BATIK TUTUR BLITAR: TRANSFORMASI PESAN MORAL DARI DINDING CANDI MENJADI SEHELAI KAIN Rochtri Agung Bawono1) dan Zuraidah1) Prodi Arkeologi, Fak. Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Jl. P. Nias 13 Denpasar Bali 80114 Telp/Fax: (0361) 224121, E-mail:
[email protected]
1
Abstrak Batik tutur merupakan penamaan batik yang dikembangkan di Blitar berdasarkan koleksi batik asal Blitar di Museum Leiden Belanda yang dibuat sekitar tahun 1902. Penamaan batik tutur karena motif-motifnya merupakan pesan moral (pitutur) yang ingin disampaikan oleh perajin kepada pemakainya. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui sumber ide penciptaan batik tutur Blitar yang berkembang pada Masa Kolonial Belanda. Metode yang digunakan terdiri atas pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka, sedangkan pengolahan datanya menggunakan analisis kualitatif, estetik simbolik, dan komparatif. Batik tutur yang berkembang sekarang telah memiliki beberapa motif antara lain Cinde Gading, Gambir Sepuh, Simo Samaran, Winih Semi, Jalu Watu, Celeret Dubang, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Galih Dempo, Mirong Kampuh Jinggo, dan Gunung Menyan. Batik tutur saat ini memiliki perbedaan dengan batik tutur pada Masa Kolonial Belanda terutama pada karakter motif, pewarnaan, dan isi pesan moralnya. Batik Blitar koleksi Museum Leiden Belanda bermotifkan gambar tumbuhan dan binatang singa, burung, kuda terbang, dan kupukupu dengan pesan moral tentang sindiran terhadap kaum bangsawan bentukan Belanda. Berdasarkan data arkeologi di sekitar Blitar diketahui bahwa pesan moral yang menggunakan simbol-simbol binatang (fabel) terdapat di Kompleks Candi Panataran antara lain terpahat pada arca, Candi Pendopo Teras, Candi Naga, Candi Induk, dan patirthan. Adanya bukti pesan moral pada relief di dinding candi maka menunjukkan bahwa batik tutur Blitar 1902 sangat dipengaruhi oleh relief tersebut dan merupakan kesinambungan budaya masa lalu hingga saat ini. Kata Kunci: Batik tutur, Candi Panataran, fabel, dan pesan moral.
BATIK TUTUR BLITAR: THE MORAL MESSAGES TRANSFORMATION OF THE TEMPLE’S RELIEF TO A CLOTH Abstract Batik tutur is a kind of batiks that developing in Blitar area, based on batiks collection at Leiden Museum Netherland that made 1902. The reason of Batik tutur named because the motifs of the batiks implement the creators moral messages (advice) to their customer. The purpose of the research is to find out the source of batiks tutur creation idea that development at Colonial Era. The method used data’s collection and data’s processing, for data’s collection included observations, interviews, and literature research, while data’s processing used qualitative analysis, aesthetic symbolic, and comparative. Now days, the motif of batiks tutur are varied such as Cinde Gading, Gambir Sepuh, Simo Samaran, Winih Semi, Jalu Watu, Celeret Dubang, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Galih Dempo, Mirong Kampuh Jinggo, and Gunung Menyan. The recent batik tutur differ with batik tutur at Colonials Era, the difference are the motif character, dying, and the moral message. The motif of batik tutur Leiden Museum mostly are flora and animal creation such as lion, bird, flying horse, and butterfly with moral messages as a satirical to Colonial’s duke. Based on archaeological data, moral messages with animal symbolism founded at Complex of Panataran Temples, such as Candi Pendopo Teras, Candi Naga, Candi Induk, and patirthan. Proof of the moral messages at temple’s relief indicated that the batik tutur Blitar has a lot of influence from that and it is a culture continuation from the past to present. Keywords: Batik Tutur, Panataran Temple, fable, and Moral Massages.
1. PENDAHULUAN Batik Blitar merupakan penamaan material kain batik yang dibuat di Blitar dengan corak dan ragam yang khas. Saat ini batik Blitar sangat dicirikan dengan motif ikan koi (Cyprinus carpio) yang merupakan produk budidaya andalan perikanannya yang sebenarnya jenis ikan koi berasal dari Jepang. Ikan asli dari Blitar yang telah menyebar ke penjuru tanah air sebenarnya yaitu Mujair (Oreochromis mossambicus) yang merupakan domestikasi ikan laut yang dipindahkan ke air tawar oleh Bapak Mujair pada tahun 1936 (www.wikipedia.org, 2015) tetapi ikan mujair tidak dijadikan ikon utama dalam batik Blitar. Asal usul budaya batik di Blitar hingga saat ini masih menjadi perdebatan panjang. Kemungkinan batik Blitar berkembang karena mendapat pengaruh dari Keraton Yogyakarta ataupun Surakarta sebagai akibat adanya komunikasi dagang atau kewilayahan pada masa lalu. Pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan saat invasi Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1633 ke wilayah timur Pulau Jawa (termasuk Blitar) hingga Blambangan, maka batik kraton Mataram Islam mempengaruhi juga kesenian Blitar sehingga lahirlah batik Blitar pada masa lalu (Gardjito, 2015:237). Klasifikasi batik berdasarkan wilayahnya maka batik Blitar dikelompokkan dalam batik pedalaman yaitu batik yang berkembang di wilayah pedalaman dan mendapatkan pengaruh dari keraton atau saudagar yang tinggal jauh dari kraton atau abdi-abdi dalem yang bersentuhan langsung dengan kraton berusaha membuka industri batik skala kecil. Pola atau motif batik pedalaman menyerupai motif kratonan tetapi memiliki kualitas yang kasar, serta pewarnaan mengikuti tren yang berkembang di kraton (Bawono dan Zuraidah, 2014: 16-19). Hingga saat ini, batik yang berasal dari Blitar dan sekitarnya yang berumur tua hanya ditemukan di Museum Leiden Belanda dengan penamaan Batik Afkomstig Uit Blitar tahun 1902 yang corak dan ragamnya berbeda dengan batik pada umumnya di sentra-sentra budaya batik di Nusantara. Batik tersebut berhiaskan ragam tumbuhan dan binatang singa, burung, ayam, kuda terbang, serta kupu-kupu yang kemungkinan memiliki pesan moral yang tersembunyi. Keberadaan batik Blitar di Museum Laiden tersebut baru disadari oleh masyarakat di Blitar pada tahun 2007 sehingga diberikan nama batik tutur oleh Wima Brahmantya sebagai orang pertama yang menggunakan istilah tersebut. Kata tutur berasal dari istilah pitutur yang berarti pesan atau nasehat, sehingga batik tutur memiliki pengertian suatu batik yang mengandung pesan moral (nasehat) berdasarkan motif yang di-tutur-kan (dibaca dan diucapkan). Batik Blitar yang menjadi koleksi Museum Leiden hingga saat ini tidak ada keterangan yang menjelaskan lebih detail terkait pesan moral yang digambarkan dalam motif-motif tersebut. Menurut budayawan di Blitar penggambaran motif binatang dan tumbuhan tersebut merupakan sindiran kepada bangsawan-bangsawan bentukan Belanda yang tidak membela masyarakat miskin. Terbentuknya batik Blitar tersebut diperkirakan merupakan hasil ekspoitasi pengetahuan dan pemahaman sebelumnya tentang kekayaan budaya yang dimiliki. Tujuan tulisan ini yaitu ingin mengungkapkan sumber ide penciptaan batik tutur Blitar yang berkembang pada masa Kolonial Belanda tersebut.
2. METODE Metode penelitian terdiri atas dua metode yaitu pengumpulan data dan pengolahan (analisis) data. Pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka. Observasi dilakukan terhadap objek-objek yang memiliki relief berpesan moral pada beberapa bangunan maupun benda cagar budaya yang memiliki umur yang lebih tua dari batik tutur koleksi Museum Leiden Belanda. Benda cagar budaya yang menjadi objek pengamatan penelitian ini yaitu Kompleks Candi Penataran yang terdiri atas beberapa candi, arca, kolam suci (patirthan), dan fragmen-fragmen bangunan. Teknik wawancara dilakukan untuk mendapatkan data kekinian khususnya inspirasi batik tutur yang direproduksi ulang oleh seniman-seniman Blitar serta pitutur yang terkandung pada kain batik. Teknik wawancara bebas
menjadi pilihan karena tidak terikat pada permasalahan saja, tetapi dapat mendapatkan data lain untuk mendukung informasi lain yang sekiranya dapat digunakan dalam penulisan ini. Studi pustaka dilakukan terhadap artikel ilmiah, buku, jurnal, dan tulisan populer yang bertujuan untuk mendapatkan data terkait teori, penelitian terdahulu dan informasi umum seputar batik atau tinggalan masa lalu. Metode pengolahan (analisis) pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, estetik simbolik, dan komparatif. Analisis kualitatif merupakan proses analisis berdasarkan kualitas data yang ditampilkan dalam bahasa verbal. Analisis estetik simbolik dilaksanakan untuk mengungkap pesan-pesan (nasehat) ataupun makna yang disembunyikan oleh perancangnya dalam bentuk motif atau ragam hias dalam kain batik maupun relief candi ataupun benda cagar budaya. Setiap motif yang digambarkan pada kain batik khususnya batik tutur memiliki arti dan makna yang berbeda sesuai konteks cerita dan pesan, hal ini perlu diungkap melalui estetik simbolik tersebut. Analisis ketiga yang digunakan yaitu analisis komparatif yaitu membandingkan ragam dan pesan moral pada kain batik dengan ragam dan pesan moral yang terdapat pada relief di candi atau benda cagar budaya.
3. HASIL Batik tutur menjadi penyebutan untuk batik Blitar yang memiliki motif-motif binatang yang digambarkan tersamar (distilir) dan memiliki kisah tertentu yang dibahasakan sebagai pesan moral kepada pengguna atau masyarakat pendukungnya. Batik tutur tertua yang ditemukan merupakan batik yang dihasilkan oleh perajin pada tahun 1902 dan sekarang menjadi koleksi Museum Leiden. Kemunculannya kemungkinan akibat dari rancang motif bebas yang dilakukan oleh pengusaha (saudagar) karena keluar dari pola yang teratur dalam sehelai kain batik yang telah dikembangkan pada batik keraton. Gambar binatang yang disamarkan tersebut memiliki keletakan yang acak dan tidak selalu berurutan sehingga memiliki pola yang berbeda setiap kainnya. Gambar atau motif yang terdapat pada batik tutur koleksi Museum Leiden antara lain tumbuhan dan binatang singa, burung, ayam, kuda terbang, serta kupu-kupu. Motif tumbuh-tumbuhan atau sulur terdapat pada bagian badan, sedangkan pada bagian kepala terdapat sulur tanaman dan bentuk serupa burung. Pada batik tradisional biasanya terdapat tumpal pada bagian kepala, tetapi batik Blitar ini tidak memiliki tumpal dan digantikan dengan sulur-sulur bunga seruni yang mekar. Pada bagian papan di sisi luar kepala terdapat motif garis-garis bunga yang mekar. Berdasarkan bentuk dan motif batik Blitar yang disimpan di Museum Leiden tersebut kemungkinan pembuatnya dipengaruhi oleh dua tradisi batik yang berkembang saat itu yaitu pola batik tradisi pesisiran dan gaya batik Belanda. Pola batik pesisiran terlihat pada hiasan binatangnya yang digambarkan dalam bentuk-bentuk meruncing, seperti halnya motif lock can atau genggongan. Motifmotif tersebut banyak berkembang di Pekalongan, Lasem, dan Tuban. Pengaruh batik Belanda terlihat pada bagian kepala yang menggunakan motif sulur-sulur bunga seruni bertengger tiga serupa burung bahkan didukung tanpa adanya tumpal. Hiasan kepala tersebut menyerupai batik karya J. Toorop yang dibuat sekitar tahun 1880 di Pekalongan. Penggunaan motif tanpa membentuk pola pada bagian badan kain juga merupakan ciri pengaruh batik Belanda sehingga gambarnya didasarkan pada cerita rakyat atau sekedar hiasan untuk keindahan tanpa makna. Pada batik Blitar terdapat beraneka ragam bentuk binatang yang distilir. Batik dengan hiasan beraneka binatang yang paling tua diperkirakan merupakan batik karya van Oosterom pada tahun 1860 di Banyumas yang menampilkan antara lain binatang singa, monyet, kuda, kijang, kancil, ayam jago, burung merak, dan burung tekukur (Veldhuisen, 2007: 51-68; Gardjito, 2015:205). Tradisi batik Jawa juga mengenal motif binatang yang distilir antara lain dalam motif alas-alasan. Motif alas-alasan menampilkan binatang-binatang hutan yang hidup di hutan yang memiliki makna menuju kemakmuran, ketentraman, walaupun mendapatkan banyak halangan dan tantangan. Bahkan
motif alas-alasan telah menjadi batik larangan oleh Raja Pakubuwana IV pada 1790 M sehingga penciptaannya jauh sebelum tahun tersebut motif tersebut dianggap memiliki makna perlindungan atas hutan dan gunung dalam masyarakat Jawa, sehingga penggunaan batiknya pada saat upacara khusus saja misalnya bedhoyo ketawang. 4. PEMBAHASAN Penciptaan ulang batik tutur Blitar saat ini dipengaruhi oleh keberadaan koleksi batik Blitar koleksi Museum Leiden yang diciptakan pada tahun 1902 yang tidak diketahui kisahnya karena hanya menampilkan gambar-gambar binatang yang bentuknya distilir tetapi masih menampakkan bentuknya. Bentuk binatang yang digambarkan paling besar yaitu kuda dengan bentuk gemuk dan pendek, pada bagian lehernya terdapat bentuk bulan sabit layaknya sayap yang terentang dan digambarka tanpa kepala. Pada bagian kepala kuda digantikan binatang sejenis ayam tanpa kaki dengan mulut terbuka ke atas dan ekor mendongkak melebihi tinggi kepalanya. Binatang lainnya yaitu burung dengan posisi diam, memperlihatkan badan yang menyudut pada bagian belakang dan ekor berbentuk kotak menjuntai ke bawah. Seluruh badan burung diberikan garis-garis keluar seolah-olah bulu. Bagian kepala burung ini juga terpisah seperti kuda terbang tersebut dan berbentuk menyerupai segitiga dan garis-garis pada bagian atas. Bentuk binatang lainnya yaitu singa dengan bentuk kepala yang berbeda seperti bentuk kupu-kupu. Bentuk ketiga binatang tersebut digambarkan lebih besar dan jelas dibandingkan motif hiasa lainnya. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti makna penggambaran binatang-binatang tersebut. Seniman Blitar berpendapat bahwa gambar tersebut melambangkan sindiran terhadap bangsawan bentukan Belanda. Menurut penulis makna gambar pada batik Blitar tersebut menunjukkan bahwa kuda terbang disimbolkan dengan golongan ulama/bangsawan muslim pribumi sedangkan burung disimbolkan golongan terpelajar kaum pribumi dan singa merupakan simbol pemerintahan Belanda. Penggambaran kuda dan burung terlihat lebih dominan dibandingkan singa kemungkinan untuk meunjukkan bahwa kekuatan Belanda di tanah air semakin berkurang atau mengecil kalah oleh suara golongan ulama/bangsawan ataupun kaum terpelajar. Hal tersebut didasarkan pada munculnya politik etis yang diutarakan oleh Ratu Belanda Wihelmina pada 17 September 1901 yang berisikan program politik balas jasa untuk kesejahteraan kaum pribumi melalui program irigasi, emigrasi, dan edukasi. Jika melihat pada tahun perkiraan pembuatan batik tersebut yaitu 1902 maka besar kemungkinan sangat berhubungan dengan kebijakan politik tersebut yang seolah-olah memperlihatkan kaum pribumi memiliki kedudukan yang lebih besar dan kekuasaan pemerintah Belanda semakin melemah. Batik Blitar koleksi Museum Leiden tersebut mampu memberikan inspirasi seniman Blitar untuk menciptakan dan mengembangkan kembali motif-motif tersebut. Gerakan tersebut dilakukan oleh seniman Wima Brahmatyo bersama Eddy Dewa pada tahun 1997 yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blitar untuk menciptakan motif baru antara lain batik motif Cinde Gading, Gambir Sepuh, Simo Samaran, Winih Semi, Jalu Watu, Celeret Dubang, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Galih Dempo, Mirong Kampuh Jinggo, dan Gunung Menyan. Motif hias batik tutur Cinde Gading memiliki kemiripan dengan motif batik Blitar koleksi Museum Leiden 1902, tetapi memiliki sedikit perbedaan yaitu pewarnaan yang lebih cerah pada batik sekarang, pemilihan motif binatang baru antara lain ular, gajah, dan penambahan suluran daun. Pada bagian kepala batik juga terdapat perbedaan, batik tutur Cinde Gading yaitu tebaran bunga yang bermekaran baik besar maupun kecil dan papannya hanya garis berliuk-liuk dengan latar belakang titik-titik saja. Munculnya binatang-binatang baru yang tidak terdapat pada batik Blitar koleksi Museum Laiden menunjukkan adanya perubahan simbol dan makna dari batik tersebut. Motif-motif lain yang sudah dikembangkan memiliki
konsep dan pemaknaan yang berbeda-beda juga tergantung dari ide cerita dan pesan yang ingin disampaikan. Pemilihan motif hias berupa binatang menjadi menarik karena batik tradisional Jawa dan batik India (patola) lebih sering menampilkan pola geometris atau flora. Ada beberapa motif yang menampilkan binatang (fauna) dalam batik tradisional Jawa antara lain motif alas-alasan yang lebih menampilkan
fauna di dalam hutan terutama burung (ayam hutan), harimau, dan gajah terkadang lebih dari itu. Demikian juga masuknya pengaruh budaya Cina dalam batik Jawa memberikan kontribusi motif-motif fauna dalam penggambarannya antara lain barong (singa), burung hong/phoenix, kilin, kupu-kupu, bangau, burung merak dan masih banyak lagi. Batik-batik pengaruh Cina tersebut dapat dijumpai di wilayah Lasem, Tuban dan Pekalongan. Batik-batik bermotif fauna (binatang) tersebut sebagian besar tidak menceritakan suatu proses tertentu karena motifnya berdiri sendiri atau dua binatang yanag saling berhadapan. Batik Cirebonan hanya menampilkan singa tunggal atau berhadapan bahkan berdiri tegak di atas batu karang tetapi tidak memiliki cerita dan hanya menunjukkan makna tertentu misalnya kewibawaan, ketegasan, atau kekuasaan. Berbeda pada batik Blitar koleksi Museum Leiden yang seolah-olah binatang-binatang yang terdapat dalam bidang badan memiliki pesan tertentu dan seolah-olah bercerita. Kekuatan pengambilan motif tersebutlah sebenarnya yang membuat batik Blitar koleksi Museum Leiden tersebut berbeda. Penyampaian pesan moral melalui media cerita tentang binatang yang lebih tua dapat pula dijumpai pada dinding-dinding candi Hindu-Budha di Jawa. Cerita yang dipahatkan tersebut sering disebut fabel yang dimuat dalam Kitab Tantri Kamandaka yaitu cerita tentang binatang yang memiliki makna pengajaran dan ajaran kebaikan yang biasanya dipahatkan di dinding-dinding candi atau petirthaan. Studi kasus pemahatan relief cerita binatang atau fabel di Blitar terdapat pada Kompleks Candi Penataran antara lain terdapat pada arca dwarapala menuju pelataran Candi Induk. Relief tersebut yaitu seekor burung terbang di bawahnya terdapat kadal (bunglon), seekor angsa membawa dua ekor kurakura, di bawahya ada 2 ekor anjing, seekor sapi sedang menggendong buaya, dan seseorang memikul kura-kura tampak mengejar kijang. Cerita fabel juga terdapat pada dinding kolam patirthan Candi Penataran yang dibuat pada masa pemerintahan Suhita dari Kerajaan Majapahit tahun 1337 Saka (1415 M). Salah satu relief fabel di dinding patirthan tersebut yaitu pahatan gambar sapi (Nandaka) yang berjumpa dengan singa (Candapinggala) memiliki persahabatan yang erat antara Nandaka dan Candapinggala sehingga membuat cemburu Srigala-Sang Patih Candapinggala (Sambada). Akhirnya Sambada berbuat licik dengan cara menghasut kedua sahabat tersebut sehingga terjadi adu seruduk dan terkam dan akhirnya mati bersama menuju kahyangan Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, sedangkan Sambada mati kekenyangan karena memakan jasad Nandaka dan Candapinggala, nyawa Sambada diletakkan pada kerak neraka Yamaniloka untuk mendapatkan siksaan (Rasiyo, dkk, 2003: 61-71). Relief-relief binatang di Kompleks Candi Penataran juga terdapat di Candi Teras/Pendopo pada bagian atas pelipit relief, Candi Naga dan Candi Induk berupa medalion binatang yang mengelilingi candi. Setiap medalion binatang tersebut memiliki makna dan pengertian yang berbeda. Berdasarkan kedua data yaitu batik Blitar koleksi Museum Leiden dan relief fabel pada dinding Candi Penataran maka terdapat benang merah persamaan bahwa pada masa lalu, manusia senang menyampaikan pesan melalui dunia simbol menggunakan relief atau gambar binatang sehingga mudah dipahami oleh generasi muda atau anak kecil. Penyampaian pesan ini menunjukkan adanya kesinambungan budaya yang dahulunya menggunakan media dinding-dinding candi, tetapi pada masa kemudian ketika masyarakatnya tidak membuat candi beralih kepada material yang lain, salah satunya yaitu kain batik. Persamaan objek berupa penggambaran binatang merupakan pilihan yang tepat untuk memperkenalkan suatu nasihat kepada generasi muda yang belum banyak memahami filosofi suatu kebudayaan.
5. SIMPULAN Budaya pesan melalui tutur dapat hilang karena tidak adanya perekaman data atau punahnya masyarakat pendukungnya, tetapi jika menggunakan media tertentu misalnya candi maka dapat dipahatkan pada dinding-dinding candi tersebut sehingga pesan yang disampaikan akan melintasi
beberapa generasi. Generasi selanjutnya akan menangkap pesan tersebut dengan pemahaman dan bentuk yang berbeda sehingga terdapat perubahan media penyampaian pesan, dahulu menggunakan dinding candi untuk menyampaikan pesan maka berubah menjadi kain batik karena pengaruh perkembangan teknologi dan tren pada masyarakat.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Rektor Universitas Udayana dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LPPM) Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dana berupa skim Penelitian Hibah Bersaing tahun 2015. Terima kasih kami ucapkan juga kepada Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto yang telah memberikan ijin penelitian di Kompleks Candi Penataran serta keluarga Nugroho Harjolukito di Panataran-Blitar yang telah banyak membantu dalam pencarian data di lapangan. Matur suksma.
DAFTAR PUSTAKA Bawono, Rochtri Agung dan Zuraidah. 2014. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda Cagar Budaya Periode Majapahit Sebagai Desain Pengembangan Usaha Batik”. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Gardjito, Murdijati. 2015. Batik Indonesia Mahakarya Penuh Pesona. Jakarta: Kakilangit Kencana. Rasiyo, dkk. 2003. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Candi Penataran. Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. Vandhuisen, Hermen C. 2007. Batik Belanda 1840-1940: Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa, Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: Gaya Favorit Press. www.id.wikipedia.org/wiki/Mujair. Unduh 2 Oktober 2015.