eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (4) 1065-1078 ISSN 2477-2623 (online), ISSN 2477-2615 (print), ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2015
BARGAINING POSITION INDONESIA TERHADAP AMERIKA SERIKAT DALAM KASUS SENGKETA ROKOK KRETEK MELALUI DSB - World Trade Organization (WTO) Winda Oktariani1 Nim. 0802045047 Abstract In case of a dispute between the Indonesian clove cigarettes to the United States through the WTO , Bargaining Position Indonesia is stronger than the United States . Bargaining Position Indonesia is stronger because the United States proven to have violated the rules and WTO agreements . Indonesia won the WTO in this case because the United States proved to have committed some offense , namely the principle of non-discrimination which is also the basis of WTO principles contained in Article 2.1 TBT Agreement , the principle of transparency set out in Article 2.9.2 TBT Agreement because it does not carry out the notification obligation to Indonesia as a country affected by the application of Sec . 907 ( a) ( 1 ) ( A) , and has violated Article 2:12 TBT Agreement , because it does not provide reasonable interval / a reasonable time period between the time of publication Sec.907 ( a) ( 1 ) ( A) FSPTCA until the enactment of effective regulation this technical Keywords : Bargaining Position, WTO (World Trade Organization) Pendahuluan Sengketa antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait dengan rokok kretek berawal dari disahkannya Pasal 907 (a) (1) (A)“Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act” (Tobacco Control Act) oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada tanggal 22 Juni 2009, dan diberlakukan pada bulan September 2009. Undang– undang tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat Amerika Serikat dengan melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma dan berasa (flavored cigarettes), termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan. Namun, ketentuan tersebut mengecualikan rokok beraroma mentol, produksi dalam negeri Amerika Serikat. Pemberlakuan act tersebut mengakibatkan tegangnya hubungan dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Indonesia beranggapan bahwa Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act Amerika Serikat berdampak negatif bagi
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
Indonesia. Kerugian yang di alami Indonesia yang diperkirakan timbul akibat dari larangan ekspor rokok kretek mencapai US$ 200 juta pertahun.(http://milisnews.com) Nilai ekspor rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat cenderung fluktuatif seperti yang di gambarkan grafik di atas, pada tahun 2002 indonesia mengekspor rokok kretek senilai US$ 12 Juta, US$ 6 Juta pada tahun 2003, US$ 11 Juta pada tahun 2004, US$ 10.7 Juta pada tahun 2005, US$ 10.3 pada tahun 2006, pada tahun 2007 sebanyak US$ 16.2 Juta, pada tahun 2008 sebanyak US$ 14.8 Juta, dan pada tahun 2009 sebanyak US$7.5 Juta. Setelah diterapkannya kebijakan Tobacco Control Act pada tahun 2010 nilai ekspor rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat berubah menjadi nol.(www.wto.org) Akan tetapi, dari data yang diperoleh oleh Indonesia, bahwa konsumsi rokok menthol di kalangan anak muda Amerika Serikat adalah sebesar 43% atau sekitar ¼ (seperempat) dari keseluruhan rokok yang dikonsumsi di Amerika Serikat. Sebaliknya, konsumsi rokok kretek hanya mencapai kurang dari satu persen, lebih tepatnya 0,09% dari keseluruhan konsumsi rokok di Amerika Serikat.(www.neraca.co.id) regulasi teknis yang dibuat oleh Amerika Serikat telah menghambat kegiatan perdagangan Indonesia, dimana hal tersebut berpengaruh kepada perekonomian Indonesia, karena dalam memberlakukan Tobacco Control Act, Amerika Serikat tidak melaksanakan prinsip–prinsip dalam TBT Agreement, dan melanggar beberapa ketentuan dalam TBT Agreement. Selain menurunnya dan hilangnya pendapatan negara dari ekspor rokok kretek ke Amerika Serikat, pemberlakuan larangan impor rokok kretek melalui Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act dapat berdampak negatif bagi kepentingan dagang rokok kretek Indonesia dengan negara-negara lainnya. Kekhawatiran pemerintah yang terbesar adalah pelarangan semacam ini akan diikuti oleh negaranegara lain, terutama Uni Eropa, Amerika Selatan dan negara-negara di sekitar Amerika Serikat. Kekhawatiran pemerintah Indonesia tersebut cukup beralasan karena selama ini Amerika Serikat seringkali menjadi trendsetter kebijakan nasional bagi negara lain. Dan kini sudah mulai ada tanda-tanda bahwa akan ada negara-negara tertentu yang akan mengikuti jejak Amerika Serikat untuk melarang rokok tertentu diperjual belikan di negaranya. Mengingat besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan bagi perekonomian Indonesia, maka Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk mendorong Amerika Serikat mencabut larangan impor rokok kretek. Adapun upaya mendorong Amerika Serikat mencabut larangan impor rokok tersebut adalah melalui upaya diplomasi. Diplomasi tersebut dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah dan aktor-aktor nonpemerintah Indonesia dengan cara melakukan lobi-lobi dan negosiasi secara personal dengan anggota legislatif seperti congressmen, senator Amerika Serikat. Selain melakukan lobi-lobi dan negosiasi dengan anggota legislatif Amerika Serikat, upaya diplomasi juga dilakukan dengan melakukan lobi dan negosiasi dengan lembaga eksekutif Amerika Serikat seperti USTR. Indonesia dan Amerika Serikat sebenarnya juga telah memiliki suatu forum yang secara khusus membicarakan isu-isu perdagangan pada tingkat bilateral. Forum tersebut adalah Trade Investment Council
1066
Bargaining Position Indonesia Terhadap AS dalam Kasus Sengketa Rokok (Winda Oktariani)
(TIC). TIC sendiri dibentuk secara resmi pada tahun 1996 melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Between The Government of The United States of Americaand The Government of Indonesia Concerning The Establishment of The Councilon Trade and Investment. Dengan adanya forum tersebut, pemerintah Indonesia sejak tahun 2004 telah menyampaikan keberatan kepada Amerika Serikat perihal Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act yang dianggap merugikan Indonesia tersebut. Indonesia telah menyampaikan beberapa argumentasi mengenai keberatan atas rancangan act tersebut, namun upaya aktor-aktor Indonesia tetap tidak mampu mendorong Amerika Serikat untuk mencabut kebijakan larangan impor rokok kretek, maka pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan membawa kasus ini ke tingkat multilateral, yaitu Dispute Settlement Body (DSB) WTO. Sebagai negara yang terkena dampak ketidakadilan dari suatu regulasi teknis yang dibuat oleh Amerika Serikat, memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengajuan penyelesaian sengketa ke DSB WTO. Dasar pengajuan komplain Indonesia terhadap Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek adalah TBT Agreement, dimana dalam memberlakukan Tobacco Control Act, Amerika Serikat tidak melaksanakan prinsip– prinsip dalam TBT Agreement, dan melanggar beberapa ketentuan dalam TBT Agreement. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Perdagangan Internasional Menurut Ricky W. Griffin dan Michael W. Pustay, perdagangan internasional adalah perdagangan diantara penduduk dua negara. Penduduk itu berupa individu, perusahaan, organisasi nirlaba, atau bentuk badan yang lain.(Ricky W. Griffin dan Michael W. Pustay.2005.150) Robbock Simond mendefinisikan perdagangan internasional adalah kegiatan-kegiatan perniagaan dari suatu negara asal (country of origin) yang melintasi perbatasan menuju suatu negara tujuan (country of destination) yang dilakukan oleh perusahaan multinational corporation (MNC) untuk melakukan perpindahan barang dan jasa, perpindahan modal, perpindahan tenaga kerja, perpindahan teknologi (mendirikan pabrik dinegara lain atau ditempat lain), dan perpindahan merek dagang. (Harry Waluya.1995.3) Umumnya hambatan dalam arus perdagangan, ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers). Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya yang tinggi oleh suatu negara terhadap suatu barang, yang mengakibatkan harga jual barang tersebut di negara tujuan menjadi sangat mahal, sehingga menjadi tidak kompetitif dibandingkan dengan barang sejenis lain yang diproduksi dalam negeri negara tujuan. Sedangkan yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat non tarif (non tariff barriers) adalah upaya yang dilakukan pemerintah melalui penetapan peraturan larangan terhadap barang impor maupun ekspor dalam jangka waktu tertentu, untuk melindungi industri dalam negeri dan konsumen. Dalam implementasinya instrument
1067
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
non tariff dapat berupa: Larangan impor (import prohibition), Izin impor (import license), Kuota, State trading practices, Control devisa (exchange control), Penerapan syarat–syarat impor tertentu, misalnya consular formalities, standar mutu, sertifikasi impor dan bahkan yang non-trade seperti lingkungan hidup, buruh, politik, dan lain-lain. Dalam hubungan perdagangan internasioanal terdapat dua kebijakan perdagangan internasional antara lain: a. Kebijakan perdagangan bebas b. Kebijakan Proteksionisme Proteksionisme adalah upaya suatu negara untuk merumuskan kebijakan ekonomi dalam rangka melindungi perekonomian domestik dari produk-produk asing, seperti pemberlakuan tarif bea masuk impor (tariff protection), jalan pembatasan kuota (non-tariff protection), sistem kenaikan tarif dan aturan untuk menekan impor bahkan larangan impor. Apa pun ancaman terhadap produk lokal harus diminimalkan. Proteksionisme bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Salah satu tujuan kebijakan perdagangan proteksionis adalah untuk meningkatkan daya saing produk diluar negeri. Menurut pengatur kebijakan proteksionis, nilai tukar (terms of trade) barang manufaktur, yaitu ekspor utama negara-negara maju, sering dinilai lebih tinggi dari nilai tukar barang primer, yaitu ekspor utama negara-negara berkembang. Itulah yang menjadi alasan utama timbulnya kebijakan perdagangan proteksionis. Dalam kenyataannya, terdapat beberapa alat kebijakan perdagangan proteksionis yang digunakan oleh hampir semua negara. Beberapa diantaranya adalah: 1. Tarif atau Bea Masuk 2. Kuota 3. Subsidi 4. Larangan Impor Dalam kasus sengketa rokok kretek yang terjadi antara Indonesia dengan Amerika Serikat terjadi suatu pelanggaran dalam perdagangan internasional yang berupa larangan impor. Kebijakan TobaccoControl Act yangtelah diterapkan Amerika Serikat juga merupakan suatu bentuk kebijakan proteksionisme. Selain itu kebijakan tersebut juga telah melanggar ketentuan WTO yaitu diskriminasi terhadap produk impor, dimana Amerika Serikat secara diskriminatif mengecualikan rokok menthol dari larangan penjualan rokok beraroma, termasuk rokok kretek di Amerika Serikat. Bargaining Position Didalam kontek hubungan internasional, bargaining position sangat penting dalam dinamika politik global. Bargaining position berkaitan erat dengan negosiasi yang dilakukan suatu negara untuk mencapai kepentingan negara tersebut. Dalam upaya pencapaian kepentingan tersebut, maka dalam diperlukan kesepakatan-kesepakatan maupun perjanjian yang tentunya tidak merugikan bagi negara lain yang menjadi sasaran dalam mengadakan kerjasama antar negara tersebut mau menerima tawaran dari negara yang berkepentingan.
1068
Bargaining Position Indonesia Terhadap AS dalam Kasus Sengketa Rokok (Winda Oktariani)
Dalam prakteknya proses tawar menawar biasanya mengacu pada situasi di mana dua atau lebih pemain/aktor yang bertikai harus mencapai kesepakatan tentang bagaimana untuk mendistribusikan suatu objek atau jumlah moneter. Vinod Aggarwal berpendapat bahwa pelaku/aktor yang bertikai menanggapi dorongan awal untuk melakukan tawar menawar,dikondisikan oleh barang, situasi individu dari aktor itu sendiri, dan konteks kelembagaan.(http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id) Tawar-menawar di antara para pelaku/aktor ditentukan oleh barang yang terlibat dalam negosiasi yang dihasilkan, situasi individu, dan juga lembaga yang dapat menghasilkan keuntungan yang mungkin berbeda-beda bagi para pelaku/aktor yang terlibat dalam negosiasi awal. Lembaga berupa institusi atau wadah dimana terjadi interaksi antar aktor satu dengan yang lainnya. Institusi dalam hal ini harus mempengaruhi bagaimana aktor berinteraksi dan bisa memberi solusi yang memfokuskan pada kondisi dan membantu negara-negara dalam menyelesaikan masalah aksi kolektif.Institusi dapat mempengaruhi prilaku tawar menawar aktor yang mengikat baik aktor internasional maupun domestik. Dalam kasus sengketa rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini terjadi karena adanya dorongan yang mempengaruhi tiga elemen yang berinteraksi dalam proses tawar menawar. Pendorong awal adalah Kebijakan Tobacco Control Act yang telah diterapkan Amerika Serikat yang menimbulkan konflik dalam hubungan dagang Indonesia dengan Amerika Serikat. Sedangkan ketiga elemen yang saling berinteraksi adalah: pertama, rokok kretek sebagai barang yang terlibat dalam konflik; kedua, pengaruh dan lobi kelompok-kelompok kepentingan dalam negeri masing-masing pihak yang menjadi situasi individu; dan ketiga, WTO sebagai wadah bagi Indonesia dan Amerika Serikat berinteraksi. WTO sebagai institusi mempunyai tiga aturan dasar, yaitu: non-diskriminasi, penghapusan hambatan perdagangan dan konsultasi di antara negara-negara untuk menyelesaikan pertikaian dalam kerangka kerja GATT/WTO. Dalam hal ini, WTO mempengaruhi tawar menawar para aktor yang terlibat dalam forum konsultasi untuk menyelesaikan masalah. Dalam negosiasinya, baik Indonesia maupun Amerika Serikat, menggunakan jalur multilateral dan bilateral. Artinya, meskipun Indonesia dan Amerika Serikat terlibat negosiasi dalam forum WTO, keduanya mendiskusikan masalah rokok kretek ini secara bilateral. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik.Karena penelitian ini menggambarkan bagaimana bargaining position Indonesia terhadap Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek melalui DSB-WTO. Data yang disajikan adalah data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka yakni dengan mengumpulkan data dari buku, media, jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang di teliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif.
1069
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
Hasil Penelitian Sengketa yang timbul dari suatu kerjasama perdagangan internasional, pada dasarnya membawa dampak yang cukup signifikan bagi negara yang melakukan kerjasama tersebut. Begitu pula sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia-AS, dampak yang paling signifikan dirasakan oleh Indonesia ketika AS mengeluarkan kebijakan regulasi The Tobacco Control Act 907 pada tanggal 9 Juni 2009 dan efektif diberlakukan pada tanggal 22 September 2009. Indonesia yang tidak begitu saja menerima kebijakan AS tersebut tentu saja melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan hambatan perdagangan non-tariff AS tersebut. Adapaun proses penyelesaian sengketa dagang tersebut dijabarkan sebagai berikut: Proses penyelesaian sengketa dagang Indonesia–Amerika Serikat melalui WTO Kebijakan yang dikeluarkan oleh FDA BILL Amerika Serikat, ternyata membawa dampak yang cukup signifikan bagi ekspor rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat. Dampak tersebut berupa kerugian yang dialami Indonesia yang timbul akibat dari larangan ekspor rokok kretek yang mencapai US$ 200.000.000 per tahun, selain itu, dampak kebijakan Amerika Serikat tersebut juga dirasakan oleh petani tembakau Indonesia mengurangi permintaan tembakau dalam negeri sebagai bahan utama dari pembuatan rokok kretek. Dalam penyelesaian masalah yang terjadi diantara kedua negara tentu saja merupakan hal yang tidak pernah diinginkan oleh kedua aktor.Namun larangan impor yang terjadi telah mencatat banyak kerugian yang dialami oleh salah satu dari kedua aktor tersebut. Namun hadirnya WTO membuat kedua aktor tersebut memiliki titik terang dalam penyelesaian sengketa mengenai permasalahan yang terjadi. Berikut langkahlangkah yang ditempuh oleh Indonesia dan Amerika Serikat dalam menyelesaikan permasalahan berdasarkan WTO. 1. Konsultasi WTO Suatu sengketa dapat masuk ke WTO dalam berbagai tahap. Pada setiap tahap, negara-negara yang bersengketa didorong untuk melakukan konsultasi satu sama lain terlebih dahulu untuk upaya penyelesaian di luar persidangan. Indonesia yang merasa keberatan dengan kebijakan Amerika Serikat yang tidak sesuai dengan komitmennya sebagai anggota WTO, sesuai dengan Artikel 4 Understanding On Rules And Procedures Governing The Settlement Of Dispute WTO meminta untuk dilakukan konsultasi dengan Amerika Serikat. Permohonan konsultasi tersebut telah disampaikan kepada Perwakilan Amerika Serikat di Jenewa melalui surat No. 45/PTRI-30/IV/10 tanggal 7 April. Pihak Amerika Serikat telah menyampaikan tanggapannya dan pelakasanaan konsultasi direncanakan kemudian diadakan pada tanggal 13-14 Mei 2010 di Jenewa. Pada tanggal 13-14 Mei 2010 telah dilaksanakan konsultasi antara Indonesia dan Amerika Serikat di kantor WTO Jenewa untuk menindak lanjuti kasus rokok kretek (United States-Measures Affecting the Production and Sale of Clove Cigarettes - DS 406), terkait dengan keberatan Indonesia atas dikeluarkannya kebijakan Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act (FSPTCA) pada bulan Juni 2009 dan berlaku efektif pada bulan September 2009. Dalam pertemuan tersebut, DELRI dipimpin oleh Dirjen KPI dan
1070
Bargaining Position Indonesia Terhadap AS dalam Kasus Sengketa Rokok (Winda Oktariani)
beranggotakan Duta Besar RI untuk WTO, wakil dari Kemendag, unsur dari PTRI Jenewa dan Penasihat Hukum Indonesia. Delegasi AS dipimpin oleh Mr. Richard Chriss, Chief Agriculture Counsel dari USTR - Washington DC yang didampingi dari Department of Health dan FDA AS. Dalam pertemuan tersebut, RI menganggap bahwa FSPTCA tersebut merugikan kepentingan akses pasar Indonesia, karena telah melarang penjualan rokok kretek di Amerika Serikat yang dimana hampir seluruhnya diimpor dari Indonesia. Namun konsultasi yang dilakukan oleh Indonesia dengan Amerika Serikat tersebut tidak mencapai kesepakatan, akhirnya pada tanggal 9 Juni 2010, Indonesia meminta pendirian panel oleh Dispute settlement body (DSB) WTO. 2.
Panel WTO Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengajukan permintaan pembentukkan Panel yang disampaikan dalam sidang Dispute Settlement Body (DSB) WTO pada tanggal 22 Juni 2010 di Jenewa. Permintaan pembentukkan panel ini dilakukan sebagai tindak lanjut upaya penyelesaian sengketa dagang WTO setelah konsultasi formal pada pertengahan Mei 2010 gagal menyelesaikan masalah larangan impor rokok kretek yang dilakukan Amerika Serikat. DSB WTO kemudian menetapkan susunan panel yang terdiri dari ketua (Ronald Saborio Solo) dan 2 anggota (Ichiro Araki dan Huga Cayrus) yang disetujui oleh kedua Negara
3.
Banding Pada 5 Januari 2012, Amerika Serikat mengajukan banding atas keputusan Panel, dimana Amerika Serikat merasa tidak puas dengan keputusan Panel yang telah memenangkan Indonesia dalam kasus rokok kretek, dan mengganggap pembentukan undang-undang FSPTCA merupakan suatu tindakan diskriminasi perdagangan. Pada 04 April 2012, badan banding WTO mengeluarkan putusan banding yang diajukan oleh Amerika Serikat tersebut. Badan Banding WTO memperkuat putusan panel yang memenangkan Indonesia dalam kasus sengketa mengenai regulasi teknis Amerika Serikat terkait penjualan dan produksi rokok kretek Indonesia. Dalam bandingnya, Amerika Serikat menglaim panel salah menilai rokok kretek dan rokok menthol sebagai produk sejenis dan bahwaaturan teknis itu memberikan perlakuan yang dampaknya merugikan rokok kretek Indonesia. Amerika Serikat juga mengklaim panelsalah jika menilai Amerika Serikat tidak konsisten dengan pasal dalam perjanjian TBT
Posisi Tawar Indonesia Dalam kasus sengketa rokok kretek Indonesia dengan Amerika Serikat ini, posisi Indonesia cenderung lebih kuat, karena pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat merupakan pelanggaran terhadap perjanjian TBT yaitu prinsip NonDiskriminasi yang juga merupakan prinsip dasar WTO yang terdapat di dalam Article 2.1 TBT Agreement, prinsip Transparansi yang diatur dalam Article 2.9.2 TBT Agreement karena tidak melaksanakan kewajiban notifikasi kepada Indonesia sebagai
1071
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
negara yang terkena dampak pemberlakuan Sec. 907(a)(1)(A), dan telah melanggar Article 2.12 TBT Agrement, karena tidak memberikan reasonable interval/ jangka waktu yang wajar antara waktu publikasi Sec.907 (a)(1)(A) FSPTCA hingga berlakunya secara efektif regulasi teknis ini. Article 2.1 TBT Agreement mensyaratkan dalam hal perdagangan internasional, negara anggota harus menjamin berkenaan dengan peraturan teknis, produk yg diimpor dari wilayah setiap anggota harus diberikan perlakuan yang kurang menguntungkan/ mendapat perlakuan yang sama dibanding perlakuan yang diberikan kepada produk nasional serupa (National Treatment) dan produk serupa yang berasal dari negara lain (Less Flavourable Treatment) dimana Amerika telah melakukan praktek diskriminasi terhadap rokok impor yang berupa rokok kretek Indonesia dengan produk rokok domestik Amerika Serikat. Indonesia menekankan hal ini dengan memberikan bukti-bukti terkait perlakuan diskriminasi Amerika Serikat terhadap rokok kretek Indonesia yang menyebutkan bahwa rokok keretk bukanlah like product dengan rokok mentol. Rokok kretek dan rokok menthol dapat dikategorikan sebagai produk “sejenis”, karena secara fisik kedua produk tersebut sama. Keduanya merupakan rokok yang dilinting dengan kertas dan digunakan untuk menghisap tembakau. Aroma dan rasa kedua jenis rokok tersebut juga sama-sama dapat menimbulkan ketergantungan terhadap perokok. Selain itu, klasifikasi tariff keduanya pun sama, baik rokok mentol maupun rokok retek, keduanya berada dalam klasifikasi tariff yang sama (6 digit) dengan nama 240220 ciggarates (containing tobacco). Posisi Tawar Amerika Serikat Dalam kasus sengketa rokok yang terjadi antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang yang ditangani oleh WTO, Posisi tawar Amerika Serikat lebih lemah dibanding dengan Indonesia. Beberapa argumen yang disampaikan Amerika tidak dapat membuktikan bahwa Rokok kretek bukan barang sejenis (like product) dengan rokok mentol, antara lain: 1. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality) Komposisi fisik dari rokok kretek berbeda dengan rokok mentol. Rokok kretek biasanya mengandung 60% tembakau dan 40% cengkeh dan kokoa. Rokok mentol tidak mengandung bahan makanan dengan kuantitas yang signifikan tersebut. Lalu, berbeda dengan rokok lain, rokok kretek mengandung eugenol yg signifikan, yang menciptakan efek anestetik dan mati rasa yang dilaporkan terjadi pada perokok pemula. Rokok kretek juga mengandung saus khusus yang diakui dengan daya tariknya. Lalu, rokok kretek juga mengandung zat kimia berbahaya coumarin, yang tidak ditemukan dalam sebagian besar rokok, dan senyawa perasa lainnya yang tidak secara umum ditemukan pada rokok mentol,berbeda dengan cengkeh yang terdiri dari hampir setengah dari massa rokok kretek, mentol hanya terdiri kurang dari 1% dalam rokok mentol. Selain itu, rokok mentol tidak mengandung coumarin dan senyawa perasa lain yang ditemukan dalam rokok kretek.
1072
Bargaining Position Indonesia Terhadap AS dalam Kasus Sengketa Rokok (Winda Oktariani)
2.
Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market) Rokok memiliki sedikitnya dua kegunaan akhir di Amerika Serikat, yang diberikan oleh rokok kretek dan rokok mentol dengan derajat yang berbeda. Pertama, rokok memberikan kegunaan akhir untuk memuaskan kecanduan terhadap nicotine. kedua, rokok juga memberikan kegunaan akhir yang menciptakan suatu pengalaman yang menyenangkan yang berhubungan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.
3.
Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ taste and habits) Appellate body dalam EC-Asbestos menekankan bahwa jika karakteristik fisik dari barang-barang tersebut sangat berbeda, maka pemeriksaan terhadap bukti mengenai kebiasaan dan pilihan konsumen sangat diperlukan untuk menetukan likeness. Dalam hal ini, konsumen jelas membedakan barang-barang tersebut. Indonesia belum menunjukkan bukti bahwa rokok kretek bersaing dengan rokok mentol, atau bahwa konsumen memandang barang-barang tersebut saling bersubsitusi. Rokok kretek tidak bersaing pada pasar regular use dengan mentol. Lalu, Indonesia juga belum memberikan bukti bahwa rokok kretek bersaing dengan rokok mentol untuk akses dalam pasar distribusi, ruang display, atau pangsa pasar. Bukti yang ada mengenai kebiasaan dan pilihan konsumen menunjukan bahwa rokok kretek digunakan sama dengan rokok lain, yang dilarang oleh Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA. Dikarenakan rokok kretek memberikan efek membuat tembakau tampak menarik, terutama bagi perokok baru. Kemudian, indonesia memberikan data yang tidak benar yag menunjukkan bahwa rokok kretek memiliki pola penggunaan yang sama dengan rokok mentol, hanya dalam skala yang lebih kecil.
4.
Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang Amerika serikat menytakan bahwa perlakuan perpajakan terhadap dua barang yang berbeda seharusnya memiliki pengaruh yang sedikit dalam analisis like product, saat tindakan domestik ditetapkan bukan untuk tujuan perpajakan, melainkan untuk perlindungan kesehatan manusia.
WTO menilai bahwa argument Amerika Serikat kurang memberikan bukti bahwa Amerika Serikat tidak melanggar Article 2.1 TBT Agreement, terkait prinsip National treatment dan Less Favourable Treatment, dimana Amerika Sertikat telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap produk impor dan telah memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap produk impor dibanding produk domestik, dengan memberlakukan Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA yang melarangan peredaran rokok berasa/ beraroma (Termasuk rokok kretek) di Amerika Serikat namun mengecualikan rokok mentol yang merupakan produk domestik Amerika Serikat. Begitu juga terkait pasal2.9.2, dalam hal ini diketahui bahwa pada saat UU ini disusun sampai hingga akhirnya diberlakukan dan bahkan sampai saat gugatan pertama Indonesia, Amerika Serikat tidak pernah melakukan Notifikasi kepada sekertariat WTO ataupun kepada negara anggota yang terkena dampak dari pemberlakuan UU ini. Selain itu, Amerika juga tidak memberikan waktu yang wajar (reasonable interval) antara waktu publikasi Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA dan waktu
1073
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
berlaku efektif Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA seperti seharusnya yg telah di tetapkan dalam Article 2.12 TBT Agreement. Putusan WTO Di dalam badan penyelseaian sengketa DSB WTO, posisi tawar Indonesia lebih kuat daripada Amerika Serikat. Hal ini dibuktikan dengan dimenangkannya Indonesia dalam kasus sengketa rokok kretek yg terjadi antara indonesia dengan Amerika Serikat. Keputusan DSB WTO tersebut didasari oleh beberapa beberapa bukti yang memberatkan posisi Amerika Serikat dalam forum tersebut .Amerika Serikat dianggap bersalah karena telah melakukan beberapa pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan WTO. Berdasarkan argumen-argumen yang telah disampaikan oleh kedua belah pihak, maka Panel memutuskan: 1. Bahwa Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA ini berada dalam ruang lingkup TBT Agreement. Dimana Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan peraturan teknis (Technical Regulation) sesuai dengan lampiran 1.1 TBT Agreement. Panel menjelaskan definisi dari Technical Regulation dalam lampiran 1.1 TBT Agreement yaitu “dokumen yang menetapkan kaakteristik barang atau metode proses dan metode produksi yang terkait, termasuk ketentuan administratif yang digunakan, yang pemenuhannya adalah wajib. Dokumen tersebut dapat pula mencakup atau berkenaan dengan teknologi, simbol, persyaratan pengemasan, penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, metode proses, atau metode produksi.” Dalam EC-Asbestos dan EC-Sardines, Appllete Body mengatur tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu peraturan untuk sesuai dengan definisi Technical Regulationdalam TBT Agreement, yaitu: pertama, peraturan tersebut berlaku pada suatu atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasikan. Kedua, peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan proses atau cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut. Ketiga, peraturan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, Panel memutuskan bahwa Sec. 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan Techical Regulation menurut pengertian dalam TBT Agreement. 2. Bahwa rokok kretek impor dan rokok domestik adalah barang sejenis (Like product) Laporan dari GATT Report Of The Working Party On Border Tax Adjustment merumuskan pendekatan dalam menganalisis like product, yaitu Persamaan sifat, karakteristik, dan kualitas produk (the properties, nature, and quality of the product), Kegunaan akhir/fungsi dari produk (the end-uses of the products), Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang tersebut (consumers’ tastes and habits in respect of the products), klasifikasi tarif internasional barang tersebut.Appellete Body dalam EC-Asbestos menyetakan bahwa keriteria ini adalah alat untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti yang berkaitan. Rokok kretek dengan rokok menthol dapat dikategorikan sebagai like product,karena secara fisik kedua produk tersebut sama. Keduanya merupakan
1074
Bargaining Position Indonesia Terhadap AS dalam Kasus Sengketa Rokok (Winda Oktariani)
rokok yang dilinting dengan kertas dan digunakan untuk menghisap tembakau.Aroma dan rasa kedua jenis rokoktersebut juga sama-sama dapat menimbulkan ketergantungan terhadap rokok. Selain itu, klasifikasi tarif keduanya pun sama, kode 6 digit untuk rokok kretek, rokok mentol, dan rokok tembakau adalah 1402.20 dan diklasifikasikan sama dalam HS Subheading 2402.20 . dengan demikian panel memutuskan bahwa rokok kretek dan rokok mentol adalah barang sejenis (like product) berdasarkan pasal 2.1 TBT Agreement. 3. Bahwa rokok kretek impor diperlakukan kurang menguntungkan (Less FavourableTreatment) dibanding dengan barang domestik yang sejenis. Konsep Less Favourable Treatment menurut pasal III:4 GATT 1994 menyatakan bahwa harus ada persamaan efektif dalam kesempatan untuk barang impor. Appellete Body menyatakan bahwa untuk menetukan barang impor telah diperlakukan Less Favourable, maka harus diperiksa apakah peraturan yang diberlakukan mengubah kondisi persaingan dalam pasar yang dapat merugikan barang impor. Lalu, Appellete Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa jika terdapat Less Favourable Treatment terhadap kelompok barang impor, maka dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan terhadap sekelompok barang domestik yang sejenis. Namun negara anggota WTO yang memberikan perbedaan antara barang-barang yang dianggap sejenis, dengan alasan ini tidak dapa langsung dianggap sebagai Less Favourable Treatment terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis. Hal ini dikarenakan dalam beberapa kasus diberlakukan peraturan yang sama terhadap barang, namun pada prakteknya, peraturan tersebut memberikan perlakuan yang Less Favourableterhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis. Jadi Less Favourable Treatment terjadi saat barang impor ditempatkan pada posisi persaingan yang tidak menguntungkan dalam pasar domestik sebagai akibat dari peraturan yang diberlakukan. Kemudian, sehubungan dengan dampak yang merugikan, Appellet Body dalam Dominican Republik – Import and Sale of Cigarettes menyatakan keberadaan dampak merugikan terhadap barang impor, yang diakibatkan oleh peraturan, tidak selalu berarti bahwa peraturan ini memberlakukan Less Favourableterhadap barang impor, jika dampak merugikan tersebut diakibatkan oleh faktor atau keadaan yang tidak berkaitan dengan negara asal dari barang impor, seperti pangsa pasar dari importir dalam kasus ini. Jadi, tidak cukup untuk menentukan ketidakkonsistenan terhadap Pasal III:4 GATT 1994 hanya berdasarkan pada peraturan yang merugikan kondisi persaingan dari barang impor. Tetapi, penggugat juga harus membuktikan bahwa dampak merugikan tersebut berhubungan dengan negara asal dari barang impor. a. dalam kasus ini rokok kretek impor dan rokok mentol yg diproduksi domestik diperlakukan dengan cara yg berbeda, karena telah mengecualikan rokok mentol dalam larangan tersebut. b. Perlakuan yang berbeda tersebut merugikan bagi rokok kretek impor. c. Dampak merugikan dari Less Favourable Treatment terhadap rokok kretek impor berkaitan dengan asal negara. Menurut Panel, Amerika Serikat tidak melarang rokok mentol karena bukan jenis characterizing flavour yang menarik bagi kaum muda, tetapi lebih kepada biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari pelanggaran. Dalam kasus ini, Amerika Serikat
1075
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
menetepkan technical regulation untuk mencapai tujuan yang sah dalam mengurangi kaum muda merokok, tetapi pada saat yang sama membatasi ruang lingkup barang dari technical regulation untuk meminimal lisir atau bahkan menghilangkan biaya potensial yang mungkin dikenakan pada produsen domestik, saat menimbulkan biaya terhadap produsen barang yang sejenis dari negara anggota lain. 4. Pelanggaran Prinsip Transparansi karena tidak menjalankan prosedur notifikasi yang diatur di dalam Article 2.9.2 TBT Agreement. Article 2.9.2 TBT Agreement mewajibkan negara anggota yang akan mengeluarkan sebuah regulasi teknis menotifikasi negara anggota lain melalui sekretariat WTO mengenai produk-produk apa saja yang akan terkena dampak dari pemberlakuan regulasi teknis tersebut, serta memberikan penjelasan singkat mengenai tujuan dari pemberlakuan regulasi teknis tersebut. Dalam hal ini diketahui bahwa pada saat regulasi ini sedang disusun hingga akhirnya diberlakukan dan bahkan sampai saat gugatan pertama Indonesia diajukan, Amerika tidak pernah melakukan notifikasi kepada Sekretariat WTO ataupun kepada negara anggota yang terkena dampak dari regulasi tersebut. Amerika serikat menyebutkan bahwa regulasi ini khususnya Sec 907 (a)(1)(A) selalu dipublikasikan dikementrian terkait, namun itu tidak merubah fakta bahwa Amerika Serikat tidak pernah menjalankan notifikasi seperti disebutkan dalam Article 2.9.2 TBT Agreement. Oleh karena itu Amerika Serikat telah melanggar prinsip transparansi yang diatur dalam Article 2.9.2 TBT Agreement. 5. Pelanggaran Article 2.12 TBT Agreement karena tidak memberikan reasonable interval dalam memberlakukan sec 907 (a)(1)(A) Indonesia menilai bahwa Sec 907 (a)(1)(A) bertentangan dengan persyaratan reasonable interval yang terdapat dalam pasal 2.12 TBT Agreement. “except in those urgent circumstances referred to in paragraph 10, members shall allow a reasonable interval between the publication of technical regulations and their entry into force in order to allow time for producers in exporting member and particularly in developing country members, to adapt their product or methods of production to the requirement of the importing member.” Pasal 2.12 mensyaratkan bahwa negara anggota harus memberikan waktu yang wajar (reasonable interval) antara waktu publikasi sebuah regulasi teknis sampai dengan waktu mulai berlaku secara efektifnya regulasi teknik tersebut. Waktu yang wajar tersebut diperuntukan agar negara pengekspor yang terkena dampak pemberlakuan regulasi teknis tersebut dapat menyesuaikan produk mereka dengan apa yang disyaratkan dalam regulasi tersebut. Dalam hal ini, Amerika Serikat tidak menerapkan reasonable interval pemberlakuan Sec 907 (a)(1)(A). FSPTCA mulai ditandatangani pada 22 Juni 2009, dan mulai diberlakukan secara efektif 3 bulan setelah penandatanganan FSPTCA.Menurut Indonesia waktu 3 bulan yang diberikan Amerika Serikat
1076
Bargaining Position Indonesia Terhadap AS dalam Kasus Sengketa Rokok (Winda Oktariani)
sampai FSPTCA berlaku secara efektif bukanlah reasonable interval seperti yang disyaratkan pada Article 2.12 TBT Agreement. Indonesia menggunakan the doha ministerial decision on implementation- related issues and concerns yang kemudian diadopsi oleh komite TBT, untuk menginterprestasikan reasonable interval. Dalam paragraph 5.2 the doha ministerial decision menginterpretasikan bahwa standar dari reasonable interval yang terdapat dalam article 2.12 TBT Agreement adalah tidak kurang dari 6 bulan. Waktu 6 bulan sebagai reasonable interval diperuntukkan agar negaranegara berkembang seperti Indonesia mempunyai waktu beradaptasi dan menyesuaikan produknya sesuai dengan regulasi teknis tersebut. Dalam hal ini Amerika Serikat telah terbukti melanggar Article 2.12 TBT Agreement karena tidak memberikan waktu yang wajar (reasonable interval) dalam pemberlakuan Sec 907 (a)(1)(A) untuk negara-negara anggota WTO yang lain khususnya Indonesia untuk beradaptasi dan menyesuaikan produk mereka sesuai dengan regulasi teknis yang telah dibuat Amerika. Kesimpulan Dalam kasus sengketa rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat melalui WTO, Bargaining Position Indonesia lebih kuat dibanding Amerika Serikat. Bargaining Position Indonesia lebih kuat karena Amerika Serikat terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap aturan dan perjanjian WTO. WTO memenangkan Indonesia dalam kasus ini karena Amerika Serikat terbukti telah melakukan beberapa pelanggaran yaitu prinsip Non-Diskriminasi yang juga merupakan prinsip dasar WTO yang terdapat di dalam Article 2.1 TBT Agreement, prinsip Transparansi yang diatur dalam Article 2.9.2 TBT Agreement karena tidak melaksanakan kewajiban notifikasi kepada Indonesia sebagai negara yang terkena dampak pemberlakuan Sec. 907(a)(1)(A), dan telah melanggar Article 2.12 TBT Agreement, karena tidak memberikan reasonable interval/ jangka waktu yang wajar antara waktu publikasi Sec.907 (a)(1)(A) FSPTCA hingga berlakunya secara efektif regulasi teknis ini. Daftar Pustaka Buku Griffin, Ricky W., dan Michael W. Pustay. 2005.Bisnis Internasioanal. Indonesia: PT. Indeks. Perwita, Anak Agung Banyu dan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Waluya, Harry. 1995.Ekonomi Internasional. Jakarta: Rineka Cipta. Internet “Amerika kecewa digugat Indonesia”, terdapat di http://post.indah.web.id/?/read/2010/06/25/213/346738/amerika-kecewadigugat-indonesia/large, diakses 07 oktober 2012.
1077
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1065-1078
“Ekspor Rokok Kretek Indonesia ke AS Dilarang” terdapat di http://amti.or.id/2012/03/ekspor-rokok-kretek-indonesia-ke-as-dilarang/, diakses 07 oktober 2012. “Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun”, terdapat di http://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-us200-juta-per-tahun/, diakses 07 Oktober 2012. Freddy Josep Pelawi, “Penyelesaian Sengketa WTO dan Indonesia” Jurnal Departemen Perdagangan Republik Indonesia”, 2006, terdapat dihttp://ditjenkpi.depdag.go.id/images/Bulletin/buletin%2044.pdf, diakses 07 Oktober 2012. “Mayoritas penduduk Amerika serap rokok kretek Indonesia” terdapat di http://palembang.tribunnews.com/m/index.php/17/10/2010/mayoritaspenduduk-amerika-serap-rokok-kretek-indonesia, diakses 10 Maret 2013. “Perang rokok RI – AS”, terdapat di http://bola.kompas.com/read/2009/06/27/11191246/Perang.Rokok.RI-AS, diakses 10 Maret 2013. “RI gagal jual rokok kretek ke as senilai us 64 juta”, terdapat di http://finance.detik.com/read/2010/06/28/175007/1388667/4/ri-gagal-jualrokok-kretek-ke-as-senilai-us--64-juta?f771108bcj,diakses 07 oktober 2012. “RI Sengketakan Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat ke DSB – WTO”, terdapat di http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2010/06/25/risengketakan-larangan-perdagangan-rokok-kretek-di-amerika-serikat-ke-dsbwto-id1-1353754118.pdf, di akses 10 Maret 2013. “WTO dukung Indonesia soal kretek”, terdapat di http://milisnews.com/ekonomi/7552-wto-dukung-indonesia-soal-kretek.html, diakses 07 oktober 2012. “WTO DSB, Panel Report(WT/DS406/R), United State – Measures Affecting The Production and Sale of Clove Ciggarate no (DS406)”, halm 7 terdapat di http://www.worldtradelaw.net/reports/wtopanels/usclovecigarettes%28panel%29.pdf, di akses pada 11 Juni 2014.
1078