Banyu Sumurup: Sentra Keris Yogya Peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bukan hanya senjata tradisional namun juga sebuah karya spiritual manusia masa lalu yang masih terjaga sampai saat ini. Keris bisa menjadi simbol tertentu, kewibawaan, kekuatan, kebijaksaan dan kehidupan. Meskipun beragam jenisnya namun keris Jawa khususnya Jogja dan Solo yang paling terkenal. Dalam berbagai ritual spiritual Jawa, khususnya yang masih bersinggungan dengan tradisi keraton, keris tidak pernah ketinggalan. Selain memiliki nilai tertentu juga merupakan pelengkap pakaian tradisional khas Jogja dan Solo. Sentra Pembuatan Keris di Jogja Salah satu sentra pembuatan keris di Jogja adalah Desa Banyu Semurup, Imogiri, Bantul. Sebagian besar warga disini memiliki keahlian membuat keris. Namun jangan dibayangkan jika sebuah keris hanya cukup dibuat oleh satu orang saja. Sebuah keris yang utuh memiliki banyak bagian khusus yang dibuat oleh orang yang memiliki keahlian masing-masing. Bagian-bagian keris semacam mendhak, pendhok, warangka, pamor, luk dan lain-lain akan dibuat oleh ahlinya masing-masing kemudian disatukan menjadi satu bagian yang disebut keris. Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Desa banyu Semurup di Imogiri, Bantul. Kebetulan mendapat ajakan sang empu mbah Tonno yang sudah malang melintang didunia perkerisan. Karena waktu yang terbatas, maka kami mengunjungi Pak Harjo, seorang pembuat salah satu bagian keris yaitu pembuat warangka, atas petunjuk dari padepokan angkringan di pinggir jalan. Bagian-bagian Keris Warangka adalah sarung keris yang terbuat dari kayu yang
berserat dan bertekstur indah. Semakin bagus kayu yang digunakan dan semakin indah tekstur yang dihasilkan maka harganya pun semakin mahal. Mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah harga sebuah warangka. Sebagai seorang ahli membuat warangka, Pak Harjo tahu bagaimana mendapatkan bagian kayu yang bisa menghasilkan serat terbaik. Jika tidak hatihati dalam memilih maka sekali salah memotong kayu, hilanglah bagian terbaik yang akan dibuat warangka. Proses pembuatannya pun tak semudah yang dibayangkan. Butuh kehati-hatian dan ketelitian serta melalui beberapa proses yang cukup rumit mulai dari pemotongan hingga proses finishing. Setelah proses pembuatan warangka ini selesai, maka akan disatukan dengan bagian lain yang dibuat oleh orang lain juga maka pada proses akhirnya jadilah sebilah keris. Harganya berkisar mulai dari puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah, tergantung materi yang digunakan dari tiap bagian. Tidak mudah menghafal bagian-bagiannya karena punya nama-nama sendiri serta makna tersendiri yang berjumlah puluhan nama pada satu bagian keris. Mbah Tonno, sang empu dari jaman Majapahit pun ternyata tidak hafal satu-satu nama bagian tersebut. Jika tertarik untuk belajar dan melihat secara langsung proses pembuatan keris, silakan datang ke Banyu Semurup yang berada di kec. Imogiri, Bantul. Untuk mencapai kesana, searah menuju Makam Raja-raja Imogiri. Pada pertigaan sebelum kearah makam, ambil ke kanan arah Mangunan. Kurang lebih 500m ada pertigaan ambil yang ke arah kanan, ada papan penunjuk kecil yang terpasang disisi jalan. Jika mengalami kebingungan, silakan bertanya pada orang yang ditemui sepanjang jalan.
Pandawa Lima (2) Nasib Pandawa Lima dan Dewi Drupadi agak tertolong dengan campur tangannya tetua Hastinapura Resi Bisma dan Yama Widura. Dewi Drupadi diminta untuk diserahkan kepada Resi Bisma dan diberikan, untuk ini para Kurawa salah sangka dikiranya Resi Bisma ingin menikmati kemenangannya pada hal Dewi Drupadi akan diserahkan kembali kepada Pandawa Lima oleh Resi Bisma. Atas kekalahan judi para Pandawa Lima, tetua Hastina mengambil kebijaksanaan dan jalan tengah, bahwa Pandawa Lima harus menjalani hukuman pembuangan di hutan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama 1 tahun, dalam masa penyamaran apabila salah satu dari Pandawa lima dapat dipergoki, maka mereka semua harus menjalani pembuangan ulang lagi selama 12 tahun, dan masa penyamaran 1 tahun. Dewi Drupadi-pun mengikuti para Pandawa Lima dalam menjalani hukuman pembuangan, sedangkan Dewi Kunti ibu para Pandawa Lima tetap tinggal Kerajaan Hastinapura. Sebagian Istri dan anakanaknya Raden Harjuna dititipkan di Kerajaan Cempalaradya, Dewi Wara Subadra dan sebagian lagi istri-istri Raden Harjuna dan anak-anaknya dititipkan di Kerajaan Dwarawati. Dalam masa menjalani hukum pembuangan, Raden Harjuna dan Bima memanfaatkan wak tunya untuk memperdalam ilmunya dan mencari senjata pusaka. Bima bertemu dengan Anoman saudara tunggal Bayu yang mengajarkan berbagai ilmu kesaktian kepadanya. Setelah Pandawa Lima menyelesaikan masa pembuangan 12 tahun lamanya, kemudian menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata. Puntadewa menyamar sebagai ahli sejarah dan tatanegara dengan nama Wijakangka, Bima sebagai Jagal/penyembelih hewan dengan nama Jagal Abilawa, Harjuna sebagai guru tari yang kebanci-bancian dengan nama Kandhi Wrahatmala, Nakula dan Sadewa sebagai pelatih dan pemelihara kuda dengan nama Darmagranti dan Tantripala. Dewi Drupadi menjadi dayang istana dengan nama Sailandri atau Salindri. Disaat hari penyamaran Pandawa Lima berakhir terjadilah penyerbuan Hastinapura dengan sekutu-kutunya ke Kerajaan
Wirata. Para Pandawa Lima tidak dapat tinggal diam ketika melihat kejadian penyerbuan yang telah mengganggu ketenangan dan ketentraman Kerajaan Wirata tempat mereka menyamar selama ini. Dengan ikutnya Pandawa turun kemedan perang, akibatnya para Sata Kurawa mengetahui penyamaran Pandawa Lima. Maka ketika diada kan perundingan untuk memulihkan hak Pandawa Lima atas Kerajaan Amarta dan setengah Kerajaan Hastina, ditolak oleh Kurawa dengan alasan penyamarannya telah dipergoki, karena itu Pandawa harus menjalani ulang kembali masa hukumannya 12 tahun dalam pembuangan dan 1 tahun masa penyamaran. Menurut perhitungan tetua Hastina, Pandawa Lima telah menjalani masa hukuman dengan sempurna, karena itu mereka harus dikembalikan hak-haknya termasuk setengahnya Kerajaan Hastinapura, namun hal demikian ditolak oleh Kurawa. Meskipun Pandawa Lima dalam perundingan diwakili oleh Prabu Kresna sebagai duta Pandawa Lima. Karena perundingan damai mengalami kegagalan, maka pecahlah pertempuran utk mem-perjuangkan haknya, kemudian dikenal dengan kisah “MAHABHARATA”, masa pertempurannya selama 18 hari, berakhir dengan kemenangan Pandawa Lima, tetapi semua putra Pandawa Lima gugur dimedan perang di Tegal Kurusetra. Yudistira dikenal sebagai sosok suci tanpa dosa, sedangkan Bima dan Raden Harjuna dikenal sebagai sosok yang telah mencapai kesempurnaan diri, mengetahui sejatinya urip/hidup. Bima waktu itu diperintah oleh Resi Druna untuk mencari air suci, maksudnya untuk mence lakakan Bima, tetapi sebaliknya Bima bertemu dengan Dewa Ruci yang memberi wejangan tentang ilmu kasampurnan hidup, Raden Harjuna memperoleh wejangan ilmu Hasta Brata dari Panembahan Kesawasidhi di Puncak gunung Suwelagiri Pertapaan Kutharunggu. Hasta Brata merupakan ilmu spiritual setingkat dengan air suci yang diperoleh Bima untuk mencapai kesempurnaan hidup. Dihari tuanya, Pandawa Lima dengan sadar merupakan hari-hari utk menyongsong saat ke-matian, setelah menobatkan Parikesit cucu Ra-den Harjuna sebagai Raja Hastinapura, beberapa tahun
kemudian Pandawa Lima mendaki kepun cak Gunung Himalaya, termasuk Dewi Drupadi untuk menyongsong kematian, diikuti oleh anjing berbulu putih. Pertama kali yang dijemput oleh Batara Ya-madipati (Dewa penjemput nyawa) adalah Dewi Drupadi, dinilai paling banyak dosanya diban -dingkan dengan kelima suaminya yakni Panda wa Lima. Pertama karena dihati kecilnya ia lebih mencintai Raden Harjuna dari pada dengan suami lain-lainnya. Kedua karena Dewi Drupadi bermulut tajam, kata-katanya sering melukai hati orang lain, diantaranya adalah Narpati Basukarna (Adipati Karna), Prabu Duryudhana, Resi Druna/ Drona, Dursasana dan Jayadrata, terluka hatinya karena ucapan-ucapan Dewi Drupadi. Berikutnya giliran Sadewa yang dijemput oleh Batara Yamadipati, karena sering meremehkan atau memandang rendah orang lain termasuk kakak kakaknya meskipun hanya didalam hati saja dan tidak pernah diucapkan. Sadewa mempunyai ilmu / aji Pranawa Jati yang dapat mengetahui kejadian yang akan datang dan mengingat kejadian-kejadian masa lalu yang pernah dialami. Setelah Sadewa giliran berikutnya kemudian adalah Nakula yang dijemput oleh Batara Ya-madipati, karena meskipun diam sebenarnya di-dalam hatinya Nakula selalu iri dan dengki kepada saudara-saudaranya terutama dengan Sadewa. Giliran berikutnya setelah Nakula adalah Raden Harjuna yang dijemput oleh Batara Yama dipati, karena didalam hati kecilnya Raden Har-juna terlalu bangga dengan ketampanan yang dimilikinya dan merasa paling dibutuhkan atau pa-ling penting dibanding dengan saudara-saudaranya. Bima giliran berikutnya dijemput oleh Bata ra Yamadipati, karena dinilai sering tidak dapat menahan nafsu amarahnya. Yudistira tidak dijemput oleh Batara Yama-dipati dan tidak menemui ajalnya, ia berjalan sampai didepan pintu Syurga dan dijemput oleh Batara Indra, diajak untuk masuk syurga tetapi anjingnya dilarang masuk. Yudistira menolak masuk syurga jika anjingnya tidak diperbolehkan masuk syurga, karena Yudistira menganggap Dewa tidak menghargai suatu kesetiaan. Maka
sebaiknya hamba tidak usah masuk kesyurga jika anjing yang menunjukkan kesetiaannya dilarang masuk syurga. Atas ucapan Yudistira yang menghargai ke setiaan, seketika itu juga anjing putih yang selalu menyertai perjalanan Pandawa Lima dengan setianya sejak dari Istana Hastinapura sampai kepintu syurga, berubah wujudnya menjadi Batara Darma, jelmaan ayahnya Yudistira yang sebenarnya . Kisah berakhir hidupnya para Putra Pandu, mengandung suatu petunjuk, bahwa Allah Maha Mengetahui segala-galanya, meskipun hanya didalam hati dan tidak pernah dikeluarkan atau dinyatakan kepada orang lain, Allah sudah mengetahui kebaikan atau kebathilan itu. Jalan hidup dan pegangan hidup para Putra Pandu yang kemudian dikenal dengan Pandawa Lima, tidak dapat dilepaskan dari punakawan Semar dan anak-anaknya yang tidak lain dari jelmaan Dewa Ismaya yang selalu memberi petunjuk dan bimbingan serta nasehat kepada para Putra Pandu. Nama-nama atau sebutan orang tua laki-laki selalu disertakan dalam memberi nama putra-putranya, seperti Pandawa Lima adalah keturunan Pan yaitu Pandu. Kurawa adalah keturunan Kuru, Drupadi adalah keturunan Drupada, Madrim adalah keturunan Raja Mandra dst. Yudistira dalam pewayangan adalah simbul atau lambang sosok yang suci, tidak mempunyai dosa dan diibaratkan darahnya berwarna putih tanpa noda sediktpun. Bima dalam pewayang adalah simbul kete-gasan dan keadilan serta kejujuran dalam menegakkan hukum, tidak pandang bulu, siapapun yang salah harus dihukum meskipun itu saudara maupun anaknya sendiri. Bima selalu menepati janjinya, bertubuh tinggi besar dan kokoh. Raden Harjuna adalah lambang atau sim – bul sosok tampan dan rupawan tetapi donyuan, banyak anak banyak istri tetapi semuanya rukun. Kisah-kisah pewayangan banyak mengan-dung ajaran-ajaran Falsafah yang bermakna spiri tual tinggi, kata-kata Adiluhung yang memben tuk budi luhur dan pekerti/perbuatan mulia Bangsa
Indonesia. Dunia pewayangan mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk watak Budi Luhur dan Hati Mulia Bangsa Indonesia yang dika gumi oleh bangsa lain didunia ini. Menonton pertunjukan wayang yang memakan waktu panjang saja sudah mengandung pendidikan, dimana penonton dididik untuk sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, dan tekun menerima/menanti ilmu atau wejangan spiritual yang bermakna tinggi lewat dalangnya.
Sejarah Yogyakarta
Singkat
Kota
Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton. Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan
memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati. Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004
Tari Remo Jawa Timur Tari Remo adalah tarian tradisional Jawa Timur yang menggambarkan keberanian seorang Pangeran yang berjuang di medan perang. Tarian ini sering ditampilkan dalam pergelaran kesenian Ludruk sebagai pengantar pertunjukan. Selain itu Tari
Remo ini juga ditampilan sebagai tarian selamat datang dalam menyambut tamu besar yang datang ke sana. Tarian ini sangat terkenal di Jawa Timur dan menjadi salah satu icon kesenian tari di sana. Menurut sejarahnya, Tari Remo ini awalnya diciptakan oleh para seniman jalanan pada jaman dahulu dengan mengangkat tema seorang Pangeran yang gagah berani. Tarian ini mulai diperkenalkan ke masyarakat luas dengan cara mengamen. Seiring dengan perkembangannya tarian ini mulai diangkat dan dijadikan sebagai tarian pembuka dalam pertunjukan Ludruk. Sejak saat itulah Tari Remo mulai banyak dikenal oleh masyarakat luas. Dalam perkembangannya, Tari Remo juga ditampilkan secara terpisah sebagai tarian selamat datang untuk tamu kehormatan atau tamu besar yang datang ke Jawa Timur. Tari Remo ini umumnya dibawakan oleh para penari laki – laki dengan gerakan yang menggambarkan seorang Pangeran yang gagah berani. Namun seiring dengan perkembangannya, Tari Remo ini tidak hanya dibawakan oleh penari pria saja namun juga penari wanita. Sehingga memunculkan Tari Remo dengan jenis lain yang biasa disebut Tari Remo Putri. Gerakan dalam Tari Remo lebih mengutamakan gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Dalam pertunjukannya penari dilengkapi dengan gelang lonceng kecil yang dipasang di pergelangan kaki. Sehingga saat penari melangkah atau menghentakkan kakinya maka lonceng kecil tersebut akan berbunyi. Gerakan tersebut biasanya dipadukan dengan iringan musiknya, sehingga suara lonceng tersebut dapat berpadu dengan musik pengiring. Selain gerakan kaki, yang menjadi karakterisitik gerakan Tari Remo adalah gerakan selendang atau sampur, gerakan kepala, ekspresi wajah dan kuda – kuda penari. Dalam pertunjukan Tari Remo, penari harus bisa memadukan gerakannya dengan musik pengiring. Hal ini di butuhkan karena bila gerakannya tidak padu, maka suara gelang lonceng di kaki penari akan menimbulkan suara yang tidak pas dengan musik
pengiring. Dalam pertunjukan Tari Remo ini biasanya diiringi oleh musik Gamelan yang terdiri dari bonang, saron, gambang, gender, sinter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Jenis irama atau gendhing yang dibawakan oleh musik pengiring biasanya seperti jula – juli dan tropongan. Selain itu juga gendhing walangkekek, krucilan, gedok rancak dan gendhing lainnya. Untuk Tari Remo dalam pertunjukan kesenian Ludruk biasanya penari juga menyelakan sebuah lagu di tengah – tengah tariannya. Untuk busana penari remo bermacam – macam dan setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri, diantaranya seperti Gaya Sawunggaling, Surabayan, Malangan, dan Jombangan. Busana Tari Remo pada dasarnya menggunakan ikat kepala berwarna merah, baju lengan panjang, celana sepanjang lutut, kain batik pesisiran, setagen yang diikat di pinggang, keris yang diselipkan di belakang, selendang di bahu dan di pinggang dan gelang lonceng yang dikenakan di pergelangan kaki. Namun untuk Tari Remo gaya putri mempunyai busana yang berbeda dengan gaya busana Tari Remo yang asli, yaitu memakai sanggul, mekak hitam yang menutup dada, rapak yang menutupi bagian pinggang sampai lutut, dan satu selendang yang disematkan di bahu.
Candi Tikus Candi Tikus terletak di di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya MojokertoJombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan Bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus. Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu. Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan. Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit. Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah ‘menara’ setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17 pancuran berbentuk bunga teratai dan makara. Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit. Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.