bertanggungjawab berdasarkan PMH, dan bukan berdasarkan strict liability. Dari contoh gugatan tersebut, tampak terlihat bahwa sepertinya strict liability dianggap merupakan bagian dari PMH.
Dalam konteks ini, maka sepertinya
pertanggungjawaban tanpa kesalahan diartikan bahwa penggugat tidak perlu membuktikan unsur kesalahan yang bersifat subjektif, seperti kesengajaan atau kelalaian. Karena hanya unsur kesalahan yang seperti ini yang dihilangkan, maka sepertinya di dalam praktek di Indonesia, di dalam kasus strict liability penggugat masih harus membuktikan adanya perbuatan melawan hukum (terutama dalam bentuk pelanggaran terhadap kewajiban atau kehati-hatian) yang dilakukan oleh tergugat, dan bahwa perbuatan melawan hukum itulah yang kemudian menimbulkan kerugian berupa pencemaran. Gugatan seperti ini tidak pernah dipermasalahkan baik oleh pengacara pihak tergugat, maupun oleh hakim.
Bahkan hakim sepertinya
menyetujui dan mengikuti pola pikir seperti ini, yaitu bahwa di dalam gugatan strict liability penggugat masih harus membuktikan bahwa perilaku dan perbuatan dari tergugat telah melawan hukum. Sekarang mari kita bandingkan hal ini dengan putusan di AS. Dari penelusuran literatur dan putusan di AS, penulis berpendapat bahwa kita akan melihat adanya upaya untuk membedakan strict liability dari negligence. Dalam hal
ini,
tergugat
bertanggungjawab
atas
kerugian
yang
ditimbulkan
dari
perbuatannyam, meskipun ia tidak melakukan negligence, dan karenanya tidaklah bersalah.
Hal ini misalnya terlihat dalam Horace W. Green et al. v. General
Petroleum Corporation (1928), 83 atau Indiana Harbor Belt Railroad Company v. 83
Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hal. 333-334.
26
American Cyanamid Company and Missouri Pacific Railroad Company (1987). 84 Pendapat American Law Institute dalam penjelasan Restatement (Second) of Torts (1977) secara jelas menggambarkan hal tersebut.85 Di sisi lain, beberapa putusan pun berusaha untuk menekankan bahwa dalam strict liability tergugat bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan dari kegiatannya, meskipun kegiatan telah dilakukan dengan cara yang sangat hati-hati dan bukanlah termasuk perbuatan yang melawan hukum. Dalam Ann Spano v. Perini Corporation, et al. (1969), hakim Fuld menyatakan bahwa dalam kasus penggunaan bahan peledak, yang termasuk ke dalam strict liability, pertanyaan yang relevan bukanlah apakah penggunaan bahan peledak tersebut merupakan kegiatan yang melawan hukum atau tidak, serta apakah peledakan telah dilakukan dengan hati-hati (proper) atau tidak, tetapi siapakah yang harus menanggung resiko dari peledakan tersebut (apakah tergugat yang telah melakukan kegiatan yang berbahaya, ataukah penggugat yang telah mengalami kerugian). 86 Dari pernyataan ini, terlihat bahwa unsur melawan hukum dari kegiatan tergugat bukanlah unsur yang perlu diperhatikan dalam strict liability. Hal yang sama juga terlihat dalam Cllfford E. Fontenot v. Magnolia Petroleum Co. et al. (1955), di mana Hakim Simon menyatakan bahwa “[i]t has been universally recognized that when, as here, the defendant, though without fault, is engaged in a lawful business, conducted according to modern and approved methods and with reasonable care, by such activities causes risk or peril to others, the doctrine of absolute liability is clearly applicable”—[garis bawah dari penulis].87 Pendapat Hakim Simon dan Fuld di atas telah dirujuk dan diterima oleh beberapa putusan, misalnya dalam Victor A. Lombard v. Sewerage and Water Board of New Orleans, et al. (1973),88 Albert I. Correa, et al. v. Roy Curbey & Dorothy
84
United States District Court, N.D. Illinois, Eastern Division, Indiana Harbor Belt Railroad Company v. American Cyanamid Company and Missouri Pacific Railroad Company (1987), 662 F.Supp. 635), hal. 85 Dalam salah penjelasan tentang “abnormally dangerous activity”, American Law Institute menyatakan “the unavoidable risk remaining in the activity, even though the actor has taken all reasonable precautions in advance and has exercised all reasonable care in his operation, so that he is not negligent.” Lihat: American Law Insititute, Restatement (Second) of Torts § 520 (1977), comment h. 86 Court of Appeals of New York, Ann Spano v. Perini Corporation, et al. (1969), 25 N.Y.2d 11, hal. 17; 250 N.E.2d 31, hal. 35. 87 Supreme Court of Louisiana, Cllfford E. Fontenot v. Magnolia Petroleum Co. et al. (1955), 227 La. 866, hal. 878; 80 So.2d 845, hal. 849. 88 Supreme Court of Louisiana, Victor A. Lombard v. Sewerage and Water Board of New Orleans, et al. (1973), 284 So.2d 905, hal. 912-913.
27
Curbey (1980),89 dan Rusty Roberts, et al. v. Cardinal Services, Inc., et al. (2001).90 Pendapat bahwa dalam strict liability tergugat bertanggungjawab meskipun kegiatannya adalah kegiatan yang lawful dan dilakukan dengan hati-hati, dapat pula dilihat dalam putusan-putusan sebelum adanya Restatement (Second) of Torts, seperti dalam Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928),91 Gotreaux v. Gary (1957),92 atau Young v. Darter (1961).93 Dengan demikian, terlihat bahwa dalam strict liability seseorang tetap bertanggungjawab meskipun ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum (dalam arti melanggar kewajiban, atau melanggar kehati-hatian). Menurut Palmer, perbedaan antara negligence dengan strict liability terkait dengan sifat melawan hukum (unlawfulness) adalah bahwa sifat melawan hukum di dalam strict liabity diartikan secara rigid (inflexible). Dalam arti ini, dalam strict liability pengadilan tidak perlu melihat apakah kegiatan dari tergugat adalah kegiatan melawan hukum atau tidak. Pengadilan pun tidak perlu melihat apakah langkah (actual conduct) dari tergugat ketika melakukan kegiatannya telah melawan hukum atau tidak.
Sifat melawan
hukum dalam strict liability telah ditentukan oleh pembuat undang-undang, yaitu sebagai kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous activity) yang kemudian menyebabkan kerugian pada penggugat.
Artinya, sifat melawan hukum bukan
ditentukan oleh kegiatan/perbuatan tergugat, tetapi oleh adanya bahaya/kerugian yang diderita penggugat. 94
Dengan sifat melawan hukum yang rigid seperti ini, maka
ukuran melawan hukum dari sebuah kasus strict liability adalah adanya pelanggaran hak penggugat, yang ditunjukkan dalam bentuk kerugian penggugat (wrongful losses), yang disebabkan oleh kegiatan tergugat.95 Dengan demikian, maka apabila kita masih 89
Court of Appeals of Arizona, Albert I. Correa, et al. v. Roy Curbey & Dorothy Curbey (1980), 124 Ariz. 480, hal. 484; 605 P.2d 458, hal. 460. 90 United States Court of Appeals, Fifth Circuit, Rusty Roberts, et al. v. Cardinal Services, Inc., et al. (2001), 266 F.3d 368, hal. 381. Lebih jauh lagi, Hakim Wiener menyatakan bahwa meskipun kegiatan penggunaan bahan peledak telah dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan cara yang bertanggungjawab, dan mengikuti metode terbaru yang telah diterima, namun tetap pelaku kegiatan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi dari peledakan tersebut. 91 Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hal. 333-334. 92 Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary (1957), 232 La. 373, hal. 376; 94 So. 2d 293, hal. 294. 93 Supreme Court of Oklahoma, Young v. Darter (1961), 363 P.2d 829, hal. 832-833. 94 Vernon Palmer, op cit., hal. 1309. 95 Coleman menyatakan bahwa sebuah kerugian (wrongful losses) dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama oleh adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat (wrongdoing), berupa pelanggaran kewajiban atau kehati-hatian. Kedua oleh adanya pelanggaran yang dilakukan tergugat terhadap hak penggugat (wrong). Lihat: Jules L. Coleman, op cit., hal. 331-332.
28
ingin menempatkan strict liability sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum, maka unsur melawan hukum ditunjukkan dengan adanya kerugian penggugat yang disebabkan oleh kegiatan tergugat.
Kerugian lah yang menunjukkan adanya
pelanggaran hak (wrong), sebagai salah satu unsur melawan hukum. Pelanggaran hak ini bisa saja disebabkan oleh kegiatan atau perbuatan nyata (actual conduct) tergugat yang tidak melawan hukum. Dalam strict liability sifat melawan hukum dari kegiatan dan perbuatan tergugat bukanlah dasar dari adanya pertanggungjawaban. Penerapan strict liability di Indonesia, dalam kasus Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007) memperlihatkan bahwa strict liability yang ditafsirkan oleh penggugat maupun hakim sebenarnya masih berada di dalam wilayah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Di dalam kedua kasus tersebut terlihat jelas bahwa perbuatan melawan hukum dari kegiatan/perbuatan tergugat tetaplah menjadi dasar dari pertanggungjawaban, meskipun penggugat mengaku bahwa gugatannya didasarkan pada strict liability.
Karena itu pula, maka penulis
menanggap, kedua kasus tersebut telah menafsirkan bahwa strict liability dan PMH adalah sama. Sepertinya, kedua kasus itu melihat bahwa satu-satunya perbedaan di antara kedua aturan pertanggungjawaban ini adalah bahwa dalam strict liability, unsur kesalahan subjektif tergugat tidak perlu dibuktikan. Karena di dalam praktek tersebut yang tidak ada di dalam strict liability hanyalah unsur kesalahan secara subjektif (sengaja atau lalai), maka gugatan tersebut sebenarnya masih termasuk ke dalam model pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, dalam hal ini PMH, dan bukanlah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Singkatnya, dengan model gugatan seperti ini, maka maka dimasukkannya strict liability di dalam gugatan ternyata tidak membawa pengaruh apa-apa, dalam arti tidak sepenuhnya menghilangkan unsur kesalahan
karena tetap saja penggugat masih harus
membuktikan unsur kesalahan secara objektif (baca: unsur melawan hukum). Penulis menduga bahwa penggunaan strict liability dalam model gugatan seperti Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007) mungkin masih dipengaruhi oleh pemahaman strict liability dalam ranah hukum pidana. Dalam hal ini, banyak ahli hukum berpandangan bahwa strict liability dalam ranah hukum pidana adalah pertanggungjawaban tanpa melihat adanya mens rea, kondisi
29
mentalitas, dari si pelaku.96 Pertanggungjawaban pidana ini tidak lagi membedakan apakah perbuatan pidana dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian. Dengan demikian, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa strict liability dalam konteks pidana berbeda dengan strict liability dalam konteks perdata. Dalam konteks perdata, pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (negligence) pada dasarnya pun tidak terlalu memperhatikan adanya mens rea. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam konteks negligence atau PMH pada ranah hukum perdata, kesalahan seseorang sudah dianggap terbukti begitu perbuatannya dianggap perbuatan yang melawan hukum. Atas dasar ini maka Coleman menyatakan bahwa “[i]n torts, liability for negligence is liability that is not defeasible by excuse.
Fault liability in torts,
especially liability for negligence, therefore, does not require culpability or moral blameworthiness”, sehingga menurut Coleman pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan di dalam konteks perdata merupakan pertanggungjawaban strict liability di dalam konteks pidana. 97
Dalam konteks perdata, strict liability bukan hanya
menghilangkan unsur kesalahan secara subjektif, karena hal ini sudah dilakukan oleh negligence. Dalam hal ini, seseorang yang telah melakukan kegiatan yang berbahaya atau memiliki alat (instrumentality) yang berbahaya, maka ia bertanggungjawab atas kerugian dari kegiatan atau penggunaan alat tersebut.
Pertanggungjawaban,
karenanya, ditentukan oleh hubungan seseorang dengan kegiatannya atat penggunaan alat (instrumentality) yang berbahaya.98 Pertanggungjawaban tidak ditentukan oleh apakah kegiatan atau penggunaan alat tersebut melawan hukum atau tidak. 96
Lihat misalnya: Ricard A. Wasseestrom, “Strict Liability in the Criminal Law”, Stanford Law Review, Vol. 12, 1960, hal.731 dan 740 atau Michael Kidd, “The Use of Strict Liability in the Prosecution of Environmental Crimes”, South African Journal of Criminal Justice, Vol. 15, 2002, hal. 24. Sementara itu, kajian Husak memperlihatkan beberapa pengertian strict liability dalam konteks pidana, termasuk di dalamnya: pertanggungjawaban untuk kesalahan yang kurang terbukti secara meyakinkan (liability that can be imposed by proof of fault less convincing than beyond a reasonable doubt), pertanggungjawaban tanpa mens rea (liability without mens rea); pertanggungjawaban tanpa alasan pembenar (liability that is not fully defeasible by justifications); pertanggungjawaban tanpa alasan pemaaf (liability that is not fully defeasible by excuses; pertanggungjawaban atasan atas perbuatan bawahan (vicarious liability); pertanggungjawaban atas perbuatan yang bukan sukarela tetapi dianggap kegiatan yang sukarela (liability for nonvoluntary conduct that includes a voluntary act); dan pertanggungjawaban atas kegiatan yang sebenarnya tidak salah (liability for relatively innocent activity). Untuk penjelasan atas jenis-jenis strict liability ini, lihat: Douglas N. Husak, “Varieties of Strict Liability”, Canadian Journal of Law and Jurisprudence, Vol. 8, 1995, hal. 189225. 97 Jules L. Coleman, op cit., hal. 219-220. 98 James R. MacAyeal, “The Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act: The Correct Paradigm of Strict Liability and the Problem of Individual Causation”, UCLA Journal of Environmental Law & Policy, Vol. 18, 2001, hal. 232.
30
3.3.2. Strict Liability dalam Sistem Eropa Kontinental Bagian ini ditujukan untuk membantah pandangan bahwa strict liability hanya cocok untuk sistem common law, dan karenanya tidak tepat diterapkan di Indonesia yang menganut civil law. Menurut penulis, pandangan ini bukan hanya merupakan pandangan yang ultra konservatif, tetapi juga pandangan yang tidak sesuai dengan kenyataan karena di hampir semua negara Eropa Kontinental yang menganut civil law nyatanya telah diadopsi strict liability dalam peraturan perundang-undangannya dan telah pula diterapkan dalam berbagai kasus. Dalam hal ini, menarik untuk melihat praktek di Belanda. Sejak tahun 1995, NBW telah mengadopsi beberapa ketentuan terkait strict liability. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam tiga pasal di dalam Buku 6 NBW. Pertama, Pasal 6:175 memuat ketentuan mengenai tanggung jawab mutlak atas seseorang yang kegiatan/usahanya menggunakan atau menghasilkan bahan yang berbahaya (bijzonder gevaar). Kedua, Pasal 6: 176 juga memberlakukan strict liability bagi pengusaha tempat pembuangan akhir limbah (expoitant stortplaasts) atas kerugian yang timbul, sebelum atau sesudah tempat itu ditutup, sebagai akibat dari tercemarnya udara, air, atau tanah karena penyimpanan/pembuangan)
limbah
sebelum
tempat
itu
ditutup.
Pengusaha
pembuangan limbah bertanggung jawab atas semua bahan yang dibuang/disimpan ditempat pembuangan sampah tersebut.
Tanggung jawab ini berlaku tanpa
memperdulikan apakah bahan/limbah tersebut mandapat izin atau tidak, serta berlaku pula bagi pengusaha yang telah memperoleh izin pembuangan suatu bahan namun bahan itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh izin tersebut. Ketiga, Pasal 6:177 berisi strict liability bagi pengusaha pertambangan (boorgat). Menurut pasal 6:177 ayat 1, seorang pengusaha pertambangan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi melalui pengeluaran barang tambang sebagai akibat tidak dapat dikuasainya kekuatan alam yang diakibatkan oleh pelaksana atau ekploitasi tambang tersebut. Di samping itu, beberapa pasal dalam Buku 8 NBW juga memuat ketentuan terkait strict liability untuk kegiatan pengangkutan bahan-bahan yang berbahaya. Dalam hal ini, para pemilik sarana angkutan atau pengusaha angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh bahan-bahan tersebut. Ketentuanketentuan tersebut meliputi: Pasal 8:623 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pemilik kapal laut), Pasal 8:1033 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pemilik kapal sungai),
31
Pasal 8:1213 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pengusaha angkutan jalan raya), dan Pasal 8:1673 ayat 1 (tentang tanggung jawab dari pengusaha angkutan kereta api). Lebih menarik lagi, jauh sebelum pengakuan di dalam UU tersebut, beberapa putusan juga secara diam-diam telah menerapkan strict liability, meskipun rezim pertanggungjawaban yang berlaku secara resmi adalah rezim PMH. Dalam hal ini, Van Dunné, sebagaimana dikutip oleh Lotulung, menemukan pergeseran ke arah strict liability di dalam beberapa putusan, yaitu: Arrest Kelderluik [HR 5 November 1965, NJ. 1966, 136], Arrest Jumbo [HR 2 Februari 1973, NJ 1973, 315], Arrest Boerenleenbank-Van de Reek [HR 9 Maret 1973, NJ 1973, 464], Arrest Kamerik [HR 8 Januari 1982, NJ 1982, 614], dan Arrest Laadschop [HR 25 September 1981, NJ 1982, 254].99 Dari kasus-kasus tersebut van Dunné menyimpulkan bahwa dengan diterapkannya kewajiban mengadakan penelitian, kewajiban memperingatkan, kewajiban untuk mengambil tindakan bagi pencegahan kerugian, dan kewajiban untuk mempertimbangkan kerugian serta pembatasannya, maka secara diam-diam telah terjadi pergeseran dari asas kesalahan (schuldbeginsel) ke arah asas tanggung jawab tanpa kesalahan (risicobeginsel). Hal inilah yang diistilahkan oleh Van Dunné sebagai “pseudo-risico-aansprakelijkheid”, tanggung jawab mutlak secara semu. 100 Berangkat dari kewajiban-kewajiban ini pula, maka van Dunné menyatakan bahwa inti dari “risico-aansprakelijkheid” adalah: “…dat het scheppen een gevaarsituatie een risico doet ontstaan dat in de sfeer van de handelende (vervuilende) partij ligt en dat tot het nemen van maatregelen om schade te voorkomen verplicht. Het achterwege laten daarvan leidt eo ipso tot onrechtmatig handelen”.101 Kutipan di atas memperlihatkan bahwa dengan adanya kemungkinan bahwa kerugian akan muncul maka muncul kewajiban untuk bertindak secara cermat, termasuk di dalamnya usaha untuk mencegah timbulnya kerugian atau membatasinya. Pelanggaran terhadap kewajiban ini, secara langsung menunjukkan adanya pelanggaran hukum, dan karenanya menimbulkan pertanggungjawaban. Singkatnya, 99
Paulus Effendie Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.83 100 J.M. van Dunné, “Milieu-aansprakelijkheid uit Onrectmatige Daad: van Schuld- naar Risico-aansprakelijkheid”, dalam: F.C.M.A. Michiels (ed.), Zand Erover? Milieurecht in de Advocatenpraktijk, (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1989), hal.11. 101 J.M. van Dunné, “De Rechtspraak Inzake Milieu-aansprakelijkheid uit Onrechtmatige Daad: van Schuldbeginsel naar Risico Beginsel”, Tijdschrift voor Milieu Aansprakelijkheid, Vol. 1, 1987, hal.3.
32
munculnya kerugian telah merupakan bukti yang cukup bahwa telah terdapat kegagalan mencegah dan mengatasi kerugian, sehingga sudah merupakan bukti adanya perbuatan melawan hukum. Tentu saja pengadopsian dan penerapan strict liability tidak hanya terjadi di Belanda.
Beberapa negara Eropa lainnya, seperti Jerman, Austria, Belgia, dan
Perancis secara konsisten telah menerapkan dan mengadopsi pula strict liability. Oleh para guru besar tort di Eropa yang tergabung dalam European Group on Tort Law, praktek penerapan strict liability di negara-negara Eropa ini kemudian ditarik benang-merahnya serta dimasukkan ke dalam prinsip-prinsip pertanggungjawaban perdata Eropa (Principles of European Tort Law). Di dalam prinsip-prinsip ini, strict liability dirumuskan di dalam Pasal 5:101 ayat 1 yang menyatakan bahwa “[a] person who carries on an abnormally dangerous activity is strictly liable for damage characteristic to the risk presented by the activity and resulting from it.” Selanjutnya, ukuran kegiatan yang sangat berbahaya dirumuskan dalam Padal 5:101 ayat 2 yang berbunyi: “[a]n activity is abnormally dangerous if: a). it creates a foreseeable and highly significant risk of damage even when all due care is exercised in its management, and b). it is not a matter of common usage”.102 3.3.3. Strict Liability dan Pembuktian Terbalik Beberapa literatur hukum lingkungan di Indonesia juga menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik atau res ipsa loquitur. Dalam konteks pembuktian terbalik, Rangkuti misalnya berpendapat bahwa strict liability “biasanya diimbangi dengan beban pembuktian terbalik”.103 Pendapat yang lebih tegas dalam menyamakan strict liability dengan pembuktian terbalik dapat dilihat dari pendapat Arifin yang menyatakan bahwa “[b]erkaitan dengan asas tanggung jawab mutlak ini adalah beban pembuktian, yang beralih dari pihak penggugat ke tergugat”.104 102
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang rumusan strict liability ini, lihat: Bernhard A. Koch, “Chapter 5: Strict Liability”, dalam: European Group on Tort Law, Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005), hal. 101-111. 103 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Airlangga University Press, 2005), hal. 201. 104 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (Softmedia, 2011), hal. 173. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Machmud yang menyatakan bahwa “[s]trict liability bermaksud bahwa unsur kesalahan dari tergugat tidak perlu dibuktikan lagi oleh penggugat, dan pembuktian justru dibebankan pada tergugat, bahwa dia benar-benar tidak mencemari dan/atau merusak lingkungan. Dengan demikian beban pembuktiannya adalah beban pembuktian terbalik (shifting the burden of proof)”. Lihat: Syahrul Machmud, Penegakan Hukum
33
Terkait dengan res ipsa loquitur, Siahaan menyatakan bahwa “[d]i sini [dalam strict liability—penulis] berlaku asas “res ipso [sic!] loquitur”, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for itself).” 105 Pendapat ini diamini oleh Arifin yang mengutip pernyataan Siahaan bahwa “[d]alam asas Strict Liability, kesalahan (fault, schuld, atau mens rea) tidaklah menjadi penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab, di sini berlaku asas “res ipso loquitur”.106 Pendapat seperti ini tidaklah sepenuhnya tepat. Sebelum menjelaskan lebih jauh alasan penulis, maka ada baiknya jika terlebih dahulu kita bahas pengertian dari res ipsa loquitur. Secara harfiah, res ipsa loquitur berarti fakta berbicara sendiri. Ini adalah sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan pembuktian terbalik. Menurut doktrin ini, kesalahan (dalam arti perbuatan melawan hukum, negligence) dari tergugat diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Doktrin ini biasanya diterapkan jika beberapa syarat terpenuhi, yaitu: a). Kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya. Dalam hal ini, harus dipenuhi unsur “unknown cause”; b). Kerugian dianggap hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper care), atau karena adanya negligence. Dengan demikian, diasumsikan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (negligence) berupa kurangnya kehati-hatian; dan c). Tergugat haruslah orang yang sepenuhnya memiliki kontrol atas situasi yang terjadi.
Unsur terakhir ini merupakan penjelasan mengapa tergugat diasumsikan
sudah terbukti melakukan negligence (sudah terbukti bersalah/melawan hukum).107 Dalam putusan pengadilan, persyaratan res ipsa loquitur dapat dilihat, misalnya, dalam Berdella Vaughn Seavers, et al. v. Methodist Medical Center of Oak Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 (Graha Ilmu, 2012), hal. 211. 105 N.H.T. Siahaan, op cit., hal. 317. 106 Syamsul Arifin, op cit. hal. 173. 107 Lihat: Vivienne Harpwood, Principles of Tort Law, 4th ed. (Cavendish Publishing Limited, 2000), hal. 144-145. Sementara itu, Carr menjelaskan tiga syarat dari res ipsa loquitur sebagai berikut. Pertama, kerugian terjadi hanya karena adanya kurangnya kehati-hatian (lack of due care). Atau dengan kata lain, adanya negligence. Atau dengan dalam konteks Indonesia, adanya pelanggaran hukum. Kedua, pengadilan menganggap bahwa tergugatlah yang sepenuhnya memiliki kontrol atas perbuatan yang mengakibatkan terjadinya kerugian. Ketiga, pengadilan pun menganggap bahwa tergugatlah yang memiliki informasi dan pengetahuan tentang penyebab terjadinya kerugian. Lihat: Charles L. Carr, “Proper Interpretation of the Res Ipsa Loquitur Doctrine in Missouri Today”, Kansas City Law Review, Vol. 4(8), 1936, hal. 616-617. Lihat pula persyaratan yang relatif mirip, misalnya, dalam: Nathan Hershey, “Res Ipsa Loquitur”, The American Journal of Nursing, Vol. 63(11), 1963, hal. 101-102; dan Joseph D. Bulman, “Res Ipsa Loquitur: When Does It Apply?”, Insurance Law Journal, Vol. 20, 1961, hal. 21 dan 25.
34
Ridge (1999) yang menyatakan bahwa untuk memberlakukan res ipsa loquitur, penggugat masih memiliki beban untuk membuktikan bahwa kerugiannya diakibatkan oleh peralatan/kegiatan (instrumentality) yang sepenuhnya berada di dalam kontrol tergugat; serta membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya biasanya tidak akan terjadi tanpa adanya negligence. 108 Sedangkan di dalam John B. Wells v. Norfolk Southern Railway Company, et al (2005), Hakim Phillips menyatakan bahwa res ipsa loquitur bukanlah sebuah aturan tentang pertanggungjawaban, melainkan sebuah aturan tentang pembuktian.
Dalam konteks ini, agar res ipsa loquitur dapat
diterapkan penggugat memiliki beban untuk: a). menunjukkan bagaimana kerugiannya terjadi; b). membuktikan bahwa kerugiannya adalah kerugian yang biasa terjadi karena adanya negligence; c). membuktikan bahwa kerugiannya disebabkan oleh instrumentality yang sepenuhnya berada di dalam kontrol tergugat.109 Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa res ipsa loquitur mirip dengan pembuktian terbalik terbatas. Tergugat bertanggung jawab karena ia diasumsikan telah melakukan perbuatan melawan hukum (negligence). Tergugat masih bisa lepas dari pertanggungjawaban jika ia berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah (yaitu bahwa perbuatannya tidak melawan hukum).110 Dengan kata lain, res ipsa loquitur sebenarnya masih berada dalam ranah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Hanya saja, berbeda dengan PMH biasa (negligence), di dalam doktrin res ipsa loquitur, negligence dianggap telah terbukti, sehingga tergugatlah yang memiliki beban untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan negligence. Beberapa pengarang di AS memang menafsirkan bahwa res ipsa loquitur dapat digolongkan ke dalam strict liability.111 Namun penulis menganggap bahwa res 108
Supreme Court of Tennessee, Berdella Vaughn Seavers, et al. v. Methodist Medical Center of Oak Ridge (1999), 9 S.W.3d 86, hal. 91. 109 United States District Court, E.D. Tennessee, Northern Division, John B. Wells v. Norfolk Southern Railway Company, et al (2005), 2005 WL 2211152, hal. 2. 110 Model pertanggungjawaban seperti ini adalah model pertanggungjawaban yang dianut oleh UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, LN tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821. Pada awalnya, Pasal 19(1) ini menyatakan bahwa “[p]elaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Kalau pertanggungjawaban dirumuskan hanya dengan ketentuan seperti ini, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa UU No. 8 tahun 1999 telah menerapkan strict liability. Akan tetapi ketentuan tersebut “dilemahkan” oleh ketentuan pada Pasal 28 yang menyatakan bahwa “[p]embuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.” Ketentuan Pasal 28 UU No. 8 tahun 1999 inilah yang telah mengubah strict liability dalam pasal 19(1) menjadi res ipsa loquitur, sehingga apabila tergugat/produsen dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia terbebas dari pertanggungjawaban. 111 Peck, misalnya, menyatakan bahwa strict liability atau setidaknya pertanggungjawaban yang menghilangkan/mengurangi syarat adanya kesalahan (liability without fault), telah dipraktekkan
35
ipsa loquitur belumlah sepenuhnya merupakan strict liability, karena pada dasarnya masih merupakan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Pandangan penulis ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, strict liability tidak menganut pembuktian terbalik.
Di dalam strict liability penggugat masih harus membuktikan adanya
kerugian dan hubungan kausal antara kerugian dengan kegiatan tergugat. Jika kemudian tergugat berdalih dan membuktikan bahwa kerugian yang diderita bukanlah karena perbuatan tergugat, melainkan misalnya karena force majeure, maka hal ini tidaklah menunjukkan adanya unsur pembuktian terbalik di dalam strict liability, sebab apa yang dilakukan oleh tergugat ini merupakan pelaksanaan dari prinsip umum hukum yaitu “siapa yang mendalilkan dia yang harus membuktikan”. Artinya, dalam contoh seperti ini pun tidak ada pembuktian terbalik. Kedua, di dalam strict liability tergugat tetap bertanggung jawab meskipun ia mampu membuktikan bahwa kegiatan/perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan yang melawan hukum; sedangkan di dalam pembuktian terbalik (terutama dalam hal res ipsa loquitur), tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban jika ia mampu membuktikan bahwa perbuatannya tidak melawan hukum (negligence).112 Doktrin res ipsa loquitur biasanya digunakan sebagai jembatan untuk memuluskan perubahan/pergeseran dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (negligence) menuju strict liability. Dalam fungsi ini, maka meskipun pada dasarnya yang berlaku adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan, namun hakim melakukan
terobosan
yang
menguntungkan
penggugat
dengan
menetapkan
pembuktian terbalik (terutama dalam hal unsur melawan hukum atau negligence).113 sejak lama di dalam sistem Common Law. Peck menyatakan bahwa termasuk ke dalam jenis pertanggungjawaban tanpa kesalahan (atau setidaknya mengarah pada pertanggungjawaban tanpa kesalahan) adalah aturan hukum mengenai trespass, vicarious liability, pertanggungjawaban untuk produk yang cacat, dan doktrin res ipsa loquitur. Cornelius J. Peck, op cit., hal. 237-238. 112 Pendapat penulis ini sejalan dengan pandangan Ketua MA di dalam Lampiran dari Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoma Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa: “c) Strict Liability bukan pembuktian terbalik. Pembuktian bukan untuk kesalahannya. Walaupun sudah melakukan semua upaya sesuai peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, tetap harus bertanggung jawab—[garis bawa dari penulis].” 113 Faure dan Hartlief, misalnya, mencatat bahwa pergeseran ke arah strict liability di dalam rezim yang sebenarnya masih menggunakan pertanggungajawban berdasarkan kesalahan antara lain dapat dilihat, misalnya, dalam: pertama, pengadilan sering kali menguntungkan (berpihak) kepada para korban melalui perluasan interpretasi asas kesalahan. Dalam hal ini, segera setelah kerugian fisik ditimbulkan sebagai akibat suatu kegiatan industri, maka tergugat dianggap telah melakukan kesalahan. Kedua, di dalam beberapa kasus, meskipun keberadaan asas kesalahan masih tetap diteruskan, namun hakim memberlakukan pembuktian terbalik. Artinya, tergugat akan bertanggungjawab kecuali dia membuktikan tidak bersalah. Beban pembuktian karenanya beralih dari penggungat ke tergugat. Lihat: Michael Faure dan Ton Hartlief, “Toward an Expanding Enterprise Liability in Europe? How to
36
Persoalannya adalah, kita sudah memiliki ketentuan perundang-undangan tentang strict liability, sehingga jembatan tersebut sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi. Dengan ketentuan tersebut, yang kita terapkan seharusnya strict liability secara utuh, dan bukan lagi pseudo-strict liability. 3.3.4. Format Gugatan Strict Liability: Belajar dari Praktek di AS Di dalam gugatan di AS, penggugat akan menunjukkan dasar gugatan (count), dengan menjelaskan fakta-fakta yang secara spesifik terkait dengan setiap unsur dari dasar pertanggungjawaban. Dalam sebuah gugatan, penggugat dapat menggunakan beberapa dasar gugatan (count) secara sekaligus. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa penggugat tidak mencampuradukkan antara satu dasar gugatan dengan dasar gugatan lainnya. Misalnya, pada sebuah count yang didasarkan pada negligence, maka penggugat akan menjelaskan: a). kewajiban hukum (duty of care) apa saja yang harus ditunaikan oleh tergugat, b). dengan cara apa tergugat melanggar duty of care tersebut, c). apa saja kerugian yang diderita oleh penggugat, d). argumen-argumen untuk menunjukkan bahwa pelanggaran duty of care tersebutlah yang telah menimbulkan kerugian pada pihak penggugat. Dengan kata lain, di dalam setiap count penggugat akan mencoba memaparkan posita untuk membuktikan tiap unsur dari dasar pertanggungjawaban yang digunakannya. Selanjutnya, dalam bagian akhir dari setiap count, penggugat akan meminta pengadilan untuk memutuskan bahwa tergugat bertanggungjawab dan membayar ganti rugi yang diminta. Dalam Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms dimuat beberapa contoh dari gugatan (complaint), yang diadopsi pada gugatan yang sesungguhnya. Dalam sebuah contoh gugatan, diperlihatkan sebuah gugatan atas kerugian pada properti penggugat Analyze the Scope of Liability of Industrial Operators and Their Insurers”, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Vol. 3, 1996, hal. 243-248. Hal senada juga ditunjukkan oleh Giesen yang menyebut bahwa pembuktian terbalik sebagai jembatan bagi terjadinya pergeseran antara negligence dengan strict liability. Lihat: Ivo Giesen, “The Reversal of the Burden of Proof in the Principles of European Tort Law: A Comparison with Dutch Tort Law and Civil Procedure Rules”, Utrecht Law Review, Vol. 6(1), 2010, hal. 25. Di Belanda, van Dunné menyebut pergeseran ini sebagai pseudo-risico aansprakelijkheid, yaitu strict liability semu. Artinya, beberapa putusan pengadilan menunjukkan adanya pergeseran ke arah strict liability, meskipun KUHPerdata-nya masih tetap berlandaskan pada pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (PMH). Lihat: J.M. van Dunné, “De Rechtspraak Inzake Milieuaansprakelijkheid uit Onrechtmatige Daad: van Schuldbeginsel naar Risicobeginsel”, dalam: Tijdschrift voor Milieu Aansprakelijkheid, Nr.1, 1987, hal.3. Lihat pula: J.M. van Dunné, “Een Kamikaze-aktie op de Rotte; de Visie van Vranken op de Aansprakelijkheid uit art. 1401 BW, in het Bijzonder bij Bodemvervuiling uit het Verleden”, Weekblad voor Privaatrecht, Notariaat en Registratie, 121e jrg., nr. 5976, 1990, hal. 615-616.
37
oleh kontaminasi bensin yang diduga berasal dari tergugat.
Dalam count yang
didasarkan pada strict liability, contoh gugatan ini memperlihatkan bahwa kegiatan tergugat berupa pengurusan dan penyimpanan bensin serta produk minyak lainnya (handling and storing of gasoline and other petroleum products) adalah kegiatan yang “abnormally dangerous”. Setelah itu, dijelaskan pula bahwa dalam kurun waktu tertentu tergugat telah terlibat dalam kegiatan tersebut.
Penggugat kemudian
menegaskan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat kegiatan tergugat tersebut. Selanjutnya tergugat pun menyatakan bahwa mereka yang terlibat dalam kegiatan yang berbahaya “abnormally dangerous activity” harus bertanggungjawab atas kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut. Count ini kemudian ditutup dengan permintaan agar tergugat bertanggungjawab untuk membayar ganti kerugian sejumlah yang diminta oleh penggugat.114 Dalam contoh berikutnya, dipaparkan pula sebuah gugatan yang didasarkan pada kerugian penggugat karena propertinya terkontaminasi oleh bensin dari fasilitas tangki bawah tanah (underground tank) milik tergugat dan pembongkaran (demolition) fasilitas tersebut yang dilakukan tergugat. Pada count yang didasarkan pada strict liability, penggugat pertama-tama memaparkan bahwa tergugat telah terlibat dalam penyimpanan bensin di dalam fasilitas tangki bawah tanah dan pembongkaran fasilitas tersebut.
Selanjutnya,
penggugat menjelaskan pula bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang “abnormally dangerous”. Penggugat kemudian memaparkan bahwa kerugian yang dideritanya diakibatkan oleh kegiatan tergugat. Dinyatakan pula bahwa berdasarkan strict liability, seseorang yang terlibat dalam kegiatan yang abnormally dangerous bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi karena kegiatan tersebut. Pada akhir dari count ini, penggugat meminta agar tergugat membayar ganti rugi sejumlah yang diminta oleh pihak penggugat.115 114
Obermayer Rebmann Maxwell dan Hippel LLP, "Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms, Chapter 132: Form 132.200-10", dalam: Obermayer (ed), Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms (Bisel Associates, Inc. dan Matthew Bender and Co., Inc., 2013), paragraf 21-25, diakses dari:
, pada bulan Oktober 2013. 115 Obermayer Rebmann Maxwell dan Hippel LLP, "Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms, Chapter 132: Form 132.200-20", dalam: Obermayer (ed), Dunlap-Hanna Pennsylvania Forms (Bisel Associates, Inc. dan Matthew Bender and Co., Inc., 2013), paragraf 40-42, diakses dari: , pada bulan Oktober 2013. Contoh yang sama mengenai penyusunan count berdasarkan strict liability juga dapat dilihat dari: James D. Pagliaro dan Deanne L. Miller, “Environmental Law Practice Guide, III, Chapter 33 , Part C: § 33.09 Sample Complaint”, paragraf 35-39, dalam: Michael B. Gerrard (ed.), Environmental Law Practice Guide (Matthew Bender, 2013), diakses dari: , pada bulan Oktober 2013.
38
Dalam praktek sesungguhnya, bentuk gugatan yang diajukan juga memiliki format yang hampir sama dengan yang dipaparkan dalam contoh di atas.116 Misalnya saja dapat kita lihat dalam complaint yang diajukan penggugat dalam Patricia A. Beldon v. Potomac Electric Power Company (PEPCO), yang daftarkan pada Circuit Court of Maryland tanggal 27 Januari 2004.
PEPCO adalah perusahaan yang
mendistribusikan listrik di daerah tempat tinggal penggugat. Sedangkan penggugat adalah seorang yang propertinya terbakar karena tersengat aliran listrik dari kawat listrik yang didistribusikan oleh tergugat. Sebelum peristiwa naas tersebut terjadi, pihak penggugat telah berkali-kali menghubungi pihak tergugat agar memperbaiki kawat aliran listrik yang telah menjuntai dan membahayakan orang di sekitarnya. Akan tetapi pihak tergugat tidak pernah mengirimkan petugas untuk memperbaiki kawat listrik tersebut, sehingga terjadilah peristiwa naas yang menyebabkan terbakarnya properti penggugat.
Dalam gugatan ini penggugat menggunakan
beberapa dasar gugatan (count), yaitu count atas dasar strict liability terkait “abnormally dangerous activity”, count atas dasar PMH (negligence), count atas dasar kesengajaan (dalam hal ini, Intentional Infliction of Emotional Distress), dan count atas dasar strict liability terkait dengan tanggung jawab produk (product liability).
Di dalam count untuk strict liability terkait “abnormally dangerous
activities”, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membiarkan saluran listrik menjuntai dan tidak memperbaikinya, sehingga secara sadar telah terlibat dalam kegiatan yang berbahaya. Kegiatan tergugat tersebut memiliki resiko munculnya kerugian yang sangat besar.
Kerugian ini kemudian benar-benar terjadi, yang
mengakibatkan properti penggugat terkena sengatan listrik dan terbakar. Penggugat menyatakan bahwa karena tergugat telah terlibat dalam kegiatan yang berbahaya, maka ia bertanggungjawab berdasarkan strict liability dan bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi sebesar $500.000 dan membayar ganti rugi hukuman (punitive damages) sebesar $150.000.000.117 Sedangkan di dalam count yang didasarkan pada negligence, penggugat menyatakan bahwa kerugian penggugat diakibatkan oleh kesalahan (negligence) tergugat berupa kegagalan untuk segera mematikan aliran 116
Perlu diutarakan di sini bahwa contoh yang diberikan oleh penulis di sini tidak didasarkan pada apakah gugatan tersebut telah dimenangkan oleh penggugat atau tidak. Maksud dari dijelaskannya contoh-contoh gugatan ini adalah untuk memperlihatkan format dari sebuah gugatan strict liability, sehingga hasil akhirnya dari putusan pengadilan tentang gugatan tersebut tidaklah menjadi pertimbangan penulis dalam konteks ini. 117 Circuit Court of Maryland , Patricia A. Beldon, Plaintiff, v. Potomac Electric Power Company (2004), 2004 WL 5274838, paragraf 68-78.
39
listrik pada kabel listrik yang menjuntai di atas properti penggugat.
Penggugat
meminta pengadilan untuk menyatakan bahwa tergugat bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi sebesar $500.000.00 dan membayar ganti rugi hukuman (punitive damages) sebesar $150.000.000.118 Dalam Lemmons v. Howard County Board of Education, yang didaftarkan pada Circuit Court of Maryland tanggal 24 Oktober 2008, penggugat adalah orang tua dari seorang murid yang mengalami kecelakaan pada waktu melakukan praktek di laboratorium sekolah.
Sedangkan tergugat adalah pengelola sekolah negeri di
Maryland. Pada saat melakukan praktek yang menggunakan asam sulfat (sulfuric acid), anak dari penggugat telah mengikuti petunjuk yang diberikan oleh gurunya. Akan tetapi, pada saat memindahkan asam sulfat ke sebuah gelas, gelas tersebut jatuh dan pecah. Pada saat gelas tersebut jatuh, asam sulfat yang berada di dalamnya tumpah, sehingga kemudia mengenai dan melukai wajah, leher, kaki, dan tangan dari anak penggugat. Pada gugatan ini, penggugat menggunakan dua count, yaitu count tentang negligence, dan count tentang strict liability.
Dalam count tentang
negligence, penggugat menjelaskan bahwa tergugat memiliki kewajiban hukum untuk memastikan bahwa kegiatan eksperimen laboratorium dilakukan secara aman. Akan tetapi tergugat kemudian mengizinkan siswa yang belum berpengalaman melakukan eksperimen untuk melakukan eksperimen tanpa dilengkapi pengaman. Kegagalan tergugat untuk melaksanakan kewajibannya antara lain berupa kegagalan untuk menyediakan pelindung muka, kegagalan untuk memberikan peringatan kepada anak penggugat terkait bahaya dari ekperimen yang akan diikutinya, diizinkannya anak penggugat mengikuti dan melakukan ekperimen meskipun pada saat itu dirinya mengenakan celana pendek dan kaus sehingga tidak aman untuk melakukan eksperimen, serta kegagalan untuk mengawasi eksperimen yang dilakukan oleh anak penggugat. Sebagai akibat dari adanya pelanggaran kewajiban (breach of duty) oleh tergugat ini, maka anak penggugat mengalami kerugian berupa luka-luka akibat dari eksperimen yang diikutinya. Atas kerugian ini penggugat meminta agar pengadilan menetapkan bahwa tergugat bertanggung jawab untuk mengganti kerugian sebesar $500.000.119 Sedangkan untuk count yang didasarkan pada strict liability, penggugat menjelaskan bahwa asam sulfat merupakan bahan yang berbahaya dan dapat 118
Circuit Court of Maryland , Patricia A. Beldon, Plaintiff, v. Potomac Electric Power Company (2004), 2004 WL 5274838, paragraf 79-81. 119 Circuit Court of Maryland, Lemmons v. Howard County Board of Education (2009), 2009 WL 5164418 , paragraf 13-16.
40
menyebabkan luka serius apabila terkena tubuh. Selanjutnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat seharusnya mengetahui bahwa percobaan yang dilakukan oleh seorang anak yang belum berpengalaman, dan melibatkan bahan yang berbahaya, merupakan kegiatann yang memiliki resiko besar, dan karenanya termasuk “abnormally dangerous activity”.
Penggugat menyatakan bahwa anak penggugat
menderita kerugian (luka-luka serius) sebagai akibat dari kegiatan “abnormally dangerous” yang berada di bawah pengawasan tergugat.
Atas dasar ini maka
penggugat meminta agar hakim menetapkan tergugat bertanggung jawab untuk mengganti kerugian sebesar $500.000.120 Bentuk gugatan yang salah satunya didasarkan pada strict liability juga dapat dilihat dalam gugatan Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), yang didaftarkan pada United States District Court, N.D. Illinois tanggal 27 Maret 2002.
Dalam gugatan ini, penggugat adalah petani
jagung,
sedangkan tergugat adalah perusahaan benih yang memproduksi benih jagung transgenik (benih hasil rekayasa genetik, Genetically Modified Organisms—GMOs) dengan nama benih “Starlink”. Karena belum terbukti aman bagi manusia, maka tergugat hanya diberikan izin oleh pemerintah untuk menjual benih jagung “StarLink” terbatas bagi pakan hewan. Pada akhir tahun 1990-an, Aventis menghadapi persoalan besar karena jagung dan produk jagung untuk konsumsi manusia diketahui telah “tercemar” dan tercampur dengan jagung dari benih “StarLink”. Aventis menghadapi berbagai gugatan hukum dari petani jagung yang merasa dirugikan karena “pencemaran” ini.
Salah satu kasus yang dihadapi adalah yang diajukan oleh
penggugat dalam kasus ini. Penggugat mengajukan gugatan atas nama dirinya dan petani-petani lain yang menghadapi persoalan serupa.
Penggugat menggunakan
beberapa dasar gugatan, di antaranya count terkait negligence dan count terkait strict liability. Dalam count terkait negligence, penggugat menunjukkan bahwa tergugat memiliki kewajiban untuk menjual dan mendistribusikan “StarLink” sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah (dalam hal ini Environmental Protection Agency, EPA), serta sesuai dengan cara yang tidak akan menimbulkan kerugian pada pihak penggugat.
Akan tetapi, tergugat melanggar kewajiban-kewajiban ini.
Penggugat menyatakan bahwa pelanggaran kewajiban oleh tergugat ini adalah penyebab terdekat (proximate cause) dari kerugian yang diderita oleh penggugat. 120
Circuit Court of Maryland, Lemmons v. Howard County Board of Education (2009), 2009 WL 5164418, paragraf 17-22.
41
Selanjutnya penggugat menjelaskan kerugian-kerugian apa saja yang diakibatkan pelanggaran kewajiban oleh tergugat. 121 Dalam count yang didasarkan pada strict liability, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah memproduksi, menjual, dan mendistribusikan benih jagung “StarLink” transgenik yang tidak cocok untuk konsumsi manusia.
Produk jagung transgenik ini dapat tercampur dengan, dan
mengkontaminasi, produk jagung yang manusia.
non-transgenik dan dapat dikonsumsi
Kontaminasi dan pencampuran jagung ini tidak akan bisa dihindarkan
meskipun tergugat telah bertindak hati-hati.
Penggugat juga menyatakan bahwa
sistem produksi pertanian di AS tidaklah cocok dengan kegiatan tergugat berupa produksi, penjualan, dan distribusi jagung transgenik “StarLink”. Di samping itu, penggugat pun menyatakan bahwa keuntungan tergugat memproduksi “StarLink” tidaklah sebanding dengan kerugian besar yang dialami oleh penggugat dan petani jagung lainnya di AS. Penggugat menyatakan bahwa dengan tercampurnya produk jagung dari penggugat dengan jagung “StarLink”, maka penggugat mengalami kerugian berupa ditolaknya jagung penggugat oleh pasar jagung, karena dianggap telah terkontaminasi oleh produk jagung “StarLink”. 122 Pada bagian akhir dari gugatannya, penggugat meminta agar pengadilan menetapkan tergugat bertanggung jawab berdasarkan dasar gugatan (count) yang diajukan penggugat, serta membayar kerugian-kerugian yang diderita oleh para penggugat.123 Dari uraian di atas terlihat bahwa gugatan di AS seringkali didasarkan pada banyak dasar gugatan (count). Terlihat pula bahwa untuk setiap count yang diajukan, penggugat akan menjelaskan fakta-fakta secara khusus, yang terkait dengan pembuktian unsur-unsur pertanggungjawaban yang menjadi dasar dari masing-masing count. Untuk count yang didasarkan pada strict liability, terlihat bahwa penggugat hanya akan menunjukkan: pertama, bahwa kegiatan tergugat dapat dikenakan strict liability, yang biasanya ditunjukkan dengan beberapa kriteria terkait “abnormally dangerous test” dari kegiatan tergugat; kedua, bahwa penggugat mengalami kerugian; dan ketiga, kerugian ini disebabkan oleh kegiatan dari tergugat. Selain itu, penggugat secara tegas memisahkan antara count yang didasarkan pada pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dengan count yang didasarkan pada pertanggungjawaban tanpa 121
United States District Court, N.D. Illinois, Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), 2002 WL 32600026 (N.D.Ill.), paragraf 104-109. 122 United States District Court, N.D. Illinois, Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), 2002 WL 32600026 (N.D.Ill.), paragraf 120-127. 123 United States District Court, N.D. Illinois, Joseph dan Ardene Wirts v. Aventis Cropscience USA Holding, Inc., et al. (2002), 2002 WL 32600026 (N.D.Ill.), Request for Relief, paragraf 2-3.
42
kesalahan, dalam hal ini antara negligence dengan strict liability. Pada count untuk negligence, penggugat akan memperlihatkan pelanggaran hukum dari tergugat, yaitu pelanggaran kewajiban (duty of care) oleh tergugat, dan bahwa pelanggaran hukum inilah yang telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat. Sedangkan dalam count berdasarkan strict liability, penggugat sama sekali tidak menyinggung bahwa tergugat telah melakukan pelanggaran hukum. 4. Pembuktian 4.1. Pembuktian Kesalahan dan Strict Liability Seperti dijelaskan pada bagian sebelum, baha di alam pertanggungjawaban berdasarkan PMH, selain harus membuktikan kerugian dan kausalitas (yang akan dijelaskan pada Sub Bagian selanjutnya), penggugat juga harus membuktikan unsur kesalahan dan sifat melawan hukum.
Pembahasan pada bagian sebelumnya
memaparkan bahwa pembuktian soal kedua hal ini sepenuhnya tergantung dari penafsiran apakah kesalahan diartikan secara subjektif atau objektif. Jika yang dianut adalah kesalahan dalam arti objektif, maka untuk membuktikan kesalahan penggugat hanya perlu membuktikan adanya perbuatan yang melanggar hukum. Begitu unsur melawan hukum ini terbutkti, maka tergugat akan dianggap bersalah. Kesalahan karenanya bukanlah merupakan unsur tersendiri yang harus dibuktikan secara terpisah dari unsur melawan hukum.
Sebaliknya, jika kesalahan diartikan secara subjektif,
maka selain harus membuktikan adanya perbuatan yang melawan hukum, penggugat juga masih harus membuktikan adanya kesalahan secara subjektif, yaitu bahwa perbuatan tergugat dilakukan secara sengaja atau karena kelalaiannya. Di dalam konteks strict liability, kesalahan dalam arti subjektif dan objektif tersebut
tidak
lagi
harus
dibuktikan.
Artinya,
seseorang
masih
harus
bertanggungjawab secara perdata, meskipun ia tidak melakukan kesalahan secara subjektif dan objektif.
Atau dengan kata lain, seseorang masih harus
bertanggungjawab, meskipun ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak ada unsur kesengajaan atau kelalaian dari perbuatannya. Jika kesalahan dan sifat melawan hukum (dalam arti melanggar kewajiban atau kehati-hatian) dari perbuatan tergugat
tidak perlu dibuktikan, maka
pertanyaannya apakah di dalam strict liability penggugat masih memiliki beban pembuktian? Untuk menjawab pertanyaan ini, Coleman menyatakan bahwa dalam strict liability, penggugat memiliki beban untuk membuktikan bahwa: a). terugat telah
43
melakukan sebuah kegiatan; b). penggugat telah mengalami kerugian; dan c). bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kegiatan tergugat.124 Pernyataan Coleman di atas menunjukkan bahwa pandangan yang menyatakan bahwa strict liability adalah pertanggungjawaban tanpa pembuktian (dalam hal kausalitas) dan juga bahwa strict liability adalah pembuktian terbalik, adalah pandangan yang keliru. Di dalam beberapa kasus di AS, terlihat jelas bahwa strict liability tidak membebaskan penggugat dari seluruh beban pembuktian, karena penggugat masih harus membuktikan beberapa hal. Salah satu putusan terpenting terkait hal ini adalah pendapat Hakim Baldwin dalam Michael Caporale et al. v. C. W. Blakeslee and Sons, Inc. (1961), yang menyatakan:125 “To impose liability without fault, certain factors must be present: an instrumentality capable of producing harm; circumstances and conditions in its use which, irrespective of a lawful purpose or due care, involve a risk of probable injury to such a degree that the activity fairly can be said to be intrinsically dangerous to the person or property of others; and a causal relation between the activity and the injury for which damages are claimed.” Kutipan di atas memperlihatkan bahwa dalam kasus strict liability, penggugat harus membuktikan tiga hal, yaitu: Pertama, adanya alat atau kegiatan (yang disebut instrumentality), yang dapat menimbulkan bahaya.
Kedua, bahwa berdasarkan
kondisi tertentu, penggunaan alat atau kegiatan itu memiliki resiko untuk menimbulkan kerugian yang besar sehingga dapat dianggap sebagai alat/kegiatan yang secara intrinsik bersifat berbahaya. Ketiga, bahwa kerugian yang diderita oleh penggugat diakibatkan oleh alat/kegiatan tergugat tersebut. Kutipan di atas juga secara tegas memperlihatkan bahwa apakah kegiatan tergugat merupakan kegiatan yang melawan hukum atau tidak serta apakah kegiatan itu dilakukan dengan melawan hukum atau tidak, bukanlah hal yang perlu dibahas dalam strict liability.
Dalam kutipan di atas, hal ini tampak jelas dari frasa
“irrespective of a lawful purpose or due care”. Dengan kata lain, maka dalam strict liability, seseorang yang meskipun tidak melakukan perbuatan melawan hukum (dalam arti melanggar kewajiban atau kehati-hatian), tetapi telah melakukan kegiatan 124
Coleman juga menyatatakan bahwa berbeda dengan pembuktian pada strict liability, pembuktian dalam negligence mensyaratkan penggugat untuk membuktikan bahwa: a). tergugat telah melakukan kegiatan; b). tergugat telah melakukan kesalahan (melawan hukum) dalam menjalankan perbuatannya; c). penggugat mengalami kerugian; dan d). kerugian tergugat disebabkan oleh perbuatan tergugat yang salah tersebut. Lihat: Jules J. Coleman, op cit., hal. 212. 125 Supreme Court of Errors of Connecticut, Michael Caporale et al. v. C. W. Blakeslee and Sons, Inc. (1961), 149 Conn. 79, hal 85; 175 A.2d 561, hal. 564.
44
yang sangat berbahaya, dan dari kegiatan tersebut muncul kerugian, maka ia harus bertanggung jawab. Pendapat Hakim Baldwin tersebut di atas dikutip dan disetujui oleh beberapa putusan, di antaranya: Mollie Levenstein v. Yale University (1984),126 Arawana Mills Co. v. United Technologies Corp. (1992),127 Morill Barnes v. General Electric Co., et al. (1995),128 dan Mary-Louise N. Albahary, et al. v. City and Town of Bristol, Connecticut (1997).129 Beban pembuktian yang dituangkan dalam Michael Caporale et al. v. C. W. Blakeslee and Sons, Inc. (1961) memperlihatkan bahwa penggugat memiliki beban pembuktian terkait dua hal: Pertama-tama, penggugat harus membuktikan bahwa kegiatan tergugat adalah kegiatan yang “abnormally dangerous”, sehingga dapat dikenakan strict liability; selanjutnya, penggugat harus membuktikan pula bahwa kegiatan tergugat tersebut lah yang telah menyebabkan kerugian yang diderita penggugat.
Dalam konteks terakhir inilah kita bersentuhan dengan persoalan
pembuktian kausalitas. 4.2. Pembuktian Kausalitas antara Perbuatan (atau Kegiatan) dengan Kerugian Terkait kausalitas, Galligan menyebukan bahwa dalam prakteknya, unsur kausalitas ini akan dibuktikan dalam bentuk “cause-in-fact” dan “proximate cause”.130 Cause in fact akan diuji berdasarkan apa yang disebut sebagai “the but for test”. Terkait pengujian cause in fact, Owen berpendapat bahwa sebuah perbuatan dikatakan sebagai sebab faktual (cause in fact) apabila kerugian tidak akan terjadi tanpa adanya perbuatan tersebut. Menurut Hart dan Honore, sebab faktual ini adalah sebab sine qua non. Lebih dari itu, meskipun perbuatan seseorang terbukti sebagai sebab faktual dari sebuah kerugian, orang tersebut tidak secara otomatis akan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi.
Menurut Hart dan Honore, supaya orang tersebut
126
Superior Court of Connecticut, Judicial District of New Haven, Mollie Levenstein v. Yale University (1984), 40 Conn.Supp. 123, hal. 126; 482 A.2d 724, hal. 726. 127 United States District Court, D. Connecticut, Arawana Mills Co. v. United Technologies Corp. (1992), 795 F.Supp. 1238, hal. 1251. 128 Superior Court of Connecticut, Judicial District of Hartford-New Britain, Morill Barnes v. General Electric Co., et al. (1995), 1995 WL 447904 (Conn.Super.), hal. 3. 129 United States District Court, D. Connecticut, Mary-Louise N. Albahary, et al. v. City and Town of Bristol, Connecticut (1997), 963 F.Supp. 150, hal. 154. 130 Ibid., hal. 150-155.
45
bertanggungjawab, dibutuhkan sebuah pembuktian lagi untuk membedakan sebab faktual dari faktor-faktor lain yang mungkin akan berpengaruh. Pembuktian atas aspek non-faktual inilah yang disebut sebagai proximate cause. Owen menyatakan bahwa di dalam literatur, proximate cause sering juga disebut sebagai legal cause atau pun the scope of liability.
Menurut Owen, di dalam pembuktian ini akan
dipertimbangkan apakah berdasarkan logika, keadilan, kebijaksanaan, dan praktek tergugat harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penggugat. Dalam konteks ini, supaya tergugat bertanggungjawab, perbuatan tergugat haruslah merupakan sebab yang cukup “dekat” dengan kerugian penggugat.131 Lebih jauh lagi Grady menjelaskan dua doktrin untuk mengetahui proximate cause. Doktrin pertama adalah “The Direct-Consequences Doctrine”. Doktrin ini ditujukan untuk melihat apakah terdapat sebab lain yang mengintervensi (intervening causes) di antara perbuatan tergugat dan kerugian yang diderita penggugat. Intervening cause inilah yang, apabila terbukti, menjadi sebab konkuren yang efisien (concurrent-efficient cause) atas kerugian yang terjadi. Dalam konteks ini, penyebab terakhir/terdekat lah yang akan bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi. Dokrtrin kedua untuk proximate cause adalah “the reasonable-foresight doctrine”. Menurut doktrin ini, seseorang tidak akan bertanggungjawab atas kerugian yang secara wajar (reasonably) tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, agar seseorang bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi, maka kerugian tersebut haruslah termasuk ke dalam resiko yang selayaknya sudah bisa diperkirakan (foreseeable) akan muncul dari kesalahan (dalam konteks pertanggungjwaban berdasarkan kesalahan) atau kegiatan (dalam konteks strict liability) dari orang tersebut.132 Sementara itu, Foster, et al.
menyatakan bahwa penggunaan pendekatan
resiko (risk theory approach), yang mirip dengan doktrin “reasonable-foresight doctrine”, akan menghasilkan kondisi yang berbeda dengan penggunaan pendekatan “proximate cause”, yang mirip dengan “direct-consequences doctrine”. Pertama, jika kerugian yang terjadi termasuk ke dalam resiko yang akan timbul dari perbuatan tergugat, maka menurut pendekatan resiko tergugat akan bertanggungjawab; 131
H.L.A. Hart dan T. Honore, Causation in the Law (Oxford: Clarendon Press, 2002), hal. 109-111. Lihat juga: D.G. Owen, “The Five Elements of Negligence”, Hofstra Law Review, Vol. 35(4), 2007, hal. 1679-1685. 132 M.F. Grady, “Proximate Cause and the Law of Negligence”, Iowa Law Review, Vol. 69, 1984, hal. 415-447.
46
sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat belum tentu akan bertanggungjawab, karena selama ada penyebab lain yang lebih dekat terhadap kerugian dibandingkan dengan perbuatan tergugat, maka tergugat akan lepas dari pertanggungjawaban . Kedua, jika kerugian yang terjadi dapat diantisipasi, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat diperkirakan akan menjadi korban dari kerugian tersebut, maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggungjawab, sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat mungkin akan tetap bertanggungjawab. Ketiga, jika penggugat dapat diperkirakan (foreseeable) dapat menderita beberapa kerugian, tetapi kerugian yang terjadi memiliki karakter dan tipe yang berbeda dari kerugian yang diperkirakan tersebut, maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggungjawab, sedangkan menurut doktrin directconsequence tergugat mungkin akan tetap bertanggungjawab. Keempat, jika kerugian yang terjadi tidak termasuk ke dalam zona resiko yang dapat diperkirakan (the zones of foreseeable risk), maka menurut pendekatan resiko tergugat tidak akan bertanggung jawab, sedangkan menurut doktrin direct-consequence tergugat dapat bertanggungjawab selama perbuatannya merupakan sebab terdekat dari kerugian.133 Di dalam USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), Pengadilan Banding dari Seventh Circuit menyatakan bahwa cause in fact merujuk pada kerugian yang terjadi. Di dalam kasus ini kerugian yang terjadi adalah pencemaran karena adanya tumpahan minyak oleh kapal (barge) pengangkut minyak. Sedangkan proximate cause merujuk pada apakah pencemaran yang terjadi merupakan akibat yang dapat diperkirakan dari perbuatan tergugat (Tex-Tow). Menurut pengadilan, proximate cause berfungsi untuk menentukan dan membatasi pertanggungjawaban perdata. 134 Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang tidak bisa diperkirakan akan muncul sebagai akibat perbuatan/kegiatannya. Di dalam Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), hakim menyatakan bahwa “proximate cause” tidaklah selalu merupakan penyebab satu-satunya dan bukanlah pula merupakan penyebab yang terakhir atau terdekat (last or nearest cause); tetapi lebih merupakan penyebab langsung dari kerugian (direct and existing cause). 135 Untuk melihat apakah sebuah sebab merupakan penyebab langsung (proximate cause), salah satu ukuran yang digunakan adalah apakah kerugian yang terjadi 133
H.H. Foster, Jr., W.H. Grant, dan R.W. Green, “The Risk Theory and Proximate Cause—A Comparative Study”, Nebraska Law Review, Vol. 32, 1952-1953, hal. 88-92. 134 USA v. Tex-Tow, Inc. (1978), 589 F.2d 1310 (1978), hal. 1314. 135 Rix, et al. v. Town of Alamogordo (1938), 42 N.M. 325, 77 P.2d 765, hal. 765
47
merupakan akibat yang dapat diperkirakan (foreseeable) akan timbul dari sebab tersebut. Menurut Pengadilan Banding dari Fifth Circuit, dalam kasus USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), apabila unsur foreseeability ini dapat dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sebab tersebut adalah proximate cause dari kerugian yang terjadi.136 Meski demikian, Palmer menyatakan bahwa strict liability memiliki ciri khas yang berbeda dengan negligence dalam hal pembuktian kausalitas. Ciri khas pertama adalah bahwa pembuktian kausalitas dalam strict liability sepenuhnya didasarkan pada pembuktian faktual (pengujian “but for” atau “sine qua non”) secara sederhana. Dalam arti ini, pengadilan tidaklah membuktikan kausalitas melalui pengujian hipotetis (hypothetical atau counterfactual). 137
Dengan kata lain, pembuktian
kausalitas dalam strict liability terfokus pada pertanyaan apakah kerugian penggugat secara faktual disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh tergugat. Persoalan apakah yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh tergugat menjadi tidak relevan,
karena
persoalan
tersebut
hanya
relevan
hanya
dalam
konteks
pertanggungjawaban berdasarkan negligence, dan bukan strict liability.
Alhasil,
dalam pandangan Palmer, pada strict liability persoalan omission (tidak dilakukannya sesuatu) oleh tergugat menjadi tidak relevan, sehingga tidak perlu dibuktikan. Dalam hal ini, Palmer mengutip pernyataan Becht dan Miller yang menyatakan bahwa:138 “The difference between strict liability and negligence is precisely that a causal relation between conduct and harm is all that is needed for strict liability. As no negligence need be proved, there can be no problem whether there was an act or an omission, and no causal relation, simple or hypothetical, can be traced between a negligent segment and the harm. By the same token, since the liability rests upon an evaluation that the defendant should pay because of what he is doing, it follows that the causal relation between the conduct and the harm in strict liability cases must usually be simple, not hypothetical” Ciri khas kedua adalah strict liability tidak memperhatikan memperhatikan proximate cause dalam hal pembuktian kausalitas. Proximate cause masih dianggap 136
USA v. West England Ship Owner’s P&I, et al. (1989), 872 F.2d 1192 (5th Cir. 1989), hal. 1199. Pendekatan hakim ini mirip dengan pendekatan “the reasonable-foresight doctrine” atau pendekatan resiko (risk theory approach) dalam pembuktian proximate cause. 137 Dalam negligence, pembuktian kausalitas terkait pengujian “but for” dilakukan dengan mengajukan pertanyaan hipotetis, seperti: apakah kerugian akan tetap terjadi seandainya tergugat melakukan perbuatan yang berbeda dari perbuatan yang ia lakukan. Pengujian ini dianggap counterfactual, karena pada kenyataannya tergugat tidaklah melakukan perbuatan yang berbeda ini. Lihat: Vernon Palmer, op cit., hal. 1321-1322. 138 Ibid., hal. 1323-1324.
48
sebagai hal penting yang harus dibuktikan, tetapi tempatnya bukan lagi pada pembuktian kausalitas. Menurut Palmer, ruang lingkup pertanggungjawaban (scope of liability) yang menjadi salah satu hal utama dalam pembuktian proximate cause tidak lagi dianggap sebagai bagian dari pembuktian kausalitas, karena ruang lingkup pertanggungjawaban ini telah ditentukan oleh pembuat undang-undang.
Hal ini,
menurut Palmer, menjadi hal yang akan dibahas/dibuktikan dalam konteks pengujian “unlawfulness”, yaitu pengujian apakah kerugian yang terjadi termasuk ke dalam ruang lingkup strict liability.
Pengujian seperti ini menjadi pembahasan dalam
konteks “abnormally dangerous test”, pada saat menentukan apakah strict liability dapat diterapkan pada sebuah kasus atau tidak.139 Sementara itu, hal penting lain yang biasanya terkait dengan proximate cause, yaitu persoalan ada-tidaknya intervening cause (penyebab lain yang mengintervensi) atau superseding cause (penyebab eksternal yang dianggap lebih mempengaruhi terjadinya kerugian dibandingkan dengan kegiatan tergugat), dikanalisasi menjadi persoalan pembelaan (defense), dan bukan lagi merupakan bagian dari pembuktian kausalitas (oleh penggugat). 140 Dengan demikian maka persoalan proximate cause dan omission tidak lagi relevan dan terkait dengan pembuktian kausalitas dalam strict liability. Khusus mengenai proximate cause, persoalan-persoalan terpenting dari pembuktian ini, yaitu ruang lingkup pertanggungjawaban dan ada-tidaknya penyebab lain, telah dikeluarkan dari pembuktian kausalitas, dan menjadi bagian dari “abnormally dangerous test” atau pembuktian dalam hal pembelaan oleh tergugat. Hilang, atau setidaknya berkurangnya, fungsi proximate cause dalam pembuktian kausalitas strict liability juga dinyatakan oleh MacAyeal. Lebih jauh dari itu, MacAyeal juga menyatakan bahwa dalam strict liability, peran dari foreseeability—yaitu sebuah syarat bahwa kerugian yang terjadi merupakan hal yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya—juga menjadi lebih sedikit dan berbeda dibandingkan dengan perannya di dalam konteks negligence. Menurut MacAyeal, dalam strict liability satu-satunya ukuran proximate cause (atau disebut legal cause) dalam kegiatan yang menyebabkan bahaya.
Tergugat tidaklah perlu mengetahui
secara pasti resiko tertentu dari kegiatannya. Dengan demikian, ukuran foreseeability menjadi objektif, dan tidak lagi ditentukan oleh pandangan atau pengetahuan subjektif 139 140
Ibid., hal. 1328-1329. Ibid., hal. 1329.
49
dari tergugat.141 Pandangan ini sejalan dengan pandangan beberapa pengadilan yang menganalogikan foreseeability dalam strict liability dengan foreseeability dalam konteks vicarious liability (pertanggungjawaban atasan/majikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan). Terkait dengan hal ini, Hakim Franks dalam Earl Caldwell v. Ford Motor Co. et al. (1981), mengutip pendapat Noel dan Phillips dalam buku mereka Products Liability Cases and Materials (1976), yang menyatakan:142 “We are not here looking for the master's fault but rather for risks that may be fairly regarded as typical of or broadly incidental to the enterprise he has undertaken. Now one of the purposes for such a quest is to mark out in a broad way the extent of tort liability (as a cost item) that it is fair and expedient to require people to expect when they engage in such an enterprise, so there can be a reasonable basis for calculating this cost. And while many things may enter into the matters of fairness and expediency besides what men at any point may reasonably expect, ... yet fairness probably cannot be altogether divorced from some kind of foreseeability. What is reasonably foreseeable in this context, however, is quite a different thing from the foreseeably unreasonable risk of harm that spells negligence. In the first place, we are no longer dealing with specific conduct but with the broad scope of a whole enterprise. Further, we are not looking for that which can and should reasonably be avoided, but with the more or less inevitable toll of a lawful enterprise. The foresight that should impel the prudent man to take precautions is not the same measure as that by which he should perceive the harm likely to flow from his long-run activity in spite of all reasonable precautions on his part”—[garis bawah dari penulis]. Pendapat di atas memperlihatkan bahwa adanya keinginan dari pengadilan agar dalam strict liability pandangan/pengetahuan subjektif tergugat terhadap resiko dari kegiatannya tidak lagi dipertimbangkan.
Berdasarkan pendapat ini,
pandangan/pengetahuan tergugat atas resiko kegiatannya hanya relevan ketika pertanggungjawaban didasarkan pada negligence. Dalam konteks ini, pengetahuan tergugat tersebut berguna untuk menentukan apakah tergugat telah mengambil langkah pencegahan yang layak (reasonable atau due care) untuk mencegah terjadinya bahaya. Jika tindakan pencegahan tersebut tidak diambil, maka tergugat tidak melakukan negligence, dan karenanya tidak bertanggung jawab.
Dalam
konteks strict liability, hal ini tidak berlaku, karena setidaknya dua alasan. Pertama, 141
James R. MacAyeal, op cit., hal. 233-240. Court of Appeals of Tennessee, Eastern Section, Earl Caldwell v. Ford Motor Co. et al. (1981), 619 S.W.2d 534, hal. 541-542. Lihat juga: United States District Court, W.D. Tennessee, Eastern Division, Woodrow Sterling, et al, v. Velsicol Chemical Corporation (1986), 647 F.Supp. 303, hal. 313-314. 142
50
strict liability dikenakan pada kegiatan yang resikonya tidak bisa dicegah oleh reasonable care, sehingga pembuktian untuk mengetahui apakah tergugat telah melakukan reasonable care atau tidak, menjadi tidak relevan dalam strict liability. Kedua, karena dalam strict liability tergugat tetap bertanggung jawab meskipun jika ia telah melakukan reasonable care, maka tidaklah penting untuk melihat apakah tergugat telah mengambil reasonable care atau tidak.
Karena dalam strict liability
fungsi dari pandangan/pengetahuan subjektif tergugat atas resiko kegiatannya telah tidak ada, maka pembuktian tentang hal ini menjadi tidak relevan. Akibatnya, ukuran untuk menentukan foreseeability adalah pandangan secara umum/luas terhadap resiko dari sebuah kegiatan tertentu.143 4.3. Ketidakpastian Pencemar dan Pertanggungjawaban Perdata Dalam banyak kasus pencemaran lingkungan penggugat seringkali dihadapkan pada kesulitan untuk membuktikan bahwa tergugat merupakan pihak yang benarbenar telah menyebabkan terjadinya kerugian.
Di AS, beberapa yurisdiksi telah
mengembankan beberapa teori untuk mengatasi persoalan ini, yang memungkinkan penggugat untuk memenangkan gugatannya meskipun sebenarnya tidak terlalu jelas bahwa tergugat merupakan pihak yang telah menimbulkan kerugian. 4.3.1. Pertanggungjawaban Bersama-sama (Joint and Several Liability) Para ahli hukum di AS menganggap bahwa CERCLA (Comprehensive Enviromental Response, Compensation, and Liability Act) menganut joint and several liability. Menurut Applegate dan Laitos, tanggung jawab ini berarti “the 143
Untuk lebih jelasnya, sebagai contoh kita bisa melihatnya dalam kasus hipotetis berikut. Misalnya B menggugat A atas kerugian yang terjadi pada propertinya. Menurut B, A melakukan pengeboran minyak yang kemudian mengalami semburan liar (blowout), berupa campuran dari air, gas, dan minyak. Semburan ini selanjutnya menimbulkan kerusakan pada properti B. Dalam konteks negligence, B harus membuktikan bahwa ketika melakukan pengeboran, A tidak melakukan upaya kehati-hatian yang layak (reasonable care), misalnya berupa pemasangan selubung pengaman (casing) pada lubang pengeboran. Di samping itu, B juga harus membuktikan bahwa A mengetahui, atau seharusnya mengetahui, bahwa blowout merupakan resiko dari pengeboran minyak, dan bahwa casing dapat mencegah terjadinya blowout. Apabila A tidak menyadari adanya resiko blowout, atau bisa membuktikan ia menggunakan casing, atau bisa membuktikan bahwa pemasangan casing tidaklah dapat mencegah terjadinya blowout sehingga tidaklah wajib dilakukan, maka A tidak melakukan negligence sehingga akan terbebas dari pertanggungjawaban. Sedangkan dalam strict liability, yang harus dilakukan oleh B adalah membuktikan bahwa kerugiannya memang karena blowout yang terjadi dari pengeboran oleh A, serta bahwa peristiwa blowout adalah resiko yang biasa terjadi dalam pengeboran minyak. Dengan menunjukkan bahwa blowout adalah peristiwa yang biasa terjadi, maka resiko terjadinya blowout tersebut menjadi foreseeable. Dalam konteks ini, apakah A memasang casing atau tidak, menjadi tidak relevan.
51
entire burden can be shifted to any contributor to the harm, even one that has only a tiny role, leaving to that party the task of seeking contribution from other defendants, if possible”.144 Dengan demikian, dalam tanggung renteng seperti ini, penggugat hanya meminta agar para tergugat bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi. Tergugat mana di antara para tergugat yang akan membayar ganti rugi tersebut diserahkan kepada tergugat.
Apakah ganti rugi tersebut akan seluruhnya ditanggung oleh
seorang tergugat, atau akan dibagi rata atau berdasarkan proporsi tertentu di antara para tergugat, sepenuhnya merupakan urusan para tergugat.
Dengan demikian,
penggugat tidak perlu membuktikan proporsi/kontribusi dari tiap tergugat atas kerugian yang diderita penggugat. Bentuk pertanggungjawaban lain yang cukup erat dengan joint and several liability adalah pertanggungjawaban atas perbuatan bersama (concerted action). Dalam model “Concert of Action”, tanggung jawab diberlakukan secara bersamasama kepada para pihak yang secara bersama-sama ikut terlibat aktif dalam melakukan perbuatan yang merugikan, yang dilakukan berdasarkan rencana bersama, baik karena kerja sama (cooperation) atau permintaan (request). Tanggung jawab pun diberlakukan kepada pihak yang memberikan bantuan, nasehat, atau dorongan kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan merugikan, demi keuntungan mereka bersama. Menurut Mas Achmad Santosa, berdasarkan ”Concert of Action” maka pihak konsultan yang memberikan nasehat untuk tidak mengoperasikan alat pembuangan limbah, misalnya, dapat dituntut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penggugat. Juga berdasarkan teori ini dapat dituntut pemerintah yang telah memberi persetujuan atas kegiatan yang merugikan penggugat. Pihak-pihak yang bekerja sama dan memberikan bantuannya bertanggung jawab secara tanggung renteng.145 4.3.2. Pertanggungjawaban Alternatif (Alternative Liability) Pertanggungjawaban ini mulai berkembang dari putusan Summers v. Tice. Dalam kasus ini, dua orang pemburu, yaitu Tice dan Simonson, secara terus menerus 144
John S. Applegate dan Jan G. Laitos, Environmental Law: RCRA, CERCLA, and the Management of Hazardous Waste (Foundation Press, 2006), hal. 180. 145 Mas Achmad Santosa, “Teori Tanggung Jawab Pencemaran (Liabilities Theory)”’ dalam Sulaiman N. Sembiring (ed.), Hukum dan Advokasi Lingkungan (ICEL, 1998), hal. 91.
52
menembak ke arah penggugat (Summers). Salah satu dari tembakan-tembakan tersebut mengenai mata dari Summers. Dalam kasus ini, penggugat kesulitan untuk menentukan salah satu dari dua pemburu/tergugat itu yang benar-benar telah menembaknya. Pengadilan kemudian membalikkan beban pembuktian bagi tergugat, untuk membuktikan bahwa bukan dirinya yang menyebabkan luka pada pihak penggugat. Pengadilan berpendapat bahwa baik Tice dan Simonson telah melakukan pelanggaran hukum (melanggar duty of care), dan salah satu di antara mereka berdua secara pasti merupakan penyebab dari cedera yang diderita oleh penggugat. Karena itulah, pengadilan berpendapat bahwa tergugat lah yang memiliki beban untuk membuktikan bukan dirinya yang telah menyebabkan kerugian pada penggugat, dan bukan penggugat yang memiliki beban penggugat untuk menunjukkan salah satu tergugat yang telah menyebabkan kerugian tersebut.146 Untuk kasus pencemaran lingkungan, model seperti ini dapat digunakan apabila penggugat mengetahui pasti bahwa para tergugat lah yang telah menyebabkan kerugian pada dirinya, tetapi tidak mengetahui mana di antara para tergugat tersebut yang benar-benar menyebabkan kerugian tersebut.
Salah satu syarat lain dari
alternative liability ini adalah bahwa para tergugat melakukan kegiatan yang sama (dalam kasus Summers vs. Tice, para tergugat sama-sama melakukan perbuatan melawan hukum berupa berburu yang kemudian mengakibatkan tertembaknya penggugat). 4.3.3. Pertanggungjawaban Industri (Industry-wide Liabilty) Model pertanggungjawaban ini pertama kali dicetuskan dalam kasus Hall v. E.I. Du Pont De Nemours & Co. (1972). Kasus ini bermula dari kecelakan yang terjadi karena bahan peledak (blasting caps) yang terjadi selama beberapa tahun di AS.
Penggugat mendalilkan bahwa bahan peledak tersebut cacat karena tanpa
dilengkapi peringatan dan juga sangat mudah meledak. Dalam kasus ini, penggugat menggugat enam produsen utama dari blasting caps dan asosiasi produsen (Institute of Markers of Explosives, IME), dan menuntut para tergugat bertanggung jawab secara rentent (jointly liable). Penggugat sebenarnya tidak mampu menunjukkan mana di antara para tergugat yang telah memproduksi bahan peledak yang merugikannya. Dalam kasus ini, para tergugat dinyatakan bertanggung jawab atas 146
Adam L. Fletcher, “Alternative Liability and Deprivation of Remedy: Teaching Old Tort Law New Tricks”, Cleveland State Law Review, Vol. 56, 2008, hal. 1035-1036.
53
kerugian yang terjadi. Pengadilan menyetujui pendapat penggugat bahwa masingmasing tergugat telah mengikuti program keamanan produk sesuai dengan arahan asosiasi produsen (IME). 147 bertanggung
jawab
atas
Dalam model ini, keseluruhan industri dianggap
kerugian
yang
terjadi.
Karena
itulah,
model
pertanggungjawaban ini juga dikenal dengan “enterprise liability”.148 Model pertanggungjawaban industry ini mensyaratkan beberapa hal: pertama, tergugat tidak terlalu banyak; kedua, penggugat juga menyertakan pula asosiasi industri sebagai tergugat; ketiga, tergugat terbukti telah mengikuti standar keamanan dari industri, yang ternyata merupakan standar yang cukup longgar sehingga memungkinkan terjadinya kecelakaan.
149
Jika hal ini terbukti, maka beban
pembuktian beralih kepada masing-masing tergugat untuk menunjukkan bahwa dirinya tidaklah menyebabkan kerugian pada pihak penggugat. Lebih jauh lagi, Mallor menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban industry merupakan gabungan dari pertanggungjawaban alternatif dan pertanggungjawaban concert of action.
Dianggap mirip dengan pertanggungjawaban alternatif karena
pertanggungjawaban industri juga memungkinkan adanya pemindahan beban pembuktian kepada tergugat untuk membuktikan bukan dirinya yang menyebabkan kerugian. Sementara itu, pertanggungjawaban industri ini dianggap mirip dengan pertanggungjawaban berdasarkan concert of action karena diperlukannya bukti bahwa para tergugat melakukan tindakan yang sama berdasarkan standar industri yang ternyata merupakan standar yang buruk/longgar.150 4.3.4. Pertanggungjawaban Berdasarkan Pasar (Market Share Liability) Model ini muncul dari putusan dalam kasus Sindell v. Abott Laboratories (1980). Dalam kasus ini pengugat mengajukan gugatan terhadap beberapa perusahaan farmasi yang telah memproduksi obat diethylstilbestrol (DES), yaitu obat untuk mencegah keguguran. Penggugat menderita kanker yang diakibatkan oleh selama di dalam kandungan penggugat telah terekspos terhadap DES yang dikonsumsi oleh ibu penggugat. Pada kasus ini penggugat tidak dapat mengidentifikasikan perusahaan 147
Jane P. Mallor, “Guilt By Industry: Industry-Wide Liability for Defective Products”, Tennessee Law Review, Vol. 49, 1981, hal. 73. 148 M. Stuart Madden dan Jamie Holian, “Defendant Indeterminacy: New Wine into Old Skins”, Louisiana Law Review, Vol. 67, 2007, hal. 792. 149 150
Ibid., hal. 793. Jane P. Mallor, op cit., hal. 89-90.
54
mana di antara perusahaan-perusahan tersebut yang telah memproduksi DES yang telah dikonsumsi oleh ibunya. Karena itulah maka pengadilan distrik menolak gugat penggugat. Akan tetapi Mahkamah Agung California menolak putusan pengadilan distrik ini karena Mahkamah menganggap bahwa penggugat telah berhasil memasukkan sebagai tergugat para pembuat (manufactures) yang mempunyai peran substansial bagi pembuatan dan penjualan DES di wilayah yang relevan dengan kepentingan penggugat.
Karena itulah, menurut Mahkamah Agung, beban
pembuktian berpindah kepada para tergugat untuk membuktikan bahwa mereka bukan penyebab kerugian yang diderita oleh penggugat. Hal inilah yang disebut sebagai teori market share liability.151 Mahkamah Agung California menyatakan bahwa Sindell v. Abott Laboratories tidak bisa menggungakan pertanggungjawaban alternatif, karena dalam kasus ini penggugat tidak menjadikan semua produsen DES (yaitu pihak yang berpotensi menimbulkan kerugian) sebagai tergugat. Di samping itu, dalam kasus ini pun tidak berlaku concert of action, karena tidak ada bukti persetujuan di antara beberapa tergugat untuk melakukan tindakan secara bersama-sama. Kasus ini pun tidak bisa diadili berdasarkan enterprise liability, karena tidak ada bukti bahwa masing-masing tergugat telah mengikuti standar keamanan yang dibuat oleh industri.152 Lebih jauh lagi, Mahkamah Agung California menyatakan bahwa pembalikan beban pembuktian (dalam hal ini adalah beban tergugat untuk membuktikan bahwa dirinya tidak menyebabkan kerugian pada penggugat) dalam kasus Sindell v. Abott Laboratories terjadi apabila penggugat sebelumnya berhasil membuktikan: a. bahan yang telah menyebabkan kerugian (dalam hal ini DES); b. produk yang menyebabkan kerugian bersifat fungible (yaitu bahwa satu produk memiliki fungsi, fisik, atau resiko yang sama atau tidak bisa dibedakan dari produk lainnya.
Dalam hal ini DES
dianggap memiliki sifat fungible, karena fungsi, fisik, atau resiko yang dihasilkan tidak bisa dibedakan dari satu produk obat ke produk obat lainnya); c. penggugat dapat menunjukkan pasar yang relevan bagi produk yang menyebabkan kerugian; dan d. penggugat telah memasukkan ke dalam tergugat para produsen yang telah menjual DES dan memiliki penguasaan pasar yang substansial (substantial share) pada saat kehamilan ibu dari penggugat.
Apabila bukti ini dapat dipenuhi, maka tergugat
151
Michael Dore, Law of Toxic Torts: Litigation Defense Insurance (Clark Boardman Company, Ltd.NY, 1987), hal. 6-7. Lihat pula: Myra Paiewonsky Mulcahy, “Proving Causation In Toxic Torts Litigation”, Hofstra Law Review, Vol. 11, 1983, hal. 1316-1318. 152 M. Stuart Madden dan Jamie Holian, op cit., hal. 796.
55
bertanggung jawab, kecuali ia dapat membuktikan bahwa tergugat tidak menjual DES yang dikonsumsi oleh ibu penggugat.153 4.3.5. Pertanggungjawaban Proporsional (Proportional Liability) Dalam beberapa kasus pencemaran pun sering kali penggugat menghadapi ketidakpastian dalam pembuktian (uncertainty of causation). Hal ini tidak hanya terjadi karena terdapat banyak pihak yang dapat berkontribusi pada terjadinya kerugian, tetapi juga karena terdapat banyak faktor yang dapat menjadi penyebab kerugian, misalnya jika terdapat faktor alam. Dua pendekatan yang lazin digunakan untuk mengatasi ketidakpastian ini adalah pendekatan all-or-nothing dan pendekatan proportional liability.
Dalam
pendekatan all-or-nothing, pelaku akan dinyatakan bertanggungjawab atas seluruh kerugian yang terjadi manakala pengadilan menganggap probabilitas bahwa kerugian disebabkan oleh pelaku lebih besar dari standar probabilitas. Standar yang biasanya digunakan untuk menentukan apakah kausalitas terbukti atau tidak adalah aturan ‘preponderance of the evidence’. Jika standar ini terlewati, maka kerugian dianggap disebabkan oleh pelaku sehingga ia bertanggungjawab atas seluruh kerugian. Sementara itu, dalam pendekatan proporsional (proportional liability approach), pertanggungjawaban pelaku akan secara proporsional dikaitkan dengan seberapa besar probabilitas
bahwa perbuatan pelaku adalah penyebab dari kerugian. 154
Sebagai contoh, jika misalnya standar pembuktian ‘preponderance of the evidence’ ditetapkan oleh hakim sebesar 50%, maka apabila penggugat mampu membuktikan bahwa probabilitas kerugian disebabkan oleh perbuatan pelaku sebesar 51%, maka pelaku akan bertanggungjawab atas 100% kerugian; sedangkan jika penggugat hanya mampu membuktikan probabilitas ini sebesar 49%, maka pelaku akan dinyatakan bukan sebagai penyeban kerugian dan karenanya tidak bertanggungjawab (0% kerugian).
Pada pendektan proportional liability, ketika probabilitas terbuktinya
kausilatas adalah 51%, maka pelaku bertanggungjawab sebanyak 51% dari kerugian; sedangkan ketika probabilitas terbuktinya kausalitas adalah 49%, maka pelaku akan bertanggungjawab sebanyak 49% dari kerugian.
153
Ibid., hal. 797. Omri Ben-Shahar, “Causation and Foreseeability”, dalam: Boudewijn Bouckaert dan Gerrit De Geest (eds.), Encyclopedia of Law and Economics (Edward Elgar: 2000), hal. 652-653. 154
56
Menurut Shavell, pendekatan proportional liability lebih superior dari pendekatan ‘all-or-nothing’. Jika yang berlaku adalah strict liability, pendekatan proporsional akan mendorong pelaku untuk mengambil tingkat kehati-hatian dan tingkat kegiatan yang optimal; sedang jika yang berlaku adalah PMH, maka pelaku akan terdorong untuk mengambil tingkat kehati-hatian yang optimal saja. Dorongan untuk bertindak hati-hati ini tidak terjadi jika yang digunakan adalah pendekatan ‘allor-nothing’.155 4.3.6. Pembuktian Terbalik mengenai Kausalitas Di beberapa negara, salah satu terobosan untuk mengurangi beban pembuktian dari penggugat pada saat terjadinya ketidakpastian di dalam kausalitas adalah dengan menerapkan praduga kausalitas (presumption of causation). Dalam hal ini, kausalitas sudah dianggap terbukti, kecuali tergugat membuktikan sebaliknya.
Perlu
diperhatikan bahwa pembuktian terbalik mengenai kausalitas ini berbeda dengan pembuktian terbalik unsur kesalahan atau res ipsa loquitur sebagaimana telah diterangkan pada sub Bagian 3.3. Menurut pengamatan Hinteregger, di beberapa negara Eropa, kasualitas antara kerugian dan perbuatan tergugat dianggap telah terbukti apabila, misalnya, emisi tergugat telah melampaui baku mutu emisi. Dalam hal ini, penggugat tidak perlu membuktikan bahwa kerugiannya benar-benar diakibatkan oleh perbuatan tergugat (dalam hal ini misalnya bahwa kerugian benar-benar terjadi karena tergugat telah melampaui baku mutu emisi tertentu), tetapi cukup dibuktikan bahwa kerugian tersebut mungkin (probable) dapat terjadi dari perbuatan tergugat (dalam hal ini secara umum terdapat kemungkinan bahwa pelampauan baku mutu emisi tersebut akan menyebabkan kerugian).156 Hinteregger juga menemukan bahwa berdasarkan pembuktian terbalik di Belanda, apabila penggugat mampu menunjukkan bahwa pertama perbuatan tergugat merupakan perbuatan yang melawan hukum, kedua perbuatan melawan hukum tersebut telah menciptakan atau meningkatkan resiko dari kerugian tertentu, dan ketiga kerugian tersebut telah terjadi, maka kausalitas sudah dianggap terbukti. 155
Steven Shavell, “Uncertainty over Causation and the Determination of Civil Liability”, Journal of Law and Economics, Vol. 28, 1985. 156 Monika Hinteregger (ed.), Environmental Liability and Ecological Damage in European Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hal. 610.
57
Beban pembuktian kemudian beralih kepada tergugat untuk membuktikan sebaliknya.157 Sementara itu, menurut Hinteregger, di Austria dan Jerman untuk kasus yang didasarkan pada strict liability berlaku juga apa yang disebut sebagai praduga kausalitas (presumption of causation).
Untuk kegiatan tertentu yang berbahaya,
seperti reaktor nuklir, pertambangan, atau rekayasa genetika, kerugian tergugat telah dianggap terbuktik terjadi kerena kegiatan tergugat yang berbahaya tersebut. Tergugat dapat mengelak dari pertanggungjawaban ini dengan membuktikan, di antaranya, bahwa kerugian tidak mungkin (not probable) disebabkan oleh kegiatan tergugat.158 4.4. Pembelaan yang Lazin dalam Kasus Perdata Dalam pertanggungjawaban perdata, dalam hal ini terutama strict liability, tergugat dapat mengelak dari pertanggungjawaban apabila ia dapat membuktikan beberapa hal (defense). Karena adanya alasan untuk mengelak inilah maka strict liability sering dibedakan dari absolute liability. Dalam hal ini, Hakim Oakes dalam New York v. Shore Realty Corp. (1985), menyatakan bahwa “[s]trict liability under CERCLA, however, is not absolute; there are defenses for causation solely by an act of God, an act of war, or acts or omissions of a third party other than an employee or agent of the defendant or one whose act or omission occurs in connection with a contractual relationship with the defendant.” 159 Kutipan ini menjelaskan bahwa strict liability tidaklah absolute, karena dalam strict liability masih terdapat beberapa alasan (defenses) yang dapat digunakan tergugat untuk mengelak dari pertanggungjawaban. Hal senada juga dikatakan oleh Palmer, yang menyatakan bahwa pembeda utama absolute liability dari strict liability adalah bahwa dalam absolute liability terdapat “total (or virtually total) rejection of defenses of any kind, whether we speak of defenses that negate causation, defenses that inculpate the plaintiff, or defenses that exonerate the defendant.”160 Penulis sendiri berpandangan bahwa tidak selamanya istilah absolute liability merujuk pada pertanggungjawaban tanpa adanya alasan (defenses) bagi tergugat. 157
Ibid., hal. 611. Ibid., hal. 611-612. 159 United States Court of Appeals for the Second Circuit, New York v. Shore Realty Corp. (1985), 759 F.2d 1032, hal. 1042. 160 Vernon Palmer, op cit., hal. 1329. 158
58
Dalam beberapa putusan, hakim AS menggunakan istilah absolute liability sebenarnya untuk merujuk pada strict liability (atau doktrin Rylands v. Fletcher).161 Dalam tulisan ini, penulis tidak dapat terlalu jauh menjelaskan apakah strict liability atau absolute liability dua istilah yang berbeda ataukah tidak. Satu hal yang jelas, bahwa dalam strict liability memang dikenal adanya beberapa alasan pembelaan (defenses) yang dapat mengelakkan tergugat dari pertanggungjawaban. Alasan-alasan tersebut sifatnya terbatas, yaitu terhadap apa yang secara tegas ditentukan oleh Undang-undang. Di dalam beberapa undang-undang di AS, seperti CERCLA, OPA (Oil Pollution Act), FPWCA (Federal Water Pollution Control Act), terdapat beberapa alasan yang dapat digunakan untuk lepas dari strict liability, yaitu bencana alam (act of god), peperangan, perbuatan pihak ketiga, kesalahan dari tergugat sendiri. Di Indonesia, UU No. 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran, misalnya, menyediakan beberapa alasan untuk lepas dari pertanggungjawaban, yaitu jika kecelakaan nuklir terjadi karena bencana alam, peperangan (pertikaian), atau kesalahan korban sendiri.162 Menurut Palmer, rigiditas alasan (defense) ini menjadi salah satu ciri dari strict liability. Jika defense defense yang disediakan semakin sedikit dan semakin sulit untuk digunakan, maka semakin ketatlah strict liability. Sedangkan semakin banyak defense dan semakin mudah defense tersebut digunakan, maka pertanggungjawaban semakin menjauh dari strict liability dan semakin mendekat pada negligence.163 Adapun pembelaan yang lazim diketengahkan adalah bencana alam (force majeur), kesalahan pihak korban sendiri, dan adanya perbuatan pihak ketiga. 4.3.1. Bencana Alam Dalam konteks bencana alam (act of God) di AS, diketahui bahwa alasan ini merupakan beban pembuktian dari tergugat. Beberapa putusan di AS menunjukkan bahwa dalam pengajuan alasan ini, tergugat harus membuktikan bahwa bencana alam bersifat luarbiasa (grave), tidak dapat diperkirakan (unforeseeable), sehingga tidak 161
Lihat misalnya: Court of Appeals of New York, Losee v. Buchanan (1873), 51 N.Y. 476, hal. 490; Supreme Court of Texas, Annie Lee Turner et al. v. Big Lake Oil Company et al. (1936), 96 S.W.2d 221, hal. 223, 225-226; Supreme Court of California, Horace W. Green et al. v. General Petroleum Corporation (1928), 205 Cal. 328, hal. 334; Circuit Court of Appeals, Second Circuit, Exner v. Sherman Power Const. Co. (1931), 54 F.2d 510, hal. 513; dan Supreme Court of Louisiana, Gotreaux v. Gary (1957), 232 La. 373, hal. 378; 94 So. 2d 293, hal. 295. 162 UU No. 10 tahun 1997, LN tahun 1997 No. 23, TLN No. 3676, Pasal 32 dan 33. 163 Vernon Palmer, loc cit.
59
dapat dicegah (unpreventable), dan merupakan satu-satunya penyebab dari kerugian yang terjadi. Terkait syarat terakhir ini, apabila pengadilan melihat adanya kontribusi dari kegiatan tergugat (apalagi jika terdapat kontribusi kesalahan tergugat), maka dalih bencana alam akan ditolak, meskipun bisa saja bencana alam ini sifatnya luar biasa.164 Lebih penting lagi, dalih bencana alam ini sebenarnya pernah pula diuji secara baik oleh pengadilan di Indonesia. Dalam hal ini, pengadilan menolak dalih bencana alam apabila pengadilan melihat bahwa pihak tergugat sendiri berkontribusi dalam terjadinya kerugian. Di dalam Kasus Mandalawangi (2003), dalih bencana alam yang diajukan oleh tergugat telah ditolak oleh pengadilan. Salah satunya pengadilan beralasan bahwa wilayah hutan dengan kemiringan seperti Gunung Mandalawangi seharusnya tetaplah merupakan hutan lindung, dan tidak bisa diubah menjadi kawasan pemanfaatan. Secara khusus, pengadilan menyatakan bahwa longsor penyebab kerugian penggugat, terjadi karena, antara lain adanya
“[k]erusakan/pencemaran lingkungan...
pemanfaatan tanah tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung....”. 165 Dengan demikian, kegiatan tergugat dalam mengelola hutan, dianggap telah berkontribusi dalam terjadinya kerugian (longsor), sehingga menghapuskan faktor alam, berupa curah hujan yang tinggi dan banjir bandang, sebagai penyebab terjadi kerugian. Hal senada juga dikemukakan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Sylvia H.B. Panjaitan vs Direktur Perum Perumnas Cq. Kepala Kantor Perum Perumnas Regional VII Cabang Jayapura, dkk (2004). Dalam putusan ini, MA berpandangan bahwa kontribusi perbuatan Tergugat I, yang tidak membuatkan saluran pembuangan air merupakan tidanakan yang melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya banjir
164
Untuk pembahasan ini, lihat misalnya: Andri G. Wibisana (2011), op cit., hal. 105-135; William D. Flatt dan Wesley R. Kliner, “When the Earth Moves and Buildings Tumble, Who Will Pay?—Tort Liability and Defenses for Earthquake Damage within the New Madrid Fault Zone”, Memphis State University Law Review, Vol. 22, 1991, hal. 1-41; Denis Binder, “Act of God? Or Act of Man?: A Reappraisal of the Act of God Defense in Tort Law”, The Review of Litigation, Vol. 15(1), 1996, hal. 1-79; R.M. Sugg, “Blame It on the Rain? El Niño is no Excuse to Pollute”, Whittier Law Review, Vol. 21, 2000, hal. 737-765; James E. Mercante, “Hurricanes and Act of God; When the Best Defense is a Good Offense”, USF Maritime Law Journal, Vol. 18(1), 2005-2006, hal. 1-39; atau Laurencia Fasoyiro , “Invoking the Act of God Defense”, Environmental & Energy Law & Policy Journal, Vol. 3(2), 2009, hal. 1-33. 165 PN Bandung, Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN. Bdg, Dedi, dkk, vs. Direksi Perum. Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dkk (2003), hal. 94.
60
yang menimbulkan kerugian pada harta benda penggugat.166 Oleh MA, sebab alam berupa curah hujan yang tinggi tidak dianggap sebagai penyebab kerugian berupa banjir, ketika MA menemukan bahwa ada kontribusi tergugat di dalam terjadinya kerugian penggugat (banjir). Kedua putusan pengadilan di atas menunjukkan bahwa setidaknya syarat bahwa faktor merupakan sebagai satu-satunya penyebab terjadinya kerugian, juga telah diterima dan dipraktekkan di Indonesia.
Menurut penulis, kedua putusan
tersebut selayaknya diikuti dan dijadikan salah satu standar dalam penilaian dalih bencana alam di Indonesia. 4.3.2. Kesalahan Penggugat Terkait defense berupa kesalahan dari pihak penggugat sendiri (contributory negligence), Coleman menyatakan bahwa defense ini membuat strict liability adalah kebalikan dari negligence. Dalam negligence yang bertanggungjawab secara mutlak adalah korban (penggugat); tergugat masih bisa bertanggungjawab jika korban (penggugat) membuktikan bahwa tergugat melakukan negligence. Sedangkan dalam strict liability yang bertanggungjawab secara mutlak adalah tergugat; korban (penggugat)
masih
bisa
bertanggungjawab—artinya
tergugat
lepas
dari
pertanggungjawaban, dan penggugat menanggung sendiri kerugiannya—jika tergugat bisa membuktikan bahwa korban (penggugat) melakukan kesalahan.167 Atas dasar ini pula maka Coleman menyatakan bahwa di dalam strict liability sebenarnya terkandung unsur negligence, dan demikian pula sebaliknya.168 Lebih penting lagi, menurut Martin-Casals, lepasnya tergugat dari pertanggungjawaban atas dasar adanya kontribusi kesalahan penggugat mensyaratkan beberapa hal. Pertama, penggugat memiliki kapasitas untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, penggugat haruslah merupakan pihak yang memiliki kontrol secara aktual atau ekonomi atas kegiatan perbuatan yang melahirkan kerugian. Kedua, penggugat tidak melakukan upaya perlindungan diri atau penggugat sendiri telah melakukan kegiatan yang berbahaya. Ketiga, kegagalan melindungi diri atau
166
Mahkamah Agung RI, Putusan No. 2143 K/Pdt/2004, Sylvia H.B. Panjaitan vs Direktur Perum Perumnas Cq. Kepala Kantor Perum Perumnas Regional VII Cabang Jayapura, dkk (2004), hal. 10-11. 167 Jules C. Coleman, op cit., hal. 227-228 dan 232-233. 168 Ibid., hal. 228.
61
dilakukannya
kegiatan
yang
berbahaya
ini
haruslah
merupakan
penyebab
langsung/terdekat dari kerugian yang diderita penggugat.169 4.3.3. Perbuatan Pihak Ketiga Terkait pembelaan karena adanya perbuatan pihak ketiga, secara umum von Bar menyatakan bahwa adanya perbuatan pihak ketiga dapat dijadikan alasan untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban.
Dalam konteks ini, apabila memang
terdapat kesengajaan dari pihak ketiga untuk menimbulkan kerugian, maka tergugat terlepas
dari
pertanggungjawaban
dan
pihak
ketiga
inilah
yang
harus
bertanggungjawab karena dianggap sebagai penyebab kerugian. Namun demikian von Bar menyatakan pula bahwa dalih adanya perbuatan pihak ketiga ini hanya akan diterima oleh pengadilan apabila tergugat sendiri tidak berada dalam kewajiban untuk mencegah terjadinya kerugian, termasuk dari kemungkinan munculnya kerugian karena perbuatan pihak ketiga. Jika tergugat justru dianggap oleh hukum memiliki kewajiban mencegah terjadinya perbuatan pihak ketiga ini, maka dalih adanya perbuatan pihak ketiga akan ditolak dan tergugat tetap harus bertanggungajwab. Dalam konteks ini, von Bar melukiskan beberapa kasus, di antaranya sebuah putusan pengadilan di Belgia yang menyatakan pemerintah bertanggungjawab atas adanya kerusakan pada Konsulat Irak di Brussels oleh perbuatan teroris (pihak ketiga), dengan alasan bahwa pemerintah telah gagal memenuhi kewajiban untuk melindungi bangunan kantor.170 Sementara itu, Koch mengaitkan dalih perbuatan pihak ketiga dengan sifat dan resiko sebuah kegiatan. Menurutnya, dalih perbuatan pihak ketiga tidak akan diterima apabila kegiatan tergugat sendiri merupakan kegiatan yang sangat berbahaya sehingga perbuatan pihak ketiga tidaklah cukup untuk menjadi penyebab dari kerugian penggugat. Lebih dari itu, Koch menyatakan bahwa alasan ini hanya akan diterima 169
Miquel Martin-Casals, “Chapter 8: Contributory Conduct or Activity”, dalam: dalam: European Group on Tort Law, Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005), hal. 132-133. Meski demikian, perlu untuk dicatat di sini bahwa di Perancis, adanya kontribusi kesalahan penggugat tidak bisa dijadikan dalih/alasan untuk melepaskan diri pertanggungjawaban jika yang berlaku adalah strict liability. Sementara di Inggris, adanya kontribusi kesalahan dari penggugat akan mengurangi jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat, sehingga dalih ini tidak otomatis menghilangkan keseluruhan tanggung jawab dari tergugat. Lihat: Monika Hinteregger (ed.), op cit., hal.165-166. 170 Christian von Bar, The Common European Law of Torts Volume Two: Damage and Damages, Liability for and without Personal Misconduct, Causality, and Defences (Oxford: Clarendon Press, 2000), hal. 462-463.
62
apabila perbuatan pihak ketiga telah mengubah kerugian menjadi sesuatu yang berada di luar resiko kegiatan/usaha tergugat. Apabila kerugian ini masih berada di dalam lingkup resiko kegiatan/usaha tergugat, maka alasan perbuatan pihak ketiga akan ditolak.171 Menurut pengamatan Hinteregger, pengadilan di Perancis biasanya menolak dalih adanya perbuatan pihak ketiga dalam kasus yang menggunakan dasar strict liability.
Hinteregger juga menyatakan bahwa di Jerman, Portugal, Inggris dan
Irlandian, pengadilan biasanya akan menguji dalih perbuatan pihak ketiga di dalam konteks force majeur, dalam arti bahwa perbuatan pihak ketiga ini haruslah merupakan sesuatu yang tidak bisa diperkirakan (unforeseeable) sehingga tidak bisa dicegah.172 5. Penutup Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini terlihat bahwa strict liability diartikan dan dipraktekan secara berbeda antara di Indonesia dengan di AS. Tulisan ini tidak ingin menunjukkan bahwa praktek dan penafsiran di AS benar, sementara di Indonesia keliru; atau sebaliknya. Yang berhasil dikemukakan dari tulisan ini adalah bahwa penafsiran dan praktek strict liability di Indonesia lebih dekat, terlalu dekat, dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.
Hal ini pada akhirnya
menjadikan strict liability di Indonesia tidak menghasilkan perbedaan yang penting dan signifikan dibandingkan dengan hasil yang dicapai melalui pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (PMH).
Karena itulah, perubahan praktek di Indonesia
menjadi penting untuk dilakukan. Letak gugatan strict liability yang masih berada di dalam kelompok “Gugatan PMH”, bukanlah persoalan yang terlalu penting, karena memang berada dalam kelompok gugatan ini jauh lebih tepat dibandingkan dengan berada dalam kelompok gugatan lainnya, yaitu “Gugatan Wanprestasi”.
Perubahan yang perlu dilakukan
bukanlah pada pembagian kelompok gugatan, tetapi pada cara penyusunan gugatan. Penulis mengusulkan agar untuk gugatan yang memasukkan strict liability sebagai salah satu dasar pertanggungjawaban, maka gugatan tersebut hendaknya:
171
Bernhard A. Koch, “Chapter 7: Defences in General”, dalam: European Group on Tort Law, Principles of European Tort Law: Text and Commentary (Wina: Springer, 2005), hal. 129. 172 Monika Hinteregger (ed.), op cit., hal. 163-164.
63
1. Membuat bagian posita untuk strict liability yang terpisah dari posita untuk PMH pada umumnya. 2. Apabila dalam posita untuk PMH pada umumnya dicantumkan bagaimana tergugat melakukan perbuatan melawan hukumnya, dan akibatnya bagi penggugat, maka dalam posita untuk strict liability penggugat menjelaskan bahwa: a). kegiatan tergugat merupakan kegiatan yang sangat berbahaya, sehingga dapat dikenakan strict liability; b). penggugat mengalami kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan tergugat tersebut. 3. Dalam bagian petitum, penggugat bisa mengajukan permohonan agar tergugat dinyatakan bertanggungjawab atas dasar PMH atau strict liability. Dalam hal ini, dapat saja dimohonkan agar “tergugat dinyatakan bertanggungjawab karena melakukan perbuatan melawan hukum (jika memang gugatan meliputi pula PMH biasa) dan/atau bertanggungjawab berdasarkan pertanggungjawaban mutlak (strict liability)”. Selanjutnya, hakim pun perlu mengubah pandangannya tentang strict liability sebagai pembuktian terbalik terkait kesalahan. Penafsiran seperti ini keliru, karena strict liability adalah sebuah teori/aturan bagi pertanggungjawaban, dan bukan teori/aturan terkait beban pembuktian. Dalam hal ini, meskipun tergugat berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan pelanggaran kewajiban atau kehatihatian, ia tetap bertanggungjawab atas kerugian penggugat yang diakibatkan kegiatan tergugat. Lebih dari itu, pengadilan pun perlu membuat kepastian mengenai proses penanganan kasus yang menggunakan strict liability.173 Dalam konteks ini, penulis mengusulkan agar pada saat menangani perkara tersebut, pengadilan pertama-tama menentukan apakah perkara tersebut dapat dikenakan strict liability. Terkait hal ini, pengadilan perlu membuat pertimbangan yang jelas dan tegas untuk menjelaskan apakah kegiatan tergugat termasuk kegiatan yang sangat berbahaya, sehingga dapat dikenakan strict liability.174 Jika hakim menganggap bahwa perkara tersebut dapat 173
Di dalam Walhi v. Freeport (2001) dan Walhi v. Lapindo Brantas, dkk (2007) pengadilan tidak memberikan pertimbangan dan pembahasan terkait dasar gugatan strict liability yang digunakan oleh penggugat. 174 Untuk konteks lingkungan hidup, sebuah kegiatan akan terkena strict liability apabila menggunakan beracun dan berbahaya (B3), atau menghasilkan limbah B3, atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Lihat: UU No. 32 tahun 2009, LN tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Pasal 88.
64
diadili berdasarkan strict liability, maka pertimbangan selanjutnya adalah apakah penggugat dapat membuktikan bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kegiatan tergugat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan kembali bahwa meskipun tergugat tidak
melawan hukum (dalam arti bahwa kegiatan tergugat tersebut tidaklah melawan kewajiban dan kepatutan/kehati-hatian, dan bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan tidak melawan kewajiban dan kepatutan/kehati-hatian), tergugat tetap bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi. Terkait defense, terutama terkait dalih bencana alam, pengadilan pun harus lebih berhati-hati dalam memberikan putusan. Pelajaran dari pengadilan di AS, di mana pembuktian terkait dalih bencana alam harus memenuhi beberapa kriteria pengujian, mungkin dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.
65