“Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini” oleh : Yan Yan Sunarya1 Pendahuluan Sebagai langkah penelurusan secara kronologis historis, penelitian Batik Jawa Barat (Priangan) dapat dimulai dari fakta-fakta kesejarahan bahwa di dalam naskah buhun (kuna, pen.) Sunda Siksa Kanda ng Karesian awal abad ke-16 yang berhubungan dengan artifak kain, terdapat fakta bahwa “ada bermacam-macam corak lukisan (tulis) : pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan2, urang-urangan3, memetahan, sisirangan4, taruk hata, kembang tarate, disebut juga beragam kain (boeh)5 : kembang mu(n)cang6, gagang senggang, anyam cayut7, poleng re(ng)ganis, cecempaan8, mangin haris, surat awi, parigi nyengsoh9, hujan riris10; yang menunjukkan bahwa pada masa naskah itu ditulis, orang Sunda telah mengenal berbagai corak kain (samping) dan ‘batik’ (Rosidi, dkk., 2000 : 107)”. Ditemukan juga dalam kosakata bahasa Sunda, berdasarkan “sumber teks tertulis berupa naskah Sunda buhun dan prasasti Sunda yang ditulis di Tatar Sunda (Jawa Barat) abad ke-11 s.d. ke-18 M, dibuat di masa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh sejak prasasti Bantarmuncang (abad ke-11) melalui prasasti Kawali (abad ke-14) hingga prasasti Batu Tulis (abad ke-16). Bahan naskah itu terbuat dari lontar, nipah, saeh, daluang, dan kertas (Suryani NS., dkk., 2005 : xv)”; yang menguraikan artifak-artifak beserta aspek estetik, antara lain : “cinde11 (kain, selendang); euyeuk (’batik’); pangeuyeuk (’ahli batik’); gandawasa (pakaian corak); kaen (kain); lawe (benang tenun); lungsir (sutera, benang tenun); malaka (zat pewarna); parada (pinarada keemasan); ridha alus (kain halus); rupa (rupa, wujud, bentuk); samping (kain); sandang (sandang, pakaian, sutera); sinjang (kain); sinjang kampuh (kain panjang); tipulung (ikat kepala); warna (rupa, jenis, warna); dan wastra (kain) (Suryani NS., dkk., 2005 : 37, 48, 50, 74, 89, 93, 96, 117, 138, 140, 146, 157, 172, 186, 187)”. Namun demikian, sampai kini istilah euyeuk (‘batik’) dan pangeuyeuk (‘ahli batik’) yang terdapat di dalam naskah buhun (kuna) Sunda Siksa Kanda ng Karesian awal abad ke-16, belum dapat ditemukan ragam visualnya; belum dapat digambarkan bentuknya seperti batik pada umumnya; belum dapat diuraikan mempunyai kesamaan dalam bahan dan proses produksi batik; serta belum dapat diuraikan memiliki ragam hias (corak) Sunda, walaupun maknanya dijelaskan dengan singkat oleh Hidayat Suryalaga (2010), bahwa euyeuk memiliki makna nilai yang terbaik, nilai yang dikandung di dalam benda berupa ragam hias yang mencerminkan kreatifitas. Hal ini dijelaskan pula oleh Rachmat Taufiq Hidayat, dkk. (2005) dalam Peperenian Urang Sunda, “Teu kapaluruh ti iraha urang Sunda apal kana papakean. Ngan mun disaliksik dina katerangan historiografi tradisional, upamana tina naskah-naskah Sunda buhun atawa tina carita pantun, papakean urang Sunda teh kaitung geus marodel. Dina naskah Siksa Kanda Ng Karesian (1518) upamana, geus kasebut-sebut rupa-rupa model ‘batik’ nu dipake ku urang Sunda. Di antarana aya boeh siang, cecempaan, gagang senggang, gaganjaran, jayanti, kampuh jayanti, kembang muncang, kalangkang ayakan, jeung sajaba ti eta. Atuh mun urang leukeun mukaan carita pantun, lebah ki pantun nataan cara dangdan menak, putri, raja, atawa lengser, rupa-rupa pisan apan kamonesanana teh. Kitu deui model bajuna, sok sanajan sawareh mah teu kapapaykeun kumaha wujudna ayeuna (Hidayat, 2005 : 58)”. (Terjemahan bebas, pen. : “Tidak teridentifikasi sejak kapan orang Sunda memahami tentang apa-apa yang selalu dikenakan (pakaian, kain, dst., pen.). Tetapi jika ditelusuri di dalam keterangan historiografi tradisional, seperti pada naskah-naskah Sunda kuna atau pada cerita pantun, apa-apa yang selalu dikenakan (pakaian, kain, dst., pen.) orang Sunda itu terhitung sudah beragam gaya / model. Di dalam naskah Siksa Kanda Ng Karesian (1518) contohnya, sudah disebutsebut beragam rupa gaya / model ‘batik’ yang digunakan oleh orang Sunda. Di antaranya terdapat boeh siang, cecempaan, gagang senggang, gaganjaran, jayanti, kampuh jayanti, kembang muncang, kalangkang ayakan, dan seterusnya. Coba jika kita teliti membaca cerita pantun, pada bagian ki pantun Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
1
menata cara berdandan ala menak, putri, raja, atau lengser, banyak sekali cara-cara yang diterapkannya. Begitu juga gaya / model pakaiannya, walaupun sebagian itu tidak dapat ditelusuri bagaimana wujudnya kini”). Dijelaskan pula berdasarkan kronologi kesejarahan oleh Edi S. Ekadjati (2005), bahwa “kebudayaan Sunda telah mengalami lima kali perubahan besar, yaitu secara kronologis sebagai pengaruh (1) Kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari anak benua India; (2) Kebudayaan Islam yang datang dari jazirah Arab; (3) Kebudayaan Jawa yang datang dari tetangga dekat satu pulau (Pulau Jawa); (4) Kebudayaan Barat yang datang dari benua Eropa; dan (5) Kebudayaan nasional (karena Tatar Sunda terintegrasi dan menjadi bagian negara Republik Indonesia) dan kebudayaan global (karena makin cepatnya kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi yang memperpendek jarak dan meningkatkan mobilisasi manusia). Sebelum datang pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, di Tatar Sunda telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang telah lama mendiami wilayah ini, sebagaimana tampak dari peninggalan benda-benda budayanya. Karena tidak meninggalkan bukti-bukti berbentuk tulisan, maka masa ini dimasukkan ke dalam masa prasejarah dan kebudayaannya pun dipandang sebagai kebudayaan prasejarah. Pengakuan, penghormatan, dan kepercayaan orang Sunda terhadap Kerajaan dan Raja Pajajaran / Galuh / Sunda beserta identitas lainnya itu tidak diiringi dan diperkokoh oleh pengetahuan yang luas dan benar mengenai kebudayaan dan sejarahnya. Ironisnya hal itu terjadi juga pada mereka yang mengaku dan diakui sebagai tokoh atau inohong Sunda serta memimpin organisasi Kasundaan. Itulah sebabnya, banyak di antara mereka itu selalu mengaitkan jiwa Kasundaan dengan kebatinan dan dunia khayali, bukan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang hidup pada masa lalu (kebudayaan dan sejarah). Dengan demikian, mereka ibarat ungkapan di dalam bahasa Sunda : nyaho di ngaran, teu nyaho di rupa (tahu nama, tetapi tidak tahu wujudnya, pen.) (Ekadjati, 2005 : 12, 16)”. Membahas artifak budaya Sunda yang telah dijelaskan di atas, maka akan kesulitan dalam menemukan ragam visualnya, untuk itu terlebih dahulu diterangkan tentang istilah Sunda yang mewahani berbagai artifaknya, sebagai sebuah pandangan dalam melihat lebih dalam mengenai budaya Sunda. “Sunda dan Jawa Barat dewasa ini telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia yang menunjuk kepada pengertian kebudayaan, etnis, geografis, administrasi pemerintahan, dan sosial (Ekadjati, 2005 : 1)”. Membahas tentang Sunda, berarti “berbicara tentang lingkungan hidup Sunda, kawasan Sunda, dan budaya Sunda (Mintaredja, 2006 : 384)”. Sedangkan pemilihan objek penelitian Batik Jawa Barat – dalam hal ini mengambil studi kasus : Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis– yang secara kesejarahan sentra pembatikan lama itu merupakan bagian dari wilayah Priangan yang difokuskan sebagai wilayah penelitian di dalam lingkup kebudayaan Sunda yang ”kini meliputi : Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan (Garut), Sukapura (Tasikmalaya), dan Galuh (Ciamis). Batas wilayah Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah sama seperti yang ditetapkan oleh Mataram dan Kompeni (1706), dengan perubahan dari Daendels. Propinsi Jawa Barat meliputi Banten, Batavia (Jakarta), Priangan (Preanger-regentschappen), dan Cirebon (Staatsblad no. 235 dan 378 tahun 1925) (Ekadjati, 2005)”. Pembagian wilayah penelitian ini yang dipersempit menjadi wilayah Priangan timur, telah dijelaskan istilah ini oleh Ajip Rosidi, dkk., bahwa : “Berdasarkan perjanjian antara Mataram dengan Kompeni (VOC), daerah Priangan jatuh ke tangan Kompeni dalam dua tahap. Pertama, Priangan barat dan tengah (1677); kedua Priangan timur (1705) (Rosidi, dkk., 2000 : 523 – 524)”. Objek penelitian Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis termasuk ke dalam sentra pembatikan di wilayah Priangan timur. Kemudian, Sunda menurut P. Djatikusumah salah satunya dimaknai ke dalam konsep mendasar ”Sunda etnis yang merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang berhubungan pula dengan kebudayaan Sunda yang melekat cara dan ciri Sunda (Indrawardana, 2011 : 5)”. Dengan demikian, berdasarkan uraian akan kesulitan dalam menemukan ragam visual artifak budaya Sunda, maka Sunda etnis yang menjadi pertimbangan sebagai objek penelitian di sini adalah yang tergolong pada Sunda etnis kiwari (masa kini) bukan bihari (masa lalu). Di satu sisi, temuan-temuan tentang istilah kain (‘batik’) dalam artifak budaya Sunda yang diuraikan di atas menunjukkan data-data mengenai artifak budaya Sunda, –dalam hal penelitian ini adalah objek Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
2
batik di wilayah pembatikan Priangan timur, yaitu : Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis– perlu dikaji ragam visualnya terutama ditinjau dari aspek estetik dan aspek identitas yang menjadi faktor penting dalam merumuskan benang merah dan temuan-temuan antara ragam visual dengan ragam bahasa / lisan yang ada serta berkembang di dalam artifak budaya Sunda yang dapat berupa : peperenian urang (harta warisan orang / masyarakat) Sunda, carita (cerita) pantun dan puisi / sajak Sunda, dan tembang / pupuh (lagu) Sunda, sebagai upaya dalam pembuktian keberadaan terapan rumusan (konsep) estetik Sunda di dalam objek batik-batik tersebut. Di sisi lain, batik telah dikaji dalam berbagai aspek, namun dalam konteks konsep estetik Sunda, perlu diteliti mendalam terutama dari aspek estetik kemudian aspek identitas, yang merupakan upaya awal dalam melengkapi penelitian sebelumnya. Sebagian besar pakar dunia batik mengakui, bahwa artifak budaya Sunda –khususnya batik– mendapat pengaruh dari budaya Jawa. Terdapat “masyarakat awam yang beranggapan, bahwa batik yang ada di Jawa Barat (Sunda, Priangan, pen.) berasal dari kebudayaan Jawa, namun sebenarnya Batik Jawa Barat (termasuk di dalamnya Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis, pen.) memiliki ciri corak khas. Beberapa motif kain Batik Jawa Barat itu bahkan kini sudah tidak dikenal lagi, hingga sulit untuk dirunut kembali keasliannya (Morissan, 2005 : 68)”. Ihwal ini dapat ditelusuri dari peristiwa “runtuhnya Kerajaan Sunda yang bercorak kehinduan menjelang akhir abad ke-16 Masehi (1579) secara berangsur-angsur berdampak melenyapkan identitas Sunda dalam segala unsur kehidupan masyarakat Sunda. Artifak budaya Sunda yang terbentuk selama sekitar sembilan abad pada zaman Kerajaan Sunda (awal abad ke-8 sampai menjelang akhir abad ke16) yang berwujud aksara, bahasa, etika, adat-istiadat (hukum), lembaga kemasyarakatan, kepercayaan, dan lain-lain lambat-laun tergantikan dan terpinggirkan dengan masuknya pengaruh baru yang datang dari luar. Mula-mula (sejak akhir abad ke-15) kebudayaan Islam datang dari arah pesisir utara (Cirebon, Banten), kemudian (sejak awal abad ke-17) kekuasaan dan kebudayaan Jawa (Mataram) datang dari arah pedalaman timur, dan akhirnya (sejak pertengahan abad ke-17) kekuatan perdagangan, militer, dan diplomasi Kompeni (Belanda) menguasai seluruh wilayah Tanah Sunda (Ekadjati, 2004 : 27 – 28)”. Dipertegas dengan “masuknya kebudayaan Jawa ke dalam wilayah dan masyarakat Sunda terjadi pada dua periode dengan melalui dua arah dan dua cara. Pertama, melalui kegiatan perdagangan, pertanian, dan migrasi di daerah pesisir utara yang bersamaan dengan proses Islamisasi pada akhir abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-16. Proses ini berlangsung secara alamiah dan damai. Kebudayaan Jawa pesisir yang berasal dari periode ini hidup terus hingga sekarang dengan catatan secara bertahap dan periodik terjadi penyesuaian dan pengembangan sejalan dengan kondisi dan tradisi lokal. Kedua, kebudayaan Jawa pedalaman yang bersifat feodal yang dibawa oleh prajurit dan priyayi Mataram melalui ekspedisi militer serta hegemoni kekuasaan dan kebudayaan sejak perempat kedua abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan Jawa ini datangnya dari lapisan atas dan masuk ke dalam lingkungan atas (menak) pula di Tanah Sunda. Karena budaya Jawa ini menguntungkan kaum menak Sunda dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kedudukan dan status mereka, maka budaya ini terus dipelihara dan diserap di lingkungan pendopo kabupaten serta digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan pemerintahan. Sementara itu, Kompeni yang menggantikan kedudukan Mataram di Tanah Sunda membiarkan pengaruh kebudayaan Jawa tersebut hidup terus di Tanah Sunda, karena bermanfaat bagi eksploitasi daerah ini (Ekadjati, 2004 : 29 – 30)”. Namun demikian, apabila batik dikaji melalui kajian estetik termasuk di dalamnya nilai-nilai seni (artistik) yang didasari oleh nilai-nilai budaya lokal beserta manusia pendukungnya, maka batik memiliki nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda. “Dengan pertimbangan itu, label ‘kearifan lokal’ itu hendaknya diartikan sebagai ‘kearifan dalam kebudayaan tradisional’, dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kata ‘kearifan’ dimengerti dalam arti luas, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi dan estetika. Berdasar pengertian tersebut, maka yang termasuk sebagai penjabaran ‘kearifan lokal’ itu, di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
3
Dalam arti yang luas itu, maka diartikan bahwa ‘kearifan lokal’ itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible (teraga, pen.) maupun yang intangible (tak teraga, pen.). Seluruh hasil budaya suatu (suku) bangsa adalah sosok dari jati diri pemiliknya. Namun, jati diri bangsa itu bukanlah sesuatu yang harus statis. Ungkapan-ungkapan budaya dapat mengalami perubahan, fungsifungsi dalam berbagai pranata dapat pula mengalami perubahan. Perubahan itu dapat terjadi oleh rangsangan atau tarikan dari gagasan-gagasan baru yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Pada suatu titik, rangsangan dan tarikan dari luar itu bisa amat besar tekanannya sehingga yang terjadi bisa bukan saja pengayaan budaya, melainkan justru pencerabutan akar budaya untuk diganti dengan isi budaya yang sama sekali baru dan tak terkait dengan aspek tradisi yang mana pun. Kalau itu yang terjadi, warisan budaya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang lebih ‘lunak’ dapat terjadi, yaitu jati diri budaya lama berubah oleh pengambilalihan unsur-unsur budaya lain secara (agak) besar-besaran (sebagaimana yang dikenal sebagai ‘akulturasi’), yang pada gilirannya membentuk suatu sosok baru, namun masih membawa serta sebagian warisan budaya lama yang dapat berfungsi sebagai ciri identitas yang berlanjut (Sedyawati, 2006 : 382 – 383)”. Di dalam ilustrasi yang dikemukakan oleh Rachmat Taufiq Hidayat (2005) dalam Peperenian Urang Sunda, dijelaskan singkat tentang kearifan lokal sebagai berikut : “Bisa jadi aya mangsana dangdanan jeung papakean urang Sunda beda jeung seler sejen atawa bangsa deungeun. Upama nilik papakean urang Sunda jaman rada beh ditu, apan nu katempo ku urang teh sakitu nyundana, henteu ngajawa atawa ngeropa. Upamana istrina dikabaya bandung, dikarembong, jeung disinjang lamban tea geuning. Sanggulna gede teuing henteu, leutik teuing ge henteu. Manis pisan, henteu ngajentul siga sanggul urang wetan (Hidayat, dkk., 2005 : 59)”. (terjemahan bebas –pen. : “Bisa saja ada kalanya riasan dan apa-apa yang selalu dikenakan (pakaian, kain, dst., pen.) orang Sunda berbeda dengan keturunan lain atau bangsa asing / lain. Apabila diperhatikan apa-apa yang selalu dikenakan (pakaian, kain, dst., pen.) orang Sunda agak ke era sebelumnya, ternyata yang terlihat oleh kita itu sangat berkesan Sunda, tidak berkesan Jawa atau berkesan Eropa. Misalnya, seorang wanita Sunda mengenakan kebaya bandung, dikemben, serta dililitkan samping kebat. Sanggulnya tidak terlalu besar, pula tidak terlalu kecil. Amat manis, tidak terlihat laksana orang duduk melamun seperti sanggul orang timur (Jawa, pen.)”. Selanjutnya apabila berhubungan dengan objek penelitian batik di wilayah Priangan timur : Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis dalam konstelasi dunia batik sebagai konsekuensi logis dari persinggungan antarbudaya dalam ranah kesenian, maka “kesenian dalam hal ini dipandang sebagai bagian yang terintegrasi secara fungsional dan kejiwaan dalam kebudayaan yang didukung oleh masyarakat tertentu (masyarakat Priangan timur : Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, pen.) (Rohidi, 2000 : 2)”, “dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengembangkan kesenian sebagai ungkapan dan pernyataan rasa estetik yang merangsangnya sejalan dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan, dan gagasan-gagasan yang mendominasinya. Caracara pemuasan terhadap kebutuhan estetik itu ditentukan secara budaya, serta terintegrasi pula dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya itu. Proses pemuasan kebutuhan estetik berlangsung dan diatur oleh seperangkat nilai dan azas yang berlaku dalam masyarakat, dan oleh karena itu cenderung untuk direalisasikan dan diwariskan pada generasi berikutnya (Rohidi, 2000 : 4 – 5)”. Dalam kerangka berpikir tentang kebudayaan secara luas, maka “kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Model-model pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh warga masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan dan menghubungkan pengetahuan, dan bersikap serta bertindak dalam menghadapi lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan (Geertz, 1973 : 89; lihat juga Suparlan, 1985 : 3 – 5). Dalam pengertian tersebut tersirat bahwa kebudayaan; pertama, merupakan pedoman hidup yang berfungsi sebagai blueprint atau desain menyeluruh bagi kehidupan warga masyarakat pendukungnya; Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
4
kedua, merupakan sistem simbol, pemberian makna, model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik; dan ketiga, merupakan strategi adaptif untuk melestarikan dan mengembangkan kehidupan dalam menyiasati lingkungan dan sumber daya di sekelilingnya (Rohidi, 2000 : 6 – 7)”. Oleh karena itu, kajian aspek estetik kemudian aspek identitas dengan pendekatan strategi adaptasi kebudayaan yang terdapat pada batik di wilayah Priangan timur : Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis perlu diteliti mendalam, guna memposisikan keberadaan arifak budaya Sunda di dalam historiografi kebudayaan agar dapat dirumuskan konsep estetik Sundanya, khususnya dalam konstelasi dunia batik. Identitas Sunda, apabila ditinjau dari aspek estetik, diharapkan dapat ditemui dalam ragam visual Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis –berupa : ragam hias / corak, warna, dan penamaan– yang merepresentasikan konsep estetik Sunda, sebagai refleksi estetik identitas masyarakat Priangan timur. Perumusan Masalah a. Belum teridentifikasi keberadaan serta konsep estetik dari kain batik beragam visual buatan sentra pembatikan tradisional Sunda (wilayah Priangan timur : Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis). Pertanyaannya : Bagaimanakah terminologi dari batik buatan sentra pembatikan wilayah Priangan timur itu? Bagaimanakah bentuk konsep estetiknya? Apakah konsep estetik pada batik buatan sentra pembatikan wilayah Priangan timur tersebut dapat merepresentasikan konsep estetik Sunda? b. Belum adanya penjelasan bentuk hubungan antara identitas dengan ragam visual dari kain-kain batik itu, walaupun terdapat kearifan lokal di dalamnya yang merupakan bentuk adaptasi visual masyarakat Priangan timur. Pertanyaannya : Bagaimanakah bentuk hubungan identitas dengan ragam visual kain-kain batik itu yang merupakan bentuk adaptasi visual masyarakat Priangan timur? Tujuan Penelitian a. Menyusun rumusan visual dalam konteks konsep estetik batik buatan sentra pembatikan di wilayah Priangan timur, sehingga dapat menjadi representasi dari konsep estetik Sunda; b. Menyusun rumusan strategi adaptasi kebudayaan berdasarkan bentuk hubungan identitas dengan ragam visual kain-kain batik itu yang merupakan bentuk adaptasi visual masyarakat Priangan timur. Peristilahan dalam Diktum Judul a. Konsep estetik, adalah rumusan keindahan yang menyertai suatu artifak berdasarkan kajian dari unsur-unsur estetik dan gagasan-gagasan yang terdapat di dalam sebuah artifak tersebut; b. Sunda, adalah etnis yang merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang berhubungan pula dengan kebudayaan Sunda yang melekat cara dan ciri Sunda. Pengertiannya telah mencakup secara komprehensif ke dalam uraian pengertian sosio-budaya, sejarah, geografis, politis, beserta perubahan-perubahan yang dialaminya. Sunda yang diteliti di sini adalah Sunda etnis kiwari (masa kini) bukan Sunda etnis bihari (masa lalu); d. Batik, adalah produk kriya yang melalui proses menghias tekstil / kain dengan memakai lilin (malam batik) sebagai perintang zat warna. Proses ini menggunakan teknik celup dingin dengan penerapan lilin memakai teknik canting tulis / cap. e. Priangan timur, adalah bagian wilayah dari Provinsi Jawa Barat yang termasuk ke dalam wilayah Priangan. Terdapat beberapa bagian wilayah Priangan, yaitu : Priangan barat, Priangan tengah, dan Priangan timur; f. Batik di wilayah Priangan timur, adalah batik yang diproduksi oleh sentra pembatikan yang berada di wilayah Priangan timur, yaitu : Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis.
Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
5
Batik di Indonesia a. Tradisional Batik bila ditinjau dari proses pengerjaan, pengertian kata benda, dan penggunaannya; bisa disebut sebagai kain bercorak. Kata batik dalam bahasa Jawa berasal dari akar kata ‘tik’. Mempunyai pengertian berhubungan dengan pekerjaan halus, lembut, kecil, yang mengandung unsur keindahan. Batik sebagai kata benda merupakan hasil penggambaran corak di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat gambar dan malam sebagai zat perintang. Batik adalah cara penerapan corak di atas kain melalui proses celup rintang warna dengan malam sebagai medium perintangnya. Batik, merupakan pengejawantahan dari kondisi yang melingkari pembatik, apa yang diungkapkan merupakan curahan perasaan dan pemikiran terhadap kekuatan di luar dirinya, yang berkait dengan tradisi sosial yang berlaku di masyarakat. Rancangan dan motif batik didapat dari ilham kehidupan keagamaan, kebudayaan bangsa, serta keadaan alam Indonesia (Biranul Anas, dkk., 1997). Batik tak pernah dipisahkan antara motif, ragam hias dan teknik. Dari proses pembuatannya sampai pada simbolik ragam hias dan tatacara serta peristiwa kapan batik itu digunakan, adalah suatu keterpaduan dari berbagai nilai budaya yang dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Proses membatik adalah proses mendidik seseorang untuk belajar, bersabar, dan mengendalikan diri, selain itu ragam hias yang dipilih harus sesuai maknanya dengan latar belakang peristiwa pemakaian batik. Batik bukanlah benda pakai yang estetis saja, tetapi berdimensi spiritual dan translingual, yang menunjukkan tingkat kebudayaan bangsa Indonesia yang sudah sangat tinggi (Widagdo, 1997). b. Modern Batik telah meluas dan mewahana ke berbagai bentuk pengertian dalam dimensi pemaknaan, prinsip tujuan, hingga pengaruh kebhinekaan budaya Indonesia. Keberlangsungan batik sampai masa kini adalah berkat pergolakan yang senantiasa terjadi pada berbagai aspeknya, yaitu aspek teknis, estetis, normatif, ikonografis, simbolis, fungsional, dst. Dialektika dalam kehadiran batik mengungkapkan hasrat serta upaya untuk senantiasa tanggap terhadap perubahan. Pada batik, terdapat berbagai kemungkinan kreatif atau inovatif yang menyangkut bahan baku kain, desain benang, struktur anyaman, dan paduan serat. Dan kemungkinan kreatif atau inovatif pada ragam hias, olahan malam, zat-zat kimia warna dan proses penyempurnaan lain, serta pengembangan fungsi batik baik fungsi batik sebagai desain atau seni, masih terbentang luas. Sebelumnya batik dibuat untuk keperluan adat dan budaya internal, lalu juga diproduksi guna pasar eksternal, menjadikannya sebagai komoditas. Sejak dekade 1970an batik yang tergeser kedudukannya sebagai bahan busana kemudian dicoba dalam berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan kesehariannya, misalnya sebagai pelengkap interior dan rumah tangga. Ragam hias yang baku mengalami modifikasi atau diganti dengan aneka corak baru yang lebih bebas, demikian pula paduan warna yang mendobrak susunan warna tradisional. Melalui aneka kemajuan penemuan zat pewarna sintetis, hal ini memang sangat dimungkinkan. Kain batik model baru ini juga diproduksi dalam ukuran yang lebih bebas, sehingga membuka peluang untuk aneka fungsi baru pula. Perhatian masyarakat perlahan-lahan mulai melihat batik sebagai alternatif bahan baku untuk penggunaan yang lebih bebas dan luas. Ragam hias yang tidak terikat pada adat, kombinasi warna yang lebih cerah serta ukuran bahan yang lebih besar ini mulai banyak dimanfaatkan dalam kehidupan modern. Setelah keberhasilan batik sebagai bahan kain untuk pelengkap interior, para pembatik kemudian memperkenalkan busana dari kain batik dengan rancangan yang disesuaikan dengan selera modern. Langkah yang dilakukan adalah dengan merancang kemeja batik untuk pria dengan ragam hias yang dibuat khusus untuk itu. Pakaian ini kemudian dengan segera menggantikan kedudukan jas dan dasi sebagai pakaian resmi dalam kehidupan modern. Bahan baku yang digunakan pun dipilih yang lebih tinggi kualitas maupun penampilannya. Sutera atau mori dari tingkat yang paling halus merupakan pilihan utama. Selain memanfaatkan ragam hias kreasi baru, batik dalam busana resmi juga menggabungkan aneka corak baku dengan corak baru, sehingga citra batik tidak lagi muncul sekadar sebagai teknik, tetapi juga estetis. Dewasa ini boleh dikatakan hampir tidak ada lagi ragam hias larangan yang tidak dapat dipakai oleh masyarakat umum (Biranul Anas, dkk., 1997). Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
6
Dewasa ini kita berhadapan dengan fenomena batik tulis dan cap terdesak oleh cara menghias tekstil yang lain. Dalam banyak hal tekstil yang ‘modern’ ini berlindung di bawah ‘bendera’ batik. Efek samping dari diversifikasi batik di atas bahan sutera, adalah ditinggalkannya pakem-pakem batik tradisional. Efek ini memungkinkan perpanjangan hidup seni batik tetapi dengan mengorbankan dimensi ke-3 serta lambang-lambang kebudayaan dari pola-polanya (Iwan Tirta, 2005). Konsep Estetik dalam Artifak Sunda Terdapat istilah estetika dan estetik beserta variannya yang mesti dijelaskan secara tepat dalam konteks penelitian ini. Pertama-tama pada bagian istilah estetika, dijelaskan bahwa estetika adalah “ilmu yang mempelajari segala sesuatu atau semua aspek yang berkaitan dengan keindahan (Djelantik, 1999 : 9)”. Aspek keindahan di sini dielaborasi ke dalam keindahan unsur-unsur estetik atau unsurunsur desain secara praksis berupa ragam visual batik, antara lain : ragam hias (corak) dan warna. Keberkaitan kajian terhadap konsep estetik di dalam penelitian ini, memasuki bahasan estetika secara umum, yang sementara ini dianggap tidak terpisahkan dengan konsep estetika Barat. Seperti pernyataan yang diuraikan Edi Sedyawati (2006), bahwa “mengacu pada wacana hal yang ‘baik’ dan ‘indah’ dalam seni. Wacana ini dianggap ‘universal’ adalah yang berangkat dari kebudayaan Barat. Namun demikian, sebenarnya terdapat relatifitas yang terkait dengan kekhasan budaya bangsa (Sedyawati, 2006 : 364 – 365)”. Hal ini dapat diterangkan di dalam tahapan analisis objek penelitian pada aspek estetik, bahwa di dalam Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis, terdapat kosakata lokal yang menjelaskan wacana hal yang ’baik’ dan ’indah’ misalnya : wirahma (irama), saimbang (seimbang), henteu silung (harmoni), henteu garihal (tidak kasar, halus), pantes / pasieup (pantas), dst., yang berkorelasi dengan wacana estetika secara ’universal’, walaupun dalam perbedaan penyebutan istilah (penamaan). Estetika (Aesthetica, Aesthetic), “berasal dari kata Yunani yang berarti : sesuatu yang dapat dicerap oleh indera, kemudian berkembang menjadi filsafat keindahan atau ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berhubungan dengan keindahan termasuk konsep berpikir yang menyertai karya seni ataupun karya budaya lainnya”. Sedangkan ”nilai estetik (aesthetics), ialah nilai keindahan yang menyertai suatu karya seni atau karya desain. Nilai-nilai estetik (aesthetic values), adalah sejumlah nilai keindahan yang menyertai suatu karya seni / desain. Makna nilai estetik (the meaning of aesthetics), yakni suatu objek yang memproduksi, mendistribusi nilai estetik dan merupakan bentuk pembenaran kebudayaan di dalam masyarakatnya (Sachari, 2004 : 15)”. Menurut Widagdo (2006), “Ästhetik adalah nama sebuah disiplin dalam filsafat (sejak tahun 1750) yang mempelajari persepsi inderawi manusia. Baumgarten pencetus gagasan ini menyebutnya episteme aisthetike, kemudian disingkat Ästhetik. Disiplin ini kemudian menyempit artinya terbatas pada bidang ‘Seni’, dan khususnya tentang keindahan karya seni. Pada perkembangan selanjutnya penafsiran tersebut tidak memadai lagi dan mengalami proses perubahan, keindahan tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang persepsi fenomena fisikal, tetapi berkembang pada tataran yang lebih abstrak. Dalam konsep pengertian ini lingkup arti estetika sangat luas, di dalamnya terpaut selalu pengertian tentang sesuatu yang benar, yang teratur, yang tertata hirarkinya, yang bagus, yang indah, yang berguna, dan berbagai predikat ideal lainnya. Derajat substansi dari predikat ini berubah-ubah bergantung pada objek pengamatan. Pendekatan negasi dapat memperjelas pemahaman kaitan predikat di atas. Mungkinkah sesuatu yang salah (tidak benar), yang kacau tanpa struktur, yang buruk, khaotik, dan seterusnya, masuk kategori estetik? Karena itu karya manusia, yang pragmatis atau bukan adalah hanya sebagian dari kebenaran, bila estetika adalah penampakan dari kebenaran, maka seni (karya) adalah salah satu masalah estetika. Hal paralel kita temui di budaya tradisi di Indonesia, pemilahan antara Seni dan Kriya, Seni dan bukan Seni belum terjadi. Membangun rumah atau melukis, menempa keris atau menari semua menjadi bagian dari tujuan yang lebih sublim, estetika bukan tujuan akhirnya. Estetika adalah kerangka yang menjadi bingkai segalanya, dan seperti pada budaya klasik, proses ‘menjadikannya’ adalah praxis, sebuah laku menuju katharis (Widagdo, 2006 : 4 – 10), (lihat juga : Djelantik, 1999 : 17 – 18, 42)”. Namun demikian, keberkaitan kajian terhadap konsep estetik Sunda di Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
7
dalam pembahasan ini, meskipun membahas estetika secara umum, tetapi kemudian difokuskan kepada peristilahan estetik yang ada di dalam ranah artifak Sunda –terutama yang berhubungan dengan unsur-unsur visual atau unsur-unsur desain dalam objek penelitian. Mengingat di dalam kebudayaan Sunda pun terdapat uraian ihwal peristilahan estetik beserta unsur-unsurnya menurut berbagai versi dalam bentuk praksis, walaupun dalam tahap analisis praksisnya batik-batik yang diteliti berdasarkan investigasinya tidak semuanya memiliki tujuan yang lebih sublim, melainkan estetika bahkan faktor pragmatis sebagai tujuan akhirnya. Beberapa pernyataan yang diambil untuk dapat memadankan dengan berbagai pengertian / makna estetika yang selama ini dipahami, baik secara implisit maupun eksplisit di antaranya adalah : “Kudu diaku yen basa Sunda teh rea pisan unak-anikna nu mandiri, nu can tangtu kapanggih dina basa sejen. Unak-anik samodel kitu teh sok dikumpulkeun pikeun ngajembaran pangaweruh urang Sunda. Yen tetela sanajan basa Sunda miskin lebah kekecapan ari unak-anikna mah rea pisan. Eta kaunikan teh tangtu nembongkeun pangalaman hirup urang Sunda anu mibanda konvensi budaya sorangan, ti taun ka taun, ti abad ka abad. Di nu lebah peperenian urang Sunda bisa mere pangaweruh ngeunaan banda budaya urang Sunda, lain ngan wungkul soal basana, bisa nuduhkeun tradisi masarakat Sunda ti waktu ka waktu. Tradisi anu lahir tina kabiasaan-kabiasaan hirup urang Sunda teh tangtu deuih medalna henteu sabongbrong. Eta tradisi teh aya nu ngalantarankeunana. Mun nilik kana wawangunan imah, pakakas, kadaharan jeung inuman, pakasaban, atawa reana babasan jeung paribasa anu kekecapana nyokot tina ngaran-ngaran tutuwuhan jeung sasatoan, tanwande eta teh nembongkeun masarakat Sunda anu hirup sapopoena deukeut jeung lingkungan alam. Atuh tradisina ge moal jauh ti kitu. Malah mun aya nu nyebutkeun yen masarakat Sunda mah agraris, dina peperian mah bakal kapanggih gorehelna (Hidayat, dkk., 2005 : 6 – 7)”. (Terjemahan bebas, pen. : “Harus diakui bahwa bahasa Sunda itu banyak sekali serba-serbi peristilahan sekecil-kecilnya (terperinci) yang mandiri, yang belum tentu ditemukan dalam bahasa lain. Peristilahan terperinci seperti begitu selalu dikumpulkan demi meluaskan / menjelaskan pengetahuan orang Sunda. Bahwa kenyataannya selain bahasa Sunda itu miskin di sisi pengucapan namun peristilahan terperinci itulah yang banyak sekali jumlahnya. Keunikan tersebut sudah barang tentu memperlihatkan pengalaman hidup orang Sunda yang memiliki konvensi budayanya sendiri, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad. Di sisi harta pusaka orang Sunda bisa memberikan pengetahuan berkaitan dengan benda budaya orang Sunda, bukan hanya hal bahasanya, melainkan bisa menunjukkan tradisi masyarakat Sunda dari waktu ke waktu. Tradisi yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan hidup orang Sunda itu yang tentunya kemunculannya tidak sepintas / sembarangan. Tradisi tersebut muncul disebabkan oleh karena ada penyebabnya. Apabila merunut pada bangunan rumah, perkakas, makanan dan minuman, pekerjaan, atau kebanyakan ungkapan tradisional serta peribahasa yang pengucapannya mengambil dari namanama tetumbuhan dan hewan-hewan, tentunya hal tersebut itu menunjukkan bahwa masyarakat Sunda yang hidup kesehariannya akrab dengan lingkungan alam. Sehingga tradisinya juga tidak jauh dari ihwal yang demikian. Bahkan jika ada yang menyebutkan bahwa masyarakat Sunda itu agraris, di dalam harta pusaka tersebut akan ditemukan peristilahannya”). Demikian halnya peristilahan dan penyebutan seperti yang diuraikan di atas pun, terjadi di dalam objek penelitian Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis, yang masing-masing mempunyai karakteristiknya, baik dalam ragam visual maupun dalam ragam nonvisual (verbal). Batik-batik tersebut memiliki ciri estetik dan ciri identitas yang terangkum di dalam konsep estetik budaya (artifak) Sunda. Di dalam Du’a Peperenian yang disadur dari Rachmat Taufiq Hidayat, dkk. (2005) menerangkan urang (masyarakat) Sunda dalam menjalani serta memaknai kehidupan yang merupakan implementasi substantif dari konsep estetika Sunda, sebagai berikut (disadur pada bagian yang berkaitan dengan konsep estetikanya saja, pen.) : “Nun Gusti Nu Maha Asih. Nugrahakeun ka abdi sadaya sakumna sumber daya tina peperenian kamukten Gusti nu tan wates wangen. Nu nyumput, gorehelkeun; Nu nutup, bukakeun; Nu kucup, mekarkeun; Nu saeutik, seueurkeun; Nu sulit, babarikeun; Nu atah, asakkeun; Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
8
Nu pait, amiskeun; Nu poek, gebyarkeun; Nu heureut, rubakkeun; Nu papisah, hijikeun; Nu doyong, ajegkeun; Nu penjol, buleudkeun; Nu rumeuk, bengraskeun; Nu gurawes, ratakeun; Nu awon, saekeun; Nu kotor, sucikeun;
Nu badag, rohakakeun; Nu caang, gumiwangkeun; Nu heurin, legakeun; Nu paburencay, gundukkeun; Nu bengkok, lempengkeun; Nu ipis, kandelkeun; Nu busik, luiskeun; Nu alit, camperenikkeun; Nu lepat, lereskeun; Nu bersih, setrakeun.
Gedur sumanget ngarobah nasib. Sangkan ayeuna leuwih alus ti kamari. Isukan caang padang narawangan. Sunda jadi pangirutan, tatatengtrem kerta raharja. Bumetah di pangkonan rido Alloh. Cag. Teundeun di handeuleum sieumna batin ku wening, tunda di hanjuang siangna manah nu setra. Guar ungkabeun nu nyaring pikir, anu weruh di semuna, anu rancage na hate (Hidayat, dkk. 2005 : 283 – 284)”. (Terjemahan bebas, pen. : “Ya Tuhan Yang Maha Pengasih. Anugerahkanlah kepada kami semua sumber daya dari harta pusaka kemuktian Tuhan yang terus-menerus tidak terbatas. Yang tersembunyi, temukan; Yang tertutup, bukakan; Yang kuncup, mekarkan; Yang sedikit, banyakkan; Yang sulit, mudahkan; Yang mentah, matangkan; Yang pahit, maniskan; Yang besar, lebih besarkan; Yang gelap, gebyarkan; Yang terang, benderangkan; Yang sempit, lebarkan; Yang sesak, luaskan; Yang berpisah, satukan; Yang bercerai-berai, ditumpukkan; Yang condong; tegakkan; Yang bengkok, luruskan; Yang lonjong, dibulatkan; Yang tipis, ditebalkan; Yang kurang jelas, dijelaskan; Yang kusut, dirapikan; Yang terjal, diratakan; Yang kecil, dilucukeun; Yang jelek, dibaguskan; Yang salah, dibetulkan; Yang kotor, dibersihkan; Yang bersih, disucikan. Nyalakan semangat mengubah nasib. Agar sekarang lebih bagus daripada kemarin. Esok terang jelas menerawang. Sunda jadi menarik hati, tenteram aman subur makmur. Membuat betah di pangkuan rido Allah. Menyimpan di “handeuleum sieum”nya batin yang bening, menunda di “hanjuang siang”nya pikir yang suci. Bukakan segala sesuatu yang sadar dalam pikirannya, yang tahu di rupanya, yang mantap di dalam hatinya”). Sikap (pamadegan) optimis di dalam ungkapan-ungkapan eksplisit – bukan merupakan sekadar bentuk praksis– sebagai bentuk doa dalam kebudayaan Sunda, merupakan jatidiri substansial secara umum dari urang (masyarakat) Sunda. Sikap aktif dalam menjalani kehidupan dan memaknainya menunjukkan sikap terbuka, adaptif, dan positif dalam berbagai persoalan hidup menuju ‘kebaikan’ dan ‘kebenaran’ hakikat sebagai inti dari capaian substansi estetika Sunda. “Dalam masyarakat Sunda, kaendahan atau estetika tidak berdiri sendiri. Apa yang disebut sebagai ‘kaendahan’ merupakan anyaman atau adonan ke dalam suatu gubahan (anggitan12, susunan). Unsurunsur kaendahan itu bermuara ke dalam wadah / pamor dan eusi13 yang serasi pantes saimbang (pantas seimbang, pen.), henteu silung14 (harmonis, tidak menyimpang dari aturan, pen.), henteu garihal (tidak kasar, halus, pen.). Unsur kaendahan terdapat pada benda atau gubahan yang memiliki wirahma15 (irama, pen.), hasil dari rautan (benda atau objek hasil gubahan, penghalusan, pen.) yang dipapaes (dihias-hias, pen.) jadi pasieup (pantas, pen.). Wirahma kaendahan itu dapat ditemukan dalam berbagai benda atau gubahan, seperti sulaman, sinjang (sarung, pen.) batik, wangunan imah (bangunan rumah, pen.), iket atau totopong (ikat kepala, pen.), tarumpah (terompah, pen.), wawadahan (tempat menyimpan rupa-rupa benda / barang, pen.), wayang golek, papantunan (pantunpantun, pen.), suling, dangdanan (pakaian atau perkakas, pen.), dst. (Djalari, 2001 : 5)”. Peristilahan Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
9
estetik (kaendahan) secara praksis yang menyertai sekaligus menerangkan beragam artifak di atas, merupakan kumpulan konsep estetik yang selanjutnya akan diinventarisir dan dikolaborasikan menjadi sebuah konsep estetik Sunda dalam ragam visual. Dalam makalahnya, Widagdo (2006) menyatakan, bahwa “mengejawantahkan ‘kebenaran estetik’, dengan kata lain memunculkan kebenaran yang utuh, kebenaran yang tidak menyembunyikan apapun. Bila disingkat tugasnya adalah menemukan ‘yang benar, yang baru, dan yang indah’. Terlepas dari tema apa saja yang digarap, dengan ragam misi dan muatannya, ujung akhirnya adalah mencapai kebenaran estetik, karena desain adalah sebuah ‘kearifan yang ditampakkan’ (Widagdo, 2006 : 16)”. Berbagai ragam hias (corak), warna, dan penamaan pada objek Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis, selain menggambarkan keindahan dari unsur-unsur estetik yang teraga (tangible, visual), juga menjadi ungkapan keindahan tak teraga (intangible, nonvisual, verbal) yang dapat ditampilkan dalam hubungan antara objek yang tampak dengan ungkapan-ungkapan sebagai refleksi adaptasi kebudayaan masyarakat (urang) Sunda. Widagdo (2005) menambahkan, bahwa “dalam konsep estetika klasik menurut Xenophon pengertian ‘yang indah’ itu adalah yang bersifat inderawi. Menyejajarkan arti kata ujud dan penampakan dengan arti kata ‘indah’. Keindahan tidak hanya ditujukan untuk memberi predikat pada gejala di alam, tetapi juga untuk hasil karya dan tingkah laku serta sepak terjang manusia. Keberaturan (order) identik dengan keindahan, karena order bukan sesuatu yang bersifat formal, melainkan penampakan dari hirarki hubungan antarstruktur serta komponennya. Keindahan memiliki arti lebih dari sekadar estetika karena sudah merambah pada pandangan hidup. Karena itu, keindahan bukanlah hasil ciptaan subjektif dari individu tertentu, tetapi merupakan realitas ontologis. Sedangkan Plato membahas terminologi ‘indah’ dan ‘baik’ secara terperinci. Indah berarti penampakan sesuatu yang visual, tersirat di dalamnya terdapat harmoni (keberaturan) dan spiritualitas. Meskipun yang spiritual tidak tertangkap oleh indera manusia, karena spiritualitas itu selalu dalam kerangka hukum harmoni, dengan sendirinya yang spiritual pun terkait dalam arti kata indah (Widagdo, 2005 : 80 – 81)”. ”Bagi kita, tidak sukar untuk mengerti hal tidak mengenal seni sebagai kegiatan yang otonom atau seni sebagai ungkapan pribadi yang mempunyai kemandirian epistemologis. Karena pada seni tradisi yang masih hidup di beberapa daerah di Indonesia (termasuk batik, pen.), seni juga mempunyai kedudukan yang sama dalam kerangka ontologi daerah tersebut (antara lain : Sunda, wilayah Priangan timur, pen.). Selain itu, olah seni (menari, melukis, membatik, menyanyi, drama, membangun rumah, dll.) juga bukan merupakan kegiatan yang mandiri, selalu berkaitan dengan berbagai tujuan di luar seni itu sendiri (Widagdo, 2005 : 82)”. Berkorelasi dengan uraian mengenai konsep estetik Sunda dalam objek penelitian di sini, bahwa “guna menempatkan yang pantes dan endah itu di dalam budaya (artifak, pen.) Sunda sudah sejak lama dikenal kata berpadanan, antara lain : a. Luhur (atas, pen.) – Handap (bawah, pen.); b. Eusi (isi, pen.) – Wadah (tempat, bentuk, pen.); c. Garihal (kasar, pen.) – Pantes (nyurup) (pantas, masuk ke dalam, menyerap, pen.); d. Silung (sumbang, menyimpang, pen.) – Merenah (cocok, tidak menyimpang, sesuai aturan, pen.); e. Pamali (larangan, pantangan, tabu, pen.) – Merenah (cocok, sesuai, tidak menyimpang, sesuai aturan, pen.); f. Paliyas, pamali (jangan sampai kejadian, larangan, pantangan, tabu, pen.) – Uga16, implengan (waktu perubahan menuju ideal, cita-cita, pen.); g. Pasieup (pantes, pen.) – Silung, Papalingpang (sumbang, menyimpang, sial, tidak cocok, pen.) (Djalari, 2001 : 6)”. Berbagai peristilahan yang disebutkan di atas, akan digunakan dalam menguraikan dan menganalisis objek penelitian ke dalam aspek estetik. Terutama pada kata-kata berpadanan yang saling membandingkan, agar dapat diambil perbedaan visual yang jelas di antara masing-masing kata yang Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
10
digunakan. “Untuk menetapkan atau merasakan yang pantes dalam gubahan atau anggitan, diperlukan pandangan saimbang, yaitu sineger tengah (posisi tengah, jalur tengah, tidak berat sebelah, tidak cenderung ke kanan atau ke kiri, juga tidak ke atas atau ke bawah, stabil, pen.). Budaya Sunda tetap mengakui adanya luhur dan handap, lemes dan kasar (garihal); tetapi adegan tengah atau keseimbangan (balance, pen.) didapatkan dari rasa sineger tengah. Sikap atau rasa sineger tengah, bukan sikap diam berdiri di tengah-tengah, melainkan merupakan suatu sikap yang merenahkeun (berupa kata kerja aktif, antara lain : mencocokkan, tidak menyimpangkan, menyesuaikan aturan, pen.) rasa, mencari keseimbangan, mewujudkan yang pantes, di dalamnya tersembunyi unsur binangkit (cakap, bisa segalanya, serba bisa, pen.) memadukan wadah dan eusi berdasarkan wirahma. Pengertian wirahma dalam seni kasatmata (yang tangible, visual) bukan hanya berarti irama, melainkan juga berarti : komposisi atau pamor, rautan, dan sorot (rupa, visual, muka, pen.). Sementara ini, wirahma dapat diartikan irama komposisi, yang diberi tatapakan (jejak, tanda, pen.) sineger tengah. Ayunan pencarian sineger tengah boleh ke bagian luhur atau handap, boleh kebagian yang garihal, silung, papalingpang atau uga, implengan pasieup (Djalari, 2001 : 6)”. Metode analisis estetik lokal Sunda yang diuraikan di atas, adalah upaya dalam mengkaji objek penelitian dalam aspek estetik, guna mencari hakikat yang ‘benar’ dan ‘baik’ secara praksis yang disesuaikan dengan karakter masyarakat (urang) Sunda. Karakter masyarakat (urang) Sunda yang disebut sineger tengah, adalah “tidak harus pasagi (persegi, pen.) atau bulat lingkaran, wujudnya mungkin tidak geometris tetapi lebih ke arah organis. Ke arah yang bersifat alam, mendekati nuansa (sari taneuh (tanah, pen.), sari daun, sari kembang, sari kukupu (kupu-kupu, pen.) lembut. Wadah dan eusi perlu saimbang, perlu wirahma untuk mewujudkannya, supaya tidak garihal dan jauh dari pamali. Itulah sebabnya, terdapat ungkapan bahasa Sunda : paliyas, jangan sampai kejadian, jangan sampai jadi garihal, papalingpang dan melanggar pantangan yang wujud bentuknya garihal perlu dirautan, perlu dipapantes, supaya sorot pamornya kelihatan pantas (pasieup). Eusi menentukan wadah, pulas (warna) ditentukan oleh eusi. Eusi adalah pamadegan (pendirian, sikap, pen.), filsafat, pikiran, pulas / warna merupakan ungkapan dari pamadegan dari filsafat, dari wirahma rasa. Bukan wadahnya tetapi isinya yang menentukan wadah. Jadi, antara warna dan wadah (bentuk, bidang, ruang) perlu kasaimbangan, perlu wirahma. Di bawah ini digambarkan pemandangan estetika Sunda dalam diagram (bagan, pen.), yaitu : semua hubungan luhur-handap, pantes-garihal, eusi-wadah, dengan wirahma sebagai sumbu dengan sineger tengah serta anggitan pantes di kiri dan di kanan (Djalari, 2001 : 7)”.
Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
11
UGA
PERLAMBANGAN LUHUR
PAMOR WADAH
UGA RAUTAN
EUSI ISI
WIRAHMA RITME ANGGITAN
PAMALI
PANTES
S INEGER
TENGAH
ANGGITAN PANTES
WIRAHMA RITME PALIYAS
PAMALI PANTANGAN
Bagan 1.
RAUTAN SOROT
PAPALIMPANG SILUNG
PERLAMBANGAN HANDAP (KALA)
GARIHAL
Pemandangan dari estetika Sunda (Djalari, 2001 : 8), yang sebagian peristilahan estetiknya akan diterapkan pada unsur-unsur desain Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis.
Merunut dari uraian sineger tengah di atas, maka terdapat “suatu gejala menarik ialah kecenderungan orang Sunda dalam mencapai tujuan hidupnya selalu diimbangi dengan ukuran tertentu, adalah ukuran yang menempati ‘posisi tengah’, yaitu tidak berkekurangan dan tidak juga berkelebihan yang disebut sineger tengah yang secara harfiah berarti ‘dibelah tengah’ dan dapat ditafsirkan sebagai perilaku atau tindakan yang terkontrol agar tetap wajar dan seimbang (Warnaen, dkk., 1987 : 215)”. Di dalam tulisan ini, salah satu unsur-unsur estetik yang diteliti adalah warna pada batik, yaitu : Batik Garut, Batik Tasik, dan Batik Ciamis yang memiliki beragam jenis warna khas dalam kosakata bahasa Sunda, kemudian berkorelasi dengan identitas masyarakat (urang) Sunda. Ahmad Hadi, dkk. (2005) dalam Peperenian Kandaga, Unak-Anik, Tutungkusan jeung Rusiah Basa Sunda, mengutarakan tentang sebutan-sebutan sifat barang yang menunjukkan kepada sifat warna Sunda, di antaranya : “beureum euceuy, bodas nyacas, bodas ngeplak, hejo ngagedod, hideung cakeutreuk, hideung meles (dilarapkeun kana buuk jalma atawa bulu sasatoan), hideung lestreng, koneng enay, koneng umyang (dilarapkeun kana pakulitan jalma) (Hadi, dkk., 2005 : 33)”. (Terjemahan bebas, pen. : “merah semerah-merahnya, putih kontras, putih seputih-putihnya, hijau sehijau-hijaunya, hitam sehitam-hitamnya, hitam sekali (diterapkan pada rambut manusia atau bulu binatang), hitam gelap, kuning sekuning-kuningnya, kuning benar (diterapkan pada kulit manusia)”. Diutarakan pula oleh Yusuf Affendi Djalari (2001), bahwa “ungkapan warna yang memantulkan keindahan alam Priangan serta kesenian dan kebudayaan tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari ‘Celempung’ atau Gamelan dari Juru Kawih Hj. Idjah Hadidjah, produksi Jugala (1981) Bandung, yang berjudul ‘Kuwung-Kuwung’. Di antara potongan bait-bait syairnya memuat warna-warna beserta ungkapannya, sebagai berikut : Cahyana lir emas pinanggih, Katingalna warna-warni (banyak warna). Cahya gilang-gumilang (warna cerah, gemerlapan, berkilauan, pen.), Lenglang taya aling-aling (warna cerah, tidak ada penghalang, pen.), Warna paul anu lucu (biru yang lucu / menarik, pen.), Hejona pon kitu deui (hijau), Beureum koneng cahyana lir (merah), Emas anyar di sanggih, Cahaya sabumi alam (kaya warna tiada tara), Ting gurilap cahyana (gemerlapan, pen.). Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
12
Pelukisan bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan, karena penuh warna yang gemerlapan. Cahaya seputar alam, di antaranya : warna kuning keemasan, biru, hijau, merah, kdan uning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu warna-warna itu hadir memenuhi ruang langit atau terhampar luas tanpa ada yang menghalanginya. Secara alami apabila yang menjadi dasar susunan warna, dalam suatu teori warna, maka hampir tidak terdapat warna yang kegelapan, suram, atau kumul (Djalari, 2001 : 2 – 3)”. Seperti yang diungkapkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi (2001) mengenai sifat masyarakat (urang) Sunda, bahwa “sering digambarkan sebagai masyarakat yang dinamis, dan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan. Jika dilihat dari ekspresi keseniannya masyarakat (urang) Sunda bisa dipandang melankolis sekaligus ekspresif (lihat antara lain tembang Cianjuran) dan juga humoris (resep heureuy) (Rohidi, 2001 : 4)”. Kemudian mengenai hal sifat melankolis dari masyarakat (urang) Sunda juga digambarkan “dalam pantun Sinyur terdapat pelukisan warna dari benda sehari-hari : warna kayas atau merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu muda, warna paul atau biru, dan warna hejo paul atau kebiruan lebih sering disebut-sebut dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan kesukaan masyarakat (urang, pen.) Sunda akan nada-nada warna itu (nuansa lembut, sari, atau semu-semu). Apabila disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur dengan merah yang carmen, tetapi dilengkapi satu sumbu yaitu ke arah putih, sehingga terjadilah warna : kayas dan gandaria dengan warna ungu di tepinya yang disebut gandola terjadilah susunan nada warna yang bersifat analog sebagai berikut : kayas, kasumba, gandaria, gandola, dan paul. Nada warna kayas tergolong yang paling muda dan lembut, sedangkan warna paul tergolong nada warna yang tua dan berat. Kayas, kasumba, dan gandaria sering terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya melankolis. Irama melankolis itu telah menjadi salah satu ciri ungkapan sebagai kesenian Sunda, terutama seni tembangnya yang terkenal dengan Kecapi Suling (Djalari, 2001 : 4)”. Selanjutnya unsur-unsur estetik Sunda menguraikan, bahwa “selain nada warna yang terang dan lembut, masyarakat Sunda menyenangi pula berbagai ragam hias untuk mengimbangi kemeriahan susunan warnanya. ‘Kidung Sunda’ yang diterbitkan pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, melukiskan bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam Kinanti, dengan potongan bait-bait syairnya sebagai berikut : Anggoanana aralus, Di kembang parada rukmi, Landean duhung mas adi, Ditabur mirah dalima, Cahya permata harurung, Tinggal ebyar adu manis, Lir cika-cika maruntang, Dicangklek kancana mubyar, Disusumping kembang bodas, Kilat bahu atmaraksa, Diparada warna sari, Sinjang kayas ti Banyumas (Djalari, 2001, 10 – 11)”. (Terjemahan bebas, pen. : “Pakaiannya bagus-bagus, Dihiasi bunga prada emas, Gagang keris warna emas yang paling bagus (utama), Ditaburi warna mirah delima, Cahaya permata yang semuanya bersinar terang, Siap untuk menggemerlapkan kombinasi yang terlihat bagus, Laksana serangga cikacika yang saling berpegangan, Dipegangan kereta kencana yang gemerlapan, Ditambah-tambahkan (didatang-datangkan) bunga putih, Cahaya kilat sang pemelihara ruh, Diberi prada dengan warna nuansa lembut, Berlatarkan sarung merah ros dari Banyumas)”. Gambaran bahwa masyarakat (urang) Sunda telah terbiasa dalam mengganggit (merancang, mendesain, atau mengubah) suatu karya rancangan busana beserta perlengkapannya dengan beragam visual : baik warna menyolok dan bernuansa lembut juga beragam hias (corak), sambil ditata dan dibuat pantas agar tidak menimbulkan ketidakharmonisan visual. Peluang Inovasi dalam Batik (Kab. Bogor) Perkembangan desain dalam ranah industri kreatif, tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan dalam tataran budaya visual; ditambah dengan makin marak saling klaim kepemilikan desain; maka inovasi desain dalam diversifikasi produk dengan terapan ragam hias lokal (mis. Kab. Bogor) sebagai langkah Cultural Herritage, adalah menjadi dasar dalam menggali, sekaligus menerapkan kearifan lokal. Hal ini perlu agar diperoleh gambaran kongkrit mengenai upaya pengembangan artefak berbasis kearifan lokal, khususnya yang memacu sektor industri kreatif. Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
13
Industri kreatif, kini merupakan salah satu andalan penopang perekonomian nasional; terutama industri kecil yang banyak memberdayakan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya alam lokal, dan kekayaan budaya nasional. Oleh karena itu, perlu strategi adopsi sebagai konsep desain dengan pendekatan interaktif dan partisipatif, melalui diversifikasi desain yang inovatif. Metode ini diadopsi sebagai rujukan implementasi dari pengembangan desain yang menjawab permasalahan diversifikasi produk dengan pertimbangan fungsi dan keunikan performansi. Ragam hias lokal (Kab. Bogor) dalam ranah produk industri kreatif, berpotensi dikembangkan sebagai terapan desain pada produk konsumer, karena banyak kendala yang masih dihadapi perajin, yaitu : (a) mutu produksi, menyangkut kurangnya daya tarik visual / desain dan kualitasnya; (b) kurang mempunyai kemampuan membaca situasi pasar; (c) banyaknya pesaing dengan industri kecil sejenis. Apabila metode di atas tersebut diterapkan komprehensif, maka dampak hasilannya : (a) potensi ekonomi produk : mampu mengisi segmentasi pangsa pasar baru di berbagai pasar dengan harga terjangkau, terutama segmentasi masyarakat menengah ke atas nasional-regional; (b) nilai tambah produk dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi : menghasilkan metode yang tepat untuk pengembangan industri kecil baik dari segi desain, maupun pengembangan; (c) dampak sosiologis : meningkatkan kemampuan potensi lokal dalam upaya menerapkan teori dan mencapai optimasi desain dalam spektrum yang lebih luas, sekaligus menumbuhkan dan memelihara potensi sosial ekonomi daerah (Kab. Bogor). Beberapa peluang inovasi dalam batik (Kab. Bogor), terangkum dalam tema sebagai berikut : a. BATIK dalam konteks pelestarian budaya : pendekatan pengembangan atas azas konservasi budaya dan identitas lokal. Pengembangan batik selayaknya bernafaskan identitas lokal dan berbasis pada kekayaan SDA dan budaya. Konsep ini bermuara dari keprihatinan agar batik tetap hadir diperhitungkan dan bernilai di masyarakat. b. BATIK dalam konteks keberlanjutan : pendekatan dengan penekanan perhatian pada ekses yang dihasilkan dari eksploitasi terhadap bahan baku. Berhubung bahan baku produk batik sebagian besar adalah bahan sintetik dan alam, maka segala aspek kegiatan yang meliputi proses pengadaan, pengolahan, produksi, performansi batik, hingga perlakuan saat produk itu telah menjadi sampah (didaur ulang), harus dijadikan optimasi landasan berkarya. c. BATIK dalam konteks pemberdayaan : kegiatan di lingkungan / daerah yang berhasil memobilisasi masyarakat ke arah perbaikan kualitas hidup, peningkatan ekonomi, pengetahuan dan ketrampilannya. d. BATIK dalam konteks kreatifitas : didasari atas kegiatan eksperimentasi dan eksplorasi terhadap keunggulan dan keunikan material / desain untuk dikembangkan menjadi produk yang memiliki originalitas dan nilai fungsi yang baru. Daftar Pustaka Anas, Biranul, Hasanudin, Panggabean, Ratna, Sunarya, Yan Yan (1997) : Indonesia Indah Buku ke-8, Batik, Jakarta : Yayasan Harapan Kita – BP3 TMII, Perum Percetakan Negara RI Sunarya, Yan Yan (2013) Batik Digital : Inovasi Kreatif Ornamen Tirta, Iwan (2005) : Quo Vadis Batik Indonesia, Makalah Seminar Sehari Temu Usaha Terpadu IKM Batik Nusantara 22 Nov 2005, Cirebon : Direktorat Industri Sandang Dirjen IKM Depperin RI Widagdo, Drs., Dipl. Inn. Arch. (1997) : Sekilas Tentang Tekstil Indonesia, Makalah Seminar Desain Tekstil Indonesia 2000 : Tantangan dan Peluang Pendidikan, Profesi, Apresiasi, 15 Nov 1997, Bandung : Prodi Desain Tekstil FSRD ITB 1
Dosen FSRD ITB, Penulis, Peneliti, Kurator Batik, Juri Batik, Pengurus Asosiasi Pendidik Seni Indonesia, dan Pendiri The Batik Priangan Sundanese Institut (BPSI). e-mail :
[email protected] 2 “Alas-alasan yaitu pola atau jenis lukisan dalam Sanghyang Siksakanda ng Karesian (SSK); motif hutan (Suryani NS., 2007 : 147)”. 14 Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
3
“Urang-urangan yaitu jenis motif lukis dan ukir dalam SSK, bermotif udang (Suryani NS., 2007 : 282)”. “Sisirangan yaitu jenis motif lukis dalam SSK dengan gambar yang tidak menentu atau acak-acakan juga berbeda atau amburadul (Suryani NS., 2007 : 264)”. 5 Istilah pada awalnya adalah “Kain putih dari kapas, hasil tenunan sendiri; bila tenunannya agak jarang disebut boeh larang atau boe rarang, yang sering disebut dalam sastera lama (Rosidi, dkk., 2000 : 124)”. 6 “Kembang muncang yaitu motif kain ‘batik’ dalam SSK, model bunga kemiri (Suryani NS., 2007 : 208)”. 7 “Anyam cayut yaitu motif kain ‘batik’ dalam SSK, sejenis anyaman koja (kantong besar seperti jaring, pen.) (Suryani NS., 2007 : 150)”. 8 “Cecempaan yaitu motif kain ‘batik’ dalam SSK, dengan motif ala Campa (Suryani NS., 2007 : 168)”. 9 “Parigi yaitu kanal, parit pertahanan (Suryani NS., 2007 : 238)”. 10 “Hujan riris yaitu motif kain ‘batik’ dalam SSK, model hujan rinai (Suryani NS., 2007 : 193)”. 11 “Cinde, kain sutra bermotif bunga berukuran antara 30 – 40cm dikenakan sebagai selendang, kain mori atau kain biasa disebut karembong atau kekemben. Cinde yang berwarna hitam disebut cinde wulung (Rosidi, dkk., 2000 : 165)”. 12 Anggitan; “istilah yang dipergunakan khusus untuk karya berbentuk wawacan. Kata dasarnya anggit. Dianggit ku artinya ‘diciptakan atau dikarang oleh’. Banyak cerita berbentuk prosa atau carita pantun, dianggit menjadi wawacan. Karena wawacan berbentuk dangding, maka diperlukan keterampilan khusus untuk memindahkan karya dalam basa lancaran menjadi pupuh. Menerjemahkan karya sastera yang tadinya berbentuk babad atau macapat dari bahasa Jawa ke dalam bentuk wawacan, niscaya memerlukan keterampilan khusus pula. Untuk itu pun dipakai istilah dianggit ku atau anggitan (Rosidi, dkk., 2000 : 50)”. 4
13
“Dalam unsur-unsur estetika disebutkan, bahwa semua benda atau peristiwa mengandung tiga aspek yang mendasar, yakni : (1) Wujud atau rupa (appearance, atau wadah, pamor, pen.), baik wujud yang nampak dengan mata (visual) maupun wujud yang nampak melalui telingan (akustik, nonvisual, pen.) bisa diteliti dengan analisis, dibahas tentang komponen-komponen yang menyusunnya, serta dari segi susunannya itu sendiri. Kemudian pembagian mendasar atas pengertian (konsep) wujud itu, yakni bahwa semua wujud terdiri dari : (a) bentuk (form) atau unsur yang mendasar; dan (b) susunan, struktur (structure), memiliki tiga unsur estetik mendasar dalam setiap karya seni yaitu : keutuhan atau kebersatuan (unity), penonjolan atau penekanan (dominance), serta keseimbangan (balance); (2) Bobot atau isi (content, substance, atau eusi, pen.) meliputi bukan hanya yang dilihat semata-mata tetapi juga apa yang dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Bobot kesenian mempunyai tiga aspek yaitu : (a) suasana (mood); (b) gagasan (idea); dan (c) ibarat, pesan (message); serta (3) Penampilan, penyajian (presentation), dimaksudkan cara bagaimana kesenian itu disajikan, disuguhkan kepada yang menikmatinya, sang pengamat. Untuk penampilan kesenian tiga unsur yang berperan adalah : (a) bakat (talent); (b) keterampilan (skill); dan (c) sarana atau media (Djelantik, 1999 : 17 – 18, 42)”.
14
“Harmoni dimaksudkan adanya keselarasan antara bagian-bagian atau komponen yang disusun untuk menjadi kesatuan bagian-bagian itu tidak ada yang saling bertentangan, semua cocok dan terpadu. Tidak ada yang bertentangan dalam segi bentuknya, ukurannya, jaraknya, warna-warninya dan tujuannya. Dalam seni karawitan tidak ada pertentangan dalam segi ritme, nada suara, dan modus (Djelantik, 1999 : 46)”.
15
“Wirahma Sajak (Irama Sajak). Buku pengantar apresiasi sajak Sunda oleh Abdullah Mustappa (Bandung, 1985). Di dalamnya dibicarakan tentang sajak dengan contoh-contoh dari khazanah sajak Sunda, sebagai perkenalan bagi pembaca dengan unsur-unsur dan ragam sajak, misalnya tentang bentuk, tentang kata-kata, tentang tema, gaya dan suasana, tentang epik dan lirik, dll. (Rosidi, dkk., 2000 : 702)”.
16
Mengenai uraian tentang uga, maka dapat dijelaskan bahwa “di kalangan masyarakat Sunda, ada suatu kepercayaan bahwa perubahan sosial akan terjadi sesuai dengan ramalan para karuhun (leluhur). Ramalan mengenai perubahan sosial yang penting –terutama yang menyangkut masalah negara atau wilayah– biasa disebut uga. Sebagai bentuk ramalan, uga dapat diinterpretasikan bergantung pada tingkat kepercayaan orang yang menginterpretasikannya. Uga bisa ditafsirkan secara verbal dan kontekstual. Interpretasi verbal merupakan penafsiran dengan menitikberatkan pada soal bahasa, perbendaharaan kata, tatabahasa (gramatika), dan terjemahan yang tepat. Sementara itu, interpretasi kontekstual lebih merupakan usaha untuk memahami arti suatu ungkapan dengan melihat situasi di mana dan kapan ramalan ini hidup. Dengan perkataan lain, mencoba memahami uga dengan mencari latar belakang historisnya (Lubis, 2000 : 151 – 152)”. Kemudian “Uga atau disebut juga cacandran, berhubungan dengan konsep orang Sunda tentang sejarah, yang tidak hanya melihat kepada ruang yang sudah lampau, melainkan juga memandang kepada masa yang akan datang (Rosidi, dkk., 2000 : 673)”.
Batik Sunda : Sebuah Pengantar dalam Konteks Desain Alternatif Kini, Yan Yan Sunarya ---
15